makalah aliran mu'tazilah

36
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ALIRAN MU’TAZILAH Dosen Pembimbing: Drs. H. Abd. Ro’uf, M.Ag Disusun oleh: Ady Nuramdani Purwanto 111110004 I A FAKULTAS TEKNIK INFORMATIKA

Upload: ady-nuramdani-purwanto

Post on 26-Oct-2015

748 views

Category:

Documents


34 download

DESCRIPTION

Makalah pendidikan Agama Islam

TRANSCRIPT

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

ALIRAN

MU’TAZILAH

Dosen Pembimbing:

Drs. H. Abd. Ro’uf, M.Ag

Disusun oleh:

Ady Nuramdani Purwanto

111110004

I A

FAKULTAS TEKNIK INFORMATIKA

UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN

2012

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Syukur Alhamdulillah Penulis Panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan taufiq serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

makalah ini. Sholawat serta salam atas junjungan Nabi Muhammad SAW yang

telah menunjukan dan mengarahkan umat manusia pada kebenaran dan kebajikan.

Dalam penulisan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak

terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun

materil karena penulis yakin tanpa bantuan itu penulis akan merasa kesulitan

untuk menyelesaikan makalah ini. Atas segala amal baiknya semoga Allah SWT

melimpahkan pahala berlipat ganda.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak

kekuranganya oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan.

Akhirnya penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat khusunya bagi

penulis dan bagi semua pihak pada umumnya, semoga Ridho Allah menyertai kita

semua. Amin Ya Robbal Alamin

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Lamongan, 30 Januari 2012

Penulis

i

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 2

1.3 Tujuan ........................................................................................ 2

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian ................................................................................... 3

2.2 Perkembangan ............................................................................ 3

2.3 Tokoh-tokoh Mu’tazilah ............................................................ 7

2.4 Sebab Penamaannya ................................................................... 10

2.5 Akar dan Produk Pemikiran Mu’tazilah .................................... 11

BAB III PEMBAHASAN ................................................................................ 19

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ................................................................................ 20

4.2 Saran ........................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari

Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tidak mereka akui karena

menyelisihi akal menurut prasangka mereka. Berbicara perpecahan umat

Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan

penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian

muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar

akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi

orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal

pada porsi yang benar. Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan

terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan

berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah

dan para sahabat-sahabatnya.

Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang

semakin banyak di kalangan kaum muslimin sehingga melemahkan

kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak

benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal

yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal

dan oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk

menasehati saudaranya agar tidak terjerumus ke dalam pemikiran kelompok

ini yaitu kelompok Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih

sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis

kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan

persatuannya.

Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu'tazilah dengan

nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang

membacanya, mereka menamainya dengan Aqlaniyah. Modernisasi

pemikiran. Westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang

mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar

dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan

iii

menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu perlu dibahas

asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari

Islam.

1.2 Rumusan Masalah

Apa yang dimaksud dengan Mu’tazilah?

1.3 Tujuan

Mengetahui pengertian Mu’tazilah

iv

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian

Mu'tazilah atau I'tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arab

menunjukkan kesendirian, kelemahan dan keterputusan.

Sedangkan sebagian ulama mendefinisikannya sebagai satu

kelompok dari qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam

permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Waashil bin

Atho' dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.

Dan kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan

terminologi didapatkan adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena

kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat Islam khususnya Ahli

Sunnah dan bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus sehingga

akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus.1

2.2 Perkembangan

Mu'tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakkan di

atas pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad kedua

hijriyah tepatnya tahun 105 atau 110 H di akhir-akhir kekuasaan Bani

Umayyah di kota bashroh di bawah pimpinan Waashil bin Atho' Al

Ghozaal. Kelompok atau sekte ini berkembang dan terpengaruh oleh

bermacam-macam aliran pemikiran yang berkembang di masa itu sehingga

didapatkan padanya kebanyakan pendapat mereka mengambil dari pendapat

aliran pemikiran Jahmiyah, kemudian berkembang dari kota Bashroh yang

merupakan tempat tinggalnya Al Hasan Al Bashry, lalu menyebar dan

merebak ke kota Kufah dan Baghdad, akan tetapi pada masa ini mu'tazilah

menghadapi tekanan yang sangat berat dari para pemimpin bani umayah

yang membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat terhambat

penyebarannya sehingga hal itu membuat mereka sangat membenci Bani

Umayah karena penentangan mereka terhadap mazhab (aliran) mu'tazilah

1 Salafyoon, Mu’tazilah, http://www.salafyoon.net/manhaj/mu-tazilah.html

0

dan i'tikad mereka dalam permasalahan qadar bahkan merekapun tidak

menyukai dan tidak meridhoi seorangpun dari pemimpin Bani Umayah

kecuali Yazid bin Al Waalid bin Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun

126 H ) karena dia mengikuti dan memeluk mazhab mereka.

Dalam hal ini berkata Al Mas'udy: Yazid bin Al Waali telah

bermazhab dengan mazhab Mu'tazilah dan pendapat mereka tentang lima

pokok (ajaran mereka) yaitu At Tauhid, Al Adl, Al Wa'iid, Al Asma wal

Ahkam yaitu pendapat Manzilah baina Al Manzilatain dan amar ma'ruf nahi

mungkar dan berkata lagi: (sehinga Mu'tazilah mengedepankan Yazid bin

Al Waalid dalam sisi keagamaan dari Umar bin Abdul Aziz.

Permusuhan dan perseteruan antara Bani Umayah dengan Mu'tazlah

ini berlangsung terus menerus dengan keras sampai jatuhnya kekuasaan

Bani Umayyah dan tegaknya kekuasaan Bani Abasiyah, kemudian

bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Bani Abasiyah,

berkembanglah Mu'tazilah dengan mulainya mereka mengirim para dai dan

delegasi-delegasi ke seluruh negeri Islam untuk mendakwahkan mazhab dan

i'tikad mereka kepada kaum muslimin dan diantara yang memegang peran

besar dan penting dalam hal ini adalah Waashil bn Atho'. Dan kesempatan

ini mereka peroleh karena mazhab mereka dengan syiar dan manhajnya

memberikan dukungan yang besar dalam mengokohkan dan menguatkan

kekuasaan Bani Abasiyah khususnya pada zaman Al Ma'mun yang condong

mengikut aqidah mereka, apalagi ditambah dengan persetujuan Al Ma'mun

terhadap pendapat mereka tentang Al Quran itu Makhluk sampai-sampai Al

Ma'mun mengerahkan seluruh kekuatan bersenjatanya untuk memaksa

manusia untuk mengikuti dan meyakini kebenaran pendapat tersebut, lalu

beliau mengirimkan mandat kepada para pembantunya di Baghdad pada

tahun 218 H untuk menguji para hakim, Muhadditsin dan seluruh Ulama

dengan pendapat bahwa Al Qur'an adalah makhluk, demikian juga beliau

memerintahkan para hakim untuk tidak menerima persaksian orang yang

tidak berpendapat dengan pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka

terjadilah fitnah yang sangat besar. Diantara para ulama yang mendapatkan

ujian dan cobaan ini adalah Al imam Ahmad bin Hambal dan kisah beliau

1

ini sangat terkenal, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah dan

pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al

Qur'an adalah kalamullah dan bukan makhluk.

Mu'tazilah terus mendapat perlindungan dan bantuan dari para

penguasa Bani Abasiyah dari zaman Al Ma'mun sampai zaman Al

Mutawakil dan pada zaman tersebut sekte mu'tazilah dijadikan mazhab dan

aqidah resmi negara, satu faktor yang membuat mereka mampu

menyebarkan kekuasaan mereka dan mampu menekan setiap orang yang

menyelisihi mereka, lalu mereka menjadikan padang sebagai ganti dari

hujjah dan dalil. Maka berkembanglah aliran ini di negeri-negeri muslimin

dengan bantuan dari sebagian pemimpin-pemimpin Bani Abasyah.

Kemudian mereka terpacah menjadi dua cabang:

1. Cabang Bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Waashil bin

Atho', Amr bin Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al 'Alaaf,

Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syahaam, Al

Jaahidz, Abu Ali Aljubaa'i, Abu Hasyim Al Jubaa'i dan yang lain-

lainnya.

2. Cabang Baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin

Mu'tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah

bin Al Asyras, Ja'far bin Harb, Ja'far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al

Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al Balkhy Al Ka'by dan yang lain-

lainnya.

