liza punya
TRANSCRIPT
AIBI Sebuah Novel : Liza Martha Lova
1
Duka Yang Meluruh
Taman bunga itu begitu luas dan asri. Mawarnya sedang bermekaran. Bau semerbak merangsang
indra penciuman, memberikan kedamaian di dalam hati. Sepasang kupu-kupu yang sedang pacaran
berkejar-kejaran dan berayun dari tangkai bunga satu ke tangkai bunga yang lainnya. Setiap kali dia
hinggap dibawanya serbuk sari yang menempel di kakinya lalu di tempelkannya ke kepala putik
bunga betina untuk membantu proses penyerbukan agar bisa menghasilkan buah yang ranum dan
segar.
Hidup seperti simbiosis mutualisme, saling menguntungkan satu sama lain. Walau berbeda jenis
tetapi mempunyai satu misi yakni melestarikan alam semesta untuk di wariskan kepada para
generasi penerus. Terik mentari pagi yang bersinar hangatkan bumi. Ia peluk erat penduduk bumi
dan disebarkannya sejuta kebahagiaan dan kasih.
Di tengah-tengah taman yang asri dan di temani dua kupu-kupu yang sedang berkejar-kejaran
bermandikan sinar mentari pagi, seorang gadis muda tengah duduk di atas kursi roda. Sendiri.
Sepintas dia terlihat tengah menikmati kebun mawar yang sedang bermekaran dan menghadirkan
bau khas yang semerbak. Tetapi sejatinya mata itu tengah memandang jauh kedepan, menembus
tembok kehidupan, menjelajahi hutan belantara pemikiran, mampir di sudut reot hati yang mulai
jarang dikunjungi.
Nun jauh di sana terlihat potret dirinya yang mulai mengabur berbentuk foto hitam putih. Padahal
kehidupan itu dilaluinya dengan warna warni. Lalu, kemana perginya warna biru itu? warna yang
selama bertahun-tahun menjadi warna kesukaannya. Kemana perginya warna merah jingga itu?
yang menjadi pemandangan yang menyejukkan matanya ketika sore hari. Kemana semua warna
yang cemerlang itu? warna mejikuhibiniu yang selalu membuat matanya takjub ketika
memandangnya. Karena disana ada bukti kemaha indahan Tuhan sang pencipta alam semesta.
Kemana warna itu? kenapa yang tersisa saat ini hanya warna hitam dan putih saja?
Kata orang setiap selesai gerimis dan hujan akan muncul pelangi akibat pantulan dari spektrum
sinar matahari, sehingga terbentuklah warna pelangi yang menyejukkan mata. Tapi kenapa hari ini
pelangi itu tidak lagi muncul? Bukankah sudah bertahun-tahun ia melalui hari penuh gerimis dan
hujan air mata
Sudah terlalu banyak air mata yang keluar, dan pagi ini air mata itu keluar lagi. Satu persatu
butiran-butiran kristal itu berjatuhan membasahi pipinya, terus mengalir ke dagunya sehingga
menyentuh syal yang terlilit di lehernya yang jenjang dan mengendap disana membentuk pulau-
pulau kecil. Sudah terlalu banyak butiran-butiran yang mengandung muatan garam itu mengalir dan
bercucuran dari matanya. Lima tahun berlalu, kapankah butiran hangat itu akan berhenti mengalir
dari matanya yang sudah nanar dan mengabur itu? Atau kehidupan yang dijalaninya ini akan selalu
di temani oleh butiran-butiran itu? Ah... Semuanya terasa semakin menyesakkan dada.
Perlahan ia coba menyeka air mata yang jatuh dengan kedua telapak tangannya. Namun semakin
dia menghapusnya air mata itu semakin deras mengalir. Akhirnya tubuh lemah tak berdaya itu
terguncang menahan isak.
Sudahlah, betapa dia ingin berdamai saja dengan masa lalunya. Dia lelah bertengkar dengan hati
dan pikirannya yang masing-masingnya tidak mau saling mengalah. Betapa sudah tidak ada lagi
yang bisa dilakukannya. Walau terasa pahit, tapi inilah kenyataan. Dia memang tidak akan pernah
beranjak lagi dari kursi roda ini. Sampai kapanpun dia hanya akan terduduk pasrah di atas kursi
pesakitan. Di telannya air liurnya yang terasa kering di kerongkongan.
Semuanya terasa begitu menyesakkan dada. Dia belum siap lahir bathin menghadapinya. Tapi
sampai kapan harus bersikukuh dengan kediamannya? Sampai kapan dia menolak semua ini? Apa
yang dilakukannya saat ini, toh tidak akan mengembalikannya kepada keadaan semula. Dia harus
ikhlas. Tapi, bisakah dia ikhlas? Bukankah ikhlas itu adalah sesuatu yang sangat sulit?
2
Rapat Terakhir
Alam selalu punya bahasanya sendiri dalam mengagungkan asma-Nya. Semuanya khusyuk
berzikir tak henti-hentinya. Semuanya sibuk beribadah kepada Allah. Matahari berzikir dengan
caranya yang tidak dimengerti oleh para hamba. Begitu juga bintang dan rembulan yang selalu
tunduk dan memujaNya penuh cinta. Pagi selalu menawarkan kesejukan yang menenangkan jiwa.
Embun menetes lembut membasahi dedaunan. Suasana subuh semakin terasa indah dan
menyejukkan kala bau udara pagi menyentuh hidung. Pertanda manusia-manusia di bumi akan
memulai aktivitasnya setelah terlelap dalam mimpi yang indah. Remang-ramang warna subuh mulai
memudar. Tampak di sana maha sempurna penciptaanNya. Fajar merekah di langit
Para pedagang mulai menyiapkan dagangannya yang akan di jajakan dari rumah-ke rumah di
pagi hari yang masih temaram. Dari kejauhan terdengar suara lengkingan tukang gorengan. Sekali-
kali suaranya yang cempreng di tingkahi oleh penjual ketan panas.
Pagi ini, semua kebahagian telah memenuhi rongga dada. Setelah berjuang mati-matian,
akhirnya semuanya akan segera berakhir dan perjuangan baru akan kembali dimulai. Jepang telah
menunggu kehadirannya. Dengan wajah penuh sumringah Aibi berdiri di depan kaca, diamatinya
setiap lekuk wajahnya. Tiba-tiba bayangan orang tuanya hadir di sana. Kerinduannya tak
tertahankan lagi.Sore ini Papa dan Mamanya tercinta akan tiba di Padang. Mereka berangkat dari
Jakarta pukul 16.00 sore. Tentu ia sendiri yang langsung menjemput orang tuanya.
Kebahagian itu tidak terhenti sampai di sana. Ada empat prestasi yang di raihnya tahun ini di akhir
keberadaannya di kampus. Aibi digelari mahasiswa terpintar dan tercerdas yang dimiliki kampus
semenjak tempat perkuliahan itu berdiri. Ia juga mendapatkan gelar best student award. Ia berhasil
mengalahkan para kontestan lain. Disamping itu ia mendapatkan penghargaan sebagai mahasiswa
organisatoris yang berprestasi dari University of Australia. Puncaknya ia meraih beasiswa penuh ke
Jepang untuk melanjutkan S2. Semua biayanya ditanggung oleh pemerintah. Lengkap sudah
kebahagiannya. Dari 3525 orang yang akan di wisuda, hanya dia yang mampu meraih sederet
prestasi membanggakan tersebut.
Alasan apalagi yang membuat Aibi tidak bersyukur? Semua anugerah telah didapatkannya. Semua
yang diimpikan banyak orang telah diraihnya. Ia terlahir dari anak orang kaya yang begitu
menyayanginya. Semua kebutuhannya dicukupi baik diminta atau pun tidak. Terlahir sebagai orang
pintar yang dibanggakan oleh setiap orang yang mengenalnya. Terlahir sebagai seorang wanita
yang anggun dan kecantikan yang menawan hati siapa saja yang melihatnya. Kehadirannya selalu
dirindukan. NikmatNya sungguh begitu berlimpah.
Hidup rasanya kurang bermakna ketika tidak melihat senyum Aibi merekah juga semangatnya yang
menyala-nyala. Hampa rasanya ketika sosok itu tidak turut serta dalam rapat-rapat FSI karena
biasanya Aibi lah yang selalu mempunyai banyak ide-ide kreatif dalam setiap kegiatan yang akan
dilaksanakan.
Aibi berbeda dengan kebanyakan kader dakwah lainnya. Ia tak segan-segan bergaul dengan
siapapun. Bisa dikatakan ia tidak menjaga jarak dengan mahasiswa diluar forum. Meskipun begitu
ia tetap menjaga adab-adab ketika berinteraksi dengan lawan jenis. Ia begitu santun dan sangat
dekat dengan siapa saja mulai dari mahasiswa, dosen dan pegawai yang ada di kampusnya. Bahkan
namanya tak asing lagi bagi petugas kebersihan atau penjaja makanan di kampus. Contohnya uni
Vina, petugas cleaning service gedung D itu. Sebagai aktivis dakwah, Aibi dan teman-temannya
selalu memakai gedung ini tiap minggunya untuk rapat. Ketika rapat sudah selesai ruangan tersebut
bisa dipastikan kembali seperti sedia kala. Tidak ada sampah yang berserakan. Sebab, Aibi lah yang
paling rewel mengingatkan teman-temannya untuk menjaga kebersihan. Saking baiknya terkadang
ia membawakan makanan dan menyerahkannya kepada petugas kebersihan tersebut. Tak hanya uni
Vina. One Eli yang biasanya menjual makanan di gedung D juga sering menyebut-nyebut namanya
dikarenakan sering sekali Aibi memberikan uang berlebih setelah berbelanja disana. Ia selalu
menolak kembalian uang dari wanita paruh baya itu. One Eli sebetulnya tidak enak. Tapi Aibi tetap
bersikukuh dengan keputusannya tersebut. Ia sepertinya juga prihatin dengan nasib para penjaja
makanan. Mengingat sudah sering sekali mereka diperlakukan dengan semena-mena oleh birokrat
kampus. Kampus melarang mereka berjualan di gedung perkuliahan dengan alasan akan
mengganggu proses belajar mengajar. Padahal, tak ada lagi tempat lain bagi mahasiswa untuk
mengisi perut atau sekedar menikmati bakwan dan goreng pisang. Aibi lah orang yang paling
lantang menyuarakan hak-hak mereka kepada petinggi kampus. Ia menyadari betul apa yang
dirasakan amak-amak tersebut. Uda Ujang, petugas security kampus juga mengenali Aibi. Hal ini
tak mengherankan mengingat Aibi suka berkenalan dengan siapa saja. Ia akrab dan juga suka
menyapa. Prof. Khairul, salah seorang dosen pernah berkata: keteladanan telah berkumpul dalam
diri Aibi
Semua orang merindukan Aibi. Setiap mulut tidak pernah berhenti menyebut tentang pribadi yang
menawan hati. Luar biasa pribadi dan kekuatan ruhiyah yang dimilikinya. Cahaya kesholehahan itu
terpancar indah di wajahnya, sehingga menambah cantik wajahnya yang memang sudah cantik.
***
Jum’at pagi ini masih ada rapat yang akan dipimpinnya. Rapat terakhir sebelum dia pergi
meninggalkan kota Padang. Kemaren Mala menghubunginya. Kata sahabatnya itu “kalau ada waktu
tolong hadir rapat hari ini jam 09.00 di mushola Fakultas Sastra”!!
Sedikit ada keganjilan ketika mendengar apa yang disampaikan Mala, karena tidak biasanya mereka
rapat di mushola Fakultas Sastra. Mereka selalu rapat di mushola FE atau di mushola Teknik.
Terkadang masjid kampus menjadi alternatif terakhir. Tapi kali ini, kok di Sastra? Oh, mungkin
akhwat[1] ingin suasana baru,ujarnya dalam hati. Besok dia akan di wisuda dan seninnya akan
langsung ke Jakarta bersama Mama dan Papanya. Hitung-hitung juga kangen-kangenan dengan
seluruh akhwat nantinya sebelum dia pergi
3
Undangan Dari SMA 5
Jam 07.00 pagi adalah jamnya sibuk. Para pelajar mulai dari yang berserangam PAUD sampai yang
berseragam putih abu-abu mulai memenuhi jalanan. Mereka ikut berebutan menaiki angkotnya yang
akan mengantarkan mereka sampai gerbang sekolah. Beruntung budaya macet belum begitu terasa
di kota Padang sehingga perjalanan bisa di nikmati dengan tenang dan nyaman. Satu-satunya
halangan yang mengancam di jalan adalah rasa mual yang menyerang perut, karena sopir angkot
yang ugal-ugalan di jalanan.
Aibi telah bersiap-siap menuju kampus. Tapi entah kenapa tidak seperti biasanya lama sekali Aibi
berdiri di depan kaca memperhatikan wajahnya yang sedikit kelelahan dengan seabrek tugas yang
telah menyita tenaga dan pikirannya. Sepertinya dia membutuhkan suplement tambahan biar terlihat
fit di hari wisuda yang tinggal hitungan jam. Tidak sampai 24 jam lagi. Dia berjanji di dalam hati
setelah ini dia akan memanjakan diri. Ini adalah terakhir kalinya dia beraktivitas di kampus dan
setelah ini akan istirahat untuk beberapa waktu sebelum S.2 nya di Jepang di mulai. Dia berjanji
akan memanfaatkan waktunya dengan orang tunya sebelum berangkat ke negeri Sakura.
Aibi beranjak dari depan kaca beberapa langkah. Diedarkannya pandangannya ke setiap sudut ruangan kamar. Matanya terbentur pada sepasang baju yang tergantung dengan anggun di belakang pintu. Di dekatinya baju itu dan diciumnya dalam-dalam. Sebentar lagi baju ini akan menjadi saksi dari sejarah perjalanan perjuangannya. Tak terasa tiba-tiba ada yang jatuh dari kelopak matanya. Baru dia sadari kalau sebentar lagi dia akan pergi. Segenap hatinya diliputi rasa sedih. Dia merasakan hidupnya begitu hampa. Akankah dia kembali menemukan saudara-saudara yang baik seperti di wisma[2] ini? Seperti di kampusnya ini? ****
Baru saja Aibi melangkahkan kakinya keluar kamar, tiba-tiba Hp nya bernyanyi ria mendendangkan
lagu merah saga dari shoutul harokah. Dengan gerakan cepat Aibi mengeluarkan Hpnya. Nomor tak
dikenal. Siapakah gerangan? Akhwat yang sudah menunggunya kah? Di lihatnya jam kecil yang
melingkari pergelangan tangannya, baru jam 08.05 tidak mungkin akhwat yang telfon. Lalu
siapakah gerangan?
“Assalamu’alaikum...” Sapa Aibi lembut
“Wa’alaimussalam, Kak”. Jawab suara di seberang sana.”Kak Aibi kan Kak?” tanya suara itu lagi
“Iya betul, ini Kak Aibi. Ini siapa?” tanya Aibi penasaran.
“Ini Riri Kak. Anak SMA lima. Dapat nomor Kakak dari Kak Widya”.
“Oh iya, Riri. Ada apa dik? Ada yang bisa Kakak bantu?”
“Ada Kak. Begini Kak, kami mau mengadakan forum annisa’[3] di sekolah siang ini. Tapi kami belum punya pemateri. Apa Kakak bisa, Kak?“Jam berapa ya dik?”
“Jam 11.30 Kak”.
“Aduh... ‘Afwan[4] dinda. Sepertinya Kakak tidak bisa karena hari ini Kakak juga ada kegiatan di
kampus”.
“Aduh Kak... Mohon Kak, kali ini saja Kak, tolong bantu kami Kak. Tadinya kami sebenarnya
sudah hubungi Kak Widya empat hari yang lalu. Tapi pagi tadi mendadak beliau pulang kampung
karena orang tuanya sakit, Kak. Dan kami di kirimin beberapa nomor sama beliau untuk alternatif
pengganti. Tapi sayang diantara mereka tidak ada yang bisa karena ada acara juga. Kakak satu-
satunya yang belum kami hubungi. Kami sangat berharap Kakak bisa menjadi pemateri, Kak.
Soalnya kami sudah tidak tahu akan menghubungi siapa lagi. Sedangkan pengumuman telah kami
sebarkan di sekolah. Pesertanya insya Allah banyak, Kak. Kami tidak ingin peserta kecewa, Kak.
Kak, tolong Kak. Tolong kami Kak. Karena kalau hari ini gagal lagi diangkatkan, berarti ini sudah
yang kedua kalinya Kak. Kemaren juga karena pemateri gak bisa. Dan kami takut untuk
kedepannya kawan-kawan tidak percaya lagi sama kami, Kak. Kak please Kak. Untuk kali ini,
tolong kami, Kak”.
Mendengar apa yang disampaikan Riri, hati Aibi pun terenyuh. Tak tega rasanya dia menolak
keinginan Riri. Tidak ada alasan untuk menolak menyampaikan kebaikan. Jika ustadzah Yoyoh
Yusrah yang mempunyai 13 orang anak tidak pernah mengatakan tidak ketika di undang mengisi
pengajian, lalu apa alasan Aibi untuk menolak permintaan tulus dari adik yang menelfonnya itu?
tegakah dia menghancurkan kepercayaan teman-teman di sekolahnya terhadap mereka? Hatinya
menjerit.
Diingatnya lagi jadwalnya hari ini. Menjelang jam 12 ini ada tiga agenda yang akan
dilaksanakannya. Rapat bersama akhwat di kampus. Kemudian mengambil kenang-kengang wisuda
di jurusan karena kemaren belum siap dan juga ada sedikit permasalahan yang harus di diskusikan
bersama ketua jurusan. Karena kemaren Pak Kamal memintanya untuk menemuinya nanti jam
10.00 setelah itu mengembalikan buku Bu Dharna yang di pinjamnya beberapa bulan yang lalu
untuk membuat laporan penelitiannya. Mungkin untuk buku Bu Dharna bisa nanti jam 14.00
diserahkannya. Setelah itu langsung ke bandara menjemput Mama dan Papanya.
“hm... gimana ya? Mulainya jam 11.30 ya dik?” Aibi terdiam beberapa saat. Memperkirakan berapa
waktu yang akan digunakannya untuk menyelesaikan dua agendanya pagi ini. Karena satu telah di
undur ke jam 14.00.
“Begini saja. Kakak akan usahakan datang kesana. Di SMA Lima kan? Tapi settingannya begini,
nanti silahkan dimulai dulu acara pembukaannya. Kalau acara pembukaan sudah selesai Kakak
belum juga datang, nanti di isi saja pake nasyid terlebih dahulu oleh panitia. Kakak mungkin
terlambat. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan di kampus hari ini. Kalau sudah selesai,
Kakak hubungi, adik. Kalau ada apa-apa nanti kakak hubungi lagi. Kalau seperti itu bagaimana,
dik?” kata Aibi mengakhiri
“Iya Kak. Terima kasih banyak Kak. Jawab Riri dengan suara bersemangat. Padahal tadi ia hampir
menyerah mendengar jawaban Aibi
“OK, tetap semangat ya dik. Allah pasti akan memudahkan jalan seorang hambah yang mempunyai
niat yang baik. Apalagi untuk kejayaan islam. Pasti Allah akan mudahkan Insya Allah”. Aibi
berusaha memotivasi Riri.
“Iya Kak. Terima kasih sekali lagi Kak. Saya tunggu kehadiran Kakak di sekolah ya Kak”. Timpal
Riri bersemangat. Penasaran sekali dia dengan Aibi. Siapakah wanita lembut itu? Seperti apakah
wajahnya? Adakah secantik kata-katanya tadi? Atau jauh lebih cantik? Semua orang akan
berpemikiran seperti itu jika berbicara lewat telfon dengan Aibi.
“Sama-sama dik. Semoga Allah mempertemukan kita nanti, ya”. Setelah menjawab salam, Aibi pun
langsung buru-buru menuju halte untuk naik angkot.
***
4
Acara Perpisahan
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidup ini karena apa yang kita jalani hari ini
merupakan kehendak Allah. Takdir Allah terhadap manusia telah tertulis indah di lauh mahfuzs. Apa
yang kita jalani hari ini adalah karena skenario Allah, sang sutradara handal kehidupan. Aibi pun
tidak pernah membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini. Baginya yang penting adalah
menjalankan kehidupan ini sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dia sangat menikmati perjalanannya menuju kampus pagi ini. Di sepanjang perjalanan matanya
terus ke luar angkot. Dia asyik melihat pohon lindung yang seperti berkejar-kejaran di tepi jalan.
Satu dua di perhatikannya ada petani yang sedang menanam benih padi di sawah yang terhampar
luas di sepanjang jalan menuju kampus. Semakin mendekati gerbang kampus, semakin ramai pohon
pelindung yang di tanam di tepi jalan. Hatinya semakin bahagia menyaksikan pemandangan
tersebut
Gedung student center itu berdiri dengan megahnya. Disanalah puluhan mahasiswa telah
membenamkan dan menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan organisasi. Ada yang hanya
berfikir untuk menguasai kampus saja, tanpa harus berfikir sumbangsih apa yang akan mereka
berikan untuk kampus ini. yang ada dalam fikiran mereka bagaimana mereka bisa menguasai BEM
Universitas, lambang kekuasaan tertinggi kampus karena dengan demikian mereka dapat merubah
kebijakan yang ada
Ada yang sibuk memperbanyak anggota saja, tanpa harus berfikir apa manfaatnya. Ada yang sibuk
mencari-cari kesalahan dari organisasi lain dan banyak lagi. Hanya sedikit saja dari mereka yang
berfikir mengenai kondisi kampus sekarang. Yakni untuk melakukan perubahan dan membuat
kampus ini menjadi kampus yang beradab dan berkepribadian tinggi. Itulah cita-cita dari anak-anak
forum yang dijuluki sebagai orang-orang aneh oleh masyarakat kampus. Hanya gara-gara
pergerakan dan rute perjalanan mereka seputar Masjid dan mushola kampus, kemudian berbicara di
balik tirai tinggi dengan suara pelan-pelan, yang terkadang oleh orang-orang tidak mengerti tirai
atau hijab itu mereka katakan kelambu. Setelah selesai berbicara di balik tirai, maka mereka akan
keluar dari ruangan itu dengan kepala tertunduk dari pintu yang berbeda dan arah yang berlawanan.
Mereka tidak tahu, bahwa orang-orang aneh yang mereka juluki itu tengah menyusun sebuah
rencana besar untuk kampus ini. Demi mewujudkan satu cita-cita menjadikan kampus ini menjadi
kampus madani. Yang menjadi rahmatalil ‘alamin dan talbiyatun warabbul ghofur. Aibi semakin
tidak sabaran ingin berjumpa akhwat. Dan dia juga rindu sekali dengan sekre FSI yang terletak di
lantai dua itu.
Tak lama kemudian, akhirnya angkot yang ditumpanginya telah berhenti tepat di depan mushola
Fakultas Sastra. Sejenak diperhatikannya banyak sekali sepatu dan sandal yang berjejeran di luar.
Dilihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Baru jam 09.00. Kok banyak sekali
mahasiswa di mushola? Bukankah seharusnya jam segini kuliah sedang padat-padatnya? Lalu
kenapa pada nongkrong di sini? Kalo kayak gini, gimana mau rapat? Aibi berusaha membuang
segala tanya yang ada di benaknya karena sudah jam 09.00. Dia takut terlambat.
Aibi mempercepat langkahnya. Selangkah, dua langkah dan selanjutnya. Akhirnya dia sampai juga
di pintu mushola. Baru saja dia menjulurkan kepalanya ke dalam mushola, tiba-tiba semua orang
yang ada di mushola itu berteriak serentak “Selamat di wisuda Ibu Raisyah Aibi Rizaldi, S.Si”. Aibi
yang mendapatkan serangan tiba-tiba seperti itu kaget setengah mati. Belum hilang rasa kagetnya,
akhwat-akhwat datang menghampirinya satu persatu, memeluk dan mencium pipi kiri dan
kanannya. Aibi pasrah dan menerima semua salaman dari saudara-saudaranya itu dengan hati
bertanya-tanya. Aibi menangis. Menangis bahagia bercampur menyaksikan apa yang dilakukan oleh
para akhwat untuknya. Merekalah yang telah membersamai langkah kakinya selama ini dalam
menjalankan amanah dakwah yang begitu banyak. Merekalah yang merawatnya ketika dia terbaring
tak berdaya di rumah sakit karena terserang penyakit typus. Mereka jugalah yang membantunya
ketika dia sakarat di pondok waktu hujan-hujan itu.
Kemana akan dicarinya orang-orang pilihan ini? Yang mempunyai cinta sebening embun pagi dan kasih sesejuk salju. Cinta yang tak pernah lekang oleh panas dan tak pernah lapuk oleh hujan. Cinta yang telah mendarah daging dan menjalar disetiap nadi-nadi mereka. Betapa semua cinta itu bermuara kepada cinta Iilahi Rabbi. Itulah yang telah menguatkan ikatan ukhuwah[5] mereka.“Kenapa akhwat mengucapkan selamatnya sekarang? Wisudanya besok, bukan?” tanya Aibi setelah
bisa menguasai diri.
“Besok Ukhti[6] pasti sangat sibuk, banyak orang yang ingin berfoto bersama ukhti nantinya. Dan
kami tidak mau menunggu lebih lama lagi. Kalau kami mengundur mengucapkan selamat sampai
besok, itu sama saja dengan kami mengundur dua hari lagi. Kami yakin hari minggunya baru bisa
mendapatkan giliran. Itu pun belum pasti karena ukhti juga akan di sibukkan dengan orang tua ukhti
yang datang khusus dari Jakarta untuk ukhti.
“Maka kami mengambil jalan pintas. Kami ingin menjadi orang yang pertama untuk mengucapkan
selamat wisuda untuk ukhti. Sekali lagi, ane[7] mewakili seluruh akhwat di FSI mengucapkan
selamat di wisuda untuk Ukhti. Semoga Allah mudahkan jalan ukhti dalam meraih cita-cita dan
impian. Kami tidak tahu bagaimana kami akan melanjutkan amanah ini tanpa ukhti. Kami
merasakan amanah ini begitu berat. Tidak bisa dipungkiri, karena ukhti-lah akhirnya kita bisa
seperti ini”. Kata Mala dengan mata berkaca-kaca.
Betapa selama ini dia telah menyaksikan ketangguhan dari wanita yang ada dihadapannya ini.
Akhwat yang lain pun ikut sedih. Mereka pun telah menjadi saksi dengan apa yang telah dilakukan
oleh wanita luar biasa ini. Betapa dia sedikit pun tidak pernah merasa kehabisan semangat. Dia
selalu mempunyai cara untuk menghadapi segala tantangan yang ada
“Berpisah bukan berarti kita bercerai, bukan? Ukhuwah telah menyatukan kita. Cinta karena Allah
telah menyatukan dan menghimpun kita di jalan tercinta ini. Cinta itu berasal dari sang Pemilik
cinta itu sendiri, maka yakinlah sampai kapan pun cinta itu akan tetap ada di hati-hati kita, Insya
Allah. Apa pun yang terjadi. Jelas Aibi
“Walaupun kita terpisah jauh, tapi hati kita bersatu. Cinta itu pasti akan kembali memanggil kita dan
menghimpun kita lagi di jalan ini. Jika tidak di dunia kita bersua, maka Insya Allah kita akan
reunian di syurganya Allah. Asalkan dengan satu syarat, kita mengembalikan cinta itu kepadaNya.
“Akhwatifillah[8], justru seharusnya ane lah yang berterima kasih kepada akhwat sekalian. Ane
tidak bisa bayangkan bagaimana ane akan bisa menjalani semua amanah ini dengan baik jika tidak
ada akhwat. Syukron[9] akhwat. Syukron untuk ketulusan cinta akhwat, syukron untuk kebaikan
akhwat selama ini. Kalau lah sandainya tidak ada akhwat, mungkin ane sudah meninggal di pondok
ketika hujan-hujan itu. Ane tidak bisa membalas semua kebaikan akhwat. Biarlah Allah saja yang
mencatat segalanya sebagai amal ibadah bagi akhwat.
“Bagaimana akhwat harus bergantian ronda untuk merawat ane ketika ane sakit. Jasa akhwat tidak akan terbalaskan oleh ane. Jazakillah khairan jazaa’ ukhti[10]”. Kata Aibi dengan berurai air mata.“Ah... Kenapa kita malah bertangis-tangisan? Seperti kita akan berpisah untuk selamanya saja”.
Kata Aibi lagi berusaha untuk tersenyum
“Ah... Kak Aibi seperti tidak tahu saja. Tiga minggu lagi Kakak kan mau berangkat ke Jepang.
Bahkan senin ini saja Kakak udah pergi ke Jakarta. Itu tandanya Kakak akan pergi jauh kan, Kak?”.
Dhea yang sudah dari kemaren tidak lagi mau berbicara dengannya buka suara. Ternyata inilah
penyebabnya, karena perpisahan itu sehingga dia mogok untuk berbicara.
Mendengar apa yang di sampaikan Dhea kembali para akhwat terdiam, ternyata tinggal sebentar
lagi kebersamaan mereka. Tiga minggu lagi. Mereka pun menarik nafas dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat, terlihat sekali betapa mereka tidak mau berpisah dengan Aibi
Lain pemikiran manusia lain pula yang tercatat di lauh mahfus. Ternyata kebersamaan mereka tidak
lama lagi tinggal hitungan jam mereka akan bersama.
Mendengar apa yang disampaikan teman-temannya, Aibi terharu. Ia susah payah menyembunyikan
air matanya. Jepang yang selama ini menjadi impiannya, tiba-tiba menjadi sesuatu yang
mengkhawatirkan hatinya. Semuanya berubah menjadi teka teki yang sulit untuk dijawab. Akankah
disana dia berjumpa lagi dengan orang-orang luar biasa seperti disini? Entahlah. Dia tidak ingin
membayangkan hal itu lebih jauh lagi. Biarlah semua itu menjadi teka teki yang akan terjawab nanti
setelah dia ada disana.
Dipejamkannya matanya untuk menghapus semua bayangan yang itu. Entah kenapa tiba-tiba dia
berubah menjadi pesimis.
“Dhea.... Kakak kan hanya sementara saja kesana. Setelah kuliah Kakak selesai, Insya Allah Kakak
akan kembali lagi kesini. Lagi pula kita masih bisa berhubungan kok. Bukankah kecanggihan dari
teknologi bisa mendekatkan yang jauh? Sehingga kita masih tetap bisa saling berbagi? Lalu apa lagi
yang harus kita takutkan?”. Aibi berusaha menghibur Dhea
Ah... dia benar-benar tidak tahu, justru semua itulah yang akan membuat saya frustasi dan hampir
gila. Semua itulah yang akan menyiksa batin ini selama bertahun-tahun, ujar Aibi dalam hati
****
5
Perjalanan Ke SMA Lima
Pagi yang indah. Matahari sudah merangkak naik. Kesibukan mulai memuncak dan manusia mulai
mengais-ngais rezki yang telah di peruntukkan untuk mereka. Maka beruntunglah orang-orang yang
bertebaran di muka bumi ini setelah subuh beranjak mendekati pagi. Kemudahan itu memang di
peruntukkan bagi orang-orang berusaha dan bekerja keras penuh keikhlasan.
Aibi telah berada di atas angkot yang akan mengantarnya sampai SMA Lima. Dia telah mengabari
akan keberangkatannya ke SMA tersebut. Wajah cantiknya begitu cerah dan sejuk di pandang mata.
Senyum manis selalu terlukis di bibirnya yang merah. Jika kawan-kawan yang akan di wisuda sibuk
memanjakan kulit wajahnya di salon, dia malah sibuk menikmati perjalanannya menuju SMA Lima.
Dia bahagia sekali. Senyum manis tidak pernah hilang di bibirnya karena sebentar lagi dia akan
berbagi ilmu dengan mujahidah-mujahidah sholehah yang sangat dicintainya
Aibi sibuk bercengkrama dengan balita yang ada di atas angkot yang memakai baju olahraga Paud.
Dia memang paling senang dengan anak kecil, apalagi anak cadel. Dia paling senang karena lucu
kalau sudah mendengar anak cadel itu berbicara. Mengajarkan balita itu bernyanyi balonku ada
lima, tentu saja dengan suara yang pelan. Dia bahagia sekali ketika balita itu memanggilnya dengan
panggilan Kak Bibi. Lucu terdengar di telinganya.
****
6
Sepasang Elang Terbang Melingkar
Waktu menyimpan misteri. Kita hanya bisa menjalaninya. Detik, menit, jam. Itulah kodrat
kehidupan. Dalam sekejap apapun bisa berubah. Sebuah tawa kadang diakhiri dengan air mata.
Sebaliknya, sebuah tangis kadang diakhiri oleh rasa bahagia. Namun tidak semua orang bisa
menerima kenyataan yang pahit dengan lapang dada. Adapun kebahagiaan terkadang ada yang
meluapkannya hingga lupa diri. Lupa untuk bersyukur.
Kata orang yang paling akrab dengannya waktu adalah buku usang. Masa itu datang
mendekatinya secara perlahan tapi pasti. Selangkah, dua langkah, dan semakin mendekati urat
lehernya sendiri. Tempat itu pun semakin dekat. Tinggal hitungan detik, angkot yang di
tumpanginya benar-benar akan berhenti tepat di depan tempat tujuannya yang akan
menghantarkannya menuju tempat paling sepi dalam hidupnya.
Dengan wajah penuh keceriaan di langkahkannya kakinya menuruni angkot. Seperti tidak
mempunyai beban lagi, dengan langkah kaki ringan di seretnya tubuhnya bersiap melintasi jalan
besar yang terhampar. Sebelum dia memulai melintasinya, dilihatnya jam yang melilit pergelangan
tangannya. Tepat jam 11.30. Dia pun tersenyum karena tidak terlambat.
Di seberang sana dilihatnya dua orang remaja putri yang memakai baju seragam batik sudah
menunggunya sambil tersenyum lebar. Dia pun menebak, yang kiri yang pakai kaca mata sama
seperti dirinya itu pasti Riri yang menelfonnya tadi pagi. Senyum Riri lah yang paling ranum dan
bahagia sekali menyambut kedatangannya.
Aibi pun celingukan kiri dan kanan memperhatikan apakah masih ada yang kendaraan yang mau
lewat. Biasanya hari jumat sangat jarang sekali kendaraan yang lalu lalang. Dengan berucap
bismillah Aibi mulai menyeberangi jalan raya dengan santai.
Tapi, belum sampai ia tiba di seberang jalan tiba-tiba sebuah mobil inova melaju dengan kecepatan
tinggi. Awalnya Aibi menganggap tidak akan apa-apa karena jaraknya masih jauh. Tapi sepertinya
mobil tersebut tidak bisa dikendalikan oleh pengendaranya sehingga dalam hitungan sepersekian
detik kejadian naas itu pun terjadi. Aibi panik seketika karena sudah tidak bisa lagi mengelak. Dia
hanya bisa pasrah menerima takdir Tuhan. Mobil itu pun langsung menabraknya. Tidak alang lagi
tubuh itu terpental jauh. Tiba-tiba Aibi merasakan kesunyian panjang mencekam hidupnya. Segala
suara yang ada di bumi ini se akan hilang di telan bumi. Wajah Mama dan Papanya berkelabat di
benaknya. Aibi terhempas. Tubuhnya membentur trotoar jalan. Sepertinya nyawanya tak bisa lagi
ditolong. Ia bagaikan se onggok bangkai yang tak berguna.
****
Bercak darah ada di mana-mana. Rok putih yang dipakainya itu pun telah berubah warnanya
menjadi merah. Darah segar mengalir bak menganak sungai. Tiba-tiba langit berubah mendung.
Langit yang tadinya cerah kini telah berubah menjadi gelap. Awan putih yang tadi berarak-arak, kini
telah berubah menjadi awan hitam yang siap memuntahkan kandungan air yang ada di dalamnya.
Jauh di atas sana, dua ekor elang terbang melingkar seolah-olah ingin mengabarkan berita duka itu
kepada semua orang yang ada di permukaan bumi ini. Wajah itu telah mengeras, pucat pasi.
Malang tidak dapat ditolak dan mujur pun tidak dapat diraih. Malang dapat terjadi sekejap mata,
mujur pun demikian adanya. Manusia hanya menjalankan kehidupan ini sesuai dengan titah
Tuhannya. Takdir Tuhan jualah yang menentukan segala-galanya. Kita bisa bermimpi dan bercita-
cita setinggi apapun yang kita inginkan, tapi Tuhan yang akan menentukan. Apakah kita bisa meraih
dan mendapatkannya? Tuhanlah yang menentukan segala-galanya. Cita-cita kehidupan itu perlahan
mulai tertutup. Matahari kehidupan pun langsung berubah mendekati warna ketuaan zaman. Semua
cita dan impian itu terbang entah kemana.
Mulut yang biasanya selalu tersenyum ramah kepada siapa pun dan selalu memberikan kata-kata
yang menyejukkan hati setiap orang yang mendengarnya, hari ini telah disulap menjadi bungkam.
Dan mata itu, mata yang selalu memandang penuh keteduhan yang mampu mendatangkan
ketenangan hati kini telah terpejam. Wajah penuh ketawadhukan itu, kini telah berubah pucat pasi.
Manusia kebanggaan itu sudah tidak berdaya lagi. Bahkan beberapa saat dibiarkan bergelimpang di
trotoar jalan begitu saja dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Siapakah yang akan mengurus
tubuh tak berdaya tersebut?
****
Sementara nun jauh di kabin pesawat di atas udara sana, seorang wanita separoh baya seperti cemas
menunggu landingnya pesawat yang ditumpanginya. Dia baru saja tersentak bangun dari tidurnya
tiga menit yang lalu. Di liriknya jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebentar lagi ia
akan tiba di Bandara Internasional Minangkabau. Perjalanan yang hanya 45 menit tersebut terasa
sangat lama sekali. Ia terlihat begitu gelisah di kursinya. Berkali-kali dia menggengam erat tangan
suami yang ada di sampingnya tapi tidak juga mampu menenangkan hatinya. Dia tidak tahu apa
penyebabnya. Pesawat yang di tumpanginya seperti stagnan di atas udara, tidak bergerak. Bagaikan
layang-layang yang dikendalikan dengan seutas tali dari bumi, kemudian pada ketinggian tertentu
layang-layang tersebut di tahan.
Hembusan nafas berat sering terdengar dari mulutnya. Mimpi yang menghampirinya dalam tidurnya
yang singkat tadi begitu nyata di rasakannya. Mimpi itu sangat mengusik hatinya. Anak gadis
semata wayangnya tiba-tiba datang menghampirinya dari belakang. Memeluknya dengan erat, tapi
hanya sesaat saja, kemudian dia melepaskan pelukannya dan berlalu begitu saja darinya tanpa pamit
terlebih dahulu. Tidak seperti biasanya. Kemudian senyumnya pun begitu tipis di bibirnya. Dia telah
memanggilnya dengan keras, tapi putrinya berlalu dan kemudian menghilang. Dia pun langsung
terbangun dari tidurnya. Ada apa dengan anaknya itu? Dia cemas akan terjadi sesuatu dengannya.
Hampir saja dia nekat mengaktifkan handphone selularnya, tapi untung saja dia ingat kalau dia
bukan sedang berada di ruang keluarga rumahnya yang mewah, tapi sedang di kabin pesawat. Maka
dimasukkannya kembali Hp nya ke dalam tas. Di liriknya ke samping kanan, suami tercintanya
masih sedang tertidur pulas. Tidak sampai hati dia membangunkannya.
Sementara di kamar wisma yang ditinggalkan, baju wisuda yang sempat ditangisi Aibi sebelum dia
berangkat ke kampus tadi pagi jatuh bersamaan dengan tubuhnya tepat membentur trotoar jalan.
Baju itu seperti tahu dan mengerti kalau tuannya sedang berjuang menghadapi maut
****
7
Gelombang Ujian
Dunia semakin kelam, kehampaan semakin mencekam. Semua kenangan itu meloncat dan meronta
ingin keluar. Bagi Aibi hari ini yang tersisa hanyalah serpihan-serpihan dari kehidupannya. Aibi
yang dulu begitu hebat, tak ditemukan lagi hari ini. Bagaimanakah tanggapan orang-orang yang
dulu pernah mengenalnya? Bahkan pernah sangat menyukainya? Masihkah mereka akan
menganggapnya seperti lima tahun yang lalu? Betapa dia tidak berani untuk berjumpa dengan
mereka. Biarlah segala duka ini menjadi miliknya. Biarlah segala penderitaan ini menjadi teman
hidupnya. Masa lalu itu harus di kubur dan di buang jauh-jauh. Biarlah semua menjadi kenangan
dan sejarah dalam hidupnya sebagai bukti kalau dia memang pernah ada dahulunya.
Pandangannya semakin jauh ke depan. Menerawang. Mencoba meraba-raba tentang kehidupan
yang tengah di jalaninya saat ini. Semuanya harus di sudahi. Semuanya harus di akhiri. Menangis
dan larut dalam kesedihan tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak akan mengembalikan
keadaannya kepada bentuk semula. Saatnya dia harus menata kembali kehidupannya. Walau apapun
yang terjadi kehidupan harus tetap dilanjutkan. Tidak boleh terhenti hanya sampai disini. Sudah
cukup tangisan. Telah lelah jiwanya mengutuki segala sesuatunya.
Di dapatinya bayang dirinya semakin nyata adanya. Dia memang sudah ditakdirkan untuk tetap ada
di kursi roda ini sampai ajal menjemputnya. Sampai maut merenggutnya kembali kepada pangkuan
sang Illahi. Jika dia senantiasa berada di atas kursi roda ini, itu tandanya dia akan banyak
merepotkan orang-orang yang ada di sekelilingnya
Satu persatu wajah orang-orang yang merawatnya selama ini hadir di pelupuk matanya yang
basah oleh air mata. Wajah Mama dan Papanya seketika terlukis di sana. Wajah yang semakin
terlihat layu yang kocar kacir mencari informasi ke segala penjuru di dunia ini mengenai tempat
pengobatan yang terbaik untuk kesembuhannya. Rela melakukan apapun demi melihatnya tertawa
dan tersenyum lagi. Tapi apa yang sudah dilakukannya?
Dia telah membalas segalanya dengan kekecewaan yang mendalam dengan sikapnya yang
bersikukuh untuk bertahan dalam kebisuan yang panjang. Kebisuan yang seperti tidak akan
berpenghujung. Suaranya bagaikan hilang di telan bumi. Bahkan beberapa kali sempat dia
melakukan percobaan bunuh diri karena merasa tidak bermakna dan tidak berarti lagi. Pernahkah
dia mengucapkan terima kasih? Sungguh selama ini kata-kata itu telah tercerabut habis karena
kebencian di dalam hatinya. Dia benci dengan kehidupan yang dilakoninya hari ini. Dia hanya
selalu membuat dua manusia mulia itu menangis sedih
“Oh Aibi... sudahilah dukamu. Berdamailah dengan keadaan. Akhirilah semuanya. Sampai kapan
kamu akan membuat orang tua mu susah? Bukankah menyaksikan kamu duduk di kursi roda
dengan tidak berdaya sudah cukup membuat mereka tersiksa? Kenapa kamu tambah lagi dengan
kebisuan panjang yang tak berpenghujung? Kenapa kamu hanya memikirkan perasaanmu saja Aibi?
Tidak kah kamu tahu, orang-orang yang ada di sekelilingmu juga menderita melihat sikapmu yang
tak kunjung normal? Mereka tahu kamu menderita menjalani semua ini. Mereka mengerti. Tapi
kenapa kamu tidak mengerti akan mereka? Lihat orang tuamu Aibi, akankah kamu membuat orang
tuamu menanggung semua beban ini begitu saja? Tidakkah kamu tahu bahwa kamu adalah satu-
satunya harapan orang tua mu? Bukankah mereka tidak menuntut banyak? Hanya satu yang mereka
inginkan darimu. Kembali seperti dulu. hanya itu. Tapi bukankah itu sangat sulit sekali?
Entahlah..... semua perasaan itu bergemuruh hebat di dada Aibi.
Oh Mama... Papa... Maafkan Aku Ma, Pa. Aku telah berdosa kepada Mama dan Papa. Aku telah
menyusahkan kalian. Apa salahnya Aku membantu meringankan beban Mama dan Papa. Apa
salahnya Aku berusaha menyenangkan hati Papa dan Mama dengan bersikap manis dan menerima
segalanya walau tidak dapat dipungkiri terasa sangat menyesakkan dada dan pahit di kerongkongan
ini. Mungkin Papa dan Mama lebih tersiksa dari pada saya selama ini. Maafkan Aibi Pa.. Ma...”
tubuh itu semakin terguncang hebat di atas kursi rodanya.
Matanya terus menerawang menyelami lautan hati yang paling dalam. Lautan yang selama ini telah
ditinggalkan dan tidak pernah lagi dibersihkannya. Segala kotoran telah menempel di bibir pantai
itu sehingga telah menggelapkan pemandangan mata. Dia hanya sibuk memikirkan peruntungan
nasib dirinya yang malang tanpa peduli dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Betapa dia
selama ini merasa orang yang paling sengsara dan menderita di atas dunia ini karena di dapatinya
dirinya yang sudah tidak bisa apa-apa. Betapa egoisnya dia selama ini.
Wajah suster Rahmi yang merawatnya hadir disana. Tersenyum tulus kepadanya. Suster Rahmi
yang begitu tulus dan ikhlas merawatnya selama ini. Bagaimana dia memandikannya, menyabuni
seluruh tubuhnya, menggantikan pakaiannya, menyisirkan rambutnya dan melakukan segalanya.
Tidak jarang Suster Rahmi harus membersihkan kotorannya yang tidak disadarinya ternyata telah
keluar begitu saja tanpa dia bisa membersihkannya. Bahkan terkadang suster Rahmi juga harus
membersihkan air seni yang sudah berserakan di lantai kamar karena dia bersikukuh mencoba ke
kamar mandi sendiri dan mengatakan dirinya tidak cacat. Akhirnya kursi rodanya oleng dan dia pun
terjatuh ke lantai. Sekuat tenaga dia berusaha untuk berdiri, tapi tidak bisa. Bahkan sedikitpun dia
tidak bisa beranjak dari tempat semula. Akhirnya dia terpaksa buang air kecil di ruangan kamar.
Untung ada Rahmi yang mengangkat dan memandikannya serta mengepel lantai. Dengan penuh
kesabaran dan kasih sayang Rahmi merawatnya. Andaikan tidak ada Rahmi hari itu mungkin
seharian dia akan bergelimangan air seni. Mungkin dia akan berkubang dengan kotorannya sendiri.
Tak sekalipun di dengarnya keluhan keluar dari mulut Rahmi.
Pernahkah dia mengucapkan terima kasih atas apa yang dilakukan Rahmi? Malah ia merutuk di
dalam hati. Bahkan terkadang dengan kasar dia mendorong tubuh Rahmi sampai terhuyung. Mana
Aibi yang dulu? Yang mudah mengucapkan terima kasih kepada siapapun? Mana Aibi yang dulu
yang selalu tersenyum kepada setiap orang yang ditemuinya? Telah hilangkah Aibi akibat duka
yang di alaminya ini?
Oh tidak... Sudah begitu banyak dosa yang telah dilakukannya selama ini ternyata. Tubuh itu
semakin terguncang hebat di atas kursi roda. “ Ya Tuhan, ampuni aku Tuhan. Kenapa begitu
rapuhnya aku? Jangan biarkan aku terbenam terlalu lama dalam duka nestapa ini. Kehidupan ini
harus dilanjutkan. Aku tidak boleh berhenti hanya gara-gara musibah ini”. Dia semakin terisak. Air
matanya pun semakin deras mengalir. Air mata penyesalan dan air mata keikhlasan menerima
takdir. Dia harus bangkit dari ketidak berdayaan ini karena dia tidak ingin mati dalam kehidupan
dan hidup dalam kematian.
Penyesalan selalu saja datang di akhir. Sejatinya kehidupan yang kita jalani hari ini merupakan titah
Tuhan. Dialah sang sutradara handal. Inilah takdir kehidupannya. Tidak menerima takdir sama saja
dengan mengingkari nikmat Tuhan. Lalu nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang kamu dustakan?
Lihatlah dirimu Aibi. Kamu masih dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayangimu. Kamu
masih punya Papa dan Mama yang teramat mencintaimu. Kamu punya teman, adik, bahkan seorang
perawat yang sangat menyayangimu. Lalu apa lagi yang membuatmu tidak menerima segala ini?
Terimalah segala ini dengan lapang dada. Berhentilah untuk menyesali segalanya. Konflik batin
semakin memuncak dalam dirinya
***
8
Menjemput Kebahagiaan Yang Hilang
Minggu pagi yang sibuk. Pak Rizaldi sibuk menghubungi para koleganya di berbagai manca negara
mencari info tempat pengobatan terbaik. Bu Aisyah pun tidak ketinggalan karena dia seorang
dokter. Dia tidak terlalu susah mencari informasi. Cukup dengan menghubungi para dokter yang
bekerja di rumah sakit. Dia pun disarankan untuk membawa putrinya berobat ke Rusia yang
mempunyai sistem pengobatan yang canggih untuk mengembalikan sistem kerja syaraf tulang
belakang yang telah rusak, yaitu dengan melakukan terapi sel induk.
