makalah hukum pajak

22
Makalah Hukum Pajak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara, karena itu merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat. Apalagi sekarang telah

Upload: muhammad-dheny-nugraha

Post on 23-Oct-2015

54 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

makalah hukum pajak

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Hukum Pajak

Makalah Hukum Pajak

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran

serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban

perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-

undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan

hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap

pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban

pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan

berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut

sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.

Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara, karena itu

merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat. Apalagi sekarang telah

dilakukan pembahasan RUU Pajak yang baru yang akan menggantikan UU No. 16/2000

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Penduduk Indonesia sebesar 215 juta

jiwa merupakan potensi pajak yang berlimpah. Ironisnya, hingga 2004 jumlah wajib pajak/

pembayar pajak hanya mencapai 3.670.060 jiwa dengan perincian 2.622.184 pembayar

pajak orang pribadi dan 1.047.876 lainnya pembayar pajak badan. Hal ini menandakan

bahwa kebijakan perpajakan tidak cukup kuat untuk melakukan ekstensifikasi pajak di

samping proses pendataan wajib pajak yang kurang gencar dilakukan.

Urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi disangsikan. Karena itu

wajar jika pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax coverage

(lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax compliance (kepatuhan pajak) dari

Page 2: Makalah Hukum Pajak

masyarakat. Namun demikian, kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran masyarakat

terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu bukan sesuatu yang berdiri

sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik yang bersumber dari

wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun yang bersumber dari sistem

perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan hal yang kompleks.

Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan secara sinergis dan komprehensif.

Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar memiliki

apresiasi yang baik terhadap kewajiban membayar pajak tidak terpaku pada wajib pajak

belaka, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya secara korelatif. Dengan

pertimbangan yang simultan, solusi alternatif yang signifikan akan lebih memungkinkan.

Dari begitu banyak dan keanekaragaman hak dan kewajiban wajib pajak, salah satunya

adalah wajib pajak orang pribadi yaitu orang yang memperoleh penghasilan baik

sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau seorang

pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai rendah atau pekerja

mandiri seperti dokter, notaris , pengacara.

Sebelum sampai pada pembahasan tentang Wajib Pajak Pribadi, sebagai cakrawala

pengetahuan perpajakan perlu diketahui terlebih dahulu tentang pengertian, jenis dan

macam pajak serta manfaat pajak yang berlaku di Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

Wajib Pajak Pribadi adalah orang yang memperoleh penghasilan baik

sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau seorang

pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai rendah atau pekerja

mandiri seperti dokter, notaries , pengacara . Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki resiko

mengalami pemeriksaan pajak . Namun sering kali terjadi berbagai permasalahan

mengenai pembyaran pajak pribadi itu sendiri.

1. Bagaimanakah Perlakuan PPh atas pengalihan tanah?

2. Bagimanakah Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam?

 

1.3 Tujuan dan Manfaat

1.3.1 Tujuan:

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah:

Page 3: Makalah Hukum Pajak

1.      Supaya penulis pribadi dan para pihak yang membaca makalah ini mengetahui tentang

macam-macam serta penggolongan penggolongan pajak di Indonesia.

2.      Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pengenaan pajak terhadap penghasilan.

3.      Untuk mengetahui bagaimana mengenai kewajiban pajak bagi wanita.

1.3.2 Manfaat:

Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:

1.      Bagi para pihak yang membaca, hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan

informasi serta pengetahuan mengenai ilmu Hukum Pajak Khususnya mengenai hal Pajak

Penghasilan.

2.      Bagi penulis merupakan penerapan secara ilmiah ilmu Hukum Pajak khususnya Pajak

Penghasilan.

3.      Sebagai referensi bagi penulis lain yang juga menulis dalam hal yang sama.

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Berkenaan mengenai pengenaan pajak, pajak mempunyai latar belakang falsafah.

