lla
DESCRIPTION
leukemia limfoblastik akutTRANSCRIPT
Skenario
DEMAM BERKEPANJANGAN
Maman, 25 tahun, mengeluh sering demam dalam 6 bulan terakhir.
Diikuti rasa mual dan perut kembung. 2 bulan belakangan perutnya semakin
membesar. Kemudian beliau segera memeriksakan diri ke poliklinik YARSI. Pada
anamnesa dijumpai riwayat pekerjaan bertani serta sering menggunakan pestisida
tanpa memakai masker dan sarung tangan.
Pemeriksaan fisik didapatkan :
- 120/80 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi pernafasan
28x/menit, suhu tubuh 38,80C, TB=170 cm, BB=50 kg, konjungtiva
palpebra inferior pucat.
- Pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal.
- Pemeriksaan abdomen dijumpai lien yang membesar Haeckett II-
Schuffner 4.
- Hasil pemeriksaan darah rutin dijumpai Hb 10 gr/dL, Leukosit
45.000/uL, Ht 32%, sediaan hapus darah tepi ditemukan : blast 80%,
promielosit 2%, mielosit 2%, netrofil batang 5%, netrofil segmen 6%,
eosinofil 0%, basofil 0%, limfosit 5%, monosit 5%.
Dokter mengatakan bahwa Maman mengalami leukimia dan disarankan untuk
pemeriksaan lanjutan Sitokimia, Sitogenetika/ Analisa Kromosom.
1
Step 1
1. Memahami dan menjelaskan leukopoeisis
1.1 Mielopoiesis
1.2 Limfopoiesis
2. Memahami dan menjelaskan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
2.1 Definisi
2.2 Etiologi dan epidemiologi
2.3 Patogenesis
2.4 Klasifikasi
2.5 Manifestasi klinis
2.6 Pemeriksaan Fisik
2.7 Pemeriksaan Penunjang
2.8 Diagnosis
2.9 Penatalaksanaan
2.10 Prognosis
3. Memahami dan menjelaskan Leukimia Mieloblastik Akut (LMA)
3.1 Definisi
3.2 Etiologi dan epidemiologi
3.3 Patogenesis
3.4 Klasifikasi
3.5 Manifestasi klinis
3.6 Pemeriksaan Fisik
3.7 Pemeriksaan Penunjang
3.8 Diagnosis
3.9 Penatalaksanaan
3.10Prognosis
2
Step 2
Belajar mandiri
3
Step 3
1. Memahami dan menjelaskan leukopoeisis
1.1 Mielopoiesis
Granulosit
Tahapan perkembangan granulosit sesuai dengan urutan diferensiasi
hemositoblas, yaitu mieloblas, promielosit, mielosit, metamielosit, dan leukosit
granular. Mielosit-mielosit ketiga jenis (neutrofil, eosinofil, dan basofil)
mengandung granula spesifik yang khas dan diferensiasi lebih lanjut berhubungan
dengan pengurangan besarnya yang progresif, dan makin gelap dan bertambahnya
segmen inti, dan pengumpulan granula spesifik lebih lanjut.
4
Mieloblas
Mieloblas adalah sel yang paling muda yang dapat dikenali dari seri granulosit
dan diperkirakan berasal dari hemositoblas dengan perantaraan sel sejenis
menengah. Besarnya berbeda-beda dengan bentuk peralihan diameter berkisar
antara 10-15µm. Intinya yang bulat dan besar memperlihatkan kromatin halus
serta satu atau dua anak inti. Mikrograf elektron menunjukkan bahwa sitoplasma
yang sedikit dan agak lebih basofil daripada hemositoblas, mengandung banyak
mitokondria dan ribosom bebas tetapi sedikit unsur retikulum endoplasma
granular.
Promielosit
Sel ini agak lebih besar dari mieloblas. Intinya bulat atau lonjong dengan
heterokromatin perifer padat serta anak inti yang tak jelas. Pada umumnya
sitoplasma basofil tetapi dapat memperlihatkan daerah yang asidofil. Ciri-ciri sel
tersebut adalah adanya granula azurofil padat yang tersebar. Granula primer atau
granula non spesifik ini dianggap merupakan suatu jenis khusus lisosom primer.
Mielosit
Promielosit berpoliferasi dan berdiferensiasi menjadi mielosit. Pada proses
diferensiasi perubahan yang penting adalah timbulnya granula spesifik dengan
ukuran, bentuk, dan sifat terhadap pewarnaan yang memungkinkan seseorang
mengenalnya sebagai neutrofil, eosinofil, atau basofil. Karena granula azurofil
primer hanya dihasilkan dalam tahap promielosit, jumlah dalam masing-masing
selnya berkurang dengan pembelahan setiap mielosit. Mielosit-mielosit juga
memperlihatkan pengurangan ukuran, diameter berkisar 10µm dan berkurangnya
sifat basofil sitoplasma. Di sini kandungan heterikromatin inti meningkat dan
pada mielosit akhir, inti mengadakan cekungan dan mulai berbentuk seperti tapal
kuda.
5
Metamielosit
Setelah mielosit membelah berulang-ulang sel menjadi lebih kecil kemudian
berhenti membelah. Sel-sel hasil akhir pembelahan adalah metamielosit.
Metamielosit adalah bentuk muda leukosit granular yang mengandung granula
khas. Inti pada mulanya berbentuk tapal kuda, kemudian lambat laun terbentuk
cekungan. Pada akhir tahap ini, metamielosit dikenal sebagai sel batang. Karena
sel-sel bertambah tua inti berubah, membentuk lobus khusus dan jumlah lobus
bervariasi dari 3 sampai 5. Metamielosit basofil berbeda dengan dua jenis
metamielosit yang lain dalam hal intinya tidak berdiferensiasi ke dalam lobus
yang jelas. Jadi sukar membedakan metamielosit basofil dengan leukosit basofil
yang dewasa. Sel dewasa (granulosit bersegmen) masuk sinusoid-sinusoid dan
mencapai peredaran darah.