Sel induk berasal dari janin manusia. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan terungkap sebuah
fakta bahwa tali pusar pada bayi yang baru lahir mengandung berjuta sel induk (stem cells). Sel
induk juga bernilai amat penting untuk pembentukan sel darah merah, sel darah putih maupun
platelet.
Di Rusia, para ilmuwan mampu mengambil pendekatan yang bijak terhadap fakta ilmiah ini dan
mendorong riset di bidang ini dengan giat. Salah satu cara yang mereka lakukan untuk
menyembuhkan penderita cidera syaraf tulang belakang adalah menempatkan seberkas jaringan urat
syaraf tulang belakang dari janin pada urat pasien yang putus. Secara teori sel-sel itu akan tumbuh
dan membentuk jembatan sehingga mengirimkan rangsangan-rangsangan ke bagian bawah pasien
sehingga kembali “on” seperti sedia kala. Melihat kondisi Aibi, sepertinya melakukan terapi sel
induk adalah pilihan terbaik.
Wajah wanita setengah baya itu berbinar-binar mendengar semua penuturan seorang dokter yang di
hubunginya tersebut. Tanpa buang-buang waktu langsung dihampirinya suaminya untuk
memberitahukan tentang semua itu dan merencanakan keberangkatan mereka ke Rusia untuk
pengobatan Aibi. Lebih cepat lebih baik., pikirnya. Masa depan lebih cerah tengah menunggu
putrinya. Dengan wajah penuh sumringah dihampirinya suaminya yang sedang sibuk menghubungi
koleganya di berbagai manca negara.
Melihat istrinya datang menghampirinya dengan wajah penuh sumringah, dihentikannya
pembicaraannya dengan koleganya dan mengamati istrinya dengan tatapan penuh tanya. Tapi yang
di tatap terus tersenyum manja kepadanya. Dia semakin penasaran berita apa yang dibawa istrinya
gerangan? Sehingga membuatnya tersenyum selebar itu? Seingatnya, selama lima tahun belakangan
semenjak kejadian kecelakaan yang di alami Aibi baru kali ini istrinya itu tersenyum lagi seperti ini.
Ada apakah gerangan?Lelaki itu berusaha menebak-nebak apa yang ada dalam benak istrinya
“Ada apa Ma? Kok Mama bahagia sekali?” Selidik Pak Rizaldi ke istrinya.
“Coba tebak berita apa kira-kira yang Mama bawa untuk Papa? Kerling istrinya manja. Sudah lama
sekali rasanya dia tidak berkomunikasi seperti ini bersama suaminya. Hampir lima tahun keluarga
mereka tenggelam dalam kesedihan dan kecemasan yang mencekam. Dan hari ini, akan kah semua
itu berakhir?
Mereka langsung mencari Aibi untuk mengabarkan berita gembira ini. Kali ini mereka yakin Aibi
sangat bahagia mendengar semua ini. Mereka bergegas menuju kamar Aibi. Begitu pintu dibuka,
sosok yang di cari tidak di temukan. Ayah dan Ibunya kemudian menuju teras samping, namun
sosok yang dicari juga tidak ada. Didekatinya Rahmi yang sedang sibuk membantu Bi Mariam
memotong sayur. Dulu pada saat membawa Rahmi ke rumah, mereka sudah sepakat mengangkat
Rahmi menjadi anak mereka. Ternyata Rahmi adalah anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan.
“Rahmi” panggil Pak Rizaldi begitu sampai di dapur
“Iya Pa.” jawab Rahmi cepat
“Apa kamu melihat Mbak mu? Dimana dia, Mi?” tanya Pak Rizaldi
Dengan lincah di arahkannya telunjuknya ke arah taman belakang rumah, sambil berkata “Itu Mbak
Aibi Pa. Sepertinya sedang menikmati udara pagi di taman sembari menghirup bau harum bunga
mawar”. Ungkap Rahmi
Dia dan istrinya langsung berlalu sambil mempercepat langkah mereka menuju Aibi. Tinggallah
Rahmi yang kebingungan di belakang. Ada apa gerangan dengan orang tua angkatnya? Kenapa
begitu terburu-buru mendekati Aibi? Dia pun terus memperhatikan dari dapur.
Langkah kaki Isyah tertegun ketika diperhatikannya sosok yang duduk di kursi roda itu tidak sedang
menikmati udara pagi seperti yang dikatakan Rahmi barusan. Tapi tubuh itu sedang bergetar hebat
karena menangis. Jiwa keibuan Bu Aisyah seketika langsung meronta-ronta ingin tahu. Dia ingin
tau apa yang ditangisi oleh putrinya? Kenapa dia menangis dengan begitu hebatnya?
Dengan langkah perlahan tapi pasti di hampirinya anak gadisnya dan di sentuhnya bahu Aibi
dengan lembut. Aibi terkejut, dan buru-buru menghapus air matanya. Di tangkapnya bayangan
Mamanya yang sedang berdiri di samping kirinya. Di tegakkanya kepalanya seraya tersenyum
“Mama...” katanya kemudian. Itu adalah kata-kata pertama yang dikeluarkannya semenjak dia tahu
dengan kondisi dirinya yang mengalami kelumpuhan begitu dia bangkit dari koma.
Alangkah bahagianya hati Bu Aisyah mendengar suara yang selama lima tahun ini telah hilang di
telan masa. Hari ini suara yang teramat di rindukannya itu telah kembali lagi. Dan yang lebih
penting dari semua itu senyum manis yang terlukis dibibir Aibi. Senyum yang selama lima tahun
sudah tidak pernah ada lagi. Tapi hari ini lihatlah, senyum itu begitu indah.
Bu Aisyah tidak tahan untuk tidak menangis. Dia pun larut dalam perasaan haru yang memuncak.
Di peluknya lembut Aibi sambil melolong “Oh anakku. Di peluknya tubuh itu kuat-kuat dan Aibi
pun memeluk tubuh Mamanya, pelukan yang takkan di lepaskannya.
Melihat apa yang terjadi di depan sana, Pak Rizaldi pun menghampiri dengan air mata yang
meleleh. Di sentuhnya bahu Aibi lembut. Aibi kembali menangis terisak. Kali ini dengan isakan
yang lebih keras lagi. Di ambilnya tangan Mama dan Papanya dan di ciumnya dengan penuh
perasaan. Lama sekali sampai dua tangan itu basah oleh air matanya.
“Maafkan Aibi Ma, Pa. Aibi telah menyusahkan hati Mama dan Papa. Aibi telah membuat Mama
dan Papa merasa bersalah dengan apa yang menimpa Aibi. Maafkan Aibi Ma, Pa. Aibi telah
membuat Mama dan Papa sedih selama ini”. Ia sesenggukan
Bu Aisyah dan Pak Rizaldi sudah tidak tahan lagi. Mereka berjongkok di depan Aibi dan
memeluknya dengan erat. Saking terharu dan bahagia, mereka kehilangan kata-kata. Maka
cukuplah air mata sebagai alat komunikasi yang bisa dimengerti
Burung camar pun terbang berbondong-bondong ke tepi pantai sebagai tanda bahwa pergantian
musim akan datang. Semburat merah saga di ufuk timur indah menghiasi langit bumi nan cerah,
secerah hati Pak Rizaldi dan Bu Aisyah memeluk putri semata wayangnya. Akhirnya rumah besar
itu pun setelah selama bertahun-tahun kehilangan aura kehidupan, hari ini akan kembali menjemput
kebahagian yang telah hilang.
***
9
Aku Ingin Sendiri
Kesendirian memang menyakitkan. Apalagi bila dalam ketidakberdayaan menghadapi
kenyataan yang pahit. Tapi terkadang kita membutuhkan kesendirian. Tidak berinteraksi dengan
manusia. Bercengkrama dengan hembusan angin atau sekedar mendengar rintik hujan. Kita
memerlukan waktu untuk merenung. Itulah yang dilakukan Aibi. Berusaha untuk menata kembali
hati dan dirinya. Berusaha untuk tersenyum walau sejatinya hancur di dalam sana. Percakapan-
percakapan kehidupan semakin banyak terjadi di dalam hatinya. Mencari tentang benar salahnya
kehidupan yang sedang di jalaninya.
“Sayang, boleh Mama mengatakan sesuatu?” tanya Bu Aisyah dengan hati-hati pada suatu malam
di ruang keluarga. Tradisi yang hampir hilang di dalam keluarganya.
“Tentang apa Ma?” tanya Aibi singkat.
“Sebenarnya beberapa minggu yang lalu Mama dan Papa menghubungi rumah sakit dunia untuk
mencari informasi tentang pengobatanmu. Alhamdulillah mereka menyarankan untuk membawamu
ke rumah sakit di Rusia yang mempunyai peralatan medis canggih dan modern. Mereka mempunyai
solusi untuk kasus yang kamu hadapi yaitu dengan terapi sel induk, sehingga syaraf-syaraf yang
rusak akibat kecelakaan dan cidera tulang punggung bisa di obati
“Mama dan Papa sangat setuju dengan pengobatan tersebut nak. Mana tau, memang di Rusialah
kamu akan mendapatkan kembali kesembuhanmu seperti dulu. Bisa berjalan lagi dan melanjutkan
kuliahmu ke Jepang. Bagaimana menurutmu, sayang?”. Sudah lama sekali mereka tidak berbicara
seperti ini. Dan sudah lama sekali mereka meninggalkan ritual berkumpul bersama di ruangan
keluarga. Selama ini kehidupan yang di jalani hanya disibukkan dengan kesedihan yang
berkepanjangan. Betapa keluarga kecil itu telah kehilangan arti kebersamaan selama ini.
Mendengar apa yang disampaikan Mamanya Aibi hanya diam saja. Jauh di lubuk hatinya yang
paling dalam, betapa dia sangat ingin bisa berjalan lagi seperti semula, dan merajut kembali
mimpinya untuk kuliah ke Jepang. Tapi setelah hampir selama lima tahun pergi berobat kemana-
mana telah membuatnya pesimis. Tidak ada hasil. Jangankan bisa membuatnya berjalan,
membuatnya bangkit dan berpindah dari kursi roda ke tempat tidur saja dia tidak mampu. Apakah
selama ini dia berobat dengan peralatan yang sederhana? Tidak. Bahkan setiap rumah sakit yang
mereka datangi mempunyai peralatan medis yang canggih dan modern.
Sudah terlalu sering tubuhnya di radio terapi untuk mendeteksi kerusakan syaraf tulang belakang
yang di alaminya. Hasilnya tetap sama. Nihil. Kesimpulan para dokter sama tidak ada yang berbeda,
hanya cara menyampaikannya saja yang berbeda. Bahwa kerusakan syaraf tulang belakang yang di
alami Aibi sangat akut. Tidak bisa lagi di sembuhkan lagi. Hanya mukjizat dari Tuhan sajalah yang
bisa menyembuhkan semua itu. Aibi tidak menjawab apa yang di utarakan Mamanya. Dia hanya
diam seribu bahasa.
Melihat Aibi yang terdiam sambil menundukkan kepalanya, Papanya pun angkat bicara “ Papa tahu,
kamu kurang yakin dengan semua ini. Tapi apa salahnya kita mencoba, sayang. Mana tau memang
di Rusia itulah tempat yang akan membuatmu sembuh, sayang. Seperti yang di katakan Mama
tadi”.
Aibi masih belum menjawab apa-apa. Dia mendesah panjang dan memejamkan matanya. Terlihat
sekali kalau dia begitu pesimis dan sudah bosan dengan segala macam terapi yang di laluinya
selama ini.
“Aibi rasa tidak usah Ma, Pa. Semuanya akan percuma saja. Toh, hasilnya akan tetap sama kan?
Aibi tidak akan bisa kembali seperti dulu lagi. Belasan rumah sakit telah kita datangi demi berharap
kesembuhan untuk Aibi dan puluhan juta bahkan mungkin sudah ratusan juta telah Mama dan Papa
habiskan untuk biaya pengobatan Aibi, tapi hasilnya Aibi tidak bisa di sembuhkan Pa. Itu hanya
akan menyedihkan hati Mama dan Papa dan juga Aibi. Semua itu hanya akan buang-buang waktu
dan juga uang”. Ungkap Aibi lunak. Kali ini tidak ada air mata lagi yang tumpah karena air mata itu
telah kering di kerongkongannya.
“Tapi sayang, apa tidak sebaiknya kita coba dulu? Mana tahu memang disana kamu akan
mendapatkan kesembuhan? Masalah uang berapa pun tidak usah kamu fikirkan, nak”. Kali ini yang
bicara adalah Bu Aisyah, Mamanya.
“Mama pasti lebih paham dengan kondisi yang Aibi alami hari ini Ma. Karena Mama juga seorang
Dokter. Mama yang lebih tahu, bukan? Lagi pula, apa Mama dan Papa sudah lupa kalau Aibi
Sarjana Biologi walau Aibi tidak pernah di wisuda. Yang banyak sedikitnya juga mengerti mengenai
tulang dan juga syaraf.
“Kerusakan yang terjadi bukan kerusakan sel atau jaringan yang bisa di sembuhkan dalam waktu
tertentu Pa. Ma. Bukan sekedar kerusakan tulang karena mengalami keretakan. Bukan hanya itu.
Bukan hanya sekedar penjepitan pada syaraf yang bisa disembuhkan dengan terapi. Tapi kerusakan
syaraf tulang belakang Pa, Ma. Sejauh ini belum ada cara untuk mengatasinya. Mama pasti tau itu.
Bahkan dua kaki yang Aibi miliki sudah tidak sempurna lagi. Keduanya telah mengecil karena
kelumpuhan ini. Syarafnya sudah tidak berfungsi. Akankah bisa di sembuhkan? Otot-otot kaki Aibi
pun hampir tidak berfungsi. Sekalipun dengan melakukan terapi sel induk, Aibi rasa sudah tidak
bisa lagi. Kita sudah terlambat untuk melakukan terapi, Ma.
“Pa... Ma... Aibi telah mengalami kelumpuhan selama lima tahun. Mama tahu bukan?Pasien yang
mengalami cidera pada syaraf tulang belakang hanya bisa di selamatkan dalam waktu tidak lebih
dari enam bulan saja. Ini sudah mustahil Ma. Apalagi Aibi mengalami koma yang cukup lama
setelah kecelakaan. Aibi tidak mau mengambil resiko lebih parah lagi. Aibi takut jangan-jangan
setelah menjalani terapi sel induk, malah Aibi tidak bisa lagi duduk. Kondisi sekarang saja sudah
membuat Aibi gila, Ma. Apalagi kalau Aibi tidak bisa duduk lagi, itu akan membuat Aibi lebih gila
lagi, atau mungkin bahkan mati.
“Sudahlah Ma, Pa. Terimalah kondisi Aibi yang seperti ini. Berhentilah untuk mencari pengobatan
apapun untuk Aibi, karena Aibi tidak akan bisa lagi sembuh. Aibi tidak akan bisa berjalan seperti
dulu lagi. Coba Mama dan Papa lihat kondisi kaki Aibi. Tidak ubah seperti kaki tengkorak yang di
balut kulit manusia. Ototnya sudah tidak ada lagi, Ma, Pa. Aibi mohon tolong jangan ada lagi
pembahasan mengenai semua ini di rumah. Aibi capek harus bertengkar setiap saat dengan bathin
Aibi Pa. Aibi lelah Ma. Hanya ketenangan yang Aibi inginkan saat ini. Kecelakaan itu, tolong bantu
Aibi untuk melupakannya. Biarlah Aibi menjalani kehidupan ini seperti apa adanya. Jika memang
Aibi akan selalu berada di atas kursi roda ini, biarlah. Aibi akan berusaha menerimanya dengan
ikhlas, walau semua itu terasa sangat sulit Ma.
“Maafkan Aibi, Aibi tidak bermaksud membantah kata-kata Mama dan Papa. Tapi saat ini, Aibi
hanya ingin ketenangan. Aibi ingin melupakan semuanya. Mungkin Aibi terlalu pesimis. Aibi tahu
Papa dan Mama sangat menginginkan Aibi untuk bisa berjalan lagi. Itu tidak hanya keinginan
Mama dan Papa, tapi juga keinginan Aibi. Hal itu tidak akan terjadi Ma, kecuali jika ada keajaiban
Allah”. Ungkap Aibi panjang lebar
Setelah terpuruk dalam kesedihan panjang, akhirnya Aibi mampu menerima apa yang terjadi dalam
hidupnya. Jiwa yang murni itu kembali bercahaya di wajah yang mulai meredup.
“Baiklah sayang. Jika itu yang kamu inginkan. Kami tidak akan membicarakan masalah itu lagi”.
Ucap Bu Aisyah pelan. Betapa hatinya hancur mendengarkan semua itu tapi dia harus menghargai
keputusan Aibi. Lagipula benar apa yang di katakan Aibi. Mustahil Aibi akan bisa berjalan lagi
dengan kondisi kedua kakinya yang sudah mengecil. Ah, kenapa dia bisa lupa dengan kenyataan
itu? Betapa hatinya basah mendengar apa yang di utarakan Aibi. Sementara Pak Rizaldi tampak
sedang berusaha keras untuk menyembunyikan air matanya dengan menengadahkan kepalanya ke
atas.
***
Melupakan bukanlah suatu perkara yang sangat mudah dalam hidup ini, apa lagi melupakan suatu
peristiwa yang telah membuat hidup menjadi sengsara dan menderita. Mulut boleh jadi telah
berkata melupakan segalanya, tapi hati sulit menerimanya. Pergolakan bathin itu masih saja terjadi.
Menghadapi kehidupan dengan suram, siapa yang mau? Cita-cita telah ditanam selama bertahun-
tahun. Impian telah di semai tapi tiba-tiba hanyut karena banjir bandang kesedihan
Kala sendiri, masih kerap dia menangis membayangkan masa depannya. Dia hanya bahagia ketika
di depan orang-orang yang dicintainya. Dibelakang mereka, sering air mata itu jatuh tak
terbendung. Bayangan kehidupan yang suram telah menghantuinya. Betapa dia cemas memikirkan
kehidupan kedepan. Berapa tahunkah lamanya dia akan menyusahkan orang-orang yang di
cintainya? Dia yang dulu adalah seorang yang mandiri dan aktif, kini hanya duduk di kursi roda.
Ah, semua terasa berat kawan.
Hanya kepada Allahlah segala duka yang di rasanya dilabuhkan. Dengan demikian maka
ketenangan akan menghampiri hatinya sesaat. Dia telah membenamkan dirinya dengan ritual ibadah
panjangnya kepada Allah. Beruntung dia pernah mengetahui banyak hal tentang agama. Itulah yang
menjadi tameng dan benteng dalam hidupnya. Di balik tubuhnya yang lemah dia persiapkan jiwa
yang tegar walaupun terkadang masih ada saja air mata duka menghantuinya.
Mama dan Papanya kerap melihat Aibi menangis sendiri. Begitu mereka menghampiri, maka dia
akan buru-buru menghapus air matanya dan menyembunyikan kesedihan di balik senyum yang di
paksakan. Ya Allah, begitu sulitkah melupakan semuanya? Lihatlah, tubuh itu semakin tidak
berdaya, padahal dia telah mengatakan dia telah menerima segalanya dengan lapang dada, begitu
sulitkah untuk ikhlas?
****
“Ma, jika Mama mengizinkan Aibi ingin menenangkan diri di perkampungan nelayan, pesisir. Aibi
ingin menghindar dari hiruk pikuk kehidupan ini. Disini, Aibi merasa hidup Aibi hampa. Mungkin
disana ada sesuatu yang bisa Aibi lakukan. Mungkin disana Aibi bisa memulai kehidupan dengan
hal yang baru. ” Kata Aibi suatu ketika pada Mamanya yang sedang menemaninya di kamar.
“Kenapa harus kesana nak? Apa disana tidak akan membuatmu lebih sedih lagi?Mama khawatir
nanti kamu ingat lagi kejadian yang menimpamu dulu. Bukankah peristiwa itu terjadi disana? Apa
tidak sebaiknya kamu di sini saja?
“Entahlah Ma. Aibi rindu sekali ingin ke sana. Aibi ingin menikmati hari-hari di sana. Aibi merasa
disana akan Aibi temukan ketenangan Ma. Disini Aibi merasakan kehampaan yang panjang.
Disanalah kehidupan yang lebih baik tengah menunggu Aibi. Setelah berbulan-bulan Aibi
merenung, hati Aibi rindu ingin ke sana. Talang perindu itu rasanya memanggil-manggil Aibi Ma.
Aibi janji, setelah Aibi bisa menata hati Aibi, Aibi akan kembali lagi kesini untuk Mama dan Papa”.
Bu Aisyah mendekati putrinya dan membelai lembut kepalanya. Dia mengerti, bahkan sangat
memahami sekali perasaan putrinya saat ini. Memang butuh waktu yang sangat lama untuk
mengembalikan segalanya. Saat ini mengabulkan apapun permintaan Aibi sangat baik untuk
perkembangan jiwanya. Sebagai dokter dia tahu, kalau Aibi memang sangat membutuhkan suasana
seperti ini. Dia tidak akan menghalangi keinginan anaknya itu. Jika memang disana Aibi
menemukan ketenangan, kenapa dia harus melarangnya?
“Baiklah sayang. Mama akan membicarakan masalah ini dengan Papamu. Kapan rencananya kamu
kesana nak?” tanya Bu Asiyah dengan air mata yang ditelan ke dalam.
“Jika Mama dan Papa mengizinkan, bulan depan Aibi sudah mau berangkat kesana Ma”. Jawab
Aibi sembari memeluk tubuh Mamanya.
“Baiklah. Mama akan minta Papa untuk mempersiapkan segala sesuatunya, ya. Mudah-mudahan
kamu menemukan ketenangan itu, sayang. Jika kamu tidak menemukan apa yang kamu cari di sana,
kembalilah kesini secepatnya. Mama tidak ingin jauh dari mu sayang”. Begitu berat rasanya.
Katanya sembari memeluk putrinya dengan penuh cinta dan kasih
”Rahmi, kamu tolong temani Mbakmu disana ya”. Kata Bu Aisyah kepada Rahmi yang duduk tidak
jauh dari sana.
“Baik Ma...” Jawab Rahmi singkat.
***
10
Balas Budi
Layar sudah di kembangkan dan sauh pun sudah di angkat. Kapal itu siap menyebrangi lautan dan
siap menghadapi amukan gelombang yang mengganas. Bukan gelombang besar yang di takuti.
Begitu gelombang itu membesar, semua orang akan meningkatkan kesiagaan penuh untuk
keselamatan dirinya. Tapi gelombang kecillah yang di takuti, karena kita sering lalai dengan hal-hal
yang kecil yang biasanya mula dari petaka besar yang akan menimpa kehidupan manusia.
Pak Rizaldi yang sudah menjalani kehidupan ini lebih dari setengah abad telah membaca segalanya.
Amukan gelombang besar itu telah di hadapi putrinya. Dia sudah hampir berhasil, tapi kali ini
gelombang-gelombang kecil masih mengganggu kehidupannya. Dia tidak ingin gelombang-
gelombang kecil itu memporak porandakan kehidupan putri semata wayangnya. Apapun akan di
lakukannya untuk mengeluarkan putrinya dari sana. Sekalipun harus mengirimnya ke negeri yang
jauh. Apa pun akan dilakukan.
“Deni, kamu adalah orang kepercayaan saya yang selama ini telah menemani saya kemana pun
saya pergi. Sekarang saya akan mempercayakan anak saya Aibi kepadamu. Selama dia di Padang
tolong kamu jaga dia dengan baik. masalah anak dan istrimu, kamu bawa serta mereka ke Padang
biar ada yang menghibur Aibi di sana karena dia sangat suka dengan anak-anak”. Kata Pak Rizaldi
pada Deni suatu sore. Deni adalah sopir pribadinya kepercayaannya selama bertahun-tahun.
“Saya akan bicarakan dulu dengan istri saya Pak. Mudah-mudahan dia bersedia ikut serta ke
Padang”. Timpal Deni.
“Baiklah, dua hari lagi saya tunggu kepastian darimu. Saya sangat berharap kamu bersedia untuk
menjaganya di sana. Saya hanya percaya padamu. Bicarakanlah dengan istrimu baik-baik. Jika dia
tidak mau, jangan kamu paksakan. Berarti saya harus mencari orang lain untuk menjaga Aibi
disana”.
“Baiklah Pak, saya akan datang lagi menemui Bapak secepatnya.”
***
Deni yang semula hanya merupakan seorang pedagang asongan suatu ketika di keroyok oleh
preman jalanan. Mereka mengambil semua uang yang menjadi modal usahanya, sehingga dia sudah
tidak punya modal lagi. Sementara itu istrinya baru saja selesai melahirkan waktu itu. Dia pusing
kemana harus mencari pinjaman, dan iseng-iseng dia yang hanya berbekal ijazah SMA
memasukkan lamaran ke kantor Pak Rizaldi yang kebetulan membutuhkan sopir kantor. Akhirnya
dia diterima. Tak terkira bahagia hatinya.
Suatu ketika iaia mendapat tugas mengantar Pak Rizaldi ke Bandara karena akan berangkat ke
Surabaya untuk memenangkan tender pembuatan jembatan layang yang menghubungkan Surabaya
dan Madura yang di kenal dengan jembatan Suramadu itu. Malang, karena buru-buru dia lupa
membawa kopernya yang berisi uang.
Untung koper itu di simpan Deni baik-baik dan tidak diserahkannya kepada sekretaris pribadi Pak
Rizaldi, karena dia takut nanti tidak di serahkan kepadanya. Biarlah dia sendiri yang
menyerahkannya kepada Pak Rizaldi. Semenjak itu Deni menjadi sopir pribadi Pak Rizaldi dan
merupakan orang kepercayaaannya.
Hari ini, Pak Rizaldi yang baik itu juga meminta tolong kepadanya untuk menjadi sopir
anaknya dan menjaganya di Padang. Pantaskah dia menolak? Sedangkan segalanya telah diberikan
Pak Rizaldi kepadanya. Rumah, fasilitas yang cukup dan bahkan membiayai biaya rumah sakit anak
sulungnya yang diserang penyakit radang paru-paru yang akhirnya tidak dapat tertolong lagi. Pak
Rizaldilah yang membayar semuanya tanpa memperhitungkannya sedikitpun. Bahkan sampai hari
ini Pak Rizaldi tidak pernah mempertanyakan uang yang habis untuk biaya pengobatan anak
sulungnya tersebut. Pantaskah dia menolak? Maka malam itu diyakininya istrinya, agar mau ikut
bersamanya ke Padang untuk menjaga Aibi.
“Ibu, anak-anak bisa kita bawa kesana. Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa dengan mereka
selama disana. Bu.... Ayah butuh persetujuan Ibu. Pak Rizal sudah mempercayakan Mbak Aibi
kepada kita. Yakinlah Bu, ini tidak akan sia-sia.” Deni memulai pembicaraannya dengan istrinya
Sri.
Sri hanya terdiam mendengar penuturan suaminya. Dia tahu suaminya adalah orang kepercayaan
Pak Rizaldi yang baik itu. Dan dia juga tahu Aibi anaknya Pak Rizaldi, dia juga sangat baik sekali.
Tapi pergi ke Padang dan menetap di sana dalam waktu yang belum di ketahui entah sampai kapan,
membuatnya sedikit agak keberatan. Padang, terlalu jauh dari kampung halamannya. Tapi menolak
keinginan suaminya, jelas tidak mungkin karena dia tahu siapa suaminya. Dia juga tahu kesetiaan
suaminya pada Pak Rizaldi.
“Sampai kapan kita akan di Padang Yah? Ibu tidak ingin anak-anak kita nanti sekolah disana dan
jauh dari kampung halaman mereka”. Jawab Sri setelah terdiam cukup lama. Merasa tidak punya
alasan yang kuat lagi untuk mendebat suaminya, Sri akhirnya menyetujuinya
“Kita do’akan saja supaya tidak lama. Mudah-mudahan Mbak Aibi cepat bisa menata hatinya
sehingga kita bisa kembali ke sini secepatnya”. Kata Deni sembari menggenggam erat tangan
istrinya.
“Tapi Yah, Ibu sanksi Mbak Aibi bisa melupakan semua yang terjadi dalam hidupnya dengan cepat.
Ibu khawatir Mbak Aibi tidak bisa melupakan semuanya. Apa yang menimpa dirinya sangat
memilukan. Selama itu pula kita akan berada di Padang? Padang itu terlalu jauh Yah, dan terlalu
asing untuk kita. Ibu takut semua itu justru merusak perkembangan anak kita. Kita akan serumah
dengan Mbak Aibi yang notabenenya seorang cacat yang tidak bisa apa-apa. Apakah hal itu tidak
akan mempengaruhi perkembangan anak kita? Karena saban hari mereka akan melihat Aibi di bantu
dan melamun di atas kursi rodanya. Ibu takut dengan semua itu. Mereka terlalu kecil untuk
menyaksikan semuanya, Yah”. timpal Sri dengan menundukkan kepalanya. Tidak terbayang
olehnya bagaimana kehidupan di Padang yang akan di jalaninya bersama orang cacat seperti Aibi
yang sudah tidak bisa apa-apa, kecuali hanya duduk di kursi rodanya.
“Sayang... Justru dengan mereka melihat keadaan Mbak Aibi akan mengajarkan arti empati kepada
mereka. InsyaAllah mereka akan tumbuh menjadi anak yang penuh perhatian dan memahami
lingkungannya dengan baik. Percayalah Bu, Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa. Ayah yakin,
serumah dengan Mbak Aibi akan memberikan pengaruh yang positif kepada anak-anak kita. Kita
tahu Mbak Aibi adalah anak yang baik. Kebaikan itu masih ada di dalam hatinya, walau kebaikan
itu hari ini masih terbenam dalam kesedihan panjang. Tapi percayalah Bu, kebaikan itu akan
kembali muncul dan orang yang akan membantu untuk memunculkan kembali kebaikan itu adalah
kita Bu.
“Tidakkah Ibu ingin membalas semua kebaikan yang telah di berikan Pak Rizaldi kepada kita
selama ini dengan menjaga anak semata wayang yang sangat dicintainya? Bu, Ayah rasa inilah
kesempatan kita untuk membalas semua kebaikan Pak Rizaldi kepada kita selama ini karena kalau
kita bayar dengan uang, kita tidak akan pernah bisa membalasnya” ujar Deni sembari membelai
lembut istrinya dan menggenggam erat tangannya.
“Hmm...” Kali ini Sri tidak bisa menjawab lagi. Apa yang di katakan suaminya ada benarnya juga.
Inilah kesempatan baginya dan suaminya untuk membalas semua kebaikan Pak Rizaldi kepada
keluarganya selama ini. Dia ingat apa yang dilakukan Pak Rizaldi ketika anak sulung mereka
menderita penyakit kelainan paru-paru yang membutuhkan puluhan juta biaya untuk
pengobatannya. Semua itu di bantu oleh Pak Rizaldi tanpa mereka harus membayar dan
mengembalikan uang tersebut. Pak Rizaldi mengatakan kalau mereka sudah seperti keluarga
baginya. Lalu hari ini apa haknya untuk menolak permintaan orang yang telah berjasa banyak
dalam kehidupan keluarganya selama ini? sehingga dia dan keluarganya mampu hidup mapan dan
serba berkecukupan.
Ah dia tidak punya alasan untuk menolak. Di angkatnya kepalanya, dan di tatapnya wajah suami
yang sangat di cintainya itu. Dilihatnya wajah itu, begitu teduh dan tenang. Bersih dan segar. Tidak
se tirus dan sekumuh dulu lagi, enam tahun yang lalu. Di lihatnya anak-anaknya tertidur pulas di
samping kirinya. Anak-anak yang sehat dan bersih. Matanya beralih ke bayangan wajahnya yang
ada di cermin rias kamarnya. Dilihatnya wajah yang bersih dan bercahaya tidak sekusut dulu lagi.
“Hmmm....” dihelanya kembali nafas beratnya dan kemudian di hempaskannya kuat-kuat.
Dipejamkannya matanya dan ditariknya tangan suaminya yang masih menggenggam tangan
kanannya ke dadanya sembari berucap.”Ibu ikut Ayah saja. Kalau menurut Ayah ini yang terbaik,
Ibu ikut. Insya Allah Ibu ridho Yah. Ibu akan ikut kemana Ayah pergi”. Jawabnya kemudian dengan
setetes air bening bergulir di sudut matanya sembari tersenyum.
“Alhamdulillah.... terima kasih ya Bu. Insya Allah ini adalah yang terbaik Bu. Ini adalah jalan yang
di berikan Allah kepada kita untuk membalas semua kebaikan Pak Rizaldi, Bu”.
Setelah susah payah meyakinkan, akhirnya istrinya itu luluh juga dan bersedia ikut. Tidak dapat
dipungkiri kebaikan Pak Rizaldi selama ini tidak akan terbalaskan oleh mereka.
***
11
Nostalgia Masa Lalu
Di batu itu, telah diukir barisan cerita bathin yang bertema keajaiban tarian cinta. Tema yang
tak terbatas oleh benteng keabadian, menghidupkan kembali tulisan senja yang hampir hilang di
telan malam.
Keberangkatan menuju janji kehidupan yang lebih baik pun telah di atur. Tangisan perpisahan
terdengar pilu menyayat hati, tapi ada pesan tersirat dalam ratapan itu. Pesan penuh kesiapan
menghadapi amukan gelombang yang sedang bermain. Pesan tentang kesiapan menghadapi
kenyataan yang sungguh sangat menghancurkan hati. Pak Rizaldi akan ikut serta dalam perjalanan
penting itu, menghantarkan putri semata wayangnya menuju negeri sejuta pasir yang akan menjadi
titik balik dari kehidupan yang akan di jalaninya. Dia telah mempersipkan segala sesuatu yang
dibutuhkan Aibi selama di kampung.
Aibi tidak tahu berapa lama berada disana, yang jelas dia akan menikmati kehidupannya barunya
itu. Dia akan menyelami kembali kedalaman hatinya dan kejernihan fikirannya. Mencari kembali
dasar hati yang pernah hilang dan terkubur kesedihan. Dia telah berniat akan menata hatinya dengan
baik. Setelah itu dia akan kembali lagi kesini, menjalani kehidupan bersama Mama dan Papanya.
Setelah melakukan penerbangan selama 45 menit akhirnya pesawat yang membawa mereka landing
di Bandara Internasional Minangkabau. Sebuah mobil Avanza silver telah menunggu mereka. Mobil
itu telah dibeli Pak Rizaldi, karena dia tahu Aibi pasti sangat membutuhkannya untuk pergi kemana-
mana.
Perjalanan dari Katapiang Padang Pariaman sedikit mengobati hati Aibi. Dia sedikit bernostalgia
dengan masa lalunya sebelum dia jatuh tidak sadarkan diri di tempat duduknya karena kelelahan
melakukan perjalanan panjang. Rasa sakit mulai menyerang punggungnya dan area sekitar
pinggulnya. Melihat Aibi menjerit menahan rasa sakit membuat Papanya yang duduk di depan di
samping Deni cemas. Tapi untunglah Rahmi cepat bertindak dengan menstel tempat duduk Aibi
dengan posisi di rebahkan sehingga Aibi menjadi lebih nyaman. Tapi tetap saja rasa sakit di
punggungnya tidak bisa hilangkan.
Semenjak kecelakaan yang di alami Aibi, dia tidak pernah mampu melakukan perjalan panjang
yang memakan waktu berjam-jam. Punggungnya hanya bisa tahan duduk selama dua jam saja.
Lebih dari dua jam, maka rasa sakit mulai menyerang area sekitar punggung dan pinggulnya.
Seperti ada seribu jarum yang menusuk-nusuk di sana. Maka selama dalam perjalanan posisi Aibi
harus dibuat senyaman mungkin. Jika masih sakit, jalan satu-satunya adalah dengan memberikan
injeksi ke tubuh Aibi dengan menyuntikkan cairan penghilang rasa sakit.
Mereka sampai di rumah Nenek Aibi ketika malam telah merangkak naik. Pintu pagar terdengar
berderit ketika di buka. Lampu temaram yang hidup siang dan malam yang tergantung di teras
rumah memberikan kesan angker. Lantai marmer yang putih telah berubah warna menjadi
kekuning-kuningan karena sudah terlalu lama tidak dibersihkan. Pintu pun dibuka dan lampu
dinyalakan. Tampak perabotan yang ada di dalam terbungkus kain. Mereka sedikit lega. Berarti
tidak terlalu banyak debu yang menempel di perabotan rumah. Beruntung sekali ketika Aibi selesai
melakukan penelitiannya ia punyai ide kreatif untuk membalut semua perabotan yang ada dengan
kain. Semua orang bekerja membersihkan rumah malam hari itu, kecuali Aibi dan dua anak Deni
yang telah tertidur pulas.
Aibi tidak sepenuhnya diam, walau rasa sakit di area pinggangnya semakin sering muncul. Sekuat
tenaga dia berusaha untuk menahannya, bahkan setengah jam yang lalu Rahmi baru saja selesai
menyuntikkan cairan penghilang rasa sakit ke punggung Aibi yang sudah terasa kebas. Aibi sibuk
menggerakkan kemoceng kesana sini membersihkan debu yang menempel di kursi.
Akhirnya tiga kamar tidur telah berhasil di bersihkan. Mereka memutuskan untuk melanjutkannya
besok saja. Kapan perlu mereka nanti akan member upah kepada penduduk untuk membersihkan
rumah dan pekarangan yang telah dipenuhi semak belukar. Pak Rizaldi sudah merencanakan akan
mengganti cat rumah dengan warna yang lebih asri biar menyejukkan mata Aibi
Halaman yang luas, kini telah bersih karena rumput yang tumbuh telah dipotong dan di rapikan. Cat
rumah pun telah diperbarui dengan warna biru lembut, warna kesukaan Aibi. Semua perabotan
rumah telah di bersihkan. Karpet yang terbentang di tengah-tengah rumah telah di cuci dan di
bersihkan. Jendela-jendela telah bersih dari debu. Gorden baru telah di pasang di pintu dan jendela.
Rumah itu tampak terlihat mewah. Semua lampu telah diganti dengan yang lebih mentereng.
Sebuah bangku taman di buatkan oleh Pak Rizaldi untuk bersantai di sore hari untuk putrinya
tercinta. Semua bunga-bunga yang mati dan layu telah di bereskan oleh Rahmi dan Sri istrinya
Deni. Semua loteng yang sudah buram telah di ganti dengan yang baru. Selama seminggu lebih
kurang mereka membersihkan rumah dan perabotannya.
Semua pekerjaan telah selesai. Pak Rizaldi harus kembali lagi ke Jakarta secepatnya. Banyak
pekerjaan menunggunya di sana. Banyak dokumen penting yang harus ditandatanganinya.
“Sayang, besok Papa akan kembali ke Jakarta. Kamu harus menjaga dirimu baik-baik disini ya.
Ingat, setelah kamu merasa nyaman, kembalilah ke Jakarta. Nikmatilah kehidupanmu disini. Jika
kamu membutuhkan sesuatu, minta sama Rahmi, Mas Deni dan Mbak Sri. Anggap mereka sebagai
saudaramu sendiri. Jika ada sesuatu yang harus di bicarakan, bicarakan baik-baik. Mama dan Papa,
Insya Allah akan sering menghubungimu, sayang. Baik-baik disini ya”. Kata Pak Rizaldi suatu
malam setelah selesai makan malam. Dia sebenarnya ingin lebih lama lagi di sini, tapi karena telfon
sudah datang bertubi-tubi menanyakan kapan dia akan ke kantor. Ditambah lagi dia kasihan istrinya
yang kesepian di Jakarta. Hanya di temani pembantu di rumah.
“Iya Pa. Terima kasih ya Pa. Aibi sayang Papa. Katakan ke Mama, Aibi baik-baik saja. Aibi janji
setelah semuanya terasa lapang dan tidak lagi menganggu pemikiran, Aibi akan kembali lagi ke
Jakarta Pa”.
“Baiklah sayang. Kalau gitu Papa dan Mama akan menunggumu di Jakarta”.
***
12
Panggilan Rindu
Tancapkan tongkat juang sebagai pancang tali-tali itu. Ada sedetik masa, taklukkan serpihan
bambu. Adalah keping jutaan dari penyusun tugu yang kokoh. Kelak menjadi simbol kenangan
yang kekal.. Ialah terlahir dari sejuta kenikmatan dan kepercayaan. Dengan tangan halus ia tumbuh,
karena ia kan menjadi seniman jiwa di Negeri ini. Teramat hebat pemutar waktu. Puzle-puzle
kemaren belum tersusun rapi. Mata yang baru saja tertidur, gamang memandang keluar jendela.
Mentari itu telah tinggi. Kupu-kupu pun mulai terbang tinggalkan taman. Teringat kembali sang
desainer yang telah merancang. tugu itu.
Kehidupan kembali di mulai. Semua di tata lagi dari awal, di rencanakan dengan lebih matang lagi.
Hari-hari yang di lalui Aibi di habiskanya dengan banyak membaca dan menghafal Al-Qur’an. Dia
telah memutuskan akan membenamkan dirinya dengan beribadah kepada Allah. Menyempurnakan
ibadah yang selama ini terkadang dirasakannya tidak bermakna. Mendalami setiap kandungan
makna yang terdapat di dalam al-qur’an. Semakin di pahaminya, semakin dia mengerti mengenai
hakikat kehidupan ini.
Terkadang kala sore datang menghampiri, dia sibuk bercengkrama dengan dua jundi kecil yang ada
di rumahnya, Fathi dan Rahmad, anak-anak Deni yang kreatif dan cerdas. Ada-ada saja yang
ditanyakannya ke Aibi. Apapun yang mereka lakukan membuat Aibi tidak pernah berhenti tertawa
dan tersenyum geli. Sepertinya dia benar-benar telah lupa dengan kesedihannya.
Pak Rizaldi dan Bu Aisyah pun sangat bahagia mendengar semua itu. Apalagi ketika mereka
berbicara dengan Aibi. Suaranya sudah kembali ceria seperti semula. Sibuk menceritakan tentang
kelucuan anak Deni dan Sri.
Dia asyik dengan hobi barunya menghafal al-qur’an. Ayat-ayat suci penuh makna itu seperti
berbicara dengannya. Berdialog dan berinteraksi. Saking asyiknya terkadang dia merasa hidup di
zaman Rasulullah karena semua kisah yang di bacanya semakin memperjelas tentang perjuangan
maha dahsyat Rasulullah untuk menyebarkan ajaran tauhid ini. Al-Qur’an itu semakin melekat di
dadanya. Dia berjanji tidak akan melepaskannya sampai kapanpun. Bahkan dia tidak pernah bosan
membacanya. Semakin dia membacanya, semakin dia rindu untuk terus mendalaminya. Seolah dia
tidak mau berhenti membaca surat cinta dari Allah itu padanya.
Ternyata hanya ada satu hal yang membuat diri ini tenang dan bahagia. Mengingat Allah. Itulah
yang bisa membuat diri kita tentram dan damai. Karena unsur ketuhanan itu akan menuntun kita
menuju kejernihan hati dan fikiran. Semakin banyak mengingat Allah, maka semakin damai hidup
ini. Seperti apapun kondisinya. Itulah yang dirasakan Aibi.
Nilai-nilai keagamaan yang bersifat universal, yang di akui oleh semua orang dimana pun dia
berada dan apapun agamanya, telah memberikan pencerahan yang sangat dalam ke dalam hati Aibi.
Cintanya semakin besar kepada Allah. Dia merasa malu karena telah mengutuki dirinya selama
bertahun-tahun. Padahal nikmat Allah tidak pernah putus kepadanya selama ini. Maka nikmat
Tuhanmu yang mana lagi kah yang kamu dustakan?
Kesadaran telah memenuhi hatinya. Proses pencarian jati diri telah dilakukannya. Senyum itu
kembali menghiasi wajahnya. Tatapan mata itu kembali bercahaya dan harapan itu kembali
membara. Harapan menjalani kehidupan lebih baik dan bermakna lagi. Ketawadu’an itu kembali
menyelimuti wajahnya yang cantik.
***
Bu Aisyah bahagia sekali mendengar perkembangan kejiwaan Aibi. Akhirnya setelah bertahun-
tahun tenggelam di kubangan air mata, hari ini putrinya kembali memulai menorehkan segala
prestasi yang dulu sempat tertunda. Kali ini memang bukan prestasi yang mendunia, tapi
kepeduliannya kepada pendidikan telah di wujudkannya dengan mendirikan yayasan peduli anak
bangsa.
Orang kampung memang tidak mengerti dengan yayasan yang didirikannya, tapi kepeduliannya
melihat nasib masyarakat setempatlah yang telah membuatnya berfikir untuk mendirikan yayasan
ini. Paling tidak sebagai salah satu sarana untuk mendidik moral generasi masa depan. Karena anak-
anak hari ini sejatinya adalah pemimpin Indonesia 25 tahun yang akan datang. Salah memberikan
pendidikan akan berakibat fatal untuk kelangsungan bangsa ini. Seperti kondisi negara hari ini yang
carut marut. Setiap kesalahan dan kegagalan yang terjadi ditimpahkan kepada Presiden yang tidak
becuslah kata mereka dalam memimpin rakyat,yang tidak benar dalam mengambil kebijakan.
Padahal ketika bangsa ini berada dalam genggaman tangan mereka, bangsa ini juga sangat terpuruk.
Karena semua aset berharga di jual. Sebenarnya mereka tidak sportif saja dalam menerima
kekalahan, sehingga mencari-cari kesalahan orang lain. Jika selalu seperti itu, kapan bangsa ini akan
berubah?
Entahlah kita tidak mengerti dengan para pemegang kekuasaan pemerintahan ini. Media pun
menampilkan kebodohan para pemimpin di layar kaca televisi dengan gamblang. Jjustru malah
mereka bangga ketika berhasil menangkap gambar yang aneh dan tidak mendidik, karena akan
mempunyai daya jual yang tinggi. Masa iya masalah presiden yang tidak mau berjabat tangan
dengan mantan presiden itu harus di tampilkan di layar kaca? Ironinya lagi semua itu di saksikan
oleh puluhan juta, bahkan ratusan juta warga negara Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke. Terkadang kebebasan pers ini telah mengoyak-ngoyak harga diri bangsa. Sudah tidak ada
filter lagi dalam penayangan acara di televisi.
Hukum dijadikan bahan candaan, dan para elit politik yang ada di jadikan tokoh pelawak yang di
sajikan dalam kemasan acara yang mencabik-cabik harga diri bangsa. Jika sudah seperti itu, dimana
letak power seorang pemimpin yang semestinya dilindungi oleh bawahannya dan rakyatnya? Jika
bukan kita bangsa Indonesia ini yang menjaga harga diri dan power seorang pemimpin, lalu siapa
lagi yang akan menjaganya? Orang Malaysia sana yang secara terang-terangan juga sudah
menginjak-injak harga diri bangsa ini. Masa ada polisinya tertangkap di negaranya sendiri ketika
sedang melakukan patroli? Itukan aneh bin ajaib namanya. Semua itu akibat apa? Akibat bangsa ini
sudah terlalu sering di ejek di depan televisi oleh orang-orang yang mencari keuntungan.
Melihat semua kebodohan di layar kaca itu membuatnya geram. Dan itulah yang dinikmati oleh
penduduk awam yang tidak mengerti yang akhirnya ikut menyalahkan pemimpin yang ada.
Sungguh tidak mendidik, bukan? Bangku kekuasaan di jadikan panggung drama kehidupan. Seperti
simulasi pembebasan para tawanan yang ditawan di dalam pesawat terbang oleh para teroris, yang
ternyata terorisnya adalah para pemegang kekuasaan. Masya Allah..
Jika hal ini di biarkan, maka 22 tahun kedepan Indonesia yang dulu dikenal dengan bangsa yang
berkepribadian tinggi itu hanya akan tinggal nama. Almarhum istilah agamanya. Aibi tidak ingin hal
itu terjadi. Walau bagaimanapun dia mencintai Indonesia. Dia tidak rela jika Indonesia yang permai
dan kaya di obok-obok oleh para penjual komersial segala sistem pemerintahan yang ada.
Sebagai warga negara yang baik, maka dia ikut membantu kerja pemerintah dengan memberikan
pendidikan ke arah yang lebih baik kepada calon-calon pemimpin besar bangsa ini dengan
mendirikan yayasan peduli anak bangsa. Dia sudah merencanakan, begitu akta pengizinannya
keluar maka dia akan langsung eksis dengan mendirikan taman kanak-kanak peduli anak bangsa.
Kemudian akan dilanjutkan lagi dengan lembaga-lembaga yang lainnya. Pelatihan keterampilan
untuk anak-anak putus sekolah, dan lainnya.
