makalah scleroderma

35
A. EPIDEMIOLOGI Skleroderma adalah penyakit dengan distribusi yang luas diseluruh dunia dan menyerang semua ras. Skleroderma hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang disebut dengan sindroma CREST (calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis). Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyaknya kasus yang tidak dilaporkan, apalagi pada kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada masyarakat umum di Carolina Selatan Amerika Serikat, mendapatkan prevalensi sebesar 19-75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 1,9-4 : 1. Pada penelitian di Tennesee Amerika Serikat , ternyata jumlah pasien skleroderma pada wanita usia reproduksi (20-44 tahun) sebesar 15 kali jumlah pasien laki-laki pada usia yang sama, sedangkan pada wanita usai 45 tahun atau lebih frekuensinya hanya 1,8 kali laki-laki pada usia yang sama. Penelitian di Inggris, Australia dan Jepang menunjukkan insiden yang lebih rendah dibandingkan di Amerika Serikat. Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun skleroderma pada ras kulit berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa beberapa faktor lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya skleroderma misalnya debu silica dan implantasi silikon. Beberapa bahan kimia seperti vinilklorida, epoksin-resin, trikoloroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan juga diketahui berhubungan dengan

Upload: indah-kertawati

Post on 26-Jul-2015

1.407 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Scleroderma

A. EPIDEMIOLOGI

Skleroderma adalah penyakit dengan distribusi yang luas diseluruh dunia dan

menyerang semua ras. Skleroderma hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang

disebut dengan sindroma CREST (calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily,

teleangiectasis). Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyaknya kasus yang tidak

dilaporkan, apalagi pada kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada

masyarakat umum di Carolina Selatan Amerika Serikat, mendapatkan prevalensi sebesar

19-75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 1,9-4 : 1.

Pada penelitian di Tennesee Amerika Serikat , ternyata jumlah pasien skleroderma pada

wanita usia reproduksi (20-44 tahun) sebesar 15 kali jumlah pasien laki-laki pada usia

yang sama, sedangkan pada wanita usai 45 tahun atau lebih frekuensinya hanya 1,8 kali

laki-laki pada usia yang sama. Penelitian di Inggris, Australia dan Jepang menunjukkan

insiden yang lebih rendah dibandingkan di Amerika Serikat.

Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun skleroderma pada ras

kulit berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa beberapa faktor

lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya skleroderma misalnya debu silica

dan implantasi silikon. Beberapa bahan kimia seperti vinilklorida, epoksin-resin,

trikoloroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan juga

diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma. Pajanan terhadap vinilklorida

diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma yang disertai fenomena Raynaud,

akroosteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan pemakaian bleomisin pada kanker testis

terutama bila dikombinasi dengan sisplatinum ternyata berhubungan dengan timbulnya

skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru.

Prevalensi di Inggris tahun 2004 ditemukan frekuensi yang lebih tinggi yaitu 12

diantara 100.000 penduduk, serupa dengan penelitian di Amerika utara tahun 2003 dan

penelitian tahun 2001 di Australia.

Kesimpulan dari studi demografik didapatkan bahwa penyakit ini jarang terjadi

pada anak-anak dan insidennya meningkat sesuai dengan penambahan usia. Insiden yang

jarang ini menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan penting dalam

kerentanan yang terjadi pada populasi.

Page 2: Makalah Scleroderma

B. DEFINISI

Sklerosis Sistemik (Skleroderma) adalah penyakit sistemik kronis yang

ditandai dengan penebalan dan fibrosis kulit (skleroderma) dengan

keterlibatan organ internal yang luas terutama paru, saluran cerna,

jantung dan ginjal. Fibrosis adalah pembentukan struktur seperti skar

yang halus yang menyebabkan jaringan mengeras dan mengurangi

aliran cairan melalui jaringan-jaringan. Stadium dini dari penyakit ini

berhubungan dengan gambaran inflamasi yang menonjol, diikuti

dengan perubahan struktural dan fungsional yang menyeluruh pada

mikrovaskular dan disfungsi organ yang progresif akibat dari proses

fibrosis.

Klasifikasi:

Dua varian utama skleroderma adalah kutaneus difus (20% kasus) dan kutaneus terbatas

(80% kasus).

1. Tipe difus yang lebih sedikit ini ditandai dengan penebalan kulit pada ekstremitas

bagian distal dan proksimal serta batang tubuh dan sering melibatkan ginjal, paru dan

jantung. Tipe difus adalah jenis yang progresif dan sering merusak banyak organ

dalam, tidak hanya kulit saja.

2. Tipe terbatas menonjolkan sindrom CREST (kalsinosis, fenomena Raynaud, disfungsi

esofagus, sklerodaktili dan teleangiektasia), perubahan pada kulit hanya terbatas pada

wajah, jari jemari dan bagian distal ekstremitas.