Neutrofil
Neutrofil mempunyai ciri-ciri seperti nukleusnya terdiri dari 3 sampai 5 lobus,
sitoplasmanya mengandung granula yang halus ukurannya berkisar antara 9
sampai 12 mikron dan jumlahnya paling banyak diantara sesama seldarah putih
yaitu antara 65 sampai 75%dari seluruh sel darah putih.
Eosinofil
Eosinofil memiliki ciri-ciri sebagai berikut : nukleusnya terdiri dari 2 lobus,
sitoplasmanya mengandung granula yang besar dan kasar, ukurannya berkisar
antara 9 sampai 12 mikron dan jumlahnya antara 1 sampai 3% dari seluruh sel
darah putih.
Basofil
Basofil merupakan sel darah putih yang paling sedikit jumlahnya yaitusekitar 0
sampai 1% dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : nukleusnya relativ
besar,tetapi batas-batas lobusnya tidak jelas dan ukurannya rata-rata 10 mikron.
6
1.2 Limfopoiesis
Limfosit
Sel-sel prekursor limfoit adalah limfoblas, yang merupakan sel berukuran
relatif besar, berbentuk bulat. Intinya besar dan mengandung kromatin yang relatif
dengan anak inti mencolok. Sitoplasmanya homogen dan basofil. Limfosit-
limfosit muda ini menyerupai hemositoblas sumsum tulang dan menurut teori
perkembangan unitaris, adalah sel yang sama tetapi pada tempat yang berbeda.
(Berlawanan dengan teori dualistik yang menyatakan bahwa limfoblas agak
berbeda dari hemositoblas, dan hanya dapat berkembang menjadi unsur limfoid).
Ketika limfoblas mengalami diferensiasi, kromatin intinya menjadi lebih tebal dan
padat dan ganula azurofil terlihat dalam sitoplasma. Ukuran selnya berkurang dan
diberi nama prolimfosit oleh beberapa penulis. Sel-sel tersebut langsung menjadi
limfosit yang beredar.
Pada mamalia pascanatal, kebanyakan limfosit berasal dari proliferasi limfosit
yang ada dalam jaringan limfoid, terutama di dalam limfonodus dan limpa. Hanya
bila produksi demikian tidak dapat mencukupi kebutuhan limfosit, maka agaknya
terjadi diferensiasi nyata dari sel induk yang akan memasuki peredaran dari
sumsum tulang.
Perkembangan limfosit kecil, terutama di dalam limfonodus dan limpa, umumnya
menggambarkan reaksi tehadap penyusupan oleh protein asing. Suatu reaksi lebih
lanjut terhadap rangsangan yang demikian itu adalah pembentukan sel plasma,
yang melakukan sintesis antibodi. Sel-sel ini mungkin berasal langsung dari
hemositoblas (limfoblas) atau dari limfosit yang berkompeten imunologi. Pada
proses tersebut terakhir, limfosit-limfosit kecil (Sel B) melalui tahap-tahap
peralihan (intermediate) yang tak dapat dibedakan dari limfosit besar dan limfosit
sedang.
7
Monosit
Monosit berkembang dari sel induk (“stem cell”) di dalam sumsum tulang.
Tidaklah mungkin membedakan sel induk tersebut, yaitu monoblas, dari
mieloblas. Monoblas berkembang menjadi promonosit yang diameternya sekitar
15µm. Inti lonjong atau berlekuk dengan pola kromatin halus serta dua atau lebih
anak inti. Sitoplasma basofil dan mengandung granula azurofil halus denan
jumlah yang bervariasi dapat berubah. Sel ini berkembang menjadi monosit, yang
terdapat baik dalam sumsum tulang maupun dalam darah. Ia agak lebih kecil dari
promonosit (10-12µm), dengan anak inti yang tidak jelas. Sitoplasma
mengandung banyak sekali granula azurofil halus, yang memberikan reaksi
peroksidase positif, tidak seperti granula azurofil pada limfosit yang
memperlihatkan reaksi peroksidase negatif, monosit meninggalkan darah lalu
masuk ke jaringan; disitu jangka hidupnya sebagai makrofag mungkin 70 hari
A. Memahami dan menjelaskan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
a. Definisi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel
prekursor limfoid. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari sel limfosit B,
dan sisanya merupakan leukemia sel T. Leukemia inipaling sering tedapat pada
anak-anak, pada dewasa terdapat 20% kasus LLA.
b. Etiologi dan epidemiologi
a. Etiologi
Penyebab LLA ada orang dewasa sebagian besar tidak diketahui. Faktor
keturunan dan sindroma predisposisi genetik lebih berhubungan dengan LLA
yang terjadi pada anak-anak.
Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA
adalah:
8
1. Radiasi ionik. Orang-orang yang selamat dari ledakan bom atom
hiroshima dan nagasaki merupakan resiko relatif keseluruhan 9,1 untuk
berkembang menjadi LLA.
2. Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum
tulang. Kerusakan kromosom, dan leukemia.
3. Merokok sedikit meningkatkan resiko LLA pada usia diatas 60 tahun.
4. Obat kemoterapi
5. Infeksi virus Eipstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3.
6. Pasien yang mempunyai sindroma Down dan Wiskott Aldrich mempunyai
resiko yang meningkat untuk menjadi LLA.
b. Epidemiologi
- Insidensi LLA adalh 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia
kurang dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak
ditemukan pada laki-laki daripada perempuan.
- Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai resiko empat kali lebih
besar untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot dari pasien
LLA mempunyai resiko 20% untuk berkembang menjadi LLA.
c. Patogenesis
Patogenesis LLA adalah :
- Kelainan yang sering ditemukan pada pasien LLA adalah translokasi
kromosom 9 dan 22 atau fusi gen BCR-ABL ABL adalah nonreceptor tyrosine
protein kinase yang secara enzimatik mentransfer molekul fosfat ke substrat
protein, sehingga terjadi aktivasi jalur tansduksi sinyal yang penting dalam
regulasi proliferasi dan pertumbuhan sel.
