“maa lam tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan...

23
1 Erfani, Me i 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan “Maa Lam Tankihi” Klausul Hadhanah yang Terabaikan Oleh E r f a n i, S.HI A. Muqaddimah Penggalan kalimat dalam judul di atas, adalah bagian akhir dari sebuah hadis cukup populer yang hampir dipastikan selalu meramaikan pertimbangan hukum sebagian Hakim Agama dalam memutus perkara hak asuh anak atau hadhanah . Hadis tersebut memang hanya „dikodifikasi‟ dalam beberapa kitab hadis saja, dan tidak termasuk di dalamnya Shahihaini Bukhari dan Muslim. Tercatat hanya ada setidaknya empat Imam Hadis yang merekrut hadis tersebut, yaitu Imam Abu Dawud dalam Sunannya, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, dan Imam al Hakim dalam Mustadraknya, serta Al Baihaqi dalam Sunannya. Redaksi lengkap hadis tersebut versi Abi Dawud sebagai berikut; و ر م ع أ ن ع يد ل و ال ا ن ث د ح ى م ل الس د ال خ ن ب ود م ا ن ث د ح- ى اع ز و ا ع ي- ن و ب ر م ع ث د ح اء ع و و ل ط ب ان ا ك ذ ى اب ن إ و ل ال ول س ا ر ي ت ال ق ة أ ر ام ن و أ ر م ع ن ب و ل ال د ب ع ه د ج ن ع يو ب أ ن ع ب ي ع ش و ل ال ول س ا ر ال ق ف م و ع ز ت ن ي ن أ اد ر أ و ق ل ط اه ب أ ن إ و اء و ح و ى ل ر ج ح و اء ق س و ل د ث و- صلى ا وسلم عليو- « ى ح ك ن ت ا م و ب ق ح أ ت ن أ» . Umumnya Muhaditsin menilai hadis tersebut hanya berkualitas hasan. Namun Ima m Al Hakim cenderung menghargainya dengan nilai shahih, tepatnya shahihulisnad . (Bulughul Maram I, h. 453 lihat pula Al Mustadrak „Ala Shahihain, II, h. 225). Dengan status hadis tersebut sedemikian itu, maka tentu masih dipandang relevan menjadi rangkaian dalil dalam pertimbangan hukum para Hakim saat memutus perkara hadhanah. Setidaknya hadis itu bukan dhaif yang standar hukum tidak bisa mengacu kepadanya. Pengadilan Agama Tangerang Pengadilan Agama Tangerang Pengadilan Agama Tangerang

Upload: tranque

Post on 08-Apr-2019

231 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

1

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

“Maa Lam Tankihi”

Klausul Hadhanah yang Terabaikan

Oleh E r f a n i, S.HI

A. Muqaddimah

Penggalan kalimat dalam judul di atas, adalah bagian akhir dari sebuah hadis

cukup populer yang hampir dipastikan selalu meramaikan pertimbangan hukum

sebagian Hakim Agama dalam memutus perkara hak asuh anak atau hadhanah.

Hadis tersebut memang hanya „dikodifikasi‟ dalam beberapa kitab hadis saja, dan

tidak termasuk di dalamnya Shahihaini Bukhari dan Muslim. Tercatat hanya ada

setidaknya empat Imam Hadis yang merekrut hadis tersebut, yaitu Imam Abu Dawud

dalam Sunannya, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, dan Imam al Hakim

dalam Mustadraknya, serta Al Baihaqi dalam Sunannya.

Redaksi lengkap hadis tersebut versi Abi Dawud sebagai berikut;

يد عن أب عمرو ث نا الول لمى حد ود بن خالد الس ث نا مم ثن عمرو بن - ي عن األوزاعى - حد حد

ه عبد اللو بن عمرو أن امرأة قالت يا رسول اللو إن ابن ىذا كان بطن لو وعاء يو عن جد شعيب عن أب

صلى اهلل -وثدي لو سقاء وحجرى لو حواء وإن أباه طلقن وأراد أن ي نتزعو من ف قال لا رسول اللو

.«أنت أحق بو ما ل ت نكحى » - عليو وسلم

Umumnya Muhaditsin menilai hadis tersebut hanya berkualitas hasan. Namun Imam

Al Hakim cenderung menghargainya dengan nilai shahih, tepatnya shahihulisnad.

(Bulughul Maram I, h. 453 lihat pula Al Mustadrak „Ala Shahihain, II, h. 225).

Dengan status hadis tersebut sedemikian itu, maka tentu masih dipandang

relevan menjadi rangkaian dalil dalam pertimbangan hukum para Hakim saat

memutus perkara hadhanah. Setidaknya hadis itu bukan dhaif yang standar hukum

tidak bisa mengacu kepadanya.

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 2: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

2

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

Dalam prakteknya, sebagian hakim menggunakan hadis tersebut guna

mengukuhkan pendapat mereka saat menetapkan dan atau memutus bahwa kepada

Ibu lah hak asuh anak diberikan, atau jika diambilkan dari redaksi itu, akan sesua i

dengan penggalan “anti ahaqqu bihi…”. Padahal matan hadis itu merupakan bagian

yang tidak terpisahkan satu sama lain. Karena jika diterjemahkan secara bebas akan

berarti, “engkau_wahai sang Ibu_paling (jika ingin diartikan „lebih berhak‟ harus

mentaqdirkan lafaz min; anti ahaqqu bihi minhu) berhak atas anak tersebut selama

engkau belum/tidak menikah lagi”. Kenyataannya, klausul selama engkau belum

menikah lagi itu tidak pernah atau setidaknya jarang disinggung. Bahkan di lain

pihak, mungkin justru menilai tidak perlu disinggung, karena kenyataan yang ada

saat memutus perkara, sang ibu hampir pasti bukan/belum menikah lagi, sehingga

hakim tidak perlu mempertimbangkan sesuatu yang belum terjadi.

Namun kendati demikian, menjadi sesuatu yang penting bahwa dalil itu tidak

sekadar dicatut apa adanya, melainkan harus pula dibarengkan dengan pemahaman

yang memadai agar pencantuman sebuah dalil dapat diresapi sebagai sebuah

keyakinan yang mendalam. Klausul maa lam tankihi yang dipenggal sebagai bagian

judul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan

awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

Selain untuk menjawab itu, banyak lagi hal lain yang perlu diketahui atau

diperjelas kaitannya dengan klausul itu, yang patut dibahas bersama. Beberapa

rumusan itu antara lain;

1. Apa pengertian dari klausul maa lam tankihi itu secara khusus dan redaksi

(matan) hadis itu secara umum?

2. Apa urgensi mempertimbangkan klausul maa lam tankihi dalam perkara

hadhanah?

3. Bagaimana pula konsekuensi dari jika sang ibu itu lantas di kemudian hari

menikah lagi dengan orang lain? Bagaimana pengaruhnya terhadap hak asuh yang

ada pada Ibu itu? Atau, lantas siapa yang paling berhak setelah ibu dalam hal

hadhanah anaknya jika ibu menikah lagi dengan orang lain?

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 3: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

3

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

B. Mabhats Awwal; Kandungan Hadis

Menurut Ibnu Qayyim, hadis ini merupakan satu-satunya hadis Nabi tentang

gugurnya hadhanah karena menikah. Terlepas dari sisi kuantitas itu, yang jelas

faktanya hadis tersebut ada, sehingga yang selanjutnya harus dilakukan adalah

menilai kualitasnya, atau menakar kehujahan dan mengupas substansi hadis tersebut.