***
Panggilan rindu sang Mama memanggil Aibi untuk berkunjung ke Jakarta. Perencanaan awal yang
hanya seminggu, akhirnya di undur menjadi dua minggu, karena pengurusan akta pengesahan
yayasan yang didirikannya ternyata memakan banyak waktu. Dan keberadaannya di Jakarta juga di
manfaatkan untuk melakukan survei kebeberapa yayasan yang bergerak di bidang pendidikan,
sebagai bahan acuannya untuk mendirikan dan mengelola yayasannya nanti.
****
Sementara di sudut sebuah perkampungan kecil, pembangunan itu terus di lanjutkan. Pondasinya
telah selesai dan batu bata merah pun satu persatu mulai tersusun di atas pondasi yang di rekatkan
dengan semen yang bercampur pasir. Beruntung, Papanya mau menjadi donatur utama pendirian
yayasan yang di buatnya. Jadi dia tidak harus mencari kesana kemari. Tentu saja Pak Rizaldi mau,
apa yang tidak akan dilakukannya untuk putri semata wayangnya itu. Apapun akan di perbuatnya
demi melihat dia tersenyum dan bahagia lagi. Berapapun dana yang di butuhkan untuk mendirikan
yayasan tersebut, akan di tanggulanginya semua. Sebut saja jumlahnya, dia akan penuhi.
Ada telfon dari Padang. Deni yang sibuk mengurus masalah pembangunan yayasan tiba-tiba
menelfonnya. Awalnya Aibi mengira akan melaporkan masalah pembangunan, tapi ternyata tidak.
Jam 19.00 Deni menghubungi Aibi. Ada sesuatu yang harus di bicarakan dan itu harus meminta izin
dari Aibi dulu. Dia tidak bisa memutuskan, karena dia bukan siapa-siapa, dia dan istrinya hanya
orang yang di amanahi, sementara yang menjadi pemilik dan berhak berkata iya atau tidak adalah
Aibi.
“Assalamu’alaikum Mas”. Sapa Aibi di seberang sana.
“Wa’alaikumussalam, maaf Mbak Aibi saya terpaksa menghubungi Mbak. Ada sesuatu yang ingin
saya bicarakan”. Kata Deni memulai
“Iya tidak apa-apa Mas? Apa ada kendala dalam pembangunan yayasan kita, Mas?”
“Tidak Mbak. Masalah pembangunan alhamdulillah lancar”
“Lalu, permasalahan apa yang akan di bahas Mas?”
“Ini Mbak, di rumah sekarang ada Bapak Wali Jorong[11]. Beliau datang kesini untuk meminta persetujuan dan izin dari Mbak”.“Mengenai apa?”
“Tiga hari lagi ada mahasiswa KKN[12] yang mau datang ke kampung ini. Dan Bapak Wali Jorong
sedang mencarikan rumah untuk tempat tinggal mereka. Tapi tidak dapat. Kalau Mbak tidak
keberatan, beliau ingin menumpangkan mahasiswa KKN tersebut di rumah ini selama dua bulan
Mbak. Beliau sangat berharap Mbak mengizinkan, karena tempat sudah tidak ada lagi. Bagaimana
menurut Mbak?
Sesaat Aibi terdiam. Di pikirkannya apa yang disampaikan Deni di seberang sana. Di rumahnya ada
lima kamar. Dua kamar telah berisi. Masih tersisa tiga kamar lagi. Berarti bisa di tempati oleh
mahasiswa KKN tersebut. Lagi pula mungkin nanti bisa memanfaatkan mereka di yayasan untuk
merancang segala program dan perencanaan ke depan.
“Berapa orang yang akan datang Mas?” tanya Aibi kemudian
“Mereka ada 12 Orang Mbak. lima laki-laki dan tujuh perempuan, dan rencananya mereka akan di
tempatkan dalam satu rumah saja. Apa tidak apa-apa Mbak?
“Oh begitu? Kamar di rumah kita ada lima kan Mas? Dua sudah terisi, masih ada tiga lagi. Yang
laki-laki berlima itu di tempatkan satu kamar saja, di kamar bagian paling depan biar tidak
bercampur dengan yang perempuan. Yang perempuan di bagi dua kamar saja. Kamar disamping
kamar saya itu satu, dan yang lainnya di kamar yang satunya lagi, Mas. Berarti bisa semuanya kan.
Tidak apa-apa, tempatkan saja mereka di rumah kita. Mana tau kita nanti bisa minta tolong kepada
mereka untuk membantu yayasan kita. Mas bilang sama Bapak Wali Jorong, saya mengizinkan
mereka untuk tinggal di rumah selama dua bulan itu.
“Dan satu hal lagi Mas saya minta tolong sama Mas, tolong bersihkan tiga kamar yang akan mereka
tempati. Jika nanti mereka sudah sampai maka Mas dan Mbak Sri tuan rumahnya. Mas atur saja
dulu bagaimana bagusnya menurut Mas, yang penting pembagiannya seperti itu. Saya mungkin
akan pulang ke rumah seminggu lagi, karena masalah pengurusan akta belum selesai”.
“Baiklah Mbak, kalau memang seperti itu”. Telpon pun kembali di letakkan dan semua perizinan
dan segala macamnya telah selesai, Pak wali Jorong pun pamit undur diri pulang ke rumah.
****
13
Pesona Negeri Sejuta Pasir
Kebijakan kampus memberlakukan KKN kepada seluruh mahasiswa sulit dimengerti. Bukankah
sebelumnya hanya anak pertanian, peternakan, dan kedokteran saja yang di wajibkan KKN? Lalu
kenapa sekarang harus semuanya? Belum lagi pembagian daerah yang sangat jauh sekali. Ada yang
di Pesisir Selatan, daerah yang paling menakutkan. Menurut cerita yang mereka dapatkan, Pesisir
Selatan sangat berbahaya. Masyarakatnya banyak yang mempunyai ilmu hitam. Orang-orang disana
tidak segan meracuni tamu yang datang ke rumahnya. Belum lagi daerahnya sangat panas dan
gersang. Di tambah lagi kepercayaan penduduk yang masih mistis karena lebih percaya ke dukun.
Main santet dan racun saja. Penduduknya kasar dan menakutkan.
Padahal itu dulu sekali. Dulu memang ada sebuah daerah yang memang terkenal dengan apa yang
disebutkan diatas. Tapi seiring perkembangan zaman sudah tidak ada lagi. Walaupun ada mungkin
itu daerah-daerah yang tidak bisa dijangkau oleh kemajuan zaman. Daerah yang sangat terisolir
sekali, sehingga penduduknya masih berpikir awam. Orang Pesisir itu memang pada umumnya
bersuara keras. Maklum, karena mereka tinggal di tepi pantai, ombak selalu berdebur. Yang
namanya di tepi pantai, tentu tidak bisa berbicara lemah lembut, karena tidak akan terdengar oleh
lawan bicara. Akhirnya terbiasa berbicara maariak-ariak[13], kata orang sini. Berbeda sekali
dengan orang yang tinggal di daerah pegunungan yang cenderung bersuara lembut. Kalau orang
Pesisir Selatan yang seperti itu, pasti orang akan heran dan bertanya, “di Pesisir, dimananya ya?
Kok bisa lembut? Dan banyak lagi pertanyaan lainnya yang akan muncul.
Dan cerita masa lalu itulah yang mereka takuti. Padahal Pesisir sekarang tidak sama dengan Pesisir
yang dulu. Walau mungkin cara bicaranya masih sama seperti orang yang sedang marah. Faktor
geografis sangat mempengaruhi logat orang Pesisir. Tapi jangan salah, penduduknya sebenarnya
baik-baik. Kalau tidak percaya datang saja ke Pesisir dan buktikan sendiri.
Apalagi kalau sudah melihat keindahan alamnya akan membuat mata terpana. Pantai Carocok
begitu indah. Lautannya merupakan lautan dangkal sehingga bisa melihat ke dasar lautnya tanpa
harus menyelam. Air terjun Bayang Sani yang menawan yang percikan airnya memberikan
kedamaian, karena airnya sangat dingin. Jembatan akar yang membuat semua orang penasaran,
kenapa jembatannya bisa dililit akar. Air terjun timbulun yang bertingkat-tingkat, puncak langkisau
yang menjadi tempat bermain paralayangan, pantai yang di sepanjang perjalanan, hamparan pasir
putih di kambang, tempat pemandian di lubuak aguang kambang, dan air terjun lagi di pelangai
gadang. Bahkan di sungai liku juga ada timbulun tujuh tingkat yang sangat indah dan masih banyak
lagi yang lainnya. Kalau mereka melihat semua itu, mereka akan terpana dan enggan meninggalkan
negeri sejuta pasir yang indah ini. Eh, kok jadi promosi ya?
Tapi para mahasiswa KKN itu telah ciut terlebih dahulu. Apalagi mereka-mereka yang aktivis
kampus. Berbagai pembekalan diberikan kepada mereka sebelum menuju ke tempat KKN masing-
masing. Terutama untuk mereka yang di tempatkan di daerah Pesisir Selatan harus berhati-hati.
Lengah sedikit saja maka iman di dada akan hilang, dan ketika pulang ke kampus hanya akan
tinggal kesingnya doang tapi isinya telah tercerabut karena disana mencari tempat liqo’ susahnya
minta ampun. Kader tidak ada
Kejam betul mentor yang memberikan keterangan. Sekeras itukah Pesisir Selatan? Bisa merubah
kulit telur yang lembut menjadi batu? Bukankah daerah-daerah seperti itu yang sangat potensial
untuk menumbuh suburkan dakwah? Ini justru malah memojokkan. Bagaimana dakwah akan
diterima orang kalau ternyata dari awal telah bersuudzon dengan melist segala kejelekan daerah
yang akan di tempati. Coba kalau di lihat terlebih dahulu potensinya, segala kejelekan pasti akan
hilang.
Tapi manusia itu hobinya melihat kejelekan. Menilai sesuatu dari kejelekan, makanya semuanya
akan terlihat jelek, mulai dari awal sampai akhir. Karena dari awal telah melihat kejelekan,
walaupun di akhirnya menemukan kebaikan, tapi kebaikan yang ditemukan akan hilang karena
banyaknya kejelekan yang telah di list dan ditanamkan di dalam pikiran. Coba kalau mulainya
kebaikan, maka kejelekan di perjalanan akan bisa di maafkan dengan sendirinya, seperti Aibi yang
bisa menaklukkan alam pesisir yang tandus dengan kekuatan jiwa yang dimiliki.
Ah, manusia-manusia cerdas itu telah terjebak dengan pemikiran mereka karena mempercayai
sejarah masa lalu. Apalagi bagi yang mempercayai sejarah bangsa Indonesia? Hampir semuanya
penuh dengan kebohongan dan kebusukan.
****
14
Wadah Menguji Ketangguhan
Hari keberangkatan mereka telah ditentukan. Rombongan ke Pesisir Selatan telah beragkat duluan.
Mereka telah terangguk-angguk melewati jalan berliku menuju daerah pengujian ketangguhan. Bagi
siapa yang menganggap dirinya adalah akhwat tangguh, maka datanglah ke pesisir. Kita uji
ketangguhan, berapa lama sanggup bertahan di sini? Dan ternyata banyak yang menangis-nangis
bombai ingin pulang secepatnya ke kota Padang. Banyak yang mundur. Sebenarnya di akibatkan
doktrin para senior atau mentor yang menekut-nakuti.
Dan anak-anak yang tinggal di rumah Aibi itu pun telah menurunkan segala barang-barang mereka
berupa tas ransel dan peralatan lainnya untuk memasak.
Kedatangannya di sambut dengan senyuman oleh Pak Wali Jorong, Mas Deni dan Mbak Sri beserta
dua jundinya Fathi dan Rahmat. Senyum mereka sangat ramah sekali. Tu, ramahkan? Mana wajah
menakutkan? Orang kedatangannya aja di tunggu dengan ramai-ramai kayak gini. Bukti ini
membantahkan sikap masyarakat yang kata mereka sangat keras dan kasar. Tapi ada yang, eit...
jangan percaya dulu, mana tau semua itu hanya basa basi doang? Kan baru datang boo’. Masya
Allah, ini pemikiran yang musti di berantas.
***
Pagi ini Deni bersiap ke Bandara menjemput Aibi yang akan pulang hari ini. Tiga hari yang lalu
Aibi sudah menghubunginya dan memintanya untuk menjemputnya ke bandara. Dia sampai di
padang jam 10.45. Itu tandanya Deni sudah harus sampai di bandara minimal jam 10.30 biar Aibi
tidak lama menunggu.
Begitu sholat shubuh selesai, Deni langsung pamit pada istrinya dan semua penduduk rumah untuk
berangkat ke Padang. Mahasiswa KKN itu belum tahu dengan pemilik asli rumah ini karena ketika
ditanyakan mana fotonya, Deni dan Sri mengatakan kalau pemilik rumah ini orangnya tidak suka
memampang foto. Akhirnya mereka hanya diam saja menunggu. Dia hanya tahu pemilik rumah
yang tersebut adalah seorang wanita yang masih muda. Hanya itu. Mereka juga lupa menanyakan
siapa namanya.
Tapi salah satu diantara mereka yang ternyata adalah akhwat FSI[14] mempunyai filing, kalau
pemilik rumah ini pasti akhwat. Karena dia melihat banyak buku tentang keakhwatan yang terletak
di rak Buku di ruangan samping. Bahkan Mbak Sri saja sudah tiga kali di dengarnya membaca
almatsurat sehabis sholat shubuh. Hanya orang-orang tertentu yang membaca dzikir Rasulullah itu.
dan itu pastinya orang-orang sepertinya. Kalau benar, berarti dia sangat beruntung ada saudara yang
akan mengingatkannya.
Dia tidak tahu, kalau pemilik rumah ini ternyata mahasiswa kebanggaan kampusnya, bahkan sampai
detik ini masih banyak dosen yang bercerita tentang kehebatannya. Cerita turun temurun dari kader
FSI terus mengalir menceritakan kehebatan garuda betina itu. Bagaimana dia mampengaruhi
masyarakat kampus, sehingga FSI mendapatkan tempat di hati semua masyarakat kampus. Dia tidak
tahu, kalau ternyata pemilik rumah ini adalah sosok yang sangat di rindukannya selama bertahun-
tahun semenjak dia bergabung di FSI Universitas. Hari ini ia lah yang menggantikan peran sang
maestro tersebut menjadi pucuk pimpinan para akhwat se Universitas. Ketua keputrian. Tidak
sembarang orang menjadi ketua keputrian.
Sebentar lagi dia akan bertemu dengan wanita yang fotonya sengaja di pampang di sekre akhwat
FSI Universitas, sebagai lambang kegagahannya waktu itu. Fotonya yang sedang berorasi di depan
ribuan muslimah di lapangan Imam Bonjol Padang. Sebentar lagi dia akan berjumpa dengan sosok
yang mengagumkan, yang ceritanya terus di dengarnya dari para seniornya selama ini dan juga
diceritakannya kembali kepada adik-adik binaannya di kampus.
****
Perjalanan yang sangat melelahkan bagi Aibi. Setelah tiba di rumah dia ingin beristirahat dan
merebahkan tubuhnya karena pinggangnya terasa sangat sakit sekali. Sudah hampir enam jam Aibi
duduk . Dia memang tidak tahan duduk lama. Kalau di rumah dia biasa duduk berselonjor di sofa
setiap tiga jam sekali. Sepertinya pinggangnya harus dikompres dengan air hangat. Rahmi sangat
cemas melihat Aibi yang kesakitan. Sementara perjalanan mereka sekitar tiga jam lagi. Mereka baru
saja memasuki daerah teluk Kabung, jalan menuju Pesisir Selatan.
“Bagaimana Mbak? Apa tidak sebaiknya kita berhenti dulu di hotel dekat sini, biar Mbak bisa
istirahat sejenak. Aku khawatir pinggang Mbak nanti keram seperti ketika baru sampai di Jakarta
kemaren, Mbak”. Kata Rahmi cemas. Dia teringat kejadian lima belas hari yang lalu. Ketika Aibi
baru sampai di Jakarta, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia harus berbaring karena tiba-tiba
pinggangnya keram dan tidak bisa di bawa duduk. Istirahat total selama lima hari.
“Terserah saja Mi. Tapi kalau kita mampir, akan memakan waktu lebih lama lagi. Kasihan Mas
Deni nanti. Mbak rasa tidak apa-apa. Biar Mbak tidur di perjalanan saja. Tolong kamu stel
bangkunya ya Dik, biar Mbak bisa rebahan”. Kata Aibi lemah.
“Iya Mbak”.
“Makasi ya dik”.
Akhirnya Aibi bisa juga tertidur di sepanjang perjalanan, dan Rahmi menjaga tubuh yang terkulai
itu dengan seksama. Ia mengingatkan Deni untuk memperhatikan jalanan dengan seksama, agar
mobil tidak masuk lubang dan terhempas keras. Tentu demi menjaga Aibi
***
Mobil melaju dengan pelan menuju negeri Pesisir nan permai. Negeri sejuta pasir yang menyimpan
segudang potensi yang harus di kembangkan dan harus di kelolah dengan baik. Negeri yang
sejatinya kaya akan sumber daya alam ini telah menjelma menjadi negeri melarat yang rakyatnya
hidup miskin. Mobil Avanza silver yang di kendarai oleh Deni itu pun terus melaju meliuk-liuk di
jalan berliku.
Jalan sudah mulai tenang, tidak bergelombang lagi. Jalan yang dilalui mobil itu pun kembali mulus.
Mesin menderu dengan lembut. Aibi tertidur pulas di bangku belakang. Tampak sekali aura
kelelahan di wajahnya yang cantik. Dan Rahmi pun ikut-ikutan tertidur. Tinggallah Deni yang
masih terjaga mengendarai mobil menelusuri perjalanan yang di kelilingi lautan dan bukit barisan.
Mobil telah memasuki persimpangan menurun sebelum jembatan dan terus melalui sebuah
perkampungan. Jalanan sepi. Lahan kosong masih bertebaran di mana-mana. Bangunan tinggi yang
di semen seperti cerobong asap rumah-rumah gaya spanyol berdiri di tengah-tengah lahan. Itulah
sarang burung walet. Ya, masyarakat Pesisir Selatan sedang melakukan usaha sarang burung walet
yang konon kabarnya sekilo harganya mencapai puluhan juta rupiah.
Rahmi terbangun dari tidurnya dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Di lihatnya jam kecil yang
melingkari pergelangan tangannya, sudah jam 16.00. Aibi masih tertidur pulas di sampingnya
dengan posisi bangku di rebahkan. Kurang dari lima menit lagi mereka akan sampai di rumah, tapi
dia masih membiarkan Aibi tertidur. Ia tidak tega membangunkannya. Nanti saja kalau mobil sudah
berhenti. Dia pun bersiap untuk turun. Sendal yang tadi sempat di tanggalkan kini di pasang lagi. Di
rapikannya jilbabnya yang sedikit agak mencong karena ketiduran. Dia tersenyum memandang
jilbabnya. Entah apa alasannya dia juga memanjangkan jilbabnya. Dia terkesan sekali ketika
melihat Aibi yang memakai jilbab panjang. Aibi telah banyak merubah dirinya selama beberapa
tahun belakangan ini.
Mobil tepat berhenti di depan pintu rumah. Sebelum turun disentuhnya lembut lengan Aibi dan
berucap “Kita sudah sampai Mbak”. Ucapnya lembut. Kemudian dia turun dan menutup kembali
pintu mobil. Dia akan ke sebelah membantu Aibi turun dari mobil, tapi begitu dia turun semua
Mahasiswa KKN langsung menyalaminya dan kemudian pamit untuk masuk lagi ke dalam, karena
mereka sedang ada kegiatan.
Mungkin mereka mengira gadis yang menjadi pemilik rumah ini adalah Rahmi. Makanya setelah
mereka bersalaman, mereka langsung masuk lagi karena kebetulan mereka memang sedang
mengerjakan sesuatu di dalam. Sementara yang laki-laki membantu Deni mengeluarkan dan
mengangkat barang Aibi yang tidak seberapa.
Rahmi pun heran melihatnya kenapa setelah mereka bersalaman dengannya lalu kemudian langsung
pamit dan masuk ke dalam? Mungkin mereka tahu kalau Mbak Aibi sedang capek dan butuh
istirahat secepatnya. Rahmi pun mengambil kursi roda Aibi yang dimasukkan ke bagasi yang telah
di keluarkan Deni dari sana. Ia kemudian membantu Aibi turun dari mobil dengan memapahnya dan
mendahulukan mengangkat kakinya keluar. Baru setelah itu mencengkeram tubuh itu dan
memindahkannya ke atas kursi roda yang kemudian mengangkutnya ke dalam.
“Terima kasih ya dik”. Kata Aibi begitu dia sudah duduk di kursi roda. “Dik, tolong antar Mbak ke
kamar ya dik. Mbak sangat capek sekali”. Sambung Aibi lagi ke Rahmi. Rahmi pun langsung
mendorong kursi roda itu ke kamar. Sepintas dilihatnya kamar yang ada di samping kamarnya
ditempati oleh Mahasiswa KKN. Ternyata kamar itu tertutup rapat. Mungkin mereka sedang sholat
atau mungkin punya kegiatan di dalam sana, pikir Aibi. Dia juga belum sholat. Tadi di jalan dia
sudah berniat untuk menjamak sholatnya.
Setelah sholat, Aibi meminta Rahmi untuk mengompres pinggangnya yang terasa keram dengan air
hangat, biar darahnya kembali berjalan lancar dan normal. Setelah merasa agak nyaman, dia pun
tertidur lagi. Dia merasa sangat lelah sekali. Punggungnya memang tidak bisa di ganggu kalau
sudah melakukan perjalan jauh seperti ini. Padahal dia sudah direncanakan akan menyapa
Mahasiswa KKN yang tinggal di rumahnya sore ini. Tapi biarlah di tidurkannya dulu badannya
yang terasa sakit-sakit.
***
15
Mahalnya Nilai Ukhuwwah
Pertemuan selalu menjadi sesuatu yang di nanti-nanti oleh manusia. Karena pertemuan merupakan
awal dari akan terbentuknya sebuah hubungan dalam hidup kita. Tapi banyak dari kita yang hanya
siap untuk bertemu saja, dan tidak siap untuk berpisah. Karena perpisahan akan mendatangkan lara
dan nestapa. Ada kesedihan yang tersisa dari perpisahan tersebut. Tapi orang yang bijak dengan
muda akan mengatakan, perpisahan bukan akhir dari segalanya bukan? Ya mungkin itu benar,
perpisahan bukan akhir dari segalalanya, tapi perpisahan yang terjadi tanpa sebab dan tanpa pesan,
akan menyisakan kekecewaan bukan? Entahlah, yang jelas perpisahan menyakitkan.
Dan hari ini sebuah pertemuan penting akan di mulai, pertemuan yang akan mengantarkan semua
orang pada nostalgia masa lalu yang begitu indah dan sekaligus menyakitkan. Indah bagi orang
yang menikmatinya dan menyakitkan bagi orang–orang yang menjadi pelaku utama dalam cerita
ini.
Dengan susah payah, Aibi berusaha untuk bangkit dari tidurnya. Dia ingin menyapa orang-orang
baru yang ada di rumahnya saat ini. Dia tidak ingin melewatkan moment penting ini, berjumpa dan
menyambut kedatangan mereka secara resmi di rumahnya. Tanda mereka di terima dengan senang
hati dan dengan tangan terbuka di tengah-tengah keluarganya.
“Selamat datang kepada adik-adik di rumah ini. Kami berharap, semoga kalian bisa betah selama
tinggal di sini. Anggaplah rumah ini seperti rumah sendiri. Tidak perlu sungkan-sungkan. Lakukan
saja seperti di rumah sendiri. Jika kotor maka kita yang membersihkannya dan ketika ada sesuatu
yang rusak, maka kita yang memperbaikinya.
“Anggap kita adalah satu keluarga, karena untuk dua bulan kedepan kita akan bersama. Adik-adik
tidak perlu memasak. Kakak dengar dari Mbak Sri kalian masak sendiri. Jika tidak keberatan,
menurut Kakak kita masak bersama saja. Tidak mungkinkan, kita se rumah tapi masaknya beda-
beda? Apa yang ada di rumah ini akan kita nikmati bersama-sama. Bagi yang perempuan bisa
membantu Mbak Sri memasak di dapur.
“Fasilitas yang ada di rumah ini silahkan di manfaatkan dengan baik. Ada yang butuh komputer di
ruangan samping dekat perpustakaan itu ada komputer, insya Allah masih bisa dimanfaatkan. Bagi
yang butuh motor untuk pergi membeli sesuatu misalnya, silahkan pakai motor yang ada. Minta
kuncinya sama Mas Deni. Pokoknya manfaatkan saja apa yang ada. Tidak usah sungkan-sungkan.
Bahkan mungkin bagi yang bisa bawa mobil, juga silahkan pinjam sama Mas Deni.
“Kalau ada sesuatu yang mengganjal dan rasanya tidak cocok sama adik-adik, silahkan sampaikan
biar kami tahu apa yang harus diperbaiki. Satu hal lagi mungkin yang sangat penting, selama kalian
di rumah ini mungkin akan banyak pemandangan aneh di mata kalian barang kali yang akan kalian
temui. Perihal diri Kakak misalnya. Mungkin adik-adik bertanya-tanya di dalam hati. Nanti kalian
mungkin akan melihat tubuh Kakak akan di angkat dari kursi roda ke kursi makan, atau ketika akan
sholat berjama’ah mungkin barang kali Kakak harus di bantu sama Rahmi atau juga oleh Mbak Sri.
Barang kali suatu saat nanti Kakak akan di bantu oleh adik-adik sendiri, tapi yang pasti yang
perempuannya, bukan yang laki-laki. Maka Kakak harap adik-adik bisa memaklumi semua itu.
Itulah resiko se rumah dengan orang cacat seperti Kakak.
“Anggaplah kami yang ada di sini sebagai Kakak bagi kalian, bukan orang lain”. Kata Aibi
berbicara penjang lebar
Bagi Aibi menjelaskan tentang segala sesuatunya sangat penting, agar tidak terjadi
kesalahpahaman nantinya mengenai kondisi dirinya yang memang seperti ini adanya. Dia tidak
ingin orang-orang baru yang tinggal di rumahnya menjadi terganggu kegiatannya karena kondisinya
yang cacat.
Mendengar apa yang disampaikan Aibi, betapa mereka segan menerima semua kebaikan yang di
sampaikan Aibi. Tapi sepertinya Aibi sangat tulus mengatakan semua. Mereka menangkap apa yang
disampaikan Aibi bukan hanya sekedar basa basi seperti kebanyakan orang. Betapa mereka
mengagumi Aibi yang ternyata sangat baik sekali. Tidak mereka sangka, di balik tubuh yang lemah
itu ternyata tersimpan kekuatan jiwa yang luar biasa.
Mereka malu sekali karena sore tadi tidak menyalami dan menyapanya ketika dia datang. Tapi
malah menyapa Rahmi yang ternyata adalah suster yang merawatnya dan itu tidak di bahasakan
Aibi dengan mengatakan Rahmi sebagai susternya kepada mereka, tapi mengatakan kalau Rahmi
adalah adiknya.
Mereka tidak menyangka sama sekali pemilik rumah ini ternyata adalah seorang wanita cacat yang
memiliki hati seluas samudera. Bahkan dia tidak malu memberitahukan kondisi sesungguhnya
tentang dirinya.
“Terima kasih Uni[15]., eh Kakak. Sebetulnya kami sangat segan sekali sama Uni. Karena kami telah merepotkan Uni. Bagi kami Uni telah bersedia menampung kami di sini selama menjalani masa-masa KKN, sudah cukup bagi kami. Tapi Uni malah menawarkan segala kebaikan dan kemudahan kepada kami. Kami sangat berterima kasih sekali sama Uni. “Sepertinya kami tidak bisa menolak kebaikan yang Uni tawarkan. Begini saja Uni, kebetulan
sebelum kami datang kesini kami telah merancang dan mengumpulan iuran untuk biaya hidup kami
selama disini. Saya mewakili kawan-kawan karena saya yang di amanahkan menjadi ketua
kelompok akan menyerahkan iuran itu ke Uni. Biar Uni saja yang mengatur segalanya. Dan juga
kami membawa beras dari rumah masing-masing. Kami juga akan serahkan saja ke Uni. Kata Dodi
selaku ketua kelompok.
“Kalau masalah beras tidak apa di serahkan. Tapi masalah iuran itu Uni rasa tidak usah saja.
Silahkan di simpan saja uang itu mungkin bisa dimanfaatkan untuk yang lain. Masalah sambal,
tidak usah dikhawatirkan, yang penting Mbak Srinya di bantu memasak, itu saja”. Kata Aibi
“Aduh.. nggak enak juga seperti itu Kak. Masa iya kami harus memberatkan Kakak selama disini.
Itu nggak adil namanya. Kakak udah menyediakan tempat tinggal untuk kami, masa iya juga harus
menyediakan makanan untuk kami”. Kali ini yang bicara bukan Dodi lagi. Tapi seorang wanita
yang berjilbab lebar sepertinya. Dia baru menyadari kalau ternyata diantara Mahasiswa KKN itu
ada yang anak forum. Dan ternyata dia satu-satunya anak forum di sana.
“Kok nggak adil? Bukankah Kakak sudah katakan dari awal tadi? Kita adalah satu keluarga. Lalu
salahkah, ketika seorang Kakak ingin menjamu adik-adiknya? Sudahlah. Tidak usah kita
perdebatkan lagi. Kalau memang iuran itu mau diserahkan juga, serahkan perminggunya ke Mbak
Sri. Atau ketika Mbak Sri pergi belanja, silahkan yang cewek-cewek ikut membantu sehingga uang
yang adik-adik punya bisa ikut dibelanjakan”. Akhirnya semua sepakat dengan apa yang dikatakan
Aibi.
Setelah itu Aibi masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Pinggangnya terasa sakit lagi, mungkin
karena duduk barusan. Tapi untunglah tidak sesakit sore tadi. Ada yang terlupakan olehnya. Dia
lupa menanyakan Universitas para Mahasiswa KKN itu. Dari Universitas mana mereka? Ah kenapa
Aibi bisa melupakan hal sepenting itu ya? Dia akan bertanya sama adik yang akhwat tadi. Tapi
bagaimana kalau seandainya mereka dari kampus tempat dia kuliah? Betapa tidak siapnya dia
berjumpa dengan mereka dengan kondisi yang seperti ini. Karena dia tidak lebih dari seorang
wanita cacat yang untuk duduk selama dua jam saja telah membuatnya kewalahan. Ah, tapi mereka
tidak akan mengenalinya. Toh mereka terpisah cukup jauh bukan? Aibi berusaha untuk menghibur
dirinya
Dia tidak ingin orang-orang yang pernah dikenalnya dulu menjadi sedih karena melihat kondisinya
saat ini. Dia belum siap berjumpa dengan mereka, sama sekali belum siap. Semua itu menyusahkan
hatinya. Baru saja dia bisa menata kembali hatinya. Hari ini dia di hadapkan dengan kenyataan yang
lain. Kenapa dia bisa lupa dengan semua itu? Tidak mungkin mereka berasal dari kampusnya dulu,
bukankah kampusnya tidak menerapkan sistem KKN.
Sementara di kamar, di samping kamar Aibi, Naura sedang mematut-matut wajah yang dilihatnya
tadi. Wajah itu begitu familiar rasanya bagi dirinya. Dia seperti pernah berjumpa dan bersua dengan
wajah itu. Tapi dimana? Dia merasa dekat dengan wanita yang duduk di kursi roda itu. siapakah
wanita itu? Rasanya nama wanita itu sering di dengarnya. Nama itu begitu familiar. Siapakah dia?
Dimanakah dia berjumpa dengannya?
Naura berusaha memutar memorinya. Mengeluarkan kembali segala file-file yang tersimpan dalam
memorinya yang entah sudah beberapa giga bite. Dikumpulkanya semua ingatannya dan di ingatnya
semua orang yang pernah di temuinya selama beberapa tahun kebelakang. Tidak ditemukannya
wajah itu diantara banyak rekaman wajah yang hadir di memorinya. Tapi nama itu begitu melekat di
hatinya. Seperti ada kerinduan ketika dia mendengar nama Aibi. Ada yang meronta-ronta di hatinya
ketika mendengar nama itu dan ketika melihat wajah yang tawaduk tersebut. Siapa dia? Semua
telah menari-nari di benak Naura.
Hampir saja dia tertidur, tapi tiba-tiba bayangan wajah Aibi melintas di benaknya. Dia ingat, wajah
itu sangat mirip dengan foto yang terpampang di sekre akhwat FSI. Mengingat semua itu, Naura
terperanjat. Tapi dia belum yakin. Bukankah para seniornya mengatakan kalau setelah kecelakaan
yang menimpanya kabarnya sudah tidak terdengar lagi? No Hp yang biasa di pakainya tidak pernah
aktif lagi dan nomor orang tuanya yang ada sama akhwat pun tidak bisa dihubungi lagi. Ada dari
sebagian senior mengatakan mungkin dia telah di bawa keluar negeri oleh orang tuanya untuk
berobat, dan tidak kembali lagi ke Indonesia. Dan tidak ada yang mengatakan kalau dia telah
meninggal. Mereka para seniornya yakin kalau dia berada di suatu tempat.
Naura semakin bingung. Dia harus mencari tahu semua itu. Siapa wanita yang ditemuinya itu, yang
saat ini berada serumah dengannya? Dia kembali mencocokkan wajah yang ditemuinya dengan foto
yang terpampang di sekre FSI. Sembilan puluh persen wajah itu mirip. Yang berbeda hanya tatapan
matanya. Wajah yang di dalam foto itu mempunyai tatapan mata tajam penuh semangat yang
membara. Tapi mata yang ditemuinya hari ini begitu sendu dan terlihat bekas kesedihan yang
menggantung. Dia akan bertanya besok ke Aibi secara langsung biar dia tidak penasaran lagi.
***
Sore yang sangat indah di hari kamis yang cerah. Aibi sedang duduk di bangku taman rumahnya
sambil bercanda dengan dua jundi kecil Deni dan Sri. Dia tampak asyik mendengarkan apa yang
diceritakan Fathi dan Rahmad selama di tinggalkan. Sekali-kali tampak mata Aibi membesar seperti
tertarik dengan apa yang di ceritakan dua jundi kecil itu. Tapi sebenarnya itu hanya untuk membuat
si jundi senang dan bahagia.
Dari teras depan Naura sedang berdiri menyaksikan Aibi yang sedang asyik bercanda bersama Fathi
dan Rahmat. Dia ingin mendekati Aibi dan menanyakan semua yang mengganjal hati dan
fikirannya. Ingin bertanya tentang siapa Aibi sebenarnya? Dan kenapa dia merasa sangat dekat
sakali dengan Aibi? Apakah benar Aibi adalah Raisyah Aibi Rizaldi mahasiswa terpintar dan
tercerdas di kampusnya? Apakah benar Aibi adalah kader terbaik yang pernah dimiliki FSI?
Dia teringat cerita seorang senior tentang sepak terjang Aibi ketika masih kuliah, berhasil
menyelesaikan permasalahan yang di hadapi oleh Fakultas Teknik dengan mengungkap sejarah
kelam kampus.
****
16
Ajaran Sesat
Ketika itu Aibi masih menjabat sebagai ketua Keputrian FSI Universitas, mereka mendapatkan
SMS dari ketua FSI Universitas memberitahukan tentang fitnah yang sedang berkembang tentang
FSI Fakultas Teknik.
Dengan beredarnya kabar tersebut, maka mereka yang di amanahi menjadi tim mediasi dengan
Pembantu Rektor tiga melakukan pertemuan dengan Pembantu Rektor tiga yang ketika itu di
pegang oleh Prof. Dr. Irwan Chaniago, M. Sc. Mereka datang berlima
“Maaf Pak, kami datang kesini untuk bertanya lebih lanjut mengenai permasalahan yang di hadapi
oleh FSI Fakultas Teknik”. Ujar Aryo ketua FSI Universitas ketika itu mengawali pembicaraannya
bersama Pembantu Rektor tiga.
“Maksud anda, anda ingin mempertanyakan masalah apa?” tanya Pembantu Rektor tiga kurang
ramah. Di masa itu anak-anak forum masih di anggap sangat aneh oleh masyarakat kampus.
Termasuk oleh para dosen.
“Maksud kami begini Pak. Tiga hari yang lalu Bapak baru saja memutuskan dan mengeluarkan
ultimatum, bahwa FSI Fakultas Teknik di bubarkan dengan alasan di sinyalir, ajaran yang di
terapkan adalah ajaran sesat. Dari sisi mana Bapak melihat ajaran yang di terapkan adalah ajaran
sesat? Kami hanya ingin kejelasan dari Bapak. Kalau memang itu sesat menurut Bapak dan
mempunyai kriteria yang sama dengan ajaran sesat yang berkembang saat ini, maka kami akan
merubahnya”. Jelas Aryo lagi dengan tenang.
“Kalau itu bukan ajaran sesat, lalu apa namanya? Yang tahu agama itu bukan saudara saja, saya
juga tahu. Saya dulu belajar di pesatren, tidak ada ajaran seperti yang anda terapkan”. Ujar
Pembantu Rektor tiga dengan dagu di angkat dan melihatkan kepongahannya.
Mendengar apa yang disampaikan oleh Pembantu Rektor tiga sedikitpun tidak membuat Aryo
terkejut, dia sudah tau hal ihwal sang Pembantu Rektor tiga, jauh sebelum Pembantu Rektor tiga ini
di lantik menjadi pejabat elite kampus. Dan dia juga tahu, kalau dosennya yang satu ini memang
anti dengan kegiatan-kegiatan yang mereka angkatkan selama ini, karena dia menganggap anak-
anak forum ini terlalu exlusive dan terlalu berlebihan. Tapi Aryo tetap tenang menanggapinya.
Sementara 4 orang dibelakangnya berulang kali menarik nafas dalam menahan sesak di dada
mendengar komentar yang tidak berilmu dari dosen yang belakangan menjadi momok yang paling
menakutkan bagi anak-anak forum.
“Pak, tolong Bapak jelaskan lebih rinci lagi, sesat? Sesat seperti apa yang Bapak maksud? Jujur,
kami tidak melihat kesesatan itu. Kami tahu, Bapak punya maksud baik di balik semua ini. Tapi
alangkah lebih baiknya lagi kalau Bapak menjelaskan kepada kami tentang kesesatan yang telah
dilakukan oleh kawan-kawan di Teknik. Biar itu menjadi pelajaran bagi kami yang ada di fakultas
lain dan juga yang di Universitas. Karena sejatinya kami semua serumpun, pak. Dan saya rasa tidak
ada yang berbeda yang kami terapkan. A dari universitas, maka akan A sampai ke Fakultas-Fakultas
yang ada”. Terang Aryo mulai memainkan kelihaiannya dalam mengolah kata.
“Sekarang saya tanya sama anda. Apa dasar anda menjalankan pembinaan dengan berkelompok-
kelompok kecil itu? Apa yang anda bicarakan dalam kelompok-kelompok kecil itu? Lalu kenapa
ketika berada dalam mesjid anda memasang tirai yang sangat tinggi, bahkan tingginya melebihi
tinggi tubuh saudara sendiri? Lalu apa dasarnya yang perempuan harus berjilbab selebar taplak
meja ini? Dan tidak mau berjabat tangan dengan laki-laki? Atau anda misalnya yang seperti enggan
melihat kepada perempuan yang ada disekeliling anda? Ajaran dari mana itu, ujar Pembantu Rektor
tiga berapi-api
“Jika itu ajaran dari Rasulullah, seperti yang saudara katakan, dalam kitab apa saudara temui? 3
tahun saya di pesantren, tidak pernah saya menemukan model pembinaan dan ajaran yang saudara
terapkan. Jangan saudara kelabuhi kami dengan kebusukan yang saudara bungkus dengan apik.
Saudara fikir saya tidak tahu dengan kegiatan yang saudara lakukan di luar sana? Yang
menghimpun Masa, kemudian berbondong-bondong melakukan demonstrasi di jalanan. Islam
macam apa itu? Islam itu lembut. Rahmatalil ‘alamin. Bukan pembawa onar seperti yang saudara
terapkan. Sedikit-sedikit demo. Apa-apa di bawa demo”. Kata Pembantu Rektor tiga dengan
menunjuk-nunjuk tepat ke arah mereka berlima.
Aryo masih tetap berusaha setenang mungkin, walaupun sebenarnya hatinya panas mendengar
semua tudingan itu. Apa yang dikatakan Pembantu Rektor tiga ini belum seberapa, jika
dibandingkan tuduhan yang disampaikan oleh orang-orang Yahudi kepada Rasulullah ketika awal
kenabian. Menyampaikan kebaikan memang banyak tantangannya. Mesjid yang mau dibangun,
gereja juga kata orang-orang yang tidak paham. Orang yang sekedar tahu, berbeda dengan orang-
orang yang paham. Maka dia tidak mau terpancing emosi menghadapi Pak Irwan, dia harus bisa
memainkan peran dengan sebaik mungkin. Agar permasalahan ini bisa di selesaikan dengan baik
dan bijaksana.
Sementara 4 orang yang duduk di samping kiri dan kanan Aryo sudah tidak tahan mendengar apa
yang disampaikan oleh Pak Irwan, Pembantu Rektor tiga mereka itu. Belajar di pesantren mana
Bapak ini, sehingga mempertanyakan segalanya tentang pergerakan mereka. Mempertanyakan yang
haq. Atau jangan-janga malah Bapak ini yang dulunya mondok di pesantren yang menerapkan
ajaran sesat. Mereka semakin panas dingin menghadapinya.
“Terima kasih Pak, karena Bapak telah mau mengatakan hal-hal apa saja yang perlu kami perbaiki
dalam organisasi kami. Tadi Bapak bertanya, saya akan jelaskan semua apa yang Bapak tanyakan
tadi. Semoga saja penjelasan saya nanti dapat menjadi pertimbangan bagi Bapak mengenai
keputusan yang Bapak ambil”. Ungkap Aryo memulai. Terlihat sekali kalau Aryo sangat berhati-
hati dalam menghadapi Pak Irwan.
“Begini pak,.....’ kata Aryo memulai “Sebenarnya dasar yang kami pakai dalam melakukan
pembinaan seperti yang Bapak pertanyakan tadi adalah mengacu kepada cara yang di lakukan
Rasulullah ketika awal kenabian. Di mana Rasulullah melakukan pembinaan mental dan keimanan
para sahabat di masa awal kenabian itu dengan cara membentuk kelompok-kelompok kecil yang
sekarang kami namakan dengan nama halaqoh[16]. Pertama kali dilakukan Rasulullah di rumah
Arqam bin Nafal, disanalah pertemuannya. Lalu, kenapa hari ini kami juga melakukan hal itu?
Karena belajar dari siroh Nabi, ternyata pembinaan yang dilakukan Nabi dengan cara seperti itu
membuahkan hasil yang sangat besar
“Menghasilkan orang-orang yang memiliki komitmen sangat tinggi terhadap islam dan
menghasilkan orang-orang yang mempunyai kualitas keimanan yang kokoh terhadap Allah. Kami
tidak melakukan hal-hal yang melenceng di dalam kelompok-kelompok kecil yang kami buat. Kami
hanya melakukan pembinaan antar personal, pembinaan pribadi secara intens dengan memberikan
materi-materi tentang akhlak, tauhid dan cara-cara bermuamalah.
“Di samping itu kami juga melakukan pengontrolan terhadap amalan kami yang disebut dengan
amalan yaumiah, amalan harian kami. Kami menerapkan sistem berlomba-lomba dalam kebaikan
dalam kelompok kecil itu Pak. Kami juga diajarkan untuk rajin berinfaq dan bersodaqah, juga
menghafal al-qur’an. Dan sekali-kali justru kami berfikir bagaimana cara mengembalikan keaslian
islam ini kepada fitrahnya. Walaupun kami tahu mungkin hal itu sangat sulit, tapi kami yakin
banyak manfaat dari pembinaan yang kami lakukan.
“Itulah yang menguatkan kami untuk melakukan pembinaan dengan cara tersebut pak. Kami minta
maaf kepada Bapak jika apa yang kami lakukan selama ini membuat penduduk kampus resah.
InsyaAllah kelak mereka akan merasakan manfaatnya secara langsung. Kami tidak melakukannya
untuk kesenangan kami sendiri, tapi demi untuk kepentingan bersama.
“Lalu mengenai kenapa kami memasang tirai lebih tinggi dari badan kami di Masjid ataupun
mushola, itu semua kami lakukan dalam rangka menjaga diri kami dari hal-hal yang di larang oleh
Allah Pak. Karena dampak dari pandangan mata jauh lebih berbahaya dari apapun, bukankah
semuanya di awali dari mata? Sehingga mulut memuji dan berkata lalu hati akan berkeinginan dan
otak akan berfikir bagaimana cara untuk mewujudkan semua itu, sehingga semua itu akan di
benarkan atau di dustakan oleh kemaluan, sehingga terjadilah perzinahan.
“Dalam rangka menghindari hal itulah, makanya kami memasang tirai di mushola atau masjid. Hal
ini juga dicontohkan oleh Rasulullah dan istri beliau Aisyah RA, dimana ketika Ibunda Aisyah akan
mengajarkan ilmu hadist kepada para sahabat, maka beliau akan memasang tirai atau hijab diantara
sahabat dengan dirinya. Kami sadar Pak, kami belum memiliki keimanan yang kuat seperti kuatnya
keimanan para sahabat. Kami khawatir kalau hati kami yang masih berpenyakit ternodai karena
pandangan kami yang tak terjaga.
“Kami tidak ingin niat baik yang kami munculkan dari awal berubah menjadi buruk karena
pandangan mata yang tidak terjaga. Karena pandangan mata itu sangat berbahaya. Imam Syafi’i
saja karena tidak menjaga pandangannya mengakibatkan hadits yang sudah di hafalnya selama
berbulan-bulan itu sirna tanpa bekas sedikitpun, padahal beliau tidak sengaja memandangnya.
“Lalu bagaimana dengan kami yang baru memiliki keimanan seujung kuku ini? Kami tidak bisa
menjamin bisa menjaga hati ini dengan baik. Itulah sebabnya kami memakai hijab di mushola
maupun Masjid.
“Lalu kenapa perempuan harus memakai jilbab selebar taplak meja seperti yang Bapak katakan,
landasannya sudah jelas Al-Qur’anul karim. S. An-Nur: 31 dan Al-Ahzab:59. Jadi tidak perlu
dipertanyakan lagi. Dan masalah berjabatan tangan, itu pun sudah di atur di dalam islam dengan
sedemikian rupa. Saya rasa Bapak pernah menemukan haditsnya, karena ini hadits sahih.
Lalu mengenai demo, kami demo dengan cara yang benar. Belum pernah kami melakukan tindakan
anarkis dalam demo-demo tersebut. Coba Bapak katakan, kapan kami demo dan merusak bangunan
kampus dan infrastruktural yang ada? Kami tidak pernah melakukan itu Pak. Seingat saya, kami
demo dengan cara menyuarakan suara masyarakat yang selama ini tenggelam ditelan kebijakan-
kebijakan. Kami tidak asal demo, dan kami tidak melakukan demo dengan kehendak kami sendiri.
Jadi dari segi mananya Bapak mengatakan apa yang kami terapkan adalah ajaran yang sesat?
“Semua Fakultas yang mempunyai FSI mempunyai akar yang sama dengan FSI Universitas. Kami
tidak akan menyembunyikan apapun, dan kami akan terima tuduhan dari pihak kampus kalau
memang kami terbukti melakukan penyesatan. Tapi dengan cara seperti ini....... maaf Pak, kami
tidak bisa terima. Karena setahu kami, kami tidak pernah berbuat onar di kampus ini. Dan
keberadaan kami, saya rasa justru memberikan pencitraan yang baik terhadap kampus”. Terang
Aryo dengan panjang lebar.
Mendengar apa yang disampaikan Aryo, membuat Pak Irwan terdiam. Apa yang disampaikan Aryo,
memang ada benarnya. Tapi tetap saja kurang relevans dengan kondisi masyarakat kampus.
“Saya tetap dengan apa yang sudah saya putuskan. Walau seperti apapun keterangan yang saudara
sampaikan, semua itu tidak akan merubah keputusan saya. Eksistensi kalian di kampus ini sudah
tidak sehat lagi. Apa kalian akan menjadikan kampus ini sebagai markas untuk melancarkan misi
kalian yang busuk itu? Ini kampus umum, bukan kampus islam. Saya rasa kalian salah memasuki
universitas. Jika tahu kalian akan seperti ini, kenapa kalian tidak masuk kampus islam saja?
“Sudahlah saya sudah tidak punya waktu untuk membahas masalah ini. Hanya buang-buang waktu
saja. Masih banyak urusan saya di luar sana. Tidak hanya membahas masalah FSI kalian yang tidak
berguna itu”. Elak Pak Irwan bersiap keluar meninggalkan ruangan. Tapi tiba-tiba secepat kilat Aibi
melolong dengan suara melengking. Suara itu bergetar menahan emosi dan tangis. Betapa telah
muak hatinya mendengarkan semua yang di katakan oleh Pembantu Rektor tiga nya ini. Sungguh
betapa kerasnya hatinya, sehingga mengatakan masalah yang mereka hadapi sangat tidak relevan.
