makalah agraria pengadaan tanah 1.docx
DESCRIPTION
Hukum AgrariaTRANSCRIPT
PENGADAAN TANAH MENJADI PENYEBAB UTAMA
TERHAMBATNYA PEMBANGUNAN JALAN ARTERI
DISUSUN OLEH :
PRAKOSO DEWANTORO
(E0012300)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………….. 1
Daftar Isi ………………………………………………………………………… 2
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… 3
A. Latar Belakang ………………………………………………………….. 3
B. Kasus ……………………………………………………….…………... 5
C. Rumusan Masalah ………………………………………………………. 6
BAB II LANDASAN TEORI ………………………………………………….. 7
BAB III PEMBAHASAN ……………………………………………………… 8
BAB IV PENUTUP ……………………………………………………………. 14
A. Kesimpulan ……………………………………………………………… 14
B. Saran …………………………………………………………………….. 15
Daftar Pustaka …………………………………………………………………… 16
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan sumber daya alam yang penting sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa bagi kelangsungan hidup umat manusia. Arti penting
ini menunjukan adanya pertalian yang sangat erat antara hubungan manusia
dengan tanah, karena tanah merupakan tempat pemukiman dan tempat mata
pencaharian bagi manusia. Tanah juga merupakan kekayaan nasional yang
dibutuhkan oleh manusia baik secara individual, badan usaha maupun
pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional. Perkembangan
pembangunan di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Kegiatan
pembangunan gedung sekolah inpres, rumah sakit, pasar, stasiun kereta api,
tempat ibadah, jembatan, pengadaan berbagai proyek pembuatan dan
pelebaran jalan serta pembangunan lainnya memerlukan tanah sebagai sarana
utamanya.
Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana pengambilan
tanah kepunyaan masyarakat untuk keperluan proyek pembangunan. Hal ini
memang menyangkut persoalan yang paling kontroversial mengenai masalah
pertanahan. Pada satu pihak tuntutan pembangunan akan tanah sudah
sedemikian mendesak sedangkan pada lain pihak sebagian besar warga
masyarakat juga memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat
mata pencahariannya. Berkenaan dengan pengambilan tanah masyarakat yang
akan dipakai untuk keperluan pembangunan dilaksanakan melalui proses
pengadaan tanah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak sesuai pasal 2
ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
3
Pengertian Pengadaan Tanah dari berbagai peraturan perundang-
undangan antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum pasal 1 butir 2
yang berbunyi “pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan
tanah dengan cara memberik ganti kerugian yang layak dan adil
kepada pihak yang berhak.”
2. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
pasal 1 butir 1 yang berbunyi “Pengadaan Tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.”
3. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
pasal 1 butir 1 yang berbunyi “Pengadaan tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan,
tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.”
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum hanya berumur
kurang dari setahun. Kemudian pada tanggal 5 Juni 2006 diterbitkan Peraturan
Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan
4
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang kemudian diperbarui lagi
dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (selanjutnya
disebut UU No.2 Tahun 2012).
B. KASUS
Sidoarjo - Pembebasan lahan menjadi penyebab utama terhambatnya
pembangunan jalan arteri. Ternyata sebagian besar lahan yang belum
dibebaskan itu berstatus tanah kas desa (TKD). Hal tersebut merupakan
temuan DPRD Jatim setelah mengkaji penyebab tersendat- sendatnya
pembangunan jalur pengganti Raya Porong itu. Anggota Komisi D DPRD
Jatim Jalaluddin Alham menyatakan, berdasar data yang diterimanya, 71
persen lahan sudah dibayar. Sedangkan yang sudahdisepakati18,49 persen.
Sisanya masih a lot. Usut punya usut, mayoritas sisa tanah yang masih a lot itu
ternyata berstatus TKD. Menurut dia, seharusnya pemerintah setempat bisa
mempercepat pelepasannya. Sebab, kebutuhan lahan saat ini sangat mendesak.
“Warga sudah mempermudah, masak milik pemerintah malah sulit.” Katanya.
Politikus Demokrat itu menyatakan, pola pelepasan TKD cukup longgar
setelah turun Permendagri 2009. Intinya, tanah pengganti tidak harus berada
di desa atau kecamatan yang sama dengan tanah yang dilepas. Asal, masih
dalam satu kabupaten. Berdasar peraturan sebelumnya, tanah pengganti
diharuskan berada di satu desa. “Kami mendorong agar prosesnya tidak
berlarut-larut.” Ucapnya. Sementara itu, Asisten I Pemkab Sidoarjo M. G.
Hadi Sutjipto mengiyakan bahwa tanah tersebut belum dibebaskan. Menurut
dia, saat ini pelepasan tanah baru selesai sebagian. “Ada yang tinggal
menunggu persetujuan dari gubernur.” Jelasnya. Agar pembangunan bisa
cepat, Hadi mengusulkan agar dana untuk membeli tanah pengganti itu
dialokasikan dulu dan disimpan di kas daerah.
