lla

53
Skenario DEMAM BERKEPANJANGAN Maman, 25 tahun, mengeluh sering demam dalam 6 bulan terakhir. Diikuti rasa mual dan perut kembung. 2 bulan belakangan perutnya semakin membesar. Kemudian beliau segera memeriksakan diri ke poliklinik YARSI. Pada anamnesa dijumpai riwayat pekerjaan bertani serta sering menggunakan pestisida tanpa memakai masker dan sarung tangan. Pemeriksaan fisik didapatkan : - 120/80 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi pernafasan 28x/menit, suhu tubuh 38,8 0 C, TB=170 cm, BB=50 kg, konjungtiva palpebra inferior pucat. - Pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal. - Pemeriksaan abdomen dijumpai lien yang membesar Haeckett II-Schuffner 4. - Hasil pemeriksaan darah rutin dijumpai Hb 10 gr/dL, Leukosit 45.000/uL, Ht 32%, sediaan hapus darah tepi ditemukan : blast 80%, promielosit 2%, mielosit 2%, netrofil batang 5%, netrofil segmen 6%, eosinofil 0%, basofil 0%, limfosit 5%, monosit 5%. 1

Upload: keyko-septiyanti

Post on 21-Dec-2015

34 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

leukemia limfoblastik akut

TRANSCRIPT

Page 1: LLA

Skenario

DEMAM BERKEPANJANGAN

Maman, 25 tahun, mengeluh sering demam dalam 6 bulan terakhir.

Diikuti rasa mual dan perut kembung. 2 bulan belakangan perutnya semakin

membesar. Kemudian beliau segera memeriksakan diri ke poliklinik YARSI. Pada

anamnesa dijumpai riwayat pekerjaan bertani serta sering menggunakan pestisida

tanpa memakai masker dan sarung tangan.

Pemeriksaan fisik didapatkan :

- 120/80 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi pernafasan

28x/menit, suhu tubuh 38,80C, TB=170 cm, BB=50 kg, konjungtiva

palpebra inferior pucat.

- Pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal.

- Pemeriksaan abdomen dijumpai lien yang membesar Haeckett II-

Schuffner 4.

- Hasil pemeriksaan darah rutin dijumpai Hb 10 gr/dL, Leukosit

45.000/uL, Ht 32%, sediaan hapus darah tepi ditemukan : blast 80%,

promielosit 2%, mielosit 2%, netrofil batang 5%, netrofil segmen 6%,

eosinofil 0%, basofil 0%, limfosit 5%, monosit 5%.

Dokter mengatakan bahwa Maman mengalami leukimia dan disarankan untuk

pemeriksaan lanjutan Sitokimia, Sitogenetika/ Analisa Kromosom.

1

Page 2: LLA

Step 1

1. Memahami dan menjelaskan leukopoeisis

1.1 Mielopoiesis

1.2 Limfopoiesis

2. Memahami dan menjelaskan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

2.1 Definisi

2.2 Etiologi dan epidemiologi

2.3 Patogenesis

2.4 Klasifikasi

2.5 Manifestasi klinis

2.6 Pemeriksaan Fisik

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.8 Diagnosis

2.9 Penatalaksanaan

2.10 Prognosis

3. Memahami dan menjelaskan Leukimia Mieloblastik Akut (LMA)

3.1 Definisi

3.2 Etiologi dan epidemiologi

3.3 Patogenesis

3.4 Klasifikasi

3.5 Manifestasi klinis

3.6 Pemeriksaan Fisik

3.7 Pemeriksaan Penunjang

3.8 Diagnosis

3.9 Penatalaksanaan

3.10Prognosis

2

Page 3: LLA

Step 2

Belajar mandiri

3

Page 4: LLA

Step 3

1. Memahami dan menjelaskan leukopoeisis

1.1 Mielopoiesis

Granulosit

Tahapan perkembangan granulosit sesuai dengan urutan diferensiasi

hemositoblas, yaitu mieloblas, promielosit, mielosit, metamielosit, dan leukosit

granular. Mielosit-mielosit ketiga jenis (neutrofil, eosinofil, dan basofil)

mengandung granula spesifik yang khas dan diferensiasi lebih lanjut berhubungan

dengan pengurangan besarnya yang progresif, dan makin gelap dan bertambahnya

segmen inti, dan pengumpulan granula spesifik lebih lanjut.

4

Page 5: LLA

Mieloblas

Mieloblas adalah sel yang paling muda yang dapat dikenali dari seri granulosit

dan diperkirakan berasal dari hemositoblas dengan perantaraan sel sejenis

menengah. Besarnya berbeda-beda dengan bentuk peralihan diameter berkisar

antara 10-15µm. Intinya yang bulat dan besar memperlihatkan kromatin halus

serta satu atau dua anak inti. Mikrograf elektron menunjukkan bahwa sitoplasma

yang sedikit dan agak lebih basofil daripada hemositoblas, mengandung banyak

mitokondria dan ribosom bebas tetapi sedikit unsur retikulum endoplasma

granular.

Promielosit

Sel ini agak lebih besar dari mieloblas. Intinya bulat atau lonjong dengan

heterokromatin perifer padat serta anak inti yang tak jelas. Pada umumnya

sitoplasma basofil tetapi dapat memperlihatkan daerah yang asidofil. Ciri-ciri sel

tersebut adalah adanya granula azurofil padat yang tersebar. Granula primer atau

granula non spesifik ini dianggap merupakan suatu jenis khusus lisosom primer.

Mielosit

Promielosit berpoliferasi dan berdiferensiasi menjadi mielosit. Pada proses

diferensiasi perubahan yang penting adalah timbulnya granula spesifik dengan

ukuran, bentuk, dan sifat terhadap pewarnaan yang memungkinkan seseorang

mengenalnya sebagai neutrofil, eosinofil, atau basofil. Karena granula azurofil

primer hanya dihasilkan dalam tahap promielosit, jumlah dalam masing-masing

selnya berkurang dengan pembelahan setiap mielosit. Mielosit-mielosit juga

memperlihatkan pengurangan ukuran, diameter berkisar 10µm dan berkurangnya

sifat basofil sitoplasma. Di sini kandungan heterikromatin inti meningkat dan

pada mielosit akhir, inti mengadakan cekungan dan mulai berbentuk seperti tapal

kuda.

