menafsir ulang masa awal sastra indonesia...
TRANSCRIPT
1
MENAFSIR ULANG MASA AWAL SASTRA INDONESIA MODERN
Ahmad Bahtiar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Permasalahan penting dalam penulisan sejarah sastra khususnya sejarah sastra
Indonesia modern adalah menentukan masa awal sebagai kelahirannya. Banyak
ahli sastra berpendapat bahwa sastra Indonesia lahir sekitar 1920-an. Pendapat
itu dirujuk sebagai permulaan sastra Indonesia dalam banyak buku Sejarah Sastra
Indonesia Modern. Oleh karena itu, Balai Pustaka yang muncul pada waktu itu
dianggap tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia meskipun produk
kolonial. Kekurangcermatan dalam pengumpulan data serta pandangan terhadap
kelompok tertentu menyebabkan banyak fakta yang terlewatkan sehingga tidak
komprehensif menggambarkan perjalanan sastra Indonesia. Fakta tersebut ialah
karya sastra Melayu Tionghoa dan bacaan liar. Claudine Salmon menyebutkan
bahwa produktivitas pengarang Melayu Tionghoa pada 1875—1997 jauh dari
karya pengarang yang selama ini tercatat dalam buku-buku sejarah sastra
Indonesia. Karya-karya tokoh pergerakan yang dikenal bacaan liar sudah muncul
pada 1850-an yang kemudian menjadi alasan lahirnya Balai Pustaka tidak banyak
dibicarakan. Tulisan ini mencoba menafsirkan ulang masa awal sastra Indonsia
modern tersebut dengan memundurkan kelahiran Indonesia dengan memasukan
karya sastra Melayu Tionghoa dan bacaan liar serta mencoba melihat lebih
objektif peran Balai Pustaka dalam sastra Indonesia modern.
Kata kunci : menafsir ulang, masa awal, sastra Indonesia modern
A. Pendahuluan
Penulisan sejarah sastra Indonesia sangatlah rumit dan komplek. Salah satu
permasalahan penting dalam penulisan sejarah sastra adalah menentukan masa
awal atau kapan sastra Indonesia lahir. Banyak pendapat dari berbagai ahli
beserta argumen-argumennya yang menjelaskan awal dari sastra Indonesia. Hal
itu menyebabkan titik tolak awal perkembangan kesuastraan Indonesia pun
berbeda pula.
Perbedaan tersebut juga dalam memamandang setiap peristiwa atau
persoalan yang kaitannya dengan kehidupan sastra. Akibatnya, sebuah peristiwa
dalam pandangan seorang penulis dianggap penting sehingga harus dimasukkan
dalam sejarah kesusastraaan Indonesia. Tetapi penulis lain dapat beranggapan
berbeda sehingga peristiwa tersebut tidak perlu menjadi catatan dalam
perkembangan kesusastraan Indonesia.
2
Selain itu, kekurangcermatan dalam pengumpulan data serta sikap dan
pandangan penulis sejarah sastra menyebabkan karya-karya Sastra Melayu
Tionghoa dan Bacaan Liar yang memperlihatkan produktivitas yang luar biasa
luput dalam penulisan sejarah sastra termasuk persoalan yang berkaitan dengan
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Beberapa pengarang dan karyanya tidak
pernah dibicarakan ataupun kalau dibicarakan hanya mendapat porsi yang kecil
oleh para penulis dan pemerhati sejarah sastra Indonesia
Tulisan ini mencoba menafsirkan ulang masa awal sejarah sastra Indonesia
modern dengan memasukan beberapa fakta yang sebelumnya tidak tercatat dalam
buku-buku sejarah sastra seperti sastra Melayu Tionghoa dan bacaan liar. Dalam
tulisan ini, kedua hal tersebut dijelaskan secara komprehensif sehingga awal
sejarah sastra yang biasa dimulai tahun 1920-an dimundurkan ke masa kedua
sastra tersebut mulai berkembang. Beberapa pendapat tentang awal sastra
Indonesia yang selama berkembang dijelaskan secara singkat.
B. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian
kepustakaan (library research). Kegiatan ini dilakukan dengan menelusuri
buku-buku, jurnal, dan berbagai literatur yang berkaitan dengan karya dan
peristiwa dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia. Karya-karya tersebut
baik yang berbentuk buku maupun terdapat pada media cetak. Selain itu
digunakan wawancara yang dilaksanakan dengan mewancarai beberapa pelaku
sastra seperti ahli sastra, pemerhati sastra serta sastrawan untuk melengkapi
kepustakaan yang diperoleh.