Sebenarnya faktor yang mendasar yang mendorong mereka sibuk

dan memperdalam ilmu kalam adalah untuk membalas hujjah dengan hujjah

dan untuk menghancurkan hujjah-hujjah para musuh Islam serta untuk

membantah semua tuduhan dan kebohongan mereka sehingga akhirnya

mereka berlebih-lebihan dalam mengutamakan dan mengedepankan ilmu ini

atas semua ilmu yang selainnya,lalu mereka menjadikannya sebagai satu-

satunya cara untuk menentukan adanya Allah dan Rububiyah-Nya, hujah-

hujah kenabian dan untuk mengenal sunnah dari bid'ah, sebagimana yang

dikatakan Al Jaahidz: dan sesuatu apakah yang lebih agung dari segala

sesuatu, seandainya tidak karena kedudukannya, tidaklah dapat ditetapkan

2

kerububiyahan-Robb, tidak dapat ditegakkan hujah-hujah kenabian dan

tidak dapat dipisahkan antara hujjah dengan syubhat, dalil dengan apa yang

terbayangkan dalam bentuk dalil. Dengannya dapat dikenal Al Jamaah dari

Al Firqoh (kelompok yang menyempal) dan sunnah dari bid'ah serta

keanehan dari yang masyhur.

Walaupun mu'tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam

menekuni dan menyelami kehidupan akal sejak abad ke dua sampai ke lima

hijriyah, akan tetapi tidak mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan bahkan

akhirnya mengalami kemunduran dan kegagalan dalam bidang tersebut. Hal

ini tampaknya terjadi karena mereka tidak mengambil sumber manhaj

mereka dari Al Qur'an dan As Sunnah, bahkan mereka mendasarinya

dengan bersandar kepada akal semata yang telah dirusak oleh pemikran

filsafat yunani dan bermacam-macam aliran pemikiran. Sebab setiap

pemikiran yang tidak diterangi dengan manhaj kitabullah dan Sunnah Nabi

dan jalannya para Salaf Ash Sholeh maka akhirnya adalah kehancuran dan

kesesatan walaupun demikian hebatnya, karena mengambil sumber dan

penerangan dari Al Kitab dan Sunnah akan menerangi jalannya akal

sehingga tidak salah dan tersesat dan berjalan dengan jalannya para salafus

sholeh adalah pengaman dari kesesatan dan penyimpangan karena mereka

telah mengambil sumber mazhabnya dari sumber-sumber yang murni dari

Al Kitab yang tidak terdapat padanya satu kebathilanpun dan dari As

Sunnah yang barang siapa yang berpegang teguh dengannya berarti telah

berada pada hujjah yang terang benderang.

Berkata Shodruuddin Ibnu Abil Izzi Al Hanafy dalam mengomentari

ahlil kalam yang menta'wil nash-nash Al Kitab dan As sunnah dengan akal-

akal mereka,diantaranaya Mu'tazilah:dan sebab kesesatan mereka adalah

berpalingnya mereka dari meneliti kalamullah dan kalam Rasulillah dan

menyibukkah diri dengan kalam Yunani dan bermacam-macam aliran

pemikiran yang ada.2

2 Salafyoon, Mu’tazilah, http://www.salafyoon.net/manhaj/mu-tazilah.html

3

Oleh karena itu keutuhan dan kekelanggengan adalah miliknya

Ahlissunnah dan kehancuran adalah miliknya Mu'tazilah sebagai aplikasi

dari firman Allah:

Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya;

adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.

(QS. 13:17)

2.3 Tokoh-Tokoh Mu’tazilah

- Washil bin ‘Atha (699-748 M)

Nama lengkapnya Washil bin Atha al Ghazzal, ia terkenal sebagai

pendiri aliran Mu’tazilah yang pertama dan peletak lima besar ajaran

Mu’tazilah

- Abu Huzail al ‘Allaf (226 H/841 M)

Abu Huzzail al ‘Allaf adalah pendiri yang sebenarnya bagi aliran

Mu’tazilah. Ia mengembangkan pandangan-pandangan Mu’tazilah dan

meramunya dengan informasi-informasi baru. Atas prakarsanya, tidak

sedikit lahir tokoh besar Mu’tazilah. Ia dilahirkan di Basrah dan lama

berdomisili di kota ini. Al ‘Allaf pernah diundang ke Baghdad untuk

beberapa waktu, ia diberi umur panjang, hidup sekitar 100 tahun

lamanya. Hidup sezaman dengan gerakan penerjemahan Islam yang

terbesar. Berhubungan dengan kebudayaan asing. Kelebihan al ‘Allaf

ialah karena punya pengetahuan luas, pemikiran mendalam, lisan fasih,

argumentasi yang kuat, dan Pendebat aliran dualisme dan rafidah.

Seringkali dalam perdebatan al ‘Allaf berhasil membungkam lawannya.

