makalah bioteknologi dasar
DESCRIPTION
bioteknologi dasarTRANSCRIPT
MAKALAH BIOTEKNOLOGI DASAR
Inokulum, Medium, dan Model Fermentasi dan Proses Fermentasi
KELOMPOK II
Salmawati
Jefri Siregar
Resky Dwi Cahyati
Ilham Haidir
Ayu Ika Pratiwi
Baso Agung
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas ke hadirat Allah SWT. karena atas rahmat dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu dengan judul
“Pengembangan Inokulum Untuk Meningkatkan Mutu Glzi Tempe” oleh Mien
Karmini; Hermana; dan Erwin Affaildi.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu sumber bagi
pembaca dalam menambah pengetahuan mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan
pengembangan inokulum untuk fermentasi.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat menjadi lebih baik lagi.
Makalah ini penulis akui masih banyak kekurangan karena pengalaman dan
pengetahuan yang penulis miliki masih sangat kurang dan terbatas. Oleh kerena itu
penulis harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis ucapkan
terimakasih atas perhatiannya.
Makassar, April 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian-penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa pada proses
pembuatan tempe terjadi sintesis vitamin B12 dan antioksidan trihidroksi-isoflavon
atau Faktor-2 (1,2). Kedua komponen tempe tersebut terbentuk oleh kapang
Rhizopus Sp dan bakteri.
Pada penelitian Bioteknologi Indonesia - Jerman (BTIG) di Universitas
Munster (3), ditemukan dua jenis bakteri yang mempunyai kemampuan mensintesis
vitamin B12 yaitu Citrobacter freundii dan Klebsiella pneumoniae. Selain itu dapat
diidentifikasi pula dua jenis bakteri yang berpotensi dalam pembentukan antioksidan
Faktor-2 yaitu bakteri Corynebacterium Sp dan Micrococcus luteus. Keempat bakteri
tersebut tidak sengaja ditambahkan pada proses pembuatan tempe, namun terikutkan
pada proses perendaman kedelai. Tidak semua contoh tempe atau air perendam yang
diambil dari berbagai daerah di Indonesia mengandung keempat bakteri tersebut.
Sebagian besar perajin tempe di Indonesia menggunakan inokulum tempe
berupa bubuk kering sebagai pembawa spora kapang Rhizopus Sp, sebagian perajin
lainnya menggunakan inokulum daun waru.
Dalam kedua jeuis inokulum tersebut, yang diambil sebagai contoh pada
penelitian BTIG tidak ditemukan keempat bakteri berpotensi tersebut di atas. Apabila
bakteri Citrobakter freundii atau Klebsiella pneumoniae ditambahkan pada proses
pembuatan inokulum tempe, mungkin semua tempe yang diproduksi dapat
mengandung vitamin B12 dalam jumlah optimum. Demikian pula apabila
Corynebacterium Sp atau Micrococcus luteus ditambahkan dalam pembuatan
inokulum, maka setiap tempe yang diproduksi dapat mengandung Faktor-2.
Dapatkah bakteri Citrobacter freundi atau Kleisiella pneumoniae atau
Corynebacterium Sp atau Micrococcus luteus dicampur bersama kapang Rhizopus Sp
dalam media tepung yang kering, dan apabila dapat, masihkah bakteri-bakteri
tersebut berpotensi menghasilkan komponen tersebut ?. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Mien Karmini dkk., dibuat inokulum tempe dalam bentuk tepung
yang mengandung campuran kapang Rhizopus Sp dan masing-masing bakteri
tersebut di atas. Kemudian inokulum diuji dalam pembuatan tempe.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diangkat dari makalah ini adalah:
1. Bagaimana inokulum sel dan bakteri
2. Bagaimana inokulasi kapang dan bakteri
3. Bagainaman inokulasi dalam fermentasi makanan
4. Apa sifat dan jenis medium dalam inokulum
5. Apa komponen dan formulasi medium
6. Fermentasi sistem tertutup, kontinyu, dan fed-batch
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana inokulasi sel
bakteri dan kapang yang terikait dalam fermentasi makanan (tempe), serta
mengetahui jenis medium dalam inokulum dan komponen yang terdapat di
dalamnya.
BAB II
ISI
2.4 Sifat Fisik dan Jenis Medium
Medium merupakan suatu bahan yang terdiri atas campuran nutrisi yang
dipakai untuk menumbuhkan mikroorganisme. Medium agar merupakan salah satu
tehnik yang sangat baik untuk memisahkan mikroba sehingga dapat diketahui
masing-masing. Menurut Pelczar (1988) dasar makanan yang paling baik bagi
pemeliharaan dan pembiakan bakteri adalah medium yang mengandung zat-zat
organik seperti rebusan daging, sayur-sayuran, sisa makanan atau ramuan-ramuan
yang dibuat oleh manusia.
