makalah fix sia
DESCRIPTION
SIATRANSCRIPT
SISTEM AKUNTANSI PEMERINTAHAN TERAPAN
Moral Hazard Dan Pengendalian Pada Prosedur Perencanaan Dan
Prosedur Penerimaan
Disusun Oleh:
IKA ARDIANTO 136020300111032 BAYU SAKTI WICAKSONO 136020300111019 ARI SUSANTI 136020300111044
EKA FATHMIN SANGADJI 136020300111037
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, maka pemerintah daerah harus
mempunyai sumber – sumber keuangan yang memadai dan terencana dengan baik
untuk membiayai penyelenggaraan otonominya. Kapasitas keuangan pemerintah daerah
akan menentukan kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi-fungsinya
seperti melaksanakan fungsi pelayanan masyarakat (public service function),
melaksanakan fungsi pembangunan (development function) dan perlindungan
masyarakat (protective function). Tidak hanya sumber – sumber penerimaan yang
cukup, penganggaran juga harus terencana dengan baik. Penganggaran (budgeting)
merupakan aktivitas terus menerus dari mulai perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,
pelaporan dan pemeriksaan. Proses ini dikenal sebagai siklus anggaran (budgeting
cycle).
Penyusunan anggaran di daerah telah diatur dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Proses
penyusunan APBD, seringkali mundur dari jadwal yang telah ditetapkan antara lain
diakibatkan oleh SKPD yang mengajukan perubahan kegiatan yang melebihi anggaran
daerah yang tersedia, ketidaksesuaian antara program dan kegiatan dengan pos anggaran
yang ada, dan lain sebagainya. Tidak hanya dalam proses penyusunan, tetapi sepanjang
siklus anggaran pemerintah daerah, dalam hal ini adalah APBD biasanya sarat dengan
pelanggaran terhadap peraturan yang telah ditetapkan.
Pembahasan mengenai anggaran tidak akan lengkap tanpa menyinggung siklus
pendapatan pemerintah daerah karena anggaran daerah menjadi dasar pelaksanaan
pendapatan dan belanja daerah seperti tercantum dalam fungsi otorisasi pada Pasal 15
ayat (3) yang dijelaskan pada pasal 16 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan fungsi otorisasi adalah anggaran daerah menjadi dasar
untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan dimana
otorisasi sendiri mempunyai makna “pemberian kekuasaan”, maka jika dikaitkan dengan
APBD, seseorang atau satuan kerja diberi kekuasaan untuk melaksanakan setiap anggaran,
pendapatan, belanja dan pembiayaan yang telah dianggarkan dalam APBD. Bagi SKPD yang
menganggarkan pendapatan dan telah ditampung dalam APBD, sudah seharusnya
mengupayakan seoptimal mungkin untuk merealisasikan pendapatan yang menjadi tanggung
jawab SKPD tersebut.
Anggaran dan pendapatan adalah dua siklus dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja
Daerah (APBD) yang menarik untuk dibahas karena dalam dua siklus awal ini akan
banyak dijumpai adanya moral hazard yang lazim terjadi pada beberapa pemerintah
daerah baik tingkat II yaitu Kabupaten dan Kota maupun tingkat I yaitu Propinsi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar atas latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah dalam makalah
ini sebagai berikut :
1. Bagaimana siklus anggaran pemerintah daerah?
2. Bagaimana siklus pendapatan pemerintah daerah?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasar atas penjelasan, latar belakang serta rumusan masalah yang telah
dijelaskan diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui siklus anggaran pemerintah daerah
2. Untuk mengetahui siklus pendapatan pemerintah daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
Kata anggaran merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris “budget” yang
sebenarnya berasal dari bahasa Perancis “bougette”. Kata ini mempunyai arti sebuah tas
kecil. Berdasarkan dari arti kata asalnya, anggaran mencerminkan adanya unsur
keterbatasan karena pada dasarnya anggaran perlu disusun karena keterbatasan sumber
daya yang dimiliki baik dana, sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya.
