masa ‘iddah akibat pembatalan perkawinan ditinjau …
TRANSCRIPT
MASA ‘IDDAH AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN DITINJAU DARI HUKUM ISLAM, UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (ANALISIS KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NOMOR 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk DAN NOMOR 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno)
Rizqo Ayu Garnasi, Farida Prihatini, dan Wismar 'Ain Marzuki
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
E-mail: [email protected]
Abstrak
Putusnya perkawinan tentu akan mempunyai banyak akibat kepada para pihak. Salah satu akibatnya terhadap pihak perempuan adalah masa ‘iddah. Terhadap perkawinan yang dibatalkan di Pengadilan Agama Depok dan Wonosari dapat penulis teliti apakah masa ‘iddah akibat pembatalan perkawinan dapat diperhitungkan serta apakah Hakim Pengadilan Agama tersebut menerapkan ketentuan hukum mengenai masa ‘iddah dalam putusannya. Penulis akan menganalisis dengan mengacu kepada metode pendekatan yuridis normatif. Karena begitu penting ditetapkannya masa ‘iddah yang harus dijalankan oleh pihak perempuan setelah putus perkawinannya termasuk dari pembatalan perkawinan.
‘Iddah Period Due to Nullification of Marriage in Terms of Islamic Law, Marriage Act
Number 1 of 1974, and Compilation of Islamic Law (Analysis of Religious Court's
Verdict Number 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk and Number 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno)
Abstract
The breakdown of marriage will certainly have a lot due to the parties. One of the women is a result of the waiting period. Against the marriage was canceled in Depok Religious Court and can Wonosari authors carefully whether the waiting period can be taken into account due to the cancellation of marriage and whether the judge courts for applying the legal provisions regarding the waiting period in its decision. The author will analyze with reference to the normative juridical approach. Because it is so important stipulation of the waiting period that must be taken by the woman after the break up of a marriage, including the nullification of the marriage.
Key words: Marriage, Nullification of Marriage , The Period Of 'Iddah.
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
Pendahuluan
Latar Belakang
Sudah sewajarnya apabila keluarga merupakan kehidupan umat manusia yang
terpenting yang mula pertamanya dibentuk oleh paling tidak seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang kemudian dari fungsi reproduksinya bertambahlah anggota keluarganya
yaitu seorang anak. Diantara laki-laki dan perempuan tersebut diikat oleh suatu perjanjian
yang suci dan kokoh untuk membentuk keluarga yang bahagia dan abadi. Perjanjian itu lebih
dikenal dengan nama perkawinan.
Kodrat alam telah menggariskan, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin
yang berlainan, seorang laki-laki dan seorang perempuan ada daya saling menarik satu sama
lain untuk hidup bersama membentuk suatu keluarga. Sebagaimana hukum Islam dalam
Qur’an Surah Ar-rum:21 yang terjemahannya adalah: 1
“Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah Dia ciptakan untuk kamu jodoh dari
jenis kamu sendiri, supaya kamu menemukan ketentraman (sakinah) pada jodoh itu, dan Dia
jadikan diantara kamu rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah)...”
Perkawinan dianggap sebagai suatu yang sakral karena perkawinan merupakan
masalah keagamaan, sehingga perkawinan harus dilaksanakan dengan rangkaian upacara
yang bersifat religius dan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
dari para pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut. Hal ini seperti yang dinyatakan
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan peraturan yang bersifat umum,
sedangkan Kompilasi Hukum Islam merupakan peraturan yang bersifat khusus, karena hanya
diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Disamping itu Kompilasi
Hukum Islam juga dijadikan pegangan bagi para Hakim Pengadilan Agama seluruh Indonesia
dalam melaksanakan tugasnya dalam menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan
perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, diterjemahkan oleh Yayayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Darus Sunnah, 2002), hal. 407. 2 Indonesia (a), Undang-undang Perkawinan, UU No.1 Tahun 1974, TLN No. 3019, Pasal 2.
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
Dalam sistem ajaran Islam atau ad dinul Islam terdiri dari akidah, syariah, dan akhlak.
