makna motif dan warna kain batik peranakan …
TRANSCRIPT
Jurnal Prajnaparamita 65
Copyright ©2020 Museum Nasional
All Rights Reserved
P- ISSN: 2355-5750
Edisi 09/2020 Page: 65-75
MAKNA MOTIF DAN WARNA KAIN BATIK
PERANAKAN TIONGHOA JAWA DI BANYUMAS Meaning of Motifs and Colors of Batik Fabric
Javanese Chinese Society in Banyumas
Diyah Wara Restiyati
Peneliti dan Penulis Lepas
Received: Aug 2, 2020 Accepted: Nov 22, 2020 Published: Dec 10,2020
Abstrak
Sebuah kain batik yang dipergunakan sehari-hari ataupun pada hari-hari tertentu, bagi masyarakat
peranakan Tionghoa tidak saja untuk menutupi tubuh atau menunjukkan kebanggaan status sosial
tertentu, tetapi juga menyimbolkan harapan baik. Di dalam penelitian yang dilakukan pada 2019
di Banyumas, Jawa Tengah, ditemukan bahwa kain batik yang dipergunakan dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Peranakan Tionghoa di Jawa memiliki makna motif dan warna yang tidak
terpisah dari kepercayaan dan tradisi leluhur dari daratan Tiongkok, yang terakulturasi dengan
kepercayaan dan tradisi lokal, yaitu Jawa, khususnya Banyumas, tempat masyarakat Tionghoa
tersebut bermukim. Penelitian di Banyumas tersebut menggunakan pendekatan antropologi
simbolik, dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam. Pengalaman dan
pengetahuan Peranakan Tionghoa hidup dalam budaya Tiongkok dan Jawa menghasilkan kain
batik mengadaptasi motif dan warna dari kedua budaya. Sayangnya, makna motif dan warna kain
batik sudah tidak banyak dipahami oleh para peranakan Tionghoa saat ini.
Kata kunci: Banyumas, Jawa, peranakan Tionghoa, batik
Abstract
Batik cloth of Indonesia Chinese society which use in daily and special day not only has function
to cover the body or show the social status, but also symbolize the good hope. In research of 2019
in Banyumas, Central Java, batik cloth in daily use of Indonesia Chinese society has motif and
color can’t be divided from beliefs and ancestor tradition in China mainland, which acculturated
with local beliefs and tradition, Java, specially Banyumas, the settlement of Indonesia Chinese
society. The symbolic anthropology approach is used in the research by depth interviewer
technique of data collecting. The experience and knowledge of Indonesia Chinese community live
in China mainland and Java’s culture has result of motif and colour adaptation that two cultures.
Unfortunately, the meaning of motif and colour of batik is less understanding by Indonesia
Chinese society at present.
Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020
p-ISSN: 2355-5750
66 Museum Nasional
Keywords: Banyumas, Java, Indonesia Chinese, batik
Makna Motif dan Warna Kain Batik Peranakan Tionghoa Jawa di Banyumas ______________________________________________________________________________________
Diyah Wara Restiyati
Jurnal Prajnaparamita 67
PENDAHULUAN
Pakaian merupakan salah satu unsur penting
dalam menampilkan identitas sebuah etnik.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda,
pembagian wilayah di Batavia dilakukan
berdasarkan etnik dan setiap etnik diwajibkan
menggunakan pakaian khasnya masing-
masing, tidak terkecuali para imigran
Tiongkok yang diwajibkan terus memakai
pakaian khas Tiongkok. Bahkan, Pemerintah
Hindia Belanda mengeluarkan Peraturan
Surat Jalan (Passesstelsel), yaitu peraturan
yang menentukan bahwa setiap orang
Tionghoa yang bepergian atau berdagang dari
satu kota ke kota lain diharuskan membawa
surat izin perjalanan. Setiap pelanggaran atas
peraturan dikenakan hukuman. Tujuan
dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk
membatasi ruang gerak etnis Tionghoa
(Lohanda, 2007). Meskipun demikian,
peraturan pemerintah kolonial Belanda tidak
bisa membatasi percampuran budaya
antaretnik yang sudah lama terjadi jauh
sebelum kedatangan bangsa Belanda, seperti
yang terjadi pada suku Tionghoa.
