mainstreaming adaptasi perubahan iklim dalam...
TRANSCRIPT
i
MAINSTREAMING ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PERENCANAAN WILAYAH
BIDANG PENELITIAN PUSAT PENELITIAN, PROMOSI DAN KERJA SAMA
BADAN INFORMASI GEOSPASIAL 2018
BADAN INFORMASI GEOSPASIAL
ii
MAINSTREAMING ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PERENCANAAN WILAYAH
Pengarah:
1. Kepala Pusat Penelitian, Promosi dan Kerja Sama 2. Kepala Bidang Penelitian
Penanggung Jawab Kegiatan Prof. Dr. Ir. Dewayany Sutrisno, M.AppSc Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
Anggota Peneliti: 1. Prayudha Hartanto, ST 2. Nugroho Purwono, S.Si 3. Nadya Oktaviani, ST 4. Ir. Irmadi Nahib, M.Si 5. Ir. Yatin Suwarno, M.Sc. 6. Dr. Yosef Prihanto, S.Si., M.Si 7. Utami Yulaila 8. Erlan Roslaendi
Bidang Penelitian Pusat Penelitian, Promosi dan Kerja Sama Gedung S lantai 1 Badan Informasi Geospasial Jl. Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong, 16911
BADAN INFORMASI GEOSPASIAL
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat allah SWT atas rahmat dan anugerah-Nya sehingga kegiatan kajian mainstreaming perubahan iklim dalam perencanaan wilayah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini kami ucapkan terimakasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah berusaha menyelesaikan kegiatan ini, khususnya kepada Kepala Bidang Penelitian, Penanggung Jawab Kegiatan dan para anggota tim penelitian. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada para pakar yang berasal baik dari internal BIG, Kementerian/Lembaga, dan para akademisi yang terlibat dalam memberikan masukkan dan saran sehingga penelitian ini menjadi lebih baik dan mendalam.
Besar harapan kami agar laporan ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai kalangan, terutama yang terkait dalam perencanaan wilayah dan tata ruang, baik instansi pemerintahan maupun lembaga non-pemerintah.
Akhir kata, kami mengharapkan masukan, kritik dan saran dari para pembaca agar diperoleh perbaikan dari kegiatan penelitian/kajian terkait adaptasi perubahan iklim di masa yang akan dating.
Cibinong, 3 Desember 2018 Pusat Penelitian, Promosi dan Kerja Sama
Kepala,
Dr. Ir. Wiwin Ambarwulan, M.Sc.
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI iv DAFTAR TABEL v DAFTAR GAMBAR vi
A. LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN 1 I. Latar Belakang 1 II. Tujuan 1 III. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan 2 IV. Waktu Pelaksanaan Kegiatan 3 V. Personel 3 VI. Luaran 3 VII. Dampak 5 VIII. Dokumentasi Kegiatan 7
B. LAPORAN ILMIAH PENELITIAN 11
I. PENDAHULUAN 11
1.1 Latar Belakang 10
1.2 Rumusan Masalah 11
1.3 Tujuan 11
1.4 Lokasi Penelitian 11
II. TELAAH LITERATUR 12
III. METODE 15
3.1 Penyusunan Peta Area Terdampak Kenaikan Muka Laut 15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 18
4.1 Review Dokumen Perencanaan Wilayah 18
4.2 Area Terdampak Kenaikan Muka Laut 19
V. KESIMPULAN DAN SARAN 29
DAFTAR PUSTAKA 30
LAMPIRAN A: Notula Koordinasi dengan BKPRN 32
LAMPIRAN B: Notula FGD 36
LAMPIRAN C: Daftar Undangan FGD 39
v
DAFTAR TABEL
Tabel A. 1. Kegiatan Penelitian. ........................................................................................................... 2
Tabel B.1. Laju kenaikan muka laut di beberapa kota di pantura Jawa. ........................................... 21
Tabel B.2. Prediksi area terdampak kenaikan muka laut pada tahun 2029 berdasarkan penutup lahan eksisting. ............................................................................................................................................. 24
Tabel B.3. Prediksi area terdampak kenaikan muka laut pada tahun 2029 berdasarkan wilayah administrasi. ....................................................................................................................................... 24
Tabel B.4. Standar harga berdasarkan penutup lahan. ..................................................................... 24
Tabel B.5. Estimasi nilai kerugian di wilayah Cirebon akibat rendaman muka air laut berdasarkan rencana pola ruang 2029.................................................................................................................... 25
Tabel B.6. Prediksi area terdampak kenaikan muka laut tahun 2029 berdasarkan wilayah administrasi. ....................................................................................................................................... 27
Tabel B.7. Prediksi area terdampak kenaikan muka laut tahun 2029 berdasarkan penutup lahan eksisting. ............................................................................................................................................. 27
Tabel B.8. Estimasi nilai kerugian di wilayah Lamongan dan Gresik akibat rendaman muka air laut berdasarkan rencana pola ruang 2029. ............................................................................................. 29
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar A1 Diagram Alir Metode Coastal Recession Algorithm ................................................... 3
Gambar A.2. Laju kenaikan muka laut Indonesia. ........................................................................... 4
Gambar A3. Konsep Utama Risiko Iklim dalam Laporan Penilaian 5 (IPCC, 2014b). ...................... 5
Gambar A4. Kerangka Pendekatan CCRAA Modifikasi ................................................................... 6
Gambar A.5. Rapat perencanaan kegiatan penelitian, Januari 2018 .............................................. 7
Gambar A.6. Koordinasi dengan BKPRN, April 2018 ....................................................................... 7
Gambar A.7. Rapat persiapan survey lapangan, Mei 2018 ............................................................. 8
Gambar A.8. FGD Kegiatan Penelitian, Juni 2018 ............................................................................ 8
Gambar A.9. Kegiatan survei lapangan di Cirebon, Agustus 2018 .................................................. 9
Gambar A.10. Kegiatan survei lapangan di Lamongan, Agustus 2018 .......................................... 9
Gambar B.1. Diagram alir tahapan penelitian. .................................................................................. 17
Gambar B.2. Kerangka kerja mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui tata ruang (IPCC, 2014a) ............................................................................................................................................................ 19
Gambar B.3. Laju kenaikan muka laut Indonesia dari data MDT 1993-2017. ................................... 20
Gambar B.4. Perubahan tinggi muka laut di Cirebon pada periode 1993-2017. .............................. 20
Gambar B.5. Perubahan tinggi muka laut di Lamongan pada periode 1993-2017. .......................... 21
Gambar B. 6. Model geoid EGM 2008 di wilayah Indonesia (Sumber : http://icgem.gfz-potsdam.de) ............................................................................................................................................................ 22
Gambar B.7. Perbandingan antara garis pantai DEMNAS dengan garis pantai RBI .......................... 23
Gambar B.8. Peta rencana pola ruang wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon 2029. ........................ 26
Gambar B.9. Area terdampak kenaikan muka laut berdasarkan rencana pola ruang 2029 di Lamongan ........................................................................................................................................... 28
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 1
A. LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN
I. LATAR BELAKANG
Perubahan iklim sudah terjadi dan dirasakan oleh seluruh masyarakat dunia, terkait hal ini sudah banyak bukti-bukti ilmiah yang menunjukkannya. Berbagai upaya dan strategi baik jangka pendek, menengah maupun antisipasi jangka panjang mulai dilakukan di banyak negara. Hal ini dirasakan perlu, karena penundaan pelaksanaan upaya adaptasi diperkirakan akan meningkatkan kerugian ekonomi yang lebih besar di kemudian hari.
Di Indonesia dampak ekonomi perubahan iklim diperkirakan sangat besar walaupun masih sulit diperhitungkan secara pasti. Namun demikian beberapa kajian menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat perubahan iklim baik langsung maupun tidak langsung di Indonesia tahun 2100 dapat mencapai 2,5%, yaitu empat kali kerugian PDB rata-rata global akibat perubahan iklim (World Bank, 2010). Apabila peluang terjadinya bencana akibat perubahan iklim turut diperhitungkan maka kerugian ekonomi dapat mencapai 7% dari PDB (World Bank, 2010; ADB, 2010). Untuk melindungi masyarakat termiskin dan munculnya biaya ekonomi yang tidak diinginkan, kegiatan adaptasi perlu segera dilakukan melalui disusunnya suatu rencana aksi adaptasi berskala nasional.
Pembangunan nasional dengan agenda adaptasi terhadap dampak perubahan iklim memiliki tujuan akhir agar tercipta sistem pembangunan yang adaptif atau tahan terhadap perubahan iklim yang terjadi saat ini. Pembangunan berkelanjutan yang mengakomodasi kegiatan adaptasi perubahan iklim diharap dapat mengurangi kerentanan saat ini sehingga tidak mengorbankan kapasitas generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini diperlukan karena perubahan iklim akan mempengaruhi dan berdampak pada semua aspek dari pembangunan di setiap sektor.
II. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengembangkan metode pemetaan risiko dan adaptasi perubahan iklim sektoral/sub-bidang tingkat kabupaten/kota.
2. Mengembangkan metode revisi dokumen rencana tata ruang kawasan perkotaan berdasarkan hasil kajian risiko.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 2
III. TAHAPAN PELAKSANAAN KEGIATAN
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah:
1. Menyiapkan dan menyusun rencana kerja penelitian. Dalam tahap persiapan Kegiatan ini meliputi: koordinasi, studi literatur / mengumpulkan bahan referensi dari berbagai sumber.
2. Menyusun dan mengembangkan metodologi. Pada tahap ini melakukan penyusunan metodologi yang akan digunakan atau pengembangan dari metode yang sudah ada dalam rangka melaksanakan kegiatan penelitian.
3. Melaksanakan survei/uji lapangan. Pembuktian di lapangan?. Pada tahap ini diperlukan sewa kendaraan roda empat dan atau sewa kapal untuk menunjang pelaksanaan survey di lokasi sampel.
4. Melakukan pengolahan data dan analisis. Pada tahap ini dilakukan pengolahan data hasil survey lapangan dan data sekunder lainnya serta dilakukan analisa. Pada tahapan ini juga diperlukan pertemuan dalam rangka diskusi bersama dengan narasumber dari berbagai instansi dan internal BIG.
