makalah desentralisasi dan otonomi daerah. fisip unmer malang
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam pemerintahan daerah, sangat
berkaitan erat dengan asas desentralisasi. Baik pemerintahan daerah, asas desentralisasi
maupun otonomi daerah, adalah bagian dari suatu kebijakan dan praktek
penyelenggaraan pemerintahan. Tujuannya adalah demi terwujudnya kehidupan
masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, agar setiap orang bisa hidup tenang,
nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang
pelayanan masyarakat.
Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, maka di daerah telah dibangkitkan oleh euforia otonomi daerah
karena adanya perubahan-perubahan hampir keseluruh tatanan pemerintahan baik di
tingkat pemerintah pusat maupun didaerah itu sendiri.
Otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, menurut pandangan
masyarakat dan para pejabat pemerintahan di tingkat daerah, merupakan arus balik
kekuasaan dan kewenangan yang selama ini bersifat sentralisasi yang hanya
memikirkan kepentingan pemerintah pusat saja, sedangkan daerah merasa kurang
diperhatikan.
David Osborne dalam bukunya, Reinventing Government, menyatakan bahwa
dalam pembaharuan pemerintahan maka tujuan daripada terbentuknya pemerintahan
adalah untuk mempercepat tercapainya tujuan masyarakat 1 . Masyarakat yang bebas
dari rasa takut, komunitas yang sejahtera dan terhindarkan dari ancaman kerusakan
lingkungan hidup, masyarakat yang mampu mengakses pada berbagai fasilitas yang
tersedia, serta berbagai keinginan lain yang merupakan tuntutan hidup manusia dalam
suatu komunitas.
1D avid Osborne, Hasil terjemahan dalam bukunya “Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for
Reinventing Government”, East Lansing, Michigan, 1996, hal : 56.
2
Di Indonesia upaya untuk mencapai masyarakat yang sejahtera masih terus
dihadapkan kepada berbagai kendala dengan segala aspeknya yang sangat menghambat
laju pertumbuhan ekonomi, sosial dan proses perubahan sistem sentralisasi kearah
desentralisasi berbagai kewenangan dari Pusat ke Daerah.
Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menawarkan
berbagai macam paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis
pada filosofi Keanekaragaman Dalam Kesatuan. Paradigma yang ditawarkan antara
lain:
a. Kedaulatan Rakyat,
b. Demokratisasi,
c. Pemberdayaan Masyarakat,
d. Pemerataan dan Keadilan.2
Selain perubahan sosial terjadi pula perubahan dimensi struktural yang
mencakup hubungan antara pemerintahan daerah, hubungan antara masyarakat dengan
pemerintah, hubungan antara eksekutif dan legeslatif serta perubahan pada struktur
organisasinya.
Perubahan dimensi fungsional dalam lembaga pemerintahan daerah dan lembaga
masyarakat terjadi sejalan dengan perubahan pada dimensi kultural sebagai dampak
otonomi daerah yang meliputi faktor kreativitas, inovatif dan berani mengambil resiko,
mengandalkan keahlian, bukan pada jabatan atau kepentingan saja tetapi lebih jauh lagi
adalah untuk mewujudkan sistem pelayanan masyarakat dan membangun kepercayaan
masyarakat (trust) sebagai dasar bagi terselenggaranya upaya pelaksanaan otonomi
daerah diseluruh pelosok tanah air Indonesia.
Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan juga diikuti dengan otonomi Desa telah
berlangsung sekitar 4 (empat) tahun. Selama periodisasi pelaksanaan otonomi ini telah
terjadi perubahan yang mendasar dari konsepsi pelaksanan otonomi daerah yang telah
2 Saddu Waristono, “Kapita Selekta Manajemen Pemeerintahan Daerah”, Alqaprint, Jatinangor-
Sumedang, 2001, hal : 6.
3
dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah. Jika sebelumnya pelaksanaan “otonomi daerah” dijalankan
secara sentralistik, melalui Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini dicoba diberikan
makna otonomi yang sesungguhnya.
Namun demikian, ternyata Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini tidak
berumur lama. Hanya berjalan sekitar 5 (lima) tahun, Undang-undang ini harus diganti
dengan Undang- undang yang baru. Pada bulan September 2004 telah terjadi perubahan
besar menyangkut perubahan paradigma dan substansi materi mengenai otonomi daerah
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah
dianggap tidak relevan lagi untuk diterapkan sebagai payung hukum Pelaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan maka beberapa masalah
yang dapat dirumuskan dan akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1) Pengertian dan Tujuan Otonomi Daerah ?
2) Apa perbedaan defenisi Otonomi Daerah dalam UU Nomor 22 Tahun
1999 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 ?
