makalah ekopol
DESCRIPTION
Makalah kampusTRANSCRIPT
Makalah Ekonomi Politik Internasional
ANALISIS PEMIKIRAN LIBERALISME DALAM PERKEMBANGAN GLOBALISASI EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL
DI SUSUN OLEH :
NADIA UTARI 1210103010101
MIFTAHUL JANNAH 1210103010052
RAHMAD RAMADHAN OETOMO 1210103010077
RISKY ZAUFAN 1210103010118
ADILLA GHAFARA 1210103010139
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS SYIAH KUALADARUSSALAM BANDA ACEH
PEMIKIRAN LIBERALISASI
Adanya liberalisasi merupakan arus pemikiran umum yang muncul sebagai respon
perkembangan dunia yang sangat dinamis, progresif dan berkarakter multidimensi.1
Liberalisasi bukanlah isu faktual, namun selalu menjadi editorial dunia beberapa dekade
terakhir. Amartya Sen, peraih nobel ekonomi tahun 1998, seringkali mengatakan di berbagai
kesempatan2 bahwa liberalisasi sejatinya merupakan pemikiran yang tak lagi segar, namun
juga takkan pernah mati.
Terlepas dari suatu kebutuhan atau keinginan, liberalisasi merupakan proses yang
sulit dihindari. Hampir tak ada satu negara pun yang mampu berlari dekapan liberalisasi,
hanya mungkin derajat penerapannya bergantung pada kebutuhan, kemampuan, kemauan dan
kesiapan suatu negara itu sendiri. Berpijak pada hikaya manusia sebagai zoon politicon alias
makhluk sosial, sudah barang tentu menuntut kita untuk selalu berinteraksi dengan dunia luar
(kecuali Tarzan dan Robinson Crusoe). Irama interaksi ini pun harus selaras mengikuti arus
perkembangan dunia itu sendiri. Barangkali tepat jika beberapa pihak mengasumsikan
liberalisasi sebagai proses alamiah yang memang seharusnya terjadi. Dengan kata lain,
liberalisasi merupakan sebuah takdir sejarah kehidupan manusia kini.
1. Karakter multidimensi ini merujuk pada sebuah teori yang dikemukakan oleh Talcott Parson. Proses perkembangan liberalisasi
dalam fase awal akan mempengaruhi orientasi ekonomi dan struktur politik hingga menjalar pada struktur sosial. Pada fase
terakhir, kondisi ini akan merombak tatanan budaya suatu komunitas tertentu.
2. Salah satunya dapat dilihat pada Suara Kaum Jelata dari Tahan Damai. Majalah Tempo. 9 Desember 2001, h.76-78.
Ditinjau dari pendekatan historis, liberalisasi berakar dari gagasan sebuah paham pada
abad XIX yang belakangan dikenal sebagai liberalisme. Paham yang dipelopori oleh Adam
Smith ini menegaskan filsafat individualistik dalam pemikiran ekonomi. Menurutnya, teori
pembagian kerja atau spesialisasi dianggap sebagai kunci pertumbuhan ekonomi yang terus-
menerus. Pemikiran yang demikian menghendaki adanya dukungan solid dari pasaran barang
produksi dengan manifestasinya perluasan wilayah sebagai dalih untuk memperluas pasar,
bahkan dengan bantuan pemerintah sekalipun.3
Teori yang menjadi embrio kapitalisme ini lalu mendapat sokongan kuat dari
ekonom-ekonom mazhab klasih dan neo-klasik lainnya seperti David Ricardo, David Hume,
Thomas R. Malthus, Jean Baptis Say, Herman Heinrich Gossen, Alfred Marshall, Irving
Fisher, Vilfredo Pareto hingga Milton Friedman. Dalam perkembangan selanjutnya, teori ini
memicu perdebatan sengit dan tiada berujung dengan ekonom dunia lainnya, utamanya
mereka yang berhaluan sosialis dan keynesian.
Dalam perspektif hukum, sistem hukum yang dianut dalam sistem liberalisme
bertendensi memberikan ruang perlindungan yang luas bagi kemerdekaan individu dengan
menegakkan prinsip kebebasan (principle of freedom), prinsip persamaan hak (principle of
legal equality) serta prinsip timbal balik (principle of reciprocity).4 Sejalan dengan fungsinya
sebagai social engineering, materi muatannya pun diterjemahkan untuk mengayomi
paradigma liberalisme tersebut. Bahkan, keadilan menjadi sesuatu yang bersifat sub-ordinat
dari kemerdekaan individu.
3. Adam Smith dalam Mahmul Siregar.2005. Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal. Medan : Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera, h.43.
4. Sukarm.2005. Implikasi Ketentuan Anti dumping dan Subsidi bagi Indonesia. Makalh Dumping dan Subsidi. Malang, h.2
Coba lihat juga Soetiksno.1981.Filsafat Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita, h.79-82.
Dalam perspektif perdagangan, liberalisasi merupakan proses pengurangan hingga
pada akhirnya penghapusan semuan hambatan tarif dan nontarif,5 secara terstruktur,
sistematis dan berskala masif antarnegara, pada pelaksanaan transaksi perdagangan,
khususnya terkait arus pergerakan barang dan jasa. Pada rumusan yang lebih sederhana,
setiap individu memiliki kebebasan untuk bertansaksi dengan siapa saja, ke mana saja dan
kapan saja tanpa suatu hambatan atau batas-batas tertentu.