Ia begitu terampil dalam diskusi-diskusinya hingga mampu mematahkan

(argumentasi) lawan, bahkan berhasil menarik kaum penentang untuk

4

memeluk Islam. Al ‘Allaf menulis dan mengarang banyak buku,

sayangnya kira-kira itu tidak diselamatkan dan musnah dimakan zaman,

yang dalam masalah ini ia sampai pada sejumlah pandangan yang keras

dan aneh, sehingga menjadi topik kritik pro dan kontra. Al ‘Allaf

merupakan orang pertama dari kalangan kaum muslimim yang serius

terjun menggeluti problematika ketuhanan, yang dibalut dengan label

filosofis.

- Al Nazzam (231 H/ 845 M)

Al Nazzam adalah filosof pertama dari kalangan Mu’tazilah yang paling

mendalam pikirannya. Paling berani, paling banyak berfikir merdeka di

samping orisinil pendapatnya di antara mereka. Al Nazzam adalah anak

saudara perempuan Al ‘Allaf dan muridnya sekaligus. Belajar kepadanya

kemudian memberontak dan berfikir merdeka. Al Nazzam sejalan dengan

al ‘Allaf dalam hal keluasan cakrawala, kefasihan lisan dan kekuatan

berargumentasi. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Basrah, kemudian

mengembara di pusat-pusat peradaban Islam kemudian ia berdomisili di

Baghdad. Ia tidak diberi umur panjang seperti gurunya al ‘Allaf . Di

antara pendapat yang kuat mengatakan bahwa ia meninggal pada usia 60-

70 tahun. Berkat kecerdasannya ia mampu menguasai dan mengkritik

teori-teori yang berkembang di sekitarnya, dan membawa kesimpulan

baru.

- Abu Hasyim al Jubba’i (321 H/ 932 M)

Al Jubba’i adalah tokoh besar terakhir dari kalangan Mu’tazilah. Ia

dilahirkan dan dibesarkan di Basrah. Ia belajar kepada ayahnya,

kemudian memisahkan diri darinya, berbeda pendapat dengannya lalu

mendirikan kelompok khusus. Ia hidup sezaman dengan al Farabi dan

sebagian kaum paripatetik Arab dan terpengaruh mereka . Teorinya

tentang al Ahwal (kondisi-konsisi), merupakan saksi terbaik yang

membuktikan anggapan itu. Al Jubba’i berusaha untuk menolak sebagian

teori kosmologi yang dikemukan oleh Aristoteles.

- Bisyr bin Al Mu’tamir (226 H/ 840 M)

5

Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah di Baghdad. Pandangan-

pandangannya mengenai kesusasteraan, sebagaimana yang banyak

dikutip oleh al Jahiz dalam bukunya “al Bayan wa al Tabyin”,

menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orang yang pertama-tama

mengadakan ilmu Balaghah.

Beberapa pendapatnya tentang paham Mu’tazilah hanya sedikit saja yang

sampai kepada kita. Ia adalah orang-orang yang pertama mengemukakan

soal tawallud (reproduction) yang boleh dimaksudkan untuk mencari

batas-batas pertanggung jawab manusia atas perbuatannya.

Di antara murid-muridnya yang besar pengaruhnya dalam penyebaran

paham-paham ke-Mu’tazilahan di Baghdad ialah Abu Musa al Mudar,

Tsumamah bin al Asyras dan Ahmad bin Fuad.

- Al Khayyat (303 H/ 925 M)

Ia adalah Abu Husein al Khayyat, termasuk tokoh Mu’tazilah Baghdad

dan pengarang buku ‘al Intisar’ yang dimaksudkan untuk membela aliran

Mu’tazilah dari serangan Ibnu al Rawandi. Ia hidup pada masa

kemunduran aliran Mu’tazilah.

- Al Qadhi Abdul Jabbar (1024 M di Ray)

Ia juga hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah. Ia diangkat

menjadi kepala hakim (qadhi al qudhat) oleh Ibnu ‘Abad. Di antara

karangan-karangannya ialah ulasan tentang pokok-pokok ajaran aliran

Mu’tazilah terdiri dari beberapa jilid, dan banyak dikutip oleh as Syarif al

Murtadha. Buku tersebut sedang dalam penerbitan di Kairo dengan nama

“al Mughni”.