Pada komponen syariah dan akhlak ruang lingkupnya jelas mengenai ibadah, muamalah dan
sikap terhadap Khalik (Allah) serta makhluk. Pada komponen akidah, ruang lingkup itu akan
tampak pula jika dihubungkan dengan iman kepada Allah dan para Nabi serta Rasul-Nya.
Perkawinan salah satu sunatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan,
baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Sehingga Islam menganjurkan untuk
melakukan perkawinan. Dalam sistem hukum Islam ada 5 (lima) hukum atau kaidah yang
dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun di
lapangan muamalah kaidah tersebut disebut al ahkam al khamsah yaitu ja’iz atau mubah atau
ibahah, sunnat, makruh, wajib dan haram.3
Adapun melakukan suatu perkawinan adalah ibahah atau kebolehan yakni norma atau kaidah
hukum Islam yang mengandung kewenangan terbuka, yaitu kebebasan memilih untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Hal ini sebagaimana pendapat sebagian
sarjana hukum Islam berdasarkan pertimbangan atas keseluruhan dalil dan alasan yang
berkenaan dengan Qur’an Surah An-nisa ayat : (1), (3) dan (24). Namun berdasarkan kepada
perubahan ‘illah nya, maka dari ibahah atau kebolehan hukum melakukan perkawinan dapat
beralih menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram. 4
a. Hukumnya beralih menjadi sunnah.
Dengan ‘illah : seseorang apabila dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya
telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada, maka
baginya menjadi sunnahlah untuk melakukan perkawinan. Kalau dia kawin dia
mendapat pahala dan kalau dia tidak atau belum kawin, dia tidak mendapat dosa
dan juga tidak mendapat pahala.
b. Hukumnya beralih menjadi wajib.
Dengan ‘illah : seseorang apabila dipandang dari segi biaya kehidupan telah
mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya sudah sangat
mendesak untuk kawin, sehingga kalau dia tidak kawin dia akan terjerumus
3 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), hal. 32. 4 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Penerbit UI Press, 1986), hal 49.
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
kepada penyelewengan, maka menjadi wajiblah baginya untuk kawin. Kalau dia
tidak kawin dia akan mendapat dosa dan kalau dia kawin dia mendapat pahala,
baik dia seorang laki-laki atau seorang perempuan.
c. Hukumnya beralih menjadi makruh.
Dengan ‘illah : seseorang yang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya
telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada
biaya hidup sehingga kalau dia kawin dia hanya akan membawa kesengsaraan
hidup bagi isteri dan anak-anaknya, maka makruhlah baginya untuk kawin. Kalau
dia kawin dia tidak berdosa dan tidak pula dapat pahala. Sedangkan kalau dia
tidak kawin dengan pertimbangan yang telah dikemukakan itu tadi, maka dia akan
mendapat pahala.
d. Hukumnya beralih menjadi haram.
Dengan ‘illah : apabila seorang laki-laki hendak mengawini seseorang wanita
dengan maksud menganiayanya atau memperolo-olokannya maka haramlah bagi
laki-laki itu kawin. Kalau dia kawin juga untuk maksud yang terlarang itu, dia
berdosa walaupun perkawinan itu tetap sah asal telah memenuhi ketentuan-
ketentuan formil yang telah digariskan. Sedangkan kalau dia tidak jadikan
perkawinan itu sehingga tidak langsung perkawinannya dengan maksud yang
diizinkan al-Qur’an itu makan dia akan mendapat pahala.5
Sebagai suatu aspek agama, perkawinan merupakan sesuatu yang suci, sesuatu yang
dianggap luhur untuk dilakukan. Perkawinan yang baik menurut agama Islam dimana di
dalam rumah tangga harus dilandasi atas dasar ma’ruf. 6 Pergaulan hidup suami isteri yang
baik dan tenteram dengan rasa cinta-mencintai dan santun-menyantuni. Istilah bentuk
pergaulan suami isteri menurut al-Qur’an adalah pergaulan yang baik dan tenteram serta
cinta-mencintai dan santun menyantuni. Ketentuan itu disebut dengan kata-kata : baik dari
kata-kata ma’ruf, tenteram dari kata-kata sakinah, cinta-mencintai dari kata mawaddah,
santun menyantuni dari kata-kata rahmah.
