makalah forensik modul 1
DESCRIPTION
hyygTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejarah dan perkembangan Ilmu Forensik tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan
perkembangan hukum acara pidana. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan yang
terjadi di muka bumi ini sama usia tuanya dengan sejarah manusianya itu sendiri.
Luka merupakan salah satu kasus tersering dalam kedokteran Forensik. Luka bisa
terjadi pada korban hidup maupun korban mati. Dalam sebuah survey di sebuah
rumah sakit di selatan tenggara kota London dimana didapatkan 425 pasien yang
dirawat oleh karena kekerasan fisik yang disengaja. Beberapa jenis senjata
digunakan pada 68 dari 147 kasus penyerangan di jalan raya, terdapat 12 % dari
penyerangan menggunakan besi batangan dan pemukul baseball atau benda –
benda serupa dengan itu, lalu di ikuti dengan penggunaan pisau 18%, terdapat nilai
yang sangat berarti dari kasus penusukan, sekitar 47% kasus yang masuk rumah
sakit dan 90% mengalami luka yang serius.
Pada pasal 133 ayat (1) KUHAP dan pasal 179 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa
penyidik berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau bahkan ahli lainnya. Keterangan ahli tersebut adalah Visum et
Repertum, dimana di dalamnya terdapat penjabaran tentang keadaan korban, baik
korban luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena tindak pidana.
Bagi dokter yang bekerja di Indonesia perlu mengetahui ilmu kedokteran Forensik
termasuk cara membuat Visum et Repertum. Seorang dokter perlu menguasai
pengetahuan tentang mendeskripsikan luka, tujuannya untuk mempermudah tugas-
tugasnya dalam membuat Visum et Repertum yang baik dan benar sehingga dapat
digunakan sebagai alat bukti yang bisa meyakinkan hakim untuk memutuskan
suatu tindak pidana. Pada kenyataannya dalam praktek, dokter sering mengalami
kesulitan dalam membuat Visum et Repertum karena kurangnya pengetahuan
tentang luka. Padahal Visum et Repertum harus di buat sedemikian rupa, yaitu
memenuhi persyaratan formal dan material , sehingga dapat dipakai sebagai alat
bukti yang sah di sidang pengadilan.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi luka?
2. Bagaimana klasifikasi luka?
3. Bagaimana dasar hukum luka terhadap kepentingan forensik?
4. Bagaimana menentukan luka berdasarkan waktu terjadinya?
C. TUJUAN PENULISAN
Dengan penyusunan referat ini kami berharap seorang dokter atau calon dokter
mampu mendeskripsikan luka secara benar sehingga mampu membuat Visum et
Repertum yang baik dan benar sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti yang
bisa meyakinkan hakim untuk memutuskan suatu tindak pidana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang disebabkan oleh
trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan
listrik atau gigitan hewan.
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit Didalam melakukan
pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka akibat kekerasan, pada
hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan dari
permasalahan jenis luka yang terjadi, jenis kekerasan yang menyebabkan luka, dan
kualifikasi luka.
II.2. Etiologi
1. Luka karena kekerasan mekanik (benda tajam, tumpul, dan senjata api).
2. Luka karena kekerasan fisik (arus listrik, petir, suhu).
3. Luka karena kekerasan kimiawi (asam, basa, logam berat)
II.3. Klasifikasi Jenis Luka Berdasarkan Jenis Benda
1. Jenis luka akibat kekerasan benda tumpul (blunt force injury).
Benda tumpul bila mengenai tubuh dapat menyebabkan luka yaitu luka lecet,
memar dan luka robek atau luka robek atau luka terbuka. Dan bila kekerasan benda
tumpul tersebut sedemikian hebatnya dapat pula menyebabkan patah tulang.
a. Luka lecet (abrasion):
Luka lecet adalah luka yang superficial, kerusakan tubuh terbatas hanya pada
lapisan kulit yang paling luar/kulit ari. Walaupun kerusakan yang ditimbulkan
minimal sekali, luka lecet mempunyai arti penting di dalam Ilmu Kedokteran
Kehakiman, oleh karena dari luka tersebut dapat memberikan banyak hal,
misalnya:
1) Petunjuk kemungkinan adanya kerusakan yang hebat pada alat-alat dalam tubuh,
seperti hancurnya jaringan hati, ginjal, atau limpa, yang dari pemeriksaan luar
hanya tampak adanya luka lecet di daerah yang sesuai dengan alat-alat dalam
tersebut.
