membangun karakter pemimpin

8
URGENSI TAHUN 2015 MEMBANGUN KARAKTER PEMIMPIN Dalam menilai para pemimpin di setiap tingkatan suatu organisasi, kita perlu senantiasa mengajukan tiga pertanyaan fundamental. Pertama, apakah mereka memiliki kompetensi untuk menjadi pemimpin? Kedua, apakah mereka memiliki komitmen untuk menjadi pemimpin? Apakah mereka siap untuk melakukan kerja keras kepemimpinan, sekaligus melibatkan orang lain untuk mencapai misi, visi dan tujuan organisasi? Dan ketiga, apakah mereka memiliki “karakter” untuk menjadi pemimpin yang baik dan berusaha untuk menjadi salah satu yang terbaik? Apakah mereka memiliki nilai-nilai, sifat dan kebajikan – yang dapat meyakinkan para pemegang saham, para pekerja, para pelanggan, para pemasok, pihak regulator dan masyarakat luas di tempat mereka beroperasi – sehingga kesemuanya setuju bahwa mereka adalah pemimpin yang baik? Dalam kesempatan ini, kita hanya akan fokus pada pembahasan karakter kepemimpinan, bukan karena hal tersebut lebih penting ketimbang kompetensi dan komitmen misalnya, namun karena karakter adalah hal yang paling sulit untuk didefinisikan, diukur, dinilai dan dikembangkan. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan sejumlah dimensi karakter kepemimpinan yang paling penting, berubah dan cenderung terkikis pada lingkungan bisnis saat ini, dan menyarankan bagaimana suatu karakter dapat dikembangkan. Lebih baik kita terus terang, bahwa dengan sejumlah alasan para pimpinan bisnis kita telah kehilangan karakter. Kita boleh menuding karena sistem pendidikan kita yang terlalu fokus pada kompetensi, sehingga mengabaikan pembentukan karakter. Lebih parah lagi karena kita tidak tahu tentang apa yang dimaksud dengan karakter, tidak pernah memikirkannya dan tidak peduli tentang hal tersebut. Karakter menjadi tidak lebih semacam istilah dari para pini sepuh jaman dahulu yang dianggap kurang relevan lagi untuk dikaitkan dengan dunia bisnis moderen. Begitu pula, dalam kehidupan dunia pekerjaan sehari-hari, kebanyakan orang enggan untuk membahas tentang karakter dengan rekan-rekan di tempat kerja, sehingga tidak mampu melakukan penilaian karakter secara obyektif. Padahal karakter merupakan elemen penting dari kepemimpinan yang seyogyanya tidak diabaikan. Karakter adalah fondasi yang membentuk bagaimana kita terlibat dengan dunia di sekitar kita, apa yang kita perhatikan, apa yang kita perkuat, apa yang kita libatkan dalam percakapan, apa yang kita nilai, apa yang kita pilih sebagai landasan untuk bertindak, bagaimana kita memutuskan, dan lain sebagainya. Dari sejumlah penelitian yang telah dilakukan berkenaan dengan kegagalan kepemimpinan telah mengarah pada persoalan karakter sebagai tema sentral. Suatu risiko buruk sering muncul karena para pemimpin tidak memiliki keberanian atau kepercayaan diri untuk berbicara jujur dan terus terang. Para pemimpin organisasi mengetahui tentang jenis-jenis praktek kurang terpuji yang berlangsung dalam organisasinya, namun mereka tidak mampu untuk menghentikannya. Iklim organisasi

Upload: ariesrezab

Post on 06-Sep-2015

17 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Membangun karakter pemimpin

TRANSCRIPT

  • URGENSI TAHUN 2015 MEMBANGUN KARAKTER PEMIMPIN

    Dalam menilai para pemimpin di setiap tingkatan suatu organisasi, kita perlu senantiasa mengajukan tiga pertanyaan fundamental. Pertama, apakah mereka memiliki kompetensi untuk menjadi pemimpin? Kedua, apakah mereka memiliki komitmen untuk menjadi pemimpin? Apakah mereka siap untuk melakukan kerja keras kepemimpinan, sekaligus melibatkan orang lain untuk mencapai misi, visi dan tujuan organisasi? Dan ketiga, apakah mereka memiliki karakter untuk menjadi pemimpin yang baik dan berusaha untuk menjadi salah satu yang terbaik? Apakah

    mereka memiliki nilai-nilai, sifat dan kebajikan yang dapat meyakinkan para pemegang saham, para pekerja, para pelanggan, para pemasok, pihak regulator dan masyarakat luas di tempat mereka beroperasi sehingga kesemuanya setuju bahwa mereka adalah pemimpin yang baik?