5 Ibid. 6 Ibid., hal. 74.
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
Mawaddah artinya cinta-mencintai antara suami isteri yang meliputi pula arti saling
memerlukan dalam hubungan sebagai suami isteri. Umumnya hal tersebut sangat diperlukan
oleh pasangan suami isteri yang masih muda dan berkurang secara berangsur peranannya
pada orang tua. Walaupun tidak menjadi habis. Rasa mawaddah itu ditambah bagi pasangan
yang telah menjadi tua dengan rasa santun menyantuni, saling membela dan saling
memerlukan di masa tua. Perasaan ini disebut al-Qur’an dengan sebutan rahmah. .7
Dalam hal ini berarti perkawinan dipandang sebagai usaha untuk mewujudkan
kehidupan yang berbahagia yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu,
untuk maksud tersebut diperlukan adanya peraturan yang akan menentukan persyaratan apa
yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan sehingga dapat memberi suatu
kekuatan yang lebih baik lagi kedepannya untuk mengatasi permasalahan rumah tangga. 8
Tetapi memang masih seringkali pasangan suami isteri masih menemui kendala yang pada
akhirnya kandas di tengah jalan dan berakhir dengan perceraian. 9
Banyak faktor yang mengakibatkan sebuah perkawinan berakhir dengan perceraian.
Baik dari faktor eksternal maupun faktor internal antara suami isteri itu sendiri. Namun tidak
semua perkawinan berakhir dengan hanya melalui sebuah perceraian. Baik di dalam UU No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam juga terdapat
suatu cara yang mengakibatkan putusnya hubungan suatu perkawinan selain dari perceraian
dan kematian, juga atas keputusan Pengadilan. Dalam hal ini penulis akan membahas
mengenai pembatalan perkawinan.
Pada prinsipnya perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.10 Tanpa ketentuan yang membatasi maka
pembatalan perkawinan akan mempunyai akibat, bahwa perkawinan itu dianggap tidak
pernah ada.11 Dalam pembatalan perkawinan, yang dibatalkan adalah perkawinan yang sudah
dilangsungkan kemudian dibatalkan dengan suatu keputusan Pengadilan yang mempunyai
7 Thalib, Op. Cit., hal 80. 8 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hal 103. 9 Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT Hecca Mitra Utama, 2005), hal. 163. 10Ibid., hal 106. 11 Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Perdata, jilid 1, (Jakarta: Rizkita, 2009), hal. 101.
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Dalam Pasal 37 PP
No. 9 Tahun 1975 menyatakan bahwa “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan
oleh Pengadilan.” 12
Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya merusakkan
atau membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah
merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.13 Dari
putusnya hubungan suatu perkawinan baik akibat perceraian dan pembatalan perkawinan
tersebut tentu mempunyai dampak-dampak serta akibat tertentu bagi para pihak, baik bagi
suami maupun isteri. Suatu dampak bagi isteri atau pihak perempuan dari suatu perceraian
dan pembatalan perkawinan tersebut adalah masa tunggu atau yang biasa kita kenal dengan
“masa ‘iddah”.
Masa ‘iddah sudah dikenal pada masa jahilyah. Setelah datangnya Islam, ‘iddah tetap
diakui sebagai salah satu dari ajaran syari’at karena banyak mengandung manfaat. Para ulama
telah sepakat mewajibkan iddah ini yang didasarkan pada firman Allah Ta’ala. 14 Pada bab 79
Fiqih Lima Mahzab, para ulama mahzab sepakat bahwa wanita yang ditalak sebelum
dicampuri dan sebelum melakukan khalwat, tidak mempunyai ‘iddah. Hanafi, Maliki, dan
Hambali mengatakan: apabila suami telah ber-khalwat dengannya, tetapi dia tidak sampai
mencampurinya, lalu istrinya tersebut ditalak, maka si isteri harus menjalani ‘iddah, persis
seperti isteri yang telah dicampuri. Sedangkan Imamiyah dan Syafi’i mengatakan : khalwat
tidak membawa akibat apapun. Hal ini telah dikemukakan sebelumnya juga, seperti yang
telah dikemukakan ketika berbicara tentang pembagian talak dalam talak raj’i dan talak
ba’in, bahwa menurut Imamiyah, wanita menepouse yang pernah dicampuri tidak wajib
menjalani masa ‘iddah. 15
Masa ‘iddah apabila dilihat dari sudut kata-kata mempunyai arti hitungan waktu atau
tenggang waktu. Dengan demikian dilihat dari segi si isteri, maka masa ‘iddah itu akan