- Az Zamakhsyari (467-538 H/ 1075-1144 M)

Namanya Jaar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar, kelahiran

Zamakhsyar, sebuah dusun di negeri Khawarazm (sebelah selatan lautan

Qazwen), Iran. Sebutan Jaarullah yang berarti tetangga Tuhan,

dipakainya karena ia lama tinggal di Mekah dan bertempat di sebuah

rumah dekat Ka’bah. Selama hidupnya ia banyak mengadakan

perlawatan, dari negeri kelahirannya menuju Baghdad, kemudian ke

Mekkah untuk bertempat di sana beberapa tahun lamanya dan akhirnya

6

ke Jurjan (Persi-Iran) dan di sana ia menghembuskan nafasnya yang

penghabisan.

Pada diri al Zamakhsyari sekumpulan karya alran Mu’tazilah selama

kurang lebih empat abad. Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu

(grammatika) dan paramasastera (lexicology) seperti yang dapat kita lihat

dalam tafsirnya ‘al Kassyaf’ dan kitab-kitab lainnya, seperti “al Fa-iq,

Assaul Balaghahdan al Mufassal”.

Ia dengan terang-terangan menonjolkan paham ke-Mu’tazilahannya dengan

dituliskan dalam buku-bukunya, serta dikemukakannya dalam pertemuan-

pertemuan keilmuan. Dalam tafsirnya ‘al Kassyaf’, ia telah berusaha

sekuatnya untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan ajaran-ajaran

Mu’tazilah, terutama lima prinsip, yaitu Tauhid, Keadilan, Janji dan

Ancaman, Tempat di antara dua tempat dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

2.4 Sebab Penamaannya

Para Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok

(aliran) ini dengan nama Mu’tazilah menjadi beberapa pendapat:

Pertama, penamaan mu’tazilah hasil dari diskursus tentang masalah

aqiedah ke-agamaan, seperti menghukumi pelaku dosa besar, tentang

masalah qodar dalam artian, apakah seorang hamba berkuasa atas

perbuatannya atau tidak. Dan pengusung pemikiran ini menamai mu’tazilah

dengan beberapa sebab :

1. Bahwasannya mereka meninggalkan kaum muslimin dengan perkataan

manjilah baina manjilataini (satu diantara dua tempat).

2. Mereka menamai mu’tazilah setelah hengkangnyah Wasil bin atha dari

halaqoh hasan Bashari dan membentuk halaqoh khusus. Tentang hal ini,

Hasan Bashari berkata “Wasil telah meninggalkan kita” bahwasanya

mereka berkata wajib meninggalkan pelaku dosa besar dan

membaikotnya.

Kedua, penamaan mu’tazilah lahir dari pergulatan politik di mana

sekelompok orang-orang dari Syi’ah Ali meninggalkan Hasan ketika

Mu’awiyah melepaskan jabatan (sebagai raja)

7

Adapun sejarawan Mu’tazilah (Qadli Abdu al-Jabar al-hamdani)

berpendapat bahwa mu’tazilah bukan madzhab baru atau firqah baru, akan

tetapi dia adalah pelanjut risalah Rasulullah saw dan shahabat-shahabatnya.

Penamaan tersebut, disebabkan mereka “menjauhi kejahatan”.3

2.5 Akar dan Produk Pemikiran Mu’tazilah

Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk

pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar

dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan

mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep

yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.4

Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah,

yaitu faham yang mengingkari taqdir Allah; dan menjadikan akal (rasio)

sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah

Pemikiran mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis

yang menjadi ideologi yang mereka yakini.

Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassarah fi’ladyân

wa’lmadzâhib wa’lahzâb al-mu’âshirah” bahwa pada awalnya sekte

mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’),

yaitu:

1. Pemikiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa

yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan

pekerjaan tersebut.

2. Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi

bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan

diantara dua kedudukan mu’min dan kafir (manzilatun

baina’lmanzilataini)

Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang

dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan

mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.

3 Zuqie, Mu’tazilah, http://zuqiee-zuqie.blogspot.com/2008/05/mutazilah.html4 Zuqiee, Mu’tazilah, http://zuqiee-zuqie.blogspot.com/2008/05/mutazilah.html

8

Sejalan dengan keberagaman akal manusia dalam berfikir maka

pemikiran yang dihasilkan oleh sekte mu’tazilah ini pun sama beragamnya.

Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang tidak

sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri

yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.

Dalam bukunya, “al-farqu baina’lfirâq”, Al-Baghdadi menyebutkan

bahwa sekte mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte 12. Keduapuluh sub

sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain dua puluh sub

sekte tersebut masih ada lagi dua sub sekte mu’tazilah yang oleh al-

Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam

kekafiran, kedua sekte tersebut adalah: al-khâbithiyah dan al-himariyyah.

Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dari dua puluh sub

sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa

pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam

pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah:

Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. dan pemikiran

bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh

sifat azali.

pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala

dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya

dan yang lain pun tidak bisa melihat “diri”-Nya.

Pemikiran tentang ke-baru-an (hâdits) kalâmu’lLah dan ke-baru-an

perintah, larangan, dan khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka

mengatakan bahwa kalâmu’lLah adalah makhluk-Nya.

Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan

pula pencipta prilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah

yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas perbuatannya sendiri dan Allah

tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga

seluruh prilaku hewan. Inilah alasan mu’tazilah disebut qodariyah oleh

sebagian kaum muslimin.

Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu

manzilah diantara dua manzilah mu’min dan kafir (manzilatun

9

baina’lmanzilataini). Inilah alasan mereka disebut mu’tazilah.

Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak

diperintahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada

dasarnya tidak Allah kehendaki.

Inilah sebagian produk pokok pemikiran mu’tazilah yang cukup

mewakili identitas mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran. seluruh

pemikiran mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh

pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sekte yang paling menguasai

ilmu kalam.

Ibnu Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan

salah seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam ‘Abdull’ah bin al-Mubarak.

Menurut Ibnu Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:

“Agama adalah kepunyaan ahli Hadits, kebohongan kepunyaan

kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya

kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional)”

Selanjutnya, dari enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh

sub sekte mu’tazilah di atas mereka merangkum kembali menjadi lima

dasar15 (ushûl) pemikiran yang menjadi trade mark mereka. Kelima dasar

pemikiran tersebut adalah: al-tauhîd, al-‘adl (kedilan Allah), al-wa’d

wa’lwa’îd (janji dan ancaman Allah), al-manzilatu baina’lmanzilataini, al-

amru bilma’rûf wa al-nahyu ‘ani’lmunkar.

Secara ringkas lima dasar pemikiran mu’tazilah ini dijelaskan dalam

mausu’ah WAMY, berikut kutipannya dengan sedikit perubahan:

(1) Al-Tauhîd

Mereka meyakini bahwa Allah disucikan dari perumpamaan dan

permisalan (laisa kamitslihi syai-un) dan tidak ada yang mampu

menentang kekuasaan-Nya serta tidak berlaku pada-Nya apa yang

berlaku pada manusia. Ini adalah faham yang benar, akan tetapi dari sini

mereka menghasilkan konklusi yang batil: kemustahilan melihat Allah

sebagai konsekwensi dari penegasian sifat-sifat (yang menyerupai

manusia); dan keyakinan bahwa al-Quran adalah makhluk sebagai

konsekwensi dari penegasian Allah memiliki sifat kalam.

10

(2) Al’adl (keadilan Allah)

Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak

menciptakan perbuatan hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai

kerusakan. Akan tetapi hamba-hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa

yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-

Nyadengan kekuatan (qudrah) yang Allah jadikan buat mereka. Dan

bahwasanya Allah tidak memerintah kecuali kepada yang diinginkan-

Nya dan tidak melarang kecuali dari yang dibenci-Nya. Dan Allah

adalah penolong bagi terlaksananya kebaikan yang diperintahkan-Nya

dan tidak bertanggungjawab atas terjadinya kemungkaran yang dilarang-

Nya.

(3) Al-wa’d wa’lwa’îd (janji dan ancaman Allah)

Maksud mereka dengan janji dan ancaman Allah adalah bahwa

Allah akan memberi pahala atas kebaikan yang diperbuat manusia dan

memberi balasan atas kejelekan yang dilakukannya, dan (secara mutlak)

tidak akan mengampuni pendosa besar jika tidak bertobat.

(4). Al-manzilatu baina’lmanzilataini

Maksud mereka adalah bahwa pendosa besar berada di antara

dua kedudukan, ia tidak berada dalam kedudukan mu’min tidak juga

kafir.

(5) Al-amru bilma’rûf wa al-nahyu ‘ani’lmunkar

Mereka menetapkan bahwa hal ini (al-amru bilma’rûf wa al-

nahyu ‘ani’lmunkar) adalah kewajiban seluruh mu’minin sebagai bentuk

penyebaran dakwah Islam; penyampaian hidayah bagi mereka yang

tersesat; dan bimbingan bagi mereka yang menyimpang. Semuanya

dilakukan sesuai kemampuan, bagi yang mampu dengan penjelasan

maka dengan penjelasan, yang mampu dengan pedang maka dengan

pedang.

