matahara mondai dan hubungannya dengan...
TRANSCRIPT
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 179 - 192
179
MATAHARA MONDAI DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEINGINAN
WANITA MUDA JEPANG UNTUK BEKERJA DAN MEMILIKI ANAK
Zuriyatus Safitri Wulandari
Putri Elsy
Program Studi Studi Kejepangan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan, Surabaya 60286
Email: [email protected]
Email: [email protected]
Abstrak
Matahara adalah singkatan dari kata “maternity” dan “harassment,” sebuah istilah yang mengacu
pada pelecehan terhadap kehamilan atau pelecehan yang dilakukan terhadap wanita hamil ditempat
kerja. Matahara merupakan masalah sosial yang terjadi di Jepang saat ini. Kasus matahara
menjadi topik di media saat Osakabe Sayaka melaporkan kasusnya ke pengadilan tahun 2014.
Terjadinya matahara di Jepang disebabkan oleh paham patriarki yang masih berakar dalam
pemikiran dan mental orang Jepang. Matahara ini secara tidak langsung juga berdampak pada
penurunan angka kelahiran di Jepang. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap
hubungan matahara dengan keinginan wanita muda Jepang untuk bekerja dan memiliki anak.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan melakukan wawancara terhadap
enam mahasiswi SI di Universitas Osaka Jepang. Peneliti menggunakan konsep matahara atau
maternity harassment untuk menganalisis data. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa meskipun
dengan adanya matahara mondai, wanita muda Jepang tetap ingin bekerja dan memiliki anak.
Namun, rasa khawatir baru muncul ketika mereka melihat matahara secara langsung di tempat
kerja mereka.
Kata Kunci: Matahara, Osakabe Sayaka, Wanita Pekerja, Wanita Muda Jepang.
Abstract
Matahara is an abbreviation form from the words “maternity” and “harassment”. Matahara refers
to harassment of pregnancy or harassment committed against pregnant women at work. This social
problem still occurs in Japan today. Matahara's case became a trending topic in the media when
Osakabe Sayaka reported her case to the court in 2014. Matahara in Japan caused by patriarchal
understanding that is still rooted in Japanese mind and mentality. It also indirectly affects the
decline in birth rate in Japan. Therefore, this research aims to determine the relationship of
matahara with the desire of young Japanese women both to work and have children. The method
that used in this research is descriptive qualitative method and the data was collected by
interviewing six Japanese undergraduate students at Osaka University. This research uses the
concept of matahara or maternity harassment to analyze data. The result of this research showed
that despite the matahara’s problem still going within Japanese society, it didn’t affect young
Japanese women’s desire to work and have children. However, they still worried if they have to see this case directly in their workplace.
Keywords: Matahara, Osakabe Sayaka, Working Woman, Young Japanese Woman.
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 179 - 192
180
1. Pendahuluan
Setelah Perang Dunia II, Jepang mengalami kemajuan ekonomi yang pesat.
Hal tersebut membuat Jepang menjadi salah satu negara maju di dunia. Keadaan
Jepang dengan ekonomi yang mapan, mempengaruhi cara hidup masyarakatnya
terutama wanita. Secara hukum, Undang-Undang di Jepang “nihonkoku kenpou”
pasal 14 sudah menetapkan bahwa pria dan wanita harus mendapat upah yang
sama untuk jenis pekerjaan yang sama, memiliki hak yang sama untuk memberi
suara, dan untuk dipilih memegang jabatan pemerintahan (Hiromi, 2009). Namun
secara praktik, diskriminasi terhadap wanita di tempat kerja sampai saat ini masih
belum bisa dihindari akibat dari pola pikir masyarakat Jepang yang patriarki 1
terutama dalam sistem perusahaan di Jepang.
Matahara (maternity harassment) adalah salah satu dari tiga bentuk
diskriminasi atau pelecehan utama yang membebani wanita Jepang di dunia kerja.
Pelecehan yang lain adalah sekuhara (sexual harassment)2 dan pawahara (power
harassment)3. Menurut hasil survei yang dikeluarkan oleh Konfederasi Serikat
Pekerja Jepang pada tahun 2015, satu dari setiap lima (20.9%) wanita pekerja di
Jepang telah mengalami matahara (dalam www.mataharanet.org diakses pada Juli
2017).