3) Apa pengaruhnya dalam implementasi Otonomi Daerah ?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan judul IMPLEMENTASI UNDANG -
UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 DAN UNDANG - UNDANG NOMOR 32
TAHUN 2004 DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH .
Tujuan umum dari penulisan ini yaitu untuk mengetahui perbedaan defenisi
dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 serta mengetahui
pengaruh yang terjadi dalam implementasi Otonomi Daerah ketika adanya pergantian
peraturan perundang-undangan.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Tujuan Otonomi Daerah
Dasar pemikiran dari Otonomi Daerah adalah bahwa Negara Indonesia adalah
Negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk
mengurus rumah tangga daerahnya sendiri.
Dengan demikian Otonomi Daerah adalah merupakan kebijaksanaan yang
sangat sesuai dengan asas desentalisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.Otonomi daerah dilaksanakan dalam rangka menerapkan asas desentralisasi
dalam pemerintahan di Indonesia.
Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan definisi daerah otonom adalah merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
ikatan Negara Kesatuan Repubik Indonesia.
Otonomi Daerah menurut Ateng Safrudin memiliki beberapa pengertian sebagai
berikut:
1. Kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah
dengan keuangan sendiri dan pemerintah daerah.
2. Pendewasaan politik rakyat lokal an proses penyejahteraan rakyat.
3. Adanya pemerintahan yang lebih atas memberikan atau menyerahkan sebagian
urusan rumah tangganya kepada pemerintah bawahnya.Sebaliknya pemerintah
bawahnya yang menerima urusan tersebut telah mampu melaksanakan urusan
tersebut.
5
4. Pemberian hak,wewenang,dan kewajiban kepada daerah yang memungkinkan
daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam
rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah telah
meletakkan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah sesuai dengan prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan berdasarkan potensi dan
keanekaragaman daerah.Otonomi daerah dimaknai sebagai pemberian kewenangan
yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah serta proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah berdasarkan asas
desentralisasi.
Otonomi luas berarti daerah memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan
semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang
lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Otonomi luas berarti juga
sebagai keleluasaan dalam penyelenggaraan pemerintah secara utuh dan bulat mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian serta evaluasi.
Otonomi nyata diartikan sebagai keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
wewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta
tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab
berarti perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam bentuk tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh
daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi,
keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
6
Otonomi untuk daerah Propinsi diberikan secara terbatas yang meliputi
kewenangan lintas Kabupaten dan Kota kewenangan yang tidak atau belum
dilaksanakan oleh daerah Kabupaten dan daerah Kota, serta kewenangan bidang
pemerintahan tertentu lainnya.
Tujuan adanya Otonomi Daerah adalah sebagai berikut:
1. Mendorong terselenggaranya pelayanan publik sesuai tatanan masyarakat
daerah.
2. Mendorong efisiensi alokasi pengguna dana pemerintah melalui desentralisasi
kewenangan dan pemberdayaan daerah.
3. Memperlancar pembangunan diseluruh pelosok tanah air secara merata tanpaada
pertentangan,sehingga pembangunan daerah merupakan pembangunan nasional
secara menyeluruh.
Tujuan utama dari kebijakan Otonomi Daerah yang dikeluarkan tahun 1999
adalah di satu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu
dalam menangani urusan domestik sehingga ia berkesempatan
mempelajari,memahami,dan merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil
manfaat daripadanya.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah digunakan asas otonomi dan
tugas pembantuan.Dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut,berpedoman pada
asas umum penyelenggaraan negara yang terdiri atas asas:
1. Kepastian hukum
2. Tertib penyelenggara negara
3. Kepentingan umum
4. Keterbukaaan
5. Proporsionalitas
6. Orofesionalitas
7. Akuntabilitas
8. Efisiensi
9. Efektivitas
7
Mengacu kepada asas dan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi
daerah,maka tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah sebagai berikut :
Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik
Pengembangan kehidupan demokrasi
Keadilan
Pemerataan
Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar
daerah dalam rangka keutuhan NKRI
Mendorong untuk memberdayakan masyarakat
Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas,meningkatkan peran serta
masyarakat,mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
2.2 Perbedaan Defenisi Otonomi Daerah dalam UU Nomor 22 Tahun
1999 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah telah disahkan dan diundangkan oleh Presiden Republik
Indonesia Megawati Soekarno Putri pada tanggal 15 Oktober 2004.