Percampuran antara orang Tiongkok dan suku
lainnya menghasilkan suku Tionghoa atau
yang disebut dengan peranakan Tionghoa
pada masa pemerintahan VOC dan kolonial
Hindia Belanda (Onghokham, 2009).
Orang yang disebut dengan peranakan
Tionghoa memiliki ciri-ciri tidak bisa
berbahasa Mandarin sama sekali, umumnya
tidak menganut kepercayaan leluhur, dan
sebagian besar sudah tidak bermata sipit dan
berkulit kuning (Onghokham, 2009).
Peranakan Tionghoa merupakan sebutan
untuk keturunan percampuran dari orang
Tiongkok Selatan dan orang dari suku lain di
Nusantara, utamanya, di Pulau Jawa sehingga
membentuk budaya campuran yang unik.
Sebagian besar orang Peranakan Tionghoa ini
masih melakukan tradisi leluhur berdasarkan
kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno,
tetapi sudah tidak paham makna dan
tujuannya (Restiyati, 2013). Menurut Pak
Trisno (60 tahun), salah seorang informan dari
komunitas peranakan Tionghoa di Jawa
Tengah, penyebutan peranakan Tionghoa juga
dapat disebut dengan peranakan Cina.
Penyebutan istilah peranakan
Tionghoa merujuk pada istilah yang
dilabelkan oleh pemerintah kolonial Belanda
pada masyarakat Tiongkok di Pulau Jawa
yang tidak memiliki kuncir lagi, sudah
berpindah agama ke agama Islam, sudah tidak
memakan babi, dan sudah menikah dengan
orang beragama Islam (Onghokham, 2009).
Berdasarkan wawancara dengan Pak Seno (77
tahun), tokoh budayawan Tionghoa, istilah
Tionghoa pertama kali digunakan dan
disebarkan penggunaannya oleh Tiong Hoa
Hwee Koan (THHK), sebuah organisasi
modern pertama di Batavia yang didirikan
pada tahun 1900. Pemerintah kolonial
Belanda mengakui pemakaian istilah
Tionghoa dan Tiongkok bagi hal-hal yang
bersifat resmi pada tahun 1928, termasuk
untuk penyebutan orang Tiongkok (umumnya
berasal dari Tiongkok Selatan) dengan suku
Jawa dan Sunda di Pulau Jawa, terutama di
kota Batavia.
Orang Peranakan Tionghoa kemudian
banyak berpakaian seperti orang Eropa,
sebagian besar perempuannya mengenakan
kebaya atau baju panjang dan sarung atau kain
batik. Menurut Pak Dede (67 tahun), salah
seorang tokoh budaya Tionghoa di Jakarta,
baju panjang atau sering disebut dengan baju
kurung yang dikenakan oleh para perempuan
Tionghoa dan kebaya berwarna putih tipis
dengan bordiran warna-warni yang dikenal
dengan nama kebaya nyonya atau kebaya
encim. Istilah nyonya dilabelkan pada para
istri-istri dari laki-laki peranakan Tionghoa
yang disamakan dengan penyebutan pada
istri-istri orang Eropa atau Indo (campuran
Eropa dan suku di Indonesia), sedangkan
encim mengacu pada kata encim dalam bahasa
Hokkian yang artinya ‘bibi’. Kebaya ini
dinamakan kebaya encim karena menurut Pak
Dede, kebaya ini dikenakan oleh encim-
encim. Baju kurung dan kebaya digunakan
sebagai atasan oleh para perempuan
peranakan Tionghoa dan sarung atau kain
batik digunakan sebagai bawahan.
Menurut salah satu informan bernama
Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020
p-ISSN: 2355-5750
68 Museum Nasional
Ibu Sandy (70 tahun), keturunan peranakan
Tionghoa di Jawa, alasan perempuan
peranakan Tionghoa mulai menggunakan baju
sarung dan kebaya dengan sarung atau kain
batik adalah karena ada tren pemakaian oleh
para perempuan Indo pada sekitar abad ke19.