5
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses penyelesaian kasus pengadaan tanah yang menghambat
pembangunan jalan arteri di Sidoarjo?
2. Bagaimana hubungan pengadaan tanah dengan kepentingan umum
bermasyarakat?
6
BAB II
LANDASAN TEORI
Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
tanah dalam Penjelasan Umum C/7, menentukan bahwa :
“Pembukuan suatu hak dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak
mengakibatkan bahwa orang yang sebenarnya berhak atas tanah itu akan kehilangan
haknya ; orang tersebut masih dapat menggugat haknya dari orang yang terdaftar
dalam buku tanah sebagai orang yang berhak”.
Atau dengan kata lain apabila ada orang lain yang merasa berhak dan dapat
menunjukan bukti bahwa tanah itu miliknya, maka dia dapat menggugat. Si pemilik
yang merasa telah mendaftarkan tanah tersebut untuk pertama kalinya serta meiliki
sertifikat tanah, harus membuktikan bahwa tanah yang dimilikinya adalah sah secara
hokum sebagai miliknya. Sehingga peran Negara dalam hal ini sebagai penjamin
tidak berfungsi, padahal dalam kenyataannya negaralah yang memilik badan yang
bertugas mengukur, memetakan, melakukan pendaftaran, menyimpan data,
mengeluarkan tanda buktinya yang berupa sertifikat dan juga ternyata memungut
biaya atas semua kegiatan tersebut. Hal yang lebih menguatkan keberadaan Negara
sebagai institusi yang seharusnya menjadi penjamin kekuatan suatu sertifikat hak
milik yang sah, tercantum pula dalam pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok
Agraria yang isinya menyatakan bahwa :
“Untuk menjamin kepastian hokum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan
pemerintah”.
Kata-kata menjamin kepastian hukum seharusnya mengakomodir kekuatan hak
atas tanah yang mana tidak ada orang lain yang bisa menggugatnnya apabila telah
didaftarkan dan diperiksa oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai pelimpahan
wewenang dari pemerintah dan juga sebagai pendata dan pengatur keberadaan tanah
dan kepemilikan tanah-tanah di Indonesia.
7
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pelepasan Hak Atas Tanah
Tanah Hak adalah tanah yang sudah dilekati atau dibebani dengan
suatu hak tertentu. Tanah Hak tersebut misalnya Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, Hak Guna Usaha, atau Hak Pakai. Tanah Hak dapat diperoleh
dengan cara pelepasan hak atas tanah/pembebasan tanah, pemindahan hak atas
tanah, dan pencabutan hak atas tanah. Pelepasan hak atas tanah dan
pencabutan hak atas tanah merupakan 2 (dua) cara untuk memperoleh tanah
hak, dimana yang membutuhkan tanah tidak memenuhi syarat sebagai
pemegang hak atas tanah.
1. Pelepasan hak atas tanah
Pelepasan hak atas tanah adalah melepaskan hubungan hukum
antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya,
dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.
Pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang
semula diantara pemegang hak/menguasai tanah dengan cara
memberikan ganti rugi. Kedua perbuatan hukum di atas
mempunyai pengertian yang sama, perbedaannya pembebasan hak
atas tanah adalah dilihat dari yang membutuhkan tanah, biasanya
dilakukan untuk areal tanah yang luas, sedangkan pelepasan hak
atas tanah dilihat dari yang memiliki tanah, dimana ia melepaskan
haknya kepada Negara untuk kepentingan pihak lain. Semua hak
atas tanah dapat diserahkan secara sukarela kepada Negara.
Penyerahan sukarela ini yang disebut dengan melepaskan hak atas
tanah. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 UUPA.
8
Pada kasus pertanahan diatas yaitu mengenai pembebasan lahan
menjadi penyebab utama terhambatnya pembangunan jalan arteri yang terjadi
di Desa Wunut baru bisa dibangun di atas tanah yang sudah dibebaskan oleh
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Kasus ini jika dikaitkan dengan
hukum pertanahan maka termasuk dalam bab pembebasan hak atas tanah.
Maka disini penulis akan membahas mengenai pembebasan hak atas tanah.