Pengesahan Undang-undang Otonomi Daerah yang baru ini, oleh sebagian
kalangan dianggap sebagai kemunduran konseptual dan kontekstual bagi pelaksanaan
otonomi daerah yang sesungguhnya. Undang-undang yang telah disahkan pada akhir
september 2004 tersebut sebenarnya bukan hanya revisi atas Undang-undang
sebelumnya. Lebih tepat jika kemunculan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
nyata-nyata sebagai pengganti bagi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah
dianggap tidak relevan lagi.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah yang
sebelumnya hanya terdiri dari 16 Bab dengan 134 Pasal telah diganti dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang terdiri dari 16 Bab dengan 204 Pasal. Dari sinilah
8
perbedaan demi perbedaan apat ditemui dari kedua Undang-undang tentang
pemerintahan daerah tersebut.
Pergeseran demi pergeseran pemaknaan tentang konsep otonomi daerah yang
fundamental dapat ditemukan dari pergantian Undang-undang tersebut. Makna
desentralisasi misalnya, dari penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintahan
kepala daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Pemerintahan Republik Indonesia.
Perubahan kalimat “Untuk mengatur dan mengurus rumah pemerintahan dalam
sistem Pemerintahan Republik Indonesia” dalam Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tersebut sebenarnya telah digariskan dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999.
Penambahan kalimat tersebut hanya akan menyempitkan makna otonomi
(khususnya yang bersifat politis) di daerah. Pemahaman sempit yang muncul dari
adanya kalimat tersebut menimbulkan pengertian yang membatasi otonomi daerah
menjadi hanya pada kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan
Daerah. Kalimat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan akan semakin sempit
dipahami hanya sebagai penyerahan kewenangan secara birokratis bukan penyerahan
kewenangan yang seutuhnya sesuai dengan kehendak otonomi oleh sebagian besar
masyarakat. Selain pergeseran makna desentralisasi, makna otonomi daerah juga
bergeser. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
disebutkan bahwa Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan Peraturan Perundang-undangan.
Perbedaan yang mendasar dari kedua makna otonomi daerah berdasarkan kedua
Undang-undang adalah dihapuskannya kalimat “Kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat” dari pemaknaan Otonomi
Daerah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Penghapusan kalimat tersebut akan memberikan implikasi atas kewenangan yang
diserahkan kepala daerah otonom.
9
Daerah otonom akan sangat dibatasi hanya dengan Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku dan bukan pada adanya kehendak dan aspirasi dari masyarakat
setempat. Padahal, secara nyata Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud adalah
tidak lain Peraturan Perundang-undangan diatas Peraturan Daerah yang kewenangan
pembuatannya berada pada kekuasaan Pemerintahan Pusat. Dari sinilah, terkesan bahwa
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah akan
mengembalikan konsep desentralisasi sebagai konsep dasar pelaksanaan otonomi daerah
menjadi sentralisasi yang justru mengkerdilkan makna otonomi itu sendiri.
UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7 Mei 1999
dan berlaku efektif sejak tahun 2000. Undang-undang ini dibuat untuk memenuhi
tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih
demokratis, lebih adil, dan lebih sejahtera.
UU No.22 tahun 1999 membawa perubahan yang sangat fundamental mengenai
mekanisme hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Perubahan
yang jelas adalah mengenai pengawasan terhadap Daerah. Pada masa lampau , semua
Perda dan keputusan kepala daerah harus disahkan oleh pemerintah yang lebih
tingkatannya, seperti Mendagri untuk pembuatan Perda Provinsi/ Daerah Tingkat I,
Gubernur Kepala Daerah mengesahkan Perda Kabupaten/ Daerah Tingkat II.
Dengan berlakunya UU No.22 tahun 1999, Daerah hanya diwajibkan
melaporkan saja kepada pemerintah di Jakarta. Namun, pemerintah dapat membatalkan
semua Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengna peraturan
puerundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau peraturan perundangan yang lain.
(Pasal 114 ayat 1).
Ada beberapa ciri khas yang menonjol dari UU ini:
1. Demokrasi dan Demikratisasi, diperlihatkan dalam dua hal, yaitu mengenai
rekrutmen pejabat Pemda dan yang menyangkut proses legislasi di daerah.
2. Mendekatkan pemerintah dengan rakyat, titik berat otonomi daerah diletakkan
kepada Daerah Kabupaten dan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi.
3. Sistem otonomi luas dan nyata, Pemda berwenang melakukan apa saja yang
menyangkut penyelenggaraan pemerintah, kecuali 5 hal yaitu yang berhubungan
10
dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negeri, pertahanan dan
keamanan negara, moneter, sistem peradilan, dan agama.
4. Tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat, Daerah-daerah pada tingkat
yang lebih rendah menyelenggarakan urusan yang bersifat residual, yaitu yang
tidak diselenggarakan oleh Pemda yang lebih tinggi tingkatannya.