Hadis itu sebetulnya berkisah tentang sebuah peristiwa dimana sepasang suami istr i

bercerai dan memperebutkan anak mereka. Sang isteri kemudian

menghadap/mengadu/menyengketakan perkaranya itu di hadapan Muhammad saw

(dalam kapasitasnya sebagai Qadhi dan Rasul; dengan produk hadis sebagai sumber

hukum), dan menyampaikan dalil-dalil psikologis kaitannya dengan kapasitasnya

sebagai ibu, dimana sejak dari buaian, dirinya lah yang merawat anak itu, baik saat

dalam kandungan, menyusui, hingga saat-saat anak itu tumbuh dalam pangkuannya.

Sementara saat itu suaminya telah menalaknya, lantas akan merebut anak itu darinya.

Rasul pun kemudian memutuskan bahwa sang ibu lah yang lebih/paling berhak untuk

mengasuh anak tersebut, sejauh ia belum/tidak menikah lagi.

Jika dicermati susunan kalimatnya, maka redaksi/matan hadits itu terdiri dari

dua kalimat yang selanjutnya dimajemukkan. Yang pertama Anti Ahaqqu bihi dan

kedua maa lam tankihi.

Susunan kata Ahaqqu bi sendiri dalam tradisi bahasa Arab memiliki

pengertian tersendiri. Seperti diketahui kata ahaqqu merupakan bentuk tafdhil

(berwazan af`alu), yang bisa berarti lebih (komparatif) dan bisa juga berarti paling

(superlatif). Al Quran juga beberapa kali menggunakan lafaz itu dalam beberapa

ayat. Misalnya dalam hal rujuk, wa bu`ulatuhunna ahaqqu biraddihinna fi zdalika in

aradu ishlaha. Abu Hafsh dalam Lubabnya menyebut bahwa kata ahaqqu dalam ayat

itu tidak bisa diberi makna tafdhil karena hak rujuk secara mutlak ada pada suami

bahkan tidak ada pada isteri sekalipun, apalagi orang lain, sehingga harus dimakna i

haqiqun (حقيقون).

Pengalihan makna kata seperti ini merupakan hal biasa dalam tradisi

leksikologi dan gramatika Arab. Kendati sebuah kalimat dibentuk dalam suatu

wazan, namun tidaklah mutlak ia lantas bermakna sebagaimana dikehendaki dar i

wazan itu. Misalnya kata qatilun (قتيل) yang berwazan fa‟iilun (فعيل) yang merupakan

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 4: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

4

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

salah satu wazan isim fa‟il, tidak lantas berarti orang yang membunuh, akan tetap i

dialihkan maknanya menjadi makna isim maf‟ul, yaitu orang yang dibunuh.

Kaitannya dengan ahaqqu yang ada dalam hadis tentang hadhanah itu, maka

dengan asumsi wazan tafdhil itu, ia juga berkemungkinan dipahami sebagai fungs i

komparatif dan juga superlatif. Hanya saja jika kata haq/haqiq itu diformat dengan

wazan tafdhil, penulis cenderung memahaminya dalam konteks yang menafikan hak

hak lain dan sesungguhnya bukan dimaksudkan untuk menunjuk perbandingan hak .

Karena kapan pun hak personal dibagi-bagi, maka di saat itu pula hak itu tidak dapat

disebut telah dipenuhi. Apalagi kata haq/haqiq tidak identik dengan pengertian kata

sifat yang dapat ditafdhilkan maknanya. Karena itu penggunaan lafaz ahaqqu itu

harus dipahami dalam konteks ta‟kid penguatan hak seorang yang pada saat yang

sama tidak ada hak lain yang bisa ikut andil di dalamnya. Karenanya, diperlukan

instrumen kalimat lain yang menginformasikan bahwa di waktu yang lain hak itu

dapat gugur.

Memenuhi maksud itu, maka redaksi hadis selanjutnya menggandeng kalimat

maa lam tankihi, sebagai pelengkap (yang mengharuskan) dari adanya lafaz ahaqqu.

Keberadaan kalimat maa lam tankihi dengan demikian memberikan arti bahwa ibu

tidak lagi berhak atas hadhanah anaknya jika dalam masa hadhanah (sebelum anak

mumayiz/berusia 7 atau 8 tahun versi Syafi‟i), ia telah menikah lagi dengan orang

lain. Sebagian kalangan fuqaha‟ memberikan spesifikasi dukhul dalam pengertian

nikah itu, artinya dukhul itulah yang menjadi standar batas hak hadhanah bukan

akadnya (di antaranya pandangan kalangan Malikiyah).

Dalam situasi dimana seorang ibu masih sendiri maka hadhanah anaknya

mutlak menjadi hak/kewajibannya. Sementara ketika telah menikah lagi, maka

pernikahannya itu oleh Imam Syafii dan Imam Malik dikategorikan sebagai mani‟

(penghalang; bagian dari hukum wadh‟i) dari hak hadhanah atas anaknya. Artinya

jika sang Ibu bukan lagi berstatus isteri dari laki- laki lain (tidak terikat pernikahan),

maka hilanglah penghalang itu, dan hak asuh/hadhanah atas anaknya akan kembali

kepadanya.

Berangkat dari uraian ini, agaknya hak hadhanah atas anak bagi seorang ibu

itu dibangun atau berlangsung selama terhindar dari sedikitnya 2 situasi;

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 5: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

5

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

1. Dari sisi ibu, yaitu selama belum menikah lagi, karena saat ia menikah lagi hak

hadhanah beralih ke pihak lain (tentang hal ini dibahas dalam sub berikutnya).

2. Dari sisi anak, yaitu selama belum mumayyiz. Batas mumayiz (haddut tamyiz)

kaitannya dengan batas hadhanah/nihayatul hadhanah berbeda di kalangan

fuqaha‟. Menurut Syafi‟i, batas tamyiz/hadhanah 7 atau 8 tahun baik anak laki-

laki ataupun perempuan. Imam Malik membedakan antara anak laki- laki dan anak

perempuan. Anak laki- laki batasnya itsighar (waktu dimana gigi susu sudah habis

semua kemudian tumbuh gigi yang baru, masa dimana anak sejak tumbuh gigi

baru itu disebut itsghar; antara 6 sampai 14 tahun). Sementara anak perempuan

batasnya sampai menikah dan telah dicampuri suaminya. Abu Hanifah menilai

batas hadhanah anak perempuan adalah bulugh/akil balig, sementara anak laki-

laki hingga istighna`, anak itu mampu mandiri dari pengasuhan sang ibu. (lihat Al

Muntaqa Syarah al Muwatha IV h. 85) Di Indonesia Kompilasi Hukum Islam

mengambil jalan tengah batas tamyiz adalah 12 tahun. Kemudian jika anak

tersebut telah mencapai masa tamyiz, maka penyelesaian sengketa hak asuh adalah

dengan cara takhyir, yaitu anak diberikan kesempatan memilih antara ayah atau

ibunya.

Terkait lembaga takhyir ini, Ibnu Qayyim cenderung melihatnya sebagai jalur

alternatif saat kemaslatan anak tidak dapat dipastikan apakah berada bersama ibu

atau ayahnya. Artinya selagi kemaslahatan anak berada pada pihak ibu itu dapat

ketahui secara jelas, maka kendati sudah mumayyiz, tidak ada relevansinya untuk

mengaktifasi lembaga takhyir karena dipandang tidak efektif terkait maksud

hadhanah itu sendiri. (Iqazhul Afham fi Syarh „Umdah, j. III, h. 14)

Takhyir sendiri merupakan lembaga yang Nabi pernah mengaktifasinya dalam

satu atau beberapa perkara hadhanah dimana anak telah dinilai mumayiz, yang

selanjutnya menjadi acuan beberapa fuqaha` merekrut ketentuan takhyir itu.