Kurang apalagi coba keterangan dari Aryo tadi?
“Tunggu Pak.....” Sambar Aibi cepat. “Saya rasa ada yang ganjil disini. Tadi Bapak
mempertanyakan segalanya, dan kami sudah menerangkan semuanya dengan terang kepada Bapak.
Lalu kenapa tiba-tiba Bapak mengatakan semua itu kurang relevan? Jika memang kurang relevan,
dari segi mananya yang masih kurang relevan? Tolong Bapak jelaskan dengan terang. Biar kami
tahu apa kesalahan kami. Jangan-jangan Bapak memang sengaja melakukan ini semua untuk
membubarkan FSI ini?”. Selidik Aibi. Semua mata saat ini memandang ke arah Aibi. Dia tidak
memperdulikan tatapan penuh tanda tanya itu.
****
Mata Aryo pun tidak lepas dari Aibi. Dia tidak menginginkan masalah ini lebih besar lagi. Tapi
menyela dan menghentikan Aibi lebih tidak bijaksana lagi. Karena akan terlihat ketidak kompakan
mereka di depan Pak Irwan, dan itu akan membuat Pak Irwan di atas angin, karena berhasil
membuat mereka pecah. Mau tidak mau, maka dia pun akhirnya berdiri dibelakang Aibi dan
menyahut. “Iya Pak. Coba Bapak jelaskan dengan lebih jelas lagi. Kenapa Bapak mengatakan
semua itu kurang relevan? Apa hanya gara-gara ke kurang relevanannya, maka Bapak
membubarkannya begitu saja? Kami tidak bisa terima Pak”. Sambar Aryo menambahkan dan yang
lain pun ikut berdiri di belakang Aibi.
Saat ini Aryo menganggukkan kepalanya kepada Aibi sebagai tanda agar Aibi melanjutkan apa yang
ingin di katakannya kepada Pembantu Rektor tiga mereka. Saat ini semua harapan diserahkan
kepada Aibi. Aryo percaya saja, pasti Aibi mempunyai cara yang jitu untuk mendebat Pembantu
Rektor tiga yang semena-mena itu. Karena yang dia tau Aibi adalah orang yang tidak mau berbicara
jika tidak mempunyai alibi yang kuat dan data-data yang kongkrit. Terbukti selama ini ide-ide Aibi
untuk FSI sangat dirasakan mampu memberikan dampak yang baik untuk perkembangan FSI
selama beberapa tahun belakangan.
“Maksud saudara apa? Apa urusan saudara dengan semua ini? Dan siapa saudara?”. Tanya Pak
Irwan terpancing dengan apa yang di lontarkan Aibi dan Aryo. Kali ini pandangan Pak Irwan lekat
ke tubuh Aibi yang kemudian merasa risih karena di pandang begitu tajam oleh Pak Irwan.
“Saya Aibi, Raisyah Aibi Rizaldi, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jurusan Biologi semester tujuh. Saya sangat berkepentingan dengan masalah ini. Kalau tidak
ngapain saya ikut menemui Bapak ke ruangan ini. Saya ketua keputriannya Pak. Sedangkan Aryo
adalah ketua umum”. Kata Aibi mengawali. Demi mendengar apa yang di sampaikan Aibi,
membuat Pak Irwan terkejut.
Dalam hati dia berkata “Inikah mahasiswa terpintar yang dimiliki oleh universitas ini, yang
namanya sering di sebut-sebut oleh dewan dosen, terutama dosen FMIPA itu sendiri? Baru kali ini
dia berhadapan langsung dengannya. Sayang sekali pintar-pintar bergabung dengan orang-orang
bodoh yang menghabiskan waktunya hanya di mesjid dan mushola kampus yang kerjanya hanya
rapat-rapat yang tidak jelas. Seperti dunia ini akan selesai dengan rapat-rapat yang mereka lakukan.
Sungguh sangat menyedihkan”. Kata Pak Irwan dalam hati sambil memandang Aibi dengan penuh
ejekan.
Aibi tidak peduli dengan pandangan pak Irwan. Dia dengan santai mengambil tasnya dan
mengeluarkan tumpukan kertas-kertas yang sudah terlihat buram dan kusam dari tasnya. Semua
mata memandang heran kepadanya.
“Kemaren tidak sengaja saya lewat di samping gedung pengarsipan kampus ini dan saya
menemukan segepok kertas-kertas tidak bermakna ini tergeletak begitu saja di samping tong
sampah. Mungkin akan di bakar, atau barang kali ingin di jual ke tukang loakan, saya tidak tahu.
Saya penasaran dan saya mendekatinya dan tanpa berfikir panjang saya membaca lembar demi
lembarnya. Ternyata isinya adalah data-data yang sangat penting. Data-data tentang pelanggaran
yang dilakukan oleh mahasiswa dan dikeluarkan dari kampus dengan tidak terhormat.
“Ada satu hal yang menggelitik hati saya ketika membaca data-data ini, Kenapa data sepenting ini
dibiarkan terletak begitu saja? Tadinya saya mengambil data ini ingin saya berikan pada kepala unit
kearsipan kampus ini, tapi ternyata Allah punya rencana lain. Malah data ini sangat berguna untuk
menghadapi Bapak”. Kata Aibi lagi dengan kata penuh arti dan mimik wajah penuh keseriusan.
Cahaya matanya tampak berkilat-kilat di balik kacamata minusnya.
Aibi memang menemukan tumpukan kertas-kertas itu disamping gedung arsip kampus ketika dia
sedang menuju ke mushola Fakultas Teknik yang terletak tepat di belakang gedung tersebut. Tanpa
berfikir panjang dia mengambil kertas-kertas itu dan memasukkannya ke dalam tasnya. Sepintas
lalu di bacanya isinya tentang kasus-kasus pelanggaran yang di lakukan oleh mahasiswa. Bukankah
data-data itu sangat penting? Lalu kenapa kok dibuang? Apakah salah buang atau bagaimana?
Karena Aibi buru-buru mau rapat, maka dia langsung saja memasukkan kertas tersebut ke dalam
tasnya.
Dan sampai di rumah iseng-iseng Aibi membuka data-data tersebut, dia ternganga ketika melihat
dalam data yang di tulisnya lebih dari tujuh puluh lima persen dari mahasiswa yang dikeluarkan
dari kampus dengan cara yang tidak hormat berasal dari Fakultas teknik. Ketika di telusuri lebih
jauh oleh Aibi ternyata penyebabnya sama yaitu karena melakukan pelanggaran asusila. Tertangkap
karena menjadi gigolo, menjadi penghibur om-om berhidung belang dan kumpul kebo di kos-kosan.
Ini terjadi tahun 1995 yang marak dengan istilah ayam kampus.
Aibi terus menelusuri lembaran demi lembaran data yang ada di tangannya. Pada tahun 1996, Aibi
menemukan penurunan terhadap angka pelanggaran kasus mahasiswa dari tujuh puluh lima persen
turun menjadi enam puluh persen dan di lihatnya keterangan di bawah tabel tersebut, pihak kampus
bekerja sama dengan mahasiswa Rohis kampus yang kemudian di resmikan menjadi FSI
Universitas pada tahun 1997. Aibi semakin tertarik membaca dan mempelajari data-data tersebut
ketika di lihatnya pada tahun 2001 terjadi penurunan yang sangat pesat sekali. Dari enam puluh
persen turun menjadi lima persen, di akibatkan karena telah terbentuknya FSI di masing-masing
fakultas yang ada.
****
17
Sejarah Kelam
“Begini Bapak..... “ kata Aibi mengangsurkan data-data tersebut ke arah pak Irwan. “Dari data-data
tersebut saya baca, ternyata pada tahun 1995-1997 kampus kita ini pernah memiliki sejarah suram.
Ratusan mahasiswa kita dikeluarkan dari kampus dengan cara yang tidak terhormat karena terjaring
dengan berbagai pelanggaran kasus yang mereka lakukan. Dan dari sekian banyak kasus yang
mereka lakukan ternyata tujuh puluh lima persen kasus yang mereka lakukan adalah perbuatan
asusila. Bahkan perbuatan asusila itu sampai kepada dosen. Jika ingin nilai A, datang ke rumah
dosen dan temani dosen kencan, maka nilai A akan di dapatkan. Ini suatu fenomena yang sangat
memprihatinkan. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah tujuh puluh lima persen dari
mahasiswa yang berkasus adalah mahasiswa teknik. Karena kita tahu kuliah di teknik sangat susah
sekali dan butuh banyak biaya, maka mereka melakukan apapun untuk bisa lulus dalam setiap mata
kuliah yang mereka ambil. Sehingga banyak dari mahasiswa yang tertangkap karena menjadi gigolo
dan PSK. Dan tidak jarang ada mahasiswa yang tertangkap ketika sedang kencan dengan dosennya
sendiri.
“Ini sangat menohok hati dan merawankan fikiran. Sehingga pihak kampus pun kewalahan
menghadapi situasi yang serba tidak menentu. Dan pada tahun 1995 ada sekolompok mahasiswa
yang prihatin dengan kondisi kampus yang sangat rawan, mereka mengadakan rapat di Masjid
kampus yang ketika itu hanya menjadi simbol dari kejayaan islam di kampus ini, dan mereka
menamakan diri mereka dengan mahasiswa Rohis kampus. Di tengah-tengah keterpurukan mental
dan moral kampus, ternyata kehadiran mereka menjadi solusi bagi masalah yang di hadapi kampus.
Walaupun banyak mahasiswa yang berkomentar mereka orang-orang aneh, tapi mereka tidak
peduli.
“Awal pergerakan mereka mengadakan pengajian-pengajian di Masjid kampus.Walaupun yang
mengisinya dan mengikuti pengajian itu awalnya hanya mereka-mereka saja, tapi lama kelamaan
ada yang tertarik sehingga kekuatan mereka bertambah dan mereka pun menyusun strategi. Mereka
berhasil melobi Pembantu Rektor tiga yang ketika itu masih di pegang oleh Ir. Suharmon, MBA.
Karena beliau telah melihat dan menyaksikan apa yang telah mereka lakukan, maka Pak Suharmon
memberikan dukungan sepenuhnya kepada mereka.
“Dan mereka pun mulai beraksi dengan menempel seribu fhamplet di setiap gedung di kampus ini
dengan beragam kata-kata. Seperti budayakan malu, orang lain memang tidak melihat apa yang di
lakukan, tapi ingat Allah maha melihat. Aku malu jika ke kampus memakai kendaraan mewah, tapi
dengan hasil melacurkan diri, aku malu dapat nilai A, karena aku dapatkan karena merayu dosen.
Awalnya menuai protes di segala lini, tapi lama kelamaan protes itu hilang, dan pada tahun itu
terjadi pengurangan angka mahasiswa yang melakukan pelanggaran terhadap asusilah tersebut.
“Dari tujuh puluh lima persen turun menjadi enam puluh persen. Melihat perkembangan yang baik,
maka Pak Suharmon memutuskan untuk melegalkan rohis mahasiswa ini menjadi organisasi
mahasiswa, yang memberikan hak sepenuhnya untuk mengangkatkan acara-acara yang bertujuan
untuk memperbaiki moral mahasiswa yang telah rusak. Maka berdirilah FSI Universitas pada tahun
1996.
“Dan perkembangan itu semakin pesat terjadi ketika tahun 2001 terbentuk FSI di setiap Fakultas
yang ada. Pelanggaran turun menjadi lima persen. Walaupun tidak bisa di nol persen kan, tapi itu
sudah merupakan hasil yang sangat luar biasa. Ketika diteliti lebih lanjut Bapak, ternyata hal itu
terjadi karena pembinaan dalam bentuk mentoring yang dilakukan oleh anak-anak FSI di seluruh
fakultas. Bapak tahu, itu adalah kelompok-kelompok kecil yang Bapak katakan aneh tadi. Dan itu
yang kami lanjutkan hari ini. Kami tidak pernah berusaha menambah dan mengurangi cara yang
telah dilakukan oleh para pendahulu kami yang ketika itu digawangi oleh bang Andre Naufal.
“Jika hari ini Bapak membubarkan FSI Teknik maka saya khawatir sejarah suram itu akan kembali
terulang. Apalagi dengan kondisi bangsa seperti ini yang serba sulit. Mencari yang haram saja
susahnya minta ampun, apalagi mencari sesuatu yang halal. Belum lagi biaya kuliah dan biaya
hidup sehari-hari yang begitu tinggi. Jangan-jangan ayam-ayam kampus itu akan kembali lagi.
Siang menjadi mahasiswa, dan malam menjadi penghibur di jalanan. Syukur-syukur kalau hanya
menjadi penghibur, bagaimana kalau sampai menjadi penghuni kamar kosong di sudut hotel yang
ada di kota Padang ini?
“Tolong pak, tolong Bapak fikirkan lagi. Ini sangat berdampak buruk terhadap masa depan kampus
kedepannya Pak. Karena ketika Bapak mengatakan FSI Teknik mengajarkan ajaran sesat, otomatis
semua masyarakat kampus akan percaya dengan hal itu, dan lama kelamaan racun itu akan
menyebar ke FSI Universitas. Sedangkan yang kami lakukan selama ini tidak lain hanya ingin
membantu pihak kampus. Silahkan kampus memberikan bekal ilmu sesuai dengan jurusan mereka
masing-masing, kami akan membantu di ranah pembentukan moral. Tolong kasih kami kesempatan
lagi, pak”. Aibi telah kehabisan kata-kata untuk memberikan keterangan. Semua sejarah yang dia
ketahui tentang kampus dan FSI telah habis rasanya diceritakannya. Semua yang ada di ruangan itu
terdiam.
Dan Pak Irwan masih terlihat membalik halaman demi halaman kertas-kertas yang menumpuk di
mejanya. Di pelajarinya satu persatu dan di hubungkannya data-data tersebut dengan cerita yang
disampaikan Aibi, memang ada kecocokan. Tapi dia harus mempelajarinya lebih jauh lagi data-data
yang ada dan mengcroscek data-data tersebut ke unit pengarsipan kampus. Apakah data itu benar
berasal dari ruangan arsip atau bagaimana? Kalau iya betapa gegabahnya unit ke arsipan tersebut
membuang data-data penting begitu saja. Padahal data-data ini berisi tentang aib kampus mereka.
Untung saja di temui oleh anak-anak forum yang terkenal sangat baik dan jujur ini, kalau tidak?
Sebenarnya hati Pak Irwan sangat tergugah dengan anak-anak forum ini. Tapi tidak dapat dipungkiri
kalau belakangan dilihatnya mereka hanya sibuk dengan kader-kader mereka saja. Apalagi fakultas
teknik, hanya mereka saja yang sibuk dan kebaikan itu tidak ditularkan kepada yang lain. Tidak
pernah melibatkan orang lain. Terlalu menutup diri kepada orang-orang yang ada di sekeliling
mereka. Kalau yang perempuan-perempuan berjilbab panjang itu ketemu sesama dia, dia bercipika
cipiki, tapi ketika ketemu dengan orang-orang yang tidak berjilbab, mereka seperti enggan untuk
menyapa mereka. Kalau mereka mengatakan diri mereka adalah aktivis dakwah, bukankah
seharusnya orang-orang seperti itu yang menjadi objek dakwahnya?
Hal ini membuat Pak Irwan sangat geram sekali. Seolah-olah ada sekat yang memisahkan mereka. Seolah-olah mereka yang berjilbab lebar dan jenggotan itu mengatakan, merekalah yang paling sholeh dan memandang jijik pada orang-orang yang tidak sefikrah[17] dengan mereka, terlalu fanatik.“Saya tidak bisa percaya begitu saja dengan cerita yang saudara sampaikan. Bisa jadi saudara hanya
mengarang cerita tersebut untuk kepentingan kelompok saudara. Saya kurang yakin kalau data-data
yang saudara bawa ini akurat. Saya perlu mencek dan riceknya dulu kepada berbagai pihak yang
terkait dan kepada nama-nama yang saudara sebutkan tadi. Kalau data sesuai dengan cerita saudara,
maka saya akan pertimbangkan lagi keputusan saya membubarkan FSI Teknik. Tapi bukan berarti
saya membatalkan, saya tidak katakan begitu”. Tandas Pak Irwan dengan kejeniusannya bersilat
lidah. Padahal sudah jelas-jelas semua data-data dan cerita yang disampaikan Aibi tadi akurat dan
valid. Dia sendiri pun tahu dengan semua data dan keterangan yang disampaikan Aibi. Tapi untuk
menutupi kekalahannya, maka dia pun bersilat lidah.
Anak-anak Forum itu pun menahan nafas geram dengan Pembantu Rektor tiga nya ini. Sungguh
licik. Padahal mereka tadi sudah menyangka Pembantu Rektor tiga ini akan kalah telak dengan
semua fakta dan data yang di ungkapkan Aibi. Dasar licik. Batin mereka.
“Sekarang, saya rasa sudah tidak ada lagi yang perlu saudara jelaskan kepada saya”. Kata Pak Irwan
kemudian. Jelas sekali kalau dia ingin mengusir mereka dari ruangannya itu. Dan mereka pun tahu
diri. Tapi sebelum keluar Aryo sempat berkata “Kami menunggu hasil keputusan selanjutnya dari
Bapak. Kami harap Bapak bisa memberikan pertimbangan dengan seadil-adilnya untuk FSI Teknik.
Terima kasih atas waktu yang Bapak berikan”. Tandas Aryo sebelum keluar. Dan tanpa di duga Pak
Irwan pun mengulurkan tangannya kepada mereka. Tapi karena hati mereka panas dingin melihat
sikap Pembantu Rektor tiga nya yang sok itu, sehingga mereka menganggap uluran tangan itu
sebagai ejekan bagi kekalahan mereka dalam beradu argumen dengan Pembantu Rektor tiga.
****
18
Kejadian Di Taman Rumah
Cerita-cerita tentang sepak terjang Aibi di masa lalu itulah yang selalu menjadi penyemangat Naura
selama ini untuk berbuat lebih banyak lagi untuk FSI, untuk dakwah. Bagi Naura Aibi adalah
inspirasinya dalam kehidupan. Seorang yang berhasil menjalani kehidupannya dengan sebaik
mungkin, sukses akademik dan sukses organisasi. Sosok yang luar biasa, sosok yang tidak pernah di
kenalnya tapi mampu membangkitkan semangatnya untuk berprestasi.
Hari ini, dia yakin wanita yang ada di depannya saat ini adalah sosok yang menginspirasinya selama
ini. Lalu akankah dia melewatkan kesempatan emas ini begitu saja?
Setelah cukup lama menimbang, akhirnya Naura memutuskan untuk mendekati Aibi yang sedang
asik bercengkrama dengan dua jundi kecil Deni. Dengan langkah gontai di dekatinya Aibi. Dia
sudah putuskan, dia akan menuntaskan kepenasarannya selama tiga hari ini tentang siapa Aibi
sebenarnya. Karena ketika kenalan Aibi tidak bercerita tentang banyak hal, hanya menyebutkan
namanya saja itupun hanya nama kecil. Naura yakin Aibi yang ada di hadapannya hari ini, yang
untuk dua bulan kedepan akan tinggal serumah dengannya adalah Aibi yang selama ini gencar di
ceritakan oleh segala pihak di kampus. Bukankah ini adalah sebuah anugerah yang sangat indah
bisa berjumpa dengan orang hebat seperti Aibi, yang ketangguhannya telah di akui kawan maupun
lawan.
Naura terus mendekat dan semakin dekat. Sesaat Naura bingung bagaimana cara memulai bertanya
kepada Aibi. Tapi dia tetap melanjutkan untuk mendekati Aibi, karena jaraknya sudah kadung dekat
dengan Aibi.
“Boleh duduk di sini Kak?” Tanya Naura setelah berada persis di depan Aibi. Aibi yang sedang
asyik bermain ketawa ketiwi dengan Fathi dan Rahmat pun menoleh dan menengadahkan kepalanya
sembari tersenyum lebar. Kaca mata minus yang di pakainya berkilat-kilat karena di terpa cahaya
matahari sore. Dan senyum yang terlukis di bibirnya begitu indah dan menyejukkan hati Naura.
“Silahkan Dik, tafadholi ya ukhti shoghira[18]?” kata Aibi kemudian sambil mengulurkan tangannya tanda mempersilahkan dengan senyum masih mengambang di bibirnya.“Syukron Kak”.
“ Afwan[19], dinda”.“Hmm...Boleh bertanya sesuatu Kak?” tanya Naura kemudian setelah beberapa saat terdiam karena
bingung bagaimana cara mulai bertanya tentang semua kepenasaranannya semenjak pertama kali
bertemu dengan Aibi.
Aibi kembali menoleh dan menatap lekat kepada Naura yang duduk di bangku taman yang ada di
samping kirinya. Sedangkan dia sendiri tentu saja duduk di atas kursi rodanya.
“Mau bertaya apa, dik? Silahkan…Kalau Kakak bisa jawab Insya Allah akan Kakak jawab, tapi
kalau tidak nanti kita cari bersama jawabannya”. Kata Aibi ramah sambil tetap tersenyum indah.
Aduh, senyum itu... Benar itu adalah senyum milik mujahidah[20] tangguh yang enam tahun lalu
ada di kampusnya. Dia sering melihat senyum khas itu di dokumen keputrian sekre FSI. Karena di
sana ada beberapa lembar foto Aibi yang sedang memberikan kenang-kenangan kepada para
pemateri yang di undang dan sedang memberikan kata sambutan. Tidak salah lagi pemilik senyum
itu adalah Raisyah Aibi Rizaldi yang selama ini telah di kaguminya. Setiap kali dia membuka
dokumen keputrian angkatan Aibi, selalu dia rindu dengan senyuman itu dan selalu berdo’a di
dalam hati agar suatu saat nanti di pertemukan dengan pemilik senyum itu.
Ketika semua senior telah kehabisan harapan untuk bisa berjumpa lagi dengan Aibi, tapi dia dengan
keyakinan membara di dalam hati berkata, suatu saat nanti Allah pasti akan mengirim Aibi lagi
kesini.Selagi dia masih hidup Insya Allah dia akan dipertemukan dengannya yang merupakan
mahasiswa kebanggaan para dosen dan kader andalan FSI di masanya. Tidak ada yang tahu persis
apa yang terjadi dengan Aibi setelah kecelakaan di hari jum’at itu. Karena tiga hari setelah dia
mengalami kecelakaan, orang tuanya memindahkannya ke rumah sakit di Jakarta agar bisa di
tangani oleh dokter yang lebih ahli dan mempunyai peralatan medis yang lengkap dan canggih.
Setelah itu tidak bisa di hubungi lagi karena kesibukan orang tuanya memikirkan nasibnya dan
mengurus segala keperluannya untuk mendapatkan pengobatan dan kembali sembuh seperti sedia
kala akhirnya mereka lupa mengirimkan kabar ke Padang.
Sudah begitu lama dia memendam rasa rindu ingin berjumpa dengan Aibi. Akankah wanita yang selalu menjadi buah bibir para dosen dan mahasiswa apalagi para kader terdahulu itu di lepaskannya begitu saja? Tidak.... dia tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia harus membawa Aibi kembali ke kampus untuk berbagi pengalaman dan ilmu kepada para kader. Mengingat, kondisi kader hari ini sangat memprihatinkan. Kader semakin banyak namun yang terbina belum seberapa. Banyak dari
kader yang hari ini lalai dengan amanah yang diberikan. Banyak dari kader yang ada hari ini menjadi duri dalam daging bagi jama’ah. Karena menjelekkan nama jama’ah dengan VMJ[21] yang semakin meraja lela. Ada akhwat yang dekat dengan ikhwah[22] yang untuk memperindah hubungan mereka mengatakan kepada semua kader kalau mereka saudara angkat sehingga bisa berboncengan dan berbicara berduaan di sembarang tempat. Andaikan mereka tahu, Rasulullah saja untuk menghilangkan istilah angkat mengangkat di dalam
islam menikahi istri anak angkat beliau sendiri. Istri Zaid Bib Haritsah, Zainab. Rasulullah ingin
mencontohkan kepada para sahabat dan kepada kita semua betapa sesungguhnya tidak ada
hubungan apa-apa dengan saudara angkat. Dia tidak akan berubah menjadi muhrim bagi kita, tapi
tetap non muhrim. Jadi tidak ada satupun yang menghalalkan mereka untuk berboncengan dan
berkhalwat di sembarang tempat. Mereka tetap harus menjaga hijab dan pergaulan.
Dan masih banyak lagi permasalahan lainnya yang terjadi di kampus tercintanya hari ini. Hari ini
saja, betapa dia ingin kembali ke kampus secepatnya karena banyak amanah yang di tinggalkannya
di Padang. Banyak perencanaan besar yang harus di laksanakan di Padang. Hampir setiap menit dia
di hubungi akhwat yang menangis memberitahukan perkembangan kampus, padahal baru lima belas
hari di tingggalkannya. Betapa hatinya terusik dengan itu semua. Apa lagi kawan-kawan KKN yang
setempat tinggal dengannya tidak ada yang bisa di ajak berkompromi. Mereka semua anti dengan
anak forum. Setiap breafing, mereka selalu menyalahkannya dan selalu memojokkannya. Betapa dia
benci dengan semua itu. Padahal di Kampus dia orang hebat yang aktif di lembaga dakwah, tapi
kenapa disini dia merasa tidak berdaya sedikitpun? Ternyata kehebatan di kampus tidak
berpengaruh terhadap dirinya.
Jika selama ini yang dihadapinya hanya orang-orang yang sepaham dengannya yang selalu berucap
“Afwan” ketika berbuat salah dan “syukron” ketika di bantu, hari ini dia berhadapan dengan orang-
orang yang notabenenya orang-orang ammah[23] yang seperti mereka katakan selama ini. Dalam
dua minggu ini saja sudah enam kali dia menelfon Uni Murabbinya[24] di Padang sambil
menangis-nangis dan mengeluhkan tidak sanggup di sini, karena tempat liqoo’ juga sangat susah
sekali. Berkali-kali dia minta pulang saja ke Padang. Ah ternyata betapa rapuh dirinya, sedikit pun
dia tidak pantas untuk menjadi pengganti Aibi.
Perasaannya membuncah ketika melihat senyum Aibi yang selama beberapa tahun hanya di lihatnya
dari lembaran-lembatan foto itu pun telah membuatnya tercekat. Dengan gerakan cepat dia
langsung berhamburan kepelukan Aibi yang duduk di kursi roda. Sehingga Aibi yang di serobot
seperti itu menjadi terkejut.
“Kakak, aku tidak menyangka akan menemukan Kakak disini. Setelah bertahun-tahun aku menanti
pertemuan ini. Hari ini Allah mengabulkannya Kak”. Ungkap Naura di pelukan Aibi. Mendapatkan
perlakuan seperti itu, tentu saja Aibi terkejut dan tidak mengerti. Apa maksud Naura? Bukankah dia
tidak pernah bertemu dengan Naura sebelumnya? Lalu kenapa Naura mengatakan telah lama
menunggunya? Ditengah kebingungannya dia berusaha membelai lembut Naura “Apa maksudmu
dik? Kakak tidak mengerti” Ungkap Aibi akhirnya.
“Kapan Kakak akan kembali lagi ke kampus Kak? Kami semua menunggu Kakak. Bertahun-tahun
kami berharap Kakak akan datang ke kampus, tapi Kakak tidak pernah muncul-muncul lagi.
Kenapa Kakak biarkan kami berjalan sambil meraba-raba Kak? Padahal selama ini Kakak ada di
sini. Kak, datanglah ke kampus Kak. Kami butuh Kakak di kampus. Banyak orang yang menunggu
kehadiran Kakak di sana. Kenapa Kakak tidak pernah memberikan kabar kepada kami? Kenapa
Kak? Kenapa setelah kecelakaan itu Kakak menghilang begitu saja? Kenapa Kak?” Naura menangis
sudah di pelukan Aibi. Dia sudah tidak tahan lagi, hati kecilnya yakin kalau Aibi adalah orang yang
selama ini di rindukannya, walaupun dia tidak pernah berjumpa.
Sementara Aibi yang mendapatkan perlakuan seperti itu secara tiba-tiba dari Naura, membuatnya
tidak siap. Pertanyaan-pertanyaan yang di lontarkan Naura sangat menusuk-nusuk hatinya. Siapa
wanita ini? Begitu teganya dia mengungkit segalanya. Selama bertahun-tahun dia berusaha menata
kembali hidupnya setelah kecelakaan itu. Lalu sekarang kenapa dia datang dengan seribu tanya
yang sangat menghujam hati Aibi? Dia datang bagai malaikat penghancur yang siap
menghancurkan tembok pertahanan hati Aibi. Tidakkah dia tahu kalau Aibi sendiri hampir gila
memikirkan semua itu?
Dengan kasar di dorongnya tubuh yang memeluk erat dirinya. Dengan mata merah menyala Aibi
melepaskan cengraman di tubuhnya yang kecil dan lemah.
“Stop Naura...” Suara Aibi terdengar melengking. Kerongkongannya kering oleh air mata .
“Hentikan semua itu... Lepaskan aku. Lepaskan... “ kata Aibi kemudian sambil terus mendorong
tubuh Naura agar menjauh darinya. Tapi Naura semakin memperkuat pelukannya.
“Tidak Kak. Aku tidak akan melepaskan, Kakak. Kenapa Kak? Ini adik Kakak di kampus, bukan
orang lain. Kenapa Kak? Seperti inikah penyambutan Kakak untukku? Beginikah kader terbaik
yang dibanggakan oleh semua orang? Inikah mahasiswa tercerdas yang pernah dimiliki kampus?
Begitu kasar melepaskan pelukanku darinya. Kenapa aku harus melepaskan pelukan ini? Salahkah
aku, kalau aku merindukan Kakak? Walaupun aku belum pernah berjumpa sama Kakak? Kak,
kenapa setelah kecelakaan itu Kakak tidak pernah memberikan kabar kepada kami?”
“Karena kecekaan itu hampir membuatku gila. Puas kamu? Saya mohon padamu, jangan pernah
ungkit masalah itu lagi. Izinkan saya hidup dengan tenang, dik. Saya mohon!”. Sambar Aibi cepat
dengan berurai air mata. Tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit sekali. Dadanya sesak dan air mata
itu semakin deras membanjiri pipinya. Hatinya sakit mendengarkan semua pertanyaan Naura.
Kata-kata Naura terasa mencabik-cabik hatinya. Entah dapat kekuatan dari mana, di dorongnya
tubuh yang memeluknya itu dengan keras. Dia pun langsung memutar kursi rodanya dengan sekuat
tenaga. Tapi, karena emosinya sedang tidak stabil dan tidak berhati-hati ternyata ada batu yang
mengganjal roda kursinya.Aibi jatuh terjerambab dan kepalanya tertimpa kursi besi itu.
Menyadari hal itu, secepat kilat Naura menyambar Aibi, tapi hati Aibi telah di penuhi kebencian
kepada Naura dengan kasar di tepisnya tangan Naura, sedang matanya merah menahan amarah.
Tiba-tiba gadis yang beberapa hari ini diam-diam sering di perhatikannya itu, hari ini telah menjadi
orang yang paling di bencinya karena telah tega menghancurkan ketenangan yang selama bertahun-
tahun berusaha untuk diciptakannya
“Jangan sentuh aku. Biarkan aku sendiri. Aku tidak ingin tanganmu menyentuh kulitku. Biarkan
aku. Pergi kamu... Pergi kamu dari hadapanku. Aku benci padamu. Jangan pernah lagi kamu
memperlihatkan wajahmu di depanku”. Kata Aibi sambil berteriak-teriak mengusir Naura.
Sementara Naura tidak juga pergi dari sana. Dia terus menangis dan tidak menyangka semuanya
akan seburuk ini. Dan dia tidak mengerti, kenapa semuanya tiba-tiba berubah seperti ini? apa yang
telah di lakukannya?
“Kak, maafkan aku Kak. Aku tidak bermaksud membuat Kakak sedih. Sungguh Kak, aku…”. Ucap
Naura lagi sambil tetap berusaha membantu Aibi. Tapi sungguh sedikitpun Aibi sudah tidak mau di
sentuh lagi. Dalam waktu seketika kelembutan yang ada di hatinya seperti telah tercerabut dari sana.
Dia terus berusaha menggapai-menggapai untuk naik kembali ke kursi rodanya, tapi sedikitpun dia
tidak bisa. Sesentipun dia tidak bisa naik lagi ke atasnya. Sementara Naura terus menangis di
samping Aibi dengan tegak mematung. Dia merasa bersalah dengan semua ini. Dialah penyebabnya
sehingga membuat Aibi terjatuh dari sana.
“Puas kamu melihat saya seperti ini? Hah...? Ini yang kamu inginkan bukan? Kamu bahagia bukan
melihat aku tidak berdaya seperti ini? Kamu bahagia bukan melihat kelumpuhanku? Kenapa kamu
datang mencerabuti segala ketenangan yang ada di hatiku? Kamu tahu, bertahun-tahun saya
berusaha untuk melawan semua ini. Bertahun-tahun aku berjuang untuk melupakan semuanya yang
pernah terjadi dalam diriku. Ketika baru saja saya bisa berdamai dengan hati ini, lalu kenapa kamu
datang untuk mengganggu segalanya? Mengungkit-ungkit masa laluku.Kenapa? Kenapa kamu
datang dengan segala tuntutanmu?”. Lolong Aibi lagi sambil terus berusaha menggapai-gapai naik
ke kursi rodanya.
Sementara Naura semakin menangis di samping Aibi. Ia semakin paham, kenapa Aibi sangat marah
sekali. Kenapa selama bertahun-tahun Aibi tidak memberikan kabar kepada teman-temannya di
Padang? Dan pahamlah dia dengan semua cerita yang di sampaikan oleh seniornya selama ini.
“Maafkan aku Kak”. Lirih Naura pelan.
“Pergilah... Pergilah kamu dari sini sebelum aku benar-benar membencimu. Tinggalkan aku sendiri
disini. Biarkan aku dengan kelumpuhanku yang tak kan pernah bisa sembuh. Tinggalkan aku
dengan kelemahanku. Pergi... Pergi dari hadapanku. Aku mohon padamu, pergilah... pergi kataku”.
kata Aibi sambil mendekapkan dua tangannya kepada Naura yang masih berdiri di sampingnya.
Sedang air matanya terus mengalir deras. Naura berlalu dari sana dengan air mata berlinang. Dia
menyesal telah melakukan semua kebodohan ini. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan
selanjutnya
Oh Tuhan.. Padahal tadi Naura benar-benar tulus mengatakan semua itu kepada Aibi. Apakah Aibi
belum bisa menerima semua kenyataan yang terjadi? Sehingga dia sangat terpukul dengan apa yang
di sampaikan Naura?
***
19
Rahasia Aibi
Rahmi dikagetkan dengan suara lantang Fathih yang masuk ke dalam kamarnya dengan berteriak-
teriak memanggilnya. “Tante Lahmi... Tante Lahmi... tolong tante... Tolong... Tante Bibi teljatu di
taman. Tolong tante... Tante Bibi menangis tante...”
Rahmi yang sedang di kamar mandi segera keluar. Ia berlarian menuju taman depan. Tak sengaja ia
menabrak Naura. Tangis Naura masih menderu. Dia ingin bertanya apa yang terjadi? Begitu sampai
di taman depan, di dapatinya Aibi sedang menangis sambil tetap terus berusaha menggapai-gapai
naik ke kursi rodanya.
Rahmi yang melihat kondisi itu, langsung mencengkeram tubuh Aibi dan menaikkannya ke kursi
roda. Kemudian mendorongnya masuk ke dalam. Sedang Aibi masih saja terus menangis terisak-
isak seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Rahmi semakin bingung apa yang terjadi
sebenarnya dengan Aibi dan Naura. Kenapa tadi dia juga melihat Naura masuk ke dalam juga
sambil menangis? Kenapa Naura tidak membantu Aibi untuk naik ke atas kursi rodanya?
Sesampai di kamar Aibi masih menangis sejadi-jadinya. Ingatannya melayang ke masa enam tahun
yang lalu ketika dia akan melintasi jalan raya dan tiba-tiba mobil kijang Innova hitam itu melindas
tubuhnya yang ringkih sehingga membuatnya cacat seumur hidup. Masa depannya menjadi sirna.
“Ya Tuhan, kanapa dia harus di ingatkan lagi dengan kejadian yang hampir saja membuatnya gila
selama ini? Kenapa harus ada Naura? Kenapa dia harus berjumpa dengan Naura? Lalu apa
alasannya dia harus marah-marah kepada gadis itu? Bukankah dia begitu tulus ketika mengatakan
semua yang menyakitkan itu kepadanya? Betapa kejamnya dia. Tega menyakiti hati yang lembut,
seperti hati Naura. Tapi dia belum siap untuk menghadapi semua ini.
Dia masih sering termenung ketika bangun dari tidurnya dan didapatinya dirinya tidak bisa apa-apa.
Ya Allah, apakah ini saatnya dia harus menerima kenyataan sepahit ini? Oh.. sungguh ya Allah,
semua ini sangat menyakitkan. Bahkan terlalu menyakitkan ulu hati rasanya. ”
Aibi menangis berjam-jam lamanya. Dia tidak menyangka semua ini akan seperti ini akhirnya. Ia
sebetulnya masih belum siap menerima keadaannya yang lumpuh dan tak berdaya. Mungkin orang
yang melihatnya percaya bahwa Aibi ikhlas dengan semua ini. Namun sesungguhnya jauh dari
lubuk hatinya paling dalam belum bisa menghadapinya. Buktinya dia masih sering marah dengan
apa yang di katakan Naura di taman. ***
Warna semburat di ufuk barat terkesan sangat elegan sekali. Satu dua burung camar terbang rendah
menuju tepi laut. Para kalong pekerja malam pun mulai keluar dari tempat peraduanya. Malam ini
entah buah-buahan di kebun siapa lagi yang akan mereka satroni. Tidak ubah seperti penyamun
yang merampas semua barang bawaan para musafir atau pedagang di perjalanan, tanpa belas
kasihan semua harta mereka di jarahnya.
Desauan angin sore pun menerpa muka, terasa sejuk di hati. Dia seolah berbisik kabar orang-orang
nun jauh di sana. Berbagi pengalaman dan berbagi rasa. Jendela kamar itu belum tertutup padahal
sebentar lagi maghrib akan menjelang. Penghuninya masih saja memandang lurus ke depan.
Berkali-kali dia menghembuskan nafas berat. Matanya nanar seperti habis menangis. Berdiri tegak
mematung sambil mendekapkan dua tangan ke dadanya. Dia bimbang apa yang harus di
lakukannya. Dia ragu apa yang harus di perbuatnya. Apa yang terjadi di taman tadi sangat
mengganggu pikirannya. Bertahan di sini, hanya akan memperburuk keadaan. Tapi bukankah orang
yang punya rumah telah mengusirnya?
Kembali ke Padang pun itu tidak mungkin. Jika dia ditanya oleh Ayah dan Bundanya kenapa
akhirnya pulang dan tidak melanjutkan KKN, apa yang akan di akan dijawabnya? Akankah dia
menceritakan kejadian di taman tadi? Meminta digantikan oleh kawan yang ada di Jorong[25] lain,
apa itu memungkinkan? Bukankah pembagian lokasi langsung di atur dari kampus? Kalaupun
temannya mau, pertanggung jawaban ke kampus bagaimana?
Kebimbangan itu akhirnya pecah menjadi tangis. Akhirnya suara isakan tertahan memecah ruangan.
Dia benar-benar menyesal dengan semua yang telah di lakukannya. Dia terlalu gegabah dalam
berbuat. Kenapa dia tidak membaca situasi dengan lebih jeli lagi? Kenapa dia begitu berambisi
untuk mengungkap segalanya? Bukankah waktunya masih lama disini? Lalu, apa yang harus
dilakukannya sekarang? Meminta maaf ke Aibi sudah tidak mungkin lagi, karena Aibi terlanjur
telah mengusirnya
Ah... pulang ke Padang dan membatalkan KKN tahun ini menjadi pilihan yang harus di tempuh.
Biarlah di ulangnya lagi KKN tahun depan. Ini semua adalah resiko yang harus di tanggungnya,
karena telah berbuat tanpa berfikir pajang. Untuk apa lagi dia bertahan di sini toh orang yang
menampungnya telah mengusirnya. Naura sudah memutuskan akan kembali saja ke Padang
Sementara Aibi telah larut dalam perasaaan. Ia merasa semuanya serba sulit. Menerima kenyataan
bahwa dirinya saat ini lumpuh dan selalu di suntik setiap kali rasa sakit menyerangnya saja sudah
membuatnya cukup stres. Betapa hatinya tidak tega ketika memarahi dan meneriaki Naura. Oh
Tuhan, sungguh betapa sulit untuk bisa menerima semua ini.
Adzan maghrib telah berkumandang 10 menit yang lalu, tapi Naura masih berdiri di jendela
kamarnya. Ia masih bimbang dengan keputusan yang di ambilnya. Benarkah dia harus
meninggalkan semuanya? Setelah lelah berfikir apa yang harus di perbuat, akhirnya dia larut dalam
sujud-sujud panjangnya. Tidak ada hal yang lebih ampuh yang bisa membuat hati ini tenang,
kecuali setelah mengingat Allah. Dia terus bercengkrama dengan Allah daan terus berdoa .
Menyelami dasar hatinya dan meyakinkan dirinya untuk mengambil keputusan untuk kembali ke
Padang.
Makan malam telah di gelar. Seisi rumah kecuali Naura dan Aibi telah duduk bersila di lantai rumah
yang di alasi tikar permadani. Mereka mengambil nasi dan memasukkannya ke dalam piring
masing-masing. Si Jundi kecil pun tidak ketinggalan. Mereka tak kalah cekatan dalam mengambil
dan memindahkan sambal yang di buat Bundanya ke piringnya. Seperti akan di habiskannya semua
yang ada.
Aibi dan Naura masih bertafakur di sajadah masing-masing. Naura berdo’a agar di mantapkan
hatinya untuk mengambil keputusan pulang ke Padang, sedangkan Aibi sedang memohon agar di
lapangkan hatinya untuk menerima kenyataan yang ada.
****
“Dik, tolong antar Mbak ke kamar Naura Dik”. Kata Aibi kepada Rahmi begitu Rahmi masuk
kamar setelah selesai makan malam.
Tanpa berfikir panjang dan bertanya Rahmi langsung mengangkat tubuh Aibi yang sedang terduduk
di atas sajadah yang terhampar ke atas kursi roda dan memandu tubuh itu menuju kamar sebelah,
kamar Naura.
Pintu kamar sedikit terbuka, diintipnya dari celah pintu, sepertinya Naura yang juga masih pakai
mukena. Ia sedang membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam travel bag
hitamnya. Hatinya telah mantap akan kembali ke Padang besok pagi. Teringat dengan kata-kata
yang di ucapkannya tadi sore di taman, “pergilah kamu dari sini sebelum aku benar-benar
membencimu”. Setelah menimbang sesaat, disuruhnya Rahmi meninggalkannya sendirian di depan
pintu.
Setelah menghirup nafas dalam-dalam Aibi akhirnya mengetuk pintu kamar yang sudah agak
terkuak dan mengucapkan salam. Mendengar suara siapa yang ada di luar, Naura buru-buru
menghapus air matanya dan membuka pintu sambil menjawab salam.
“Kak Aibi....” Kata Naura begitu pintu terbuka. Dengan bibir tersenyum Aibi menjawab. “Boleh
Kakak masuk dik?” tanya Aibi kemudian dengan suara lembut, tidak seperti tadi di taman marah-
marah dan berteriak.
“Oh.... bo..bo..bo.. boleh Kak..”. jawab Naura gugup.
“Kalau gitu, tolong dorong kakak ke dalam, ya”. Kata Aibi lagi. Tanpa di minta dua kali Naura pun
mendorong kursi roda Aibi ke dalam kamar.
“Tolong di kunci dulu pintunya ya dik, Kakak ingin bicara denganmu”. Kata Aibi lagi setelah
berada di dalam. Naura pun menurut
Ruangan dalam waktu sesaat berubah sangat mencekam. Naura hanya menundukkan kepalanya
duduk di tepi ranjang berada di depan Aibi sambil menatap ujung kakinya yang tertutup mukena.
Setelah menghirup nafas berat, Aibi pun buka suara.
“Kakak minta maaf, karena telah marah-marah padamu Naura. Tidak sepantasnya Kakak
memperlakukanmu seperti tadi, padahal maksudmu baik. Tapi dik, semenjak kecelakaan enam
tahun yang lalu Kakak sangat sensitif sekali ketika ada orang yang mempertanyakan tentang
kecelakaan itu sama Kakak. Kecelakaan yang Kakak alami enam tahun yang lalu itulah yang telah
membuat Kakak lumpuh seperti ini. Kakak masih tidak percaya dengan semua itu. Semuanya
terjadi begitu tiba-tiba.
“Bahkan terkadang Kakak masih gamang ketika Kakak terbangun dari tidur mendapati diri ini tidak
bisa lagi bergerak. Kakak merasa kecelakaan itu telah merusak segalanya. Telah membuyarkan
berjuta impian dan cita-cita masa depan yang telah Kakak bangun selama bertahun-tahun. Lima
tahun Kakak terpuruk dalam kesengsaraan dan menghujat Allah atas apa yang menimpa diri Kakak.
Kakak merasa Allah tidak adil. Kenapa harus Kakak yang menerima semua ini dan ini semua terasa
sangat berat, dik. Bukankah selama ini Kakak telah mengabdikan segenap jiwa dan raga untuk
mengabdi kepadaNya? Lalu kenapa masih di timpakan cobaan yang begitu berat kepada Kakak?
Kakak frustasi dan putus asa. Kakak tidak sanggup hidup seperti ini dik.
“ Bertahun-tahun kak merenung dan berusaha mengembalikan kepercayaan di dalam diri kakak.
Dan ketika Kakak sadari, sikap yang over protektif seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah.
Kakak berusaha untuk menerima kenyataan yang sangat menyakitkan ini. Kakak berusaha untuk
menerima kalau Kakak hari ini bukanlah Aibi yang dulu karena kakak akan melalui hari-hari di atas
kursi roda ini. Semua harapan telah pudar Dinda. Ini semua membuat Kakak tidak berani untuk
berjumpa dengan orang-orang yang pernah Kakak kenali di masa lalu. Kakak malu, karena kakak
tidak sehebat yang mereka kenal enam tahun yang lalu. Kakak juga malu, bila kelak mereka melihat
kakak yang sudah tidak bisa apa-apa, kecuali hanya duduk manis di atas kursi roda. Kakak malu
dik, karena kakak akan menjadi bahan pembicaraan dan bahan perhatian orang-orang. Kakak belum
sanggup menerima semua itu.
“Dik, maukah kamu memaafkan Kakak, yang telah mengata-ngataimu dengan kata yang sangat
perih? Bahkan Kakak juga sempat mengusirmu dari sini? Maukah kamu memaafkan Kakak dik?
Kakak mohon maafkan Kakak, .” kata Aibi sambil menangis di depan Naura. Tubuhnya bergetar
hebat di atas kursi rodanya. Hatinya lega, ada yang terlepas rasanya dari hatinya yang selama ini
terasa sangat mengganggunya ketika mengingat bagaimana dirinya dulu sangat aktif dan sekarang
hanya terduduk tak berdaya dari kursi rodanya.
Naura sudah tidak tahan lagi dan langsung berhamburan ke pelukan Aibi dan menangis disana
sejadi-jadinya. Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, kecuali hanya isakan tangis yang
menyayat hati.
“Ya Allah sungguh mulia hati wanita ini. Intan tetaplah intan walaupun dia terbenam di lumpur
hitam. Emas pun tidak akan bertukar dengan loyang”. Bisik Naura di dalam hati.
“Maafkan Naura juga, Kak. Karena Naura telah membuat Kakak sedih”. Ungkap Naura dengan
berurai air mata dan dengan suara yang terbata-bata.
“Kamu tidak salah Naura. Justru Kakaklah yang terlalu sensitif. Mungkin inilah cara Allah untuk
menyadarkan Kakak agar bisa menerima semua ini dengan sebenar-benarnya. Inilah cara Allah
untuk memanggil Kakak kembali kepada kehidupan yang pernah Kakak jalani sebelumnya. Kamu
dikirim Allah khusus untuk menjemput Kakak kembali dinda. Kamu dikirim untuk membukakan
mata hati Kakak untuk menerima segalanya
“Tapi berjanjilah satu hal kepada Kakak dik! kakak mohon jangan beritahukan dulu keberadaan
Kakak di sini kepada yang lain. Kakak belum siap untuk berjumpa dengan mereka, dik. Lahir dan
bathin. Apalagi dengan kondisi seperti ini dik. Biarkan Kakak menata hati dulu. Kakak janji, suatu
saat nanti ketika sudah siap, Kakak akan datang dengan sendirinya ke kampus dan berjumpa dengan
mereka. Kakak juga masih ada urusan ke kampus, menemui Rektor dan meminta ijazah S1. Mau
kah kamu berjanji dengan Kakak akan satu hal itu?” Kata Aibi lagi sambil menggenggam tangan
Naura dengan erat.