5

Page 6: LLA

Metamielosit

Setelah mielosit membelah berulang-ulang sel menjadi lebih kecil kemudian

berhenti membelah. Sel-sel hasil akhir pembelahan adalah metamielosit.

Metamielosit adalah bentuk muda leukosit granular yang mengandung granula

khas. Inti pada mulanya berbentuk tapal kuda, kemudian lambat laun terbentuk

cekungan. Pada akhir tahap ini, metamielosit dikenal sebagai sel batang. Karena

sel-sel bertambah tua inti berubah, membentuk lobus khusus dan jumlah lobus

bervariasi dari 3 sampai 5. Metamielosit basofil berbeda dengan dua jenis

metamielosit yang lain dalam hal intinya tidak berdiferensiasi ke dalam lobus

yang jelas. Jadi sukar membedakan metamielosit basofil dengan leukosit basofil

yang dewasa. Sel dewasa (granulosit bersegmen) masuk sinusoid-sinusoid dan

mencapai peredaran darah.

Neutrofil

Neutrofil mempunyai ciri-ciri seperti nukleusnya terdiri dari 3 sampai 5 lobus,

sitoplasmanya mengandung granula yang halus ukurannya berkisar antara 9

sampai 12 mikron dan jumlahnya paling banyak diantara sesama seldarah putih

yaitu antara 65 sampai 75%dari seluruh sel darah putih.

Eosinofil

Eosinofil memiliki ciri-ciri sebagai berikut : nukleusnya terdiri dari 2 lobus,

sitoplasmanya mengandung granula yang besar dan kasar, ukurannya berkisar

antara 9 sampai 12 mikron dan jumlahnya antara 1 sampai 3% dari seluruh sel

darah putih.

Basofil

Basofil merupakan sel darah putih yang paling sedikit jumlahnya yaitusekitar 0

sampai 1% dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : nukleusnya relativ

besar,tetapi batas-batas lobusnya tidak jelas dan ukurannya rata-rata 10 mikron.

6

Page 7: LLA

1.2 Limfopoiesis

Limfosit

Sel-sel prekursor limfoit adalah limfoblas, yang merupakan sel berukuran

relatif besar, berbentuk bulat. Intinya besar dan mengandung kromatin yang relatif

dengan anak inti mencolok. Sitoplasmanya homogen dan basofil. Limfosit-

limfosit muda ini menyerupai hemositoblas sumsum tulang dan menurut teori

perkembangan unitaris, adalah sel yang sama tetapi pada tempat yang berbeda.

(Berlawanan dengan teori dualistik yang menyatakan bahwa limfoblas agak

berbeda dari hemositoblas, dan hanya dapat berkembang menjadi unsur limfoid).

Ketika limfoblas mengalami diferensiasi, kromatin intinya menjadi lebih tebal dan

padat dan ganula azurofil terlihat dalam sitoplasma. Ukuran selnya berkurang dan

diberi nama prolimfosit oleh beberapa penulis. Sel-sel tersebut langsung menjadi

limfosit yang beredar.

Pada mamalia pascanatal, kebanyakan limfosit berasal dari proliferasi limfosit

yang ada dalam jaringan limfoid, terutama di dalam limfonodus dan limpa. Hanya

bila produksi demikian tidak dapat mencukupi kebutuhan limfosit, maka agaknya

terjadi diferensiasi nyata dari sel induk yang akan memasuki peredaran dari

sumsum tulang.

Perkembangan limfosit kecil, terutama di dalam limfonodus dan limpa, umumnya

menggambarkan reaksi tehadap penyusupan oleh protein asing. Suatu reaksi lebih

lanjut terhadap rangsangan yang demikian itu adalah pembentukan sel plasma,

yang melakukan sintesis antibodi. Sel-sel ini mungkin berasal langsung dari

hemositoblas (limfoblas) atau dari limfosit yang berkompeten imunologi. Pada

proses tersebut terakhir, limfosit-limfosit kecil (Sel B) melalui tahap-tahap

peralihan (intermediate) yang tak dapat dibedakan dari limfosit besar dan limfosit

sedang.

7

Page 8: LLA

Monosit

Monosit berkembang dari sel induk (“stem cell”) di dalam sumsum tulang.

Tidaklah mungkin membedakan sel induk tersebut, yaitu monoblas, dari

mieloblas. Monoblas berkembang menjadi promonosit yang diameternya sekitar

15µm. Inti lonjong atau berlekuk dengan pola kromatin halus serta dua atau lebih

anak inti. Sitoplasma basofil dan mengandung granula azurofil halus denan

jumlah yang bervariasi dapat berubah. Sel ini berkembang menjadi monosit, yang

terdapat baik dalam sumsum tulang maupun dalam darah. Ia agak lebih kecil dari

promonosit (10-12µm), dengan anak inti yang tidak jelas. Sitoplasma

mengandung banyak sekali granula azurofil halus, yang memberikan reaksi

peroksidase positif, tidak seperti granula azurofil pada limfosit yang

memperlihatkan reaksi peroksidase negatif, monosit meninggalkan darah lalu

masuk ke jaringan; disitu jangka hidupnya sebagai makrofag mungkin 70 hari

A. Memahami dan menjelaskan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

a. Definisi

Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel

prekursor limfoid. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari sel limfosit B,

dan sisanya merupakan leukemia sel T. Leukemia inipaling sering tedapat pada

anak-anak, pada dewasa terdapat 20% kasus LLA.

b. Etiologi dan epidemiologi

a. Etiologi

Penyebab LLA ada orang dewasa sebagian besar tidak diketahui. Faktor

keturunan dan sindroma predisposisi genetik lebih berhubungan dengan LLA

yang terjadi pada anak-anak.

Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA

adalah:

8

Page 9: LLA

1. Radiasi ionik. Orang-orang yang selamat dari ledakan bom atom

hiroshima dan nagasaki merupakan resiko relatif keseluruhan 9,1 untuk

berkembang menjadi LLA.

2. Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum

tulang. Kerusakan kromosom, dan leukemia.

