masalah hukum pada kelapa sawit

23
Persyaratan untuk Membuka Perkebunan Kecil Dokumen hukum apa saja yang saya perlukan untuk membuka perkebunan kecil? Terima kasih. WIZARD654ZZZ Jawaban: IRMA GUSMAYANTI S.H. Sebelum menjelaskan mengenai dokumen apa saja yang diperlukan dalam rangka membuka usaha perkebunan kecil, saya akan memulai penjelasan dari pelaku usaha perkebunan terlebih dahulu. Pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan. Pekebun adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu sedangkan Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu. Adapun yang dimaksud dengan skala tertentu adalah skala usaha perkebunan yang didasarkan pada luasan lahan usaha, jenis tanaman, teknologi, tenaga kerja, modal, dan/atau kapasitas pabrik yang diwajibkan memiliki izin usaha. (Pasal 1 angka 7 UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan )

Upload: anindito-w-wicaksono

Post on 14-Sep-2015

251 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

palm oil

TRANSCRIPT

Persyaratan untuk Membuka Perkebunan KecilDokumen hukum apa saja yang saya perlukan untuk membuka perkebunan kecil? Terima kasih.WIZARD654ZZZ Jawaban:IRMA GUSMAYANTI S.H.

Sebelum menjelaskan mengenai dokumen apa saja yang diperlukan dalam rangka membuka usaha perkebunan kecil, saya akan memulai penjelasan dari pelaku usaha perkebunan terlebih dahulu. Pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan. Pekebun adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu sedangkan Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu. Adapun yang dimaksud dengan skala tertentu adalah skala usaha perkebunan yang didasarkan pada luasan lahan usaha, jenis tanaman, teknologi, tenaga kerja, modal, dan/atau kapasitas pabrik yang diwajibkan memiliki izin usaha. (Pasal 1 angka 7 UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan) Terkait luas lahan usaha, pada prinsipnya terdapat tiga kategori usaha perkebunan yaitu besar, sedang dan kecil. Luas lahan perkebunan selanjutnya juga didasarkan kepada jenis tanaman yang ditanam. Sebagaimana pertanyaan saudara mengenai usaha perkebunan kecil (walaupun saudara tidak menjabarkan jenis tanaman yang ditanam) maka saya akan mencontohkannya. Untuk kelapa, karet dan kako maka luas lahannya yaitu 25 s/d 50 Ha sedangkan Kelapa sawit 25 s/d 100 Ha. Berlanjut kepada jenis usaha perkebunan, terdapat tiga jenis usaha perkebunan, yang terdiri atas usaha budidaya tanaman perkebunan, usaha industri pengolahan hasil perkebunan dan usaha perkebunan yang terintegrasi antara budidaya dengan industri pengolahan hasil. Demikian diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian No: 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan (Permentan 98/2013). Lebih lanjut Permentan 98/2013 mengatur:- Perkebunan dengan luas 25 (dua puluh lima) hektar atau lebih wajib memiliki Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B).(Pasal 8 ).- Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan kelapa sawit, teh dan tebu dengan kapasitas sama atau melebihi kapasitas paling rendah unit pengolahan hasil perkebunan wajib memiliki Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P). (Pasal 9)- Usaha Budidaya Tanaman kelapa sawit dengan luas 1.000 hektar atau lebih, teh dengan luas 240 hektar atau lebih, dan tebu dengan luas 2.000 hektar atau lebih, wajib terintegrasi dalam hubungan dengan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan dan Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan yang terintegrasi dengan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan wajib memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP). (Pasal 10) Sebelum mengurus IUP-B, IUP-P dan IUP, Perusahaan Perkebunan wajib memiliki Hak Guna Usaha. Berdasarkan Pasal 28 dan Pasal 29Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) juncto Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 atau 35 tahun, yang bila diperlukan masih dapat diperpanjang lagi 25 tahun, guna usaha pertanian, perkebunan, perikanan atau peternakan, dengan luas paling sedikit 5 ha. Untuk memperoleh IUP-B, Perusahaan Perkebunan mengajukan permohonan secara tertulis dan bermeterai cukup kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan wilayah lokasi kebunnya, dilengkapi persyaratan sebagai berikut: (Pasal 21 Permentan 98/2013)a) Profil Perusahaan meliputi Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, komposisi kepemilikan saham, susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan;b) Nomor Pokok Wajib