Medium adalah suatu bahan yang terdiri atas campuran nutrisi yang dipakai
untuk menumbuhkan mikroba. Selain untuk menumbuhkan mikroba, medium dapat
digunakan pula untuk osilasi, memperbnayak, pengujian sifat-sifat fisiologi, dan
perhitungan mikroba.
a. Medium berdasarkan sifat fisik
Ø Medium padat yaitu media yang mengandung agar 15% sehingga setelah dingin
media menjadi padat..
Ø Medium setengah padat yaitu media yang mengandung agar 0,3-0,4% sehingga
menjadi sedikit kenyal, tidak padat, tidak begitu cair. Media semi solid dibuat dengan
tujuan supaya pertumbuhan mikroba dapat menyebar ke seluruh media tetapi tidak
mengalami percampuran sempurna jika tergoyang. Misalnya bakteri yang tumbuh
pada media NfB (Nitrogen free Bromthymol Blue) semisolid akan membentuk cincin
hijau kebiruan di bawah permukaan media, jika media ini cair maka cincin ini dapat
dengan mudah hancur. Semisolid juga bertujuan untuk mencegah/menekan difusi
oksigen, misalnya pada media Nitrate Broth, kondisi anaerob atau sedikit oksigen
meningkatkan metabolisme nitrat tetapi bakteri ini juga diharuskan tumbuh merata
diseluruh media.
Ø Medium cair yaitu media yang tidak mengandung agar, contohnya adalah NB
(Nutrient Broth), LB (Lactose Broth).
b. Medium berdasarkan komposisi
Ø Medium sintesis yaitu media yang komposisi zat kimianya diketahui jenis dan
takarannya secara pasti, misalnya Glucose Agar, Mac Conkey Agar.
Ø Medium semi sintesis yaitu media yang sebagian komposisinya diketahui secara
pasti, misanya PDA (Potato Dextrose Agar) yang mengandung agar, dekstrosa dan
ekstrak kentang. Untuk bahan ekstrak kentang, kita tidak dapat mengetahui secara
detail tentang komposisi senyawa penyusunnya.
Ø Medium non sintesis yaitu media yang dibuat dengan komposisi yang tidak dapat
diketahui secara pasti dan biasanya langsung diekstrak dari bahan dasarnya,
misalnya Tomato Juice Agar, Brain Heart Infusion Agar, Pancreatic Extract.
c. Medium berdasarkan tujuan
Ø Media untuk isolasi
Media ini mengandung semua senyawa esensial untuk pertumbuhan mikroba,
misalnya Nutrient Broth, Blood Agar.
Ø Media selektif/penghambat
Media yang selain mengandung nutrisi juga ditambah suatu zat tertentu sehingga
media tersebut dapat menekan pertumbuhan mikroba lain dan merangsang
pertumbuhan mikroba yang diinginkan. Contohnya adalah Luria Bertani medium
yang ditambah Amphisilin untuk merangsang E.coliresisten antibotik dan
menghambat kontaminan yang peka, Ampiciline. Salt broth yang ditambah NaCl 4%
untuk membunuh Streptococcus agalactiae yang toleran terhadap garam.
Ø Media diperkaya (enrichment)
Media diperkaya adalah media yang mengandung komponen dasar untuk
pertumbuhan mikroba dan ditambah komponen kompleks seperti darah, serum,
kuning telur. Media diperkaya juga bersifat selektif untuk mikroba tertentu. Bakteri
yang ditumbuhkan dalam media ini tidak hanya membutuhkan nutrisi sederhana
untuk berkembang biak, tetapi membutuhkan komponen kompleks, misalnya Blood
Tellurite Agar, Bile Agar, Serum Agar, dll.
Ø Media untuk menentukan kebutuhan nutrisi spesifik.
Media ini digunakan unutk mendiagnosis atau menganalisis metabolisme suatu
mikroba. Contohnya adalah Koser’s Citrate medium, yang digunakan untuk menguji
kemampuan menggunakan asam sitrat sebagai sumber karbon.
Ø Media untuk karakterisasi bakteri
Media yang digunakan untuk mengetahui kemempuan spesifik suatu mikroba.
Kadang-kadang indikator ditambahkan untuk menunjukkan adanya perubahan kimia.
Contohnya adalah Nitrate Broth, Lactose Broth, Arginine Agar.