3. Merokok sedikit meningkatkan resiko LLA pada usia diatas 60 tahun.

4. Obat kemoterapi

5. Infeksi virus Eipstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3.

6. Pasien yang mempunyai sindroma Down dan Wiskott Aldrich mempunyai

resiko yang meningkat untuk menjadi LLA.

b. Epidemiologi

- Insidensi LLA adalh 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia

kurang dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak

ditemukan pada laki-laki daripada perempuan.

- Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai resiko empat kali lebih

besar untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot dari pasien

LLA mempunyai resiko 20% untuk berkembang menjadi LLA.

c. Patogenesis

Patogenesis LLA adalah :

- Kelainan yang sering ditemukan pada pasien LLA adalah translokasi

kromosom 9 dan 22 atau fusi gen BCR-ABL ABL adalah nonreceptor tyrosine

protein kinase yang secara enzimatik mentransfer molekul fosfat ke substrat

protein, sehingga terjadi aktivasi jalur tansduksi sinyal yang penting dalam

regulasi proliferasi dan pertumbuhan sel.

- Translokasi kromosom 4 dan 11 atau fusi gen ALL-1AF4.

- Kelainan lain adalah -7, +8, dan karyotipe hipodiploid.

- Translokasi kromosom 10 dan14 dan karyotipe hiperdiploid.

- Delesi \, mikrodelesi, dan penyusunan kembali gen yang melibatkan p16

(INK4A) dan p16 (INK4B),

9

Page 10: LLA

- Kelainan dari gen supresor\tumor Rb dan p53.

2.4 Klasifikasi

a. Klasifikasi imunologi

Precursor B-Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) 70%: common ALL

(50%), null ALL, pre-B ALL

T-ALL (25%)

B-ALL(5)

Definisi subtipe imunologi ini berdasarkan atas atau tidak adanya berbagai

antigen permukaan sel. Subtipe yang paling sering ditemukan adalah common

ALL. Null cell ALL berasal dari sel yang sangat primitif dan lebih banyak pada

dewasa. B-ALL merupakan penyakit yang jarang, dengan morfologi L3 Yang

sering berperilaku sebagai limfoma agresif.

b. Klasifikasi Morfologi the French-American-British (FAB):

L1: sel blas berukuran kecil seragam dengan sedikit sitoplasma dan

nukleoli yang tidak jelas.

L2: sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli yang jelas dan

rasio inti-sitoplasma yang rendah.

10

Page 11: LLA

L3: sel blas dengan sitoplasma bervakuola dan basofilik.

Kebanyakan LLA pada dewasa mempunyai morfologi L2. Sedangkan tipe L1

sering ditemukan pada anak-anak.

2.5 Manifestasi klinis

Gejala klinis pasien LLA pada umumnya menggambarkan kegagalan sumsum

tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukimia.

Gejala-gejala dan tanda yang dapat ditemukan :

- Anemia

Pasien mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada

- Anoreksia

- Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel

leukimia)

- Demam, banyak berkeringat (gejala hipermmetabolisme)

- Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis, atau sepsis.

11

Page 12: LLA

Penyhebab yang paling sering adalah stafilokokus, streptokokus, dan bakteri

gram negatif usus, serta berbagai spesies jamur.

- Perdarah kulit

Timbul petechiae, atraumatic ecchymosis, perdarahan gusi, hematuria,

perdarahan saluran cerna, perdarahan otak

- Hepatomegali

- Splenomegali

- Limfadenopati

- Massa di mediastinum (sering pada LLA sel T)

- Leukimia sistem saraf pusat

Timbul nyeri kepala, muntah, (gejala tekanan tinggi intrakranial), perubahan

dalam status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan

neurologik lokal.

- Keterlibatan organ lain : testis, retina, kulit, pleura, perikardium, tonsil

2.6 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik untuk pasien LLA adalah :

- Rasa lelah, pucat --- (anemia)

- Perdarahan : petekhia, bruising, perdarahan mukosa, gusi, retina,

epistaksis -- (Trombositopenia) atau DIC ( M3)

- Demam, infeksi --- ( granulositopenia)

- Hipertrofi ginggiva ( M4 dan M5), hepatosplenomegali, limfadenopati,

infiltrasi kulit, nyeri tulang --- ( infiltrasi sel leukemia/ ekspansi tulang)

- Sindroma meningeal : nyeri kepala, mual, muntah, penglihatan

kabur/dobel ---( infitrasi pd CSF)

- Pembengkakan testis ( ALL), pembesaran mediatinum ( ALL sel T)

- Leukostasis : gangguan aliran darah akibat intravascular clumping dari

sel blast : confusion, paralisis otot mata, sesak nafas

- Peningkatan kadar asam urat : arthritis gout, batu ginjal

2.7 Pemeriksaan Penunjang

12

Page 13: LLA

Pemeriksaan laboratorium

1. Darah tepi

• eritrosit menurun : anemia normositik normokrom

• leukosit dapat meningkat, normal atau menurun.

• trombosit : menurun

• sediaan apus darah tepi :

- sel blas dalam darah tepi.

- pada 10% kasus sel blas tidak ditemukan dalam darah tepi

(leukemia aleukemik)

- hiatus leukaemicus : adanya sel blas dan sel matang dan

berkurangnya stadium sel diantaranya

- anomali Pelger-Huet ( neutrofil dengan lobus 2 atau 1), hipo

atau agranular.

- Auer rod pd sitoplasma sel blas (10-40% kasus LMA)

2. Sumsum tulang

- Hiperseluler, gambaran monoton (dominan sel blast.) Hitung jenis

dihitung 500 sel (minimal 200)

- Eritropoiesis : aktivitas menurun

- Granulopoiesis :

LMA : aktivitas meningkat, blast >20% (WHO), Auer Rod + ( M1, M2, M3)

LLA : granulopoiesis menurun, limfopoiesis meningkat, blas >80%

- Megakariosit dan trombosit menurun

13

Page 14: LLA

3. Pewarnaan sitokimia

Tujuan : mengidentifikasi asal sel leukemia.

