makalah isu fiqh
TRANSCRIPT
PENENTUAN AWAL BULAN QOMARIYAH
(PERBEDAAN RUKYAT DAN HISAB)
A. Pendahuluan
Dalam ilmu penanggalan, selain dikenal adanya tahun masehi yang
dimulai dengan bulan Januari dan diakhiri dengan bulan Desember, dikenal pula
dalam Islam tahun Hijriyah. Tahun hijriyah juga terdiri dari 12 bulan bulan
sebagaimana tahun masehi. Selain istilah kedua tahun tersebut memiliki nama-
nama bulan yang berbeda, hitungan hari bulan-bulan tahun hijriyah juga berbeda
dengan hitungan hari bulan tahun masehi. Hal ini karena perhitungan hari bulan
tahun hijriyah dihitung berdasarkan lamanya putaran bulan ketika mengelilingi
bumi, oleh karena itu dikenal dengan bulan-bulan qomariyah.
Penentuan awal bulan qomariyah merupakan suatu hal yang sangat urgen
dalam hal ketepatannya bagi umat Islam, karena sangat erat kaitannya dengan
kegiatan ibadah. Permasalahan penentuan awal bulan qamariyah, dari berbagai
aspeknya, selalu menarik untuk dikaji, khususnya tentang penentuan awal
Ramadhan, Syawal, dan tanggal 10 Zulhijjah. Seringkali timbul pertanyaan di
kalangan masyarakat manakala terjadi perbedaan dalam penentuannya.
Sejak zaman Rasulullah sampai sekarang ini, praktek penentuan awal
bulan qamariyah, khususnya awal Ramadhan dan Syawal, sudah rutin dilakukan
oleh umat Islam, dan sistem perhitungannyapun telah mengalami
perkembangan.
Untuk mengetahui tanggal 1 bulan qomariyah, bisa dilakukan dengan
menempuh metode hisab, yakni penentuan awal bulan qamariyah yang didasarkan
pada perhitungan lamanya peredaran bulan mengelilingi bumi. Metode ini biasanya
dilakukan sebelum tahun baru hijriyah dimulai1, misalnya: tanggal 1 bulan
Muharram sampai bulan Dzu al-Hijjah tahun 1434 H bisa dihitung pada tahun
sebelumnya, yakni tahun 1433 H. Selain metode hisab, dalam penanggalan Islam
– dikenal ilmu falak – ada pula metode lain yang dipergunakan untuk mengetahui
1 Seperti yang dilakukan Lajnah Falakiyah Nahdhatul Ulama, dengan menyelenggarakan musyawarah ahli hisab, astronom,dan ahli rukyat untuk merumuskan hitungan hisab kalender tahun-tahun berikutnya. Hisab jama’iy/kolektif/penyerasian, diumumkan melalui almanak setiap tahun dan digunakan untuk penyelenggaraan rukyatul hilal.
1
awal bulan qomariyah, yakni ru’yah al-hila>l, yakni melihat bulan sabit ketika
hendak pergantian bulan, yang dilakukan pada tanggal 29 atau malam tanggal
30 pada bulan hijriyah.
Sebetulnya, dalam kegiatan melihat atau meneropong bulan ini, tidak
terlepas dari hasil hisab, sebagai patokan kapan ru’yah2 hilal bisa dilakukan.
Selain itu, penglihatan bulan ini dapat dilakukan, apabila keadaan cuaca yang
baik. Karena apabila cuaca dalam keadaan tidak baik atau mendung, maka
kegiatan penglihatan bulan sabit awal bulan bulan tidak dapat dilakukan.
Kemudian menimbulkan konsekuensi jumlah hari bulan - ketika dilakukan ru’yah
hilal – harus digenapkan menjadi 30 hari. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW,:
لرؤيتQQه وسQQلMم: صQQوموا عليQQه الله صلى النبيM يقول: قال عنه الله يرض هريرة أبي عن
3.ثالثين شعبان عّدMة فأكملوا عليكم غبي لرؤيته, فإن وأفطروا
Mengenai ru’yah hilal ini, walaupun objek yang diamati adalah sama,
masih sering terjadi perbedaan penetapan awal bulan qomariyah. Hal seperti ini
disebabkan oleh ukuran minimal lamanya hilal terlihat sampai pergantian bulan
baru. Selain itu, perbedaan pula terjadi mengenai keabsahan hasil penglihatan
bulan sabit baru, misalnya: mengenai siapa yang melakukan ru’yah dan syarat-
syarat orang yang melihat hilal, serta mengenai saksi ru’yah hilal.
Selain perbedaan di atas, mengenai hasil penglihatan bulan sabit, sering
kali pula timbul pro kontra apakah hasil penglihatan tersebut berakibat hukum
pergantian bulan kepada masyarakat di suatu wilayah atau negara tempat
dilakukan ru’yah, atau berlaku pula untuk Negara atau wilayah lain? Ada yang
berpendapat berakibat pergantian bulan dan ada yang berpendapat tidak
berakibat.
Oleh karena demikian, ada masalah muskil yang mengemuka dan
berimplikasi munculnya perbedaan pendapat yang berkepanjangan. Untuk
mendapat jawaban atas masalah pokok tersebut di atas, umat Islam terus
menerus selama ratusan tahun mengkajinya dari penafsiran makna tersirat dari
nash Al-Quran dan pendapat ulama terdahulu yang mungkin didasarkan pada
perkembangan pemikiran pada zamannya.
2 Selanjutnya, baik kata rukyat maupun ru’yah mengandung makna yang sama3 Muh{ammad Isma>’il al-Bukha>ry, al-Ja>mi’ al-S}a>h{ih{, (Kairo; al-
Mat}baghah al-Salafiyah, 1982), 332
Makalah ini akan membahas pendapat fuqaha mengenai hilal dan
permasalahannya, metode hisab dan rukyat yang ada di Indonesia. Karena dalam
prakteknya, khususnya di Indonesia, penentuan awal bulan qomariyah sangat
ditentukan oleh metode yang digunakan. Misalnya, ormas Muhammadiyah lebih
cenderung memilih metode hisab-nya, dan Nahdhatul Ulama dengan
penggunaan rukyat hilal atau dikenal dengan ru’yah bi al-fi’li. Selanjutnya
dibahas kemungkinan titik temu kedua metode hisab dan rukyat, dengan dasar
pemikiran pendapat penganut hisab, bahwa hisab merupakan penentua awal
bulan qomariyah sehingga dapat disebut ru’yat bi al-‘ilmi. Penganut rukyat
berpedoman, bahwa kesaksian tentang penglihatan bulan sabit (ru’yah al-hilal)
dapat ditolak jika tidak didukung oleh hisab yang akurat.