Ø Media diferensial
Media ini bertujuan untuk mengidentifikasi mikroba dari campurannya berdasar
karakter spesifik yang ditunjukkan pada media diferensial, misalnya TSIA (Triple
Sugar Iron Agar) yang mampu memilih Enterobacteria berdasarkan bentuk, warna,
ukuran koloni dan perubahan warna media di sekeliling koloni.
2.5 Komponen dan Formulasi Medium
Medium fermentasi memiliki fungsi untuk menyediakan semua nutrisi yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk memperoleh energi, pembentukan sel dan biosintesis produk-produk
metabolisme. Oleh karena itu, suatu medium fermentasi harus mengandung komponen-
komponen yang diperlukan oleh mikroorganisme dalam proses fermentasi. Komponen-
komponen tersebut adalah:
1. Air
Semua proses fermentasi, kecuali solid-substrat fermentasi, memerlukan sejumlah besar air.
Di banyak kasus juga menyediakan elemen mineral. Tidak hanya Air merupakan komponen
utama dari semua media, tetapi penting untuk peralatan pendukung dan pembersihan. Sebuah
handal sumber sejumlah besar air bersih, yang konsisten Komposisi, Oleh karena itu penting.
Sebelum digunakan, penghapusan padatan tersuspensi, koloid dan mikroorganisme adalah
biasanya diperlukan. Ketika pasokan air 'keras', itu adalah diperlakukan untuk
menghilangkan garam seperti kalsium karbonat. Besi dan klorin juga mungkin memerlukan
penghapusan. Untuk beberapa fermentasi, terutama tanaman dan kultur sel hewan, yang air
harus sangat murni. Air menjadi semakin mahal, memerlukannya recycle / reusage sedapat
mungkin. Ini meminimalkan air biaya dan mengurangi volume membutuhkan limbah
pengolahan air.
2. Sumber karbon
Sumber karbon yang umum digunakan adalah karbohidrat, antara lain; serealia, umbi ketela
pohon, jagung dan lain-lain. Selain itu juga yang umum digunakan adalah sukrosa yang
diperoleh dari gula tebu, laktosa yang diperoleh dari gula susu serta corn step liquor dari
hasil samping ekstrak pati jagung dan molase, malt extract, starch, sulphite waste liquor,
selulosa serta whey.
a. Molasses
Glukosa dan sukrosa murni jarang digunakan untuk skala industri fermentasi, terutama
karena biaya. Molasses, sebuah produk sampingan dari tebu dan produksi gula bit,
merupakan lebih murah dan lebih biasa sumber sukrosa. Bahan ini adalah residu yang tersisa
setelah sebagian besar sukrosa memiliki telah mengkristal dari ekstrak tumbuhan. Ini adalah
gelap berwarna kental sirup yang mengandung 50-60% (b / v) karbohidrat, terutama sukrosa,
dengan 2% (b / v) nitrogen zat, bersama dengan beberapa vitamin dan mineral. Komposisi
keseluruhan bervariasi tergantung pada sumber tanaman, lokasi tanaman, iklim kondisi di
mana ia tumbuh dan pabrik di mana ia diproses. Konsentrasi karbohidrat dapat dikurangi
selama penyimpanan dengan mencemari mikroorganisme. Sebuah produk serupa, molase
hydrol, juga dapat digunakan. Ini produk sampingan dari pati jagung pengolahan terutama
mengandung glukosa.
b. Malt Ekstrak
Ekstrak air dari barley malt dapat terkonsentrasi untuk membentuk sirup yang karbon sangat
berguna sumber untuk budidaya jamur berfilamen, ragi dan aktinomisetes.Persiapan ekstrak
dasarnya sama seperti untuk produksi wort malt dalam pembuatan bir. Komposisi ekstrak
malt bervariasi sampai batas tertentu, tetapi mereka biasanya mengandung sekitar 90%
karbohidrat, atas dasar berat kering. Ini terdiri dari 20% heksosa (glukosa dan fruktosa dalam
jumlah kecil), 55% disakarida (terutama maltosa dan jejak sukrosa), bersama dengan 10%
maltotriosa, trisaccharide a. Selain itu, produk ini mengandung berbagai bercabang dan
dekstrin bercabang (15-20%), yang mungkin atau mungkin tidak akan dimetabolisme,
tergantung pada mikroorganisme. Ekstrak malt juga mengandung beberapa vitamin dan
sekitar 5% senyawa nitrogen, protein, peptida dan asam amino. Sterilisasi media yang
mengandung ekstrak malt harus hati-hati dikendalikan untuk mencegah over-heating.