- Translokasi kromosom 4 dan 11 atau fusi gen ALL-1AF4.
- Kelainan lain adalah -7, +8, dan karyotipe hipodiploid.
- Translokasi kromosom 10 dan14 dan karyotipe hiperdiploid.
- Delesi \, mikrodelesi, dan penyusunan kembali gen yang melibatkan p16
(INK4A) dan p16 (INK4B),
9
- Kelainan dari gen supresor\tumor Rb dan p53.
2.4 Klasifikasi
a. Klasifikasi imunologi
Precursor B-Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) 70%: common ALL
(50%), null ALL, pre-B ALL
T-ALL (25%)
B-ALL(5)
Definisi subtipe imunologi ini berdasarkan atas atau tidak adanya berbagai
antigen permukaan sel. Subtipe yang paling sering ditemukan adalah common
ALL. Null cell ALL berasal dari sel yang sangat primitif dan lebih banyak pada
dewasa. B-ALL merupakan penyakit yang jarang, dengan morfologi L3 Yang
sering berperilaku sebagai limfoma agresif.
b. Klasifikasi Morfologi the French-American-British (FAB):
L1: sel blas berukuran kecil seragam dengan sedikit sitoplasma dan
nukleoli yang tidak jelas.
L2: sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli yang jelas dan
rasio inti-sitoplasma yang rendah.
10
L3: sel blas dengan sitoplasma bervakuola dan basofilik.
Kebanyakan LLA pada dewasa mempunyai morfologi L2. Sedangkan tipe L1
sering ditemukan pada anak-anak.
2.5 Manifestasi klinis
Gejala klinis pasien LLA pada umumnya menggambarkan kegagalan sumsum
tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukimia.
Gejala-gejala dan tanda yang dapat ditemukan :
- Anemia
Pasien mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
- Anoreksia
- Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel
leukimia)
- Demam, banyak berkeringat (gejala hipermmetabolisme)
- Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis, atau sepsis.
11
Penyhebab yang paling sering adalah stafilokokus, streptokokus, dan bakteri
gram negatif usus, serta berbagai spesies jamur.
- Perdarah kulit
Timbul petechiae, atraumatic ecchymosis, perdarahan gusi, hematuria,
perdarahan saluran cerna, perdarahan otak
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Limfadenopati
- Massa di mediastinum (sering pada LLA sel T)
- Leukimia sistem saraf pusat
Timbul nyeri kepala, muntah, (gejala tekanan tinggi intrakranial), perubahan
dalam status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan
neurologik lokal.
- Keterlibatan organ lain : testis, retina, kulit, pleura, perikardium, tonsil
2.6 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk pasien LLA adalah :
- Rasa lelah, pucat --- (anemia)
- Perdarahan : petekhia, bruising, perdarahan mukosa, gusi, retina,
epistaksis -- (Trombositopenia) atau DIC ( M3)
- Demam, infeksi --- ( granulositopenia)
- Hipertrofi ginggiva ( M4 dan M5), hepatosplenomegali, limfadenopati,
infiltrasi kulit, nyeri tulang --- ( infiltrasi sel leukemia/ ekspansi tulang)
- Sindroma meningeal : nyeri kepala, mual, muntah, penglihatan
kabur/dobel ---( infitrasi pd CSF)
- Pembengkakan testis ( ALL), pembesaran mediatinum ( ALL sel T)
- Leukostasis : gangguan aliran darah akibat intravascular clumping dari
sel blast : confusion, paralisis otot mata, sesak nafas
- Peningkatan kadar asam urat : arthritis gout, batu ginjal
2.7 Pemeriksaan Penunjang
12
Pemeriksaan laboratorium
1. Darah tepi
• eritrosit menurun : anemia normositik normokrom
• leukosit dapat meningkat, normal atau menurun.
• trombosit : menurun
• sediaan apus darah tepi :
- sel blas dalam darah tepi.
- pada 10% kasus sel blas tidak ditemukan dalam darah tepi
(leukemia aleukemik)
- hiatus leukaemicus : adanya sel blas dan sel matang dan
berkurangnya stadium sel diantaranya
- anomali Pelger-Huet ( neutrofil dengan lobus 2 atau 1), hipo
atau agranular.
- Auer rod pd sitoplasma sel blas (10-40% kasus LMA)
2. Sumsum tulang
- Hiperseluler, gambaran monoton (dominan sel blast.) Hitung jenis
dihitung 500 sel (minimal 200)
- Eritropoiesis : aktivitas menurun
- Granulopoiesis :
LMA : aktivitas meningkat, blast >20% (WHO), Auer Rod + ( M1, M2, M3)
LLA : granulopoiesis menurun, limfopoiesis meningkat, blas >80%
- Megakariosit dan trombosit menurun
13
3. Pewarnaan sitokimia
Tujuan : mengidentifikasi asal sel leukemia.
POX/MPO, SBB, PAS, NSE, Acid Phosphatase, TdT (terminal
deoxynucleotidyl transferase)
Tabel 1. Pewarnaan Sitokimia pada sel blas
---------------------------------------------------------------------------------------
POX /SBB PAS NSE TdT
---------------------------------------------------------------------------------------
Mieloblas + + - - -/+
Limfoblas - + + +/ - +
Monoblas +/- +/- +++ -
Megakarioblas - +++ ++ -
Eritroblas - + - -
--------------------------------------------------------------------------------------
14
-------------------------------------------------------------------------------------
FAB MORPHOLOGY CYTOCHEMISTRY
-------------------------------------------------------------------------------------
M0 >30% myeloblast type I POX (-)
M1 >30% myeloblast type I & II POX (+) >3%
M2 >30% myeloblast, >10% granulocyte POX (++)
M3 >30% promyelocyte POX (+++)
M4 >30% blast, >20% granulocyte POX (++)
>20% promonocyte & monocyte NSE (+)
M5a >30% monoblast NSE (+)
few promonocyte & monocyte
M5b >30% monoblast NSE (++)
>20% promonocyte & monocyte
M6 >50% erythroid cells in all stages PAS (+)
>30% myeloblast POX (+)
M7 >30% megakaryoblas AcP (+)
-------------------------------------------------------------------------------------
Tipe-tipe blast
Berdasarkan jumlah granula primer (granula azurogfilik ), 3 tipe sel blas :
- tipe 1 : granula - , kromatin halus, anak inti jelas.