Naura tidak menjawab dengan kata-kata tapi hanya dengan anggukan kepala dan dengan air mata
yang masih saja berjatuhan di pipinya. Aibi pun kembali memeluk hangat tubuh Naura.
Naura semakin larut dengan perasaannya dan tangisnya pun semakin pecah. Dia tidak pernah
menyangka akan bisa sedekat ini dengan Aibi yang selalu di ceritakan Murabbinya tentang
kehebatan dan ketangguhan Aibi selama dia kuliah. Mereka pun saling bertangisan.
Keberadaan Naura di rumah Aibi menjadi sangat menyenangkan bagi Aibi, karena dia selalu
bernostalgia dengan masa lalunya tentang kondisi kampus yang di hadapinya dulu. Di ceritakannya
semua yang terjadi di kampus dan apa yang telah di lakukan anak FSI untuk meyakinkan para
dosen, sehingga keberadaan mereka di rasakan oleh segenap civitas akademika kampus.
***
20
Ujian Telah Berlalu
Hari-hari terasa semakin bermakna bagi Aibi. Dia semakin membenamkan dirinya dalam kesibukan
mengurus yayasan peduli anak bangsa yang di dirikannya. 12 Mahasiswa KKN yang tinggal di
rumahnya sangat membantu banyak hal untuk yayasan tersebut. Mulai dari pembangunan dan
sosialisasi ke masyarakat di serahkannya kepada anak-anak muda yang mempunyai pemikiran
kreatif untuk merubah wajah bangsa ini.
Kekompakan pun semakin terlihat dari kelompok KKN yang tinggal di rumah mewah Aibi. Tidak
ada lagi saling tuding dan saling menyalahkan. Mereka tidak lagi suka menyalahkan Naura yang
mereka anggap terlalu ekstrim. Aibi pun selalu mengingatkan Naura untuk menerima semua
kritikan dari mereka untuk FSI karena itu sangat berguna sekali untuk ke depannya. Agar para kader
tahu apa yang harus di perbaiki dan di tingkatkan.
Beruntunglah mereka menyampaikan semua kritikan itu ke Naura yang merupakan pucuk pimpinan
para akhwat di kampus. Tentu kritikan yang mereka sampaikan akan mendapatkan tanggapan yang
positif karena gayung akan bersambut.
Hari-hari yang di lalui semakin menyenangkan bagi mereka. Pemikiran negatif tentang masyarakat
Pesisir yang mereka dapatkan di awal ternyata tidak mereka temui. Mereka melihat kalau orang
Pesisir sangat keras dan kasar, tapi itu semua ternyata karena kebiasaan dan pengaruh geografis
daerah. Penduduknya baik dan perhatian. Kalau ada acara pasti mereka akan di undang dan di ajak.
Setiap kali mereka berjalan ke kampung-kampung yang ada di jorong untuk melaksanakan program
KKN berupa penyuluhan mereka disambut hangat. Oleh penduduk. Semuanya memanggil mereka
untuk mampir di rumahnya masing-masing. Bahkan sampai ada yang memberikan hasil kebunnya
kepada mereka. Jadilah mereka pulang dengan membawa banyak buah tangan, mulai dari pisang,
singkong sampai pada berbagai jenis sayuran hijau. Selalu ada yang mereka bawa pulang ke rumah
setiap kali melakukan penyuluhan.
****
Waktu KKN telah habis. Hari ini mereka akan kembali ke Padang dan kembali di sibukkan dengan
berbagai aktifitas perkuliahan. Banyak pengalaman yang mereka dapatkan di lokasi KKN terutama
bagi Naura. Banyak hal yang di dapatkannya di lokasi KKN dan yang lebih penting dari semua
peristiwa yang di alaminya di lokasi KKN tak lain adalah kejadian di taman sore hari itu. Dia tidak
akan melupakan kejadian di sore hari yang menjadi awal kedekatannya dengan Aibi yang selama ini
di rinduinya.
Betapa semenjak itu dia tidak ingin jauh dari wanita mulia itu. Pasti dia akan merindukan Aibi
nantinya. Ah, rasanya dia tidak ingin kembali lagi ke Padang. Dia ingin di sini selamanya bersama
Aibi. Berada disamping Aibi mampu memberikan ketenangan di hatinya. Masalah sebesar apapun
yang di hadapinya menjadi tidak berarti lagi jika sudah melihat wajah Aibi. Benar yang dikatakan
Rahmi tempo hari. Mbak Aibi adalah inspirasi kehidupan banyak orang terutama bagi dirinya
sendiri. Naura juga merasakan hal itu. Aibi telah menjadi inspirasi kehidupannya. Telah
memberikan sebuah pelajaran yang berharga dalam dirinya tentang makna kehidupan. Seperti
apapun hidup itu harus di syukuri, karena sejatinya kehidupan merupakan rahmat yang diberikan
Tuhan untuk kita. Kata Aibi suatu ketika padanya. Kapankah dia akan mengulang masa-masa
kebersamaan lagi bersama Aibi?
Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin menceritakan segalanya ke akhwat begitu dia sampai di
Padang nantinya. Tapi dia sudah janji tidak akan bercerita apa-apa. Karena Aibi berjanji akan
datang ke kampus dengan sendirinya ketika dia sudah siap untuk berjumpa dengan mereka semua.
Aibi masih punya urusan di kampus. Dia sudah rencanakan minimal agak sekali sebelum dia
kembali lagi ke Jakarta, dia akan ke kampus dulu mengambil ijazah S1nya yang masih ada di sana.
“Pergilah dik. Suatu saat nanti Kakak akan datang ke kampus. Karena masih ada yang harus Kakak
selesaikan disana. Ketika semuanya sudah terasa lapang dan nyaman, Kakak akan datang dengan
sendirinya. Kakak akan menghubungimu. Insya Allah, Kakak janji padamu. Minimal sekali
sebelum Kakak kembali ke Jakara Kakak akan sempatkan ke kampus”. Ungkap Aibi ketika Naura
sedang membereskan barang-barangnya.
“Baiklah, kalau memang itu yang Kakak inginkan, Naura akan tunggu Kakak sampai Kakak benar-
benar siap untuk kembali ke kampus lagi, tapi jangan terlalu lama ya, Kak”. Balas naura lembut
“Insya Allah dik. Satu hal lagi jangan ceritakan dulu kepada akhwat perihal pertemuanmu dengan
Kakak. Biarlah mereka mengetahui keberadaan Kakak ketika Kakak sudah sampai di kampus
nantinya. Biar menjadi kejutan untuk akhwat. Kalau bisa Kakak meminta padamu, tolong hubungi
kawan-kawan yang seangkatan dengan Kakak, ya dik”.
“Insya Allah Kak. Mudah-mudahan Naura bisa menahan diri untuk tidak bercerita kepada siapapun,
dan nanti akan Naura coba menghubungi senior yang sudah tamat. Mungkin kita adakan temu
alumni saja sekalian nanti, Kak. Biar semuanya bisa lagi ketemu sama Kakak. Naura yakin, mereka
semua pasti merindukan pertemuan dengan Kakak”.
Mendengar apa yang di sampaikan Naura, hatinya menjadi rindu ingin berjumpa dengan mereka
semuanya. Bagaimanakah kabar Santi saat ini? Mungkin dia sudah mempunya jundi kecil. Mala,
Mia, Dhea, Dilla, dan semuanya. Tiba-tiba dia merasa rindu sekali dengan mereka semua. “Syukron
untuk pengertiamu dinda”. Kata Aibi kemudian dan memeluk Naura.
***
21
Panggilan Dari Hati
Jika memang mempunyai niat yang benar dan tulus untuk berbuat, semua yang dilakukan akan di
rasakan oleh orang-orang sekitar. Perubahan akan terjadi, karena niat yang benar dan tulus akan
membuahkan hasil yang baik. Begitulah yayasan tunas bagsa yang didirikan Aibi. Yayasan yang
semulanya hanya bergerak di bidang pendidikan, ternyata berkembang menjadi lembaga swadaya
masyarakat yang bergerak di bidang yang lebih besar lagi seperti meningkatkan kesejahteraan
perekonomian masyarakat dengan mendirikan lembaga keuangan syari’ah di sana. Tentu dengan
menerapkan sistem bagi hasil dari setiap pinjaman yang diberikan kepada mereka.
Di samping itu Aibi juga menyediakan kelompok tani di yayasannya. Tugasnya adalah memberikan
penyuluhan kepada petani tentang bagaimana cara yang tepat untuk bercocok tanam dan
memanfaatkan areal pertanian yang ada dengan sebaik dan seefektif mungkin. Untuk ini di
datangkannya para penyuluh dari dinas pertanian dan biayanya di ambilkan dari pembagian hasil
pinjaman penduduk setempat. Namanya sudah semakin di kenal oleh penduduk dan sampai pada
orang-orang kecamatan bahkan sampai pada tingkat kabupaten dan provinsi. Yayasan yang
didirikan Aibi di jadikan sebagai yayasan percontohan karena telah berhasil memberikan
sumbangan yang sangat besar untuk kesejahteraan masyarakat dan juga memajukan pendidikan di
sana.
Kehidupan yang di jalaninya sudah kembali normal dan dia sudah bisa menerima segalanya dengan
baik. Mama dan Papanya sudah memintanya untuk pulang lagi ke Jakarta. Lagi pula jundi kecil
Deni juga mau masuk sekolah tahun ini. Umurnya sudah lima tahun. Sri tidak mau anaknya sekolah
di kampung nenek moyang Aibi karena kalau mereka pindah ke Jakarta nantinya pasti akan susah
memindahkannya ke sekolah yang ada di sana dan akan memakan dana yang tidak sedikit.
Aibi sudah tidak seperti dulu lagi, sudah kembali ceria seperti sebelum kecelakaan. Ia sudah
menerima kenyataan dan sudah tidak lagi mengutuki dirinya. Jadi, bukankah sudah sepantasnya
mereka harus kembali lagi ke Jakarta? Deni kembali menjalankan tugasnya sebagai sopir pribadi
pak Rizaldi. Rahmi pun juga sudah rindu dengan tanah kelahirannya. Tidak ada alasan lagi bagi
Aibi untuk tetap bertahan di Pesisir. Saatnya dia harus kembali lagi ke Jakarta.
Mereka sudah merencanakan akan berangkat ke Jakarta bulan depan setelah melakukan serah
terima yayasan yang mereka dirikan kepada Ningsih, ketua yang telah di tunjuk. Dia yakin Ningsih
akan menjalankan yayasan ini dengan baik. Dia tau siapa Ningsih, dua tahun telah bersama dan dia
orang yang amanah. Orang yang terbina akan lebih mudah untuk mempercayainya. Semua masalah
akan aman di tangannya karena mereka di bina untuk menjadi orang-orang yang lurus dan
multitalenta. Dia akan mengontrol yayasan dari jauh saja. Dia telah mengajarkan kepada Ningsih
bagaimana cara memanajemennya. Jika ada masalah maka cepat laporkan kepadanya.
Setelah itu dia akan datang ke kampus memenuhi janjinya ke Naura untuk bersilaturrahim dan
menyelesaikan beberapa urusan ke sana sebelum dia pulang ke Jakarta. Dia sudah menghubungi
Naura minggu lalu dan mengatakan bahwa dia akan datang ke kampus sekitar minggu terakhir
bulan ini. Dan juga meminta ke Naura untuk menghubungi kawan-kawan seangkatan dengannya.
Dia ingin mengadakan temu alumni dengan mereka. Tapi dia masih meminta Naura untuk
merahasiakannya, karena dia ingin memberikan kejutan kepada semua teman-temannya dulu. Dan
Naura pun sepakat.
****
22
Tamu Misterius
Acara temu kader dan temu alumni besar-besaran di gelar di kampus adidaya itu. Semua kader di
undang dan dosen juga di undang. Di dalam undangan di cantumkan akan membahas masalah yang
di hadapi FSI saat ini dan meminta masukkan kepada seluruh lapisan masyarakat kampus untuk
memperbaiki FSI kedepannya. Pembicara dituliskan kader terhebat dari Jakarta. Semua yang
membaca undangan heran karena namanya tidak di cantumkan. Siapa kader terhebat dari Jakarta?
Ketua SALAM UI kah? Atau ketua Puskomnas? Atau malah ketua Gamais ITB? Ada–ada saja.
Tidak hanya para undangan yang heran membaca undangannya, tapi para panitia yang membuat
undangan pun merasa penasaran dengan apa yang disampaikan Naura. Aneh sekali menurut mereka,
kenapa coba nama pemateri harus di sembunyikan segala?
Banyak protes dari seluruh kalangan bahkan ketua umum FSI-pun protes, dan mengatakan tidak
akan mengizinkan mengadakan acara temu kader jika pemateri yang di undang tidak jelas. Jangan-
jangan nanti yang di undang justru adalah orang yang tidak paham sama sekali dengan dakwah.
Susah payah Naura menjelaskan dan meyakinkan kalau pemateri yang di undang Insya Allah adalah
orang yang sangat paham dan mengerti tentang pergerakan dakwah di kampus. Tapi tetap saja
mereka tidak sepakat. Padahal acara tinggal dua hari lagi.
“Afwan ukhti, ana tidak bermaksud menghalangi acara yang ukhti angkatkan. Tapi selaku yang di
amanahi sebagai ketua, ana merasa di langkahi. masa kader mengangkatkan acara ana tidak boleh
tau siapa pematerinya? Sejak kapan hal itu terjadi di lembaga dakwah kita ini? Ana berhak tahu,
karena jika terjadi apa-apa nanti, ana yang akan mempertanggung jawabkannya karena ana ketua.
Jadi jika memang ukhti masih bersikeras untuk menyembunyikanya dari ana sebaiknya acara ini
kita batalkan. Karena banyak dari senior yang menghubungi ana dan bertanya banyak hal mengenai
acara temu alumni dan temu kader yang diadakan”. Terdengar gelegar suara Aldi ketua FSI pas
rapat koordinator.
“Sebelumnya ana minta maaf karena mungkin telah melangkahi antum sebagai ketua. Tapi ini ana
lakukan karena permintaan dari pembicara. Ana harus mengabulkan hal itu karena kalau tidak
mungkin beliau tidak jadi kesini. Padahal saat ini kita butuh beliau. Ana janji sama antum. Ana
tidak akan membuat antum kecewa Insya Allah”.
“Ana tetap tidak izinkan. Kalau ukhti masih bersikeras untuk tidak memberitahukan siapa
pemateri, ‘Afwan silahkan ukhti angkatkan acara itu tapi jangan ukhti bawa kader karena itu acara
ukhti sendiri”. Tegas Aldi.
Mendengar apa yang disampaikan Aldi, membuat Naura menjadi cemas, karena dia hafal sekali
dengan ketuanya ini. Jika sudah berkata tidak, maka itu artinya bahwa keputusannya tidak bisa
diganggu gugat
“Haaaa… Kalau begitu baiklah, ana akan katakan siapa pemateri yang akan datang”. Kemudian
Naura pun bercerita tentang pertemuannya dengan Aibi ketika dia KKN dan bagaimana dia
mengajak Aibi untuk datang ke kampus. Kemudian Aibi berjanji akan datang ke kampus ketika dia
sudah siap nanti dan memintanya untuk merahasiakan keberadaan Aibi dari kader.
Mendengar cerita yang di sampaikan Naura, Aldi menyarankan untuk memberitahukan hal itu
kepada senior yang sudah tamat agar mereka menghadiri acara tersebut. Jika mereka bersikukuh
untuk menyembunyikan hal itu, berkemungkinan banyak yang tidak datang karena tidak tahu siapa
yang akan diundang. Aldi juga menyarankan untuk mengundang Bapak Rektor di acara temu
alumni dan temu kader tersebut. Semuanya sepakat untuk melakukan hal itu.
***
Hari yang di tunggu-tunggu oleh seluruh kader FSI berjumpa dengan kader terbaik yang mereka
miliki. Raisyah Aibi Rizaldi yang namanya sering di sebut-sebut oleh banyak orang dan para dosen
akhirnya datang juga. Persiapan dilakukan semaksimal mungkin. Mereka memprediksikan, acara
akan ramai, apalagi Bapak Rektor bersedia menghadirinya. Bahkan Rektor menyarankan agar acara
diadakan secara besar-besaran di ruangan Auditorium yang bisa menampung lebih dari 5000 orang.
Panitia tampak sedang mondar mandir memastikan segala peralatan yang akan digunakan sudah
siap dan tidak ada yang rusak. Sebuah infokus terpasang disana dan dua layar yang berukuran 3x3
meter pun terpasang di sisi kiri kanan auditorim. Sebuah spanduk yang bertuliskan tentang kegiatan
dan tema acara pun sudah terpasang dengan anggun di depan ruangan. Beribu pasang mata sudah
mulai memadati ruangan ini. Mereka semua penasaran, seperti apakah sosok Raisyah Aibi Rizaldi
yang dibanggakan oleh para dosen tersebut?
Sementara Aibi masih teragguk-angguk di atas mobil menuju kota Padang. Hari ini dia akan
kembali lagi ke masa lalunya. Kenangan masa lalunya hangat menyapa ruang hatinya. Teringat
masa ketika dia kuliah. Terbayang wajah teman-teman seangkatan dan yang sewisma. Mungkin
beberapa diantara mereka sekarang sudah menjadi umi dan abi. Seperti apakah mereka sekarang?
Betapa dia rindu dengan mereka semua. “Tunggu aku kawan, sebentar lagi aku akan berjumpa
dengan kalian semua”. Bisik Aibi dalam hati. Hatinya basah mengingat semua masa lalunya yang
ternyata begitu sangat indah.
Jika dulu dia berjalan cepat menyusuri setiap koridor di sepanjang kampus, maka hari ini dia akan
duduk tenang di kursi rodanya sambil menikmati suasana kampus yang mungkin sudah banyak
berubah. Seperti apakah kampusnya saat ini? Hatinya meronta-ronta ingin cepat sampai. Terbayang
ruangan sekre yang dulu menjadi tempat untuk menyamakan suhu mereka kalau akan
mengangkatkan acara di kampus.
Terbayang serakan potongan-kertas berbagai ukuran di lantai sekre untuk di jadikan stiker cindera
mata yang mereka persiapkan untuk para peserta dan undangan dalam setiap acara yang mereka
angkatkan. Terbayang wajah kelelahan akhwat yang harus lembur di wisma mempersiapkan segala
sesuatunya. Ah dia benar-benar sudah tidak sabar ingin menyaksikan semuanya. Mungkin saat ini
adik-adiknya sedang mempersiapkan acara yang lebih meriah lagi. Teringat kata-kata yang di
sampaikan Naura tempo hari “Kak kami sudah mempersiapkan acara yang wah untuk menyambut
kedatangan Kakak. Rasanya Naura sudah tidak sabar ingin melihat ekspresi Kakak-Kakak yang
sudah tamat ketika nanti ketemu sama Kakak. Seperti apakah tanggapan mereka ya?” Ha... kita lihat
saja nanti apa yang terjadi. Rasa rindu itu telah menjulang tinggi dan berakar tunggal ke dalam hati.
Kerinduan yang tidak akan tercerabut, sekalipun badai menghadang.
Dia telah memasuki kawasan kampus. Mungkin sepuluh menit lagi dia akan sampai di gerbang
kampus. Di tahannya nafasnya yang sesak. Dia rindu, rindu dengan suasana ini. Di lihatnya halte,
Bus sudah semakin banyak di sepanjang jalan menuju kampusnya. Bahkan kampusnya pun
sekarang sudah mempunyai berpuluh bus kampus. Dari tadi dia selalu berselisih dengan bus
kampus yang bertuliskan nama kampusnya. Dia jadi ingat, ketika dia masih menjadi mahasiswa
dulu, untuk pergi ke kampus dia harus menunggu angkot. Ketika itu belum ada bus kampus
walaupun ada hanya 3 buah saja. Itupun digunakan untuk pergi takziah ke rumah dosen atau
mahasiswa yang mendapatkan kemalangan.
Begitu mobilnya memasuki kawasan kampus, ia melihat persimpangan menuju ke wismanya dulu
ternyata juga sudah banyak berubah. Semakin ramai dan ternyata sudah menjadi pasar. Dia juga
ingat, kalau berangkat ke kampus dia sering duduk di halte bus dekat pasar itu sambil menyandang
tas ransel hitamnya menunggu angkot yang akan mengantarnya ke kampus. Air matanya sudah
meleleh di pipi. Mobil terus bergerak, dan memasuki gerbang kampus. Ternyata gerbang itu sudah
semakin indah. Banyak pohon pelindung di sana. Hatinya semakin meronta-ronta, apalagi ketika
melihat gedung student centere yang berdiri dengan megahnya. Dia ingin sekali melihat sekre FSI.
Seperti apakah markas dakwahnya itu hari ini? Mungkin sudah banyak yang berubah. Bayangan
dirinya enam tahun yang lalu kembali hadir di memorinya.
Terbayang ia yang sibuk mondar mandir kesana sini mengurus dan mengadakan rapat. Semua
pelosok kampus telah di jelajahinya dengan berjalan kaki. Betapa dia rindu. Air matanya semakin
deras mengalir di pipinya. Di lihatnya gerombolan mahasiswa yang sedang asyik berdiskusi di tepi
jalan, entah apa yang di diskusikan
Betapa dia ingin menikmati lagi suasana penuh keceriaan itu. Terkadang mereka harus menangis
bersama dan terkadang harus berdebat dalam rapat karena mempertahankan ide masing-masing.
Tapi semua itu kemudian mereka cairkan lagi dengan istihgfar. Dia rindu dengan semuanya. Dia
rindu dengan teman-teman seperjuangannya.
Dari kejauhan tampak kubah Masjid berwarna hijau itu mencakar langit yang menjadi saksi atas
pergerakan mereka selama ini. Yang menjadi tempat paling nyaman untuk mengadu kepada sang
pemilik jiwanya. Yang menjadi madrasah paling spektakuler dalam mendidiknya tentang arti sebuah
keislaman, mengajarkan tentang maknah tarbiyah. Seketika hatinya meronta-ronta ingin merasakan
dan menikmati kembali energy maha dahsyat itu. Dia rindu salah satu sudut di Masjid yang mereka
jadikan tempat untuk mengkaji islam lebih dalam.
Dia kembali larut dalam perasaannya karena dia ingat bagaimana setiap hari kamis mereka
berkumpul di Masjid kampus itu mengadakan tasqif dan mengundang para ustadz untuk
menjelaskan segala hukum fiqih kepada mereka. Sehingga mereka faham dan mengerti tentang
bagaimana cara berkhalwat dengan Allah.
“Mbak kita kemana Mbak?” tiba-tiba lamunannya di buyarkan oleh suara Deni yang kebingungan
harus nyetir mobil kemana di kampus yang luas ini.
Dengan gelagapan Aibi menjawab sambil menghapus air matanya. “sa..sa..saya juga tidak tahu
Mas. Kita berhenti saja dulu disini. Saya coba dulu menghubungi Naura . Acaranya di adakan
dimana? Kemaren Naura bilang acara dimulai jam 10.00. Sekarang baru jam 09.30.” Aibi kemudian
mengeluarkan Hpnya dan sejenak berbicara dengan Naura.
“Assalammu’alikum Dik”. Sapa Aibi lembut.
“Wa’alaikumussalam Kak. Sudah sampai dimana Kak?” jawab Naura cepat dan melontarkan
pertanyaan
“Alhamdulillah Kakak sudah ada di kawasan kampus. Acaranya dimana dik?”
“Alhamdulillah...!!!! Acaranya di auditorium Kak. Kakak ada dimana sekarang? Biar kami jemput
kesana”.
“Tidak usah biar Kakak saja yang kesana. Oh iya dik, kalau Kakak tidak salah untuk mencapai
auditorim harus naik tanggakan? Lalu bagaimana dengan Kakak? Apa Kakak bisa naik kesana
menggunakan kursi roda ini? Adik lupa ya kalau Kakak pakai kursi roda? Apa tidak ada ruangan
yang datar yang bisa untuk Kakak lewati dinda”?
“Tenang saja Kak. Naura sudah siapkan cara untuk membawa Kakak ke ruangan auditorim. Percaya
sama Naura Kak !”
“Baiklah kalau begitu. Kakak percaya padamu. Kakak mau mampir dulu di Masjid kampus ya. Kak
mau sholat dhuha dulu. Acaranya jam 10.00 kan”?
“Iya Kak ! Apa perlu Naura datang ke Masjid Kak?”
“Tidak usah dinda. Tunggu saja Kak di depan auditorium !!!”.
“OK Kak !!”.
Telfonpun ditutup dan Aibi kembali memasukkan Hpnya ke dalam tasnya. Dan kemudian berkata
“Acaranya di Auditorium Mas. Di bagian selatan kampus ini. Dekat dari sini. Tapi kita tidak
langsung ke sana, kita ke Masjid dulu. Saya mau sholat dhuha dulu disana. Saya rindu sholat di
Masjid kampus. Lurus saja, trus nanti belok kiri. Itu kubahnya sudah kelihatan”. Kata Aibi sambil
menunjuk kubah hijau yang menjulang tinggi.
Deni yang duduk di belakang kemudi mengikuti perintah majikannya dengan patuh. Pedal gas
kembali di injak, dan mesin mobil pun kini menderu menuju Masjid kampus yang berdiri dengan
megahnya di tengah-tengah kampus yang luas itu. Satu dua kelihatan para mahasiswa yang sedang
asik berdiskusi di sepanjang perjalanan.
Sementara di bangku belakang Aibi duduk sembari menopangkan tangan ke dagu. Matanya telah
nanar menahan tangis. Setelah tujuh tahun, akhirnya hari ini dia kembali lagi ke kampus adidaya
ini. Hatinya buncah dengan perasaan yang dipendam selama bertahun-tahun.
****
23
Pertemuan Mengharu Biru
Mobil Avanza silver yang membawa Aibi dan Rahmi telah memasuki pekarangan Masjid. Deni
mencari tempat parkir yang memiliki jarak tempuh yang dekat dengan pintu utama Masjid, agar
Aibi mudah untuk masuk kedalamnya. Aibi telah dari tadi bersiap-siap keluar. Dia telah merapikan
pakaiannya dan mengusap wajahnya yang lelah diperjalanan dengan tisyu basah. Deni menurunkan
kursi roda Aibi dan kemudian disusul oleh Rahmi yang kemudian membantu menurunkan Aibi dari
mobil dan duduk di kursi rodanya. Sementara Aibi sudah tidak tahan untuk segera ingin turun.
Perasaan rindu di dadanya membuncah. Cepat di bukanya pintu mobilnya dan menunggu Rahmi
yang bersiap membantunya keluar dari sana.
Beberapa pasang mata tidak berkedip memandang ke arah mobil mereka. Mata mereka tidak
berkedip ketika melihat Deni mengeluarkan kursi roda dan memasangnya di samping pintu mobil
yang sudah terbuka dan Rahmi juga sudah bersiap akan membantu Aibi untuk keluar. Mungkin
mereka bingung atau mungkin juga kasihan atau malah heran melihat mereka. Dua wanita cantik
berjilbab lebar yang satu sedang membantu yang lainnya untuk turun dari mobil dan
mendudukkannya di kursi rodanya. Sebegitu parahkan kelumpuhan wanita itu sehingga dia tidak
bisa turun dari mobil tanpa dibantu oleh wanita cantik yang satunya lagi? Mungkin ini merupakan
suatu pemandangan yang sangat menggetarkan hati mereka yang memperhatikan tingkah dua gadis
ini.
Aibi menyadari hal ini sebelumnya, tapi dia sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi
situasi seperti ini. Bukankah selama tujuh tahun dia telah menjalaninya? Lalu untuk apa dia merasa
tersinggung dan malu? Justru dia berharap dengan melihat kelemahan dirinya ini. Semoga orang-
orang yang masih bisa melakukan segala sesuatunya dengan sempurna semakin mensyukuri atas
nikmat yang diberikan Allah kepada mereka. Bahkan dengan enteng setelah Aibi duduk dengan baik
di kursi rodanya dia memberikan senyuman yang sangat indah kepada orang-orang yang
menatapnya dengan heran dan kasihan tadi. Sehingga orang-orang yang memandangnya dengan
pandangan heran dan kasihan tadi merasa malu pada dirinya sendiri. Mereka yang sehat dan normal
saja, begitu susah untuk tersenyum kepada sesama dan merasa enggan untuk menganggukkan
kepala kepada orang lain. Tapi lihatlah Aibi, dengan mudahnya dia melakukan itu semua.
Setelah Aibi keluar Deni pun mengunci mobil dan kemudian berlalu menuju tempat berwudhu laki-
laki yang terletak disisi kiri Masjid. Sementara Aibi dan Rahmi menuju sisi kanan Masjid menuju
tempat berwudhu wanita. Setelah sedikit agak kesusahan untuk membawa Aibi masuk ke tempat
berwudhu karena lokasinya agak di ketinggian, akhirnya Rahmi berhasil membantu Aibi untuk
berwudhu dengan sempurna. Sejurus kemudian mereka telah larut dalam sujud-sujud panjang
mereka keharibaan Allah.
Aibi tidak berhenti menangis. Hatinya basah dengan semua kenangan masa lalunya. Dia merasakan
kembali nuansa ketika dia masih menjadi mahasiswa. Dia larut dalam munajat panjangnya.
Ingatannya kembali melayang masa sembilan tahun silam, mesjid ini telah menjadi saksi dari air
mata mereka ketika rapat ketika mengagkatkan acara besar di kampus ini, dan mereka kekurangan
dana. Andai dinding-dinding Masjid ini juga bisa berbicara, mungkin dia juga akan menyapa dan
mengucapkan selamat datang kembali kepada Aibi. Mungkin mereka juga akan menyampaikan
salam rindu mereka kepada Aibi seperti Aibi meluahkan semua rasa rindunya ke Masjid ini.
Gambaran sembilan tahun yang silam semakin nyata di dalam ingatannya.
Dia ingat setiap kamis sore mereka berkumpul di Masjid ini dan mendengarkan setiap keterangan
yang di sampaikan ustadznya tentang fiqih ibadah dan hukum berjihad serta segala macam bentuk
bermu’amalah di atas dunia ini. Dia ingat, dia dulu duduk di depan tirai tinggi itu mengikuti rapat
bersama beberapa rekannya. Dia ingat, di sudut Masjid ini dia sering mengisi acara liqo adik-
adiknya jam enam pagi. Sekarang, dimanakah mereka? Bahkan dia masih ingat ketika harus datang
rapat ke Masjid kampus ini jam 05.30 sehingga dia dan Santi harus baca almatsurat di sepanjang
perjalanan.
Semuanya menari-nari di pelupuk mata Aibi. Hatinya semakin rindu. Santi, seperti apakah dia saat
ini? Mungkin dia sudah punya jundi. Mala, dimanakah dia? Mudah-mudahan dia ada di kampus
saat ini. Mia, adik kamarnya yang mempunyai cinta yang begitu besar kepadanya, yang rela
melakukan apapun untuknya, masihkah ada cintanya untuk dirinya saat ini? Dan bagaimana pula
dengan Dilla si naqib wismanya yang pendiam itu? Yang sedikit berbicara, namun sekali dia
berbicara akan membuat yang lainnya terdiam. Bagaimanakah kabarnya hari ini? Lalu Dhea yang
sering mengkritik segala kesibukannya? Hari ini masihkah dia akan mengkritiknya dengan kondisi
dirinya yang hanya bisa duduk di kursi roda? Oh.... betapa hati ini sangat merindukan mereka
semua. Sudah tidak sabar rasanya melihat mereka semua...
****
Tatapan itu mengandung sejuta kerinduan yang menggebu di dadanya. Sepasang mata itu terus
memandanginya, tak disadari akhirnya menggumamkan nama Aibi. Tapi sayang Aibi terlalu khusuk
menikmati munajatnya sehingga tidak mengindahkan lirihan itu. Aibi terlalu larut dalam kenangan
masa lalunya, sehingga tidak menyadari panggilan lirih itu. Tapi Rahmi menyadari hal itu. Kala
mendengar nama Mbaknya di sebutkan seseorang, dengan spontan dia melihat ke arah suara dan
memperhatikan dengan perasaan penuh tanda tanya, Siapa? Mata itu kembali memperhatikan Aibi
dan mulutnya kembali berucap dengan lirih, “Aibi…? Katanya seperti bertanya kepada dirinya
sendiri dan seperti tidak yakin.
Melihat itu semua Rahmi pun memecahkan kosentrasi Aibi yang sedang larut dalam do’anya
dengan memegang pundak Aibi. Aibi yang merasa ada yang memegang pundaknya dengan cepat
menoleh. Rahmi mengarahkan telunjuknya ke arah orang yang menyebut nama Aibi tadi. Dengan
patuh mata Aibi mengikuti gerakan telunjuk Rahmi dan begitu matanya berbenturan dengan
sepasang mata yang dari tadi memperhatikannya, maka otak telah berhasil menterjemahkan dan
membahasakan melalui mulut. Dengan spontan Aibi pun berucap. “Bunda….“
Dalam hitungan detik kemudian Aibi yang duduk tepat disisi dinding Masjid berusaha menggapai-
gapai dinding Masjid dan memaksa dirinya untuk berdiri. Dia tidak sadar dengan kondisi dirinya
yang lumpuh. Seberapapun kerasnya usaha Aibi untuk berdiri, tapi ternyata dia tetap tidak bisa. Dan
orang yang dipanggil dengan panggilan Bunda itupun saat melihat kenyataan yang sangat
menyedihkan itu tidak tahan lagi untuk tidak menangis. Dia tidak pernah menyangka separah ini
kondisi Aibi setelah kecelakaan yang dialaminya tujuh tahun yang lalu.
Melihat Aibi yang ingin berdiri, tanggap Rahmi langsung membantu dan mendudukkan Aibi di atas
kursi roda yang diletakkan tepat di belakangnya. Tidak membuang-buang waktu lagi Aibi langsung
mendorong kursinya ke arah wanita paruh baya yang tadi di panggilnya dengan panggilan Bunda.
Matanya telah penuh dengan butiran Air mata. Dia tidak sabar ingin mencium tangan Bundanya
yang ternyata adalah Bu Dharna dosen penasehat akademiknya ketika dia kuliah.
Bu Dharna-pun berjalan mendekati Aibi dengan mata yang basah. Begitu jarak sudah dekat, ia
langsung memeluk Aibi dengan segenap jiwanya. Pertemuan ini sudah sangat lama di inginkannya.
Sudah sangat lama dia menunggu saat seperti ini. Entah kenapa dia sangat menyayangi
mahasiswanya yang satu ini.
“Kemana saja kamu anakku? Bunda sangat merindukanmu, hampir tiap hari Bunda selalu berdo’a
disini agar Bunda bisa berjumpa denganmu. Kenapa kamu tidak pernah mengirimkan kabar kepada
Bunda, nak? Bunda sangat mengkhawatirkanmu. Bunda sangat menyayangimu nak”. Lirih Bu
Dharna di telinga Aibi.
“Maafkan Aibi, Bunda. Kecelakaan itu sangat menyiksaku, Bunda. Sehingga aku terbenam dalam
kesedihan yang berkepanjangan. Tapi Bunda, sekarang Bunda tidak usah khawatir lagi. Aku sudah
ada di sini, di depan Bunda”. Balas Aibi dengan berurai air mata.
“Oh anakku, aku tidak menyangka kondisimu akan seperti ini, nak”. Balas Bu Dharna lagi dengan
mengamati setiap jengkal dari tubuh Aibi yang sudah mengkerut duduk di atas kursi rodanya. Dia
sudah tidak tahu lagi apa yang akan di katakannya. Betapa hatinya hancur melihat kondisi Aibi.
Apalagi ketika melihat Aibi yang sedang menggapai-gapai berusaha untuk berdiri. Membuat
hatinya sangat sedih sekali. Dia benar-benar tidak menyangka kondisi Aibi akan separah ini. Lagi-
lagi di peluknya tubuh Aibi dengan berurai air mata. Sembari berbisik lirih ditelinga Aibi “Bunda
yakin kamu anak yang tegar”. Katanya pelan
Aibi tidak mampu lagi untuk berbicara. Dia hanya mengganggukkan kepalanya. Badannya telah
bergetar hebat karena menangis.
Orang-orang yang melihat mereka pun ikut menghapus sisa-sisa air mata di sudut mata mereka.
Mereka sangat terharu melihat pemandangan itu. Rahmi yang berdiri di belakang Aibi pun ikut
menghapus air mata. Dia semakin menggagumi Aibi yang dikenalnya selama tujuh tahun ini.
****
Di depan Auditorim telah berbaris para akhwat yang menyambut kedatangan Aibi. Mereka sudah
tidak sabar lagi ingin melihat sosok Aibi yang selama bertahun-tahun sangat mereka rindukan.
Benak mereka dipenuhi dengan gambaran sosok Aibi yang seperti apa saat ini. Mereka sudah
mempersiapkan segala sesuatunya, bahkan Rektor dari kemaren memerintahkan panitia membuat
kalung bunga untuk Aibi.
Jam sudah menunjukkan jam 09.55, tapi Aibi belum juga sampai. Padahal tadi Naura mengatakan
kalau Aibi sudah memasuki kawasan kampus. Tapi kok belum sampai juga di auditorium? Apa Aibi
lupa jalan ke Auditorium? Naura yang dari tadi mencoba menghubungi Aibi, tidak bisa tersambung.
Padahal setengah jam yang lalu Aibi menghubunginya. Tapi kenapa sekarang tidak bisa di hubungi?
Ada apa?
Ketika pertanyaan demi pertanyaan yang hadir di benak para penunggu itu semakin banyak
bermunculan, tiba-tiba dari arah utara mobil Avanza silver melaju mendekat ke Auditorium. Naura
yang melihat dan mengenali mobil itu langsung memberikan insrtuksi kepada para akhwat untuk
bersiap menyambut kedatangan Aibi. Para akhwat pun bersiap siaga. Tatapan penuh tanda tanya
tergambar dari kilatan mata mereka. Perasaan penasaran tingkat tinggi berhasil menguasai imajinasi
mereka tentang sosok Aibi yang sebentar lagi akan mereka lihat dengan mata kepala mereka, tidak
lagi melalui cerita-cerita para dosen dan senior mereka.
Laju mobil pun semakin pelan dan dalam hitungan detik kemudian mobil berhenti tepat di depan
tangga menuju auditorium. Orang-orang yang menunggu pun menahan nafas menyaksikannya.
Mereka benar-benar sangat penasaran dengan sosok Aibi dan penasaran seperti apa dia sekarang.
Dalam hitungan detik selanjutnya Deni turun dari mobil menuju arah belakang dan kemudian
menurunkan kursi roda Aibi dari bagasi. Tak lama setelah itu keluar Rahmi bersama Bu Dharna.
Semua kaget melihat Bu Dharna keluar dari dalam mobil. Setelah kursi roda di letakkan di dekat
pintu bagian kanan, barulah pintu itu terkuak dan sosok yang ditunggu-tunggu itu pun menjulurkan
kepalanya keluar menatap sekeliling dengan senyum mengambang. Tapi tahukah, sebenarnya dia
baru saja menghapus air matanya. Itulah sebabnya kaca mobil itu tidak di turunkan karena dia tidak
ingin orang-orang melihatnya menangis.
Setelah beberapa detik kemudian, Rahmi pun membantu menurunkan Aibi dari dalam mobil dan
mendudukkannya di atas kursi roda. Pertama-tama yang dilakukan Rahmi adalah menurunkan kaki
Aibi dan setelah itu baru menuntunnya untuk duduk di atas kursi roda. Orang-orang yang
menyaksikan itu semua menahan nafas dibuatnya. Bahkan ada diantara mereka yang terisak
menyaksikan keadaan Aibi yang tidak bisa apa-apa, seperti anak kecil yang belum bisa berjalan.
Tapi Aibi berusaha tidak menghiraukanya. Dia tidak ingin terbawa arus dan juga larut dalam
perasaannya. Bukankah dia sudah memperkirakan ini semua, bahwa semua pandangan-pandangan
yang penuh tanda tanya dan simpatik itu akan terjadi. Jadi anggap saja itu biasa, walaupun ia sendiri
sulit untuk menguasai hatinya.
Aibi duduk dengan baik di kursi rodanya dan mengucapkan terima kasih kepada Rahmi yang telah
membantunya. Naura yang telah berdiri di depannya bersiap menyalami dan memeluknya melepas
segala kerinduannya pada Aibi. Dia kembali mengedarkan pandangannya kepada orang-orang yang
berdiri disekelilingnya dan kemudian tersenyum tulus sembari menganggukkan kepalanya dan
setelah itu berucap salam “Assalamu’alaikum, semuanya”, kata Aibi sambil tersenyum manis.
Wajah itu tetap cantik. Masih se cantik masa tujuh tahun yang silam. Tidak ada yang berubah,
kecuali hanya tatapan mata dan kondisi tubuh yang terlihat lebih kurus. Wanita cantik yang
mempunyai tinggi 158 cm itu, kini hanya bisa duduk di atas kursi rodanya. Semua orang terhenyak
melihatnya.
“Apakah hanya di pandangi di luar saja, dik? Tidak jadi acaranya di dalam aula?” tanya Aibi
memecah suasana, dengan senyum yang masih tetap mengambang dibibirnya. Para panitia yang
mendapatkan pertanyaan yang seperti itu tersadar dari lamunannya dan salah tingkah sesaat.
“Eh, maaf Kak”. Jawab Naura gugup dan salah tingkah. Ia kemudian memberikan kode ke panitia
untuk segera menyambut Aibi. Tapi mereka semua menjadi malu karena ketahuan sedang
menjelajahi setiap jengkal dari tubuh Aibi yang duduk tak berdaya di kursi roda.” Iya, acaranya jadi
di dalam Kak. Tapi sebelumnya, kami punya Sesuatu untuk Kakak”. Sambung panitia lagi.
“Special something for me? Apa itu dik?”. Tanya Aibi dengan mengerlingkan matanya yang
berkilat-kilat di balik kacamata minusnya.
Tidak lama setelah itu, dari jauh tiba-tiba seorang akhwat membawa sebuah kalung bunga. Ia
berjalan ke arah Aibi. Wajah itu begitu familiar sekali dalam benaknya. Tiba-tiba pertahanan hatinya
mulai goyah. Aibi sudah tidak bisa lagi untuk berpura-pura bahagia dengan senyum yang
mengambang indah. Air matanya sudah tidak tahan lagi untuk tidak keluar dan mulutnya dengan
lirih berucap, “Santi”. Panggilnya parau. Ya, akhwat itu adalah Santi teman se wisma, selokal,
sejurusan, seliqoo, dan seperjuangan.
Santi-pun cepat mendekat ke arah Aibi dan berhamburan memeluk Aibi dan sejurus kemudian
teman-teman seangkatan Aibi yang lainnya yang juga ikut memeluk Aibi dari belakang.
“Kamu jahat Aibi karena telah membiarkan kami kehilangan jejakmu. Kamu pergi tidak
meninggalkan kabar dan berita, Bertahun-tahun kami mencari keberadaanmu, tapi, kamu hilang
seperti ditelan bumi. Begitu teganya kamu meninggalkan kami”. Ucap Santi lirih
“Maafkan aku kawan. Aku tidak bermaksud seperti itu. Andai aku bisa menolak semua yang terjadi
terhadap diriku, mungkin aku tidak akan pernah meninggalkan kalian semua. Lihatlah seperti apa
aku hari ini. Masihkah membuatmu rindu ingin berjumpa denganku? Inilah kondisi ku setelah pergi
dari kehidupan antum sekalian”. Jawab Aibi dengan suara yang tak kalah lirihnya.
Tiba-tiba suasana penuh haru biru itu di buyarkan oleh suara bergetar Bapak Rektor. “Sudah-sudah,
nanti ada sesi untuk berkangen-kangenannya. Waktu terus berjalan dan ribuan mahasiswa telah
menunggu di dalam Aula”.
Ketika mendengar siapa yang berbicara, mereka yang merangkul Aibi segera melepaskan
pelukannya. Aibi pun mengarahkan pandangannya ke arah sumber suara, disana didapatinya Bapak
Khairul sedang berdiri diantara panitia. Aibi menganggukkan kepalanya pada rektor sembari
tersenyum kelihatan agak canggung karena habis menangis.
Aibi-pun di papah untuk menaiki tangga oleh tiga orang akhwat. Dua disisi kiri dan kanan Aibi dan
satu orang lagi di depan untuk membantu mengangkat kaki Aibi menaiki anak-anak tangga. Dengan
hati-hati mereka mulai mengangkat tubuh Aibi di tangga menuju Auditorium. ****
24
Wisuda Tanpa Toga
“Setelah tujuh tahun mencari jejak yang hilang, hari ini jejak itu kembali lagi dengan pesona yang
tetap sama dan dengan keagungan berlipat ganda. Pelangi akan tetap menjadi pelangi sampai
kapanpun. Walau terkadang menghilang karena guyuran hujan, tapi ketahuilah pelangi hanya
menghilang dari pandangan, tapi hakikatnya tidak karena di hati telah tertoreh warna indahnya.
Bahkan ketika mata terpejam pun, warna pelangi tetap indah, tidak pernah berubah. Hadirin
sekalian, setelah tujuh tahun kita menunggu dan ketika kita hampir kehilangan asa, tapi hari ini
tanpa kita sengaja kita dipertemukan lagi dengan manusia pelaku sejarah yang telah menorehkan
prestasi yang gemilang di kampus kita ini. Inilah dia, kita sambut mahasiswa terbaik yang pernah
ada disepanjang sejarah kampus ini, Raisyah Aibi Rizaldi, S.Si”.
Tepuk tangan gegap gempita memenuhi ruangan. Dibelakang orang-orang memanjangkan leher
untuk melihat mahasiswa terbaik yang pernah ada di kampus. Moderator berhasil menghidupkan
suasana dengan kata pengantarnya yang memukau. Begitu Aibi telah tiba di atas panggung, tiba-tiba
sebua film dokumenter ditayangkan. Film itu menggambarkan perjalanan hidup Aibi ketika kuliah
serta rekaman jejak kegiatan-kegiatan Aibi di kampus. Sebuah karya yang menurut Aibi sangat
berlebihan sekali. Film itu berjudul:”Catatan Perjalanan Kehidupan Sang Maestro. Nasyid Shoutul
Harokah berjudul Ini Langkahku semakin menyemarakkan suasana
Semua mata tertuju ke layar 3x3 yang terpasang di depan ruangan dan Aibi yang telah berada di
atas panggung juga menghadapkan wajahnya ke layar dengan membelakangi para penonton. Apa
yang terjadi seperti kilas balik sejarah hidupnya.Tak ayal lagi tubuh Aibi sudah bergetar menangis
di depan sana. Dia tidak sanggup rasanya melihat dokumen kehidupan masa lalu yang di lalui dan
telah di lakoninya tersebut karena kondisi dulu tidak sama dengan kondisi dirinya hari ini yang
tidak bisa apa-apa.
“Itu dulu, dulu sekali. Ketika aku masih menjalani kehidupan ku sebagai seorang mahasiswa. Dulu,
ketika aku bisa melakukan apapun sendiri, ketika kaki ini masih ringan untuk di ayunkan
kemanapun. Ketika fikiran dan hati mampu mensinergikannya menjadi satu, sehingga menghasilkan
ide cemerlang penuh gagasan indah. Ketika jiwaku dapat terbang bebas memikirkan semua yang
terjadi. Ketika tidak ada beban dalam jiwa dan hati ini.
“Hari ini orang hebat itu telah tiada. Kebesarannya telah pupus di makan rayap kesedihan.
Kejernihan itu telah pupus di kikis banjir bandang kebencian dan pembangkangan kepada Tuhan.
Yang tersisa dari kehidupan yang dulu hanya serpihan-serpihan yang berbentuk onggokan tubuh
yang tidak bermanfaat lagi. Manusia lemah yang sepanjang hidupnya tidak akan pernah bisa lagi
untuk melakukan apapun sendiri. Dia hanyalah manusia yang selalu merepotkan siapapun yang ada
bersamanya.
“Anda semua telah melihat bukan? Betapa aku untuk sampai duduk di di atas panggung kebanggaan
ini telah melibatkan banyak orang. Telah merepotkan banyak panitia. Sebenarnyalah, sungguh
betapa aku tidak ingin menikmati dan menjalani kehidupan seperti ini. Aku ingin menjadi manusia
yang mandiri. Sama seperti anda semua. Tapi kelumpuhan yang aku alami telah membunuh separoh
dari potensi yang aku miliki.
“Bahkan aku tidak bisa berpindah dari kursi roda ini jika tidak ada yang membantu. Untuk
berwudhu saya harus diantar. Apalagi untuk sholat lima waktu. Bahkan saya tidak bisa duduk lebih
dari 2 jam, akibat kerusakan tulang punggung yang saya alami. Dan masih banyak lagi yang tidak
bisa lainnya yang bisa saya lakukan saat ini. Bahkan hal-hal kecil sekalipun. Setelah ini entah apa
yang akan terjadi. Mungkin saya harus disuntik dulu oleh Rahmi untuk menghilangkan rasa sakit
yang terasa di punggung saya. Atau mungkin saya akan terkapar di tempat tidur selama beberapa
hari setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan dari Pesisir Selatan menuju Padang.
