· pdf fileprevalensi malnutrisi protein dan energi, mulai dari tingkat ringan hingga sedang,...

12

Upload: vuongthuan

Post on 15-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

SUMBANGAN PETERNAKAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN

Oleh: Ir. Mangonar Lumbantoruan, MS. Dosen Prodi Produksi Ternak

Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen, Medan Email: [email protected]

Abstract

Livestock production plays many vital roles in gaining and sustaining food security especially for rural areas, as well as for poverty alleviation. Livestock contributes animal’s source-foods with nutritional contents were more higher compare to plant’s source-food. In addition, livestocks also make an important indirect contribution to increase crops production and productivity by producing manure for fertilizer, contributing animals power for land preparation and providing cash income which in turn helps rural poor household to purchase staple foods. All of this imply the urgency of livestock production development, both in food security contex and poverty reduction perspective. There is a strong needs for local resource-based program, domestic market oriented and pro-poor development strategy and policy. Keyword: livestock production, rural, animal’s food source, food security

Abstrak

Peternakan sangat penting peranannya dalam mencapai dan memberlanjutkan ketahanan pangan terutama di daerah pedesaan. Demikian juga untuk mengurangi kemiskinan. Peternakan menyumbangkan pangan hewani yang nilai nutrisinya lebih tinggi dibanding pangan nabati. Peternakan juga memberi sumbangan penting bagi ketahanan pangan dengan meningkatkan produktivitas tanaman melalui penggunaan pupuk kandang, pemanfaatan tenaga kerja ternak, menyediakan pendapatan yang pada gilirannya dapat digunakan untuk membeli bahan pangan. Dengan demikian sangat penting menguatkan peternakan, baik dalam konteks ketahanan pangan maupun dalam kerangka pengentasan kemiskinan. Untuk itu diperlukan program penguatan yang berbasis sumberdaya lokal, berorientasi pasar domestik dan berpihak kepada kaum miskin yang mayoritas berada di pedesaan. Kata kunci: peternakan, pedesaan, pangan hewani, ketahanan pangan

Pendahuluan Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak azasi manusia yang wajib dijamin

ketercapaiannya bagi semua warga negara. Di Indonesia, sesuai amanah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, ketahanan pangan dimaknai sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya serta aman, merata dan terjangkau. Dalam rangka itu, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan ditegaskan bahwa untuk memenuhi konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistim usaha pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan serta mengembangkan lahan produktif.

Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, isu pangan tidak lagi hanya menyangkut persoalan yang azasi dan universal, tetapi memiliki berbagai perspektif. Selain dari perspektif proses fisiologis, saat ini pangan semakin lazim diasosiasikan dengan status sosial ekonomi, bahkan tidak jarang menjadi komoditas politik (Lakitan, 2010). Oleh

sebab itu persoalan ketahanan pangan akan semakin kompleks dan multidimensi dengan intensitas yang semakin tinggi.

Pertanian – meliputi budidaya tanaman, ternak dan ikan – sejauh ini masih memegang posisi utama sebagai penghasil pangan. Dengan demikian ketahanan pangan sangat tergantung kepada produksi pertanian. Oleh sebab itu, pembangunan dan penguatan pertanian akan berimplikasi langsung dan tidak langsung kepada pembangunan dan penguatan ketahanan pangan. Urgensi pertanian tidak hanya dalam konteks ketahanan pangan, melainkan juga dalam pengurangan kemiskinan (poverty reduction). Menurut Bank Dunia, untuk setiap 1% pertumbuhan pertanian akan berdampak mengurangi kemiskinan sebesar 2%. Mengingat mayoritas penderita kelaparan berada di pedesaan dan hidup dari pertanian maka peningkatan investasi di sektor pertanian sangat efektif mengatasi kelaparan dan mengurangi kemiskinan (GFS, 2009).