C. Mabhats Tsani; Anak, Ibu Kandung, dan Ayah Tiri

Klausul maa lam tankihi semakin menarik dikaji, saat kita melibatkan

kehadiran ayah tiri sebagai konsekuensi dari adanya pernikahan sang ibu. Ada pesan

sangat tegas dalam hadis itu bahwa ketika sang ibu menikah, hak (ahaqqiyah)

hadhanah atas anaknya gugur/beralih. Hal itu karena berangkat dari sebuah nila i

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 6: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

6

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

paten dalam tradisi ajaran Islam bahwa perempuan kapanpun ia menjadi isteri, maka

aktifitas utamanya adalah ketaatan horizontal kepada suami, yang ketaatan itu tidak

dapat dikalahkan saat bertentangan dengan ketaatan horizontal yang lain kecuali jika

suami merestuinya. Hal itu pula yang terjadi saat sang ibu memegang hak hadhanah

atas anaknya kemudian menikah lagi dengan orang lain, maka kepentingan

mengasuh anak itu tidak lebih diutamakan ketimbang kepentingan menaati suami

dan pelayanan yang maksimal kepada suaminya. Atau dengan rumusan lain dapat

dikatakan bahwa tidak menaati/mengurusi/melayani suami itu mudharatnya lebih

besar (potensi dosanya bagi isteri; bayangkan jika suami diurus atau dilayani

tetangga...) ketimbang tidak mengasuh anak (karena anak masih bisa diasuh oleh

pihak lain secara maksimal), sementara ketika dua kemudaratan mengemuka secara

bersamaan, maka kemudaratan yang besarlah yang dijaga dengan cara

melanggar/melaksanakan kemudaratan yang kecil (ru`iya a‟zhamuhuma dhararan

birtikabi akhaffihima). Sehingga guna menjaga keutamaan menaati suami itu, hak

hadhanah bagi sang ibu harus dinyatakan gugur.

Berangkat dari hubungan kepentingan itu, maka sebagian kalangan fuqaha`

mensyaratkan ridha suami baru (ayah tiri anak/bukan bekas suami atau ayah kandung

anak), jika sang ibu ingin hak hadhanahnya tetap berlangsung. Hal itu karena

kepentingan suami sedikit banyak akan terganggu dengan adanya tanggungan ibu

mengurus anak bawaannya itu.

Alasan lain yang mengemuka, adalah bahwa permasalahannya bukan pada

sengketa kepentingan antara ayah tiri dan anak bawaan isteri. Tetapi bahwa secara

naluri, ayah tiri jelas tidak memiliki ikatan psikologis yang memadai untuk sedianya

ikut merawat anak tersebut. Sehingga ayah tiri tidak memiliki sertifikasi syafaqah

dan rahmah yang bersifat fitrah terhadap anak itu, karena memang bukan anak dar i

darah dagingnya. Hal itu dinilai membahayakan perkembangan sang anak, sehingga

apapun alasannya, saat ibu menikah lagi hak asuh harus dialihkan kepada pihak lain

yang lebih laik berdasarkan pertimbangan tertentu.

Selain dua pandangan di atas, ada pula yang memahami bahwa ridha yang

dimaksud bukanlah ridha suami baru/ayah tiri anak, melainkan ridha bekas suami

atau ayah kandung anak. Ketika ibu menikah lagi, maka hak hadhanah tidak gugur

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 7: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

7

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

jika bekas suami mengizinkannya. Hal ini karena apapun alasannya, ayah kandung

sedikit atau banyak memiliki hubungan hak terhadap anak kandungnya itu yang

sedang dalam hadhanah ibunya. Tetapi bahwa izin suami harus dipahami dalam

konteks adanya hak mendasar seorang ayah terhadap anaknya saja, karena tidak

lantas ketika ia tidak mengizinkan, anak akan beralih hak asuh kepadanya. Karena

peralihan hak asuh anak dari ibu ke pihak lain, merupakan wilayah kajian tersendir i

(akan dibahas dalam sub berikutnya), dan bukan merupakan ketentuan serta merta ke

ayah kandung.

Hadhanah itu sendiri merupakan lembaga tersendiri sebagai konsekuensi dari

adanya anak dalam sebuah pernikahan. Bahkan ia terpisah dari ketentuan nafkah.

Ketentuan nafkah berdiri sendiri sebagai sebuah lembaga yang secara khusus

menjadi taklif (tanggungan hukum) bagi kaum laki- laki (lihat Erfani, (artikel

badilag.net) Implikasi Nafkah dalam Konstruksi Hukum Keluarga). Dengan

demikian, pengertian hadhanah sesungguhnya terbatas pada maksud hakiki hadhanah

itu sendiri yang lebih menunjuk maksud al hifzhu atau proses teknis penjagaan dan

pembentukan tumbuh kembang anak, baik fisik maupun mental. Sementara

biaya/mu`nah yang muncul dalam upaya itu seluruhnya menjadi tanggung jawab

ayahnya. Dalam persoalan ini, Undang-Undang Perkawinan menengahinya dengan

memberikan peluang pembebanan biaya hadhanah anak atas Ibu kandung atau Ibu

Kandung dapat ikut menanggung biaya hadhanah anaknya, jika ayah kandung tidak

sanggup lagi untuk memenuhi pembiayaan itu (Pasal 41 Huruf b UU No. 1 Th.

1974).

Di sisi lain, hadhanah itu sendiri mengalami kerancuan seputar apakah ia hak

atau kewajiban. Konsekuensi dari pelabelan hadhanah sebagai hak dari pemegang

hadhanah, akan memberi arti bahwa pemegang hak itu kapan saja bisa melepas

haknya atau sembarangan menggunakan haknya. Situasi ini jelas tidak relevan bagi

kemaslahatan anak. Justru seharusnya, anaklah yang berhak memperoleh hadhanah

yang maksimal dari ibunya, yang dengan demikian berarti hadhanah sejatinya

merupakan sebuah kewajiban jika dilihat dari sudut pemegang hadhanah. Hanya saja,

karena naluri fitrah yang dihadirkan Allah swt dalam hubungan rahim itu begitu

besar, maka kewajiban itu seakan terasa sebagai hak yang cenderung diperebutkan.

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 8: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

8

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

Namun patut pula diantisipasi sebuah situasi dimana anak cenderung ditelantarkan,

enggan diasuh, karena ada saja ibu yang kepekaan naluri rahimnya tidak tumbuh

sebagaimana mestinya, sehingga citra penyabar, penyayang, dan pengasih dar i

seorang ibu tidak tampak maksimal. Dalam kasus ini tentu hadhanah tidak cukup

diberi label hak seorang ibu, tetapi lebih kepada beban kewajiban atasnya dan

merupakan hak bagi anak yang harus dipenuhi secara maksimal. Hal ini sebagaimana

yang diredaksikan dalam pasal 41 huruf a dan pasal 45 ayat (1) UU No. 1 1974 dan

pasal 77 ayat (3) KHI yang menyatakan hadhanah „kewajiban‟ orangtua atau hak

anak, bandingkan dengan pasal 105 huruf a KHI yang menyatakan hadhanah adalah

„hak‟ ibu.