Hal ini dikuatkan dari keterangan Ibu Mona,
ahli sejarah kolonial yaitu bahwa pada abad
ke-19 muncul budaya baru di Hindia Belanda,
terutama di Batavia, yang disebut dengan
budaya Indis dan salah satu cirinya adalah
pemakaian pakaian campuran dari budaya
Eropa, Tiongkok, dan lokal. Laki-laki Indo
menggunakan pakaian jas apabila ada di
kantor, sedangkan di rumah mereka terbiasa
memakai baju atasan seperti laki-laki
Tionghoa dan bawahan celana pangsi dari
bahan batik, sedangkan si perempuan
menggunakan kebaya atau baju sarung warna
putih, warna yang sering dipakai orang Eropa,
dan sarung atau kain batik yang merupakan
kain khas Jawa dengan motif flora fauna yang
dikenal di budaya Eropa dan Tiongkok, seperti
bunga krisan atau burung bangau (Achjadi,
2005).
Pada abad ke-19, salah satu daerah
pembuat sarung dan kain batik Jawa yang
dipengaruhi budaya Eropa dan Tiongkok
adalah Banyumas. Di daerah ini seorang
perempuan bernama Catharina Van Oosterom
atau dikenal dengan Nyonya Oosterom
mengembangkan batik yang dipengaruhi batik
Pesisiran, seperti motif buketan ditambahkan
warnawarna khas Belanda, seperti biru, dan
motif Ukel. Batik khas Van Oosterom ini
dikenal dengan nama Matheron atau Matheros
yang berasal dari nama Nyonya Matheron
yang memopulerkan motif khas Van
Oosterom (Restiyati, 2019). Para Peranakan
Tionghoa Jawa mendominasi bisnis dan
produksi batik di daerah Banyumas, bahkan
sampai pada tahun 1970-an, terdapat
perusahaan batik yang terkenal, Kho Sian Kie,
yang memproduksi batik cap dan dipasarkan
ke seluruh Jawa (Ariani, 2012). Saat ini batik
Hadipriyanto yang terkenal masih
memproduksi motif lama Banyumas. Lalu,
apa sebenarnya makna motif dan warna pada
kebaya dan kain batik yang digunakan
perempuan peranakan Tionghoa di
Banyumas?
Tujuan dari penelitian mengenai
makna motif dan warna kain batik peranakan
Tionghoa ini adalah sebagai berikut.
1. Menguatkan identitas masyarakat
peranakan Tionghoa di Banyumas
sebagai pelestari budaya;
2. Menunjukkan jejak budaya campuran
yang terjadi di Banyumas; dan
3. Meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat Indonesia dan
Banyumas, khususnya untuk
melakukan pelestarian budaya.
Penelitian kualitatif ini dilakukan di
Banyumas pada tahun 2019 dengan
menggunakan teknik pengambilan data
berupa wawancara mendalam. Penelitian ini
menggunakan pendekatan antropologi
simbolik, karena merupakan pendekatan yang
paling tepat untuk mengetahui makna motif
dan warna batik Peranakan Tionghoa di
Banyumas. Pendekatan antropologi simbolik
akan menganalisa hasil wawancara dengan
para informan yang terlibat langsung dalam
pembuatan batik Peranakan Tionghoa,
mempelajari mengenai batik Peranakan
Tionghoa di Banyumas dan merupakan
pelaku yang membuat dan memakai batik
dalam kehidupan sehari-hari atau peristiwa
tertentu seperti tahun baru Cina. Pengalaman,
dan pengetahuan para informan akan
mempengaruhi pemaknaan terhadap motif
dan warna batik.
PEMBAHASAN
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda,
kebaya putih tipis dengan sarung batik
secara hukum hanya boleh dikenakan oleh
perempuan yang dianggap sebagai bagian
dari masyarakat Eropa, yaitu perempuan
Eropa serta istri dan anak perempuan dari
laki-laki Eropa yang diakui secara hukum
dan telah menjadi Kristen (Achjadi, 2005).
Para perempuan Tionghoa, terutama yang
sudah menikah dengan etnik lain atau
keturunan dari percampuran etnik
Makna Motif dan Warna Kain Batik Peranakan Tionghoa Jawa di Banyumas ______________________________________________________________________________________
Diyah Wara Restiyati
Jurnal Prajnaparamita 69
mengenakan kebaya putih sebagai
kebanggaan menjadi bagian dari komunitas
elite Eropa ketika diberlakukan persamaan
kedudukan untuk semua orang Tiongkok
yang orang tuanya menetap di Hindia
Belanda. Pemakaian kebaya putih seperti
perempuan Belanda sekaligus merupakan
doa agar memiliki kehidupan sukses seperti
orang-orang Belanda.