2) Petunjuk perihal jenis dan bentuk permukaan dari benda tumpul yang
menyebabkan luka, seperti :
a. Luka lecet tekan pada kasus penjeratan atau penggantungan, akan tampak
sebagai suatu luka lecet yang berwarna merah-coklat, perabaan seperti perkamen,
lebarnya dapat sesuai dengan alat penjerat dan memberikan gambaran/cetakan
yang sesuai dengan bentuk permukaan dari alat penjerat, seperti jalianan tambang
atau jalinan ikat pinggang. Luka lecet tekan dalam kasus penjeratan sering juga
dinamakan “jejas jerat”, khususnya bila alat penjerat masih tetap berada pada leher
korban.
b. Di dalam kasus kecelakaan lalu lintas dimana tubuh korban terlindas oleh ban
kendaraan, maka luka lecet tekan yang terdapat pada tubuh korban seringkali
merupakan cetakan dari ban kendaraan tersebut, khususnya bila ban masih dalam
keadaan yang cukup baik, dimana “kembang” dari ban tersebut masih tampak
jelas, misalnya berbentuk zig-zag yang sejajar. Dengan demikian di dalam kasus
tabrak lari, informasi dari sifat-sifat luka yang terdapat pada tubuh korban sangat
bermanfaat di dalam penyidikan.
c. Dalam kasus penembakan, yaitu bila moncong senjata menempel pada tubuh
korban, akan memberikan gambaran kelainan yang khas yaitu dengan adanya
“jejas laras”, yang tidak lain merupakan luka lecet tekan. Bentuk dari jejas laras
tersebut dapat memberikan informasi perkiraan dari bentuk moncong senjata yang
dipakai untuk menewaskan korban.
d. Di dalam kasus penjeratan dengan tangan (manual strangulation), atau yang
lebih dikenal dengan istilah pencekikan, maka kuku jari pembunuh dapat
menimbulkan luka lecet yang berbentuk garis lengkung atau bulan sabit; dimana
dari arah serta lokasi luka tersebut dapat diperkirakan apakah pencekikan tersebut
dilakukan dengan tangan kanan, tangan kiri atau keduanya. Di dalam penafsiran
perlu hati-hati khususnya bila pada leher korban selain didapatkan luka lecet
seperti tadi dijumpai pula alat penjerat; dalam kasus seperti ini pemeriksaan arah
lengkungan serta ada tidaknya kuku-kuku yang panjang pada jari-jari korban dapat
memberikan kejelasan apakah kasus yang dihadapi itu merupakan kasus bunuh diri
atau kasus pembunuhan, setelah dicekik kemudian digantung.
e. Dalam kasus kecelakaan lalu-lintas dimana tubuh korban bersentuhan dengan
radiator, maka dapat ditemukan luka lecet tekan yang merupakan cetakan dari
bentuk radiator penabrak.
3) Petunjuk dari arah kekerasan, yang dapat diketahui dari tempat dimana kulit ari
yang terkelupas banyak terkumpul pada tepi luka; bila pengumpulan tersebut
terdapat di sebelah kanan maka arah kekerasan yang mengenai tubuh korban
adalah dari arah kiri ke kanan. Di dalam kasus-kasus pembunuhan dimana tubuh
korban diseret maka akan dijumpai pengumpulan kulit ari yang terlepas yang
mendekati ke arah tangan, bila tangan korban dipegang; dan akan mendekati ke
arah kaki bila kaki korban yang dipegang sewaktu korban diseret.
b. Luka memar (contusion)
Luka memar adalah suatu keadaan dimana terjadi pengumpulan darah dalam
jaringan yang terjadi sewaktu orang masih hidup, dikarenakan pecahnya pembuluh
darah kapiler akibat kekerasan benda tumpul. Bila kekerasan benda tumpul yang
mengakibatkan luka memar terjadi pada daerah dimana jaringan longgar, seperti di
daerah mata, leher, atau pada orang yang lanjut usia, maka luka memar yang
tampak seringkali tidaka sebanding dengan kekerasan, dalam arti seringkali lebih
luas; dan adanya jaringan longgar tersebut memungkinkan berpindahnya “memar”
ke daerah yang lebih rendah, berdasarkan gravitasi.