5. No mandate without founding, penyelenggaraan tugas pemerintah di Daerh
harus dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.
6. Penguatan rakyat melalui DPRD, penguatan tersebut baik dalam proses
rekrutmen politik lokal, ataupun dalam pembuatan kebijakan publik di Daerah.
Dengan diundangkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
pada tanggal 15 Oktober 2004, UU No.22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Sebenarnya antara kedua undang-undang tersebut tidak ada perbedaan prinsipal karena
keduanya sama-sama menganut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah berhak
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonnomi dan tugas
pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan
kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan,
kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan
daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan,
desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi daerah.
Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-
satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan
daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk
pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan provinsi-
provinsi di Papua.
Bagi daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-
daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut,
dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi daerah
yang bersifat khusus dan istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan
11
dapat juga diatur dengan UU tersendiri.
Ada perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai
mitra sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya berwenang meminta laporan
keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah.
Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”. Desa
yang ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya
menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama Badan
Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan tidak
seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang berada di
perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.
UU No.32/2004 mengakui otonomi yang dimiliki desa ataupun dengan sebutan
lain. Otonomi desa dijalankan bersama-sama oleh pemerintah desa dan badan
pernusyawaratan desa sebagai perwujudan demokrasi.Dalam penjelasan UU Nomor 32
Tahun 2004 ditegaskan bahwa prinsip-prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip
otonomi seluas-luasnya,nyata,dan bertanggung jawab.Otonomi seluas-luasnya adalah
daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan
kecuali: kewenangan dibidak politik luar negeri,pertahanan,keamanan,yustisi,moneter
dan fiskal nasional,serta agama masih tetap dipegang oleh pusat.
12
Berikut ini adalah tabel perbedaan UU No.22 Tahun 1999 dengan UU No.32
Tahun 2004 yaitu:
Istilah UU No.22/1999 UU No.32/2004
Pemerintah
Pusat
Perangkat NKRI yang terdiri dari
presiden beserta para menteri menurut
asas desentralisasi
Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan
negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945
Desentralisasi Penyerahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah kepada daerah otonom
dalam kerangka NKRI
Penyerahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem NKRI
Dekonsentrasi Pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/atau perangkat pusat di
daerah
Pelimpahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal wilayah tertentu
Tugas
pembantuan
Penugasan dari pemerintah kepada
daerah dan desa, dari daerah ke desa
untuk melaksanakan tugas tertentu
yang disertai pembiayaan, sarana, dan
prasarana serta SDM dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkan kepada
yang menugaskan
Penugasan dari pemerintah kepada
daerah dan/atau desa dari pemerintah
provinsi kepada kabupatean/kota
dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupatean/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu
Otonomi daerah Kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasar aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-
undangan
Hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan
Daerah otonom Keaatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas wilayah tertentu,
berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam NKRI
Keaatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintaha dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam NKRI
Wilayah
admininstrasi
Wilayah kerja Gubernur selaku wakil
pemerintah
Kelurahan Wilayah kerja lurah sebagai perangkat
daerah kabupaten dan/atau daerah kota
di bawah kecamatan
13
Pemerintah
daerah
Kepala daerah beserta perangkat
daerah otonom yang lain sebagai badan
eksekutif daerah
Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemda
Pemerintahan
daerah
Penyelenggaraan Pemda otonom oleh
Pemda dan DPRD dan/ atau daerah
kota di bawah kecamatan
Penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem
prinsip NKRI
Desa Kesatuan wilayah masyarakat hukum
yang memiliki kewenangan untuk
mengatur menurut asas desentralisasi
Kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.3 Pengaruh Perubahan UU No.22 Tahun 1999 dengan UU No.32
Tahun 2004 dalam Implementasi Otonomi Daerah
Setelah kontroversi revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
beberapa waktu yang lalu, kini setelah terbit UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai penggantinya ternyata masih juga menuai pro-kontra.
Kondisi demikian dapat kita lihat melalui berbagai substansi pasal-pasal yang
terkandung didalamnya.Keberadaan UU ini dimulai ketika tarik ulur kebijakan publik
oleh pemerintah melalui kebijakan revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang dinilai banyak kalangan memiliki berbagai kelemahan. Beberapa catatan
yang penulis tangkap dan dapat dirangkum secara sederhana dari UU pemerintahan
daerah ini antara lain:
Implementasi otonomi daerah memiliki dampak positif dan negatif,antara lain
sebagai berikut:
Dampak positif
Dengan adanya otonomi daerah pemerintah mendapatkan kesempatan untuk
menampilkan identitas lokal yang ada di masyarakat.
14
Kurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapat respon tinggi dari
pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerah sendiri.
Dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang di dapat melalui jalur birokrasi
dari pemerintah pusat.
Dampak negatif
Adanya kesempatan bagi oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan
tindakan yang dapat merugikan negara dan rakyat seperti Korupsi,Kolusi,dan
Nepotisme.
Adanya kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi negara
yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah yang
lain atau bahkan daerah dengan negara.
Contoh :
Pelaksanaan UU anti pornografi ditingkat daerah yang tidak efektif.Hal tersebut
dikarenakan dengan sistem otonomi daerah maka pemerintah pusat lebih sulit untuk
mengawasi jalannya pemerintahan di daerah.Selain itu, dengan sistem otonomi daerah
membuat peranan pemerintah pusat tidak maksimal disetiap daerah.
Implementasi otonomi daerah menurut UU No. 32/2004
Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis yang
memerlukan pemikiran yang matang, mendasar dan berdimensi jauh ke depan.
Pemikiran itu kemudian dirumuskan dalam kebijakan otonomi daerah yang sifatnya,
menyeluruh dan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan dan keadilan
disertai untuk kesadaran akan keaneka ragaman kehidupan kita bersama sebagai bangsa
dalam semangat Bhineka Tunggal Ika. Kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada
pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut :
1. Peningkatan pelayan publik dan pengembangan kreativitas masyarakat serta
aparatur pemerintah di daerah.
2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan PEMDA dan antar-
PEMDA dalam kewenangan dan keuangan.
3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan
masyarakat di daerah.
4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.
15
Implikasi positif UU No.32 tahun 2004
UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (dan UU No.33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah)
menggantikan Undang-undang yang berkaitan dengan kebijakan desentralisasi melalui
otonomi daerah yang dicanangkan pemerintahan baru di era reformasi ini, yaitu UU
No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999 dengan judul yang sama. Sejak disahkan
oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 18 Oktober 2004, maka Undang-
undang ini berlaku efektif. UU yang lazim disebut UU Pemda ini memiliki jumlah pasal
yang lebih banyak dari UU sebelumnya, yaitu memuat 240 pasal, lebih banyak
dibanding pendahulunya yang hanya 134 pasal.
Dibidang politik,karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan
dekonsentrasi,maka ia harus dipahami sebagai proses untuk membuka ruang bagi
lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis,memungkinkan
berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan
masyarakat luas,dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat
pada asas pertanggungjawaban publik.Fenomena yang muncul dewasa ini,khususnya
dalam pemilihan Kepala Daerah,baik Provinsi,Kabupaten,maupun Kota.
Dibidang ekonomi,otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya
pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah,dan di pihak lain terbukanya peluang
bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk
mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya.Dalam konteks
ini,otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah
untuk menawarkan fasilitas,investasi,memudahkan proses perizinan usaha,dan
membangun barbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di
daerahnya.Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat
kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
Dibidang Sosial Budaya,otonomi daerah dikelola sebaik mungkin demi
menciptakan harmoni sosial,dan pada saat yang sama juga memelihara nilai-nilai lokal
yang dipandang kondusif terhadap kemampuan masyarakat dalam merespon dinamika
kehidupan sekitarnya.
Semakin terbukanya peluang bagi daerah untuk membangun daerahnya dengan
memberdayakan segala potensi yang ada. Beberapa hal lain yang niscaya merupakan
16
implikasi positif dari UU yang menurut versi pemerintah “menyempurnakan” ini.
Badjeber (2004), Mecca dan Riana (2005) mencatat antara lain mekanisme pengawasan
kepala daerah yang semakin diperketat, misalnya presiden tanpa melalui usulan DPRD
dapat memberhentikan sementara terhadap kepala daerah yang didakwa melakukan
tindak korupsi, terorisme, dan makar (Pasal 31). Sementara pengawasan terhadap
DPRD semakin diperketat dengan adanya Badan Kehormatan yang siap mengamati dan
mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan. Untuk melengkapinya DPRD wajib pula
menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan dalam menjalankan
tugasnya. Anggota DPRD pun bisa diganti sewaktu-waktu apabila melanggar larangan
atau kode etik (Pasal 41 s.d Pasal 49).
Kemudian terdapat pula pengaturan dalam pembuatan fraksi di DPRD. Setiap
anggota DPRD harus berhimpun dalam fraksi, dimana jumlah anggota setiap fraksi
sekurang-kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD. Untuk menjamin keadilan
bagi partai politik, jumlah komisi di DPRD pun diatur sesuai dengan jumlah anggota
DPRD. Bagi anggota yang berasal dari parpol dan tidak bisa membentuk fraksi harus
membentuk fraksi gabungan. Dalam hal usulan pengajuan calon pimpinan, hanya parpol
yang bisa membentuk satu fraksi yang berhak mengajukan calonnya sedangkan fraksi
gabungan tidak.