POX/MPO, SBB, PAS, NSE, Acid Phosphatase, TdT (terminal

deoxynucleotidyl transferase)

Tabel 1. Pewarnaan Sitokimia pada sel blas

---------------------------------------------------------------------------------------

POX /SBB PAS NSE TdT

---------------------------------------------------------------------------------------

Mieloblas + + - - -/+

Limfoblas - + + +/ - +

Monoblas +/- +/- +++ -

Megakarioblas - +++ ++ -

Eritroblas - + - -

--------------------------------------------------------------------------------------

 

14

Page 15: LLA

-------------------------------------------------------------------------------------

FAB MORPHOLOGY CYTOCHEMISTRY

-------------------------------------------------------------------------------------

M0 >30% myeloblast type I POX (-)

M1 >30% myeloblast type I & II POX (+) >3%

M2 >30% myeloblast, >10% granulocyte POX (++)

M3 >30% promyelocyte POX (+++)

M4 >30% blast, >20% granulocyte POX (++)

>20% promonocyte & monocyte NSE (+)

M5a >30% monoblast NSE (+)

few promonocyte & monocyte

M5b >30% monoblast NSE (++)

>20% promonocyte & monocyte

M6 >50% erythroid cells in all stages PAS (+)

>30% myeloblast POX (+)

M7 >30% megakaryoblas AcP (+)

-------------------------------------------------------------------------------------

 Tipe-tipe blast

Berdasarkan jumlah granula primer (granula azurogfilik ), 3 tipe sel blas :

- tipe 1 : granula - , kromatin halus, anak inti jelas.

- tipe 2 : granula azurofilik < 20

- tipe 3 : granula azurofilik > 20 -- pada MDS

15

Page 16: LLA

4. Imunofenotifik

Mengetahui asal sel leukemia dengan identifikasi petanda permukaan sel

Cluster of Differentiation (CD).

5. Sitogenetik

Analisis kromosom untuk deteksi kromosom abnormal yg berhubungan

dengan leukemia. Bermanfaat menentukan prognosis leukemia. Kelainan

sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA tertentu.

Beda limfoblas dan mieloblas

Blas LLA Blas LMA

Ukuran sel besar kecil

Kromatin inti padat halus, longgar

Rasio inti sitoplasma besar kecil

Nukleoli tidak jelas, 1-2 jelas , 2-5

Auer rod (-) (+)

Sitokimia

- PAS (+) (+) monosit

- SBB/POX (-) (+)

- NSE (-) (+)

  - TdT (+) (-)

2.8 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan :

a. Anamnesis

16

Page 17: LLA

Anemia, kelemahan tubuh, berat badan menurun, anoreksia mudah sakit, sering

demam, perdarahan, nyeri tulang, nyeri sendi (Ngastiyah, 2005)

Kemudian menurut Celily, 2002 dilakukan kepemeriksaan

b. Hitung darah lengkap (CBC) anak dengan CBC kurang dari 10.000/mm3 saat

didiagnosa memiliki prognosis paling baik ; jumlah lethosit lebih dari 50.000/mm3

adalah tanda prognosis kurang baik pada anak sembarang umur.

c. Pungsi lumbal – untuk mengkaji keterlibatan SSP

d. Foto toraks – mendeteksi keterlibatan mediastinum

e. Aspirasi sumsum tulang – ditemukannya 25% sel blas memperkuat diagnosis

f. Pemindahan tulang atau survei kerangka – mengkaji keterlibatan tulang

g. Pemindahan ginjal, hati dan limpa – mengkaji infiltrasi leukemik

h. Jumlah trombosit – menunjukkan kapasitas pembekuan

Gambaran laboratorium LLA

Jenis Pemeriksaan Hasil yang ditemui

Complete blood

count

leukositosis, anemia, trombositopenia

Bone Marrow

Puncture

hiperselular dengan infiltrasi limfoblas, sel berinti

Sitokimia Sudan black negatif, mieloperoksidase negatif

Fosfatase asam positif (T-ALL), PAS positif (B-

ALL)

Imunoperoksidase peningkatan TdT (enzim nuklear yang mengatur

kembali gen reseptor sel T dan Ig

Flowcytometry precursor B: CD 10, 19, 79A, 22, cytoplasmic m-

heavy chain, TdT

T: CD1a, 2, 3, 4, 5, 7, 8, TdT

B: kappa atau lambda, CD19, 20, 22

Sitogenetika analisa gen dan kromosom dengan immunotyping

17

Page 18: LLA

untuk menguraikan klon maligna

Pungsi lumbal keterlibatan SSP bila ditemukan > 5 leukosit/mL

CSF

2.9 Diagnosis banding

Limfositosis, limfadenopati, dan hepatosplenomegali yang berkaitan dengan

infeksi virus dan limfoma atau anemia aplastik

2.10Penatalaksanaan

Terapi dibagi menjadi:

a. Terapi induksi remisi

Terapi yang  bertujuan mencapai remisi komplit hematologik yaitu eradikasi

sel leukemia yang dapat dideteksi secara morfologi dalam darah dan sumsum dan

kembalinya hematopoiesis normal. Program pengobatan menggunakan kombinasi

vinkristin, prednison, L-asparaginase, siklofosfamid, dan antrasiklin seperti

daunorubisin. Induksi, dimaksudkan untuk mencapai remisi dengan berbagai obat

tersebut sampai sel blas dalam sumsum kurang dari 5%.

b. Terapi intensifikasi/konsolidasi

Terapi yang bertujuan mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah

relaps dan mencegah timbulnya sel yang resisten obat. Terapi juga ini dilakukan 6

bulan kemudian. Konsilidasi juga bertujuan agar sel yang tersisa tidak cepat

memperbanyak diri lagi.

c. Profilaksis Leukemia Cerebri

Terapi yang bertujuan mencegah relaps. Pengobatannya terdiri dari kombinasi

kemoterapi intratekal (ke ruang subaraknoid), radiasi intrakranial, dan pemberian

sistemik obat yang mepunyai bioavailabilitas SSP yang tinggi seperti metotreksat

dan sitarabin dosis tinggi. Mencegah terjadinya leukimia pada susunan saraf pusat

diberikan MTX secara intratekal dan radiasi kranial.

d. Pemeliharaan jangka panjang

18

Page 19: LLA

Terapi yang terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu

sekali selama 2-3 tahun. Ini terbukti meningkatkan disease – free survival pada

anak.

