makalah 1 kelompok 6 ham
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
MODUL HUKUM AGAMA DAN MORAL
“Seorang Ibu muda yang mengalami KDRT oleh suaminya”
KELOMPOK 6
030.08. 071 Citra Anggraeny
030.08. 124 I Made Surya Dinajaya
030.09. 034 Athika Rodhya
030.09. 035 Ayu Paramitha
030.09.036 Ayu Prima Dewi
030.09.038 Ayu Rahmi Mutmainah
030.09.040 Ayunda Afdal
030.09.100 Gadista P Annisa
030.09.101 Gamar
030.09.102 Giovanni Duandino
030.09.103 Gita Saraswati
030.09.104 Gusti Wahyu Adinanthera
030.09.141 Malvin Giovanni
030.09.142 Marco Indrakusumah
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta
0
BAB I
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini, kasus kekerasan dalam rumah tangga cenderung meningkat. Di dalam
rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang biasa. Namun, apabila
ketegangan itu berbuah kekerasan, seperti: menampar, menendang, memaki, menganiaya dan
lain sebagainya, ini adalah hal yang tidak biasa. Demikian itulah potret KDRT (Kekerasan
Dalam Rumah Tangga). Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah
suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di
dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan
darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan
pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi
oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum
dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa
aman terhadap korban serta menindak pelakunya.
Pada kasus ini kemungkinan penyebab KDRT adalah diketahuinya bahwa sang istri
mempunyai prilaku yang menyimpang yaitu lesbi (homoseksual). Homoseksual adalah laki-
laki dan perempuan yang secara emosional dan seksual tertarik terhadap sesama jenisnya
(Barley, 1996; Carroll, 2005; Knox, 1984). Homoseksual terdiri dari gay dan lesbian. Gay
adalah laki-laki yang secara seksual tertarik terhadap laki-laki. Lesbian adalah perempuan
yang secara seksual tertarik terhadap perempuan (Masters, Johnson, Kolodny, 1992). Banyak
faktor yang dapat menyebabkan munculnya kaum gay dan lesbian. Secara ilmiah, gay dan
lesbian muncul karena faktor biologis dan psikologis. Sesuatu yang berasal dari hati nurani
1
mereka untuk menyimpang dari bentuk fisik alamiahnya. Tetapi di sisi lain, banyak juga
ditemui para gay dan lesbian yang tidak memiliki riwayat biologis dan psikologis yang
menyimpang melainkan diakibatkan karena lingkungan dan kepuasan semata.impang yaitu
lesbia (homoseksual).
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Skenario 1
Ny. Dita, 27 tahun, bercerai dari suaminya akibat KDRT yang sering dilakukan suaminya. Ia
adalah anak perempuan tunggal dari suatu keluarga yang terpandang.
Ny. Dita menceritakan riwayat hidupnya sbb:
Menjadi anak perempuan tunggal dari keluarga yang amat terpandang ternyata tidak mudah.
Segala sesuatu dipersiapkan untuk menjaga status orangtuaku di masyarakat. Hingga pada
akhirnya mereka mengetahui bahwa aku seorang lesbian dari surat “pacar”ku yang mereka
temukan . mama menangis dan papa marah besar. Sejak saat itu penjagaan terhadap aku
diperketat. Pulang pergi kuliah, aku ditunggui oleh sopir yang sudah di wanti-wanti untuk
mengawasi gerak-gerikku. Siapa temanku, kemana saja aku pergi dan berapa lama, itu semua
harus dilaporkan pada orangtuaku. Bahkan secara berkala mama membawa aku berobat ke
seorang psikolog dengan harapan sewaktu-waktu aku bisa berubah. Setelah lulus kuliah, papa
memaksa aku untuk menikah dengan seorang pria anak dari relasi bisnisnya. Papa khawatir
kalau-kalau aku masih berhubungan dengan “pacar”ku. Aku menangis dan mohon kepada
mama untuk membatalkan penikahan itu. Tetapi mama tidak berdaya, malah menangis
menyesali mengapa melahirkan anak seperti aku, seorang lesbian. Seminggu sebelum
pernikahan, aku nekat mendatangi “pacar”ku. Kami menangis berdua dan ia meminta aku
untuk tabah, pesta perkawinan pun berlangsung dengan sangat meriah. Aku mencoba
menjalani kehidupan perkawinan “normal”ku dan berharap aku bisa berubah. Tetapi semua
usahaku sia-sia. Suamiku sering memperlakukan aku dengan kasar dan puncaknya ketika
mengetahui bahwa aku seorang lesbian. Aku sering di pukul dan di aniaya, apalagi ketika
menurutnya aku tidak melayani dengan baik di ranjang. Aku pernah diperkosa beberapa kali.
Ketika tidak tahan lagi, aku sering menilpon “pacar”ku untuk mengadukan penderitaanku.
“pacar”ku menyarankan aku mengadukan pada yang berwajib, apa lagi luka dan memar di
tubuhku bisa dijadikan sebagai alat bukti. Aku tidak berani melakukan itu, apa jadinya kalau
keluargaku tahu dan ini lalu jadi bahan berita. Aku hanya diam, mungkin memang lebih baik
seperti itu, toh aku merasa lama-lam tubuhku menjadi imun terhadap kekerasan yang
dilakukan suamiku. Tetapi lama-lama kekerasan itu terbongkar juga, ketika aku harus masuk
rumah sakit. Akhirnya aku bercerai dengan suamiku, tetapi hidupku tetap tidak berubah. Aku
3
hanya berpikir, seandainya saja dalam hidup ini setiap orang boleh bebas memilih, termasuk
untuk tidak jadi lesbian, mungkin hidupku tidak akan seburuk ini.
Tugas kelompok:
Diskusikan kasus di atas dari sudut pandang etika, moral, hukum, dan agama
Skenario 2
Pasca perceraian, Ny. Dita kembali tinggal di rumah orangtuanya. Melihat kondisi anaknya
yang penuh penderitaan baik fisik maupun psikologis, ayah ibunya merasa tidak tega dan
mau menerima kembali anaknya. Ibunya malah sekarang sering menangis dan merasa tidak
mengerti mengapa hal yang demikian memalukan terjadi pada keluarganya, pada anaknya
sendiri. Sering ibunya berpikir, apakah ini suatu takdir? Apakah ini suatu hukuman dan
teguran dari Yang Maha Kuasa? Apakah ini suatu ujian kesabaran? Apakah ini suatu karma?
Apa dosa-dosa yang telah aku lakukan sehingga aku mendapatkan hukuman yang demikian
beratnya ini. Sebaliknya, ayahnya tetap tegar dan merasa yakin bahwa dalam keluarganya
tidak ada keturunan seperti kelakuan anaknya. Ia ingin sekali mencari penyebab yang
membuat anaknya berperilaku demikian. Oleh karena itu ayahnya lalu pergi menemui dokter
yang mengobati anaknya saat dirawat di rumah sakit. Menurut dokter, banyak faktor yang
dapat menyebabkan “penyimpangan” perilaku seksual seperti yang terjadi pada Ny. Dita,
mungkin bisa dari aspek medis, psikologis, sosiokultural, dan mungkin pula tidak diketahui
penyebabnya. Yang paling obyektif untuk di cari adalah aspek medis, yaitu dengan
menganalisis bagaimana sturuktur kromosom dan hormonalnya, apakah menunjukan ciri-ciri
ke araha pria atau wanita. Kalau ada ketidaksesuaian dengan bentuk fisik organ seksnya, bisa
dikoreksi dengan operasi ganti kelamin. Setelah mendengar penjelasan dokter, keesoknya
harinya, ayahnya mengajak Ny. Dita ke rumah sakit. Namun Ny. Dita serta merta tidak mau
di periksa dan menolak menandatangani inform-consent, Ny. Dita tetap menolak dan
mengatakan bahwa ia memang benar anak ayah, namun yang berhak atas tubuhnya adalah
dia, bukan ayahnya. Biarlah apa-apa yang sudah diberikan oleh tuhan pada dirinya, tetap
terjadi seperti kehendakNya, apakah itu baik atau diberikan oleh tuhan pada dirinya, tetap
terjadi seperti kehendaknya, apakah itu baik atau buruk menurut penilaian orang. Akhirnya
ayahnya mengalah dan mengajak Ny. Dita pulang.