12 Indonesia (b), Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, LN No. 9 Tahun 1975, TLN No. 3050, Pasal 37.
13 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta,UII Press, 2000) hal . 85. 14 Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar. (Jakarta:
Penerbit Pustaka Al-Kautsar, 1998), hal. 448.
15 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab diterjemahkan oleh Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, cet. 5, (Jakarta: PT Lentera Basritama,1999), hal. 464.
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
berarti sebagai suatu tenggang waktu dalam waktu mana si isteri belum dapat melangsungkan
perkawinan baru dengan pihak laki-laki lain. 16 Menurut istilah Fuqaha’ Iddah berarti masa
menunggu wanita sehingga halal bagi laki-laki yang akan menjadi suaminya lagi nanti. Dari
pengertian diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa masa ‘iddah ialah masa
menanti atau menunggu yang diwajibkan atas seorang perempuan yang diceraikan oleh
suaminya (cerai hidup atau cerai mati) yang tujuannya untuk mengetahui kandungan
perempuan itu berisi (hamil) atau tidak, serta untuk menunaikan satu perintah dari Allah
SWT. 17
Adapun hikmah dan tujuan diwajibkannya menjalani masa ‘iddah tersebut salah
satunya untuk taadud, artinya semata untuk memenuhi kehendak dari Allah. SWT. 18
Penelitian yang penulis lakukan adalah berangkat dari Putusan Pengadilan Agama Depok
dengan Nomor perkara 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk. mengenai pembatalan perkawinan. Penulis
akan menganalisa masa iddah yang seharusnya atau tidak seharusnya dilaksanakan oleh si
isteri sebagai Pemohon dalam pembatalan perkawinan tersebut. Hal ini karena isteri yang
telah sempat dalam beberapa waktu tinggal serumah dengan suaminya telah melaksanakan
hubungan sebagai suami isteri atau ba’da dukhul dan setelah dikeluarkannya putusan
pembatalan perkawinan oleh Pengadilan Agama Depok tersebut Pemohon sebagai pihak
perempuan apabila tidak ditentukan masa ‘iddahnya, sedangkan Pemohon tidak mengetahui
bahwa terdapat ketentuan mengenai masa ‘iddah bagi dirinya dikhawatirkan akan
melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain dan akan mengakibatkan pencampuran
benih yang ada dalam rahimnya.
Oleh sebab itu, masa ‘iddah akibat pembatalan perkawinan tersebut seharusnya ikut
diperhitungkan dalam putusan yang dikeluarkan sebagai suatu tenggang waktu dalam mana ia
belum dapat melangsungkan perkawinan baru dengan pihak laki-laki lain. Bahwa tentang
duduknya perkara, Pemohon dan Termohon telah melangsungkan pernikahan tercatat pada
hari Kamis tanggal 17 Oktober 2013 di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dari Kantor Urusan
Agama Kecamatan Kota Depok. Setelah melangsungkan pernikahan kemudian Pemohon dan
Termohon tinggal satu rumah di kediaman Pemohon di Kota Depok, Jawa Barat. Pada saat
melangsungkan pernikahan, Termohon mengaku telah memenuhi persyaratan sebagaimana
16 Ibid., hal. 134. 17 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), hal. 414.
18 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hal 305.
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan orang Islam yang berlaku di
Indonesia.