5. Melakukan evaluasi dan menyusun laporan hasil penelitian. Pada tahap ini dilakukan penyusunan laporan akhir.
IV. WAKTU PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan penelitian dilaksanakan pada periode Januari-Desember 2018. Secara garis besar kegiatan yang tercakup dalam penelitian digambarkan pada Tabel A. 1 berikut:
Tabel A. 1. Kegiatan Penelitian. Kegiatan Bulan 1-2 Bulan 3-4 Bulan 5-6 Bulan 7-8 Bulan 9-10 Bulan 11-12
Persiapan dan Penyusunan Rencana Kerja Penelitian
Penyusunan dan Pengembangan Metodologi
Pelaksanaan Survei/uji lapangan
Pengolahan data dan analisis
Evaluasi dan Pelaporan Hasil Penelitian
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 3
V. PERSONEL
Berikut ini adalah personel kegiatan penelitian beserta peranannya masing-masing: 1. Prayudha Hartanto : PJ Kegiatan 2. Prof. Dewayany Sutrisno : Pembimbing 3. Prof. Fahmi Amhar : Pembimbing 4. Yatin Suwarno : Anggota 5. Irmadi Nahib : Anggota 6. Nugroho Purwono : Anggota 7. Nadya Oktaviani : Anggota 8. Yosef Prihanto : Anggota
VI. LUARAN
Dari kegiatan penelitian ini dihasilkan beberapa luaran. Hasil utama adalah metode pemetaan daerah terdampak genangan akibat kenaikan muka air laut. Hasil kedua adalah metode rekomendasi revisi tata ruang wilayah. Gambar A1 di bawah ini menampilkan luaran penelitian kami dalam bentuk diagram alir.
Gambar A1. Diagram Alir Metode Coastal Recession Algorithm
Pada metode ini, genangan akibat kenaikan muka laut (Inundasi) dipengaruhi oleh beberapa parameter yaitu laju kenaikan muka laut, elevasi, garis pantai dan tutupan lahan. Laju kenaikan muka laut dapat dihitung dari data satelit altimetri periode panjang di suatu wilayah.
Pada penelitian ini, data satelit altimetri diunduh dari website Aviso. Data satelit altimetri yang digunakan merupakan data olahan, dan sudah dalam bentuk grid global. Terdapat dua jenis grid global yang tersedia, yaitu Mean Sea Level Anomaly (MSLA) dan Mean Absolute Dynamic Topography (MDT). Data MSLA dan MDT yang diunduh adalah data bulanan untuk periode 1993-
Data Altimetri
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 4
2017. Dengan periode sepanjang itu, pengaruh efek musiman, tahunan dan dekadal turut berkontribusi dalam perubahan ketinggian muka air laut. Dari data altimetri tersebut, diperoleh variasi temporal muka air laut global beserta laju kenaikannya dalam satuan mm/tahun.
MSLA adalah tinggi muka laut di atas muka laut rerata global (MSL), sedangkan MADT adalah tinggi muka laut di atas bidang geoid. BIG sebagai penyelenggara informasi geospasial dasar (IGD) di Indonesia telah menetapka geoid sebagai referensi vertikal dalam SRGI 2013. Oleh karena itu, pada penelitian ini, data yang diutamakan adalah MADT. Gambar A.2 di bawah menampilkan peta laju kenaikan muka laut Indonesia berdasarkan data MADT 1993-2017. Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa laju kenaikan muka laut di Indonesia berkisaar antara 0 – 9,6 mm/tahun.
Gambar A.2. Laju kenaikan muka laut Indonesia.
Data elevasi yang digunakan adalah DEMNAS, yang merupakan produk resmi keluaran BIG
tahun 2018. DEMNAS adalah model elevasi digital permukaan tanah (terrain) dengan referensi vertikal model geoid EGM 2008. Informasi selengkapnya mengenai DEMNAS dapat diperoleh di laman http://tides.big.go.id/DEMNAS/.
Selain elevasi daratan, dengan data DEMNAS juga dapat diperoleh garis pantai. Metode yang digunakan untuk menghitung garis pantai adalah dengan pendekatan Sistem Informasi Geospasial (SIG). Titik-titik dengan ketinggian nol (zero elevation) meter dihubungkan sehingga diperoleh kontur nol, dengan pengecualian titik-titik nol yang tidak bersinggungan langsung dengan air laut. Kontur nol inilah yang dinyatakan sebagai garis pantai DEMNAS atau garis pantai relatif terhadap geoid. Garis pantai geoid dipilih karena memiliki referensi yang sama dengan data MADT, yaitu geoid.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 5
Akan tetapi, BIG juga mengelurkan produk garis pantai lain, yaitu versi peta RBI dan peta LPI/LLN. Kedua jenis garis pantai tersebut merupakan garis pantai yang mengacu terhadap tinggi muka laut sesaat. Alasan kedua jenis garis pantai ini tidak digunakan adalah karena referensi vertikalnya yang tidak diketahui pasti hubungannya dengan geoid, sehingga jika digunakan sebagai dasar analisis terhadap kenaikan muka laut (relatif terhadap geoid) dikhawatirkan akan menimbulkan bias/error akibat perbedaan referensi tinggi.
Data tutupan lahan yang digunakan adalah peta penutup lahan yang mengacu terhadap SNI Penutup Lahan 2014. Peta tersebut tersedia dalam skala 1:50.000. Data tutupan lahan digunakan untuk membuat analisis lanjutan mengenai dampak sosio-ekonomi di wilayah-wilayah yang memiliki risiko bencana genangan muka air laut. Salah satu contoh penelitian mengenai dampak kenaikan muka laut terhadap perencanaan wilayah adalah penelitian oleh Suroso & Firman, 2018. Penelitian tersebut memperkirakan kerugian ekonomi di tahun 2030 akibat kenaikan muka air laut di pesisir utara P. Jawa dapat mencapai 246,6 miliar dollar AS (Suroso et al., 2018).
VII. DAMPAK
Perkembangan terakhir yang dibuat oleh Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) pada tahun 2014 mendefinisikan risiko terkait iklim sebagai fungsi bahaya, kerentanan dan keterpaparan, sedangkan risiko dampak terkait iklim dihasilkan dari interaksi bahaya terkait iklim (termasuk kejadian berbahaya dan tren) dengan kerentanan dan keterpaparan sistem manusia dan alam. Seperti dapat dilihat dari Gambar A3 di bawah ini, perubahan dalam sistem iklim (kiri) dan proses sosial ekonomi termasuk adaptasi dan mitigasi adalah pendorong bahaya, paparan, dan kerentanan.
Gambar A3. Konsep Utama Risiko Iklim dalam Laporan Penilaian 5 (IPCC, 2014b).
Selanjutnya, pendekatan CCRAA yang dimodifikasi juga mengemukakan gagasan berikut:
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 6
Sebagai peringatan dini, langkah-langkah teknis dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melapisi peta bahaya iklim dengan penggunaan lahan dan infrastruktur saat ini (garis dasar) serta pola dan struktur spasial yang didefinisikan dalam Rencana Tata Ruang (proyeksi).
Sebagai dasar untuk mengembangkan kebijakan adaptasi, strategi, dan tindakan adaptasi perubahan iklim, pengamatan lebih lanjut mengenai perubahan tingkat risiko iklim terhadap komponen rencana tata ruang (pola dan struktur) pada situasi awal dan proyeksi, serta faktor penjelasnya harus dipahami dengan baik.
Berkenaan dengan pengembangan opsi adaptasi dan penyertaan pada rencana tata ruang, baik adaptasi reaktif dan antisipatif, harus didahului dengan identifikasi komponen rencana tata ruang (pola dan struktur yang terkena dampak) dan dilanjutkan dengan keputusan mengenai pelaksanaan pemeriksaan iklim pada rencana tata ruang. Atau revisi komponen rencana tata ruang.
Secara skematis, kerangka Pendekatan CCRAA Modifikasi dapat ditemukan pada Gambar A4,
sebagai berikut:
Gambar A4. Kerangka Pendekatan CCRAA Modifikasi
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 7
VIII. DOKUMENTASI KEGIATAN
Berikut ini adalah beberapa dokumentasi kegiatan penelitian ini yang mencakup seluruh tahapan, mulai dari perencanaan hingga survei lapangan di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Gambar A.5. Rapat perencanaan kegiatan penelitian, Januari 2018
Gambar A.6. Koordinasi dengan BKPRN, April 2018
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 8
Gambar A.7. Rapat persiapan survey lapangan, Mei 2018
Gambar A.8. FGD Kegiatan Penelitian, Juni 2018
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 9
Gambar A.9. Kegiatan survei lapangan di Cirebon, Agustus 2018
Gambar A.10. Kegiatan survei lapangan di Lamongan, Agustus 2018
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 10
B. LAPORAN ILMIAH PENELITIAN
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pemanasan
pada sistem iklim tampak nyata, dan sejak tahun 1950-an, perubahan yang tampak tersebut lebih
besar daripada di beberapa dekade yang lalu. Perubahan-perubahan tersebut adalah pemanasan
atmosfer dan samudera, penurunan jumlah es di kutub, kenaikan muka air laut dan peningkatan
konsentrasi gas rumah kaca (IPCC, 2014b).
Perubahan iklim disebabkan oleh dua faktor utama, yakni faktor alami dan pengaruh
manusia. Menurut IPCC, total pengaruh manusia pada Radiative forcing (RF) di tahun 2011 (relatif
terhadap 1750) adalah 2,29 Wm-2. Dari nilai tersebut, kontribusi utama disumbangkan oleh
konsentrasi gas CO2 di atmosfer. Emisi gas CO2 menghasilkan nilai RF sebesar 1,68 Wm-2. Nilai RF
adalah kuantifikasi perubahan flux energi akibat suatu faktor, yang diukur di atas lapisan
atmosfer. Nilai RF yang positif mengindikasikan peningkatan suhu permukaan.
Selain emisi CO2, pengaruh manusia sangat dominan pada pelelehan es di Arctic, Greenland
dan gleyser di Antartika. Hal tersebut menyebabkan kenaikan muka laut rerata global sejak tahun
1970. Menurut beberapa pakar, kenaikan muka laut dapat dijadikan indikator utama perubahan
iklim. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cazenave dkk, laju kenaikan muka laut global
sejak tahun 1990-an mencapai 3,1 mm/tahun. Jika dilakukan koreksi terhadap variabilitas
tahunan samudera (biasanya disebabkan oleh El-Nino Southern Oscillation), maka kenaikan muka
laut global mencapai 3,3 mm/tahun (Cazenave et al., 2014).
Sebagai langkah mengantisipasi perubahan iklim, IPCC telah menyusun beberapa
rekomendasi. Rekomendasi tersebut dituliskan dalam laporan tahunan. Dalam rekomendasi
tersebut, pengurangan emisi gas rumah kaca (CO2 dll) harus dilakukan secara sungguh-sungguh
dan berkesinambungan agar perubahan iklim dapat terkendali. Langkah-langkah tersebut
dikategorikan sebagai upaya mitigasi perubahan iklim, yang membutuhkan partisipasi dari semua
kalangan dalam skala global, baik pemerintah, pengusaha maupun masyarakat umum.
Dalam skala yang lebih kecil yaitu regional maupun lokal, upaya mitigasi perlu didukung
dengan upaya adaptasi perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim merupakan langkah
penyesuaian diri yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat agar dampak negatif perubahan
iklim dapat dikurangi. Bank Dunia menyatakan bahwa terdapat dua pilihan adaptasi perubahan
iklim, yakni responsif dan proaktif. Untuk mengoptimalkan dampak pilihan adaptasi tersebut,
pemerintah perlu mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim ke dalam pengarusutamaan
(mainstreaming) program-program pembangunan (The World Bank, 2009).