Jika ditinjau dari pendekatan ke dalam (inward looking), liberalisasi perdagangan
menekankan pada platform kebebasan individu atau peran rakyat secara aktif dengan peran
negara yang negatif6 dalam transaksi perdagangan. Meminjam istilah yang dikemukakan
George Jellinek. Sementara secara pendekatan ke luar (outward looking), liberalisasi
memungkinkan adanya pola hubungan atau interaksi dengan seluruh negara, tanpa adanya
suatu pembatasan tertentu dalam produksi, distribusi hingga pemasaran suatu produk barang
dan jasa.
Di era modern, liberalisasi seakan-akan mendapatkan tandemnya yang serasi dengan
fenomena yang sesungguhnya lebih dulu eksis atau dikenal sebagai globalisasi. Liberalisasi
merupkan conditio sine quo non dari sebuah fenomena globalisasi dengan prasyarat utama
akses informasi tak terbatas. Jalinan kooperatif antar keduanya bahkan dianggap sebagai
variabel penetu dalam memproyeksikan, mempromosikan dan merealisasikan kemakmuran
dunia yang menjadi impian umat manusia. Tak ayal, keduanya pun kini telah menjadi isu
utam dunia.
5. Hambatan tarif biasanya berbentuk pajak tinggi yang dipunggut atas suatu barang yang diimpor, sementara hambatan non tarif
dapat berupa pungutan bea masuk, penetapan kuota, subsidi dan hambatan-hambatan yang bersifat administratif.
6. A. Mukhtie Fadjar.2005. Tipe Negara Huku,. Malang : Bayumedia, h.2.
Beberapa pengamat menyetujui pandangan ini, semisal Samuel Hutington yang
menyatakan tiga fenomena penting di dunia saat ini meliputi : globalisasi , multicivilisasi dan
transisi menuju masyarakat demokratis.7 Alvin Toffler lalu menyebutkan periode globalisasi
dan liberalisasi yang meliputi : orde pertanian, orde industri dan orde informasi. Selanjutnya,
Francis Fukuyama dalam bukunya The Great Disruption, menjelaskan bahwa sekitar
pertengahan tahun 1960 sampai 1990-an telah terjadi perubahan dari era industri menuju era
reformasi atau post industry.8 Oerubahan yang semakin meneguhkan peran dominan
globalisasi dan liberalisasi dalam konstelasi dunia saat ini.
Bertolak pada hakekat dasar globalisasi, Wallerstein, salah seorang pemikir abad
globalisasi menyatakan sesesungguhnya sejak abad XV globalisasi telah dimulai.9 Globalisasi
dalam konteks ini merupakan karakteristik hubungan antara penduduk bumi yang melampaui
batas-batas konvensial, seperti bangsa dan negara. Dalam konstruksi relasi semacam ini,
dunia telah dimampatkan (compressed) serta terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia
sebagai satu kesatuan utuh.10
Robertson lalu mengatakan “Globalization as a concept refers both to the compression
of the world and the intensification of consciosness of the world as a whole”. 11 Dengan kata
lain, globalisasi telah mengembangkan kesadaran bahwa dunia adalah kesatuan yang utuh
dan tidak lagi dilihat sebagi blok-blok yang terpisah satu dengan yang lain. Thomas Friedman
mempersepsikan fenomena ini sebagai dunia yang rata (the world of flat).
7. Samuel Hutington dalam Syahrir.2004. Transisi Menuju Indonesia Baru. Jakarta : Yayasan Indonesia Baru, h.42.
8. Francis Fukuyama dalam Muladi.1997. Menjami Kepastian, Ketertiban, Penegakan dan Perlindungan Hukum dalam Globalisasi (makalah).
Bandung, h.1
9. Dapat pula dilihat pada hubungan orang-orang kerjaan Mesir kuno dengan Eropa, India kuno dengan Cina, hingga Cina dengan Indonesia pada
zaman kerajaan Majapahit.
10. Wallerstein dalam Khudzaifah Dimyanti.2004. Teorisasi Huku,. Surakrta :UM-Press, h.10.
11. Roland Roberston.1992. Globalization, Social Theory and Global Culture . London : SAGE Publication, h.8.
Lihat juga dalam George C. Lodge.1995. Managing Globalization in the Age Interdependence, San Diego : Pfeifer & Comapny, h.18.
Menyangkut pranata hukum, Erman Rajahukguk menjelaskan relasi antara
globalisasi, liberalisasi ekonomi dan harmonisasi hukum. Pada era globalisasi, kompetisi dan
perdagangan bebas akan kerapkali terjadi. Proses yang lazim disebtu sebagai liberalisasi ini
lalu diiringi oleh globalisasi hukum. Artinya, apabila ekonomi menjadi terintegrasi, maka
harmonisasi hukum akan mengikutinya.12
Dalam perspektif perdagangan, globalisasi mensyaratkan transparasi tanpa adanya
batas-batas klasik (borderless) dan tanpa dinding penyekat (barriers) dalam setiap transaksi
dagang khususnya terkait produksi, distribusi dan pemasaran barang dan jasa. Alan
Greenspan, mantan ketua Federal Reserve Board menyebutkan lebih efisien.13 Argumentasi
ini mengukuhkan argumentasi Paul Samuelson, tokoh ekonomi yang melahirkan buku
ekonomi terlaris di dunia “Economics”. Beliau menyatakan segala sesuatu yang efisien
adalah baik dan yang tidak efisien adalah buruk.14 Tidak salah jika pada akhirnya negara-
negara menganggap globalisasi sebagai jalan bebas hambatan untuk mengoptimalkan
kapasitas perekonomiannya.