Kamaroesid (2013) memberikan gambaran mengenai anggaran menurut beberapa ahli
diantaranya adalah :
1. John F Due
“A budget, in the general sense of the term, is a financial plan for specific period of
time. A government budget therefore, is a statement of proposed expenditures and
expected revenues for coming period, together with data of actual expenditure and
revenue for current and past period”
2. J. Burkhead dan J. Minar
Anggaran adalah rencana penerimaan pemerintah untuk satu tahun mendatang dan
harus dihubungkan dengan rencana proyek – proyek untuk jangk waktu yang lebih
lama.
3. M. Soebagio
Anggaran negara adalah suatu rencana yang diperlukan untuk membiayai segala
kegiatannya, begitu pula biaya yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahan
disertai taksiran besarnya penerimaan yang didapat dan digunakan membelanjakan
pengeluaran tersebut.
4. Suparmoko
Anggaran adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan
dan pengeluaran negara yang diharapkan dalam jangka waktu satu tahun.
Sedang berdasar atas Undang – undang Nomor 17 Tahun 2003, anggaran dalam hal ini
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD adalah rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Penyusunan anggaran di daerah telah diatur dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Berikut adalah proses penyusunan perencanaan anggaran daerah (APBD) :
1. Penyusunan Perencanaan Anggaran Pemerintah Daerah atau APBD dimulai dari
penyusunan KUA (Kebijakan Umum APBD) dan dokumen Proiritas dan Plafon
Anggaran Sementara (PPAS). Dimana proses pembuatan KUA dan PPAS diawali
dengan pembuatan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah). RKPD berisi seluruh
rencana anggaran Pemerintah daerah dan capaian yang akan diraih atas sebuah
program dan kegiatan di masing-masing SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah)
yang ada di Pemerintah Daerah.
2. Setelah terbentuk RKPD maka dilanjutkan dengan penyusunan KUA dan PPAS.
Dimana KUA dan PPAS akan dibahas dengan DPRD, apabila pembahasan telah
disepakati maka akan menghasilkan nota kesepakatan KUA dan PPAS.
3. KUA dan PPAS yang telah disepakati antara DPRD dan Pemerintah Daerah maka
akan dijadikan sebagai pedoman penyusunan RKA (Rencana Kerja Anggaran) bagi
SKPD-SKPD yang berada di Pemerintah Daerah.
4. Penyusunan RKA seluruh SKPD yang ada di Pemerintah Daerah, selanjutnya akan di
kompilasikan menjadi Ranperda APBD (Rancangan Peraturan Daerah Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah).
5. Ranperda APBD selanjutnya akan dibahas kembali dengan DPRD, untuk
memperoleh persetujuan bersama.
6. Setelah Ranperda APBD telah disetujui bersama, kemudian Ranperda APBD di
evaluasi oleh Mendagri/gubernur dan diyakini bahwa seluruh yang tercantum
didalamnya tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
7. Proses terakhir dari perencanaan anggaran adalah setelah Ranperda APBD di
evaluasi maka di sahkan dan dibuatlah Perda APBD. Dimana Perda APBD
digunakan sebagai pedoman untuk membuat DPA (Dokumen Pelaksanaan
Anggaran) di SKPD-SKPD yang ada di Pemerintah Daerah.
