makalah pbl kolelitiasis edit
TRANSCRIPT
Indah Lestari Paranoan
Alamat Korespondensi:
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta 11510
e-mail: [email protected]
no. hp : 08561315710
Nyeri Kuadran Kanan Atas akibat Kolelitiasis
Pendahuluan
Istilah kolelithiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di
dalam kandung empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada keduanya. Sebagian besar
batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu (kolesistolithiasis).
Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke dalam saluran empedu ekstrahepatik, disebut batu
saluran empedu sekunder atau koledokolithiasis sekunder.
Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga
yang terbentuk primer di dalam saluran empedu ekstrahepatik maupun intrahepatik. Batu primer
saluran empedu, harus memenuhi kriteria sebagai berikut: ada masa asimtomatik setelah
kolesitektomi, morfologik cocok dengan batu empedu primer, tidak ada striktur pada duktus
koledokus atau tidak ada sisa duktus sistikus yang panjang. Khusus untuk orang Asia, dapat
ditemukan sisa cacing Askaris atau cacing jenis lain di dalam batu tersebut. Morfologik batu
primer saluran empedu antara lain bentuknya ovoid, lunak, rapuh, seperti lumpur atau tanah, dan
warna coklat muda sampai cokelat gelap.
Anamnesis
Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu adalah asimtomatik.
Keluhan yang mungkin timbul berupa dispepsia yang kadang disertai intolerans terhadap
makanan berlemak. Pada yang simtomatik, keluhan utamanya berupa nyeri di daerah
1
epigastrium, kuadran atas kanan atau prekordium. Rasa nyei lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian.
Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul tiba-tiba.1
Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, scapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah.
Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri menghilang setelah makan
antasid. Kalau terjadi kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik
napas dalam dan sewaktu kandung empedu tersentuh ujung jari tangan sehingga pasien berhenti
menarik napas, yang merupakan tanda rangsangan peritoneum setempat (Murphy sign).
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas
akan disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Biasanya terdapat
ikterus dan urin berwarna gelap yang hilang timbul. Ikterus yang hilang timbulnya berbeda
dengan ikterus karena hepatitis.
Pruritus ditemukan pada ikterus obstriktif yang berkepanjangan dan lebih banyak
ditemukan di daerah tungkai daripada badan.
Pada kolangitis dengan sepsis yang berat, dapat terjadi kegawatan disertai syok dan
gangguan kesadaran.
Pemeriksaan fisik
Batu kandung empedu. Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung empedu, empiema
kadung empedu, atau pankreatitis.
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah letak
anatomi kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu
penderita menarik napas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari
tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas.
Batu saluran empedu. Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam fase
tenang. Kadang teraba hati agak membesar dan sclera ikterik. Patut diketahui bahwa bila kadar
bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, baru akan timbul ikterus klinis.
2
Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan
gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai
sedang biasanya kolangitis bakterial nonpiogenik yang ditandai dengan trias Charcot, yaitu
demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya
berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul lima gejala pentade Reynold, berupa tiga
gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai
koma. Kalau ditemukan riwayat kolangitis yang hilang timbul, harus dicurigai kemungkinan
hepatolitiasis. 2
Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umunya tidak menunjukkan kelainan
laboratorik. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila ada sindrom
Mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus
oleh batu, dinding yang udem di daerah kantong Hartmann, dan penjalaran radang ke dinding
yang tertekan tersebut. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di
dalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali ada serangan akut.