    Dalam kesempatan ini, kita hanya akan fokus pada pembahasan karakter kepemimpinan, bukan karena hal tersebut lebih penting ketimbang kompetensi dan

    komitmen misalnya, namun karena karakter adalah hal yang paling sulit untuk didefinisikan, diukur, dinilai dan dikembangkan. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan sejumlah dimensi karakter kepemimpinan yang paling penting, berubah dan cenderung terkikis pada lingkungan bisnis saat ini, dan menyarankan bagaimana suatu karakter dapat dikembangkan.

    Lebih baik kita terus terang, bahwa dengan sejumlah alasan para pimpinan

    bisnis kita telah kehilangan karakter. Kita boleh menuding karena sistem pendidikan kita yang terlalu fokus pada kompetensi, sehingga mengabaikan pembentukan karakter. Lebih parah lagi karena kita tidak tahu tentang apa yang dimaksud dengan karakter, tidak pernah memikirkannya dan tidak peduli tentang hal tersebut. Karakter menjadi tidak lebih semacam istilah dari para pini sepuh jaman dahulu yang dianggap kurang relevan lagi untuk dikaitkan dengan dunia bisnis moderen. Begitu pula, dalam kehidupan dunia pekerjaan sehari-hari, kebanyakan orang enggan untuk

    membahas tentang karakter dengan rekan-rekan di tempat kerja, sehingga tidak mampu melakukan penilaian karakter secara obyektif. Padahal karakter merupakan elemen penting dari kepemimpinan yang seyogyanya tidak diabaikan. Karakter adalah fondasi yang membentuk bagaimana kita terlibat dengan dunia di sekitar kita, apa yang kita perhatikan, apa yang kita perkuat, apa yang kita libatkan dalam percakapan, apa yang kita nilai, apa yang kita pilih sebagai landasan untuk bertindak,

    bagaimana kita memutuskan, dan lain sebagainya. Dari sejumlah penelitian yang telah dilakukan berkenaan dengan kegagalan

    kepemimpinan telah mengarah pada persoalan karakter sebagai tema sentral. Suatu risiko buruk sering muncul karena para pemimpin tidak memiliki keberanian atau kepercayaan diri untuk berbicara jujur dan terus terang. Para pemimpin organisasi mengetahui tentang jenis-jenis praktek kurang terpuji yang berlangsung dalam

    organisasinya, namun mereka tidak mampu untuk menghentikannya. Iklim organisasi

  • yang kurang jujur dan budaya organisasi yang kurang transparan dapat berdampak jauh kedalam jantung organisasi. Kesemuanya itu pada dasarnya bersumber dari kegagalan karakter. Tidak ada konsensus tentang definisi karakter, namun untuk kepentingan pembahasan disini, kita akan fokus pada nilai-nilai, kebajikan dan ciri-ciri

    kepribadian (traits). Ciri-ciri kepribadian (traits) didefinisikan sebagai pola kebiasaan berfikir,

    berperilaku dan emosi yang dianggap relatif stabil pada diri individu yang berlaku pada setiap situasi dan relatif konstan dari waktu ke waktu. Ciri-ciri tersebut berkembang melalui pengalaman hidup dimulai pada masa kanak-kanak, interaksi dalam keluarga, pendidikan, figur panutan dan pengalaman sosial juga upaya

    sengaja melalui pendidikan, pelatihan dan jenis pembinaan lainnya, sehingga literatur telah menjelaskan ratusan karakter kepribadian dari A (ambition) sampai ke Z (zealousness), yang membutuhkan pembahasan tersendiri.