“Betapa aku lelah wahai adik-adikku. Betapa aku malu kepada orang yang telah merawatku, karena
sampai ke kamar mandi pun aku harus diantar. Bahkan aku tidak bisa lagi melakukan kegiatan
pribadiku sendiri karena kelumpuhan yang aku alami .Aku sudah tidak berrmakna.
“Kecelakaan itu hampir saja membuatku gila. Lima tahun lamanya aku menghujat Tuhan. Lima
tahun aku menuntut keadilan kepada Tuhan, Kenapa harus aku yang menerima semua itu?
Bukankah selama ini aku telah mengabdikan diriku untukNya? Bukankah selama ini aku telah
melakukan yang terbaik dalam hidupku? Kenapa semua mimpi dan cita-cita yang telah aku
persiapkan, dirampasNya?
“Aibi yang kata orang-orang adalah manusia yang paling baik dan yang paling hebat yang pernah
mereka temui seperti tulisan-tulisan yang ada di movie maker itu, ternyata tidak semulia yang
kalian kira. Ternyata aku tidak lebih dari seorang manusia durhaka terhadap penciptanya, manusia
pembangkang yang mendustai nikmat Tuhan untuknya. Padahal kurang apa lagi nikmat itu?
Bukankah aku sudah menikmati semuanya selama ini? Aku tersadar justru ketika melihat tayangan
movie maker ini. Betapa tidak bersyukurnya aku selama ini.
“Hari ini, apa yang anda lihat adalah hasil frakmentasi dari diriku yang dulu. Andaikan tidak ada
cahaya keimanan di dada ini, mungkin saat ini aku masih terus menghujat Tuhan dan bersembunyi
dari anda sekalian. Beruntung Allah masih menyayangiku, masih memanggilku untuk
menghadapNya. Aku berusaha untuk ikhlas, tapi sungguh betapa sulit untuk ikhlas. Sampai hari ini
pun aku belum bisa untuk menerima sepenuhnya”.
Semua cerita duka itu mengalir dari mulut Aibi. Semua perasaan yang di pendamnya akhirnya
tumpah ruah memenuhi segenap penjuru ruangan. Semua yang ada di dalam ruangan pun ikut
hanyut menyimak setiap langkah dari perjalanan hidup Aibi yang sangat menggetarkan. Mata
mereka basah. Suara isakan memenuhi ruangan yang menampung 5000 orang tersebut.
Satu beban lagi rasanya terlepas dari pundak Aibi. Perasaan tidak menerima takdir itu terkikis dari
hatinya. Yang tersisa saat ini hanya keikhlasan dan keridhoan terhadap apa yang menimpanya. Jika
ribuan mahasiswa yang ada di kampus ini masih menerimanya apa adanya. Apa haknya untuk
menolak segala yang terjadi terhadap dirinya. Dia telah siap mengarungi kehidupannya ke depan.
Dia telah siap menghadapi segalanya.
Di akhir acara Bapak Rektor memberikan kata sambutan sekaligus menyerahkan semua
penghargaan yang seharusnya diterima Aibi ketika wisuda dan juga menyerahkan ijazah S1nya.
Walau tidak ada baju kebesaran dan toga yang dikenakan dan tidak disaksikan oleh para wisudawan
dan wisudawati, tapi acara itu lebih istimewa dari acara wisuda yang pernah ada di kampus adidaya
ini karena di saksikan oleh hampir seluruh mahasiswa dan seluruh dosen dengan berurai air mata.
“Saya tidak tau, apakah semua ini masih bisa saya manfaatkan dalam kehidupan kedepannya atau
tidak. Tapi yang jelas semua ini adalah sebuah bukti otentik, bahwa saya memang pernah mengecap
bangku pendidikan di kampus adidaya ini.
****
25
Lelaki Berkacamata Minus
Gedung mencakar langit berdiri dengan megahnya menggambarkan keangkuhan para penghuninya.
Dari kejauhan di lorong-lorong sempit yang menjadi jalur sibuk orang-orang berseliweran di
tengah-tengahnya. Membawa segala peralatan dan tumpukan-tumpukan. Ada yang setengah berlari,
tergesa-gesa dan ada juga yang berjalan dengan santainya. Terowongan di tengah ruangan itu telah
berubah menjadi jalan tol para pejalan kaki menuju tempat tujuannya masing-masing.
Mobil Yaris berhenti di tempat parkir. Laki-laki berkacamata minus dengan hidung sedang dan
rambut lurus keluar dari mobil tersebut. Kemeja lengan panjang berwarna biru lembut dan celana
dasar hitam yang di kenakanya menambah kesan elite pemuda tersebut. Sebuah dasi warna biru
muda senada dengan kemeja yang di kenakannya tampak tergantung indah di lehernya. Menambah
kesan parlente laki-laki itu yang ternyata adalah dokter ahli Jantung yang di tunggu oleh pihak
rumah sakit. Dia baru saja menamatkan pendidikan spesialisnya di Jerman dengan nilai cumlaude.
Hari ini dia kembali ke tanah air guna mengamalkan ilmu yang di dapatnya.
Dengan langkah pasti di masukinya ruangannya yang terletak di lantai 5. Bibirnya tidak berhenti
tersenyum kepada setiap orang-orang yang berpapasan dengannya. Apakah orang itu pasien rumah
sakit, perawat atau suster yang bertugas di rumah sakit, atau sesama rekan dokter maupun keluarga
pasien yang sedang menunggu di bangku-bangku tunggu rumah sakit di sepanjang lorong.
Pagi ini dia akan berjumpa dengan pasien pertamanya di hari pertamanya menjadi dokter spesialis
jantung. Seorang ibu-ibu tua yang sudah berumur 67 tahun. Itulah info yang di dapatnya dari
perawat yang menghubungi kemaren sore.
Dalam hitungan detik, dokter muda tamatan dari Jerman itu telah berhasil menjadi buah bibir para
penghuni rumah sakit, terutama para perawat yang masih gadis yang berharap akan di lamar oleh
sang dokter. Tiba-tiba langkahnya menuju ruangannya terhenti, ketika di jalan dia berjumpa dengan
dr. Aisyah yang juga sedang berjalan dengan arah yang berlawanan dengannya. Dan dia pun
tertegun dan mengganggukan kepalanya kepada dr. Aisyah.
“Assalamu’alaikum Tante....” sapanya ramah kepada dr. Aisyah sembari tersenyum. dr. Aisyah yang
mendapatkan sapaan yang begitu sopan dari seorang laki-laki perlente yang memakai kacamata
minus itu pun terhenti sejenak dan menengadahkan kepalanya ke laki-laki yang mempunyai tinggi
kira-kira 170 cm dan dengan bahu yang bidang.
“Wa’alaikumussalam...” jawab dr. Aisyah sembari tersenyum namun dengan tatapan penuh tanda
tanya. “siapa?”. Dan sepertinya dokter muda itu menyadari tatapan penuh tanda tanya dari dr.
Aisyah.
“Pasti tante tidak mengenali saya lagi”. Katanya kemudian.
Mendapatkan pertanyaan seperti itu tentu saja dr. Aisyah semakin penasaran. Siapa anak muda ini?
Dan dimana dia pernah kenal anak muda ini? Dia benar-benar tidak ingat sama sekali.
“Maaf, saya memang tidak kenal. Perasaan saya tidak pernah berjumpa dengan kamu. Kamu
siapa?”. Tanya dr. Aisyah dan mengakui ketidak tahuannya. Tapi yang ditanya malah tersenyum
semakin lebar dan kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal
“Ini Fahmi tante. Seniornya Aibi waktu SMA yang waktu itu pernah datang ke rumah tante
mengantar buku Aibi yang pernah saya pinjam, apa tante ingat? Ah sudah lama sekali tante, 16
tahun yang lalu. Pasti tante sudah lupa, tapi saya Insya Allah tidak akan lupa tante”. Jawab dokter
muda yang ternyata bernama Fahmi itu menjelaskan.
“16 tahun yang lalu?..! Wah saya benar-benar sudah lupa”. Jawab dr. Aisyah tersenyum sembari
menggelengkan kepalanya. Dia salut dengan ingatan anak muda ini ”Tapi tidak apa-apa. Siapa yang
sakit? Orang tua kamukah? Kok pagi-pagi sudah ke rumah sakit?”. Tanya dr. Aisyah selanjutnya.
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Fahmi lagi-lagi tersenyum kepada dr. Aisyah. Tapi dia bingung
bagaimana harus menjawab, dia merasa tidak enak mengatakan kalau dia seorang dokter kepada
wanita paruh baya yang di hormatinya ini. Dia berharap ada seseorang yang akan menjawab dan
memberitahukan keberadaannya di rumah sakit hari ini kepada dr. Aisyah. Tapi siapa yang akan
membantunya ya?
Tiba-tiba seorang suster muda dengan tinggi sedang berkulit kuning langsat mendekatinya dengan
sedikit tergesa-gesa.
“dr. Muhammad Fahmi?” tanya suster itu begitu sampai di dekatnya. Tanpa membuang waktu lagi
Fahmi cepat menjawab. “Ya benar Sus, saya dr. Muhammad Fahmi”. Mendengar suster tersebut
memanggil anak muda di depannya dengan sebutan dokter, dr. Aisyahpun membulatkan mulutnya
dan kemudian ber oh panjang. Tapi beberapa kali dia datang ke rumah sakit ini, baru kali ini dia
berjumpa dengan laki-laki ini. Mungkin dia masih baru.
“Oh.... jadi kamu seorang dokter toh. Maaf kalau pertanyaan saya salah. Saya fikir kamu ingin
menjenguk keluargamu yang di rawat disini”. Kata dr. Aisyah kemudian sambil tersenyum.
“Tidak apa-apa tante, tante tidak salah. Ah, saya ingin bertanya banyak hal sama tante, tapi ini
adalah hari pertama saya tugas di sini tante. Dan kebetulan juga ada pasien pertama yang saya
tangani hari ini. Lain kali saya akan cari tante lagi. Permisi tante. Assalamu’alaikum”. Katanya
kemudian dan membungkuknya badannya dan berlalu dari sana. Dan dr. Aisyah pun kembali
melanjutkan langkahnya menuju lobi rumah sakit. Dia ingin kembali ke rumah sakit tempat dia
bertugas.
***
26
Gadis Di Tempat Parkir
Aibi baru sampai di Jakarta dari perjalannya dari Semarang. Setelah kembali dari Padang, Aibi
menghabiskan waktunya dengan mengisi seminar dimana-mana dan memberikan motivasi kepada
berpuluh ribu generasi muda di Indonesia ini. Dia juga mengabdikan dirinya untuk membangkitkan
semangat para penyandang cacat yang ada di Indonesia ini. Berbagi pengalaman hidup dengan
siapapun. Berbagi pengalaman organisasi dengan berbagai mahasiswa yang ada di Universitas-
universitas baik negeri maupun suasta yang ada di Indonesia.
Sore ini Aibi ingin sampai di rumah lebih cepat karena dia ingin istirahat secepatnya karena
punggungnya terasa sangat sakit sekali. Dia sudah tidak tahan lagi untuk duduk lebih lama lagi.
Rahmi yang masih setia menemaninya sudah sedari tadi menyuntikkan cairan penghilang rasa sakit
ke tubuh Aibi, tapi sepertinya tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Saat ini Aibi sangat ingin
berbaring dengan nyaman di atas kasurnya. Sementara Deni sudah memacu mobilnya dengan
kecepatan maksimum. Tapi baru saja mereka keluar dari gerbang tol Jati Negara, tiba-tiba mobilnya
di hentikan oleh seorang ibu-ibu berbaju lusuh yang berkemungkinan besar mungkin seorang
pemulung. Dan Denipun menghentikan mobil dengan rem mendadak. Aibi yang duduk di bangku
belakang yang mulai tertidur tadi terkejut begitu juga dengan Rahmi.
“Ada apa Mas?” tanya Aibi penasaran.
“Anu Mbak... Ada yang menstop mobil kita Mbak. Hampir saja saya menabraknya Mbak.” Kata
Deni dengan nafas memburu dan keringat dingin yang mengucur.
Mendengar apa yang di sampaikan Deni, Aibipun menengadah melalui kaca mobil. Penasaran juga
dia dibuatnya. Kok nekat begitu? Ada apa kira-kira?
Ibu-ibu yang berbaju lusuh itu terlihat pias dengan sisa-sisa air mata yang masih menggelantung di
sudut matanya. Melihat pemandangan itu, membuat hati menjadi merintih dan sepertinya ibu-ibu
yang berdiri tidak jauh di depan mobil seperti sedang memangku sesuatu. Dan ketika di perhatikan
lagi secara seksama, ternyata itu adalah bayi yang mungkin baru berusia beberapa hari. Di bungkus
dengan kain seadanya. Ada apa gerangan?
Dengan wajah memelas dan langkah kaki terkatung-katung ibu-ibu itu mendekati mobil Aibi dan
dengan berurai air mata dia berkata “tolong Mbak. Tolong selamatkan bayi ini. Saya menemukan
bayi ini di tumpukan sampah-sampah di belakang tempat pembuangan sampah sana”. Katanya
kemudian dengan berurai air mata sembari tangan yang satunya lagi menunjuk ke arah selatan.
Rahmi yang seorang perawat mengerti kalau bayi tersebut butuh pertolongan secepatnya karena
tubuh bayi tersebut mulai menguning. Mungkin karena kekurangan susu. Dan juga kelihatan
membiru di ujung-ujung kukunya. Dia pun melihat ke Aibi dan Aibipun dengan cepat
memerintahkan Rahmi untuk segera mengambil bayi tersebut dari tangan ibu-ibu tadi.
Begitu Rahmi masuk lagi ke mobil, Aibi meminta Deni untuk mencari rumah sakit terdekat, agar
bayi yang mereka bawa segera mendapatkan perawatan. Deni segera membanting stir mobilnya
dengan kecepatan tinggi. Dan Aibi pun lupa dengan rasa sakit yang menyerang punggungnya. Yang
ada dalam fikirannya saat ini adalah menyelamatkan bayi yang mereka bawa. Sementara Rahmi
sibuk mengeluarkan kain yang ada di tas dan membalutkannya ke tubuh bayi yang masih merah
yang mungkin baru beberapa jam yang lalu keluar dari rahim bundanya yang tidak bertanggung
jawab.
BMW metalik itu parkir di depan rumah sakit yang megah. Dan Rahmi tanpa di komando langsung
saja keluar dari mobil tersebut begitu mobil berhenti dan berlari menuju ruangan rumah sakit
sembari menggendong bayi yang mereka bawa. Sesaat dari kejauhan Aibi melihat Rahmi berbicara
dengan salah satu suster yang ada di sana dan sesaat kemudian Rahmi telah menghilang dari sana.
M ungkin pergi ke ruang instalasi bagian perawatan bayi. Deni dan Aibi menunggu beberapa saat,
tapi Rahmi tak juga kunjung muncul kembali. Aibi pun cemas memikirkan kondisi bayi yang
mereka bawa barusan. Dia pun memerintahkan Deni untuk mengeluarkan kursi rodanya. Dia ingin
menyusul Rahmi ke dalam.
“Mas, tolong ambilkan kursi roda saya Mas. Saya akan menyusul Rahmi ke dalam”. Kata Aibi
kemudian. Sesaat tampak Deni agak ragu mengikuti perintah Aibi.
“Tapi Mbak....?...!” kata Deni menyangsikan.
“Sudahlah Mas, ambil saja dulu. Saya bisa berpindah sendiri, Insya Allah”. Kata Aibi lagi
kemudian. Deni mengambil kursi roda Aibi dan meletakkanya di samping pintu mobil dimana Aibi
berada.
“Mas berdiri di samping saya. Jika nanti saya terjatuh dan sudah menyentuh tanah, baru Mas boleh
membantu saya untuk naik ke atas kursi roda ini. Tapi jika saya tidak jatuh, seperti apapun
kondisinya, Mas tidak boleh menyentuh saya. Mas tidak boleh membantu saya. Mas mengertikan?”
kata Aibi bersiap untuk berpindah. Sebenarnya dia sendiri tidak yakin akan bisa, karena selama ini
dia tidak pernah mencoba. Mengangkat sebelah kakinya saja, terasa sangat berat sekali, apalagi
sekarang punggungnya lagi sakit. Tapi dia harus mencobanya. Bukankah kalau dia jatuh nanti ada
Deni yang akan membantunya. Walau sebenarnya dia tidak mau di sentuh oleh Deni yang bukan
muhrimnya. Dengan Bismillah Aibi mulai menurunkan kakinya yang terasa berat.
****
Dari kejauhan di lobi rumah sakit seorang dokter muda sedang mengantarkan pasiennya menuju
tempat perkir dan mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Matanya membentur Aibi yang
sedang berjuang untuk berpindah dari mobil ke kursi rodanya. Sejenak di perhatikannya laki-laki
yang berdiri di samping gadis tersebut. Nafasnya tertahan melihat gadis tersebut berjuang untuk
berpindah dari mobil ke kursi rodanya. Ada sesuatu yang menggelitik hati Fahmi menyaksikan
pemandangan yang memiriskan hati itu. Siapa gadis cacat yang masih saja menjaga dirinya agar
tidak di sentuh oleh laki-laki yang bukan muhrimnya? Fahmi yang ingin mendekat kesana untuk
membantu, mengurungkan niatnnya karena dia yakin gadis itu juga akan menolaknya. Beberapa
kali tadi di perhatikannya laki-laki yang berdiri di samping gadis itu. Ternyata adalah sopirnya yang
menawarkan diri untuk membantu tapi dengan kibasan tangan Aibi menolak bantuan yang di
tawarkan tersebut
Aibi terus berjuang untuk berpindah. Tapi sungguh betapa susahnya menyeret tubuhnya yang terasa
sangat berat naik ke kursi roda itu. bahkan beberapa kali dia hampir jatuh berdebam ke bawah. Tapi
untung cengkramannya kuat ke pintu mobil. Kalau tidak, mungkin dia sudah berguling di tanah dan
di angkat oleh Deni ke atas kursi rodanya. Hampir saja Aibi menangis menahan rasa sakit dan
berusaha untuk berpindah dari mobil ke kursi rodanya. Tiba-tiba seorang suster yang di panggil oleh
Fahmi tadi sebelum dia kembali keruangannya datang membantunya dan mendudukkannya di atas
kursi rodanya. Bahkan di bantu mendorong kursi rodanya memasuki rumah sakit dan menuju
ruangan perawatan bayi tempat Rahmi berada.
Sementara di ruangan tunggu tampak Rahmi dengan wajah cemas duduk menunggu dokter keluar
dari ICU. Melihat Aibi yang diantar oleh seorang suster Rahmi pun bangkit dari duduknya dan
menyongsong Aibi.
“Mbak.?..! Kok Mbak datang kesini? Mbak kan lagi sakit Mbak?” kata Rahmi khawatir. Karena dia
tahu punggung Aibi lagi sedang tidak aman. Seharusnya dia tadi menyuruh Aibi pulang duluan saja.
Dan tidak usah menunggunya apalagi sampai menyusulnya keruangan ini.
“Tidak apa-apa. Mbak sudah agak baikan kok. Gimana bayinya dik? Tidak apa-apakan?” Tanya
Aibi kemudian. Rahmi tau Aibi tidak jujur. Tapi sepertinya situasi kurang tepat untuk menyuruh
Aibi ke mobil lagi.
“Mudah-mudahan tidak apa-apa Mbak. Tim dokter sedang berusaha menyelamatkannya Mbak. Tadi
kata dokter bayi tersebut telah mengalami kedinginan selama 8 jam Mbak. Jadi paru-parunya mulai
rusak. Di samping itu dia juga kekurangan asi sehingga tubuhnya menguning. Bayi itu baru lahir
menjelang subuh tadi kata dokter Mbak”. Terang Rahmi ke Aibi dengan mata berkaca-kaca.
“Kasihan. Siapa ibu yang tega membuang anaknya yang tidak berdosa dik?” keluh Aibi dengan air
mata mengambang. Dunia semakin tidak beradab rasanya. Manusia sama rendahnya dengan
binatang, binatang saja tidak mau membunuh dan membuang anaknya sendiri, ini manusia tanpa
perasaan di buangnya bayi yang masih merah ke tong sampah tanpa merasa berdosa.
“Rahmi juga nggak tahu Mbak. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa Mbak”. Tidak lama setelah
Rahmi berucap seperti itu, dokter pun keluar dari ruangannya di ikuti oleh tiga orang suster. Rahmi
memburu dokter dengan segera. Sementara Aibi menunggu di tempat semula dia datang dengan
wajah mengernyit menahan rasa sakit di punggungnya yang semakin menjadi-jadi.
“Bagaimana dok?” tanya Rahmi cepat.
“Kami masih berusaha Mbak. Dia sudah melewati masa kritisnya. Tapi kita tunggu sampai besok,
apakah dia bisa bertahan atau tidak sampai besok pagi, maka dia kan selamat karena 85 persen
paru-parunya telah rusak. Kita do’akan saja ya Mbak”. Terang dokter kemudian berlalu ke
ruangannya.
Sesampai di rumah Aibi langsung menuju kamar dan setelah sholat dia pun tertidur dengan
lelapnya. Dia berharap rasa sakit di punggungnya akan hilang begitu dia terbangun dari tidurnya
nanti. Belakangan sakit di punggungnya tidak lagi sering terasa. Sepertinya ia telah bisa menerima
kondisi tubuhnya yang lumpuh. Setelah sembilan tahun pasca kecelakaan barulah Aibi sedikit agak
nyaman karena tidak harus sering di suntik lagi untuk menghilangkan rasa sakit. Tapi tetap saja Aibi
belum bisa melakukan apa-apa. Cidera di syaraf tulang punggungnya benar-benar akut ternyata. Dia
masih saja tetap harus di bantu Rahmi ketika mau ke kamar mandi. Dia tetap saja di bantu Rahmi
ketika mau berpindah dari kursinya ke tempat tidur, atau dari kursi rodanya ke sofa yang terletak di
kamarnya atau di tengah ruangan rumahnya. Dia tetap saja di bantu oleh Rahmi ketika dia mau
membuang hajat dan sebagainya.
***
27
Sebuah Pertemuan
Pagi ini mereka akan ke Bandung memberikan motivasi kepada penyandang cacat yang tinggal di
panti rehabilitasi Kasih Bunda. Tapi sebelum kesana mereka akan ke rumah sakit dulu memastikan
keadaan bayi malang yang mereka bawa ke rumah sakit kemaren.
Perjalanan pagi ini di nikmati Aibi dan Rahmi dengan sendu. Melewati jembatan di sepanjang jalan
kota Jakarta, ternyata tidak ada satu pun sungai yang selamat dari limbah. Warnanya selalu hitam
kecoklatan dan banyak sampah yang bergentayangan di dalamnya. Dan parahnya lagi masih ada
beberapa masyarakat yang masih melakukan berbagai aktifitas di sana. Dan mereka tentu saja para
kaum papa yang luput dari perhatian pemerintah. Ah ternyata kehidupan di kota Jakarta semakin
melarat. Kasihan masyarakat kecil yang menjadi korban kebijakan pemerintah yang tidak berpihak
kepada mereka. Sehingga angka kriminal semakin tinggi dan perampokan semakin meningkat.
Apalagi para pengangguran dan anak-anak putus sekolah semakin menjamur.
Lihatlah di setiap perempatan jalan dan lampu merah, masih saja di penuhi dengan pemandangan
yang menyayat hati. Begitu banyak para pengamen cilik dan pengemis cilik bergentayangan di
sana. Entah dengan apa mereka akan di sejahterakan. Semua harta negara telah habis dikuras oleh
para elit politik yang jalan-jalan keluar negeri dan melarikan uang negara puluhan miliyar
jumlahnya.
Dan yang lebih menganehkan lagi adalah mereka sudah terbukti mencuri dan merampas uang
negara dalam jumlah yang tidak terkirakan bahkan sampai 600 miliyar. Tapi tidak ada rasa
penyesalan sedikitpun. Kira-kira kalau uang sebanyak itu di tumpuk dan di suruh truk
mengangkutnya, mungkin akan mememenuhi satu truk fuso. Coba uang sebanyak itu di gunakan
untuk mensejahterahkan rakyat. Wah pasti tidak ada pengemis di Indonesia kali ya. Tapi, kapan ya
pemandangan di kota Jakarta ini akan sepi pengemis dan anak jalanan? Mungkin tunggu di ganti
lagi presidennya kali, yang ternyata punya mimpi dan misi yang berbeda lagi dan tingkat korupsi
yang lebih besar. Serba tidak menentu.
Belum lagi kemacetan yang selalu siap mengancam di mana-mana. Bahkan di tol saja masih tetap
macet. Sudah ada bus way pun, tapi tetap saja macet, karena ada juga dari beberapa sopir bus dan
angkot yang iseng mengambil jalur khusus Bus way . Semakin senewen dan sembraut saja. Aibi
sudah terlalu pusing untuk memikirkan semua itu. Hatinya terlalu miris memikirkan semua ini.
Rakyat kecil tidak akan di dengarkan suaranya oleh bangsa yang sudah kehilangan kepribadian ini.
Apalagi dia yang hanya warga negara yang cacat yang tidak bisa apa-apa. Semakin hilanglah hak
bicaranya mengenai bangsa ini.
Sesampai di rumah sakit, Aibi tidak ikut melihat si bayi bersama Rahmi ke ruangannya, tapi
menunggu di luar karena dia tidak sanggup melihat tubuh mungil itu di penuhi dengan berbagai
peralatan medis. Hatinya terlalu miris untuk menyaksikan semua itu. Ia menunggu di depan sambil
membaca koran di lobi rumah sakit. Sedang Rahmi beranjak menuju lift naik ke lantai atas tempat
si bayi sedang dirawat
Ternyata bayi malang itu sedang kritis karena peradangan paru-paru yang di alaminya telah
membuat si bayi kesulitan untuk bernafas.Tim dokter sedang berada di ruangan memberikan
pertolongan kepada bayi malang yang sedang berjuang mempertahankan selembar nyawa yang di
berikan Allah kepadanya. Betapa hati ini miris memikirkan. Ternyata puluhan bayi di luar sana juga
sedang berjuang menyelamatkan hidup yang baru saja di rasakannya.
Bukankah makhluk kecil nan mungil itu seharusnya sekarang sedang tertidur hangat di pelukan
sang bunda yang sedang meneteknya? Tapi lihatlah bayi malang itu justru malah sedang meregang
nyawa di ruangan yang penuh peralatan medis. Begitu kejam dunia kepadanya. Masih banyakkah
bayi-bayi yang menderita akibat perbuatan orang-orang tidak bertanggung jawab di luar sana?
Kenapa harus bayi mungil kecil yang tidak berdosa ini yang harus menanggung semua derita dan
beban dosa yang di lakukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab itu yang hanya memikirkan
kenikmatan sesaat saja? Sungguh betapa kejam dunia ini kepadanya.
Lagi-lagi ini potret bangsa yang sakit karena lapangan pekerjaan yang semakin sulit, boro-boro
dapat pekerjaan halal, yang haram saja susahnya minta ampun. Ini Jakarta kawan, kota sibuk yang
memiliki tingkat individual paling tinggi karena semuanya hanya sibuk memikirkan nasib sendiri-
sendiri.
Aibi sedang sibuk membalik-balik halaman koran yang ada di tangannya. Dia masih sibuk
membaca berita yang ada di dalamnya. Mulai dari berita kriminal, politik, ekonomi, olahraga,
sampai pada berita selebritis yang kawin cerai dan putus nyambung. Aibi semakin muak
menyaksikannya. Semuanya hanya untuk tujuan komersial belaka. Hanya demi fulus berita yang
tersaji pun hambar dan terkesan basi. Masalah ekonomi, semakin mengkerut, sampai sekarang tidak
ada solusi yang tepat. Masalah politik, hanya basa basi belaka, padahal para koruptor bersemayam
disana. Masalah pendidikan, semakin buram saja, karena masih saja tetap sama seperti tahun-tahun
sebelumnya. Yang berubah hanya namanya saja. Tapi isinya tetap sama.
Sedang asyiknya membalik-balik koran, tiba-tiba Hpnya berdering Aibi terlonjak. Dengan tergesa
Aibi mengelurkan Hp yang ada di dalam tas yang terletak di pangkuannya. Di perhatikannya layar
yang berkedip-kedip, ternyata panggilan dari Rahmi. Karena terburu-buru mengeluarkan Hpnya,
dompet Aibi ikut tertarik dan jatuh ke lantai.
Begitu selesai menjawab telfon Rahmi, Aibi berusaha mengambil dompetnya yang jatuh, tapi
sungguh dia tidak bisa. Dia tidak bisa menjangkaunya, karena pinggangnya masih terasa ngilu kalau
terlalu menunduk. Dengan susah payah Aibi berusaha meraihnya sampai keluar keringat dinginnya.
Namun dompetnya tidak juga bisa di raihnya. Dia ingin meminta tolong kepada seseorang di sana,
tapi sepertinya sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, Aibi urung meminta bantuan.
Sekali lagi Aibi mencoba memungut dompetnya yang terletak di lantai. Di kerahkannya semua
tenaganya, tapi dia tetap saja gagal. Pinggangnya terlalu sakit untuk di tekuk. Di cobanya sekali
lagi, tapi dia gagal lagi. Dan ketika dia sedang menunduk dan berusaha mengambil dompetnya,
tiba-tiba seorang laki-laki dengan sepatu oxford hitam dan celana panjang hitam berdiri tidak jauh
di depannya dan memungut dompet hitam yang tergeletak di lantai dan menyerahkannya ke Aibi.
Dengan gerakan cepat Aibi mengangkat kepalanya dan memandang ke laki-laki yang membantunya
mengambilkan dompetnya sembari mengucapkan terima kasih. Ketika dia mengangkat kepalanya,
seorang laki-laki dengan tinggi sekitar 170 cm dan berbahu bidang berdiri di depannya. Lelaki itu
mengenakan kemeja lengan panjang berwarna krem. Dasi dengan warna serupa tergantung di
lehernya. Stetoskop tergantung indah di lehernya. Kaca mata minus membingkai matanya Ia
menatap ke arah Aibi dengan tatapan penuh tanda tanya.
Aibi tahu laki-laki tinggi yang berdiri di depannya adalah seorang dokter, karena stetoskop yang
tergantung di lehernya dan juga jas putih yang di kenakannya. Tapi wajah itu, rasanya pernah ia
lihat. Laki-laki tinggi yang berdiri di depan Aibi tak lain adalah dr. Fahmi. Ia juga merasakan hal
yang sama dengan Aibi. Wanita yang duduk di kursi roda ini, yang memakai gamis hitam kotak-
kotak putih yang di padukan dengan jilbab putih yang membingkai mukanya sangat familiar
rasanya di ingatannya. Kacamata minus yang bertenggar di hidung itu? Rasanya dia mengenali
wanita yang duduk di kursi roda ini. Tapi, siapa?
“Terima kasih, dokter...” Kata Aibi kemudian setelah terdiam cukup lama memperhatikan laki-laki
yang ada tepat di depannya dan buru-buru menundukkan kepalanya, karena matanya sempat beradu
dengan Fahmi.
“Ya, sama-sama”. Jawab dr. Fahmi menganggukkan kepalanya sembari tersenyum.
Senyum itu, Aibi yakin dia mengenali orang yang membantunya mengambilkan dompetnya itu.
Tapi siapa dia? Apa tidak sebaiknya ditanyakan saja? Ah biarlah.
Dr. Fahmi yang sudah memutar badannya menuju ruangannya, tiba-tiba menghentikan kembali
langkah kakinya dan membalikkan badannya. Ia menghadap ke arah Aibi. Ditatapnya wajah Aibi
dalam-dalam
“Maaf. Wajah anda tidak asing bagi saya. Saya rasanya mengenali anda. Tapi dimana ya? Atau
mungkin saya salah orang?” Kata dr. Fahmi kemudian begitu mendekati Aibi lagi. Baru saja Aibi
akan menjawab, tiba-tiba Rahmi datang memburunya dengan berurai air mata. “Mbak Aibi....”
panggil Rahmi tergugu di pangkuan Aibi.
Mendengar nama itu, membuat dr. Fahmi terbelalak. Nama yang di rindukannya selama ini. Tapi
tunggu, bukankah Aibi yang di rindukannya itu seorang wanita cantik, anggun hebat dan penuh
prestasi? Bukan wanita yang duduk di kursi roda dengan kondisi lemah dan sangat menyedihkan
seperti ini. Bahkan untuk mengambil dompetnya yang terjatuh saja dia tidak bisa. Benarkah yang di
dengarnya? Dia harus pastikan semua ini. Tapi karena dia melihat ada wanita lain yang sedang
menangis di pangkuan wanita di atas kursi roda itu, ia urungkan niatnya. Dia berjanji akan datang
langsung berkunjung ke rumah Aibi nantinya untuk memastikan semuanya. Dia masih belum yakin
Aibi yang di kursi roda itu adalah Aibi yang pernah di kenalnya. Dengan langkah penuh tanda tanya
di tinggalkannya Aibi dan Rahmi yang sedang menangis.
Rahmi menangis karena bayi yang mereka bawa ke rumah sakit kemaren tidak dapat di selamatkan.
Karena peradangan paru-parunya akut sehingga kesulitan bernafas. Bayi malang itu itu telah pergi
dengan tenang mengakhiri semua penderitaannya.
Akhirnya Aibi dan Rahmi tidak jadi ke Bandung, karena kondisi punggung Aibi yang semakin sakit
dan dia juga butuh istirahat. Setelah mereka menguburkan Bayi malang tersebut, mobil BMW
metalik itu kembali meluncur menuju rumah megah di kawasan elit Jakarta Selatan, rumah keluarga
Rizaldi
****
Rasa sakit di punggung Aibi tidak kunjung hilang. Setelah begitu lama sakit yang menyiksa itu, hari
ini kembali dirasakan Aibi. Padahal Rahmi telah menyuntikkan cairan penghilang rasa sakit ke
tubuhnya, tapi rasa sakit itu belum juga hilang. Mungkin karena dia telah memaksakan merunduk
mengambil dompetnya yang jatuh di rumah sakit tadi sehingga rasa sakit di punggungnya semakin
akut.
Semenjak pulang dari rumah sakit tadi sepanjang hari setelah itu dia hanya tiduran saja. Hanya
bangun ketika sholat saja. Bahkan makan malam pun harus di bawakan Rahmi ke kamar. Mama dan
Papanya telah cemas memikirkannya. Mereka menyarankan untuk membawa Aibi ke rumah sakit,
tapi Aibi tidak mau. Mungkin sebentar lagi akan hilang, tapi rasa sakit itu tidak kunjung hilang.
Bahkan sampai tengah malam. Rasa sakit di punggungnya sudah tidak dapat lagi ditahan oleh Aibi.
Terakhir dia merasakan rasa sakit yang hebat seperti ini di punggungnya adalah ketika pertama kali
dia sampai di Jakarta lagi. Sudah hampir tiga tahun, dan hari ini kenapa kembali dirasakannya? Apa
kerusakan syaraf tulang belakangnya semakin parah?
“Rahmi... Rahmi... Rahmi... “ Panggil Aibi ke Rahmi yang tidur di sampingnya.
Rahmi yang sedang tertidur lelap cepat terbangun dan duduk di samping Aibi yang masih tiduran.
“Ya Mbak. Apa Mbak mau ke kamar mandi?” tanya Rahmi bersiap mendudukkan Aibi.
“Tidak dik. Mbak tidak mau ke kamar mandi”. Jawab Aibi dengan menggigit bibir menahan rasa
sakit yang menyerang punggungnya.
“Lalu kenapa Mbak?” Tanya Rahmi mulai cemas.
“Punggung Mbak sakit, mi. Nggak tahan rasanya, seperti ada yang menusuk-nusukkan seribu jarum
di sana rasanya. Sakit sekali mi. Tidak pernah Mbak merasakan sakit sehebat ini dik. Sakit sekali
dik. Mi, tolong bantu Mbak menghilangkan rasa sakit ini dik”. Ungkap Aibi yang mulai
berkeringat dingin.
Melihat Aibi kesakitan seperti itu, membuat Rahmi cemas. Dia tidak pernah melihat wajah Aibi
sepucat ini dan menahan rasa sakit sampai keringatan seperti ini. Dengan cepat di ambilnya peratan
medisnya dan mengambil jarum suntik dan menyedot cairan berwarna agak kecoklatan di dalam
botol kecil dan kemudian menyuntikkannya ke Aibi. Setelah itu dia keluar dan kemudian masuk
lagi membawa napan berisi air dan handuk kecil. Ternyata air hangat yang akan di gunakannya
untuk mengompres punggung Aibi.
Di letakkannya nampan yang berisi air tersebut dan di bantunya Aibi telungkup dan kemudian mulai
mengompres pinggang Aibi dengan air hangat yang di bawanya. Walau tidak banyak membantu,
akhirnya Aibi sudah tidak mengerang lagi. Jam 04.00 dini hari Aibi tertidur.
Paginya Aibi terbangun dan masih belum bisa apa-apa. Terpaksa dia sholat shubuh sambil berbaring
dan berwudhu dengan bertayamum. Rasa sakit di punggungnya sudah berkurang. Pagi itu juga
dokter Inggrit datang memeriksanya dan memintanya untuk beristirahat total di tempat tidur selama
beberapa hari. Karena sepertinya punggung Aibi sudah tidak kuat lagi untuk di paksa duduk terlalu
lama.
****
28
Menanti Bidadari
Sementara di lantai lima rumah sakit, seorang dokter muda masih tercenung memikirkan perihal
pertemuannya dengan gadis yang duduk di kursi roda yang bernama Aibi itu. Kenapa namanya bisa
sama dengan nama yang selama bertahun-tahun berusaha dia jaga di dalam hatinya dan akan di
jemputnya kembali begitu dia sudah di Jakarta
Dia teringat kejadian 16 tahun yang lalu ketika dia masih memakai seragam putih abu-abu. Dia
pernah menyukai seorang gadis cantik juniornya di sekolah, dan gadis itu adalah Aibi. Mereka
sempat jalan tiga bulan sebagai sepasang kekasih, cinta monyet ketika SMA. Dia yang memutuskan
Aibi, karena akhirnya dia masuk rohis sekolah dan ikut pengajian setiap minggunya walaupun
sebenarnya ketika itu dia masih sangat menyukai Aibi yang cantik dan baik.
Ketika dia akan menyelesaikan kuliah S.1nya di Jakarta dan ketika itu Aibi juga sudah kuliah. Dia
berniat ingin mengkhitbah Aibi, tapi karena Aibi jauh kuliah di Padang, maka di urungkannya
niatnya tersebut. Dan dia mendengar kabar dari beberapa teman yang seangkatan Aibi, kalau Aibi
sudah memakai jilbab lebar, membuatnya sedikit nyaman dengan keputusannnya menunda
khitbahnya karena dia yakin Aibi akan menjaga diri dan hatinya baik-baik.
Begitu dia selesai mengambil gelar dokternya di Jakarta, dia di terima menjadi dokter umum di
pedalaman Kalimantan. Selama tiga tahun dia disana dan tidak pernah lagi mendengar kabar
tentang Aibi, namun dia masih berharap agar Aibi belum menikah. Dia masih berharap Aibi masih
sendiri, sehingga kalau masa tugasnya yang di kontrak selama tiga tahun di pedalaman Kalimantan
berakhir, dia akan datang ke rumah Aibi. Tapi begitu dia sampai di Jakarta dia mendengar kabar
Aibi mendapatkaan besiswa ke Jepang dan melanjutkan S.2nya di negeri sakura. Lagi-lagi dia
mengurungkan kembali niatnya untuk mengkhitbah Aibi. Dengan harapan Aibi masih tetap belum
menikah ketika S.2nya di Jepang selesai. Sehingga dia masih punya kesempatan untuk menjadi
pendamping hidup Aibi.
Sampai akhirnya dia memutuskan ikut program beasiswa S.2 ke Jerman mengambil spesialis
jantung selama lima tahun. Dan ketika dia di Jerman seorang wanita keturunan Turki tergila-gila
kepadanya, dan mengajaknya untuk menikah. Tapi dia menolak ajakan itu, karena dia masih
berharap Aibi masih belum menikah. Dia hanya ingin menikah dengan gadis yang pernah di
cintainya di masa lalu, yaitu Aibi. Jika dia pulang ke Indonesia dan mendapati Aibi belum menikah,
maka dia akan mengkhitbah dan menikahi Aibi. Tapi begitu dia sampai di Indonesia ternyata Aibi
telah menikah, barulah dia akan mencari gadis lain untuk di nikahinya, dan tentu saja gadis
sholehah yang terpelajar seperti Aibi.
Semenjak tamat SMA dia tidak pernah lagi berjumpa Aibi, tapi dia banyak mendapatkan informasi
tentang Aibi dan dia tahu dari teman-teman Aibi, kalau Aibi telah menjadi seorang akhwat tangguh
yang sangat terjaga. Itulah informasi yang di dapatnya dari teman-teman Aibi. Kenapa mereka tidak
pernah memberitahukan tentang kondisi Aibi yang di lihatnya tiga hari yang lalu di lobi rumah sakit
ini? Apa mereka tidak ada yang tahu kondisi Aibi sekarang? Atau memang mereka
menyembunyikan semua ini darinya? Ah tidak mungkin. Dia yakin wanita yang duduk di kursi roda
yang di tolongnya tiga hari yang lalu bukan Aibi yang di kenalnya. Mungkin hanya namanya saja
yang sama. Bukankah begitu banyak yang bernama Aibi di Indonesia ini?
Di tepisnya semua pemikiran-pemikirannya tentang sosok Aibi yang di temuinya di rumah sakit tiga
hari yang lalu. Dia yakin Aibi yang di temuinya di lobi rumah sakit bukan Aibi yang di kenalnya.
Sejurus kemudian dia beranjak meninggalkan ruangannya yang nyaman dan melangkah mendekati
meja resepsionis yang ada di lantai dasar. Dia ingin mendapatkan alamat Aibi dari sana, karena
beberapa hari yang lalu dia juga berjumpa dengan dr. Aisyah Mama Aibi di rumah sakit ini. Pasti
mereka punya alamat dr. Aisyah. Karena kemaren dia datang ke kediaman Aibi yang di Jakarta
Pusat, ternyata rumahnya yang di sana sudah di jual delapan tahun yang lalu. Dan keluarga Rizaldi
yang baik itu pindah entah kemana. Tidak ada satupun tetangganya yang tahu.
Setelah mendatangi meja resepsionis dan mendapatkan alamat rumah dr. Aisyah. Ternyata dr Aisyah
adalah ahli bedah yang membantunya di rumah sakit telah pindah ke kawasan perumahan elit di
Jakarta Selatan.
****
Fahmi telah putuskan, hari ini dia akan datang berkunjung ke rumah Aibi. Setelah 16 tahun berlalu
dia akan datang kesana dan menjemput cintanya yang telah tertunda selama 16 tahun. Di dalam
hatinya yang terdalam, benih-benih cinta itu masih ada. Tapi jika cinta itu sudah tidak ada lagi,
maka dia akan melabuhkan kapalnya ke dermaga yang lain. Hari ini dia hanya ingin memastikan,
bahwa cintanya masih sendiri dan belum dipetik oleh orang lain. Hampir siang malam dia
memikirkan bagaimana cara mengungkapkannya kepada Aibi. Seperti yang terdapat di puisi yang di
tulisnya tiga tahun yang lalu, ketika dia masih di Jerman.
Pujaan Hatiku...
Seperti apakah rupamu hari ini?
Siang malam aku menanti hadirmu...
Tak jarang,
Wajahmu yang mulai kabur,
Kerap ku bawa dalam sujud-sujud panjangku...
Dalam kebeningan ruhani aku berharap,
Engkau senantiasa menjaga kesucian hatimu...
Seperti aku yang berusaha mempersembahkan yang terbaik untukmu, cinta..
Pujaan hatiku,
Gelegar tangis menghanyutkan berjuta melodi...
Lautan nafsu terkadang memalingkan hati...
Tapi duhai pujaan hatiku...
Aku masih ingin mempersembahkan yang terbaik untukmu
Mohon do’akan aku duhai pujaan hati,
Agar hati dan diri ini tetap suci ketika aku menjamahmu kelak
Pada sang kekasih sejati aku mengadu
Akan kelemahan hatimu dan hatiku
Agar di kokohkan ikatan hati kita
Sampai ketika bersua di depan penghulu
Menghalalkan hubungan kita...
Ah, tapi kapankah?
Karena engkau pujaan hatiku..
Terasa asing bagiku...
Bayangmu tidak mampu untuk ku tangkap
Biarlah...
Karena engkau akan menjadi anugrah terindah untukku...
Fahmi menghela nafas panjang setelah membaca puisi yang di tulisnya di atas kertas yang sudah
mulai lusuh karena terlalu lama terlipat di sela-sela buku agendanya. “Akankah, engkau masih
sendiri pujaan hatiku?”. Bisik Fahmi lirih di atas mobilnya yang sedang melaju di tol menuju
Jakarta Selatan. “Astaghfirullah hal’adzim... ampuni hamba ya Allah, begitu lancang hamba berfikir
tentang sesuatu yang belum menjadi milik hamba. Jaga hati ini ya Allah, sampai hamba benar-benar
menemukan tambatan jiwa hamba.
****
29
Penasaran Tingkat Tinggi
Mobil Yaris hitam itu terus melaju dengan kecepatan sedang, sayup-sayup terdengar lantunan
murothal dari tipe mobilnya. Tatapan mata Fahmi lurus ke depan. Dia mengendarai mobilnya
dengan tenang. Tapi begitu dia menyadari mobilnya semakin mendekati tempat tujuannya,
membuatnya semakin gugup dan bingung. Dia bingung bagaimana akan memulai dan akan
mengatakan apa kepada orang tua Aibi? Hari minggu ini, dia yakin orang tua Aibi akan ada di
rumah. Lalu, apa pula yang akan di katakannya kepada Aibi? Dia semakin gugup tatkala mobilnya
semakin mendekati rumah mewah itu. Tinggal hitunggan detik, maka mobilnya akan sampai di
sana. Apa tidak sebaiknya dia membatalkan saja? Tapi bukankah dia butuh kepastian agar bisa
mengambil keputusan? Tentang tambatan hati dan jiwanya. “Ya Allah, jika ini benar anugrah
dariMu ya Allah, maka hilangkan rasa gugup ini ya Allah. Hamba ingin memulai segalanya dengan
baik. Dengan mengharap ridhoMu ya Allah. Bismillahirrahmanirrahim. Mantapkan hati hamba ya
Allah”. Setelah berdo’a Fahmi menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah yang tertutup
rapat.
Sekali lagi dengan Bismillah... Fahmi turun dari mobilnya dan memperlihatkan kartu identitasnya
ke satpam yang menjaga di gerbang rumah Aibi. Setelah meneliti sesaat dan membaca pekerjaan
tamu yang datang seorang dokter, maka satpam pun tanpa ragu membukakan pintu gerbang.
Dengan hati mantap Fahmi kembali memarkirkan mobilnya ke pekarangan rumah. Fahmi telah
berdiri di depan rumah megah itu. Dengan sedikit canggung di tekannya bell yang ada di dinding.
Tidak berapa lama kemudian, dengan tergopoh-gopoh datang seorang ibu-ibu separuh baya
membukakan pintu. Ternyata itu adalah pembantu di rumah Aibi.
“Assalamu’alaikum, Buk, saya dr. Fahmi. Apa dr. Aisyah ada?” tanya Fahmi pelan. Dia sengaja
memperkenalkan dirinya dengan sebutan dr. Agar dia tidak canggung. Dengan demikian orang-
orang di rumah akan menyangka dia adalah tamu dr. Aisyah, mamanya Aibi.
“Wa’alaikum salam. Ada Mas, silahkan masuk. Ibu lagi di belakang”. Jawab pembantu ramah.
“Terima kasih Bu”. Jawab Fahmi sambil mengekor di belakang Bik Na
“Silahkan duduk Pak. Saya panggil Ibu dulu”. Sahut Bik Na kemudian begitu sampai di ruang
tamu.
Dengan tersenyum Fahmi menganggukkan kepalanya dan kemudian melangkah menuju sofa gading
yang ada di ruangan tamu. Tak lama setelah dia duduk datang seorang wanita separuh baya. Ia
memakai baju gamis hijau tua dengan jilbab hitam yang membingkai wajah tuanya. Ia menghampiri
Fahmi dengan senyum yang mengambang. Wajah penuh keramahan dan keibuan itu sangat
menyejukkan matanya. Dan tak lama setelah itu, menyusul laki-laki paruh baya yang gagah dengan
tubuh bugar yang masih mengenakan pakaian olahraga juga menghampirinya dan kemudian
mengulurkan tangan kepadanya. Ia jabat tangan Fahmi dengan erat seraya berucap “silahkan duduk
anak muda”. Gelegar suaranya bass, tapi sedap di dengar telinga.