Varian ketiga yang jarang didapatkan adalah overlap syndrome; sindrom ini terdiri

dari skleroderma yang terasosiasi dengan penyakit jaringan ikat lainnya, misalnya lupus

sistemik (SLE), artritis rheumatoid, polimiositis dan sindrom Sjögren

Berdasarkan pola distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, Skleroderma dapat

dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

1. Skleroderma Lokal

Yaitu beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa disertai

kelainan sistemik. Termasuk dalam kelompok ini adalah :

Page 3: Makalah Scleroderma

a. Plaque Morphea : Perubahan setempat yang dapat ditemukan dibagian tubuh

mana saja, fenomena raynaud sangat jarang ditemukan. Fenomena Raynaud

adalah perubahan warna yang episodik (palor, sianosis, eritem) yang dicetuskan

oleh lingkungan yang dingin atau stres emosional. Perubahan spesifik umumnya

terjadi pada jari tangan, dapat juga mengenai jari kaki, daun telinga, lidah dan

hidung.

b. Linear Sclerosis : Terdapat pada anak-anak, ditandai perubahan skleroderma pada

kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atrofi otot dan tulang

dibawahnya

c. Scleroderma en coup de sabr : Merupakan varian skleroderma linier, dimana garis

yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah

frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dan kelainan tulang.

2. Sklerosis sistemik

a. Sklerosis sitemik difusa : Dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas, muka

dan seluruh tubuh.

b. Sklerosis sistemik terbatas : Penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut

tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah sindroma CREST

(calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis).

c. Sklerosis sistemik sine skleroderma : secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit

walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran serologis yang khas untuk

sklerosis sistemik.

d. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome : Arthritis rheumatoid atau penyakit

otot inflamasi

e. Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensiasi : bila didapatkan fenomena

Raynaud dengan gambaran klinis atau laboratorik sesuai dengan sklerosis sitemik

Faktor yang mempengaruhi timbulnya scleroderma:

a. Faktor Genetik

Sekitar 1,6% pasien skleroderma memiliki resiko relatif sebesar 13 yang

menunjukkan pentingnya faktor genetik. Resiko penyakit autoimun lain termasuk

systemic lupus erythematosus (SLE) dan rheumatoid arthritis (RA) juga meningkat

Page 4: Makalah Scleroderma

pada keturunan pertama pasien skleroderma. Penelitian genetik saat ini difokuskan

pada polimorfisme gen kandidat, terutama gen yang berhubungan dengan regulasi

imunitas, inflamasi, fungsi vaskuler dan homeostasis jarigan ikat. Hubungan yang

lemah antara single nucleotide polymorphisms (SNPs) dengan skleroderma telah

dilaporkan pada gen yang mengkode angiotensin-converting enzyme (ACE),

endothelin 1, nitric oxide synthase, B-cell markers (CD19), kemokin (monocyte

chemoattractantprotein 1) dan reseptor kemokin, sitotokin (interleukin (IL)-1 alpha,

IL-4, dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha), growth factors dan reseptornya

(connective tissue growth factor [CTGF] and transforming growth factor beta [TGF-

beta]) dan protein matriks ekstraseluler (fibronectin, fibrillin, and SPARC).

b. Faktor Lingkungan

Resiko relatif faktor genetik yang rendah pada skleroderma menunjukkan pentingnya

faktor lingkungan pada kerentanan penyakit ini. Agen infeksius terutama virus,

paparan toksin lingkungan dan pekerjaan serta obat-obatan telah dicurigai dapat

mencetuskan skleroderma. Pada pasien dengan skleroderma ditemukan peningkatan

antibodi terhadap human cytomegalovirus (hCMV) dan antitopoisomerase I

autoantibodies yang dapat memicu terjadinya apoptosis dan aktifasi fibroblast kulit.

Beberapa peneliti melaporkan terjadinya peningkatan insiden skleroderma pada

pekerja yang terpapar silika. Paparan kerja lainnya yang mungkin berhubungan

dengan skleroderma adalah polyvinyl chloride, epoxy resins dan aromatic

hydrocarbons (toluene, trichloroethylene).

C. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi scleroderma dapat terjadi melalui 3 mekanisme yaitu : proses

vaskulopati, aktivasi respon imun seluler dan humoral, serta progresivitas fibrosis organ

multiple.

Page 5: Makalah Scleroderma

Gambar 1: skema pathogenesis kompleks sklerogenesis sistemik

1. Vaskulopati

Terjadi fenomena Raynaund sebagai manifestasi awal penyakit yang ditandai dengan

perubahan respon aliran darah pada suhu dingin. Perubahan ini awalnya bersifat reversible,

terjadi sebagai akibat dari penurunan sistim syaraf otonom dan perifer karena berkurangnya

produksi neuropeptida seperti calcitonin gen-related peptide dari aferen saraf sensoris, dan

peningkatan sensitivitas reseptor alpha 2-adrenergik pada sel otot polos vaskuler.

Fenomena Raynaud adalah perubahan warna yang episodik (palor, sianosis, eritem)

yang dicetuskan oleh lingkungan yang dingin atau stres emosional. Perubahan spesifik

umumnya terjadi pada jari tangan, dapat juga terjadi pada jari kaki, daun telinga, lidah dan

hidung. Pada fase palor dan sianosis pasien akan merasa nyeri sedangkan pada fase hiperemis

pasien biasanya akan merasa terbakar. Fenomena Raynaud pada slerosis sistemik dapat

dijumpai sebanyak 95%.

Vaskulopati (gangguan vaskuler) mempengaruhi pembuluh darah kapiler, arteriole,

bahkan pembuluh darah besar pada berbagai organ. Sel miointimal yang menyerupai sel otot

polos mengalami proliferasi (fase sel saat mengalami pengulangan siklus sel), membran basal

Page 6: Makalah Scleroderma

menebal, reduplikasi, serta terjadi perkembangan fibrosis adventitia (mempengaruhi

hipoksia). Angiogrom tangan dan ginjal pasien Skleroderma stadium lanjut menunjukkan

hilangnya gambaran vaskuler.

Kerusakan endotel menyebabkan agregasi trombosit, pelepasan vasokonstriktor

(tromboksan) dan platelete derived growth factor (PDGF). Kerusakan vaskuler ini kemudian

diikuti dengan gangguan fibrinolisis. Stress oksidatif akibat iskemia(penyumbatan

pembuluh darah) berhubungan dengan terbentuknya radikal bebas yang selanjutnya akan

menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut melalui peroksidasi lipid membran. Sebaliknya,

proses revaskularisasi yang seharusnya dapat mempertahankan aliran darah pada jaringan

yang iskemik tampaknya tidak terjadi pada kasus Skleroderma. Pada pasien Skleroderma,

jumlah progenitor (sel yang spesifik, sel pada tahap diantra sel induk dan sel fungsional

yang matang) sel CD34+ dan CD133+ dari sumsum tulang yang beredar dalam sirkuklasi

jumlahnya menurun. Penelitian in vitro menunjukan diferensiasinya menjadi sel endotel

mature terganggu. Oleh karena itu vaskulopati obliteratif substansi yang telah rusak) dan

kegagalan perbaikan pembuluh darah adalah pertanda dari Skleroderma.

ECM = Extracelular matrix contohnya kolagen, elastin, proteoglikan.

2. Autoimunitas Seluler dan Humoral

Pada stadium dini penyakit, sel T dan monosit/makrofag yang teraktifasi akan

terakumulasi di dalam lesi di kulit, paru dan organ lain yang terkena. Sel T yang

menginfiltrasi, mengekspresikan penanda aktivasi seperti CD3, CD4, CD45 dan HLA-DR

serta menampakkan restriksi reseptor yang mengindikasikan ekspansi oligoclonal sebagai

respon terhadap antigen yang tidak diketahui. Sel T CD4+ yang bersirkulasi juga

meningkatkan reseptor kemokin dan mengekspresikan molekul adhesi alpha 1 integrin yang

berfungsi meningkatkan kemampuan untuk mengikat endotel dan fibroblast.

Sel endotel mengekspresikan ICAM-1 dan molekul adhesi lain yang memfasilitasi

diapedesis leukosit. Makrofag dan sel T yang teraktivasi menunjukkan respon, Th2

terpolarisasi dan mensekresi Interlukin (IL) 4 dan IL 13. Kedua sitokin Th2 ini dapat

menginduksi TGF-beta yang merupakan modulator regulasi imun dan akumulasi matriks.

TGF-beta dapat menginduksi produksi dirinya sendiri serta sitokin lain karena mempunyai

aktifitas autokrin/parakrin untuk mengaktifasi fibroblast dan sel efektor lain.

Page 7: Makalah Scleroderma

Gambar 2: Mediator terlarut pengaktivasi fibroblast yang kadarnya meningkat pada skelroderma

Penelitian DNA mengenai ekspresi sel T CD8+ pada lavase cairan bronchial

menunjukkan pola ekspresi gen Th2 terktivasi yang dicirikan dengan peningkatan kadar IL-4

dan IL-13 serta penurunan produksi interferon gamma (IFN-gamma). Sitokin Th2 merangsang

sintesis kolagen dan respon profibrosis lain. IFN-gamma menghambat sintesis kolagen dan

memblok aktivasi fibroblast yang dimediasi sitokin.

Autoantibodi yang bersirkulasi terdeteksi pada pasien skleroderma. Autoantibodi ini

spesifisitasnya tinggi terhadap scleroderma. Kadar autoantibodi berhubungan dengan

keparahan penyakit, dan titernya berfluktuasi sesuai aktifitas penyakit. Autoantibodi spesifik

Skleroderma adalah antinuklear dan menyerang langsung protein mitosis seperti

topoisomerase I dan RNA polymerase. Autoantibodi lain langsung menyerang antigen

permukaan atau protein yang disekresi. Autoantibodi Topoisomerase I pada Skleroderma

dapat secara langsung mengikat fibroblast demikian juga autoantibodi terhadap fibroblast, sel

endotel, fibrillin-1 serta enzim matriks metalloproteinase. Beberapa autoantibodi ini mungkin

mempunyai peran patogenik langsung sebagai mediator kerusakan jaringan.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel B berperan baik dalam autoimunitas dan

fibrosis pada scleroderma. Selain menghasilkan antibodi, Sel B dpat berperan sebagai antigen

presenting cell (APC), menghasilkan sitokin seperti IL-6 dan TGF-beta, serta memodulasi

fungsi sel T dan sel dendritik. Sel B pada pasien skleroderma menunjukkan abormalitas

intrinsik dengan peningkatan ekspresi reseptor sel B CD19, ekspansi sel B naif dan

menurunkan jumlah sel B memori serta sel plasma.

Page 8: Makalah Scleroderma

3. Komponen Seluler dan Molekuler Fibrosis

Fibrosis yang terjadi pada berbagai organ adalah penanda utama Skleroderma yang

membedakan Skleroderma dengan penyakit jaringan ikat lain. Fibrosis merupakan

konsekuensi dari autoimunitas dan kerusakan vaskuler. Proses ini ditandai dengan

penggantian tekstur jaringan normal dengan jaringan ikat aseluler yang progresif yang

menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas scleroderma.

Fibroblast dan sel mesenkim normalnya bertanggungjawab terhadap integritas

fungsional dan struktural jaringan ikat parenkim organ. Ketika Fibroblast diaktivasi oleh

TGF-beta dan sitokin lain, fibroblast mengalami proliferasi, migrasi, relaborasi dengan

kolagen dan matriks makromolekul lain, mensekresi growth factor dan sitokin, mengekspresi

reseptor permukaan untuk sitokin-sitokin tersebut dan berdiferensiasi menjadi miofibroblast

(sel yang mnegalami perubahan). Respon fibroblast ini memfasilitasi perbaikan cedera

jaringan yang efektif. Pada kondisi fisiologis, program perbaikan fibroblast akan berhenti

dengan sendirinya setelah penyembuhan terjadi.

Pada respon fibrosis yang patologis, aktivasi fibroblast terjadi secara terus-menerus

dan berkembang semakin besar dan menjadikan perubahan matriks dan pembentukan jaringan

parut. Aktivasi fibroblast yang berlebihan ini serta akumulasi matriks adalah perubahan

patologis utama yang mendasari terjadinya fibrosis pada scleroderma.

Selain aktivasi fibroblast jaringan ikat lokal, sel progenitor mesenkimal dari sumsum

tulang yang beredar juga berperan dalam fibrogenesis. Sel mononuklear yang

mengekspresikan CD14 dan CD34 berdiferensiasi memproduksi kolagen alpha-smooth

muscle actin-positive fibrocytes pada penelitian in vitro. Proses ini diperkuat oleh TGF-beta.

Page 9: Makalah Scleroderma

Gambar 3 : Aktivasi fibroblast pada scleroderma

Faktor-faktor yang meregulasi produksi progenitor sel mesenkim di sumsum tulang,

perjalananannya dari dalam sirkulasi ke tempat lesi, dan meningkatnya diferensiasinya

menjadi matriks adesif dan fibrosit yang kontraktil belum sepenuhnya diketahui. Transisi sel

epitel menjadi sel mesenkim adalah proses yang terjadi dalam berkembangnya fibrosis di

paru dan ginjal serta organ lain.

Fibroblast dapat berdiferensiasi menjadi miofibroblast yang mirip otot polos. Baik

proses transisi epitel dan diferensiasi miofibroblast dimediasi oleh TGF-beta. Miofibroblast

bertahan di dalam jaringan terjadi karena adanya resistensi terhadap apoptosis (kematian

sel). Miofibroblast berkontribusi terhadap pembentukan skar (luka) melalui kemampuannya

dalam memproduksi kolagen dan TGF-beta, memperbesar kekuatan kontraktil pada matriks

di sekitar dan mengubahnya menjadi skar yang rapat.

Dari fibroblast pasien scleroderma, ditemukan peningkatan kecepatan transkripsi gen

kolagen tipe I. Didapatkan juga peningkatan sintesis berbagai molekul matriks ekstraseluler,

ekspresi reseptor kemokin dan molekul adhesi permukaan, sekresi PDGF, resitensi tehadap

Page 10: Makalah Scleroderma

apoptosis dan sinyal autokrin TGF-beta. Aktivasi sinyal transduksi TGf-beta intraseluler

yang tidak benar melalui Smad3 phosphorylation dan kegagalan loop umpan balik negative

Smad-7 tamapak pada Skleroderma. Protein koaktivator inti p300 memfasilitasi transkripsi

yang dimediasi Smad dan merupakan lokus yang penting dalam integrasi sinyal ekstraseluler

yang memodulasi fungsi fibroblast. Abnormalitas ekspresi, fungsi dan interaksi antara Smad,

p300 dan protein seluler lain mempengaruhi meneta dan progresifitas proses fibrogenik

scleroderma dengan cara memodulasi transkripsi gen.

Gambar 4. Perubahan lesi pada berbagai stadium Skleroderma

Gambaran Patologi Skleroderma pada Organ

1. Patologi Kulit

Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan

gambaran patologis yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik. Peningkatan

matriks ekstraselular pada dermis, terutapa kolagen tipe I dan III, yang disertai penipisan

epidermis dan hilangnya rete pegs merupakan gambaran patologis yang khas pada

Page 11: Makalah Scleroderma

skleroderma. Hal ini meyebabkan penegangan kulit yang khas pada skleroderma. Pada

stadium awal, tampak infiltrasi sel radang mononuklear di dalam dermis, terutama limfosist

T dan Mast sel. Sel-sel ini banyak ditemukan mengelilingi pembuluh darah dermis. Pada

stadium akhir (fase atrofik), kulit relative aselular.

Lesi Vaskuler pada kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada organ

lainnya. Tunika intima arteri dan arteriola tampak berproliferasi sehingga lumennya menjadi

sempit. Dengan tekhik nailfold capilaroscopy, akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler

yang makan lama makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperplasi tunika

intima, sehingga lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi.

2. Patologi Paru-paru

Pada paru-paru, dapat ditemukan 2 gambaran patologik, yaitu fibrosis paru dan

kelainan vaskuler. Walaupun kedua keadaan ini sering bersamaan, tetapi pada wanita dengan

scleroderma yang terbatas sering hanya didapatkan kelainan pembuluh darah paru, yaitu

penebalan tunika media, sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul hipertensi pulmonal

yang dapat berakhir sebagai gagal jantung kanan.

Gambar 5: Gambaran fibrosis paru-paru pada resolusi tinggi

3. Patologi Jantung

Sklerosis sistemik dapat menyerang perikardium dan miokardium. Kelainan pada

perikardium ditandai oleh fibrosis dan penebalan perikardium parietal dan viseral yang

akhirnya dapat berkembang menjadi perikarditis konstruktif. Pada miokardium, tammpak

proliferasi intima dan penyempitan pembuluh darah koroner. Di sekeliling pembuluh darah

koroner, ditemukan banyak jaringan fibrosa. Akhirnya dapat timbul vasospasme dan infark

miokard.

Page 12: Makalah Scleroderma

4. Patologi Saluran Cerna

Pada saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus, walaupun gaster, usus halus

proksimal dan kolon juga dapat terserang. Secara histologis, tampak gambaran fibrosis pada

tunika propria dan submukosa, serta peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat

fibrosis, peristaltis usus akan berkurang. Selain itu atrofi lapisan otot dan berkurangnya

peristaltis akan menimbulkan divertikel di kolon dengan mulut yang lebar.

5. Patologi Ginjal

Akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi intima, penipisan tunika media dan

reduplikasi lamina elastika. Membaran basal glomeruli mengalami duplikasi, tetapi tidak ada

tanda-tanda glomerulonefritis. Gambaran sklerotik pada glomeruli mmerupakan tanda khas

infark kortek ginjal dan stradium akhir skleroderma. Pada sklerosis sitemik yang disertai

kelainan ginjal, sering didapatkan hemolisis mikroangiopatik akibat kerusakan fisis eritrosit yang

beredar pada gangguan sirkulasi renal yang berat.

6. Patologi Sistem Muskoloskletal

Pada otot rangka, akan tampak jaringan fibrosis perivaskular yang menyebabkan

penurunan kekuatan otot dan peingkatan ringan enzim otot dalam serum. Selain itu dapat juga

terjadi kelainan seperti tampak pada poli dan dermatomiositis, yaitu infiltrasi limfositik

perivaskular, nekrosis, degenerasi dan regenerasi jaringan otot. Secara klinis akan tampak

kelemahan otot proksimal dan peningkatan enzim otot serum yang bermakna. Pada tendon akan

tampak deposisi fibrin dalam sarung tendon, sehingga gerak tendon terbatas dan akhirnya dapat

timbul kontraktur fleksi, teutama pada jari-jari.

D. GEJALA DAN TANDA

Gajala Klinis:

Secara umum Skleroderma mempengaruhi jaringan ikat, terutama pada kulit dan

dinding pembuluh darah, dan, pada tingkat yang lebih rendah, dapat mempengaruhi hati

saluran pencernaan, paru-paru dan ginjal.

Cutaneous symptoms (Gejala pada Kulit):

Page 13: Makalah Scleroderma

Gejala yang timbu pada kulit, sering dikaitkan atau didahului dengan fenomena

Raynaud dan arthralgias pada jari, hal ini biasanya menjadi tanda-tanda awal perjalanan

penyakit scleroderma. Oleh karena itu gejala awal ini dapat membantu untuk

menegakkan diagnosis dan memulai terapi.

Tanda:

akumulasi jaringan ikat yang berlebihan

fibrosis

pembentukan autoantibodi terhadap sejumlah antigen seluler

dan perubahan degeneratif pada kulit, otot rangka, sinovium, pembuluh darah,

saluran pencernaan, ginjal, paru dan jantung.

Tampilan Sklerosis sistemik terbatas Sklerosis sistemik difus

Kulit yang terlibat Terbatas pada jari, lengan

distal, wajah, progresifitas

lambat

Difus: jari-jari, ekstremitas,

wajah, badan, progreifitas

cepat

Fenomena Raynaud Mendahului keterlibatan kulit,

berhubungan dengan iskemia

Sejalan dengan keterlibatan

kulit

Fibrosis pulmonal Mungkin terjadi, moderat Sering, awal dan berat

Hipertensi arteri

pulmonal

Sering, lambat, mungkin

terisolasi

Dapat terjadi, berhubungan

dengan fibrosis pulmonal

Krisis renal scleroderma Sangat jarang 15% terjadi, diawal

Kalsinosis kultis Sering, menonjol Dapat terjadi, ringan

Karakteristik

autoantibody

Antisentomer Antitopoisomerase

Page 14: Makalah Scleroderma

E. DIAGNOSIS

Diagnosis Skleroderma dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan

penunjang.

Gambaran Klinis

Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum timbul

kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan bila

ditemukan gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20-50 tahun.

Tahun 1980, American Rheumatism Association (ARA) mengajukan kriteria sklerosis

sistemik dengan sensitifitas 97 % dan spesifisitas 98 %., yaitu bila terdapat:

Satu kriteria mayor, atau

2 dari 3 kriteria Minor

Kriteria Mayor :

Skleroderma proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetrik pada

kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal.

Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan

abdomen)

Page 15: Makalah Scleroderma

(a) (b) Gambar 7: (a) Penebalan dan Peregangan kulit pada wajah, (b) Sclerodactyly dengan ulserasi

digital; hilangnya lipatan kulit dan kontraktur sendi, rambut jarang.

Kriteria Minor

Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut di atas tetapi hanya terbatas pada jari

Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Hal ini terjadi akibat iskemia.

Fibrosis basal kedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang retikular terutama di

bagian basal kedua paru, tampak pada gambaran foto thorak standar.

Gambar 8. (A) Hiperkeratosis pada lipatan kuku pasien pada fase edema pasien

skleroderma terbatas. (B) Ulserasi jari pada pasien scleroderma terbatas.

F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah autoantibodi antitopo-I (Scl 70) dan

antisentromer, karena memiliki spesifisitas yang baik pada sklerosis sistemik. Selain itu,

Page 16: Makalah Scleroderma

evaluasi terhadap berbagai organ yang mungkin terkena juga harus dilakukan. Bila keadaan

meragukan dapat dilakukan biopsi kulit.

Gambar 9. (C.) Infiltrasi limfosit disekitar pembuluh darah paa specimen kulit pasien scleroderma. (D) Deposisi matriks kolagen yang melewati dermis dan meluas ke jaringan lemak subkutan. (E) Penebalan tunika intima dan media arteri interlobar dari biopsi ginjal pasien skleroderma.

Terdapat beberapa tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi

diagnosis atau mengevaluasi keparahan organ-organ tertentu yang dicurigai terkena. Tes-tes

laboratorium yang dapat dilakukan antara lain:

1. Blood test-Sejumlah tes darah dapat menunjuk kea rah scleroderma, pemeriksaan yang

dapat dilakukan antara lain :

Rheumatoid factor (Rematoid factor)

Erythrocyte sedimentation rate (Laju sedimentasi eritrosit)

Antinuclear antibody (Antinuklear Antibodi)

Scleroderma antibody (Skleroderma Antibodi)

Anticentromere antibody (Anticentromere Antibodi)

2. Imaging Test- Tes ini dapat memvisualisasikan organ-organ internal untuk melihat

bagaimana penyakit tersebut dapat mempengaruhi organ. Pada area tertentu dapat

dilakukan pemeriksaan menggunkan imaging-test yang dapat dipilih berdasarkan gejala

yang ditimbulkan. Yang termasuk dalam imaging test antara lain :

Sinar-X :tes yang menggunakan radiasi untuk mengambil gambar dari struktur di

dalam tubuh.

Page 17: Makalah Scleroderma

CT Scan :tipe dari x-ray yang menggunakan komputer untuk membuat gambar

dari struktur di dalam tubuh.

MRI Scan :tes yang menggunakan gelombang magnetik untuk membuat gambar

dari struktur di dalam tubuh.

Nailfold capillaroscopy : tes ini memungkinkan kita melihat gambaran dari

nailfold yang diperbesar untuk memeriksa kapiler.

3. Skin Biopsi : Sebuah sampel kecil dari kulit bisa dihapus dan diperiksa di laboratorium

untuk karakteristik tertentu yang menunjukkan skleroderma

G. PENATALAKSANAAN TERAPI

Sampai saat ini belum ada terapi yang dapat menyembuhan scleroderma. Obat-obat yang

tersedia hanya untuk menyembuhkan atau mengobati gejala.

penatalaksanaan skleroderma terbatas dan difusa sesuai keterlibatan organ(CTGF : connective tissue growth factor; GAVE : gastric antral venous ectasia; GERD : gastroesophageal reflux disease; MCP-1 : macrophage chemoattractant protein 1; MMF, mycophenylate mofetil; MTX : methotrexate; NTG, nitroglycerin; OT/PT : occupational therapy/physical therapy; PAH : pulmonary arterialhypertension; PDE-5 : type 5 phosphodiesterase; RP : Raynaud’s pheno menon;SRC:scleroderma renal crisis; SSRI, specifi c serotonin receptor uptake inhibitor; Stem cell Tx, stem cell transplantation; TGF-β, transforming growth factor beta.)

1. Non farmakologi

Page 18: Makalah Scleroderma

Makan makanan yang mudah dikunyah dan berprotein tinggi dan banyak

mengandung vitamin. Nikotin harus dihilangkan karena efek vasoconstrictoriy

nya.

"Menjaga tubuh tetap hangat" oleh pakaian pelindung seperti celana hangat,

sarung tangan, kaus kaki dan sepatu. Pemanasan tangan selama lima menit setiap

empat jam dalam bak air hangat menyebabkan perbaikan klinis yang signifikan.

Menghindari paparan zat berbahaya lingkungan seperti silika, ethylens

terklorinasi, pelarut, monomer dari plastik atau obat-obatan tertentu untuk

menghentikan efek mereka pathogenetically progresif.

2. Farmakologi

Terapi ini diarahkan pada:

a. Vaskular sistem

PAH (Pulmonary Arterial Hypertension)

Disfungsi endothel pada PAH menyebabkan peningkatan endothelin dan

penurunan nitric oxide dan prostasiklin. Pemberian Continuous intravenous

epoprostenol (Flolan) dan subcutaneous atau intravenous treprostinil

(Remodulin) yang sudah disahkan oleh US Food and Drug Administration (FDA)

dipakai sebagai terapi lini pertama penatalaksanaan PAH fs NYHA IV. Efek

prostasiklin yang selektif pada pembuluh darah pulmonal, memberikan tempat

untuk pemberiannya dengan cara inhalasi untuk menghindari efek sitemiknya.

Pemberian Iloprost (Ventavis) tampaknya memberikan perbaikan fungsi dan

hemodinamik serta menurunkan kecepatan progresifitas penyakit.

Scleroderma Renal Crisis (SCR)

Definisi SCR adalah terjadinya hipertensi maligna dan anemia hemolitik

mikroangiopati pada pasien scleroderma. Penatalaksanaan SCR adalah dengan

ACE inhibitor (kaptopril, 75-150 mg per hari secara oral). Obat ini tetap dapat

diberikan walaupun fungsi ginjal menurun dengan drastis. Jika diperlukan dapat

dilakukan dialysis. Pada kelainan ginjal pemberian steroid dan plasmafaresis tidak

ada gunanya.

Page 19: Makalah Scleroderma

Raynaud’s Phenomenon (RP)

Terapi utama RP adalah menghangatkan badan. Pemakaian sarung tangan,

penghangat tangan dan penghangat ekstremitas lain dapat dipakai. Calcium-

channel blockers seperti amlodipine, nifedipine atau felodipine, adalah terapi

medikal pertama pada RP. Kalsium channel blockers menghambat penyerapan

kalsium intraseluler dan akibatnya kontraksi sel otot polos pada dinding

pembuluh, yang dimediasi oleh protein kinase tergantung kalsium. Tiga dosis 10

mg nifedipin atau nicardipin dapat mengurangi frekuensi dan keparahan serangan

Raynaud. Dosis rendah selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) juga

digunakan karena dapat menhambat efek agregasi dan aktivasi trombosit.

Diantara SSRI, fluoxetine (Prozac, Symbyax, Sarafem) responnya baik dalam

beberapa penelitian. ACE inhibitor dan ARB tidak efektif untuk RP. Iskemi dan

ulserasi jari ditatalaksana dengan pemberian Iloprost secara intermiten serta obat-

obatan lain yang dipakai pada PAH.

b. Sistem kekebalan tubuh (radang, immunmodulation, autoimunitas)

Cyclophosphamide

Cyclophosphamide (CYC) telah digunakan sebagai terapi utama untuk penyakit

paru interstisial skleroderma. Dalam uji coba terkontrol baru-baru ini,

cyclophosphamide meningkatkan kapasitas vital paksa (FVC) sebesar 2,9%

dibandingkan dengan placebo

Transplantasi Stem Cell autologous

Immunoablasi dengan imun rekonstitusi dengan menggunakan stem cell perifer

autologous telah dipertimbangkan untuk scleroderma. Berbagai studi terus

menerus dilakukan untuk membandingkan anatara transplantasi sel induk dengan

CYC dalam penatalaksanaan scleroderma

Methotrexate

Percobaan acak terkontrol mengevaluasi efisiensi dari metotreksat dalam

scleroderma dalam mengontrol stabilitas penyakit yang lebih besar dibandingkan

dengan plasebo. Methotrexate digunakan untuk kasus awal scleroderma dengan

scleroderma terbatas pada kulit dan muskuloskeletal sistem, termasuk myositis.

Page 20: Makalah Scleroderma

Mofetil Mycophenolate

Belum ada penelitian acak buta ganda untuk Mofetil mycophenolate dalam

penatalaksanaan skleroderma. Bukti yang ada sekarang menunjukkan Mofetil

mycophenolate mungkin efektif pada skleroderma.

Corticosteroids

Prednisolon (awalnya: 40-100 mg / hari, dosis pemeliharaan: 10-15 mg / hari)

atau metilprednisolon pada umumnya menghambat peradangan tetapi juga

memberikan suatu efek katabolik pada sintesis kolagen (atrofi). Metil prednisolon

diindikasikan dalam pengobatan inflamasi dari SSC, sclerodermatomyositis,

khususnya pada arthritis, miositis alveolitis, dan vaskulitis. Namun, ada bukti

bahwa kortikosteroid (> 15 mg / hari prednisolon) meningkatkan risiko memicu

krisis SSC ginjal. Selain itu, berbagai signifikan efek samping karena pengobatan

jangka panjang pemeliharaan seperti hipertensi hiperglikemia, osteoporosis ,

ulserasi peptik, atrofi otot.

c. Fibrosis

Terlepas dari kenyataan bahwa fibrosis merupakan komponen utama dalam

patofisiologi skleroderma, sampai saat ini belum ada obat anti fibrosis yang terbukti

efektif untuk saat ini. Agen nonspecifik, termasuk D-penicillamine dan rekombinan

relaksin manusia, telah gagal dalam uji klinis. Pentingnya ekspresi faktor

pertumbuhan transformasi beta (TGF-beta) dalam patogenesis skleroderma telah

mendorong evaluasi agen yang dapat menghambat TGF-beta. Meskipun penggunaan

anti- antibodi TGF-beta telah diusulkan dalam studi-studi awal aman, namun bukti

klinis masih harus diamati. Terapi antisitokin lain belum berhasil pada scleroderma.

Therapeutic recommendations vasoactive substances calcium channel blockers

Nifedipin 3 x 10 mg/d

ACE-inhibitors Captopril 12,5 - 100 mg/dEnalapril 5 - 15 mg/d

prostacyclin analogs Iloprost 0,5 - 2 ng/kg/min for 6 h i.v.; 5-10 days

Page 21: Makalah Scleroderma

antiinflammatory and immunesuppressive substancesGlucocorticoids Methylprednisolone initially 60-80

mg/d; reduction to maintenance dose

Azathioprine 1,5 - 3 mg/dCyclophosphamide 2,0 - 2,5 mg/kg/d

p.o. or 0,5 - 1 g/m_/month i.v.

antifibrotic substancesD-Penicillamin 150 - 300 - (750)

mg/d slow dose increase

Penicillin G 10 Mega IE i.v. (30 min) for 10 - 14 days

PUVAgastroenterologics proton pump inhibitor

Omeprazol 20 - 40 mg/d

H2-receptor blocker Ranitidin 150 - 300 mg/dgastroprocinetics Metoclopramid 3 x 10 mg/d p.o.

Page 22: Makalah Scleroderma

H. DAFTAR PUSTAKA

Anonim , 2011, http://emedicine.medscape.com/article/331864-overview#a0104, diakses

27 April 2012

Denton CP., 2006, Systemic Sclerosis, Scleroderma, In The Autoimmune Disease, 4th ed,

Elsevier, London

Gabrielli A, Avvedimento E, Krieg T, 2009, Scleroderma. The New England Journal of

Medicine, Massachusetts Medical Society

Haustein UF. 2002. Systemic sclerosis – scleroderma. Dermatol Online J 8(1):3

[http://dermatology.cdlib.org/DOJvol8num1/reviews/scleroderma/haustein.html].

Mayes MD., 2008, Systemic Sclerosis, In Primer on the Rheumatic Diseases. 13th

edition, Springer Science Business Media, London

Sardana K, Garg VK, 2008, Therapeutic trial for systemic sclerosis : an update, Indian

Journal Dermatology Venerology

Setiyohadi B., 2006, Sklerosis Sistemik, Buku ajar ilmu penyakit dalam, 1239-1244,

Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam, Jakarta

Varga J., 2008, Systemic Sclerosis (Scleroderma), Harrison’s Principles of internal

medicine, Mc Grwa Hill Medical, New York

Page 23: Makalah Scleroderma

MAKALAH FARMAKOTERAPI I

SKLERODERMA

Disusun oleh:

Indah Kertawati (098114039)

E. Raras Pramudita R (09811040)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2012