B. Ultrasonografi (USG)
Merupakan sarana diagnosis pencitraan pilihan dan pemeriksaan rutin untuk menilai
penyakit batu empedu.Hati dan pancreas juga secara rutin di evaluasi.Sensitivitas untuk
mendeteksi batu kandung empedu lebih dari 96%.Penemuan yang khas berupa focus ekogenik di
sertai bayangan akustik.USG juga akan menampakkan ketebalan dinding,gas intramural dan
pengumpulan cairan perikoleistik.cairan per kolesistik dan gas intramural sangat spesifik untuk
kolesistitis akut. USG dapat juga secara akurat mengidentifikasi pelebaran saluran empedu baik
intra dan ekstrahepatik, selain juga lesi parenkim hati atau pancreas.Batu di koledokus bisa juga
terlihat dengan USG walaupun sensitivitas tidak lebih dari 50%,ketiadaan gambaran sonografi
batu pada duktus koledokus tidak menyingkirkan kemungkinan adanya batu
koledokus.Keterbatasan relative dari USG adalah ketergantungan ketelitian diagnosis pada
3
ketrampilan dari operator,pasien gemuk dan adanya gas di usus memberikan bayangan kurang
baik.
C. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke
dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang
di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu
yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil
dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7%
mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut.
ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang
kandung empedunya telah diangkat.
D. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.
Diagnosis Banding
1. Kolesistitis Akut.
Hampir semua kolesistitis akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang
terjebak di dalam kantong Hartmann. Komplikasi ini terdapat pada lima persen penderita
kolelitiasis. Kolesistitis akut tanpa batu empedu disebut kolesistitis akalkulosa, dapat
ditemukan pasca-bedah.
Manifestasi Klinis. Keluhan utama ialah nyeri akut di kuadran kanan atas yang kadang-
kadang menjalar ke belakang di daerah skapula. Biasanya ditemukan riwayat serangan
kolik di masa lalu, yang pada mulanya sulit dibedakan dengan nyeri kolik yang sekarang.
Pada kolesistitis, nyeri menetap dan disertai tanda rangsang peritoneal berupa nyeri
4
tekan, nyeri lepas, dan defans muskuler otot dinding perut. Kadang kandung empedu
yang membesar dapat diraba dan pada separuh penderita, nyeri disertai mual dan muntah.
Ikterus jarang ditemukan dan suhu badan sekitar 38°C.
Pemeriksaan Laboratorium. Jumlah leukosit meningkat atau dalam batas normal. Kadar
bilirubin meningkat sedang, mungkin karena sindrom Mirizzi atau penjalaran radang ke
duktus koledokus. Fosfatase alkali sering mengalami kenaikan sedang, demikian juga
kadar amilase darah.
Pemeriksaan Pencitraan. Ultrasonografi dapat memperlihatkan gambaran batu di dalam
kandung empedu, lumpur empedu dan penebalan dinding kandung empedu.
Ultrasonografi juga dapat memperlihatkan gangren dengan gambaran destruksi dinding
dan nanah atau cairan sekitar kandung empedu pada komplikasi abses perikolesistitis.
2. Kolesititis kronik.
Kolesistitis kronik merupakan kelainan kandung empedu yang paling umum ditemukan.
Penyebanya hampir selalu batu empedu.
Manifestasi Klinis. Penentu yang paling penting untuk membuat diagnosis adalah kolik
bilier, dispepsia. Keluhan dispepsia dicetuskan oleh makanan “berat” seperti gorengan,
yang mengandung banyak lemak, tetapi dapat juga timbul setelah makan bermacam-
macam jenis kol. Kolik bilier yang khas dapat juga dicetuskan oleh makan berlemak dan
khas kolik bilier dirasakan di perut kanan atas, dan nyeri alih ke titik Boas.
Pemeriksaan Pencitraan. Ditemukannya batu kandung empedu pada pemeriksaan
ultrasonografi atau kolesistografi oral
3. Koledokolitiasis
Sepuluh sampai 15% pasien yang menjalani kolesistektomi batu empedu akan
mempunyai batu empedu dalam duktus koledokus juga. Sebaliknya hampir semua pasien
koledokolitiasis menderita batu empedu bersamaan dalam vesika biliaris. Insiden
koledokolitiasis pada waktu kolesistektomi meningkat bersama usia, sekitar 3 persen di
antara usia 20-dan 40 tahun serta meningkat ke 25% di antara usia 60 dan 80 tahun.
Manifestasi Klinis. Dapat asimtomatik. Gejala mencakup kolik biliaris, nyeri intermiten
atau konstan di kuadran kanan atas, mual dan muntah. Demam yang memuncak,
kedinginan dan ikterus menggambarkan adanya batu duktus koledokus dan kolangitis
akuta.