Maka klausul maa lam tankihi itu, sesungguhnya telah menjawab dan

mempertemukan dua kepentingan yang sepintas bertentangan. Bahwa seorang suami

berhak atas pelayanan yang masimal dari isterinya, sebagaimana seorang anak

berhak pula untuk mendapatkan perlakuan hadhanah yang maksimal dari pemegang

hadhanahnya. Agar dua hal itu tetap berjalan maksimal, maka hak asuh anak atau

hadhanah harus dialihkan kepada pihak yang paling mungkin menggantikan peran

ibu, dengan cara terlebih dahulu menyatakan gugurnya hak/kewajiban ibu kandung.

Dengan demikian, ibu dapat berperan sebagai isteri bagi suaminya secara maksimal

tanpa bimbang akan masalah hadhanah anaknya karena telah dialihkan kepada pihak

lain yang laik. Namun sangat disayangkan bahwa solusi ini, seiring perkembangan

zaman dan gencarnya pergeseran nilai dari masa ke masa, cenderung tidak diangga p

sebagai solusi yang solutif, malah cenderung tidak populer dan lebih terasa

deskriminatif terhadap perempuan. (terkait hal ini akan ditulis InsyaAllah artike l

tentang „Ideologi Patriarki‟ Hukum Islam (Fikih), Subjektifitas Fuqaha kah?)

Peristiwa pernikahan pemegang hadhanah, selanjutnya mendapat perhatian

cukup tajam, manakala umumnya Fuqaha` tidak semata-mata menjadikannya mani‟

bagi seorang ibu pemegang hadhanah yang menikah lagi terhadap hak hadhanahnya.

Karena mereka berdasarkan nilai-nilai yang ada, kemudian merumuskan ketentuan

general bagi siapapun pemegang hadhanah (tidak hanya Ibu kandung anak) agar

sedianya tidak sedang terikat dalam sebuah pernikahan. Adanya syarat al khuluwwu

min zaujin dalam deretan syarat-syarat pemegang hadhanah yang dirumuskan

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 9: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

9

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

fuqaha` (dari empat kalangan Syafiiyah, Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyah_lihat

misalnya Al Fiqh `ala al Mazdahib al Arba`ah, j IV. h. 291 ), menegaskan betapa

masalah pernikahan pemegang hadhanah versus hak hadhanah itu sendiri, merupakan

poin penting yang agaknya dikehendaki untuk diberikan perhatian yang proposional.

Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, atau pun Undang-

Undang Peradilan Agama sekalipun, tidak menyinggung hal ini secara eksplisit.

Hanya saja, jika pernikahan pemegang hadhanah secara khusus atau alasan apapun

secara umum, diduga menyebabkan pemegang hadhanah tidak ternyata mampu

menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya hadhanah dan

nafkah telah dicukupi, maka atas inisitif kerabat anak tersebut, Pengadilan Agama

dapat mengalihkan hadhanah kepada pihak lain. Hal ini sebagaimana disebut dalam

Padal 156 huruf c Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang Perkawinan pasal 49

ayat (1) juga menyinggung pengguguran hak hadhanah dalam situasi, 1) Pemegang

hadlanah sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, 2) ia berkelakuan buruk

sekali.

Kendati tidak diakomodir secara tegas berdasarkan yuridis, tapi dengan

adanya klausul maa lam tankihi, tentu permasalahan hadhanah ini harus pula

mempertimbangkannya sebagai salah satu alasan hukum untuk memperkarakan hak

asuh yang dipegang ibu ketika ia ternyata menikah lagi dalam masa hadhanah itu.

Hadhanah yang masih berlangsung padahal ibu telah menikah lagi dengan orang lain,

dapat dinyatakan sebagai alasan untuk melakukan gugatan hak asuh itu, agar

sekiranya dialihkan kepada pihak lain yang lebih patut.

D. Mabhats Tsalist; Hadhanah Anak Pasca Ibu Menikah Lagi

Bagian paling penting dari tulisan ini mungkin bercokol pada bagian ini.

Ketika pernikahan seorang ibu menjadi mani‟ terhadap hadhanah anaknya, maka

bermunculan berbagai macam persoalan seputar implikasinya. Mulai dari siapa yang

kemudian memegang hadhanah, bagaimana pula kapasitas ibu kandung itu terkait

hadhanahnya apakah dapat kembali kepadanya pasca berakhirnya pernikahan

keduanya itu, dan yang penting pula dalam hal peralihan hak itu, apa sebetulnya yang

menjadi standar atau bisa disebut sebagai nilai utama dan universal terkait dasar

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 10: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

10

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

pertimbangan peralihan itu, apakah hubungan nasab dan mahramiyah, atau hubungan

waris, atau mungkin kedekatan psikologis, atau justru terkait tema gender bahwa

perempuan lebih utama, atau ada hal lain yang menjadi titik temu? Atau mungkin

pertanyaan yang paling tepat dan urgen adalah apa sesungguhnya substansi dan

esensi keberhakan hadhanah itu, apakah guna memenuhi hasrat/naluri fitrah manusia

mengasuh anak, atau justru kemaslahatan anaklah yang menjadi penentu, bahwa

anak harus dipelihara secara maksimal dan total, tanpa harus terpaku pada rumusan

deretan hieraki peralihan ahaqqiyah dalam hadhanah?

Sebagian persoalan di atas telah terjawab pada bagian sebelumnya. Namun

ada beberapa persoalan yang masih perlu dipertemukan ujung-pangkalnya.

1. Pemegang Hadhanah setelah Ibu Kandung

Permasalahan yang paling krusial memang adalah seputar pemegang hadhanah

setelah ibu kandung.

Abdul Mannan (2008;425) merangkum hal itu secara lengkap dimulai dar i

kerabat ibu lurus ke atas (ibunya ibu/ummul umm, dst. pen), kemudian kerabat

ayah dalam garis lurus ke atas (ibunya ayah/ummul abi. dst. pen). Selanjutnya

jika setelah itu tidak ditemukan kerabat mahramiyah atau ditemukan tetapi tidak

cakap memegang hadhanah, maka Pengadilan Agama dapat menetapkan siapa

wanita yang pantas menjadi ibu pengasuh (hadhin) dari anak-anak tersebut.

Pendapat fuqaha‟ bervariasi seputar pemegang hadhanah setelah ibu kandung.

Berikut diuraikan tiga pandangan kalangan fuqaha‟ yang dirangkum dari Al Fiqh

„ala madzahib al arbah‟ah, j.4. h. 289.

Menurut kalangan Hanafiyah, hadhanah beralih secara tertib dari mulai kerabat

perempuan kemudian kerabat laki- laki, dengan rincian;

- Ibu kandung, ibunya ibu kandung, dan seterusnya ke atas dengan catatan

bahwa mereka itu layak mengasuh anak dan tidak pula serumah dengan ibu

kandung bersama suami barunya (ayah tiri anak) karena pada hakikat antara

ayah tiri dan anak bawaan istri itu ada sebentuk siratan hubungan revalitas

yaitu adanya silang kepentingan. Dalam situasi sedemikian ini ayah kandung

anak berhak mengambil alih anak itu.

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 11: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

11

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

- Kemudian jika ibunya ibu (yaitu nenek dari anak itu) mati atau ternyata

menikah bukan dengan mahram anak, maka pemegang hadhanah berpindah

ke ibunya ayah kandung dan seterusnya ke atas. Kemudian jika ibunya ayah

kandung itu ternyata menikah lagi dengan mahram anak, hadhanah tetap dan

tidak gugur.

- Namun jika ia mati atau menikah dengan bukan mahram anak maka

hadhanah berpindah ke saudari kandung anak (ukhtun syaqiqah), lalu saudar i

seayah dan seibu. Hingga fase ini kalangan hanafiyah sepakat, dan baru

berbeda pendapat siapa yang didahulukan, pada fase selanjutnya yaitu

meliputi golongan bibi khalat dan „ammat, lalu golongan keponakan banatul

ikhwah.