Gambar 1. Proses Penyusunan APBD
PROSES PENYUSUNAN APBD
Pembahasan Ranperda APBD
Persetujuan Bersama
Ranperda APBD
Evaluasi Gubernur/ Mendagri
Perda APBD Pembatalan Perda APBD
Proses Perencanaan
RKPD
Penyusunan KUA dan
PPAS
Nota Kesepakatan
KUA dan PPAS
Penyusunan KUA&PPAS
Pedoman Penyusunan RKA SKPD
Penyusunan RKA SKPD
RKA -SKPD
Ranperda APBD
Penyusunan Raperda APBD Penetapan Raperda APBD
Sumber : Permendagri No. 13 tahun 2006
Moral Hazard dan Pengendalian yang mungkin terjadi pada saat penyusunan anggaran di SKPD :
Kondisi Moral Hazard Pengendalian
1. Pembuatan RKPD di SKPD tidak disusun dengan baik, dimana tidak adanya data – data pendukung dan tidak dilakukan evaluasi pada RKPD yang diusulkan oleh bidang perencanaan di masing-masing SKPD.
1. Tidak adanya proses evaluasi pada saat penyusunan RKPD ini memungkinkan bahwa sebuah kegiatan dianggarkan lebih dari yang dibutuhkan. sehingga memungkin-kan terjadinya belanja-belanja tertentu di setiap kegiatan contoh: belanja ATK, Belanja Fotocopy, dan model belanja makan minum, belanja perjalanan dinas dan belanja rutin lainnya, yang dapat dengan sengaja menguntungkan bebe-rapa pihak.
2. Tidak adanya evaluasi terhadap kegiatan yang pernah dilakukan sehingga, terdapat kegiatan yang setiap tahunya dimunculkan akan tetapi anggaran-nya tidak dapat terserap dengan baik.
3. Tidak adanya perencanaan belanja yang baik sehingga output, outcome dan impact dari kegiatan tidak tepat sasaran. Hal ini menyebabkan belanja yang dianggar-kan lebih besar
1. Pemerintah harus membuat aturan mengenai dokumen yang harus disusun sebelum pembuatan dokumen anggaran. Maka diwajibkan untuk setiap penyusun anggaran mengumpul-kan data – data pendukung untuk setiap program dan kegiatan yang akan disusun.
2. Membuat kebijakan dimana setiap SKPD diharuskan melakukan proses evaluasi atas usulan-usulan kegiatan dan program yang ada di dalam RKPD. Sehingga Pemerintah Daerah kedepannya lebih memiliki kegiatan dan program yang berdaya guna dan tepat sasaran.
3. Membuat kebijakan mengenai penyusunan anggaran pendpatana harus didasari dengan data-data yang memadai. Dan dibutuhkan evaluasi atas data-data yang di sampaikan.
dibandingkan yang dibutuhkan. biasanya dinaikan pada belanja-belanja rutin yang mana lebih mudah dilakukan pertanggungjawaban-nya.
4. Proses perencanaan belanja modal tidak dapat direncanakan dengan baik. sehingga memungkinkan terjadinya pembelian asset dengan jenis yang sama dan berulang-ulang pada suatu bidang dan atau kegiatan.
5. Pendapatan yang di rencanakan hanya pada menaikan 5% atau 10% dari tahun lalua. Dimana dengan sengaja menaikan target yang lebih kecil dari pada yang seharusnya
2. Belum ada prosedur yang jelas dan timeline yang tepat untuk menyusun harga barang. Harga barang yang digunakan dalam penyusunan tidak up to date atau dokumen harga satuan barang tidak disusun dengan melaku-kan penelitian pasar. sehingga dokumen harga satuan tidak dapat menjadi patokan yang baik untuk dokumen anggaran.
Me-markup harga walaupun tidak terlalu besar untuk menghindari terlalu terlihat mencolok. Sehingga nilai harga barang yang ada pada dokumen anggaran (RKA dan DPA) terlalu besar dibandingkan dengan harga pasar yang ada terutama untuk belanja yang jarang menjadi objek pemeriksaan contohnya seperti belanja ATK atau
1. Membuat kebijakan mengenai penyusunan harga barang pada tahun berjalan harus disiapkan selambat-lambatnya sebelum penyusunan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah).
2. Membuat kebijakan akuntansi pemerintah daerah yang mengatur mengenai kriteria pengeluaran belanja
Kalaupun sudah disusun terkadang didistribusikan ke SKPD setelah RKA-SKPD.
belanja yang nilai nominalnya di bawah Rp300.000
modal (nantinya akan menjadi asset tetap).