Konstituen gula-gula pereduksi dan asam amino cenderung menghasilkan produk reaksi
Maillard ketika dipanaskan pada pH rendah. Ini adalah produk kondensasi coklat yang
dihasilkan dari reaksi gugus amino dari amina, amino asam dan protein dengan gugus
karbonil mengurangi gula, keton dan aldehida. Tidak hanya menyebabkan ini perubahan
warna, tetapi juga mengakibatkan hilangnya difermentasi bahan dan beberapa produk reaksi
dapat menghambat mikroba pertumbuhan.
c. Starch dan Dekstrin
Ini polisakarida yang tidak mudah dimanfaatkan sebagai monosakarida dan disakarida, tetapi
dapat langsung dimetabolisme oleh amilase penghasil mikroorganisme, khususnya filamen
jamur. Mereka ekstraseluler enzim menghidrolisis substrat untuk campuran glukosa, maltosa
atau maltotriosa untuk menghasilkan spektrum gula mirip dengan yang ditemukan dalam
ekstrak malt banyak.
d. Pati Jagung
Pati jagung yang paling banyak digunakan, tetapi juga mungkin diperoleh dari sereal lain dan
akar tanaman. Untuk memungkinkan gunakan dalam jangkauan yang lebih luas dari
fermentasi, pati biasanya diubah menjadi sirup gula, mengandung sebagian besar glukosa. Ini
adalah pertama gelatinized dan kemudian dihidrolisis oleh asam encer atau enzim amilolitik,
glucoamylases sering mikroba yang beroperasi pada suhu yang tinggi.
e. Sulfit Limbah Minuman Keras
Gula yang mengandung limbah yang berasal dari pembuatan bubur kertas industri terutama
digunakan untuk budidaya ragi. Limbah minuman keras dari pohon konifer mengandung
2-3% (b / v) gula, yang merupakan campuran dari heksosa (80%) dan pentosa (20%).
Heksosa mencakup glukosa, mannose dan galaktosa, sedangkan gula pentosa sebagian besar
xilosa dan arabinosa. Mereka minuman keras yang berasal dari pohon deciduous
mengandung terutama pentosa. Biasanya minuman keras membutuhkan pengolahan sebelum
digunakan karena mengandung belerang dioksida. Itu pH rendah disesuaikan dengan kalsium
hidroksida atau kalsium karbonat, dan ini minuman keras yang dilengkapi dengan sumber
nitrogen dan fosfor.
f. Selulosa
Selulosa yang terutama ditemukan sebagai lignoselulosa dalam dinding sel tanaman, yang
terdiri dari tiga polimer: selulosa, hemiselulosa, dan. Lignoselulosa tersedia dari pertanian,
kehutanan, industri dan domestik limbah. Relatif sedikit mikroorganisme dapat
menggunakannya secara langsung, karena sulit untuk menghidrolisis. Komponen selulosa
adalah sebagian kristal, bertatahkan dengan lignin, dan menyediakan luas permukaan kecil
untuk serangan enzim. Kini hal ini terutama digunakan dalam bentuk padat-substrat
fermentasi untuk menghasilkan berbagai jamur. Namun, berpotensi menjadi sumber
terbarukan yang sangat berharga difermentasi gula sekali dihidrolisis, khususnya
di biokonversi menjadi etanol untuk penggunaan bahan bakar.
g. Whey
Whey merupakan produk sampingan dari industri air susu. Itu produksi di seluruh dunia
tahunan lebih dari 80 juta ton, mengandung lebih dari 1 juta ton laktosa dan 0,2 juta ton
protein susu. Bahan ini mahal untuk toko dan transportasi. Oleh karena itu, laktosa
konsentrat yang sering disiapkan untuk fermentasi kemudian dengan penguapan whey
penghapusan, berikut protein susu untuk digunakan sebagai suplemen makanan. Laktosa
umumnya kurang berguna sebagai bahan baku fermentasi dibandingkan sukrosa, karena
dimetabolisme oleh organisme sedikit. S. Cerevisiae, misalnya, tidak memfermentasi laktosa.
Disakarida ini dulunya digunakan secara ekstensif dalam fermentasi penisilin dan itu adalah
masih digunakan untuk memproduksi etanol, protein sel tunggal, asam laktat, xanthan gum,
vitamin B12 dan giberelat acid.