Yang menarik dalam kasus pembatalan perkawinan tersebut adalah alasan dari
Pemohon dalam mengajukan pembatalan perkawinan sebagaimana biasanya yang
menganggap terdapat syarat sahnya sebuah perkawinan yang tidak terpenuhi sebagaimana
rukun perkawinan yang harus dilaksanakan melainkan bahwa semula Pemohon mengira atau
menyangka Termohon telah benar-benar menganut agama Islam sebagaimana ketentuan
hukum Islam, namun ternyata Termohon tidak bersungguh-sungguh menjadi seorang yang
berakidah Islam hal mana telah diakui sendiri oleh Termohon melalui Mas Media. Termohon
pada awalnya memang beragama Kristen namun pada tanggal 21 Agustus 2013 Termohon
telah menjadi seorang muslim yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia Kecamatan
Beji Kota Depok, Jawa Barat. Oleh sebab itu perkawinan Pemohon dan Termohon
sebenarnya telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan menurut Hukum Islam.
Selanjutnya terdapat kasus yang sama dalam hal pembatalan perkawinan namun
penyebab dibatalkannya perkawinan tersebut adalah berbeda, yaitu dari putusan Pengadilan
Agama Nomor:0230/Pdt.G/2007/PA.Wno. dalam hal ini selama pernikahan tersebut
Pemohon dengan Termohon belum pernah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri
(Qobla dukhul). Bahwa setelah sehari pernikahan diketahui dari hasil pemeriksaan bidan,
ternyata Termohon dalam keadaan hamil 2 bulan dan menurut pengakuan Termohon,
kehamilan tersebut akibat hubungan dengan seorang laki-laki lain. Bahwa dengan keadaan
tersebut, Pemohon merasa tertipu karena Pemohon baru kenal dengan Termohon selama satu
bulan sebelum pernikahan.
Oleh karena itu pada kedua kasus diatas sebagaimana dalam Pasal 27 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 72 Kompilasi Hukum
Islam butir b, yaitu bahwa: “Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka
mengenai diri suami atau isteri.” Inilah dasar hukum Pemohon mengajukan pembatalan
perkawinan dengan Termohon. Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis terdorong untuk
mengkaji tentang masa ‘iddah, seperti yang terjadi di Pengadilan Agama yang segala
problematikanya serta mengangkat masalah tersebut dalam judul : “Masa ‘Iddah Akibat
Pembatalan Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (Analisis Putusan Pengadilan Agama
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
Depok Nomor 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk dan Putusan Pengadilan Agama Wonosari Nomor
0230/Pdt.G/2007/PA.Wno).”
Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Secara umum penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui dan memahami tentang masa
iddah dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan
Hukum Islam.
Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui apakah masa ‘iddah dalam perkawinan yang dibatalkan dapat
ikut diperhitungkan ditinjau dari hukum Islam, UU no. 1 Tahun 1947 tentang
Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.
b. Untuk mengetahui apakah Hakim Pengadilan Agama dalam putusannya Nomor
2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk dan Nomor 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno telah
menerapkan ketentuan hukum yang berlaku mengenai masa ‘iddah.
Metode Penelitian
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh
dari masyarakat disebut sebagai data primer, sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan
pustaka lazimnya disebut sebagai data sekunder. .19
Adapun bentuk-bentuk metode penelitian yang dilakukan adalah :
a. Bentuk penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif.
Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang menekankan pada penggunaan
norma-norma hukum secara tertulis yang terdapat di peraturan perundang-undangan
yang dalam hal ini berhubungan dengan masa iddah. Metode penelitian yang
19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet.6,
(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 51.
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
digunakan adalah penelitian kepustakaaan karena dilakukan dengan meneliti bahan
pustaka, yang tujuannya mengkaji dan menguji ketentuan hukum yang berkaitan
dengan masa iddah akibat pembatalan perkawinan.
b. Ditinjau dari tipologi penelitian yaitu dari sudut sifatnya, penelitian ini merupakan
penelitian yang menggunakan metode penelitian deskriptif, dimana data yang akan
diperoleh akan memberikan gambaran secara rinci dan menyeluruh tentang masalah-
masalah masa iddah akibat pembatalan perkawinan.