Sejauh ini, guna memenuhi kebutuhan beberapa jenis bahan pangan Indonesia masih tergantung kepada impor (Lakitan, 2010) termasuk pangan hewani. Akibatnya tingkat konsumsi pangan hewani masih jauh di bawah kecukupan gizi yang dianjurkan. Berdasarkan analisis dari Pola Pangan Harapan (PPH), tingkat konsumsi protein asal ternak baru mencapai 5,1 g/kap/hr yang setara dengan konsumsi susu 7,5 kg/kap/th, daging 7,7 kg/kap/th, dan telur 4,7 kg/kap/th. Angka-angka ini terhitung kecil dibanding angka konsumsi protein total (nabati dan hewani) yang dianjurkan sebesar 46,2 g/kap/hr. Terlebih-lebih bila dibandingkan dengan negara lain, konsumsi pangan Indonesia sangat rendah. Sebagai pembanding, konsumsi susu di Amerika, Jepang dan beberapa negara Eropa sudah > 80 kg/kap/th; demikian juga di ASEAN sudah lumayan lebih baik antara lain Philippina 18,8 kg/kap/th, Malaysia 22,5 kg/kap/th, Thailand 28,0 kg/kap/th dan Singapura 32 kg/kap/th (Haryono, 2007).

Fakta-fakta diatas menyiratkan betapa urgennya memacu produksi peternakan di Indonesia, baik untuk menutupi defisit suplai yang sudah terjadi selama ini maupun untuk mengimbangi permintaan yang terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, kenaikan taraf hidup dan kesadaran masyarakat akan pola pangan sehat. Artikel ini ditulis untuk menggambarkan vitalnya peranan dan besarnya sumbangan serta urgennya penggalakan produksi peternakan untuk mencapai ketahanan pangan. Penggambaran dimaksud dilakukan dengan mengemukakan makna ketahanan pangan, karakteristik nutrisi pangan hewani, peran dan sumbangan peternakan bagi ketahanan pangan dan upaya-upaya yang diperlukan untuk menguatkan dukungan peternakan terhadap ketahanan pangan.

Makna Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan (food security) menurut FAO adalah situasi dimana semua orang,

setiap saat baik secara fisik, sosial dan ekonomis mampu mendapatkan pangan yang cukup, aman dan bergizi sehingga dapat memenuhi kebutuhan untuk mendukung kehidupan yang sehat dan penuh aktivitas (Schmidhuber dan Tubiello, 2007). Sedangkan ketidaktahanan pangan (food insecurity) digambarkan oleh FAO (2010) sebagai kondisi dimana sekelompok orang mengalami kekurangan konsumsi pangan sehingga tidak cukup untuk menyediakan energi dan nutrisi yang diperlukan untuk sepenuhnya hidup produktif; bisa bersifat temporer (transistory food insecurity) atau berketerusan (chronic food insecurity).

Calo et al (2010) menyebutkan bahwa ketahanan pangan tercapai apabila semua orang pada semua waktu, memiliki akses fisik, sosial dan ekonomi terhadap pangan dalam jumlah cukup, aman dan bergizi guna memenuhi kebutuhannya akan gizi dan preferensinya akan makanan untuk r mencapai hidup yang aktif dan sehat. Didalam defenisi ini tercakup tiga komponen yaitu: Ketersedian (availability), merujuk kepada kuantitas, kualitas dan seasonalitas suplai

pangan di suatu wilayah. Kedalamnya termasuk semua sumber-sumber produksi

pangan local yang meliputi pertanian, peternakan, perikanan dan bahan pangan yang dipanen dari tumbuhan non-budidaya serta semua bahan pangan yang diimpor. Kehadiran sistem pasar yang bekerja baik untuk memobilisasi bahan pangan secara konsisten dalam jumlah dan kualitas yang cukup merupakan penentu utama ketersediaan bahan pangan di suatu wilayah.

Akses (access), merupakan ukuran kemampuan rumahtangga meraih bahan pangan yang tersedia selama periode tertentu melalui berbagai cara (memproduksi sendiri, barter, hadiah, pinjaman atau bantuan) untuk memenuhi kebutuhan nutrisi semua anggotanya.

Pemanfaatan (utilization), merujuk kepada cara pemanfaatan pangan yang telah diakses oleh rumahtangga, meliputi penyimpanan, pengolahan dan penyiapan serta distribusinya di antara anggota keluarga. Komponen ini juga mencakup kemampuan seseorang menyerab dan mengolah (memetabolis) zat-zat gizi, yang dapat dihambat oleh penyakit dan malnutrisi.

Bila ketahanan pangan di tingkat lokal, regional, nasional dan global lebih terkait dengan ketersediaan pangan maka ketahanan pangan di tingkat keluarga lebih terkait dengan dimensi akses dan penggunaan pangan (FAO, 2010).