Salah satu bentuk luka memar yang dapat memberikan informasi mengenai bentuk
dari benda tumpul, ialah apa yang dikenal dengan istilah “perdarahan tepi”
(marginal haemorrhages), misalnya bila tubuh korban terlindas ban kendaraan,
dimana pada tempat yang terdapat tekanan justru tidak menunjukkan kelainan,
kendaraan akan menepi sehingga terbentuk perdarahan tepi yang bentuknya sesuai
dengan bentuk celah antara kedua kembang ban yang berdekatan.
Hal yang sama misalnya bila seseorang dipukul dengan rotan atau benda yang
sejenis, maka akan tampak memar yang memanjang dan sejajar yang membatasi
darah yang tidak menunjukkan kelainan; darah antara kedua memar yang sejajar
dapat menggambarkan ukuran lebar dari alat pengukur yang mengenai tubuh
korban.
c. Luka robek, retak, koyak (laceration)
Luka robek atau luka terbuka yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul dapat
terjadi bila kekerasan yang terjadi sedemikian kuatnya hingga melampaui
elastisitas kulit atau otot, dan lebih dimungkinkan bila arah dari kekerasan tumpul
tersebut membentuk sudut dengan permukaan tubuh yang terkena benda tumpul.
Dengan demikian bila luka robek tersebut salah satu tepinya terbuka ke kanan
misalnya, maka kekerasan atau benda tumpul tersebut datang dari arah kiri; jika
membuka ke depan maka kekerasan benda tumpul datang dari arah belakang.
Pelukisan yang cermat dari luka terbuka akibat benda tumpul dengan demikian
dapat sangat membantu penyidik khususnya sewaktu dilakukannya rekonstruksi;
demikian pula sewaktu dokter dijadikan saksi di meja hakim.
Luka robek atau luka terbuka akibat kekerasan benda tumpul dapat dibedakan
dengan luka terbuka akibat kekerasan benda tajam, yaitu dari sifat-sifatnya serta
hubungan dengan jaringan sekitar luka. Luka robek mempunyai tepi yang tidak
teratur, terdapat jembatan-jembatan jaringan yang menghubungkan kedua tepi
luka, akar rambut tampak hancur atau tercabut bila kekerasannya di daerah yang
berambut, di sekitar luka robek ssring tampak adanya luka lecet atau luka memar.
Oleh karena luka pada umumnya mendatangkan rasa nyeri yang hebat dan lambat
mendatangkan kematian, maka jarang dijumpai kasus bunuh diri dengan membuat
luka terbuka dengan benda tumpul.
II.4. Petunjuk Deskripsi Luka dan Lokasi
Dalam mendeskripsikan luka terbuka harus mencakup jumlah, lokasi, bentuk,
ukuran, dan sifat luka. Sedangkan untuk luka tertutup, sifat luka tidak perlu
dicantumkan dalam pendeskripsian luka. Untuk penulisan deskripsi luka jumlah,
lokasi, bentuk, ukuran tidak harus urut tetapi penulisan harus selalu ditulis diakhir
kalimat.
Deskripsi luka meliputi :
1. Jumlah luka.
2. Lokasi luka, meliputi:
a. Lokasi berdasarkan regio anatomiknya.
b. Lokasi berdasarkan garis koordinat atau berdasarkan bagian-bagian tertentu dari
tubuh.
II.5. WAKTU TERJADINYA KEKERASAN
Waktu terjadinya kekerasan merupakan hal yang sangat penting bagi keperluan
penuntutan oleh penuntut umum, pembelaan oleh penasehat hukum terdakwa serta
untuk penentuan keputusan oleh hakim. Dalam banyak kasus informasi tentang
waktu terjadinya kekerasan akan dapat digunakan sebagai bahan analisa guna
mengungkapkan banyak hal, teerutama yang berkaitan dengan alibi seseorang.
Masalahnya ialah, tidak seharusnya seseorsng dituduh atau dihukum jika pada saat
terjadinya tindak pidana ia berada di tempat yang jauh dari tempat kejadian
perkara.
Dengan melakukan pemeriksaan yang teliri akan dapat ditentukan :
Luka terjadi ante mortem atau post mortem
Umur luka
a. Luka ante mortem atau post mortem
Jika pada tubuh jenazah ditemukan luka maka pertanyaannya ialah luka itu terjadi
sebelum atau sesudah mati. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dicari ada
tidaknya tanda-tanda intravital. Jika ditemukan berarti luka terjadi sebelum mati
dan demikian pula sebaliknya.