- Setelah kaum perempuan di atas ternyata tidak ada, maka barulah jalur

„ashabiyah (ahli waris kalangan laki- laki) mengambil peran. Mulai dari ayah,

ayahnya ayah, kemudian saudara kandung, saudara seayah, keponakan lak i

dari saudara kandung, keponakan laki- laki dari saudara seayah, dst, kemudian

paman kandung, paman seayah, sepupu/anak laki- laki dari paman kandung,

sepupu/anak laki- laki dari paman seayah, dengan catatan anak yang dipegang

hadhanahnya adalah laki- laki jika perempuan maka tidak boleh karena

merupakan mahram. Dalam situasi tidak ada lagi yang relevan mengasuh

anak perempuan sementara hanya ada sepupu saja, maka penyelesaiannya

atau penetapannya kepada sepupu laki- laki harus berdasarkan putusan hakim,

atau berdasarkan putusan hakim pula ditetapkan kepada perempuan lain saja

yang dinilai dipercaya (imra`atun aminah).

Kalangan Malikiyah menilai pemegang hadhanah berkutat secara tertib dari

kalangan kerabat perempuan juga kerabat laki- laki sebagai berikut;

- Ibu kandung, kemudian ibunya ibu kandung, dan seterusnya ke atas.

- Kemudian bibi kandung dari jalur ibu/khalatun syaqiqah, lalu bib i

seibu/khalatun liumm.

- Kemudian bibinya ibu/khalatul umm, lalu bibinya ibu dari jalur

ayah/‟ammatul umm.

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 12: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

12

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

- Kemudian ibunya ayah, lalu ibunya ibu ayah, lalu ibunya ayahnya ayah,

dengan catatan yang lebih dekat di antara mereka itu lebih diutamakan dar i

yang jauh. Dan kalangan dari jalur ibu diutamakan dibanding kalangan dar i

jalur ayah.

- Kemudian ayah, lalu saudari perempuan anak, kemudian bibinya anak

(„ammah), lalu bibi ayahnya („ammatul abi).

- Kemudian bibi dari jalur ibu ayahnya (khalatulabi), lalu anak perempuan

saudara laki- laki kandung/bintul akhi syaqiq, anak perempuan saudara seibu,

lalu anak perempuan saudara seayah.

- Lalu anak perempuan saudari kandung, anak perempuan saudari seibu, anak

perempuan saudari seayah. Apabila dalam derajat itu terdapat beberapa

pemegang yang setara, maka diberikan kepada yang paling laik dan mampu

untuk hadhanah.

Kalangan Syafi`iyah membagi peralihan hadhanah dalam tiga situasi,1)

berkumpulnya kerabat laki- laki dan kerabat perempuan, 2) berkumpulnya kerabat

perempuan saja, 3) berkumpulnya kerabat laki- laki saja.

- Dalam situasi yang pertama, maka didahulukan ibu daripada ayah, kemudian

ibunya ibu dan seterusnya ke atas dengan catatan ibunya ibu dst. itu adalah

ahli waris dari anak, sehingga tidak berhak hadhanah bagi ibunya ayah ibu,

lantaran bukan ahli waris anak. setelah itu baru ayah, lalu ibunya ayah, lalu

ibunya ibu ayah dan seterusnya ke atas sejauh sebagai ahli waris. Ketika

berkumpul kerabat laki- laki dan kerabat perempuan maka didahulukan

dengan patokan dari yang paling dekat dalam kalangan kerabat perempuan,

ke yang paling dekat dalam kalangan kerabat laki- laki. Sementara jika

ditemui perkumpulan yang sederajat antara kalangan kerabat perempuan dan

kalangan kerabat laki- laki, maka diselesaikan dengan cara qur‟ah/diundi.

- Dalam situasi yang kedua, yaitu perkumpulan kerabat perempuan saja, maka

yang didahulukan adalah ibu, lalu ibunya ibu dst, lalu ibunya ayah dst, lalu

saudari perempuan, lalu bibi perempuan/khalah, lalu anak perempuan saudar i

perempuan, lalu anak perempuan saudara laki- laki, lalu bibi dari jalur

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 13: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

13

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

ayah/‟ammah, lalu anak perempuan bibi jalur ibu /bintulkhalah, lalu anak

perempuan bibi jalur ayah/bintul „ammah, lalu anak paman jalur ayah/bintul

amm, lalu anak perempuan paman jalur ibu/bintulkhal. Ketentuan dasarnya

adalah bahwa hubungan sekandung didahulukan dari yang selain sekandung,

dan didahulukan hubungan seayah daripada hubungan seibu.

- Dalam situasi yang ketiga, yaitu berkumpulnya kalangan kerabat laki- lak i

saja, maka yang didahulukan adalah ayah, lalu ayahnya ayah, lalu saudara

kandung, lalu saudara seayah, lalu saudara seibu, lalu keponakan laki dar i

saudara kandung atau keponakan laki dari saudara seayah, lalu paman jalur

ayah dari kedua orangtua, lalu paman/amm seayah, lalu anak paman/ibnu

amm dari kedua orangtua, lalu anak paman seayah/ibnul amm liabin.

Uraian tiga pandangan ini sepakat menunjuk ayah pada urutan yang bukan

prioritas jika kerabat perempuan masih ada. Hanya saja ayah menjadi prioritas

dalam kaitan jika disandingkan dengan laki- laki yang lain.

Selain itu terdapat perbedaan mencolok, yaitu pada penempatan kalangan kerabat

ayah. Kerabat dari pihak ayah menurut Malikiyah baru diperankan saat semua

kerabat pihak ibu (nenek, bibi, saudari nenek dan kakek) habis. Sementara

Hanafiyah cenderung mempersamakan derajatnya dengan asumsi yang dari pihak

ibu yang diutamakan, yaitu nenek dari ibu lalu nenek dari ayah, baru saudari-

saudari.

Perbedaan konsep itu bisa jadi berangkat dari perbedaan berbagai penilaian dar i

sumber hukumnya. Sumber hukumnya kemungkinan sama, namun sudut

pandang yang dibangun masing-masing mujtahid itu mengharuskan adanya

pernilaian yang bervariasi.

Misalnya dalam kasus perebutan anak antara ayah kandung dan mertua yang

selanjutnya dimenangkan mertua. Hal ini berangkat dari sebuah keputusan Abu

Bakar Al Shiddiq terkait silang sengkata antara Umar bin Khattab ra dan

mertuanya dalam hal memperebutkan „Ashim bin Umar, sementara ibunya telah

menikah lagi dengan orang lain. Abu Bakar mengeluarkan putusan bahwa

„Ashim bin Umar diasuh oleh neneknya itu dengan pembebanan nafkah tetap

kepada Umar ra. Keputusan itu diterima tidak saja oleh Umar sendiri, tetapi juga

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 14: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

14

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

beberapa Shahabat, karena dalam sebuah riwayat, putusan Abu Bakar itu

disampaikan secara terbuka di hadapan mereka.