Falasafah pajak ini lebih lanjut lagi berdasarkan falsafah negara yaitu pancasila. Pasal 23

UUD 1945, merupakan dasar hukum pemungutan pajak yang berbunyi “segala pajak pajak

untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang” walaupun pasal 23 (2) UUD

1945, merupakan dasar hukum pemungutan pajak, namun pada dasarnya dalam ketentuan

ini tersirat Falsafah Pajak. Pajak harus berdasar undang-undang karena dapat diibaratkan

pajak adalah menyayat daging diri kita sendiri. Pajak tidak memerikan imbalan yang

secara langsung dapat dinikmati, atau dapat dikatakan pajak tidak memberikan imbalan.

Selain memiliki dasar falsafah dalam pengenaan pajak terdapat asas-asas menurut

Falsafah Hukum yaitu asas-asas keadilan, untuk memberikan dasar menyatakan

keadilannya, terdapat teori-teori pajak yang dapat diterapkan dalam pemungutan pajak

dalam masyarakat, dan juga terdapat sistem pemungutan pajak diantaranya adalah:

2.2.1 Teori Pemungutan Pajak

Page 4: Makalah Hukum Pajak

1.      Teori asuransi: Pajak dianggap sama dengan premi yang harus dibayar rakyat karena

negara yang mempunyai tugas menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dan

lingkungan di seluruh wilayah negara.

2.      Teori Kepentingan: Teori kepentingan hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang

harus dipungut pemerintah kepada rakyat yang disesuaikan dengan kepentingan masing-

masing dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya termasuk perlindungan

atas jiwa beserta harta bendanya.

3.      Teori Daya Pikul: Pajak harus dibayar menurut daya pikul atau kemampuan seseorang.

4.      Teori Bakti: teori yang berdasar atas paham organisasi negara yang mengajarkan bahwa

negara negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan

umum. Dengan organisasi dan tindakan negara seperti itu, di satu sisi negara mempunyai

hak untuk memungut pajak.

5.      Teori Gaya Beli: penyelenggaraan kepentingan rakyat dapat dapat dianggap sebagai dasar

keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan juga bukan kepentingan

negara melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.

2.2.2 Asas Pemungutan Pajak

1.      Asas Domisisli: Asas ini didasarkan pada domisili atau tempat tinggal wajib pajak di suatu

negara. Negara tempat tinggal seseorang berhak mengenakan pajak terhadap seseorang

tersebut tanpa melihat darimana sumber penghasilan atau pendapatanya diperoleh dan

tanpa melohat kebangsaan atau kewarga negarann wajib pajak tersebut.

2.      Asas Sumber: Dalam asas ini pemungutan didasarkan pada adanya sumber pendapatan

alam suatu negara. Negara menjadi tempat sumber pendapatan tersebut berhak memungut

pajak tanpa memperhatikan domisili dan kewarganegaraan wajib pajak.

3.      Asas Kebangsaan: Pada asas inivpemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan

seseorang. Yang berhak memungut pajak seseorang adalah negara yang menjadi

kebangsaan orang tersebut.

2.2.3 Sistem Pemungutan Pajak

1.      Official Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa

jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh

aparat pajak atau fiscus.

Page 5: Makalah Hukum Pajak

2.      Self Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah

pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib ajak dihitung sendiri oleh wajib pajak.

2.2    Dasar Hukum

*                    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

*                    Undang-undang No. 10/1994 Undang-Undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Pasal 4 ayat (2). “ Atas

Pengasilan berupa bungan deposito dan tabungan dan tabungan-tabungan lainya,

penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainya di bursa efek, penghasilan dari

pengalihan harat berupa tanah dan atau tabungan serta pengasilan tertentu lainya,

pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah.

*                    Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997

Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

*                    Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentang perubahan atas undang-undang nomor 7

tahun 1983 tentang pajak penghasilan

*                    Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang

pribadi yang bertolak keluar negri

*                    UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-

undang

*                    UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994

*                    UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994

*                    UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994

*                    UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai

*                    UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007

 

BAB III

PEMBAHASAN

Pengertian pajak

Beberapa ahli memberikan pengertian antara pajak antara yang satu dengan yang

lainnya. Diantara beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli adalah sebgai berikut.