Intensitas ketidaktahanan pangan dinilai dari dampaknya terkadap kemampuan masyarakat memberi makan dirinya dalam jangka pendek (resiko terhadap hidup) serta atas sumber-sumber penghasilan dan kemandiriannya untuk jangka panjang (resiko terhadap livelihood). Ketidaktahanan pangan dianggap terjadi apabila sekelompok orang mengalami kejadian-kejadian berikut: pengurangan sumber utama pangan dan mereka tidak mampu merumuskan strategi

baru untuk mengubahnya; prevalensi malnutrisi yang tinggi dalam setahun yang bukan disebabkan oleh faktor

kesehatan atau perawatan; sebagian besar menggunakan strategi bertahan yang tidak efektif; dan menerapkan cara bertahan (coping strategy) yang justru membahayakan sumber-

sumber penghasilannya dalam jangka panjang atau menyebabkan kerugian pada pihak lain seperti bertindak illegal atau amoral (Young, 2001).

Karakteristik Nutrisi Pangan Hewani

Dibanding pangan nabati, pangan hewani memiliki beberapa keunggulan dalam hal kandungan energi, protein, nutrisi mikro dan nilai biologis. Daya cerna protein hewani mencapai 96 – 98%, sedangkan protein nabati hanya 65 – 70 %; komposisi asam amino pangan hewan lebih ungggul daripada pangan nabati (90 – 100 % vs 50 – 70%). Sementara itu, ketersediaan mineral-mineral penting seperti kalsium, fosfor, besi, seng, magnesium dan mangan serta vitamin seperti thiamin (B1), riboflavin (B2), niacin, piridoksin (B6) dan B12 jauh lebih tinggi pada pangan hewani disbanding pangan nabati. Karakteristik seperti ini membuat konsumsi pangan hewani sangat penting bagi kelompok-kelompok populasi yang kapasitas konsumsinya jauh dibawah kebutuhannya seperti anak-anak, ibu hamil dan menyusui, manusia lanjut usia dan pengidap penyakit (FAO, 2012).

Kualitas protein diukur dari kesesuaian proporsi asam amino esensial dalam bahan pangan dengan yang diperlukan oleh tubuh. Makin mirip proporsi keduanya maka makin bagus kualitas protein. Telur dan susu merupakan sumber protein dengan kualitas sangat bagus, yang berarti dapat dimanfaatkan secara efisien oleh tubuh sehingga digunakan sebagai standar untuk menilai kualitas protein yang lainnya. Susu disebut sebagai bahan pangan yang sangat ideal karena mengandung hampir semua nutrisi yang diperlukan manusia, meskipun agak sedikit kurang kandungan Fe, vitamin C dan D di dalamnya. Protein daging juga termasuk berkualitas bagus dibanding protein nabati yang beberapa

diantaranya defisien asam amino esensial tertentu; jagung defisien triptophan dan lisin, gandum defisien lisin dan beberapa kacang-kacangan defisien methionin. Selain itu, daging juga kaya akan Fe dan Zn dalam bentuk tersedia serta semua vitamin B kecuali asam folat (Smith et al, 2013). Dengan karakteristik seperti itu, pangan hewani sangat vital untuk mendukung fungsi sistim kekebalan tubuh, perkembangan kognitif dan fisik, produktivitas kerja dan kualitas hidup. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Global Livestock Collaborative Services Support Program untuk mengetahui dampak makanan yang disuplementasi dengan daging dan susu pada 544 orang anak sekolah di Kenya selama 23 bulan menghasilkan fakta bahwa anak-anak yang diberi daging memacu deposisi otot sebesar 30 – 80% lebih banyak selama 23 bulan masa penelitian. Sementara itu, anak-anak yang diberi susu, kendati tapi tidak mendapat daging, menunjukkan kenaikan tinggi badan yang positif. Lebih jauh dilaporkan bahwa konsumsi pangan hewani dapat menjadi predictor fungsi kognitif anak dimana pada pemberian susu sekali sehari diamati pengaruhnya yang nyata pada fungsi mental anak-anak termasuk kemampuan abstract reasoning. Secara keseluruhan, anak-anak yang menerima pangan hewani mendemonstrasikan respon perilaku yang sangat positif yaitu lebih aktif dan lebih dinamis (Henderson, 2011).

Rendahnya konsumsi pangan hewani telah berdampak pada merebaknya kasus gizi buruk di Indonesia beberapa tahun terakhir ini. Laporan WHO menyebutkan, dalam kurun tahun 1999-2001 sekitar 12,6 juta jiwa penduduk Indonesia menderita kurang pangan. Lebih lanjut, dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004 terungkap bahwa 81,5 juta jiwa penduduk Indonesia mengalami defisit energi dan protein, terutama protein hewani (Legowo, 2007).

