makalah masa awal editing
TRANSCRIPT
MASA AWAL FILM EDITING
Makalah ini diajukan untuk memenuhi nilai tugas perkuliahan Teknik Editing
Disusun Oleh :
Esa Muriasih
42120892
JURUSAN BROADCASTING
AKADEMI KOMUNIKASI BINA SARANA INFORMATIKA
FATMAWATI
2013
SEJARAH FILM EDITING
A. Menurut George Melies dan Edwin Stanton Porter
1. George Melies
Ketika Melies dikenal sebagai sineas, dia sebenarnya adalah seorang
‘jagoan’ panggung’ artinya dia merupakan seorang dramawan sekaligus
pesulap. Dalam pertunjukan Lumiere bersaudara di Café de Paris, dia
menjadi salah seorang penontonnya dan sepulang dari menonton itulah dia
ingin sekali memiliki kamera tersebut, namun ditolak oleh pihak Lumiere.
Lalu dia memutuskan untuk membeli teknologi kamera yang
dikembangkan oleh salah satu pionir dalam Brighton School yaitu Robert
W. Paul. Setelah memiliki kamera tersebut, Melies mencobanya di jalanan.
Waktu itu dia mencoba alat tersebut dengan merekam jalanan tersebut dan
saat ada bis yang berhenti di depannya, kamera tersebut macet, sehingga ia
mencoba membetulkannya. Dia meneruskan untuk merekam lagi saat ada
mobil jenazah yang sedang berhenti di depannya. Ketika diputar di
proyektor, dia sangat terkejut karena bis yang ada di filmnya tiba-tiba saja
berubah menjadi kereta jenazah. Akhirnya Melies memahami bahwa
kamera bisa digunakan sebagai trik sulap tanpa harus melakukan adegan
ilusi sebenarnya di panggung. Tujuan utama Melies menggunakan alat
perekam ini adalah aspek ekonominya. Tanpa harus memboyong banyak
orang dalam pertunjukannya, dia dapat melakukan pertunjukan keliling
dengan hanya bermodalkan film-film yang dia buat.
Permasalahan dari Melies dengan peralatan ini adalah durasi bahan baku
yang kurang dari lima belas menit. Tentu saja dia harus menyesuaikan
pembabakan ceritanya dengan durasi tersebut. Selain itu, cara Melies
merekam adegan-adegannya adalah hanya membiarkan kamera menyala
dan merekam adegan yang ada di panggung. Film-film yang dibuat masa
itu adalah The Grasshopper And The Ant (1897) dan sebuah adaptasi
sastra dengan judul Pygmalion dan The Damnation of Faust, keduanya
diproduksi tahun 1898.
Namun saat mulai membuat film Cinderella (1899), mulai dipikirkan
untuk menyambung sequence-sequence yang dibuatnya. Apalagi saat
membuat A Trip To The Moon (1902), Melies lebih serius lagi
menggarapnya dan sudah menggunakan teknik editing untuk menjaga
kesinambungan cerita dari filmnya. Namun karena yang dibuatnya lebih
menyesuaikan dengan durasi bahan bakunya, sehingga sekali shoot, ia
mengambil satu sequence utuh dengan tipe shot Long Shot saja.
2. Edwin Stanton Porter
Saat Thomas A. Edison dan William K. Laurie Dickson berkuasa atas
kinetoscope, maka mereka Cuma bisa memproduksi film-film yang
berdurasi pendek karena hanya cukup untuk memenuhi durasi dari Penny
Arcade. Selain itu film-film yang mereka produksi juga tidak memiliki
cerita Namun mereka membutuhkan tenaga dari seorang Edwin Stanton
Porter untuk bisa membuat film dengan durasi yang lebih panjang.
Porter saat itu mencoba membuat sebuah film dengan menggabungkan
shot-shot yang sudah ada (stock shot) yang ditambah dengan shot-shot
yang diproduksi untuk melengkapi kebutuhan film yang sedang diproduksi
(footage). Kala itu Porter mencoba membuat film “The Life Of An
American Fireman” (1903) yang di dalamnya sudah menggunakan plot,
action, dand bahkan sebuah close up tangan yang menarik tuas alarm
kebakaran.