Implikasi negatif UU No.32 Tahun 2004
Dengan adanya perubahan dalam UU No.32 Tahun 2004 maka dalam
implementasinya memiliki sisi negatif yaitu :Semakin maraknya tuntutan pemekaran
daerah yang tidak didasarkan pada persyaratan dan kriteria yang rasio.
Menurut Ryaas Rasyid dalam Badjeber (2004), pemerintahan bertujuan
keadilan, yang dalam konteks pemerintahan nasional, keadilan itu diukur oleh dari
suasana yang terbentuk secara nasional. Keadilan dalam konteks ini dimaksudkan
keadilan bagi partai politik. (Pasal 50 s.d Pasal 51). Masih banyak lagi aturan-aturan
yang dimuat dalam pasal demi pasal, namun acap kali aturan main yang dibentuk ini
mengalami batu sandungan, terutama pro-kontra pasal-pasal tentang Pemilihan kepala
daerah langsung yang dimuat dalam UU No.32 tahun 2004 ini.
Problem Pemilihan Kepala Daerah dalam UU No.32 tahun 2004.Reaksi
masyarakat terhadap sosialisasi UU No.32 tahun 2004 ternyata beragam. Tidak kurang
17
dari lima belas (15) KPUD antara lain KPUD DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa
Tengah, Jawa timur, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Lampung, Gorontalo, Jambi,
Kepulauan Bangka Belitung, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Kalimantan Timur,
bersama organisasi non pemerintah seperti Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) dan
beberapa ornop lainnya mengajukan permohonan uji materril UU No. 32 ke Mahkamah
Konstitusi. Para pemohon menganggap UU No 32 tahun 2004 ini bertentangan dengan
UUD 1945, sehingga pasal-pasal tentang penyelenggaraan pilkada langsung, antara lain
pasal 1, pasal 57, pasal 65 pasal 89, pasal 94 dan pasal 114, harus dibatalkan.
Argumentasi yang dibangun dalam rangka ketidak setujuan beberapa kalangan
terhadap UU ini adalah pemilihan kepala daerah langsung. Memang bukan substansi
yang disesalkan, sebab semua elemen bangsa, intelektual, ormas dan organisasi-
organisasi profesional beserta sebagian besar masyarakat daerah sepakat tentang urgensi
pemilihan kepala daerah secara langsung demi demokrasi. Yang menjadi masalah,
banyak kalangan menyayangkan sikap pemerintah yang ngotot memasukkan instrumen
pilkadal kedalam UU tentang Pemerintahan Daerah, bukan UU Pemilu, ataupun UU
tersendiri. Beberapa pakar seperti Ryaas Rasyid, J. Kristiadi, dan Ramlan Surbakti
dalam pernyataannya melihat bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan
bagian dari Pemilu sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian, sebagian
pasal dalam UU No. 32/2004 bertentangan dengan UUD karena menyerahkan
kewenangan penyelenggaraan Pilkada kepada KPUD, bukannya kepada KPU.
Konsekuensi dari UU ini ditambah lagi oleh dikeluarkannya PP No. 6 tahun 2005 yang
mengatur tentang teknis pelaksanaan Pilkada sebagai upaya operasionalisasi UU No
32/2004 tersebut oleh pemerintahan Presiden Soesilo B. Yudhoyono.
Gugatan uji materil terhadap UU Pemerintahan Daerah ini kemudian direspons
positif oleh Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang berwenang. Akhirnya,
meskipun masih ada ketidakpuasan, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian
tuntutan mereka. Adapun pasal-pasal yang dibatalkan lembaga ini adalah pasal 57 ayat
(1), pasal 66 ayat (3) huruf e, pasal 67 ayat (1) huruf e, pasal 82 ayat 2. Sedangkan pasal
59 ayat (1) hanya menyatakan Penjelasan pasal tersebut batal demi hukum. Menurut
Smita Notosusanto dari CETRO, keputusan Mahkamah Konstitusi ini berusaha
menyenangkan semua pihak, apalagi dengan tidak jelasnya KPUD bertanggung jawab
kepada siapa setelah KPUD diputuskan tidak bertanggung jawab kepada DPRD.