Peran dan Sumbangan Peternakan bagi Ketahanan Pangan Aktivitas beternak memainkan peranan penting dalam kehidupan petani di negara-

negara sedang berkembang dalam rangka penyediaan pangan, pendapatan, kesempatan kerja dan banyak kontribusi lainnya. Di banyak wilayah Asia, ternak merupakan penyedia dukungan utama bagi pertanian berupa tenaga, pupuk dan modal. Khususnya unggas, penting peranannya sebagai sumber uang tunai harian dan sumber nutrisi bagi penduduk pedesaan. Pemilikan ternak juga merupakan ukuran penting kesejahteraan karena di banyak wilayah ternak merupakan asset penting ke dalam mana keluarga pedesaan menimbun kekayaannya (Ali and Khan, 2013). Pemilikan asset seperti ternak dinilai sebagai ukuran kesejahteraan yang lebih baik dibanding pendapatan karena merefleksikan kapasitas jangka panjang rumahtangga mengelola resiko dan memenuhi kebutuhan konsumsinya (Njuki et al, 2011). Peternakan juga potensial sebagai transformator peradaban karena dengan meningkatkan ketahanan pangan dan ketersediaan pendapatan untuk biaya pendidikan maka peternakan memungkinkan anak-anak penduduk miskin menjadi lebih sehat dan lebih terdidik, sementara yang dewasa menjadi lebih produktif. Secara keseluruhan, keluarga yang memiliki ternak memiliki 19 – 41 % lebih tinggi tingkat ketahanan pangan dibanding yang tidak memilikinya (Smith, et al, 2013).

Prevalensi malnutrisi protein dan energi, mulai dari tingkat ringan hingga sedang, masih tinggi di negara-negara sedang berkembang, terutama anak-anak. Penyebab utamanya adalah ketidakmampuan asupan ransum harian yang berbasis pangan nabati menyediakan energi, protein dan nutrisi mikro memenuhi kebutuhan tubuh. Kendati beberapa jenis sayuran mengandung cukup tinggi zat besi, seng dan kalsium namun bioavailabilitasnya jauh lebih rendah dibanding pangan hewani. Akibatnya akan sulit bagi anak-anak untuk memperoleh asupan kalsium minimal bila ransum hariannya berbasis pangan nabati; sedangkan bila berbasis pangan hewani hal tersebut dengan mudah dapat dicapai (de Haan et al, 2001).

Ternak juga memberi sumbangan tidak langsung terhadap ketahanan pangan melalui peningkatan produksi tanaman dengan menghasilan pupuk kandang. Selanjutnya, ternak berperan sebagai penyangga pada mitigasi dampak fluktuasi produksi tanaman terhadap

konsumsi pangan dan dengan demikian berperan menstabilkan suplai pangan. Akhirnya, ternak berperan menaikkan totalitas produktivitas tenaga kerja rumah tangga dengan menyediakan “kesempatan kerja” bagi semua angora keluarga pada setiap musim serta bagi setiap gender dan generasi (FAO, 2012). Lebih lanjut, ternak seringkali merupakan asset paling berharga yang dimiliki rumahtangga miskin pedesaan. Akumulasi penghasilan dari usaha ternaklah yang paling sering membuka kemungkinan bagi rumahtangga miskin untuk membeli lahan, membuka usaha kecil, mendiversifikasi pendapatan serta mengurangi kemiskinan dan kerentanan. Semuanya ini berpotensi menguatkan keamanan pangan dan nutrisi mereka(Smith, 2013).

Secara global diperkirakan pupuk kandang menyediakan hingga 12% input nitrogen untuk budidaya tanaman pangan dan 23% pada sistim terpadu tanaman-ternak. Secara umum penggunaan pupuk anorganik sangat rendah di Afrika di mana rata-rata petani disana mengaplikasikan hanya 9 kg/ha/thn pupuk komersial. Aplikasi pupuk kandanglah yang memperbaiki efisiensi pupuk anorganik yang amat terbatas tersebut. Karena utilitasnya tersebut, tidak sedikit masyarakat yang menghargai pupuk kandang dengan sangat tinggi sehingga ada yang dibarter dengan hasil panen butiran, diangkut dari tempat jauh dan bahkan beberapa peternak sapi menghargai kotoran ternaknya setara dengan air susu (Smith, 2013).

