manajemen resiko
TRANSCRIPT
MEMBANGUN HUBUNGAN YANG BERKUALITAS ANTARA
MANAJEMEN DENGAN DOKTER SPESIALIS SEBAGAI
MITRA USAHA RUMAH SAKIT
TUGAS MATA KULIAH MANAJEMEN RESIKO
Nama : Ury Puspa P.P.
NPM : 1106121130
S2 KARS 2011
KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia Pelayanan Kesehatan di Indonesia saat ini menghadapi lingkungan bisnis global
dengan tingkat persaingan yang tinggi. Kerjasama yang erat di antara para personel
Rumah Sakit, diantara Rumah Sakit dengan mitra usahanya menjadi penting karena
tidak ada Rumah Sakit yang mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam
menghadapi lingkungan bisnis global hanya dengan mengandalkan kekuatan
manajemennya sendiri, tanpa dukungan kuat dari seluruh personel Rumah Sakit dan
mitra usahanya.
Pasar yang semula dikendalikan oleh produsen sekarang berubah menjadi pelanggan
yang mengendalikan bisnis. Perubahan kondisi pasar tersebut memaksa Rumah Sakit
untuk meningkatkan kemampuan mereka di dalam menyediakan produk dan jasa yang
mampu menghasilkan nilai lebih bagi Pasien karena kebutuhan pasien senantiasa
berubah dan berkembang menjadi lebih kompleks, Manajemen Rumah Sakit secara
individual tidak mampu memenuhi kebutuhan tertentu pasien. Hanya dengan
kerjasama kemitraan yang baik lah suatu Rumah Sakit mampu memenuhi kebutuhan
pasien.
Untuk menghadapi lingkungan bisnis yang telah mengalami perubahan radikal
tersebut yang di dalamnya pelanggan memegang kendali bisnis dan kompetisi sangat
sengit diperlukan keterpaduan , keeratan hubungan antara Rumah sakit dengan Dokter
Spesialis.
Peranan Dokter Spesialis di dalam Rumah Sakit khususnya sangatlah dominan, hal ini
karena dokter spesialis merupakan penentu tingkat penggunaan dan tingkat biaya
rumah sakit. Terbatasnya jumlah Dokter Spesialis membuat posisi tawarnya menjadi
lebih tinggi, menyebabkan tidak jarang Dokter Spesialis diperebutkan oleh berbagai
Rumah Sakit dengan kompensasi yang lebih tinggi. Maka tidak heran kalau kita
melihat satu Dokter Spesialis bekerja pada lebih dari satu Rumah Sakit.
(Trisnantoro,2005).
Dalam perjalanannya di berbagai sentra pelayanan kesehatan seringkali ditemukan
ketegangan antara pihak manajemen dan dokter spesialis. Masalah otonomi dokter
sebagai klinisi yang kontradiktif dengan perkembangan budaya akuntabilitas yang
semakin dituntut di dunia medis terutama akibat kejadian-kejadian malpraktik yang
semakin diekspos oleh media. Semakin meningkatnya biaya pengobatan yang harus
dihabiskan masyarakat juga menuntut adanya transparansi dan upaya untuk
mengontrol pengambilan keputusan oleh dokter. Kemudian juga meningkatnya
“consumer minded public” yang punya akses terhadap informasi yang lebih luas dan
mempunyai ekspektasi yang tinggi namun tidak selalu masuk akal terhadap pelayanan
kesehatan. (N.Edwards,2003). Penelitian dari Degeling et al di Inggris, Australia, dan
New Zealand menyimpulkan bahwa hal tersebut dikarenakan Dokter sudah didoktrin ,
dididik dengan seperangkat keyakinan dan pendekatan yang berlawanan dengan
perubahan – perubahan seperti halnya akuntabilitas. Akuntabilitas dengan demikian
menjadi ancaman langsung kepada kepercayaan yang dipegang teguh oleh beberapa
dokter.
Hubungan yang buruk antara manajemen Rumah Sakit dengan Dokter Spesialis
sebagai mitra usaha akan berefek pada pelayanan pasien dan akan menyebabkan
kegagalan bagi organisasi Rumah Sakit untuk bertahan hidup dan berkembang.