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 11
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran yang telah disampaikan dalam subbab sebelumnya, dapat
dirumuskan beberapa permasalahan yang akan menjadi pembahasan dalam penelitian ini.
Berikut ini adalah rumusan masalah dalam penelitian ini:
1. Berapakah laju kenaikan muka air laut di lokasi penelitian
2. Seberapa besar dampak kenaikan muka laut di masa datang
3. Bagaimana dampak kenaikan muka laut terhadap rencana tata ruang yang sudah
disusun
4. Seperti apa rencana tata ruang yang mengintegrasikan adaptasi terhadap perubahan
iklim
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode pemetaan risiko dan adaptasi
perubahan iklim sektoral/sub-bidang tingkat kabupaten/kota serta mengembangkan metode
revisi dokumen rencana tata ruang kawasan perkotaan berdasarkan hasil kajian risiko.
1.4 Lokasi Penelitian
Kajian dilakukan di beberapa lokasi di pantai utara (pintura) Jawa, yakni Kabupaten dan Kota
Cirebon, Kabupaten Gresik serta Kabupaten Lamongan. Pemilihan pantura Jawa sebagai lokasi
penelitian didasarkan oleh kenyataan bahwa banyak kota besar dengan infrastruktur dan
penduduk yang banyak yang terletak di wilayah tersebut. Selain itu karakteristik topografi daerah
pesisir pantura Jawa relatif landai, sehingga kenaikan muka laut yang kecil akan berdampak
signifikan terhadap kehidupan masyarakat di wilayah tersebut.
Kabupaten dan Kota Cirebon serta Kabupaten Gresik dan Lamongan dipilih sebagai sampel
karena di wilayah tersebut banyak masyarakat nelayan maupun petambak yang mendiami
wilayah pesisir pantai dan menggantungkan hidupnya terhadap sumber daya pesisir. Selain itu,
wilayah-wilayah ini memiliki laju penurunan tanah (land subsidence) yang relatif tidak signifikan,
sehingga efek kenaikan muka laut menjadi faktor dominan pada bahaya akibat perubahan iklim.
II. TELAAH LITERATUR
Sebagai negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang sangat panjang, Indonesia
memiliki potensi bencana alam yang besar. Salah satunya adalah dampak rendaman kenaikan
muka laut global. Hal tersebut semakin diperparah dengan kenyataan bahwa sebagian besar kota
besar di Indonesia berada di wilayah pesisir. Menurut Santoso dkk, 23 kabupaten/kota di
Indonesia masuk dalam klasifikasi Cluster 6, yang artinya memiliki nilai rasio rendaman yang
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 12
tinggi, nilai infrastruktur yang tinggi, nilai kepadatan penduduk yang tinggi, nilai Kawasan
permukiman yang tinggi, dan nilai kawasan non-permukiman yang rendah (Suroso et al., 2011).
Penelitian terkait dengan penggenangan pada wilayah pesisir berupa kota (lowlying urban
area) dilaksanakan oleh Cozanet dkk (Le Cozannet et al., 2015) yang memperkirakan akan terjadi
bencana banjir yang sangat merusak di tahun 2050 akibat kenaikan muka laut sesuai dengan
ramalan IPCC di wilayah pesisir barat daya mediterania. Penelitian yang serupa juga dilakukan
oleh Hennecke dkk (Hennecke et al., 2004) pada wilayah pesisir Callqroy/ Narabeen Beach,
Sydney – Australia. Hennceke dkk juga menggunakan perhitungan ekonomi direct cost
berdasarkan hilangnya luasan lahan per ha dengan menggunakan harga lahan (land price)
termasuk harga bangunan /Gedung sebagai satuan perhitungannya untuk memperlihatkan
dampak sosial ekonomi yang disebabkan oleh kenaikan muka laut. Sedangkan pada wilayah rural,
penggenangan akibat dari kenaikan muka laut berdampak pada hilangnya tipe tipe rawa di
wilayah pesisir New York (Clough et al., 2016); Epanchin-niell (Epanchin-Niell et al., 2017)
mengkaji adanya perubahan lahan dari hutan menjadi lahan basah akibat adanya kenaikan muka
laut pada wilayah pesisir timur, selatan Delaware USA; Sutrisno(Sutrisno, 2012) mengkaji
kehilangan lahan tambak udang akibat adanya kenaikan muka laut pada wilayah pesisir delta
Mahakam, Indonesia; Sutrisno dkk (Sutrisno et al., 2013) juga telah mengkaji dampak
penggenangan akibat dari kenaikan muka laut dan banjir lokal terhadap kesehatan masyarakat
akibat epidemi penyakit berbasiskan air (water related deseases) seperti diare, kencing tikus dan
demam berdarah di wilayah pantai utara Jakarta. Bahkan tidak hanya masalah banjir atau
pengenangan, kenaikan muka laut juga berdampak pada perubahan siklus biogeokimia (Carless
et al., 2016) dan ketinggian pasang surut (Idier et al., 2017).
Untuk menghadapi potensi bencana akibat kenaikan permukaan laut global, perlu dilakukan
tindakan mitigasi maupun adaptasi. Mitigasi merupakan upaya mengatasi penyebab perubahan
iklim melalui upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) atau peningkatan penyerapan GRK.
Sementara itu, adaptasi diartikan sebagai upaya mengatasi akibat yang ditimbulkan oleh
perubahan iklim (Aldrian et al., 2011).
Menurut Bank Dunia, pilihan adaptasi terhadap perubahan iklim dapat dikategorikan ke
dalam 2 tipe, yakni reaktif/responsif dan proaktif/antisipatif. Dalam aspek pesisir/bahari
setidaknya terdapat 4 pilihan adaptasi responsive dan 4 pilihan adaptasi antisipatif. Pilihan-pilihan
tersebut adalah sebagai berikut (The World Bank, 2009):
1. Responsif
a. Perlindungan infrastruktur ekonomi,
b. Penyadaran public untuk meningkatkan perlindungan ekosistem pesisir dan laut,
c. Pembuatan dinding laut dan penguatan pantai,
d. Perlindungan dan konservasi terumbu karang, mangrove, rumput laut dan vegetasi
pinggir pantai.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 13
2. Antisipatif
a. Manajemen zona pesisir yang terintegrasi,
b. Perencanaan dan penentuan zona pesisir yang lebih baik,
c. Pengembangan peraturan untuk perlindungan pesisir,
d. Penelitian dan pengawasan pesisir dan ekosistem pesisir.
Di antara beberapa pilihan yang disebutkan di atas, poin 1b, 1d, dan 2d sudah masuk ke
dalam Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Indonesia. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa pemerintah Idonesia telah memandang perlunya integrasi adaptasi
perubahan iklim ke dalam program-program pembangunan (mainstreaming). Pengintegrasian
tersebut dilakukan pada skala nasional hingga lokal. Pada dasarnya adaptasi perubahan iklim akan
menghabiskan biaya tahunan yang sangat besar (sekitar 0,12% PDB), namun keuntungan yang
akan diperoleh akan lebih besar. Bank Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2100,
keuntungan tahunan dari terhindarnya kerusakan akibat perubahan iklim mencapai 1,6 % dari
PDB Indonesia.
Terdapat beberapa tahapan dalam mainstreaming adaptasi perubahan iklim. Menurut
Wamsler, dalam skala lokal mainstreaming adaptasi perubahan iklim dapat dilakukan dalam 4
tahap, yaitu (Wamsler, 2014):
1. Mengurangi atau menghindari potensi bahaya,
2. Mengurangi kerentanan bahaya lokal,
3. Cepat tanggap dalam menanggulangi bahaya yang terjadi,
4. Kesigapan dalam proses pemulihan akibat bancana.
Selain pada skala lokal, strategi mainstreaming adaptasi perubahan iklim juga dilakukan
pada skala institusi dan antar-institusi. Pada skala institusional strategi yang dapat dilakukan
adalah dengan menerapkan pembagian tugas yang jelas pada tiap institusi pemerintah sekaligus
mengintegrasikannya agar tidak terdapat kesimpangsiuran. Sementara itu, strategi yang
diterapkan dalam skala antar-institusi lebih berfokus kepada pendayagunaan elemen-elemen di
luar pemerintah dan masyarakat, antara lain kalangan usaha, akademisi dan lembaga swadaya
masyarakat (Wamsler, 2015).
Meskipun Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-
API), perhitungan bahaya akibat kenaikan muka laut global belum diintegrasikan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah baik dalam skala nasional maupun provinsi (Suroso et al., 2018). Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Suroso dan Firman tahun 2018, diperkirakan terdapat 55.220 Ha
area terdampak rendaman pesisir di kawasan pantura Jawa pada tahun 2030. Kawasan tersebut
merupakan kawasan industri dan permukiman sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang
telah disahkan, sehingga berpotensi mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar 246,6 miliar Dollar
AS (Suroso et al., 2018).
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 14
Penelitian ini akan mengkaji usaha mainstreaming adaptasi terhadap perubahan iklim yang
dilakukan oleh Kabupaten/Kota Cirebon dengan metode sebagaimana yang dilakukan oleh Suroso
dan Firman (Suroso et al., 2018). Dalam penelitian yang dilakukan olehnya, model rendaman
pesisir dibuat dari beberapa model, yakni model kenaikan muka laut, model garis pantai dan
model muka laut rerata (MSL). Pada tahapan selanjutnya, model rendaman pesisir akan
ditumpangsusunkan terhadap peta tutupan lahan eksisting dan peta tutupan lahan sesuai pola
ruang 2029.
Beberapa model kenaikan muka laut telah dikembangkan, baik itu berdasarkan proyeksi
data pasang surut maupun satelit altimetri. Satelit altimetri dapat memberikan data SLA (sea level
anomalies) yang akurat khususnya pada wilayah pesisir, di mana trend kenaikan muka laut telah
tervalidasi berdasarkan beberapa penelitian (Nakanowatari et al., 2014; Saraceno et al., 2014;
Sriartha et al., 2015). Oleh karena itu model peredaman pada wilayah pesisir dapat dikembangkan
dengan menggunakan data kenaikan muka laut dari citra altimetri ini, untuk menunjukan daerah
terdampak.
Setelah diperoleh peta area terdampak rendaman pesisir, analisis dampak ekonomi dapat
dilakukan. Selain itu, penelitian ini juga dapat melihat apakah mainstreaming yang dilakukan oleh
pemerintah lokal mampu mengurangi/menghindari bahaya akibat perubahan iklim (kenaikan
muka laut global), sebagaimana dilaksanakan dalam penyusunan penataan ruangnya. Santoso
dkk menyatakan bahwa tataruang berbasiskan kebencanaan merupakan isu penting yang harus
dilaksanakan khususnya terkait dengan adaptasi terhadap kenaikan muka laut (Suroso et al.,
2011). Hal ini didukung dengan PP No 8/2013 yang menyatakan diwajibkan dimasukannya
kawasan rawan bencana, khususnya gelombang pasang dan banjir dalam rencana tata ruang
suatu wilayah. Hal ini didukung oleh Stokke yang menyatakan bahwa kenaikan muka laut
merupakan tantangan untuk memperbaiki penataan ruang wilayah pesisir (Stokke, 2014).