Menurut Ibu Sandy, warna putih
menyimbolkan warna kedukaan,
kesedihan, dan nasib tidak beruntung dalam
tradisi leluhur masyarakat Tionghoa. Para
perempuan Tionghoa kemudian
menghiasnya dengan bordiran motif
berwarna-warni dari cerita-cerita
Tiongkok, seperti kupu-kupu, bunga seruni,
naga, burung hong (fenghuang, sering kali
dianggap identik dengan burung phoenix),
merak, burung bangau, dan motif lain.
Motif bordir yang berwarna-warni ini
dianggap melambangkan kemakmuran,
kebahagiaan, kesejahteraan, seperti merah,
kuning, biru langit, hijau, dan lain-lain
(Chunjiang, 2012). Kebaya putih tipis ini
dipakai, baik dalam acara-acara khusus
maupun kegiatan sehari-hari. Motif yang
dipakai pun disesuaikan dengan acara yang
dihadiri, misalnya, untuk pernikahan, motif
yang dipakai adalah motif burung hong,
bangau, merak, bunga seruni, dan lain-lain.
Hal yang diutamakan adalah
melambangkan kebahagiaan dan
kegembiraan. Sementara itu, untuk
kedukaan atau peringatan kematian anggota
keluarga, perempuan Tionghoa akan
menggunakan kebaya putih polos (Achjadi,
2015).
Pada tahun 1910, para perempuan
Tionghoa yang memproduksi batik mulai
menambahkan warna cerah pada kebaya
dan batik klasik khas Yogyakarta serta
Surakarta sehingga batik yang dihasilkan
mirip dengan batik di daerah pesisir.
Warna-warna cerah ini dipakai dalam
berbagai kesempatan, terutama pada tahun
1930-an oleh para nyonya muda atau nona
sehingga menjadi tren di kalangan
perempuan Tionghoa, terutama para
saudagar batik, istri, dan anak para pejabat
Tionghoa atau dikenal dengan opsir
Tionghoa (Achjadi, 2015).
Menurut Ibu Mona, opsir Tionghoa
diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda
dari golongan orang Tionghoa kaya dengan
jabatan kapitan, letnan, atau mayor (sesuai
dengan luas wilayah dan jumlah anggota
masyarakat di tempat tinggalnya). Sebutan
kapitan, letnan atau mayor bukanlah
jabatan dalam kemiliteran melainkan
jabatan pemimpin masyarakat Tionghoa
yang bertugas mengawasi masyarakat,
memungut pajak, mengatur monopoli
tertentu di bidang ekonomi, mengurus
kelenteng komunal, menilik para biksu, dan
melaksanakan upacara keagamaan, serta
mengurus pekuburan. Jabatan opsir
Tionghoa ini tidaklah memiliki tentara dan
selalu dijabat oleh orang Tionghoa
berpengaruh di dalam masyarakat
Tionghoa di berbagai kota di Nusantara
(Lohanda, 2007). Para istri opsir Tionghoa
dan anak perempuannya berperan besar
dalam memperkenalkan kebaya dan batik
beraneka warna dan motif yang biasanya
diambil dari mitologi masyarakat
Tionghoa.