Lama terapi bervariasi antara 1,5-3 tahun dengan tujuan eradikasi populasi sel

leukemia. Untuk kasus berat atau berisiko tinggi untuk relaps, perlu

dipertimbangkan untuk melakukan transplantasi sumsum tulang alogenik (pada

kasus kromosom Philadelphia, hiperleukositosis, gagal mencapai remisi komplit

dalam 4 minggu).

Menurut Ngastiyah, 2005 penatalaksanaan pada pasien ALL adalah:

a. Transfusi darah, jika kadar Hb kurang dari 69%. Pada trombositopenia

yang berat dan pendarahan pasif dapat diberikan transfusi trombosit dan bila

terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin.

b. Kortosteroid (prednison, kortison, deksametason, dan sebagainya). Setelah

dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.

c. Sitostatika, selain sitistatika yang lama (6-merkaptispurin atau 6 mp,

metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih paten

seperti obat lainnya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama-

sama dengan prednison. Pada pemberian obat-obatan ini sering terdapat akibat

samping berupa alopsia (botak), stomatitis, leucopenia, infeksi sekunder atau

kadidiasis. Bila jumlah leukosit kurang dari 2000 / mm3 pemberiannya harus hati-

hati.

d. Infeksi sekunder dihindarkan (lebih baik pasien dirawat di kamar yang

suci hama).

e. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah dicapai

remisi dan jumlah sel leukimia cukup rendah (105-106), imunoterapi mulai

diberikan (mengani cara pengobatan yang terbaru masih dalam perkembangan).

Terapi lain :

a. Transplantasi sumsum tulang

19

Page 20: LLA

Pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk relaps dilakukan transplantasi

sumsum tulangaloregenik pada remusi komplit yang pertama. Risiko tinggi untuk

relaps yaitu :

- Kromosom Philadelphia

- Perubahan susunan gen MLL

- Hiperleukositosis

- Gagal mencapai remisi komplit dalam waktu 4 minggu

Pada LLA dewasa yang mengalami relaps setelah mencapai remisi komplit

harus menjalani transplantasi sumsum tulang alorgenik begitu remisi kedua

tercapai.

b. Transplantasi untuk B-ALL

Kebanyakan B-ALL tidak dapat diterapi dengan regimen LLA konvensional.

Karena kecepatan proliferasi sel-sel leukimianya tinggi, maka diberikan terapi

hyperfractionation dari siklofosfamid dosis tinggi dan metotreksat dosis tinggi.

Sata ini tidak ada terapi efektif untuk B-ALL yang refrakter atau relaps.

Pilihan terapi dan pengelolaan baru untuk LLA dewasa :

a. Terapi molekular : inhibisi direk aberasi molekular yang terlibat

dalam patogenesis

- Inhibitor tirosin kinase ST1571, inhibitor farnesil transferase

b. Terapi antibodi : supresi target sel blas leukimia sesuai dengan

ekspresi antigennya.

- CD19 : antiCD19

- CD20 : Rituximab

- CD52 : Campath

c. Transplantasi sumsum tulang non-mieloblasi:

Penggunaan efek graft-versus-leukimiaekstensi indikasi transplantasi

sumsum tulang pasien tua.

d. Evaluasi minimal residual disease (MRD) : evaluasi indivisual terhadap

respon terapi :

20

Page 21: LLA

- Penilaian elemen terapi yaitu induksi, terapi baru, dan strafikasi

risiko (MRD = sel blas leukimia residual yang tidak dapat dideteksi dengan

pemeriksaan mikroskopis sumsum tulang. MRD diperiksa dengan metode

Polymerase Chain reaction).

e. Analisis microarray : analisis profil ekspresi gen dan seleksi gen yang

diekspresikan secara berbeda :

- Identifikasi faktor prognostik dan gen target untuk terapi baru.

2.11Prognosis

Karena onset biasanya mendadak, maka dapat disertai perkembangan dan

kematian yang cepat bila tidak diobati. 60% pasien yang diobati menjadi sembuh

dan mengalami harapan hidup yang meningkat dengan kemoterapi agresif yang

diarahkan pada sumsum tulang serta SSP.

Harapan sembuh pasien dewasa tergantung dari intensifnya terapi. Secara

umum, overall disease – free survival rate kira-kira 30%.

21

Page 22: LLA

3 Memahami dan menjelaskan Leukimia Mieloblastik Akut (LMA)

3.1 Definisi

Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai

dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari

sel myeloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara

cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis.

3.2 Etiologi dan epidemiologi

Etiologi

Etiologi LMA tidak diketahui. Meskipun demikian, ada beberapa faktor yang

diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA

pada populasi tertentu :

- Benzene merupakan zat leukomogenik untuk LMA.

- Radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA.

Terdapat penelitian pada orang-orang yang selamat dari serangan bom atom

Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion

radiasi tersebut mulai tampak sejak 1.5tahun sesudah pengeboman dan mencapai

puncak 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman.

- Trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter

sindrom Down. Pasien sindrom Down mempunyai risiko 10 hingga 18 kali lebih

tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7. Selain itu pasien

beberapa sindrom genetik seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga

diketahui mempunyai risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal

untuk menderita LMA.

- Pengobatan dengan kempterapi sitotoksik pada pasien tumor padat.

LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan

limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker testis.

Jenis kemoterapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan

alkalyting agent dan topoisomerase II inhobitor. LMA akibat terapi mempunyai

22

Page 23: LLA

prognosis yang lebih buruk dibandingkan LMA de novo sehingga di dalam

klasifikasi leukemia versi WHO dikelompokkan tersendiri.

3.3 Epidemiologi

Di Negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh

kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada

anak (15%). Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga

masa dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara

eksponensial sejalan dengan meningkatnya usia. LMA pada orang yang berusia 30

tahun adalah 0,8%, pada orang yang berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang

yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%. Secara tidak umum tidak

didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi LMA, meskipun pernah

dilaporkan adanya insidens LMA tipa M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali besar pada ras

Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan dengan ras Kaukasia.

3.4 Patogenesis

Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan

proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan

akibat terjadi akumulasiblas t di sumsum tulang. Akumulasiblast di dalam

sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada

gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow

failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, leukopenia dan

trombositopenia). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan

pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya trombositopenia akan

menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan

menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunistis dari

flora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-selblas t

yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan

berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem

23

Page 24: LLA

syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.