    Pada sisi yang lain, nilai diartikan sebagai keyakinan yang dimiliki setiap orang tentang apa yang penting atau berharga bagi mereka, sehingga nilai dapat mempengaruhi perilaku setiap orang. Contoh yang termasuk kedalam nilai-nilai

    dalam organisasi adalah otonomi, transparansi, kesempatan untuk menjadi kreatif atau inovatif, bertindak dengan cara yang ramah lingkungan, pentingnya keseimbangan kehidupan kerja, dan sebagainya. Disamping nilai-nilai individu yang sebagian besar berasal dari tradisi lingkungan sosial dimana ia tinggal. Sebagai contoh, jika seseorang dibesarkan dengan tradisi keagamaan yang kuat, maka ia akan mengembangkan nilai-nilai yang didasarkan pada ajaran agamanya. Demikian pula, kerangka nilai seseorang bisa dipengaruhi oleh kehidupan rumah tangga,

    persaudaraan, masyarakat, pengalaman selama pendidikan dan pelatihan, organisasi tempat bekerja, teman-teman, dan sejumlah pengaruh sosial lainnya.

    Nilai dapat relatif berubah pada setiap tahap kehidupan dan sejauhmana nilai tertentu telah direalisasikan. Nilai dapat berupa rangkaian dari dimensi etikal atau sosial, seperti kejujuran, integritas, kasih sayang, keadilan dan tanggung jawab sosial. Kuat atau lemahnya nilai-nilai yang dimiliki setiap orang dapat mempengaruhi

    perilaku mereka. Suatu nilai dapat didukung meskipun hal tersebut belum tentu bisa diwujudkan. Suatu contoh, adalah konflik antara loyalitas dengan kejujuran, atau konflik antara tanggung jawab sosial dengan kewajiban kepada pemegang saham (pemilik). Dalam hal ini, belum tentu seseorang akan memenangkan kejujuran dan tangung jawab sosialnya.

    Sejak dari zaman Yunani kuno, para filsuf telah menggolongkan sifat-sifat,

    nilai-nilai dan perilaku tertentu dalam kategori "baik," dan menyebut sifat tersebut sebagai kebajikan. Kebajikan sebagai kebiasaan perilaku adalah sesuatu yang dapat ditampilkan secara konsisten. Bahkan jauh hari Aristoteles telah mengidentifikasi dua belas sifat kebajikan, yakni: keberanian, kesederhanaan, kedermawanan, keindahan, kemurahan hati, ambisi, kelembutan, keramahan, kesejatian, kecerdasan, dan keadilan. Keutamaan dari kedua belas sifat tersebut adalah kebajikan praktis,

    yang diperlukan untuk "kehidupan yang baik" dan dengan demikian dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan atau kesejahteraan.

  • Dalam kesempatan ini, bagi para pemimpin yang tengah fokus pada kinerja jangka panjang bagi kepentingan organisasi mereka, diharapkan mampu menunjukkan 10 (sepuluh) kebajikan bagi para pemimpin bisnis berikut ini:

    1. Kerendahan hati adalah sifat penting untuk belajar dan menjadi pemimpin

    yang lebih baik; 2. Integritas sangat penting untuk membangun kepercayaan dan daya tarik bagi

    orang lain untuk bergabung dan berkolaborasi; 3. Sifat kolaboratif dapat membangun kolegialitas dan kerja sama tim yang

    kohesif; 4. Sifat adil dapat menghasilkan keputusan yang diterima secara sah dan wajar

    oleh orang lain; 5. Sifat berani atau keteguhan hati dapat membantu para pemimpin untuk

    membuat keputusan yang sulit, dan menantang keputusan atau tindakan orang lain;

    6. Ketenangan dapat membawa para pemimpin pada pengambilan risiko yang wajar;

    7. Akuntabilitas dapat memberi kepastian bahwa para pemimpin memiliki komitmen terhadap keputusan mereka dan akan mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa;

    8. Kemanusiaan dapat membangun empati dan pemahaman terhadap orang lain;

    9. Melalui transendensi, para pemimpin akan dilengkapi oleh rasa optimisme dan memiliki tujuan; dan

    10. Semangat menyiratkan bahwa para pemimpin bertindak penuh antusiasme dalam mengejar keunggulan.

    Melakukan penilaian dengan arif dapat memungkinkan para pemimpin untuk menyeimbangkan dan mengintegrasikan 10 (sepuluh) kebajikan tersebut kedalam cara-cara untuk melayani kebutuhan berbagai pemangku kepentingan di dalam maupun di luar organisasi mereka. Dengan kata lain, untuk melakukan suatu

    penilaian (judgment) seorang pemimpin perlu sadar diri, memiliki kesadaran akan konteks, memiliki kemampuan kognitial yang kompleks, memiliki daya analisis, berfikir kritis, memiliki intuisi yang tajam, berwawasan luas, kreatif dan pragmat ik.