Makna Motif Kain Batik
Motif kain batik yang paling terkenal di
dalam masyarakat Peranakan Tionghoa
adalah naga, burung hong/fenghuang,
bunga peony, dan krisan. Motif burung
hong/fenghuang/phoenix sudah ada sejak
8.000 tahun yang lalu dan digunakan pada
hampir semua benda selain kain, seperti
gerabah, benda-benda perunggu, dan giok
(Garret, 2007). Menurut Pak Tono,
keturunan ketiga dari saudagar batik di
Banyumas, motif lawas dari negeri
Tiongkok ini dipercaya sebagai penolak
bala di kalangan masyarakat Jawa,
termasuk Banyumas. Motif ini merupakan
harapan dan doa agar membawa
kegembiraan, kebahagiaan, kesuburan,
keberuntungan, dan hal-hal baik ketika
motif ini hadir. Oleh karena itu, sering
Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020
p-ISSN: 2355-5750
70 Museum Nasional
ditemukan kain batik yang dibuat atau yang
digunakan perempuan Tionghoa
bermotifkan burung hong. Sering kali motif
itu juga dikombinasikan dengan bunga
peonyatau krisan. Berdasarkan
pengamatan, sampai saat ini tidak ada
pakem khusus dalam menggambar motif
burung hong. Motif burung hong hanya
dikenal sebagai motif burung dengan ekor
yang panjang dan melengkung ujungnya,
hampir serupa dengan burung merak. Oleh
karena itu, juga menurut Mas Anto (48
tahun), pembatik generasi keempat dari
keluarga pembatik di Banyumas, motif ini
sering disamakan dengan burung merak.
Berdasarkan keterangan dari Pak Dede,
burung hong di dalam mitologi Tiongkok
sebenarnya merepresentasikan unsur
maskulin (feng) dan feminin (huang).
Burung feng memiliki jumlah ekor yang
ganjil merepresentasikan yang, sedangkan
burung huang memiliki jumlah ekor yang
genap merepresentasikan yin. Namun, pada
perkembangannya terutama di Asia
Tenggara termasuk Indonesia, burung
fenghuang menjadi satu kesatuan dan
merepresentasikan unsur feminin (yin) dan
naga merepresentasikan unsur maskulin
(yang).
Menurut Pak Tisno, pada dasarnya
bulu ekor burung fenghuang memiliki lima
warna utama dalam budaya Tiongkok, yaitu
hitam, putih, merah, hijau, dan kuning.
Namun, hanya di Indonesia burung
fenghuang memiliki warna lebih dari lima,
bahkan tidak harus ada lima warna utama.
Kelihatannya, orang-orang Tionghoa sudah
menyesuaikan motif-motif lama dengan
apa yang disukai oleh masyarakat lokal.
Adaptasi motif burung hong di dalam kain
batik kemudian digambarkan sebagai
burung merak atau ayam. Hal ini dikuatkan
oleh keterangan Ibu Imah (80 tahun),
pembatik di Banyumas. Ibu Imah
menganggap bahwa burung hong yang
digambarkan merupakan burung merak.
Anggapan ini dapat terjadi karena di dalam
cerita-cerita Jawa kuno, burung merak
merupakan hewan yang sering dipelihara
oleh istana atau keraton di Jawa, Burung
merak ini biasanya ditempatkan di taman-
taman kerajaan karena keindahannya
(Rifai, 2017).
Foto 1: Motif burung Fenghuang
Sumber foto: pribadi
Motif burung merak sendiri
dipopulerkan oleh para pembatik dari
kalangan istana atau kerajaan di Jawa
(Achjadi, 2005). Pada batik Banyumas,
motif burung hong dan burung merak
jarang ditemukan. Motif yang justru banyak
ditemukan adalah motif ayam. Hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa ayam
merupakan hewan yang dekat dengan
kehidupan masyarakat Banyumas yang
umumnya adalah petani. Motif ayam puger
merupakan motif hewan yang banyak
ditemukan pada kain batik yang dibuat oleh
peranakan Tionghoa Jawa di Banyumas.
Motif burung lain yang dibuat dan
digunakan masyarakat peranakan Tionghoa
di Banyumas adalah burung pipit. Burung
pipit dalam kepercayaan Tiongkok kuno
merupakan simbol keberuntungan. Oleh
karena itu, masyarakat Tionghoa yang
masih percaya dengan kepercayaan leluhur
Makna Motif dan Warna Kain Batik Peranakan Tionghoa Jawa di Banyumas ______________________________________________________________________________________
Diyah Wara Restiyati
Jurnal Prajnaparamita 71
akan membiarkan burung pipit berada di
sekitar rumah mereka. Menurut Ibu Mar
(78 tahun), pembatik Banyumas, motif
burung pipitmelambangkan rezeki yang
melimpah dan keberuntungan bagi
pemakai. Ibu Mar juga menambahkan
bahwa motif burung pipit digambarkan
dalam kain batik Banyumas karena burung
pipit ini merupakan salah satu hewan yang
sering terlihat berada di persawahan di
Banyumas.