Pengertian pembebasan hak atas tanah adalah melepaskan hubungan
hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak atau penguasa atas tanah
dengan cara memberikan ganti rugi.[1] Adapun tujuan dilakukannya
pembebasan tanah adalah apabila pemerintah atau badan swasta yang bekerja
untuk kepentingan pemerintah membutuhkan tanah dari rakyat guna
kepentingan umum. Kepentingan umum disini adalah seperti yang tercantum
dalam Intruksi Presiden RI No.9 tahun 1973 tentang Pedoman- pedoman
Pelaksanaan Pencabutan Hak- hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada
diatasnya, sebagai berikut :
Pasal 1 (1): “ Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan
mempunyai sifat kepentingan umum apabila kegiatan tersebut
menyangkut :
a. Kepentingan bangsa dan Negara
b. Kepentingan masyarakat luas
c. Kepentingan rakyat banyak
d. Kepentingan pembangunan
Pembebasan tanah itu dilaksanakan dengan cara musyawarah untuk
memperoleh kata sepakat antara panitia pembebasan tanah dengan pihak
pemilik tanah. Melalui musyawarah ia diminta untuk menyerahkan hak
tanahnya dengan disertai ganti kerugian yang layak. Penyerahan harus
dilakukan oleh pemiliknya dengan suka rela, demikian ketentuan UUPA.
Artinya kesukarelaan merupakan syarat mutlak dalam persoalan ini. Mengenai
9
pembebasan tanah ini terutama diatur di dalam Peraturan Pemerintah maupun
di dalam Peraturan Menteri seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2
Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah untuk
Kepentingan Pemerintah bagi Pembebasan tanah oleh Pihak Swasta, Surat
Edaran Dirjen Agraria Departemen Dalam Negeri No.BTU. 2/568/2-76 dan
banyak lagi yang berupa surat edaran maupun keputusan Gubernur mengenai
pembebasan tanah tersebut. Pembebasan hak atas tanah untuk kepentingan
pemerintah. Pembebasan hak atas tanah untuk proyek-proyek pemerintah
dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu:
1. Berdasarkan tata cara yang diatur dalam PMDN No. 15 tahun 1975.
Dalam masalah pembebasan tanah ini ada sebuah panitia yang disebut
Panitia Pembebasan Tanah yang bertugas melakukan
pemeriksaan/penelitian dan menetapkan besarnya ganti rugi dalam
rangka pembebasan suatu hak atas tanah dengan atau tanpa bangunan
dan tanaman yang tumbuh diatasnya. Pembentukan panitia ini
berdasarkan PMDN No. 15 tahun 1975 dan ditetapkan oleh Gubernur
Kepala Daerah untuk masing-masing kabupaten/kotamadya dalam suatu
propinsi yang bersangkutan. Dengan demikian dapat dikemukakan
bahwa pembebasan hak atas tanah melalui Peraturan Menteri Dalam
Negeri No.15 Tahun 1975 adalah didasarkan atas kata sepakat melalui
musyawarah. Oleh karena itu apabila dalam pembebasan tersebut para
pemegang hak atas tanah tidak setuju, maka pembebasan tidak dapat
dilaksanakan dan keputusan yang diambil oleh Gubernur Kepala Daerah
sebagaimana diatur dalam pasal 8 (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 15 Tahun 1975: “tidak mempunyai kekuatan untuk dipaksakan pada
pihak yang mempunyai tanah”.
10
2. Berdasarkan tata cara yang diatur dalam PMDN No. 2 Tahun 1985.
Tata cara pengadaan tanah menurut PMDN No.2 Tahun 1985 ini adalah
untuk pengadaan tanah di wilayah kecamatan yang luasnya tidak lebih
dari 5 hektar. Pengadaan tanah dimaksud dilaksanakan langsung oleh
Pimpinan Proyek Instansi yang bersangkutan, yaitu dengan
memberitahukan kepada Camat mengenai letak dan luas tanah yang
diperlukan.
B. Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum
1. Pengertian Kepentingan Umum
Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat
saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang
banyak atau tujuan yang luas. Namun demikian rumusan tersebut terlalu
umum dan tidak ada batasannya. Kepentingan umum adalah termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat,
dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan hankamnas
atas dasar asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan
Ketahanan Nasional serta Wawasan Nusantara. UUPA dan UU No. 20
Tahun 1961 mengatakan kepentingan umum dinyatakan dalam arti
peruntukannya, yaitu untuk kepentingan bangsa dan negara, kepentingan
bersama dari rakyat dan kepentingan pembangunan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah
kepentingan tersebut harus memenuhi peruntukkannya dan harus
dirasakan kemanfaatannya.
2. Pengertian Pengadaan Tanah
Penyediaan dan pengadaan tanah dimaksudkan untuk menyediakan
atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau keperluan pemerintah,
dalam rangka pembangunan proyek atau pembangunan sesuatu sesuai
11
program pemerintah yang telah ditetapkan. Secara garis besar dikenal ada
2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan tanah oleh pemerintah
untuk kepentingan umum sedangkan yang kedua pengadaan tanah untuk
kepentingan swasta yang meliputi kepentingan komersial dan bukan
komersial atau bukan sosial. Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres
No.55/1993 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Jadi dapat disimpulkan
bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti
kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain
selain pemberian ganti kerugian. Menurut Pasal 1 angka 3 Perpres
No.36/2005 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan,
tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan
pencabutan hak atas tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pengadaan tanah menurut Perpres No.36/2005 dapat dilakukan selain
dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat
dilakukan dengan cara pelepasan hak dan pencabutan hak atas tanah.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.65/2006, yang dimaksud
dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau
menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan
dengan tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan
tanah menurut Perpres No.65/2006 selain dengan memberikan ganti
kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan
hak. Menurut Pasal 1 butir 2 UU No.12 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pengertian
Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara
12
memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.