Terutama bagi daerah kering, ternak memainkan peranan penting dalam ketahanan pangan. Salah satu karakteristik daerah kering adalah curah hujan yang rendah dan fluktuatif sehingga tidak cocok untuk budidaya tanaman pangan. Daerah kering, yang meliputi sekitar 50% dari daratan dan mewakili 55% dari total lahan produktif yang ada di planet bumi ini, oleh peternakan didayagunakan sebagai areal penggembalaan (FAO, 2012).

Terlepas dari berbagai peran positif yang disumbangkan bagi kesejahteraan manusia, ternak juga mengancamkan dampak negatif yang perlu dipertimbangkan dan dikelola. Dua diantaranya yang paling penting adalah 1) ancaman penyebaran dan pemindahan penyakit menyular yang berkaitan dengan ternak (zoonotic deseases), dan (2) dampak negatif terhadap lingkungan. Magnitudo kerusakan lingkungan dan ancaman kesehatan yang berkaitan dengan ternak sangat dipengaruhi oleh cara-cara sektor peternakan beroperasi dan tumbuh untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat (FAO, 2012). Penyebaran dan pemindahan penyakit oleh ternak kepada manusia dapat terjadi melalui vektor seperti gigitan lalat dan melalui pangan asal ternak yang terkontaminasi. Penyakit-penyakit ini akan membatasi produktivitas manusia dengan mengurangi kemampuannya memproduksi pangan untuk dirinya sendiri atau kemampuan untuk bekerja guna memperoleh penghasilan untuk membeli bahan pangan. Dengan 13 jenis penyakit zoonosis utama yang menyebabkan 2.2 juta jiwa kematian per tahun, yang kebanyakan berasal dari kaum miskin dan kelas menengah, maka dapat disebutkan bahwa bahaya yang diancamkan oleh ternak terhadap nutrisi dan kesehatan manusia sangat besar (Smith et al, 2013).

Dampak negatif lain dari peternakan adalah pencemaran lingkungan. Gas rumah kaca (GRK), yang bertanggung jawab atas pemanasan global, diemisikan dari hewan ternak melalui dua cara, yaitu 1) dari proses pencernaan berupa gas metana (CH4) yang dihasilkan oleh hewan hervivora dan ruminansia sebagai hasil sampingan dari aksi fermentasi microbial atas bahan pakan di dalam saluran pencernaan; dan 2) dari kotoran atau feses. Produksi metan dari feses tergantung kepada penanganan feses tersebut. Feses hewan yang disimpan dalam bentuk cair atau padat memproduksi metan dalam jumlah banyak. Namun bila disimpan dalam kondisi anaerobik (tanpa oksigen) maka tidak ada atau hanya sedikit gas metan yang diemisikan (Vinayakrao, 2009).

Upaya-upaya Penguatan Peternakan untuk Ketahanan Pangan

Untuk mencapai dan memperkokoh ketahanan pangan hewani serta menangkap peluang pasar domestik dan global, Indonesia perlu merumuskan berbagai terobosan strategis yang bermuara kepada penguatan industri peternakan, terutama yang berbasis pedesaan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia kurang memiliki keunggulan komparatif untuk mengembangkan sistem peternakan berbasis hijauan (grass-fed livestockfarming) baik yang dibudidayakan maupun pastura alami. Daya saing Indonesia terletak pada sistem peternakan berbasis pakan butiran (grain-fed livestockfarming) dan atau hasil ikutan dan limbah organik (byproduct/waste-fed livestockfarming). Potensi pakan seperti ini lebih feasible didayagunakan pada usaha ternak berskala kecil-menengah. Oleh karena itu, upaya-upaya pengembangan agribisnis peternakan di Indonesia - yang sekaligus peningkatkan daya saing - harus mempertimbangkan keragaman biofisik wilayah dan potensi sosial ekonomi setempat yang sangat beragam dan seringkali menuntut bukan teknologi canggih melainkan teknologi spesifik lokasi yang tepat guna (Simatupang dan Hadi, 2004). Selama ini kebanyakan anggapan menyebutkan bahwa hambatan terbesar dalam upaya peningkatkan kontribusi teknologi bagi kesejahteraan rakyat adalah keterbatasan anggaran, kualitas sumberdaya manusia dan/atau keterbatasan sarana dan prasarana riset. Namun sebenarnya ketiga keterbatasan ini bukan akar persoalan melainkan masalah sekunder. Akar persoalan sebenarnya adalah sulitnya mengubah mindset para pengembang teknologi itu sendiri dan pembuat kebijakan pendukungnya (Lakitan, 2009). Sebagai contoh, rumusan tentang ketahanan pangan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 bersifat satu sisi yakni hanya dari perspektif pemenuhan kebutuhan konsumen semata namun tidak menyinggung peran produsen pangan. Padahal tanpa peran produsen (dalam hal ini petani) sasaran ketahanan pangan dimaksud tidak akan pernah tercapai dicapai (Lakitan, 2010).