4
Tugas Kelompok:
1. Setelah memperoleh informasi di atas, bagaimana saudara menyikapinya?
2. Buatlah rangkuman hasil diskusi saudara
5
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Status Pasien
Identitas Pasien
Nama : Ny. Dita
Usia : 27 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : -
Status : Bercerai
Pekerjaan : -
3.2. Anamnesis
Anamnesis pada kasus ini dilakukan secara autoanamnesis.
- Sudah berapa lama pasien menikah?
- Bagaimana keadaan pernikahan sebelumnya?
- Sejak kapan pasien mengalami KDRT?
- Sejak kapan pasien merasa mengalami penyimpangan sesual dan memulai hubungan
sesame jenis?
- Apakah pasien merasa keadaan biologis pasien sebagai wanita tidak sesuai dengan
diri pasien?
- Bagaimana keadaan keluarga pasien?
6
- Apakah pernah mengalami trauma kekerasan semasa kecil?
- Bagaimana keadaan lingkungan pasien?
- Bagaimana kehidupan sosial pasien? Pola pergaulan pasien?
- Apakah pernah pergi ke dokter sebelumnya?atau mengalami pengobatan sebelumnya?
- Bagaimana keadaan spiritual pasien dan keluarga?
Anamnesis diatas ditanyakan untuk mengetahui keadaan pasien sekarang dan riwayat
kehidupan pasien sebelumnya. Anamnesis yang ditanyakan juga untuk mengulas etiologi
yang mungkin menjadi penyebab keadaan pasien yaitu dari sisi biologis,psikis dan
lingkungan.
3.3. Daftar Masalah
Permasalahan pada kasus ini berkaitan dengan materi modul Hukum, Agama, dan
Moral yang akan kelompok kami bahas antara lain mengenai:
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
2. Homoseksual
3. Pola asuh
4. Perceraian
5. Informed consent
3.4. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
3.4.1 Aspek hukum
Selama hampir empat tahun terakhir ini Indonesia telah memberlakukan Undang-
Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau yang
dikenal dengan nama UU Penghapusan KDRT (disahkan 22 September 2004). UU ini
melarang tindak KDRT terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara
kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran dalam rumah tangga. Orang-orang dalam
lingkup rumah tangga yang dimaksud adalah suami, istri, anak, serta orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan,
7
perwalian, menetap dalam rumah tangga serta orang yang bekerja membantu dan menetap
dalam rumah tangga tersebut.
3.4.2 Aspek Etika dan moral
Dalam etika ada prinsip non-maleficence, yaitu tidak boleh menyakiti orang lain.
Tindakan KDRT yang menyakiti anggota rumah tangganya sendiri baik secara fisik, psikis,
maupun ekonomi sudah pasti melanggar prinsip etika tersebut
3.4.3 Aspek agama
- Agama Islam :
Islam sangat menentang kekerasan dalam bentuk apapun termasuk dalam kehidupan
rumah tangga. Prinsip yang diajarkan Islam dalam membangun rumah tangga adalah
mawaddah, rahmah dan adalah (kasih, sayang dan adil). Dalam al-Qur'an disebutkan " Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (Ar-rum: 21). Daslam ayat lain disebutkan "Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri [mu], walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung [kepada yang kamu
cintai], sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri [dari kecurangan], maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang" (An-Nisa: 129).
Allah s.w.t. juga berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S. al-A’râf, 7:56).
“Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliaman terhadap diri-Ku, dan Aku jadikan
kezaliman itu juga haram di antara kamu, maka janganlah kamu saling menzalimi satu sama
lain”. (Hadis Qudsi, Riwayat Imam Muslim).
Di atas sangat jelas menggariskan bahwa salah satu tujuan berumah tangga, adalah
untuk menciptakan kehidupan yang penuh ketentraman dan bertabur kasih sayang. Keluarga
sakînah anggota yang ada di dalamnya. Atau keluarga sakînah, mawaddah wa rahmah hanya
8
bisa terbentuk apabila setiap anggota keluarga berupaya untuk saling menghormati,
menyayangi, dan saling mencintai. Itulah fondasi dasar sebuah keluarga dalam Islam. Maka
kekerasan dalam rumah tangga sangat dicela Islam dan sangat bertentangan dengan nilai-
nailai keislaman.
- Agama Buddha :
Hukum tentang perbuatan (Kamma Niyama) tentang hukum karma adalah segala
tindakan yang sengaja atau tidak sengaja akan menghasilkan yang baik atau buruk. Perbuatan
baik akan mendatangkan kebahagiaan dan perbuatan jahat akan mengakibatkan penderitaan.
Agama Buddha mengajarkan perbuatan baik sehingga kekerasan yang merupakan perbuatan
jahat akan mendapatkan hasil dari perbuatannya seperti yang tertera dalam hukum karma.
- Agama Hindu :
Kekerasan dalam rumah tangga juga tidak dibenarkan dalam Agama Hindu, karena
fungsi suami sendiri ialah untuk menjadi tulang punggung bagi keluarga dan untuk
melindungi anak dan istrinya bukan untuk menyakiti anak dan istrinya.
- Agama Kristen :
Dalam agama Kristen tidak dikenal istilah perceraian. Oleh karena itu pendeta
akansemaksimal mungkin berusaha melakukan mediasi dan proses perdamaian kepada pihak-
pihak bermasalah. Namun apabila pasangan bermasalah bersikeras untuk berpisah maka
pendeta mempersialakan pasangan bermasalah untuk mencari jalan sendiri diluar agama
kristen. Jalan keluar yang dimaksud adalah melalui proses hukum pengadilan.
Jika dihubungkan dengan ajaran Etika Kristen, tentang KDRT tidak ditemukan.Di
dalam Alkitab Perjanjian Baru banyak kita baca tentang ajaran yang berhubungan dengan
rumah tangga Kristen yang mengutamakan KASIH.Maka dapat kita lihat bahwa Alkitab
banyak sekali mengajarkan kepada setiap keluarga tentang tindakan preventif (pencegahan)
agar sebuah rumah tangga hidup dalam damai sejahtera penuh dengan Kasih Kristus.
Hal-hal yang menentukan kebahagiaan sebuah keluarga Kristen sekaligus menjadi
anti terjadinya KDRT yaitu:
Saling menasehati
9
Saling menghibur
Saling membela
Sabar seorang terhadap yang lain
Saling mengampuni
Saling berbuat baik Ciptakan suasana sukacita dalam keluarga.
- Agama Katholik :
Adanya hukum cinta kasih dimana yang kuat harus melindungi yang lemah, dan tidak
diperkenanka untuk memperlakukan sesama kita manusia secara tidak adil. Jadi
kesimpulanya KDRT melawa hukum cinta kasih yang telah di ajarkan oleh gereja.
3.5. Homoseksual
3.5.1 Aspek hukum
Indonesia, dengan hukum perkawinannya dengan tegas mengatur bahwa Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri (Pasal
1 UU No 1 Tahun 1974). Konsekuensi yuridisnya jelas, Indonesia tidak mengenal
perkawinan antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita (perkawinan sejenis), suami
haruslah pria, isteri haruslah wanita.
Berkait dengan homoseksualitas, ternyata KUHP dengan Pasal 292
mengkualifikasikan sebagai suatu kejahatan (termuat dalam Buku II) dengan ancaman pidana
penjara paling lama 5 tahun dan mengistilahkan homoseksual ini dengan sebutan “sesama
kelamin”, lengkapnya pasal 292 menyatakan :
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
Dengan demikian homoseksual bukanlah kejahatan menurut hukum Indonesia, homoseksual
menjadi kejahatan jika :
1. Pelakunya Orang dewasa
Kualifikasi “orang dewasa” jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 45, 47 KUHP,
adalah orang yang melakukan tindak pidana sesudah umur 16 tahun, sedangkan jika
menurut UU Perlindungan Anak dan Pengadilan Anak, dewasa adalah yang berusia
lebih dari 18 tahun dan atau sudah pernah kawin.
10
Dengan demikian, hanya orang dewasa-lah yang menurut hukum mempunyai
pertanggungjawaban pidana jika melakukan kejahatan homoseksual ini, selain orang
dewasa tidak dapat dikenakan pasal ini, anak-anak tidak bisa terkena pasal ini, artinya
anak-anak yang melakukan kejahatan homoseksual tidak masuk kualifikasi pasal ini.
2. Yang dilakukan “orang dewasa” tersebut adalah perbuatan cabul dengan sesama kelamin.
Perbuatan cabul atau “pencabulan” adalah segala perbuatan yang melanggar
kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan
nafsu berahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan,
meraba-raba buah dada dan sebagainya (R. Soesilo, 1976 : 183). Perbuatan mana
dilakukan oleh “orang dewasa” terhadap orang lain yang kelaminnya sama, pria
dewasa kepada pria, wanita dewasa kepada wanita.