- tipe 2 : granula azurofilik < 20
- tipe 3 : granula azurofilik > 20 -- pada MDS
15
4. Imunofenotifik
Mengetahui asal sel leukemia dengan identifikasi petanda permukaan sel
Cluster of Differentiation (CD).
5. Sitogenetik
Analisis kromosom untuk deteksi kromosom abnormal yg berhubungan
dengan leukemia. Bermanfaat menentukan prognosis leukemia. Kelainan
sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA tertentu.
Beda limfoblas dan mieloblas
Blas LLA Blas LMA
Ukuran sel besar kecil
Kromatin inti padat halus, longgar
Rasio inti sitoplasma besar kecil
Nukleoli tidak jelas, 1-2 jelas , 2-5
Auer rod (-) (+)
Sitokimia
- PAS (+) (+) monosit
- SBB/POX (-) (+)
- NSE (-) (+)
- TdT (+) (-)
2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan :
a. Anamnesis
16
Anemia, kelemahan tubuh, berat badan menurun, anoreksia mudah sakit, sering
demam, perdarahan, nyeri tulang, nyeri sendi (Ngastiyah, 2005)
Kemudian menurut Celily, 2002 dilakukan kepemeriksaan
b. Hitung darah lengkap (CBC) anak dengan CBC kurang dari 10.000/mm3 saat
didiagnosa memiliki prognosis paling baik ; jumlah lethosit lebih dari 50.000/mm3
adalah tanda prognosis kurang baik pada anak sembarang umur.
c. Pungsi lumbal – untuk mengkaji keterlibatan SSP
d. Foto toraks – mendeteksi keterlibatan mediastinum
e. Aspirasi sumsum tulang – ditemukannya 25% sel blas memperkuat diagnosis
f. Pemindahan tulang atau survei kerangka – mengkaji keterlibatan tulang
g. Pemindahan ginjal, hati dan limpa – mengkaji infiltrasi leukemik
h. Jumlah trombosit – menunjukkan kapasitas pembekuan
Gambaran laboratorium LLA
Jenis Pemeriksaan Hasil yang ditemui
Complete blood
count
leukositosis, anemia, trombositopenia
Bone Marrow
Puncture
hiperselular dengan infiltrasi limfoblas, sel berinti
Sitokimia Sudan black negatif, mieloperoksidase negatif
Fosfatase asam positif (T-ALL), PAS positif (B-
ALL)
Imunoperoksidase peningkatan TdT (enzim nuklear yang mengatur
kembali gen reseptor sel T dan Ig
Flowcytometry precursor B: CD 10, 19, 79A, 22, cytoplasmic m-
heavy chain, TdT
T: CD1a, 2, 3, 4, 5, 7, 8, TdT
B: kappa atau lambda, CD19, 20, 22
Sitogenetika analisa gen dan kromosom dengan immunotyping
17
untuk menguraikan klon maligna
Pungsi lumbal keterlibatan SSP bila ditemukan > 5 leukosit/mL
CSF
2.9 Diagnosis banding
Limfositosis, limfadenopati, dan hepatosplenomegali yang berkaitan dengan
infeksi virus dan limfoma atau anemia aplastik
2.10Penatalaksanaan
Terapi dibagi menjadi:
a. Terapi induksi remisi
Terapi yang bertujuan mencapai remisi komplit hematologik yaitu eradikasi
sel leukemia yang dapat dideteksi secara morfologi dalam darah dan sumsum dan
kembalinya hematopoiesis normal. Program pengobatan menggunakan kombinasi
vinkristin, prednison, L-asparaginase, siklofosfamid, dan antrasiklin seperti
daunorubisin. Induksi, dimaksudkan untuk mencapai remisi dengan berbagai obat
tersebut sampai sel blas dalam sumsum kurang dari 5%.
b. Terapi intensifikasi/konsolidasi
Terapi yang bertujuan mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah
relaps dan mencegah timbulnya sel yang resisten obat. Terapi juga ini dilakukan 6
bulan kemudian. Konsilidasi juga bertujuan agar sel yang tersisa tidak cepat
memperbanyak diri lagi.
c. Profilaksis Leukemia Cerebri
Terapi yang bertujuan mencegah relaps. Pengobatannya terdiri dari kombinasi
kemoterapi intratekal (ke ruang subaraknoid), radiasi intrakranial, dan pemberian
sistemik obat yang mepunyai bioavailabilitas SSP yang tinggi seperti metotreksat
dan sitarabin dosis tinggi. Mencegah terjadinya leukimia pada susunan saraf pusat
diberikan MTX secara intratekal dan radiasi kranial.
d. Pemeliharaan jangka panjang
18
Terapi yang terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu
sekali selama 2-3 tahun. Ini terbukti meningkatkan disease – free survival pada
anak.
Lama terapi bervariasi antara 1,5-3 tahun dengan tujuan eradikasi populasi sel
leukemia. Untuk kasus berat atau berisiko tinggi untuk relaps, perlu
dipertimbangkan untuk melakukan transplantasi sumsum tulang alogenik (pada
kasus kromosom Philadelphia, hiperleukositosis, gagal mencapai remisi komplit
dalam 4 minggu).