Sementara itu, menurut FAO (2012) pemerintah di berbagai negara-negara sedang berkembang jarang menghargai peranan ganda yang dimainkan oleh peternakan dalam ekonomi rumah tangga pedesaan. Kebijakan pembangunan peternakan cenderung memiliki fokus tunggal yaitu peningkatan produksi produk-produk yang dapat dipasarkan. Perspektif seperti ini jelas sangat sempit mengingat bagi peternak pedesaan mencapai produktivitas fisik yang tinggi dari usaha ternak bukanlah sasaran utama melainkan peranannya sebagai jaminan dalam berbagai situasi. Dikotomi yang besar antara kriteria assesmen yang digunakan pembuat kebijakan dengan yang digunakan peternak seperti ini menjadi akar dari masalah kebijakan pembangunan peternakan yang kontribusinya minim terhadap pengentasan kemiskinan. Efektivitas pengembangan peternakan dapat mengurangi kemiskinan hanya akan tercapai bila didukung oleh kebijakan, kelembagaan dan teknologi yang pro-poor yaitu berpihak kepada kaum miskin (De Haan et al, 2001)

Penutup Selayaknya Indonesia mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan asal ternak sendiri

dan malahan berpotensi menjadi negara pengekspor produk peternakan. Hal tersebut sangat mungkin diwujudkan karena ketersediaan sumber daya lahan dengan berbagai jenis tanaman pakan dan keberadaan SDM yang cukup mendukung. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan peternakan di Indonesia masih belum berhasil dalam memenuhi kebutuhan domestik. Hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai kelemahan struktural dalam sistem dan strategi serta orientasi pengembangan peternakan. Oleh karena itu perlu mencari model, strategi dan teknologi pengembangan yang komprehensif yang didukung oleh kelembagaan yang tepat dan kebijakan yang pro-poor sehingga secara sosial ekonomi menguntungkan semua stakeholder ketahanan pangan, baik pihak konsumen (publik) maupun pihak produsen (petani).

Daftar Pustaka

Ali, A. and M. A. Khan. 2013. Livestock Ownership in Ensuring Rural Household Food Security in Pakistan. Pakistan. J. Anim. Plant Sci. 23(1):2013 pp.313-318. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=livestock%20for%20food%20security&source=web&cd=23&cad=rja&ved=0CEMQFjACOBQ&url=http%3A%2F%2Fwww.thejaps.org.pk%2Fdocs%2Fv-23-1%2F48.pdf&ei=l2vdUePKLI3MrQfK6IGQBQ&usg=AFQjCNEU1brmkwBcnYdo8rJ54LsNaIqkSQ&bvm=bv.48705608,d.bmk

Audinet, J. P. and S. Haralambous. 2005. Achieving the Millennium Development Goals: Rural

Investment and Enabling Policy. Panel Discussion Paper. IFAD Governing Council – Twenty-Eighth Session. 16-17 February 2005. p.58.

Calo, M., G. Scarborough and L. Troy. 2010. Food Security and Livelihood Assessments. A Practical

Guide for Field Workerss. ACF Food Security and Livelihood Booklet Series. Technical Departement of Food Security and Livelihoods. ACF (Action contre la Faim) International.

de Haan, C., T. S. van Veen, B. Brandenburg, J. Gauthier, F. Le Gall, R. Mearns and M. Simeon. 2001.

Livestock Development. Implications for Rural Poverty, the Environment, and Global Food Security. Direction in Development. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. Washington, D.C., USA.

FAO. 2010. Smallholder poultry production – livelihoods, food security and sociocultural significance,

by K. N. Kryger, K. A. Thomsen, M. A. Whyte and M. Dissing. FAO Smallholder Poultry Production Paper No. 4. Rome.