3.5 Klasifikasi

Klasifikasi WHO Untuk Leukimia Mieloblastik Akut:

I. LMA dengan translokasi sitogenik rekuren

LMA dengan t(8;21)(q22;q22), AML 1(CBFα)/ETO

APL dengan t(15;17)(q22;q11-12) dan varian-variannya, PML/RARα

LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan inv (16)(p1 3q22) atau

t(16;16)(p13;q11), CBFβ/MHY11

LMA dengan abnormalitas 11q23 (MLL)

II. LMA dengan multilineage dysplasia

dengan sindrom myelodisplasia

tanpa sinrom myelodisplasia

III. LMA dan sindroma myelodisplastik yang berkaitan

dengan terapi akibat obat alkilasi akibat epipodofilotoksin (beberapa

merupakan kelainan limfoid) tipe lain

IV. LMA yang tidak terspesifikasi

LMA diferensiasi minimal

LMA tanpa maturasi

LMA dengan diferensiasi monositik

Leukimia monositik akut

Leukimia eritroid akut

Leukimia megakariositik akut

Leukimia basofilik akut

Panmielosis akut dengan mielofibrosis

24

Page 25: LLA

3.6 Manifestasi klinis

Manifestasi yang ditemukan pada pasien LMA :

Pada Pasien LMA tidak selalu dijumpai leukositosis, hanya terjadi pada

sekitar 50%.

Sel-sel blast dalam jumlah signifikan di darah tepi akan ditemukan pada

85% kasus LMA, maka dari itu sangat penting untung memeriksa rincian jenis

sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari

kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA.

Tanda dan gejala utama:

Adanya rasa lelah.

Pendarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang

sering dijumpai di ektremitas bawah atau berupa epistaksis. Perdarahan gusi dan

retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai

dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3.

Infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang.

Infeksi ini biasanya sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah

peri rektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien

LMA dengan demam.

Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100

ribu/mm3):

Sering terjadi leukostatis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang

menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostatis sangat

bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah

gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus.

Juga sering menimbulkan gangguan metabolisme berupa

hiperurisemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi

secara cepat dalam jumlah yang besar.

Selain itu juga menimbulkan gangguan metabolisme lain seperti

hipoglikemia. Hipoglikemia terjadi karena konsumsi gula in vitro dari sampel

darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang

25

Page 26: LLA

asimptomatik karena hipoglikemia tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in

vivo pada tubuh pasien.

Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi

tergantung organ yang di infiltrasi:

Infiltrasi sel-sel blast di kulit, akan menyebabkan leukimia kutis yaitu

berupa tonjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit.

Infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak, akan menyebabkan nodul di bawah

kulit (kloroma).

Infiltrasi sel-sel di dalam tulang, akan menimbulkan nyeri tulang yang

spontan atau dengan stimulasi ringan.

Infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi, misalnya pembengkakan gusi.

Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke

daerah menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi

dari cairan serebro spinal yang diambil melalui prosedur punsi lumbal.

3.7 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik pasien LMA didapatkan :

- konjunctiva palpebra inferior pucat

- Rasa lelah pada pasien

- Terjadi perdarahan

- Infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang .

26

Page 27: LLA

3.8 Pemeriksaan Penunjang

gambaran sel limfoblas

- Pemeriksaan yang terbaru : immunotyhping dan analisa sitogenetik.

- Pengecatan sitokimia

Sudan Black B (SBB) dan mieloperoksidase (MPO). Mieloperoksidase (MPO)

adalah enzim sitoplasmik ditemukan pada granula primer dari precursor

granulostik, yang dapat dideteksi pada sel blas LMA. Kedua pengecatan sitokimia

tersebut tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA

tipe,M1,M2,M3.M4 dan M6.

- Pemeriksaan penentuan immunofenotip adalah suatu teknik pengecatan

modern yang dikembangkan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi.

- Pemeriksaan sitogenetik

Beberapa kelainan sitogenetika dapat ditemukan pada LMA. Misalnya

kromosom Philadelphia, translokasi kromosom 9 dan 22 (q34;q11) yang khas

untuk LMK tapi juga ditemukan pada <5% LMA dewasa.

3.9 Diagnosis

Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik,

morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu

berkembang 2 teknik pemeriksaan terbaru: immunoserotyping dan analisis

sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia,

gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis, Inggris pada tahun 1976

menetapkan klasifikasi LMA terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai M7). Klasifikasi

27

Page 28: LLA

ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi

FAB saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang

penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SBB) dan mieloperoksidase

(MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif pada

pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4 dan M6.

Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu teknik pengecatan modern

yang dikembangkan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Diketahui bahwa

permukaan membran sel-sel darah mengekspresikan antigen yang berbeda-beda

tergantung dari jenis dan tingkat diferensiasi sel-sel darah tersebut. Sebagai

contoh sel limfosit mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel granulosit

maupun sel trombosit dan eritrosit. Demikian pula limfosit B mempunyai ekspresi

antigen yang berbeda dengan limfosit T. Selain itu sel-sel blast mengekspresikan

antigen yang berbeda dengan sel-sel leukosit yang lebih matur seperti promielosit

dan mielosit. Bila antigen yang terdapat permukaan membran sel tersebut dapat

diidentifikasi dengan antibodi yang spesifik, maka akan dapat dilakukan

identifikasi jenis sel dan tingkat maturitasnya yang lebih akurat. ldentifikasi sel

dengan teknik immunophenotyping biasanyadiberi label CD (cluster of

differentiation). Saat ini terdapat lebih dari 200 CD yang menjadi penanda

berbagai jenis dan tingkat maturitas sel-sel darah. Selain berfungsi sebagai alat

diagnosis, teknik immunophenotyping juga mempunyai nilai prognostik dan

terapi. Sebagai contoh, pasien LMA yang mengekspresikan CD7 mempunyai

prognosis yang jelek sedang pasien yang mengekspresikan CD2 mempunyai

prognosis yang lebih baik. Saat ini juga sedang dikembangkan terapi antibodi

yang secara spesifik mempunyai target terapi CD33, gemtuzumab osagamicin,

yang diindikasikan bagi pasien LMA usia lanjut yang mengekspresikan CD33.