Menurut Ngastiyah, 2005 penatalaksanaan pada pasien ALL adalah:
a. Transfusi darah, jika kadar Hb kurang dari 69%. Pada trombositopenia
yang berat dan pendarahan pasif dapat diberikan transfusi trombosit dan bila
terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin.
b. Kortosteroid (prednison, kortison, deksametason, dan sebagainya). Setelah
dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
c. Sitostatika, selain sitistatika yang lama (6-merkaptispurin atau 6 mp,
metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih paten
seperti obat lainnya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama-
sama dengan prednison. Pada pemberian obat-obatan ini sering terdapat akibat
samping berupa alopsia (botak), stomatitis, leucopenia, infeksi sekunder atau
kadidiasis. Bila jumlah leukosit kurang dari 2000 / mm3 pemberiannya harus hati-
hati.
d. Infeksi sekunder dihindarkan (lebih baik pasien dirawat di kamar yang
suci hama).
e. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah dicapai
remisi dan jumlah sel leukimia cukup rendah (105-106), imunoterapi mulai
diberikan (mengani cara pengobatan yang terbaru masih dalam perkembangan).
Terapi lain :
a. Transplantasi sumsum tulang
19
Pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk relaps dilakukan transplantasi
sumsum tulangaloregenik pada remusi komplit yang pertama. Risiko tinggi untuk
relaps yaitu :
- Kromosom Philadelphia
- Perubahan susunan gen MLL
- Hiperleukositosis
- Gagal mencapai remisi komplit dalam waktu 4 minggu
Pada LLA dewasa yang mengalami relaps setelah mencapai remisi komplit
harus menjalani transplantasi sumsum tulang alorgenik begitu remisi kedua
tercapai.
b. Transplantasi untuk B-ALL
Kebanyakan B-ALL tidak dapat diterapi dengan regimen LLA konvensional.
Karena kecepatan proliferasi sel-sel leukimianya tinggi, maka diberikan terapi
hyperfractionation dari siklofosfamid dosis tinggi dan metotreksat dosis tinggi.
Sata ini tidak ada terapi efektif untuk B-ALL yang refrakter atau relaps.
Pilihan terapi dan pengelolaan baru untuk LLA dewasa :
a. Terapi molekular : inhibisi direk aberasi molekular yang terlibat
dalam patogenesis
- Inhibitor tirosin kinase ST1571, inhibitor farnesil transferase
b. Terapi antibodi : supresi target sel blas leukimia sesuai dengan
ekspresi antigennya.
- CD19 : antiCD19
- CD20 : Rituximab
- CD52 : Campath
c. Transplantasi sumsum tulang non-mieloblasi:
Penggunaan efek graft-versus-leukimiaekstensi indikasi transplantasi
sumsum tulang pasien tua.
d. Evaluasi minimal residual disease (MRD) : evaluasi indivisual terhadap
respon terapi :
20
- Penilaian elemen terapi yaitu induksi, terapi baru, dan strafikasi
risiko (MRD = sel blas leukimia residual yang tidak dapat dideteksi dengan
pemeriksaan mikroskopis sumsum tulang. MRD diperiksa dengan metode
Polymerase Chain reaction).
e. Analisis microarray : analisis profil ekspresi gen dan seleksi gen yang
diekspresikan secara berbeda :
- Identifikasi faktor prognostik dan gen target untuk terapi baru.
2.11Prognosis
Karena onset biasanya mendadak, maka dapat disertai perkembangan dan
kematian yang cepat bila tidak diobati. 60% pasien yang diobati menjadi sembuh
dan mengalami harapan hidup yang meningkat dengan kemoterapi agresif yang
diarahkan pada sumsum tulang serta SSP.
Harapan sembuh pasien dewasa tergantung dari intensifnya terapi. Secara
umum, overall disease – free survival rate kira-kira 30%.
21
3 Memahami dan menjelaskan Leukimia Mieloblastik Akut (LMA)
3.1 Definisi
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari
sel myeloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara
cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis.
3.2 Etiologi dan epidemiologi
Etiologi
Etiologi LMA tidak diketahui. Meskipun demikian, ada beberapa faktor yang
diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA
pada populasi tertentu :
- Benzene merupakan zat leukomogenik untuk LMA.
- Radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA.
Terdapat penelitian pada orang-orang yang selamat dari serangan bom atom
Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion
radiasi tersebut mulai tampak sejak 1.5tahun sesudah pengeboman dan mencapai
puncak 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman.
- Trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter
sindrom Down. Pasien sindrom Down mempunyai risiko 10 hingga 18 kali lebih
tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7. Selain itu pasien
beberapa sindrom genetik seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga
diketahui mempunyai risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal
untuk menderita LMA.
- Pengobatan dengan kempterapi sitotoksik pada pasien tumor padat.
LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan
limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker testis.
Jenis kemoterapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan
alkalyting agent dan topoisomerase II inhobitor. LMA akibat terapi mempunyai
22
prognosis yang lebih buruk dibandingkan LMA de novo sehingga di dalam
klasifikasi leukemia versi WHO dikelompokkan tersendiri.
3.3 Epidemiologi
Di Negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh
kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada
anak (15%). Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga
masa dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara
eksponensial sejalan dengan meningkatnya usia. LMA pada orang yang berusia 30
tahun adalah 0,8%, pada orang yang berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang
yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%. Secara tidak umum tidak
didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi LMA, meskipun pernah
dilaporkan adanya insidens LMA tipa M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali besar pada ras
Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan dengan ras Kaukasia.
3.4 Patogenesis
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan
proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan
akibat terjadi akumulasiblas t di sumsum tulang. Akumulasiblast di dalam
sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada
gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow
failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, leukopenia dan
trombositopenia). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan
pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya trombositopenia akan
menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan
menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunistis dari
flora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-selblas t
yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan
berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem
23
syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.