5
4. Kolangitis
Banyak faktor yang dapat menyebabkan obstruksi dari sistem bilier seperti kelainan
anatomi atau benda asing dalam saluran empedu. Dalam keadaan ini terjadi kolonisasi
bakteri yang dapat menyebabkan kolangitis akut. Bilamana timbul obstruksi total dapat
terjadi supurasi dan penyakit yang lebih serius. Penyebab yang paling sering dari
kolangitis akut di USA adalah batu koledokus yang ditemukan pada + 10-20% pasien
batu kandung empedu. Batu yang terdapat di duktus koledokus adalah batu sekunder
yang bermigrasi dari kandung empedu.
5. Pankreatitis akut.
Peradangan pankreas akut dan sering kali destruktif. Insidensinya beragam mulai dari 40
sampai 500/ satu juta (berbeda-beda sesuai tingkat konsumsi alkohol dan insidensi batu
empedu.) Insidensi ini semakin meningkat dan mortalitas menurun. Penyebab
pankreatitis akut diantaranya batu empedu 30-50%, alkohol 10-40%, idiopatik 15%,
trauma (kolangiopankreatografi retrogad endoskopik/ ERCP, pascaoperasi, trauma
tumppul) 5%.
Manifestasi Klinis. Nyeri perut khas berupa nyeri epigastrik dengan onset mendadak
(<30 menit), menjalar ke punggung menghilang dalam <72 jam, demam, takikardia, nyeri
tekan epigastrium.
6. Ulcus pepticum
Merupakan robeknya permukaan epitel esophagus, lambung atau duodenum yang
disebabkan oleh aksi sekresi gaster (asam dan pepsin) dan, pada kasus ulkus duodenum,
infeksi oleh Helicobacter pylori.
Manifestasi Klinis. Pria/wanita 4 : 1, insidensi puncak 25-50 tahun. Nyeri epigastrikum
selama puasa (nyeri lapar), hilang dengan makanan/antasida, khasnya timbul secara
periodic. Nyeri punggung jika ulkus menembus ke posterior. Hematemesis dari ulkus
yang menembus arteri gastroduodenal ke posterior. Peritonitis jika perforasis terjadi pada
ulkus duodenum anterior. Muntah jika obstruksi pintu keluar gaster (stenosis pilorik)
terjadi.
Diagnosis Kerja: Kolelithiasis.
Epidemiologi
6
Insidens kolelithiasis di negara Barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa
dan lanjut usia. Kebanyakan kolelithiasis tidak bergejala atau bertanda.
Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di Indonesia diduga
tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahun 1980-an
agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dan ultrasonografi.3
Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu batu kolesterol, batu pigmen dan batu bilirubin,
yang terdiri atas kalsium bilirubinat, dan batu campuran. Di negara Barat, 80% batu empedu
adalah batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu pigmen meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya
di Asia Timur, lebih banyak batu pigmen dibanding dengan batu kolesterol, tetapi angka
kejadian batu kolesterol sejak 1965 makin meningkat. Tidak jelas apakah perubahan angka ini
betul-betul oleh karena prevalensi yang berubah. Namun, perubahan gaya hidup, termasuk
perubahan pola makanan, berkurangnya infeksi parasit, dan menurunnya frekuensi infeksi
empedu, mungkin menimbulkan perubahan insidens hepatolithiasis.
Gambar`1. Contoh batu-batu empedu.1
Sementara ini didapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia lebih umum,
angka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibandingkan dengan angka yang terdapat di negara
Barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga seperti di Singapura, Malaysia, Muangthai,
dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa faktor infeksi empedu oleh kuman gram negative
7
E.coli ikut berperan penting dalam timbulnya batu pigmen. Di wilayah ini insidens batu primer
saluran empedu adalah 40-50% dari penyakit batu empedu, sedangkan di dunia Barat sekitar 5%.
