makalah pengolahan air limbah industri cara koagulasi dg.tawas aluminium
TRANSCRIPT
MAKALAH
Pengolahan Air Limbah Industri Tekstil Secara Koagulasi
dengan Menggunakan Aluminium Sulfat ( Al2(SO4)3. n H2O )
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu TugasMata Kuliah Pengolahan Air Proses dan Limbah Tekstil
Disusun Oleh :
Raeza Nur Octavia ( 10020024 )
Rahmat Hidayat ( 10020030 )
Moch. Indra Lungguh G. ( 10020040 )
Ginanjar Waluya ( 10020043 )
Grup : K-1, K-2
Dosen :
Haryanti Rahayu, S.Teks., M.T.
Budi Handoko, S.S.T.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI TEKSTILB A N D U N G
2 0 1 3
ABSTRAK
Salah satu sistem pengolahan limbah yaitu dengan metode koagulasi-flokulasi, dimana limbah
diendapkan dengan menggunakan koagulan Tawas Aluminium ( Al2(SO4)3. n H2O ), yang
merupakan senyawa organik yang mampu mengkoagulasi zat tersuspensi dan koloid dengan
baik. Koagulan adalah zat kimia yang menggabungkan partikel-pertikel koloid dalam air,
sehingga partikel terlarut nantinya dapat digabungkan dalam bentuk yang lebih besar sehingga
mudah diendapkan. Proses koagulasi-flokulasi ini dapat menurunkan kadar zat pencemar sekitar
70%. Sedangkan flokulan yang dipakai adalah polimer Evviro 104 yang mempunyai muatan
positif, yang dapat mengikat koloid menjadi bentuk flok dengan reaksi dan juga mempunyai
kemampuan untuk mengikat zat warna sehingga dapat membantu mengurangi warna pada air
limbah.
Kata kunci : aluminium sulfat, limbah cair industri tekstil, koagulasi-flokulasi.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberadaan industri tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya, sehingga
limbah industri berupa limbah cair, limbah padat, limbah suara dan limbah padat,
perlu dikendalikan dan diolah sehingga bersih dan bebas zat pencemar sebelum
dibuang ke lingkungan.
Pengolahan limbah cair dilakukan untuk mengurangi zat pencemar baik yang
berasal dari limbah rumah tangga maupun dari limbah industri. Limbah cair
mengandung beberapa jenis zat pencemar seperti zat organik, senyawa yang
mengandung nitrogen, padatan tersuspensi/terendapkan, senyawa garam, senyawa
organik beracun, dan beberapa mokroorganisme patogen, serta zat lainnya.
Kebanyakan zat pencemar tersebut terutama zat organik merupakan zat
penyerap oksigen, sehingga mengurangi kadar oksigen terlarut didalam air dan
mengganggu kehidupan biota air. Disamping zat pencemar, limbah cair sering
keluar dari proses dalam keadaan panas, sehingga perlu didinginkan sebelum
diolah.
Air limbah industri tekstil pada umumnya mempunyai tingkat kepekatan
warna dan kekeruhan yang tinggi. Untuk menghilangkan partikel-partikel
penyebab kekeruhan yang mempunyai ukuran molekul yang beragam dapat
dilakukan dengan pengendapan. Pada umumnya partikel yang ukurannya besar
memerlukan waktu yang singkat untuk mengendap, sedangkan partikel yang
ukurannya lebih kecil memerlukan waktu yang lama untuk mengendap.
Salah satu sistem pengolahan limbah yaitu dengan metode koagulasi-
flokulasi, dimana limbah diendapkan dengan menggunakan koagulan Tawas
Aluminium ( Al2(SO4)3. n H2O ).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana
kemampuan aluminium sulfat sebagai koagulan dapat memproses limbah industri
tekstil.
1
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui kemampuan aluminium sulfat
sebagai koagulan untuk mengolah limbah industri tekstil
1.4 Manfaat Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan alternatif untuk
mengolah limbah industri tekstil.
2
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Koagulasi-Flokulasi2.1.1 Koagulasi
Koagulasi adalah suatu proses pengurangan suatu gaya tertentu yang
menjaga partikel terlarut tetap terpisah satu sama lain. Proses ini terjadi ketika ada
penambahan zat kimia berupa koagulan didalam air yang dicampurkan dengan
kecepatan tinggi (rapid mix, mis 100 rpm) pada kolam pencampur. Flokulasi
didefinisikan sebagai aglomerasi partikel terlarut sehingga membentuk partikel
yang akan mengendap oleh gaya gravitasi.