Footage dari adegan yang dibuat oleh Porter, terutama ketika pada interior
ruang tidur, sang ibu dan anak diselamatkan oleh petugas pemadam
kebakaran. Ken Dencyger dalam bukunya Technique of Film And Video
Editing menuliskan bahwa ada dua versi film ini. Pertama adalah tahun
1944 – 1985 dimana pada adegan penyelamatan ibu dan anak, Porter
menjadi sangat brilian karena sudah menggunakan paralel cutting. Kedua,
versi awal dimana justru tidak pernah ada paralel cutting tersebut dan
dicurigai bahwa ini adalah versi awal yang dibuat Porter. Kecurigaan itu
menjadi berdasar ketika melihat film selanjutnya The Great Train
Robbery, dimana selain juga banyak menggunakan long shot, apa yang
dibuat oleh Porter tidak jauh berbeda dengan yang sudah dilakukan oleh
Melies yaitu editing hanya digunakan sebagai penyambung atau
meneruskan sequence saja.
B. Menurut David Wark Griffith
Louis Giannetti mengatakan bahwa dalam era Classicism, Griffith sudah
menggunakan Classical Cutting yaitu usaha menggunakan editing bukan
hanya sebagai perangkat fisik untuk menyambung antar sequence seperti
pada film-film Melies dan Edwin Porter, namun digunakan untuk
intensitas dramatik dan penekanan emosional. Tentu saja hal itu tidak
dilakukannya sendiri sebab dia justru mengembangkan dari apa yang
sudah ada sebelumnya.
Misalnya saja, untuk membuat sebuah film panjang kolosal dia
dipengaruhi oleh kesempurnaan yang dihadirkan oleh Giovanni Pastrone
saat membuat Cabiria (1914). Namun apa yang dilakukan Griffith menjadi
sangat progresif. Awalnya Grifftih melakukan sistematisasi shot, di mana
dia tidak sekedar menyambung beberapa tipe shot yang berbeda namun
mengaturnya sedemikian rupa dengan perlakuan dan ekspresi yang
kompleks. Artinya decoupage yang telah dibuat, disusun sedemikian rupa
sehingga penonton dapat memahami apa yang diinginkan pembuatnya.
Hal ini seperti yang pernah dikatakan Griffith “The task I am trying to
achieve is above all to make you see.” Apa yang diinginkan oleh classical
cutting adalah mencoba membuat penonton memahami adegan yang
disajikan sehingga secara normatif urtuannya adalah :
Extreme Longs Shot (ELS / XLS)
Long Shot (LS)
Full Shot (FS)
Medium Shot (MS)
Medium Close Up (MCU)
Close Up (CU)
Big Close Up (BCU)
Extreme Close Up (ECU / XCU)
Urutan ini juga bisa dibuat terbalik dan bila terjadi interupsi, maka shot
selanjutnya harus kembali pada shot sebelum diinterupsi atau melanjutkan
tipe shot sebelum diinterupsi. Contohnya :
LS Rumah tokoh.
FS Tokoh sedang menyiram kembang dan istrinya datang
membawakan minum dengan cangkir dan sebuah teko.
MS Sang istri menyerahkan cangkir.
CU Tangan memegang cangkir.
MS Sang istri menuangkan air teh dari teko.
MCU Tokoh meneguk tehnya
CU Tokoh merasa segar
Namun bisa juga dibuat dengan cara :
LS Rumah tokoh.
FS Tokoh sedang menyiram kembang dan istrinya datang
membawakan minum dengan cangkir dan sebuah teko.
MS Sang istri menyerahkan cangkir.
CU Tangan tokoh memegang cangkir dan tangan istri menuangkan
air teh di teko.
MCU Tokoh meneguk air teh dari cangkir.
CU Tokoh merasakan kesegaran setelah meminum tehnya.
Namun Griffith sendiri tidak secara kaku menerapkan urutan seperti di
atas, sebab sekali lagi dia menyusunnya lebih kompleks dan kreatif.
Misalnya saat ingin menjelaskan sebuah adegan keluarga Cameron pada
scene ketiga dalam film Teh Birth of a Nation, dia mengurutkannya adalah
sebagai berikut.
LS Depan rumah keluarga Cameron.
LS Bonnie Cameron di pekarangan dekat rumahnya.
LS Depan rumah keluarga Cameron di mana ada dua anak jatuh
dari kereta kuda.
LS Bonnie Cameron keluar dari pekarangan.
LS Bonnie Cameron menuju depan rumahnya hingga bertemu
dengan seorang gadis di kereta kuda.
MS Bonnie Cameron berbincang dengan gadis di kereta kuda
LS Interior rumah keluarga Cameron. Margareth sedang menuju ke
lantai dua.
MS Bonnie Cameron berbincang dengan gadis di kereta kuda.
LS Bonnie Cameron selesai berbincang dengan gadis di kereta
kuda lalu menuju teras rumahnya.
FS Keluarga Cameron sedang bercengkerama di teras.
MS Bonnie Cameron berbincang dengan ayahnya Camera Tilt
Down dua anak anjing yang sedang bermain dekat kaki Bonnie.
MS Bonnie Cameron bercanda dengan adiknya yang paling kecil.
Decoupage yang dilakukan Griffith ini tidak hanya berhasil mendapatkan
detail yang lebih banyak, namun juga menguasai reaksi penonton yang
jauh lebih besar. Secara sengaja dia memaksa penonton untuk melihat apa
saja yang harus mereka lihat. Kesatuan ruang dan waktu pada adegan
sebenarnya berubah secara radikal. Hal tersebut digantikan dengan
kontinuitas subjektif keterkaitan ide terkandung dalam shot shot yang
terhubung.
Sekali lagi, apa yang dilakukan Griffith ini sesungguhnya adalah mencoba
membuat cutting itu memiliki intensitas dramatik dan penekanan
emosional, sehingga setidaknya dia dapat mengembangkan dramatisasi
tersebut menjadi tiga bagian yaitu :
1) Dramatic Content (kandungan dramatik) : Sebelum menyambung,
setiap shot harus memiliki kandungan dramatik yang kuat agar
dapat memperkuat keterhubungannya.
2) Dramatic Context (hubungan dramatik) : Hubungan dramatik yang
dimaksud merujuk pada setidaknya dua shot yang akan disambung
apakah hubungan tersebut memiliki nilai informasi atau estetik.
3) Dramatic Impact (dampak dramatik)
Apa akibat yang akan diterima penonton saat menyaksikan
penyambungan-penyambungan tersebut? Dengan menggunakan ketiga hal
ini maka Griffith dapat leluasa melakukan editing secara progresif dan
kompleks sehingga ada beberapa metode atau gaya editing muncul dari
kaidah-kaidah di atas. Dari apa yang sudah dilakukan oleh Griffith pada
The Birth of a Nation sudah dilakukannya intercut ‘yang sempurna’, yaitu
penyambungan berselang-seling sebuah adegan dalam satu ruang atau
lebih namun harus dalam satu waktu. Bila adegan tersebut berada dalam
ruang yang berbeda, maka harus memiliki garis aksi yang sama.
Selain itu Griffith juga sudah membuktikan akan efisiennya Paralel
Editing, yaitu penyambungan berselang-seling dua adegan atau lebih yang
diasumsikan terjadi dalam waktu yang sama namun tidak memiliki garis
aksi yang sama. Contohnya, ketika adegan penyerangan keluarga
Cameron, penahanan Elsie Stoneman oleh Silas Lynch dan kedatangan Ku
Klux Klan disambung berselang-seling secara bergantian dan
menunjukkan waktu yang terjadi secara bersamaan.
Selain itu Griffith juga sudah melakukan sebuah terobosan dengan
membuat Cross Cutting saat memperlihatkan adegan Margaret Cameron
mengingat kedua saudara laki-lakinya, Griffith menyambungnya dengan
shot-shot saat mereka menemui ajal. Secara sederhana Cross Cutting
dipahami sebagai penyambungan berselang-seling dua adegan atau lebih
terjadi dalam ruang dan waktu yang berlainan, namun memiliki
keterhubungan tema atau kesatuan tema.
Namun yang menarik adalah ketika Griffith juga membuat suatu sequence
penyelamatan keluarga Cameron dari keganasan pasukan kulit hitam, di
mana dia menggunakan paralel editing pada awalnya dan menjadi intercut
di bagian akhirnya ketika Ku Klux Klan dapat menghabisi pasukan utara
dan membebaskan keluarga tersebut. Metode ini disebut Last Minutes
Rescue. Pada masa sekarang, metode ini banyak digunakan film-film laga
terutama saat-saat sequence terakhir.
Eksperimen editing Griffith yang radikal adalah film Intolerance (1916)
yang merupakan film fiksi pertama yang berhasil mengeksplorasi ide
thematic montage. Baik film dan tekniknya memberikan pengaruh yang
sangat besar terhadap sutradara film pada tahun 1920 an, terutama di Uni
Soviet. Thematic montage ini lebih menekankan asosiasi ide serta
mengabaikan kontinuitas waktu dan ruang.
Film tersebut menyatukan tema tentang kekejaman manusia terhadap
manusia lain dan bukan hanya satu cerita yang diceritakan, namun empat
cerita berbeda.
1) Cerita Zaman Modern (1914) : Cerita tentang awal abad ke-20 di
Amerika Serikat saat terjadi pemogokan dan kerusuhan buruh serta
perubahan sosial di California. Sequence ini juga menceritakan
konflik buruh dan majikan.
2) Cerita Masa Penyaliban Yesus.
3) Cerita Masa Renaissance Di Perancis : Penganiayaan dan
pembantaian kaum Huguenot oleh bangsawan Katolik pada abad
ke – 16.
4) Cerita Masa Babilonia (539 S.M)
Perdamaian Pangeran Belshazzar dari Babilonia pada zaman-nya dan
pengepungan oleh Raja Cyrus dari Persia.
Keempat cerita terjalin secara paralel dan Griffith hanya menghubungkan
keempat cerita tersebut menggunakan sebuah insert shot bayi dalam
buaian yang sedang ditidurkan oleh ibunya. Pada akhir film, Griffith
menggambarkan pengajaran yang penuh ketegangan pada cerita pertama
dan keempat. Pembantaian yang kejam pada cerita Huguenot serta klimaks
yang lambat pada pembunuhan Jesus.
Film ini terdiri dari ratusan shot dan shot-shot yang terpisah oleh ribuan
tahun dan ribuan kilometer jaraknya, disejajarkan secara rapi. Perbedaan
waktu dan ruang ini disatukan denga satu tema sentral yaitu intoleransi.
Kontinuitas bagi Griffith tidak lagi bersifat fisik maupun psikologis,
namun tematis. Secara komersial film ini tidak sukses atau bahkan lebih
layak disebut gagal total. Akan tetapi pengaruhnya besar sekali bagi
pembuat film di kemudian hari. Contohnya adalah para pembuat film
Rusia yang begitu terpesonanya terhadap dua film Griffith tersebut, juga
dengan kemampuannya dalam menjalankan metode-metodenya.
C. Menurut Vsevolod I. Pudovkin
Pada masa itu di Uni Sovyet sedang berkembang satu aliran seni yang
disebut constructivism, dimana aliran ini mencoba mendudukan bahwa
apa yang akan dilihat dan dirasakan oleh audiens haruslah dapat dibangun.
Setelah mengadakan eksperimen dengan Kuleshov, Pudovkin mencoba
mengambil dasar dari aliran tersebut. Menurutnya sebuah film seharusnya
dapat melibatkan emosi penonton, artinya saat melihat film, penonton
tidak berhenti hanya mendapatkan informasi belaka, namun juga aspek
emosinya turut dibangun. Oleh karena itu ia memperlihatkan bahwa
adegan-adegan dalam film sesungguhnya dapat dibangun untuk memberi
penekanan pada aspek dramatiknya. Pudovkin mencontohkan seseorang
yang terjun dari atap gedung dimana bila harus menggunakan proses yang
sebenarnya, adegan itu mustahil dibuat. Pudovkin menawarkan suatu
metode yang dapat melibatkan emosi penonton dan menurutnya pula
emosi penonton itu sendiri harus dibangun (dikonstruksi).
Ketika memberikan contoh seseorang yang melompat dari gedung,
pembuatan adegan ini bertujuan agar penonton dapat merasakan
kengeriannya. Decoupage-nya adalah :
ELS Pulan di pinggir atap gedung
CU Kaki Pulan di gigir atap gedung
ECU Wajah Pulan berkeringat
ELS Boneka pengganti Pulan dijatuhkan
FS P ulan terkapar dan bersimbah darah di jalan
Menurut Pudovkin, setiap shot yang dibuat dapat diproduksi di manapun,
yang terpenting adalah konstruksi gambar ketika diedit, sehingga penonton
bukan hanya percaya namun juga merasakan suasana dan nuansanya. Oleh
karena itu ia menyebut metodenya dengan istilah Constructive Editing.
Metode ini dianalogikan oleh Pudovkin seperti sebuah rumah, di mana :
Rumah adalah film
Atap, tembok, pondasi adalah sequence.
Pintu, jendela, tiang adalah scene.
Paku, kayu, semen, batu bata adalah shot-nya.
Selain Constructive Editing, Pudovkin juga memiliki beberapa metode
editing yang digunakannya sebagai instrumen pembuat impresi (kesan).
Pada dasarnya tetap digunakan untuk membangkitkan emosi dan
pemahaman penonton yaitu :
Contrast
Pudovkin mencontohkan bila hendak menceritakan tentang kelaparan,
metode contrast ini menjadi sangat efektif sebab adegan-adegan tokoh
yang lapar harus dibandingkan secara tegas dengan adegan-adegan tokoh
lain yang rakus. Penonton dengan mudah akan dapat merasakan
permasalahnnya, namun metode dianggapnya sangat standar dan umum.
Paralelism
Metode ini sebenarnya sudah dipakai dalam metode contrast dan Griffith
menggunakannya dalam paralel cutting dan cross cutting. Hanya saja
Pudovkin melihat aspek yang lebih luas yang tidak sekedar
memperbandingkan saja. Pudovkin mencontohkan dalam cerita tentang
seorang pekerja yang akan dihukum mati pada jam lima sore karena
memimpin penyerangan pabrik tempatnya bekerja. Dalam editing dapat
saja dikonstruksi seperti :
A.1. Pemilik pabrik (majikan) keluar dari restauran dalam keadaan
mabuk. Dia melihat ke arlojinya menunjukkan pukul 04.00.
B.1. Tertuduh sedang dipersiapkan untuk hukuman mati.
A.2. Sang Majikan menekan bel rumahnya dan saat itu waktu
menunjukkan 04.30
B.2. Mobil yang mangangkut tertuduh meluncur di jalanan dengan
beberapa penjaga di dalamnya.
A.3. Pembantunya (ibu dari tertuduh) membukakan pintu dan
majikan tersebut langsung terkapar di lantai.
A.4. Sang Majikan mendengkur di tempat tidurnya dengan tangan
yang hampir terjatuh ke lantai dan arlojinya terlihat menunjukkan
waktu sebentar lagi pukul 05.00.
B.3. Sang pekerja yang menjadi tertuduh tersebut digantung.
Sepintas, adegan-adegan tersebut saling tidak berhubungan sebab antara
majikan dan seorang pekerja tentunya memiliki keterikatan batin yang
sangat jauh. Namun waktu yang ditunjukkan oleh arloji itu menjadi sebuah
ikatan tema yang sangat dingin (kejam) untuk menyimpulkan akhir dari
tragedi tersebut. Hal ini juga merupakan suguhan akan sebuah kesadaran
kepada penontonnya.
Symbol
Pudovkin justru memberi contoh dalam film Strike karya Sergei
Eisenstein, di mana pada bagian-bagian akhir film tersebut diperlihatkan
shot-shot pembantian rakyat oleh tentara kerajaan yang langsung
disambung dengan adegan seekor sapi yang sedang disembelih. Secara
ruang, waktu dan peristiwa, shot sapi tersebut tidak memilki hubungan
dengan adegan sebelumnya, namun shot tersebut memiliki keterikatan
yang kuat secara simbolis dalam menggambarkan kebrutalan tentara.
Sebenarnya Pudovkin sendiri telah membuat simbolisasi dalam film
Mother. Saat sang anak tahu akan dibebaskan oleh kawan-kawannya, shot
sang anak dalam penjara di paralel dengan air sungai yang mengalir deras
dan juga anak-anak yang sedang bergembira. Menurut Jean Mitry
(teoritikus dan pembuat film), adegan disebutnya sebagai lyric editing
sebab tidak seperti Strike yang hanya memperbandingkan dua adegan
pembantaian, dalam adegan penjara ini Pudovkin justru berhasil
memunculkan aspek perasaan tokoh dan jelas dengan sadar Pudovkin
mengkonstruksinya.
Simultaneity
Waktu yang disajikan dalam film seolah-olah terjadi secara serempak atau
bersamaan. Film-film Griffith menandai hal ini, seperti halnya pada paralel
cutting yang diterapkan saat last minutes rescue. Bisa juga saat
memberikan Intolerance pada bagian akhir adegan-adegannya dikonstruksi
dengan pemotongan yang cepat untuk mempertahankan rasa penasaran dan
emosi penonton. Penonton akan terus menunggu dan bertanya apa yang
akan terjadi selanjutnya.