Matahara merupakan singkatan dari kata “maternity” dan “harassment,”
adalah sebuah istilah yang mengacu pada perlakuan tidak adil terhadap wanita,
yakni pelecehan, baik fisik maupun mental, yang ditanamkan pada wanita pekerja
saat mereka hamil atau melahirkan, dengan melakukan pemecatan, penghentian
kontrak kerja mereka, atau memaksa mereka untuk berhenti dengan sukarela
(Sayaka, 2016:82).
Osakabe Sayaka (2016) dalam bukunya yang berjudul “Matahara
Mondai” (Masalah Matahara) membagi kasus-kasus matahara menjadi empat
1Patriarki adalah sistem pengelompokan masyarakat sosial yang menempatkan kedudukan dan
posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan
ekonomi (Pinem, 2009:42) 2Sexual harassment atau pelecehan seksual adalah pelecehan dengan ucapan dan perilaku yang
bersifat seksual (Hayashi dalam Anjelia, 2018) 3 Power harassment atau pelecehan kekuasaan adalah istilah yang mengacu pada tindakan
pelecehan atau paksaan dalam hubungan kerja, seperti atasan memaksa bawahannya untuk minum
di luar kantor (Okada dalam Anjelia, 2018).
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 179 - 192
181
bentuk yaitu; Pertama, “Showa no kachikan oshitsuke gata” yaitu pemaksaan
nilai-nilai lama atau tradisional (Showa) pada wanita pekerja yang sedang hamil,
dengan menekankan bahwa wanita harus tetap dirumah untuk merawat dan
membesarkan anak. Kedua, “Ijime gata” yaitu pelecehan oleh rekan kerja
dikarenakan rendahnya toleransi serta rasa iri yang timbul apabila pekerja wanita
yang hamil mendapatkan perlakuan khusus. Ketiga, “Power Harassment atau
pawahara gata” yaitu pemaksaan panjang jam kerja (lembur) dan tidak dapat
memberikan keringanan jam kerja pada pekerja wanita yang hamil. Ke-empat, “Oi
dashi gata” yaitu pemecatan terhadap pekerja yang hamil, karena perusahaan
tidak dapat memberikan fasilitas cuti hamil atau cuti melahirkan.
Empat bentuk kasus matahara tersebut terjadi akibat dari budaya
patriarki masyarakat Jepang yang belum bisa memahami kebutuhan pekerja
wanita saat ini, sehingga terjadilah kasus-kasus pelecehan terhadap pegawai
wanita yang memutuskan untuk menikah dan kemudian hamil. Selain itu, karena
matahara didasarkan pada keyakinan bahwa lebih baik pria bekerja di luar rumah,
sedangkan wanita harus tinggal di rumah untuk mengurus dan membesarkan
anak-anak, matahara juga dapat menyebabkan bentuk pelecehan lainnya, seperti
patahara (paternity harassment) yaitu pelecehan terhadap pria yang merawat anak,
serta orang yang meluangkan waktu untuk merawat orang tua di Jepang (Sayaka,
2016:14)
Dengan meningkatnya jumlah wanita yang melanjutkan ke perguruan
tinggi di Jepang, jumlah wanita yang mandiri secara finansial juga semakin
bertambah. Menurut Kawamoto dalam Elsy (2015) mandiri secara finansial
menyebabkan pernikahan hanya menjadi satu pilihan, dengan kata lain sulit bagi
wanita Jepang untuk melakukan dua pekerjaan bersamaan yaitu bekerja dan
melakukan pekerjaan rumah tangga. Hal ini yang menyebabkan terjadinya
penekanan untuk berhenti bekerja pada wanita yang hamil.