1.2 Tujuan Umum :
Mengetahui upaya-upaya dalam membangun hubungan yang berkualitas antara
manajer rumah sakit dengan dokter spesialis sebagai mitra usaha Rumah Sakit
1.3 Tujuan Khusus :
1. Mengetahui perbedaan sudut pandang yang mendasar antara dokter dan
manajemen rumah sakit dalam pelayanan kesehatan.
2. Mengetahui jenis-jenis pendekatan hubungan kerjasama mitra usaha.
3. Mengetahui pergeseran paradigma hubungan bisnis masa kini.
4. Mengetahui Landasan yang baik bagi Kemitraan Usaha
5. Menyimpulkan upaya-upaya yang efektif untuk membangun hubungan yang
berkualitas antara manajemen dan dokter spesialis sebagai mitra usaha.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perbedaan Sudut Pandang Manajer Rumah Sakit Dengan Dokter
Dokter dan Manajemen berbeda dalam beberapa dimensi kunci atau sudut pandang (N
Edwards,2003) :
1. Akuntabilitas vs Otonomi
Pesatnya perkembangan alat bantu untuk meningkatkan kualitas pelayanan
(tools of quality improvement) dan cara-cara meningkatkan keamanan pasien
(patient’s safety) menuntut adanya akuntabilitas yang jelas, transparan dari
para dokter maupun petugas medis. Hal ini riskan mendapatkan resistensi dari
dokter spesialis karena dianggap menambah pekerjaan, sementara beban kerja
mereka sudah cukup berat. Kemudian beberapa dokter juga ada yang merasa
otonomi atau otoritasnya sebagai dokter dikebiri dengan adanya protokol yang
membatasi seni mengobati.
2. Financial Realist vs Clinical Purist
Setiap keputusan medis yang dibuat oleh dokter berefek pada implikasi biaya –
biaya yang harus dikelola manajemen. Dokter mempunyai kecenderungan
untuk menolak atau menutup mata tentang issue finansial pada keputusan
medis yang harus dibuat untuk pasiennya. Sementara manajemen mempunyai
tugas membuat biaya yang dikeluarkan Rumah Sakit menjadi se-efektif
mungkin.
3. Kolektivitas vs Individual
Bukan secara kebetulan bahwa dokter cenderung untuk berpikir secara
individual, per pasien yang ia tangani, sementara manajemen berpikir secara
grup/kelompok pasien yang datang ke Rumah Sakit.
4. Dimensi Kekuasaan
Dokter cenderung menolak ide pembagian kekuasaan (power sharing). Kultur
dokter yang dianggap profesi unggulan mulai dari penyaringan masuk fakultas
kedokteran yang dianggap sulit, sampai sekolah spesialis yang juga hanya
dapat dienyam oleh orang-orang dengan ber IQ tinggi, cenderung memperkuat
kenyataan ini.
2.2 Jenis-jenis Pendekatan Hubungan Kerjasama Mitra Usaha
Terdapat dua pendekatan yang biasanya ditempuh untuk memecahkan masalah siapa
yang pantas untuk dijadikan mitra kerja. Pertama adalah Pendekatan keluarga ,
manajemen mempunyai kecenderungan untuk memilih orang atau perusahaan yang
memiliki hubungan keluarga untuk dijadikan mitra kerja. Karena terhadap keluarga
orang dapat meletakkan kepercayaan. Begitu pula di dalam memperkerjakan personil
perusahaan. Kecenderungan memilih personil yang mempunyai hubungan
kekeluargaan mewarnai manajemen di masa lalu.
Pendekatan ini mempunyai efek positif dan negatif. Segi positifnya hubungan
kekeluargaan berlandaskan kepercayaan yang mana amat penting dalam suatu
hubungan bisnis agar berjalan lancar dan efektif. Pendekatan keluarga juga
menjadikan pihak yang terlibat mampu mencurahkan energi mereka untuk melakukan
tujuan yang telah ditetapkan bersama, bahkan seringkali dapat melampaui harapan
sebelumnya. Namun dari segi negatifnya, pihak yang terkait seringkali tidak
melaksanakan bisnis sebagaimana layaknya bisnis. Tidak jarang rasa kekeluargaan
menimbulkan rasa sungkan , tidak sampai hati, yang mengganggu hubungan bisnis
(Mulyadi, 1998)
Dalam suatu organisasi rumah sakit yang besar, pendekatan keluarga tidak mungkin
dilakukan lagi, pendekatan keluarga memilik keterbatasan dalam penyediaan
kompetensi yang diperlukan untuk menghasilkan jasa bagi pasien.