3. Sumber Nitrogen
Kebanyakan mikroba industri dapat memanfaatkan baik anorganik dan organik sumber
nitrogen. Nitrogen anorganik mungkin disediakan sebagai garam amonium, amonium sulfat
seringkali dan diamonium hidrogen fosfat, atau amonia. Amonia juga dapat digunakan untuk
mengatur pH fermentasi. Sumber nitrogen organik termasuk amino asam, protein dan urea.
Nitrogen sering disediakan dalam mentah bentuk yang pada dasarnya produk sampingan dari
industri lain, seperti jagung curam, minuman keras ekstrak ragi, peptones dan kedelai makan.
Asam amino murni hanya digunakan dalam situasi khusus, biasanya sebagai prekursor untuk
spesifik produk.
4. Mineral
Mg, P, K, S, Ca, dan Cl merupakan komponen penting dalam medium fermentasi selain Cu,
Co, Fe, Mo, Zn yang merupakan sumber mineral untuk mikroorganisme dalam fermentasi.
5. Vitamin dan factor pertumbuhan
Banyak bakteri dapat mensintesis semua vitamin yang diperlukan dari elemen dasar. Untuk
bakteri lainnya, jamur berfilamen dan ragi, mereka harus ditambahkan sebagai suplemen
untuk media fermentasi. Paling alami karbon dan nitrogen Sumber juga mengandung
setidaknya beberapa dari yang diperlukan vitamin sebagai kontaminan ringan. Lainnya yang
diperlukan faktor pertumbuhan, asam amino, nukleotida, asam lemak dan sterol,
ditambahkan baik dalam bentuk murni atau, untuk ekonomi alasan, sebagai tanaman lebih
murah dan ekstrak hewan.
6. Buffer
Buffer merupakan zat untuk mengendalikan atau menjaga pH medium. Biasanya pH medium
dipertahankan sekitar pH netral. Misalnya, Ca , garam pospat, protein, pepton, asam amino.
7. Oksigen
Tergantung pada jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh organisme, itu mungkin diberikan
dalam bentuk udara yang mengandung sekitar 21% (v / v) oksigen, atau kadang-kadang
sebagai oksigen murni ketika persyaratan yang sangat tinggi.Organisme Kebutuhan oksigen
dapat bervariasi tergantung pada sumber karbon. Untuk fermentasi sebagian udara atau
suplai oksigen penyaring disterilkan sebelum disuntik dalam fermentor tersebut.
8. Antifoams
Antifoams diperlukan untuk mengurangi pembentukan busa selama fermentasi. Busa ini
terutama disebabkan oleh protein Media yang menjadi melekat pada antarmuka udara-kaldu
di mana mereka mengubah sifat sesuatu benda untuk membentuk busa yang stabil.Jika tidak
dikontrol busa dapat menghalangi filter udara, yang mengakibatkan kerugian kondisi aseptik,
fermentor menjadi terkontaminasi dan mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan.
Yang penting mungkin paling adalah kebutuhan untuk memungkinkan 'Freeboard' dalam
fermentor untuk memberikan ruang untuk busa dihasilkan. Jika berbusa diminimalkan,
kemudian throughputs dapat ditingkatkan.Ada tiga pendekatan yang memungkinkan untuk
mengendalikan busa produksi: modifikasi komposisi media, penggunaan pemutus busa
mekanik dan penambahan antifoams kimia. Antifoams kimia surfaceactive agen yang
mengurangi tegangan permukaan yang mengikat busa bersama-sama
Pada formulasi media Media harus memenuhi kebutuhan mikroba untuk
pembentukan biomasa selnya dan metabolit.Langkah utama yang harus
dipertimbangkan dalam formulasi media adalah persamaan reaksi pertumbuhan sel
dan pembentukan produk yaitu:
Sumber energi +Sumber N + kebutuhan hidupbiomassa sel + produk + CO2 +
H2O + panas
Langkah-langkah dalam merancang formulasi medium adalah:
1. Mengetahui komposisi sel
Tabel 2.1 Komposisi elemental tipikal untuk mikroba
Elemen Bobot kering sel (%)
Karbon 50
Nitrogen 7-12
Pospor 1-3
Sulfur 0.5-1.0
Magnesium 0.5
Tabel 2.2 Komposisi unsur pada bakteri, yeast dan jamur (% berat kering)
Unsur Bakteri Khamir Jamur
Karbon 50-53 45-50 40-63
Hidrogen 7 7 -
Nitrogen 12-15 7.5-11 7-10
Fosfor 2.0-3.0 0.8-2.6 0.4-4.5
Sulfur 0.1-0.2 0.01-0.24 0.1-0.5
Potasium 1.0-4.5 1.0-4.0 0.2-2.5
Sodium 0.5-1.0 0.01-0.1 0.02-0.5
Kalsium 0.01-1.1 0.1-0.3 0.1-1.4
Magnesium 0.1-0.5 0.1-0.5 0.1-0.5
Klorida 0.5 - -
Besi 0.02-0.2 0.01-0.5 0.1-0.2
2. Kebutuhan Biokimia Spesifik
Ada mikroba yang dapat tumbuh pada media garam mineral sederhana ada yang
memerlukan zat-zat biokimia spesifik karena tidak mampu mensintesis sendiri.