18
Namun apapun hasil yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi ataupun
kekecewaan beberapa pihak, amar putusan telah dikeluarkan dan segera dimuat dalam
Berita Negara paling lambat 30 hari setelah diputuskan. Artinya, apa pun yang terjadi,
kita akhirnya harus tetap menerima keberadaan UU ini, karena pelaksanaan pilkada kini
tinggal menghitung hari saja. Dengan asumsi KPUD dapat bekerja keras dan penuh
komitmen untuk menjamin pilkada secara adil, demokratis, meskipun peraturannya,
seperti kata Sarundajang (2001) bahwa karena posisinya yang strategis, kepala daerah
tidak pernah luput dari pengaruh politik. Dengan kata lain, beliau ingin mengatakan
begitu banyak kecenderungan money politics dan dalam pemilihan Pilkada, apalagi
dengan pelaksanaan yang sangat singkat dan terburu-buru seperti sekarang ini.
Demikian pula Riewanto (2005) dengan sudut pandang yang sama, cukup mahfum dan
menunjuk bahwa walaupun pelaksanaan Pilkada langsung ini penuh motif politik dan
tidak jelas bertanggung jawab kepada siapa, kecuali yang sering disebut pemerintah
bertanggung jawab kepada “publik”, tetapi harus segera dilaksanakan demi tuntutan
demokratisasi.
Menurut pernyataan resmi dari Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh
Indonesia (APKASI) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), PP No.6 yang
dikeluarkan pemerintah dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung
mulai Juni 2005, dapat menimbulkan persepsi mengenai upaya pemerintah untuk
mengintervensi proses pilkadal tersebut.Hal ini merupakan salah satu kelemahan dalam
UU Pemerintahan Daerah yang masih membutuhkan peraturan pemerintah (PP), tetapi
setelah putusan final dari Mahkamah Konstitusi, maka hendaknya berbagai elemen
masyarakat dan pemerintahan juga menyiapkan diri untuk menyongsong era pemilihan
kepala daerah model baru ini, terlepas dari kekecewaan maupun kelegaan berbagai
pihak yang berkepentingan dalam pesta demokrasi ini. Bagaimanapun, pemilhan kepala
daerah –secara langsung- merupakan bagian dari demokratisasi di tingkat lokal, dan
konsekuensi logis dari amanat amendemen UUD 1945.
Membangun Hukum dan Demokrasi Lokal.Menelaah UU No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, terlihat adanya semangat untuk melibatkan partisipasi publik. Di
satu sisi, keterlibatan publik (masyarakat) dalam pemerintahan atau politik lokal
mengalami peningkatan dengan diaturnya pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal).
Namun disisi lain terjadi ketegangan antara pemerintah dengan publik; yang diwakili
19
LSM, KPUD, dan tokoh-tokoh yang menolak ihwal pilkadal dimasukan dalam UU
No.32 tahun 2004 ini karena dinilai bertentangan dengan amanat UUD 1945.
Mengenai demokrasi lokal, dalam sebuah artikelnya Prihatmoko (2004)
menyebutkan bahwa peningkatan kualitas demokrasi lokal dipengaruhi oleh sejumlah
faktor yang lazim disebut prakondisi demokrasi lokal. Prakondisi demokrasi tersebut
mencakup: (1) kualitas DPRD yang baik; (2) sistem rekrutmen DPRD yang kompetitif,
selektif dan akuntabel; (3) partai yang berfungsi; (4) pemilih yang kritis dan rasional;
(5) kebebasan dan konsistensi pers; dan (6) LSM yang solid dan konsisten; dan (7)
keberdayaan masyarakat madani (civil society). Walaupun dalam konteks pilkadal pada
saat sekarang ini penulis sendiri tidak yakin –terutama poin (1)-akan tetapi kondisi
diatas akan sangat mempengaruhi kualitas demokrasi lokal dimasa datang.
Dalam konteks demokrasi lokal inilah sudut pandang KPUD yang melaksanakan
proses Pilkada langsung untuk bertanggunmg jawab kepada DPRD digugat. Akhirnya
putusan Mahkamah Konstitusi mengamanatkan KPUD bertanggung jawab kepada
“publik”. Sebenarnya alasannya jelas, fungsi utama DPRD adalah untuk mengontrol
jalannya pemerintahan di daerah, sedangkan berkenaan dengan fungsi legislatif, posisi
DPRD bukanlah aktor yang dominan. Memang pemegang kekuasaan yang dominan di
bidang legislatif itu tetap gubernur atau bupati/walikota. Bahkan dalam UU No.32
Tahun 2004 gubernur dan bupati/walikota diwajibkan mengajukan rancangan Peraturan
Daerah dan menetapkannya menjadi Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD (pasal
25). Artinya, DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol
yang dapat menyetujui atau bahkan menolak sama sekali ataupun menyetujui dengan
perubahan-perubahan tertentu, dan sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri
mengajukan rancangan Peraturan Daerah. Akan tetapi hal itu tidak berarti DPRD dapat
melakukan “intervensi” pada saat proses pemilihan kepala daerah, karena sebelum
terpilih, DPRD tidak memiliki kekuatan hukum seperti pengawasan dan kontrol yang
dapat dilakukan terhadap kepala daerah dengan payung UU diatas. Demikian yang
diharapkan para pemohon judicial review pada saat itu.