Foto 2: Motif ayam puger
Sumber foto: pribadi
Menurut kepercayaan leluhur
Tionghoa, naga merupakan binatang
pembawa keberuntungan. Maka dari itu,
pada masa kekaisaran Tiongkok, pada
jubah sang kaisar selalu disematkan motif
naga dan begitu pula singgasananya yang
berukiran gambar naga (Morgan, 2007).
Menurut Pak Dede, naga dianggap hewan
penguasa alam semesta dan sumber
kehidupan berupa air. Air dikendalikan
oleh naga dan naga juga memberikan
kegembiraan, kebahagiaan, kesuburan,
serta kemakmuran dalam peristiwa
kehidupan masyarakat Tionghoa. Di
Indonesia motif naga juga ditafsirkan
sebagai lambang kemaskulinan sehingga
motif ini banyak dipakai oleh kaum laki-
laki Tionghoa, sepertipada batik atau
pakaian pernikahan dan tokwi/alas meja
altar (Restiyati, 2019). Berdasarkan
wawancara dengan untuk masyarakat
peranakan Tionghoa Banyumas, motif
Naga ini jarang sekali dibuat untuk kain
batik yang dipakai perempuan, kecuali
untuk kain gendong (cukin). Penggunaan
motif naga pada kain gendong menurut Ibu
Soen (77 tahun), generasi ketiga dari
saudagar batik Banyumas, bertujuan untuk
memberikan perlindungan dan
keberuntungan kepada si anak karena naga
dipercaya para leluhur dapat melindungi si
anak.
Foto 3: Motif burung pipit
Sumber foto: pribadi
Motif hewan yang juga sering
digambar oleh para pembatik adalah motif
kupu-kupu. Dari hasil wawancara dengan
para pembatik, tidak ada informan yang
mengetahui makna kupu-kupu dalam kain
batik. Informan hanya mengatakan bahwa
kupu-kupu merupakan lambang
perempuan. Menurut Mas Anto, motif
kupu-kupu terinspirasi dari kisah cinta tak
berujung bahagia sepasang kekasih
bernama San Pek dan Eng Tai dalam
legenda Tiongkok kuno. Kedua pemuda-
pemudi yang saling mencintai tersebut
berasal dari kelas sosial berbeda, tetapi
tidak dapat bersama. Biasanya di dalam
kain batik, motif kupu-kupu akan
digambarkan sepasang karena sepasang
kupu-kupu dalam tradisi Tionghoa
melambangkan cinta abadi. Alkisah ada
seorang gadis bernama Eng Tai dan
pemuda bernama San Pek saling mencintai,
tetapi lamaran San Pek ditolak keluarga
Eng Tai karena perbedaan status sosial dan
Eng Tai sudah dijodohkan dengan pemuda
Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020
p-ISSN: 2355-5750
72 Museum Nasional
lain. San Pek pun meninggal karena patah
hati. Pada saat hari pernikahan Eng Tai
dengan Ma Tjun, pemuda yang dijodohkan,
Eng Tai meminta untuk melewati makam
San Pek agar bisa bersembahyang di
makam tersebut. Ketika Eng Tai
bersembahyang, Eng Tai memohon kepada
dewa agar pintu makam San Pek terbuka
untuknya. Ketika pintu makam terbuka,
Eng Tai pun masuk ke dalam makam dan
tidak keluar lagi. Ma Tjun yang marah
meminta makam San Pek terbuka kembali
untuk menemukan Eng Tai. Namun, yang
ditemukan hanya sepasang kupu-kupu yang
indah dan terbang ke langit. Dipercaya
bahwa San Pek-Eng Tai telah menjelma
menjadi sepasang kupu-kupu tersebut
(Chunjiang, 2012).