Contoh: khamir memerlukan biotin, tiamin dan riboflavin.
3. Kebutuhan Energi
Mikroba dapat mengkonversi zat kimia dasar menjadi molekul kompleks dan
memerlukan energi yang berasal dari oksidasi zat organik tereduksi yang terkendali.
Karbon digunakan untuk menghasilkan energi (biosintesis) dan untuk memenuhi
keperluan karbon pada sel dalam. Persamaan reaksi biosintesis sel :
A(CaHb Oc) + B(O2) + D(NH)3 M(CαHβOγNσ) + P(CO2) + Q(H2O)
Rasio massa sel per unit substrat (M/A) tergantung pada
proporsi substrat untuk energi dan untuk massa sel
Y =berat kering sel yangdiperoleh
berat substrat karbon yang yangdipakai
2.6 Fermentasi Sistem Tertutup (batch), Kontinyu dan fed-batch
Pada sistem fermentasi bawah permukaan (submerged fermentation) dapat
digolongkan lagi menjadi beberapa cara, diantaranya :
1. Batch Process
Menurut Iman, 2008, Batch Process merupakan fermentasi dengan cara
memasukan media dan inokulum secara bersamaan ke dalam bioreactor dan
pengambilan produk dilakukan pada akhir fermentasi. Pada system batch, bahan
media dan inokulum dalam waktu yang hampir bersamaan di masukan ke dalam
bioreactor, dan pada saat proses berlangsung akan terjadi terjadi perubahan kondisi di
dalam bioreactor(nutrient akan berkurang dan produk serta limbah).
Pada system fermentasi Batch, pada pasarnya prinsipnya merupakan sistem
tertutup, tidak ada penambahan media baru, ada penambahan oksigen (-O2)
dan aerasi, antifoam dan asam/basa dengan cara kontrol pH (Iman, 2008).
Batch Fermentation banyak diterapkan dalam dunia industri, karena kemudahan
dalam proses sterilisasi dan pengontrolan alat (Minier and Goma, 1982) dalam Setiyo
Gunawan (2010). Selain itu juga, pada cara batch menurut penelitian yang dilakukan
Hana Silviana (2010), mengatakan bahwa cara batch banyak diaplikasikan di industri
etanol karena dapat menghasilkan kadar etanol yang tinggi.
Pada fermentasi secara batch untuk fermentasi etanol terjadi kendala yaitu
produktivitas etanol rendah. Rendahnya produktivitas etanol karena pada kondisi
tertentu etanol yang dihasilkan akan menjadi inhibitor, yang akan meracuni
mikroorganisme sehingga mengurangi aktivitas enzim, hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan Reksowardojo (2007) tentang produksi etanol
menggunakan cara batch. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan
oleh Minier dan Goma (1982) dalam Hakim (2010), bahwa fermentasi cara ini
mempunyai kendala bahwa konsentrasi etanol yang dihasilkan sangat rendah karena
produksi etanol yang terakumulasi akan meracuni mikroorganisme pada proses
fermentasi. Akumulasi dari produk terlarut yang bersifat racun akan menurunkan
secara perlahan-lahan dan bahkan dapat menghentikan pertumbuhan serta produksi
dari mikroorganisme.
Kendala lain yang terjadi pada cara batch adalah pada proses batch hanya satu siklus
dimana pertumbuhan bakteri dan produksi gas metan semakin lama semakin
menurun karena tidak ada substrat baru yang diumpankan dalam reactor (Aprilianto,
2010). Hal ini juga diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Natalia
Hariani (2010), proses batch mempunyai kendala, membutuhkan waktu fermentasi
yang lama, konsentrasi etanol yang dihasilkan rendah akibat akumulasi produk etanol
yang dapat meracuni mikroorganisme pada proses fermentasi. Akumulasi dari
produk terlarut yang bersifat racun akan menurunkan secara perlahan-lahan dan
selanjutnya menghentikan pertumbuhan mikroorganisme serta produksi etanol.