Pajak;c) Surat Izin Tempat Usaha;d) Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan kabupaten/kota dari bupati/walikota untuk IUP-B yang diterbitkan oleh gubernur;e) Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan Provinsi dari gubernur untuk IUP-B yang diterbitkan oleh bupati/walikota;f) Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta digital calon lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000 (cetak peta dan file elektronik) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak terdapat izin yang diberikan pada pihak lain;g) Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari dinas yang membidangi kehutanan, apabila areal yang diminta berasal dari kawasan hutan;h) Rencana kerja pembangunan kebun termasuk rencana fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, rencana tempat hasil produksi akan diolah;i) Izin Lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;j) Pernyataan kesanggupan:1. memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT);2. memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pembukaan lahan tanpa bakar serta pengendalian kebakaran;3. memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar yang dilengkapi dengan rencana kerja dan rencana pembiayaan; dan4. melaksanakan kemitraan dengan Pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar perkebunan;k) Surat Pernyataan dari Pemohon bahwa status Perusahaan Perkebunan sebagai usaha mandiri atau bagian dari Kelompok (Group) Perusahaan Perkebunan belum menguasai lahan melebihi batas paling luas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 17 Permentan 98/2013. Untuk memperoleh IUP-P, Perusahaan Perkebunan mengajukan permohonan secara tertulis dan bermeterai cukup kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan wilayah lokasi kebun, dilengkapi persyaratan sebagai berikut: (Pasal 22 Permentan 98/2013).a) Profil Perusahaan meliputi Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, komposisi kepemilikan saham, susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan;b) Nomor Pokok Wajib Pajak;c) Surat Izin Tempat Usaha;d) Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan kabupaten/kota dari bupati/walikota untuk IUP-P yang diterbitkan oleh gubernur;e) Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan Provinsi dari gubernur untuk IUP-P yang diterbitkan oleh bupati/walikota;f) Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta digital calon lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000, dalam cetak peta dan file elektronik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak terdapat izin yang diberikan pada pihak lain, kecuali lokasi yang diusulkan untuk pendirian industri pengolahan hasil perkebunan;g) Jaminan pasokan bahan baku Rencana kerja pembangunan usaha industri pengolahan hasil perkebunan;h) Izin Lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;i) Pernyataan kesediaan untuk melakukan kemitraan Untuk memperoleh IUP, Perusahaan Perkebunan mengajukan permohonan secara tertulis dan bermeterai cukup kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan wilayah lokasi kebun, dilengkapi persyaratan sebagai berikut: (Pasal 23 Permentan 98/2013).a) Profil Perusahaan meliputi Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, komposisi kepemilikan saham, susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan;b) Nomor Pokok Wajib Pajak;c) Surat Izin Tempat Usaha;d) Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan kabupaten/kota dari bupati/walikota untuk IUP yang diterbitkan oleh gubernur;e) Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan Provinsi dari gubernur untuk IUP yang diterbitkan oleh bupati/walikota;f) Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta digital calon lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000 (cetak peta dan file elektronik) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak terdapat izin yang diberikan pada pihak lain;g) Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari dinas yang membidangi kehutanan, apabila areal yang diminta berasal dari kawasan hutan;h) Jaminan pasokan bahan bakui) Rencana kerja pembangunan kebun dan unit pengolahan hasil perkebunan termasuk rencana fasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar;j) Izin Lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;k) Pernyataan kesanggupan:1. memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT);2. memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pembukaan lahan tanpa bakar serta pengendalian kebakaran;3. memfasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar sesuai Pasal 15 yang dilengkapi dengan rencana kerja dan rencana pembiayaan; dan4. melaksanakan kemitraan dengan Pekebun, karyawan dan Masyarakat Sekitar perkebunan.l) Surat Pernyataan dari Pemohon bahwa status Perusahaan Perkebunan sebagai usaha mandiri atau bagian dari Kelompok (Group) Perusahaan Perkebunan belum menguasai lahan melebihi batas paling luas berdasarkan jenis tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Peraturan Menteri Pertanian No: 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat. Dasar hukum :1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah;4. Peraturan Menteri Pertanian No: 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

ejalan dengan nilai-nilai sosial yang berubah ditengah masyarakat, terdapat perubahan besar dalam melihat hubungan antara organisasi bisnis dengan community. Pandangan awal memposisikan organisasi bisnis terpisah dari community sebagai lingkungan sosialnya. Dengan sendirinya perusahaan hanya fokus pada pencapaian keuntungan semata. Sedang community dipandang telah mendapatkan manfaat berupa ketersedian barang dan jasa yang diproduksi organisasi bisnis.Tapi saat ini mulai ada kesadaran terpaksa dan suka rela - dari organisasi bisnis untuk dapat tumbuh bersama community disekitarnya dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang sifatnya, philantrofy, charity, eksidental maupun terorgansir untuk mengatasi masalah sosial di tengah community. Kegiatan sosial yang dilakukan organisasi bisnis identik dengan istilah CSR (Corporate Social Responsibility).Pada aspek tertentu CSR yang dilaksanakan organisasi bisnis, memiliki kesamaan dengan konsep bersedekah dalam nilai agama Islam. Dalam nilai agama Islam, jika seseorang bersedekah, diyakini akan dikembalikan dalam bentuk lain oleh Allah kepada yang bersangkutan dengan bentuk, waktu dan cara tak terduga. Atau dengan apa yang dikenal dengan kekuatan Miracle of Giving sebagaimana dipopulerkan Ustad Mansyur. Begitu juga dengan CSR yang dilakukan organisasi bisnis, manfaatnya akan kembali pada organisasi bisnis, dalam bentuklicense to operate , human resources, brand differentiation, risk management . Tentu saja pada keduanya manfaat yang diterima tidak terjadi begitu saja, tidaklah instan dan terdapat prayarat tertentu untuk memperolehnya. Dalam bersedekah keikhlasan menjadi prasyarat utama, sedangkan dalam CSR, metode, pendekatan yang tepat dan dilakukan secara professional merupakan prasyarat bagi keberhasilan kegiatan CSR.Salah satu bentuk CSR tersebut adalah community relation. Diantara sekian model community relation yang ada, sepertinya kecenderungan pengembangan dan penerapan model hubungan kemitraan (partnership) antara organisasi bisnis dengan community perlu mendapat perhatian. Selain secara konseptual cukup menarik, karena berusaha meminimalkan kutub kontinum diantara keduanya berupa adanya kesetaraan hubungan, juga secara praktikal perlu mendapat telaah.Dari sisi praktikal, pengembangan ataupun penerapan model kemitraan, mempunyai konsekuensi yang tidak ditemukan pada penerapan model sebelumnya yang lebih bersifat karikatif, dan eksidental. Disini organisasi bisnis akan terlibat lebih intens dengan permasalahan sosial ditingkat operasional bisnis bersama masyarakat dengan segala dinamikanya. Dengan demikan, perubahan ini tentunya memprasyaratkan budaya organisasi dan mekanisme kerja yang jauh berbeda dari pola terdahulu yang diterapkan organisasi bisnis.Pengalaman lapangan, terutama dalam penerapan model kemitraan di perkebunan kelapa sawit memperlihatkan bagaimana pesan kesetaraan hubungan diantara perusahaan dengan community yang diwakili Lembaga Koperasi masih jauh dari nyata. Kedua belah pihak seperti mengalami kesulitan dalam menerjemahkan dan menerapkan model kemitraan dalam setiap tahapan pembangunan kebun kelapa sawit . Kesulitan itu bersumber dari pengetahuan, budaya organisasi dan nilai serta budaya kerja yang berbeda diantara keduanya. Selebihnya bersumber dari dinamika internal perusahaan dan politik tingkat desa menyangkut juga euforia kebebasan yang juga dirasakan pada community lokal / desa mitra perusahaan.Sebagaimana diatas, saya sendiri cenderung melihat bahwa ketidaksetaraan dalam praktek kemitraan pembangunan kebun kelapa sawit dari perpektif pelaku ataupun pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Pasca pembangunan kebun kelapa sawit dengan Pola Inti Rakyat, KPPA, ataupun kebun inti perusahaan, pola kemitraan merupakan model baru bagi perusahaan maupun para planter.Perusahaan dan planter yang sudah terbiasa dengan pola kerja pada kebun Inti secara nilai dan budaya memiliki soal dalam transisi perubahan ini. Pada model sebelumnya hanya berurusan tunggal dengan persoalan internal organisasi bisnis dan agronomi plantation yang cenderung bisa di kalkulasi secara matematis.Sedangkan pola kemitraan memasukan instrument baru dalam budaya kerja Plantation, yakni adanya organisasi lain (koperasi petani) yang juga memberi pengaruh pada tahapan pembangunan kebun. Masyarakat melalui lembaga Koperasi secara hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari keberadaan kerjasama kebun kemitraan. Masyarakat Desa melalui Koperasi merupakan pemilik lahan yang dimitrakan kemudian dikelola oleh perusahaan. Dengan arti lain, masyarakat dengan Koperasinya merupakan pemilik sebagian saham perusahaan, yang aspirasi menjadi satu rangkaian dengan perusahaan.Pada praktek pembangunan perkebunan sebelumnya, baik perusahaan maupun Planter cenderung memiliki batasan atau tidak terhubung secara sukarela dengan komunitas sekitarnya. Maka dengan dasar itu para Planter pada praktek kebun kemitraan sering merasa direpotkan dengan isu-isu kemitraan dan masalah sosial turunannya dari pada urusan agronomi. Para Planter dengan latar belakang kebun inti, sering berpendapat perusahaan bukanlah yayasan sosial yang harus direpotkan dengan segala permintaan masyarakat desa dalam tahapan pembangunan kebun. Mereka memandang model kemitraan merupakan hambatan bagi pembangunan kebun, karena dari sudut pandang Planter pembangunan kebun bermula pada rumus awal yakni jumlah pokok tertanam. Dan dengan dasar itu maka kinerja seorang planter akan didasarkan pada efensiensi kalkulasi matematis antara luasan lahan (pokok) tertanam dengan sumber (tenaga kerja) yang dikeluarkan. Artinya juga planter sangat dikejar oleh target luasan pembangunan kebun. Menurutnya dalam jangka panjang rumusan awal inilah yang menjadi dasar keberlanjutan sebuah plantation, tidak terkecuali dengan model kemitraan.Dari sisi masyarakat, ketidaksetaraan hubungan diantara keduanya bersumber dari dinamika internal didalam masyarakat desa, terutama didalam koperasi petani terkait partisipasi dan transparansi kelembagaan. Hal ini juga menyangkut isu kepemimpinan dan demokratisasi di tingkat lokal . Ketika persoalan pada level individu dan kelembagaan lokal __menyangkut proses kemitraan _ dibawa pada level diluarnya yakni perusahaan, semua terbentur kembali pada soal mekanisme internal di perusahaan yang sering kali sulit dipahami oleh koperasi secara kelembagaan, atau katakanlah oleh orang desa mitra. Orang desa mitra cenderung menginginkan hasil yang cepat bila perlu saat itu juga-, sementara pihak perusahaan lebih pada prosedural dan bertingkat. Dan terkadang bagi individu/orang desa mitra, persoalannya menjadi kompleks manakala ketidaksetaraan dalam relasi kemitraan dikaitkan dengan keberadaan kelembagaan ditingkat desa. Dimana praktek politik uang menjadi bagian inheren dari persoalan relasi perusahaan dengan kepemimpinan kelembagaan desa.Akibatnya muncullah ketidakpercayaan terhadap lembaga desa baik itu Kepala Desa maupun koperasi. Akhirnya individu ataupun kelompok-kelompok kecil masyarakat, bertindak dengan jalannya sendiri. Secara sepihak kelompok ini akan melakukan hal-hal yang menganggu proses pembangunan kebun. Biasanya dilakukan dengan demontrasi ke kantor kebun dan regent di pusat Kabupaten, memortal akses jalan kebun, atau melakukan klaim lahan sehingga operasional kebun terganggu. Jalan seperti inilah yang pada akhirnya ditempuh masyarakat untuk mengupayakan kesetaraan hubungan sebagaimana yang dipersepsikannya. Apabila ini terjadi sebenarnya kedua pihak berada pada posisi sama-sama dirugikan, karena proses dan pengelolaan kebun terhenti.Peran Hubungan Masyarakat dan Community DevelopmentAdanya gab nilai dan budaya kerja diantara perusahaan dan koperasi diatas, sebenarnya sedikit banyak telah di eliminir dengan peran divisi hubungan masyarakat ataupun community development yang menjadi bagian dari organisasi perusahaan. Sayangnya terkadang peran itu tidak maksimal dilakukan, selain terbatasnya sumber daya hubungan masyarakat yang benar-benar peka terhadap permasalahan sosial yang dihadapi bersama perusahaan dan masyarakat, perannya juga seakan terbatasi dengan sensitifitas kaitannya dengan cultur plantationsebagaimana disampaikan diatas dan bertingkatnya mekanisme pengambilan keputusan ditingkat perusahaan .Sedangkan divisi Community Development sendiri cenderung menyerupai divisi hubungan masyarakat ataupun legal yang lebih banyak berkegiatan dalam bentuk penyelesaian konflik, administrasi kemitraan, dan hal-hal lain yang bersifat hubungan masyarakat, karikatif dan eksidental. Dalam hal ini pihak perusahaan sendiri berkeyakinan pelaksanaan kegiatan community development dilaksanakan bertahap sesuai perkembangan perusahaan. Dalam konteks ini community development sesungguhnya akan dilakukan pasca kebun kelapa sawit berproduksi. Artinya perusahaan mengklaim bahwa yang dilakukan dengan model kemitraan telah benar secara konseptual dan praktek community relation itu sendiri.Sementara pada sisi lain masyarakat menginginkan perusahaan dapat berbuat lebih dari sekedar model kemitraan itu saja. Masyarakat menginginkan pemberdayaan yang dirasakan saat itu juga dan meningkatkan ekonomi keluarga sebelum kebun kemitraan menghasilkan . Tentunya untuk ini perusahaan melalui divisi community development perlu melakukan proses assessment terlebih dahulu.Tapi pertanyaan besar sebenarnya dari isu community relation, apapun itu modelnya adalah seberapa dalam perusahaan bersedia terlibat pada permasalahan sosial baik yang berdimensi konflik maupun kemanusian ditingkat community? Dan yang tak kalah penting adalah seberapa significant proses demokratisasi di tingkat lokal memberi pengaruh pada tingkat partisipasi dan tranparansi kelembagaan publik di desa terutama terkait relasi keduanya dalam proses kemitraan . Karena tanpa dasar itu, kemitraan hanya akan jadi sebuah kisah kasih yang tak sampai.. Penjelasan lebih jauh lihat Iriantara, Yosal Community Relation Konsep dan Aplikasinya 2007 Simbiosa Rekatama Media.Lebih lanjut lihat Imam Suyudi CSR dan Kepudulian Perusahaanwww.kompasiana.com 10 Mei 2011. Pembahasan berangkat dari pengalaman bekerja di perkebunan kelapa sawit kemitraan selama 3,5 tahun di 2 (dua) perusahaan yang berbeda di Provinsi Jambi.. Kesetaraan hubungan ini paling tidak menyangkut dua kata kunci, Pertama : Partisipasi lembaga Koperasi dalam setiap tahapan pembangunan kebun dan produksi. Kedua : Transparansi dari perusahaan menyangkut tahapan dan penggelolaan sumber daya kebun kelapa sawit. Kedua prinsip ini tidak saja menyangkut hubungan antara perusahan dengan koperasi, melainkan juga Koperasi dengan anggotanya..Kemitraan pembangunan kebun kelapa sawit, secara umum berarti kerjasama pembangunan kebun kelapa sawit antara organisasi bisnis (perusahaan) dengan masyarakat, dalam hal ini di refresentasikan dengan Lembaga Koperasi. Keduanya berbadan hukum. Perusahaan biasanya menginvestasikan kapital uang dan tenaga ahli dalam pembangunan kebun, sementara masyarakat menyediakan lahannya untuk di kerjasamakan/ dimitrakan dalam pembangunan kebun. Mencakup 2 (dua) kategori kepemilikan lahan yang dimitrakan : 1) Ulayat Desa , 2). Individu. Pola kerjasamanya sangat variatif, tergantung proposal perusahaan dan kesepakatan diantara keduanya, ada pola bagi hasil, pola bagi lahan dengan ketentuan 70 :30, 60:40 , sampai 50 :50 . Setelah melakukan kerjasama dan sah secara hukum, pihak perusahaan biasanya akan mengajukan pinjaman modal bagi kelanjutan pembiayaan pembangunan kebun kepada pihak bank dengan jaminan areal kebun yang telah disertifikat Hak Gunakan Usaha (HGU) kan. Pihak Petani (Koperasi) kemudian mencicil pembiayaan pembangunan kebun kepada perusahaan dari hasil perolehan panen kebun kelapa sawit yang dikelola pihak perusahaan. Mekanismenya kemudian di sepakati bersama secara kelembagaan.. Staff / pekerja plantation sering disebut sebagai Planter. Permasalahan sosial dalam kontek perkebunan kelapa sawit, sangat terkait dengan dimensi konflik didalamnya, diantaranya, agraria, akumulasi modal, dan premanism berupa pungutan liar baik yang dilakukan warga sipil maupun oknum pegawai negeri sipil.. Pihak perusahaan mempunyai kepentingan besar terhadap politik desa dan kepemimpinan pada tingkat lokal. Ada simbiosis mutualismedalam relasi keduanya. Unit analisisnya dapat dilihat, dari keterlibatan (keberpihakan) perusahaan secara diam-diam terhadap salah satu calon Kepala Desa pada saat Pemilihan Kepala Desa. Perusahaan sering memanfaat Kepala Desa untuk kepentingan legitimasi atas kekuasaan dan administrasi tahapan pembangunan kebun. Artinya dibutuhkan Kepala Desa yang koperatif dari sudut pandang perusahaan. Sebaliknya Kepala Desa seringkali menjadikan