B. Konsep bulan qomariyah4
Bulan dalam bahasa arab berarti ,القمر dan dalam bahasa inggris berarti
moon. Dalam kacamata astronomi, bulan adalah benda langit yang memiliki
diameter sepanjang 3.476 km dan mengorbit mengelilingi bumi pada jarak
384.403 km dengan orbit yang berbentuk eliptik. Adapun sumbu putar rotasi
bulan membentuk busur miring, sebesar 1,5424 derajat terhadap sumbu putar
bumi. Kemudian, sinodik bulan adalah 29 hari 12 jam 44 menit.5 Selanjutnya,
berkaitan dengan bulan yang dijadikan sebagai objek pengamatan dalam
menentukan awal bulan qomariah, dianggap penting menerangkan fase yang
dimiliki oleh bulan. Fase bulan adalah bentuk bulan yang terlihat dari bumi yang
dipengaruhi proses revolusi bulan terhadap bumi, yang juga karena p[erubahan
sudut dari mana kita melihat bulan tersebut. Fase bulan yang utama yakni: 1)
bulan baru (new moon), 2) kuartal pertama (1st quarter), 3) bulan purnama (full
moon), dan 4) kuartal ketiga.6 Fase yang pertama dan fase yang terakhir dikenal
juga dengan istilah bulan sabit (crescent moon), perbedaannya adalah sisi
runcingnya. Fase pertama inilah yang kemudian erat sekali dengan penentuan
dimulainya bulan-bulan pada kalender hijriyah.
Berbicara mengenai kalender, terdapat beberapa kalender yang yang
dipergunakan, yakni antara lain:7
4 Yang dimaksud dengan bulan qomariyah disini adalah bulan yang terdapat dalam kalender bulan (Lunar Calender).
5 Tino Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, (Jakarta: Amytahas Publicita, 2007), 27-28
6 Tino Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, 327 Tino Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, 51-53
3
a) Kalender Cina, yaitu kalender yang digunakan sejak abad ke 14-SM.
Kelender ini sudah menggunakan prinsip ilmu pengetahuan modern dalam
perhitungannya dilakukan melalui pengamatan astronomis dengan
memperhitungkan bujur matahari dan fase bulan. Awal bulan kalender ini
dimulai saat terjadinya konjungsi bulan dan matahari. Kalender ini hamper
mirip dengan kalender yang digunakan oleh etnis Yahudi.
b) Kalender India, yaitu kalender yang dijadikan pedoman kegiatan hari
besar keberagamaan umat Hindu, Budha, dan jainis di India. Kalender ini
perhitungannya berdasarkan gerakan matahari dan bulan. Nama-nama
bulannya adalah sebagai berikut: Caitra, Vaisakha, Jyaistha, Asadha,
Sravana, Bhadra, Asvina, Kartika, Agrahayana, Pausa, Magha, dan
Phalguna.
c) Kalender Julian, merupakan kalender yang digunakan pada masa
kerajaan Roma, yang dicetuskan oleh Kaisar Julian Cesar yang dibantu oleh
astronom yang bernama Sosigenes. kalender ini merupakan kalender yang
pada mulanya diadopsi dari kalender Aristarcus yang dipakai oleh
penduduk Alexandria yang merupakan kalender matahari yang mana
terdoro atas 12 bulan (365 hari ditambah 1 hari tambahan tiap tahun
keempat). Kemudian kalender ini dikoreksi oleh oleh August Cesar yang
tidak lain adalah puteranya. Kalender ini merupakan cikal bakal kelender
matahari yang kini menyebar penggunaannya di seluruh dunia. Adapun
nama-nama bulannya adalah sebagai berikut: Januari, Februari, Maret,
April, Mei, Juni, Juli, Agustus, Spetember, Oktober, November, dan
Desember.
d) Kalender Greogian, adalah kalaender yang dpertama kali dibuat oleh
Dionysis Exiguus. dia membagi tahun kalender ini menjadi 2 (dua) kelas:
tahun kabisat yang memiliki 366 hari dan tahun biasa yang memiliki 365
hari. Selain itu yang dimaksud dengan tahun kabisat adalah tahun \genap
yang bisa dibagi 4, kecuali tahun genap yang bisa dibagi 100. Jadi tahun
2000 adalah tahun kabisat, sedangkan tahun 1900 dan tahun 2100 bukan
merupakan tahun kabisat. Karena kalender ini merupakan pengganti dari
kalender Julian, nama-nama bulannya sama dengan kalender Julian.
4
e) Kalender Islam, merupakan kalender agama Islam yang dikenal juga
dengan kalender hijriyah, yang memiliki 12 bulan berdasarkan pergerakan
bulan, dengan jumlah hari 354, 36707 hari8. kalender ini dalam
perhitungannya hanya berpatokan pada benda langit yang bernama bulan,
dan lebih dikenal dengan kalender qomariyah (lunar calender). Salah satu
yang membedakan kalender ini dengan yang lain khsususnya kalender
Greogian yang mana pergantian hari dimulai dari tengah malam (24:00),
bahwa kalender ini dimulai sesaat setelah matahari tenggelam di ufuk
barat.
Selanjutnya, kalender tentunya tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan
mengenai awal bulan qomariyah. Dalam hal ini, khususnya awal bulan ramadlan,
syawal dan dzulhijjah, menurut Yusuf al-Qardhawi, ada 3 metode dalam
penetapan bulan-bulan tersebut, yakni ru’yat al-hila>l, istikmal
(mensempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari), dan hasil perhitungan hisab.
Adapun dasar hukum mengenai penentuan awal bulan qomariyah:
1) Al-Qur’an
a) Q.S. Al-baqarah:185 dan 187
.
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).”
.
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke
8 Jumlah hari tersebut berdasarkan bulan sinodik, yakni 29 hari5
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
b) Q.S. At-Taubah: 36
.
“ Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.
c) Q.S. Yunus: 5
.
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”
d) Q.S. Yasin: 39
.
“dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua.”
e) Q.S. al-Rahma>n: 5
“ matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.”
2) Al-Sunnah
6
قQQال أو وسQلم عليQQه اللQه صQQلى النQQبي يقول: قال عنه الله رضي هريرة أبي عن عليكم غبي فإن لرؤيته وأفطروا لرؤيته وسلم: صوموا عليه الله صلى أبوالقاسم
9ثالثين. شعبان عّدة فاكملوا
ا إبن عن MQQول أن س عبQQه رسQQلى اللQQه صQQه اللQQلم عليQQر وسQQان ذكQQال رمضQQال فق العQQّدة فQQأكملوا عليكم غمM فQQإن تQQروه حQQتى والتفطQQروا الهالل تQQروا حتى تصوموا
10له. فاقّدروا عليكم غمM فإن أخرى رواية ثالثين. وفي
MمQQا عليQQه اللQQه صQQلMى اللQQه رسQQول قال: قال عمر إبن عن تسQQع الشQQهر وسQQلMم: إّنMى تصوموا فال وعشرون Mى والتفطQQروا تQQروه حت فاقQQّدروا عليكم غمM فQQإن تQQروه حت
11له.