Sejarah sastra dapat ditulis berdasarkan berbagai perspektif. Yudiono K.S
(2007) merujuk artikel Sapardi Djoko Damono “Beberapa Catatan tentang
Penulisan Sejarah Sastra”, menjelaskan bahwa penulisan sejarah sastra Indonesia
dapat didasarkan pada perkembangan stilistik, tematik, ketokohan, atau konteks
sosial, yang semuanya merupakan sarana menempatkan sastra sedemikian rupa
sehingga memiliki makna bagi masyarakatnya, terkait dengan berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, penulisan
sejarah sastra dalam tulisan ini mengacu pada hal itu.
3
C. Pembahasan
1. Beberapa Pendapat Kelahiran Sastra Indonesia
Pembicaraan tentang sejarah sastra Indonesia dimulai dengan pertanyaan
kapankah kesusastraan Indonesia lahir? Jawaban pertanyaan tersebut
memunculkan beragam pendapat dari banyak ahli. Pertama, Umar Junus dalam
karangannya yang dimuat majalah Medan Ilmu Pengetahuan (1960), berpendapat
bahwa, “Sastra ada sesudah bahasa ada. Sastra X baru ada setelah bahasa X ada”,
yang berarti bahwa sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada. Oleh
karena itu, bahasa Indonesia baru ada tahun 1928 (dengan adanya Sumpah
Pemuda), maka Umar Junus pun berpendapat bahwa “Sastra Indonesia baru ada
sejak 28 Oktober 1928”.
Karya yang terbit sebelum tahun 1928 – yang lazim digolongkan pada
sastra Angkatan ’20 atau angkatan Balai Pustaka—menurut Umar Junus tidak
dapat dimasukkan “golongan hasil sastra Indonesia”, melainkan hanya “sebagai
hasil sastra Melayu Baru/Modern”. Alasannya, karya-karya itu “bertentangan
sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia itu”. Dengan
dasar, ia membagi sastra Indonesia dengan a) Pra Pujangga Baru atau Pra
Angkatan ’33 (1928-1933); b) Pujangga Baru atangtan ’33 (1933 – 1945); dan c)
Angkatan ’45, dan seterusnya
Kedua, pendapat Ajip Rosidi mengenai lahirnya kesusastraan Indonesia
dapat kita baca tulisannya dalam Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir
(1985). Ajip memang mengakui bahwa sastra tidak mungkin ada tanpa bahasa.
Akan tetapi, sebelum sebuah bahasa diakui secara resmi, tentulah bahasa itu
sudah ada sebelumnya dan sudah pula dipergunakan orang. Oleh sebab itu, Ajip
tidak setuju diresmikannya suatu bahasa dijadikan patokan lahirnya sebuah
sastra (dalam hal ini sastra Indonesia).
Ajip berpendapat “kesadaran kebangsaanlah” seharusnya dijadikan
patokan. Berdasarkan kebangsaan ini, ia menetapkan bahwa lahirnya
Kesusastraan Indonesia Modern adalah tahun 1920/1921 atau 1922. Ia memilih
tahun itu bukan karena terbitnya Azab dan Sengsara maupun Siti Nurbaya
4
melainkan karena pada tahun itu para pemuda Indonesia (Muhammad Yamin,
Mohammad Hatta, Sanusi Pane, dan lain-lain) mengumumkan sajak-sajaknya
yang bercorak kebangsaaan dalam majalah Jong Sumatra (diterbitkan oleh
organisasi Jong Sumatra). Sajak-sajak mereka sifatnya tegas, berbeda dengan
umumnya hasil sastra Melayu, baik isi maupun bentuknya. Tema tentang tanah
air yang dijajah adalah hal yang tidak biasa dijumpai dalam kesusastraan Melayu.
Kumpulan sajak Muhammad Yamin, Tanah Air, menurut Ajip, mencerminkan
corak/semangat kebangsaan, yang tidak ada/tampak pada pengarang-pengarang
sebelumnya (1998 : 6).
Ketiga, A. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia 1, menjelaskan bahwa
kesusastraan Indonesia Modern lahir sekitar tahun 1920 dengan alasan:
“Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai
menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berberda dengan
perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda daripada perasaan dan ide
yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional dan mulai
demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang
dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua,
baik lisan maupun tulisan (1980: 15).