Perbedaan lain dengan di negara Barat ialah batu empedu banyak ditemukan mulai pada usia
muda dibawah 30 tahun, meskipun usia rata-rata tersering ialah 40-50 tahun. Pada usia di atas 60
tahun, insidens batu saluran empedu meningkat. Jumlah penderita perempuan lebih banyak
daripada jumlah penderita laki-laki. Meskipun batu empedu terbanyak ditemukan di dalam
kandung empedu, tetapi sepertiga dari batu saluran empedu merupakan batu duktus koledokus.
Oleh karena itu, kolangitis di negara Barat ditemukan pada berbagai usia, dan merupakan
sepertiga dari jumlah kolesistitis. Batu intrahepatik dan batu primer saluran empedu juga cukup
sering ditemukan.
Etiologi
Menurut Ahmed dan Ramsey, lebih dari 90% batu empedu adalah batu kolesterol
(komposisi kolesterol >50%) atau bentuk campuran (20-50% berunsurkan kolesterol) dan
sisanya 10% adalah batu pigmen (unsur kalsium dominan dan kolesterol <20%).4
Batu kolesterol. Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kristal kolesterol, dan sisanya
adalah kalsiumkarbonat, kalsiumpalmitat, dan kalsiumbilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi
dibandingkan bentuk batu pigmen. Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat
berupa batu soliter atau multipel. Permukaannya mungkin licin atau multifaset, bulat, berduri,
dan ada yang seperti buah murbel.
Gambar 2. Tipe batu empedu.2
8
Proses pembentukan batu kolesterol melalui empat tahap, yaitu penjenuhan empedu oleh
kolesterol, pembentukan nidus, kristalisasi, dan pertumbuhan batu.
Derajat penjenuhan empedu oleh kolesterol dapat dihitung melalui kapasitas daya larut.
Penjenuhan ini dapat disebabkan oleh bertambahnya sekresi kolesterol atau penurunan relative
asam empedu atau fosfolipid. Peningkatan ekskresi kolesterol empedu antara lain terjadi
misalnya pada keadaan obesitas, diet tinggi kalori dan kolesterol, dan pemakaian obat yang
mengandung esterogen dan klofibrat. Sekresi asam empedu akan menurun pada penderita dengan
gangguan absorbs di ileum atau gangguan daya pengosongan primer kandung empedu.
Penjenuhan kolesterol yang berlebihan tidak dapat membentuk batu, kecuali bila ada
nidus dan ada proses lain yang menimbulkan kristalisasi. Nidus dapat berasal dari pigmen
empedu, mukoprotein, lendir, protein lain, bakteria atau benda asing lain. Setelah kristalisasi
meliputi suatu nidus, akan terjadi pembentukan batu. Pertumbuhan batu terjadi karena
pengendapan Kristal kolesterol di atas matriks inorganic dan kecepatannya ditentukan oleh
kecepatan relatif pelarutan dan pengendapan. Struktur matriks agaknya berupa endapan mineral
yang mengandung garam kalsium.
Stasis kandung empedu juga berperan dalam pembentukan batu, selain faktor yang telah
disebut diatas. Puasa yang lama akan menimbulkan empedu yang litogenik akibat stasis tadi.
Batu Bilirubin. Penampilan batu bilirubin yang sebenarnya berisi kalsium bilirubinat dan disebut
juga batu lumpur atau batu pigmen, tidak banyak bervariasi. Batu ini sering ditemukan berbentuk
tidak teratur, kecil-kecil, dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan
sampai hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh. Batu ini sering bersatu
membentuk batu yang lebih besar. Batu pigmen yang sangat besar dapat ditemukan di dalam
saluran empedu. Batu empedu adalah batu yang kadar kolesterolnya kurang dari 25%. Batu
pigmen hitam terbentuk di dalam kandung empedu terutama terbentuk pada gangguan
keseimbangan metabolik seperti anemia hemolitik, dan sirosis hati tanpa didahului infeksi.