Setiap tahun, ribuan wanita Jepang harus memilih antara bekerja atau
memiliki anak, karena memiliki anak berarti kehilangan pekerjaan mereka (Global
3000, 2017). Hal ini tentunya berpengaruh pada kaum muda Jepang saat ini,
karena usia menikah yang juga semakin tinggi menyebabkan kaum wanita di
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 179 - 192
182
Jepang kesulitan dalam memiliki anak. Oleh sebab itu, matahara secara tidak
langsung juga menyebabkan berkurangnya angka kelahiran di Jepang Untuk itu,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan matahara dengan keinginan
wanita muda Jepang untuk bekerja dan memiliki anak. Wanita muda Jepang
dalam penelitian ini adalah mahasiswi Jepang yang sedang menempuh tingkat
akhir pendidikan S1 di Universitas Osaka, Jepang. Peneliti memilih mahasiswi
Universitas Osaka dengan pertimbangan cara termudah untuk mendapatkan
sampel, karena peneliti sempat mengikuti program pertukaran pelajar selama
setahun di Universitas Osaka. Mahasiswi tingkat akhir juga dipilih karena
dianggap sudah memiliki rencana, pandangan atau pemikiran mengenai
pernikahan dan anak.
2. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati.
Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan uraian yang mendalam
tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu,
kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam suatu keadaan konteks
tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik
(Sujarweni, 2014:19)
Penelitian dilakukan melalui wawancara sebagai metode pencarian data.
Penentuan informan menggunakan metode convenience sampling. Convenience
sampling adalah teknik pengambilan sampel terdiri atas kelompok individual yang
siap dan layak, terdiri dari semua orang yang mau diwawancarai (Silalahi, 2003).
Peneliti menemukan sebanyak enam orang mahasiswi Universitas Osaka yang
bersedia untuk diwawancara dari tanggal 4 April 2018 hingga 15 April 2018
melalui chat online dengan media aplikasi Line.
Wawancara dilakukan pada mahasiswi Jepang yang merupakan teman
peneliti selama berada di Universitas Osaka. Kedekatan antara peneliti dan
informan menjadi unsur penting dalam teknik ini, karena topik penelitian ini
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 179 - 192
183
merupakan hal yang sensitif untuk dilakukan wawancara. Diharapkan dari hasil
wawancara akan mendapatkan gambaran tentang pengaruh matahara terhadap
keinginan mahasiswi sebagai generasi muda untuk memiliki anak. Selain itu
penelitian ini juga menggunakan kajian pustaka dengan mengkaji sejumlah buku,
jurnal penelitian, serta artikel-artikel yang berhubungan dengan tema baik tertulis
maupun lewat internet yang akan digunakan sebagai acuan untuk menganalisis
hasil dari wawancara yang telah diperoleh.
3. Hasil dan Pembahasan
Matahara dan Pelaku Matahara
Dalam kamus kata matahara yang merupakan singkatan dari “maternity
harassment” memiliki arti pelecehan terhadap kehamilan atau persalinan di
tempat kerja, berupa tekanan untuk berhenti bekerja, tidak memberikan cuti hamil,
dsb. Matahara (maternity harassment) berarti menerima pelecehan dan tekanan
dari atasan, rekan kerja, tempat kerja, karena mengalami kehamilan atau menjadi
wanita hamil (Hiromi, 2009:67). Matahara adalah kondisi ketika seorang wanita
pekerja yang sedang dalam kondisi hamil mendapatkan tekanan maupun
pelecehan dari atasan, rekan kerja, tempat kerja atau perusahaan, serta
memberhentikan atau memecat dengan alasan kehamilan (Yamanaka, 2016).
Berdasarkan hasil survei yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan dan
Kesejahteraan pada November 2015, sekitar 40% dari responden mengatakan
bahwa matahara tersebut berasal dari atasan laki-laki, sedangkan 20% dari
responden mengatakan bahwa mereka dilecehkan oleh atasan perempuan,
sementara sisanya hanya menyebutkan rekan kerja (Reuters, 2015). Hasil survei
tersebut membuktikan bahwa pelaku dari matahara tidak memandang status dan
gender. Bahkan atasan dan rekan kerja wanita pun dapat menjadi pelaku dari
matahara. Hal ini menunjukkan bahwa di Jepang, sebagai sesama wanita juga
masih belum bisa mentolelir kehamilan di tempat kerja.
Hasil survei dari Matahara-Net juga menunjukkan bahwa, sebanyak
71.0% bentuk tindakan matahara berupa kata-kata yang tidak berperasaan.
Kemudian sebanyak 38.7% berupa tekanan untuk mengundurkan diri. Sementara
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 179 - 192
184
sebanyak 20.4% merupakan bentuk pemecatan atau pemberhentian kerja.