Bandingkan pula dengan sebuah riwayat yang menceritakan silang sengketa

antara Zaid bin Haritsah, Ja‟far bin Abi Thalib dan Ali bin Abi Thalib, tentang

keberhakan atas hadhanah seorang anak perempuan Hamzah. Ja‟far mendalilkan

bahwa dia dan isterinya lah yang berhak atas hadhanah itu lantaran anak

perempuan itu tidak lain adalah anak pamannya, selain itu bib i/khalah anak itu

adalah isterinya (Asma binti „Umays) sementara bibi tak ubahnya seorang ibu,

maka kami yang berhak mengambilnya. Ali juga kemudian menyampaikan dalil

bahwa anak itu adalah anak pamannya juga, dan di sisinya ada anak Rasul

(Fathimah/Fathimah sendiri dengan demikian adalah keponakan sepupu dari anak

Hamzah), maka dia tentu yang lebih berhak. Zaid rupanya juga menaruh harap

untuk mengasuh anak itu, dia pun berdalil bahwa kehadiran anak itu di Mekah ini

adalah bersama dengannya, maka dirinya tentu berhak atas pengasuhan anak itu.

Silang sengketa itu selanjutnya berakhir di ujung lisan Rasulullah saw. Rasul

bersabda “adapun anak perempuan, maka aku putuskan berada dalam hadhanah

Ja`far agar sedianya anak itu diasuh bibinya/khalah/isteri Ja`far (Asma bint i

`Umays), karena sesungguhnya bibi/khalah laksana seorang ibu bagi anak”

Setidaknya dari dua riwayat ini, berbagai macam penilaian dan pemahaman serta

kesimpulan hukum dapat ditarik. Dan hal itu sudah begitu tampak dari berbaga i

pandangan Fuqaha` di atas. Tinggal bagaimana penerapannya serta mungkin

melakukan upaya komparasi yang memadai untuk selanjutnya mencari titik

singgung sekaligus titik temu, sehingga masing-masing pandangan dapat cerna

konstruksinya secara utuh.

Berangkat dari latar belakang budaya, karakteristik sosial, kekhususan nuansa

kemasyarakatan keberagamaan umat Islam Indonesia, barangkali, selanjutnya

Kompilasi Hukum Islam merumuskan hirarki peralihan pemegang hadhanah

yang tidak mengambil secara utuh salah satu pandangan kalangan fuqaha` d i

atas. Menurut „Ulama Nusantara‟, susunan hierarki peralihan pemegang

hadhanah itu adalah sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 huruf a Kompilas i

Hukum Islam, yaitu:

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 15: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

15

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali

bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;

2. ayah;

3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

Tentu menjadi kajian tersendiri, mengapa pada akhirnya „Ulama Nusantara‟

sampai pada rumusan tersebut. Dan akan menarik mengurai sudut pandang dan

dasar-dasar konstruksinya secara utuh, mengingat rumusan itu (apalagi

menempatkan posisi ayah berada pada tingkatan kedua), dinilai berbeda dengan

rumusan-rumusan yang pernah ada sebelumnya. Hipotesisnya, bisa jadi bahwa

tekstur budaya dan karakteristik sosial umat Islam Indonesia (atau bangsa

Indonesia secara umum) lah, yang lebih mempercayai peranan seorang laki- lak i

(ayah) untuk memegang hadhanah anak pasca ibu dan kerabat lurus Ibu, lantaran

masih teramat berat „memaksa‟ atau mengharapkan tanggung jawab ayah

kandung membiayai hadhanah dan nafkah anaknya jika hadhanah dipegang oleh

orang lain selain mertua (ibunya ibu).

2. Melacak Standar Keberhakan Hadhanah

Dari uraian di atas kaitannya dengan pemegang hadhanah setelah ibu

kandung, maka didapati beberapa persamaan sekaligus beberapa perbedaan.

Untuk melihat titik singgung serta alasan dari masing-masing pandangan itu,

akan dirinci sebagai berukut;

1. Kalangan Hanafiyah, jika dicermati, memberikan beberapa pertimbangan

dalam proses peralihan hadhanah itu kepada orang lain setelah ibu kandung,

yaitu;

- Kepatutan (shalahiyah) pemegang hadhanah, meliputi fisik, waktu dan

kepentingan yang tidak saling bertabrakan.

- Pemegang hadhanah tidak dalam status bersuami/tidak menikah, kalaupun

menikah harus dengan standar memiliki hubungan mahram dengan anak.

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 16: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

16

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

- Tidak melibatkan ayah tiri/suami ibu kandung anak dalam pelaksanaan

hadhanah.

- Urutan yang dirinci, harus berlaku secara tertib untuk selanjutnya beralih

dari satu ke yang lainnya.

2. Kalangan Malikiyah, jika dicermati, lebih memandang prioritas pada

kalangan kerabat ibunya anak secara khusus, bukan pada perempuanya.

Artinya Malikiyah lebih mendahulukan ibu, ibunya ibu, bibinya ibu, baru

kemudian ibunya ayah. Maka agaknya Malikiyah meletakkan standar potensi

syafaqah dan rahmah, atau pertimbangan siapa yang paling mungkin

berpotensi memberikan perhatian dan kasih sayang yang paling besar setelah

ibu. Dengan kata lain pertimbangan kalangan Malikiyah lebih kepada

kedekatan emosionalitas dan psikologis antar seorang perempuan dan anak,

secara alamiyah, bukan hasil intervensi manusia. Karena pada dasarnya,

secara alamiyah perempuan dari jalur ibu lebih dekat kemiripannya, atau

setidaknya berdasarkan karakteristik genetis, perempuan-perempuan itu tentu

dapat menyamai sekian persen ibu kandungnya. Sehingga pengalihan

hadhanah kepada mereka itu dapat disebut sebagai lanjutan saja, tanpa harus

memulai sesuatu yang baru bagi anak, selain juga terdapat jaminan kasih

sayang yang cukup kuat karena jalinan rahim itu juga melekat antar mereka,

ibu kandung dan sang anak.

3. Kalangan Syafi‟iyah

Pandangan kalangan Syafiiyah menonjolkan hal lain terkait standar

keberhakan dan peralihan hadhanah. Jika dicermati, peralihan hadhanah versi

Syafiiyah, sedikit banyak memiliki korelasi dan relevansi dengan hubungan

mewarisi. Logikanya, memang karena permasalahan waris tidak tepat jika

dilihat hanya dalam kapasitas hak saja. Karena harus diakui bahwa

berbedanya bagian-bagian (siham) di antara ahli waris, disebabkan atau

setidaknya dipengaruhi sedikit banyak oleh beban kewajiban. Bahwa laki-

laki berhak atas perolehan lebih besar karena ada padanan kewajiban dan

hubungan nafkah yang mengiringinya.

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 17: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

17

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

Dalam hal hadhanah mengapa harus dipersyaratkan adanya hubungan waris

antara calon hadhin dan mahdhun, karena memang keberadaan mahdhun itu

sendiri pada hakikatnya merupakan beban kewajiban yang di saat yang sama

harus bergandengan dengan sebuah hak. Maka di sinilah hak dalam

hubungan waris memiliki relevansi dengan hadhanah.