12.Erman Rajagukguk.1999. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi. Jurnal Hukum FH-UII No.11, h.112-
115.
13.John Naisbiit & Patricia Aburdene.1990. Megatrends 2000 alih abhasa oleh FX Budijanto. Jakarta : Binarupa Aksara, h.16.
14.Paul Samuelson dalam Mubyarto. 1 April 2003. Teori Investasi & Pertumbuhan Ekonomi dalam Ekonomi Pancasila.
http://www.ekonomirakyatan.ugm.ac.id/Myweb/sembul03_2htm diakses pada 21 juni 2008 pukul 22.36 Wita.
Hinggar bingar globalisasi dan liberalisasi telah menciptakan dunia dalam satu
kesatuan global dengan menghadirkan potret pasar bebas sebagai manifestasi kemerdekaan
individu. Akhirnya,peran negara pun terduksi dan mengakibatkan setiap negara mau tidak
mau harus survive menghadapi perubahan akibat keberadaan realitas kontemporer tersebut.
Sebab hanya negara yang kuatlah yang kelak akan bertahan dan berjaya (the survival of the
fittest).
Berpijak pada ada yang dikatakn ekonom Mubyarto, bahwa tidak ada negara yang
dapat memilih untuk tidak ikut serta dalam globalisasi dan sistem perdagangan bebas, karena
ikut atau tidak ikut, sama-sama tidak bebas dari resiko ekonomi.15 Karena itu, sebagai
individu-individu yang merupakan subsistem terpenting dari bangunan sumber daya manusia
suatu negara, kita harus senantiasa mengedepankan pemikiran global sebagai dasar pijakan
dalam berkata dan bertindak, dengan tetap berjalan dalam koridor kepentingan nasional.
Meminjam sebuah pepatah kontemporer, bahwa globalisasi dan liberalisasi kita dituntut
untuk think globally, act locally.
15. Mubyarto dalam Mohammad Noor Syam.1998. Penjabaran Filsafat Pancasila dalam filsafat hukum. Malang:Laboratium IKIP Malang, h.53.
PERKEMBANGAN PERSPEKTIF DALAM EKONOMI POLITIK
INTERNASIONAL
Ekonomi politik internasional telah menjadi kajian dalam hubungan internasional
sejak 1970-an. Dimana terdapat beberapa faktor yang membuat pendekatan hibrida ini
kembali digunakan, baik secara akademik maupun secara historis. Secara akademik kajian
ekonomi politik internasional menjadi penting ketika terdapat fenomena kemerosotan nilai
tukar barang ekspor negara kurang berkembang. Selain itu adanya kritik terhadap
konseptualisasi mengenai dinamika comparative cost atau comparative advantage,
munculnya teori ketergantungan (dependency theory), berkembangnya ilmu ekonomi
pembangunan serta munculnya studi regional dan interdepedensi semakin memperkuat alasan
munculnya studi tentang ekonomi politik internasional ini. Adapun secara historis terdapat
beberapa faktor yang membuat kajian ini kembali digunakan yang meliputi kemunculan dan
pengakuan atas peran negara-negara yang sedang berkembang, bertuh pesatnya MNC, adanya
krisis minyak bagi negara industri maju, serta fenomena inflasi di negara industri maju.
Selanjutnya kajian ekonomi politik internasional ini berkembang menjadi empat
perspektif – yang bisa juga disebut sebagai perspektif dasar. Yang mana perspektif-perspektif
tersebut mengalami perkembangan yang tergambarkan dengan terdapatnya dinamika kritik
masing-masing perspektif. Dinamika saling kritik ini kemudian melahirkan perspektif baru
yang memperbaharui perspektif sebelumnya. Perspektif dalam kajian ekonomi politik
internasional ini teruraikan menjadi empat pandangan yaitu merkantilis, liberalis, radikal, dan
reformis.
Perspektif Merkantilis
Perspektif merkantilis atau yang juga dikenal sebagai nasionalisme – ekonomi ini
mempunyai akar sejarah yang panjang diantara keempat perspektif yang terdapat dalam
kajian ini. Dapat juga disebutkan bahwa perspektif ini merupakan awal munculnya
perspektif-perspektif lain dalam studi ekonomi politik internasional. Sebagai teori dan
praktek ekonomi, merkantilisme sangat populer bagi pemerintah yang sedang melakukan
pembinaan kekuatan negara (state building). Karena upaya seperti itu memerlukan
pengintegrasian politik dan ekonomi, maka negara menjadi aktor utama yang secara aktif dan
rasional mengatur ekonomi demi meningkatkan perekonomian negara. Dalam perspektif ini
negara-bangsa yang secara rasional memaksimalkan kekuasaan dipandang sebagai aktor
utama dalam unit analisis. Negara dalam pandangan merkantilis harus berperan secara
primer, yaitu dengan memperjuangkan kepentingan nasional (kekuasaan politik, GNP,
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial). Selain itu tujan utama kegiatan ekonomi politik
internasional ini adalah untuk memaksimalisasi kepentingan nasional.