Permasalahan kebencanaan pesisir dan penataan ruang merupakan hal penting yang belum
sepenuhnya dilaksanakan di wilayah pesisir Indonesia, di mana hal tersebut akan dikaji lebih
lanjut dalam penelitian ini.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 15
III. METODE
3.1 Penyusunan Peta Area Terdampak Kenaikan Muka Laut
Data utama dalam penyusunan peta area terdampak kenaikan muka laut adalah data satelit
altimetri multi years. Satelit altimetri merupakan misi satelit yang berfungsi untuk mengamati
tinggi muka laut dari referensi tertentu secara periodik. Data satelit altimetri diunduh dari laman
Aviso, yang merupakan sebuah institusi Perancis yang mengolah dan mempublikasikan data-data
oseanografi. Pada situs Aviso, tersedia data altimetri dalam berbagai format, pada penelitian ini,
data satelit altimetri yang digunakan adalah Mean Dynamic Topography (MDT) dalam format data
grid.
Dalam sudut pandang keilmuan geodesi, MDT adalah selisih antara tinggi muka laut rerata
(MSS) dengan model geoid global (Bingham et al., 2008). Model MSS merupakan hasil pengolahan
data satelit altimetri multi temporal. Pada penelitian ini, data altimetri yang digunakan adalah
data bulanan dari tahun 1993-2017. Sementara itu, model geoid global merupakan model
ekipotensial gayaberat yang berimpit dengan permukaan laut dalam kondisi ideal. Saat ini, model
geoid global yang banyak digunakan adalah EGM 2008. MDT bersifat dinamik dalam aspek spasio-
temporal. Oleh karena itu, gradien dari MDT dapat diterjemahkan sebagai laju kenaikan muka
laut global maupun regional.
Langkah selanjutnya adalah menentukan laju kenaikan muka laut di beberapa lokasi sampel
penelitian dalam satuan meter per tahun. Nilai-nilai tersebut akan digunakan dalam pembuatan
peta prediksi wilayah terdampak kenaikan muka laut untuk tahun 2029, 2039 dan 2049. Tahun-
tahun tersebut merupakan tahun yang sesuai dengan periodisasi Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) dan juga merupakan tahun-tahun di mana sebuah Rencana Tata
Ruang dan Wilayah (RTRW) diperbaharui. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kenaikan muka laut berlangsung secara linier, atau dengan kata lain, tidak ada perubahan laju
kenaikan muka laut terhadap waktu. Asumsi ini digunakan karena dapat mengidentifikasi dampak
minimum dari kenaikan muka laut.
Dalam pembuatan peta prediksi area terdampak, diperlukan lapisan (layer) garis pantai.
Garis pantai menjadi lapisan paling penting karena akan menentukan seberapa luas area yang
akan terendam akibat naiknya muka laut. Terdapat dua jenis data garis pantai yang dimiliki oleh
BIG, yakni garis pantai peta rupabumi Indonesia (RBI) dan garis pantai DEMNAS. Garis pantai RBI
merupakan garis pantai hasil dijitasi terhadap muka laut sesaat yang tampak dalam citra satelit.
Garis pantai DEMNAS merupakan garis yang menghubungkan titik-titik yang memiliki elevasi nol
terhadap geoid. Dari data laju kenaikan muka laut dapat dihitung tinggi muka laut pada waktu
yang akan datang. Data tinggi muka laut tersebut akan diiriskan terhadap garis pantai DEMNAS
dan akan diperoleh area rendaman (inundated area). Perangkat lunak yang digunakan untuk
memodelkan rendaman adalah Arcmap.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 16
Secara garis besar rumusan dari model perendaman dapat dinyatakan dalam formulasi di
bawah ini:
� = �� ��� � =∆�
�+ ���� (1)
∆� = ���� + �� (2)
Di mana I adalah luas daerah yang terendam (ha), l adalah panjang daerah yang terendam
(m), p adalah lebar pesisir yang terendam (m), N adalah elevasi (m), ∆Z adalah kenaikan muka
laut (m), MSL0 adalah garis pantai awal (0 m), a adalah laju kenaikan muka laut (m/thn) dan t
adalah waktu (tahun).
Proyeksi kerugian ekonomi pada daerah terdampak dihitung dengan menggunakan metode
future value berdasarkan direct cost harga satuan lahan, rumusan yang digunakan untuk
menghitung kerugian daerah terdampak di masa yang akan datang adalah sebagai berikut (Suroso
et al., 2018):
�� = ��(1 + �)� (3)
di mana:
FV = nilai kerusakan pada n tahun ke depan
PV = nilai pada saat ini
i = nilai inflasi
n = periode
Pada tahap terakhir, prediksi area terdampak kenaikan muka laut tersebut akan
ditumpangsusunkan (overlay) dengan peta pola dan struktur ruang 2019 di wilayah studi. Peta
pola dan struktur ruang 2019 adalah produk RTRW terbaru yang akan segera diimplementasikan
dalam perencanaan wilayah di seluruh Indonesia, dengan skala peta yang digunakan adalah
1:50.000. Hasil overlay tersebut dapat menjadi dasar analisis dampak kenaikan muka laut global
baik dari sisi ekonomi maupun fisis. Secara garis besar, diagram alir penelitian ini digambarkan
dalam Gambar B.1.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 17
Gambar B.1. Diagram alir tahapan penelitian.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Review Dokumen Perencanaan Wilayah
Permasalahan yang terjadi pada wilayah pesisir ini memerlukan skenario yang tepat untuk
menyusun perencanaan wilayah yang mengintegrasikan adaptasi terhadap perubahan iklim. Hal
ini didukung oleh Stokke yang menyatakan bahwa kenaikan muka laut merupakan tantangan
untuk memperbaiki penataan ruang wilayah pesisir di Norwegia (Stokke, 2014). Sementara itu
Bank Dunia menyatakan perlunya manejemen zona pesisir yang terintegrasi serta perencanaan
zona pesisir yang lebih baik sebagai proses adaptasi terhadap perubahan iklim yang memicu
kenaikan muka laut (The World Bank, 2009). Suroso dkk menyatakan bahwa tataruang
berbasiskan kebencanaan merupakan isu penting yang harus dilaksanakan khususnya terkait
dengan adaptasi terhadap kenaikan muka laut (Suroso et al., 2018). Hal ini didukung dengan PP
No 8/2013 yang menyatakan diwajibkan dimasukannya kawasan rawan bencana, khususnya
gelombang pasang dan banjir dalam rencana tata ruang suatu wilayah.
Suroso dkk mengembangkan model inudasi wilayah pesisir utara Jawa yang kemudian di
overlay kan dengan RTRW yang berlaku (Suroso et al., 2011). Hasilnya memperlihatkan kerugian
lingkungan dan sosial ekonomi dimana total area sebesar 55.220 ha akan terinudasi termasuk di
dalamnya protected area (1.488 ha), tambak ikan (32.916 ha) dan lahan pertanian (20.814 ha)
yang akan dikonversi menjadi daerah industri (13.399 ha) dan pemukiman (41.821 ha) akan
mengalami kerugian lingkungan sebesar 246.6 miliar Dollar AS sampai dengan tahun 2030. Hal ini
disebabkan RTRW setempat belum lagi mengantasipasi dampak bencan perubahan iklim,
termasuk di dalamnya kenaikan muka laut. Sutrisno mengembangkan model sosial ekonomi
dimana didalamnya dikembangkan alternatif skenario kebijakan sebagai rencana adaptasi
terhadap kenaikan muka laut dengan menggabungkan model pemunduran garis pantai (coastal
recession) dengan metode Total economic valuation dan direct cost method pada wilayah delta
Mahakam (Sutrisno, 2013). Hasilnya memperlihatkan perlunya pendetilan tata ruang yang
memasukan perencanaan zona konservasi dan zona budidaya tambak udang dengan
menggunakan konsep wanamina sebagai perencaaan ruang untuk adaptasi terhadap perubahan
iklim, khususnya dengan kenaikan muka laut (Sutrisno, 2012). Skenario penataan ruang yang
mengadaptasi kenaikan muka laut dapat dilihat pada Gambar B.2.
Berdasarkan pola ruang propinsi Jawa barat, sebagai contoh di kabupaten Cirebon,
Lamongan dan Gresik belum menggambarkan adanya kawasan tertentu terkait dengan mitigasi
dan adaptasi dampak kenaikan muka laut. Kawasan pesisir dalam hal ini direncanakan sebagai
kawasan pemukiman pedesaan, industri dan pertanian. Di dalam perencanaan ruang yang lebih
detil seperti rencana tata ruang Kabupaten/Kota maupun rencana detil tata ruang lainnya perlu
dipertimbangkan sepadan pantai, jalur evakuasi dan infrastruktur pelindung (shelter) sebagai
usaha dari adaptasi dan mitigasi bencana kelautan, salah satunya adalah kenaikan muka laut.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 19
Pada wilayah yang direncanakan sebagai kawasan pertanian, pertimbangan penataan tapak
sebagai bagian terkecil dari penataan detil penataan ruang perlu dipertimbangkan. Sutrisno et al
(2012) menyampaikan perlunya mempertimbangkan konsep wanamina sebagai penataan tapak
adaptasi dan mitigasi bencana kenaikan muka laut, wanamina dapat menekan kerusakan
lingkungan dan meningkatkan kenaikan income nelayan. Hal ini sesuai dengan world bank (2009)
yang menyatakan perlunya manejemen zona pesisir yang terintegrasi serta perencanaan zona
pesisir yang lebih baik sebagai proses adaptasi terhadap perubahan iklim yang memicu kenaikan
muka laut.
Gambar B.2. Kerangka kerja mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui tata ruang (IPCC, 2014a)
4.2 Area Terdampak Kenaikan Muka Laut
Berdasarkan data satelit altimetri multi year diperoleh laju kenaikan muka laut di wilayah
Indonesia. Laju kenaikan muka laut Indonesia dari data MDT dapat dilihat dalam Gambar B.3.
Pola tinggi muka laut di beberapa titik juga dapat dilihat jika dibuat grafik deret waktu. Pada
Gambar B.4 dan Gambar B.5 berikut, ditampilkan perubahan tinggi muka laut di Cirebon dan
Lamongan dari tahun 1993-2017. Secara periodik tinggi muka laut mengalami pasang-surut, di
mana terdapat anomali akibat faktor alam seperti El-Nino (lihat lingkaran merah). Akan tetapi jika
dilihat dari trend liniernya, terdapat perubahan yang positif atau mengalami kenaikan. Di wilayah
Cirebon, laju kenaikan muka laut sebesar 4 mm/tahun. Sementara itu di Lamongan (Jawa Timur),
laju kenaikan muka laut sedikit lebih besar yakni 5 mm/tahun. Besarnya laju kenaikan muka laut
di beberapa wilayah di pantura Jawa dapat dilihat dalam Tabel B.1 .