Jadi kejahatan homoseksual tidak menyebutkan adanya “persetubuhan”, karena
hukum menganggap tidak mungkin ada persetubuhan jika dilakukan oleh sesama
kelamin, “persetubuhan” terjadi jika ada peraduan antara anggota kemaluan laki-laki
dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak.
3. Korban perbuatan cabul tersebut harus “orang yang belum dewasa”.
Syarat mutlak homoseksual menjadi kejahatan, korbannya haruslah “orang yang
belum dewasa” atau anak dibawah umur, yang menurut KUHP belum berumur 16
tahun sedangkan menurut UU Peradilan Anak/UU Pengadilan anak, belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Rasio dari kualifikasi ini adalah untuk melindungi kepentingan hukum dari “orang
yang belum dewasa” dari perbuatan yang akan merusak jiwanya, orang belum dewasa
dianggap hukum belum memiliki kemampuan bertanggung jawab atas perbuatannya
tersebut sehingga perlu dilindungi dari perbuatan homoseksual ini.
Dimana pengetahuan pelaku atas ketidakdewasaan korbannya ini dalam bentuk “Yang
diketahuinya” atau “sepatutnya harus diduganya”.
Konseskuensi yuridis dari konstruksi di atas adalah :
- PERTAMA : Bukanlah merupakan suatu kejahatan, jika orang dewasa melakukan
hubungan sesama jenis dengan orang dewasa;
11
- KEDUA : inilah konsekuensi ganjil dan absurd dari konstruksi pasal 292 KUHP yakni
Bukanlah merupakan suatu kejahatan jika orang belum dewasa melakukan hubungan
sesama jenis dengan orang yang belum dewasa
-
3.5.2 Aspek Etika dan moral
Homoseksual mungkin dapat dibenarkan karena pada dasarnya dengan menjadi
homoseksual tidak merugikan orang lain. Namun hal ini tergantung kepada etika yang dianut
dari lingkungannya. Di Indonesia dimana etika nya masih banyak bersumber dari agama dan
juga tradisi, perilaku homoseksual tidak dapat diterima.
3.5.3 Aspek agama
- Agama Islam :
Seluruh umat islam sepakat bahwa homoseksual termasuk dosa besar. Oleh karena
perbuatan yang menjijikkan inilah Allah kemudian memusnahkan kaum nabi Luth A.S
dengan cara yang sangat mengerikan. Allah SWT berfirman:
Artinya:
Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, Dan kamu tinggalkan
isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah
orang- orang yang melampaui batas” (QS. As-Syu’ra : 165-166)
Bahkan Homoseksual jauh lebih menjijikkan dan hina daripada perzinahan. Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW :
Artinya:
Bunuhlah fa’il dan maf’ulnya (kedua-duanya) (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Oleh karena itulah ancaman hukuman terhadap pelaku homoseksual jauh lebih berat
dibandingkan dengan hukuman bagi pelaku pezina. Didalam perzinahan, hukuman dibagi
menjadi dua yaitu bagi yang sudah menikah dihukum rajam, sedangkan bagi yang belum
menikah di cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Adapaun dalam praktek
homoseksual tidak ada pembagian tersebut. Asalkan sudah dewasa dan berakal (bukan gila)
12
maka hukumannya sama saja (tidak ada perbedaan hukuman bagi yang sudah menikah atau
yang belum menikah).1
Sebenarnya ulama-ulama fiqh bebeda pendapat mengenai hukuman bagi pelaku
homoseksual. Diantara pendapat para ulama tersebut adalah:
1. Fuqoha Madzhaf Hanbali: Mereka sepakat bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual
sama persis dengan hukuman bagi pelaku perzinahan. Yang sudah menikah di rajam dan
yang belum menikah dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Adapun dalil
yang mereka pergunakan adalah Qiyas. Karena defenisi Homoseksual (Liwath) menurut
mereka adalah menyetubuhi sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah. Maka mereka
menyimpulkan bahwa hukuman bagi pelakunya adalah sama persis dengan hukuman
bagi pelaku perzinahan. Tetapi qiyas yang mereka lakukan adalah qiyas ma’a al-fariq
(mengqiyaskan sesuatu yang berbeda) karena liwath (homoseksual) jauh lebih mejijikkan
dari pada perzinahan.
2. Pendapat yang benar adalah pendapat kedua yang mengatakan bahwa hukuman bagi
pelaku homoseksual adalah hukuman mati. Karena virus ini kalau saja tersebar
dimasyarakat maka ia akan menghancukan masyarakat tersebut.
3. Syekh Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa seluruh sahabat Rasulullah SAW sepakat
bahwa hukuman bagi keduanya adalah hukuman mati. Sebagaimana Sabda Rasulullah
SAW:
Artinya:
“Barangsiapa kamu temui melakukan perbuatan kaum Luth (Homoseksual), maka
bunuhlah al-fail dan al-maf’ul bi (kedua-duanya)”.
Hanya saja para sahabat berbeda pendapat tentang cara ekskusinya. Sebagian sahabat
mengatakan bahwa kedua-duanya harus dibakar hidup-hidup, sehingga menjadi pelajaran
bagi yang lain. Pendapat ini diriwayatkan dari khalifah pertama Abu Bakar As-Shiddiq.
Sahabat yang lain berpendapat bahwa cara ekskusinya sama persis dengan hukuman bagi
pezina yang sudah menikah (rajam). Adapun pendapat yang ketiga adalah keduanya dibawa
kepuncak yang tertinggi di negeri itu kemudian diterjunkan dari atas dan dihujani dengan
batu. Karena dengan demikianlah kaum Nabi Luth A.S dihukum oleh Allah SWT.
Yang terpenting keduanya harus dihukum mati, karena ini adalah penyakit yang sangat
berbahaya dan sulit di deteksi. Jika seorang laki-laki berjalan berduaan dengan seorang 1
13
perempuan mungkin seseorang akan bertanya:”Siapa perempuan itu?”. Tetapi ketika
seseorang laki-laki berjalan dengan laki-laki lain akan sulit di deteksi karena setiap laki-laki
berjalan dengan laki-laki lain. Tetapi tentunya tidak semua orang bisa menjatuhkan hukuman
mati, hanya hakim atau wakilnyalah yang berhak, sehingga tidak terjadi perpecahan dan
kezaliman yang malah menyebabkan munculnya perpecahan yang lebih dahsyat.
- Agama Buddha :
Dalam agama Budha, terdapat tiga permata yang dapat dijadikan dalam sandaran.
Yakni yang pertama adalah Buddha merupakan guru agung yang menunjukkan jalan untuk
menuju kebebasan. Yang kedua, Dharma dalam hal ini memiliki arti semua ajaran yang
berasal dari realisasi Buddha. Dan yang ketiga itu sendiri adalah Sangha yang memiliki arti
komunitas-komunitas yang didalamnya merupakan komunitas rohaniwan dan rohaniwati
yang sering kita sebut sebagai Bhiksu dan Bhiksuni.
Menurut ajaran agama Buddha sendiri memberikan penjelasan tentang sifat manusia
yang cenderung menggunakan akal sehat (pikiran) untuk dapat membandingkan sesuatu.
Misalnya; aku-kamu, siang-malam, pagi-sore, dan lain-lain. Jadi dari sini kita dapat
menyimpulkan bahwa dalam diri manusia itu sendiri harus mengakui bahwa setiap manusia
itu memiliki keterbatasan logika dan bahasa realita. Jika didalam diri manusia hanya dapat
memahami dunia dan diri kita secara dualistik, maka manusia itu sendiri tidak akan dapat
melihat realita yang sesungguhnya dan akan gagal dalam memahami dunia sebagaimana
adanya (Willis, 2008: 1).
Masih banyak sekali di dalam kehidupan bermasyarakat masih memandang sebelah
mata tentang kaum homoseksual itu sendiri dan diperparah lagi bahwa kaum homoseksual itu
sendiri yang hingga sekarang ini masih ada di berbagai belahan dunia ini dianggap sebagai
umat Luth. Namun berbeda dengan pandangan agama Buddha tentang kaum homoseksual
yang bervariasi. Seperti yang dijelaskan pada seminar tanggal 10-22 November 2008 di
UGM disebutkan bahwa di dalam Indian Buddhism awal terdapat pandangan bahwa
hubungan seks antara kaum homoseksual tidak dibenarkan sebagaimana hubungan seksual
antara kaum heteroseksual. Hal ini juga terdapat dalam pandangan Tibet Buddhism tentang
yang dianggap salah dalam ajaran Buddha dikarenakan adanya hubungan anal seks. Akan
14
tetapi berbeda dengan Japan Buddhism yang berpandangan tentang hubungan seksual yang
menjadi bagian dari ajaran yang menggunakan mudra-mudra sebagai simbol untuk
pernyataan cinta hingga hubungan seksual.