Perspektif ini juga menegaskan bahwa kebijakan ekonomi harus selalu tunduk kepada
kepentingan politik dan juga kekuasaan. Karena itu perubahan ekonomi politik hanya
mungkin terjadi kalau terjadi perubahan dalam distribusi atau perimbangan kekuatan. Artinya
kalau ingin merubah sistem ekonomi internasional yang tidak mendukung kepentingannya,
suatu negara harus bisa mengubah distribusi kekuatan politik internasional. Adapun jika suatu
negara dalam kondisi lemah dan tidak mampu mempengaruhi sistem internasional, kaum
merkantilis menganjurkan agar pemerintah negara itu melakukan intervensi pasar demi
melindungi perekonomian domestiknya dari dominasi asing.
Pandangan kaum merkantilis yang demikian memunculkan berbagai kritikan. Kritik
pertama yang diajukan pada pandangan merkantilis ini ialah bahwa perspektif ini terlalu
berlebihan dalam menekankan kepentingan nasional sehingga merugikan kepentingan global.
Dan praktek hubungan internasional yang didasarkan pada gagasan merkantilis ini telah
banyak menimbulkan konflik ekonomi, yang seringkali mendorong timbulnya konflik politik
dan militer. Para pengkritik pandangan ini juga melontarkan tuduhan bahwa kaum
merkantilis telah mengabaikan kenyataan mengenai terdapatnya bidang-bidang dalam
hubungan internasional yang memungkinkan negara-negara untuk dapat bekerjasama. Selain
itu para pengkritik, terutama kaum liberal, juga menunjukkan bahwa penekanan yang
berlebihan pada pencapaian kepentingan nasional sangat mengganggu efisiensi ekonomi
global. Efisiensi hanya akan bisa dijamin kalau setiap ekonomi nasional memproduksi,
mengekspor, dan mengimpor barang berdasar perhitungan yang cermat mengenai sumber
daya dan kemampuannya untuk memproduksi barang secara efisien. Terdapatnya kritik-kritik
terhadap perspektif merkantilis ini kemudian melahirkan perspektif liberal, yangpelopori oleh
tokoh-tokoh awal kaum liberal sepeti Adam Smith dan David Ricardo.
Perspektif Liberal
Perspektif ini pada awalnya muncul sebagai alternatif yang diajukan oleh para
pengkritik merkantilisme. Dipelopori oleh Adam Smith dan David Ricardo, keduanya
menentang adanya pengendalian ekonomi domestik dan internasional yang berlebihan.
Perspektif liberal mengajukan argumen bahwa cara paling efektif untuk meningkatkan
kekeayaan nasional adalah dengan membiarkan terjadinya pertukaran antar individu dalam
ekonomi domestik dan internasional berjalan secara bebas dan tidak perlu dibatasi. Dengan
kata lain kedua tokoh tersebut menganjurkan diadakannya pasar bebas. Selanjutnya kaum
liberal berasumsi bahwa individu (yang meliputi konsumen, perusahaan, atau wiraswasta
industrial) adalah aktor utama dan mereka mmiliki perilaku rasional dan selalu berusaha
memaksimalkan perolehan. Kaum liberal juga yakin bahwa sebenarnya tidak ada alasan
untuk timbulnya konflik dalam hubungan ekonomi politik.
Adapun mengenai peranan negara dalam perspektif ini ialah sangat terbatas. Peranan
pemerintah menurut kaum liberal seharusnya diarahkan untuk menyediakan fondasi bagi
bekerjanya mekanisme pasar, seperti menjamin keamanan, kepastian hukum, melindungi hak
milik, mencegah persaingan yang tidak sehat, menyelenggarakan pendidikan, dan
membangun infrakstruktur pendukung. Selain itu kaum liberal juga percaya bahwa
pemerintah-pemerintah yang terlibat seharusnya dalam pasar seharusnya mengelola ekonomi
internasional seperti halnya kalau mereka mengelola ekonomi domestik. Dengan demikian,
menurut perspektif liberal, ekonomi dan politik merupakan bidang yang terpisah. Peran
pemerintah terbatas pada pengelolaan pasar untuk menjamin bahwa semua perdagangan yang
secara potensial menguntungkan bisa terlaksana.
Dalam praktek hubungan ekonomi-politik internsional, gagasan liberal juga banyak
mendapatkan kritik. Pertama, praktek transaksi ekonomi yang didasarkan pada gagasan
liberal ternyata hanya menguntungkan yang lebih efisien, yaitu “si kuat” dan merugikan “si
lemah” yang tidak efisien. Selain itu dalam arena internasional liberalisme juga mengingkari
fakta bahwa tidak semua bangsa memiliki kemampuan yang sama untuk berkompetisi, karena
adanya perbedaan dalam struktur faktor produksi mereka. Banyaknya kritikan terhadap
perspektif ini kemudian melahirkan perspektif baru yang kemudia disebut sebagai perspektif
radikalisme.