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 20
Gambar B.3. Laju kenaikan muka laut Indonesia dari data MDT 1993-2017.
Gambar B.4. Perubahan tinggi muka laut di Cirebon pada periode 1993-2017.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 21
Gambar B.5. Perubahan tinggi muka laut di Lamongan pada periode 1993-2017.
Tabel B.1. Laju kenaikan muka laut di beberapa kota di pantura Jawa.
No Keterangan Lat (⁰) Lon (⁰) Laju(m/tahun)
1 Serang -5,966558 106,285655 0,004
2 Cirebon -6,732592 108,842557 0,004
3 Pemalang -6,830594 109,457652 0,004
4 Rembang -6,739948 111,674810 0,004
5 Lamongan -6,872704 112,307979 0,005
6 Situbondo -7,714559 114,154390 0,006
Pada penelitian ini, referensi vertikal yang digunakan adalah EGM 2008. Hingga saat ini,
EGM 2008 merupakan model geoid global yang paling teliti. Resolusi spektralnya mencapai 2190
derajat, yang diperoleh dari kombinasi beberapa jenis data, seperti altimetri, satelit gravimetri
dan penjejakan satelit lain. Penjelasan lengkap mengenai EGM 2008 dapat dilihat dalam makalah
yang ditulis oleh Pavlis dkk. Ketelitian EGM 2008 berkisar antara 5 cm – 10 cm (Pavlis et al., 2013).
Model geoid EGM 2008 untuk wilayah Indonesia ditampilkan dalam Gambar B.6.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 22
Gambar B. 6. Model geoid EGM 2008 di wilayah Indonesia (Sumber : http://icgem.gfz-potsdam.de)
Hasil berikutnya daari penelitian ini adalah garis pantai hasil ekstrasi DEMNAS. Data
DEMNAS merupakan kombinasi seluruh data elevasi yang dimiliki oleh BIG, seperti DSM (IFSAR,
ALOS/PALSAR, TERRASAR-X), DTM, dan mass point. Pengolahannya dilakukan secara ilmiah
menggunakan perangkat lunak GMT dengan referensi vertikal EGM 2008, dan dapat diakses oleh
publik melalui laman https://tides.big.go.id/DEMNAS . DEMNAS memiliki root mean square error
(RMSe) sebesar 2,79 m. Berdasarkan ektrasi yang dilakukan terhadap data DEMNAS, diperoleh
garis pantai yang merupakan kontur ketinggian nol di area yang beririsan dengan lautan.
Perbandingan antara garis pantai DEMNAS dengan garis pantai peta RBI dapat dilihat dalam
Gambar B.7.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 23
Gambar B.7. Perbandingan antara garis pantai DEMNAS dengan garis pantai RBI
Berdasarkan di atas, garis pantai geoid (DEMNAS) memiliki bentuk yang tidak beraturan.
Hal ini diduga disebabkan oleh ekstrasi otomatis menggunakan perangkat lunak Arcmap terhadap
elevasi nol yang bersinggungan dengan laut. Pemunduran garis pantai geoid dihitung dari garis
pantai RBI dapat mencapai jarak ± 3 km. Garis pantai geoid inilah yang akan digunakan sebagai
dasar perhitungan luasan area terdampak kenaikan muka laut di wilayah penelitian.
Luas rendaman akibat kenaikan muka laut di wilayah Cirebon pada tahun 2029 diprediksi
mencapai 242,617 Ha. Dari angka tersebut, sebagian besar lahan yang terendam adalah kolam air
asin/payau. Berdasarkan verifikasi di lapangan, di Kawasan Cirebon bagian utara terdapat banyak
tambak garam dan tambak udang. Setelah kolam air asin/payau, luasan penutup lahan yang
terdampak besar adalah permukiman, yakni mencapai 22,98 Ha. Permukiman yang berpotensi
terdampak rendaman kenaikan muka laut adalah permukiman nelayan dan petambak dengan
jenis bangunan permanen dan semi permanen. Hasil selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel B.2.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 24
Tabel B.2. Prediksi area terdampak kenaikan muka laut pada tahun 2029 berdasarkan penutup lahan eksisting.
No Penutup Lahan Area (Ha)
1 Sungai 19,303
2 Perkebunan dengan Tanaman Kayu Keras 0,472
3 Bangunan Permukiman/Campuran 22,980
4 Tanaman Semusim Lahan Kering 14,369
5 Tanaman Semusim Lahan Basah 19,272
6 Kolam Air Asin/Payau 166,221
Total 242,617
Sementara itu, jika ditinjau dari wilayah administrasinya, maka Kecamatan Kapetakan di
Kabupaten menjadi wilayah yang paling luas area rendaman akibat kenaikan muka lautnya di
tahun 2029. Hasil selengkapnya ditampilkan dalam Tabel B.3 berikut.
Tabel B.3. Prediksi area terdampak kenaikan muka laut pada tahun 2029 berdasarkan wilayah administrasi.
No Kecamatan Kabupaten Area (Ha)
1 Astanajapura Cirebon 5,755
2 Gebang Cirebon 55,426
3 Gunung Jati Cirebon 9,593
4 Kapetakan Cirebon 66,038
5 Losari Cirebon 34,619
6 Mundu Cirebon 5,877
7 Pangenan Cirebon 30,990
8 Suranenggala Cirebon 13,250
9 Kejaksan Kota Cirebon 1,829
10 Lemah Wungkuk Kota Cirebon 19,240
Total 242,617
Dampak kerusakan ekonomi pada tahun 2029 dapat diestimasi menggunakan Persamaan
3. Nilai inflasi ditetapkan sebesar 4,75% per tahun (Suroso et al., 2018). Sementara itu, PV
diestimasi berdasarkan nilai standar sebagaimana dituliskan dalam Tabel B.4 (diturunkan dari
(Suroso et al., 2018)). Hasil perhitungan FV berdasarkan nilai PV menggunakan persamaan di atas
juga ditampilkan dalam tabel yang sama.
Tabel B.4. Standar harga berdasarkan penutup lahan.
Penutup Lahan PV per Hektar (miliar
Rupiah)
FV 2029 per Hektar
(miliar Rupiah)
Permukiman 75,4 125,622
Lahan Pertanian 2,9 4,832
Kawasan Industri 46,4 77,306
Kawasan perikanan darat 2,9 4,832
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 25
Berdasarkan data-data di atas, dampak ekonomi akibat kenaikan muka laut di wilayah Cirebon
pada tahun 2029 berdasarkan kondisi penutup lahan eksisting diperkirakan mencapai Rp 3,95
triliun. Nilai tersebut setara dengan 0,027 % Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada
tahun 2017 yang mencapai 1,016 triliun Dollar AS.
Uji coba kedua dilakukan terhadap rencana pola ruang sesuai dengan RTRW Cirebon tahun
2029. Peta rencana pola ruang Kota Cirebon dan sekitarnya tahun 2029 dapat dilihat pada
Gambar B.8a. Menurut peta tersebut, terdapat 17 jenis tutupan lahan yang direncanakan antara
lain wilayah konservasi, perkotaan, persawahan dan tubuh air. Dari 17 jenis rencana pola ruang
tersebut, terdapat 4 jenis tutupan lahan yang akan terdampak rendaman aki bat kenaikan muka
laut. Keempat jenis tutupan lahan tersebut adalah, perkotaan, perdesaan, sawah dan tubuh air.
Wilayah perkotaan dan perdesaan menjadi pola ruang yang akan terdampak paling parah akibat
rendaman kenaikan muka laut, seperti tampak dalam Gambar B.8b. Data selengkapnya disajikan
dalam Tabel B.5.
Terdapat perbedaan luas total area rendaman berdasarkan data penutup lahan eksisting
dengan rencana pola ruang. Hal tersebut disebabkan oleh adanya beberapa area yang tidak
masuk dalam peta rencana pola ruang, sehingga data bernilai null. Total estimasi kerugian akibat
rendaman kenaikan muka air laut di Cirebon berdasarkan peta rencana pola ruang 2029 mencapai
Rp 18,55 triliun. Nilai kerugian yang lebih besar mengindikasikan bahwa rencana pola ruang
wilayah Cirebon tahun 2029 belum memperhitungkan dampak perubahan iklim.
Penyebab utama melonjaknya nilai estimasi kerugian adalah meluasnya area permukiman
(perkotaan maupun perdesaan) dalam rencana pola ruang 2029. Luas area permukiman menurut
rencana pola ruang mencapai 6,3 kali luas permukiman berdasarkan penutup lahan eksisting.
Asumsi yang digunakan adalah, seluruh area perkotaan dan perdesaan yang direncanakan dalam
pola ruang 2029 digunakan untuk permukiman penduduk.
Tabel B.5. Estimasi nilai kerugian di wilayah Cirebon akibat rendaman muka air laut berdasarkan rencana pola ruang 2029.
Jenis Pola Ruang Nilai Per Ha
(Miliar Rupiah)
Luasan
(Ha)
Nilai Kerugian
(Miliar Rupiah)
Permukiman 125,622 144,523 18.155,274
Lahan Pertanian 4,832 73,462 354,939
Kawasan Industri 77,306 0 -
Kawasan perikanan darat 4,832 7,751 37,451
Total 225,736 18.547,664
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 26
Gambar B.8. a) Peta rencana pola ruang wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon 2029, dan b) Rencana Pola
ruang yang terdampak kenaikan muka laut.
a
b
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 27
Sementara itu, di Provinsi Jawa Timur, tepatnya di Kabupaten Lamongan dan Gresik total
area yang diestimasi akan terdampak rendaman kenaikan muka laut pada tahun 2029 mencapai
339,332 Ha. Kecamatan Ujungpangkah di Kabupaten Gresik serta Kecamatan Brondong di
Kabupaten Lamongan menjadi area yang paling parah terdampak kenaikan muka laut global,
yakni mencapai 174,320 Ha. Hasil selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel B.6.
Berdasarkan penutup lahan eksisting, penutup lahan berupa kolam air asin/payau menjadi
area terparah dengan total luasan 284,819 Ha. Berbeda dengan kawasan Cirebon, di kawasan
Lamongan dan Gresik ini, wilayah permukiman tidak terlalu terdampak kenaikan muka laut, yakni
hanya seluas 8,386 Ha. Data selengkapnya disajikan dalan Tabel B.7.
Tabel B.6. Prediksi area terdampak kenaikan muka laut tahun 2029 berdasarkan wilayah administrasi.
No Kecamatan Kabupaten/Kota Area (Ha)
1 Bungah Gresik 14,799
2 Gresik Gresik 0,123
3 Manyar Gresik 5,972
4 Ujungpangkah Gresik 174,320
5 Brondong Lamongan 126,460
6 Paciran Lamongan 17,658
Total 339,332
Selanjutnya dilakukan perhitungan dampak ekonomi menggunakan metode dan parameter
yang sama dengan kawasan Cirebon. Estimasi nilai kerugian pada tahun 2029 berdasarkan
penutup lahan eksisting di Kabupaten Lamongan dan Gresik adalah Rp 2,58 triliun atau setara
dengan 0,018% PDB Indonesia pada tahun 2017.
