manajemen anestesi perioperatif pada pasien appendisitisa
DESCRIPTION
anestesi perioperatifTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Appendisitis merupakan suatu keadaan timbulnya peradangan pada saluran
appendiks yang ditandai dengan nyeri pada perut bagian bawah. Appendisitis
merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan membutuhkan operasi pada
anak-anak dan orang dewasa di bawah umur 50 tahun. Appendisitis lebih sering
mengenai usia antara 10-20 tahun. Laki-laki lebih sering terkena appendisitis
dibandingkan perempuan dengan rasionya 1,4 : 1 (Humes, 2006; Cole, 2011).
Menurut data dari WHO tahun 2004, insiden kasus apendistis di Asia dan di
Afrika mencapai 4,8% dan 2,6% penduduk dari total populasi (WHO, 2004).
Menurut penelitian dari Omran (2003) di Kanada, sebanyak 65.675 kasus
appendisitis akut terjadi di Ontario, Kanada, dengan insiden kasus tertinggi pada
usia 10-19 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki dibandingkan perempuan
dengan rasionya 1,4 : 1. Sedangkan menurut data dari departemen kesehatan RI
pada tahun 2006, appendisitis menempati urutan ke-4 penyakit terbanyak di
Indonesia setelah dispepsia, gastritis, dan duodenitis pada kasus gangguan sistem
saluran cerna dengan jumlah pasien yang dirawat inap sebanyak 28.040 orang
(Depkes, 2006).
Diagnosis appendisitis akut dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penanganan pada kasus
appendisitis akut berupa pemberian antibiotik serta pembedahan, yakni
appendiktomi. Namun, sebelum dilakukan pembedahan, perlu diberikan antibiotik
dengan tujuan untuk menekan insiden terjadinya infeksi luka pasca operasi di
abdomen serta pembentukan abses intraabdominal (Humes, 2006). Setiap
tindakan pembedahan ini, memerlukan tatalaksana anestesi yang tepat. Oleh
karena itu, maka tatalaksana perioperatif anestesi pada kasus appendisitis akut
penting untuk dibahas dalam paper ini dalam bentuk tinjauan pustaka.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Appendiks
Appendiks memiliki panjang 6-10 cm, berbentuk vermiformis, serta berisi
massa cairan limfoid. Appendiks berasal dari aspek posteromedial caecum di
sebelah inferior taut iliocaecal. Appendiks memiliki mesenterium triangular yang
pendek (mesoappendiks) yang berasal dari sisi posterior ileum terminalis.
Mesoappendiks menempel pada caecum dan bagian proximal appendiks. Posisi
appendiks lebih sering ditemukan retrocaecal (Moore, 2013).
Appendiks retrocaecal memanjang ke superior dan ke arah flexura colica
dextra dalam keadaan bebas. Dasar appendiks terletak di sebelah dalam titik yang
menghubungkan spina iliaca anterior superior (SIAS) dextra dengan umbilicus
(titik McBurney). Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendicularis yang
merupakan cabang dari arteri ileocolica. Arteri ini berjalan di antara lapisan
mesoappendiks. Vena ileocolica mengalirkan darah dari caecum dan appendiks
untuk dibawa kembali ke jantung. Pembuluh limfatik appendiks berjalan ke nodi
lymphatici profunda mesoappendiks dan ke nodi lympathici ileocolici yang
terletak di sepanjang arteri ileocolica. Innervasi saraf ke appendiks berasal dari
saraf simpatis dan parasimpatis dari plexus mesentericus superior di mana serabut
saraf simpatisnya berasal dari bagian thoracal bawah pada medulla spinalis,
sedangkan serabut saraf parasimpatisnya berasal dari nervus vagus (Moore, 2013).