Page 6: Makalah Hukum Pajak

1.      Menurut Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib

dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa

mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat

melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan

2. Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan dari

pihak rakyat kepad negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya

digunakan untuk ‘public saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai

‘public investment’. Dari pengertian itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang

terdapat dalam pajak ialah:

*                    Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya;

*                    Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran perpajkan dapat

dikenakan sanksi;

*                    Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra[restai secara langsung

oleh pemerintah;

*                    Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah;

*                    Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari

pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.

3.      Menurut Prof. DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang

melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada kontra prestasi yang

dapat ditunjukkan dalam hal individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran

pemerintah’

4.      Menurut Ray M. Sommer, Hershel M. Andersen dan Horace R. Brock: “A tax can be

defined meaningfully as any nonpenal yet compulsory transfer of recourses from the

private to the public sector, levied on the basis of predetermined criteria without reference

to specific benefits receifed, so as to accomplish some of a nation’s economic and social

objectives”

Sebenarnya masih banyak lagi para ahli dan pakar perpajakan yang mengemukakan

pengertian pajak dengan menggunakan kalimat masing-masing.

Jenis Pajak

Page 7: Makalah Hukum Pajak

Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak

Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah

Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen

Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah

Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat

dibagi menjadi :

1.      Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang

dipungut atas penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia .

2.      Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi

Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi,

perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena

Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak

atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.

3.      PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-

barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang

dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :

b.      barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.

c.       Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu

d.      Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi

e.       Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status

f.       Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu

ketertiban masyarakat.

 4.      Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan

menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya dengan menggunakan mesin

teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak bentuk KPU 35 Kode 006.

5.      Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri atas

tanah dan bangunan (property tax).

6.      Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB adalah pajak yang

dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB,

walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB

seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota

sesuai dengan ketentuan.

Page 8: Makalah Hukum Pajak

Selain pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah diatas juga terdapat pajak yang

dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:

1.      Pajak Propinsi

a.       Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,

b.      Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,

c.       Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,

d.      Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,

2.      Pajak Kabupaten Kota

a.       Pajak Hotel,

b.      Pajak Restoran,

c.       Pajak Hiburan,

d.      Pajak Reklame,

e.       Pajak Penerangan Jalan,

f.       Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,

g.      Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,

Selain yang dibahas diatas, dalam parktek sering dikenakan pungutan yang disebut

sumbangan wajib. Sumbangan wajib biasanya tidak memiliki kejelasan balas jasa maupun

imabalanya. Sumbangan atau sumangan wajib yang didasarkan atas ketentuan yang sah

dan hasilnya masuk ke kas negara maka pungutan tersebut merupakan pungutan yang

legal.

Manfaat Pajak

Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga,

perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos

pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian

besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi

mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan.

Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas,

kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga

Page 9: Makalah Hukum Pajak

digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan

masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia,

menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang

yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi

suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan

pembiayaan pembangunan.

Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan

fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi

yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu

tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik

dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan.

Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat

dikurangi secara maksimal.

Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut pada

seseorang atas pengahsilan dari semua orang yang berda di wilayah Indonesia. Pajak

Penghasilan merupakan pajak yang dipungut setiap akhir tahun atau setelah tahun pajak

berakhir. Pajak penghasilan diatur dalam undang-undang diantaranya adalah

1. Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentangperubahan atas undang-undang nomor

7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan

2. Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi

orang pribadi yang bertolak keluar negri

3. UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan

undang-undang

4. UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994

5. UU No. 7 Tahun 1983 ttg PPh jo. UU No. 10/1994

6. UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994

7. UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994

8. UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai

9. UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007

Page 10: Makalah Hukum Pajak

Dalam Undang-Unadang Pajak Penghasilan sendiri tidak dijelaskan apa yang

dimaksud dengan subjek PPh, namun secara umum pengertian Subjek Pajak adalah siapa

yang dikenakan pajak. UU PPh menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi Subjek PPh

yaitu:

1.      Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang

berhak.