Mاس إبن عن تسQQتقبلوا قQQال: ال وسQلم عليQQه اللQه صQQلى اللQه رسQول قQQال: أنM عب منظQQره وبين بينكم حQQال فQQإن لرؤيتQQه وأفطQQروا لرؤيتQQه صQQوموا إسQQتقباال الشهر12يوما. ثالثين العّدMة فأكملوا قترة أو سحابة
ا أّنه وسلم عليه الله صلى النبي عنه: عن الله رضي عمر إبن عن MQQة قال: إّن MQQيMّنكتب ال أم ة وهكذا. يعني هكذا ّنحسب, الشهر وال Mة وعشرين تسعة مر M13ثالثين. ومر
Kemudian, karena tidak ada perincian tentang pelaksanaan dalam hal
penentuan awal bulan qomariyah, sehingga menimbulkan dua metode untuk
menentukan awal bulan, yakni metode rukyah hilal dan metode hisab. Selain itu,
sebetulnya masalah penetapan awal bulan bulan tidak dapat terlepas dari
beberapa hal, antara lain: masalah ilmiah astronomis14, madzhab, kepercayaan
terhadap tokoh masyarakat dan kebiasaan.
C. Hisab
1. Definisi
9 Muh{ammad ibn Isma>’il al-Bukha>ry, al-Ja>mi’ al-S}ah{i>h{, juz 2, 3310 Ma>lik ibn Anas, al-Muwat}t}a’, jilid 2, diedit oleh Sali>m ibn ‘I>d al-Hila>lyy al-
Salafy, (Dubai; Majmu’ah al-Furqa>n al-Tija}riyah, 2003), 686-68711 Abi Al-H{usayn Muslim bin Al-H{ajja>j, S}ah{i>h{ Muslim, (Riyadh; Bayt al-
Afka>r al-Dauliyah, 1998), 41812 Abi Abdulla>h al-H{a>kim al-Naisabury, al-Mustadrak ‘ala al-S}ah{ihayn, juz 1,
(Kairo; Da>r al-H{aramayn, 1997), 58613 Aby Daud Sulaima>n al-Ash’ath al-Sijista>ny, Sunan Aby Daud, diedit oleh
‘Ubayd al-Da’a>s dan’A>dil al-Sayyid, juz 2, (Beirut, Da>r Ibn H{azm, 1997), 513-51414 Yakni kriteria visibilitas hilal yang ketentuannya didasari oleh keberhasilan
penglihatan. Misalnya teori Danjon yang menyatakan bahwa hilal dapat terlihat bila jarak sudut bulan-matahari sudah 7o. namun demikian, teori ini diganti oleh Martin Elsasser. Menurutnya, bulan baru dapat dilihat ketika sudut bulan-matahari sudah 5o. Kemudian, kriteria visibilitas hilal dari IICP (International Islamic Calender Programe), yakni: hilal dapat diamati bila beda tinggi bulan-matahari adalah 4o dan beda azimut bulan-matahari 45o. Bulan terbenam lebih lambat 40 menit daripada matahari, dan hilal harus berumur 16 jam (dimulai sejak ijtima’) khusus untuk daerah tropik. Bandingkan dengan Amir Hasanzadeh, Study of Danjon Limit in Moon Crescent Slighting, 2011, 11. Diakses 21/11/2012, dan T Djamaluddin dalam “Visibilitas Hilal di Indonesia”, 2000 http://jurnal.lapan.go.id/index.php/warta_lapan/article/view/1063/952. diakses 21/09/2012
7
Kata hisab yang merupakan serapan dari bahasa arab, berarti: perhitungan (
,(عQQّدد cukup ,(كQQافى) dan golongan besar Adapaun 15.(جماعQQة كثQQيرة) secara
terminology, hisab adalah menghitung perjalanan bulan pada tempat
peredarannya untuk menetapkan waktu ijtima’16 (bertemunya matahari dan
bulan), waktu imka>n al-ru’yah (kemungkinan dilakukannya penglihatan hilal),
dan tempat keberadaaan bulan sabit baru (hilal).17
Adapaun buku-buku yang dijadikan rujukan dalam metode hisab, khususnya
di Indonesia antara lain sebagai berikut:18
a) Kitab sullam al-Nairain fi Ma’rifah al-Ijtima’ wa al-Kusu>fain; buku ini ditulis
oleh guru Mans}u>r (dilahirkan di Jakarta pada tahun 1878 M./1295 H.).
kitab ini merupakan hasil ringkasan ‘Abd al-H{ami>d ibn Muh{ammad
Dami>ri> dari pengajaran yang disampaikan oleh ‘Abd al-Rah{ma>n ibn
Ah{mad al-Mis{ri>.
b) Fath al-Ra’u>f al-Manna>n li ‘amal al-kusu>f bi zi>j Dahla>n; ditulis oleh
‘Abd al-Jali>l ibn ‘Abd al-Hami>d Kudus. Kitab ini digunakan untuk
melakukan perhitungan bulan dan gerhana berdasarkan zi>j (tabel
astronomi) al-Dah{la>n al-Samma>ra>ni>. Kitab ini berisikan: pertama;
penjelasan tentang tata cara mencari saat ijtimak, tinggi hilan, dan cara
perhitungan gerhana. Kedua; tabel-tabel astronomis yang dibuat oleh Kyai
Dahlan Semarang.
c) Al-Qawa>’id al-Falakiyyah; ditulis oleh ‘Abd al-Fatta>h al-Sayyid al-Takhi>
al-Falaky. Isi kitab ini terdiri dari: tahun-tahun hijriyah dan masehi, waktu
sholat untuk beberapa kota dan negara, pengetahuan tentang
pengamatan benda-benda langit dan posisi bintang-bintang dari saat terbit
hingg terbenamnya, ijtimak, dan gerhana matahari dan gerhana bulan.
15 Bandingkan dengan al-S}ih{h{a>h Ta>j al-Lughah oleh Isma>’l H{amma>d al-Jauhary hal. 110, dan Lisa>n al-‘Arab oleh Ibn al-Manz{u>r (w. 711 H.), hal. 161
16 Konjungsi geosentrik atau konjungsi atau ijtima’ adalah peristiwa ketika bujur ekliptika Bulan sama dengan bujur ekliptika Matahari dengan pengamat diandaikan berada di pusat Bumi. http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/Geofisika/Tanda_Waktu/INFORMASI_HILAL_SAAT_MATAHARI_TERBENAM_TANGGAL_20_JUNI_2012_M_%28PENENTU_AWAL_BULAN_SYABAN_1433_H%29.bmkg. Diakses 06/12/2012
17 Muh{ammad Jabar al-Ulfy, Manhajiyat Ithba>t al-Ahillah fi Z{ill al-Mutaghoyyira>t al-Mu’a>s}irah, (Riyad{; t.p, 2005), 18
18 Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah,8
d) Khulas}ah al-Wafiyyah fi al-falakbi Jada>wil al-Loga>ritmiyyah; ditulis oleh
Zubayr ibn ‘Umar al-Jaila>ny. Dalam kitab ini ternuat: pertama; pengertian
dan pembagian ilmu falak dan istilah yang dipakai serta sejarahnya.