3.5 Klasifikasi
Klasifikasi WHO Untuk Leukimia Mieloblastik Akut:
I. LMA dengan translokasi sitogenik rekuren
LMA dengan t(8;21)(q22;q22), AML 1(CBFα)/ETO
APL dengan t(15;17)(q22;q11-12) dan varian-variannya, PML/RARα
LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan inv (16)(p1 3q22) atau
t(16;16)(p13;q11), CBFβ/MHY11
LMA dengan abnormalitas 11q23 (MLL)
II. LMA dengan multilineage dysplasia
dengan sindrom myelodisplasia
tanpa sinrom myelodisplasia
III. LMA dan sindroma myelodisplastik yang berkaitan
dengan terapi akibat obat alkilasi akibat epipodofilotoksin (beberapa
merupakan kelainan limfoid) tipe lain
IV. LMA yang tidak terspesifikasi
LMA diferensiasi minimal
LMA tanpa maturasi
LMA dengan diferensiasi monositik
Leukimia monositik akut
Leukimia eritroid akut
Leukimia megakariositik akut
Leukimia basofilik akut
Panmielosis akut dengan mielofibrosis
24
3.6 Manifestasi klinis
Manifestasi yang ditemukan pada pasien LMA :
Pada Pasien LMA tidak selalu dijumpai leukositosis, hanya terjadi pada
sekitar 50%.
Sel-sel blast dalam jumlah signifikan di darah tepi akan ditemukan pada
85% kasus LMA, maka dari itu sangat penting untung memeriksa rincian jenis
sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari
kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA.
Tanda dan gejala utama:
Adanya rasa lelah.
Pendarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang
sering dijumpai di ektremitas bawah atau berupa epistaksis. Perdarahan gusi dan
retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai
dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3.
Infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang.
Infeksi ini biasanya sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah
peri rektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien
LMA dengan demam.
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100
ribu/mm3):
Sering terjadi leukostatis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang
menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostatis sangat
bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah
gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus.
Juga sering menimbulkan gangguan metabolisme berupa
hiperurisemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi
secara cepat dalam jumlah yang besar.
Selain itu juga menimbulkan gangguan metabolisme lain seperti
hipoglikemia. Hipoglikemia terjadi karena konsumsi gula in vitro dari sampel
darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang
25
asimptomatik karena hipoglikemia tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in
vivo pada tubuh pasien.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi
tergantung organ yang di infiltrasi:
Infiltrasi sel-sel blast di kulit, akan menyebabkan leukimia kutis yaitu
berupa tonjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit.
Infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak, akan menyebabkan nodul di bawah
kulit (kloroma).
Infiltrasi sel-sel di dalam tulang, akan menimbulkan nyeri tulang yang
spontan atau dengan stimulasi ringan.
Infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi, misalnya pembengkakan gusi.
Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke
daerah menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi
dari cairan serebro spinal yang diambil melalui prosedur punsi lumbal.
3.7 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien LMA didapatkan :
- konjunctiva palpebra inferior pucat
- Rasa lelah pada pasien
- Terjadi perdarahan
- Infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang .
26
3.8 Pemeriksaan Penunjang
gambaran sel limfoblas
- Pemeriksaan yang terbaru : immunotyhping dan analisa sitogenetik.
- Pengecatan sitokimia
Sudan Black B (SBB) dan mieloperoksidase (MPO). Mieloperoksidase (MPO)
adalah enzim sitoplasmik ditemukan pada granula primer dari precursor
granulostik, yang dapat dideteksi pada sel blas LMA. Kedua pengecatan sitokimia
tersebut tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA
tipe,M1,M2,M3.M4 dan M6.
- Pemeriksaan penentuan immunofenotip adalah suatu teknik pengecatan
modern yang dikembangkan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi.
- Pemeriksaan sitogenetik
Beberapa kelainan sitogenetika dapat ditemukan pada LMA. Misalnya
kromosom Philadelphia, translokasi kromosom 9 dan 22 (q34;q11) yang khas
untuk LMK tapi juga ditemukan pada <5% LMA dewasa.
3.9 Diagnosis
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik,
morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu
berkembang 2 teknik pemeriksaan terbaru: immunoserotyping dan analisis
sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia,
gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis, Inggris pada tahun 1976
menetapkan klasifikasi LMA terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai M7). Klasifikasi
27
ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi
FAB saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang
penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SBB) dan mieloperoksidase
(MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif pada
pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4 dan M6.
Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu teknik pengecatan modern
yang dikembangkan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Diketahui bahwa
permukaan membran sel-sel darah mengekspresikan antigen yang berbeda-beda
tergantung dari jenis dan tingkat diferensiasi sel-sel darah tersebut. Sebagai
contoh sel limfosit mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel granulosit
maupun sel trombosit dan eritrosit. Demikian pula limfosit B mempunyai ekspresi
antigen yang berbeda dengan limfosit T. Selain itu sel-sel blast mengekspresikan
antigen yang berbeda dengan sel-sel leukosit yang lebih matur seperti promielosit
dan mielosit. Bila antigen yang terdapat permukaan membran sel tersebut dapat
diidentifikasi dengan antibodi yang spesifik, maka akan dapat dilakukan
identifikasi jenis sel dan tingkat maturitasnya yang lebih akurat. ldentifikasi sel
dengan teknik immunophenotyping biasanyadiberi label CD (cluster of
differentiation). Saat ini terdapat lebih dari 200 CD yang menjadi penanda
berbagai jenis dan tingkat maturitas sel-sel darah. Selain berfungsi sebagai alat
diagnosis, teknik immunophenotyping juga mempunyai nilai prognostik dan
terapi. Sebagai contoh, pasien LMA yang mengekspresikan CD7 mempunyai
prognosis yang jelek sedang pasien yang mengekspresikan CD2 mempunyai
prognosis yang lebih baik. Saat ini juga sedang dikembangkan terapi antibodi
yang secara spesifik mempunyai target terapi CD33, gemtuzumab osagamicin,
yang diindikasikan bagi pasien LMA usia lanjut yang mengekspresikan CD33.