Dari pemaparan tentang pemikiran Mu’tazilah di atas, terlihat bahwa

akal adalah satu-satunya sandaran pemikiran mereka. Oleh karena itu,

terkenallah bahwa mu’tazilah adalah pengusung teologi rasionalitas.

Teologi rasionaltas yang di usung kaum mu’tazilah tersebut bercirikan :

11

Pertama, Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak

mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan

pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan

ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari

nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak

memakai ta’wil dalam memahami wahyu.

Kedua, Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat

menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia

dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai

kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara

mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat

dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep

manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran

Ketiga, Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan

konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik

tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka

selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-

Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam

ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu

dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.

Teologi rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan

kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat

dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada

perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa

antara abad ke VIII dan ke XIII M.

Titik Lemah Ideologi Mu’tazilah

Jika mu’tazilah, dengan teologi rasionalitasnya, dikategorikan sekte

“pemuja” akal. apakah dengan itu berarti mereka adalah golongan berakal?

Jika kita masih memegang teguh al Quran, maka al Quran telah

menyiapkan jawabannya. Firman Allah dalam Q.S. Ali Imran: 7 sebagai

berikut:

12

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di

antara (isi) nya ada, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-

ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong

kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang

mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari

ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah.

Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada

ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan

tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang

berakal.”

Ayat di atas menegaskan bahwa terdapat dua jenis isi kandungan al

Quran: pertama, ayat-ayat yang muhkamat. Kedua, ayat-ayat yang

mutasyabihat. Kemudian menjelaskan bahwa di antara manusia ada yang

selalu condong pada kesesatan yaitu mereka yang selalu mengikuti ayat-ayat

mutasyâbihât dan mencari-cari ta’wilnya, padahal hanya Allah-lah yang

mengetahui ta’wilnya.

Lalu kalau kita melihat produk pemikiran mu’tazilah yang telah

dipaparkan di atas, maka kita dengan mudah akan mengetahui bahwa apa

yang banyak mereka bahas adalah ayat-ayat mutasyâbihât. Ambil saja

contohnya tentang sifat-sifat Allah yang Allah sendiri (dalam al Quran)

tidak menerangkannya secara detil (tafshîl). Lalu, dengan kecondongannya

kepada kesesatan, mereka mencari-cari ta’wil yang seluruhnya disandarkan

pada akal rasional. Akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan yang sesat

(sesuai kecondongan mereka) dengan mengatakan bahwa Allah tidak

memiliki sifat azali kalâm, bashar, dan lain sebagainya. Lebih sesat lagi

mereka mengatakan dan menyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh mata

13

manusia bahkan Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya! sungguh

kesesatan yang nyata.

Selanjutnya, karena kepuasannya menggunkan akal, mereka pun

menggunakannya dalam segala permasalahan hingga akhirnya

menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran, menyingkirkan al Quran

yang sebelumnya telah dilemahkan kedudukannya dengan mengatakan

bahwa al Quran adalah makhluk Allah yang berperspektif lelah dan

memiliki kekurangan; dan melupakan sunnah (juga) sebagai sumber hukum.

Dari realita tersebut, pantaslah jika mu’tazilah kita golongkan ke dalam

kelompok yang hatinya condong pada kesesatan seperti disitir dalam Ali

Imran ayat tujuh di atas.

Sementara sebagai negasi dari kelompok yang hatinya condong pada

kesesatan, Allah meyebutkan orang-orang yang ilmunya mendalam (al

râskhûna fi’l’ilmi) dan menjelaskan pendirian mereka dihadapan ayat-ayat

mutasyâbihât, mereka berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang

mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Mereka itulah para

Ulul Albab (orang yang berakal), satu-satunya golongan yang bisa

mengambil pelajaran.

Jika al Quran mengatakan bahwa orang yang berkata, “Kami

beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi

Tuhan kami.” Adalah orang yang mendalam ilmunya dan dinamainya

dengan ulul albab (orang yang berakal), lalu dimanakan mu’tazilah berada

jika bukan di golongan (yang cenderung pada) kesesatan?

