mekanisme perilaku komunikasi pada jenis-jenis penyu

Upload: zeth-parindinggnidn

Post on 17-Jul-2015

111 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KOMUNIKASI BERUPA SIGNAL DIANTARA EMBRIO PENYU SISIK (Carettochelys insculpta) DAPAT MEMPERCEPAT PROSES PENETASAN (Form of Communication Beetwen Signal of Carettochelys insculpta Embryos to Accelerate the Hatching Proses) Zeth Parinding* Abstract Central to group living is communication. Writing this paper purpose to determine how stimulation in the form of vocal communication / signaling between embryo hawksbill turtle able to accelerate hatching the process? Before the first experiment known study species, study area and collection eggs. Of the three treatments used shows the results, as follows: first, the embryo hawksbill eggs hatch in stimulating vibration / mechanical vibrations in the face of flooding and do not in general. Second, the presence of siblings and the provision of nitrogen gas showed hypoxia in stimulating embryo group and a smaller space to accelerate hatching. Finally, the presence of siblings and the provision of water in stimulating embryo group and hypoxia showed a smaller space to speed up the hatching regardless of its shell. Key Word: Carettochelys insculpta eggs, vibration, flooding, environmental cued hatching, survival, hypoxia Abstrak Pusat kehidupan berkelompok adalah komunikasi. Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana stimulasi komunikasi berupa vokal/signal antar embrio penyu sisik mampu mempercepat proses penetasan? Sebelum melakukan percobaan terlebih dahulu diketahui bio-ekologi spesiesnya, lokasi pengamatan dan koleksi telur yang seragam dari satu lubang peneluran. Dari ketiga perlakuan yang digunakan menunjukkan hasil, sebagai berikut: pertama, embrio telur penyu sisik menetas dalam menstimulus getaran/vibrasi mekanis dalam menghadapi banjir dan tidak pada umumnya. Kedua, kehadiran saudara kandung dan pemberian gas nitrogen dalam menstimulus hipoksia menunjukkan embrio kelompok dan ruang yang lebih kecil mempercepat penetasan. Akhirnya, kehadiran saudara kandung dan pemberian air dalam menstimulus hipoksia menunjukkan embrio kelompok dan ruang yang lebih kecil mempercepat penetasan sampai terlepas dari cangkangnya. Kata Kunci: Telur Carettochelys insculpta, vibrasi, banjir, syarat lingkungan penetasan, survival, Hipoksia. Introduction/Pendahuluan Faktor penting yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi dan membentuk perilaku adalah kapasitas anatomi dan fisiologik spesies terbentuk sebagai warisan dari orang tuanya, dan pengaruh faktor perubahan lingkungan berdasarkan kapasitas organ sensorik dan organ motorik yang dimilikinya. Komunikasi satwa sebagai bagian dari perilaku dapat berupa bunyi, getaran dan suhu, tampilan visual (visual display), dan zat kimia baik bau dan rasa melalui cairan dan udara (feromon) yang dimiliki setiap satwa. Komunikasi satwa ini digunakan untuk beberapa hal yaitu: mencari makan (foraging), perkembang-biakan (breeding) dalam hal perkawinan (mating), peneluran dan penetasan atau masa beranak, migrasi dan dispersal satwa, dan penanda teritorial (Doody et al. 2012, Dharmojono 2001, Krebs and Davies 1978, dan Scott 1972). Pusat kehidupan berkelompok adalah komunikasi. Hewan menghasilkan gerakan, menampilkan pola warna dan memancarkan bahan kimia, diklasifikasikan sebagai sinyal yang mampu saling mengubah perilaku penerima dengan cara yang dapat diprediksi berdasarkan nilai adaptif terhadap salah satu atau keduanya (Hill 2008). Sinyal di seluruh taksa digunakan untuk mengkoordinasikan kawin, perawatan orang tua, teritorial dan pertahanan, interaksi, intraspesifik dan interspesifik (Rogers & Kaplan 2000; McGregor 2005) Menurut Wikipedia (2012) dan Nuitja (1992), di dunia terdapat ada tujuh jenis penyu, enam diantaranya ditemukan di Indonesia, yaitu: Penyu Sisik/ Hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata), Penyu Hijau/Green Turtle (Chelonia mydas), Penyu Pipih/ flatback turtle (Natator depressus), Penyu Lekang/ Olive Ridley turtle (Lepidochelys olivacea), dan Penyu Belimbing leatherback turtle (Dermochelys coriacea). Hipotesa bahwa salah satu bentuk komunikasi berupa vokal diantara embrio dengan mengirimkan signal/getaran pada individu berkelompok satwa penyu mampu mempercepat penetasan telur menjadi tukik (anak penyu). Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana stimulasi komunikasi Page 1

* Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi KVT 2011 di IPB / NRM E361110121 (Post Graduate Studies Program students KVT 2011 in IPB / NRM E361110121)

berupa vokal/getaran antar embrio penyu sisik mampu mempercepat proses penetasan? Methods/Metode Metode Studi Pustaka. Sebelum melakukan percobaan terlebih dahulu harus mengetahui bioekologi spesiesnya, lokasi pengamatan, dan telur yang dikoleksi harus seragam berasal dari satu lubang peneluran. Perancangan percobaan dilakukan di laboratorium berdasarkan tiga perlakuan, yaitu: Pertama. Penetasan dengan merespon getaran berdasarkan stimulasi mekanik. Tersedia 11 telur dan masing-masing telur tersebut di letakkan setengah terbenam pada setiap plastik shaker elektronik bergerak 600ml yang berisi pasir lembab ditempatkan diatas stimulasi mekanik tersebut, dan salah satu wadah berisi telur sebagai kontrol. Catat waktu penetasannya dan waktu lepas dari cangkangnya.