kedua; metode perhitungan mencari waktu ijtimak dan keetinggian hilal.
ketiga; tabel-tabel astronomis untuk mencari waktu ijtimak dan ketinggian
hilal.
e) Nu>r al-Anwa>r min Muntaha> al-Aqwa>l fi Ma;rifah Hisa>b al-Sini>n wa
al-Hila>l wa al-Khusu>f wal-Kusu>f; dikarang oleh Nu>r Ah{mad Siddiq
Sarya>ny. Kitab ini memiliki perbedaan dengan kitab-kitab yang lain,
antara lain: sistem perhitungannya memakai derajat, dan adanya
komputerisasi. Konten kitab ini: pertama; risalah falak, kedua; jadwal falak
(tabel astronomi).
f) Al-Duru>s al-Falakiyyah; dikarang oleh Muh{ammad Ma’su>m ibn ‘Ali al-
Maskumambany. Buku ini merupakan buku yang pertama kali (di
Indonesia) menggunakan fungsi geometris dengan lintang selatan. Buku
ini memuat ilmu hitung, almanak masehi dan hijriyah, posisi matahari dan
lain sebagainya. Alat bantu yang dipakai dalam penghitungan ketinggian
hilal adalah rub’ al-Mujayyab19
g) Badi>’ah al-Mitha>l fi Hisa>b al-sini>n wa al-Hila>l; merupakan karangan
yang ditulis oleh pengarang kitab al-Duru>s al-Falakiyyah, yakni
Muh{ammad Ma’su>m ibn Ali. Secara gari besar buku ini memuat: teori
pencarian waktu ijtimak dan tinggi bulan, serta tabel astronomi yang
dipakai dalam perhitungan pencarian saat ijtimak.
h) Buku Ephemeris;
i) Buku Tabel Jeean Meeus, dan19 Dalam rub’ al-mujayyab ada beberapa bagian, yakni: Qaus yaitu bagian yang
melengkung (busur). Jaib (sinus) yaitu satu sisi tempat melihat objek yang memuat angka-angka skala sinus tinggi suatu benda langit. Jaib al-mabsu>t} yaitu suatu sudut kemiringan cahaya pada bidang datar yang horisontal dilihat dari ujung bayang-bayang benda yang tegak. Jaib al-tama>m yaitu sisi lain dari alat ini yang memuat angka qosinus dari tinggi objek yang diamati. Jaib al-manqus{ yaitu sinus sudut kemiringan cahaya pada bidang datar yang berdiri dilihat dari ujung bayangan benda yang tegak lurus pada bidang itu. Awwal al-qaus yaitu bagian busur yang berimpit dengan sisi jaib al-tamam. Akhi>r al-qaus yaitu bagian busur yang berimpit dengan sisi jaib. Hadafah yaitu lubang yang terdapat pada sisi jaib, yang dipakai untuk mengincar/mengamati objek. Muri yaitu simpul tali yang diikatkan pada markaz. Syaqul yaitu benda yang digandulkan pada muri, yang berguna untuk mengatur geraknya muri. Markaz yaitu titik sudut siku-siku yang terdapat lubang tempat tali (muri) dipasang.
9
j) Buku Almanak Nautika.
2. Pembagian hisab
Berdasarkan waktu perjalanan bulan, hisab dapat dibagi menjadi 2 (dua)
macam, yaitu hisab ‘urfi dan hisab hakiki.
a. Hisab ‘urfi
Menurut Chaerul Zen S., hisab ‘urfi adalah Sistem perhitungan tanggal berdasarkan
kepada peredaran umur rata-rata bulan qomariah mengelilingi bumi.20 Hisab ini dikenal juga
dengan hisab ‘adadi atau ‘alamah, adalah perhitungan untuk menentukan awal
bulan qomariyah dengan berpatokan pada pergerakan benda langit bulan.
Perhitungan semacam ini, dilakukakan berasaskan rata-rata gerak bulan dengan
membagi jumlah hari dalam bulan secara berselang-seling antara bulan yang
bernomor urut genap dengan yang ganjil, dengan ketentu-ketentuan tertentu.21
Sebagai gambaran sederhana, perhitungan suatu tanggal yang dicari merupakan
hasil penjumlahan hari dari tanggal 1 Muharram tahun 1 Hijriyah sampai tanggal
yang dihitung. Selain itu, kalaender bulan qomariyah dalam sistem hisab ‘urfi,
disusun berdasarkan waktu rata-rata peredaran bulan mengelilingi bumi, yakni
29 hari 12 jam 44 menit (masa yang berlaku di antara dua ijtimak yang
berurutan). Didasari perhitungan tersebut, dalam satu tahun (12 bulan) dihitung
sama dengan 254 hari 8 jam 48 menit 36 detik (354 11/30). Kemudian, untuk
menghilangkan pecahan 11/30 tersebut, maka dalam hisab ‘urfi terdapat siklus
30 tahunan yang terdiri dari 19 tahun basitah dan 11 tahun kabisah.22
Selanjutnya, dalam hisab ‘urfy terdapat kaidah-kaidah yang digunakan
dalam pelaksanaan perhitungan yang memakai metode hisab ini, yaitu:
1) Tahun Hijriyah atau tanggal 1 Muharram tahun 1 H. Jatuh bertepatan
dengan hari kamis 15 Juli 622 M. atau hari Jumat 16 Juli 622 M.