perusahaan sebagai sumber pendapatan : dana koordinasi perbulan, maupun kepentingan proyek pengadaan barang dan jasa selama pembangunan kebun berlangsung. Kecenderungan seperti ini juga ditemui di kelembagaan koperasi petani.. Mekanisme pengambilan keputusan di tingkat kebun, 1). Estate Kebun, 2).Kantor Regent, 3). Kantor Pusat-Jakarta. Sebagai contoh, pada sebuah perusahaan sebuah estate kebun atas persetujuan Kantor Regent hanya memiliki kewenangan mencairkan bantuan sosial ataupun menyangkut persoalan sosial maksimal Rp.500.000, lebih dari itu kewenangannya berada pada kewenangan Kantor Pusat. Sehingga pada kasus-kasus tertentu yang urgen dan mendesak terkadang planter dan humas mensiasatinya dengan memainkan jumlah upah Harian Kerja (HK) karyawan, dan memanfaatkannya sebagai bantuan sosial ataupun kelancaran operasional kebun. Akibatnya bisa dipastikan biaya pembangunan kebun akan membengkak jika banyak terjadi masalah sosial ditingkat operasional kebun.. Terdapat dua model lain pelaksanaan kegiatan Community Development Plantation. 1). Dengan mendirikan yayasan diluar perusahaan seperti di lakukan PT. Asian Agri dengan membentuk Tanoto Foundation, Sinar Mas dengan Eka Tjipta Foundation . Pada dasarnya keduanya adalah philantropi pribadi si pemilik perusahaan namun implementasinya jadi beragam murni filantropi,, charity dan pemberdayaan melalui foundation yang didirikan. Pencitraannya jauh lebih kuat ketimbang dilakukan perusahaan sendiri. 2). Bekerjasama dengan pihak ketiga kaum Profesional / NGO.Gregory (dalam Iriantara 2007), kegiatan community development, yang disebutnya dengan tanggung jawab korporat atau community relation dilakukan pada tahap kedewasaan. Gregory membagi tahap perkembangan organisasi menjadi 4 tahapan; kelahiran, pertumbuhan, kedewasaan dan kejatuhan.Masa sebelum menghasilkan (panen), yakni 49 bulan pasca pokok tertanam merupakan masa rawan bagi petani dan ide besar kemitraan untuk tumbuh bersama masyarakat. Petani seringkali karena tidak sabar menunggu hasil dalam kurun waktu usia panen terhadap tanah yang dijanjikan akan melepas masyarakat dari kemiskinan. Karena tidak sabar dan didorong oleh kebutuhan hedonis, petanipun menjual kapling-kapling kebunnya kepada pihak luar. Efeknya petani lokal akan menjadi penonton dan menerima rembesan masalah dari proses kemitraan itu sendiri. Tapi bagi yang sedikit lebih berpikir kedepan, dan tidak percaya terhadap proses kemitraan, mereka ini akan memanfaatkan hasil penjualan kapling kebun kemitraannya, dengan membangun dan menggelola kebun kelapa sawit secara mandiri, sehingga ada rasa kepuasan, sekaligus mengurangi resiko dibohongi perusahaan selama proses kemitraan berlangsung.http://www.kompasiana.com/juanfrans77/kemitraan-pembangunan-kebun-kelapa-sawit_5512c91ca33311a163ba7d41

Analisis Suatu Kasus Persengketaan Tanah dari sudut HukumANALISIS SENGETA TANAH DARI SEGI HUKUMKasus: Warga Tuntut Penyelesaian Sengketa Tanah Bumi FloraOLEH: RINA - 25/01/2010 - 13:41 WIBBANDA ACEH | ACEHKITA.COM Warga di sekitar lokasi PT Bumi Flora di Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur, kembali mendatangi kantor DPR Aceh, guna menuntut penyelesaian sengketa tanah antara warga dan perusahan perkebunan tersebut. Pemerintah dinilai tidak serius menangani kasus ini. Kami menpertanyakan hasil kerja tim yang pernah dibentuk oleh anggota DPRA sebelumnya, sekaligus mempertanyakan hasil kerja tim yang dibentuk Gubernur atas kasus penyerobotan tanah kami oleh PT Bumi Flora kata Tengku Idris A Manaf, kordinator warga Banda Alam, di Banda Aceh, Senin, (25/1). Menurut Idris, PT Bumi Flora sejak tahun 1990 telah menyerobot lahan perkebunan warga seluas 3.400 hektar, dan memasukannya dalam kawasan perkebunan tersebut. Warga telah berulang kali melaporkan kasus ini kepada pemerintah Aceh Timur dan juga kepada pemerintah Aceh. Bupati Aceh Timur pernah berjanji untuk mengganti lahan baru bagi kami, tapi lahan yang dijanjikan itu juga sudah menjadi pemukiman warga lainnya. Kami meminta pemerintah serius menyelesaikan sengketa tanah ini, sebutnya. Dia menyebutkan, warga menuntut agar pemerintah meninjau kembali pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahan perkebunan itu. Warga juga berharap perusahaan tersebut dapat mengembalikan tanah mereka atau membayar ganti rugi. Memang kami tidak memiliki sertifikat hak milik atas tanah itu, tetapi tanah itu sudah kami garap sebelum PT Bumi Flora ada. Gubernur Syamsuddin Mahmud waktu itu juga telah meminta Bumi Flora