Seperti pembentukan batu kolesterol, terjadinya batu bilirubin berhubungan dengan
bertambahnya usia. Infeksi, stasis, dekonyugasi bilirubin dan ekskresi kalsium merupakan faktor
kausal. Pada bakteribilia, terdapat bakteria gram negatif, terutam E.coli. Pada batu kolesterol
pun, E.coli yang tersering ditemukan dalam biakan empedunya.
9
Beberapa fkator yang juga disangka berperan adalah faktor geografi, hemolisis, dan
sirosis hepatic. Sebaliknya jenis kelamin, obesitas dan gangguan oenyerapan di dalam ileum
tidak mempertinggi resiko batu bilirubin. Pada kolangitis oriental atau kolangitis piogenik
rekurens ditemukan batu pigmen intrahepatik primer yang menimbulkan kolangitis rekurens.
Keadaan lain yang berhubungan dengan batu pigmen dan kolangitis bakteria gram negative di
Asia Timur ialah infestasi parasit Clonorchis sinensis, Fasciola hepatica, dan Ascaris
lumbricoides.
Untuk kurun waktu puluhan tahun, jenis batu empedu yang predominan di wilayah Asia
Timur adalah batu bilirubin, yang dapat primer terbentuk di mana saja di dalam sistem saluran
empedu, termasuk intrahepatik (hepatolitiasis). Tentu saja kedua jenis batu empedu tersebut
dapat saja ditemukan di wilayah manapun di dunia, yang berbeda barangkali insidennya saja.
Sebagai pegangan umum, pada penderita batu bilirubin, tidak ditemukan empedu yang
sangat jenuh dengan kolesterol baik di dalam kandung empedu maupun di hati. Pada penderita
batu bilirubin, konsentrasi bilirubin yang tidak berkonjugasi meningkat, baik di dalam kandung
empedu maupun di dalam hati.
Anatomi
Kandung empedu Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang
panjangnya sekitar 10 cm, terletak dalam suatu fosa yang menegaskan batas anatomi antara lobus
hati kanan dan kiri. Bagian ekstrahepatik dari kandung empedu ditutupi oleh peritoneum.5
Gambar 3. Anatomi kandung empedu.3
Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus
bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit memanjang di atas tepi hati.
10
Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari
kandung empedu yang terletak antara korpus dan daerah duktus sistikus. Infundibulum, yang
juga dikenal sebagai kantong Hartmann, adalah bulbus divertikulum kecil yang terletak pada
permukaan inferior dari kandung kemih, yang secara klinis bermakna karena proksimitasnya
terhadap duodenum dan karena batu dapat terimpaksi ke dalamnya. Duktus sistikus
menghubungkan kandung empedu ke duktud koledokus. Katup spiral dari Heister terletak di
dalam duktus sistikus; mereka terlibat dalam keluar masuknya empedu dari kandung empedu.
Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri kistika, secara khas merupakan cabang
dari arteri hepatika kanan, tetapi aal dari ateri kistika bervariasi. Segitiga Calot dibentuk oleh
arteri kistika, duktus koledokus, dan duktus kistikus. Drainase vena dari kandung empedu
bervariasi, biasanya ke dalam cabang kanan dari vena porta. Aliran limfe masuk secaralangsung
ke dalam hati dan juga ke nodus-nodus di sepanjang permukaan vena potrta. Saraf muncul dari
aksis seliak dan terletak di sepanjang arteri hepatika. Sensasi nyeri diperantarai oleh serat viseral,
simpatis. Ransangan motoris untuk kontraksi kandung empedu dibawa melalui cabang vagus dan
ganglion seliaka.
Duktus biliaris Traktus biliaris mempunyai asalnya sendiri di dalam duktus biliaris intrahepatik
kecil. Duktus hepatika kanan dan kiri keluar dari hati dan bergabung dengan hilum untuk
membentuk duktus hepatikus komunis, umumnya anterior terhadapa bifurkasio vena porta dan
proksimal dekat dengan arteri hepatika kanan. Bagian ekstrahepatik dari duktus kiri cenderung
lebih panjang. Duktus hepatikus komunis membangun batas kiri dari segitiga Calot dan berlanjut
dengan duktus koledokus. Pembagian terjadi pada tingkat duktus kistikus. Duktus koledokus
panjangnya sekitar 8 cm dan terletak antara ligamentum hepatoduodenalis, ke kanan dari arteri
hepatika dan anterior terhadap vena porta. Segmen distal dari duktus koledokus terletak di dalam
substansi pankreas. Duktus koledokus mengosongkan isinya ke dalam duodenum atau ampula
Vateri, orifisiumnya di kelilingi oleh muskulus dari sfingter Oddi. Secara khas, ada saluran
bersama dari duktus pankreatikus dan duktus koledokus distal.
