makalah pajak pertambahan nilai
DESCRIPTION
Makalah Pajak Pertambahan Nilai untuk mata kuliah Hukum Tata Keuangan Negara DINI AUDI (4201314051) Politeknik Negeri Pontianak Semester 3 Jurusan Akuntansi Prodi Akuntansi Sektor Publik Tahun ajaran 2014/2015TRANSCRIPT
MAKALAH
HUKUM TATA KEUANGAN NEGARA
Pajak Pertambahan Nilai
Disusun untuk Memenuhi Mata Kuliah Hukum Tata Keuangan Negara
Dosen Pembimbing: Anik Cahyowati, S.H., M.Hum.
Disusun oleh:Dini Audi (4201314051)
AKUNTANSI SEKTOR PUBLIKPOLITEKNIK NEGERI PONTIANAK
TAHUN AJARAN 2014/2015
MAKALAH
HUKUM TATA KEUANGAN NEGARA
Pajak Pertambahan Nilai
Disusun untuk Memenuhi Mata Kuliah Hukum Tata Keuangan Negara
Dosen Pembimbing: Anik Cahyowati, S.H., M.Hum.
Disusun oleh:Dini Audi (4201314051)
AKUNTANSI SEKTOR PUBLIKPOLITEKNIK NEGERI PONTIANAK
TAHUN AJARAN 2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah Pajak Pertambahan Nilai
dengan baik dan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
yang diberikan oleh dosen pembimbing mata kuliah Hukum Tata Keuangan Negara yaitu ibu
Anik Cahyowati, S.H., M.Hum.
Makalah ini disusun untuk membantu mengembangkan kemampuan pemahaman
pembaca terhadap Pajak Pertambahan Nilai. Pemahaman tersebut dapat dipahami melalui
pendahuluan, pembahasan masalah, serta penarikan garis kesimpulan dalam makalah ini.
Makalah Pajak Pertambahan Nilai ini disajikan dalam konsep dan bahasa yang
sederhana sehingga dapat membantu pembaca dalam memahami makalah ini. Dengan
makalah ini, diharapkan pembaca dapat memahami pajak pertambahan nilai yang digunakan
negara Indonesia.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dosen Pembimbing mata kuliah Hukum
Tata Keuangan Negara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkarya
menyusun makalah Pajak Pertambahan Nilai. Tidak lupa penulis sampaikan terimakasih
kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan berupa konsep dan pemikiran dalam
penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tak ada gading yang tak retak,
begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang
konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah
pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
Pontianak, 2 Oktober 2014
Penulis
Dini Audi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 3
C. Tujuan Masalah ....................................................................................................... 4
D. Sistematika Penulisan Masalah .............................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai........................................................................ 5
B. Subjek Pajak Pertambahan Nilai ............................................................................. 5
C. Objek Pajak Pertambahan Nilai ...............................................................................6
D. Bukan Objek Pajak Pertambahan Nilai ................................................................. 10
E. Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai ...............................................13
F. Pengusaha Kena Pajak ...........................................................................................14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 16
B. Saran ...................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
SITUS WEB
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah wujud dari pengelolaan
keuangan negara yang merupakan instrumen bagi Pemerintah untuk mengatur
pengeluaran dan penerimaan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan
pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan
pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta
prioritas pembangunan secara umum.
APBN ditetapkan setiap tahun dan dilaksanakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Penetapan APBN dilakukan setelah dilakukan pembahasan antara
Presiden dan DPR terhadap usulan RAPBN dari Presiden dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada
tahun 2009, APBN ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2009.
Salah satu unsur APBN adalah anggaran pendapatan negara dan hibah, yang
diperoleh dari :
i)Penerimaan perpajakan;
ii) Penerimaan negara bukan pajak;
iii) Penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri.
PNBP merupakan lingkup keuangan negara yang dikelola dan
dipertanggungjawabkan sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga
audit yang bebas dan mandiri turut melakukan pemeriksaan atas komponen yang
mempengaruhi pendapatan negara dan merupakan penerimaan negara sesuai dengan
undang-undang. Laporan hasil pemeriksaan BPK kemudian diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD).
Menyadari pentingnya PNBP, maka kemudian dilakukan pengaturan dalam
peraturan perundang-undangan, diantaranya melalui:
i)UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
ii) PP Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara
Bukan Pajak;
iii) PP Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tatacara Penggunaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu;
iv) PP Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan
Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak;
v) PP Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan
Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang.
.
Pajak pada dasarnya merupakan peralihan sebagian kekayaan dari masyarakat
kepada negara yang dimungkinkan oleh undang-undang pajak. Peralihan kekayaan
tersebut membuat pajak dipandang dari dua sisi yang berbeda. Pandangan masyarakat
seringkali pajak dianggap sebagai beban. Di sisi lain bagi pemerintah harus dipungut
karena terbukti pajak memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan
negara.
Dari sekian pajak yang dibebankan kepada masyarakat, Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) merupakan pajak tidak langsung kareana tidak langsung dibebankan kepada
penanggung pajak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen.
Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax) untuk pertama kali diperkenalkan
oleh Carl Friedriech von Siemens, seorang industrialis dan konsultan pemerintah
Jerman pada tahun 1919. Namun ironisnya justru pemerintah Perancis yang pertama
kali menerapkan PPN dalam sistem perpajakannya pada tahun 1954, sedangkan Jerman
baru menerapkannya pada awal tahun 1968. Indonesia baru mengadopsi PPN pada
tanggal 1 April 1985 menggantikan Pajak Penjualan (PPn) yang sudah berlaku di
Indonesia sejak tahun 1951. Dengan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951,
Pajak Penjualan berlaku di Indonesia sejak 1 Oktober 1951. Undang-Undang ini
dinamakan UU PPn 1951. Kemudian dengan UU Nomor 35 Tahun 1953, UU Darurat
tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang. UU PPn 1951 yang sudah memberikan
dedikasinya selama lebih dari 30 tahun, dalam “Reformasi Sistem Perpajakan Nasional
1983” yang lebih dikenal dengan sebutan “Tax Reform 1983”, diganti dengan Pajak
Pertambahan Nilai. Adapun latar belakang penggantian ini adalah:
i) UU PPn 1951 telah berulang kali diubah sehingga sulit dipahami dan
dilaksanakan.
ii) Dalam pelaksanaannya, UU PPn 1951 menimbulkan pengenaan pajak berganda
sehingga PPn menjadi tidak netral baik dalam perdagangan didalam negeri
maupun internasional.
iii) Mengandung dualisme sistem pemungutan, yaitu bagi wajib pajak yang mampu
menyelenggarakan pembukuan menggunakan “self assessment system”
sedangkan bagi yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan menggunakan
“official assessment system”.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena digunakannya faktor-faktor
produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan, menyalurkan dan
memperdagangkan barang atau dalam memberikan jasa.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena
pajak maupun jasa kena pajak adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam
pelaksanaannya tidak ada penggolongan dengan tarif yang berbeda. Pengenaan PPN
sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat
yang merupakan objek dari PPN tersebut.
B. Rumusan Masalah
Untuk mengkaji dan mengulas tentang Pajak Pertambahan Nilai di indonesia,
maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis
membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)?
2. Apa dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN)?
3. Bagaimana tata pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)?
C. Tujuan Masalah
Untuk mengkaji makalah ini ada beberapa tujuan yang akan dicapai, yaitu:
1. Memahami definisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2. Mengetahui dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
3. Memahami tata pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
D. Sistematika Penulisan Masalah
Makalah ini disusun dengan sistematika pembahasan yang meliputi:
BAB I: PENDAHULUAN
Menyajikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan masalah dan sistematika
penulisan masalah;
BAB II: PEMBAHASAN
Membahas tentang Pajak Pertambahan Nilai yang meliputi: Pengertian Pajak
Pertambahan Nilai, Subjek Pajak Pertambahan Nilai, Objek Pajak Pertambahan Nilai,
Bukan Objek Pajak Pertambahan Nilai, Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai dan Pengusaha Kena Pajak.
BAB III : PENUTUP
Menyajikan Kesimpulan dan Saran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai
PPN atau singkatan dari Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak tidak Langsung
yang dikenakan pada setiap pertambahaan nilai atau transaksi penyerahan barang dan
atau jasa kena pajak dalam pendistribusiannya dari produsen ke konsumen.
Disebut pajak tidak langsung karena tidak langsung dibebankan kepada
penanggung pajak (konsumen) tetapi melalui mekanisme pemungutan pajak dan disetor
oleh pihak lain (penjual). Transaksi penyerahannya bisa dalam bentuk jual-beli,
pemanfaatan jasa dan sewa-menyewa.
Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud
yang dikenakan PPN. Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak
kecuali yang diatur lain oleh Undang-Undang Nomor PPN itu sendiri. Barang Kena
Pajak tersebut terdiri dari barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan barang
tidak berwujud (hak cipta, merek dagang, paten, dll). Indonesia menganut sistem tarif
tunggal untuk PPN, yaitu 10%. Dasar hukum yang digunakan unutk penerapan PPN di
Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983.
PPN secara efektif mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 April 1985,
walaupun berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.
PPN ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 sebagai pajak
yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat
dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan,
menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan
jasa kepada para konsumen.
B. Subjek Pajak Pertambahan Nilai
Subjek pajak dalam pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu selaku pihak
yang memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak
dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang atau diwajibkan
membayar pajak. Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut
merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut diwajibkan membayar pajak
yang sama.
Hal ini berbeda dengan pajak subjektif, seperti Pajak Penghasilan (PPh), yang
kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam
menentukan pajak terutang. Contohnya, tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda
dengan PPh bagi Badan. Demikian pula Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP
yang menikah dan memiliki tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah.
Berdasarkan ketentuan yang mengatur tentang objek pajak sebagaimana diatur
dalam Pasal 4, Pasal 16 C dan Pasal 16 D UU PPN 1984, Subjek PPN dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Berikut ini adalah kriteria Pengusaha Kena Pajak (PKP), yaitu:
i) Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa
Kena Pajak (JKP) (Pasal 4 huruf a dan c UU PPN 1984).
ii) Pengusaha yang mengekspor Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena
Pajak (JKP) (Pasal 4 huruf f, g, dan h UU PPN 1984).
iii) Pengusaha yang melakukan penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan (Pasal 16 D UU PPN 1984).
b. Bukan Pengusaha Kena Pajak (non PKP)
Berikut ini adalah kriteria Bukan Pengusaha Kena Pajak (non PKP), yaitu:
i) Yang melakukan impor Barang Kena Pajak (BKP) (Pasal 4 huruf b UU PPN
1984).
ii) Yang memanfaatkan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan Jasa
Kena Pajak (JKP) dari Luar Daerah Pabean ke dalam daerah Pabean (Pasal
4 huruf d UU PPN 1984).
iii) Yang membangun sendiri tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
(Pasal 16 C UU PPN 1984).
C. Objek Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau selanjutnya disebut UU PPN 1984.
Objek PPN adalah sebagai berikut: (pasal 4 ayat 1)
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha
Kegiatan penyerahan pajak yang dilakukan pengusaha meliputi pengusaha
yang telah dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak maupun pengusaha
sebenarnya dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak.
Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat
berikut ini:
i) Barang wujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak.
ii) Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak tidak
berwujud.
iii) Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean.
iv) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
b. Impor Barang Kena Pajak
Pajak juga dipungut pada saat import barang, pemungutan dilakukan
melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai. Siapapun yang memasukkan barang
kena pajak ke dalam pabean tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam
rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenakan pajak.
Demikian pula atas impor barang kena pajak yang berdasarkan ketentuan
perundang-undangan pabean dibebaskan dari pungutan bea masuk, pajak yang
terutang tetap dipungut kecuali ditetapkan lain oleh menteri keuangan.
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat berikut ini:
i) Jasa yang diserahkan merupakan jasa kena pajak.
ii) Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean.
iii) Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan pengusaha yang
bersangkutan.
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan
impor barang kena pajak, maka atas barang kena pajak tidak berwujud yang
berasal dari luar daerah pabean juga dikenakan pajak.
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah
pebean atau terhadap jasa yang berasal dari luar daerah pabean yang di
manfaatkan di dalam daerah pabean dikenakan pajak menurut undang-undang
PPN.
f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 16 C berbunyi: “PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang
hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya
diatur dalam keputusan menteri keuangan.”
Pasal 16 D berbunyi: “PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP kecuali atas penyerahan
aktiva yang pajak masukkannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (8) huruf b dan c.”
Syarat Penyerahan Terutang PPN Pasal 16 D
a. Yang melakukan penyerahan atau pemindahtanganan adalah Pengusaha Kena
Pajak;
b. Perolehan aktiva tersebut bukan untuk diperjualbelikan atau sebagai barang
dagangan;
c. Perolehan aktiva tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usaha dan
bukan jenis kendaraan sedan dan station wagon.
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang secara langsung berhubungan dengan
kegiatan usaha adalah pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan produksi,
distribusi, pemasaran dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha.
a. Penyerahan Barang Kena Pajak
Pasal 1A ayat (2):
i) Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
ii) Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau
perjanjian sewa guna usaha (leasing);
iii) Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui
juru lelang;
iv) Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
v) Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan;
vi) Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
vii) Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
viii) Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka
perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang
penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada
pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
b. Bukan Penyerahan Barang Kena Pajak
Pasal 1A ayat (2) :
i) Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
ii) Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang;
iii) Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak
terutang;
iv) Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak
yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah
Pengusaha Kena Pajak;
v) Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan
yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
c. Syarat Penyerahan Kena Pajak
Adapun syarat penyerahan kena pajak, yaitu:
i) Barang Berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
ii) Barang Tidak Berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud;
iii) Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean;
iv) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya;
v) Dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.
d. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
Pengenaan PPN atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud antara lain atas:
i) Penyerahan Barang Kena Pajak (Berwujud dan tidak Berwujud) di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; (Pasal 4 ayat (1) huruf a)
ii) Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean; (Pasal 4 ayat (1) huruf d).
iii) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
(Pasal 4 ayat (1) huruf g).
e. Penyerahan Jasa Kena Pajak
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan
barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari
pemesan. (Pasal 1 angka 5 dan 6 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun
1984)
D. Bukan Objek Pajak Pertambahan Nilai
Jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam barang sebagai
berikut:
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya, yaitu:
i) Minyak mentah (crude oil);
ii) Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat;
iii) Panas bumi;
iv) Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu
permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit,
granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat,
opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk,
tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras,
yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
v) Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
vi) Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak
serta bijih bauksit.
b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, yaitu:
i) Beras, gabah, sagu, jagung, kedelai;
ii) Garam baik yang beryodium maupun tidak beryodium;
iii) Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak
dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain,
dan/atau direbus;
iv) Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan,
diasinkan,atau dikemas;
v) Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau
dikemas atau tidak dikemas buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang
dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong,
diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
vi) Buah-buahan yaitu buah segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses
dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris dan dikemas atau tidak dikemas;
dan
vii) Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau
disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
c. Uang, emas batangan, dan surat berharga
d. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung,
dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat
maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa
boga atau catering.
Jenis jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa tertentu dalam jasa sebagai berikut:
a. Jasa pelayanan kesehatan medis;
b. Jasa pelayanan sosial;
c. Jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. Jasa asuransi;
e. Jasa keuangan;
f. Jasa keagamaan;
g. Jasa pendidikan;
h. Jasa kesenian dan hiburan;
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j. Jasa angkutan umum di darat dan air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k. Jasa tenaga kerja;
l. Jasa perhotelan;
m. Jasa-jasa yang disediakan oleh pemerinth dalam rangka menjalankan pemerinthan
secara umum;
n. Jasa penyediaan tempat parkir;
o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. Jasa boga atau katering.
E. Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Mekanisme pemungutan PPN sesuai dengan PMK Nomor 85/PMK.03/2012
tanggal 06 Juni 2012 yang berlaku efektif mulai 1 Juli 2012 adalah:
a. Rekanan wajib membuat faktur pajak dan surat setoran pajak (SSP) atas setiap
penyerahan BKP dan/atau JKP kepada BUMN.
b. Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat sesuai dengan ketentuan
di bidang perpajakan.
c. SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a diisi dengan membubuhkan NPWP serta
identitas rekanan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh BUMN sebagai
penyetor atas nama rekanan.
d. Dalam hal penyerahan BKP selain terutang PPN juga terutang PPnBM maka
rekanan harus mencantumkan juga jumlah PPnBM yang terutang pada faktur
pajak.
e. Faktur pajak dibuat dalam rangkap 3 dengan peruntukkan sebagai berikut : lembar
kesatu untuk BUMN, lembar kedua untuk rekanan, dan lembar ketiga untuk
BUMN yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi pemungut PPN.
f. SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 5 dengan
peruntukkan sebagai berikut : lembar kesatu untuk rekanan, lembar kedua untuk
KPPN melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos, lembar ketiga untuk rekanan yang
dilampirkan pada SPT Masa PPN, lembar keempat untuk Bank Persepsi atau
Kantor Pos, dan lembar kelima untuk BUMN yang dilampirkan pada SPT Masa
PPN bagi Pemungut PPN.
g. BUMN yang melakukan pemungutan harus membubuhkan cap “Disetor
tanggal....” dan menandatanganinya pada faktur pajak sebagaimana dimaksud
pada huruf e.
h. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN atau
PPN dan PPnBM.
Mekanisme pelaporan PPN adalah sebagai berikut:
Pelaporan dilakukan setiap bulan dan laporan disampaikan ke KPP tempat BUMN
terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dengan
menggunakan formulir “Surat Pemberitahuan Masa PPN bagi Pemungut PPN” dan
dilampiri dengan faktur pajak lembar ke-3 dan Surat Setoran Pajak (SSP) lembar ke-5
dalam hal terdapat pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
F. Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-
undang. Dengan kata lain PKP adalah Pengusaha yang usahanya adalah
memperdagangkan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak. Apabila Pengusaha
tersebut memperdagangkan atau melakukan penyerahan barang yang tidak kena pajak
atau jasa yang tidak kena pajak, maka Pengusaha tersebut adalah bukan Pengusaha
Kena Pajak.
Terdapat pengecualian untuk pengusaha kecil sesuai dengan pasal 3A ayat 1 UU
PPN yang berbunyi: Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha
kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang.
Batasan Pengusaha Kecil sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor
68/PMK.03/2010 adalah sebagai berikut:
i) Pengusaha kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan
penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
ii) Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto adalah jumlah keseluruhan
penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha dalam rangka
kegiatan usahanya.
iii) Pengusaha yang masuk kriteria sebagai pengusaha kecil tidak wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan tidak wajib memungut, menyetor,
dan melaporkan PPN dan PPnBM atas penyerahan BKP dan atau JKP yang
dilakukannya sehingga pengusaha kecil diberikan kebebasan memilih untuk
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak atau tidak. Jika memilih untuk
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, maka wajib melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada pasal 3A ayat 1 UU PPN.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak tidak Langsung yang dikenakan pada setiap
pertambahaan nilai atau transaksi penyerahan barang dan atau jasa kena pajak dalam
pendistribusiannya dari produsen dan konsumen.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena digunakannya faktor-faktor
produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan, menyalurkan dan
memperdagangkan barang atau dalam memberikan jasa. Mekanisme cara menghitung
pajak pertambahan nilai adalah pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada
pihak pedagang atau produsen
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak
maupun jasa kena pajak adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam pelaksanaannya
tidak ada penggolongan dengan tarif yang berbeda.
B. Saran
Sudah saatnya, kita sebagai warga negara Indonesia bersimpati dan berempati
terhadap pentingnya pajak untuk pertumbuhan dan pembangunan Indonesia. Dengan
taatnya masyarakat membayar pajak, maka akan tercipta sarana umum yang baik dan
nyaman digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Chairil Anwar Pohan, M.Si, MBA. 2013. Manajemen Perpajakan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Direktorat Jenderal Pajak. 2013. Pajak Pertambahan Nilai. Jakarta.
SITUS WEB
Berbagi Pengetahuan http://gumilar69.blogspot.com/2013/11/pajak-pertambahan-nilai.html
Pajak Pertambahan Nilai
PAJAKKOE http://pajakkoe.blogspot.com/2013/01/mekanisme-pemungut-ppn.html
Mekanisme Pemungutan PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) http://pajakppn.blogspot.com/2011/06/objek-ppn.html
Objek PPN