2.      Badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainya,

BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan,

Firma, Kongsi, Koperasi Yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan

Bentuk Badan Usaha lainnya.

3.      Bentuk Usaha Tetap (BUT).

BUT adalah bentuk usaha yang dikenakan orang pribadi yang tidak beretempat tinggal di

Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12

bulan atau badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

3.1 Perlakuan PPh atas pengalihan tanah.

Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan

berdasarkan Undang-undang No. 10/1994 diatur pada Pasal 4 ayat (2). “Atas penghasilan

berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham

dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah

dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan

Peraturan Pemerintah.”

UU No. 10/1994 tersebut merupakan UU yang mengubah UU No. 7/1983. Dalam

UU No.7/1983 pasal 4 ayat (2) hanya mencakup pengenaan PPh atas bunga deposito

berjangka dan tabungan lainnya. Kemudian di dalam perubahan UU yang dituangkan

dalam UU No.10/1994, cakupan Pasal 4 ayat (2) diperluas sehingga mencakup juga

penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari

pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya.

Walaupun tidak ditegaskan penghasilan-penghasilan yang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2)

diperlakukan sebagai final, pada kenyataannya hampir semua penghasilan dimaksud

Page 11: Makalah Hukum Pajak

dikenakan PPh final. Pengenaan pajak atas penghasilan-penghasilan yang dicakup di Pasal

4 ayat (2) tersebut diatur dengan peraturan pemerintah.

Perlakuan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

telah mengalami perubahan sejak diterbitkannya PP 48/1994 sampai yang terakhir yaitu PP

79/1999, khususnya yang menyangkut orang pribadi. Berdasarkan PP 48/1994 orang

pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/bangunan dikenai PPh final sebesar

5% dari jumlah bruto. Perlakuan PPh tersebut diterapkan kepada semua orang pribadi,

tanpa membedakan apakah orang yang bersangkutan mempunyai kegiatan usaha

pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Perlakuan PPh ini kemudian diubah dengan PP 27/1996 yang membedakan antara

orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau

bangunan, dengan orang pribadi selain yang mempunyai usaha tersebut.

Berdasarkan PP 27/1996 pengenaan PPh final diterapkan terhadap:

1.      orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau

bangunan, dan

2.      orang pribadi yang mempunyai penghasilan diatas PTKP, yang melakukan pengalihan hak

dengan nilai kurang dari Rp60 juta.

PP 27/1996 tidak secara jelas mengatur perlakuan PPh atas pengalihan hak tersebut

apabila dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilai

pengalihannya melebihi Rp60 juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari PP dimaksud maka

perlakuan PPh final hanya terbatas kepada dua kelompok wajib pajak sebagaimana

disebutkan di atas.

Dengan demikian, apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya

bukan menjual hak atas tanah dan/atau bangunan, maka keuntungan dari pengalihan

tersebut akan dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan ini sama dengan ketentuan

dari PP 79/1999. Perlakuan PPh terhadap orang pribadi yang usaha pokoknya bukan jual

beli hak atas tanah dan/atau bangunan memperoleh perlakuan yang kurang adil bila

dibandingkan dengan orang pribadi yang mempunyai usaha pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan. Pengenaan PPh yang tidak final berarti bahwa PPh yang disetor

sebesar 5% dari nilai pengalihan merupakan pembayaran pendahuluan dari seluruh PPh

yang terutang dalam tahun yang bersangkutan.

Page 12: Makalah Hukum Pajak

Kesulitan akan timbul dalam menghitung keuntungan dari pengalihan tersebut,

terutama untuk harta yang telah dimiliki dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini

akan menyebabkan ketidakadilan dari segi beban pajak yang ditanggung terutama untuk

harta yang sudah dimiliki dalam kurun waktu yang lama. Harga perolehan yang relatif jauh

lebih rendah dari harga peralihannya akan menyebabkan beban pajak yang lebih tinggi.