Sementara itu, area terdampak kenaikan muka laut di Kabupaten Lamongan berdasarkan
rencana pola ruang 2029 dapat dilihat dalam Gambar B.9. Terdapat empat jenis penutup lahan
yang terdampak kenaikan muka laut global, yakni kawasan industri, permukiman, pertanian dan
perkebunan. Estimasi nilai kerugian berdasarkan pola ruang tahun 2029 di kawasan Kabupaten
Gresik dan Lamongan mencapai Rp 8,872 triliun. Data selengkapnya disajikan dalam Tabel B.8.
Tabel B.7. Prediksi area terdampak kenaikan muka laut tahun 2029 berdasarkan penutup lahan eksisting.
No Penutup Lahan Area (Ha)
1 Bangunan Bukan Permukiman 0,244
2 Bangunan Permukiman/Campuran 8,386
3 Kebun dan Tanaman Campuran (Tahunan dan Semusim) 1,917
4 Kolam Air Asin/Payau 284,819
5 Semak dan Belukar 14,825
6 Sungai 21,618
7 Tanaman Semusim Lahan Basah 1,071
8 Tanaman Semusim Lahan Kering 6,451
Total 339,332
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 28
Seperti halnya Cirebon, terdapat perbedaan luasan wilayah yang terendam berdasarkan
rencana pola ruang dengan kondisi penutup lahan eksisting. Penyebabnya adalah ada sebagian
wilayah yang tidak tercantum dalam rencana pola ruang 2029. Selain itu, dapat diketahui bahwa
rencana pola ruang di wilayah Lamongan dan Gresik tidak mampu mengurangi dampak kerugian
ekonomi akibat kenaikan muka laut global. Kerugian ekonomi berdasrkan rencana pola ruang
lebih besar hampir 4 kali lipat dibandingkan dengan kondisi penutup lahan saat ini. Hal ini
mengindikasikan belum optimalnya mainstreaming adaptasi perubahan iklim dalam perencanaan
wilayah di Kabupaten Lamongan dan Gresik.
Gambar B.9. Area terdampak kenaikan muka laut berdasarkan rencana pola ruang 2029 di Lamongan
Perhatian lebih perlu diberikan kepada rencana pola ruang wilayah Kabupaten Lamongan
dan Gresik. Berbeda dengan Cirebon, kedua kabupaten tersebut merencanakan pembangunan
kawasan industri di area yang akan terdampak kenaikan muka laut. Oleh karena itu, perlu
dilakukan perbaikan rencana pola ruang agar kerugian ekonomi di kedua wilayah tersebut dapat
diperkecil.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 29
Tabel B.8. Estimasi nilai kerugian di wilayah Lamongan dan Gresik akibat rendaman muka air laut berdasarkan rencana pola ruang 2029.
Jenis Pola Ruang Nilai Per Ha
(Miliar Rupiah)
Luasan
(Ha)
Nilai Kerugian
(Miliar Rupiah)
Permukiman 125,622 0,601 75,500
Lahan Pertanian 4,832 234,819 1.134,645
Kawasan Industri 77,306 99,120 7.662,594
Kawasan perikanan darat 4,832 0 -
Total 334,540 8.872,740
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Manajemen perencanaan wilayah berbasis mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sudah
selayaknya segera diterapkan. Dalam Kasus di pantai utara Jawa, kenaikan muka laut rata rata
sebesar 0,004 sampai dengan 0,006 m/tahun yang diproyeksikan dapat merendam wilayah pesisir
Cirebon sebesar 242,617 ha di tahun 2029 sudah selayaknya diantisipasi dalam penyusunan
rencana tata ruang. Khususnya dalam Rencana tata ruang wilayah yang lebih detil, baik itu di
tingkat Provinsi maupun rencana detil di tingkat Kabupaten/Kota.
Risiko kerugian ekonomi akibat kenaikan muka laut di wilayah Cirebon pada tahun 2029
diestimasi mencapai Rp 3,95 triliun. Nilai tersebut diperoleh berdasarkan kondisi penutup lahan
saat ini. Sedangkan jika menggunakan rencana pola ruang tahun 2029, maka estimasi kerugiannya
akan sebesar Rp 18,55 triliun. Fenomena yang sama juga terjadi di Kabupaten Lamongan dan
Gresik, di mana estimasi kerugian akibat kenaikan muka laut pada rencana pola ruang 2029
bernilai lebih besar (Rp 8,872 triliun) dibanding pada kondisi penutup lahan eksisting (Rp 2,58
triliun).
Dari hasil-hasil tersebut, dapat diketahui bahwa rencana pola ruang belum efektif
mengurangi dampak perubahan iklim. Bahkan sebaliknya, penerapan rencana pola ruang 2029 di
wilayah Cirebon dan Lamongan justru meningkatkan kerugian ekonomi akibat kenaikan muka laut
global. Penetapan sempadan pantai, penerapan metode wanamina merupakan bagian mitigasi
dampak kenaikan muka laut yang sebaiknya dapat diperhitungkan dalam penyusunan tata ruang,
untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk di masa yang akan datang. Sedangkan dari aspek
adaptasi, perlu diterapkan beberapa metode yang telah direkomendasikan oleh Bank Dunia.
Metode kajian daerah terdampak dalam penelitian ini menggunakan data altimetri untuk
perhitungan kenaikan muka laut, menggunakan garis pantai Demnas sebagai landasannya dan
menggunakan model perendaman berdasarkan elevasi. Kelemahan dalam garis pantai yang tidak
menggambarkan garis pantai sebagaimana digunakan dalam Kebijakan Satu Peta (KSP) dan model
penggenangan yang memperhitungkan fenomena lokal, seperti land subsidence, sedimentasi,
abrasi dan lain lain menjadi peluang untuk penelitian yang akan datang.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 30
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E., & Karmini, M. (2011). Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia. Bingham, R. J., Haines, K., & Hughes, C. W. (2008). Calculating the Ocean’s Mean Dynamic
Topography from a Mean Sea Surface and a Geoid. Journal of Atmospheric and Oceanic Technology, 25(10), 1808–1822. http://doi.org/10.1175/2008JTECHO568.1
Carless, S. J., Green, J. A. M., Pelling, H. E., & Wilmes, S.-B. (2016). Effects of future sea-level rise on tidal processes on the Patagonian Shelf. Journal of Marine Systems, 163, 113–124. http://doi.org/10.1016/j.jmarsys.2016.07.007
Cazenave, A., Dieng, H.-B., Meyssignac, B., von Schuckmann, K., Decharme, B., & Berthier, E. (2014). The rate of sea-level rise. Nature Climate Change, 4, 358. Retrieved from https://doi.org/10.1038/nclimate2159
Clough, J., Polaczyk, A., & Propato, M. (2016). Modeling the potential effects of sea-level rise on the coast of New York: Integrating mechanistic accretion and stochastic uncertainty. Environmental Modelling & Software, 84, 349–362. http://doi.org/10.1016/j.envsoft.2016.06.023
Epanchin-Niell, R., Kousky, C., Thompson, A., & Walls, M. (2017). Threatened protection: Sea level rise and coastal protected lands of the eastern United States. Ocean and Coastal Management, 137, 118–130. http://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2016.12.014
Hennecke, W. G., Greve, C. A., Cowell, P. J., & Thom, B. G. (2004). GIS-Based Coastal Behavior Modeling and Simulation of Potential Land and Property Loss: Implications of Sea-Level Rise at Collaroy/Narrabeen Beach, Sydney (Australia). Coastal Management, 32(4), 449–470. http://doi.org/10.1080/08920750490487485
Idier, D., Paris, F., Cozannet, G. Le, Boulahya, F., & Dumas, F. (2017). Sea-level rise impacts on the tides of the European Shelf. Continental Shelf Research, 137(January), 56–71. http://doi.org/10.1016/j.csr.2017.01.007
IPCC. (2014a). Climate Change 2014: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Part A: Global and Sectoral Aspects. Contribution of Working Group II to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Field, C.B., V.R. Barros, D.J. Dokken, K.J. Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA: Cambridge University Press.
IPCC. (2014b). Summary for Policymakers. In C. B. Field, V. R. Barros, D. J. Dokken, K. J. Mach, M. D. Mastrandrea, T. E. Bilir, … L. L. White (Eds.), Climate Change 2014: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Part A: Global and Sectoral Aspects. Contribution of Working Group II to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (pp. 1–32). Cambridge, United Kingdom, and New York, NY, USA: Cambridge University Press.
Le Cozannet, G., Rohmer, J., Cazenave, A., Idier, D., Wal, R. S. W., De Winter, R., … Oliveros, C. (2015). Evaluating uncertainties of future marine flooding occurrence as sea-level rises. http://doi.org/10.13140/RG.2.1.4463.4727
Nakanowatari, T., & Ohshima, K. I. (2014). Coherent sea level variation in and around the Sea of Okhotsk. Progress in Oceanography, 126, 58–70. http://doi.org/10.1016/j.pocean.2014.05.009
Pavlis, N. K., Holmes, S. a., Kenyon, S. C., & Factor, J. K. (2013). The development and evaluation of the earth gravitational model 2008 (EGM2008). Journal of Geophysical Research: Solid Earth, 118(5), 2633. http://doi.org/10.1002/jgrb.50167,2013
Saraceno, M., Simionato, C. G., & Ruiz-Etcheverry, L. A. (2014). Sea surface height trend and
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 31
variability at seasonal and interannual time scales in the Southeastern South American continental shelf between 27°S and 40°S. Continental Shelf Research, 91, 82–94. http://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.csr.2014.09.002
Sriartha, I. P., Krisna, I. W., & Putra, E. (2015). Distribusi Spasial Genangan Air Laut Berdasarkan Analisis Data Satelit Altimetri Envisat Di Wilayah Pesisir Barat Kabupaten Buleleng , Bali, 2, 165–175. Retrieved from https://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/view/19103
Stokke, K. B. (2014). Adaptation to sea level rise in spatial planning – Experiences from coastal towns in Norway. Ocean & Coastal Management, 94, 66–73. http://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2013.11.010
Suroso, D. S. A., & Firman, T. (2018). The role of spatial planning in reducing exposure towards impacts of global sea level rise case study: Northern coast of Java, Indonesia. Ocean & Coastal Management, 153, 84–97. http://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2017.12.007
Suroso, D. S. A., Hadi, T. W., Latief, H., & Riawan, E. (2011). Pola Kerentanan Pesisir Indonesia Terhadap Dampak Perubahan Iklim Sebagai Basis Perencanaan Adaptasi. TATALOKA, 13(2), 108–118. http://doi.org/10.14710/TATALOKA.13.2.108-118
Sutrisno, D. (2012). The Model of Sea Level Rise in Indonesia. Journal of Shipping and Ocean Engineering, 2(2).