Alasan lainnya menurut Teeuw ialah :
“Pada tahun-tahun itulah untuk pertama kali para pemuda menulis puisi
baru Indonesia. Oleh karena itu mereka dilarang memasuki bidang politik,
maka mereka mencoba mencari jalan keluar yang berbentuk sastra bagi
pemikiran serta perasaan, emosi serta cita-cita baru yang telah mengalir
dalam diri mereka (1980 : 18).
Berdasarkan pemikiran tersebut, ia menyatakan lahirnya kesusastraan
Indonesia pada tahun 20-an, yaitu pada saat lahirnya puisi-puisi kebangsaan dan
bentuk soneta yang digunakan pengarang.
Keempat, Slamet Mulyana melihat kelahiran Kesusatraan Indonesia dari
sudut lain. Ia melihat dari sudut lahirnya sebuah negara. Indonesia adalah sebuah
negara di antara banyak negara di dunia. Bangsa Indonesia merdeka tahun 1945,
secara resmi pula bahasa Indonesia digunakan/diakui sebagai bahasa nasional,
bahkan dikukuhkan dalam UUD 45. Oleh karena itu, Kesusastraan Indonesia
baru ada pada masa kemerdekaan setelah mempunyai bahasa yang resmi sebagai
5
bahasa negara. Kesusastraan sebelum kemerdekaan adalah Kesusastraan Melayu,
belum Kesusastraan Indonesia.
Kelima, Hokyas dan Drewes. Kedua peneliti Belanda tersebut menganggap
bahwa Sastra Indonesia merupakan kelanjutan dari Sastra Melayu (Meleise
Literatur). Perubahan “Het Maleis” menjadi “de bahasa Indonesia” hanyalah
perubahan nama termasuknya sastranya. Dengan demikian, kesusastraan
Indonesia mulai sejak Kesusastraan Melayu. Pengarang Melayu seperti Hamzah
Fansuri, Radja Ali Haji, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Nurrudin Ar-Raniri,
beserta karya sastranya seperti Hang Tuah, Sejarah Melayu Bustanussalatina,
Tajussalatina, dan lain-lain adalah bagian dari Kesusastraan Indonesia.
Pendapat lain ialah dikemukan beberapa ahli sastra yang beranggapan
bahwa lahirnya kesusastraan Indonesia Modern adalah tahun 1920. Alasannya,
pada waktu itu lahir novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Lepas dari
apakah isi novel ini bersifat nasional atau tidak, yang jelas bacaan tersebut adalah
karya penulis Indonesia yang pertama kali terbit di Indonesia dalam bahasa
Indonesia. Selain tokoh dan setting di Indonesia, bentuknya sudah berbeda
dengan karya sastra lama sebelumnya. Dengan kata lain, bentuk sastranya sudah
“modern” dan tidak “lama” lagi, tidak lagi seperti kisah-kisah seputar istana,
legenda atau bentuk-bentuk sastra lama lainnya. Oleh karena itu, masa itu
dijadikan masa lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern.
Demikian beberapa pendapat kelahiran sastra yang dirujuk para penulis
buku sejarah sastra Indonesia. Untuk lebih komprehensif, tulisan ini mencoba
menampilkan Balai Pustaka serta karya sastra sebelumnya yaitu sastra Melayu
Tionghoa dan bacaan liar.
2. Balai Pustaka
Perkembangan kesusastraan Indonesia modern tidak bisa dipisahkan dari
keberadaan Balai Pustaka yang awalnya adalah Komisi untuk Bacaan Sekolah
Pribumi dan Bacaan Rakyat atau Commissie voor de Inlandsche School en
Volksectuur yang didirikan pada tahun 1908. Komisi ini untuk memerangi
“bacaan liar” yang banyak beredar pada waktu itu. Secara sepihak Belanda
menyebutnya sebagai Saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit tidak
6
bertanggung jawab, agitator dan bacaan liar. Selain untuk memerangi pengaruh
nasionalisme dan sosialisme yang mulai tumbuh subur di kalangan pemuda
pelajar. Oleh karena itu, pemerintah kolonial menyediakan bacaan ringan yang
sehat untuk lulusan sekolah rendah yang disarankan Balai Pustaka.
Balai Pustaka dikelola enam orang yang diketuai oleh Dr. G.A.J Hazeu.
Setelah datang tahun 1910, Rinkes langsung menjadi ketuanya. Ia sebelumnya
aktif sebagai pegawai bahasa di Kantoor voor Inlandsche Zaken. Kedua kantor ini
secara administratif berada di bawah Direktur Departement van Onderwijs
(Departemen Pendidikan). Karena tugas terlalu banyak, tahun 1917 Pemerintah
Kolonial Belanda menjadikan komisi tersebut menjadi Kantor Bacaan Rakyat
(Kantoor voor de Volkslectuur) atau Balai Pustaka dengan empat bagian : Bagian
Redaksi, Bagian Administrasi, Bagian Perputakaan, dan Bagian Pers. Mengingat
didirikan bertujuan melegitiminasi kekuasan Belanda di Indonesia, Balai Pustaka
menerapkan sejumlah syarat-syarat bagi naskah-naskah yang akan ditebitkan
seperti harus netral mengenai keagamaan, memenuhi syarat budi pekerti,
ketertiban, dan politik yang kemudian dikenal Nota Rinkes.
Berkenaan dengan kebijakan tersebut, hampir semua novel Balai Pustaka
senantiasa memunculkan tokoh Belanda sebagai mesias atau dewa penolong.
Sementara tokoh atau pemimpin lokal seperti kepala desa, pemuka agama, atau
haji digambarkan sebagai tokoh kejam, tidak adil, dan tukang menikah. Novel-
novel awal Balai Pustaka jelas-jelas memperlihatkan hal itu. Novel Azab dan
Sengsara (1920) menampilkan tokoh Baginda Diatas, kepala kampung yang
terkenal dermawan, tiba-tiba bertindak tidak adil dengan memutuskan hubungan
cinta anaknya, Aminudin dan Mariamin. Siti Nurbaya (1922) menampilkan
tokoh Datuk Maringgi yang busuk dalam segala hal, mendadak menjadi kepala
pemberontak yang menentang perpajakan. Akhirnya, ia mati di tangan Samsul
Bahri (Letnan Mas) yang menjadi kaki tangan Belanda. Muda Teruna (1922)
karya Moehamad Kasim dan Asmara Jaya (1928) karya Adinegoro,
menggambarkan tokoh-tokoh Belanda yang tampil sebagai dewa penolong. Hal
sama terjadi pada Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati, lebih jelas
dalam Salah Asuhan karya Abdul Muis. Dalam naskah aslinya, Corrie du Busse
7
adalah perempuan Indo-Belanda yang kemudian mati karena penyakit kelamin.
Perubahan tersebut dilakukan agar tidak merendahkan derajat orang Belanda.
Termasuk novel sejarah Hulubangan Raja (1934) karya Nur Sutan Iskandar yang
bersumber disertasi H. Kroeskamp yang mengangkat peristiwa tahun 1665 – 1668
di Sumatera Barat.
Melihat hal tersebut, wajarlah Bakri Siregar (1964 :33) melihat berdirinya
Balai Pustaka penuh dengan warna dan nuansa politik,
Balai Pustaka bekerja sebagai badan pelaksana politik etis pemerintah
jajahan, pemumpuk amtenarisme, atau pegawaisme yang patuh dan
melaksanakan peranan pengimbangan lektur antikolonial dan nasionalistik.
Yang dimaksud dengan sastra Balai Pustaka adalah hasil mengemukakan
konsepsi politik etis pemerintah jajahan, pemupuk amtenarisme dan
pegawaime yang patuh.
Pendapat Bakri Siregar dipertegas Jacob Sumarjo yang menyatakan bahwa
sastra Balai Pustaka tidak muncul dari masyarakat Indonesia secara bebas dan
spontan, tetapi dimunculkan dan diatur oleh pemerintah jajahan Belanda sehingga
penuh dengan syarat-syarat yang terkait dengan maksud-maksud tertentu (1992 :
13). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra Balai Pustaka bukanlah
ekspresi bangsa yang murni.
Adanya kepentingan politik kolonial Belanda dalam pendirian Balai Pustaka
dijelaskan Sutan Takdir Alisjahbana (1992 : 22) yang juga pernah menjadi
redaktur penerbit itu menyatakan :
Balai Pustaka didirikan untuk memberi bacaan kepada orang-orang yang
pandai membaca, yang tamat sekolah rendah dan yang lain-lain, disamping
untuk memberikan bacaan yang membimbing mereka supaya jangan
terlampau tertarik kepada aliran-aliran sosialisme atau nasionalisme yang
lambat laun toh agak menentang pihak Belanda.
Terlepas dari tanggapan di atas, banyak hal yang telah dilakukan Balai
Pustaka. Pada awalnya lembaga ini hanya menerbitkan bacaaan sastra daerah,
kemudian menerjemahkan, atau menyadur cerita klasik Eropa, dan akhirnya
menerbitkan karangan-karangan baru. Sekalipun didirikan mulai tahun 1908,
kemudian diperluas pada 1917, pekerjaan Balai Pustaka sebenarnya barulah
produktif sesudah tahun 1920-an. Pada zaman itu Balai Pustaka menghasilkan
8
buku, majalah dan almanak. Buku-buku populer yang terbit meliputi kesehatan,
pertanian, peternakan, budi pekerti, sejarah, adat dan lain-lain. Majalah yang
diterbitkan Balai Pustaka adalah Sri Pustaka yang kemudian bernama Panji
Pustaka berbahasa Melayu (1923), Kejawen berbahasa Jawa (1926), dan
Parahiangan berbahasa Sunda (1929). Tiras penerbitan Panji Pustaka pernah
mencapai 7.000 eksemplar, Kejawen 5.000 eksemplar, dan Parahiangan 2.500.
Alamanak yang yang diterbitkan Balai Putaka adalah Volksalmanak, Almanak
Tani, dan Almanak Guru.
Pada tahun 1930-an, Balai Pustaka menjadi penerbit besar karena didukung
oleh kekuasaan pemerintah sehingga mampu menyebarluaskan produksinya ke
seluruh Nusantara. Lembaga ini memunculkan sederetan nama pengarang seperti,
Merari Siregar, Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Muhamamad
Kasim, Suman Hs, Adinegoro, Tulis Sutan Sati, Aman Datuk Madjoindo,
Muhamamad Yamin, dan Rustam Efendi. Umumnya karangan mereka
melakukan pemberontakan pada budaya setempat yang sedang menghadapi
akulturasi. Di antara beberapa pengarang tersebut, Nur Sutan Iskandar,
pengarang yang juga pernah bekerja sebagai korektor, redaktur, dan terakhir
sebagai redaktur kepala Balai Pustaka sampai pensiun, adalah pengarang paling
produktif dijuluki "Raja Angkatan Balai Pustaka". Novel-novel Indonesia yang
terbit pada angkatan ini adalah "novel Sumatera" dengan Minangkabau sebagai
titik pusatnya.
3. Sastra Melayu Tionghoa
Sastra Melayu-Cina tumbuh dan berkembang sebelum muncul sastra
Indonesia modern akhir abad ke-19. Nio Joe Lan menyebutnya dengan sastra
Indonesia Tionghoa dan menganjurkan agar Sastra Melayu-Tionghoa yang ia
sebut Kesastraan Indo-Tionghoa dikaji dari bidang sejarah, kesusastraan, dan
psikologi. Jakob Sumardjo dalam Dari Khasanah Sastra Dunia (1985)
menjelaskan, jenis sastra ini diawali dengan terjemahan-terjemahan sastra
Tionghoa dan Eropa yang dikerjakan oleh Lie Kim Hok, antara lain: Kapten
Flamberge (560 halaman), Kawanan Bangsat (800 halaman), Pembalasan
9
Baccarat (960 halaman), Rocambole Binasa, dan Genevieve de Vadans setebal
(1.250 halaman). Tebalnya buku-buku itu karena diterbitkan secara serial bahkan
ada yang sampai empat puluh jilid.
Secara kuantitatif, menurut perhitungan Claudine Salmon, selama kurun
waktu hampir 100 tahun (1870-1960) kesusastraan Melayu-Tionghoa terdapat
806 penulis dengan 3.005 buah karya. Bandingkan catatan A. Teeuw, selama
hampir 50 tahun (1918-1967), kesusastraan modern Indonesia asli hanya ada 175
penulis dengan sekitar 400 buah karya. Kalau dihitung sampai tahun 1979,
sebanyak 284 penulis dan 770 buah karya.
Pramoedya Ananta Toer berulang kali menyebut masa perkembangan
kesastraan Melayu Tionghoa sebagai masa asimilasi, masa transisi dari
kesusastraan lama ke kesusastraan baru. Tahun 1971, C.W. Watson menyebutnya
sebagai ‘Pendahulu kesusastraan Indonesia modern”. Tahun 1977, John B. Kwee
menulis disertasi di Universitas Auckland tentang apa yang disebutnya Kesastraan
Melayu Tionghoa (Chinese Malay Literature).
Sastra Melayu Tionghoa pada masa dahulu tidak diperhitungkan dalam
khazanah Sastra Indonesia. Salah satu alasannya ialah bahwa karya sastra ini
menggunakan bahasa Melayu pasar yang dianggap rendah, sementara karya sastra
Balai Pustaka menggunakan Bahasa Melayu tinggi yang dianggap sebagai bagian
kebudayaan bangsa. Claudine membuktikan genre kesastraan ini sebetulnya
adalah bagian tak terpisah dalam sastra Indonesia. Dalam penelitiannya,
ditemukan bahwa Oey Se karya Thio Tjin Boen dan Lo Fen Koei karya Gouw
Peng Liang adalah dua prosa asli pertama Kesastraan Melayu-Tionghoa yang
terbit di tahun 1903. Ini berarti karya-karya itu telah muncul 20 tahun lebih awal
dibandingkan karya Sastra Balai Pustaka.
Claudine memperlihatkan bahwa pers Melayu-Tionghoa dan para penulis
peranakan Tionghoa memainkan peranan besar dalam menyebarluaskan bahasa
Melayu sebagai lingua franca di Indonesia sejak tahun 1890-an. Bahasa Melayu
yang digunakan pengarang peranakan tidak berbeda dengan bahasa Melayu kaum
nasionalis Indonesia awal abad XX.
10
Karya sastra para peranakan Tionghoa berlatar masa 1870-1960. Karya
tersebut menggambarkan dinamika yang terjadi semasa puncak penjajahan
Belanda dan beberapa dekade awal kemerdekaan Indonesia. Dari sana, kita bisa
merasakan bagaimana hidup di zaman itu dan bagaimana hubungan sosial yang
terjadi di masyarakat pada waktu itu. Kisah lainnya adalah kedatangan Raja Siam
di Betawi pada 1870, pembuatan jalan kereta api pertama dari Batavia ke
Karawang di awal abad 19, biografi seorang petinju masyur, kisah percintaan
yang ditentang karena perbedaan, drama dengan meletusnya Gunung Krakatau
sampai kisah keseharian masyarakat pada krisis ekonomi tahun 1930-an. Selain
itu terdapat buku tentang belajar bahasa Melayu berisi ejaan, penggalan kata
sampai peribahasa ternyata sudah terbit di tahun 1884.
Karya lainnya ialah novel Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay
yang berani mengangkat peristiwa sejarah Pemberontakan November 1926 yang
tidak berani disentuh para pengarang Balai Pustaka. Hubungan interaksi sosial
dalam masyarakat juga terbaca jelas seperti karya-karya Thio Tjin Boen yang
mempunyai ciri khas penggambaran masyarakat peranakan Tionghoa dalam
interaksi dengan etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Arab dan sebagainya. Tulisan-
tulisan orang Indo maupun Tionghoa peranakan yang digambarkan tersebut,
menampakkan asimilatif atau pembauran.
Sumbangan penulis Tionghoa peranakan dalam memperkaya kosakata
bahasa Melayu Pasar cukup besar misalnya, "loteng", "bihun", "ketjap", "toko"
dan lainnya, yang sangat dimengerti oleh kaum buruh. Hal ini didasari keadaan
masyarakat Tionghoa-Peranakan pada saat itu. Kekuasaan kolonial Belanda di
Hindia tidak memperkenankan anak Tionghoa memasuki sekolah Belanda untuk
anak Belanda dan juga tidak memperbolehkan anak Tionghoa menjadi murid
sekolah yang diadakannya untuk orang Indonesia. Anak Tionghoa yang diterima
hanya anak seorang Tinghoa yang diangkat menjadi "Opsir Tionghoa". Dalam
berkomunikasi sehari-hari, mereka menggunakan bahasa yang mirip dengan
bahasa yang digunakan kaum buruh.
Sumbangan lainnya terhadap dunia bacaan adalah model cerita-cerita
bersambung. Untuk meringankan beban pembeli dan sekaligus untuk merangkul
11
lebih banyak pembeli, buku-buku tersebut dijual dengan teknik memecah-mecah
buku cerita menjadi beberapa jilid. Penerbit Tionghoa-Peranakan tidak
menetapkan harga berdasarkan satu buku cerita, tapi berdasarkan bab. Teknik
berdagang seperti itu kemudian ditiru oleh para pemimpin pergerakan, misalnya
Marco yang menjual Mata Gelap (terdiri dari tiga jilid).
4. Bacaan Liar
Perkembangan Kesusastraan Indonesia pada periode awal selain muncul
Sastra Melayu Tionghoa ditandai dengan bacaan kaum pergerakan yang sering
disebut Belanda sebagai "Bacaan Liar”. Kaum pergerakan memandang bacaan
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari mesin pergerakan untuk mengikat dan
menggerakkan kaum buruh dan kaum tani. Produksi bacaan tersebut berbentuk
surat kabar, novel, buku, syair sampai teks lagu. .
Yang menarik dari perkembangan produksi bacaan tersebut adalah
penggunaan "Melayu Pasar" yang biasa digunakan para pedagang dan kaum
buruh yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah dengan pengajaran
bahasa Melayu yang baik. Bahasa Melayu Pasar mempergunakan bahasa lisan
sehari-sehari yang terasa lebih spontan, lebih hidup, lebih bebas dari ikatan tata
bahasa. Perkembangan produk bacaan tersebut didukung dengan maraknya
industri pers pada awal abad ke-20.
Kurun 1920-1926 merupakan masa membanjirnya "bacaan liar," karena
iklim "demokratis" bagi pergerakan. Misalnya, pada Kongres IV tahun 1924 di
Batavia, PKI mendirikan Kommissi Batjaan Hoofdbestuur PKI yang menerbitkan
dan menyebarluaskan tulisan-tulisan serta terjemahan-terjemahan literatuur
socialisme. Semaoen adalah orang yang pertama kali memperkenalkan pengertian
literatuur socialistisch. Dengan bacaan tersebut, rakyat jajahan diperkenalkan dan
diajak masuk ke dalam pikiran-pikiran baru yang modern. Oleh karena itu, bacaan
harus ditulis dengan bahasa yang dipahami oleh kaum kromo. Runtuhnya `bacaan
liar' tak dapat dipisahkan dari perkembangan pentas politik pergerakan khususnya
ketika terjadi pemberontakan nasional tahun l926/l927.
Ketika organisasi-organisasi radikal oleh dilarang Belanda, terjadi pula
pelarangan produksi bacaan liar. Meskipun organisasi tersebut dilarang, namun
12
praktik dan gagasan pergerakan yang telah ada pada 1920-an tetap hidup dengan
bentuk dan isi yang berbeda. Serikat buruh dan gerakan radikal lainnya tetap
hidup pada tahun 1930-an. Sudah tentu bentuk bacaan pun mengalami perubahan.
Orang yang pertama kali merintis perlunya bacaan bagi rakyat Hindia yang
tidak terdidik adalah Tirto Adhisoerjo. Ia menulis artikel "Boycott" di surat kabar
Medan Priyayi yang dijadikannya senjata untuk melawan para pemilik perusahaan
gula. Boikot pertamakali dilakukan oleh orang-orang Tionghoa terhadap
perusahaan-perusahaan Eropa yang menolak permintaan mereka untuk
memperoleh barang. Tindakan para pengusaha Eropa ini dibalas oleh orang-orang
Tionghoa dengan memboikot produk perusahaan-perusahaan Eropa, sehingga
hampir sekitar 24 perusahaan Eropa di Surabaya bangkrut. Tulisan ini
menyadarkan bahwa bacaan-bacaan politik sangat diperlukan untuk membuka
mata dan daya kritis yang dikungkung oleh cerita-cerita kolonial yang senantiasa
ingin mempertahankan kolonialisme.
Gaya penulisan bacaan politik yang dipelopori oleh Tirto kemudian diikuti
oleh para pemimpin pergerakan lainnya, seperti Mas Marco Kartodikromo dan
Tjipto Mangoenkoesoemo. Marco adalah orang yang paling produktif dalam
menghasilkan "bacaan liar". Karyanya adalah Mata Gelap (1914), Student Hidjo
(1918), Matahariah (1919), dan Rasa Mardika (1918). Marco juga menerbitkan
kumpulan syair, Syair Rempah-rempah (1918), Syair Sama Rasa Sama Rata
(1917) dan Babad Tanah Djawi (jurnal Hidoep tahun 1924-1925).
Student Hidjo menceritakan perjalanan Hidjo, pelajar HBS yang
melanjutkan sekolah ke Negeri Belanda. Waktu di Jawa ia sudah bertunangan,
tetapi setelah tinggal di Belanda ia tertarik pada gadis Belanda. Sebaliknya Syair
Sama Rasa dan Sama Rata, merupakan kumpulan syair yang mengkritik
kolonialisme dan sekaligus menggambarkan kontradiksi-kontradiksi dalam
masyarakat kolonial. Karyanya tersebut, dilingkupi oleh pemikiran Multatuli,
semangat untuk melawan ketimpangan dan ketidakadilan kolonial. Ia selalu
memberi sub-judul "kedjadian jang benar-benar terdjadi di tanah Djawa".