Analisis sitogenetik pada keganasan hematologi telah dimulai sejak awal 1960

dan berkembang lebih pesat sejak awal 1980an. Terdapat 2 kelainan dasar

sitogenik pada LMA: kelainan yang menyebabkan hilang atau bertambahnya

materi kromosom dan kelainan menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa

menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom. Kelainan pertama

28

Page 29: LLA

dapat berupa kehilangan sebagian materi kromosom (delesi/del) atau hilangnya

satu materi kromosom secara utuh (monosomi). Penambahan materi kromosom

juga dapat bersifat sebagian (duplikasi/d) atau bertambahnya satu atau lebih

materi kromosom secara utuh (trisomi, tetrasomi). Kelainan kedua berupa

perubahan kromosom seimbang dalam bentuk perubahan resiprokal antara dua

atau lebih kromosom (translokasi/t) atau perubahan pada berbagai bagian dalam

satu kromosom (inversi/inv).

Kelainan sitogenetik t (8,21), t (15,17), inv (16)/t dan translokasi 11q23

merupakan kelainan sitogenetik yang dijumpai pada 21%-28% pasien LMA

dewasa. Kelainan sitogenetik lain yang dijumpai dalam jumlah cukup signifika

pada pasien LMA adalah trisonomi, delesi, dan kelainan karyotype yang kompleks

(mempunyai kelainan sitogenetik 3 atau lebih). Kelainan sitogenetik pada pasien

LMA mempunyai nilai prognostik. Pasien dengan kelainan sitogenetik: t (15,17),

inv (16), t (16,16) atau del (16q) dan t (8,21) yang tidak disertai del (9Q) atau

kelainan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis yang baik (favourable);

pasien dengan kelainan sitogenetik +8,-Y, +6, del (12q) atau karyotype yang

normal mempunyai prognosis yang sedang (intermediate), sedangkan pasien

dengan kelainan sitogenetik-5 atau del (5q), -7 atau del (7q), inv (3q), del (9q), t

(9,22) dan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis yang buruk

(unfavourable). Profil kelainan sitogenetik pada pasien LMA juga mempunyai

implikasi terhadap terapi sebab dewasa ini, meskipun masih kontroversial, telah

dikembangkan strategi terapi pada pasien LMA berdasarkan profil sitogenetik

pasien.

3.10Penatalaksanaan

- Tujuan pengobatan pada pasien LMA adalah untuk mengeradikasi sel¬-sel

klonal leukemik dan untuk memulihkan hematopoesis normal di dalam sumsum

tulang. Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai

remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan karena alasan adanya

29

Page 30: LLA

sitopenia, karena dosis yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping

berat berupa supresi sumsum tulang tanpa punya efek yang cukup untuk

mengeradikasi sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan fungsi sumsum

tulang.

- Untuk mencapai eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, diperlukan

strategi pengobatan yang baik. Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA

terdiri dari dua fase: fase induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi

adalah regimen kemoterapi yang intensif bertujuan untuk mengeradikasikan sel-

sel leukemik secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit. Istilah remisi

komplit digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali

normal serta pulihnya populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainya jumlah

sel-sel blast <5%. Perlu ditekankan disini, meskipun terjadi remisi komplit tidak

berarti sel-sel klonal leukemik telah tereradikasi seluruhnya, karena sel-sel

leukemik akan terdeteksi secara klinik bila jumlahnya lebih dari log sel. Jadi

pada kasus remisi komplit, masih tersisa sejumlah signifikan sel-sel leukemik di

dalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini

berpotensi menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh

karena itu, meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu ditindak lanjuti

dengan program pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi.

Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan

menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis

yang digunakan pada fase induksi.

- Seperti yang sudah disebutkan diatas, tujuan utama pengobatan

LMA adalah untuk mengeradikasi sel-sel leukemik di dalam sumsum tulang.

Tindakan ini juga akan mengeradikasi sisa-sisa sel hematopoiesis normal yang

ada didalam sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan mengalami periode

aplasia pasca terapi induksi. Pada saat tersebut pasien sangat rentan terhadap

infeksi dan perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi ini dapat

30

Page 31: LLA

berakibat fatal. Oleh karena itu terapi suportif berupa penggunaan antibiotika dan

transfusi komponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat

penting untuk menunjang keberhasilan terapi LMA.

Terapi LMA dibedakan menjadi 2 yaitu terapi untuk LMA pada umumnya dan

terapi khusus untuk leukemia promielositik akut (LPA).

a. Terapi LMA pada Umumnya

Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan

daunorubisin dengan protokol sitarabin 100mg/m2 diberikan secara infus

kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari.

Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan

daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedang bila diberikan sebagai

kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila terdapat

residual disease pada hari ke-28 perlu dipertimbangkan adanya gagal terapi primer

dan perlu dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.

Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrasiklin merupakan

kontra indikasi terutama bila terdapat riwayat miokard infark dan fraksi ejeksi

kurang dari 50%. Pilihan terapi pada kondisi ini adalahhigh dose cytarabine (ara-

C)/HDAC. Regimen terapi yang dipakai pada HDAC adalah sitarabin 2-3 g/m2

infus iv selama 1-2 jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau sitarabin 2-3 g/m2

selama 2 jam setiap 12 jam pada hari 1,3 dan 5.

Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi,

transplantasi sel stem hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantion/HSCT)

otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi pada pasca remisi ditentukan

berdasarkan usia dan faktor prognostik, terutama profil sitogenetik. Sebagian

besar pasien usia muda memberikan respons yang lebih baik dibanding pasien

usia tua.

31

Page 32: LLA

Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan/atau HSCT

untuk mencapai remisi komplit kedua atau hanya diberikan perawatan suportif.

Pencapaian remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi karakter sitegenetik,

namun lebih dipengaruhi oleh durasi remisi komplit pertama, usia, dan ada

tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi komplit kedua umumnya

kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-free survival kurang dari 10

bulan. Survival meningkat bila sebelumnya pasien telah menjalani HSCT

alogenik, namun donor untuk prosedur tersebut umumnya terbatas.

b. Terapi Leukemia Promielositik Akut

Insidensi LPA sebesar 10-15% pasien LMA. Penyakit ini ditandai dengan

kelainan sitogenetik berupa t (15,17) yang dijumpai pada sekitar 90% kasus.