Pada system batch, jumlah bakteri akan terus bertambah sedangkan tidak ada substrat
yang ditambahkan dalam reaktor sehingga glukosa yang terkonversi menjadi etanol
akan semakin besar (Hana, 2010).
Menurut Rommy (2010), Bioreaktor tipe batch Tipe batch memiliki
keuntungan lain yaitu dapat digunakan ketika bahan tersedia pada waktu – waktu
tertentu dan bila memiliki kandungan padatan tinggi (25%). Bila bahan berserat/ sulit
untuk diproses, tipe batch akan lebih cocok dibanding tipe aliran kontinyu (continuos
flow), karena lama proses dapat ditingkatkan dengan mudah. Bila proses terjadi
kesalahan, misalnya karena bahan beracun, proses dapat dihentikan dan dimulai
dengan yang baru.
Sebagai contoh, merupakan cara batch yang digunakan adalah cara batch
anaerob dari penelitian Soewondo (2010). Reaktor yang digunakan dalam dalam hal
ini adalah reaktor batch anaerob dengan volume operasional sebesar 4 L. Pada
penutup reaktor, terdapat 2 buah selang silikon untuk sampling gas dan penambahan
substansi (penetralan pH dengan basa), termometer, serta pengaduk. Untuk reaktor
cair, digunakan magnetic stirrer sebagai pengaduk. Substrat yang telah dicampurkan
dengan inokulum dimasukkan ke dalam reaktor. Setelah reaktor ditutup dengan rapat,
nitrogen dialirkan untuk mengusir oksigen yang berada dalam reaktor supaya tercipta
suasana anaerob. Reaktor dioperasikan selama 65 hari.
2. Proses Kontinyu (Continues Process)
Pada cara kontinyu (Continues Process), pengaliran subtrat dan pengambilan
produk dilakukan secara terus menerus (sinambung) setiap saat setelah diperoleh
konsentrasi produk maksimal atau subtract pembatasnya mencapai konsentrasi yang
hampir tetap (Rusmana, 2008). Dalam hal ini subtrat dan inokulum dapat
ditambahkan bersama-sama secara terus menerus sehingga fase eksponensial dapat
diperpanjang.
Pada Sistem kontinyu (Continues Process), pada pasarnya prinsipnya
merupakan fermentasi kontinyu dimana pada fermentor sistem terbuka, ada
penambahan media baru, ada kultur yg keluar, volume tetap dan fase fisiologi sel
konstan (Iman, 2008).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Reksowardojo (2007), bahwa
pada sistem kontinyu dengan dilution rateyang lebih kecil (waktu tinggal yang lebih
besar) memberikan hasil konsentrasi etanol yang lebih mendekati
sistem batch sehingga apabila waktu tinggal dalam reaktor diperpanjang,
memungkinkan konsentrasi etanolyang dihasilkan lebih mendekati sistem batch.
Bioreaktor yang dibuat adalah jenis one stage kontinyu, yang terdiri dari tiga
komponen utama (penampung sementara, reaktor dan gas kolektor)
(Katherin, 2010). Pada tipe aliran kontinyu bahan dimasukkan ke dalam digester
secara teratur pada satu ujung dan setelah melalui jarak tertentu, keluar di ujung yang
lain. Tipe ini mengatasi masalah pada proses pemasukan dan pengosongan pada tipe
batch. Menurut Aprilianto (2010), terdapat dua jenis dari tipe aliran kontinyu:
Vertikal, dikembangkan oleh Gobar Gas Institute, India
Horisontal, dikembangkan oleh Fry di Afrika Selatan dan California, selain itu
dikembangkan oleh Biogas Plant Ltd. dengan bioreaktor yang terbuat dari karet
Butyl (butyl ruber bag).
Dalam penelitian Tontowi (2010), yang telah terapkan pada proses
fermentasi kontinyu dilakukan dalam mixed flow reactor yang bervolume 1 L dengan
kecepatan putar 100 rpm. Proses fermentasi ini diawali dengan melakukan
fermentasi semibatch selama 16 jam. Sebelum fermentasi dimulai, reaktor terlebih
dahulu diisi dengan bead sampai volume mencapai 1/5 volume reaktor. Setelah
16 jam, proses fermentasi kontinyu mulai dilakukan dengan
mengalirkan feed dalam fermentor menggunakan pompa peristaltik. Laju
alir feed (mediamolasses) disesuaikan dengan variabel dilution rate yang dipakai.