Perspektif Radikal
Perspektif ini berkembang dari pemikiran para pengkritik liberalisme. Seperti halnya
liberalisme yang muncul sebagai reaksi terhadap merkantilisme, perspektif radikal
berkembang sebagai reaksi terhadap meluasnya liberalisme di abad 19. Basis pokok
perspektif ini adalah Marxisme. Jika kaum liberal memandang pasar bisa memungkinkan
individu untuk memaksimalkan perolehan, maka kaum Marxis melihat bahwa kapitalisme
dan pasar telah menciptakan perbedaan yang ekstrim, yaitu kekayaan untuk kapitalis dan
kemiskinan untuk kaum buruh. Perspektif ini juga menolak pendapat bahwa pertukaran yang
terjadi antar individu pasti memaksimalkan kemakmuran seluruh masyarakat. Karena itu
Marxis memandang kapitalisme sebagai sistem yang dalam dirinya mengandung bibit konflik
dan yang harus dan akhirnya pasti akan dihancurkan dan diganti oleh sosialisme. Selanjutnya
kaum radikal membuat beberapa asumsi berikut. Pertama, bahwa kelas sosial adalah aktor
dominan dalam ekonomi politik dan merupakan unit analisis pokok. Kedua, bahwa kelas-
kelas itu bertindak berdasar kepentingan materiil mereka. Ketiga, bahwa basis dari ekonomi
kapitalis adalah eksploitasi kelas buruh oleh kelas kapitalis. Asumsi ketiga ini menyebabkan
kaum radikal berkesimpulan bahwa ekonomi politik pasti bersifat konfliktual, karen
hubungan antara kapitalis dengan buruh itu pada dasarnya antagonistik.
Seperti halnya perspektif-perspektif sebelumnya, perspektif radikal ini juga tidak
terhindar dari adanya kelemahan. Pertama, pemikiran radiakl terlalu menekankan kelas
sebagai variabel penyebab kegiatan ekonomi. Kedua, argumen radikal seringkali juga
nampak tidak realistis. Hal tersebut terlihat dari anjuran kaum radikal agar negara sedang
berkembang menarik diri dari dunia internasional. Para pengkritik pemikiran radikal ini
mengajukan argumen bahwa masih banyak jalan bagi negara sedang berkembang untuk
memanfaatkan ekonomi internasional bagi keperluan pembangunannya, tanpa harus
berpegang pada liberalisme. Dan dari kalangan pengkritik ini muncullah satu perspektif baru
yang bisa disebut reformis.
Perspektif Reformis
Pada dasarnya para pendukung perspektif yang juga dikenal sebagai konsepsi Tata
Ekonomi Internasional Baru (TEIB) ini muncul sebagai kritik terhadap ketiga konsepsi yang
telah dibahas diatas. Kaum reformis ini memang melihat beberapa kebenaran dalam argumen
kaum liberal ketika yang terakhir ini menentang nasionalis sempit kaum merkantilis. Namun
mereka tidak setuju dengan penekanan berlebihan terhadap pertimbangan nilai efisiensi
sehingga merugikan aktor yang lebih lemah. Kaum reformis juga setuju dengan kaum radikal
yang menunjukkan bahaya liberalisme bagi “si lemah”, namun mereka tidak setuju dengan
ususl kaum radikal agar negara berkembang melakukan perubahan revolusioner menentang
sistem kapitalis. Juga, walaupun mereka setuju dengan gagasan merkantilis mengenai peran
aktif negara dalam urursan ekonomi internasional, mereka lebih bersikap internasionalis
daripada nasionalis. Mereka lebih percaya pada upaya reformasi daripada perubahan radikal
revolusioner. Jadi, menurut kaum radikalis yang terpenting bukannya meninggalkan arena
internasional dan menutup diri, tetapi berusaha menciptakan suatu tatanan baru untuk
mengatur hubungan ekonomi sehingga negara-negara sedang berkembang bisa memeperoleh
hasil yang adil dari perdagangan lur negeri.
Para pendukung konsepsi reformis ini yakin bahwa hanya gagasan TEIB itulah yang
bisa menghasilkan hubungan internasional yang lebih damai dan menjamin lebih banyak
keuntungan pada setipa negara yang terlibat. Akan tetapi semenjak keberhasilannya
mendorong restrukturisasi ekonomi internasional pada 1970-an, nampak bahwa perspektif ini
juga tidak bebas dari kelemahan-kelemahan, terutama yang menyangkut implikasi reformasi
yang diusulkan itu. Misalnya apakah pemerintah dan para pemimpin negara berkembang
mampu memepersatukan diri melawan negara industri maju di meja konferensi, kemudian
apakah negara berkembang tersebut mempunyai cukup kekuatan atau senjata untuk
melakukan bargaining dengan negara-negara industri maju. Selanjutnya apakah negara-
negara kaya mau begitu saja dipaksa menyerahkan sebagian kekayaannya kepada negara
miskin, dan juga pertanyaan-pertanyaan lainnya yang kerap diajukan oleh para pengkritik
gagasan TEIB.