3. Tidak ada penetapan bahwa setiap belanja modal harus di tampung pada suatu kegiatan pengadaan
Memungkinkan para penyusun anggaran dengan sengaja menyebarkan belanja modal di setiap kegiatan dengan alasan menghindari proses pelelangan. terutama untuk kegiatan pengadaan barang-barang peralatan kantor (Laptop, Printer, Mesin Fax, dan USP) dan mebeuler kantor(kursi lipat, meja)
Perlunya membuat kebijakan mengenai setiap belanja modal hanya boleh diakomodir oleh satu program atau kegiatan.
4. Tidak adanya pengaturan atau kebijakan mengenai perlakuan belanja pemeliharaan.
Memungkinkan para penyusun anggaran meninggikan anggaran belanja pemeliharaan asset. Sehingga mereka (PPTK, Bendahara) dapat mengambil keuntungan dari belanja ini
Membuat kebijakan akuntansi pemerintah daerah yang mengatur mengenai kriteria pengeluaran belanja pemeliharaan. Dimana belanja pemeliharaan dapat dikapitalisasi menjadi belanja modal atau menambah nilai asset jika memenuhi kriteria yang telah ditetapkan.
SISTEM DAN PROSEDUR PENERIMAAN
Berikutnya adalah sistem dan prosedur penerimaan pemerintah daerah sesuai dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
GAMBARAN UMUM
1. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum
daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun
anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.
2. Pendapatan daerah dikelompokkan atas : pendapatan asli daerah, dana perimbangan
dan lain-lain pendapatan yang sah.
3. Kelompok pendapatan asli daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas:
a. pajak daerah;
b. retribusi daerah;
c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
4. Kelompok pendapatan dana perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang
terdiri atas:
a. dana bagi hasil;
b. dana alokasi umum; dan
c. dana alokasi khusus.
5. Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan
yang mencakup:
a. hibah berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/
organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga
luar negeri yang tidak mengikat;
b. dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan
akibat bencana alam;
c. dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota;
d. dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; dan
e. bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.
6. Sistem dan prosedur terkait dengan penerimaan kas dari pendapatan dalam
Permendagri No.13 Tahun 2006 yang dirubah dalam Permendagri No.21 Tahun 2011
dibagi menjadi :
a. Pelaksanaan Pendapatan Bendahara Penerimaan (C.1.1)
b. Pelaksanaan Pendapatan Bendahara Penerimaan Pembantu (C.1.2)
c. Pelaksanaan Pendapatan Bank Kasda (C.1.3)
d. Pelaksanaan Pendapatan Bank Lain (C.1.4)
Moral Hazard dan Pengendalian yang mungkin terjadi pada saat proses
penerimaan pendapatan pemerintah daerah :
Kondisi Moral Hazard Pengendalian
1. Penetapan target atas pendapatan dalam RKA kurang valid dan unsur politis ikut memberi tekanan kepada SKPD yang memiliki target pendapatan.
1. Pengguna anggaran dalam hal ini Kepala SKPD cenderung menetapkan target untuk pendapatan dalam RKA sesuai dengan estimasi yang dapat dipenuhi (biasanya harus lebih tinggi dari tahun lalu dengan persentase yang minimal).
2. DPRD dalam hal ini berperan kurang kritis dan sekedar memberikan masukan terkait dengan target pendapatan dengan tidak melihat fakta realistis di lapangan.
1. SKPD yang mempunyai target pendapatan harus menyajikan data potensi-potensi pendapatan yang realistis dapat dicapai.
2. Pemerintah mempunyai data base terkait potensi-potensi penerimaan melalui pendapatan yang bisa dievaluasi secara berkala.