Berdasarkan hasil survei tersebut dapat disimpulkan bahwa bentuk paling banyak
dari matahara adalah berupa ujaran atau perkataan yang tidak berperasaan, diikuti
oleh tekanan dan rekomendasi untuk mengundurkan diri, kemudian pemecatan
atau pemberhentian kerja.
Pembagian Kasus Matahara
Osakabe Sayaka (2016:86) dalam bukunya yang berjudul “Matahara
Mondai” (Masalah Matahara) membagi matahara menjadi 4 jenis, yaitu:
1. “Showa no kachikan oshitsuke gata” (Pemaksaan nilai-nilai tradisional
Showa). Dalam website Matahara-Net, jenis matahara ini disebut Imposing
traditional gender-based values atau pemaksaan nilai-nilai tradisional pada
pekerja wanita yang sedang hamil. Adapun ujaran atau perkataan yang
dianggap sebagai matahara berdasarkan pemaksaan terhadap nilai-nilai
tradisional yaitu, ketika mengetahui kondisi kehamilan pekerjanya, seorang
atasan akan berkata, “Anak Anda adalah prioritas utama Anda,” “Saya
hanya ingin memperhatikan kesehatan Anda,” “Penghasilan suami Anda
seharusnya mencukupi.” Ujaran-ujaran tersebut akan menjadi matahara saat
diikuti beberapa ujaran lagi seperti, “Jadi Anda harus berhenti.” Hal ini
berarti bahwa sekali seorang wanita mengalami kehamilan atau memiliki
anak, dia diharapkan untuk meninggalkan pekerjaannya, tinggal di rumah,
dan mengurus keluarganya terlebih dahulu. Pola ini dianggap menjadi
matahara, karena atasan tidak memikirkan atau mengabaikan keinginan dan
kebutuhan wanita pekerja, meskipun atasan tersebut tidak melakukannya
dengan sengaja karena niat buruk. Oleh karena itu, menurut Sayaka (2016)
matahara jenis ini sangat sulit untuk ditangani dan diberantas.
2. “Ijime gata” (Pembulian). Istilah ijime berasal dari kata kerja ijimeru yang
memiliki arti sebagai tindakan menyiksa, memarahi, dan mencaci maki
(Kamus Kojien, 2012). Morita (1985) mendefinisikan ijime di Jepang
sebagai tingkah laku agresif yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki
posisi dominan di dalam proses interaksi sebuah grup, melalui tindakan
yang menimbulkan penderitaan mental atau fisik orang lain yang berada di
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 179 - 192
185
dalam grup yang sama. Bentuk Ijime di dalam matahara berupa verbal,
seperti ujaran-ujaran yang menyebabkan penerima merasa tidak nyaman
atau sakit hati. Sebagai contoh ujaran matahara jenis ijime yaitu, “Kamu
menyebabkan banyak masalah,” “Kamu sangat beruntung bisa beristirahat,”
“Kamu egois.” Inilah kata-kata yang sering digunakan oleh rekan kerja
ketika mereka terpaksa mengerjakan pekerjaan yang biasanya dilakukan
oleh pekerja wanita yang mengambil cuti kehamilan atau melahirkan. Para
rekan kerja ini merasa tidak adil jika mereka harus melakukan pekerjaan
ekstra karena seseorang membuat keputusan sendiri untuk hamil atau
memiliki anak. Bagi perusahaan besar, masih memungkinkan untuk
sementara mengisi kesenjangan seperti itu di tempat kerja. Namun, bagi
perusahaan kecil dan menengah hal ini tidaklah mudah, sehingga biasanya
beban pekerja wanita yang mengambil cuti hamil tersebut diberikan pada
staf yang tersisa.
3. “Pawahara gata” (Pelecehan Kekuasaan). Budaya perburuhan terjadi di
Jepang, seperti seseorang yang bekerja berjam-jam dianggap pekerja penuh,
sementara seorang wanita yang tidak dapat bekerja berjam-jam karena
mengasuh anak dan sebagainya dipandang setengah-setengah. Kasus
matahara yang memaksa seorang karyawan bekerja berjam-jam, meski
sedang hamil adalah jenis pawahara. Adapun ujaran-ujaran matahara jenis
ini yaitu, “Anda tidak diijinkan untuk pulang cepat.” “Kami tidak
memerlukan karyawan yang pulang cepat (tidak melakukan lembur).”