Lantas apakah berarti kalangan Syafiiyah bermaksud menjadikan hak waris

sebagai sebentuk jaminan pembiayaan untuk aktifitas hadhanah yang

emban? Jawabannya tentu bukan demikian. Karena pembiayaan segala

kepentingan hadhanah tetap dipikulkan kepada sang ayah sebagai taklif

syar‟i yang mutlak. Yang lebih tepat sesungguhnya adalah bahwa

pertimbangan hubungan waris sebagai salah satu standar peralihan hadhanah

karena kalangan Syafiiyah berusaha meramu konsep yang komprehensif

sekaligus futuristik. Komprehensif berarti upaya penjagaan semua aspek

pendukung pelaksanaan hadhanah dari sisi pemegang hadhanah, meliputi

aspek mentalitas spiritual (bahwa persoalannya bukan sekadar suka atau

tidak, tetapi pembebanan itu harus dipahami sebagai kegiatan vertikal-

transendental yang luhur dan mulia sehingga harus dijalankan secara

optimal), emosionalitas-psikologis (bahwa naluri manusia saat menjalankan

kewajiban tentu tidak lepas dari tuntutan hak, sehingga adanya jaminan hak

itu diharapkan mampu meredam gejolak negatif terkait beban yang dijalani),

dan termasuk pula aspek sosial bahwa manusia sebagai zoon politicon

memerlukan pengakuan sosial dari setiap tindakannya, sekaligus di saat yang

sama menjadi benteng bagi dirinya dari kemungkinan asumsi miring atas hak

yang ada. Futuristik berarti kalangan Syafiiyah paham betul bahwa hadhanah

bukan urusan satu atau dua hari melainkan untuk rentang waktu yang cukup

lama, maka pertimbangan sebuah ketentuan peralihan hadhanah tidak

sekadar untuk masa yang singkat, akan tetapi memandang jauh ke depan

terkait kemungkinan-kemungkinan jangka panjang yang memerlukan solusi

sedini mungkin.

Tinjauan di atas muaranya memang adalah pada aspek landasan peralihan

hadhanah. Namun apakah benar persoalan hadhanah hanya berkutat seputar

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 18: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

18

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

landasan peralihan semata? Agaknya, apa yang dirumuskan oleh Fuqaha‟

tentang urutan peralihan itu, lebih tepat untuk diapresiasi sebagai sebuah upaya

luar biasa para fuqaha‟ meletakan rumusan yang esensinya adalah posibilitas

menghadirkan kemaslahatan bagi anak. Dengan kata lain, masing-masing

kalangan meyakini bahwa urutan-urutan itu adalah gambaran visual yang

menceritakan tentang hirarki kemaslahatan bagi anak. Bahwa anak sangat

maslahat bersama ibunya, jika ada masalah dengan ibu, maka kemaslahatan anak

selanjutnya ada pada ibunya ibu, demikian seterusnya.

Kesimpulan itu semakin mendekati benar, saat kita melacak pula apa saja syarat-

syarat pemegang hadhanah yang digariskan Fuqaha`. Guna mempersingkat

tulisan ini dipandang cukup menunjuk uraian Abdurrahman Al Jaziri dalam Al

Fiqh ala Mazdahib Arba`ah jilid 4 hal 291, karena tulisan ini selanjutnya cukup

mengurai analisanya saja.

Empat Kalangan Mazhab sesungguhnya meletaknya persyaratan hadhanah yang

hampir seragam. Keseragaman itu bermuara pada upaya mengejawantahkan

kemaslahatan tumbuh kembang anak dalam beberapa aspek, dengan perincian

sebagai berikut:

1. Penjagaan Akidah anak. Tiga kalangan Mazdhab, Syafiiyah, Hanabilah dan

Hanafiyah, agaknya sepakat mensyaratkan Islam bagi pemegang hadhanah.

Hanya saja Kalangan Hanafiyah mengkhususkannya pada pemegang

hadhanah kalangan laki- laki, sementara kalangan perempuan tidak

disyaratkan Islam, karena substansinya adalah Syafaqah dan Rahmah yang

tentu tidak berbeda apapun agama yang bersangkutan. Kalangan Malikiyah

yang memang tidak memandang syarat Islam bagi pemegang Hadhanah.

Hanya saja jika dalam naungan hadhin non Islam itu anak tidak dapat

dipastikan makanannya justru diberi makanan yang haram seperti khamr,

babi, dll, maka menurut kalangan Malikiyah hadhanah harus dialihkan

kepada kalangan Muslimin. Saking pentingnya akidah maka Nabi pernah

berdoa saat memutus sengketa hadhanah antara ibu yang musyrik dan ayah

muslim, ketika itu sang anak sudah akan memilih ibunya, namun berkat doa

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 19: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

19

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

Nabi agar sekiranya anak itu arahkan kepada ayahnya yang muslim, maka

anak itupun lantas memilih ayahnya. Demikian menurut beberapa Fuqaha`.

2. Jaminan tumbuh kembang mental anak. Fuqaha‟ rupanya cukup konsen

memperhatikan aspek mentalitas anak terbukti dengan adanya syarat-syarat

seperti kondisi pemegang hadhanah yang harus baik perangainya, baik

agamanya/tidak fasik, besar kasih sayangnya, serta sehat akal pikirannya

(tidak dalam gangguan kejiwaan), dan syarat lain sejenisnya. Dan dalam

kaitan ini pula, hubungan mahram antara anak dan suami pemegang

hadhanah menjadi sesuatu yang harus dipastikan eksistensinya, guna

menjamin ikatan emosional dan naluri fitrah „kerahiman‟ di antara mereka.

3. Jaminan tumbuh kembang jasmani anak. Pertimbangan penting lainnya

adalah muara syarat-syarat pemegang hadhanah itu terletak pula pada aspek

perhatian terhadap jasmani anak. Sehingga ditemukan syarat pemegang

hadhanah tidak dalam keadaan sakit apalagi menular, tidak pula kurang

inderawinya, dan syarat sejenis lainnya. Bahkan guna mengimbangi

posibilitas pemenuhan maksud jaminan jasmani anak itu, dihendaki bahwa

pemegang hadhanah mampu secara fisik mengurus anak, sehingga pemegang

hadhanah sebaiknya bukan yang telah renta.

4. Jaminan totalitas waktu/perhatian bagi anak. Aspek ini tampak ketika

kalangan Fuqaha` mensyaratkan bahwa pemegang hadhanah bukan orang

yang disibukkan oleh aktifitas lain yang jauh lebih besar di luar aktifitas

pengasuhan bagi anak, seperti sibuk mengurus suami (ayah tiri anak yang

bukan mahram), sibuk bekerja (karier) di luar, selalu berpergian

meninggalkan anak, dll. Dan tampak pula saat ada syarat bahwa pemegang

hadhanah harus berada dalam sebuah hunian yang layak dan tidak terganggu

oleh silang kepentingan penghuni rumah apalagi sampai ada situasi

kebencian terhadap anak.

Adalah hal yang tidak mudah mencari esensi sekian pandangan fuqaha` itu

sebagaimana tidak pula mudah mengumpulkan sekian pertimbangan itu dalam

sebuah putusan hadhanah. Tetapi tidak lantas dengan demikian pertimbangan-

pertimbangan itu dapat dengan mudah dilanggar dan dinafikan begitu saja.

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 20: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

20

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

Menyadari konteks hukum Islam keindonesiaan yang memiliki karakteristik

tersendiri, maka banyak penyesuaian yang dilakukan oleh Ulama Nusantara

sebagaimana banyak pula dilakukan oleh hakim-hakim di Pengadilan Agama.

Sejauh upaya tersebut berangkat dari kajian yang dalam atas dasar objektifitas

yang tinggi dengan tetap mengindahkan sumber-sumber hukum yang ada beserta

pandangan-pandangan yang telah mengemuka, maka tidak ada alasan untuk

tidak mengalungkan apresiasi yang positif kepada mereka seraya di saat yang

sama kita semua berserah diri kepada Allah swt, Dzat Sang Empunya Hukum

dan Keadilan Sejati, agar sedianya menghadirkan secercah petunjuk menuju

keadilan yang ada padaNya itu.

E. Khatimatul Bahts

Berat untuk mengatakan bahwa bagian ini adalah representasi dari bahasan yang

telah ada, sehingga dianjurkan untuk menelaah sedari awal. Namun ada baiknya

beberapa catatan berikut diunggah untuk maksud kesimpulan.