Gambar 1. Perlakuan pada mesin mekanik yang bergetar (Doody et al. 2012) Kedua. Pengaruh saudara sekandung terhadap rekayasa penetasan. Ping pong bola disuntik dengan air dengan menggunakan jarum suntik, dan diperkirakan ukuran, berat dan bentuk telur penyu sisik (Doody et al. 2003). Setiap perlakuan kelompok terdiri dari enam telur bersaudara kandung, sedangkan perlakuan soliter terdiri satu telur bersaudara kandung dan lima telur kontrol, yang pingpong bola berisi air. Cengkeraman individu tersebut dibagi menjadi dua perlakuan: kelompok telur dan telur soliter. Clutch ukuran (sekitar 10 telur per kopling tetapi dengan satu atau dua telur yang belum dikembangkan, Doody et al. 2003) adalah cukup besar untuk membagi di satu kelompok perlakuan dan satu untuk tiga perlakuan soliter. Setiap kelompok perlakuan terdiri enam telur bersaudara kandung, sedangkan perawatan soliter terdiri satu telur saudara kandung dan lima telur kontrol, yang pingpong bola berisi air. Ping pong bola disuntik dengan air dengan menggunakan jarum suntik, dan diperkirakan ukuran, berat dan bentuk babi berhidung bulat telur penyu (Doody et al. 2003). Posisi

telur soliter dalam bola pingpong yang dipilih secara acak. Telur dan ping pong bola ditempatkan menjadi kecil bundar wadah makanan plastik (600 ml). Pada kedua kelompok konfigurasi itu empat telur / bola menyentuh satu sama lain membentuk lapisan di dasar wadah, satu telur / bola terletak di pusat di atas lapisan itu, dan satu lagi telur / bola menyentuh telur atas pusat / bola dan dua telur / bola di bawah ini. Jadi, dalam kelompok perlakuan setiap telur menyentuh setidaknya tiga telur yang berdekatan, sementara dalam pengobatan soliter setiap telur menyentuh bola ping pong setidaknya tiga. Wadah plastik ditempatkan menjadi sembilan kamar perfusi, yang entah akrilik (30x30 cm dan 12 cm tinggi) atau plastik (20x30 cm dan 15 cm tinggi). Setiap kamar dilengkapi dengan selang (1,5 cm diameter) sehingga tangki nitrogen dapat melekat tanpa terjadi getar-kondisi untuk telur. Setiap ruang terdiri semua melengkapi satu sama kopling (misalnya satu kelompok perlakuan dan satu sampai tiga soliter mengobati-unsur) dan wadah plastik 600 ml air untuk memberikan kelembaban untuk telur berkembang. Catat waktu penetasannya. Perlakuan lainnya. Pengaruh saudara sekandung terhadap rekayasa munculnya/lepas cangkang telur. Suhu telur diperkirakan rezim termal alami tetapi dengan fluktuasi harian lebih kecil. Seperti pada percobaan 2, kopling dibagi antara dua perlakuan: telur berkelompok dan telur soliter. Kopling setiap membentang satu perlakuan kelompok dan satu untuk tiga perlakuan soliter. Setiap kelompok perlakuan terdiri enam telur saudara, sedangkan perawatan soliter terdiri satu telur saudara kandung dan lima bola pingpong berisi air. Pada kedua kelompok telur ditempatkan dalam cluster dan bersentuhan satu sama lain seperti dalam percobaan 2. Kedua perawatan kelompok dan soliter dikuburkan di pasir kasar lembab pada kedalaman kirakira setara dengan kedalaman di sarang lapangan (1018 cm di bawah permukaan). Air ditambahkan cepat tapi hati-hati melalui selang diameter 1 cm dikubur di pasir. Telur tergenang dalam waktu 1 menit. Latensi untuk munculnya didefinisikan sebagai waktu yang telah berlalu antara pencelupan dalam air dan tukik melewati batas permukaan air untuk mengambil napas pertama. Catat waktu lepas dari cangkang/munculnya. Results/Hasil Perlakuan 1. Ke-11 telur yang diberi perlakuan getaran menetas dengan SD (standar defiasi) adalah 4.3 2.93 menit, dan waktu melepaskan cangkang dibutuhkan waktu SD (standar defiasi) adalahPage 2

* ) Mahasiswa Pascasarjana Program Studi KVT 2011 di IPB / NRM E361110121 (Post Graduate Studies Program student KVT 2011 in IPB / NRM E361110121)

7.5 5.55 menit. Sedangkan sebagai kontrol selama 45 menit tidak mengalami penetasan. Perlakuan 2. Ada pengaruh yang signifikan dari kehadiran saudara pada latency menetas (ANOVA dua faktor, model campuran dengan pengobatan sebagai efek tetap dan kopling sebagai efek acak: F1,50.0 = 9.69, P = 0.003). Berarti latensi menetas pada kelompok perlakuan rata-rata sekitar 2 menit lebih pendek dari itu dalam pengobatan soliter (Gbr. 2). Dalam satu kopling telur perlakuan soliter mengalami kegagalan menetas dan tukik cacat hidup dibandingkan telur dengan perlakuan kelompok. Waktu untuk menetas tidak secara signifikan dipengaruhi oleh ukuran patch pengeringan rata-rata (F1,7 = 2.63, P = 0.156). Namun, telur dengan patch kecil atau tidak ada umumnya menetas lebih cepat dibandingkan dengan patch yang lebih besar.

terhadap kondisi hipoksia (perendaman dalam air). Data sarana TH 1 SE. * P