Tanda intravital itu sendiri pada hakekatnya merupakan tanda yang menunjukkan
bahwa :
1. Jaringan setempat masih hidup ketika terjadi trauma.
Tanda-tanda bahwa jaringan yang terkena trauma masih dalam keadaan hidup
ketika terjadi trauma antara lain :
a. Retraksi jaringan.
Terjadi karena serabut-serabut elastis di bawah kulit terpotong dan kemudian
mengkerut sambil menarik kulit di atasnya. Jika arah luka memotong serabut
secara tegak lurus maka bentuk luka akan menganga, tetapi jika arah luka sejajar
dengan serabut elastis maka bentuk luka tidak begitu menganga.
b. Retraksi vaskuler.
Bentuk retraksi vaskuler tergantung dari jenis trauma, yaitu :
1. Pada trauma suhu panas, bentuk reaksi intravitalnya berupa:
Eritema (kulit berwarna kemerahan)
Vesikel atau bulla
2. Pada trauma benda keras dan tumpul, bentuk intravital berupa :
- Kontusio atau memar.
c. Retraksi mikroorganisme (infeksi)
Jika tubuh dari orang masih hidup mendapat trauma maka pada daerah tersebut
akan terjadi aktivitas biokimiawi berupa :
Kenaikan kadar serotinin (kadar maksimal terjadi 10 menit sesudah trauma).
Kenaikan kadar histamine (kadar maksimal terjadi 20-30 menit sesudah trauma)
Kenaikan kadar enzime yang terjadi beberapa jam sesudah trauma sebagai akibat
dari mekanisme pertahanan jaringan.
2. Organ dalam masih berfungsi saat terjadi trauma
Jika organ dalam (jantung atau paru) masih dalam keadaan berfuungsi ketika
terjadi trauma maka tanda-tandanya antara lain :
a. Perdarahan hebat (profuse bleeding)
Trauma yang terjadi pada orang hidup akan menimbulkan perdarahan yang banyak
sebab jantung masih bekerja terus-menerus memompa darah lewat luka.Berbeda
dengan trauma yang terjadi sesudah mati sebab keluarnya darah secara pasif karena
pengaruh gravitasi sehingga jumlah lukanya tidak banyak.
Perdarahan pada luka intravital dibagi 2, yaitu :
Perdarahan internal :
Mudah dibuktikan karena darah tertampung dirongga badan (rongga perut, rongga
panggul, rongga dada, rongga kepala dan kantong perikardium) sehingga dapat
diukur pada waktu otopsi.
Perdarahan eksternal :
Darah yang tumpah di tempat kejadian, yang hanya dapat disimpulkan jika pada
waktu otopsi ditemukan tanda-tanda anemis (muka dan organ-organ dalam pucat)
disertai tanda-tanda limpa melisut, jantung dan nadi utama tidak berisi darah.
b. Emboli udara.
Terdiri atas emboli udara venosa (pulmoner) dan emboli udara arterial (sistemik).
Emboli udara venosa terjadi jika lumen dari vena yang terpotong tidak mengalami
kolap karena terfiksir dengan baik, seperti misalnya vena jugularis eksterna atau
subclavia. Udara akan masuk ketika tekanan di jantung kanan negatif. Gelembung
udara yang terkumpul di jantung kanan dapat terus menuju ke daerah paru-paru
sehingga dapat mengganggu fungsinya.
Emboli arterial dapat terjadi sebagai kelanjutan dari emboli udara venosa pada
penderita foramen ovale persisten atau sebagai akibat dari tindakan pneumotorak
artifisial atau karena luka-luka yang menembus paru-paru. kematian dapat terjadi
akibat gelembung udara masuk pembuluh darah koroner atau otak.
c. Emboli lemak.
Emboli lemak dapat terjadi pada trauma tumpul yang mengenai jaringan berlemak
atau trauma yang mengakibatkan patah tulang panjang. Akibatnya jaringan
jaringan lemak akan mengalami pencairan dan kemudian masuk kedalam
pembuluh darah vena yang pecah menuju atrium kanan, ventrikel kanan dan dapat
terus menuju daerah paru-paru.
d. Pneumotorak
Jika dinding dada menderita luka tembus atau paru-paru menderita luka, sementara
paru-paru itu sendiri tetap berfungsi maka luka berfungsi sebagai ventil.
Akibatnya, udara luar atau udara paru-paru akan masuk ke rongga pleura setiap
inspirasi.
Semakin lama udara yang masuk ke rongga pleura semakin banyak yang pada
akhirnya akan menghalangi pengembangan paru-paru sehingga pada akhirnya
paru-paru menjadi kolap.
e. Emfisema kulit krepitasi
Jika trauma pada dada mengakibatkan tulang iga patah dan menusuk pau-paru
maka pada setiap ekspirasi udara, paru-paru dapat masuk ke jaringan ikat di bawah
kulit. Pada palpasi akan terasa ada krepitasi disekitar daerah trauma. Keadaan
seperti ini tidak mungkin terjadi jika trauma terjadi sesudah orang meninggal.
b) Umur Luka
Untuk mengetahui kapan kapan terjadi kekerasan, perlu diketahui umur luka.
Tidak ada satupun metode yang digunakan untuk menilai dengan tepat kapan suatu
kekerasan (baik pada korban hidup atau mati) dilakukan mengingat adanya faktor
individual, penyulit (misalnya infeksi, kelainan darah, atau penyakit defisiensi).
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk memperkirakannya, yaitu dengan
melakukan :
1. Pemeriksaan Makroskopik.
Pemeriksaan dengan mata telanjang atas luka dapat memperkirakan berapa umur
luka tersebut. Pada korban hidup, perkiran dihitung dari saat trauma sampai saat
diperiksa dan pada korban mati, mulai dari saat trauma sampai saat kematiannya.
Pada kekerasan dengan benda tumpul, umur luka dapat diperkirakan dengan
mengamati perubahan-perubahan yang terjadi. Mula-mula akan terlihat
pembengkakan akibat ekstravasai dan inflamasi, berwarna merah kebiruan.
Sesudah 4 sampai 5 hari warna tersebut berubah menjadi kuning kehijauan dan
sesudah lebih dari seminggu menjadi kekuningan. Pada luka robek atau terbuka
dapat diperkirakan umurnya dengan mengamati perubahan-perubahannya. Dalam
selang waktu 12 jam sesudah trauma akan terjadi pembengkakan pada tepi luka.
Selanjutnya kondisi luka akan didominasi oleh tanda-tanda inflamasi dan disusul
tanda penyembuhan.
2. Pemeriksaan mikroskopik
Perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopik pada korban mati. Selain berari guna
bagi penentuan intravitalitas luka, juga dapat menentukan umur luka secara lebih
teliti dengan mengamati perubahan-perubahan histologiknya.
Menurut Walcher, Robertson dan hodge, infiltrasi perivaskular dari lekosit
polimorfnuklear dapat dilihat dengan jelas pada kasus dengan periode-periode
survival sekitar 4 jam atau lebih. Dilatasi kapiler dan marginasi sel lekosit mungkin
dapat lebih dini lagi, bahkan beberapa menit sesudah trauma.
Pada trauma dengan iinflamasi aseptik, proses eksudasi akan mencapai puncaknya
dalam waktu 48 jam.
Epitelisasi baru terjadi hati ketiga, sedang sel-sel fibroblas mulai menunjukkan
perubahan reaktif sekitar 15 jam sesudah trauma. Tingkat proliferasi tersebut serta
pembentukan kapiler-kapiler baru sangat variatif, biasanya jaringan granulasi
lengkap dengan vaskularisasinya akan terbentuk sesudah 3 hari. Serabut kolagen
yang baru juga mulai terbentuk 4 atau 5 hari sesudah trauma.
Pada luka-luka kecil, kemungkinan jaringan parut tampak pada akhir minggu
pertama. Biasanya sekitar 12 hari sesudah trauma, aktivitas sel-sel epitel dan
jaringan di bawahnya mengalami regresi. Akibatnya jaringan epitel mengalami
atrofi, vaskularisasi jeringan di bawahnya juga berkurang diganti serabut-serabut
kolagen. Sampai beberapa minggu sesudah penyembuhannya, serabut elastis masih
lebih banyak dari jaringan yang tidak kena trauma.
Perubahan histologik dari luka sangat dipengaruhi oleh ada tidaknya infeksi karena
infeksi akan menghambat proses penyembuhan luka.
3. Pemeriksaan histokemik
Perubahan morfologik dari jaringan hidup yang mendapat trauma adalah akibat
dari fenomena fungsional yang sejalan dengan aktifitas enzim, yaitu protein yang
berfungsi sebagai katalisator reaksi biologik.
Pemeriksaan histokemik ini didasarkan pada reaksi yang dapat dilihat dengan
pemeriksaan mikroskopik dengan menambahkan zat-zat tertentu.
Mula-mula luka atau bagian dari luka dipotong dengan menyertakan jaringan di
sekitarnya, kira-kira setengah inci. Separo dari potongan itu difiksasi dengan
mengunakan formalin 10% di dalam refrigerator dengan suhu 4 derajat celcius
sepanjang malam untuk membuktikan adanya aktifitas esterase dan fosfatase.
Separonya lagi dibekukan dengan isopentane dengan menggunakan es kering guna
mendeteksi adanya adenosine triphosphatase dan aminopeptidase.
Peningkatan aktifitas adenosine triphosphatase dan esterase dapat dilihat lebih dini
setengah jam setelah trauma. Peningkatan aktifitas aminopeptidase dapat dilihat
sesudah 2 jam, sedang peningkatan acid phosphatase alkali phophatase sesudah 4
jam.
4. Pemeriksaan biokemik
Meskipun pemeriksaan histokemik telah banyak menolong, tetapi reaksi trauma
yang ditunjukkan masih memerlukan waktu yang relatif panjang, yaitu beberapa
jam sesudah trauma. Padahal yang sering terjadi, korban mati beberapa saat
sesudah trauma sehingga belum dapat dilihat reaksinya dengan metode tersebut.
Oleh sebab itu perlu dilakukan pemeriksaan biokemik.
Histamin dan serotinin merupakan zat vasoaktif yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya inflamasi akut, terutama pada stadium awal trauma. Penerapannya bagi
kepentingan forensik telah diplubikasikan pertama kali pada tahun 1965 oleh
Vazekas dan Viragos-Kis. Mereka melaporkan adanya kenaikan histamin bebas
pada jejas jerat antemortem pada kasus gantung. Oleh peneliti lain kenaikan
histamin terjadi 20-30 menit sesudah trauma, sedang serotonin naik setelah 10
menit.
II.6. Akibat Trauma
1. Aspek Medik
Berdasarkan prinsip inersia (principle of inertia) dari Galileo Galilei, setiap benda
akan tetap pada bentuk dan ukurannya sampai ada kekuatan luar yang mampu
merubahnya. Selanjutnya Isaac Newton dengan 3 buah hukumnya berhasil
menemukan metode yang dapat dipakai untuk mengukur dan menghitung energi.
Dengan dasar-dasar tadi maka dapat diterangkan bagaimana suatu energi potensial
dalam bentuk kekerasan berubah menjadi energi kinetik yang mampu
menimbulkan luka, yaitu kerusakan jaringan yang dapat disertai atau tidak disertai
oleh diskontinuitas permukaan kulit.
Konsekuensi dari luka yang ditimbulkan oleh trauma dapat berupa :
1. Kelainan fisik / organik.
Bentuk dari kelainan fisik atau organik ini dapat berupa :
- Hilangnya jaringan atau bagian dari tubuh.
- Hilangnya sebagian atau seluruh organ tertentu.
2. Gangguan fungsi dari organ tubuh tertentu.
Bentuk dari gangguan fungsi ini tergantung dari organ atau bagian tubuh yang
terkena trauma. Contoh dari gangguan fungsi antara lain lumpuh, buta, tuli atau
terganggunya fungsi organ-organ dalam.
3. Infeksi.
Seperti diketahui bahwa kulit atau membrana mukosa merupakan barier terhadap
infeksi. Bila kulit atau membrana tersebut rusak maka kuman akan masuk lewat
pintu ini. Bahkan kuman dapat masuk lewat daerah memar atau bahkan iritasi
akibat benda yang terkontaminasi oleh kuman. Jenis kuman dapat berupa
streptococcus, staphylococcus, Eschericia coli, Proteus vulgaris, Clostridium tetani
serta kuman yang menyebabkan gas gangren.
4. Penyakit.
Trauma sering dianggap sebagai precipitating factor terjadinya penyakit jantung
walaupun hubungan kausalnya sulit diterangkan dan masih dalam kontroversi.
5. Kelainan psikik.
Trauma, meskipun tidak menimbulkan kerusakan otak, kemungkinan dapat
menjadi precipitating factor bagi terjadinya kelainan mental yang spektrumnya
amat luas; yaitu dapat berupa compensational neurosis, anxiety neurosis, dementia
praecox primer (schizophrenia), manic depressive atau psikosis. Kepribadian serta
potensi individu untuk terjadinya reaksi mental yang abnormal merupakan faktor
utama timbulnya gangguan mental tersebut; meliputi jenis, derajat serta lamanya
gangguan. Oleh sebab itu pada setiap gangguan mental post-trauma perlu dikaji
elemen-elemen dasarnya yang terdiri atas latar belakang mental dan emosi serta
nilai relatif bagi yang bersangkutan atas jaringan atau organ yang terkena trauma.
Secara umum dapat diterima bahwa hubungan antara kerusakan jaringan tubuh
atau organ dengan psikosis post trauma didasrkan atas :
- Keadaan mental benar-benar sehat sebelum trauma.
- Trauma telah merusak susunan syaraf pusat.
- Trauma, tanpa mempersoalkan lokasinya, mengancam kehidupan seseorang.
- Trauma menimbulkan kerusakan pada bagian yang struktur atau fungsinya dapat
mempengaruhi emosi organ genital, payudara, mata, tangan atau wajah.
- Korban cemas akan lamanya waktu penderitaan.
- Psikosis terjadi dalam tenggang waktu yang masuk akal.
- Korban dihantui oleh kejadian (kejahatan atau kecelakaan) yang menimpanya.
2. Aspek Yuridis
Jika dari sudut medik, luka merupakan kerusakan jaringan (baik disertai atau tidak
disertai diskontinuitas permukaan kulit) akibat trauma maka dari sudut hukum,
luka merupakan kelainan yang dapat disebabkan oleh suatu tindak pidana, baik
yang bersifat intensional (sengaja), recklessness (ceroboh), atau negligence
(kurang hati-hati). Untuk menentukan berat ringannya hukuman perlu ditentukan
lebih dahulu berat ringannya luka.
Kebijakan hukum pidana didalam penentuan berat ringannya luka tersebut
didasarkan atas pengaruhnya terhadap :
- Kesehatan jasmani.
- Kesehatan rohani.
- Kelangsungan hidup janin di dalam kandungan.
- Estetika jasmani
- Pekerjaan jabatan atau pekerjaan mata pencaharian.
- Fungsi alat indera :
1. Luka ringan.
Luka ringan adalah luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencahariannya.
2. Luka sedang.
Luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencahariannya untuk sementara waktu.
3. Luka berat.
Luka yang sebagaimana diuraikan di dalam pasal 90 KUHP, yang terdiri atas:
a. Luka atau penyakit yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna.
Pengertian tidak akan sembuh dengan sempurna lebih ditujukan pada fungsinya.
Contohnya trauma pada satu mata yang menyebabkan kornea robek. Sesudah
dijahit sembuh, tetapi mata tersebut tidak dapat melihat.
b. Luka yang dapat mendatangkan bahaya maut. Dapat mendatangkan bahay maut
pengertiannya memiliki potenis untuk menimbulkan kematian, tetapi sesudah
diobati dapat sembuh.
c. Luka yang menimbulkan rintangan tetap dalam menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencahariannya. Luka yang dari sudut medik tidak membahayakan jiwa,
dari sudut hukum dapat dikategorikan sebagai luka berat. Contohnya trauma pada
tangan kiri pemain biola atau pada wajah seorang peragawati dapat dikategorikan
luka berat jika akibatnya mereka tidak dapat lagi menjalankan pekerjaan tersebut
selamanya.
d. Kehilangan salah satu dari panca indera. Jika trauma menimbulkan kebutaan
satu mata atau kehilangan pendengaran satu telinga, tidak dapat digolongkan
kehilangan indera. Meskipun demikian tetap digolongkan sebagai luka berat
berdasarkan butir (a) di atas.
e. Cacat besar atau kudung.
f. Lumpuh.
g. Gangguan daya pikir lebih dari 4 minggu lamanya. Gangguan daya pikir tidak
ahrus berupa kehilangan kesadaran tetapi dapat juga berupa amnesia, disorientasi,
anxietas, depresi atau gangguan jiwa lainnya.
h. Keguguran atau kematian janin seorang perempuan. Yang dimaksud dengan
keguguran ialah keluarnya janin sebelum masa waktunya, yaitu tidak didahului
oleh proses sebagaimana umumnya terjadi seorang wanita ketika melahirkan.
Sedang, kematian janin mengandung pengertian bahwa janin tidak lagi
menunjukkan tanda-tanda hidup. tidak dipersoalkan bayi keluar atau tidak dari
perut ibunya
III.1 Kesimpulan
Luka pada Ilmu Kedokteran Forensik merupakan salah satu bagian terpenting.
Luka bisa terjadi pada korban hidup maupun korban mati. Luka bisa terjadi akibat
kekerasan mekanik, kekerasan fisik, & kekerasan kimiawi. Luka dapat
diklasifikasikan berdasarkan jenis benda, yaitu akibat kekerasan benda tumpul,
akibat benda tajam, akibat tembakan senjata api, akibat benda yang muda pecah,
akibat suhu/temperatur, akibat trauma listrik, akibat petir, dan akibat zat kimia
korosif.
Selain itu luka bisa diketahui waktu terjadinya kekerasan, apakah luka terjadi
antemortem atau postmortem. Terkadang dari luka kita bisa mengetahui umur luka.
Walaupun belum ada satupun metode yang digunakan untuk menilai dengan tepat
kapan suatu kekerasan dilakukan mengingat adanya berbagai macam faktor yang
mempengaruhinya; seperti faktor infeksi, kelainan darah, atau penyakit defisiensi.
Dari deskripsi luka kita sebagai dokter juga dapat membantu pihak hukum untuk
menentukan kualifikasi luka sesuai dengan KUHP Bab XX pasal 351 dan 352 serta
Bab IX pasal 90. Yang pada tindak pidana untuk menentukan hukuman yang
diberikan kepada pelaku kekerasan dengan melihat deskripsi luka yang kita buat.
Oleh karena itu diharapkan kita sebagai calon dokter yang nantinya sebagai dokter
di masyarakat umum akan banyak menemukan kasus kekerasan yang
menyebabkan luka baik pada korban hidup maupun korban mati, bisa
mendeskripsikan luka sebaik-baiknya dalam Visum et Repertum.
III.2 Saran
1. Sebaiknya seorang dokter atau calon dokter mampu mendiskripsikan luka
sehingga mampu membuat Visum et Repertum yang baik dan benar.
2. Sebaiknya seorang dokter atau calon dokter tidak hanya mempelajari ilmu
kedokteran tetapi juga mengetahui hukum kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Herlambang, Penggalih Mahardika. Mekanisme Biomolekuler Luka Memar
[online]. 2010. Available at:
http://sibermedik.files.wordpress.com/2008/10/biomol-memar_rev.pdf. [cited : 03
Juni 2010].
2. Wales J. Visum et Repertum. [online]. 2010. Available at :
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Visum_Et_Repertum. [cited : 04 Juni 2010].
3. Dahlan, Sofwan. Pembuatan Visum Et Repertum. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang : 2003.
4. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Luka, 2004 Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.2,
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2004.
5. Dahlan, Sofwan. Traumatologi. 2004 Dalam: Ilmu Kedokteran Forensik.. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.Semarang.2004. Hal 67-91.
6. Apuranto, Hariadi. Luka tumpul [online]. 2010 [cited: 09 Juni 2010]. Available
at: www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/.../LUKA%20TUMPUL.pdf (cited :
09 Juni 2010).
7. Apuranto, Hariadi. Luka tajam [online]. 2010. Available at :
www.fk.uwks.ac.id/elib/.../LUKA%20AKIBAT%20BENDA%20TAJAM.pdf
[cited : 09 Juni 2010]
8. Budiyanto, Arif. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 1997. Hal 37-54.
9. Idries, Abdul Mun'im. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa
Aksara: Jakarta 1997. Hal 85-129.
10. Turner Ralph. Forensik science. [online]. 2009. Available at :
http://www.Portalkriminal.Com/Index. [cited : 16 Desember 2009].
11. Anonim. 2010. http://www.freewebs.com/patofisiologi-luka/index.htm [cited :
07 Juni 2010).
12. Anonim. 2010. http://ayumi.inube.com/blog/34039/forensic-electric trauma/
[cited : 07 Juni 2010].