Sutrisno, D. (2013). Sea level rise on rural deltas : a shoreline retreat approach. Sutrisno, D., & Windiastuti, R. (2013). The Impact of Sea Level Rise to Public Health: Spatial
Assessment Approach for Jakarta. Research Journal in Engineering and Applied Sciences (RJEAS), 2(2), 152–159.
The World Bank. (2009). Adaptasi terhadap Perubahan Iklim. Jakarta. Retrieved from http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1235115695188/5847179-1258084722370/Adaptasi.terhadap.Perubahan.Iklim.pdf
Wamsler, C. (2014). Cities, Disaster Risk and Adaptation. Cities Disaster Risk and Adaptation. http://doi.org/10.4324/9780203486771
Wamsler, C. (2015). Guideline for integrating climate change adaptation into municipal planning and governance (Disaster Studies and Management Working Paper Series No. 31). London. Retrieved from https://www.ucl.ac.uk/hazardcentre/resources/working_papers/working_papers_folder/wp31
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 32
LAMPIRAN A
Notula Koordinasi Penelitian dengan BKPRN
Kegiatan: Koordinasi Teknis dan Konsultasi Kegiatan Kajian Mainstreaming
Perubahan Iklim dalam Perencanaan Wilayah
Dasar : Surat Tugas No: 17.1/PPKS/LT.02/04/2018, Pusat Promosi dan
Kerjasama, Sekretariat Utama, Badan Informamsi Geospasial
Lokasi : Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), Direktorat
Jenderal Tataruang – Kementerian ATR/BPN, Jakarta
Tanggal : 19 - 20 April 2018
Pelaksana : Terlampir sesuai surat tugas
PENDAHULUAN : Fenomena perubahan iklim yang sedang terjadi memberikan dampak yang nyata oleh seluruh
masyarakat secara global. Berbagai upaya dan strategi baik jangka pendek, menengah maupun antisipasi jangka panjang mulai dilakukan di banyak Negara. Hal ini dirasakan perlu, karena penundaan pelaksanaan upaya adaptasi diperkirakan akan meningkatkan kerugian ekonomi yang lebih besar di kemudian hari.
Di Indonesia dampak ekonomi perubahan iklim diperkirakan sangat besar walaupun masih sulit diperhitungkan secara pasti. Namun demikian beberapa kajian menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat perubahan iklim baik langsung maupun tidak langsung di Indonesia tahun 2100 dapat mencapai 2,5%, yaitu empat kali kerugian PDB rata-rata global akibat perubahan iklim (World Bank, 2010). Bahkan, apabila peluang terjadinya bencana akibat perubahan iklim turut diperhitungkan maka kerugian ekonomi dapat mencapai 7% dari PDB (World Bank, 2010; ADB, 2010). Untuk melindungi masyarakat termiskin dan munculnya biaya ekonomi yang tidak diinginkan, kegiatan adaptasi perlu segera dilakukan melalui disusunnya suatu rencana aksi adaptasi berskala nasional.
Pembangunan nasional dengan agenda adaptasi terhadap dampak perubahan iklim memiliki tujuan akhir agar tercipta sistem pembangunan yang adaptif atau tahan terhadap perubahan iklim yang terjadi saat ini. Pembangunan berkelanjutan yang mengakomodasi kegiatan adaptasi perubahan iklim diharap dapat mengurangi kerentanan saat ini sehingga tidak mengorbankan kapasitas generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini diperlukan karena perubahan iklim akan mempengaruhi dan berdampak pada semua aspek dari pembangunan setiap sektor.
Perkembangan terakhir yang dibuat oleh Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) pada tahun 2014 mendefinisikan risiko terkait iklim sebagai fungsi bahaya, kerentanan dan keterpaparan, sedangkan risiko dampak terkait iklim dihasilkan dari interaksi bahaya terkait iklim (termasuk kejadian berbahaya dan tren) dengan kerentanan dan keterpaparan sistem manusia dan alam.
Dengan demikian, kegiatan koordinasi teknis dan konsultasi kegiatan kajian mainstreaming perubahan iklim dalam perencanaan wilayah di Badan Koordinasi Perencanaan Wilayah (BKPRN) ini
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 33
bertujuan untuk mendapatkan informasi sekaligus mensinergikan pelaksanaan upaya adaptasi perubahan iklim melalui skema kajian dan penelitian dalam konteks perencanaan tataruang.
PELAKSANAAN KEGIATAN:
Agenda hari 1 - Koordinasi Teknis Pelaksanaan kegiatan diawali dengan pertemuan dengan perwakilan pimpinan dan beberapa
staf Direktorat Penataan Kawasan Kemeneterian ATR/BPN sekaligus bagian dari pelaksana tugas Badan Koordinasi Perencanaan Tataruang Nasional (BKPRN). Agenda kegiatan dilaksanakan di Gedung Direktorat Jenderal Tataruang ATR/BPN Lt.7 Wing 1, Jakarta. Pertemuan dilaksanakan dengan agenda pembahasan terkait koordinasi teknis dan rencana kerjasama antar unit dalam tujuan pelaksanaan pengkajian mainstreaming perubahan iklim dalam perencanaan tataruang. Pelaksanaan agenda dimulai dengan pembukaan dan pengantar dari Yohanes Fajar Setyo Wibowo, S.T., M.T selaku Kepala Seksi Wialyah II, Subdit Penataan Kawasan Baru, Direktorat Penataan Ruang, Ditjen Tataruang – Kementerian ATR/BPN. Selanjutnya pembahasan terkait agenda riset dan pengembangan terkait topik tersebut. Diskusi berjalan dengan lancar dengan beberapa poin catatan hasil koordinasi teknis yaitu sebagai berikut :
Kementerian ATR/BPN melalui Direktorat Jenderal Tataruang pada tahun 2016 sudah membuat kajian (assessment) kerentanan dan risiko perubahan iklim terhadap tataruang di 7 kota yaitu Depok, Tangerang, Bogor, Semarang, Bandung, Surabaya, dan Balikpapan.
Salah satu kota yang dijadikan pilot project dalam kajian tersebut yaitu Kota Surabaya, dengan pertimbangan adanya ketersediaan dokumen, data, dan model proyeksi yang sudah lengkap.
Untuk agenda kajian yang sedang dilaksanakan pada tahun 2018 yaitu wilayah Kota Bandar Lampung, dan Pekalongan.
Institusi lain yang membidangi isu perubahan iklim secara nasional yaitu Direktorat Jenderal Perubahan Iklim (Ditjen PPI) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Salah satu tugas dan fungsi yang dilakukan oleh Ditjen PPI yaitu penyusunan Kajian Risiko Perubahan Iklim.
Terkait konsep adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban dalam penyusunan Rencana Pengurangan Bencana (RPB).
Sejauh ini Kementerian ATR/BPN melalui Direktorat Jenderal Tataruang juga sudah menyusun Pedoman Penataan Ruang Berbasis Adaptasi Perubahan Iklim (Draft) yang diprakarsai oleh Bu Reni – Direktorat Penataan Kawasan.
Progress pelaksanaan penanganan isu perubahan iklim dalam konteks tataruang, Kementerian ATR/BPN sedang membuat dokumen pedoman Kajian pengembangan Resilience City di Indonesia yang berbais pada self assesment yang dapat dikerjakan oleh masing-masing daerah.
Agenda hari 2 – Konsultasi Kegiatan Penelitian Pada hari ke dua, agenda kegiatan lebih difokuskan terkait hal-hal teknis penelitian dengan
topik kajian mainstreaming perubahan iklim dalam perencanaan tataruang. Selanjutnya diskusi pembahasan terkait agenda riset dan pengembangan terkait topik tersebut. Diskusi terkait penelitian berjalan dengan lancar dengan beberapa catatan penting yang perlu manjadi perhatian yaitu sebagai berikut :
Diperlukan penelaahan terhadap dokumen legal yang mengatur aspek tata ruang, adapun diantaranya yaitu :
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 34
Permen PU Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik Dan Lingkungan, Ekonomi, Serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang.
Permen PU Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
Permen PU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.
Permen PU Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Wilayah Kota. Permen PU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang
Dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota. Selanjutnya juga diperlukan penelaahan terkait isu adptasi perubahan iklim yang tertuang
dalam Permen LHK 33 nomor 2016 tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim. Terkait penyediaan data tataruang digital (.shp), Kementerian ATR/BPN membentuk “Studio
Peta” sebagai lembaga adhoc yang menangani pengumpulan dokumen dan data (peta) tata ruang secara nasional. Kebijakan sharing data RTRW harus melalui prosedur satu pintu oleh “Studio Peta” (CP: Pak Hendro Pratikno).
Dalam konteks riset atau penelitian yang sedang dilakukan oleh Tim BIG, beberapa skema model akan dilakukan untuk menyusun kajian mainstreaming perubahan iklim terhadap tataruang.
Secara umum, parameterisasi yang dilakukan dibagi menjadi dua yaitu aspek perubahan iklim dan aspek tataruang. Sementara progress yang sudah dilakukan yaitu sudah disusunya model laju kenaikan muka air laut rata-rata sebagai bagian dari parameter aspek perubahan iklim.
Sejalan dengan penyusunan komponen parameter kenaikan muka air laut rata-rata, juga sedang dilaksanakan pembuatan model cuaca ekstrim (extreme weather) dan model hydrometeorologi sebagai bagian dari aspek perubahan iklim.
KESIMPULAN DAN RENCANA TINDAK LANJUT : Pelaksanaan kegiatan koordinasi teknis dan konsultasi kajian mainstreaming perubahan iklim
dalam perencanaan tataruang ke Badan Koordinasi Perencanaan Tataruang Nasional (BKPRN) yang berkedudukan di Direktorat Jenderal Tataruang Kementerian ATR/BPN telah berjalan dengan lancar. Adapun poin utama dari kegiatan tersebut bahwa agenda kajian mainstreaming perubahan iklim dalam perencanaan tataruang yang sedang dilakukan Bidang Penelitian – PPKS, BIG menjadi salah satu topik utama dalam agenda riset nasional yaitu terkait riset kebencanaan dan perubahan iklim. Selanjutnya bentuk kontribusi dan kerjasama dari Badan Koordinasi Perencanaan Tataruang Nasional (BKPRN) melalui Direktorat Jenderal Tataruang Kementerian ATR/BPN dalam agenda penelitian ini adalah mengupayakan bantuan dalam bentuk penyediaan data tataruang, dokumen peta, buku pedoman terkait tataruang, serta contoh kajian terkait yang sudah dilaksanakan. Dengan demikian, selanjutnya melalui agenda ini mampu menghasilkan simbiosis yang bermanfaat antar K/L terkait.