“Kami tidak dapat memperlakukan wanita hamil secara berbeda dari yang
lain,” dan sebagainya. Meskipun ada peraturan di dalam perusahaan untuk
dapat mengambil cuti hamil, cuti perawatan anak, dan jam kerja yang lebih
pendek, tetapi dalam praktiknya belum tercapai.
4. “Oi dashi gata” (Pemecatan). Jenis matahara ini adalah wanita dipaksa
keluar dari tempat kerja karena mereka tidak dapat bekerja lembur. Adapun
ujaran matahara jenis pemecatan yaitu, “Anda membebani orang lain jika
Anda tidak dapat bekerja lembur,” “Anda harus keluar begitu Anda hamil,”
dan juga, “Perusahaan kami tidak memiliki cuti melahirkan atau sistem
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 179 - 192
186
penitipan anak.” Bahkan masih ada perusahaan di Jepang yang tidak ada
satu orang pun dari karyawannya meninggalkan pekerjaan untuk mengambil
cuti hamil atau cuti mengasuh anak. Oleh sebab itu, apabila ada karyawan
wanita yang mengambil cuti hamil, maka wanita tersebut dipaksa berhenti
dari tempat kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran yang
dimiliki perusahaan terhadap kewajiban hukum mereka masih rendah.
Kebiasaan secara tidak tertulis lebih diprioritaskan di atas hukum.
Matahara dan Keinginan Memiliki Anak
Toshiaki (2010:160) menyatakan bahwa wanita Jepang saat ini cenderung
untuk mengundurkan diri dari pekerjaan pada saat hamil atau melahirkan untuk
fokus pada kelahiran anak-anak, dan kemudian kembali bekerja setelah anak
mereka lahir. Umumnya mereka melakukan pekerjaan paruh waktu. Sistem
ketenagakerjaan di Jepang membuat seorang wanita tidak dapat melanjutkan karir,
maupun mengambil posisi yang sama dijenjang karir perusahaan begitu mereka
meninggalkan pekerjaan untuk cuti melahirkan dan mengasuh anak (Kingston,
2013:82). Pada periode mengurus anak, banyak pekerja wanita Jepang yang
berhenti dari pekerjaannya. Menurut survei terbaru (Hewlett et al, 2011) dalam
Zhou (2013), sebanyak 74% wanita lulusan Universitas di Jepang telah
mengalami periode berhenti dari pekerjaan untuk membesarkan anak.
Dalam wawancara peneliti dengan enam mahasiswi Universitas Osaka
Jepang mengenai apakah mereka memiliki keinginan untuk menikah dan memiliki
anak, keenam informan menyatakan ingin menikah dan memiliki anak. Hina (22
tahun) menjawab ingin menikah hingga usia 30 tahun. Hina bahkan
membayangkan bahwa dia ingin memiliki satu anak laki-laki dan satu anak
perempuan (wawancara tanggal 6 April 2018). Mitani (23 tahun) juga menjawab
ingin memiliki anak dan menikah di usia 30 tahun, karena sekarang dia telah
menjalin hubungan dengan pria yang baik (wawancara tanggal 7 April 2018).
Pendapat lain diberikan oleh Airi (23 tahun) bahwa dia ingin menikah dan
memiliki anak dikarenakan takut akan kesepian jika hidup sendiri di masa tua
nantinya (wawancara tanggal 8 April 2018). Demikian juga dengan jawaban Miki
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 179 - 192
187
(22 tahun), Eiri (22 tahun), dan Nonoka (23 tahun) yang juga ingin menikah dan
memiliki anak.