“Ya, silahkan duduk nak Fahmi”. Timpal dr. Aisyah sembari mempersilahkan dengan gerakan
tangannya.” Pa, ini dr. Fahmi yang katanya dulu teman Aibi 16 tahun yang lalu. Kemaren Mama
ketemu dengannya di Rumah Sakit Suci Hati yang baru itu”. Sambung dr. Aisyah memperkenalkan
Fahmi kepada suaminya tercinta.
“Oh temannya Aibi. Papa kira temannya Mama, baru saja Papa mau tanya, sejak kapan mama suka
brondong?”. Kelakar Pak Rizaldi dengan tawa berderai di ruang tamu. Bu Aisyah yang di ledek
seperti itu mencubit pinggang suaminya yang duduk di sampingnya.
“Cinta Mama cukup satu saja, yaitu Papa. Wong satu aja nggak habis, toh”. Balas dr. Aisyah
“hahahahaha” semua yang ada di ruang tamu tertawa termasuk Fahmi. Pasangan yang luar biasa.
Setelah sedikit berbasa basi dan mencicipi hidangan yang di hidangkan, kemudian setelah bercerita
seputar kuliahnya di Jerman, sampailah Fahmi pada inti dari maksud kedatangannya.
“Om... Tante... Sebelumnya saya minta maaf karena telah mengganggu hari liburnya Om dan Tante.
Sebenarnya saya datang kesini ingin ketemu dengan Aibi Om, tante. Apakah Om dan tante
mengizinkan?” dengan sangat hati-hati Fahmi menyampaikan. Sebagai seorang laki-laki sejati Pak
Rizaldi mengerti dengan kegugupan Fahmi, walau tidak jelas. Dengan bijak dia menjawab
perkataan Fahmi.
“Why not anak muda? Asalkan bertemunya di sini, di rumah ini dan tidak melakukan apa-apa
kenapa tidak boleh? Toh kamukan temannya Aibi”. Jawab Pak Rizaldi dengan bijak sembari
tersenyum, dan kemudian menatap ke istrinya dengan tatapan penuh cinta. “Yang, panggil Aibi
kesini ya”. Katanya kemudian kepada istrinya
“Baik cintaku”. Jawab dr. Aisyah yang kemudian beranjak dari sana.
****
Sementara di taman belakang Aibi dan Rahmi sedang menyirami kebun mawarnya yang sedang
bermekaran. Sinar matahari pagi sangat bagus untuk perkembangan tulang. Semenjak pasca
kecelakaan, Aibi tidak bisa lagi berolahraga dengan baik, maka dengan berjemur di pagi hari inilah
yang dia lakukan untuk mendapatkan kesegaran tubuh. Melihat anak gadisnya yang sedang tertawa
bersama Rahmi, menyejukkan hatinya. Dia tidak menyangka akhirnya putri tunggalnya itu kembali
ceria seperti dulu dan tetap penuh semangat menatap masa depannya. Bahkan saat ini anak gadisnya
itu telah menjelma menjadi seorang penulis dan motivator ulung
Hm, dia tetap bangga dengan anak gadisnya itu walau dia sudah tidak bisa apa-apa lagi kecuali
duduk manis di atas kursi rodanya sembari menggerakkan dua tangannya dan berbicara di depan.
Selebihnya, dari pinggang sampai ke kaki sudah tidak berfungsi lagi. Seratus persen tidak berfungsi
sama sekali. Bahkan hasil diagnosis terakhir Inggrit temannya menyatakan bahwa syaraf tulang
belakang antara thoracic (tengah) section dan lumbar (bawah) section benar-benar telah rusak.
Bahkan untuk beberapa tahun kedepan Aibi tidak akan bisa lagi duduk dengan baik di kursi
rodanya. Karena setiap dia duduk, akan menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat di
pinggangnya. Jika selama ini Aibi merasakan sakit seperti di tusuk seribu jarum, mungkin untuk
selanjutnya Aibi akan merasakan sakit di punggungnya seperti di dipukul palu besi yang besar.
“Kasihan kamu sayang”. Bisik Bu Aisyah kemudian
Dengan langkah cepat di hampirinya Aibi yang sedang asyik berjemur sambil menyiram bunga
mawar dengan merebut slang air yang ada di tangan Rahmi.
“Pagi sayang. Mama perhatikan sepertinya asyik sekali. Padahal sudah pada dewasa, masa masih
main rebut-rebutan?”. Ujar Bu Aisyah sesampai di dekat Aibi.
“Pagi Mama”. Jawab Aibi sembari mengembangkan tangannya ingin memeluk mamanya. Bu
Aisyah pun langsung merangkul tubuh ringkih anaknya yang mengkerut di kursi rodanya.
“Apa sudah pada mandi anak-anak gadis Mama?” tanya bu Aisya lagi sembari memeluk Rahmi
juga.
“Mbak Aibi udah Ma. Tapi Ami belum”. Kali ini yang menjawab Rahmi.
“Wah kebetulan sekali. Untung Aibi sudah mandi, ada tamu sayang. Katanya ingin ketemu dengan
Raisyah Aibi Rizaldi. Bagaimana menurutmu, cantik?”
“Kalau menurut Mama bagaimana? Apa Aibi harus menemuinya?”
“Kok nanya balik mama, sayang?”
“Aibi mau minta pendapat aja kok Ma”.
“Hmmm, karena dia temanmu, maka sebaiknya di temui. Kasihan dia udah datang berkunjung dan
kamu ada di rumah. Masa nggak ketemu sama dia. Mari Mama antar ke ruang tamu. Tapi sebelum
itu ke kamar dulu ganti baju karena kamu bau matahari. Biar Mama bantu, ya sayang”.
“Aduh, kalau gitu biar Rahmi aja Ma. Masa Mama yang gantiin baju Aibi. Aibi segan. Ma.
Seharusnya Aibi yang bantu Mama, bukan Mama yang bantu Aibi”.
“Sudah, sekarang mumpung Mama lagi ada waktu, jadi biar Mama yang bantu, ya? Sekali-kali
Mama menggantikan peran Rahmi, nggak apa-apakan nak? Rahmi nanti akan menemanimu di
ruang tamu karena sebentar lagi Mama dan Papa juga mau pergi. Ada kolega Papa yang merayakan
ulang tahun pernikahannya hari ini. Jadi biar cepat, biar Mama yang bantu Aibi sekarang. Oke
honey?” Kata Bu Aisyah sambil langsung mendorong kursi roda Aibi menuju rumah.
“Ok Mam. Thank you mama. I love you”.
“I Love you too honey”.
****
Setelah selesai mengganti baju dan memakai kaus kaki, Aibi diantar ke ruang tamu. Begitu sampai
di sana, Fahmi sangat terkejut sekali melihat gadis yang ada di atas kursi roda yang di dorong dr.
Aisyah. Itu adalah gadis yang sama yang di temuinya di rumah sakit beberapa hari yang lalu.
Hatinya bergetar, jiwanya miris, dan tulangnya lunglai. Sanggupkan dia menjadi pendamping hidup
wanita itu? Tiba-tiba matanya terasa panas. Dia tidak ingin menangis, dia tidak ingin Aibi merasa
tersinggung. Dia takut nanti Aibi salah mengartikan air matanya. Dalam hati dia merintih.”Oh Aibi,
apa yang menimpamu, sehingga engkau hari ini berada di atas kursi roda?” Terbayang olehnya Aibi
yang berusaha menjangkau dompetnya yang jatuh di lantai rumah sakit, padahal jarak antara lantai
dan duduknya tidak terlalu jauh, tapi dia tidak bisa meraihnya. Oh, betapa hatinya luruh ke bumi
melihat wanita yang selama ini di kaguminya kini telah tidak berdaya lagi?
Jiwa pengecutnya timbul, tiba-tiba saja dia ingin lari dari hadapan Aibi. Dia tidak sanggup lagi
melihat Aibi. Dia ingin menangis sejadi-jadinya, menangisi nasibnya. Penantiannya selama
bertahun-tahun akan sia-sia ternyata. ”Begitu kejam hidup untukmu Dik. Kenapa harus Aibi yang
menaggung segala derita itu? bukankah Aibi begitu baik selama ini? Dia tahu Aibi sangat
penyayang dan baik kepada siapapun”.
Bayangan Aibi 16 tahun yang lalu yang lincah dan aktif di klub biologi hari ini tidak di temukannya
lagi. Bayangan itu kini begitu suram di mata Fahmi. Tapi demi melihat senyum yang mengambang
di bibir Aibi di telannya semua kekecewaan dan kesedihannya. Jika Aibi saja yang menanggung
semuanya masih sanggup untuk tersenyum kepadanya, lalu apa haknya untuk tidak menerima
semua yang terjadi pada diri Aibi? Bukankah dia tidak punya hak apa-apa terhadap Aibi?
Begitu kursi roda itu benar-benar berhenti, Pak Rizaldi berdiri dari duduknya dan mendekati Aibi
dengan mengembangkankan tangannya. Pak Rizaldi kemudian memeluk lembut Aibi dan mengecup
pipi dan kening anak gadisnya itu dengan penuh sayang.
“Kok lama sekali, udah kelamaan tu, tamunya menunggu”. Ujar pak Rizaldi membelai lembut
kepala Aibi.
“Aibi tadi di belakang Pa”. Jawab Aibi singkat.
“Kamu mau duduk dimana sayang? Di kursi roda saja? atau di sofa?”
“Tolong di letakkan di sofa saja, Pa. Biar Aibi bisa berselonjor dengan nyaman”. Yang menjawab
bukan Aibi tapi Bu Aisyah Mamanya.
“Dimana baiknya saja, Pa”. Jawab Aibi dengan tersenyum.
“Tunggu sebentar, Mama mengambil selimut dulu untuk menutupi kaki Aibi”. Kemudian Bu Aisyah
berlalu dari sana. Sedangkan Pak Rizaldi telah menggendong Aibi di pelukannya dan kemudian
meletakkan dengan hati-hati di sofa panjang agar Aibi nyaman.
“Ma kasih ya Pa”. Ujar Aibi begitu duduk di sofa sembari berusaha menarik roknya yang sedikit
agak terangkat ke atas. Tak lama setelah itu Ibu Aisya datang dengan selimut biru di tangannya dan
kemudian menutupkannya ke kaki Aibi. “Makasih ya Ma”. Lagi Aibi mengucapkan terima kasih ke
orang tuanya.
Melihat semua adegan itu, telah membuat hatinya miris. Betapa dia tidak kuat melihat semua
adegan ini. Dia terlalu rapuh untuk melihatnya. Tapi dia tidak ingin menangis. Dia tidak ingin
menangis, karena dia melihat Aibi sendiri sangat tegar menghadapi semua ini.
****
30 Inilah Aku
Setelah Aibi merasa duduknya nyaman dan enakan, baru dia memalingkan wajahnya ke laki-laki
yang dari tadi telah menyaksikan drama pengangkatan tubuhnya dari kursi roda ke sofa yang ada di
ruang tamu. Dia baru sadar, ternyata laki-laki itu adalah dokter yang tempo hari membantunya
mengambilkan dompetnya yang jatuh di rumah sakit.
“Terima kasih dokter telah membantu saya kemaren mengambilkan dompet saya yang terjatuh”.
Kata Aibi kemudian.
“Aibi, apa kamu benar-benar tidak mengenaliku?” tanya Fahmi kemudian dengan suara sedikit
bergetar.
“Sebenarnya saya merasa pernah berjumpa dengan anda, tapi maaf, saya lupa dimana. Apakah anda
mau membantu saya mengingatnya?” Jawab Aibi jujur. Wajah itu begitu familiar, tapi dimana ia
bertemu dengan laki-laki ini sebelum di rumah sakit tempo hari?
“Saya Fahmi Aibi, 2 IPA 1 SMA Tunas Bangsa. Apa kamu ingat?” Kata Fahmi sedikit canggung.
“Masya Allah. Kak Fahmi?..! Saya tadi sudah menduga kesana, hanya saja saya tidak yakin”. Jawab
Aibi dengan sedikit memalingkan mukanya ke samping. Dia tidak ingin menatap laki-laki itu. Dia
malu, karena laki-laki itu telah melihat segala ketidak berdayaannya. Dia malu, karena laki-laki itu
telah menyaksikan kelemahannya.
Seiring dengan semua itu, Rahmi keluar dari kamar dan menghampiri Aibi dan kemudian duduk di
samping kaki Aibi. Beberapa detik kemudian orang tuanya keluar bersiap untuk pergi dan pamit
kepada mereka semua. Dan si Bibi yang tadi di suruh menemani Aibi bersama Fahmi di ruang tamu
kembali lagi ke dapur menyelesaikan pekerjaannya.
“Apa yang terjadi dengan dirimu dik? Kabar terakhir yang saya dapatkan tentang dirimu, kuliah S.2
ke Jepang. Lalu kenapa bisa seperti ini? Maaf aku benar-benar tidak tahu apa yang menimpamu,
Aibi”. Fahmi memulai lagi pembicaraannya.
Sebelum Aibi menjawab dia menegadahkan kepalanya ke atas, seraya berusaha untuk tersenyum.
Dia tidak ingin terbawa suasana. Dia sudah terbiasa mendapatkan pertanyaan seperti itu dari teman-
temannya setahun belakang ini.
“Saya mengalami kecelakan sehari menjelang wisuda S.1 di Padang. Dan akhirnya seperti ini.
Beasiswa ke Jepang itu, gagal karena saya mengalami koma dua tahun pasca kecelakaan. Dan
sekarang saya seperti yang Kakak lihat”. Jelas Aibi singkat.
Fahmi sudah kehilangan kata-kata. Mulutnya kelu, hatinya hampa. Dia ingin berlalu dari sana
secepatnya. Dari awal melihat Aibi tadi dia sudah tidak sanggup sebenarnya untuk berbicara lagi
dengan Aibi. Lama suasana sunyi mencekam, yang terdengar hanya tarikan nafas berat. Aibi larut
dengan perasaannya, dan Fahmi juga hanyut dengan pemikirannya. Lama seperti itu, akhirnya
Fahmi angkat bicara lagi.
“Maaf Aibi, sebentar lagi dzuhur, aku pamit pulang dulu. InsyaAllah kapan-kapan saya akan datang
lagi. Maaf jika kedatangan saya mengganggumu. Assalamu’alaikum”.
“Terima kasih telah mau berkunjung. Mohon di maklumi jika melihat sesuatu yang sangat tidak
pantas untuk di lihat, Kak. Maaf saya tidak bisa mengantar keluar, biar Rahmi saja yang mengantar
Kakak ke depan. Wa’alakumussalam”. Jawab Aibi sembari menyuruh Rahmi untuk mengantar
Fahmi ke depan.
Fahmi sudah tidak sanggup lagi menahan air matanya. Begitu dia keluar dari rumah itu air matanya
telah luruh ke bumi. Hatinya terlanjur hancur dan sedih menyaksikan semua itu. Bertahun-tahun dia
merindukan pertemuannya dengan Aibi, tapi ketika bertemu kenapa kondisi Aibi begitu amat
menyedihkan sekali? Dia ingat lagi puisi yang di tulisnya tiga tahun yang lalu, sepertinya dia tidak
sanggup menjadi pendamping hidup Aibi yang begitu tegar dan sabar menerima semua cobaan yang
di hadapinya.
Jika hal itu terjadi pada dirinya, mungkin dia tidak akan sanggup menjalani kehidupan ini. Mati
jauh lebih baik baginya. Apalah arti hidup ini, jika untuk mengatur diri sendiri saja kita sudah tidak
bisa? Tapi Aibi, sungguh luar biasa. Senyum itu tidak pernah hilang di bibirnya. Dia tetap saja
seperti Aibi yang dulu, yang lembut, bersahaja, dan sederhana dan sangat terjaga. Dia malu pada
dirinya yang dengan lancang telah menjelajahi setiap jengkal dari tubuh Aibi yang mengkerut di
atas sofa tadi.
Sepanjang perjalanan Fahmi tidak berhenti menangis. Tidak menyangka Aibi yang dulu yang sangat
di kaguminya kini sudah tidak berdaya lagi. Telah habis kata-katanya di hadapan Aibi. Dan dia tidak
sanggup lagi rasanya bertemu dengan Aibi
****
Sementara di ruang tamu Aibi menangis dengan sesenggukan. Kenapa harus ada laki-laki melihat
semua ketidak berdayaannya? Dia malu, malu sekali. Kenapa harus ada Fahmi yang datang ke
rumahnya hari ini? Sehingga menyaksikan semuanya tanpa berkedip. Bahkan dia juga melihat dua
tungkai kakinya yang sudah mengecil karena mengalami kelumpuhan ini, walau ia hanya
menyaksikan di balik kain penutupnya. Aibi merasa malu sekali seakan tatapan Fahmi kepadanya
tadi seperti menelanjangi
“Mi, tolong antar Mbak ke kamar Mi”. Pinta Aibi dengan suara lembut kepada Rahmi yang sedari
tadi duduk tidak jauh darinya.
Tanpa banyak bicara, dengan hati-hati Rahmi memindahkan Aibi ke kursi rodanya dan
membawanya ke kamar.
****
31. Tentang Aibi
Berhari-hari kemudia Fahmi masih memikirkan Aibi. Rasa kagumnya ke Aibi tidak pernah berubah,
hanya saja sekarang rasa kagum itu telah bercampur dengan rasa kasihan menyaksikan bagaimana
kondisi Aibi sekarang. Dia tidak bisa tidur memikirkannya. Janjinya ketika masih di Jerman
kembali terngiang di telinganya. Akan mengkhitbah Aibi jika Aibi belum menikah. Dan hari ini
Aibi belum menikah. Berarti dia harus menunaikan semua itu. Tapi dia bimbang, bagaimana
caranya ini? Ya Allah beri hamba petunjuk Ya Allah...
Setiap kali Fahmi melihat pasien yang di dorong di atas kursi roda di rumah sakit, yang terbayang
olehnya adalah Aibi. Betapa dia merasakan penderitaan Aibi yang telah mengalami kelumpuhan
selama belasan tahun. Selama belasan tahun lamanya dia tidak bisa melakukan apapun sendiri,
selalu di bantu oleh orang-orang sekitarnya.
Bagaimanalah rasanya hidup seperti itu? Mungkin tidak enak? Atau mungkin juga sangat menyiksa
barang kali? Tapi dia tidak melihat penderitaan itu di mata Aibi. Dia menyaksikan mata yang tegar
di sana, bahkan dia mampu memainkan perannya dengan baik selama beberapa tahun belakangan
ini. Menjadi seorang motivator bagi penyandang cacat yang lain dan menjadi penulis buku motivasi
bagi jutaan masyarakat Indonesia yang telah kehilangan mimpi dan tempat bermanja puluhan anak-
anak jalanan di rumah-rumah singgah yang di dirikannya. Dia tetap gadis yang aktif, walau
mungkin tidak seaktif dulu. Tapi semua itu adalah hal luar biasa yang di lakukan oleh seorang
penyandang cacat seperti Aibi. Semua informasi itu di dapatkan langsung oleh Fahmi dari Rahmi
“Bahkan Mbak Aibi tetap saja bagaikan malaikat bagi siapapun Mas. Dia selalu ada bagi siapapun
yang membutuhkannya. Hanya dengan melihat wajahnya rasanya mampu mengusir segala
kegundahan di hati mereka. Dia contoh sekaligus inspirasi bagi kami, Mas. Dulu saya ingat sebelum
saya berjumpa dengan Mbak Aibi, saya adalah seorang yang pesimis dan mudah berputus asa. Tapi
begitu saya melihat Mbak Aibi pertama kali di ruangan ICU yang masih di lilit berbagai kabel-kabel
peralatan medis yang menjadi penyambung hidupnya ketika masih koma di rumah sakit, melihat
wajahnya ada sesuatu yang berbeda dengan Mbak Aibi. Wajah itu tenang seperti orang yang sedang
tertidur lelap. Semenjak itu saya bertekad akan menjaga Mbak Aibi baik-baik.
“Bahkan terkadang bukan giliran saya yang menjaga Mbak Aibi, tapi saya selalu datang setiap hari
menjenguknya dan berdiri di samping tempat tidurnya selama beberapa menit, karena wajahnya
yang teduh mendatangkan kerinduan.
“Beberapa bulan setelah saya ada di rumah sakit tersebut Mbak Aibi sadar dari koma yang telah di
hadapinya selama dua tahun. Ketika itu saya bahagia sekali Mas, karena saya adalah orang pertama
yang menyaksikannya. Dan ketika Mbak Aibi mengalami tekanan yang begitu hebat dalam
hidupnya, ketika dia mengetahui dirinya yang lumpuh permanen dan tidak bisa apa-apa, dengan
setia saya mendampingi Mbak Aibi. Bahkan terkadang dia pernah mencaci saya ketika itu, tapi saya
mengerti itu semua karena Mbak Aibi sedang emosi dan belum bisa menerima dirinya yang baru,
yang sangat berbeda dengan dirinya yang dulu. Bahkan hari ini saya tidak mau meninggalkan Mbak
Aibi, saya rela menghabiskan waktu saya bersama Mbak Aibi. Mas tahu kenapa?
“Karena bagiku bercanda dengan Mbak Aibi membuatku mampu untuk tertawa lepas dan
membawaku ke alam yang berbeda. Menangis dengan sentuhan rasanya, menjadi titik tenang dalam
setiap kesulitanku. Dan memperlihatkan kedamaian suci dalam hidupku. Berfikir dengan
paradigmanya, membuatku faham dengan kehidupan ini se utuhnya, bahkan secara detail. Dia
seperti lirik lagu G. Scorpion dalam hidupku, “and I without you, seem like a lost dream... Love, I
can’t to tell you how I feel”. Begitulah Mbak Aibi Mas. Tidak hanya bagiku mungkin, tapi juga bagi
ribuan orang yang pernah mengenalnya. Dia mutiara yang selalu bersinar, sekalipun di dalam
lumpur penderitaan. Dia tetap mutiara yang sangat berarti. Dia tidak pernah mengeluh dengan
kondisinya Mas. Dan satu hal, dia selalu mengatakan terima kasih kepada setiap orang yang telah
membantunya dalam banyak hal. Hm... beliau pribadi yang luar biasa Mas. Setidaknya itulah yang
saya tahu tentang Mbak Aibi”. Ungkap Rahmi kepada Fahmi yang secara tidak sengaja bertemu
dengannya di toko buku.
Hatinya maju mundur untuk datang mengkhitbah Aibi. Dia ingin menjadi pendamping Aibi, tapi di
lain sisi dia merasa tidak layak. Dia takut nanti dia akan menyakiti Aibi karena tidak mampu
membahagiakannya. Sedang saat ini Aibi mungkin telah bahagia dengan kondisinya. Oh Tuhan,
tolong beri dia kekuatan untuk menghadapi semua ini.
****
Siang yang panas di kota Jakarta penduduknya padat dan penuh dengan limbah industri. Pohon
pelindung semakin sulit di temui di sepanjang perjalanan, semuanya telah habis di aspal untuk
melebarkan jalan-jalan tapi tetap saja macet menghantui di mana-mana.
Mobil Yaris hitam mengkilat itu melaju di jalan Tol menuju Bogor. Dia ada pertemuan hari ini,
sekaligus ingin mengutarakan kegundahan hatinya kepada sang guru yang telah menjadi pembina
spiritualnya selama ini. Dia butuh teman untuk berbagi dalam menyelesaikan apa yang dirasanya
saat ini. Dia sudah tidak kuat lagi, karena semuanya menuntutnya untuk lebih sportif.
Pemandangan tetap saja sama dengan sebelumnya, jalanan di penuhi oleh para pengamen cilik dan
para pengemis cilik. Dia teringat cerita Rahmi beberapa hari yang lalu tentang kegiatan Aibi. Aibi
merupakan tempat bermanja puluhan anak-anak jalanan yang mereka tampung di rumah-rumah
singgah yang mereka dirikan.
Fahmi tersenyum, terbayang olehnya apa yang di lakukan Aibi kepada anak-anak itu. Mungkin Aibi
mengajarkan mereka belajar? Mungkin Aibi mengajarkan mereka mengaji, sholat? Bahkan
mungkin Aibi juga membacakan dongeng untuk mereka? Dia ingat masa 16 tahun yang lalu saat dia
masih berseragam pitih abu-abu, pulang bareng pertama dan terakhir mereka ketika itu. Dia
mengajak Aibi pulang naik bus kota. Di dalam bus ternyata banyak anak-anak yang mengamen dan
meminta-minta. Jadilah semua uang Aibi habis di berikannya kepada mereka. Setiap yang datang
meminta ke Aibi, akan di kasihnya lembaran lima ribuan, dan terus seperti itu dan tanpa di
sadarinya ternyata uangnya telah habis disakunya
Lagi-lagi Fahmi tersenyum mengingat kebersamaannya yang singkat dengan Aibi ketika SMA.
Semenjak itulah dia melihat Aibi berbeda dengan yang lainnya. Benar apa yang di katakan Rahmi.
Aibi adalah Inspirasi banyak orang. Pribadi yang unggul, dan keunggulan-keunggulan itu telah
dimiliki Aibi jauh sebelum dia seperti ini.
****
32. Istikharah Cinta
Akhirnya mobil Yaris Hitam yang di kemudikan Fahmi menepi dan kemudian memasuki sebuah
pekarangan rumah sederhana, namun terkesan asri. Cat rumah itu berwarna putih. Di teras terlihat
dua bocah sedang bermain. Itu pasti jundi-jundi kecil Mas Yono seniornya di kampus. Dengan
langkah pasti dia mendekati dua bocah yang sedang asyik bermain itu. Sedang disebelah tangannya
yang lain menenteng beberapa kue untuk mereka.
“Assalamu’alaikum”. Sapanya ramah kepada mereka berdua.
“Walaikum salam Om, Om mau mencari siapa, Om?”. Tanya salah satu diantara mereka. Sepertinya
dia yang tertua diantara keduanya. Mendengar pertanyaan itu, membuat Fahmi tersenyum lebar.
“Om mau ketemu Abynya. Ada?”
Mendengar ada yang berbicara di luar, buru-buru Yono keluar dari dalam rumahnya. Karena
memang Fahmi telah menghubunginya kemaren, bahwa dia akan datang berkunjung hari ini. Ada
beberapa hal yang mau dibicarakannya.
“Assalamu’alaikum Akh. Fahmi. Kaifa haluk ente? Wah semakin perlente ternyata ente semenjak
pulang dari Jerman”. Ucap Yono dari ambang pintu.
Mendengar sapaan penuh energi seperti itu, membuat Fahmi tertawa lebar.
“hahahaha... Mas bisa aja. Wa’alaikumussalam Mas. Alhamdulillah ane baik Mas. Sudah berapa
orang jundinya Mas?” timpal Fahmi sembari memeluk seniornya itu.
“Alhamdulillah baru empat, Akh. Ente sendiri kapan nyusul ini? Sudah berkepala tiga. Ingat Akh,
menikah itu sebagian dari ibadah. Menyempurnakan agama. Wajib bagi umat muhammad”.
“Mohon do’anya supaya cepat Mas”.
Sejurus kemudian mereka telah hanyut dalam perbincangan hangat dan panjang. Sekali-kali
berderai tawa diantara keduanya. Terkadang ada tepukan-tepukan ringan di pundak salah satunya.
Sampai kemudian telah terhidang minuman dan makanan ringan untuk menemani perbincangan
hangat mereka.
Dari perbincangan ringan yang penuh tawa, mereka bernostalgia dengan masa lalu mereka. Sampai
kepada pengalaman mereka selama beberapa tahun lalu. Kemudian beranjak kepada kehidupan
sosial politik yang semakin carut marut dan bermuara kepada proses pembinaan yang mereka jalani
yang menurut mereka adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi kondisi Indonesia yang kisruh,
akibat banyak dari masyarakat Indonesia yang menderita penyakit ruhani, mulai dari masyarakat
lapisan bawah sampai pada lapisan elit. Dan pembicaraan mereka sampai kepada permasalahan
yang mulai berat dan meruncing.
“Kemaren ente menghubungi ane, katanya ada yang mau ente bicarakan dengan ane. Apa yang bisa
ane bantu untuk ente, Fahmi?” tanya Yono kemudian setelah puas berbicara banyak hal.
Mendengar pertanyaan pembuka dari Yono, membuat Fahmi terdiam sesaat. Dia bingung harus
memulai dari mana. Di bukanya kaca mata minus yang tertengger di hidungnya yang mancung, dan
di usapnya mukanya. Kemudian di perbaikinya duduknya. Melihat apa yang dilakukan Fahmi,
membuat Yono faham, apa yang ingin di sampaikan Fahmi pasti sangat penting sekali. Tapi masalah
apa kira-kira? Dia hafal betul dengan gaya Fahmi yang seperti ini. Di letakkannya tangannya di
pundak Fahmi dan kemudian di tepuknya pelan.
“Apa yang mengganjal hatimu, Akh? Ceritakanlah, mana tahu Allah akan mencarikan jalan keluar
yang baik untuk permasalahan yang ente hadapi”. Katanya kemudian memberikan penguatan
kepada Fahmi.
“Hmm.... Ini masalah hati Mas. Masih sama dengan masalah lima tahun yang lalu sebelum ane
berangkat ke Jerman. Ane tidak tahu kenapa setelah bertahun-tahun, ane masih saja suka kepadanya
Mas. Ane tidak bisa berpindah ke lain arah. Ya, bahkan kemaren ane sudah berkunjung ke
rumahnya. Hanya sekedar bersilaturrahim untuk memastikan bahwa dia belum menikah. Dan
ternyata dia belum menikah Mas”. Jawab Fahmi dengan kepala tengadah.
Mendengar semua itu, membuat Yono sedikit terkejut. Dia tidak menyangka begitu kuat rasa yang
dimiliki Fahmi untuk Aibi. Bahkan sampai tidak mau berpindah arah.
“Akh, ente tahu cara ente salah? Jika memang ente menginginkan dia menjadi istri ente, kenapa
ente tidak datang secara baik-baik dan memintanya untuk menjadi istri ente? Supaya jelas
semuanya. Jangan terlalu lama mengotori hati akhi. Ane takut, nanti hati ente jadi berpenyakit”.
“Ane tahu Mas. Ane tahu ane salah. Tidak pantas bagi seorang yang tarbiyah melakukan semua ini.
Seharusnya ane lebih berhusnuzdon kepada Allah mengenai jodoh ini. Seharusnya ane
menyerahkan semuanya seutuhnya kepada Allah. Tapi...”
“Tapi apa? Ente tidak bisa? Akh, tadi ente mengatakan ente telah datang ke rumahnya dan ente tahu
dia belum menikah. Lalu apa lagi yang ente tunggu? Jika ente tidak berani mengkhitbahnya. Biar
nanti ane sama istri ane yang akan menyampaikannya kepada Aibi. Ane akan datang ke rumahnya
bersama istri ane”.
“Bukan itu masalahnya Mas. Tapi.....”
“Tapi Apa? Coba antum perjelas biar ane faham”.
“Dia mengalami kecelakan 11 tahun yang lalu Mas. Dan dia mengalami cidera syaraf tulang
belakang... “ suara Fahmi tercekat. Dia tidak sanggup meneruskan kata-katanya.
“Innalilllah... Sabar akhi”. Ungkap Yono terkejut. Kemudian menepuk pundak Fahmi. Dia melihat
ada gurat kesedihan di matanya. “Lalu bagaimana kondisinya sekarang?” lanjut Yono Hati-hati
Fahmi tidak menjawab. Tapi kali ini ia menekurkan kepalanya ke lantai. Sedang matanya telah
penuh dengan air bening. Dia tidak sanggup memberitahukan hal ini kepada Yono. Dia ingin
melupakan kondisi Aibi, tapi sungguh dia tidak bisa.
“Dia lumpuh Mas. Dia sudah tidak bisa apa-apa. Saat ini dia hanya bisa duduk di atas kursi
rodanya. Dia akan menghabiskan sisa hidupnya di atas kursi roda Mas. Itu yang membuat saya
sedih Mas. Kalau dia menikah dengan orang lain, hal itu tidak akan membuat ane sedih Mas.
Karena memang itu jodohnya. Tapi melihatnya duduk di kursi roda dengan tubuh yang mengkerut,
membuat hati saya hancur Mas. Bahkan membuat saya tidak sanggup lagi muncul di hadapannya.
Saya telah melihat segalanya, bagaimana dia tidak bisa melakukan apapun tanpa di bantu. Hati saya
meleleh Mas”. Ungkap Fahmi dengan berurai air mata. Saat ini dia hanya ingin menangis dan
menangis mengenang Aibi.
Mendengar semua penuturan Fahmi, membuat Yono kehilangan kata-kata. Dia terus menepuk-
nepuk pundak Fahmi.
“Hmmm ... Fahmi, dengarkan ane ngomong. Apa ente masih mau menikahinya?”. Pertanyaan Yono
membuat air mata Fahmi semakin deras mengalir. Dia tidak tahu harus menjawab apa.
“Entahlah Mas. Tiba-tiba saya menjadi pengecut seperti ini. Untuk berjumpa dengannya saja saya
sudah tidak sanggup....”.
“Ane bertanya, apa ente masih mau menikahinya? Jawab pertanyaan ane, Akh”.
“Saya ragu Mas”.
“Apa yang membuat ente ragu? Kondisinya yang cacat? Atau karena ente telah melihat semua
kelemahannya?”.
“Saya tidak tau apa yang membuat saya ragu, Mas. Satu hal, saya takut menambah penderitaannya.
Saya tidak sanggup melihatnya Mas”.
“Fahmi, ente tahu, kenapa ente bisa melihat semua kelemahannya ketika ente berkunjung ke
rumahnya? Padahal ente sebenarnya tidak berhak untuk melihat dan menikmati segalanya. Barang
kali, mungkin Allah ingin ente menjadi penguat dalam hidup Aibi. Ane sarankan, ente istikhoroh
dan seminggu lagi ente datang kesini untuk memberikan jawaban yang pasti. Menikah itu
perpaduan dua hal yang serba kekurangan dan serba kelebihan. Dan semua itu akan saling
melengkapi dalam ikatan rumah tangga. Sekarang ente pulanglah. Dan bawalah permasalahan ini
ketika ente istikhoroh. Jangan ente semakin mengotori hati ente dengan terus memikirkan Aibi”.
“Baik Mas. Ane akan coba membawanya dalam istikhoroh ane. Mohon do’anya Mas, agar Allah
memberikan solusi terbaik untuk permasalahan ane ini”.
“Insya Allah... Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuk hambanya. Hilangkan rasa kasihan
ente padanya, dan berfikir rasional, biar ente bisa mengambil keputusan yang bijak”.
****
33. Inspirasi Dari Film India
Hidup ini terlalu bermakna untuk di lewati begitu saja. Seperti apapun kondisinya, hidup adalah
sesuatu yang mesti di syukuri, karena hidup merupakan kesempatan untuk mempersembahkan yang
terbaik kepada siapapun yang pernah di temui. Terutama mempersembahkan yang terbaik kepada
sang pemilik kehidupan ini.
Dia teringat dialog film India dengan judul ‘Guzaarish’ yang di perankan oleh Hritik Roshan
seorang penyandang cacat akibat mengalami cidera akut di sum-sum tulang belakangnya, sehingga
dia tidak bisa berbuat apa-apa. Semua anggota tubuhnya tidak bisa di gerakkan. Dia mengalami
kelumpuhan total sekujur tubuhnya. Yang masih berfungsi hanya mulutnya dan otaknya saja.
selebihnya telah lumpuh. Bahkan ketika dia tidur dan ternyata hari hujan dan loteng kamarnya
ternyata bocor, dia tidak dapat menghindarinya. Sehingga dia kehujanan sampai pagi menjelang.
Di dalam film tersebut akhirnya Hritik mengalami keputusasaan karena selama 14 tahun menderita
cacat seperti itu dan tidak bisa melakukan apa-apa bahkan ketika hidungnya sendiri gatal, dia tidak
bisa menggaruknya sendiri, tapi di bantu oleh Sofia perawat yang telah merawatnya selama 12
tahun. Dan memutuskan untuk melakukan euthanasia, dan dia pun mengurus perizinannya kepada
pengadilan tinggi India. Tapi ketika dia akan berangkat ke pengadilan, dia kedatangan tamu seorang
pastor dan si pastor mengatakan hidup adalah karunia Tuhan dan kita tidak bisa bermain-main
dengannya. Karena Tuhan menyuruh kita untuk berjuang dalam hidup ini. Bukan malah menyerah
kemudian melakukan bunuh diri seperti euthanasia yang sedang diperjuangkannya ke pengadilan
tinggi.
Menonton film tersebut, membuat Aibi semakin bersemangat. Dia telah terinspirasi dari sosok
Ethan Mancharenhas yang diperankan oleh Hritik Roshan, yang akhirnya mampu mendapatkan
tempat di hati masyarakat Goa, India. Aksi euthanasia yang sedang diusahakannya di tentang oleh
seluruh masyarakat Goa, hanya dua orang saja yang menyetujuinya. Mantan kekasih dan juga
teman dekatnya yang berperan sebagai pengacaranya untuk memperjuangkan euthanasia tersebut.
Dia tidak ingin menyia-nyiakan kehidupan yang di berikan Allah padanya. Pasti ada hikmah di
balik semua yang di hadapinya selama ini, minimal untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang
berada di sekelilingnya. Dia semakin bersemangat melakukan pembinaan ke berbagai panti
rehabilitasi penyandang cacat yang ada di Jakarta. Dia semakin bersemangat menyediakan waktu
untuk memberikan perlindungan kepada para anak-anak jalanan dengan mendirikan rumah-rumah
singgah untuk mereka di bawah yayasannya Tunas Bangsa yang berpusat di Padang. Karena
disanalah awal yayasan tersebut di dirikan.
Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya di atas kursi roda dengan bermanfaat untuk orang lain.
Walau tidak bisa menyumbangkan tenaga, paling tidak bisa mengorbankan pemikiran-
pemikirannya. Apa lagi yang akan di nantinya?
Sementara di sebuah kamar dengan langit-langit biru dan dinding-dinding berwarna hujau laut
seorang hamba sedang tersungkur ke haribaan Tuhannya, memohon petunjuk dan bimbingan, apa
yang harus di lakukannya dengan keadaan yang sedang di hadapinya. Dia ingin Allah memberikan
kemantapan hatinya, sehingga dia bisa berbuat yang terbaik untuk hidupnya. Dia berharap jawaban
itu datang secepatnya agar dia bisa memutuskan semuanya dengan bijaksana.
“Ya Allah, engkaulah pemilik hati ini Allah. Engkaulah yang telah menitipkan rasa ini ke hati
Hamba, ya Allah. Ya Allah, hamba lemah tanpa bimbinganmu, hamba kerdil tanpa petunjuk dariMu
Allah. Allah, tolong anugrahkan kemantapan hati hamba Ya Allah. Jika memang wanita tegar itu
Engkau takdirkan untuk menjadi pendamping hidup hamba, untuk menjadi Ibu dari anak-anak
hamba, hamba mohon, berikan kemantapan hati hamba untuk menyuntingnya ya Allah. Untuk
hamba jadikan bidadari yang cantik di hati hamba. Tapi jika bukan dia jodoh hamba, hilangkan
bayangnya dari hati hamba ya Allah. Jangan biarkan syaitan mempermainkan hati hamba yang
lemah Ya Allah.
“Ya Allah, dalam kebeningan jiwa di keheningan malam yang pekat ini, mantapkan hati hamba Ya
Allah. Jangan biarkan hamba menjadi orang-orang yang pengecut ya Allah. Ya Allah, bimbing
hamba menuju cahaya cinta yang penuh kasih ya Allah. Astagfirullah hal ‘adzii la illaa haillahuwal
haiiyu qaiyum wa uthubu ilaik”. Fahmi tergugu dalam sujud-sujud panjangnya kepada sang pemilik
hatinya. Kepada sang penguasa jagat. Dia sudah mantap, dia akan menemui Yono besok pagi. Dia
yakin Aibi adalah pendamping hidupnya.
Dia siap mendampingi Aibi seperti apapun kondisi Aibi. Dia siap menjadi pelengkap hidup Aibi. Ya
dia sudah mantap dengan semuanya. Dia yakin Aibi adalah yang terbaik untuknya.
****
“Mbak ada tamu yang ingin ketemu sama Mbak”. Kata Rahmi suatu malam kepada Aibi yang
sedang duduk di hamparan sajadahnya. Sedang tangannya memegang mushaf al-qur’an. Sesaat di
hentikannya membaca Al-qur’an dan menatap Rahmi yang duduk bersimpuh di samping kanannya.
“Siapa dik?”. Tanya Aibi penasaran. Siapa kira-kira orang yang mencarinya ba’da maghrib ini? Dia
merasa tidak ada janji dengan siapapun untuk ketemu di rumahnya hari ini.
“Aku juga nggak tau Mbak. Mereka pasangan suami istri”. Imbuh Rahmi sembari mengangkat
bahunya.
“Suami istri? Siapa mereka?” Aibi semakin penasaran. “Ya sudah, kalau gitu tolong bantu Mbak
untuk berbenah ya dik”. Katanya kemudian membuka mukena yang membingkai wajahnya yang
lonjong dan kemudian memperbaiki jilbab kaos biru yang tadi di kenakannya pas mau sholat. Aibi
telah memperbaiki jilbabnya. Rahmi segera mengangkat Aibi ke kursi rodanya dan menanggalkan
sarung mukena yang masih terpasang di tubuh Aibi kemudian mengambilkan kaus kaki Aibi dan
memasangkannya. Barulah setelah itu dia mendorong kursi roda menuju ruang tamu.
Dari jauh diperhatikannya sepasang suami istri yang sedang duduk di ruang tamu. Asli, dia benar-
benar tidak kenal mereka. Wajah mereka begitu asing di memorinya. Siapa mereka? Ada perlu apa?
Begitu dia mendekat, serentak kedua suami istri itu berdiri manyambut kedatangannya. Si istri yang
berdiri di samping suaminya maju kedepan dan menyalami Aibi yang duduk di kursi roda seraya
memperkenalkan nama. “Aibi... Kenalkan saya Yasmin. Ini suami saya Yono”. Katanya seraya
bercipika cipiki dengan Aibi kemudian menunjuk laki-laki jangkung yang berdiri di belakangnya.
Sementara laki-laki yang di sebutnya suaminya hanya menganggukkan kepala seraya tersenyum ke
arahnya.
“Salam kenal Mbak. Saya Aibi. Silahkan duduk Mbak”. Aibi kemudian mempersilahkan mereka
untuk duduk kembali. Sementara Rahmi telah bersiap akan memindahkan Aibi ke sofa. Dia sudah
menyentuh lengan Aibi.
“Tidak usah dik. Mbak duduk di sini saja. Lebih nyaman rasanya duduk di kursi ini dari pada di
sofa”. Timpal Aibi sembari menyentuh lembut tangan Rahmi yang sudah ada di lengannya.
“Mbak yakin?”. Tanya Rahmi sedikit cemas. Akhir-akhir ini Aibi mudah kelelahan kalau duduk
terlalu lama dengan kaki terjuntai ke bawah.
Aibi hanya menjawab dengan senyuman dan kemudian menganggukkan kepalanya dan
mengarahkan pandangannya ke arah dua suami istri yang tepat duduk di depannya.
“Silahkan dicicipi dulu minumannya, Mbak. Mas...” kata Aibi selanjutnya dengan ramah dan
senyum yang tidak putus-putusnya di bibirnya yang merah.
Betapa sebenarnya Yasmin dan suaminya cukup tercekat melihat Aibi yang begitu sangat bersahaja.
Wajahnya begitu teduh dan menyejukkan mata setiap orang yang melihatnya. Pantaslah Fahmi
susah untuk melupakannya. Sekalipun dia duduk dikursi roda tanpa daya, tapi dia begitu ikhlas
menerima kondisi itu. Ah, Aibi sungguh wanita luar biasa. Hati Yono miris melihatnya. Tak terasa
matanya panas menahan tangis. Jika dia ada di posisi Fahmi, mungkin dia juga akan mengalami hal
yang sama.
“Terima kasih Aibi....” balas Yasmin sembari mengambilkan cangkir teh dan menyerahkan ke
suaminya Yono dan kemudian juga mencicipinya. “Aibi...”panggil Yasmin setelah mencicipi teh
dan meletakkan kembali cangkirnya di meja.
“Iya Mbak...” balas Aibi cepat.
“Sebelumnya kami minta maaf karena datang kesini tanpa mengabarimu terlebih dahulu. Mungkin
kami telah mengganggu waktu istirahatmu. Tapi kami datang kesini membawa sebuah amanah yang
sangat penting yang ingin kami sampaikan kepadamu Aibi. Kami berharap sudilah kiranya kamu
menyediakan waktumu untuk mendengarkan amanah yang akan kami sampaikan”. Sambung
Yasmin setelah melirik suaminya dan suaminya menganggukkan kepala tanda setuju.
“Tapi sebelumnya kami mau tanya dulu? Apa orang tuamu ada di rumah?. Tanya Yasmin kemudian.
“Kebetulan Papa dan Mama saya belum pulang Mbak. Tadi beliau menelfon mungkin pulang agak
terlambat. Papa saya lagi ada pertemuan dengan klien. Mama sedang di ruangan operasi saat ini,
Mbak”. Jelas Aibi “Apa amanah yang akan Mbak sampaikan pada mereka?” tanya Aibi lagi.
“Alangkah baiknya kalau beliau ada disini sekarang. Tapi kalau beliau tidak ada, tidak apa-apa.
Cukup kami sampaikan kepadamu saja, Aibi”. Kali ini yang menjawab bukan Yasmin lagi, tapi
Yono suaminya. Dan Yasmin mengangguk mendengarkannya.
“Begini Aibi, kami datang atas permintaan seseorang untuk menyampaikan niat tulusnya padamu.
Dia berniat ingin menjalin kekeluargaan denganmu Aibi. Dia ingin menjadi bagian dalam hidupmu,
yang akan menemanimu dalam suka maupun duka. Untuk itu dia mengamanahkan kepada kami
untuk menyampaikannya kepadamu. Dia tidak berani menyampaikan semua ini kepadamu secara
langsung. Dia takut, nanti hatinya terkotori ketika bertemu denganmu, Aibi”, terang Yasmin dengan
hati-hati. Dia sengaja tidak menyebutkan siapa orangnya. Biarlah Aibi nanti yang akan bertanya
kepadanya.
Aibi tercenung mendengar apa yang di sampaikan Yasmin, dia seperti tidak percaya mendengarkan
semua itu. Setelah 11 tahun dia mengalami kecelakaan, bahkan dia tidak pernah terfikir akan di
lamar seperti ini. Dia yakin, mungkin Yasmin salah orang atau mungkin salah alamat. Setelah
terdiam cukup lama, sebelum menjawab, Aibi memaksakan diri untuk tersenyum. Dia tidak yakin
dengan semua yang di sampaikan Yasmin.
“Maaf Mbak, apa Mbak tidak salah orang? Mungkin bukan saya Aibi yang dimaksud oleh
seseorang yang Mbak katakan itu. Karena tidak mungkin Mbak seorang Aibi yang duduk di kursi
roda yang tidak bisa berbuat apa-apa akan dipilih menjadi seorang pendamping. Apalagi
menjadikannya bagian dari kehidupan laki-laki itu kelak. Coba Mbak lihat lagi alamat yang di
berikan ke Mbak. Apa benar itu alamat rumah saya? Dan apa benar Aibi yang Mbak maksud itu
adalah saya?” jawab Aibi dengan tenang dan menatap Yasmin dengan tatapan penuh tanda tanya.
Mendengar apa yang di sampaikan Aibi, sebenarnya menyentakkan hati Yasmin. Tapi cepat
dikuasainya hatinya dan dengan tersenyum dia menjawab.
“Kami rasa kami tidak salah alamat Aibi. Alamat yang tertara di kertas yang diberikan orang
tersebut benar adanya. Dan kami di suruh menyampaikan maksud hatinya itu kepada Raisyah Aibi
Rizaldi. Itu namamu, bukan?”
Lagi-lagi Aibi terdiam. Siapa laki-laki bodoh yang mau menjadi pendamping hidupnya? Apa yang
di harapkan laki-laki tersebut darinya yang tidak bisa berbuat apa-apa?
“Kami tau mungkin kamu kaget mendengarkan semua ini. Tapi ini benar. Kami tidak mengada-
ngada. Seseorang yang menginginkan kamu tersebut Insya Allah adalah laki-aki yang baik. Laki-
laki sholeh Insya Allah. Laki-laki yang selalu menjaga hati dan dirinya. Dan dia memutuskan semua
ini berdasarkan hasil istikhorohnya kepada Allah, Aibi. Bukan atas keinginannya sendiri”. Kali ini
yang berkata Yono
Aibi masih tetap terdiam mendengar semua penuturan Yasmin dan Yono. Tapi siapa laki-laki itu?