Gambar 2.1. Anatomi Appendiks beserta Vaskularisasinya (Moore,
2013)
3
2.2. Etiologi dan Patofisiologi Appendisitis Akut
Appendisitis akut disebabkan oleh adanya obstruksi lumen appendiks atau
akibat infeksi bakteri. Obstruksi lumen appendiks bisa disebabkan oleh adanya
beberapa mekanisme yang bervariasi sehingga menimbulkan retensi pada mukosa
appendiks. Penyebab tersering timbulnya appendisitis akut adalah infeksi (lebih
sering pada anak-anak dan dewasa muda), serta adanya fecalith (lebih sering pada
usia tua). Fecalith didapat dari adanya endapan garam kalsium yang menempel di
dinding appendiks (Craig, 2014).
Jika infeksi bakteri terjadi, maka tekanan intraluminal meningkat sehingga
terjadi gangguan aliran limfa ke appendiks dan menimbulkan edema pada
appendiks. Proses ini menimbulkan peradangan dan nyeri tekan pada abdomen
bagian bawah kanan. Hal ini disebut sebagai catarrhal appendisitis. Jika kondisi
ini terus berlanjut, maka edema appendiks serta timbulnya kongesti vaskular pada
appendiks akan membentuk abses multipel pada dinding apendiks sehingga
menjadi appendiksitis phlegmon. Kondisi ini jika terus dibiarkan, dapat
menimbulkan disfungsi sirkularsi pada appendiks akibat infark pada bagian
mesoappendiks dan appendiks sehingga appendiks menjadi berwarna merah
kehitaman disertai area nekrosis berwarna hitam. Hal ini disebut sebagai
appendiksitis gangrenous. Jika terjadi perforasi pada appendiks, dapat
menyebabkan peritonitis (Ishikawa, 2003; Craig, 2014).
2.3. Manifestasi Klinis Appendisitis Akut
Appendisitis akut dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat ditegakkan dari gejala yang
ditimbulkannya. Nyeri abdomen merupakan gejala utamanya. Nyeri abdomennya
dirasakan mulai dari periumbilikal atau epigastrik hingga menjalar ke kuadran
kanan bawah abdomen dan nyerinya dapat bersifat menetap (ligath sign). Pasien
biasanya dalam posisi berbaring dengan memfleksikan panggulnya. Gejala
penyertanya dapat berupa mual, muntah, anorexia, demam subfebris. Durasi
gejala ini < 48 jam pada 80% kasus pasien dewasa (Craig, 2014).
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya nyeri tekan pada titik McBurney
serta nyeri tekan dengan defans muskuler. Selain itu, dapat ditemukan tanda
4
rebound phenomenon (menekan perut pada bagian kiri dan dilepas secara
mendadak, dirasakan nyeri pada perut bagian bawah), rovsing sign (menekan
daerah colon descendens kearah colon transversum, didapatkan nyeri perut kanan
bawah), tenhorn sign (menarik testis bagian kanan, didapatkan nyeri perut kanan
bawah), psoas sign (mengangkat tungkai kanan dalam posisi ekstensi, didapatkan
nyeri perut kanan bawah), serta obturator sign (memfleksikan dan endorotasi
sendi panggul kanan, didapatkan nyeri pada perut kanan bawah). Pada
pemeriksaan rectal toucher, juga didapatkan adanya nyeri pada arah jam 10 atau
11 (Craig, 2014).
Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukositosis. Pada
pemeriksaan C-reactive Protein, didapatkan > 1 mg/dL yang mengindikasikan
terjadinya appendisitis akut. Pada hasil urinalisis, dapat ditemukan piuria ringan,
sedangkan adanya piuria berat mengindikasikan terjadinya infeksi saluran kemih
(ISK). Pada hasil USG, dapat ditemukan adanya struktur tubular yang bersifat non
kompresif dengan diameternya 7-9 mm pada appendisitis akut. USG juga
dianjurkan pada pasien anak-anak dengan appendisitis akut (Craig, 2014). Pada
pemeriksaan imaging, USG masih menjadi lini pertama pada pasien appendisitis
akut. Akan tetapi, akurasinya masih kurang dan dibutuhkan tenaga operator yang
ahli dalam mengendalikan alat USG tersebut (Pinto, 2013).