Analisis sitogenetik pada keganasan hematologi telah dimulai sejak awal 1960
dan berkembang lebih pesat sejak awal 1980an. Terdapat 2 kelainan dasar
sitogenik pada LMA: kelainan yang menyebabkan hilang atau bertambahnya
materi kromosom dan kelainan menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa
menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom. Kelainan pertama
28
dapat berupa kehilangan sebagian materi kromosom (delesi/del) atau hilangnya
satu materi kromosom secara utuh (monosomi). Penambahan materi kromosom
juga dapat bersifat sebagian (duplikasi/d) atau bertambahnya satu atau lebih
materi kromosom secara utuh (trisomi, tetrasomi). Kelainan kedua berupa
perubahan kromosom seimbang dalam bentuk perubahan resiprokal antara dua
atau lebih kromosom (translokasi/t) atau perubahan pada berbagai bagian dalam
satu kromosom (inversi/inv).
Kelainan sitogenetik t (8,21), t (15,17), inv (16)/t dan translokasi 11q23
merupakan kelainan sitogenetik yang dijumpai pada 21%-28% pasien LMA
dewasa. Kelainan sitogenetik lain yang dijumpai dalam jumlah cukup signifika
pada pasien LMA adalah trisonomi, delesi, dan kelainan karyotype yang kompleks
(mempunyai kelainan sitogenetik 3 atau lebih). Kelainan sitogenetik pada pasien
LMA mempunyai nilai prognostik. Pasien dengan kelainan sitogenetik: t (15,17),
inv (16), t (16,16) atau del (16q) dan t (8,21) yang tidak disertai del (9Q) atau
kelainan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis yang baik (favourable);
pasien dengan kelainan sitogenetik +8,-Y, +6, del (12q) atau karyotype yang
normal mempunyai prognosis yang sedang (intermediate), sedangkan pasien
dengan kelainan sitogenetik-5 atau del (5q), -7 atau del (7q), inv (3q), del (9q), t
(9,22) dan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis yang buruk
(unfavourable). Profil kelainan sitogenetik pada pasien LMA juga mempunyai
implikasi terhadap terapi sebab dewasa ini, meskipun masih kontroversial, telah
dikembangkan strategi terapi pada pasien LMA berdasarkan profil sitogenetik
pasien.
3.10Penatalaksanaan
- Tujuan pengobatan pada pasien LMA adalah untuk mengeradikasi sel¬-sel
klonal leukemik dan untuk memulihkan hematopoesis normal di dalam sumsum
tulang. Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai
remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan karena alasan adanya
29
sitopenia, karena dosis yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping
berat berupa supresi sumsum tulang tanpa punya efek yang cukup untuk
mengeradikasi sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan fungsi sumsum
tulang.
- Untuk mencapai eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, diperlukan
strategi pengobatan yang baik. Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA
terdiri dari dua fase: fase induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi
adalah regimen kemoterapi yang intensif bertujuan untuk mengeradikasikan sel-
sel leukemik secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit. Istilah remisi
komplit digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali
normal serta pulihnya populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainya jumlah
sel-sel blast <5%. Perlu ditekankan disini, meskipun terjadi remisi komplit tidak
berarti sel-sel klonal leukemik telah tereradikasi seluruhnya, karena sel-sel
leukemik akan terdeteksi secara klinik bila jumlahnya lebih dari log sel. Jadi
pada kasus remisi komplit, masih tersisa sejumlah signifikan sel-sel leukemik di
dalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini
berpotensi menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh
karena itu, meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu ditindak lanjuti
dengan program pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi.
Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan
menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis
yang digunakan pada fase induksi.
- Seperti yang sudah disebutkan diatas, tujuan utama pengobatan
LMA adalah untuk mengeradikasi sel-sel leukemik di dalam sumsum tulang.
Tindakan ini juga akan mengeradikasi sisa-sisa sel hematopoiesis normal yang
ada didalam sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan mengalami periode
aplasia pasca terapi induksi. Pada saat tersebut pasien sangat rentan terhadap
infeksi dan perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi ini dapat
30
berakibat fatal. Oleh karena itu terapi suportif berupa penggunaan antibiotika dan
transfusi komponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat
penting untuk menunjang keberhasilan terapi LMA.
Terapi LMA dibedakan menjadi 2 yaitu terapi untuk LMA pada umumnya dan
terapi khusus untuk leukemia promielositik akut (LPA).
a. Terapi LMA pada Umumnya
Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan
daunorubisin dengan protokol sitarabin 100mg/m2 diberikan secara infus
kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari.
Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan
daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedang bila diberikan sebagai
kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila terdapat
residual disease pada hari ke-28 perlu dipertimbangkan adanya gagal terapi primer
dan perlu dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.
Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrasiklin merupakan
kontra indikasi terutama bila terdapat riwayat miokard infark dan fraksi ejeksi
kurang dari 50%. Pilihan terapi pada kondisi ini adalahhigh dose cytarabine (ara-
C)/HDAC. Regimen terapi yang dipakai pada HDAC adalah sitarabin 2-3 g/m2
infus iv selama 1-2 jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau sitarabin 2-3 g/m2
selama 2 jam setiap 12 jam pada hari 1,3 dan 5.
Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi,
transplantasi sel stem hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantion/HSCT)
otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi pada pasca remisi ditentukan
berdasarkan usia dan faktor prognostik, terutama profil sitogenetik. Sebagian
besar pasien usia muda memberikan respons yang lebih baik dibanding pasien
usia tua.
31
Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan/atau HSCT
untuk mencapai remisi komplit kedua atau hanya diberikan perawatan suportif.
Pencapaian remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi karakter sitegenetik,
namun lebih dipengaruhi oleh durasi remisi komplit pertama, usia, dan ada
tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi komplit kedua umumnya
kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-free survival kurang dari 10
bulan. Survival meningkat bila sebelumnya pasien telah menjalani HSCT
alogenik, namun donor untuk prosedur tersebut umumnya terbatas.
b. Terapi Leukemia Promielositik Akut
Insidensi LPA sebesar 10-15% pasien LMA. Penyakit ini ditandai dengan
kelainan sitogenetik berupa t (15,17) yang dijumpai pada sekitar 90% kasus.