c. Data utama yang digunakan pada jenis penelitian yuridis normatif ini adalah data
sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan, berupa bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Penelitian ini
menggambarakan berbagai masalah hukum dan fakta beserta masalah lainnya yang
berkaitan dengan masa iddah akibat pembatalan perkawinan. Bahan-bahan hukum
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
a. Bahan hukum primer, meliputi peraturan perundang-undangan yurisprudensi,
merupakan bahan utama sebagai dasar landasan hukum yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti, yaitu hukum Islam, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Putusan Pengadilan Agama Depok dan
Wonosari.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-
hal yang berkaitan dengan isi sumber hukum primer dan implementasinya. 20
Bahan hukum tersier, meliputi bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu Ensiklopedi Hukum
Islam dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
d. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi studi dokumen
atau bahan pustaka. Hal ini disebabkan karena penelitian yang digunakan hanya
sebatas pada jenis data sekunder.
e. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis dan kualitatif yang
dilakukan dengan memaknai data yang diperoleh, menjabarkan dengan kata-kata
20 Ibid., hal. 31.
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
sehingga diperoleh bahasan yang sistematis. Analisa data dengan metode kualitatif ini
menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran
penelitian yang bersangkutan secara tertulis dan perilaku nyata. 21
Dengan demikian penelitian ini menghasilkan sifat deskriptif analitis, yang memberikan
gambaran secara luas terhadap fakta yang melatarbelakangi permasalahan masa ‘iddah dalam
pembatalan perkawinan tersebut, kemudian menganalisis fakta tersebut dengan bantuan data
yang diperoleh sehingga memberikan alternatif pemecahan masalah melalui analisis yang
telah dilakukan.
Pembahasan
Dasar hukum keberadaan masa ‘iddah dalam hukum Islam cukup banyak, di
antaranya firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 228 yang artinya: 22
”Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru', tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Dalam ayat lain Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 234 Allah SWT berfirman yang
artinya: 23 “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beribadah) empat bulan sepuluh hari…”
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaannya tidak mencantumkan istilah ‘iddah, tetapi yang
dicantumkannya adalah istilah “waktu tunggu”. Selanjutnya dalam Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa bagi seorang wanita yang
putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Dan tenggang waktu tersebut akan diatur
21 Ibid., hal. 67. 22 Departemen Agama, Op. Cit., hal. 56. 23 Ibid., hal. 59.
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Peraturan pemerintah yang dimaksud dalam pasal
tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Pasal 39.24
Hukum masa ‘iddah di dalam Kompilasi Hukum Islam ternyata lebih menjelaskan
penelitian penulis bahwasanya fasakh berlaku masa ‘iddah sebagaimana masa ‘iddahnya
seseorang perempuan yang di talak. Sebagaimana di dalam Pasal 155 Kompilasi Hukum
Islam, dimana waktu ‘iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan
li`an berlaku ‘iddah talak.
Mengenai masa ‘iddah yang berlaku bagi Pemohon, dalam Putusan Nomor
2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk tidak memuat secara jelas masa ‘iddah yang berlaku bagi
Pemohon. Padahal terhitung dari hari pernikahan hingga permohonan pembatalan
perkawinan yang diajukan oleh Pemohon sendiri yaitu selama 21 hari tinggal bersama dalam
satu rumah dengan saling mencintai satu sama lain, maka sudah seharusnya masa ‘iddah
akibat pembatalan perkawinan tersebut diperhitungkan bagi Pemohon. Karena masa ‘iddah
tidak melihat dari sebab putusnya perkawinan oleh karena perceraian maupun oleh putusan
pengadilan atau pembatalan perkawinan melainkan dilihat dari kondisi pihak perempuannya
itu sendiri.
Apabila perempuan yang putus perkawinannya dalam masa produktif atau masih
mengalami haid maka baginya ‘iddah selama 3 kali suci. Sedangkan apabila perempuan yang
putus perkawinannya belum pernah mengalami haid, maka ‘iddah baginya 3 bulan saja,
sedangkan bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya maka masa ‘iddahnya adalah 4
bulan 10 hari, karena perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dimungkinkan tidak
mengetahui apabila ia tengah mengandung karena kesedihannya, namun pada usia 4 bulan
kandungan waktu Allah SWT meniupkan ruh kedalam rahimnya barulah ia tersadar, maka
dari itu ia harus menunggu waktu dimana ia telah memastikan apabila rahimnya benar-benar
kosong. Begitu juga dengan Putusan Nomor 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno yang tidak di
tegaskan berapa lama waktu yang harus dilalui oleh perempuan yang tengah hamil tersebut.