Demikianlah keempat perspektif yang sangat berpengaruh dalam perdebatan dan juga
perkembangan kajian ekonomi politik internasional. Seperti yang tertulis sebelumnya bahwa
perspektif-perspektif tersebut mengalami perkembangan yang tergambarkan dengan
terdapatnya dinamika kritik masing-masing perspektif. Dinamika saling kritik ini kemudian
melahirkan perspektif baru yang memperbaharui perspektif sebelumnya. Dengan demikian
telah jelas bahwa perkembangan perspektif dalam kajian ekonomi politik internasional ini
tidak dapat dilepaskan dari adanya perdebatan dan kritik masing-masing perspektif. Dan tidak
menutup kemungkinan akan muncul perspektif-perspektif baru kedepannya jika persoalan-
persoalan yang terdapat pada perspektif sebelumnya (reformis) mampu terjawab dan
terjelaskan dengan terdapatnya relevansi antara perspektif baru tersebut dengan fenomena
yang ada.
Ada tiga alasan yang kita ajukan mengapa peran Negara dalam pembangunan menjadi
menarik untk dibahas di era globalisasi sekarang ini.
Pertama, globalisasi,dalam praktiknya tidak serta-merta membawa kemakmuran
sebagaimana keyakinan kaum neoliberal. sebaiknya, globalisas juga membawa akibat-
akibat dalam bentuk semakin besarnya jumlah penggangguran, meluasnya
kemiskinan, ketimpangan sosial dan ekonomi, dan krisis ekonomi. jika akibat-akibat
merusak ini tidak dicari alternatif pemecahannya, dan kelompok-kelompok yang
kalah dalam kompetisi global ini tidak memperoleh jaminan sosial, maka akan
menjadi penghalang bagi erlangsungnya proses globalisasi itu sendiri.1
Kedua, dalam realitasnya, globalisasi tidak memajinalkan peran negra sebagaimana
keyakinan para pendukung neoliberal atau menrut sudut pandang kaum hiperglobalis.
Namun sebaliknya, berlakunya globalisasi dan leberalisasi ekonomi hanya mungkin
dapat dilakukan jika Negara melakukan intervensi terhadap system tersebut.
Penghapsan berbagai hambatan tariff melalui form GATT dan WTO, pada
kenyataannya, membutuhkan peran aktif Negara. Dengan demikian, berkebalikan
dengan keyakinan para pendukung neoriberal yang menyatakan bahwa globalisasi
memarjinalkan peran Negara dalam pembangunan dan, karenanya, pembahasan
mengenai Negara-negara menjadi using.2
Ketiga, berangkat dari pandangan kedua, dengan demikian, peran Negara-bangsa
tetap dibutuhkan pembahasan mengenai tetap relevan. Bagaimanapun batas
teritorialnya. Untuk itu, intervensi Negara diperlukan dalam rangka menjamin
berlaknya pasar yang sempurna dan berjalan secara efektif dan efesien meskipun hal
tersebut barangkali tidak selalu berhasil.
1. Robert Gilpin and Jean Millis Gilpin,2002. Tantangan Kapitalisme Global, Jakarta: Murai Kencana.
2. Kenichi Ohmae 1995. “The End Nation State,” The 1995 Panglaykim Memorial Lecture, Jakarta: 4 Oktober.
ANALISIS PEMIKIRAN LIBERALISME DALAM PERKEMBANGAN
GLOBALISASI EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL
Liberalisme menurut Watson sangat identik dengan pemikiran Adam Smith dan
David Ricardo. Adam Smith mengidentifikasi “invisible hand” yang memungkinkan
ekonomi pasar menjadi entitas yang bekerja sendiri. Sedangkan dari David Ricardo melalui
comparative advantagenya menjelaskan bagaimana invisible hand dapat memperluas
kesejahteraan ekonomi global dengan mendorong negara untuk menjual barang produksinya
yang tidak dimiliki negara lain.
Adam Smith kemudian menganggap bahwa sistem ekonomi liberal yang bekerja sendiri
tanpa intervensi negara merupakan hal yang terbaik untuk mencapai keuntungan ekonomi.
Harga barang harus dalam keadaan murni dalam arti bahwa harga barang merupakan
akumulasi dari nilai input dan biaya tambahan lainnya.
Sedangkan David Ricardo mengembangkan pemikiran Smith melalui bukunya Principles of
Political Economy and Taxation. Teori comparative advantage kemudian muncul melalui
karyanya On Foreign Trade dengan maksud untuk berargumen mengenai masalah
perdagangan bebas. David Ricardo lebih lanjut berpendapat bahwa produksi ekonomi modern
harus diorganisasikan di setiap negara dengan berdasarkan pada comparative advantage.
Watson, Matthew. 2008. “Theoretical Traditions in Global Political Economy”, dalam John Ravenhill, Global Political Economy, Oxford: Oxford University
Press, pp. 27-66
Globalisasi Ekonomi Dan Peranan Negara Yang Berubah
Globalisasi adalah meluas dan meningkatnya hubungan ekonomi, sosial, dan budaya
yang melewati batas-batas internasional. Globalisasi ekonomi merupakan keadaan ekonomi
global dimana kegiatan perekonomian bersifat terbuka tanpa ada batasan teritorial, maupun
kewilayahan antara daerah satu dengan daerah lainnya.