Sebenarnya yang harus kita lihat adalah bagaimana pandangan ajaran Buddha
terhadap gender itu sendiri. Di dalam ajaran Buddha sifat atau potensi kebuddaan dimiliki
oleh setiap makhluk hidup dan pencapaiannya tidak memandang perbedaan jenis kelamin.
Yang terpenting disini adalah tujuan ajaran Buddha dalam memperjuangkan hak gender
adalah pembebasan (Willis, 2008:10). Selain pembebasan dalam memperjuangkan hak
gender, ajaran Buddha sendiri juga mendukung adanya gerakan kesetaraan gender. Selain
melihat dari padangan ajaran Buddha kita sebaiknya juga melihatnya dari pendapat beberapa
sarjana yang telah meneliti hal tersebut. Menurut beberapa sarjana melihat bahwa sang
Buddha merupakan makhluk hidup dalam budaya tertentu dengan dipengaruhi oleh
kebudayaan dimana ia dibesarkan. Pencapaian Buddha sangat luar biasa dan melebihi para
dewa dan manusia, namun yang masih dipertanyakan disini mengapa sang Budha masih
mengkhawatirkan atas kritikan-kritikan dari masyarakat di masanya? Dari semua hal yang
telah dibahas diatas bahwa ajaran Buddha mendukung adanya gerakan kesetaraan gender.
Tetapi dalam kenyataannya kesetaraan gender belum terjadi didalam kehidupan sehari-hari
para biksuni yang masih dibawah otoritas para biksu.
- Agama Hindu :
Lesbian/homoseksual tergolong jenis perkawinan abnormal yang tidak dibenarkan,
sangat dilarang oleh Agama Hindu karena bertentangan dengan adat istiadat, kebiasaan
masyarakat.
- Agama Kristen :
Homoseksualitas (Kejadian 19:1-11)
Salah satu jenis penyimpangan seks yang ada adalah homoseksualitas, yang dapat
diartikan sebagai hasrat hubungan kelamin dengan orang yang sama jenis kelaminnya.Karena
itulah gejala ini dinyatakan dengan kata Yunani µhomoos artinya sama.6
Cerita Alkitab yang paling banyak dikutip berkenaan homoseksual adalah cerita
tentang laki-laki Sodom kepada Lot dalam Kejadian 19:1-11.Yang merupakan karya penulis
15
Yahwist.Narasi ini menggambarkan bahwa penduduk Sodom melakukan hal yang jahat di
mata Tuhan, yaitu hasrat untuk melakukan hubungan seks dengan sesama jenis, yang
dipratikkan dengan sodomi.Perbuatan homosex/ lesbian itu dibenci dan dilarang
Tuhan.sesuatu yg dilarang dalam perbuatan dosa. Dalam Roma 1:27 dikatakan jelas bahwa
lelaki dengan lelaki melakukan persetubuhan yang tidak wajar (yg wajar ialah suami dan
istri), dengan melakukan kemesuman itu. Disini ada disebutkan juga pikiran pikiran yang
terkutuk, sehingga mereka melakukan apa yang tidakpantas.Jika dibandingkan dengan Roma
6, bisa dikatakan dan disamakan juga mereka yang telah menyerahkan anggota tubuhnya
menjadi hamba kecemaran dan kedurhakaan.Jadi ini bukan persoalan yang tidak merugikan,
melainkan soal kewajaran dan kekudusan hidup yang Tuhan sudah tentukan.6
Mengenai orang yang dilahirkan sebagai homo atau lesbi sendiri sebenarnya orang
tersebut tidak bisa disalahkan, karena orang tersebut tidak berdaya atas
kelahirannya.Bandingkan saja dengan kisah orang yang buta sejak lahirnya dalam Yohanes
9.Mereka yang dilahirkan begitu, bisa saja berarti karena pekerjaan Allah juga harus
dinyatakan di dalam dia. Lain sekali dengan orang-orang yang terbawa pengaruhl
ingkungannya, yang mungkin secara tidak sadar mereka sebenarnya tidak memilih sendiri
untuk menjadi demikian.Homo dan lesbi bisa menjadi normal dan disembuhkan.Memang
sulit sekali hanya cuma didoakan saja, karena hal ini menyangkut keberadaan roh roh jahat
yang menguasai mereka.6
- Agama Katholik :
Pandangan agama khatolik terhapat orang yang lesbian atau pencinta sesama jenis
(wanita) pada dasarnya sama dengan agama lain yang ada di indonesia. Menurut hukum
gereja bahwa tidak diperbolehkan hubungan sesama jenis karena ALLAH menciptakan
manusia pria dan wanita untuk saling melengkapi, karena pada kitab kejadian tertulis bahwa
ALLAH mencipta hawa dari tulang rusuk adam dengan tujuan untuk saling melengkapi
sehingga bila ada hubungan sesama jenis sama saja melawa kodrat yang telah di tentukan
oleh ALLAH.
3.6. Pola asuh
3.6.1 Aspek hukum
16
Orangtua memiliki cara dan pola tersendiri dalam mengasuh dan membimbing anak.
Cara dan pola tersebut tentu akan berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya.
Pola asuh orangtua merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orangtua dan anak dalam
berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan.
Dalam kegiatan memberikan pengasuhan ini, orangtua akan memberikan perhatian,
peraturan, disiplin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan terhadap keinginan anaknya. Sikap,
perilaku, dan kebiasaan orangtua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang
kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar akan diresapi kemudian menjadi kebiasaan
pula bagi anak-anaknya.
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Baumrind (Santrock, 1998)
mengenai perkembangan sosial dan proses keluarga yang telah dilakukan sejak pertengahan
abad ke 20, yang kemudian membagi kategori bentuk pola asuh berkaitan dengan perilaku
remaja. Secara garis besar terdapat tiga pola yang berbeda diantaranya yakni authoritarian
atau otoriter, permissive (permisif) dan authoritative atau demokratis
3.6.2 Aspek agama
- Agama Islam :
Anak adalah amanat bagi orang tua, hatinya yang suci bagaikan mutiara yang bagus
dan bersih dari setiap kotoran dan goresan.Anak merupakan anugerah dan amanah dari Allah
kepada manusia yang menjadi orang tuanya. Oleh karena itu orang tua dan masyarakat
bertanggungjawab penuh agar supaya anak dapat tumbuh dan berkembang manjadi manusia
yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya sesuai
dengan tujuan dan kehendak Tuhan.
Pertumbuhan dan perkembangan anak dijiwani dan diisi oleh pendidikan yang dialami
dalam hidupnya, baik dalam keluarga, masyarakat dan sekolahnya. Karena manusia menjadi
manusia dalam arti yang sebenarnya ditempuh melalui pendidikan, maka pendidikan anak
sejak awal kehidupannya, menempati posisi kunci dalam mewujudkan cita-cita “menjadi
manusia yang berguna”.
Dalam Islam, eksistensi anak melahirkan adanya hubungan vertikal dengan Allah
Penciptanya, dan hubungan horizontal dengan orang tua dan masyarakatnya yang
bertanggungjawab untuk mendidiknya menjadi manusia yang taat beragama. Walaupun fitrah
17
kejadian manusia baik melalui pendidikan yang benar dan pembinaan manusia yang jahat dan
buruk, karena salah asuhan, tidak berpendidikan dan tanpa norma-norma agama Islam.
Anak sebagai amanah dari Allah, membentuk 3 dimensi hubungan, dengan orang tua
sebagai sentralnya. Pertama, hubungan kedua orang tuanya dengan Allah yang
dilatarbelakangi adanya anak. Kedua, hubungan anak (yang masih memerlukan banyak
bimbingan) dengan Allah melalui orang tuanya. Ketiga, hubungan anak dengan kedua orang
tuanya di bawah bimbingan dan tuntunan dari Allah.