Rencana tindak lanjut setelah pelaksanaan kegiatan ini yaitu akan diadakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) terkait kajian mainstreaming perubahan iklim dalam perencanaan tataruang dengan mengundang narasumber dari Badan Koordinasi Perencanaan Tataruang Nasional (BKPRN) maupun Direktorat Jenderal Tataruang Kementerian ATR/BPN.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 35
DOKUMENTASI KEGIATAN :
Cibinong, 20 April 2018
A.N. Tim Pelaksana Kegiatan :
Nugroho Purwono
NIP. 19910206 201402 1 003
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 36
LAMPIRAN B
NOTULA FGD PENELITIAN Agenda FGD Kajian Perubahan Iklim
Badan Informasi
Geospasial
Hari, tanggal
Selasa, 5 Juni 2018
Waktu Pkl. 09.00 – selesai
Tempat Ruang Rapat Bidang Penelitian, Gd. S Lt.1 - BIG
Pimpinan Rapat
Kepala Bidang Penelitian - PPKS
Peserta
Pembukaan FGD oleh Kepala Pusat PPKS, kajian ini mendukung Tusi dari Pusat Tata Ruang Atlas BIG dalam mengkonsep penataan ruang yang dipengaruhi oleh iklim disekitar.
Moderator oleh Yatin Suwarno, menyampaikan presentasi yang akan disampaikan oleh masing-masing narasumber yang diundang.
Kepala Bidang Penelitian menyampaikan gambaran Kajian perubahan iklim terhadap tata ruang. Maksud dilaksanakan FGD yaitu untuk mendapattkan masukan terhadap hasil awal dari Kajian yang telah dilakukan oleh teman-teman penelitian.
Prayudha Hartanto menyampaikan bahwa kajian mengenai adaptasi perubahan iklim terhadap Tata Ruang tidak hanya dilakukan oleh BIG, namun dilakukan juga oleh Kementrian ATR/BPN. Namun dari 7 komponen yang dikaji oleh Kementrian ATR/BPN, Bidang penelitian hanya focus pada 1 komponen saja yaitu mengkaji mengenai perubahan iklim dan rawan bencana di wilayah pesisir. Metode yang diadaptasi adalah Metode yang dijalankan oleh IPCC model 5. Kenapa wilayah pesisir? Karena BIG memiliki data pasang surut dan dikombinasi dengan data altimetri untuk pengamatan diwilayah pesisir. Proyeksi model perubahan iklim didasarkan atas pengamatan pasang surut dan curah hujan yang ada. Dari model pasasng surut dengan menggunakan 2 epok perhitungan, terlihat pola kenaikan muka laut rata2 mengalami kenaikan yang cukup ekstrim (1990-1993) dan pola yang tetap meningkat tapi lambat (1993-2017). Target Kajian selanjutnya yaitu melakukan pemodelan perubahan iklim yang dipengaruhi oleh curah hujan. Sedangkan untuk pemodelan yang dipengaruhi oleh cuaca ektrim yaitu dengan menggunakan model LST (land surface temperature) dan SST (Se surface temperature).
Nugroho Purwono, menyampaikan presentasi terkait Kajian perubahan iklim yang dilakukan oleh Prof Dewayany pada tahun 2013. Yang focus kepada kenaikan muka air laut yang berdampak pada hilangnya pulau kecil di Indonesia. Metode yang digunakan adalah pendekatan coastal recression pada pulau-pulau kecil di Indonesia. Validasi model menggunakan Analisa water change detection data dengan data inderaja multitempopral.
KLHK-Bpk Arif Wibowo: Tujuan Mainstreaming untuk pembangungan tata ruang. Terkait Adaptasi lebih memperhitungkan kearah mengurangi kerentanan, dan tingkat keterpaparan. Ada 4 proritas yang akan dikaji kedepannya yaitu mengenai kesehatan, ketersedian air, impact. Instrumen kebijakan dan Implementasi Adaptasi Perubahan iklim yitu Peraturan Menteri LH no. 48/2016 tentang PROKLIM, p.7/2018 tentang Pedoman kajian resiko KRDPI, P.72/2018, TNC-Data Iklim Historis dan Proyeksi, P.33/ 2016. Untuk menghitung impact, perlu informasi Lokasi, Frekuensi, Durasi, Besaran dengan mempertimbangkan Indikator fisik, sosial, dan ekonomi.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 37
CCROM – Bpk Ardiansyah Paris Agreement diharapkan adanya peningkatan sumberdaya keuangan agar mampu mecapai keseimbangan dampak perubahan iklim. Saat ini seluruh orang berusaha untuk menjaga keseimbangan suhu muka bumi tidak lebih dari 2ᵒC. Kebijakan negara Indonesia telah menyiapkan beberapa daerah untuk mengadaptasi perubahan iklim untuk rencana pembangunan. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) wajib dilakukan untuk menunjang rencana pembangunan tata ruang, salah satu identifikasi pembangunan berkelanjutan memmuat mengenai Kerentanan dan Kapasitas adaptasi perubahan iklim. BIG bisa menunjang hal ini dengan cara menyediakan data spasial mengenai kerentanan. Dalam KLHS belum menyatakan indicator perubahan iklim, baru pada tahap adaptasi. Peluang bencana juga belum dinyatakan langsung dan informasi tersebut belum dilakukan, terkendala dengan kesediaan historis bencana yang pernah ada dalam skala koordinat kejadian.
PTRA – Bpk Ryan Pribadi Dukungan perubahan iklim untuk analisis rencana tata ruang dilakukan dengan pengamatan
data curah hujan. Hal ini dikarenakan curah hujan mempengaruhi banyak aspek diantaranya kestabilan tanah, ketersediaan air, dan morfologi disekitar wilayah.
Prayudha, bagaimana cara mengukur mainstreaming perubahan iklim terhadap dokumen yang telah ada?
Saat ini ATR/BPN sedaang menyusun pedoman penguatan Atraksi Perubahan Iklim (API) terhadap perubahan iklim. Pedoman kajian resiko memiliki 2 versi, oleh ATR dan BNPB, berbeda konteks.
Kisi2 yang dirincikan adalah terkait input, proses, output. Diharapkan ada research base agar hasilnya bisa menjadi dasar ilmiah. Namun belum ada pedoman yang menjangkau KLHS ideal. Iklim dan Mainstreaming memiliki pedoman yang berbeda.
ATR/BPN – Kajian Risiko terbit pada tahun 2012. Sehingga selama ini pada praktiknya belum mengacu pada aturan yang resmi.
Fahmi, wacana perubahan iklim sudah dipraktekan belum dalam pentaan RTRW? Kemudian terkait pembangunan kereta cepat Jakarta – Bandung apakah sudah ada peraturan yang menlibatkan perubahan iklim?
Mendampingi daerah Sumatera Selatan dalam penataan pembangunan secara kualitatif saja, belum secara spasial. Biasanya untuk menghitung emisi terkait beberapa sector yaitu energi (penggunaan bahan bakar), sector kehutanan dll.
Pada 2018 untuk mitigasi ada 5 sektor, dan mitigasi ada 17 K/L. KLHK diminta untuk menentukan alat ukurnya apa?
Tahun 2018, BIG melakukan penelitian dikhususkan didaerah pantai utara Jawa. Menurut Bapak-Bapak, masukan apa yang sebaiknya kami lakukan?
Waktu memilih lokus, sebaiknya koordinasi dengan pemerintah daerah. Wiwin, dari penelitian yang telah dilakukan oleh BIG, kira-kira bagian mana yang sebaikanya
difokuskan dan dilakukan? Target Nasional terkait penguatan di wilayah-wilayah tertentu belum ada, baru mencapai
penentuan sektor-sektor identifikasi.
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 38
Dokumentasi:
Notulis : Nadya Oktaviani
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 39
LAMPIRAN C
DAFTAR UNDANGAN PESERTA FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
No. Nama Jabatan / Instansi
1. Ir. Arif Wibowo, M.Sc Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim, Kemen LHK
2. Agus Sutanto, S.T, M.Sc Direktur Penataan Kawasan, Dirjen Tata Ruang Kementrian ATR/BPN
3. Dr. Muhammad Ardiansyah Executive Secretary CCROM IPB
4. Nursugi, M.Sc Kepala Bidang Penelitian, PPKS – BIG
5. Ryan Pribadi, ST Kepala Bidang Pemetaan Tata Ruang, PTRA - BIG
6. Prof. Dr. Dewayany Sutrisno Peneliti Utama - BIG
7 Prof. Dr. Fahmi Amhar Peneliti Utama - BIG
8 Ir. Irmadi Nahib, M.Si Peneliti Utama - BIG
9 Ir. Yatin Suwarno, M.Si Peneliti Utama - BIG
10 Dr. Priyadi Kardono Peneliti Madya - BIG
11 Dr. Yosef Prihanto Peneliti Madya - BIG
12 Prayudha Hartanto, S.T Peneliti Pertama - BIG
13 Nugroho Purwono, S.Si Peneliti Pertama - BIG
14 Nadya Oktaviani, S.T Peneliti Pertama - BIG
15 Aninda Wisaksanti, S.Si Peneliti Pertama - BIG
16 Iman Sadesmesli, S.T, M.Si Surveyor Pemetaan Muda, PPTRA - BIG
17 Fuad Hasyim, S.Si Surveyor Pemetaan Muda, PPTRA - BIG
18 Hanik Nurdiana Tsabita Staf Bidang Penelitian - BIG
19 Utami Yulaila Litkayasa Penyelia - BIG
20 Erlan Roslaendi Arsiparis Penyelia - BIG
Mainstreaming Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Perencanaan Wilayah
Hal. | 40
AGENDA FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) TAHAP I KAJIAN MAINSTREAMING PERUBAHAN IKLIM DALAM PERENCANAAN WILAYAH
Waktu (WIB) Agenda Pembicara (Narasumber) Keterangan
Sesi Pagi
08.00 – 08.30 Registrasi Panitia
08.30 – 08.45 Arahan dan
pembukaan
Kepala Pusat Penelitian, Promosi
dan Kerja Sama - BIG
08.45 – 09.00 Rehat Kopi Panitia
09.00 – 09.30 Presentasi Kepala Bidang Penelitian, PPKS
– BIG Brainstorming
09.30 – 10.15 Presentasi Staf Bidang Penelitian – BIG,
Prayudha Hartanto
Paparan singkat progress
penelitian
10.15 – 11.00 Presentasi
1. Direktorat Adaptasi
Perubahan Iklim KLHK
2. Direktorat Penataan
Kawasan – Kementrian
ATR/BPN
1.Model perubahan iklim
2. Variabel Adaptasi Perubahan
Iklim dalam konteks tata
ruang
11.00 – 11.45 Diskusi Moderator
12.00 – 13.00 Ishoma Panitia
Sesi Siang
13.00 – 14.00 Presentasi
1. Kepala Bidang Tata Ruang
BIG
2. CCROM IPB
1. Ketersediaan data dan hasil
review dokumen tata ruang
dalam konteks perubahan
iklim
2. Adaptasi Perubahan Iklim
dalam konteks tata ruang
14.00 – 15.00 Diskusi Moderator Brainstorming
15.00 – 15.30 Ishoma Panitia
15.30 – 16.00 Penutupan Moderator Perumusan dan Penutupan