Berdasarkan hasil penelitian nasional yang dilakukan pada tahun 1972-
1973 mengenai permasalahan wanita, memperlihatkan bahwa bagi wanita apa
yang menjadikan kehidupan itu paling berarti adalah “anak-anak” sebanyak
52.16%, kemudian yang kedua sebanyak 13.2% adalah “keluarga”, sedangkan
“pekerjaan” berada di urutan ketiga sebanyak 9.0%. Sebaliknya jawaban dari laki-
laki yang pertama merupakan “pekerjaan” sebanyak 43.9%. Kedua adalah “anak-
anak” sebanyak 28.8%. Kemudian yang ketiga adalah “hobi” sebanyak 15.9%
(Okamura, 1983)
Dari hasil survei di atas menunjukkan bahwa prioritas bagi seorang
wanita adalah anak-anak dan keluarga, sedangkan prioritas laki-laki adalah
pekerjaan. Oleh sebab itu, dalam kehidupan keluarga Jepang, orbit seorang istri
adalah rumah tangga dan anak-anaknya, sedangkan orbit suami adalah
pekerjaannya dan rekan kantornya (Nakane, 1973). Ikeno dalam Handayani
(2006:65) juga menyatakan bahwa bagi seorang wanita Jepang yang masih
berpikir tradisional, kebahagiaan adalah dengan berada di antara rumah dan
keluarga.
Pemikiran tradisional bahwa kebahagiaan itu adalah dengan berada di
antara rumah dan keluaga masih dianut oleh wanita muda Jepang saat ini, seperti
yang diutarakan oleh Mitani. Dalam wawancara peneliti dengan Mitani (23 tahun),
ia menjelaskan bahwa cara hidup yang paling bahagia adalah dengan menikah dan
memiliki anak. Hal tersebut diungkapkannya sebagai berikut:
“Watashi mo `iron'na ikikata ga aru, tatoeba kekkon o shitari,
dokushin de itari, pātonā toshite kurashi tari suru hito ga iru' to iu
kangaekata o motte iru. Demo sono ippō de `kekkon shite kodomo o
motsu no ga ichiban shiawaseda' to iu kangae mo motte iru.”
Jadi saya juga memiliki berbagai cara hidup, seperti pernikahan,
menjadi lajang, hidup sebagai pasangan. Namun di sisi lain, saya
memiliki pemikiran bahwa, “Saya paling bahagia dengan menikah
memiliki anak.”
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 179 - 192
188
Berdasarkan pernyataan ini, sebagai kaum muda Jepang yang hidup di era modern,
pemikiran tradisional untuk menikah dan memiliki anak masih melekat dalam diri
Mitani.
Akan tetapi, bagi wanita yang berorientasi pada karir, pernikahan
dianggap penghalang untuk mencapai tujuan professional mereka. Bagi wanita
Jepang modern, pernikahan telah menjadi beban karena harus mengorbankan
keinginan untuk berkarir demi kepentingan keluarga. Wanita pekerja Jepang yang
tidak menikah maupun melahirkan anak, dapat mencapai jabatan tertinggi setara
dengan laki-laki apabila mereka mampu (Iwao, 1993).
Matahara telah menjadi permasalahan sosial yang serius karena
perusahan maupun tempat kerja di Jepang masih menganggap bahwa wanita tidak
dapat menyeimbangkan antara pekerjaan dan urusan rumah tangga. Selain itu,
dampak matahara ini juga tidak hanya dirasakan oleh korban dari kasus matahara
itu sendiri, namun matahara juga dapat berpengaruh ke lingkungan sekitar, karena
setiap wanita memiliki potensi untuk hamil. Ketika melihat seorang wanita
mengalami kasus matahara, dapat berpengaruh pula pada wanita di sekitar yang
melihatnya. Apabila seseorang melihat pekerja wanita yang mengalami pelecehan
kehamilan di tempat kerja yang sama, ada kemungkinan menyebabkan wanita lain
mulai khawatir dengan pernikahan dan kehamilan. Dengan kata lain, matahara
bukan hanya pelecehan terhadap seorang wanita pekerja, tetapi dapat juga
menyebar sebagai pelecehan bagi karyawan wanita secara keseluruhan (dalam
www.mataharanet.org diakses pada April 2018).
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan enam informan mengenai
apakah matahara juga berpengaruh terhadap keinginan informan untuk bekerja
dan memiliki anak, berikut jawaban Hina, 22 tahun (wawancara tanggal 6 April
2018).