3. Prosedur tata cara pengadaan tanah
Dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) Keppres No. 55/1993 menyatakan
bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (dua) macam, yaitu : pertama
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; dan kedua jual-beli, tukar-
menukar dan cara lain yang disepakati oleh para pihak yang
bersangkutan.
Kedua cara tersebut termasuk kategori pengadaan tanah secara sukarela.
Untuk cara yang pertama dilakukan untuk pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum
sebagaimana diatur dalam Keppres No.55/1993, sedangkan cara kedua
dilakukan untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang
memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dan
pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum.
Menurut Pasal 6 ayat (1) Keppres No.55/1993 menyatakan bahwa:
“pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan
Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I”, sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “panitia Pengadaan
Tanah dibentuk di setiap Kabupaten atau Kotamadya Tingkat II”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Keppres No.55/1993, pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan
dengan musyawarah yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan
mengenai penyerahan tanahnya. Apabila dalam musyawarah tersebut telah
tercapai kesepakatan antar para pihak, maka pemilik tanah diberikan ganti
kerugian sesuai dengan yang telah disepakati oleh para pihak sebagaimana
diatur dalam Pasal 15 Keppres No.55/1993.
13
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengaturan hukum tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum
di Indonesia telah mengalami proses perkembangan sejak unifikasi Undang-
Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah yang
diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Namun
dalam praktiknya ketentuan ini banyak menimbulkan masalah sehingga tidak
dapat berjalan dengan efektif. Kemudian pemerintah mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, sebagaimana dicabut dengan
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 mengenai pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah, yang kemudian direvisi oleh Peraturan Presiden
Nomor 65 Tahun 2006.
Berbagai masalah yang terdapat dalam pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum telah coba diminimalisir melalui
peraturan-peraturan tersebut. Meskipun telah diadakan perubahan-perubahan
untuk menyempurnakan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dalam rangka memberikan
keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat, namun tetap saja ada beberapa
permasalahan yuridis dalam peraturan perundang-undangan tersebut yang
luput dari perhatian penyusun peraturan perundang-undangan, yaitu meliputi
aspek yuridis formal dan aspek yuridis materiil.
Penyelesaian kasus di atas mengenai pembebasan hak atas tanah.
Pengertian pembebasan hak atas tanah adalah melepaskan hubungan hukum
yang semula terdapat diantara pemegang hak atau penguasa atas tanah dengan
cara memberikan ganti rugi. Tapi dalam kasus tersebut pembebasan hak atas
14
tanah bukan pada tanah milik masyarakat sendiri melainkan tanah ini adalah
tanah kas desa. Maka dalam penyelesaiannya harus tunduk pada ketentuan-
ketentuan yang ada, pastinya harus ada musyawarah terlebih dahulu mengenai
ganti rugi terhadap tanah itu dan mengikuti peraturan-peraturan lainnya,
seperti dalam tanah kas desa harus ada tanah pengganti, maka ketentuan itu
juga harus dipenuhi.
B. Saran
Sebagaimana diketahui bahwa tanah merupakan masalah yang vital
dan mempunyai fungsi yang sangat terbatas dibandingkan manusia yang
membutuhkannya. Sedangkan di dalam pembangunan yang sedang
dilaksanakan sekarang ini sangat membutuhkan tanah yang luas, dan tanah
yang dibutuhkan tersebut tentu sangat sulit pengadaannya apalagi untuk
pembangunan bagi kepentingan umum. Oleh karena itu di dalam pengadaan
tanah untuk kepentingan umum khususnya dalam pelaksanaan pembebasan
tanah sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka dalam kesempatan ini
penulis ingin memberikan saran yaitu Pemerintah atau instansi yang
berkepentingan untuk melaksanakan kegiatan pembebasan tanah selalu
berpedoman dan mentaati Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
15
DAFTAR PUSTAKA
http://rheyndiaz2.blogspot.com/2012/10/makalah-pengadaan-tanah-untuk.html
http://angelinasinaga.wordpress.com/2012/12/22/pengadaan-tanah-2/
Perangin, Effendi. 1991. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Sitorus, Oloan, dkk. 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.
Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanannya. Edisi revisi, Djambatan; Jakarta.
16