Seharusnya Hakim dalam memutuskan perkara memberi tahukan di dalam putusan apabila ia
harus menunggu hingga ia melahirkan anak di dalam kandungannya terlebih dahulu apabila
ia akan menikah kembali dengan laki-laki lain.
Beberapa hal yang dikemukakan langsung oleh Allah SWT dalam Qur’an Surat an-
Nisa ayat 228 mengenai kegunaan adanya masa ‘iddah ini adalah: 25
24 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, cet.1, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988), hal. 379.
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
a. Memberikan suatu jangka waktu kepada suami isteri yang mungkin masih panas-
panasnya menghadapi suatu kekeruhan rumah tangga yang telah sampai pada puncak
keributan besar hingga terjadi perceraian, agar waktu ini menenangkan fikirannya.
Apabila fikiran mereka telah dingin kembali, mungkin hasutan-hasutan syaitan lahir
atau batin telah tidak berpengaruh lagi atau setidak-tidaknya berkurang pengaruhnya,
menjadi sangat mungkin akan timbul kejernihan fikiran kembali. Dengan demikian
diharapkan si suami akan rujuk atau kembali kepada istrinya dan begitupun si istri
tidak menolak rujuk suaminya itu. Sehingga mereka menjadi suami istri yang baik
kemudiannya.
b. Juga selama masa ‘iddah itu yang berkisar antara tiga atau empat bulan akan dapat
diketahui apakah si wanita itu sedang hamil atau tidak. Dengan demikian
diusahakanlah menjadikan suatu ketegasan dan kepastian hukum mengenai bapak si
anak yang seandainya telah ada dalam rahim perempuan tersebut.
Arti masa ‘iddah dapat dilihat dari dua segi pandangan, yaitu:26
a. Segi kemungkinan keutuhan perkawinan.
Tenggang waktu sesudah jatuh talak, dimana suami dapat merujuk kepada
isterinya.
b. Segi si istri
Tenggang waktu dimana si istri belum dapat melangsungkan perkawinan baru
dengan pria lain.
Menurut Sayyid Sabiq hikmah di balik pemberlakuan ‘iddah adalah sebagai berikut
:27
1. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak tercampur antara
keturunan seorang laki-laki dengan yang laki-laki lainnya.
2. Memberi kesempatan kepada suami isteri yang berpisah untuk kembali membina rumah
tangga yang diharapkan member kebaikan bagi suami istri..
3. Menjunjung tinggi masalah perkawinan, yaitu agar dapat menghimpunkan orang-orang arif
mengkaji masalahnya dan memberikan waktu untuk berpikir panjang. Jika tidak diberi
25 Thalib, Op. Cit., hal.122. 26 Anshori Umar Sitanggal, Fiqih Wanita, (Semarang: CV. Asy Syifa’, tanpa tahun), hal. 122. 27 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, cet. 1, (Bandung: Alma’arif, 1987), hal. 140.
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
kesempatan demikian, maka tak ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar
disusun, sebentar lagi dirusaknya.
4. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami isteri sama-sama hidup
lama dalam ikatan akadnya. Jika terjadi sesuatu yang mengharuskan putusnya ikatan
tersebut, maka untuk mewujudkan tetap terjaganya kelanggengan tersebut harus diberi
tempo beberapa saat memikirkannya dan memperhatikan apa kerugiannya.
Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini serta uraian dan penjelasan pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
Masa ‘iddah harus dijalani perempuan yang putus perkawinannya termasuk akibat
pembatalan perkawinan sebelum ia menikah kembali dengan laki-laki lain. Mengenai
ketentuan berapa lama masa ‘iddah yang harus dijalani perempuan yang dibatalkan
perkawinanya atau fasakh mengacu pada Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam, dimana waktu
‘iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku ‘iddah
talak. Tujuan dari masa ‘iddah salah satunya antara lain adalah untuk menjaga kemurnian
benih yang ada di dalam rahim perempuan.