2.4. Manajemen Anestesi Perioperatif pada Appendisitis Akut
2.4.1. Evaluasi preoperatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi pada appendisitis akut baik pada orang
dewasa maupun anak-anak, sangat penting dilakukan persiapan preoperatif.
Tujuan dilakukannya evaluasi ini adalah :
1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis dari pasien.
2. Menghindari kejadian salah identitas serta salah operasi.
3. Mengetahui adanya kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti
adanya riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik
berupa dyspnea atau urtikaria) pada pasien dengan apendisitis akut.
4. Mengetahui riwayat operasi pasien serta pengobatan pasien sebelumnya.
5
5. Mengetahui tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan
perbaikan status preoperasi (pemeriksaan tambahan dan terapi yang
diperlukan).
6. Mengetahui pemilihan jenis anestesi yang digunakan serta penjelasan
persetujuan operasi (informed consent) kepada pasien.
7. Mengetahui pemberian obat-obatan premedikasi yang digunakan
sehingga dapat mengurangi dosis obat induksi yang akan digunakan
pada pasien.
Evaluasi preoperatif yang dilakukan, meliputi anamnesis kepada pasien
dengan menanyakan keluhan utama yang dialami pasien saat ini serta AMPLE
(Allergy, Medication, Past Medical History, Last Meal, Elicit History),
pemeriksaan fisik dengan 6B (Brain, Breath, Blood, Bowel, Bladder, Bone/Body),
serta pemeriksaan penunjang (darah lengkap, C-reactive Protein, USG, dan
lainnya untuk mendukung diagnosis kerja dari appendisits akut). Selanjutnya
dokter anestesi juga harus menjelaskan kepada pasien mengenai manajemen
anestesi yang akan dilakukan yang tercermin dalam informed consent serta
memberitahukan kepada pasien untuk puasa sebelum dilakukan operasi jika
pasien tersebut setuju untuk dioperasi untuk menghindari terjadi regurgitasi pada
esofagus serta aspirasi (Latief, 2009).
A. Anamnesis
Pada kasus appendisitis akut, perlu ditanyakan kepada pasiennya mengenai
nyeri perut yang dirasakannya, awal mula timbulnya nyeri tersebut, serta gejala
penyerta yang dialaminya (mual, muntah, anorexia, demam subfebris). Di
samping itu, perlu juga ditanyakan kepada pasien mengenai riwayat penyakit
terdahulu yang dialaminya untuk mengetahui apakah ada penyulit lain yang bisa
menyebabkan timbulnya appendisitis akut. Riwayat makanan juga perlu
ditanyakan untuk mengetahui penyebab timbulnya appendisits akut, apakah
berasal dari feccalith atu dari infeksi hematogen. Riwayat lainnya seperti riwayat
pengobatan serta riwayat operasi sebelumnya juga perlu ditanyakan untuk
6
mengetahui kemungkinan penyulit atau komplikasi lainnya yang dapat dialami
pasien appendisitis akut.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan kepada pasien dengan appendisitis
akut, meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu, skala
nyeri), pemeriksaan paru-paru, pemeriksaan jantung, pemeriksaan abdomen, serta
pemeriksaan sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting
dilakukan terutama pada pengguanan anestesi regional sehingga bisa diketahui
adanya defisit neurologis sebelum dilakukan anestesi regional.
Pemeriksaan airway juga perlu dilakukan untuk mengetahui jalan nafas
pasien. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher
pendek, serta kaku pada otot, juga sangat penting dilakukan untuk mengetahui
apakah ada penyulitan dalam melakukan intubasi ketika dilakukan general
anesthesia baik pada pasien anak-anak maupun orang dewasa. Kesesuaian masker
untuk anestesi harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas wajah
yang signifikan. Mikrognatia (jarak yang pendek antara dagu dengan tulang
hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion (ROM) yang
terbatas pada sendi temporomandibular atau vertebrae servikal, serta leher yang
pendek, mengindikasikan dapat terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi pada
pasien dengan general anesthesia baik pada anak-anak maupun orang dewasa.
Dalam kasus appendisitis akut, pemeriksaan fisik lebih diutamakan pada
pemeriksaan abdomen serta nyeri pada titik McBurney. Pada pemeriksaan
abdomen, hampir keseluruhan dalam batas normal. Akan tetapi, adanya nyeri
tekan pada titik McBurney di regio kuadran bawah kanan abdomen
mengindikasikan bahwa pasien tersebut menderita appendisitis akut. Di samping
itu, psoas sign serta obturator sign juga dapat ditemukan sebagian besar pada
pasien appendisitis akut.
Skor Mallampati juga perlu dilakukan untuk mengetahui level kesulitan
pada intubasi pasien yang sedang menjalani proses pembedahan dengan general
anesthesia. Skor ini dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis :
Mallampati I : Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
7
Mallampati II : Terlihat palatum mole dan durum, serta bagian atas tonsil dan
uvula.
Mallampati III : Terlihat palatum mole dan durum, serta dasar uvula.
Mallampati IV : Hanya terlihat palatum durum.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tambahan atau penunjang yang dibutuhkan dalam preoperasi
pada appendisitis akut juga perlu dicantumkan. Pemeriksaan penunjang yang
dicantumkan meliputi darah lengkap, C-reactive protein, serta USG. Pada
pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosit mengalami peningkatan
(leukositosis). Hal ini disebabkan oleh karena adanya proses infeksi yang terjadi
pada daerah appendiks sehingga dapat menimbulkan peradangan. Pada hasil C-
reactive protein, dapat ditemukan > 1 mg/dL yang mengindikasikan terjadi
appendisitis akut. Pada USG, dapat ditemukan juga adanya pembesaran pada
appendiks dengan struktur tubular yang bersifat non kompresif, diameternya 7-9
mm.
D. Penentuan status ASA
Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat perkiraan risiko
anestesi karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6
selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap adanya brain-dead organ
donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas
perioperatif. Klasifikasi status fisik ASA digunakan dalam perencanaan
manajemen anestesi serta teknik monitoring (Barash, 2009) :
ASA I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa
keterbatasan aktivitas sehari-hari
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, serta aktivitas fisik normal yang
terbatas
ASA IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun
tanpa operasi
8
ASA V : Pasien dengan penyakit berat yang memiliki harapan hidup kecil dengan
atau tanpa operasi
ASA VI : Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil
untuk tujuan donor (brain-dead organ donor)
Pada kasus appendisitis akut, lebih sering ditemukan ke dalam klasifikasi
ASA II. Hal ini disebabkan oleh karena appendisitis akut tidak sering dapat
mengalami gangguan sistemik yang berat dan penyulit yang sering ditemukan
berupa leukositosis. Akan tetapi, status ASA pada pasien appendisitis akut dapat
berubah menjadi ASA III atau IV, jika ada mengalami penyulit komplikasi yang
lain seperti gangguan pada sistem liver, ginjal, paru-paru, dan organ sistem
lainnya.
E. Informed Consent
Informed consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat
melindungi dokter dari tuntutan. Dalam hal ini, perlu dipastikan bahwa pasien
sudah mendapatkan informasi yang cukup mengenai prosedur yang akan
dilakukan beserta risikonya.
Jika pasien tersebut setuju untuk dilakukan tindakan appendektomi, maka
operasi tersebut dapat segera dilaksanakan. Jika pasien tersebut tidak setuju, maka
dapat diberikan obat antibiotik untuk mengatasi infeksi pada appendiks tersebut.
Pemberian antibiotik dapat diberikan pada pasien dengan appendisitis akut tanpa
komplikasi. Akan tetapi, tindakan operasi masih merupakan gold standard dalam
penanganan appendisitis akut (Pisano, 2013).
2.4.2. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat selama 1-2 jam sebelum dilakukan
induksi anestesi kepada pasien dalam menjalani operasi dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan, serta bangun dari anesthesia. Di samping itu,
premedikasi juga bertujuan untuk meredakan kecemasan, mengurangi sekresi
kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi
mual muntah pasca bedah, membuat pasien menjadi hipnotik, serta mengurangi
reflek yang membahayakan. Pemberian premedikasi dapat diberikan secara
9
suntikan intramuskular (30-45 menit sebelum induksi anestesia), atau suntikan
intravena (5-10 menit sebelum induksi anestesia). Komposisi dan dosis obat
premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya
disesuaikan dengan masalah yang dijumpai pada pasien (Miller, 2009).
Obat-obatan yang dapat digunakan dalam premedikasi pada pasien dapat
dijabarkan pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.1
Obat Premedikasi (Mangku, 2009)
No Jenis Obat Dosis (Dewasa)
1 Sedatif :
Diazepam
Diphenhidramine
Promethazine
Midazolam
5-10 mg
1 mg/kgBB
1 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
2 Analgetik Opiat :
Petidin
Morfin
Fentanil
1-2 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 µg/kgBB
3 Antikholinergik :
Sulfas Atropine 0,1 mg/kgBB
4 Antiemetik :
Ondansetron
Metoklopramid
4-8 mg (iv) dewasa
10 mg (iv) dewasa
10
2.4.3. Pemilihan Teknik Anestesi
Dalam pemilihan teknik anestesi, perlu dipertimbangkan faktor-faktor
yang berperan dalam keamanan dan kenyamanan pasien (Mangku, 2009) :
1. Usia pasien
Pada usia bayi dan anak, lebih baik dilakukan teknik general anesteshia oleh
karena pasien usia demikian lebih sering tidak kooperatif. Sedangkan pada
pasien dewasa, jika digunakan untuk tindakan singkat, dapat dilakukan teknik
anestesi regional atau general anesteshia.
2. Status fisik pasien
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu, sangat penting untuk ditanyakan
beserta komplikasi sebelum maupun pasca pembedahan yang dialami
pasien saat itu. Penggunaan anestesi regional sebaiknya dihindari pada
pasien dengan diabetik neuropati karena dapat memperburuk gejala yang
ada.
b. Pada pasien dengan adanya penyulit gangguan kardiovaskular yang berat,
hindari penggunaan general anesthesia karena dapat mengakibatkan
depresi nafas serta gangguan hemodinamik pada kardiovaskular. Oleh
sebab itu, sebaiknya dipilih menggunakan anestesi lokal atau regional.
c. Pada pasien yang tidak kooperatif atau mengalami gangguan psikiatri
lainnya, sebaiknya dilakukan general anesteshia.
d. Pada pasien obesitas dengan leher pendek dan besar sehingga
menimbulkan risiko gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih
teknik anestesi regional.
3. Posisi pembedahan
Posisi miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan general
anesthesia dengan endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan.
Akan tetapi, pada posisi demikian, dapat juga digunakan pada anestesi
regional.
4. Keterampilan dan pengalaman dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah, seperti teknik hipotensif untuk mengurangi
11
pendarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah
plastik, dan lainnya.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesi sangat menentukan
pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik anestesi tertentu
bila belum ada pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan
dipertimbangkan bila keadaan pasien memungkinkan dan membahayakan
keberhasilan operasi.
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah
pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.
A. Anestesi Regional dengan Sub-arachnoid Block
Anestesi regional meliputi 2 cara, yaitu blok sentral (blok spinal, epidural,
dan kaudal), dan blok perifer (blok pleksus, brachialis, aksiller, anestesi regional
intravena). Anestesi spinal merupakan pemberian obat anestetik lokal ke dalam
ruang subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestesi
lokal ke dalam ruang subarachnoid sehingga terjadi blok saraf yang reversibel
pada radiks anterior dan radiks posterior, radiks ganglion, dan sebagian medulla
spinalis yang menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris, dan otonom
(Latief, 2009).
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau
posisi tidur lateral. Posisi tidur lateral adalah yang paling sering dikerjakan.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
penyebaran obat. Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid
(Salinas, 2005; Latief, 2009):
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral. Beri bantal
kepala dengan tujuan agar tulang spinosus mudah teraba.
12
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
tulang punggung, yakni L4 atau L4-L5. Tentukan tempat tusukannya, di L2-
L3, L3-L4 atau L4-L5.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastetik lokal pada tempat tusukan dengan lidokain 1-2% sebanyak 2-3
ml.
5. Untuk jarum spinal ukuran 22 G, 23 G, atau 25 G dapat langsung digunakan.
Sedangkan untuk ukuran 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan
introducer (penuntun jarum), yakni jarum suntik biasa pada spuite 10 cc.
Tusukkan introducer sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, lalu pasang semprit berisi obat anestetik dan dimasukkan secara
perlahan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit untuk meyakinkan posisi
jarum tetap baik.
Gambar 2.2. Lapisan pada spinal saat akan dilakukan regional anesthesia di
lapisan subarachnoid (Salinas, 2005).
13
Gambar 2.3. Posisi tempat tusukkan saat akan diberikan anestesi spinal
(Anonim, 2010)
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37oC adalah 1,003-1,008.
Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anestetik
lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik lokal
dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang
sering digunakan adalah jenis hiperbarik dengan mencampur anestetik lokal
dengan dekstrosa 5 %. Untuk jenis hipobarik, biasanya digunakan tetrakain
dengan mencampur dengan air injeksi (aquabides). Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi blokade saraf pada pemberian anestesi spinal, antara lain barisitas,
posisi pasien selama dan sesaat setelah injeksi, serta dosis obat (Latief, 2009).
Pada umumnya, makin tinggi dosis dan posisi injeksi, maka level anestesinya
akan semakin tinggi. Oleh karena itu, pada posisi supine head down, cairan
hiperbarik akan menyebar ke arah kepala dan cairan hipobarik akan menyebar ke
kaudal dan sebaliknya pada posisi head up. Sementara pada posisi lateral, cairan
spinal hiperbarik akan berefek pada bagian yang lebih rendah dan cairan hipobarik
akan mencapai daerah yang lebih tinggi (Morgan, 2006).
Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal ini adalah bupivacaine
hiperbarik dan tetrakain. Toksisitas bupivacaine lebih rendah dibandingkan
lidocaine. Walaupun onset kerja bupivacaine lebih lama (10-15 menit)
dibandigkan lidocaine (5-10 menit) tetapi durasi kerjanya lebih lama, yaitu 1,5-8
jam dibandingkan lidocaine (1-2 jam). Penggunaan lidocaine harus diperhatikan
14
karena seringkali menyebabkan transient neurological symptoms (TNS) dan cauda
equina syndrome. Namun, ada beberapa ahli yang menyatakan penggunaan
lidocaine ini aman pada anestesi spinal dengan dosis terbatas 60 mg dan
diencerkan menjadi 2,5%. Oleh karena itu, penggunaan bupivacaine lebih aman
dan lebih efektif (Morgan, 2006).
B. General Anesthesia
General anesthesia merupakan tindakan menghilangkan rasa nyeri secara
sentral diseritai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. General anesthesia
lebih sering dipakai pada pasien anak-anak dengan apendisitis akut dibandingkan
orang dewasa. Perjalanan anestesi umum terdiri dari 5 bagian yang berbeda,
meliputi : premedikasi, induksi, pemeliharaan, pengembalian, pemulihan, dan
masa pasca operasi. Pada tahap premedikasi, ada 2 tujuan dalam penggunaan obat
ini. Pertama, untuk mencegah efek parasimpatomimetik anestesi, dan kedua,
berhubungan dengan kebutuhan untuk menghilangkan efek sedasi aktif sehingga
menimbulkan amnesia sementara. Tahap induksi bertujuan untuk memulai agar
proses anestesi cepat dan nyaman. Masa pemeliharaan dilakukan ketika prosedur
pembedahan atau prosedur lainnya dilaksanakan. Masa pengembalian merupakan
bagian pertama pemulihan dan dikerjakan dibawah pengawasan langsung oleh
dokter ahli anestesi dan biasanya dilakukan di dalam ruang operasi (Soenarto,
2012).
2.4.4. Durante Operasi dan Monitoring
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid mengandung
zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan
koloid berfungsi untuk menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan dapat
digunakan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat
menyeimbangkan dengan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler
(Morgan, 2006).
15
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan cairan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika melibatkan air dan
elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, disebut sebagai cairan
jenis replacement (Morgan, 2006).
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah cairan isotonik,
maka cairan jenis replacement yang umum digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer Laktat. Meskiput sedikit mengandung hipotonik,
cairan ini menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung dapat
menurunkan serum natrium sebanyak 130 mEq/L. Ringer Laktat umumnya
memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan
merupakan cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan.
Kehilangan darah pada durante operasi ini biasanya digantikan dengan cairan RL
sebanyak 3 hingga 4 kali dari jumlah volume darah yang hilang (Morgan, 2006).
Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan
estimated blood volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya
ditransfusi apabila kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu yang
tepat untuk transfusi ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi yang
dilakukan (Morgan, 2006).
Proses monitoring sangat perlu dilakukan oleh dokter anestesi dalam
membantu mempertahankan kondisi pasien. Standard monitoring intraoperatif
yang digunakan, diadopsi dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic Monitoring.
Standard ini diterapkan di semua perawatan anastesi walaupun pada kondisi
emergensi, appopriate life support harus diutamakan. Standar ini ditujukan
tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah satu komponen
perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim, beberapa
metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan penggunaan yang
sesuai dengan metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya. Parameter yang biasanya digunakan untuk
monitor pasien selama anestesi, adalah (Morgan, 2006) :
- Frekuensi nafas serta kedalaman nafas
- Denyut nadi, jantung, serta kualitasnya
16
- Warna membran mukosa dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas
reflek palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry : tekanan darah, saturasi oksigen, serta denyut nadi
2.5. Manajemen Anestesi Post Operasi
Pada pasien dengan regional anestesi, lebih mudah mengalami recovery
dibandingkan dengan general anesteshia. Hal ini disebabkan oleh karena pasien
dengan regional anestesi masih dalam kondisi sadar, sehingga komplikasi yang
terkait airway, breathing, dan circulation lebih sedikit dibandingkan dengan
general anesthesia. Meskipun demikian, perlu dilakukan monitoring tekanan
darah, nadi, saturasi oksigen, dan frekuensi nafas hingga pasien tersebut stabil
(Dunn, 2007). Fungsi neuromuskular juga harus dinilai untuk mengetahui adanya
kaku pada otot terutama pada otot di daerah abdomen pasca appendektomi.
Evaluasi post operatif juga harus dilakukan dalam 24-48 jam setelah operasi
dan dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini meliputi review dari rekam
medis, anamnesis terakhir terkait keluhan subjektif post operasi pada pasien,
pemeriksaan fisik secara keseluruhan, serta pemeriksaan penunjang. Komplikasi
yang kemungkinan akan dialami pasien seperti muntah, nyeri tenggorokan,
kerusakan gigi, cedera saraf, cedera pada daerah okular, pneumonia, serta
perubahan status mental, juga harus diperhatikan (Dunn, 2007).
17
BAB III
SIMPULAN
Appendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan
membutuhkan operasi pada anak-anak dan orang dewasa di bawah umur 50 tahun.
Penyebab tersering timbulnya appendisitis akut adalah infeksi (lebih sering pada
anak-anak dan dewasa muda), serta adanya fecalith (lebih sering pada usia tua).
Apendisitis akut dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, dapat ditemukan gejala nyeri abdomen,
mual, muntah, anorexia, serta demam subfebris. Pada pemeriksaan fisik,
ditemukan adanya nyeri tekan pada titik McBurney serta nyeri tekan dengan
defans muskuler. Di samping itu dapat ditemukan tanda rebound phenomenon,
rovsing sign, tenhorn sign, psoas sign, serta obturator sign. Pada pemeriksaan
penunjang, dapat ditemukan leukositosis pada hasil darah lengkap, C-reactive
protein > 1 mg/dL, piuria ringan pada hasil urinalisis, serta adanya pembesaran
appendiks dengan struktur tubular yang bersifat non kompresif dengan
diameternya 7-9 mm pada hasil USG.
Manajemen anestesi Perioperatif pada kasus appendisitis akut, meliputi
evaluasi pre-operatif (anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang), pemberian obat pre-medikasi, pemilihan teknik anestesi (anestesi
regional blok subarachnoid atau general anesthesia), serta durante operasi dan
monitoring (meliputi monitoring tanda-tanda vital, cairan, serta pendarahan).
Manajemen anestesi pasca operasi meliputi evaluasi post operatif (review dari
rekam medis, anamnesis terakhir terkait keluhan subjektif post operasi pada
pasien, pemeriksaan fisik secara keseluruhan, serta pemeriksaan penunjang) dan
monitoring (kesadaran, respirasi, sirkulasi, fungsi ginjal dan saluran kencing,
fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu tubuh, serta nyeri).
18
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Spinal Anesthesia Technique. Available at :
www.medbox.org/spinal-anesthesia-technique-handout/download.pdf
(Akses : 11 Mei 2015).
Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C. 2009.
Handbook of clinical anesthesia 6th ed. Lippimcoltt Williams & Wilkins:
USA.
Cole, M.A., Maldonado, N. 2011. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based
Management of Suspected Appendicitis in the Emergency Department.
13;10: p.1-32.
Craig, S., Brenner, B.E., Hardin, E., Lober, W., Talavera, F. 2014. Appendicitis.
eMedicineMedscape. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview (Akses : 28 April
2015).
Depkes RI. 2006. Laporan prevalensi kasus appendisitis akut di Indonesia. (Akses
: 11 Mei 2015).
Dunn, P.F., Theodore, A.A., Baker, K.H., Davison, J.K., Kwo, J., Rosow, C.,
2007. Clinical Anesthesia Procedures of The Massachusets General Hospital
7th edition. Lippincott Williams & Wilkins: USA.
Humes, D.J., Simpson, J. 2006. Acute Appendicitis. BMJ ;333:p.530-534.
Ishikawa, H. 2003. Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis. JMAJ; 46(3):
p.217-221.
Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, M.R. 2009. Petunjuk praktis anestesiologi
edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: Jakarta.
Mangku, G., Senapathi, T.G., 2009. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Jakarta: Indeks Jakarta.
Miller, R.D., Eriksson L.I., Fleisher, L.A., Wienner, J.P., Young, W.L., 2009.
Miller’s Anesthesia 7th ed. Elsevier: USA.
Moore, K.L., Dalley, A.F. 2013. Anatomi Berorientasi Klinis Edisi Kelima Jilid 1.
Jakarta: Erlangga.
19
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. 2006. Clinical Anesthesiology 4th
edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Omran, M.A., Mamdani, M.M., McLeod, R.S. 2003. Epidemiologic features of
acute appendicitis in Ontario, Canada. Can J Surg: 46(4);p.263-268.
Pinto, F., Pinto, A., Russo, A., Coppolino, F., Bracale, R., Fonio, P., Macarini, L.,
Giganti, M. 2013. Accuracy of ultrasonography in the diagnosis of acute
appendicitis in adult patients: review of the literature. Critical Ultrasound
Journal. 5(1);p.1-3.
Pisano, M., Coccolini, F., Poiasina, E., Bertoli, P., Capponi, M.G., Poletti, E.,
Naspro, R., Ansaloni, L. 2013. Conservative treatment for uncomplicated
acute appendicitis in adults. Emerg Med Health Care J. 1:2.
Salinas, F., 2005. Spinal Anesthesia. In “Essentials of pain medicine and regional
anesthesia”. 2nd ed. p.566-574.
Soenarto., Ratna, F., Chandra, S. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care FKUI: Jakarta.
WHO. 2004. Global Burden Disease. Available at :
http://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/BD_report_2004upda
te_AnnexA.pdf (Akses : 4 Mei 2015).