Fisiologi
Absorpsi kandung empedu Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu
dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap,
11
yang terkandung dalam empedu hepatik sampai 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80%-90%.
Meskipun secara primer merupakan suatu organ pengarbsorpsi, terjadi sekresi mukus selama
keadaan patologis seperti misalnya pembentukan batu empedu dan kadang-kadang dengan
obstruksi duktus kistikus.
Aktivitas motoris kandung empedu dan traktus biliaris Pendidikan tradisional mengajarkan
bahwa empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan diantarkan ke
duodenum setelah rangsangan makanan. Informasi yang lebih baru menunjukkan bahwa aliran
empedu terjadi dalam bentuk yang kontinu, dengan pengosongan kandung empedu terjadi secara
konstan. Faktor-faktor yang bertanggung jawab untuk pengisian kandung empedu dan
pengosongannya adalah hormonal, neural, dan mekanikal. Memakan makanan akan
menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu kolesistokinin (CCK), yang merupakan
stimulus utama bagi pengosongan kandung empedu; lemak merupakan stimulus yamg lebih kuat.
Reseptor CCK telah dikenal terletak dalam otot polos dari dinding kandung empedu.
Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120 menit setelah konsumsi makanan. Motilin,
sekretin, histamin, dan prostaglandin semuanya terlihat mempunyai pengaruh yang berbeda pada
proses kontraksi. Faktor neural yang predominan dalam menagtur aktivitas motoris kandung
empedu adalah stimulasi kolinergik yang menimbulkan kontraksi kandung empedu. Pengisisan
kandung empedu terjadi saat tekanan dalam duktus biliaris (berkaitan dengan aliran dan tekanan
sfingter) lebih besar daripada tekanan di dalam kandung empedu. Sejumlah peptida usus, telah
terlibat sebagai faktor endogen yang dapat mempengaruhi proses ini.
Aktivitas motoris traktus biliaris dan sfingter Oddi Aliran empedu ke dalam duodenum
tergantung pada koordinasi kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi. Makanan
merangsang dilepaskannya CCK, sehingga mengurangi fase aktivitas dari sfingter Oddi yang
berkontraksi, menginduksi relaksasi, oleh karena itu memungkinkan masuknya empedu ke dalam
duodenum.
Pembentukan empedu Empedu secara primer terdiri dari air, lemak organik, dan elektrolit, yang
normalnya disekresi oleh hepatosit. Komposisi elektrolit dari empedu sebanding dengan cairan
ekstraseluler. Kandungan protein relatif rendah. Zat terlarut organik yang predominan adalah
garam empedu, kolesterol dan fosfolipid. Asam empedu primer, asam xenodeoksikolat dan asam
kolat, disintesis dalam hati dari kolesterol. Konjugasi dengan taurin atau glisis terjadi di dalam
hati. Kebanyakan kolesterol yang ditemukan dalam empedu disintesis de novo dalam hati. Asam
12
empedu merupakan pengatur endogen penting untuk metabolisme kolesterol. Pemberian asam
empedu menghambat sintesis kolesterol hepatik tetapi meningkatkan absorpsi kolesterol. Lesitin
merupakan lenih dari 90% fosfolipid dalam empedu manusia.