Hakim Pengadilan Agama dalam putusannya Nomor 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk dan
Nomor 0230/Pdt.G/2007/PA.Wno belum menerapkan ketentuan hukum yang berlaku
mengenai masa ‘iddah yang harus dijalankan oleh pihak perempuan setelah perkawinannya
putus. Menurut Hakim yang memutus perkara Nomor 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk bahwasanya
tidak dituliskan di dalam putusan karena memang tidak ada pengaturan yang mengharuskan
menulis aturan mengenai masa ‘iddah di dalam putusan. Namun, Hakim menyampaikan
secara lisan saja pada saat membacakan putusan untuk pihak perempuannya apabila ia harus
menjalani masa ‘iddah terlebih dahulu sebelum perempuan tersebut menikah kembali dengan
laki-laki lain.
Saran
1. Dalam hal memutuskan perkara perkawinan, seharusnya Hakim Pengadilan Agama
dalam putusannya menuliskan secara jelas masa ‘iddah yang harus dijalani perempuan
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
setelah perkawinannya putus, karena begitu pentingnya masa ‘iddah baik bagi
perempuan itu sendiri maupun janin yang ada di dalam rahimnya.
2. Para pasangan yang akan menikah seharusnya meneliti secara baik terlebih dahulu
calon pasangan yang akan dinikahi, agar setidaknya benar-benar mengetahui secara
jelas informasi yang ada pada calon pasangan suami atau istri tersebut, baik itu dari
agama maupun dari kondisinya agar pada selanjutnya tidak ada lagi pihak yang merasa
tertipu dengan laki-laki atau perempuan yang telah dinikahinya. Sehingga pembatalan-
pembatalan perkawinan ataupun perceraian di kemudian hari tidak terjadi lagi pada
pasangan-pasangan selanjutnya.
3. Bagi pihak perempuan agar mencari tahu ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh
Allah SWT mengenai dirinya. Termasuk ketentuan mengenai masa ‘iddah. Bukan saja
hanya untuk perempuan yang mengalami putus perkawinan saja, namun juga kepada
perempuan yang tetap terjaga perkawinannya agar perempuan tersebut dapat
memberitahukan hal tersebut kepada perempuan lain yang putus perkawinannya
sedang ia tidak mengetahui ketentuan mengenai masa ‘iddah tersebut.
4. Kepada lembaga-lembaga baik dari lembaga agama maupun sosial khususnya yang
berjalan di bidang pemberdayaan perempuan, agar dapat mensosialisasikan mengenai
ketentuan waktu tunggu atau masa ‘iddah tersebut kepada para perempuan agar
menambah pengetahuan mereka betapa pentingnya masa ‘iddah tersebut tidak hanya
bagi dirinya, melainkan bagi calon janin yang ada di dalam kandungannya, serta
menjadikan suatu kesempatan pula dimana mereka masih dapat rujuk dengan
suaminya.
Daftar Referensi
Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta,UII Press, 2000)
Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam, cet.1, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988)
Darmabrata, Wahyono. Hukum Perkawinan Perdata, jilid 1, (Jakarta: Rizkita, 2009)
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014
Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998)
Djubaedah, Neng, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini. Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Jakarta: PT Hecca Mitra Utama, 2005
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, diterjemahkan oleh
Yayayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Darus
Sunnah, 2002)
Indonesia (a), Undang-undang Perkawinan, UU No.1 Tahun 1974, TLN No. 3019.
Indonesia (b), Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, LN
No. 9 Tahun 1975, TLN No. 3050
Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqih Lima Mahzab diterjemahkan oleh Masykur
A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, cet. 5, (Jakarta: PT Lentera
Basritama,1999)
Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Syaikh. Fiqih Wanita diterjemahkan oleh M. Abdul
Ghoffar. (Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Kautsar, 1998)
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011)
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, cet. 1, (Bandung: Alma’arif, 1987.
Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005)
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, cet.6, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003)
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009)
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Penerbit UI Press, 1986)
Umar Sitanggal, Anshori. Fiqih Wanita, (Semarang: CV. Asy Syifa’, tanpa tahun)
Masa Iddah..., Rizqo Ayu Garnasi, FH UI, 2014