Dalam mengemban amanat dari Allah yang mulia ini, berupa anak yang fitrah
beragama tauhidnya harus dibina dan dikembangkan, maka orang tua harus menjadikan
agama Islam, sebagai dasar untuk pembinaan dan pendidikan anak, agar menjadi manusia
yang bertaqwa dan selalu hidup di jalan yang diridhoi oleh Allah SWT., dimanapun,
kapanpun dan bagaimanapun juga keadaannya, pribadinya sebagai manusia yang taat
beragama tidak berubah dan tidak mudah goyah.
Mendidik anak-anak menjadi manusia yang taat beragama Islam ini, pada hakekatnya
adalah untuk melestarikan fitrah yang ada dalam setiap diri pribadi manusia, yaitu beragama
tauhid, agama Islam. Seorang anak itu mempunyai “dwi potensi”yaitu bisa menjadi baik dan
buruk. Oleh karena itu orang tua wajib membimbing, membina dan mendidik anaknya
berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Allah dalam agama-Nya, agama Islam agar anak-anaknya
dapat berhubungan dan beribadah kepada Allah dengan baik dan benar. Oleh karena itu anak
harus mendapat asuhan, bimbingan dan pendidikan yang baik, dan benar agar dapat menjadi
remaja, manusia dewasa dan orang tua yang beragama dan selalu hidup agamis. Sehingga
dengan demikian, anak sebagai penerus generasi dan cita-cita orang tuanya, dapat tumbuh
dan berkembang menjadi manusia yang dapat memenuhi harapan orang tuanya dan sesuai
dengan kehendak Allah
Kehidupan keluarga yang tenteram, bahagia, dan harmonis baik bagi orang yang
beriman, maupun orang kafir, merupakan suatu kebutuhan mutlak. Setiap orang yang
menginjakkan kakinya dalam berumah tangga pasti dituntut untuk dapat menjalankan bahtera
keluarga itu dengan baik. Kehidupan keluarga sebagaimana diungkap di atas, merupakan
masalah besar yang tidak bisa dianggap sepele dalam mewujudkannya. Apabila orang tua
gagal dalam memerankan dan memfungsikan peran dan fungsi keduanya dengan baik dalam
membina hubungan masing-masing pihak maupun dalam memelihara, mengasuh dan
18
mendidik anak yang semula jadi dambaan keluarga, perhiasan dunia, akan terbalik menjadi
bumerang dalam keluarga, fitnah dan siksaan dari Allah.
Oleh karena itu dalam kaitannya dengan pemeliharaan dan pengasuhan anak ini,
ajaran Islam yang tertulis dalam al-Qur’an, Hadits, maupun hasil ijtihad para ulama
(intelektual Islam) telah menjelaskannya secara rinci, baik mengenai pola pengasuhan anak
pra kelahiran anak, maupun pasca kelahirannya. Allah SWT memandang bahwa anak
merupakan perhiasaan dunia. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi
ayat 46;
: { . الكهف � �م�ال ا �ر ي و�خ� �ا �و�اب ث �ك� ر�ب �د� ن ع� �ر ي خ� �الص ل�حت ��بق�يت و�ال ج �ا �ي الد&ن �ح�يوة� ال ��ة �ن ز�ي �و�ن� �ن �ب و�ال ��م�ال �ل {46ا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal
lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi
harapan”. (QS. al-Khafi: 46)
Dalam ayat lain Allah berfirman;
: {… الت حريم ا �ار� ن �م� �ك �ي �ه�ل و�ا �م� ك �ف�س� �ن ا ق�و�آ �و�ا ام�ن �ن� �ذ�ي ال &ه�ا {.6يآي
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …. (QS.
at-Tahrim: 6)
Dengan demikian mendidik dan membina anak beragam Islam adalah merupakan
suatu cara yang dikehendaki oleh Allah agar anak-anak kita dapat terjaga dari siksa neraka.
Cara menjaga diri dari apa neraka adalah dengan jalan taat mengerjakan perintah-perintah
Allah.
Sehubungan dengan itu maka pola pengasuhan anak yang tertuang dalam Islam itu
dimulai dari:
1. Pembinaan pribadi calon suami-istri, melalui penghormatannya kepada kedua orang tuanya
2. Memilih dan menentukan pasangan hidup yang sederajat (kafa’ah).7
3. Melaksanakan pernikahan sebagaimana diajarkan oleh ajaran Islam
4. Berwudlu dan berdo’a pada saat akan melakukan hubungan sebadan antara suami dan istri
19
5. Menjaga, memelihara dan mendidik bayi (janin) yang ada dalam kandungan ibunya.
6. Membacakan dan memperdengarkan adzan di telinga kanan, dan iqamat ditelinga kiri bayi
7. Mentahnik anak yang baru dilahirkan. Tahnik artinya meletakkan bagian dari kurma dan
menggosok rongga mulut anak yang baru dilahirkan dengannya, yaitu dengan cara
meletakkan sebagian dari kurma yang telah dipapah hingga lumat pada jari-jari lalu
memasukkannya ke mulut anak yang baru dilahirkan itu. Selanjutnya digerak-gerakkan ke
arah kiri dan kanan secara lembut. Adapun hikmah dilakukannya tahnik antara lain; pertama,
untuk memperkuat otot-otot rongga mulut dengan gerakan-gerakan lidah dan langit-langit
serta kedua rahangnya agar siap menyusui dan menghisap ASI dengan kuat dan alamiah,
kedua, mengikuti sunnah Rasul
8. Menyusui anak dengan air susu ibu dari usia 0 bulan sampai usia 24 bulan
9. Pemberian nama yang baik.
Oleh karena itu pada setiap muslim, pemberian jaminan bahwa setiap anak dalam keluarga
akan mendapatkan asuhan yang baik, adil, merata dan bijaksana, merupakan suatu kewajiban
bagi kedua orang tua. Lantaran jika asuhan terhadap anak-anak tersebut sekali saja kita
abaikan, maka niscaya mereka akan menjadi rusak. Minimal tidak akan tumbuh dan
berkembang secara sempurna.
- Agama Buddha :
Pola asuh berhubungan dengan fungsi keluarga, fungsi keluarga sesuai dengan tujuan
hidup bermah tangga yaitu untuk melanjutkan keturunan, hidup bersama, menjalankan ajaran
Agama Buddha secara bersama, serta mencapai kehidupan bahagia dalam kehidupan rumah
tangga. Fungsi tersebut harus dipahami bersama sehingga diharapkan antara individu dalam
keluarga dapat menjalankan fungsinya masing-masing. Dengan demikian akan tercapai
kehidupan rumah tangga yang bahagia.
- Agama Hindu :
Pola asuh menurut agama hindu hendaknya dilakukan oleh kedua orang tua (ayah dan
ibu) untuk membimbing anaknya ke jalan yang benar, agar anaknya disini bisa membedakan
yang mana yang baik dan buruk.
- Agama Kristen :
20
Pola Asuh
a. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh seperti ini adalah pola asuh yang salah, karena anak akan selalu berada
dibawah kekuasaan orang tua,karena orang tualah yang berkuasa dan anak hanya bisa
mengikuti semua aturan dan tidak boleh membantah, pola asuh seperti ini membuat anak
menjadi seorang anak yang penakut dan tidak bisa bertanggung jawab terhadap pribadi
sendiri, karena anak akan beranggapan bahwa semuanya biarlah orang tua yang mengaturnya,
anak tidak mandiri dalam membuat sebuah keputusan kelak nanti, mental anak akan menjadi
seorang yang anak yang tidak percaya diri dan tidak berani menghadapi tantangan hidup.
Pola asuh seperti ini juga terkadang ada yang bersifat kekerasan,dan hal ini yang akan lebih
berbahaya, karena anak akan menjadi berwatak keras dan susah diatur,dan ada juga yang
menyimpan akar pahit kepada orang tua.
b. Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif adalah pola asuh yang dimana anak yang akan selalu menjadi
mendominasi setiap pengambilan keputusan dan orang tua hanya bisa mengikuti setiap apa
yang diinginkan anak, hal ini terjadi karena orang tua biasanya terlalu berlebihan dalam
memanjakan anak dan jika ini yang dilakukan oleh orang tua, maka anak akan menjadi anak
yang bebas, karena apapun yang ia lakukan pasti akan disetujui oleh orang tua, dan jika hal
ini tidak segera dirubah maka anak akan menindas orang tuanya sendiri.
c. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh ini lebih menitik beratkan pada sebuah kebebasan,tetapi kebebasan yang
bersyarat, artinya setiap hal yang ingin di lakukan oleh anak akan dipertimbangkan oleh
orang tua dan dalam hal ini biasanya antara orang tua dan anak menjalin kerja sama yang
baik dalam membuat sebuah keputusan, sehingga tidak ada satu pihak yang di rugikan atau
satu pihak yang akan mendapat keuntungan, jika pola asuh seprti ini yang diterapkan anak
akan menjadi anak yang bijaksana dalam membuat satu keputusan, dia akan belajar untuk
menghargai pendapat orang lain dan juga masukan dari orang yang lebih dewasa daripada
dia. Anak akan tumbuh menjadi seorang anak yang taat dan juga patuh pada orang tua, dan
patuh pada setiap aturan yang berlaku dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat, dan jika
anak yang diasuh dengan pola asuh seprti ini membuat satu kenakalan, sangat mudah diatasi.