1. Klausul „maa lam tankihi‟ harus dinyatakan sebagai bagian yang tidak

terpisahkan ketika penggalan awalnya yaitu „anti ahaqqu bihi‟ digunakan untuk

mengukuhkan sebuah pendapat tentang hadhanah. Hal ini karena Ahaqiyyah

menunjuk sebuah kemutlakan hak di satu waktu, dan mengharuskan pelengkap

yang menunjukkan hilangnya hak itu di waktu yang lain. Secara khusus hadis ini

menjadi dasar gugurnya keberhakan/ahaqiyah seorang ibu pemegang hadhanah

anaknya, saat ini menikah lagi. Selanjutnya dimaknai secara general oleh

umumnya Fuqaha` dalam merumuskan ketentuan gugurnya hadhanah sebab

menikah, yaitu menikah dengan bukan mahram anak.

2. Klausul „maa lam tankihi‟ semakin dharuri (semakin bersifat harus) untuk

diperhitungkan dalam panggung hadhanah, saat kita sejenak memasrahkan dir i

untuk mengkaji nilai-nilai yang ada di dalamnya. Pernikahan seorang pemegang

hadhanah sesungguhnya (jika sepakat kembali kepada nilai awal Islam)

mengantarkan dirinya pada dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan menaati

suaminya dan kepentingan mengasuh anak bawaannya. Dengan kata lain ia

berhadapan dengan dua kemudharatan (potensi berdosa), ketika konsen

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 21: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

21

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

mengasuh anaknya, ketaatan kepada suami terbengkalai, sebaliknya perhatian

penuh kepada suami, maka aktifitas hadhanah jelas tidak maksimal, saat

keduanya saling bertentangan, maka kemudharatan yang lebih besar harus

diutamakan untuk dijaga, dengan cara mengabaikan/melaksanakan kemudharatan

yang kecil. Menaati suami dinilai jauh lebih besar kepentingannya ketimbang

mengasuh anak, karena pengasuhan kepada anak dapat digantikan sementara

suami jelas tak mungkin digantikan. Guna memenuhi dua maksud itu yaitu agar

dua kepentingan itu dapat tetap dengan apik terlaksana maka „maa lam tankihi‟

sesungguhnya telah bijak menjadi solusi yang akrab dengan nilai-nilai luhur

filosofis.

3. Kepada siapa anak selanjutnya berpayung hadhanah, menjadi kupasan cukup

rumit. Banyak pertimbangan yang mengemuka dari sekian kalangan mazdahib

dan fuqaha`nya. Hierarki peralihan hadhanah (deretan kerabat-kerabat yang

berhak memegang hadhanah pasca ibu menikah) memiliki urat nadi tersendir i

yang dinilai berbeda di masing-masing versinya. Variasi itu sesungguhnya

merupakan visualisasi dari maksud pengukuran posibilitas secara hierarkis pula

dalam hal kemaslahatan bagi anak dengan segenap pertimbangan pengusungnya.

Sehingga harus yakin dikatakan bahwa kemaslahatan anaklah yang menjadi urat

nadi dari hubungan peralihan dan esensi keberhakan hadhanah itu. Kendati

demikian, lewat hadis-hadisnya (baca: Sunnah-Sunnahnya), Rasullullah saw

tentu tidak sekadar bermaksud menyampaikan pesan lokal saja, karena dengan

segala kesempurnaan sudut pandangnya, rumusan peralihan dan keberhakan

hadhanah yang tertuang dalam sekian hadisnya itu, sesungguhnya tersimpan pula

sebentuk ukuran baku bahwa di situlah terletak kemaslahatan bagi anak yang

memang halus keberadaannya itu. Maksud ini pula yang sejatinya diusung para

fuhaqa‟ dalam rumusan fikihnya. Karenanya, pertimbangan hukum tentang

hadhanah agaknya kurang sopan jika serta merta menafikan kesemua upaya

mulia dari para pendahulu yang juga mulia itu.

Jika tidak berlebihan untuk memberi nilai terhadap upaya Fuqaha` tersebut,

maka agaknya mereka lebih mengacu kepada konteks ittiba‟i atau berusaha

sebisa mungkin mengikuti apa yang Rasulullah saw lakukan dan menjadikannya

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 22: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

22

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

sebagai yang utama. Adapun mengenai esensi, nilai, dan pesan apa yang ada di

dalamnya, akan dengan sendirinya tercapai manakala proses ittiba‟i itu benar-

benar identik dan representatif.

Ketentuan hadhanah sejatinya menyuarakan sebuah pesan tentang betapa

urgennya aktifitas mengurus anak. Islam berkomitmen kuat bahwa masa depan

bangsa akan tampil cemerlang dimulai dari bagaimana generasinya didesign

sempurna untuk menggapai itu. Islam menghendaki dari sejak dalam buaian

hingga tumbuh sempurna semua giginya, seorang anak harus benar-benar

dipastikan telah mereguk segarnya asupan kasih sayang, hangatnya belaian

perhatian, dan sejuknya naungan ruang tempat dimana dia mengirup dan

menghela nafas-nafas mudanya. Dengan bekal itulah, sang anak diharapkan telah

siap memulai tapak-tapak kecilnya untuk selanjutnya menjadi bagian dar i

generasi yang kuat dan bersahaja.

Menyadari pesan ini, terbentuklah rangkaian ketentuan hadhanah yang terbilang

ketat dan teramat hati-hati, yang semua itu tiada lain, karena Agama sangat tidak

menginginkan keterbentukan generasi yang kurang „gizi‟ jasmani dan rohaninya,

apalagi sampai dilabel buruk (dzurriyyatan dhi‟aafan).

Berdasarkan bahasan dalam tulisan ini, menulis akhirnya memberanikan dir i

untuk memperkenalkan formula ideal dalam hadhanah bernama Formula 4

Maslahat 5 Sempurna.

4 Maslahat berarti putusan hadhanah harus memenuhi 4 pondasi kemaslahatan

bagi anak, yaitu 1. Penjagaan Akidah, 2. Jaminan Tumbuh kembang Mentalitas

Anak, 3. Jaminan Tumbuh kembang Jasmani anak, 4. Jaminan Totalitas waktu

dan perhatian bagi anak.

5 Sempurna berarti keempat pondasi itu akan sempurna manakala Pemegang

Hadhanah adalah orang yang tepat yaitu mumpuni dan memenuhi kriteria Hadhin

yang baik dan patut.

Demikian semoga bermanfaat.

Wallahu ta`ala a‟lam.

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Page 23: “Maa Lam Tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?

23

Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan

Di antara Referensinya:

o Al Quran Al `Azhim.

o Sunan Abi Dawud

o Musnad Ahmad bin Hanbal

o Sunan Al Baihaqi al Kubra dan Al Shugra

o Al Mustadrak „ala Shahihaini lil Hakim

o Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

o Kompilasi Hukum Islam

o Al Fiqh „Ala al Mazdahib al Arba‟ah, Abdurrahman Al Jaziri.

o Al Fiqh al Islamiy wa Adillatuhu, Wahbah al Zuhaili.

o Iqazhul Afham fi Syarh „Umdah al Ahkam, Sulaiman bin Muhammad Al Luhaimid.

o Al Lubab fi Ulum al Kitab, Abu Hafsh Al Dimasqi al Hanbali

o Al Muntaqa Syarah Muwatta

o Penerapan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Prof. Dr. Abdul Mannan, SH.,

S.IP

o Implikasi Nafkah dalam Konstruksi Hukum Keluarga, (Artikel Badilag.net) Erfani.

o Dll.

o Referensi berikutnya adalah kritik dan saran para pembaca yang budiman. Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang