makalah meli 2

36
FARMAKOLOGI OBAT EMERGENCY Meli Ardianti M*, Purwito Purwito Nugroho** ABSTRACT Drug is a compound that is used to prevent, treat, diagnose diseases/ disorders, or cause a particular condition such as paralyze muscles during surgery. Emergency or emergency conditions are situation that need quick relief, which in case of any delay would cause death. Emergency medication is needed to cope with emergency situations. Drug that should always be available for the initial management of themedical emergency in daily practice are the example: Adrenaline, Aminophilin, Sulfas Atropine, Dextrose 40% and Lidocain. Keywords : emergency medications, Adrenaline, Aminophilin, Sulfas Atropine, Dextrose 40% and Lidocain. ABSTRAK Obat adalah senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati suatu penyakit/ gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu misalnya melumpuhkan otot selama pembedahan. Kondisi emergensi atau gawat darurat adalah keadaan yang membutuhkan pertolongan cepat, dimana bila terjadi keterlambatan akan menyebabkan kematian. Obat-obat yang harus selalu tersedia untuk penanganan awal kondisi gawat darurat dalam praktek sehari-hari seperti : Adrenaline, Aminophilin, Sulfas Atropine, Dextrose 40% dan Lidocain. 1

Upload: meli-ardianti

Post on 09-Nov-2015

255 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

meli

TRANSCRIPT

FARMAKOLOGI OBAT EMERGENCYMeli Ardianti M*, Purwito Purwito Nugroho**

ABSTRACTDrug is a compound that is used to prevent, treat, diagnose diseases/ disorders, or cause a particular condition such as paralyze muscles during surgery. Emergency or emergency conditions are situation that need quick relief, which in case of any delay would cause death. Emergency medication is needed to cope with emergency situations. Drug that should always be available for the initial management of themedical emergency in daily practice are the example: Adrenaline, Aminophilin, Sulfas Atropine, Dextrose 40% and Lidocain.Keywords : emergency medications, Adrenaline, Aminophilin, Sulfas Atropine, Dextrose 40% and Lidocain.

ABSTRAKObat adalah senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati suatu penyakit/ gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu misalnya melumpuhkan otot selama pembedahan. Kondisi emergensi atau gawat darurat adalah keadaan yang membutuhkan pertolongan cepat, dimana bila terjadi keterlambatan akan menyebabkan kematian. Obat-obat yang harus selalu tersedia untuk penanganan awal kondisi gawat darurat dalam praktek sehari-hari seperti : Adrenaline, Aminophilin, Sulfas Atropine, Dextrose 40% dan Lidocain.

Kata kunci : Obat emergensi, Adrenaline, Aminophilin, Sulfas Atropine, Dextrose 40 and Lidocain.

*Coassistant Anestesiologi FK UNTAR**Dokter spesialis anestesiologi BLUD RSUD Kota Semarang

PENDAHULUAN

Emergensi adalah serangkaian usaha-usaha pertama yang dapat dilakukan pada kondisi gawat darurat dalam rangka menyelamatkan pasien dari kematian. Pengelolaan pasien yang terluka parah memerlukaan penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat untuk menghindari kematian.1,2Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesia ataupun analgesia penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan atau tindakan lainnya, bantuan resusitasi dan pengobatan intensif pasien yang gawat, dan pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.3Obat-obatan emergency atau gawat darurat adalah obat-obat yang digunakan untuk mengatasi situasi gawat darurat atau untuk resusitasi/life support. Pengetahuan mengenai obat-obatan ini penting sekali untuk mengatasi situasi gawat darurat yang mengancam nyawa dengan cepat dan tepat. 2 Prinsip obat emergency adalah untuk menanggulangi kegawatdaruratan dengan cara meningkatkan tekanan darah, menigkatkan denyut jantung, menurunkan atau mengatasi aritmia ventrikel, menurunkan atau mengatasi aritmia supraventrikel. 2

JENIS-JENIS OBAT EMERGENCY1. Epinefrin (Adrenalin)Epinefrin (adrenalin) merupakan katekolamin endogen yang bekerja secara langsung pada beberapa tipe reseptor adrenergik antara lain reseptor : 1, 2, 1 dan 2. Efek epinefrin pada organ target yang paling menonjol terdapat pada jantung, pembuluh darah, dan otot polos lain.41.1. Farmakodinamika. KardiovaskularEfek vaskular epinefrin terutama pada arteriol kecil dan sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi karena dalam organ-organ tersebut reseptor dominan.5,6Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi oleh epinefrin dosis rendah, akibat aktivasi reseptor 2 yang mempunyai afinitas yang lebih besar pada epinefrin dibandingkan dengan reseptor .5,6Dominasi reseptor di pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi perifer yang berakibat peningkatan tekanan darah. Pada waktu kadar epinefrin menurun, efek terhadap reseptor yang kurang sensitif lebih dahulu menghilang sementara efek epinefrin terhadap reseptor 2 masih ada pada kadar yag rendah ini sehingga menyebabkan hipotensi sekunder.5,6Jika sebelum epinefrin telah diberikan suatu penghambat reseptor , maka pemberian epinefrin hanya akan menimbulkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Gejala ini disebut epinefrin reversal.7Pada manusia, pemberian epinefrin dalam dosis terapi yang menimbulkan kenaikan tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan peningkatan aliran darah otak. Dosis epinefrin yang berlebih dapat menimbulkan kematian karena edema paru.7Epnefrin mengaktivasi reseptor 1 di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positif epinefrin pada jantung. Epinefrin memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi. Dalam mempercepat denyut jantung dalam kisaran fisiologis, epinefrin memperpendek waktu sistolik tanpa mengurangi waktu diastolik. Dosis epinefrin yang berlebih, di samping menyebabkan tekanan darah naik sangat tinggi, juga menimbulkan kontraksi ventrikel prematur, diikuti takikardi ventrikel dan akhirnya fibrilasi ventrikel.7Pemberian epinefrin pada manusia secara SK atau secara IV lambat menyebabkan kenaikan tekanan sistolik yang sedang dan penurunan tekanan diastolik. Dengan demikian, denyut jantung, curah jantung, curah sekuncup dan kerja ventrikel meningkat akibat stimulasi langsung epinefrin pada jantung dan peningkatan aliran balik vena.7

b. UterusOtot polos uterus manusia mempunyai reseptor 1 dan 2. Responnya terhadap epinefrin berbeda-beda, tergantung pada fase kehamilan dan dosis yang diberikan. Selama kehamilan bulan terakhir dan diwaktu partus, epinefrin menghambat tonus dan kontraksi uterus melalui reseptor 2.7

c. Saluran CernaMelalui reseptor dan , epinefrin menimbulkan relaksasi otot polos saluran cerna pada umumnya: tonus dan motilitas usus dan lambung berkurang.Reseptor 1, 2, 1 dan 2 terdapat pada membrane sel otot polos. Pada sfingter pylorus dan ileosekal, epi menimbulkan kontraksi melalui aktivasi reseptor 1.7

d. Kandung KemihEpinefrin menyebabkan relaksasi otot detrusor melalui reseptor 2, dan kontraksi otot trigon, sfingter dan otot polos prostat melalui reseptor 1, yang dapat menimbulkan kesulitan berkemih dan retensi urin.5

e. PernapasanEpinefrin mempengaruhi pernapasan terutama dengan cara merelaksasi otot bromkus melalui reseptor 2. Efek bronkodilatasi ini jelas sekali bila sudah ada kontraksi otot polos bronkus karena asma bronchial, histamine, esterkolin, pilokarpin, bradikinin, zat anafilaksis dan lain-lain.3Pada asma epinefrin juga menghambat pelepasan mediator inflamasi dari sel-sel mast melalui reseptor 2, serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti mukosa melalui reseptor 1.3

f. Susunan Saraf PusatEpinefrin pada dosis terapi tidak mempunyai efek stimulasi SSP yang kuat karena obat ini relatif polar sehingga sukar masuk ke dalam SSP. Tetapi pada banyak orang, epinefrin dapat menimbulkan kegelisahan, rasa khawatir, nyeri kepala dan tremor.5

g. MataMidriasis mudah terjadi pada perangsangan simpatis tetapi tidak bila epinefrin diteteskan pada konjungtiva mata normal.7Epinefrin biasanya menurunkan tekana intraokuler yang normal maupun pada pasien glaukoma sudut lebar. Efek ini mungkin disebabkan karena berkurangnya pembentukan cairan bola mata akibat vasokonstriksi dan karena bertambahnya aliran keluar.7

h. Proses MetabolikEpinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan otot rangka melalui reseptor 2, glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian glukosa-6-fosfat. Hati mempunyai enzim glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak, sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas asam laktat.7Epinefrin juga menghambat sekresi insulin akibat dominasi aktivasi reseptor 2 yang menghambat, terhadap aktivasi reseptor 2 yang menstimulasi sekresi insulin. Sekresi glukagon ditingkatkan melalui reseptor pada sel pankreas. Ambilan (uptake) glukosa oleh jaringan perifer dikurangi.7Epinefrin melalui aktivasi reseptor meningkatkan aktivitas lipase trigliserida dalam jaringan lemak, sehingga mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Akibatnya kadar asam lemak bebas dalam darah meningkat.7

1.2.Farmakokinetika. AbsorpsiPada pemberian oral, epi tidak mencapai dosis terapi karena sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati. Pada penyuntikan SK, absorpsi lambat karena vasokonstriksi lokal, dapat dipercepat dengan memijat tempat suntikan. Absorpsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan IM. Pada pemberian lokal secara inhalasi, efeknya terbatas terutama pada saluran napas, tetapi efek sistemik dapat terjadi, terutama bila digunakan dosis besar.6

b. Biotransformasi dan EkskresiEpinefrin stabil dalam darah. Degradasi Epinefrin terutama terjadi dalam hati yang banyak mengandung enzim COMT dan MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak zat ini. Pada orang normal, jumlah Epinefrin yang utuh dalam urin hanya sedikit. Pada pasien feokromositoma, urin mengandung epinefrin dan NE utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.5

1.3. IndikasiManfaat epinefrin dalam klinik berdasarkan efeknya terhadap pembuluh darah, jantung dan otot polos bronkus. Penggunaan utama epinefrin adalah sbb: Epinefrin merupakan obat terpilih untuk syok anafilaksis, untuk indikasi ini epinefrin tidak tergantikan oleh obat adrenergik lain. Alasannya ialah epinefrin berkerja dengan sangat cepat (segera) sebagai vasokonstriktor dan bronkodilator, sehingga dapat menyelamatkan nyawa yang terancam pada kondisi ini.5,7 Epinefrin juga digunakan untuk memperpanjang masa kerja anestetik lokal(dengan mengurangi aliran darah lokal).7 Epinefrin juga dapat digunakan untuk merangsang jantung pada pasien dengan henti jantung oleh berbagai sebab.7 Secara lokal epinefrin digunakan untuk menghentikan perdarahan kapiler, misalnya perdarahan dalam mulut maupun ulkus peptik.7

1.4. Dosis dan Sediaan Epinefrin dalam sediaan adalah isomer levo. Suntikan epinefrin adalah larutan steril 1 mg/mL (1:1000) Epinefrin HCl dalam air untuk penyuntikan SK, ini digunakan untuk mengatasi syok anafilaktik dan reaksi-reaksi hipersensitivitas lainnya. Dosis dewasa berkisar antara 0,2 - 0,5 mg (0,2 0,5 mL larutan 1:1000).3Untuk penyuntikan IV, yang jarang dilakukan, larutan ini harus diencerkan terlebih dahulu dan harus disuntikkan dengan sangat perlahan. Dosisnya jarang sampai 0,25 mg, kecuali pada henti jantung, dosis 0,5 mg dapat diberikan tiap 5 menit.31. Kardiopulmoner arrest: encerkan 1 ampul 1 mg dalam 9 mL aquabidest untuk mendapatkan larutan 0,1 mg epinefrin per mL. Anak-anak dan dewasa: 0,01-0,02 mg/kgBB/IV injeksi, diulangi tiap menit jika belum ada respon.2. Shok anafilaktik. Anak-anak: 0,25 mg diencerkan dalam 9 mL aqua bidest, diberikan secara IV pelan, mL per mL, tergantung tekanan darah dan nadi, sampai perbaikan terjadi. Dewasa 1 mg diencerkan dalam 9 mL aqua bidest, diberikan secara IV pelan, mL per mL, tergantung tekanan darah dan nadi, sampai perbaikan terjadi.3. Hipotensi yang diinduksi oleh spinal anestesi (yang tidak berespon terhadap efedrin). Encerkan 1 ampul yang berisi 1 mg dalam 9 mL aqua bidest untuk mendapatkan larutan 0,1 mg epinefrin per mL. Dewasa 0,1-0,2 mg (1-2 mL larutan yang telah diencerkan)/IV injeksi, diulangi tiap menit sampai tekanan darah stabil.3

1.5. Efek Samping dan KontraindikasiPemberian epinefrin dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala berdenyut, tremor dan palpitasi. Gejala-gejala ini mereda dengan cepat setelah istirahat. Pasien hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap efek-efek tersebut di atas.5,6Dosis epinefrin yang besar atau penyuntikan IV yang cepat yang tidak disengaja dapat menimbulkan perdarahan otak karena kenaikan tekanan darah yang hebat. Bahkan penyuntikan SK 0,5 mL larutan 1:1000 dilaporkan menimbulkan perdarahan sub-araknoid dan hemiplegia. Untuk mengatasinya dapat diberikan vasodilator yang kerjanya cepat, misalnya nitrat atau natrium nitriprussid; -bloker juga berguna.4Epinefrin dapat menimbulkan aritmia ventrikel. Fibrilasi ventrikel bila terjadi, biasanya bersifat fatal; ini terutama terjadi bila epi diberikan sewaktu anesthesia dengan hidrokarbon berhalogen, atau pada pasien penyakit jantung organik. Pada pasien dengan riwayat angina pectoris, pemberian epinefrin dapat mempermudah timbulnya serangan.5Epinefrin dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat -bloker nonselekif, karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor 1 pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan otak.4

2. Aminofilin (Derivat Xantin: theophylline ethylenediamine)Derivat xantin yang terdiri dari kafein, teofilin dan teobromin ialah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan. Sejak dahulu ekstrak tumbuh-tumbuhan ini digunakan sebagai minuman. Kafein terdapat dalam kopi yang didapat dari biji Coffea Arabica, Teh dari daun Thea sinensis mengandung kafein dan teofilin. Cocoa, yang didapat dari biji Theobroma cacao mengandung kafein dan teobromin. Ketiganya merupakan derivat xantin yang mengandung gugus metil. Xantin sendiri ialah dioksipurin yang mempunyai struktur mirip dengan asam urat.7

2.1.FarmakodinamikMekanisme Kerja:Teofilin menghambat enzim fosfodiesterase (PDE) sehingga mencegah pemecahan cAMP dan cGMP masing-masing menjadi 5-AMP dan 5-GMP. Penghambatan PDE menyebabkan akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel sehingga menyebabkan relaksasi otot polos, termasuk otot polos bronkus.7Teofilin merupakan suatu antagonis kompetitif pada reseptor adenosin. Adenosin dapat menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma dan memperkuat penglepasan mediator dari sel mast yang diinduksi oleh rangsang imunologis. Oleh karenanya penghambatan kerja adenosin juga merupakan mekanisme kerja teofilin untuk mengatasi bronkokonstriksi pada pasien asma.7Beberapa studi menunjukkan bahwa teofilin juga memiliki efek antiinflamasi dan menghambat penglepasan mediator dari sel radang.71. Susunan saraf pusat: Teofilin dan kafein merupakan perangsang SSP yang kuat sedangkan teobromin boleh dikatakan tidak aktif. Teofilin menyebabkan perangsangan SSP yang lebih dalam dan berbahaya dibandingkan kafein. Orang yang minum kafein merasakan tidak begitu mengantuk, tidak begitu lelah dan daya pikirnya lebih cepat dan lebih jernih tetapi kemampuan berkurang dalam pekerjaan yang memerlukan koordinasi otot halus (kerapihan), ketepatan waktu atau ketepatan berhitung.7Bila dosis metilxantin ditinggikan , akan menyebabkan gugup, gelisah, insomnia, tremor, hiperestesia, kejang fokal atau kejang umum.2. Sistem Kardiovaskulara. Jantung: Pada orang normal, kadar terapi teofilin antara 10-20 g/mL akan menyebabkan kenaikan moderat frekuensi denyut jantung.b. Pembuluh darah: Kafein dan teofilin menyebabkan dilatasi pembuluh darah termasuk pembuluh darah koroner dan pulmonal karena efek langsung pada otot pembuluh darah.c. Sirkulasi otak: Resistensi pembuluh darah otak naik disertai pengurangan aliran darah dan PO2 di otak.7d. Sirkulasi koroner: Secara eksperimental terbukti bahwa xantin menyebabkan vasodilatasi arteri koroner dan bertambahnya aliran darah koroner.e. Tekanan darah: Efek xantin terhadap tekanan darah tidak dapat diramalkan. Stimulasi pusat vasomotor dan stimulasi langsung miokard akan menyebabkan kenaikan tekanan darah. Sebaliknya perangsangan pusat vagus dan adanya vasodilatasi menyebabkan penurunan tekanan darah.7

3. Otot polosEfek terpenting xantin ialah relaksasi otot polos bronkus, terutama bila otot bronkus dalam keadaan konstriksi secara eksperimental akibat histamine atau secara klinis pada pasien asma bronkial. Dalam hal ini teofilin paling efektif menyebabkan peningkatan kapasitas vital. Sebagai bronkodilator, teofilin bermanfaat untuk pengobatan asma bronkial. Efek bronkodilatasi teofilin nampaknya disebabkan baik oleh antagonism terhadap reseptor adenosine maupun inhibisi PDE. Suntikan aminofilin menyebabkan berkurangnya gerakan usus halus dan usus besar untuk sementara waktu. Dosisnya 5-6 mg/KgBB diulang 20-30 menit. Peroral/rectal 6 mg/KgBB.Dosis pemeliharaan IV 0,5-1 mg/KgBB per jam. Peroral 2-4 mg/KgBB setiap 6-12 jam. Eliminasi di hati8

4. DiuresisSemua xantin meninggikan produksi urin. Teofilin merupakan diuretik, tetapi efeknya hanya sebentar. Teobromin kurang aktif tetapi efeknya lebih lama, sedangkan kafein yang paling lemah.5,7

5. Sekresi LambungDosis sedang pada kucing dan manusia menyebabkan kenaikan sekresi lambung yang berlangsung lama. Kombinasi histamin dan kafein memperlihatkan efek potensiasi pada peninggian sekresi pepsin dan asam.7

6. Efek MetabolikPemberian kafein sebesar 4-8 mg/kgBB pada orang yang sehat maupun orang yang gemuk akan menyebabkan peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma danjuga meninggikan metabolisme basal. Masih belum jelas benar apakah perubahan metabolism ini berkaitan dengan peningkatan penglepasan ataupun efek katekolamin.7

2.2.FarmakokinetikMetilxantin cepat diabsorpsi setelah pemberian oral, rectal atau parenteral. Sediaan bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorbsi secara cepat dan lengkap. Absorbsi juga berlangsung lengkap untuk beberapa jenis sediaan lepas lambat. Absorbsi teofilin dalam bentuk garam yang mudah larut, misalnya teofilin Na glisinat atau teofilin kolin tidak lebih baik.7Sediaan teofilin parenteral atau rektal ternyata tetap menimbulkan keluhan nyari saluran cerna, mual dan muntah. Rupanya gejala ini berhubungan dengan kadar teofilin dalam plasma. Keluhan saluran cerna yang disebabkan oleh iritasi setempat dapat dihindarkan dengan pemberian obat bersama makanan, tetapi akan terjadi penurunan absorbsi teofilin. Dalam keadaan perut kosong, sediaan teofilin bentuk cair atau tablet tidak bersalut dapat menghasilkan kadar puncak plasma dalam waktu 2 jam sedangkan kafein dalam waktu 1 jam.7Metilxantin didistribusikan ke seluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Volume distribusi kafein dan teofilin ialah antara 400 dan 600 mL/kg. Eliminasi metilxantin terutama melalui metabolisme dalam hati. Sebagian besar diekskresi bersama urin dalam bentuk asam metilurat atau metilxantin. Kurang dari 20% teofilin dan 5% kafein akan ditemukan di urin dalam bentuk utuh. Waktu paruh plasma teofilin pada orang dewasa 8-9 jam dan pada anak muda kira-kira 3,5 jam. Pada pasien sirosis hati atau edema paru akut, kecepatan eliminasi sangat bervariasi dan berlangsung lebih lambat.7

2.3.Indikasia. Asma bronkialSenyawa teofilin merupakan salah satu obat yang diperlukan pada serangan asma yang berlangsung lama (status asmatikus). Dalam mengatasi status asmatikus diperlukan berbagai tindakan termasuk pengunaan oksigen, aspirasi mukus bronkus, pemberian obat simpatomimetik, bronkodilator, ekspektoran dan sedatif. Salah satu bronkodilator yang paling efektif ialah teofilin. Selain itu teofilin dapat digunakan sebagai profilaksis terhadap serangan asma.7Pada pasien asma, diperlukan kadar terapi teofilin sedikitnya 5-8 g/mL, sedangkan efek toksik mulai terlihat pada kadar 15 g/mL dan lebih sering pada kadar diatas 20g/mL. Karena itu pada pengobatan asma diusahakan kadar teofilin dipertahankan kira-kira 10 g/mL. Karena variasi yang cukup besar dalam kecepatan eliminasi teofilin, maka dosis perlu ditentukan secara individual berdasarkan pemantauan kadarnya dalam plasma. Selain itu respon individual yang juga cukup bervariasi menyebabkan teofilin perlu diawasi penggunaannya dalam therapeutic drug monitoring.7Untuk mengatasi episode spasme bronkus hebat dan status asmatikus, perlu diberikan aminofilin IV dengan dosis muat (loading dose) 6 mg/kgBB yang ekivalen dengan teofilin 5 mg/kgBB. Obat ini diberikan secara infus selama 20-40 menit. Bila belum tercapai efek terapi dan tidak terdapat tanda intoksikasi, maka dapat ditambahkan dosis 3 mg/kgBB dengan infus perlahan-lahan. Selanjutnya efek yang optimal dapat dipertahankan dengan pemberian infus 0,5 mg/kgBB/jam untuk dewasa normal dan bukan perokok.7Kombinasi dengan agonis 2-adrenergik misalnya metaproterenol atau terbutalin ternyata meningkatkan efek bronkodilatasi teofilin sehingga dapat digunakan dosis dengan resiko efek samping yang lebih kecil. Penggunaan minuman atau obat yang mengandung kafein selama pengobatan teofilin dilarang untuk menghindarkan:71. Efek aditif kafein pada SSP, kardiovaskular dan saluran cerna.2. Pengaruh kafein terhadap eliminasi teofilin, karena keduanya dimetabolisme oleh enzim yang sama, dan3. Kemungkinan pengaruh kafein terhadap hasil penetapan kadar teofilin menurut cara tertentu.

2. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)Teofilin juga banyak digunakan pada penyakit ini dengan tujuan yang sama dengan pengobatan asma. Tetapi, gejala lain yang menyangkut sistem kardiovaskular akibat penyakit paru obstruktif kronik ini misalnya hipertensi pulmonal, payah jantung kanan pada cor pulmonale, tidak diperbaiki oleh teofilin.7

3. Apneu pada bayi prematurPada bayi prematur seering terjadi episode apneu yang berlangsung lebih dari 15 detik yang disertai bradikardi. Hal ini dapat menimbulkan hipoksemia berulang dan gangguan neurologis, yang mungkin berhubungan dengan penyakit sistemik yang cukup berat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian teofilin oral atau IV dapat mengurangi lamanya apneu. Untuk itu teofilin cukup diberikan dalam dosis yang mencapai kadar plasma 3-5 g/mL yaitu 2,5-5 mg/kgBB dan selanjutnya dipertahankan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari.7

2.4 Sediaan dan DosisBerbentuk kristal putih, pahit dan sedikit larut dalam air. Di Indonesia, tersedia dalam berbagai bentuk sediaan untuk penggunaan oral, yaitu kapsul/kapsul lunak teofilin 130 mg; tablet teofilin 150 mg; tablet salut selaput lepas lambat berisi teofilin 125 mg, 250 mg, dan 300 mg; sirup/eliksir yang berisi teofilin sebanyak 50 mg/5 mL, 130 mg/15 mL dan 150 mg/15 mL. Teofilin juga tersedia dalam kombinasi tetap dengan efedrin untuk asma bronkial. Aminofilin merupakan garam teofilin untuk penggunaan IV, tersedia dalam ampul 10 mL mengandung 24 mg aminofilin setiap mililiternya.7

3. Sulfas Atropin (Anti Muskarinik)Penghambat reseptor muskarinik atau anti-muskarinik dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu: 71. Alkaloid antimuskarinik : Atropin dan Skopolamin2. Derivat semisintetisnya, dan3. Derivat sintetis Sintesis dilakukan dengan maksud mendapatkan obat dengan efek khusus terhadap gangguan tertentu dan efek samping yang lebih ringan. Kelompok obat ini bekerja pada reseptor muskarinik dengan afinitas berbeda untuk berbagai subtipe reseptor muskarinik. Oleh karena itu saat ini terdapat antimuskarinik yang digunakan untuk: 71. Mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya, antispasmodik.2. Pengunaan lokal pada mata sebagai midriatikum.3. Memperoleh efek sentral, misalnya untuk mengobati penyakit Parkinson4. Bronkodilatasi5. Memperoleh efek hambatan pada sekresi lambung dan gerakan saluran cerna.

Strukur KimiaAtropin (campuran dan l-hiosiamin) terutama ditemukan pada Atropa belladonna dan Datura stramonium, merupakan ester organik dari asam tropat dengan tropanol atau skopin (basa organik). Walaupun selektif menghambat reseptor muskarinik, pada dosis sangat besar atropine memperlihatkan efek penghambatan juga di ganglion otonom dan otot rangka yang reseptornya nikotinik.7

3.2.FarmakodinamikAtropin bekerja melalui reseptor kolinergik, yakni reseptor nikotinik dan reseptor muskarinik dan berbagai subtipenya.Reseptor nikotinik dibagi 2 yaitu:a. Reseptor nikotinik neuronal (NN) yaitu reseptor nikotinik yang terdapat di ganglia otonom, adrenal medulla dan SSP.b. Reseptor nikotinik otot (NM) yaitu reseptor nikotinik yang terdapat di sambungan saraf-otot.Reseptor muskarinik ada 5 subtipe yakni:71. Reseptor M1 di ganglia dan berbagai kelenjar.2. Reseptor M2 di jantung.3. Reseptor M3 di otot polos dan kelenjar.4. Reseptor M4 mirip M2.5. Reseptor M5 mirip M1Hambatan oleh atropine bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang eksogen.7Kepekaan reseptor muskarinik terhadap antimuskarinik berbeda antar organ. Pada dosis kecil (sekitar 0,25 mg) misalnya, atropine hanya menekan sekresi air liur, mucus bronkus dan keringat dan belum jelas mempengaruhi jantung. Pada dosis yang lebih besar (0,5 - 1,0 mg) baru terlihat dilatasi pupil, gangguan akomodasi. dan penghambatan nervus vagus sehingga terlihat takikardia. Diperlukan dosis yang lebih besar lagi untuk menghambat peristaltik usus dan sekresi kelenjar di lambung. Penghambatan pada reseptor muskarinik ini mirip denervasi serabut pascaganglion kolinergik dan pada keadaan ini biasanya efek adrenergik menjadi lebih nyata.6,7Berikut ini adalah dampak pemberian atropine pada berbagai organ tubuh:7a. Susunan saraf pusat Atropin pada dosis kecil memperlihatkan efek merangsang di susunan saraf pusat dan pada dosis toksik memperlihatkan efek depresi setelah melampaui fase eksitasi yang berlebihan.7 Dalam dosis 0,5 mg (untuk orang Indonesia mungkin 0,3 mg) atropine merangsang N.vagus sehingga frekuensi denyut jantung berkurang. Perangsangan respirasi terjadi karena dilatasi bronkus, tetapi dalam hal depresi respirasi oleh sebab tertentu, atropine tidak berguna merangsang respirasi.7 Pada dosis yang besar sekali, atropine menyebabkan depresi napas, eksitasi, disorientasi, delirium, halusinasi dan depresi serta paralisis medulla oblongata.7

b. Sistem kardiovaskular Pengaruh atropine terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan dosis 0,25-0,5 mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung berkurang, mungkin disebabkan oleh perangsangan pusat vagus. Bradikardi biasanya tidak nyata dan tidak disertai perubahan tekanan darah atau curah jantung.7 Pada dosis lebih dari 2 mg yang biasanya hanya digunakan pada keracunan insektisida organofosfat, terjadi hambatan N. vagus sehingga terjadi takikardia. Atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung. Dilatasi kapiler pada bagian muka dan leher terjadi pada dosis toksik (atropine flush). Vasodilatasi ini merupakan kompensasi kulit untuk melepaskan panas dari naiknya suhu kulit akibat penghentian evaporasi.7

c. Mata Atropin menghambat M.constrictor papillae dan M.ciliaris lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi). Midriasis mengakibatkan fotofobia, sedangkan siklopegia menyebabkan hilangnya kemampuan melihat jarak dekat. Midriasis baru terlihat dengan dosis yang lebih tinggi (>1 mg). Pemberian lokal pada mata menyebabkan perubahan yang lebih cepat dan berlangsung lama (7-12 hari), karena atropin sukar dieliminasi dari cairan bola mata. Midriasis oleh atropin dapat diatasi dengan pilokarpin, eserin atau DFP.7 Tekanan intraoklular pada mata yang normal tidak banyak mengalami perubahan, tetapi pada pasien glaucoma, terutama pada glaucoma sudut sempit, penyaliran cairan intraocular melalui saluran Schlemm akan terhambat karana muaranya terjepit dalam keadaan midriasis.,7

d. Saluran napas Tonus bronkus sangat dipengaruhi oleh sistem parasimpatis melalui reseptor M3 demikian juga sekresi kelenjar submukosanya. Atropin mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus.7 Penggunaannya pada premedikasi anesthesia dimaksudkan untuk mengurangi sekresi lendir jalan napas sehingga mengurangi resiko aspirasi pada saat pemulihan. Sementara itu, sebagai bronkodilator, atropin tidak berguna dan jauh lebih lemah daripada epinefrin atau aminofilin. Walaupun demikian, ipratropium bromide merupakan anti muskarinik yang memperlihatkan efek bronkodilatasi berarti pada pemberian setempat dengan dampak yang minimal pada mekanisme pembersihan mukosilier6,7

e. Saluran cerna Karena bersifat menghambat peristaltik lambung dan usus, atropine juga disebut sebagai antispasmodik.7 Atropin menyebabkan berkurangnya sekresi liur dan sebagian juga sekresi lambung.6,7

f. Otot polos lain Saluran kemih dipengaruhi oleh atropine dalam dosis agak besar (kira-kira 5 mg). Pada pielogram akan terlihat dilatasi kaliks, pelvis, ureter, dan kandung kemih. Hal ini dapat mengakibatkan retensi urin. Retensi urin disebabkan oleh relaksasi otot detrusor dan konstriksi sfingter uretra.7 Efek antispasmodik pada saluran empedu, tidak cukup kuat untuk menghilangkan kolik yang disebabkan oleh batu saluran empedu.7 Pada uterus, yang inervasi otonomnya berbeda dengan otot polos lainnya, tidak terlihat efek relaksasi, sehingga atropin hampir tidak bermanfaat untuk pengobatan nyeri haid.7

g. Kelenjar eksokrin Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropin ialah kelenjar liur dalam mulut serta bronkus. Untuk menghambat aktivitas kelenjar keringat diperlukan dosis yang lebih besar. Efek terhadap kelenjar air mata dan air susu tidak jelas.7

3.3. FarmakokinetikAtropin mudah diserap di semua tempat, kecuali di kulit. Pemberian atropin sebagai obat tetes mata, terutama pada anak-anak dapat menyebabkan absorpsi dalam jumlah yang cukup besar lewat mukosa nasal, sehingga menimbulkan efek sistemik dan bahkan keracunan. Dari sirkulasi darah atropin cepat memasuki jaringan dan separuhnya mengalami hidrolisis enzimatik di hepar. Sebagian di ekskresi melalui ginjal dalam bentuk asal. Waktu paruh atropin sekitar 4 jam.7

3.4. Indikasi a) EmergensiPengobatan dari bradikardi sinus/ CPR, premedikasi ( vagolisis ), reverse dari blockade neuromuscular ( blockade efek muskarinik antikholonesterase ), bronkospasme. b) Saluran napasa. Atropin berguna untuk mengurangi sekresi lendir hidung dan saluran napas, misalnya pada rhinitis akut, koriza, dan hay fever.7b. Oftalmologic. Atropin biasanya dipakai dengan kekuatan larutan 0,5-1%, dua atau tiga tetes larutan ini cukup untuk menyebabkan midriasis selama beberapa hari sampai seminggu.7d. Susunan saraf pusate. Atropin merupakan obat tambahan di samping levodopa sebagai terapi parkinsonisme.7c) Indikasi laina. Atropin berguna untuk mengurangi sekresi lendir jalan napas pada anesthesia, terutama anesthesia inhalasi dengan gas yang merangsang. Kelenjar yang sekresinya dihambat secara baik oleh antikolenergik ialah kelenjar keringat dan kelenjar ludah.6,7b. Atropin kadang-kadang berguna untuk menghambat N.Vagus pada bradikardia atau sinkope akibat refluks sinus karotis yang hiperakif. Beberapa jenis blok A-V yang disertai dengan hiperaktivitas vagus dapat diperbaiki dengan atropin.7c. Atropin merupakan antidotum untuk keracunan antikolinesetrase dan keracunan kolinergik yang ditandai dengan gejala muskarinik. Selain itu, atropin berguna untuk mengatasi gejala parasimpatomimetik yang menyertai pengobatan kolinergik pada miastenia gravis3,7d. Atropin digunakan untuk menghambat motilitas lambung dan usus. Terutama dipakai pada ulkus peptikum dan sebagai pengobatan simtomatik pada berbagai keadaan misalnya disentri, colitis, diverticulitis dan kolik karena obat atau sebab lain.7e. Atropin IV ternyata efektif untuk mengobati stenosis pylorus pada bayi. Atropin 0,01 mg/KgBB disuntikkan 6 kali sehari sampai gejala muntahnya berhenti. setelah itu atropin 0,02 mg/KgBB diberikan per oral 6 kali sehari untuk kemudian diturunkan secara bertahap setelah muntah berhenti sama sekali dan berat bayi bertambah.6,7

3.5. Efek SampingEfek samping antimuskarinik hampur semuanya merupakan efek farmakodinamiknya. Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan miksi, meteorisme sering terjadi, tetapi tidak membahayakan. Pada orang tua dapat terjadi efek sentral terutama berupa sindrom demensia. Memburuknya retensi urin pada pasien hipertrofi prostat dan memburuknya penglihatan pada pasien glaukoma.6,7

3.6. Dosis dan sediaan 1 mg atropin sulfat dalam 1 mL ampul (1 mg/mL) diberikan secara SC, IM, IV. Juga tersedia dalam ampul 0,25 mg/mL dan 0,5 mg/mL.7

1. Bradikardia sinus / CPR : a. Anak-anak IV/IM/SK 10-20g/kgBB dosis minimum 0,1 mg.b. Dewasa IV/IM/SK 0,5-1,0 mg ulangi tiap 3-5 menit sesuai indikasi, dosis maksimal 40 g/KgBB.2. Premedikasi Anestesi:a. Anak-anak: 0,01-0,02 mg/kgBB SC/IVb. Dewasa: 0,4-1 mg SC/IV3. Reversi blockade neuromuskuler IV 0,015 mg dengan antikolinesterase neostigmin, IV 0,05 mg/KgBB dengan antikolinesterasi neostigmin.4. Bronkodilatasi dengan inhalasia. Anak > 6 thn 0,5 mg SC tiap 4-6 jamb. Dewasa 0,25mg/KgBB dalam 4-6 jam7

3.7.Kontraindikasi, efek samping, dan perhatian7a. Jangan diberikan pada pasien-pasien dengan gangguan urethra-prostat, gangguan jantung dan glaukoma.b. Jangan diberikan pada anak dengan demam tinggi.c. Dapat menyebabkan: retensi urin, mulut kering, konstipasi, pusing, sakit kepala, dilatasi pupil dan takikardi.d. Berikan dengan hati-hati dan dibawah pengawasan ketat pada pasien-pasien yang sedang memakai obat-obat anti kolinergik yang lain (antidepresi, neuroleptik, H-1 antihistamin, antiparkinson dll)e. Tidak ada kontra indikasi pada wanita hamil.f. Cegah pemakaian pada wanita menyusui.

4. Dextrosa 40%Dextrosa monohidrat 40% adalah larutan hipertonis dextrosa dalam air diberikan secara intravena sebagai sumber nutrisi dan cairan. Dextrosa mempunyai nama kimia D-glukosa monohidrat (C6H12O6.H2O), gula heksosa yang larut dalam air. Latrutan dextrosa merupakan larutan kristaloid yang mengandung dextrosa (glukosa) tanpa elektrolit. Larutan dextrosa akan berubah menjadi air bebas karena seluruh kandungan glukosa dimetabolisme, sehingga terdistribusi ke seluruh cairan secara merata, baik kompartemen intraseluler, interstitial, dan intravaskular.8 Pada pemberian cairan dextrosa, duapertiga akan masuk ke dalam cairan kompartemen intraseluler dan hanya sepersembilan yang tetap dalam pembuluh darah. Kandungan glukosa cairan ini tidak dapat digunakan sebagai sumber kalori pada pasien perioperatif. Karena pada pasien yang menjalani operasi akan terjadi pelepasan katekolamin dan resistensi insulin sehingga pemberian larutan dextrosa dapat menyebabkan keadaan hiperglikemia. Perioperatif hiperglikemia berhubungan dengan peningkatan esiko kematian, iskemia miokard, dan stroke.8

4.1 Farmakodinamik DextrosaKetika diberikan secara intravena, larutan yang mengandung karbohidrat dalam bentuk dextrosa akan menaikan glukosa darah dan menjadi sumber kalori. Dextrosa membantu meminimalkan penurunan glikogen hati dan menunjukkan aksi penghematan protein. Dextrosa mengalamin oksidasi menjadi air dan karbondioksida.8

4.2 Aplikasi Klinis DextrosaPada penanganan awal hipoglikemia diberika dextrosa 40% (D10W) sebanyak 1gr/kgBB, kemudian diikuti dengan infus dextrosa 10% (D10W) pada jumlah yang dapat mempertahankan glukosa darah di atas 100 mg/dL. Pengukuran berulang glukosa darah tiap 30 menit selama 2 jam untuk mendeteksi rebound hypoglycemia.8Diberikan secara pelan memlalui infus intravena setelah pencampuran dengan larutan asam amino atau setelah pengenceran dengan cairan intravena yang sesuai. Dosis harus disesuaikan dengan kebutuhn masing-masing pasien. Dosis maksimum pemberian dextrosa melalui infus tanpa menyebabkan glukosuria sebesar 0,5 gr/kgBB/jam. Pada pasien pediatrik terutama neonatus dan bayi berat lahir rendah, pemberian larutan dextrosa membutuhkan pengawasan glukosa darah secara ketat karena meningkatnya resiko hiperglikemia atau hipoglikemia. Evaluasi klinis dan pemeriksaan laboratorium secar berkala dibutuhkan untuk mengawasi keseimbangan cairan, konsentrasi elektrolit, dan keseimbangan asam basa.8Larutan dextrosa hipertonis harus diberikan secara pelan, karena pemberian yang cepat dapat mengakibatkan hiperglikemia dan sindrom hiperosmolar dengan gejala perubahan status mental dan hilang kesadaran akibat hipovolemia dan dehidrasi. Pemberian cairan yang berlebihan secara intravena dapat menyebabkan kelebihan beban, sehingga terjadi dilusi elektrolit serum, overhidrasi, kongesti, dan edema paru. Larutan dextrosa tidak boleh diberikan melalui selang infus bersama dengan darah, karena dapat menyebabkan hemolisis dan penggumpalan darah.8

5. LidokainLidokain adalah aminoetilamid, prototip dari anestetik lokal golongan amida. Lidokain (xilokain) merupakan anestetik lokal kuat yang digunakan secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Lidokain lebih cepat, kuat, lama, dan ekstensif dripada yang ditimbulkan prokain pada konsentrasi yang sebanding. Laritan lidokain 0,5% digunakan untuk anestesi infiltrasi, sedangkan larutan 1-2% untuk anestesia blok dan topikal. Lidokain merupakan obat pilihan terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadp anestetik lokal golongan ester.9Lidokain mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di membran sel. Potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat permeabilitas membran terhadap Na+ akibat depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah yang dihambat oleh lidokain melalui interaksi langsung antara lidokain dengan kanal Na+ yang peka terhadap adanya perubahan voltase maupun listrik. dengan semakin bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang rangsang rangsang membran akan meningkat, kecepatan potensial aksi menurun, kondisi impuls melambat akibatnya terjadi penurunan penjalaran potensial aksi dan kegagalan konduksi saraf. Lidokain dapat meningkatkan tegangan permukaan lapisan lipid membran sel saraf, dengan demikian menutup pori dalam membran sel sehingga menghambat gerak ion melalui membran sel. Hal ini menyebabkan penurunan permeabilitas membran dalam keadaan istirahat sehingga membatasi permeabilitas Na+.9Penambahan epinefrin pada lidokain akan memperpanjang dan memperkuat kerja lidokain. Lidokain biasanya mengandung epinefrim (1 dalam 200.000 bagian) atau norepinefrin (1 dalam 100.000 bagian). Epinefrin mengurangi kecepatan absorpsi lidokain sehingga akan memperpanjang durasi kerja dan mengurangi toksisitas sistemik. Efek terakhir ini dapat terjadi karena amin simptomimetik menyebabkan peninggian pemakaian oksigen jaringan dan vasokonstriksi sehingga terjadi hipoksia dan kerusakan jaringan setempat. Keadaan ini akan membahayakan karena vasokonstriksi arteri utama yang memiliki sedikit sirkulasi kolateral akan menimbulkan kerusakan jaringan yang ireversibel atau gangren.9

5.1 Farmakodinamik Lidokaina. Sistem Saraf PusatLidokain dapat merangsang SSP, menyebabkan kegelisahan dan tremor yang mungkin berubah menjadi kejang klonik. Perangsangan ini akan diikuti depresi dan kematian yang biasanya terjadi karena kelumpuhan napas.9 b. Otot PolosLidokain berefek spasmolitik melalui depresi langsung pada otot polos, eseptor ensorik, sehingga menyebabkan hilangnya tonus refleks setempat.9

c. Sistem KardiovaskularEfek utama lidokain pada miokard adalah penurunan eksitabilitas, ekcepatan konduksi, dan kekuatan ontraksi, dan vasodilatasoi arteriol. Efek lidokain pada sistem kardiovaskular biasanya baru terlihay sesudah tercapai kadar obat sistemik yang tinggi dan sesudah menimbulkan efek pada SSP. Pada keadaan yang jarang, lidokain dapat menyebabkan henti jantun, akibat aktivitasnya pada nodus SA dan timbul fibrilasi ventrikel secara mendadak. Keadaan ini mungkin disebabkan munculnya zat anestetik lokal intravaskular, terutama bila lidokain mengandung epinefrin.9Lidokain dapat menekan automatisasi pada serabut Purkinje yang terdepolarisasi dan terengang. Lidokain juga efektif dapat meniadakan triggered activity dan delayed after depolarization. Efek ini timbul karena arus K+ yang keluar lebih banyak menyebabkan hiperpolarisasi dan penurunan arus Na- ke dalam sel sehingga terjadi penurunan arus pacu.9Lidokain meningkatan ambang arus listrik diastolik pada serabut Purkinje dengan cara meningkatkan konduktansi K+ dan meningkatkan ambang fibrilasi ventrikel. Terjadi penurunan secara nyata durasi potensial aksi di serabut Purkinje dan otot ventrikel, efek ini terjadi karena penghambatan arus Na+ yang terjadi selama masa plateu potensial aksi. Lidokain juga dapat meniadakan arus balik di ventrikel. Pada flutter atrium dan yang memperlihatkan pemendekan masa refrakter nodus AV, akan terlihat penigkatan nyata dalam respon ventrikel. Biasanya masa refrakter efektif pada sintesis His-Purkinje memendek selama pengobata.9

5.2 Aplikasi Klinis LidokainLidokain sering digunakan secara suntikan untuk anestesi infiltrasi, blokade saraf, anestesi spinal, anestesi epidural, atau anestesi kaudal. Pada anestesi infiltrasi biasanya digunaka larutan 0,25-0,5% dengan atau tanpa epinefrin. Tanpa epinefrin dosis total 200 mg dalam waktu 24 ajm. Untuk anestesi infiltasi dibutuhkan dosis 0,5-1 mL, sedangkan untuk blokade saraf dibutuhkan 1-2mL. Untuk anestesi topikal pada permukaan rongga mulut, kerongkongan, dan saluran cerna bagian atas digunakan larutan 1-4% dengan dosis maksimal 1 gram sehari. Untuk anestesi sebelum dilakukan tindakan sistoskopi atau kateterisasi uretra digunakan lidokain gel 2% dan sebelum dilakukan bronkoskopi atau pemasangan pipa endotrakeal biasanya digunakan semprotan dengan kadar 2-4%.9Sebagai obat anti aritmia kelas 1B, lidokain digunakan untuk pengobatan aritmia ventrikel yang disebabkan oleh infark miokard akuut, bedah jantung terbuka, dan digitalis. Dosis lidokain yang digunakan sebesar 0,7-1,4 mg/kgBB secara intravena, dosis berikutnya diberikan 5 menit kemudian jika diperlukan. Dosis maksimal 200-300 mg dalam 1 jam. Bila diberikan intramuskular sebesar 4-5mg/kgBB maka kadar lidokain efektif tercapai dalam waktu 15 menit dan bertahan selama 90 menit.9

KESIMPULANKondisi emergensi atau gawat darurat merupakan keadaan yang apabila tidak mendapat pertolongan dengan segera, secara cepat dan tepat dapat menyebabkan kecacatan bahkan kematian bagi penderita, Obat-obat yang harus selalu tersedia untuk penanganan awal kondisi gawat darurat dalam praktek sehari-hari seperti: epinefrin untuk mengatasi syok anafilaktik dan heni jantung, aminofilin untuk mengatasi serangan asma akut, atropin untuk mengatasi henti jantung akibat reflek vagal dan keracunan organofosfat, larutan dextrosa untuk mengatasi hipoglikemia dan Lidokain untuk anestesi lokal dan aritmia ventrikel.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland. Kamus Kedokteran. Jakarta:EGC;2006.

2. Muhiman, Muhadi,dkk. Anestesiologi. Jakarta:FKUI,2004.

3. Latief, Said A, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: FKUI, 2001.

4. Gomella, P.T., EMS Pocket Drug Guide: The McGraw Hill Companies, Inc., Singapore, 2010, 84-87.

5. Katzung G, Bertram.Basic and Clinical Pharmacology 10th Ed. 2007. United states of America: McGraw-Hill Companies, 2007.

6. Tjay, Tan Hoan & Kirana H. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007.

7. Gunawan G, Sulistia. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru, 2007.

8. Neligan, P.J., Horak, J., Monitoring and Management Perioperative Electrolyte Abnormalities, Acid Base Disorders, and Fluid Replacement, in: Longnecker, D.E., Brown, D.L., Newman, M.F., Zapol, M.F., Zapol, W.M., Anesthesiology, The McFraw Hill Companies, inc.; 2008, 728-734.

9. Syarif, A., Sunaryo, Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik, dalam: Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi, Farmakologi dan Terapi, edisi 5, Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 2009, 259-272.

21