Setelah kita melihat beberapa pola asuh diatas, yang harus dan perlu diperhatikan
dalam setiap sistem pola asuh dan setiap tindakan orang tua terhadap anak harus berpedoman
21
pada firman Tuhan agar tidak salah arah dan akan selalu berjalan sesui dengan
koridornya,pola asuh sangat penting dan sangat bermanfat bagi pendidikan anak dalam
keluarga, jadi dari penjelasan diatas kita dapat mengatakan bahwa untuk menangulangi
kenakalan remaja yang perlu kita lakukan adalah merubah pola asuh yag salah selama ini
ganti dengan pola asuh yang baik dan sesuai dengan Alkitab agar anak bertumbuh menjadi
anak yang patuh dan taat.
- Agama Katholik :
Pandangan agama khatolik terhadap pola asuh keluarga Ny. Dita adalah pada
dasarnya orang tua bertugas untuk mendidik agar anak mereka berbakti pada orang tua dan
menjadi pengitu allah yang setia jadi pada dasarnya dari sudut pandang agama khatolik orang
tua dari Ny. Dita tidak salah karena orang tua Ny. Dita mempunyai maksud untuk membuat
anaknya sadar dan terhindar dari dosa.
3.7. Perceraian
3.7.1 Aspek hukum
Di Indonesia saat ini berlaku hukum di bidang Perkawinan, yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-
Undang Perkawinan.
Undang-Undang Perkawinan mengatur secara tegas bahwa Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak berperkara. Dan untuk melakukan
Perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami istri.
Selanjutnya ditentukan bahwa yang dimaksud denganPengadilan dalam Undang-
Undang Perkawinan tersebut adalah :
1. PENGADILAN AGAMA bagi mereka yang beragama Islam.
2. PENGADILAN NEGERI bagi lainnya.
Istilah Perceraian itu sendiri menurut Undang-Undang Perkawinan adalah salah satu
saja dari 3 (tiga) sebab putusnya Perkawinan, yaitu sbb :
1. Kematian
22
2. Perceraian ; dan
3. atas keputusan Pengadilan
Selanjutnya Undang-Undang Perkawinan memiliki beberapa Peraturan
Pemerintah sebagai pelaksanaan atas beberapa Pasal yang memerlukan penjabaran lebih
lanjut, diantaranya sbb :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983Tentang Izin Perkawinan &
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990Tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan & Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil.
dan lain-lain peraturan dibawahnya setingkat Instruksi Presiden, Peraturan Menteri, Surat
Edaran yang terkait dengan Peraturan-Peraturan Pemerintah tersebut.
3.7.3 Aspek agama
- Agama Islam :
Dikemukan Abdurrahman al-jaziri bahwa makna talak secara bahasa adalah
melepaskan ikatan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata
tertentu. Sedangakan secara istilah al-jaziri mengatakan :
. ذلك بعد وجة الز له تحل ال بحيث العقد رفع الن كاح ازالة
Sedangakan Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk
melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.
Dari definisi diatas jelaslah bahwa telak merupakan sebuah lembagai yang digunakan untuk
melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Disamping itu lembaga talak dalam Islam juga
menunjukan bahwa konsep perkawinan dalam Islam bukanlah sebuah sakramen seperti yang
terdapat dalam agama Hindu dan Budha, yakni sebuah perkawinan tidak bisa diputuskan.
Talak dalam Islam merupakan alternatif terakhir sebagai upaya solutif terhadap persolan
rumah tangga sehingga keberadaannya tidak lepas dari persoalan-persolan yang melatar
23
belakanginya. Seperti percekcokan yang terjadi terus menerus, adanya nusyuz baiak yang
dilakukan oleh isteri maupun suami Adapun beberapa unsur atau rukun yang harus dipenuhi
dalam talak sebgaimana dikemukan Abdurrahman al Jaziri diantaranya, adanya suami dan
isteri, adanya sighat talak, dan adanya niat atau maksud untuk menceraikannya.
- Agama Buddha :
Di dalam agama Buddha tidak diajarkan tentang perceraian, yang ada adalah
perceraian dengan alasan keagamaan, misalnya seorang suami yang ingin menjadi anagarika,
atau menjadi samanera atau menjadi bhikkhu dan diizinkan oleh isterinya; atau sebaliknya
seorang isteri ingin menjadi anagarini dan diizinkan oleh suaminya. Yang pasti terjadi adalah
perceraian karena salah satu meninggal dunia.
Dalam hal seorang suami mempunyai seorang isteri yang jahat (chava) dan tidak
tahan lagi hidup bersama dengan perempuan itu dalam sebuah ikatan perkawinan, maka ia
dapat mengajukan cerai ke Pengadilan. Sebaliknya apabila seorang isteri mempunyai suami
yang jahat (chavo) dan tidak tahan lagi hidup bersama dengan laki-laki tersebut dalam ikatan
perkawinan iapun dapat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan.
Dalam hal perceraian, maka umat Buddha mengikuti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Bab VIII tentang Putusnya Perkawinan
serta Akibatnya, pasal 38 berbunyi bahwa perkawinan dapat putus karena :
1. Kematian
2. Perceraian
3. Atas keputusan Pengadilan
Dalam pasal 39 disebutkan bahwa :
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami isteri. Tatacara perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
24
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Bab V tentang Tatacara Perceraian pasal 19 disebut bahwa perceraian dapat terjadi karena
alasan atau alasan-alasan :
-Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan;
-Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
-Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
-Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
yang lain.
-Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/isteri;
-Antara suami dan isteri terus-menerus; terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Setelah diperoleh keputusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum mengikat
pasti, dalam pengertian apabila tidak dilakukan upaya permohonan banding atau kasasi atau
setelah upaya-upaya hukum itu selesai ditempuh, berdasarkan surat keputusan Pengadilan
yang memutus perceraian tersebut, selanjutnya dilakukan Pencatatan di tempat dimana
perkawinan itu semula dicatatkan untuk dapat dikeluarkan atau diperoleh Akte Perceraian
bagi suami isteri sudah bercerai tersebut.
- Agama Hindu :
Perceraian adalah Adharma, karena dengan perceraian timbul kesengsaraan bagi
pihak-pihak yang bercerai yaitu suami, istri, anak-anak dan mertua. Maka dalam agama hindu
perceraian sangat dihindari, karena termasuk perbuatan Adharma atau dosa. Istri harus dijaga
dengan baik, disenangi hatinya, digauli dengan halus sesuai dengan hari-hari yang baik
sebagaimana disebut dalam Manava Dharmasastra III.45 : Rtu kalabhigamisyat,
swardharaniratah sada, parvavarjam vrajeksainam, tad vrato rati kamyaya : hendaknya suami
menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan merasa selalu puas dengan istrinya
25
seorang, ia juga boleh dengan maksudmenyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk
mengadakan hubungan badan pada hari-hari yang baik.
- Agama Kristen :
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun pada suatu saat perkawinan akan
berakhir karena sebab-sebab tertentu, dan salah satunya adalah karena perceraian. Pada
asasnya,menurut agama Kristen sebuah perkawinan hanya dapat putus karena kematian.
Perceraian didalam agama Kristen diperbolehkan atau diizinkan, tetapi tidak pernah
ditetapkan sebagai bagian dari rencana Allah atas perkawinan dan bukan merupakan
peraturan Allah yang ditetapkan untuk ditambahkan kepada prinsip perkawinan yang
sesungguhnya. Pada kasus-kasus khusus, seperti karena alasan perzinahan, seorang beriman
menikah dengan orang yang tidak beriman dan kemudian orang yang tidak beriman itu mau
bercerai, dan pada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang mengancam kehidupan jasmani
dan rohani istri dananak; maka perceraian dapat terjadi.5
Pertama-tama, apapun pandangan mengenai perceraian, adalah penting untuk
mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16 ‘Sebab Aku membenci perceraian, firman
TUHAN, Allah Israel.´ Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai
komimen seumur hidup. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu,
apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6).5
Meskipun demikian, Allah menyadari bahwa karena pernikahan melibatkan dua
manusiayang berdosa, perceraian akan terjadi. Dalam Perjanjian Lama Tuhan menetapkan
beberapahukum untuk melindungi hak-hak dari orang yang bercerai, khususnya wanita
(Ulangan 24:1-4). Yesus menunjukkan bahwa hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran
hati manusia, bukan karena rencana Tuhan (Matius 19:8).5
- Agama Katholik :
Pandangan agama khatolik terhadap percerainya menurut hukum gereja apa yang
telah di persatukan oleh Tuhan tidak dapat di pisahkan oleh manusia,kecuali oleh maut.