3. Gabungan sistem batch dan kontinyu (Fed-Batch Process)
Sistem fed-batch adalah suatu sistem yang rnenambahkan media baru secara
teratur pada kultur tertutup, tanpa mengetuarkan cairan kultur yang ada di
dalam fermentor sehingga volume kultur makin lama makin bertambah Tri Widjaja
(2010. Menurut Rusmana (2008), pada cara fed-batch yaitu memasukan sebagian
sumber nutrisi (sumber C, N dan lain-lain) ke dalam bioreactor dengan volume
tertentu hingga diperoleh produk yang mendekati maksimal, akan tetapi konsentrasi
sumber nutrisi dibuat konstan. Pada sistem fermentasi Fed-Batch Process, menurut
Bambang (2010), merupakan pengembangan sistem batch, adanya penambahan
media baru, tidak ada kultur yg keluar dan yield lebih tinggi dari batch.
Proses fed-batch telah diterapkan secara luas dalam berbagai industni
fermentasi dan relatif lebih mudah digunakan untuk perbaikan
proses batch dibandingkan dengan proses kontinyu. Apabila pada
fermentasikontinyu dihasilkan keluaran secara terus-menerus maka pada fed-
batch diperoleh keluaran tunggal pada akhir inkubasi sehingga dapat ditangani
dengan cara yang sama seperti pada proses batch Sinclair & Kristiansen (1987)
dalam Budiatman (2009).
Pada fermentasi sistem batch Winarni (1995), profit
produksi dekstranase sebanding dengan biomassa. Tetapi pada
proses batch produksi dektranase yang dicapai lebih tinggi. Pada penelitian yang
dilakukan Budiatman (2009) menggunakan sistem fed-batch ini
produksi dekstnanase yang tinggh sebanding dengan nilai biomassa yang rendah dan
sebaliknya. Pada sistem fed-batch sulit untuk meiihat fase eksponensial dan fase
stasioneikecuali fase eksponensial pertama.
Keuntungan sistem fed-batch ini menurut penelitian yang dilakukan
Rachman (1989) dalam Budiatman (2009), ialah konsentrasi sisa substrat terbatas
dan dapat dipertahankan pada tingkat yang sangat rendah sehingga dapat mencegah
fenomena represi katabolit atau inhibisi substrat.
System Fed-Batch Process merupakan penelitian yang dilakukan oleh
Budiatman (2009). Proses Fermentasi. Kultur inokulum yang digunakan untuk proses
utama sejumlah 100 ml. Kultun inokulum tersebut diinokulasikan ke dalam 700 ml
media fermentasi dalam fermentor. Fermentasi berlangsung selama tiga kali 24 jam,
dengan tiga kali pengambilan contoh setiap hari. Pada 24 jam pertama fermentasi
berlangsung secara batchsedangkan 2 kali 24 jam berikutnya benlangsung secara
fed-batch. Awal penambahan substrat dilakukan pada jam ke-24. Volume substrat
yang ditambahkan selama proses fed-batch sekitar 900 ml dengan laju penambahan
19 mL/jam. Pada penelitian mi fermentasi berlangsung dalam fermentor kapasitas
dua liter dengan pengaturan pH pada pH 7 dan 8 serta kecepatan putaran 300 dan 500
rpm. Secara keseluruhan hasil penelitian produksi enzim dengan fermentasi
sistem fed-batch pada penlakuan kecepatan putaran 500 rpm mempunyai
kecenderungan yang sama dengan fermentasi sistem batch.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakuakan oleh Mien Karmini dkk., dapat disimpulkan
bahwa kapang Rhizopus oligosporus dapat dicampur baik dengan bakteri Klebsiella
pneumoniae atau Citrobacter freundii dalam suatu media inokulum berbentuk bubuk
dan inokulum campuran yang dihasilkan mampu meningkatkan kadar vitamin B12 di
dalam tempe lebih dari 100%.
Pengujian kualitatif produk tempe yang dihasilkan menggunakan inokulum
campuran Rhizopus oligosporus dengan bakteri Corynebacterium Sp dan
Micrococcus luteus berbentuk suspensi (generasi pertama), tidak menunjukkan
adanya kandungan antioksidan Faktor-2 atau trihidroksiisoflavon. Kemampuan
kedua jenis bakteri ini dalam mengubah genistein dan daidzein menjadi trihidroksi
isoflavon, telah dibuktikan pada percobaan in-vitro, demikian pula dalam beberapa
jenis tempe yang diproduksi perajin terdeteksi adanya kandungan Faktor-2.
Daftar Pustaka
Karmini, M., Hennano, dan Erwin Affandi, 2012, Pengembangan Inokulum Untuk Meningkatkan Mutu Gizi Tempe, Jurnal Teknologi industry dan Hasil Pertanian, 2(1): 115-121.