Makin meningkatnya derajat saling keterkaitan ekonomi antara dua perekonomian nasional,
sebagai contoh dalam bentuk perdagangan atau investasi asing yang lebih eksternal,
merupakan salah satu aspek globalisasi ekonomi. Kami mungkin menyebutnya
“interdependensi intensif”. Globalisasi didorong oleh beberapa faktor yang paling penting
adalah perubahan teknologi yang digerakkkan oleh persaingan ekonomi yang keras antar
perusahaan.
Cox menyadari bahwa dalam proses globalisasi ekonomi negara bangsa telah
kehilangan kekuatan yang besar sekali atas perekonomian. Mereka secara signifikan
berkurang nilainya dibandingkan dengan kekuatan teritorial ekonomi politik. hal itu berarti
bahwa globalisasi ekonomi tidak akan menguntungkan masyarakat miskin Dunia Ketiga atau
tidak akan menigkatkan standar hidup kaum miskin di negara-negara industrialis. Agar situasi
tersebut berubah, kekuatan sosial dari bawah, seperti pekerja dan pelajar, akan berhasil dalm
perjuangannya untuk kembali menyatakn kendali politik atas kekuatan ekonomi dari
globalisasi. Singkatnya globalisasi adalah bentuk kapitalisme dan dengan sendirinya
globalisasi mempertahankan dominasi kelas kapitalis dan eksploitasi terhadap masyarakat
miskin diseluruh dunia.
Perdebatan tentang globalisasi ekonomi tidaklah mudah diselesaikan sebab masing-
masing tiga posisi teoretis yang diuraikan diatas dapat menunjukkan beberapa bukti empiris
yang mendukung pandangannya. Benar bahwa globalisasi, seperti yang dinyatakan kaum
otonomi liberal , memiliki potensi membawa peningkatan kesejahteraan individu dan
perusahaan, tetapi juga benar , bahwa proses globalisasi belakangan ini seperti yang ditekan
kan kaum neo-marxisme, tak seimbang dan mungkin memilki sedikit untuk ditawarkan pada
kelompok besar masyarakat kurang mampu. Kaum ekonomi liberal mungkin benar ketika
menyatakan bahwa globalisasi merupakan tantangan bagi negara-negara, tetapi juga benar
bahwa negara seperti yang ditekankan kaum merkantilisme, tetap pemain yang kuat dan
bahwa mereka telah membuktikan dirinya sendiri mampu menyesuaikan pada banyak
tantangan. Kaum neo-marxis dengan tepat menekankan bahwa interdependensi intensif dan
penciptaan perekonomian global secara simultan intensif. Dalam isu tersebut, bagaimanapun
juga kaum ekonomi liberal dan kaum merkantilisme selalu sepihak. Mereka menenkankan
baik salah satu maupun aspek lain globalisasi. Kesimpulannya, kami dapat sekali lagi
menyadari pandangan yang berguna di masing-masing posisi teoritis tetapi juga komponen
yang lemah dimasing-masing.
KESIMPULAN
Hubungan antara politik dan ekonomi, antara negara dan pasar, merupakan masalah pokok
masalah Ekonomi Politik Internasional (EPI). Ada 3 teori utama :
1. Merkantilisme menganggap perekonomian tunduk pada politik. Aktivitas ekonomi
dilihat dalam konteks yang lebih besar dari kekuatan negara yang mengikat: kepentingan
nasional mengatur pasar. Kekayaan dan kekuatan merupakan tujuan yang saling melengkapi,
bukan yang saling bersaing, tetapi ketergantungan ekonomi yang besar pada negara lain harus
dihindari. Ketika kepentingan ekonomi dan keamanan pecah (berlawanan), kepentingan
keamanan lebih diprioritaskan.
2. Kaum ekonomi liberal berpendapat bahwa perekonomian pasar merupakan wilayah
otonom dari masyarakat, berjalan sesuai dengan hukum ekonominya sendiri. Pertukaran
ekonomi bersifat “positive-sum game”, dan pasar cenderung memaksimalkan keutungan bagi
individu, rumah tangga dan perusahaan. Perekonomian merupakan bidang kerjasama saling
menguntungkan, antarnegara dan antar individu.
3. Dalam pendekatan Marxis perekonomian adalah tempat eksploitasi dan perbedaan
antar kelas sosial (kaum borjuis dan kaum proletar). Politik untuk sebagian besar ditentukan
oleh konteks sosioekonomi. Kelas ekonomi yang dominan juga dominan secara politik. EPI
hirau dengan sejarah ekspansi kapitalis global dan perjuangan antar kelas. Pembangunan
kapitalis tidak seimbang dan menghasilkan krisis dan kontradiksi baru, baik antar negara
maupun kelas sosial.
Perdebatan yang paling penting yang diilhami oleh kaum merkantilis berkenaan dengan
perlunya negara yang kuat untuk menciptakan perekonomian internasional liberal yang
berfungsi dengan baik; yaitu perdebatan tentang stabilitas hegemonik. Perdebatan yang
paling penting tsb dipicu Marxisne yang hiraupada pembangunan dan keterbelakangan di
Dunia Ketiga. Akhirnya, kaum ekonomi liberal mencetuskan sejumlah perdebatan tentang
berbagai isu; salah satu kontroversi yang signifikan adalah isu globalisasi ekonomi.