Sirkulasi enterohepatik dari asam empedu Lebih dari 80% asam empedu terkonjugasi secara
aktif diabsorpsi dalam ileum terminalis. Akhirnya, kurang lebih separuh dari semua asam
empedu yang diabsorpsi dalam usus dibawa kembali melalui sirkulasi porta ke hati. Sistem ini
memungkinkan kumpulan garam empedu yang relatif sedikit untuk bersikulasi ulang 6-12 kali
perhari dengan hanya sedikit yang hilang selama tiap perjalanan. Hanya sekitar 5% dari asam
empedu yang diekskresikan dalam feses.
Patogenesis
Hepatolithiasis ialah batu empedu yang terdapat di dalam saluran empedu dari awal percabangan
duktus hepatikus kanan dan kiri meskipun percabangan tersebut mungkin terdapat di luar
parenkim hati. Batu tersebut umumnya berupa batu pigmen yang berwarna cokelat, lunak,
bentuknya seperti lumpur dan rapuh.
Hepatolihiasis akan menimbulkan kolangitis piogenik rekurens atau kolangitis oriental
yang sering sulit penanganannya.
Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus melalui duktus
sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet
sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu berulang melalui duktus sistikus yang
sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan sehingga dapat menimbulkan peradangan
dinding duktus sistikus dan striktur. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena
diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada di sana sebagai batu
duktus sistikus.1,6
13
Gambar 4. Lokasi batu empedu dalam saluran empedu.4
Kolelthiasis asimtomatik biasanya diketahui secara kebetulan, sewaktu pemeriksaan
ultrasonografi, pembuatan foto polos perut, atau perabaan sewaktu operasi. Pada pemeriksaan
fisik dan laboratorium tidak ditemukan kelainan.
Manifestasi Klinis
Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok: pasien dengan batu
asimtomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik dan pasien dengan komplikasi batu empedu
(kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan pankreatitis).
Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu diagnosis
maupun selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit dari 1307 pasien dengan batu empedu
selama 20 tahun memperlihatkan bahwa sebanyak 50% pasien dengan asimtomatik, 30%
mengalami kolik bilier, dan 20% mendapat komplikasi.7
Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik bilier. Keluhan ini didefinisikan
sebagai nyeri di perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam. Biasanya
lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa juga di kiri prekordial.
Penatalaksanaan
1. Kolesitektomi
2. Obat peluruh batu empedu:
As. Kenodioksikolat
14
As. Ursodeoksikolat
Indikasi : batu radioluscent, pencegahan terbentuknya batu empedu pasien obesitas yang
sedang dalam program penurunan berat badan.
Komplikasi
1. Kolesistitis
2. Koledokolitiasis
3. Kolangitis
4. Pankreatitis
5. Ileus batu empedu
Prognosis
Bila ditangani dengan baik sesuai dengan gejala yang timbul, prognosis baik.
Preventif
Karena komposisi terbesar batu empedu adalah kolesterol, sebaiknya menghindari makanan
berkolesterol tinggi yang pada umumnya berasal dari lemak hewani.
Penutup
Kebanyakan pasien dgn batu empedu tetap asimtomatik sepanjang hidupnya. Nyeri bilier
timbul 1% pasien yang pada mulanya asimtomatik. Setiap tahun sebagai akibat obstruksi yg
transient pada duktus sistikus. Terapi pilihan adalah kolesistektomi. Sumbatan pada duktus
sistikus yang berkepanjangan akan menyebabkan kolesistitis akut. Pada pasien ini khas terdapat
nyeri perut kanan atas, demam dan leukositosis. Kebanyakan pasien akan sembuh spontan dgn
pengobatan sportif. Selanjutnya dipertimbangkan untuk dilakukan kolesistektomi.
Daftar Pustaka
1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004.h.
570-5.
2. JCE Underwood. Patologi umum dan sitematik. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;1999.h.497-8.
15
3. Schwartz, Seymour I. Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah. Edisi ke-6. Jakarta: EGC;
2000.h.455-63.
4. Cahyono JBSB. Batu empedu. Jakarta: Kanisius; 2009.h.27.
5. Sabiston, David C. Buku ajar bedah. Jakarta: EGC;1994.h.121-45.
6. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga;2005.h.216-8.
7. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: Erlangga;2006.h.120-
5.
16