Foto 4. Motif kupu-kupu
Sumber foto: pribadi
Pada kain batik Banyumas
peranakan Tionghoa, motif flora yang
sering diproduksi adalah talas (lumbon) dan
bunga krisan (chysanthenum). Dari kedua
motif ini, motif bunga krisan mendapatkan
pengaruh dari budaya Tiongkok. Motif
bunga krisan sering diasosiasikan dengan
musim gugur. Bunga krisan melambangkan
persahabatan, umur panjang, kedamaian,
simbol keriangan, kemudahan dalam hidup,
kecerdasan, keanggunan, dan
kesejahteraan. Di dalam lukisan atau benda
budaya Tionghoa, bunga krisan sering
digambarkan bersama burung pipit
(Morgan, 2007). Menurut Pak Dede, pada
prinsipnya semua motif bunga pada benda
budaya masyarakat Tionghoa
melambangkan sifat feminin atau
perempuan sehingga akan dipadupadankan
dengan motif burung atau naga. Untuk
motif talas (lumbon), motif ini diambil dari
tanaman yang umum di Banyumas.
Foto 5. Motif bunga krisan
Sumber foto: pribadi
Foto 6. Motif talas (lumbon)
Sumber foto: pribadi
Motif flora yang juga sering dipakai
pada batik Banyumas Peranakan Tionghoa
yaitu motif ganggang atau ganggeng.
Menurut Mas Anto, motif ini sering
disamakan dengan kelabang mlaku.
Kelabang dalam budaya Tiongkok
melambangkan rezeki yang berlanjut dan
penangkal roh jahat. Motif ini kemudian
diadaptasi sebagai motif ganggang/
ganggeng (Sumarsono, X.Hartono Helen
Ishwara, L.R Supriyapto Yahya, 2012)
Makna Motif dan Warna Kain Batik Peranakan Tionghoa Jawa di Banyumas ______________________________________________________________________________________
Diyah Wara Restiyati
Jurnal Prajnaparamita 73
Foto 7. Motif ganggang/ganggeng
Sumber foto: pribadi
Makna Warna Batik Peranakan
Tionghoa
Pewarnaan merupakan karya seni yang
dipraktikkan oleh perempuan Peranakan
Tionghoa dalam kain batik. Ada lima warna
utama yang digunakan, yaitu merah,
kuning, biru, kehijauan, putih, dan hitam.
Warna merah melambangkan kegembiraan,
kebahagiaan, dan keberuntungan dan
digunakan untuk segala jenis pesta
(Morgan, 2007). Menurut Ibu Saras (70
tahun), seorang saudagar batik, warna
merah merupakan representasi doa akan
kebahagiaan sepanjang masa dalam
kehidupan orang Tionghoa. Semua warna
yang merupakan turunan dari merah,
seperti merah muda, ungu, atau oranye juga
dipercaya mampu membawa energi yang
sama sehingga doa pun mampu terwujud.
Di dalam Fengshui (feng ‘angin’ dan shui
‘air’), suatu konsep keseimbangan elemen
Yin Yang (halus/kasar; feminin/maskulin)
dalam kehidupan orang Tionghoa yang
terepresentasikan dalam hunian atau tempat
usaha dan tempat bekerja, warna merah
disamakan dengan elemen yang dan arah
selatan, suatu arah yang dianggap
membawa banyak kebahagiaan dan
kegembiraan (Morgan, 2007).
Selain merah, warna kuning juga
menjadi warna utama yang dipercaya
membawa hal positif dalam masyarakat
Peranakan Tionghoa karena dipercaya
membawa kemakmuran, keberuntungan,
kekuasaan, kekayaan, kebahagiaan,
kehormatan, dan semua hal baik. Kuning
yang melambangkan yin dan bumi. Warna
tersebut menjadi warna yang dipakai dalam
kekaisaran di Tiongkok, selain warna
merah (Morgan, 2007). Menurut Pak Dede,
warna kuning juga dianggap
melambangkan kebangsawanan atau
keningratan dan diidentikkan dengan warna
kekaisaran. Di masa kekaisaran, rakyat
jelata tidak boleh mengenakan warna ini
secara sembarangan. Dengan tumbangnya
kekaisaran, warna kuning dapat dikenakan
semua kalangan. Para pendeta Buddha juga
banyak memakai warna ini untuk
pakaiannya (Garret, 2007).
Untuk warna biru dan kehijauan
yang dipakai di kain batik, menurut Ibu
Sandy, warna tersebut melambangkan alam
di bumi dan kepandaian serta biasa
digunakan sebagai pelengkap warna merah
dan kuning atau dapat juga berdiri sendiri.