untuk tidak menyerobot tanah garapan masyarakat, ujarnya. Selain itu warga juga berharap DPR Aceh periode kali ini dapat menyelesaikan kasus penyerobotan lahan ini dengan tuntas. Mereka juga berharap Gubernur Aceh lebih serius dalam menyelesaikan kasus tersebut. Tim bentukan Gubenur untuk menyelesaikan kasus Bumi Flora diketuai Kepala Satpol PP Drs Marzuki. Kita meminta kepastian sejauh mana sudah tim itu bekerja. Kami sudah capek mengadu ke sana-kemari, keluhnya.POKOK PERMASALAHANDalam kasus diatas yaitu menyoroti tentang suatu perusaan yakni PT Bumi Flora yang sejak tahun 1990 telah menyerobot lahan perkebunan warga seluas 3.400 hektar, dan memasukannya dalam kawasan perkebunannya. Dan objek tanah yang dimilki warga Banda Alam adalah tanah yang belum terdaftar/ belum didaftarkan oleh warga setempat, namun eksistensinya diakui oleh warga setempat bahwa lahan itu adalah milik warga Banda Alam. Dalam kasus ini juga dikemukakan bawha warga Banda Alam tersebut telah berulang kali melaporkan kasus ini kepada pemerintah daerah Aceh Timur dan juga kepada pemerintah Aceh. Bupati Aceh Timur yang bersangkutan pernah menjanjikan akan memberikan lahan baru bagi warga Banda Alam tersebut, namun pada kenyataannya lahan baru tersebut telah diberikan kepada warga setempat lainnya, sehingga benar-benar tidak ada ganti rugi secara konkrit dari pihak PT Bumi Flora dan juga dari Bupati Aceh Timur. Warga Banda Alam sudah berkali-kali complain atas kasus ini namum penanganannya tidak berjalan dengan baik dan tidaklah sesuai dengan keadilan yang dirasa oleh masyarakat warga Banda Alam.ANALISIS KASUSSubjek :a. PT Bumi Florab. Warga Banda Alam ( warga yang bermukim di Banda Aceh )c. Pemerintah Aceh Timur yang diwakili oleh Bupati Aceh Timurd. Pemerintah AcehPeristiwa Hukum:Persengketaan tanah antara PT Bumi Flora yang menjadikan lahan masyarakat warga Banda Alam sebagai lahan perkebunan yang dilandaskan oleh Hak Guna Usaha yang dimiliki oleh PT Bumi Flora tersebut. Tanah tersebut sudah lama digarap oleh warga Banda Alam dan diakui sebagai milik mereka, namun warga Banda Alam belumlah memiliki sertifikat Hak Milik yang sebagai landasan kepemilikan tanah tersebut, tetapi tanah tersebut telah diakui bersama sebagai kepunyaan desa tersebut dan disepakati bahwa itu adalah tanah yang diduduki oleh Warga Banda Alam.Objek:Tanah tempat pemukiman warga Banda AlamTonggak awal permasalahan dalam kasus ini adalah tanah yang dihuni oleh masyarakat Banda Alam sebesar 3.400 hektar diambil alih oleh PT Bumi Flora sejak tahun 1990 hingga sekarang. Tanah tersebut dibeli oleh PT Bumi Flora melalui Pemerintah Banda Timur. Namun sebenarnya, tanah tersebut adalah tanah tempat bermukim/bertempat tinggal para warga dan tempat warga Banda Alam dalam menggarap dan mencari mata pencaharian. Namun demikian karena PT Bumi Flora merasa telah memiliki Hak Guna Bangunan diatas lahan tersebut, maka lahan itu diambil dan dipergunakan untuk perkebunan yang diusahakan oleh PT Bumi Flora, tanpa melihat kepentingan dan kedudukan rakyat atas tanah tersebut. Hal itu memicu kemarahan warga karena merasa terganggu lahannya akibat adanya ijin dari pemerintah daerah bagi PT Bumi Flora tersebut untuk membangun suatu usaha perkebunan diatasnya. Namun ada satu kendala pula pada masyarakat Banda Ala mini karena mereka tidak memiliki sertifikat hak milik atas tanah itu sendiri, namun menurut pengakuan seluruh warga setempat, tanah tersebut adalah tanah mereka yang sudah dimiliki bertahun-tahun dan turun temurun sehingga menyerupai hak milik, walaupun secara juridis belumlah memiliki bukti yang kuat. Hal ini dapat dikategorikan seperti atau menyerupai Tanah Adat, karena adanya pengakuan penuh atas warga akan tanah tersebut dan eksistensinya masih ada akan kepemilikan tanah tersebut pada warga yang bersangkutan.Namun dari sudut lain, PT Bumi Flora telah mendapatkan izin atas Hak Guna Usaha dari pemerintah daerah setempat sehingga kedudukannya menjadi sangat kuat karena telah memiliki bukti yuridis ( Tanah yang telah terdaftar), sedangkan lawannya adalah warga Banda Alam yang tanpa bukti kuat yuridis yang menyertainya (Tanah belum terdaftar). Warga setempat sudah mencoba complainberkali-kali kepada Pemerintah Aceh Timur yang ditangani langsung oleh Bupati Aceh Timur namun hal itu diabaikan oleh Pemerintah daerah yang bersangkutan. Bupati Timur juga telah menjanjikan akan penggantian tanah / lahan baru bagi warga Banda Alam namun ternyata tapi lahan yang dijanjikan itu juga sudah menjadi pemukiman warga lainnya. Kemelut konflik ini telah berlangsung cukup lama hingga warga melaporkannya ke DPRD Aceh untuk penyelesaian kasus ini secara jelas dan tidak berlarut-larut lagi agar hak-hak dari warga Banda Alam tidak terabaikan.DASAR HUKUMMengenai objek tanah ini hak yang melekat atasnya adalah Hak Guna Usaha dari PT Bumi Flora, pengertian Hak Guna Usaha itu sendiri menurut UUPA Pasal 28 adalah hak untuk mengusahakan tanah bagi perusahaan, dan tanah tersebut dikuasai langsung oleh Negara, penggunaan tanah ini jangka waktu tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29, dan Hak Guna Usaha ini digunakan sebagai usaha perusahaan dibidang pertanian, perikanan ataupun peternakan. Sedangkan mengenai hapusnya HGU ini diatur dalam Pasal 34 UUPA.Menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan umum diubah dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 menjadi sebagai berikut yang terkait dengan kepentingan umum. Isi dari Pasal 1 ayat (3) Perpres No. 65 Tahun 2006 adalah Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.Sehingga jika dikaitkan dengan kasus diatas adalah sudah selayaknya karena pengadaan tanah bagi PT Bumi Flora tersebut seharusnya memberikan ganti rugi kepada warga Banda Alam yang bersangkutan, tetapi ganti rugi sama sekali tidak diberikan kepada warga yang bersangkutan atas tanah belum terdaftar miliknya.Dalam Pasal 10 ayat (1) Perpres No. 65 Tahun 2006 juga menyebutkan sebagai berikut Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ketempat atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.Dalam hal ini jelaslah PT Bumi Flora telah melewati jangka waktu yang ditetapkan seharusnya jika lokasi pemukiman warga tersebut belum dapat direlokasi, haruslah terlebih dahulu untuk melakukan musyawarah dengan warga setempat agar tidak menyebabkan konflik yang berkepanjangan serta berlarut-larut hingga sekarang dan harusnya musyawarah dengan warga setempat itu dilakukan dalam jangka waktu 120 hari sejak undangan pertama. Dan dalam ayat 2 dalam pasal ini dinyatakan pula harus diadakan pula ganti rugi apabila tentang pengadaan jika menggangu kepentingan.Ganti rugi yang diberikan dapatlah berupa uang, tanah, atau pemukiman yang kembali, juga dapat gabungan dua atau lebih bentuk ganti kerugian, dan juga bentuk-bentuk lain yang disepakati oleh para pihak-pihak. Dalam kasus warga Banda Alam harusnya mendapatkan ganti rugi dari pihak PT Bumi Flora. Juga ternyata sebelumnya telah disepakati oleh Bupati Timur bahwa akan diadakan ganti rugi atas tanah mereka dengan cara menggantikan lahan baru bagi warga Banda Alam namun ternyata lahan yang dijadikan ganti rugi ini telah dijadikan pemukiman bagi warga lainnya sehingga ketentuan tentang ganti rugi ini tidaklah terlaksana, dan Bupati yang bersangkutan telah ingkar janji terhadap warga Banda Alam.Seharusnya pula sebelum diadakan jual beli tanah jika tanah tersebut merupakan tanah yang dimukim oleh suatu warga atau masyarakat adat tertentu apabila dalam Buku Tanah dan sertifikatnya langsung diatasnamakan pembeli, maka dianggap tidak sah seharusnya harus atas nama penjual terlebih dahulu. Dan seharusnya diadakan pengumuman bahwa penjual/wakilnya dan pembeli/wakilnya harus hadir didepan PPAT untuk menandatangani dengan disaksikan oleh minimal 2 orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi, yakni disini dapatlah warga Banda Alam setempat yang menjadi saksi jual-beli tersebut yang telah disepakati oleh warga setempat agar tidak terjadinya sengketa seperti yang terjadi sekarang. Dan seharusnya panitia pengadaan tanah harus melakukan tugasnya dengan baik dalam rangka melakukan penyuluhan, penelitian, musyawarah, menetapkan ganti rugi, dan sebagainya berkaitan dengan objek tanah yang akan dijual tersebut.Dari kasus sengketa diatas baiknya adalah bahwa warga Banda Alam diberikan ganti rugi yang sesuai dengan besarnya kerugian yang diderita, yakni misalnya pemberian lahan baru sebagai penggantian lahan bagi mereka yang sebelumnya sudah disepakati oleh warga dan Bupati Aceh Timur namun dalam pelaksanaannya sama sekali tidak terlaksana. Bupati Aceh Timur haruslah konsisten dengan ganti kerugian yang dijanjikan tersebut karena pada dasarnya warga Banda Alam sudah menyetujuinya dan tidak menuntut pencabutan hak dari PT Bumi Flora itu sendiri, melainkan diberikan ganti rugi yang sesuai. Maka itu seharusnya pemberian ganti rugi tersebut dilakukan secepatnya dengan sesuai dengan ketentuan dan pertimbagan tuntutan dari warga setempat pula.