    Para pakar lain telah menggaris bawahi enam sifat kebajikan utama, yakni bijak (wisdom), keadilan (justice), kemanusiaan, ketenangan, transendensi dan keberanian yang ditentukan berdasarkan pertimbangan yang luas dan perilaku

    empirik para pemimpin yang teridentifikasi. Sementara dalam kepemimpinan bisnis terdapat lima sifat kebajikan yang dianggap penting, yakni kolaborasi, semangat, kerendahan hati, integritas dan akuntabilitas. Dengan demikian, kita dapat membayangkan apa yang bakal terjadi ketika para pemimpin bisnis kurang memiliki kebajikan, dan hal ini dapat berdampak cukup jelas pada orang lain dan organisasi. Tanpa kerendahan hati para pemimpin tidak mungkin berpikiran terbuka, termasuk

    bersedia meminta dan mempertimbangkan pandangan orang lain. Pendeknya, mereka kurang bersedia untuk belajar dari orang lain. Dengan sendirinya, mereka

  • menjadi tidak mampu merefleksikan secara kritis kegagalan mereka untuk menjadi pemimpin yang lebih baik sebagai hasil dari refleksi tersebut. Begitu pula, tanpa integritas para pemimpin tidak mungkin mampu membangun hubungan yang baik dengan para pengikut, atasan, sekutu atau mitra mereka. Setiap janji atau komitmen

    perlu dijamin dan ketidakpercayaan dapat mempengaruhi suatu keputusan dan tindakan.

    Tanpa kolaborasi para pemimpin dapat terancam gagal untuk mencapai sejumlah tujuan berharga yang tidak mungkin dicapai oleh usaha dan keterampilan individual semata. Mereka akan menemui kesulitan dalam menggunakan keragaman pengetahuan, pengalaman, persepsi, penilaian dan kemampuan orang lain untuk

    membuat keputusan dan eksekusi yang lebih baik. Tanpa rasa keadilan, para pemimpin tidak dapat memahami isu-isu ketimpangan sosial dan tantangan yang berkaitan dengan desakan keadilan. Para pemimpin yang bertindak dengan cara tidak adil dapat menuai konsekuensi negatif, seperti memburuknya hubungan dengan para pekerja, atau akan mendapatkan reaksi negatif dari para pelanggan, pemerintah dan pihak regulator. Bahkan pada kutub yang ekstrim, sejumlah orang

    akan memberontak dan menemukan cara untuk melemahkan para pemimpin demikian. Tanpa Keberanian para pemimpin tidak mungkin bersikukuh untuk menentang keputusan orang lain yang keliru, dan tidak mungkin mampu bekerja dengan tekun dan ulet yang dibutuhkan untuk mengatasi isu-isu yang sulit dan kritikal. Sebaliknya, mereka akan mundur dalam menghadapi kesulitan dan cenderung memilih rute yang mudah.

    Tanpa ketenangan para pemimpin dapat tergelincir pada pengambilan risiko

    yang kurang diperhitungkan. Mereka menjadi terburu-buru dalam melakukan penilaian, gagal mengumpulkan fakta-fakta yang relevan, tidak proporsional, bahkan membuat suatu perubahan yang destruktif dan tidak cermat dalam membuat suatu keputusan penting. Dalam hal ini, kredibilitas mereka adalah taruhannya. Tanpa akuntabilitas para pemimpin dianggap tidak memiliki komitmen dan akan sulit mendapatkan dukungan dari orang lain. Sebaliknya, mereka acapkali akan

    menyalahkan orang lain atas hasil yang tidak memuaskan, dan pada gilirannya dapat menciptakan budaya ketakutan dan ketertekanan. Tentu saja, ketika semua orang sudah tidak peduli, maka potensi bencana akan tiba.