Pendekatan yang kedua adalah pendekatan bisnis, pendekatan ini dulu dipandang
dapat mengatasi kelemahan dari pendekatan keluarga. Melalui pendekatan bisnis,
perusahaan mencari mitra kerja di luar hubungan keluarga , sehingga dapat dibangun
hubungan bisnis dengan pihak yang memiliki kompetensi yang diperlukan untuk
menjalankan bisnis. Di masa lalu dalam bisnis diyakini bahwa jika transaksi bisnis
dilaksanakan oleh pihak-pihak yang independen , akan dapat dihasilkan transaksi yang
fair. Transaksi demikian disebut arms’s length transaction – transaksi yang menjaga
jarak, independen, dan tidak ada ikatan lain (misalnya ikatan keluarga) kecuali hanya
ikatan bisnis semata.
Contoh jenis pendekatan arms’s length transaction ini pada lingkup bisnis misalnya
adalah dalam hal melakukan bisnis dengan pemasok. Seleksi pemasok benar-benar
dilakukan atas proses permintaan dan penawaran harga, pemilihan pemasok lebih
ditekankan pada kualitas informasi yang tercantum dalam dokumen penawaran harga ,
bukan reputasi pemasok, agar benar-benar pemilihannya fair.
Arm’s length transaction juga diterapkan dalam transaksi bisnis yang bersifat intern,.
Dalam hal ini organisasi dipecah ke dalam fungsi-fungsi , dan antarfungsi dibangun
dinding pemisah imanijer sehingga seolah-olah tercipta keterpisahan antarfungsi.
Arms length transaction pada dasarnya dilandasi oleh keyakinan dasar distrust dan
bersifat jangka pendek , sikap yang timbul kemudian adalah mitra usaha adalah orang
lain yang perlu diwaspadai kualitas bisnisnya.
2.3 Pergeseran Paradigma Bisnis Masa Kini
Baik pendekatan keluarga maupun pendekatan bisnis keduanya memiliki segi negatif
dan segi positif. Bagaimana menggabungkan segi positif yang ada di dalam
pendekatan keluarga dan segi positif yang ada di pendekatan bisins, adalah hal yang
menjadi perhatian besar saat ini, Pendekatan yang menggabungkan kedua segi positif
tersebut disebut pendekatan kemitrausahaan. Titik beratnya adalah pada membangun
kepercayaan dan saling memahami kompetensi masing-masing.
Pendekatan keluarga dan pendekatan bisnis dipakai ketika manajemen tidak
memfokuskan kegiatan bisnisnya untuk menghasilkan nilai lebih bagi pelanggan.
Fokus perhatian hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pihak intern atau
bagaimana caranya agar transaksi tidak merugikan pihak rumah sakit. Dan diyakini
bahwa jika transaksi bisnis dilaksanakan melalui hubungan keluarga ataupun secara
pendekatan bisnis, rumah sakit akan memperoleh manfaat dari transasksi tersebut,
tidak pernah terpikir apakah pasien memperoleh manfaat dari transaksi tersebut.
Jika di dalam bisnis, disadari bahwa semua kegiatan bisnis pada dasarnya untuk
menghasilkan nilai lebih bagi pelanggan, maka hubungan diantara mitra kerja di
dalam organisasi perlu dinilai dari sudut pandang manfaat hubungan tersebut bagi
pemuasan kebutuhan pasien. Jika hubungan diantara rumah sakit dengan mitra
usahanya mampu menghasilkan nilai bagi pasien , hubungan tersebut akan menjajikan
hubungan bisnis jangka panjang, baik bagi rumah sakit maupun mitra kerjanya.
(Narasimhan,2011)
2.4 Landasan Kemitraan Usaha
Pasien adalah customers , alasan utama bisnis rumah sakit hidup. Tanpa pasien ,
rumah sakit tidak mempunyai alasan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya
dalam jangka panjang.
Produk pada dasarnya merupakan suatu alat berwujud untuk menghasilkan jasa yang
dapat dihasilkan oleh produk tersebut. Suatu produk hanya dapat menghasilkan nilai
bagi pelanggan setelah melalui use process yang secara keseluruhan melalui tahap-
tahap lengkap : find, acquire, transport, store, use, dispose of, dan stop. Dengan
demikian dipandang dari sudut pelanggan, suatu produk merupakan satu paket
pelayanan yang berfungsi untuk memuaskan kebutuhan , keinginan , dan harapan
pelanggan. Pada setiap tahap pemanfaatan produk tersebut, pelanggan memperoleh
manfaat dan melakukan pengorbanan serta menjalin hubungan dengan produsen.
Produk menghasilkan nilai bagi pelanggan jika dalam keseluruhan proses pemanfaatan
produk pelanggan memperoleh manfaat lebih besar dibanding dengan pengorbanan
yang dilakukan.(Mulyadi, 1998)
Oleh karena umumnya produsen tidak selalu memiliki kompetensi unggulan didalam
menghasilkan nilai lebih pada setiap tahap proses pemanfaatan produk , padahal
pelanggan menginginkan nilai lebih pada setiap tahap proses pemanfaatan produk,
produsen perlu membangun kemitraausahan.
Jika produsen ingin bertahan hidup dan berkembang dalam lingkungan bisnis global
mereka harus berpikir dengan logika pelanggan, Produsen menginginkan maksimisasi
pengembalian atas sumber daya yang dimiliki. Customer berkepentingan dengan
pemanfaatan sumber daya oleh produsen bagi customer, bukan bagi pemiliknya.
Menurut logika produsen maksimisasi pendapatan finansial merupakan tujuan yang
ingin diwujudkan dari setiap sumber daya yang digunakan, namun pelanggan tidak
peduli dengan kepemilikan sumber daya yang digunakan oleh produsen untuk
menghasilkan produk dan jasa, Pelanggan menginginkan berbagai sumber daya
terbaik ditarik bersama dari berbagai sumber untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
Logika lain produsen yang bertentangan dengan logika pelanggan adalah Produsen
mengorganisasikan kegiatannya menurut kenyamanan produsen. Pelanggan
menginginkan kenyamanannya diprioritaskan oleh produsen. Menurut logika
produsen, pengorganisasian kegiatan yang memberikan kenyamanan bagi produsen
adalah dengan memberikan pekerjaan layanan pelanggan berdasarkan organisasi
fungsional. Dengan organisasi fungsional ini produsen dapat memanfaatkan secara
maksimum spesialisasi yang disediakan oleh setiap fungsi. Namun dengan
mengorganisasikan kegiatan perusahaan berdasarkan fungsi ini, kepentingan
pelanggan diletakkan pada prioritas kedua setelah kepentingan fungsi. Dengan kata
lain organisasi fungsional lebih mementingkan kepentingan fungsi daripada
kepentingan pelanggan. Perusahaan harus mengubah paradigma pengorganisasian
yang semula untuk kenyamanan intern organisasi, menjadi untuk kenyamanan
optimum pasien.
Produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan hanya mampu menghasilkan nilai
lebih bagi pelanggan, jika produk dan jasa tersebut menghasillkan manfaat lebih besar
bagi pelanggan bila dibandingkan dengan pengorbanan yang dilakukan oleh customer
di dalam memperoleh manfaat dari produk dan jasa tersebut. (Mulyadi, 1998)
Customer Value = Manfaat - Pengorbanan x Kemitraan usaha
Dalam persaingan global, produk dan jasa bersaing berdasar kualitasnya. Produk dan
jasa berkualitas hanya dapat dihasilkan secara konsisten oleh perusahaan yang
menanamkan kualitas ke dalam semua aspek organisasinya, tidak hanya mencakup
seluruh komponen intern organisasinya namun mencakup kualitas masukan yang
berasal dari mitra usaha, dan antara produsen dengan pelanggannya.
Keyakinan dasar yang melandasi kemitraan usaha adalah “pelanggan adalah tujuan
pekerjaan” , berdasarkan keyakinan ini maka berbagai keyakinan dasar yang lama
perlu disingkirkan. Landasan ketidakpercayaan /distrust, hanya akan mengakibatkan
hambatan dalam tujuan kepuasan pelanggan karena menurunnya kualitas layanan yang
disediakan perusahaan kepada pelanggan.
Jika pelanggan bukan merupakan tujuan pekerjaan berarti tujuan pekerjaan hanya
untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Jika hal tersebut yang lebih menonjol maka
perusahaan cenderung untuk melaksanakan sendiri semua pekerjaan penyediaan nilai
lebih bagi pelanggan, meskipun pekerjaan tersebut bukan kompetensinya. Sebagai
akibatnya pelanggan tidak mendapat value terbaik dari produk dan jasa yang
dikonsumsinya. Kondisi ini dapat cepat memicu pelanggan untuk mencari dengan
mudah alternatif lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Nilai dasar yang perlu dijunjung tinggi dalam mewujudkan kemitraan usaha adalah
kejujuran dan integritas. Kemitraan usaha merupakan perwujudan komitmen masing-
masing pihak di dalam melaksanakan transaksi bisnis sesuai dengan kesepakatan yang
telah dibuat bersama. Integritas merupakan kemampuan seseorang di dalam
mewujudkan komitmennya ke dalam tindakan nyata. Tanpa kedua nilai dasar tersebut,
sulit untuk mewujudkan hubungan yang berkualitas antara manajemen rumah sakit
dengan dokter spesialis.
BAB 3
PEMBAHASAN
Pasien merupakan sebab utama kelangsungan hidup Rumah sakit. Kemitraan usaha
dibangun karena ketidakmampuan Rumah Sakit secara individual untuk memuaskan
kebutuhan pasien. Pasien sekarang sangat penuntut sehingga menyebabkan rumah
sakit harus membangun kemitraan usaha yang baik dengan dokter spesialis untuk
memenuhi kebutuhan pasien. Hubungan yang buruk antara dokter dan manajemen
rumah sakit akan mempengaruhi kinerja staff rumah sakit dan pelayanan pasien.
Selain itu bagi organisasi akan menyebabkan kegagalan jangka panjang untuk
berkembang.
Rumah Sakit membutuhkan hubungan yang kohesif antara manajemen dan dokter
spesialis untuk memungkinkan Rumah Sakit yang responsif terhadap perubahan
lingkungan bisnis yang pesat, untuk cepat tanggap di dalam memenuhi kebutuhan
pasien.
Kemitraan usaha akan menyebabkan perusahaan memperoleh produk dan jasa yang
berkualitas untuk masukan bagi proses pembuatan produk dan jasanya. Kualitas
masukan ini akan mengakibatkan peningkatan keandalan dan kecepatan perusahaan
sebagai penyedia produk dan jasa bagi pelanggan. Kualitas, keandalan, dan kecepatan
inilah yang merupakan faktor penentu yang menjadikan Rumah Sakit sebagai
produsen jasa yang cost effective. Cost effectiveness menjadikan perusahaan mampu
menyediakan produk dan jasa yang menghasilkan manfaat optimum dengan
pengorbanan minimum bagi pelanggan.
Jika Rumah Sakit ingin membangun hubungan yang berkualitas antara manajemen
dan dokter spesialisnya, semua perjanjian kerjasama harus berlandaskan pada
kesadaran akan kompetensi masing-masing , dilandasi kepercayaan, kejujuran dan
integritas. Saling menghormati perbedaan yang ada, melindungi satu sama lain, tidak
menyerang secara pribadi, dan menepati janji yang sudah dibuat. Hal ini hanya akan
bisa dicapai dengan diskusi, negosiasi, dan interaksi yang berkelanjutan antara
manajemen dengan dokter spesialis.
Hubungan antara manajemen perlu dilandasi dengan visi,misi, yang sama dalam
memuaskan kebutuhan pasien, Kegiatan-kegiatan yang tidak menambah nilai bagi
pasien , dapat dikurangi dan pada akhirnya dapat dihilangkan.
Manajer perlu belajar banyak sedikit banyak tentang medis, dan dokter spesialis akan
lebih baik jika juga mengetahui tentang teknik manajemen dan perangkatnya. Karena
kenyataanya Dokter Spesialis hanya sedikit yang paham mengenai manajemen,
organisasi, dan team work skills. Hal ini membuat dokter spesialis seringkali merasa
tidak berdaya kuasa akan pekerjaanya jika sudah berhadapan dengan birokrasi Rumah
Sakit.
Mengenai akuntabilitas sebagai ancaman bagi otonomi dokter spesialis, hal tersebut
bisa saja kita definisikan ulang bukan sebagai ancaman baru, namun sebagai bentuk
otonomi dengan tanggung jawab. Karena otonomi tidak dapat dipertahankan tanpa
suatu bentuk akuntabilitas. Kebebasan yang dipunyai harus diseimbangkan dengan
Tanggung Jawab. Termasuk didalamnya melaporkan hasil dan keputusan medis apa
saja yang telah dilakukan. Otonomi dengan Tanggung jawab memungkinkan seorang
dokter untuk keluar dari jalur pedoman terapi yang ada, namun semuanya harus tetap
terdokumentasi dengan baik, dan alasan melakukannya dimengerti dan masuk akal.
Manajer Medis di suatu Rumah Sakit diharapkan menjadi jembatan yang efektif bagi
manajemen dan Dokter Spesialis. Manajer medis harus mempunyai kemampuan
clinical leadership yang baik. Untuk meningkatkan kemampuan tersebut butuh
pendidikan dan pelatihan yang cukup. Saat ini sudah ada program S2 Kajian
Administrasi Rumah Sakit yang dapat mengajarkan hal tersebut. Namun pendidikan
mengenai clinical leadership di jenjang pendidikan S1 belum banyak masuk ke dalam
kurikulum.
Undang-Undang Kesehatan yang menyebutkan bahwa Direktur Rumah Sakit harus
berasal dari kalangan medis Dokter ataupun Dokter Gigi yang mempunyai latar
belakang edukasi manajemen rumah sakit. Hal ini kemungkinan juga untuk
menjembatani klinisi dan manajemen. Memperbanyak Klinisi dengan kemampuan
manajerial dan memimpin yang baik, adalah hal yang kita inginkan bersama. Namun
Bagaimana membuat pekerjaan manajer medis dan direktur menjadi menarik dan
terjamin bagi Dokter adalah suatu hal yang harus dipikirkan bersama mengingat resiko
pekerjaannya cukup besar.
BAB 4
KESIMPULAN
Dalam membangun hubungan kemitrausahaan yang berkualitas antara manajemen
Rumah Sakit dan dokter spesialisnya, perlu dilandasi dengan visi,misi, yang selaras,
yang semuanya bermuara pada satu tujuan yaitu memenuhi kebutuhan pasien
sekaligus memberikan nilai tambah (value) kepada pasien agar dapat bertahan di
persaingan bisnis Rumah Sakit yang makin sengit.
Semua perjanjian kerjasama yang diadakan antara manajemen dan Dokter Spesialis
harus berlandaskan pada kesadaran akan kompetensi masing-masing , dilandasi
kepercayaan, kejujuran dan integritas. Saling menghormati perbedaan-perbedaan yang
ada, melindungi satu sama lain, tidak menyerang secara pribadi, dan menepati janji
yang sudah dibuat. Hal ini hanya akan bisa dicapai dengan diskusi, negosiasi, dan
interaksi yang berkelanjutan antara manajemen dengan dokter spesialis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Definition of Arm’s Length Transaction diunduh dari www.Investopedia.com diakses pada tanggal 18 Maret 2012
2. Degeling P, Kennedy J, Hill M. Mediating the cultural boundaries between medicine, nursing and management – the central challenge in hospital reform. Health Service Magazine Res 2001; 14; 36-48.
3. Edwards,N. 2003. Doctors and Managers: Poor relationship may be damaging patients – what canbe done? Quality Saf Health Care;12 (suppl 1).
4. Mulyadi, 1998. Pendekatan baru Total Quality Management – Prinsip Manajemen Kontemporer untuk mengarungi Lingkungan Bisnis Global. Yogjakarta : Penerbit Aditya Mega.
5. Narasimhan. S, Kannan V. 2011. Total Quality Management as the Foundation of Sustainability. European Journal of Social Sciences- Volume 24, Number 3.
6. Trisnantoro, Laksono., 2005. Aspek Strategis Manajemen Rumah Sakit Antara Misi Sosial dan Tekanan Pasar, Yogyakarta: Andi.