Isu-isu kekayaan dan kemiskinan yang diangkat EPI menjadi isu ynag semakin
penting dalam politik dunia. Fokus tradisional HI adalah tentang perang dan damai, tetapi
bahaya perang antar negara nampaknya menurun. Konflik kekerasan saat ini terjadi terutama
di dalam negara, khususnya di negara lemah, dan kekerasan tersebut pada dasarnya terkait
dengan masalah pembangunan dan keterbelakangan, salah satu dari isu inti dalam EPI.
Dengan kata lain, meskipun ketika kita melihat isu dasar tradisional HI, yaitu tentang konflik
bersenjata, masalah yang dikemukakan epi semakin penting.
EPI juga mengangkat masalah pembangunan dan perubahan kenegaraan berdaulat secara
langsung. Perekonomian nasional merupkan sumber daya yang sangat mendasar bagi bangsa-
negara. Ketika perekonomian nasional berada dalam proses yang terintegrasi ke dalam
perekonomian global dalam konteks globalisasi ekonomi, dasar keseluruhan bagi kenegaraan
yang modern berubah dengan cara yang kritis.
Liberalisme terhadap globalisasi ekopol internasional
Ajaran tentang dokrin perekonomian liberal yang berasal dari adam smith menandai
adanya suatu perubahan yang revolusioner dalam pemikiran ekonomi. Pada masa-masa
sebelumnya terutama masa merkantilis, peran Negara posisinya sangat tinggi di atas individu-
individu yang lebih di utamakan. Kepentingan Negara tidak hanya di nomorduakan, bahkan
lebih dari itu Negara di beri tugas demi menjamin terciptanya dimana kondisi dimana setiap
orang bebas bertindak melakukan yang terbaik bagi diri mereka masing-masing.
Orang sering keliru menganggap bahwa system ekonomi liberal yang didasarkan pada
paham individualisme ini akan mengakibatkan tanggungnya harmoni sosial. Tetapi smith
justru berpandangan sebaliknya. Menurut smith, walau setiap orang didorong untuk mengejar
kepentinag masing-masing,adanya persaingan bebas akan menjamin bahwa masyarakat
secara keseluruhan akan menerima benefit.dalam dokrin perekonomian liberal harmoni sosial
justru bisa timbul dari konflik individu-individu.
1. oleh Deliarnov Perkembangan pemikiran ekonomi/, 2006
2. Ed. Rev., Cet.3.- Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2003.
DAFTAR PUSTAKA
A. Mukhtie Fadjar.2005. Tipe Negara Huku,. Malang : Bayumedia, h.2.
Adam Smith dalam Mahmul Siregar.2005. Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal.
Medan : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera, h.43.
Deliarnov. Perkembangan pemikiran ekonomi
Ed. Rev., Cet.3.- Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2003.
Erman Rajagukguk.1999. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi. Jurnal
Hukum FH-UII No.11, h.112-115.
Francis Fukuyama dalam Muladi.1997. Menjami Kepastian, Ketertiban, Penegakan dan
Perlindungan Hukum dalam Globalisasi (makalah). Bandung, h.1
George C. Lodge.1995. Managing Globalization in the Age Interdependence, San Diego :
Pfeifer & Comapny, h.18.
https://ageninterpol.wordpress.com/2011/06/11/perkembangan-perspektif-dalam-ekonomi-
politik-internasional/
John Naisbiit & Patricia Aburdene.1990. Megatrends 2000 alih abhasa oleh FX Budijanto.
Jakarta : Binarupa Aksara, h.16.
Kenichi Ohmae 1995. “The End Nation State,” The 1995 Panglaykim Memorial Lecture,
Jakarta: 4 Oktober.
Mubyarto dalam Mohammad Noor Syam.1998. Penjabaran Filsafat Pancasila dalam filsafat
hukum. Malang:Laboratium IKIP Malang, h.53.
Paul Samuelson dalam Mubyarto. 1 April 2003. Teori Investasi & Pertumbuhan Ekonomi
dalam Ekonomi Pancasila.
http://www.ekonomirakyatan.ugm.ac.id/Myweb/sembul03_2htm diakses pada 21 juni
2008 pukul 22.36 Wita.
Robert Gilpin and Jean Millis Gilpin,2002. Tantangan Kapitalisme Global, Jakarta: Murai
Kencana.
Roland Roberston.1992. Globalization, Social Theory and Global Culture . London : SAGE
Publication, h.8.
Salah satunya dapat dilihat pada Suara Kaum Jelata dari Tahan Damai. Majalah Tempo. 9
Desember 2001, h.76-78.
Samuel Hutington dalam Syahrir.2004. Transisi Menuju Indonesia Baru. Jakarta : Yayasan
Indonesia Baru, h.42.
Soetiksno.1981.Filsafat Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita, h.79-82.
Sukarm.2005. Implikasi Ketentuan Anti dumping dan Subsidi bagi Indonesia. Makalh
Dumping dan Subsidi. Malang, h.2
Wallerstein dalam Khudzaifah Dimyanti.2004. Teorisasi Huku,. Surakrta :UM-Press, h.10.
Watson, Matthew. 2008. “Theoretical Traditions in Global Political Economy”, dalam John
Ravenhill, Global Political Economy, Oxford: Oxford University Press, pp. 27-66