    Tanpa rasa kemanusiaan para pemimpin tidak mungkin berhubungan baik dengan orang lain, terutama melihat situasi dari perspektif para pengikut, termasuk memperhitungkan dampak dari keputusan mereka terhadap orang lain. Tanpa rasa

    kemanusiaan para pemimpin tidak mungkin dapat bertindak dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial, sehingga pada gilirannya mereka menjadi terasing. Tanpa transendensi, para pemimpin menjadi berpandangan sempit, sehingga mereka gagal meningkatkan kualitas diskusi untuk tujuan yang lebih tinggi. Mereka kurang mampu menangkap gambaran yang lebih besar dan karenanya keputusan mereka hanya mencerminkan oportunisme mereka saja. Dengan kata lain, mereka

    kurang mampu berpikir di luar kotak, apalagi mendorong orang lain untuk berfikir demikian.

  • Tanpa semangat, dorongan, gairah, dinamika, dan keunggulan, para pemimpin tidak akan pernah mengerahkan upaya mental dan fisik yang diperlukan untuk meraih sukses dan menciptakan nilai tambah bagi organisasinya.

    Tanpa penilaian yang arif, para pemimpin akan membuat keputusan yang

    cacat, terutama ketika mereka harus bertindak cepat dalam situasi ambigu dan ketika dihadapkan pada sejumlah paradoks yang dihadapi semua pemimpin dari waktu ke waktu. Aristoteles dengan jelas menyatakan bahwa kebajikan dapat menjadi kejahatan jika dilakukan tidak proporsional. Misalnya, keberanian berlebihan dapat mendorong suatu kecerobohan, seperti juga halnya kehati-hatian yang berlebihan sering dikatakan sebagai pengecut. Para pemimpin yang terlalu

    rendah hati, ketangguhannya sebagai pemimpin akan dipertanyakan, dan memudarkan kepercayaan dari para pengikutnya. Para pemimpin yang terlalu transenden akan menjadi pemimpin visioner yang hampa dan tidak membumi, sekaligus kurang fokus pada permasalahan aktual saat ini, dimana keputusan-keputusan yang lebih duniawiah perlu segera dilakukan. Namun tanpa transendensi, para pemimpin menjadi seorang figur yang berpandangan sempit yang terjebak oleh

    tujuan jangka pendek. Dengan demikian, tantangan ke depan bagi para pemimpin adalah

    kemampuan untuk memperdalam atau memperkuat kebajikan dengan melakukan refleksi, untuk mengurangi tindakan ceroboh dan disproporsional. Para pakar yang tertarik mempelajari perilaku dalam organisasi telah mengungkap sifat, nilai-nilai dan kebajikan yang terkait dengan kepemimpinan yang baik. Para pemimpin yang saleh tentunya dipengaruhi oleh sifat-sifat dan nilai-nilai mereka, namun mereka mampu

    menyeimbangkan dan mengintegrasikan sifat dan nilai tersebut dengan cara yang sesuai terhadap situasi dimana mereka bekerja. Sebagai contoh, disamping berlaku sebagai pemimpin yang transparan, dilain pihak mereka juga mampu menjaga rahasia dan kepercayaan, sehingga mengetahui persis kapan suatu rahasia disimpan dan kapan dibuka ke publik. Begitu pula, disamping berperilaku sebagai pemimpin yang berani, mereka juga memahami saat harus melawan atau menghindar dari

    suatu peperangan dan pertempuran. Setiap orang, secara individual dapat mengembangkan kekuatan karakter

    mereka sendiri, sementara para pemimpin dapat membantu para pengikut untuk mengembangkan karakternya, sejalan dengan itu organisasi juga harus menyediakan tempat yang kondusif bagi tumbuh-kembangnya karakter. Filsuf besar seperti Plato dan Aristoteles sejak jauh hari telah melihat, bahwa karakter adalah sebagai sesuatu

    yang terbentuk, disadari, didisiplinkan melalui perilaku repetitif yang dihargai dan bermanfaat. Pembentukan karakter berlangsung bersama dengan segudang kebiasaan baik lainnya, dan akhirnya banyak kebiasaan yang sudah melekat pada diri kita tanpa disadari.

    Namun demikian, suatu kebiasaan tertentu juga dapat mencegah perkembangan karakter. Misalnya, seseorang dengan ego yang kuat yang telah

    dibangun untuk mempertahankan identitas, akan membuatnya sulit untuk mengembangkan kerendahan hati, dan dengan demikian kurang terbuka untuk

  • menimba pengalaman belajar. Dengan demikian, ketika banyak orang percaya bahwa karakter sebaiknya dikembangkan pada usia dini, maka pendapat mereka berada pada jalur yang benar, karena ada saatnya ketika kebiasaan sulit untuk berubah.

    Karakter juga dibentuk oleh berbagai peristiwa kehidupan yang mendalam, dan dapat membebaskan kita dari tempurung pikiran kita, atau bahkan menorehkan kesan yang membekas. Peristiwa-peristiwa yang membekas itu mungkin berupa pengalaman ketika kita dipecat, dikritik, tidak dipromosikan, dituduh pelecehan, atau bentuk lain dari perilaku yang tidak etik yang merupakan contoh peristiwa yang dapat membentuk karakter. Sebaliknya, terdapat sejumlah peristiwa yang dapat

    memperkuat karakter yang baik. Pengakuan, pujian atau penghargaan merupakan penguat yang sangat penting untuk pengembangan karakter, terutama ketika dikondisikan selama bertahun-tahun dalam pertumbuhan individu. Suatu tugas atau promosi yang dihargai, pada gilirannya dapat memperkuat perilaku positif dan pengembangan karakter. Yang tidak kalah pentingnya adalah kejadian sehari-hari dalam kehidupan normal dapat menawarkan kesempatan untuk pengembangan

    karakter, karena hal tersebut bukan sesuatu yang terpisah dari pekerjaan atau kehidupan, melainkan bagian tak terpisahkan dari diri kita sendiri.

    Banyak hal yang bisa dilakukan para pemimpin senior dalam organisasi untuk mengembangkan karakter kepemimpinan terhadap para pekerjanya. Cukup dengan memperbincangkan tentang karakter, maka tema tersebut dapat menjadi topik yang sah dan percakapan terhormat, sehingga mampu merangsang diskusi dan memfasilitasi refleksi setiap individu. Apapun kegiatan yang dihadiri manajemen

    senior akan dianggap penting, dan sebaliknya apa yang diabaikannya menjadi terpinggirkan, inilah pentingnya komitmen dari para pemimpin senior. Sosialisasi nilai-nilai perlu ditangani secara eksplisit melalui pembinaan dan pendampingan organisasi, dan sekaligus diperkuat melalui pendidikan, pelatihan dan pengembangan, dan secara aktif digunakan dalam proses rekrutmen, seleksi dan suksesi manajemen.

    Warren Bennis membahas tentang peran dan tanggung jawab individu untuk menjadi pemimpin yang lebih baik ketika ia mulai berkata: "para pemimpin sebaiknya tidak pernah berbohong kepada dirinya sendiri, terutama tentang dirinya sendiri, mengetahui kekurangan dirinya serta asetnya, yang berhubungan dengan mereka secara langsung. Dibutuhkan tingkat kesadaran diri, kesiapan untuk memeriksa kebiasaan perilaku sendiri, dan mencari cara yang lebih baik dari apa

    yang mereka pernah kerjakan di masa lalu. Pengembangan karakter dapat terhambat jika para pemimpin tidak memiliki disiplin dan keberanian untuk menilai dirinya sendiri dengan jujur.

    Suka atau tidak suka, karakter merupakan dasar yang penting dalam pengambilan keputusan yang efektif. Memang, banyak kesalahan yang dibuat oleh para pemimpin karena kurangnya kompetensi. Namun lebih sering kesalahan vital

    dilakukan dan akar penyebab sebenarnya adalah gagal karakter. Orang sering tidak jujur untuk mengakui kelemahan kompetensi yang diperlukan untuk berhasil dalam

  • peran kepemimpinan dan juga berakar pada karakter. Begitu pula, menciptakan budaya perbedaan pendapat yang konstruktif, sehingga orang lain berani mengkritisi keputusan kita tanpa takut konsekuensinya juga membutuhkan karakter.

    Karakter bukanlah sesuatu yang dimiliki atau tidak memiliki, yang mana

    kuncinya terletak pada kedalaman perkembangan setiap aspek dari karakter yang memungkinkan kita untuk memimpin. Setiap situasi menyajikan pengalaman yang berbeda dan kesempatan untuk belajar dan memperdalam karakter. Tidak ada karakter yang sempurna, dan kesemuanya dikembangkan dalam perjalanan seumur hidup kita. Kita perlu menghargai apa yang diperlukan untuk mengembangkan kebiasaan diseputar pembentukan karakter, dan hal tersebut dimungkinkan melalui

    percakapan dalam diri kita sendiri dan orang lain, sehingga dapat memperkuat atau memperlemah karakter.

    Pertanyaannya kemudian adalah jika karakter itu benar-benar penting, mengapa kita kurang memberi perhatian dan mencoba untuk menghormatinya. Dengan demikian, organisasi perlu bergerak melalui jangkar pengembangan kepemimpinan dengan membuat profil yang menentukan seorang pemimpin yang

    baik, disamping menentukan apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang pemimpin. Kompetensi, karakter dan komitmen pada peran kepemimpinan sangat penting bagi keberhasilan para pemimpin.

    Berdasarkan pengalaman, fokus baru terhadap karakter merupakan bahan bakar yang baik untuk mengasah kemampuan pribadi guna menjadi pemimpin yang lebih baik. Kita melihat proses belajar untuk memimpin merupakan perjalanan untuk mendukung dan memungkinkan orang lain berkembang. Suatu nilai hanya meliputi

    komponen kognitif dan afektif, namun belum tentu melibatkan komponen konatif dan perilaku yang manifes. Sedangkan karakter mencakup semua atau keempat dari komponen tersebut. Untuk itu pastikan bahwa organisasi bekerja pada tingkat tertinggi, dan dengan itu dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat di mana mereka beroperasi dengan kekuatan karakter yang mereka miliki.

    Last but not least, perlu dicamkan dalam ingatan kita, bahwa beberapa ratus

    tahun terakhir, pendidikan karakter telah dilihat sebagai fungsi utama dari lembaga pendidikan. Sebagai contoh, John Locke, filsuf Inggris abad ke-17, telah menganjurkan bahwa pendidikan adalah sebagai pendidikan untuk pengembangan karakter. Tema senada dilanjutkan pada abad ke-19 oleh filsuf Inggris John Stuart Mill, yang mengumandangkan bahwa "pengembangan karakter adalah solusi untuk masalah sosial dan pendidikan ideal yang layak," (Miller & Kim, 1988). Begitu juga

    pendapat Herbert Spencer, bahwa "pendidikan pada hakikatnya adalah pembentukan karakter, " (Purpel & Ryan, 1976).

    Begitu juga pada awalnya, pendidikan di Amerika Serikat telah memiliki fokus pada pengembangan karakter. Filsuf Amerika Serikat, John Dewey, merupakan salah seorang filsuf berpengaruh dan seorang pendidik pada awal abad ke-20, yang telah menekankan bahwa pendidikan moral merupakan pusat misi lembaga pendidikan

    (Dewey, 1934). Namun, pada tahun 1930-an pendidikan di Amerika Serikat telah semakin berpaling dari pendidikan karakter sebagai fokus utamanya (Power, Higgens

  • & Kohlberg, 1989). Di Indonesia, Ki Hajar Dewantoro dan Prof. Slamet Imam Santoso adalah pionir yang gigih untuk pendidikan karakter bangsa. Bagaimana dengan karakter perilaku pemimpin bangsa Indonesia paska reformasi saat ini? Yang jelas pembentukan karakter atau revolusi mental bukanlah pekerjaan satu dua hari

    semata, dan upaya ini akan menggugat dan membongkar kembali peran lembaga pendidikan, dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Quo vadis pendidikan karakter di lembaga formal pendidikan di negara tercinta Indonesia?

    Bandung, 9 Desember 2014

    Faisal Afiff & Konsultan