FAO. 2012. Livestock sector development for poverty reduction: an economic and policy perspective

– Livestock’s many virtues. By J. Otte, A. Costales, J. Dijkman, U. Pica-Ciamarra, T. Robinson, V. Ahuja, C. Ly and D. Roland-Holst. Rome, pp. 161.

GFS. 2009. Global Hunger and Food Security Initiative: Consultation Document. Bureau of Public

Affairs. Office of Global Food Security. http://www.state.gov/s/globalfoodsecurity/rls/other/129952.htm

Henderson, G. 2011. Livestock critical to global food security.

http://www.cattlenetwork.com/drovers/columns/Livestock-critical-to-global-food-security-133834223.html

Kommers, M. 2013. Global food security. http://www.foodpolitics.eu/global-food-security Lakitan, B. 2009. Kontribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Makalah Utama pada

Seminar Hari Pangan Sedunia, Jakarta 12 Oktober 2009. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=116&cad=rja&ved=0CMABEBYwDzhk&url=http%3A%2F%2Fbenyaminlakitan.files.wordpress.com%2F2012%2F04%2F20091012-makalah-hari-pangan-sedunia.pdf&ei=k8_bUfWKBo_trQfG3oGoDQ&usg=AFQjCNHT-0TjaXTcBf3-mNeLpZD_-BYLbA&sig2=BFECznFzJ6dmbDgd3t7VYg

Lakitan, B. 2010. Kebijakan Riset Dan Teknologi untuk Pencapaian Ketahanan Pangan dan

Peningkatan Kesejahteraan Petani. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar Hari Pangan Sedunia XXX, Senggigi, Lombok, 6-8 Oktober 2010. Deputi Bidang Kelembagaan Iptek. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=167&cad=rja&ved=0CK8FEBYwQjhk&url=http%3A%2F%2Fbenyaminlakitan.files.wordpress.com%2F2012%2F03%2F20101006-kebijakan-riset-ketahanan pangan.pdf&ei=ybzbUf7lMMXIrQfQlYGYBg&usg=AFQjCNHGT0kvn3WdEyTDjZ0kAwFOOrMDfQ&sig2=_j7z-5SclLKs9dQbLFUEKg

Legowo, A. M. 2007. Peranan Teknologi Pangan dalam Pengembangan Produk Olahan Hasil Ternak di Tengah Kompetisi Global. Pidato Pengukuhan. Diucapkan pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Teknologi Pasca Panen Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang., 26 Mei 2007. Cetakan I. Diterbitkan oleh Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Njuki, J., J. Poole, N. Johnson, I. Baltenweck, P. Pali, Z. Lokman and S. Mburu. 2011. Gender,

Livestock and Livelihood Indicators. International Livestock Research Institute (ILRI).October 2011. http://cgspace.cgiar.org/handle/10568/3036?show=full

Pretty, J. 2008. Agricultural sustainability: concepts, principles and evidence. Published 12 February

2008 doi: 10.1098/rstb.2007.2163 Phil. Trans. R. Soc. B 12 February 2008 vol. 363 no. 1491 447-465.

Schmidhuber, J. dan F. N. Tubiello, 2007. Global Food Ssecurity Under Climate Change. Current

Issue. Vol. 104 no. 50. Pp. 19703–19708. http://www.pnas.org/content/104/50/19703.full Simatupang, P. dan P.U. Hadi, 2004. Daya Saing Usaha Peternakan Menuju 2020.. Wartazoa. Vol.

14No. 2 Th . 2004. Pp.45-7. Smith, J., K. Sones, D. Grace, S. MacMillan, S. Tarawali, and M. Herrero. 2013. Beyond Milk, Meat,

and Eggs: Role of Livestock in Food and Nutrition Security. Animal Frontiers. January 2013, Vol. 3, No. 1doi:10.2527/af.2013-0002 http://www.animalfrontiers.org/content/3/1/6.full

Young, H., S. Jaspars, R. Brown, J. Frize and H. Khogali. 2001. Food-Security Assessments in

Emergencies: a Livelihoods Approach. Humanitarian Practice Network (HPN). Overseas Development Institute. 111 Westminster Bridge Road. London, SE1 7JD. United Kingdom

Vinayakrao, B.S. 2009. Global Warming and Climate Change : Role of Livestock and it's Mitigation.

Research Paper—Geography. Shodh, Samiksha aur Mulyankan (International Research Journal). Vol. II, Issue-9-10 (Oct.-Nov.-2009). Pp. 11-12.