Secara logika sehat (rasional) sendiri, ideologi mu’tazilah sudah

terpatahkan. Coba kita buka cakrawala kita dengan bebas menembus seluruh

alam semesta, bayangkan ribuan bintang, planet, meteorid dan berbagai

benda angkasa yang ada di semesta; lalu kembali lagi ke bumi yang usianya

sudah bermilyar-milyar tahun, bayangkan gunung dengan segala

karakteristik dan isinya, bayangakan hutan dengan binatang-binatang yang

mengisinya dengan berbagaimazam jenis dan bentuknya, kemudian

saksikan laut yang lebih luas dari daratan yang sangat menyimpan rahasia

14

yang tidak banyak diketahui. Adakah, dalam sejarah, seseorang dengan

kekuatan akalnya mampu mengetahui seluruh benda makhluk Allah itu?

Jika makhluk-makhlukNya saja tidak mampu difikirkan, apa

jaminannya akal akan mampu memikirkan Allah, Sang Pencipta! Sungguh

kesombongan yang nyata yang mengisi rongga hati manusia yang ngotot

ingin memikirkan dan merasionalisasikan Allah. Mereka adalah manusia

yang men-tuhan-kan hawa nafsu, nafsu intelektual mereka. Tentang hal ini

Allah berfirman:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa

nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-

Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan

meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan

memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka

mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. al Jatsiyah,45:23)

15

BAB III

PEMBAHASAN

Sangat Sulit Rasanya bila kita harus menjawab tuntas pertanyaan di atas,

apakah ideolodi mu’tazilah akan tetap laku atau sebaliknya, mengingat, di satu sisi

ideologi rasioalitas Mu’tazilah ditentang habis-habisan oleh mayoritas ummat

Islam, seperti kita tahu dalam perjalanan kesejarahannya, rasionalitas mu’tazilah

selalu dilawan oleh golongan dari al-Asy’ariyyah. Namun disisi lain banyak sekali

wacana pemikiran Islam yang mengusung ideologi rasionalitas tersebut.

Di samping fenomena di atas, adalah keterbatasan devisi kami dalam

litelatur, analisa dan wawasan yang menyebabkan tidak bisa memberi jawaban

yang tuntas.

Terlepas dari itu, kita sebagai ummat Islam yang menyerahkan diri secara

totalitas, termasuk dalam memberi porsi kepada akal. Islam melindungi dan

memberi ruang kebebasan untuk berpikir, tapi yang menjadi persoalan sejauh

mana perlindungan dan kebebasan berpikir itu diberikan, apakah manusia boleh

berpikir sebebas-bebasnya tanpa mengenal batas, sehingga boleh memikirkan

dunia yang bukan dunainya (makrokosmos), apakah manusia boleh memikirkan

tentang dzat Allah, hari akhirat dan merapkan paradigmanya pada dunia

metafisika, sehingga ia terperosok pada kekeliruan seperti yang dialami para

filisuf Yunani.

16

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sebagai akhir dari pembahasan makalah ini mungkin bisa sedikit

kami simpulkan bahwa mu’tazilah secara terminology para ulama’

mendefinisikan sebagai satu kelompok dari kodariah yang menyelisih

pendapat ulama’ islam khususnya ahli sunah dan berdiri sendiri dengan

konsep akalnya yang khusus sehingga akhirnya membuat mereka menjadi

lemah, tersembunyi dan terputus.

4.2 Saran

Sebaiknya kita sebagai umat muslim hidup rukun. Tidak saling

bercerai berai dalam perbedaan.

17

DAFTAR PUSTAKA

http://www.anakciremai.com/2009/04/makalah-ilmu-kalam-tentang-aliran.html

http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2010/04/silabi-ilmu-kalam-aliran-

mutazilah.html

http://zuqiee-zuqie.blogspot.com/2008/05/mutazilah.html

Salafyoon, Mu’tazilah, http://www.salafyoon.net/manhaj/mu-tazilah.html

Husein, Ahmad. Gerakan Ingkarusunnah Dan Jawabanya, Jakarta, Media Da’wah,

1990.

Raji Abdullah, M. Sufyan. Lc, Mengenal Aliran-Aliran Dalam Islam Dan Ciri-

Ciri Ajarannya, Jakarta, Pustaka Al-Riyadl, 2006.

Abdullah Mu’in, M. Thalib. Aliran Islam Pada Masa Khalifah, Yogyakarta,

Widjaya, 1978.

A. Nasir, Sahilun. Pengantar Ilmu Tauhid, Rajawali, Jakarta, 1991.

Al Qardhawy, Yusuf. Fiqhul Ikhtilaf, Jakarta, Robani Press, 1990