20
Hukum sekali lagi ditegakkan dalam kerangka putusan Mahkamah Konstitusi.
Kerelaan semua pihak untuk dapat menaati hasil putusan tersebut merupakan suatu
keharusan. Walaupun diwarnai dengan dissenting opinion oleh salah satu hakim
Mahkamah Konsitusi, putusan tersebut tetap menunjukkan keputusan kolektif lembaga
tinggi ini. Memang, sistem hukum Indonesia selalu menjadi sasaran kritik di era
reformasi ini. Budiman (2000) mencatat bahwa selain kodifikasi yang buruk, sistem
hukum itu juga tidak mengatur pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif dan
kerapkali menjadi subyek suap atau intimidasi. Dalam konteks ini, Indonesia belum
menjadi negara hukum jika tidak konsisten menyelesaikan banyak hal dengan standar
hukum. Ditegaskan olehnya bahwa “kesetaraan di muka hukum adalah, tentu saja, dasar
dari setiap demokrasi.”
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perubahan suatu peraturan perundang-undangan akan memberikan berbagai
macam dampak bagi seluruh pelaksananya dan lingkungannya.Perubahan tersebut akan
memberikan suatu perubahan dalam implementasinya.Perbedaan yang terdapat di dalam
UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 memberikan dampak
yang sangat mempengaruhi implementasi otonomi daerah.
Revisi terhadap UU No. 22/1999, dengan demikian jelas dimaksudkan untuk
menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang selama ini muncul dalam pelaksanaan
otonomi daerah. Memang, sekilas UU No. 32 tahun 2004 masih menyisakan banyak
kelemahan, tapi harus diakui pula banyak peluang dari UU tersebut untuk menciptakan
good governance, paling tidak di tataran konseptual akan sangat berarti. Selain beberapa
implikasi positif yang dapat diambil dari UU No. 32 tahun 2004 ini, perdebatan tentang
pilkadal hanya bagian kecil dibanding usaha idealisasi kehidupan bernegara dalam
konteks demokrasi dan otonomi daerah masa sekarang ini. Diskursus demikian tentunya
diharapkan berakhir dengan keputusan final Mahkamah Konstitusi, dan pembangunan
demokrasi akan terus berjalan di negeri ini.
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada saat sekarang ini masih
merupakan tahap awal. Semoga sistem ketatanegaraan Indonesia yang carut marut ini
segera dapat dibenahi, sehingga hukum; sebuah permasalahan utama yang menuntut
solusi keadilan bagi negara yang demokratis dalam menjalankan pemerintahannya; akan
menjadi panglima.
22
3.2 Saran
Sebagai saran pertimbangan demi perbaikan kesempurnaan konsep
perbandingan kedua Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah sesuai materi
pembahasan tulisan ini menurut pandangan penulis, dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Adanya evaluasi terhadap implementasi pemerintah daerah dalam menjalankan
peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.
2) Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan kepada masyarakat.
3) Mengembangkan kehidupan demokrasi.
4) Menciptakan keadilan dan pemerataan ,menumbuhkan hubungan yang serasi
antara pemerintah pusat dan daerah.
5) Adanya kerjasama yang baik antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam
menjalankan otonomi daerah.
6) Mendorong pemberdayaan masyarakat.
7) Mengatasi permasalahan yang terjadi saat ini dengan penuh tanggung jawab dan
pertimbangan yang baik.
8) Memperbaiki segala pelanggaran yang telah dilakukan oleh setiap daerah.
23
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998.
Budiman, Arif, Harapan dan Kecemasan Menatap arah Reformasi Indonesia, Jakarta:
BIGRAF Publishing, 2000.
Deddy Supriady Bratakusumah, dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Kaho, Josef Rihu, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di
Indonesia, Bhineka Cipta, Jakarta, 1990.
Marbun, B.N., Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Realita, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2005.
Ryaas Rasyid, Muhammad, Kajian Awal Birokrasi Pemerintah dan Orde Baru, Yarsip
Watampone, Jakarta, 1998.
Salam, Dharma Setyawan, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan
Sumber Daya, Jambatan, Jakarta, 2002.
Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1999.
Syaukani, dkk, 2002, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, cetakan kesatu,Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Yudoyono, Bambang, Otonomi Daerah, Pustaka Harapan, Jakarta, 2002.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemeerintah Daerah.