3. DPRD dapat melakukan cross check antara target SKPD dengan data base potensi penerimaan dan memberikan masukan yang realistis akan target yang disampaikan SKPD.
2. Potensi – potensi penerimaan pendapatan tidak dapat maksimal direalisasikan oleh SKPD.
SKPD biasanya mempunyai data manual tentang potensi-potensi penerimaan pendapatan tetapi tidak digunakan secara maksimal dan cenderung hanya untuk memenuhi target dan selebihnya kas dari
Membuat sistem yang terintegrasi dari potensi penerimaan pendapatan untuk mengurangi pekerjaan manual serta menutup moral hazard yang merugikan negara.
penerimaan pendapatan dipakai untuk menutupi target tahun depan atau dipakai secara institusi atau pribadi.
3. Potensi-potensi penerimaan pendapatan yang hilang disebabkan karena kondisi lapangan yang tidak kondusif.
1. Untuk pendapatan retribusi biasanya potensi penerimaan pendapatan retribusi tidak dapat direalisasikan karena WP tidak merasakan dari layanan yang diberikan pemerintah, selanjutnya WP melakukan komplain tetapi tidak ada tindakan pemerintah atas pelayanan yang diberikan. Contoh : WP ditagih retribusi kebersihan tetapi WP tidak mau membayar retribusi kebersihan karena merasa tidak ada layanan yang dirasakan langsung atas pengenaan retribusi kebersihan tersebut.
2. Untuk pendapatan pajak daerah, pemerintah terkendala atau sengaja tidak memberikan SKP yang maksimal kepada WP karena tidak tahu atau WP menyembunyikan
1. Pemerintah melakukan evaluasi dan memberikan aksi nyata atas komplain WP sehingga potensi-potensi penerimaan pendapatan yang hilang karena kondisi lapangan yang tidak kondusif menjadi berkurang.
2. Pemerintah harus melakukan pemeriksaan secara berkala terhadap WP untuk memperoleh informasi yang akurat. Contoh : Dilakukan pemeriksaan atas pajak restoran dengan melakukan pengawasan di depan kasir dalam jangka waktu tertentu untuk mengestimasi pendapatan WP.
3. Pemerintah membuat PERDA yang memuat sangsi tegas atas WP yang tidak bersedia membayar pajak. Contoh: pemerintah dapat mencabut SIUP, TDP dan ijin lainnya karena WP tidak membayar pajak.
informasi kepada pemerintah. Contoh : Pemerintah tidak tahu omzet dari hotel atau restoran sehingga cenderung memberikan SKP lebih rendah atau WP sengaja menyembunyikan informasi terkait omzet yang dikenakan pajak daerah.
4. Minimnya insentif atas target penerimaan pendapatan yang dapat direalisasikan.
1. Petugas pungut pajak di lapangan cenderung tidak semangat dalam bekerja karena reward yang diberikan tidak sebanding.
2. Adanya indikasi untuk melakukan penyelewengan melalui kerjasama dengan WP bahkan tidak menyetorkan uang ke kas daerah.
1. Pemerintah memberikan insentif yang menarik atas target penerimaan pendapatan yang dapat direalisasikan untuk memotivasi pegawai agar bekerja dengan baik.
BAB III
KESIMPULAN
Proses penyusunan perencanaan anggaran daerah (APBD) maupun proses
penerimaan pendapatan pemerintah daerah, meskipun telah sesuai dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah, masih bisa ditemui celah bagi para oknum untuk melakukan moral hazard.
Sehingga, selain perlunya tambahan kebijakan dan regulasi dalam pemerintah daerah itu
sendiri, komitmen para pejabat publik untuk melaksanakan proses perencanaan dan
penerimaan dengan baik perlu untuk diperkuat untuk mengurangi praktek moral hazard
yang merugikan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Kamaroesid. Herry. 2013. Sistem Administrasi Anggaran Negara (Sistem Administrasi APBN Mulai TA. 2013). Jakarta : Mitra Wacana Media.