Faktor penyebabnya adalah bahwa Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak menerapkan

indeksasi untuk harta tetap untuk menentukan harga perolehan dari harta tetap untuk

keperluan perpajakan.

Di samping itu, wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha cenderung

untuk tidak melakukan pencatatan sehingga kemungkinan besar sulit untuk mentrasir

kembali harga perolehan dari harta dimaksud termasuk dokumen pendukungnya.

Sebaliknya wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha jual beli tanah dan

bangunan diterapkan pengenaan pajak yang bersifat final, padahal wajib pajak kelompok

ini seharusnya mempunyai catatan atau pembukuan, sehingga harga perolehannya

seharusnya dapat diketahui.

PP 27/1996 kemudian diubah dengan PP 79/1999 yang sepanjang menyangkut

orang pribadi, memberi penegasan bahwa wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya

bukan dari jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan, keuntungan dari pengalihan

dimaksud dikenai pajak tetapi tidak final.

3.2 Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.

Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk menghitung Penghasilan Kena

Pajak, penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan

memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan

pekerjaan atau jasa seperti misalnya upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan

tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya

pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan

atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk

memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun,

iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan, kerugian

karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan

atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian

Page 13: Makalah Hukum Pajak

dari selisih kurs mata uang asing, biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang

dilakukan di Indonesia, biaya bea siswa, magang, dan pelatihan, piutang yang nyata-nyata

tidak dapat ditagih, sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu;

Rincian dari biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagaimana disebutkan di atas

yang menyangkut "kerugian" adalah: kerugian karena penjualan atau pengalihan harta

yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing. Salah

satu jenis kerugian yang dapat dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena

penjualan harta yang dimiliki dan digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena

harta yang dipergunakan dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan

melalui mekanisme yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).

Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu penarikan harta karena harta tersebut

dijual atau dialihkan dan penarikan harta karena sebab lain Dalam hubungannya dengan

bencana alam, maka penarikan harta karena sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi

apabila harta tersebut adalah harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa bukunya

dibebankan sebagai kerugian. Apabila harta dimaksud diasuransikan maka jumlah

penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan.

Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang tidak dapat disusutkan atau harta

yang tidak dipakai dalam usaha? UU PPh secara umum memperlakukan semua jenis

penghasilan sama artinya UU ini tidak menganut pemajakan berdasarkan jenis penghasilan

seperti misalnya pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha berbeda dengan capital

gains. Atas dasar pemikiran yang demikian maka kerugian karena kehilangan harta yang

disebabkan oleh bencana alam seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya. Apabila

dalam suatu bencana yang terjadi juga memusnahkan barang persediaan, seharusnya wajib

pajak dapat membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah menghitung besarnya

kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan barang tersebut.

UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan barang di Pasal 10 ayat (8).

Penjelasan dari pasal itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang

meliputi tiga jenis barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses

produksi, bahan baku dan bahan pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk

keperluan penghitungan harga pokok, metode yang diperbolehkan adalah dengan cara rata-

rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan

Page 14: Makalah Hukum Pajak

ketentuan tersebut, untuk menghitung kerugian yang diderita karena bencana cara yang

sama juga sebaiknya diperbolehkan. Penerapan cara penilaian barang yang sama terhadap

kerugian karena rusaknya persediaan barang akan memberikan perlakuan yang seimbang

dan netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh memungkinkan untuk memberi kesempatan

mengklaim kerugian, masalah yang perlu dipikirkan adalah menentukan dokumen-

dokumen yang harus disajikan sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian karena bencana.

Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi karena terjadinya

bencana, diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk: penyesuaian terhadap setoran

PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25); kompensasi kerugian yang terjadi pada saat

terjadinya bencana; bukti pada saat dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan

pemasukan SPT Tahunan (bila diperlukan).