Apabila Ny. Dita inggin menikah lagi meski sudah bercerai secara hukum tapi gereja khatolik
tidak akan mengakui perkawinan yang selanjutnya. Karena pada dasar gereja tidak mengenal
percerainyan.
26
3.8. Informed Consent
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no.29 tahun 2004 Pasal
45, Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien
atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.1
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak
membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan medis yang
dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai
tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.2
Pada kasus ini pasien tidak mau diperiksa dan menolak mendatangani informed
consent. Berdasarkan aspek hukum pasien memang memiliki hak untuk mendatangani
informed consent karena pasien telah memenuhi syarat. Syarat seorang pasien yang boleh
memberikan, yaitu :
Pasien tersebut sudah dewasa. Masih terdapat perbedaan pendapat pakar tentang batas
usia dewasa, namun secara umum bisa digunakan batas 21 tahun.
Pasien yang masih dibawah batas umur ini tapi sudah menikah termasuk kriteria
pasien sudah dewasa.
Pasien dalam keadaan sadar. Hal ini mengandung pengertian bahwa pasien tidak
sedang pingsan, koma, atau terganggu kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan
kejiwaan, atau hal lain.
Pasien harus bisa diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar.
Pasien dalam keadaan sehat akal.
Sehingga ayah pasien tidak dapat memaksa untuk mendatangani informed consent atau
memaksakan anaknya untuk memeriksa karena yang paling berhak untuk menentukan dan
memberikan pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medis adalah pasien itu
sendiri, apabila dia memenuhi 3 kriteria diatas, bukan orang tuanya, anaknya, suami/istrinya,
atau orang lainnya.
27
Namun apabila pasien tersebut tidak memenuhi 3 kriteria tersebut diatas maka dia
tidak berhak untuk menentukan dan menyatakan persetujuannya terhadap rencana tindakan
medis yang akan dilakukan kepada dirinya. Dalam hal seperti ini, maka hak pasien akan
diwakili oleh wali keluarga atau wali hukumnya. Misalnya pasien masih anak-anak, maka
yang berhak memberikan persetujuan adalah orang tuanya, atau paman/bibinya, atau urutan
wali lainnya yang sah. Bila pasien sudah menikah, tapi dalam keadaan tidak sadar atau
kehilangan akal sehat, maka suami/istrinya merupakan yang paling berhak untuk menyatakan
persetujuan bila memang dia setuju.
Pelaksanaan informed consent ini semata-mata menyatakan bahwa pasien (dan/atau
walinya yang sah) telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan.
Pelaksanaan tindakan medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar profesi kedokteran.
Setiap kelalaian, kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan
tindakan medis itu tetap bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk
mengajukan tuntutan hukum.3
Informed consent memang menyatakan bahwa pasien sudah paham dan siap
menerima resiko sesuai dengan yang telah diinformasikan sebelumnya. Namun tidak berarti
bahwa pasien bersedia menerima apapun resiko dan kerugian yang akan timbul, apalagi
menyatakan bahwa pasien tidak akan menuntut apapun kerugian yang timbul. Informed
consent tidak menjadikan dokter kebal terhadap hukum atas kejadian yang disebabkan karena
kelalaiannya dalam melaksanakan tindakan medis.
3.8.1 Aspek Moral dan Etika
Pemikiran etika mendasari diri pada prinsip, aturan, dan hak. Ada empat prinsip etika
di dalam informed consent:1
1. Respek/menghargai terhadap otonomi (respect for autonomy)
2. Tidak menyebabkan yang buruk (non-maleficence)
3. Kemaslahatan (beneficence)
4. Keadilan (justice)
28
Keempat prinsip ini bersifat “prima facie”, suatu istilah yang diperkenalkan filosof
Inggris, W.D. Ross, yang berarti: Suatu prinsip adalah memikat, kecuali apabila prinsip
tersebut mempunyai konflik dengan prinsip lain. Apabila terdapat konflik, kita harus memilih
di antara keduanya. Selain itu, selain 4 prinsip ini, sering juga ditambahkan
5. Harga diri (dignity)
6. Kebenaran dan kejujuran (truthfulness and honesty)
Penjelasan keenam hal di atas:
1. Menghargai Otonomi (Voluntas aegroti suprema lex). Dalam semua proses pengambilan
keputusan, dianggap bahwa keputusan yang dibuat setelah mendapatkan penjelasan itu dibuat
secara sukarela dan berdasarkan pemikiran rasional. Di dalam dunia kedokteran, dokter
menghargai otonomi pasien berarti bahwa si pasien/klien mempunyai kemampuan untuk
berlaku atau bertindak secara sadar dan intensional, dengan pengertian penuh, dan tanpa
pengaruh-pengaruh yang bisa menghilangkan kebebasannya.dalam kasus ini, dokter telah
melaksanakan kewajibannya dengan memberikan informasi mengenai tindakan baik pada
keluarga maupun pasiennya.
2. Tidak menyebabkan yang buruk (non-maleficence/primum non nocere). Di dalam prinsip
ini, dokter tidak boleh secara sengaja menyebabkan perburukan atau cedera pada pasien, baik
akibat tindakan (commission) atau tidak dilakukannya tindakan (omission). Dalam bahasa
sehari-hari: akan dianggap lalai apabila seseorang memaparkan resiko atau cedera yang tidak
layak (unreasonable) kepada orang lain. Standar perawatan yang meminimalkan resiko
cedera atau perburukan merupakan hal yang diinginkan masyarakat secara common sense.
Dengan tindakan pada kasus ini, walaupun memiliki beberapa resiko namun tetap dilakukan
untuk penyelamatan nyawa dan fungsi organ pasien.
3. Beneficence. Adalah kewajiban petugas kesehatan untuk memberikan kemaslahatan,
kebaikan, kegunaan, benefit bagi pasien, dan juga untuk mengambil langkah positif
mencegah dan menghilangkan kecederaan dari pasien. Dalam hal informed consent untuk ad.
2 dan ad. 3: adalah kewajiban dokter untuk memberi penjelasan mengenai pengobatan atau
tindakan, baik manfaat maupun kekurangannya. Terapinya dimaksudkan untuk penyembuhan
dan kebaikan diri pasien sendiri
29
4. Keadilan. Keadilan di dalam pelayanan dan riset kesehatan digambarkan sebagai kesamaan
hak bagi pasien-pasien dengan kondisi yang sama. Di dalam informed consent, penjelasan
bagi pasien harus diberikan sampai dengan pengobatan yang mungkin saja tidak terjangkau
atau tidak dilindungi pihak asuransinya.
5. Harga Diri. Pasien dan dokter mempunyai hak atas harga dirinya.
6. Kebenaran dan Kejujuran. Kebenaran dan kejujuran adalah suatu keharusan di dalam
hubungan dokter-pasien/subyek. Informed consent diberikan oleh pasien/subyek berdasarkan
informasi yang benar dan jujur. Dokter telah memberi informasi sejujur-jujurnya sesuai
dengan keadaan pasien.
3.9 Solusi
1. HOMOSEKSUAL
Permasalahan homoseksual memerlukan solusi yang dilakukan secara holistic. Dari segi
medis, perlunya peranan dari seorang psikiatri dirasa amat penting karena permasalahan
homoseksual melibatkan tentang pola pikir dan perasaan yang dinilai salah dan menyimpang
baik dinilai dari segi etika, moral, dan agama. Oleh karena itu, disamping pentingnya peranan
seorang psikiatri maka diperlukan juga peranan dari segi agama melalui pendekatan spiritual
dengan cara mengkaji ulang kitab yang berisi tentang peraturan Tuhan untuk makhluk Nya.