Leit Motif
Pengulangan-pengulangan shot atau adegan yang berfungsi untuk
mengingatkan penonton pada tema film yang disajikan, sekarang ini suara
juga dapat difungsikan sebagai leit motif. Sebenarnya pada skenario hal ini
berfungsi sebagai penekanan tema dasar kepada penontonnya. Misalnya
sebuah film yang bertemakan religi, maka pada scene 1 diperlihatkan
sebuah kubah masjid di tengah perkampungan. Scene 5, adegan orang-
orang shalat berjamaah, lalu scene 10 memperlihatkan sebuah tasbih
tergantung di spion dalam mobil dan seterusnya.
D. Menurut Sergei Eisenstein
Sebenarnya Eisenstein adalah salah seorang yang direkrut oleh Lev
Kuleshov dalam rangka mengembangkan laboratorium filmnya. Ternyata
Eisenstein memang menjadi salah satu ‘lawan’ kuatnya terutama dari
teori-teori yang dikemukakan bersama Pudovkin. Secara tegas Eisenstein
mengritik Pudovkin yang dianggapnya hanya berkutat pada cara untuk
membuat penonton sadar dan ikut terbangun emosinya. Dikarenakan
seharusnya penonton juga dibangun aspek intelektual / pemikirannya,
sekali lagi bukan sekedar emosinya saja.
Dasar pemikiran Eisenstein sesuai dengan ideologi yang dianut oleh
negaranya, yaitu Marxisme, terutama Dialektika Materialisme. Dari
pemikiran tersebut muncullah Teori Konflik, dimana sebuah pemikiran
(tesis) harus dibenturkan dengan pemikiran lain (antitesis) akan
memunculkan pemikiran baru (sintesis).
Dasar pemikiran itu Eisenstein diberinya contoh dengan Huruf Hieroglif
dalam bahasa Mesir Kuno, di mana bila satu gambar disandingkan dengan
gambar lain, maka akan menghasilkan makna lain. Contoh lainnya adalah
huruf kanji China di mana 1 tanda mewakili 1 kata atau 1 suku kata,
sehingga misalnya bila disandingkan tanda A dengan tanda B akan berarti
X, sedangkan bila tanda C disandingkan dengan tanda B akan berarti Z.
Saat diterapkan di dalam film, menurut Eisenstein sebuah shot seharusnya
tidak sekedar disambung dengan shot lain, namun harus dibenturkan /
dikonflikkan (montage attraction) yang akan menghasilkan makna yang
sama sekali baru. Teorinya ini dikenal dengan istilah Intelectual Montage.
Contoh kongkritnya dapat dilihat pada adegan pembantaian rakyat oleh
tentara Tsar dalam film Strike, di mana dengan sadar di-cross-cutting-nya
adegan pembantaian rakyat dengan penjagalan sapi. Selain Intelectual
Montage, Eisenstein juga mengembangkan teori-teori lainnya dalam
rangka lebih memperkuat tesis-tesisnya yang akan digunakan dalam film,
diantaranya adalah :
1) Metric Montage : Teori ini merujuk bahwa kandung dramatik shot-
shot yang disambung tidaklah penting karena tujuannya adalah
kesan yang akan diterima oleh penonton. Selain itu teori ini juga
bertujuan mendapatkan aspek emosi penonton.
2) Rythmic Montage : Teori ini lebih melibatkan hampir seluruh
aspek film secara menyeluruh karena selain pemotongan
berdasarkan waktu, juga aspek komposisi visual, pengaturan mise
en scene, screen direction bahkan suara juga sangat diperhatikan
dalam pemotongannya, misalnya pada adegan Tangga Odessa
dalam film Potemkin
3) Tonal Montage : Teori ini lebih tidak sekedar menggunakan
panjang-pendeknya shot dalam menampilkan emosi, namun juga
kandungan emosi di dalam shot tersebut juga menjadi penting
misalnya gambar bayi tidur akan memberi unsur emosi tentang
relaksasi.
4) Overtonal Montage : Teori ini merupakan penggabungan ketiga
teori sebelumnya, di mana dampaknya pada penonton menjadi
lebih abstrak dan rumit.