Kelainan sitogenetik t (15;17) akan menyebabkan fusi gen PML dan RAR,
menjadi gen PML-RAR. Fusi gen PML-RAR mengakbatkan blokade maturitas
pada seri promielosit sehingga terjadi LPA. Kini dikembangkan suatu obat yang
disebut all-trans retinoic acid (ATRA) yang menjadikan fusi gen PML-RAR
sebagai target aksi kerjanya. Pengobatan LPA dengan ATRA menghasilkan angka
kesembuhan lebih dari 70%.
LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya koagulopati yang dalam hal ini
diakibatkan oleh kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien
dengan manifestasi koagulopati yang dalam hal ini diakibatkan oleh kombinasi
antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati
harus segera mendapat terapi induksi (ATRA). Pada pasien yang mengalami
perdarahan yang tidak terkendali (setelah terapi transfusi) dapat diberikan e-
aminocaproic acid (EACA) dan trananexamid acid.
Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus kemoterapi berbasis
antrasiklin. Antrasiklin dapat menginduksi remisi pada 60-90% pasien bila
digunakan sebagai obat tunggal. Sel leukemik pasien LPA sensitif terhadap
antarsiklin karena rendahnya ekspresi Pgp dan petanda resistensi lainnya pada sel-
32
sel LPA dibanding dengan subtipe LMA lainnya. ATRA adalah suatu derivatif
vitamin A yang mampu menginduksi remisi klinis dengan mengaktifkan maturasi
sel tanpa menyebabkan hipoplasia sumsum tulang. Sebagai obat tunggal ATRA
menginduksi remisi pada 72-81% pasien. Umumnya ATRA mulai diberikan
dalam 2-3 hari pertama pada pasien dengan perdarahan berat untuk mengatasi
koagulopati pada LPA sebelum mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini
akan menyebabkan angka lekosit menjadi tidak terlalu tinggi lagi. Selain itu, cara
ini menurunkan insidens sindrom asam retinoid (retinoid acid syndrome/RAS).
Terapi induksi menggunakan ATRA 45mg/m2/hari per oral yang terbagi dalam
2 dosis setiap hari sampai remisi komplit plus derivat antrasiklin, daunorubisin
50-60 mg/m2/hari selama 3 hari atau idarubisin 12mg/m2/hari selama 4 hari.
Terapi induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidasi dengan kemoterapi berbasis
antarsiklin dan terapi pemeliharaan dengan menggunakan ATRA.
RAS dapat terjadi pada 10-15% pasien dan umumnya terjadi 7-14 hari setelah
terapi ATRA. RAS jarang terjadi selama penyembuhan akibat aplasia setelah
kemoterapi dan selama terapi pemeliharaan. RAS adalah suatu sindrom kebocoran
kapiler dengan manifestasi demam, distres respirasi, dan munculnya infiltrat pada
paru. Dapat juga terjadi peningkatan berat badan, efusi pleura atau efusi perikard,
dan gagal ginjal. Lekositosis berat merupakan faktor prognostik walaupun PAS
sering juga terjadi pada lekopenia. Bila angka lekosit lebih dari 5000-10000/uL,
ATRA dan kemoterapi diberikan bersama-sama pada saat awal terapi. Bila saat
monoterapi ATRA terjadi lekositosis lebih dari 10000/uL induksi kemoterapi
harus segera dimulai. Tanpa melihat angka lekosit dan kemungkinan sepsis
netropenia, bila terdapat sesak dan infiltrat paru, dengan atau tanpa demam, terapi
deksametason harus segera diberikan (10mg iv 2 kali sehari). Terapi ATRA dapat
dihentikan sampai RAS menunjukkan perbaikan.
Sekitar 20%-30% pasien LPA yang mencapai remisi komplit dengan terapi
berbasis ATRA akan mengalami relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga
33
resisten terhadap terapi ATRA yang berikutnya. Arsenik, suatu racun yang sudah
digunakan sebagai obat pada pengobatan tradisional Cina sejak beberapa abat
yang lalu, diketahui mempunyai efek pengobatan yang positif pada pasien ATRA
yang relaps atau resisten terhadap terapi ATRA. Salah satu komponen arsen yang
sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA yang relaps atau resisten
terhadap ATRA adalah arsenic trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA, ATO
mempunyai mekanisme kerja; memacu degradasi fusi protein PML-RAR
(khususnya protein PML, menginduksi apoptosis, memacu diferensiasi sel-sel
leukemik serta menghambat apoptosis. ATO umumnya diberikan dengan dosis
0,15 mg per KG BB melalui infus 3 jam hingga tercapai remisi komplit dengan
maksimal pemberian 50 hari. Pada pasien LPA relaps, terapi ATO menghasilkan
respon sebesar 70% hingga 100%.
34
DAFTAR PUSTAKA
Fawcett, Don W., (2002). Buku Ajar Histologi edisi 12, EGC: Jakarta. Bab Darah:
97-118.
Ganong, W. F., (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 22, EGC: Jakarta
Bab Cairan Tubuh yang Beredar: 535-565.
Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson, (2006). Patofisiologis Volume 1 ed. 6, EGC:
Jakarta. Bab Gangguan Sel Darah putih dan Sel Plasma: 2268-291.
Sudoyo, Aru W., Bambang Setyohadi, dkk., (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 2 ed. 4, Interna Publishing: Jakarta. Bab Leukimia Mieloblastik Akut
169: 707-709.
Sudoyo, Aru W., Bambang Setyohadi, dkk., (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 2 ed. 5, Interna Publishing: Jakarta. Bab Leukimia Mieloblastik
Akut 196: 1234-1240 dan Bab Leukimia Limfoblastik Akut 201: 1266-1275.
http://www.exomedindonesia.com/referensi-kedokteran/2010/10/13/leukemia-
limfoblastik-akut/
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-
xjkr243.htm
http://www.scribd.com/doc/37865227/Leukemia-Mieloblastik-Akut-Tinjauan-
Pustaka
http://biozeronine.blogspot.com/
35