2) Umur bulan dalam 1 tahun menurut metode hisab ‘urfi berselang-seling
antara 30 dan 29 hari
20 Chaerul Zen, Ensiklopedia Ilmu Falak dan Rumus-Rumus Hisab Falak, (Medan; t.p, 2008), 3
21 Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, cet. Ke-2, (Yogyakarta; Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009), 18. Bandingkan dengan Asadurrahman, kebijakan Pemerintah, (Jakarta; UIN Jakarta , 2009 ), 124
22 Abdul Salam Nawawi, “Metode Hisab (Perhitungan Astronomis)” , NU Online, 28 Februari 2008, (diakses 26 November 2012)
10
3) Bulan-bulan yang bernomor urut ganjil, harus berumur 30 hari
4) Bulan-bulan yang bernomor genap, usianya dipatok 29 hari, kecuali
bulan zulhijah pada tahun kabisat
5) Jumlah seluruh hari dalam periode 30 tahun adalah 10631 hari
6) Tahun hijriyah dibedakan menjadi tahun basitah (tahun pendek) dan
tahun kabisat (tahun panjang)
7) Jumlah hari dalam satu tahun basitah adalah 354 hari
8) Dalam satu tahun kabisat, jumlah hari adalah 355 hari
9) Tahun kabisat merupakan tahun-tahun kelipatan 30 ditambah 2, 5, 7,
10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29.23
b. Hisab hakiki
Hisab hakiki menurut Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, adalah
penentuan awal bulan awal bulan qomariyah deng perthitungan berdasarkan
pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya, atau dikenal juga dengan
sistem penentuan awal bulan qomariyah dengan metode penentuan
kedudukan bulan saat matahari terbenam.24
Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan kriteria, hisab hakiki dibagi menjadi 4,
yakni:
1) Wujudul hilal
2) Imkan al-rukyah
3) Ijtima’ sebelum terbenam matahari
4) Ijtima’ sebelum fajar
5) Bulan terbenam setelah matahari.25
D. Rukyat
1. Definisi
23 Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, cet. Ke-2, 19
24 Badan Hisab Rukyat, Almanak Hisab dan Rukyat, (Jakarta; Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1981), 99
25 Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, cet. Ke-2, 22-23
11
Yang dimaksud rukyat disini yakni rukyat hilal. Rukyat hilal terdiri dari dua
kata, yakni rukyah dan hilal. Rukyat secara harfiyah adalah melihat secara
visual. Sedangkan menurut Fuqaha, yang dimaksud dengan rukyah adalah
melihat dengan mata telanjang, atau dengan kata lain tidak menggunakan
alat bantu seperti teleskop. Hal ini berdasarkan panduan yang telah
dilakukakan pada masa Rasulullah SAW. Adapun hilal menurut bahasa ialah:
bulan sabit, yang digambarkan dalam alquran dengan ujung pelapah kurma,
sedangkan hilal menurut T. Djamaluddin, adalah:26
“Hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah
matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila
menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis
cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data
rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab
tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan
beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit.”
E. Hisab dan Rukyat dalam penentuan Awal bulan Qomariyah
Menurut ilmu astronomi, dalam penetapan awal bulan qomariah (tahun
hijriyah), ketinggian dan azimuth bulan pada saat matahari terbenam pada
tanggal 29 sebelum bulan baru hijriyah harus diketahui dalam proses melakukan
pengamatan bulan sabit awal bulan. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan
dalam proses penglihatana bulan sabit tersebut, yakni: 1) menghitung saat
matahari terbenam ditempat pengamatan; 2) menghitung Greenwich Mean Time
(GMT) yang sesuai dengan saat terbenam untuk menurunkan data deklinasi
matahari, deklinasi bulan, dan sudut waktu bulan: 3) mengubah sudut waktu
bulan dari bujur Greenwich menjadi sudut bulan di tempat pengamatan; 4)
menghitung azimuth bulan dan azimut matahari, menggunakan ilmu ukur bola27;
dan 5) menghitung ketinggian bulan dengan ilmu ukur bola.28
26 T. Djamaluddin, Pengertian dan Perbandingan Madzhab tentang Hisab Rukyat dan Math’la’, 2. Disampaikan pada "Musyawarah Nasional Tarjih ke-26", PP Muhammadiyah, Padang 1 – 5 Oktober 2003
27 Yang dimaksud di sini adalah teori segitiga bola, yakni susunan tiga buah lingkaran besar pada permukaan bola yang saling berpotongan. Ilmu ini membicarakan hubungan di antara unsur-unsur dalam segitiga bola. Ilmu ukur bola ini juga dipakai untuk menghitung arah kiblat. Bandingkan dengan Maskufa, Ilmu Falaq, (Jakarta; Gaung Persada Press, 2009), 79
28 Farid Ruskanda dkk, Rukyat dengan Teknologi, (Jakarta; Gema Insani Press, 1994), 39-40
12
Selanjutnya, Rukyat dan istikmal merupakan dasar penetapan mengawali
dan mengakhiri bulan hijriyah, khususnya bulan ramadlan, syawal dan dzul hijjah.
Inilah ketentuan yang terdapat dalam syariah, yang tidak lain berdasarkan dari
petunjuk rasulullah SAW baik secara qauliyah maupun fi’liyah.29 Dengan
demikian, kewajiban berpuasa dimulai dan dihentikan apabila terlihat hilal. Bukan
karena adanya hilal (wujud al-hilal). Karena walaupun hilal sudah ada tidak
mungkin dapat diamati, karena pengamatan dapat saja terhalang oleh sinar
matahari.30 Kemudian istikmal dilakukan apabila keadaan mendung31. Namun
demikian, ada beberapa perbedaan mengenai hilal sebagai penentu awal bulan
qomariah, yakni:
1. Syafi’iyyah: ada beberapa ketentuan yang berkaitan dengan penetapan
awal bulan, yaitu: pertama: awal bulan ramadlan terjadi dengan adanya hasil
penglihatan bulan sabit (ru’yah al-hila>l), yang dilakukan oleh pengamat
bulan yang adil (walaupun sifat adilnya tidak diketahui banyak orang), baik
dalam keadaan cuaca yang cerah, sehingga tidak menghalangi proses
penglihatan bulan sabit, maupun cuaca dalam keadaan tidak baik, sehingga
dapat mempersulit usaha pengamat untuk melihat bulan sabit awal bulan.32
Kedua: hasil ru’yah diketahui oleh saksi yang beragama Islam, berakal, baligh,
laki-laki dan adil. Khusus mengenai hilal bulan ramadlan dan syawal, saksi
tidak boleh kurang dari dua orang.33 Ketiga: kesaksian dilakukan di depan
orang yang berwenang34, dan kesaksiannya harus menggunakan kata jelas,
yakni dengan ungkapan “saya bersaksi bahwa hilal telah terlihat”. Keempat:
diwajibkan bagi orang yang melihat hilal untuk berpuasa, baik itu
kesaksiannya melihat hilal diterima maupun tidak. Selain itu, wajib juga
berpuasa bagi orang yang mempercayai hasil penglihatan hilal tersebut.35
29 ‘Abd al-Rah{ma>n al-Jazi>ry, al-Fiqh ‘ala> maz{a>hib al-Arba’ah, juz 1, (Beirut; Da<r al-Kutub, 2003), 498
30 T. Djamaluddin, Pengertian dan Perbandingan Madzhab tentang Hisab Rukyat dan Math’la’, 4
البخارى) (رواه ثالثين شعبان عّدMة فأكملوا عليكم غبي لرؤيته, فإن وأفطروا لرؤيته صوموا 3132 Apabila hanya seorang saja yang melihat hilal sedangkan yang lain tidak
melihat, maka kesaksiannya bisa diterima. Lihat Muh{ammad ibn Idri>s al-Shafi>’y, al-Umm, juz 3, yang diedit oleh Rif’at Fauzi ‘Abd al-Mut}allib, (Beirut; Da>r al-Wafa>’, 2001), 232
33 Bandingkan dengan Shams al-Di>n Muh{ammad ibn Khati>b al Sharbi>ny, Mughn al-Muh{ta>j, juz 1, diedit oleh Muh{ammad Khali>l ‘I>ta>ny, (Beirut; Da.r al-Ma’rifah, 1997), 617
34 Misalnya di Indonesia adalah hakim pengadilan Agama yang ditunjuk oleh pemerintah.
35 Bandingkan dengan Aby Zakaria Yah{ya> ibn Sharaf al-Nawa>wy, Raud{ah al-T{a>libi>n, juz 2, diedit oleh ‘A>dil Ah{mad ‘Abd al-Mauju>d, (Riyadh; Da>r ‘Ala>m al-
13
2. Hanafiyyah: awal bulan dapat terjadi dengan beberapa ketentuan berikut:
pertama: awal bulan ditentukan oleh hasil rukyat hilal, yang dilakukan oleh
sekumpulan orang. Kaidah seperti ini digunakan, apabila keadaan alam baik,
dengan begitu kegiatan rukyat hilal tidak tergangu. Selain itu, apabila dalam
keadaan langit tidak mendukung proses rukyat hilal, kemudian ada seorang
yang mengaku melihat hilal, maka kesaksiannya bisa diterima dengan syarat
perukyat adalah orang Islam, berakal, baligh, dan adil. Kedua: orang yang
melakukan penglihatan bulan sabit tidak disyaratkan harus laki-laki dan
merdeka. Ketiga: hasil rukyat hilal harus dilaporkan kepada petugas yang
berwenang. Keempat: puasa wajib dilakukan baik bagi orang yang melihat
hilal maupun bagi orang yang mempercayai hasil rukyat orang yang telah
melihat hilal.
3. Ma>likiyyah: pertama; hasil penglihatan bulan sabit dapat dijadikan patokan
dimulainya awal bulan harus memenuhi beberapa syarat: a) yang melakukan
pengamatan hilal adalah dua orang yang adil. Adapun yang dimaksud adil
disini ialah laki-laki yang bukan budak, baligh berakal, tidak pernah
melakukan dosa besar atau terbiasa dengan dosa kecil, dan mengerjakan
prilaku yang mengurangi wibawa; b) hasil penampakan hilal diamati oleh
orang banyak yang punya ilmu yang mumpuni dan kesepakatanya jauh dari
hal yang tidak benar. Mereka itu tidak harus laki-laki yang merdeka dan
baligh, serta adil; c) hilal hasil pengamatan satu orang bisa dijadikan sebagai
dasar penetapan awal bulan bagi dirinya dan bagi orang yang
mempercayainya. Dengan ketentuan yang percaya bukan orang yang
melakukan pengamatan hilal. Perukyat dalam keadaan ini tidak disyaratkan
laki-laki dan merdeka. Kedua; ketika penampakan hilal diketahui oleh dua
orang adil atau sekelompok orang, maka diwajibkan berpuasa bagi semua
orang yang mengetahui informasi tersebut. Begitupun apabila info tersebut
diperoleh dari orang pemberi info yang adil mengenai hasil penampakan hilal.
Dalam kesaksian tersebut wajib menggunakan sighat .”أشهّد“ Ketiga; hasil
penglihatan hilal harus dilaporkan kepada pejabat negara yang berwenang.
Kutub, 2003) , 207, dan ‘Abd al-Rah{ma>n al-Jazi>ry, al-Fiqh ‘ala> maz{a>hib al-Arba’ah, juz 1, 499
14
4. Hanabilah: terdapat beberapa ketentuan dalam penetapan awal bulan,
yakni: pertama; hasil penglihatan hilal diperoleh dari orang yang adil baik sifat
adilnya diketahui ataupun tidak. Perukyat tidak disyaratkan laki-laki dan
merdeka. Hasil penglihatan hilal tidak perlu dikabarkan kepada orang lain
dengan sighat “أشهّد”. kedua; perukyat tidak perlu dilaporkan kepada pejabat
yang berwenang. Ketiga; bagi yang mengetahui hasil rukyat hilal wajib
berpuasa.
Di Indonesia, secara garis besar hisab dibagi menjadi 2, yakni hisab ‘urfi
dan hisab haqiqi. Hisab ‘urfi menetapkan umur satu tahun qomariah adalah 354
11/30 hari, sehingga kekurangan pecahan hariannya dibuatlah istilah satu siklus
qomariah setiap 30 tahun. Dalam sistem hisab ini dikenal dengan tahun kabisah
(dapat terjadi pada tahun ke-2, 5, 7, 10, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29), dan tahun
basitah (selain dari urutan tahun kabisat). Selanjutnya, berbeda dengan hisab
‘urfi, dalam hisab haqiqi, posisi hilal merupakan patokan dalam perhitungan
bulan qomariah.
Kemudian, dalam hisab haqiqi juga dapat dibagi menjadi 2, yaitu taqribi
dan tahqiqi. Hisab haqiqi taqribi merupakan sisitem hisab yang menghitung
ijtima’ dan ketinggian hilal dengan cara mencari rata-rata waktu ijtima’ dengan
ditambah koreksi sederhana. dalam hisab seperti ini belum dikenal rumus-rumus
spherical trigonometry. Menurut sistem ini, ijtima’ yang terjadi sebelum matahari
terbenam selalu menjadikan ketinggian hilal bernilai positif. Berbeda dengan
dengan hisab taqribi, sistem hisab tahqiqi dalam menghitung ketinggian hilal
selalu memperhatikan posisi orang yang melakukakan pengamatan hilal,
deklinasi bulan dan matahari, serta sudut waktu bulan dan matahari.36 Jadi dapat
ditarik kesimpulan, bahwa menurut sistem ini, setiap ijtima’ yang terjadi sebelum
matahari tebenam belum tentu menjadikan posisi hilal positif di atas ufuk.
Selain itu, ada beberapa kriteria hisab yang dipakai di Indonesia, yaitu
kriteria wujud hilal, kriteria imkan rukyah dan kriteria ijtima’. Menurut kriteria
wujud hilal, permulaan bulan qomariah, apabila pada tanggal 29\, matahari
terbenam dan terdapat beberapa syarat yang kumpul, yakni: a) telah terjadi
ijtimak, b) ijtima; terjadi sebelum matahari terbenam, pada saat matahari
36 Bandingkan dengan Wahyu Widiana, Prosses Pengambilan Keputusan Departemen Agama tentang Penentuan Awal dan Akhir Ramadlan, dalam “Rukyat dengan Teknologi”, (Jakarta; 1994), 80
15
terbenam, piringan atas bulan masih di atas ufuk.37 Kriteria wujud hilal dipakai
oleh organisasi Islam Muhammadiyah.38 Menurut mereka hisab mempunyai
kedudukan kuat dengan rukyat hilal dalam penentuan awal bulan qomariah. Ini
didasari oleh beberapa praktek yang dilakukan Nabi SAW pada masanya untuk
melakukan rukyat terhadap hilal dengan mempergunakan penglihatan mata,
bukan dengan perhitungan karena adanya ‘illat (alasan hukum). ‘illat hukum
mengenai praktek tersebut, karena pada waktu itu umat Islam belum mengerti
pengetahuan yang cukup tentang astronomi, sehingga yang dilakukan pada
masa itu untuk menentukan awal bulan qomariah hanya me-rukyat hilal.
Kemudian, ketika alasan hukum tersebut sudah tidak ada, maka yang harus
dijadikan patokan penentuan awal bbulan qomariah adal hasil dari hisab.39
Karena sebagaimana diketahui, sekarang ini kemajuan ilmu astronomi di
kalangan umat Islam sudah lebih maju dibanding pada masa awal Islam.40
Selanjutnya, bukan hanya dalam sistem hisab, dalam sitem rukyat pun
terdapat beberapa perbedaan, baik mengenai pelaksanaannya maupun dalam
keabsahan dalam laporan hasilnya. Di Indonesia, rukyat ada yang dilakukan
dengan cara sederhana, tidak menggunakan perhitungan hisab dan
menggunakan mata telanjang, ada yang dilakukan dengan bantuan hasil hisab,
serta ada juga yang sudah menggunakan teropong.
Adapun mengenai penggunaan alat dalam pengamatan hilal, para ulama
berbeda pendapat menyikapi hal tersebut. Sebagian ada yang melarang dan
yang lainnya memperbolehkan. Kemudian juga para ulama berbeda pendapat
37 Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, cet. Ke-2, 23
38 Sudah dipakai sejak keputusan Tarjih Muhammadiyah. Kemudian dikuatkan dengan keputusan Tarjih pada tahun 2003, yang salah satu putusannya, bahwa hisab sama kedudukannya dengan hilal dalam menentukan awal bulan qomariah.
Mته وجودا وعّدما 39 الحكم يّدور مع عل40 Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab
Muhammadiyah, cet. Ke-2, 7516
mengenai keabsahan hasil pengamatan hilal. Selain itu juga mereka berbeda
pendapat mengenai mathla’41 (tempat melakukan pengamatan hilal).42
Kemudian, berkaitan dengan perhal hisab dan rukyat , di Indonesia
terdapat organisari masyarakat yang besar yakni Nahdhatul Ulama (NU) dengan
metode rukyat hilal sebagai penentu permulaan awal bulan qomariah. Selain itu,
NU juga mempergunakan hisab kriteria imkan al-rukyah sebagai pendukung
proses pengamatan hilal. Hisab oleh NU dijadikan pedoman untuk menetukan
arah hilal yang akan diamati, dan juga dijadikan sebagai patokan dalam
membatasi minimal ketinggian hilal yang mungkin bisa dilakukan pengamatan
hilal. Adapun minimal ketinggian hilal (irtifa>’ al-hila>l) yang dipakai oleh NU
adalah 2 derajat 30 menit. Dengan demikian, jika ada sebuah berita yang
menyatakan hilal sudah dapat di-rukyat, sedangkan tinggi hilal belum memenuhi
syarat, maka berita tersebut tidak dapat diterima.43
Selain organisasi Islam yang ada di Indonesia, pemerintah juga ikut andil
dalam penetapan untuk menetukan awal bbulan qomariah, khususnya bulan
ramadlan, syawal, dan dzulhijjah.
Tanggal 25 April 2012 yang lalu, Kementerian Agama telah mengundang 60
perwakilan ormas Islam, Pondok Pesantren, para pakar hisab-rukyat dan instansi
terkait; Bosscha ITB, LAPAN, BMKG dan Planetarium & Observatorium untuk
menggagas terwujudnya Kalender Islam Tunggal, akan tetapi setelah
41 Dalam penetapan matla’ para ulama mendasarkannya kepada hadis yang diriwayatkan oleh Kurayb, Ibn Abbâs dan beberapa hadits lain.20 Dari hadis-hadis tersebut para ulama berselisih pendapat. Pendapat pertama adalah penentuan awal bulan didasarkan pada matla’ wilayah yang didasarkan pada hadits Ibnu Abbas. Pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i. Pendapat kedua adalah penentuan awal bulan didasarkan pada matla’ ‘alam, yaitu apabila suatu negeri melihat hilâl, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat kedua ini masyhûr dari kalangan madzhab Mâlikiyah. Pendapat ketiga adalah penentuan awal bulan didasarkan pada matla’ wilayah atau pada suatu negeri yang berdekatan. Pendapat ini diikuti oleh sebagian kecil ulama Syâfi’iyah. Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat, pertama, dengan perbedaan matla’. Ukuran matla’ dalam konteks ini adalah jarak bolehnya menqashar salat. Kedua, perbedaan iklim. Dalam konteks ini Al-Sarkhasi menyatakan bahwa keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilâl. Ketiga, Imam Syawkani menambahkan bahwa tidak harus sama dalam memulai dan mengakhiri puasa jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilâl. Bandingkan dengan Ibnu H{ajar, Fathul Ba>ri, Juz IV (Beirut; Da>r al-Fikr, ttp), hlm. 147, dan As-Shan’ani, Subulus Salam, Juz II,. 310
42 Wahyu Widiana, Prosses Pengambilan Keputusan Departemen Agama tentang Penentuan Awal dan Akhir Ramadlan, 81
43 Resume dari beberapa artikel yang ada di situs www.nu.or.id. Bandingkan dengan T. Djamaluddin dalam “Analisis Visibilitas Hilal untuk Usulan Kriteria Tunggal di Indonesia”, 2001 (http://tdjamaluddin.wordpress.com/category/Hisab-rukyat). Diakses 21/09/2012
17
dirumuskannya gagasan kesepakatan tersebut dalam butir-butir kalimat, lagi-lagi
yang terjadi adalah ketidak sepakatan.44
Butir 2 dan 3 kesepakatan itu berbunyi:
2). Untuk menuju kesatuan penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan
Zulhijah dibutuhkan 3 prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) pemberian
dan pengakuan otoritas kepada lembaga tertentu (MUI sejauh ini
memberikan otoritas tersebut kepada Kementerian Agama RI); 2) adanya
kriteria yang disepakati; dan 3) adanya wilayah pemberlakuan hukum;
3) Sejauh ini belum ada kesepakatan butir kedua, yaitu mengenai kriteria
awal bulan qomariyah. Untuk menuju ke sana, pihak-pihak yang hadir
dalam forum setuju untuk membentuk tim kecil perumus kriteria yang
terdiri dari perwakilan ahli hisab rukyat ormas dan instansi terkait, dengan
difasilitasi oleh Kementerian Agama dan supervisi pimpinan ormas.
Ketidaksepakatan itu terjadi karena di antara mereka ada beberapa
metode yang dipegang dan dipedomani untuk menetukan awal bulan qomariyah.
Untuk itu menurut T. Djamaluddin perlu adanya ukuran pasti mengenai
ketinggian hilal, misalnya, yang menjadi acuan pergantian bulan qomariyah.45
Dengan demikian, maka tidak akan terjadi penentuan awal bulan baik oleh ormas
yang memakai metode hisab dan ormas yang memakai metode rukyat hilal.
44 Abdul Salam, Menyoal Kriteria “Imkan Ru’yah” Sebagai Penetapan Awal Bulan Qomariyah, 2012.
45 T. Djamaluddin, Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Umat, (Jakarta; Lembaga Penerbangan dan Badan Antariksa Nasional, 2011), 11-12
18
DAFTAR PUSTAKA
A. Jamil, Ilmu Falak, (Jakarta; Amzah, 2009)
Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyat “menyatukan NU &Muhammadiyah dalam
penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, (Jakarta; Erlangga, 2007)
Muhammad bin Abdul wahha>b, al-‘Adhb al-Zala>l fi Maba>hith Ru’yah al-
Hila>l, (kairo; Daulah Qat}r, 1977)
Muhammad ‘Abd al- Qa>dir, Ahka>m al-Shiya>m li al-Imam Ibnu Taimiyah,
(Beirut; da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991)
Muh{ammad Isma>’il al-Bukha>ry, al-Ja>mi’ al-S}a>h{ih{, (Kairo; al-
Mat}baghah al-Salafiyah, 1982)
Tino Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, (Jakarta: Amytahas Publicita,
2007)
Muh{ammad ibn Isma>’il al-Bukha>ry, al-Ja>mi’ al-S}ah{i>h{, juz 2, 33
Ma>lik ibn Anas, al-Muwat}t}a’, jilid 2, diedit oleh Sali>m ibn ‘I>d al-Hila>lyy al-
Salafy, (Dubai; Majmu’ah al-Furqa>n al-Tija}riyah, 2003)
Abi Al-H{usayn Muslim bin Al-H{ajja>j, S}ah{i>h{ Muslim, (Riyadh; Bayt al-
Afka>r al-Dauliyah, 1998)
Abi Abdulla>h al-H{a>kim al-Naisabury, al-Mustadrak ‘ala al-S}ah{ihayn, juz 1,
(Kairo; Da>r al-H{aramayn, 1997)
Aby Daud Sulaima>n al-Ash’ath al-Sijista>ny, Sunan Aby Daud, diedit oleh
‘Ubayd al-Da’a>s dan’A>dil al-Sayyid, juz 2, (Beirut, Da>r Ibn H{azm, 1997)
T Djamaluddin dalam “Visibilitas Hilal di Indonesia”, 2000
http://jurnal.lapan.go.id/index.php/warta_lapan/article/view/1063/952.
diakses 21/09/2012
http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/Geofisika/Tanda_Waktu/
INFORMASI_HILAL_SAAT_MATAHARI_TERBENAM_TANGGAL_20_JUNI_2012_M_
%28PENENTU_AWAL_BULAN_SYABAN_1433_H%29.bmkg. Diakses
06/12/2012
Muh{ammad Jabar al-Ulfy, Manhajiyat Ithba>t al-Ahillah fi Z{ill al-
Mutaghoyyira>t al-Mu’a>s}irah, (Riyad{; t.p, 2005)
Chaerul Zen, Ensiklopedia Ilmu Falak dan Rumus-Rumus Hisab Falak, (Medan; t.p,
2008)
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab
Muhammadiyah, cet. Ke-2, (Yogyakarta; Majelis Tarjih dan Tajdid PP
19
Muhammadiyah, 2009), 18. Bandingkan dengan Asadurrahman, kebijakan
Pemerintah dalam Penentuan Awal Bulan Qomariah, (Jakarta; UIN Jakarta ,
2009 )
Abdul Salam Nawawi, “Metode Hisab (Perhitungan Astronomis)” , NU Online, 28
Februari 2008, (diakses 26 November 2012)
Badan Hisab Rukyat, Almanak Hisab dan Rukyat, (Jakarta; Proyek Pembinaan
Badan Peradilan Agama, 1981)
T. Djamaluddin, Pengertian dan Perbandingan Madzhab tentang Hisab Rukyat
dan Math’la’, 2. Disampaikan pada "Musyawarah Nasional Tarjih ke-26", PP
Muhammadiyah, Padang 1 – 5 Oktober 2003
Maskufa, Ilmu Falaq, (Jakarta; Gaung Persada Press, 2009), 79
Farid Ruskanda dkk, Rukyat dengan Teknologi, (Jakarta; Gema Insani Press,
1994)
‘Abd al-Rah{ma>n al-Jazi>ry, al-Fiqh ‘ala> maz{a>hib al-Arba’ah, juz 1, (Beirut;
Da<r al-Kutub, 2003)
Muh{ammad ibn Idri>s al-Shafi>’y, al-Umm, juz 3, yang diedit oleh Rif’at Fauzi
‘Abd al-Mut}allib, (Beirut; Da>r al-Wafa>’, 2001)
Shams al-Di>n Muh{ammad ibn Khati>b al Sharbi>ny, Mughn al-Muh{ta>j, juz
1, diedit oleh Muh{ammad Khali>l ‘I>ta>ny, (Beirut; Da.r al-Ma’rifah, 1997)
Aby Zakaria Yah{ya> ibn Sharaf al-Nawa>wy, Raud{ah al-T{a>libi>n, juz 2,
diedit oleh ‘A>dil Ah{mad ‘Abd al-Mauju>d, (Riyadh; Da>r ‘Ala>m al-Kutub,
2003) , 207, dan ‘Abd al-Rah{ma>n al-Jazi>ry, al-Fiqh ‘ala> maz{a>hib al-
Arba’ah (Beirut; Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2002)
Wahyu Widiana, Prosses Pengambilan Keputusan Departemen Agama tentang
Penentuan Awal dan Akhir Ramadlan, dalam “Rukyat dengan Teknologi”,
(Jakarta; 1994)
Ibnu H{ajar, Fathul Ba>ri, Juz IV, (Beirut, Maktabah al-Kharra>j, 1997)
As-Shan’ani, Subulus Salam, Juz II, (Beirut; Da>r al-ilm, 1999),
T. Djamaluddin dalam “Analisis Visibilitas Hilal untuk Usulan Kriteria Tunggal di
Indonesia”, 2001 (http://tdjamaluddin.wordpress.com/category/Hisab-
rukyat). Diakses 21/09/2012
Abdul Salam, Menyoal Kriteria “Imkan Ru’yah” Sebagai Penetapan Awal Bulan
Qomariyah, 2012.
T. Djamaluddin, Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Umat, (Jakarta; Lembaga
Penerbangan dan Badan Antariksa Nasional, 2011), 11-12
20
PENENTUAN AWAL BULAN QOMARIYAH
(PERBEDAAN RUKYAT DAN HISAB)
Sebagai tugas Mata Kuliah:
ISU-ISU FIQH KONTEMPORER
Dosen Penanggung Jawab Mata Kuliah:
Prof.Dr. Said Agil Husin Al Munawwar, MA
Oleh:
HAFIDZ TAQIYUDDIN
NIM: 11.2.00.0.01.0107
KONSENTRASI SYARIAH-FIQH
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2012 M/1434 H
21