Ungkapan pengalaman penulis ketika mengamati perubahan sosial awal abad ke-
20.
13
Pada awalnya pemerintah kolonial tidak begitu keras menghalangi produksi
bacaan liar, dalam pengertian tidak dilakukan pelarangan tehadap produksi bacaan
liar. Hal ini berkaitan dengan politik etis kolonial Belanda yang mau
"membimbing" rakyat jajahan memasuki dunia modern. Pemerintah kolonial
Belanda memang tidak melarang bacaannya, tetapi menangkap para
pengarangnya.
Tetapi dalam kenyataannya, kebijaksanaan Belanda ini tidak dilakukan
secara ekstrem. Marco, Semaoen, Darsono atau yang lainnya tidak pernah
dihukum selama 5 tahun, rata-rata hukumannya antara 1 – 2 tahun. Semangat
politik etis dijadikan simbol netralitas terhadap kaum pergerakan sepanjang
mereka tidak menentang kekuasaan kolonial. Politik Etis juga mengemban
kepentingan menjinakkan pergerakan agar tidak cenderung mengarah pada
radikalisme.
Produk "bacaan liar" lebih radikal akibat pengaruh Revolusi Rusia 1917,
kemenangan ini diekspos oleh Sneevliet dengan karangannya yang berjudul
Zegepraal (diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Semaoen). Tulisan ini
bercerita keberhasilan Revolusi Bolshevik yang membawa pengaruh besar di
Hindia Belanda. Karangan ini kemudian diterjemahkan oleh Semaoen ke dalam
bahasa Melayu. Akibatnya, Semaoen harus masuk penjara selama 2 bulan.
D. Simpulan
Demikian beberapa hal tentang masa awal sastra Indonesia yang dapat
dijadikan titik tolak kelahiran sastra Indonesia. Tulisan ini mencoba menafsir
ulang sejarah sastra Indonesia yang umumnya ditulis tahun 1920-an dengan
karya Balai Pustaka sebagai tonggak pentingnya. Penafsiran tersebut menjadikan
sejarah sastra Indonesia mundur ke waktu sebelumnya yaitu masa Sastra Melayu
Tionghoa dan Bacaan Liar.
Diharapkan dengan menafsir ulang tersebut, sastra Indonesia menjadi lebih
kaya dan komprehensif. Masyarakat Indonesia dapat melihat peran Balai Pustaka
lebih lebih objektif dengan menempatkan Balai Pustaka pada semestinya. Karena
pada dasarnya penerbit itu bagian dari kebijakan kolonial yang berupaya tetap
mempertahan kekuasan di Hindia Belanda pada waktu itu.
14
Daftar Pustaka
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1992. “Perjuangan Budaya dan Pengalaman Pribadi
Selama di Balai Pustaka” dalam Bunga Rampai Kenangan pada Balai
Pustaka. Jakarta : Balai Pustaka.
Eneste, Pamusuk. 1988. Ikhtisar Kesusastraan Modern Indonesia. Jakarta :
Djambatan.
-------------------, 1990. Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta :
Djambatan.
Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. Pengantar Ilmu
Sastra. 1984. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta : Gramedia.
KS., Yudiono. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : Grasindo.
Mahayana, Maman S. 99 2005. Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta : Bening.
------------------, 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Rosidi, Ajip. 1998. Ihtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung : Bina Aksara.
------------------, 1988. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir. Jakarta : CV
Mas Agung.
------------------, 1970. Masalah Angkatan dan Periodesasi Sedjarah Sastra
Indonesia. Bandung : Pustaka Jaya.
------------------, 1976. Laut Biru Langit Biru, Bunga Rampai Sastra Indonesia
Mutakhir. Jakarta : Pustaka.
Salmon, Claudine. 2010. Sastra Indonesia Awal : Kontribusi Orang Tionghoa.
Diterjemahkan Ida Sundari Husen dkk. Jakarta : Kepustakaan Populer
Gramedia.
Siregar, Bakri. 1964. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : Akademi Sastra
Multatuli.
Sumardjo, Jacob. 1992. Lintasan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung : Citra
Aditya.
------------------, 2004. Kesusastran Indonesia Melayu Rendah pada Masa Awal.
Yogyakarta : Galang Press.
Teeuw, A. 1952. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Jakarta
: Yayasan Pembangunan.
------------------, 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta : Pustaka Jaya.
15