んー、私は恐れないかな。何回か言ったけど、もしそんな会社なら辞め
てやれって思うから、会社が悪い
“N - , watashi wa osorenai ka na. nankai ka ittakedo, moshi son'na
kaisha nara yamete yare tte omoukara, kaisha ga warui!”
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 179 - 192
189
“Hmm, Saya tidak takut. Saya sudah mengatakannya beberapa kali,
jika adalah perusahaan seperti itu, saya akan berhenti, karena saya
pikir perusahaan itu buruk.”
Mitani, 23 tahun memberikan pendapat lain (wawancara tanggal 7 April 2018)
sebagai berikut.
私の職場はマタハラはないので、心配してないです。でももし、自分の
職場でマタハラにあってる人がいたら、心配になるかもしれないね。
“Watashi no shokuba wa matahara wanainode, shinpai shi
tenaidesu. Demo moshi, jibun no shokuba de matahara ni atteru
hito ga itara, shinpai ni naru kamo shirenai ne.”
“Karena di tempat kerja saya tidak ada matahara, saya tidak
khawatir. Tapi, jika ada seseorang yang mengalami matahara di
tempat kerja saya, saya mungkin khawatir.”
Airi, 23 tahun mengatakan (wawancara tanggal 8 April 2018):
自分の会社にマタハラが無い場合、あたしは心配しない!会社がいい
対応をしてくれるなら安心できるかなぁ〜
“Jibun no kaisha ni matahara ga nai baai, atashi wa shinpai
shinai! Kaisha ga ii taiō o shite kurerunara anshin dekiru ka na.”
“Apabila di perusahaan saya tidak ada matahara, saya tidak akan
khawatir. Mungkin saya bisa tenang jika perusahaan memberikan
respon yang baik.”
Miki, 22 tahun memberikan jawaban lain (wawancara tanggal 13 April 2018):
“Shinpai, osore wa aru.”
“Ada kekhawatiran, ketakutan.”
Eiri, 22 tahun mengatakan (wawancara tanggal 14 April 2018):
“Osore wa naiga, sono shokuba ga shakai-teki ni mainasu ni mi
rareru to omō.”
“Meskipun saya tidak takut, saya berpikir bahwa tempat kerja itu
secara sosial memiliki nilai negatif.”
Nonoka, 23 tahun memberikan jawaban yang hampir sama (wawancara tanggal 15
April 2018):
“Osorenaiga, watashi wa sono yōna rikai no nai kaisha de
hatarakitakunainode taishoku suru.” “Meskipun saya tidak takut, saya akan berhenti karena saya tidak
ingin bekerja di perusahaan tanpa pemahaman seperti itu.”
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 179 - 192
190
Dari jawaban informan di atas, diketahui bahwa dua orang informan
yakni Mitani (23 tahun) dan Miki (22 tahun) merasa khawatir untuk bekerja dan
memiliki anak jika ditempat kerjanya atau orang disekitarnya mengalami
matahara. Namun, untuk saat ini Mitani tidak merasa khawatir karena di tempat
kerjanya tidak terjadi matahara. Selain Mitani, Airi juga mengatakan tidak
khawatir selama di perusahaannya tidak ada kasus matahara. Hal ini sesuai
dengan penjelasan Sayaka (2016) yaitu, masalah matahara tidak hanya dirasakan
oleh korban dari matahara itu sendiri namun membuat orang lain yang berada
disekitarnya turut merasakan kekhawatiran.
Dua orang informan lain, yaitu Hina dan Nonoka mengatakan tidak
merasa khawatir untuk memiliki anak meskipun terjadi kasus matahara di tempat
kerja. Akan tetapi, mereka berpikir akan berhenti dari tempat kerjanya jika terjadi
kasus matahara, karena menganggap bahwa perusahaan tersebut memiliki sistem
yang buruk. Eiri memberikan jawaban yang sedikit berbeda, dirinya tidak merasa
takut untuk bekerja dan memiliki anak. Namun tetap berpikir bahwa tempat kerja
itu secara sosial memiliki nilai negatif.
Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswi sebagai kaum muda Jepang
masih memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki anak meskipun terjadi
matahara di tempat kerja di Jepang. Hina juga menambahkan, jika dia dihadapkan
pada pilihan antara bekerja dan mengasuh anak, dia lebih mengutamakan
mengasuh anak. Hina beralasan bahwa hanya ada satu momen dalam hidup ketika
anak berusia 0 tahun, sedangkan jika bekerja dapat dilakukan kapan saja dan
dimana saja. Hal ini juga berarti bahwa Hina masih memiliki kesadaran akan
pentingnya mengasuh anak.
4. Simpulan
Kasus matahara secara langsung tidak sepenuhnya berpengaruh pada
keinginan mahasiswi untuk bekerja dan memiliki anak. Hal ini disebabkan karena
wanita muda Jepang masih memiliki pemikiran tradisional untuk menikah dan
memiliki anak. Akan tetapi, rasa khawatir baru timbul apabila di tempat karja
mereka nantinya terjadi kasus matahara terhadap rekan kerja maupun orang-orang
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 179 - 192
191
di sekitar mereka. Hal ini dinyatakan oleh Mitani dan Miki. Sisanya, empat orang
tidak merasa khawatir. Menurut mereka, jika dihadapkan pada sistem perusahaan
yang buruk, mereka langsung memilih untuk berhenti dari tempat kerja atau
perusahaan seperti itu.
Daftar Pustaka
Anjelia, Yasinta Melinda. 2018. “Analisis Kasus Sekuhara Verbal Yang Dialami
Oleh Anggota Parlemen Ayaka Shiomura Dalam Surat Kabar Online
Mainichi Shinbun dan The Japan Times”. Skripsi. Surabaya: Universitas
Airlangga
Elsy, Putri. 2015. Kumpulan Materi: Nihon Shakai Nyumon. Surabaya: Nihon
Kenkyuu Gakka Universitas Airlangga.
Global 3000. 2017. “Maternity Harassment in Japan”, (online), dalam
(http://www.dw.com/en/maternity-harassment-in-japan/av-19525538
02.01.2017) diakses pada Oktober 2018
Handayani, W. 2006. Psikologi Keluarga. Jakarta: Pustaka Utama
Hiromi, Sugiura. 2009. 働く女性とマタニティ・ハラスメント (Hataraku Josei to
Maternity Harassment). Japan : Otsuki Shoten Publishers.
Iwao, Sumiko. (1993). The Japanese Woman: Traditional Image and Changing
Reality. London: The Free Press, A Division of Macmillan, Inc
Kingston, Jeff. 2013. Contemporary Japan: History, Politics, and Social Change
Since The 1980s. Singapore : Wiley-Blackwell.
Matahara-Net. (online), dalam (http://www.mataharanet.org/) diakses pada April
2018
Morita, Shigeyuki. 1985. “Family of jacobian manifolds and characteristic classes
of surface bundles, II.” Proc. Japan Acad. Ser. A Math. Sci. 61 (4) 112-
115.
Nakane, Chie. 1970. Japanese Society. Berkley: University of California Press.
Okamura, Masu. 1983. Peranan Wanita Jepang. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
JAPANOLOGY, VOL. 6, NO. 2, MARET – AGUSTUS 2018 : 179 - 192
192
Pinem, S. 2009. Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi, Jakarta: Trans Info
Reuters, Thomson. 2015. “Survey Shows Maternity Harassment Still a Problem at
Workplace”, (online), dalam
(https://japantoday.com/category/national/survey-shows-maternity-
harassment-still-a-problem-at-workplace) diakses pada September 2017.
Sayaka, Osakabe. 2016. マタハラ問題 (Matahara Mondai). Japan : Chikuma
Shinsho, 2016.
Silalahi, Gabriel Amin. 2003. Metodologi Penelitian dan Studi Kasus. Sidoarjo:
CV Citramedia.
Sujarweni, V. Wiratna. 2014. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.
Toshiaki, Tachibana. 2010. The New Paradox for Japanese Women: Greater
Choice Greater Inequality. Japan: International House of Japan, Inc.
Yamanaka. 2016. “就労女性のマタニティハラスメントに関する新聞記事調査(Survey
of newspaper articles on maternity harassment of women in
the labor force).” 母性衛星, 57 (2): 349-356
Zhou, Yanfei. 2013. “Career Interruption of Japanese Women: Why Is It So Hard
to Balance Work and Childcare?”,
The Japan Institute for Labour Policy and Training.