Kelainan sitogenetik t (15;17) akan menyebabkan fusi gen PML dan RAR,

menjadi gen PML-RAR. Fusi gen PML-RAR mengakbatkan blokade maturitas

pada seri promielosit sehingga terjadi LPA. Kini dikembangkan suatu obat yang

disebut all-trans retinoic acid (ATRA) yang menjadikan fusi gen PML-RAR

sebagai target aksi kerjanya. Pengobatan LPA dengan ATRA menghasilkan angka

kesembuhan lebih dari 70%.

LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya koagulopati yang dalam hal ini

diakibatkan oleh kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien

dengan manifestasi koagulopati yang dalam hal ini diakibatkan oleh kombinasi

antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati

harus segera mendapat terapi induksi (ATRA). Pada pasien yang mengalami

perdarahan yang tidak terkendali (setelah terapi transfusi) dapat diberikan e-

aminocaproic acid (EACA) dan trananexamid acid.

Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus kemoterapi berbasis

antrasiklin. Antrasiklin dapat menginduksi remisi pada 60-90% pasien bila

digunakan sebagai obat tunggal. Sel leukemik pasien LPA sensitif terhadap

antarsiklin karena rendahnya ekspresi Pgp dan petanda resistensi lainnya pada sel-

32

Page 33: LLA

sel LPA dibanding dengan subtipe LMA lainnya. ATRA adalah suatu derivatif

vitamin A yang mampu menginduksi remisi klinis dengan mengaktifkan maturasi

sel tanpa menyebabkan hipoplasia sumsum tulang. Sebagai obat tunggal ATRA

menginduksi remisi pada 72-81% pasien. Umumnya ATRA mulai diberikan

dalam 2-3 hari pertama pada pasien dengan perdarahan berat untuk mengatasi

koagulopati pada LPA sebelum mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini

akan menyebabkan angka lekosit menjadi tidak terlalu tinggi lagi. Selain itu, cara

ini menurunkan insidens sindrom asam retinoid (retinoid acid syndrome/RAS).

Terapi induksi menggunakan ATRA 45mg/m2/hari per oral yang terbagi dalam

2 dosis setiap hari sampai remisi komplit plus derivat antrasiklin, daunorubisin

50-60 mg/m2/hari selama 3 hari atau idarubisin 12mg/m2/hari selama 4 hari.

Terapi induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidasi dengan kemoterapi berbasis

antarsiklin dan terapi pemeliharaan dengan menggunakan ATRA.

RAS dapat terjadi pada 10-15% pasien dan umumnya terjadi 7-14 hari setelah

terapi ATRA. RAS jarang terjadi selama penyembuhan akibat aplasia setelah

kemoterapi dan selama terapi pemeliharaan. RAS adalah suatu sindrom kebocoran

kapiler dengan manifestasi demam, distres respirasi, dan munculnya infiltrat pada

paru. Dapat juga terjadi peningkatan berat badan, efusi pleura atau efusi perikard,

dan gagal ginjal. Lekositosis berat merupakan faktor prognostik walaupun PAS

sering juga terjadi pada lekopenia. Bila angka lekosit lebih dari 5000-10000/uL,

ATRA dan kemoterapi diberikan bersama-sama pada saat awal terapi. Bila saat

monoterapi ATRA terjadi lekositosis lebih dari 10000/uL induksi kemoterapi

harus segera dimulai. Tanpa melihat angka lekosit dan kemungkinan sepsis

netropenia, bila terdapat sesak dan infiltrat paru, dengan atau tanpa demam, terapi

deksametason harus segera diberikan (10mg iv 2 kali sehari). Terapi ATRA dapat

dihentikan sampai RAS menunjukkan perbaikan.

Sekitar 20%-30% pasien LPA yang mencapai remisi komplit dengan terapi

berbasis ATRA akan mengalami relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga

33

Page 34: LLA

resisten terhadap terapi ATRA yang berikutnya. Arsenik, suatu racun yang sudah

digunakan sebagai obat pada pengobatan tradisional Cina sejak beberapa abat

yang lalu, diketahui mempunyai efek pengobatan yang positif pada pasien ATRA

yang relaps atau resisten terhadap terapi ATRA. Salah satu komponen arsen yang

sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA yang relaps atau resisten

terhadap ATRA adalah arsenic trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA, ATO

mempunyai mekanisme kerja; memacu degradasi fusi protein PML-RAR

(khususnya protein PML, menginduksi apoptosis, memacu diferensiasi sel-sel

leukemik serta menghambat apoptosis. ATO umumnya diberikan dengan dosis

0,15 mg per KG BB melalui infus 3 jam hingga tercapai remisi komplit dengan

maksimal pemberian 50 hari. Pada pasien LPA relaps, terapi ATO menghasilkan

respon sebesar 70% hingga 100%.

34

Page 35: LLA

DAFTAR PUSTAKA

Fawcett, Don W., (2002). Buku Ajar Histologi edisi 12, EGC: Jakarta. Bab Darah:

97-118.

Ganong, W. F., (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 22, EGC: Jakarta

Bab Cairan Tubuh yang Beredar: 535-565.

Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson, (2006). Patofisiologis Volume 1 ed. 6, EGC:

Jakarta. Bab Gangguan Sel Darah putih dan Sel Plasma: 2268-291.

Sudoyo, Aru W., Bambang Setyohadi, dkk., (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid 2 ed. 4, Interna Publishing: Jakarta. Bab Leukimia Mieloblastik Akut

169: 707-709.

Sudoyo, Aru W., Bambang Setyohadi, dkk., (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid 2 ed. 5, Interna Publishing: Jakarta. Bab Leukimia Mieloblastik

Akut 196: 1234-1240 dan Bab Leukimia Limfoblastik Akut 201: 1266-1275.

http://www.exomedindonesia.com/referensi-kedokteran/2010/10/13/leukemia-

limfoblastik-akut/

http://www.pediatrik.com/isi03.php?

page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-

xjkr243.htm

http://www.scribd.com/doc/37865227/Leukemia-Mieloblastik-Akut-Tinjauan-

Pustaka

http://biozeronine.blogspot.com/

35