Proses koagulasi dalam air limbah akan mengurangi konsentrasi padatan
terlarut, padatan halus yang muncul sebagai kekeruhan dan warna, serta materi
koloid lainnya sampai mencapai pada limit yang dapat ditolerir.
Air limbah industri tekstil biasanya mempunyai warna yang pekat dan
keruh yang disebabkan oleh partikel-partikel kecil. Warna pda air disebabkan oleh
zat terlarut yang dapat menyerap sinar putih matahari dan memantulkan sinar
dengan panjang gelombang tertentu. Warna air juga dipengaruhi oleh kekeruhannya
untuk menghilangkan partikel-partikel penyebab kekeruhan yang mempunyai
ukuran yang beragam biasanya dilakukan sedimentasi. Partikel yang ukurannya
besar memerlukan waktu yang sebentar untuk mengendap sedangkan partikel yang
ukurannya sangat kecil memerlukan waktu yang lama untuk mengendap. Supaya
partikel yang ukurannya sangat kecil ini bisa mengendap dengan cepat maka
partikelnya perlu diperbesar dan hal tersebut dapat dilakukan dengan proses
koagulasi – flokulasi.
Tabel Kecepatan Pengendapan Berbagai Ukuran Partikel
Diameter Partikel
(mm)Klasifikasi
Waktu
Pengendapan
Untuk Tiap 1 feet
10 Kerikil 0,3 detik
1 Pasir Kasar 3,0 detik
0,1 Pasri Halus 38 detik
0,01 Mendap (Silt) 33,0 menit
0,001 Bakteri 55,0 jam
3
0,0001 Koloid 230 hari
0,00001 Koloid 6,3 tahun
0,000001 Koloid 66,0 tahun
Sumber : American Water Works Association, 1971, hal 70
Koagulasi adalah suatu proses destabilisasi partikel koloid. Secara esensial
partikel dilapisi dengan lapisan perekat yang menyebabkan partikel tersebut
berflokulasi dan kemudian mengendap selama selang waktu tertentu.
Ada dua tipe umum dispersi partikel padat dalam air, yaitu hidrofobik dan
hidrofilik. Pembagian dua tipe ini berdasarkan gaya tarik permukaan air terhadap
partikel. Partikel hidrofobik mempunyai gaya tarik lebih kecil terhadap air
sementara partilke hidrofilik mempunyai gaya tarik yang besar terhadap air.
Faktor penting dalam stabilitas koloid adalah kehadiran muatan permukaan.
Stabilitas diperoleh dengan berbagai cara, bergantung pada komposisi medium dan
koloid. Stabilitas ini harus dilawan apabila partikel ini akan membentuk agregat
(berflokulasi) partikel yang lebih besar sampai pada ukuran dimana partikel ini
dapat dengan mudah diendapkan.
Muatan permukaan terbentuk sebagian besar melalui adsorbsi, ionisasi dan
penggantian isomorf. Misalnya, tetesan minyak, gelembung gas atau zat kimia inert
yan secara terdipersi dalam air akan mendapatkan muatan negatif melalui adsorbsi
prefensial anion (biasanya ion hidroksil). Pada protein atau mikroorganisme,
muatan permukaan diperoleh melalui anionasasi gugus karboksil dan amino.
Muatan ini bisa ditampilkan sebagai N2H-R-COO- pada pH tinggi, +N3H-R-COOH
pada pH rendah dan +N3H-R-COO- pada titik isoelektrik dimana R mewakili badan
padatan. Muatan yang diperoleh melalui pergantian isomorf, brlangsung pada tanah
liat dan partikel tanah lainnya, dimana ion pada struktur lattiice (kisi) diganti
dengan ion dari larutan (misalnya pergantian Si dengan Al).
Ketika permukaan partikel ataupun koloid bermuatan, beberapa ion dengan
muatan berbeda (dikenal dengan ion counter) akan tertarik ke permukaan partikel
ataupun koloid tersebut. Ion-ion tersebut tertahan di permukaan partikel ataupun
koloid oleh gaya stais dan gaya Van der Waals yang cukup kuat. Tertahannya ion-
ion tersebut menyebabkan terhindarnya pertikel koloid dari agitasi termal. Lapisan
luar ion (diffuse layer) yang mengelilingi lapisan rapat (fixed layer) ion-ion
4
tersebut, menghalangi terbentuknya lapisan padat ganda (compact double layer)
oleh agetasi termal. Hal ini digambarkan secara skematis dalam gambar 2.2.1. pada
gambar terlihat bahwa lapisan ganda yang terdiri dari lapisan padat (stern) yang
pada badan larutan nilai potensialnya jatuh dari o tadi ke s dan lapisan terhambur
yang pada badan larutan larutan nilai potensilnya jatuh dari s ke 0.Jika suatu
partikel seperti pada gambar 2.2.1 ditempatkan pada larutan elektrolit dan suatu
elektron dialirkan pada larutan tersebut, maka partikel (bergantung pada muatan
permukaannya) akan tertarik pada salah satu elektroda, dan bersarnya pula tertarik
kabut ion.
Nilai potensial permukaan bidang geser (surface of share) di ukur beberapa
kali pada operasi pengloahan limbah. Nilai pengukuran sering kali dinamakan zeta
potensial. Secara toeri, potensial zeta harus berhubungan dengan pengukuran nilai
potensial permukaan lapisan rapat ion-ion (fixed layer of ion) yang tertarik pada ion
partikel, seperti digambarkan pada gambar 2.2.1. kegunaan pengukuran nilai
potensial zeta ini terbatas karena nlainya bervariasi bergantung pada komponen
larutan, dan karenanya bukan merupakan pengukuran yang dapat diulang
(repeatable).
Agar tejadi agregasi partikel, harus diambil suatu langkah yang dapat
mengurangi atau mengatasi efek muatan permukaan koloid tersebut. Efek muatan
dapat diatasi dengan :
1. Penambahan suatu potensial ion yang akan mengambil muatan atau akan
bereaksi dengan permukaan koloid untuk mengurangi muatan permukaan, atau
penambahan suatu elektrolit, yang akan mengurangi ketebalan lapisan elektrik
terhambur dan karenanya akan mengurangi nilai potensial zeta.
2. Penambahan molekul berantai panjang (polimer), yang dapat terionisasi
sebagian dan karenanya dinamakan polielektrolit, yang akan memindahkan
partikel dengan cara adsorbsi dan penggabungan.
3. Penambahan zat kimia yang membentuk ion logam terhidrolisis.
2.1.2 FlokulasiAgar partikel-partikel koloid dapat menggumpal, gaya tolak menolak elektrostatik
antara partikelnya harus dikurangi dan transportasi partikel harus menghasilkan
kontak diantara partikel yang mengalami destabilisasi. Setelah partikel-partikel
koloid mengalami destabilisasi, adalah penting untuk membawa partikel-partikel
tersebut ke dalam suatu kontak antara satu dengan yang lainnya sehingga dapat
5
menggumpal dan membentuk partikel yang lebih besar yang disebut flok. Proses
kontak ini disebut flokulasi dan biasanya dilakukan dengan pengadukan lambat
(slow mix) secara hati-hati. Flokulasi merupakan factor paling penting yang
mempengaruhi efisiensi penghilangan partikel. Tujuan flokulasi adalah untuk
membawa partikel-partikel ke dalam kontak sehingga mereka bertubrukan, tetap
bersatu, dan tumbuh menjadi satu ukuran yang siap mengendap. Pengadukan yang
cukup harus diberikan untuk membawa flok ke dalam kontak. Terlalu banyak
pengadukan dapat membubarkan flok sehingga ukurannya menjadi kecil dan
terdispersi halus (Davis dan Cornwell, 1991).
Dalam proses flokulasi, kecepatan penggumpalan dari agregat ditentukan oleh
banyaknya tubrukan antar partikel yang terjadi serta keefektifan benturan tersebut.
Dalam hal ini, tubrukan antar partikel terjadi melalui tiga cara, yakni :
1. Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerak termal (panas), yang dikenal
sebagai gerak Brown. Flokulasi yang terjadi oleh adanya gerak Brown ini
disebut flokulasi perikinetik.
2. Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerakan media (air), misalnya karena
pengadukan. Flokulasi yang terjadi akibat gerakan fluida ini disebut flokulasi
ortokinetik.
3. Kontak yang terjadi akibat perbedaan laju pengendapan dari masing-masing
partikel.
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Koagulasi-Flokulasi
1. Pengaruh Derajat Keasaman Air (pH)
Derajat keasaman (pH) berpengaruh pada proses koagulasi-flokulasi, karena
sifat kimia koagulan sangat tergantung pada pH. Pada proses koagulasi-
flokulasi, terdapat suatu daerah pH dimana dapat terjadi proses koagulasi yang
baik dalam waktu singkat dengan suatu dosisi koagulan tertentu. Contohnya
tawas aluminium daerah pH yang baik dimana terbentuk flok yang lebih besar
adalah pada pH 7-9.
6
2. Pengaruh Tingkat Kekeruhan Air
Sifat atau macam kekeruhan air juga harus dijadikan bahan pertimbangan dalam
proses koagulasi. Sifat kekeruhan air menyangkut tingkat kekeruhan dan
karakteristik material kebutuhan air.
Tingkat kekeruhan air berpengaruh terhadap mekanisme proses pembentukan
flok. Sesuai dengan teori destabilisasi, pada tingkat kekeruhan air yang rendah,
proses destabilisasi akan susah terjadi. Sebaliknya pada tingkat kekeruhan air
yang tinggi, proses destabilisasi akan dapat berlangsung dengan lebih cepat,
tetapi bila pada kondisi tersebut dipakai dosis koagulan yang rendah, maka
pembentukan flok kurang efektif.
Untuk air yang mengandung partikel koloid organik yang berasal dari air
buangan industri, biasanya menimbulkan kesukaran dalam proses koagulasi, dan
sebagai akibatnya adalah meningkatnya kebutuhan akan koagulan, karena terjadi
reaksi yang banyak antara koagulan dengan partikel koloid.
3. Pengaruh Koagulan
Jenis koagulan yang digunakan untuk proses koagulasi akan mempengaruhi
mekanisme destabilisasi partikel koloid, sebab setiap koagulan mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda.
4. Pengaruh kondisi Pengadukan
Agar dapat diperoleh hasil yang baik pada saat koagulasi-flokulasi, astu hal yang
perlu diperhatikan adaqlah sistem pengadukannya yaitu untuk mencampurkan
koagulan untuk pembuatan flok. Yang perlu diperhatikan, bahwa pengadukan itu
harus betul-betul merata, sehingga semua koagulan yang dibutuhkan akan
bereaksi dengan partikel-partikel atau dengan ion-ion di dalam suspensi.
Selain itu, kecepatan pengadukan sangat mempengaruhi pertumbukan flok. Bila
kecepatan peengadukan itu terlalu lambat, akan mengakibatkan terlalu
lambatnya pertumbukan flok. Disisi lain, kecepatan pengadukan ini terlalu besar,
akan mengakibatkan terpisahnya kembali flok-flok yang telah bergabung.
Di dalam flokulasi, benturan atau kontak antar partikel dapat terjadi melalui tiga
cara, yaitu :
1. Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerak termal (panas), yang dikenal
sebagai Gerak Brown. Flokulasi yang terjadi oleh Gerak Brown ini lebih
dikenal sebagai “Flokulasi Perikinetik”.
7
2. Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerak media (air), misalnya
diakibatkan oleh pengadukan. Flokulasi yang disebabkan oleh gerak media,
disebut juga”Flokulasi Ortokinetik”.
3. Kontak yang terjadi akibat kecepatan mengendap masing-masing partikel
yang tidak sama.
Cara pertama dan kedua terjadi dalam proses pembentukan mikroflok dan
penggabungan mikroflok menjadi makroflok. Sedangkan cara ketiga biasanya
terjadi pada saluran efluen dari bak pengaduk dan di dalam bak sedimentasi.
8
BAB 3PEMBAHASAN
3.1 Pengolahan Limbah Industri Tekstil secara Koagulan dengan Aluminium Sulfat
Koagulan dapat dikelompokkan atas : alum, garam besi (seperti ferri
klorida), atau polimer. Diantara ketiga jenis diatas, alum merupakan jenis yang
paling umum digunakan karena lebih murah.
Tawas alum atau alum adalah nama dagang dari Aluminium Sulfat dengan rumus
kimia Al2(SO4)3. n H2O ( nilai n bervariasi antara 13 sampai 18 ). Ketika dilarutkan
dalam air akan terurai menurut reaksi :
Al2(SO4)3 + 6H2O 2Al(OH)3 + 3H2SO4
Aluminium Hidroksida, Al(OH)3, adalah zat yang tidak larut berbentuk flok
bergel (gelatinous flock) yang akan mengendap secara perlahan. Ketika partikel ini
mengendap, maka partikel tersebut akan “mengajak” serta partikel-partikel yang
larut dalam air. Karena reaksi disosiasi di atas menghasilkan asam, maka pH
larutan akan turun. Untuk menaikkan pH larutan, maka ditambahkan Kalsium
Karbonat (CaCO3). Reaksi yang terjadi yaitu sebagai berikut :
CaCO3 + H2SO4 CaSO4 + H2O + CO2
Air yang akan bereaksi dengan aluminium sulfat harus cukup mengandung
alkalinitas agar dapat membentuk flok hidroksida. Biasanya pada pH yang
diperbolehkan, alkalinitas berada dalam bentuk ion bikarbonat. Reaksi sederhana
pembentukan flok adalah sebagai berikut (Benefield et. al., 1982).
Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(HCO3)2 .. 2 Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14 H2O + 6 CO2.
Ada air tertentu yang tidak mengandung cukup alkalinitas untuk bereaksi
dengan alum, sehingga perlu ditambahkan alkalinitas. Biasanya alkalinitas dalam
bentuk ion hidroksida ditambahkan dengan penambahan kalsium hidroksida (slaked
atau kapur hidrat). Reaksi koagulasi dengan adanya kalsium hidroksida adalah
sebagai berikut :
Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(OH)2 2 Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14 H2O
Alkalinitas dapat juga ditambahkan dalam bentuk ion karbonat dengan penambahan
natrium karbonat (soda abu).
Kebanyakan air mengandung cukup alkalinitas, sehingga tidak perlu
dilakukan penambahan zat kimia lain selain aluminium sulfat. Rentang pH
optimum untuk alum berkisar antara 4,5 – 8,0 karena aluminium hidroksida
9
menjadi sukar larut pada pH tersebut. Aluminium sulfat umumnya terdapat dalam
bentuk kering tetapi adajuga yang cair. Aluminium sulfat kering biasanya
berbentuk butiran halus, bubuk, dan bongkahan tetapi yang umumnya digunakan
adalah aluminium sulfat dalam bentuk butiran halus. Butiran halus tersebut
mengandung 15-22 % Al2O3 yang meliputi 14 kristal air, dengan berat sekitar 60-
63 lb/ft3, dan dapat diumpankan langsung, sedangkan aliminium sulfat cair
mengandung 50 % alum. Alum dapat digunakan sebagai koagulan tunggal maupun
digunakan bersama bahan lain, misalnya sodium aluminate. (Na Al O2). (Reynolds,
1982).
10
BAB IVPENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan tentang pengolahan limbah secara koagulasi dengan
menggunakan aluminium sulfat dapat di tarik kesimpulan bahwa aluminium sulfat
memiliki kemampuan yang cukup baik dalam memproses air limbah industri tekstil
dan memiliki harga yang relatif lebih ekonomis dibandingkan dengan koagulan
yang lain.
4.2 Saran
Untuk kepada para penggerak industri tekstil supaya dapat
mempertimbangkan aluminium sulfat ini sebagai alternatif untuk mengolah air
limbah industri tekstil. Selain itu perlu juga dikembangkan penelitian yang
menggunakan koagulan yang lain yang kemampuannya sama dengan aluminium
sulfat tapi dengan yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan.
11
DAFTAR PUSTAKA
Mulia, Ahmad. 2009. Proses Penjernihan Limbah Cair Industri Tekstil. Sumatra Utara. www. repository.usu.ac.id/.
Isminingsih Gitopadmojo, Seri Kuliah Air Proses Untuk Industri Tekstil, Pengolahan Limbah dan Produksi Bersih. STT Tekstil. Bandung, 2008.
12