Adapun peranan keluarga dan masyarakat dalam hal ini untuk turut mendukung proses
penyembuhan atau secara minimal tidak turut serta menimbulkan dilemma yang lebih buruk
bagi pasien. Adapun pemeriksaan kromosom seks untuk kasus seperti ini cukup lazim
dilakukan untuk memastikan ulang perihal jenis kelamin yang sesungguhnya dari pasien.
2. KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Adanya KDRT biasanya diawali oleh keadaan seseorang yang tidak dapat mengontrol
emosi saat pemicu emosi muncul. Oleh karena itu, pentingnya seseorang untuk mengatur
emosi dan tidak melampiaskannya pada anggota keluarga sehingga menimbulkan
permasalahan KDRT. Mencoba untuk berkomunikasi efektif antar anggota keluarga yang
dalam hal ini komunikasi suami istri sangatlah penting untuk saling menyelami perasaan
30
yang dirasakan satu sama lain. Pentingnya rasa menerima kekurangan pasangan dapat
meminimalisir tindakan KDRT.
3. POLA ASUH
Pola asuh dibentuk sejak kecil sedangkan dalam kasus ini pasien berusia dewasa sehingga
koreksi untuk pola asuh lebih sulit dilakukan.
4. PERCERAIAN
Dalam pandangan etika dan moral, perceraian dinilai sebagai suatu jalan terakhir saat
mempertahankan pernikahan sangat sulit dilakukan. Untuk beberapa agama seperti Kristen
dan Hindu, tidak ada perceraian sedangkan untuk agama Islam, perceraian adalah hal yang
diperbolehkan namun sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu, jika memang keputusan
terbaik adalah bercerai setelah menimbang bahwa seluruh aspek dari pernikahan tidak lagi
dapat dipertahankan, maka bercerai diperbolehkan dengan tetap memenuhi hak dan
kewajiban masing-masing setelah menikah.
Solusi yang dapat dilakukan pada pasien ini adalah:
1. Pemeriksaan Kromosom Seks
Kromosom Seks (penentu jenis kelamin)
Bagian terkecil tubuh adalah sel, di dalam sel terdapat inti sel yang mengandung
kromosom berjumlah 46. Laki-laki dan wanita normal mempunyai jumlah kromosom
yang sama, hanya penulisan simbolnya tidak sama yaitu 46, XY untuk laki-laki dan
46, XX untuk wanita. Simbol ini artinya laki-laki dan perempuan mempunyai jumlah
kromosom 46 dengan 44 kromosom bukan penanda kelamin (autosom) dan 2
kromosom seks (penanda kelamin) yaitu satu kromosom X dan Y pada laki-laki dan
sepasang kromosom X pada wanita. Di dalam kromosom terdapat DNA yang
merupakan bahan keturunan, yang akan memberikan informasi genetik dalam bentuk
kumpulan molekul DNA yang disebut gen. Didalam kromosom seks terdapat gen-gen
berfungsi memproduksi protein ensim/ hormon yang sesuai dengan jenis kelaminnya.
Bila gen-gen ini mengalami perubahan (mutasi) maka produksi protein akan
mengalami penyimpangan. Mutasi gen dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan DNA.
Pada keadaan normal, kromosom seks ditentukan oleh persatuan kromosom X dan Y
dari spermatosoa dan kromosom X dari ovum pada saat konsepsi, sehingga
menghasilkan 46,XY (pria) atau 46,XX (wanita). Materi genetik yang terdapat pada
31
kromosom Y berperan penting dalam proses diferensiasi janin menjadi fenotip laki-
laki. Sex-determining region of the human Y chromosome (SRY) terdapat pada lengan
pendek kromosom Y, merupakan gen yang mengkode produk sangat esensial dalam
perkembangan testis. Pada ketiadaan gen SRY, ovarium akan mengalami
perkembangan dilanjutkan dengan terbentuknya rahim dan saluran indung telor.
2. Pemeriksaan Hormonal
Hormon merupakan zat kimia yang disekresikan ke dalam cairan tubuh oleh satu atau
sekelompok sel dan mempunyai efek pengaturan terhadap sel-sel tubuh lain.
a. FSH (Folicle Stimulating Hormon)
- Pada wanita
Merangsang pertumbuhan folikel pada masa subur
- Pada pria
Meningkatkan pembentukan sperma di dalam testis
b. LH (Luteinizing Hormon)
- Pada wanita
Meningkatkan produksi progesteron pada letua
- Pada pria
Meningkatkan produksi testosteron pada sel leydig dan mematangkan
spermatozoa
c. PROLACTIN
- Pada wanita
Meningkatkan perkembangan payudara dan sekresi air susu
- Pada pria
Menghambat pematangan spermatozoa
d. ESTROGEN
Merangsang perkembangan organ kelamin wanita dan sifat kelamin sekunder,
contoh: pertumbuhan payudara, suara lebih lembut, dll
e. PROGESTERON
Mempersiapkan rahim untuk menerima telur yang sudah dibuahi
f. TESTOSTERON
Merangsang pertumbuhan organ kelamin pria dan meningkatkan perkembangan
sifat kelamin sekunder, contoh : tumbuh janggut, kumis, suara lebih keras, dll
g. ESTRADIOL
- Pada wanita
32
Mengontrol dan mengatur perubahan tubuh wanita pada waktu puber,
pertumbuhan rahim, vagina dan kelamin bagian luar
- Pada pria
Menghambat pematangan sperma
3. Konseling
Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli (disebut
konselor) kepada individu yang mengalami sesuatu masalah (disebut konsele) yang
bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.
Untuk kasus ini, konseling dapat dilakukan oleh dokter spesialis yang bekerja sama
dengan pakar agama (ustadz, pendeta, biksu, dsb). Adapun objek konseling ini
diutamakan untuk pasien (Ny.Dita) dan keluarganya (Ayah dan Ibu). Hal-hal yang
dibahas dalam konseling meliputi:
a. Pertanyaan yang mendalam untuk mengkaji informasi lebih lanjut tentang
penyebab masalah dari pasien seperti bagaimana pola asuh yang diterapkan oleh
kedua orang tua pasien, sejak kapan gejala-gejala lesbian tsb muncul, dsb
b. Penjelasan tentang kondisi yang dialami pasien seputar penyebab dan langkah-
langkah selanjutnya yang dapat dilakukan
c. Pendekatan dari bidang spiritual seperti memperbanyak kegiatan ibadah dan
pembahasan seputar masalah pasien dari segi agama
33
BAB V
KESIMPULAN
Permasalahan homoseksual memerlukan solusi yang dilakukan secara holistic. Adapun
peranan keluarga dan masyarakat dalam hal ini untuk turut mendukung proses penyembuhan
atau secara minimal tidak turut serta menimbulkan dilemma yang lebih buruk bagi pasien.
Adanya KDRT biasanya diawali oleh keadaan seseorang yang tidak dapat mengontrol emosi
saat pemicu emosi muncul. Pentingnya rasa menerima kekurangan pasangan dapat
meminimalisir tindakan KDRT. Pola asuh dibentuk sejak kecil sedangkan dalam kasus ini
pasien berusia dewasa sehingga koreksi untuk pola asuh lebih sulit dilakukan. Dalam
pandangan etika dan moral, perceraian dinilai sebagai suatu jalan terakhir saat
mempertahankan pernikahan sangat sulit dilakukan. Untuk beberapa agama seperti Kristen
dan Hindu, tidak ada perceraian sedangkan untuk agama Islam, perceraian adalah hal yang
diperbolehkan namun sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu, jika memang keputusan
terbaik adalah bercerai setelah menimbang bahwa seluruh aspek dari pernikahan tidak lagi
dapat dipertahankan, maka bercerai diperbolehkan dengan tetap memenuhi hak dan
kewajiban masing-masing setelah bercerai.
34
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran: pengantar bagi
mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2007.
2. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan bidang
kedokteran. Jakarta: FKUI; 1994.
3. Ikatan Alumni Universitas Indonesia. 2010. Informed consent. Available at:
http://www.ilunifk83.com/t143-informed-consent. Accessed on January 18, 2012.
4. Daryati. Membentuk Citra Diri yang Baik Melalui Pola Asuh Dalam Membesarkan
Anak. Jakarta : CV. Rajawali.2009.
5. Perceraian Kristen Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
TentangPerkawinan. Atmalib perpustakaan unika atmajaya. Copyright 2007-2008.
Availableathttp://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=41155
6. Penyimpangan Sex k Uputin. Scribed. Copyright © 2012 Scribd Inc. available
athttp://www.scribd.com/doc/28738821/Penyimpangan-Sex-k-Uputin
.
35