Pada masa kekaisaran Tiongkok, warna
biru digunakan pejabat tinggi, sedangkan
warna kehijauan digunakan oleh pejabat
rendah. Untuk warna biru bisa digunakan
pada saat pesta, pada saat duka, dan
biasanya digunakan para cendekiawan pada
masa kekaisaran Tiongkok (Morgan, 2007).
Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020
p-ISSN: 2355-5750
74 Museum Nasional
Sementara itu, warna putih, menurut Mas
Anto, melambangkan kedukaan,
kepolosan, kesederhanaan, dan kesucian,
sedangkan warna hitam melambangkan
sesuatu yang jahat, negatif.
PENUTUP
Motif dan warna pada kain batik yang
dibuat, dimiliki, atau digunakan masyarakat
Peranakan Tionghoa dapat disimpulkan
bukanlah sesuatu yang sembarang atau
sederhana. Pembuatan kain batik sebagai
karya seni berdasarkan pengetahuan,
pengalaman, dan lingkungan para pembuat
batik turut memengaruhi terciptanya
sebuah batik yang digunakan dalam
keseharian dan waktu khusus. Kain batik
dengan motif dan warna tertentu
merepresentasikan hal tertentu yang khas
dalam budaya peranakan Tionghoa. Warna
merah dan kuning paling banyak dipakai
dalam batik Peranakan Tionghoa karena
melambangkan kebahagiaan, kesuksesan,
kejayaan, dan hal-hal baik lain. Warna
merah dalam batik Banyumas diaplikasikan
menjadi warna cokelat tua dan warna merah
tua, sedangkan warna kuning diaplikasikan
menjadi warna kuning kecokelatan.
Pengalaman dan pengetahuan Peranakan
Tionghoa hidup dalam budaya Tiongkok
dan Jawa menghasilkan kain batik
mengadopsi motif dan warna dari kedua
budaya. Sayangnya, makna motif dan
warna kain batik peranakan Tionghoa
sudah tidak banyak dipahami oleh para
keturunan peranakan Tionghoa meskipun
mereka merupakan keturunan saudagar
kain batik. Dari hasil wawancara dengan
para informan, hanya satu orang yang
paham mengenai makna motif dan warna
pada kain Banyumas karena dia merupakan
keturunan saudagar kain batik yang
mempelajari batik, memproduksi kain,
serta membuat bengkel dan toko batik.
DAFTAR PUSTAKA
Achjadi, J. K. dan A. D. (2005). Butterflies
and Phoenixes, Chinese Inspirations
in Indonesia Textile Arts. Marshal
Cavendish.
Achjadi, J. K. dan A. D. (2015). Kebaya
Encim, Sebuah Fenomena di Dunia
Fesyen Tradisional Indonesia. Unit
Pengelola Museum Seni Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi
DKI Jakarta.
Ariani, C. (2012). Simbol, Makna, dan Nilai
Folisofis Batik Banyumasan.
Patrawidya, 14(No.3), 577–613.
Chunjiang, F. (2012). Origins of Chinese
Suspicious Symbols. Elex Media
Komputindo, 2012.
Garret, V. (2007). Chinese Dress, From the
Qing Dynasty to the Present. Tuttle
Publishing.
Lohanda, M. (2007). Sejarah Para Pembesar
Mengatur Batavia. Masup Jakarta.
Morgan, H. (2007). China Simbol dan Mistik.
Alfamedia.
Onghokham. (2009). Riwayat Tionghoa
Peranakan di Jawa (David Reeve
(ed.); Second). Komunitas Bambu.
Restiyati, D. W. (2013). Peranakan Tionghoa
di Indonesia.
Restiyati, D. W. (2019). Batik Banyumas
Jejak Tradisi yang Memudar.
Rifai, M. A. (2017). Desawarna Saduran
Kakawin Nagarakertagama untuk
Bacaan Remaja. Komunitas Bambu.
Sumarsono, X.Hartono Helen Ishwara, L.R
Supriyapto Yahya, X. M. (2012).
Makna Motif dan Warna Kain Batik Peranakan Tionghoa Jawa di Banyumas ______________________________________________________________________________________
Diyah Wara Restiyati
Jurnal Prajnaparamita 75
Benang Raja Menyimpul Keelokan
Batik Pesisir.