Kemudian Yasmin datang menghampiri Aibi dan berlutut di depan Aibi sembari menyentuh lembut
lengan Aibi dan tersenyum lebar.
“Kami tau kamu pasti bingung dengan semua ini, kan? Kami tidak akan menuntutmu untuk
menjawabnya sekarang. Silahkan kamu fikirkan dulu dan istikhoroh kepada Allah. Jika hatimu
mantap, silahkan hubungi kami lagi. Agar kamu tidak bertanya-tanya siapa orangnya, di dalam
amplop ini ada biodata dan fotonya. Kamu buka ketika kamu selesai sholat isyha nanti. Dan kami
berharap kamu tidak memutuskannya dengan cepat, tapi memutuskannya setelah kamu istikhoroh.
Di dalam amplop itu juga ada nomor kontak saya atau suami saya. Apapun jawabanmu nanti, kami
menunggunya Aibi”. Kata Yasmin dan kemudian menyodorkan sebuah amplop putih lalu memeluk
erat Aibi.
Aibi menerima amplop tersebut dengan tangan bergetar. Di tatapnya wajah wanita yang sedang
berlutut di depannya dengan seksama. Dicarinya kebenaran di mata itu. Dia melihat ada kejujuran
dimata itu. Bibir itu terus saja tersungging senyum yang indah untuknya seraya menganggukan
kepalanya memberi isyarat kepada Aibi sekaligus meyakinkan Aibi.
Setelah beberapa saat kemudian pasangan suami istri tersebut akhirnya undur diri karena anak-anak
mereka sedang menunggu di rumah. Sebelum beranjak meninggalkan rumah keluarga Rizaldi,
kembali di hampirinya Aibi oleh Yasmin dan di peluknya Aibi dengan erat dan kemudian mencium
ubun-ubun Aibi sembari berkata. “Saya sangat senang sekali berjumpa denganmu Aibi. Jika tidak
ingat anak-anak yang menanti umminya di rumah, saya ingin berlama-lama di sampingmu. Saya
akan selalu mengingatmu Aibi. Semoga kami masih punya waktu untuk berkunjung lagi kesini. Dan
jika kamu ada waktu, datanglah berkunjung ke rumah kami di Bogor, biar kamu juga bisa ketemu
sama anak-anak kami. Pasti mereka akan senang mendapatkan teteh seperti mu Aibi”. Ungkapnya
lembut di telinga Aibi.
“Terima kasih Mbak. Terima kasih atas kunjungan Mbak kesini. Maaf jika ada yang kurang dalam
penjamuan kami. Semoga ini menjadi awal dari persaudaraan kita, Mbak. Dan ini tidak menjadi
akhir dari pertemuan kita. Saya juga sangat senang berjumpa dengan Mbak. Setelah sekian tahun
saya merindukan belaian seorang Kakak, Alhamdulillah, hari ini Allah menitipkan rindu itu melalui
tangan Mbak. Pelukan Mbak begitu erat untukku. Jazakillah Mbak”. Balas Aibi
“Insya Allah Dik, suatu saat nanti kami akan berkunjung lagi kesini”. Kemudian dia beranjak
mendekati suaminya yang sudah menunggu di depan mobil. Aibi melambaikan tangannya ke mobil
yang beranjak meninggalkan pekarangan rumahnya yang luas itu. Tak lama setelah mobil tersebut
pergi, sebuah mobil BMW hitam masuk ke pekarangan rumah. Itu mobil Papanya. Dan ternyata di
dalamnya tidak hanya ada Papanya, tapi juga Mamanya.
****
34
Menunggu Jawaban
Amplop yang di berikan Yasmin tadi tergeletak begitu saja di atas meja rias kamar Aibi. Dia masih
berpikir tentang apa yang di sampaikan oleh Yasmin. Dia belum berani membuka amplop yang di
berikan Yasmin kepadanya. Dia takut untuk melihat foto wajah yang ada dalam amplop tersebut.
Setelah sholat Isya’ Aibi langsung berbaring di tempat tidurnya. Dia ingin sejenak istirahat. Dia
akan membukanya apabila dia sudah siap untuk mengetahui biodata siapa yang ada di dalamnya.
Tapi begitu sulit untuk memejamkan mata. Apalagi dengan kondisi diri yang banyak pikiran. Aibi
tidak pernah berfikir akan mendapatkan semua ini. Dia tidak pernah memikirkannya setelah
kecelakaan itu kalau dia akan di khitbah oleh laki-laki, karena selama ini dia terlalu disibukkan
dengan kondisi dirinya. Dia benar-benar lupa memikirkan perihal yang satu ini. Setelah 11 tahun
pasca kecelakaan, dia benar-benar lupa bahwa dia juga akan menjadi seorang istri. Tapi bisakah dia
menjadi seorang istri yang sempurna untuk suaminya? Bukankah menjadi seorang istri berarti dia
menjadi pelayan untuk suaminya? Bagaimana mungkin dia akan memberikan pelayanan kepada
suaminya, jika dia sendiri sebenarnya harus di layani. Dia tidak bisa melakukan apapun. Bahkan
untuk ke kamar mandi buang hajad saja dia selalu melibatkan Rahmi.
Tapi walau bagaimanapun semuanya pasti juga akan di lewatinya. Dia bingung. Di lain sisi menikah
adalah untuk menyempurnakan agama. Tapi menikah butuh kesiapan fisik dan mental. Dan secara
fisik dan mental Aibi tidak mempunyai persiapan tersebut. Fisiknya yang tidak mengizinkan. Dan
mentalnya yang tidak siap untuk menghadapi semuanya.
Lama Aibi tidak menyentuh amplop yang di berikan Yasmin kepadanya. Rahmi yang melihat
amplop tersebut masih utuh dan tidak di sentuh Aibi seperti faham dengan apa yang di fikikan Aibi.
“Mbak, apa yang Mbak fikirkan? Kenapa belakangan saya sering melihat Mbak melamun. Ada apa
Mbak? Tanya Rahmi suatu ketika ke Aibi.
“Mbak bingung dik. Mbak bingung apa yang harus Mbak lakukan, Mbak tidak tahu harus
mengatakan apa sama Mbak Yasmin”. Ungkap Aibi kacau.
“Bagaimana Mbak akan bisa menjawabnya dengan tepat, kalau amplop yang diberikan Mbak
Yasmin saja sampai hari ini tidak Mbak lihat isinya. Bukankah kemaren Mbak Yasmin
menyarankan Mbak untuk istikhoroh? Kalau menurut saya, sebaiknya Mbak buka dulu Amplopnya,
baru setelah itu Mbak istikhoroh”.
“Mbak takut dik, kalau Mbak membuka dan kemudian setelah itu Mbak istikhoroh dan jawabannya
iya. Mbak takut mengecewakan orang yang akan hidup serumah sama Mbak. Karena Mbak tidak
bisa menjadi seorang istri yang baik. Istri yang ideal adalah yang mampu mencukupi apa yang di
perlukan suaminya. Bagaimana mungkin Mbak akan bisa melakukan semua itu Dik, kalau Mbak
sendiri ternyata butuh bantuan orang lain untuk melakukan segalanya dalam hidup Mbak. Mbak
tidak siap dik”.
Mendengar apa yang di sampaikan Aibi, membuat Rahmi terdiam. Apa yang dikatakan Aibi ada
benarnya. Tapi sampai kapan Aibi akan hidup sendiri? Aibi terlalu baik untuk menanggung
penderitaannya sendiri. Tidakkah dia berhak untuk merasakan menjadi seorang istri dan seorang
Ibu? Aibi berhak mendapatkan semua itu. Tapi apa yang akan di katakannya kepada Aibi?
“Maafkan Rahmi Mbak. Tapi Mbak tidak bisa begini. Walau bagaimanapun orang itu sedang
menunggu jawaban dari Mbak. Tidak bijak rasanya Mbak hanya diam saja seperti ini. Mbak buka
dulu amplop yang di berikan Mbak Yasmin tempo hari. Apapun keputusan dan jawaban Mbak nanti,
berarti itulah yang terbaik Mbak”.
Aibi menatap lekat ke mata Rahmi mencari sesuatu keyakinan dari apa yang di katakan Rahmi.
Benar apa yang dikatakan Rahmi, mereka sedang menunggu jawaban darinya.
****
35. Dilema
Dengan bismillah dan tangan bergetar diambilnya amplop yang tergeletak di atas meja riasnya. Dia
baru saja selesai sholat dan membaca Al-qur’an, tapi tetap saja dia merasa gemetar memegang
amplop yang ada ditangannya. Setelah membaca bismillah dan kemudian di robeknya bagian ujung
amplop tersebut dan dengan nafas tertahan di tariknya kertas yang ada di dalamnya. Tapi belum
sempurna kertas itu keluar dari sana, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh dari amplop tersebut dan
melayang ke lantai dengan posisi tertelentang. Sebuah foto ukuran 4x6 dengan latar merah.
Di perhatikannya secara seksama foto yang ada di lantai itu, hatinya semakin bergetar dan
jantungnya bergemuruh hebat. Dia kenal laki-laki yang ada di foto tersebut. Dia adalah laki-laki
yang datang ke rumahnya sebulan yang lalu. Dia adalah laki-laki yang telah membantunya
mengambilkan dompetnya yang terjatuh di rumah sakit kala itu. Dan dia adalah laki-laki yang
pernah hadir dalam hidupnya memberikan warna ketika dia SMA yang kemudian memutuskannya
karena laki-laki itu bergabung dengan rohis sekolah. Dia adalah laki-laki yang pernah di kenalnya.
Dan Aibi tidak tahu, laki-laki itu jugalah yang telah menyuruh suster datang menolongnya untuk
duduk di kursi rodanya ketika dia sedang berusaha untuk berpindah dari mobil ke kursi Rodanya.
Dan laki-laki itu juga tidak tahu bahwa wanita cacat yang di lihatnya di halaman parkir itu adalah
Aibi.
Aibi nanar menatap foto yang ada di lantai. Satu persatu air matanya jatuh bergulir, mengalir dan
menetes dari ujung hidungnya yang mancung. Dia tergugu dalam isakan tangis yang lebih nyata.
Kenapa harus Fahmi? Kenapa harus foto Fahmi yang keluar? Dia tidak berharap laki-laki itu akan
muncul lagi di dihadapannya, karena dia malu. Fahmi telah melihat segala ketidak berdayaannya.
Tapi kenapa dia masih ingin menghitbahnya? Oh Tuhan, begitu sulit rasanya. Aibi terus menangis
di atas kursi rodanya.
Setelah puas menangis, Aibi kemudian membuka kertas yang ada di tangannya, di lihatnya dan di
bacanya. Hanya biodata singkat tentang Fahmi dan kemudian ada kriteria calon istrinya yang hanya
terdiri dari satu kata saja ‘sholehah’. Mata Aibi semakin penuh oleh butiran-butiran air mata. Dia
semakin melolong panjang di atas kursi rodanya.
Saat itulah Mamanya masuk ke kamarnya. Dan dilihatnya putri semata wayangnya sedang
menangis sesenggukan. Ada apakah gerangan? Dengan langkah-langkah panjang di dekatinya Aibi.
“Hey... kenapa sayang? Kenapa kamu menangis, nak?” tanya Bu Aisyah lembut sembari membelai
lembut kepala anaknya yang masih memakai mukena. Aibi tidak menjawab pertanyaan mamanya,
tapi malah menyodorkan kertas yang ada di tangannya kepada Mamanya. Tentu saja Bu Aisyah
bingung, karena di dalam kertas itu hanya ada beberapa tulisan yang sepertinya biodata singkat
seorang laki-laki. Lalu, apa yang membuat Aibi menangis sehebat ini? Tidak ada yang aneh di
dalam kertas itu yang ditemukan Bu Aisyah.
“Mama tidak mengerti sayang. Kertas apa ini? Lalu kenapa kamu menangis membaca kertas ini?
Mama perhatikan tidak ada apa-apa di dalamnya nak, kecuali hanya biodata singkat tentang
seseorang. Coba ceritakan ke Mama apa yang terjadi, Aibi? Mama cemas kalau melihatmu
menangis, nak?”
Setelah beberapa saat dan tangisnya mulai mereda, mulailah Aibi bercerita kepada mamanya perihal
kedatangan Yasmin dan suaminya beberapa hari yang lalu dan menyampaikan maksud
kedatangannya yaitu ingin mengkhitbah Aibi. Dan setelah itu meninggalkan amplop yang berisi
biodata yang sekarang sedang di pegang Mamanya
“Lalu apa yang membuatmu menangis Nak? Bukankah itu sebuah berita yang gembira? Apa yang
membuatmu sedih nak?” tanya bu Aisyah heran
“Bagi wanita lain itu mungkin berita yang sangat menyenangkan Ma. Bahkan berita yang perlu di
siarkan kepada khalayak. Karena itu merupakan bukti dari puncak kematangan seorang wanita. Tapi
bagi Aibi, semua itu sangat menyakitkan Ma. Menikah adalah impian semua orang. Menjadi
seorang istri adalah keinginan banyak wanita. Apalagi menjadi seorang ibu, merupakan anugerah
luar biasa Ma. Begitu juga dengan Aibi. Tapi itu dulu Ma, ketika Aibi masih bisa melakukan segala
sesuatunya. Itu dulu ketika Aibi masih bisa berjalan dan berlari-lari riang di tengah lapangan. Hari
ini, membayangkannya saja Aibi takut Ma. Karena Aibi tidak seperti wanita lainnya. Aibi tidak bisa
apa-apa. Aibi tidak akan bisa menjadi istri yang baik yang akan memberikan pelayanan kepada
suaminya. Aibi tidak sanggup Ma”. Ungkap Aibi dengan berurai air mata.
“Mama mengerti, tapi Fahmi memilihmu untuk menjadi pendamping hidupnya, tentu dengan alasan
yang kuat, nak. Mama perhatikan dia anak yang baik”.
“Aibi juga tahu Kak Fahmi adalah anak yang baik. Laki-laki yang bertanggung jawab Insya Allah.
Laki-laki sholeh Insya Allah. Laki-laki idaman banyak wanita. Tapi dia terlalu baik untuk Aibi, Ma.
Dzolim namanya kalau Aibi menerima lamaran dari Kak Fahmi karena dia berhak mendapatkan
wanita yang jauh lebih sempurna dari Aibi. Aibi tidak pantas menjadi pendamping Kak Fahmi, Ma.
Aibi tidak ingin membuat Kak Fahmi menderita karena Aibi”.
“Tidak ada yang dzolim nak jika semua itu di lakukan atas dasar keikhlasan dan penerimaan. Mama
yakin Fahmi telah berfikir panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk melamarmu. Sepertinya
dia sungguh-sungguh ingin menjadi bagian dari kehidupanmu. Itu mama tangkap ketika dia datang
ke rumah kita. Mama melihat ada harapan dimatanya sayang”.
“Ya, tapi ketika itu dia belum tau bagaimana kondisi Aibi Ma. Dia menyangka Aibi masih seperti
dulu. Dan ketika dia melihat Aibi di gelandang di atas kursi roda menuju ruang tamu, matanya tidak
berhenti memelototi Aibi. Dia terus menjelajahi setiap jengkal dari tubuh Aibi dengan tangis yang
tergantung di matanya. Sampai kemudian Papa mengangkat Aibi ke sofa. Aibi perhatikan dia
menelan ludah melihat kondisi Aibi. Dia tidak percaya melihat Aibi seperti itu. Lalu hari ini dia
datang dengan lamarannya. Apa yang membuatnya mau menikahi wanita cacat seperti Aibi? Aibi
takut dia menikahi Aibi karena dasar kasihan. Aibi tidak ingin hidup di kasihani Ma”.
“Baiklah, kalau begitu kamu harus bertemu dengannya menpertanyakan segala sesuatunya
kepadanya, agar jelas semuanya sayang”.
“Tapi Aibi malu berjumpa dengannya Ma. Dia telah melihat ketidak berdayaan Aibi. Aibi malu
Ma”.
“Cinta, kamu tidak usah malu nak. Karena memang seperti itulah kondisimu. Mama saja tetap
bangga padamu. Bagi Mama, kau adalah cahaya mata Mama yang tidak bisa di gantikan dengan
apapun karena Mama mencintaimu nak. Kamu tidak boleh malu karena kamu adalah pribadi yang
unggul yang kehadirannya di tunggu banyak orang. Mama akan sangat sedih jika kamu selalu
menjadikan kecacatanmu sebagai alasan untuk mengutuki dirimu sendiri. Dan kemudian menarik
dirimu dari sana. Mama tidak ingin mendengarkan itu lagi sayang. Biar Mama yang akan
menghubungi Fahmi. Dan Mama yang akan berbicara padanya”.
Aibi memeluk mamanya erat. Dia merasa nyaman dengan kata-kata yang dikatakan mamanya.
Hatinya sedikit terobati. Dia percaya dengan apa yang dikatakan Mamanya. Pasti Fahmi
memutuskan semua ini dengan pertimbangan yang matang, setelah melewati istikharoroh yang
panjang baru mengajukan pinangannya atas diri Aibi.
****
Nun di bagian bumi sana seorang laki-laki tinggi dengan bahu bidang terlihat sedang menikmati
suasana pantai. Tapi sebenarnya hatinya rusuh, kenapa setelah seminggu tidak ada kabar dari Yono
dan Yasmin? Apa Aibi menolak lamarannya? Jika Aibi menolak, kenapa tidak ada alasan? “Ya
Allah, jika hamba Engkau takdirkan menjadi pendamping wanita mulia itu, permudah jalannya ya
Allah. Hilangkan segala resah dan gelisah di hati ini. Sabarkan hati hamba dalam menunggu segala
keputusan yang akan di sampaikan oleh Aibi. Ya Allah, hamba serahkan semua urusan ini padamu
Ya Allah.
Baru saja dia merintih di hatinya, tiba-tiba Hpnya bergetar di kantong celananya. Dengan gelagapan
di ambilnya dan di perhatikannya layar yang berkedip-kedip di Hpnya. Panggilan dari Yono.
Hatinya bergetar, badannya panas dingin, dengan bismillah di angkatnya telfon tersebut.
“Assalamu’alaikum Mas”. Sapa Fahmi cepat.
“Wa’alaikumussalam. Ente ada dimana?
“Saya lagi di pantai Mas. Bagaimana Mas?”
“Besok ente kesini jam 14.00. Aibi ingin berbicara sama ente. Dan ente harus siapkan diri ente
untuk menerima jawaban yang akan di berikan Aibi”.
Aibi akan memberikan jawaban besok? Dia akan berjumpa lagi dengan Aibi? Berhadapan lagi
dengan Aibi? Dia yakin kali ini pertemuan mereka akan berbeda dengan pertemuannya sebulan
yang lalu. Mungkin pertemuan besok itu sekalian ta’aruf barang kali. Ya, Fahmi memilih untuk
berhusnuzdon saja.
****
36. Cinta Suci
Langit Jakarta sedikit mendung sore ini, mungkin sebentar lagi hujan akan mengguyur. Kalau sudah
musim hujan, maka yang ditakutkan warga Jakarta adalah banjir, karena air mudah sekali
meluapnya di kota metropolitan ini. Hampir setiap tahun Jakarta selalu di rendam banjir, karena
saluran air seperti sungai telah penuh oleh sampah masyarakat. Mulai dari potongan sayur sampai
pada kasur yang sudah tidak di pakai lagi terkadang mengapung-apung di permukaan sungai yang
berwarna coklat kehitam-hitaman dan mengeluarkan bau yang kurang sedap.
Mobil menderu dengan lembut, di bangku belakang Aibi duduk dengan tenangnya. Di dalam hati
betapa dia sangat gugup sekali, dia bingung apa yang akan di sampaikannya kepada Fahmi
nantinya. Berulang kali Aibi menarik nafas berat dan kemudian menyandarkan kepalanya ke
pundak Rahmi yang duduk di sampingnya.
“Mbak capek dik. Izinkan Mbak merebahkan kepala Mbak ke pundakmu agak beberapa menit ya,
dik”. Katanya kemudian ke Rahmi. Dan Rahmi menggeser duduknya agak merapat ke Aibi agar
Aibi tidak terlalu susah.
Mobil sudah memasuki daerah Bogor, sebentar lagi mereka akan sampai di rumah Yono. Aibi masih
tertidur di pudak Rahmi. Dia lelah, Rahmi tau semalam dia tidak tidur. Dia memikirkan banyak hal
sepanjang malam. Matanya terus terbuka ke langit-langit kamar dan berulang kali memperbaiki
posisi tidurnya.
Di halaman rumah Yono, sebuah mobil Yaris hitam mengkilat telah parkir di sana, tapi rumah
tampak sepi. Mungkin mereka sedang berbicara di dalam. Tinggal hitungan detik lagi mobil mereka
juga akan parkir di belakang mobil yaris itu. Baru saja Deni mematikan mesin mobilnya, tiba-tiba
pintu rumah Yono terbuka dan tampak Yasmin sedang berdiri dengan senyum lebar. Deni
mengeluarkan kursi roda Aibi dari bagasi dan meletakkannya di samping pintu tempat Aibi. Di
dahului oleh Rahmi yang keluar. Setelah merapikan jilbab dan pakaiannya Aibi menjulurkan
kepalanya menunggu Rahmi membantunya keluar dan meletakkannya di kursi roda dan kemudian
membawanya ke dalam rumah Yono. Dengan sigap Yasmin menyambut Aibi dan memeluk hangat
Aibi.
“Selamat datang di rumah kami dik. Silahkan masuk. Fahmi sudah ada di dalam”. Sambut Yasmin
ke Aibi dan kemudian beralih menyalami dan memeluk Rahmi. Mendengar nama Fahmi di
sebutkan, jantung Aibi berdebar kencang. Benarkah dia sudah siap berjumpa dengan laki-laki itu?
“Terimah kasih Mbak”. Komentar Aibi singkat.
Aibi duduk berdampingan dengan Rahmi dan Yasmin dengan kepala tertunduk. Dia memilih duduk
di atas kursi rodanya ketimbang di atas sofa yang ada di ruang tamu rumah Yasmin yang sederhana
itu.
Sepertinya ruang tamu ini sudah di sett sedemikian rupa, sehingga sofanya di setting dengan leter L.
Tidak ada yang duduk berhadapan. Yang ada duduk berdampingan agar pandangan matanya tidak
mudah terbentur dengan sosok yang ketika di lihatnya membuat jiwa dan raganya bergetar menahan
panas dingin ombak perasaan.
Melihat situasi sepi dan sunyi yang mencekam, Yono pun mulai beraksi.
“Ham..ham..Ham..”. terdengar suara deheman Yono. “Apa kita akan diam-diam saja?” tanya Yono
selanjutnya. Aibi sedikit mengangkat kepalanya dan melirik dengan ekor mata yang ada di balik
kaca mata minus yang dipakainya. Dia berharap Fahmi mau membuka terlebih dahulu, dan setelah
itu dia baru akan bicara.
Fahmi juga mengangkat kepalanya dan mencuri pandang dengan ekor matanya yang juga ada di
balik kacamata minus yang dipakainya. Dan ternyata tatapan mata mereka beradu. Aibi buru-buru
menundukkan kembali kepalanya dan Fahmi menjadi salah tingkah. Dengan gerakan kaku di
angkatnya kepalanya dan di tatapnya Yono yang duduk di sampingnya. Yang dipandangnya
membesarkan matanya sembari tersenyum kecil, tanda memberi sinyal agar Fahmi mulai berbicara.
Mau tidak mau dia harus memulainya.
“Hmmm... Kemaren saya dihubungi Mas Yono, katanya ada yang akan kamu sampaikan kepadaku.
Jika aku boleh tau, apa yang akan kamu sampaikan Aibi?” pertanyaan pembuka yang bagus yang di
keluarkan Fahmi, walau kalimat pembukanya sedikit agak belepotan.
Aibi yang ditanya seperti itu sedikit agak berkurang nervousnya. Dia mengangkat kepalanya agak
tinggi. Dan berkata “Ya, saya sudah dengar pesan yang Kakak sampaikan ke Mbak Yasmin dan Mas
Yono. Dan saya juga sudah istikhoroh, hasilnya saya masih ragu. Untuk meyakinkan, maka saya
ingin dengar keterangan langsung dari mulut Kakak kenapa Kakak ingin menikahi saya? Jujur, saya
ragu dengan pilihan Kakak. Padahal Kakak punya kesempatan untuk memilih wanita lain yang
lebih sempurna dari saya. Kenapa saya yang Kakak pilih? Kenapa tidak gadis yang lain?” jawab
Aibi balik bertanya ke Fahmi.
Fahmi menarik nafas panjang. Ditengadahkannya kepalanya ke atas dan di hembuskannya nafas
beratnya. Sesaat dia terdiam. Berfikir kata-kata apa yang tepat di keluarkannya untuk menjawab
pertanyaan Aibi tersebut.
“Sebenarnya telah lama saya ingin melaksanakan hal ini. Tapi sepertinya saya selalu terlambat dan
terhalang. Dulu pertama kali saya punya niat ketika saya masih kuliah S.1 dan saat itu Dik Aibi juga
baru mulai kuliah di Padang, baru semester 3 ketika itu. Karena tempat kuliah kita yang terpisah
dua pulau, maka saya urungkan niat itu. Saya ingin menunggu Dik Aibi sampai tamat. Ketika dik
Aibi tamat, saya justru sedang dinas di pedalaman Kalimantan. Saya kembali mengurungkan,
karena ketika itu saya juga dengar kabar dik Aibi dapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke
Jepang.
Ketika masa dinas saya habis, saya bertanya kepada banyak orang yang mengenali Dik Aibi. Saya
datang ke rumahmu, tapi rumah itu telah kosong. Saya dapat kabar dik Aibi dan keluarga pindah.
Tidak satu orang teman-teman dik Aibi pun yang tahu dimana alamat tempat tinggal Adik yang
baru. Seraya saya mencari kabar tentang keberadaanmu. Saya fikir ketika itu mungkin sedang
menyelesaikan studi di Jepang, saya pun mencoba ikut program beasiswa S.2 ke Jerman,
Alhamdulillah saya lulus. Saya putuskan untuk menyelesaikan pendidikan saya dulu setelah itu baru
saya fokus memikirkan masalah ini. Saya titipkan hati saya selama ini kepada Allah, jika saya
berjodoh denganmu maka saya akan menemukanmu dalam keadaan masih sendiri.
Dua bulan yang lalu sebelum saya berjumpa denganmu di rumah sakit, saya ketemu dengan
mamamu di sana. Ketika itu saya merasakan inilah saatnya saya untuk datang kepadamu dan
memintamu untuk menjadi istriku. Maka aku cari alamat rumahmu dengan bertanya ke bagian
resepsionis rumah sakit. Ternyata mamamu adalah dokter senior yang memimpin tim dokter yang
sedang melakukan operasi untuk pasien yang menderita kangker jaringan lunak.
Akhirnya saya dapatkan alamat rumahmu, dik. Dengan niat ingin memastikan apakah kamu sudah
berkeluarga atau belum, maka saya datang ke rumahmu sekaligus ingin bersilaturrahim denganmu.
Mungkin caraku salah, seharusnya aku tidak datang secara langsung, tapi menyuruh seseorang
untuk datang kesana. Tapi saya terlalu takut untuk kehilangan jejakmu lagi. Maka aku putuskan aku
yang datang sendiri ke rumahmu. Maafkan jika ketika itu aku lancang ingin menemuimu. Begitulah
Dik. Jadi ini sudah lama sebenarnya”. Terang Fahmi panjang lebar
“Apa Kakak sadar dengan pilihan Kakak? Saya bukan Aibi yang dulu lagi. Saya tidak lebih dari
seorang wanita cacat. Dan mungkin saya tidak akan bisa menjadi istri yang baik untuk Kakak.
Sebelum hal ini terlambat, saya sarankan sebaiknya Kakak mencari wanita yang jauh lebih
sempurna dari saya. Yang akan bisa menjadi istri yang baik untuk Kakak. Yang bisa mendampingi
Kakak kemanapun. Karena saya tidak bisa melakukan semua itu. Prestise Kakak sebagai seorang
dokter, tentu membutuhkan pendamping yang lebih layak dan sekelas dengan Kakak, bukan malah
saya seorang wanita cacat yang untuk mengurusi dirinya sendiri saja dia butuh orang lain. Lalu
bagaimana mungkin dia akan bisa melayani suaminya dengan baik. Saya harap coba Kakak fikirkan
lagi”.
Mendengar komentar Aibi. Membuat mata Fahmi berkaca-kaca. Semua orang yang ada di ruangan
itu juga mengalami hal yang sama. Fahmi membenamkan kepalanya lebih dalam. Dia tidak ingin
terlihat menangis di depan Aibi. Dia tidak mampu menjawab dan mengomentari apa yang di
sampaikan Aibi.
Karena Fahmi tidak mengomentari apa-apa Aibi melanjutkan lagi kata-katanya.
“Sudahlah Kak, apa yang Kak rasakan selama ini hanya pengaruh dari cinta monyet yang kita
rasakan dulu. Atau mungkin karena Kakak yang kasihan melihat saya yang duduk di atas kursi roda
ketika Kakak datang ke rumah. Bagiku, menikah bukan suatu perkara yang mudah Kak. Ada
kewajiban suami dan istri yang harus kita penuhi. Tugas istri bukan hanya melayani suami di atas
tempat tidur, tapi juga dalam hal yang lainnya. Menyediakan makanan, menyuguhkan minuman,
memijit suami ketika dia letih dan lain sebagainya. Sementara saya tidak bisa melakukan semua itu.
Untuk diri saya saja saya tidak sanggup. Bahkan berpindah dari kursi roda ini ke sofa itu saya tidak
mampu. Apalagi untuk ke kamar mandi membuang hajat pun saya juga tidak bisa jika tidak di bantu
Rahmi. Untuk sholat saja saya melibatkan orang lain.
Tidak terbayangkan olehku betapa sibuknya Kakak nanti begitu menikah denganku. Mengurusku,
mencari nafkah, melayani pasien dan lain sebagainya. Saya tidak ingin membutmu susah gara-gara
aku. Sekali lagi saya sarankan, silahkan cari wanita lain yang jauh lebih sempurna dari aku yang
akan bisa memberikan segalanya untukmu”. Ucap Aibi lagi panjang lebar
Fahmi semakin di dera rasa sakit di hulu hatinya. Ada sesuatu yang menusuk-nusuk hatinya ketika
mendengarkan apa yang di katakan Aibi. Dia sudah tidak tahan lagi membendung air matanya. Di
tatapnya Aibi yang berwajah sendu yang berusaha menahan air matanya di samping kirinya. Yang
terpisah antara Yono dan Yasmin.
“Cukup Aibi... Berhentilah untuk mengatakan semuanya padaku, karena saya sudah tahu
semuanya”. Sahut Fahmi dengan mata yang penuh dengan air bening. “Saya sudah menduga kamu
akan mengatakan semua ini Aibi. Awalnya saya juga berfikir begitu Aibi. Mungkin saya pengecut.
Semenjak saya melihat dan menyaksikan adegan di rumahmu kemaren, telah membuat hatiku ciut
untuk menjadi pendamping hidupmu. Aku... ketika itu ingin lari Aibi. Ingin lari dari hadapanmu.
“Tapi begitu aku berjumpa dengan Mas Yono dan menceritakan segalanya kepada beliau, pemikiran
saya terbuka dan hati saya menerimamu Aibi. Tidakkah kamu ingin membagi semua deritamu
denganku dik? Mungkin aku bisa meringankan sedikit bebanmu. Aku ingin menjadi bagian dalam
hidupmu. Bukan karena aku kasihan padamu, tidak Aibi. Tapi karena aku ingin menyatu denganmu
Aibi. Sungguh dik, aku ingin kamu yang akan menjadi ibu dari anak-anakku. Aku ingin mengarungi
kehidupan ini denganmu. Seperti apapun kondisimu, aku siap mendampingimu Aibi. Aku tidak
peduli dengan kondisimu yang duduk di kursi roda. Aku tidak peduli dengan ketidak mampuanmu
melayaniku seperti istri yang lainnya. Karena makna pernikahan bukan hanya di sana.
“Aku tidak peduli betapa sibuknya aku ketika aku telah menikah denganmu nanti seperti yang kamu
katakan tadi. Jika Rahmi saja bersedia menghabiskan hidupnya untuk menjadi pelayanmu, kenapa
aku tidak sanggup Aibi? Aku tidak hanya menjadi pelayanmu, tapi juga suamimu yang akan
mengisi kekosongan jiwamu. Aku siap mengarungi kehidupan denganmu Aibi dalam suka maupun
duka. Semua kesiapan itu aku dapatkan setelah aku istikhoroh Aibi. Bukan atas keinginanku sendiri.
Izinkan aku menjadi bagian dalam hidupmu Dik? Saya mohon. Tolong beri aku kesempatan
walaupun mungkin aku bukan laki-laki tipemu”. Kata Fahmi dengan menghiba. Dia sudah tidak tau
lagi apa yang akan di katakannya. Salahkah jika dia sangat menginginkan wanita mulia ini menjadi
belahan jiwanya?
“Tapi Kak, saya tidak ingin mendzolimimu jika aku menerimamu sebagai suamiku. Karena aku
tidak ingin menyusahkanmu. Kakak berhak mendapatkan yang terbaik dalam hidup Kak. Bukan
wanita seperti saya?Apa yang Kakak harapkan dari seorang wanita cacat seperti saya ini? Saya
tidak berguna Kak”. Sahut Aibi terisak. Dia merasa tidak pantas untuk mendapatkan laki-laki baik
seperti Fahmi.
“Kamulah yang terbaik Aibi. Kamulah yang terbaik dalam hidupku. Kita di jodohkan Allah Aibi.
Setelah sekian lama aku menunggu, dan hari ini... Ini atas kehendak Allah Aibi. Allah yang
menginginkan aku sebagai pendamping hidupmu. Allah yang membimbingku untuk menujumu
Aibi. Percayalah dik, Insya Allah ini adalah yang terbaik menurut Allah. Jika engkau ridho menjadi
istriku dan aku menjadi suami yang akan mendampingimu, maka tidak akan ada lagi yang
terdzolimi”.
Semuanya menangis menyaksikan dua insan manusia yang sedang berbicara dari hati ke hati itu.
Tak ketinggalan Yono. Dia tidak tau apa yang harus di katakannya. Dia hanya bisa berdo’a agar
mereka benar-benar berjodoh seperti yang di katakan Fahmi. Bahwa mereka di jodohkan oleh
Allah.
“Kalau begitu berikan aku waktu untuk berfikir lagi Kak. Beri aku waktu untuk berfikir sejenak.
Aku tidak bisa memutuskannya sekarang. Jika aku sudah punya jawaban yang tepat, aku akan
sampaikan jawaban itu ke Mbak Yasmin. Saat ini aku terlalu lelah. Jiwa dan ragaku lelah, Kak. Aku
ingin istirahat”. Kata Aibi kemudian dengan suara lemah. Dia benar-benar merasakan kelelahan itu,
bukan hanya sekedar alasan untuk menghindar dan mengelak dalam perdebatan yang sedang terjadi
antaranya dan Fahmi. Semua masalah yang di hadapinya sungguh telah membuatnya lelah.
Mendengar apa yang di sampaikan Aibi, Rahmi segera berdiri dan menghampirinya. Ia menyentuh
lengan Aibi dengan lembut sembari berbisik
“Mbak tidak apa-apa?”. Tanya Rahmi cemas. Ditatapnya Rahmi lekat-lekat dan kemudian di
paksakannya untuk tersenyum dan kemudian bekata “Tidak dik. Mbak tidak apa-apa”. Sahut Aibi
masih dengan suara yang lemah. “Hanya saja punggung Mbak sedikit terasa sakit Dik. Mbak ingin
berbaring sejenak Dik”. Sambung Aibi kemudian.
Mendengar apa yang disampaikan Aibi, Rahmi cepat menghampiri Yasmin meminta untuk
menyediakan tempat untuk Aibi berbaring.
“Maaf Kak, mungkin saya menggantung masalah ini lagi tapi saat ini saya merasa sudah tidak kuat
lagi untuk meneruskannya. Jika Kakak tidak keberatan seperti yang saya katakan tadi, izinkan saya
untuk istirahat sejenak sembari memikirkan semua ini. Jika Kakak tidak keberatan untuk
menunggu. Saya lelah Kak. Lelah sekali”. Imbuh Aibi lagi ke Fahmi yang duduk bersisihan
dengannya. Wajah Fahmi masih kusut karena menangis, tapi dia juga cemas melihat kondisi Aibi
yang melemah.
“Baiklah dik. Saya akan menunggu jawaban darimu. Sampai kapanpun saya akan tetap
menunggunya dik. Istirahatlah dan fikirkanlah semuanya dengan kepala dingin dan hati yang
lapang. Insya Allah saya akan sabar menunggu”. Sambut Fahmi dengan suara bergetar. Dia tidak
punya pilihan lain. Memaksa Aibi untuk menjawabnya sekarang tentu tidak mungkin dan tidak
mudah juga bagi Aibi untuk memutuskannya begitu saja. Dia sudah serahkan semuanya kepada
Allah. Jika Allah berkata iya, maka Aibi akan menjadi istrinya. Tapi jika tidak, mungkin Allah telah
mempersiapkan yang lain untuknya. Dia sudah ikhlas. Apapun jawaban yang akan di berikan Aibi
jika selama bertahun-tahun saja dia bisa menantinya dengan sabar, lalu kenapa untuk menanti
beberapa saat saja dia tidak sanggup? Walaupun sebenarnya ujian kesabaran yang sesungguhnya itu
adalah menunggu yang sebentar itu. Dia hanya bisa berdo’a agar Allah memudahkan semuanya.
Setelah itu dia pamit pulang duluan ke Yono dan Yasmin. Sementara Aibi di bawa ke kamar oleh
Rahmi untuk istirahat sejenak.
****
37
Keputusan Besar
Dua hari cukup bagi Aibi untuk memutuskan semuanya. Dia telah mantap dan akan memberikan
jawaban hari ini melalu Yasmin. Dia sudah putuskan, malam ini dia akan menjawab segalanya
dengan baik dan bijak. Dia harus memutuskannya. Setelah berbicara dengan papa dan mamanya dia
semakin mantap dengan jawaban yang akan di berikannya pada Fahmi melalui Yasmin. Karena
orang tuanya menyerahkan segala keputusan kepadanya.
Apapun keputusan yang di ambilnya orang tuanya akan menerima dan akan mendukung. Karena dia
sudah terlalu dewasa untuk di kekang dan di ingatkan lagi. Orang tuanya yakin Aibi akan bisa
menyelesaikan segalanya dengan baik.
Dengan membaca bismillah dan meluruskan niatnya, di tekannya nomor Hp Yasmin di hpnya dan
setelah menghirup nafas dalam-dalam baru di tempelkannya hp itu ketelinganya. Ini adalah
keputusan terbesar yang akan di ambilnya dalam hidupnya. Keputusan yang akan mempengaruhi
masa depannya dimasa yang akan datang.
Tak lama setelah itu terdengar nada tut...tut...tut.... tanda kalau tefonnya nyambung. Tidak
menunggu lama terdengar suara wanita lembut di seberang sana.
“Assalamu’alaikum”. Sapanya lembut
“Wa’alaikumussalam Mbak. Ini saya Aibi Mbak”. Sambut Aibi hati-hati. Dan kemudian terjadilah
percakapan antara Aibi dan Yasmin fia telephon.
“Mbak, saya sudah fikirkan dengan matang. Dan saya sudah menimbang dengan baik. Ini adalah
hasil dari istikhoroh saya dalam dua hari ini. Semoga ini adalah yang terbaik menurut Allah”.
Kemudian Aibi terdiam dan terdengar tarikan nafasnya teratur di sebarang sana. Yasmin menunggu
dengan sabar apa yang akan disampaikan Aibi. semoga memang keputusan yang terbaik yang
diberikan Aibi.
“Insya Allah, saya bersedia Mbak. Saya bersedia menikah dengan Kak Fahmi. Saya menerima
lamarannya Mbak. Untuk membicarakan hari pernikahan dan lain sebagainya, orang tua saya
meminta beliau untuk datang ke rumah dan dibicarakan di rumah saya saja. Begitu, syukron Mbak
telah memfasilitasi semuanya dengan baik. Assalamu’alaikum”. Kemudian telfon terputus.
Tinggallah Yasmin dengan air mata yang bercucuran entah apa alasannya dia menangis. Dia bahagia
bercampur haru mendengar jawaban Aibi.
Aibi duduk tercenung setelah menghubungi Yasmin. Benarkah? Benarkah sebentar lagi dia akan
menjadi seorang istri? Dan kemudian menjadi seorang Ibu? Oh betapa dia rindu dengan semua itu.
betapa dia rindu ada mulut-mulut imut yang akan memanggilnya Umy. Aibi terisak di kursi
rodanya. Dia bahagia sekaligus terharu dengan apa yang baru saja di lakukannya.
****
38
Akad Nikah yang Sakral
Waktu berlalu dengan cepat. Seminggu yang lalu Aibi mati-matian menolak pinangan Fahmi, tahu-
tahu semuanya telah berubah seratus delapan puluh derajat. Tahu-tahu hari pernikahan mereka
sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Tahu-tahu halaman rumah besar itu sudah dipadati oleh
pengunjung. Tahu-tahu Masjid besar di kemayoran Baru sibuk mempersiapkan tempat untuk
melangsungkan akad pernikahan antara dr. Muhammad Fahmi dan Raisya Aibi Rizaldi. Dan tau-tau
bingkisan berupa ucapan selamat telah berjejer-jejer di sepanjang jalan menuju rumah kediaman
keluarga Rizaldi. Baik dari instansi maupun pribadi. Semuanya sibuk menyambut hari pernikahan
Aibi dan Fahmi.
Dengan jantung deg-degan Fahmi duduk di syaf laki-laki di dampingi oleh Pak Handoko Papanya
dan Yono. Sementara Aibi belum sampai di lokasi akad nikah di Masjid raya kebayoran baru. Tadi
Aibi telah di hubungi Yasmin, katanya sedang di jalan menuju Kebayoran. Fahmi terlihat salah
tingkah. Setiap lima menit sekali melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. Peci putih
yang dihiasi payet-payet berkilat yang tadi tertengger indah di kepalanya yang bulat, lima menit
yang lalu di letakkannya begitu saja. Padahal Papanya telah membesarkan mata ke arahnya untuk
kembali memakainya. Tapi dia hanya tersenyum menanggapinya dan tidak menjamah topi yang
tergeletak itu sedikitpun.
Dia rusuh memikirkn calon bidadarinya yang belum juga datang. Padahal lima menit lagi resepsi
akad nikah mereka akan di mulai. Dan kenapa juga tidak ada satupun dari pihak Aibi yang
memberitahukan keterlambatan mereka. Ada apa ini? Fahmi benar-benar rusuh memikirkan semua
ini. Tiap lima menit sekali matanya juga menatap layar Hpnya yang tidak juga nyala-nyala dan
memberi tahukan bahwa ada telfon masuk dari calon Wifenya.
Semenit sebelum penghulu maju ke depan, Fahmi benar-benar telah kehabisan kesabarannya. Cepat
di nyalakannya Hpnya dan mencari no Aibi. tapi belum sempat dia menemukan nomor HP Aibi
terdengar keributan di luar sana. Dan terdengar suara Pak Rizaldi yang sedang berbicara dengan
istrinya. Hatinya lega. Cepat di sambarnya pecinya yang tergeletak di lantai dan kembali di
tenggerkannya di kepalanya. Dia sudah siap menghadap penghulu. Karena calon bidadarinya sudah
ada di luar.
Tak lama setelah itu penghulu maju kedepan dan menempati kursi yang telah disediakan. Sengaja
acara resepsi akad nikah di setting dengan penghulu dan dua calon pengentin duduk di kursi yang
juga di dampingi oleh kedua orang tua mereka dan juga dua orang saksi. Sementara para undangan
duduk lesehan di lantai.
Acara resepsi akad nikah Aibi dan Fahmi berjalan dengan penuh hikmah. Dengan Yono sebagai
Mcnya, Rian teman Fahmi membacakan kitab suci al-Qur’an setelah itu kedua mempelai di
persilahkan untuk duduk di tempat yang telah di sediakan. Aibi masuk ke ruangan dengan di dorong
oleh Papanya. Dia kelihatan begitu cantik dengan baju pengantin dari dasar satin yang berwarna
putih gading. Setelah itu di ukuti oleh Fahmi dari belakang yang kemudian duduk bersebelahan
dengan Aibi. Setelah itu barulah di serahkan kepada penghulu untuk membimbing mempelai untuk
mengucapkan sumpah setia suami istri dalam islam. Sebelumnya diwarnai dengan cucuran air mata
ketika meminta keridhoan orang tua masing-masing. Setelah itu barulah sampai pada puncak acara
yang paling sakral.
“Saudara Muhammad Fahmi...” terdengar suara bass Pak Rizaldi memanggil nama Fahmi sembari
menjabat erat tangan calon menantunya itu. “Saya nikahkan putri kandung saya Raisyah Aibi
Rizaldi Binti Rizaldi dengan engkau dengan mahar seperangkat alat sholat di tambah membacakan
surat Ar-Rahman tunai, karena Allah”. Ucap pak Rizaldi dengan lugas dan tepat.
“Saya terima nikah putri kandung Bapak Raisyah Aibi Rizaldi binti Rizaldi dengan mahar
seperangkat alat sholat di tambah membacakan surat Ar-Rahman, tunai karena Allah”. Sambar
Fahmi dengan cepat. Semua undangan berseru mengumandangkan kata “sah... sah.... saah...” wajah
Fahmi memerah setelah mengucapkan ijab qabul tersebut. Dia telah menjadi seorang suami bagi
wanita yang di mimpikannya selama ini. Dia telah menjadi bagian dari kehidupan Aibi yang sudah
di nantinya selama bertahun-tahun. Setelah sekian lama menanti, akhirnya semua penantian itu usai
sudah. Dia telah menjadi suami Raisyah Aibi Rizaldi. Tidak butuh waktu lama untuk menghalalkan
hubungan yang semula haram dalam agama dan sangat di benci oleh adat pergaulan. Aibi melenguh
kecil di tempat duduknya. Dia bahagia bercampur haru. Dia telah menjadi seorang istri. Dia sudah
berganti status.
Semuanya berkaca-kaca menyaksikan momen yang sakral itu. Bu Aisyah dari tadi sudah tidak
sanggup berkata-kata lagi. Pak Rizaldi pun terlihat mengusap ujung matanya. Sementara Rahmi
telah terisak di tempat duduknya. Begitu juga Yasmin dan Yono, mereka tidak bisa menahan
tangisnya. Karena merekalah yang telah menjadi saksi bagaimana akhirnya pernikahan ini bisa di
lanjutkan. Mereka telah melihat perjalanan sehingga mencapai jenjang pernikahan ini.
Mendengar isak tangis Aibi di samping kirinya, Fahmi menghadapkan wajahnya ke istrinya dan
kemudian memandangnya dengan lembut. Dan kemudia di ciumnya kening Aibi dengan sepenuh
cinta. Kecupan pertamanya untuk istrinya tercinta. Hal itu semakin membuat air mata Aibi semakin
deras keluar. Setelah agak terkendali, kemudian Aibi meraih tangan kanan Fahmi dan menciumnya
dengan penuh takzim. Dan kemudian di teruskan dengan membacakan surat Ar-rahman di depan
para tamu dan undangan.
****
39
Komitment Pernikahan
Hari ini adalah hari pertama mereka berada di dalam satu kamar. Terlihat masih canggung dan
malu-malu. Aibi lebih banyak diam dan mengulum senyum. Sedangkan Fahmi masih kaku ketika
berhadapan dengan Aibi. Dia tidak tahu bagaimana cara memulainya.
“Kita sholat sunat dulu, dik”. Ajak Fahmi kemudian setelah terdiam cukup lama.
“Baik Kak, silahkan Kakak berwudhu dulu, saya sudah berwudhu sebelum Kakak masuk tadi”.
Jawab Aibi juga kaku.
Fahmi berdiri dari tepi ranjang dan kemudian beranjak ke kamar mandi. Dan beberapa menit
kemudian muncul lagi dengan wajah basah oleh air wudhu. Dia mengembangkan sajadah yang
terlipat rapi di tepi ranjang. Dan kemudian membantu Aibi turun dari kursi rodanya dan
mendudukkannya di hamparan sajadah di belakangnya. Kemudian pasangan pengantin baru itu larut
dalam sujud-sujud panjangnya kepada sang pemilik cinta. Fahmi kembali mengulang membaca
surat ar-Rahman ketika sholat sunah itu. Sampai pada ayat 70 dan seterusnya Fahmi tidak bisa lagi
membendung air matanya. Dan Aibi pun terisak di belangang menikmati bacaan yang di baca
Fahmi. Aibi berharap kelak bidadari yang cantik dan jelita, putih bersih, dipingit di dalam rumah itu
salah satunya adalah dia. Dia semakin terisak dalam sholatnya.
70. Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang baik- baik lagi cantik-cantik.
71. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
72. (Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah.
73. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
74. Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga
yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin.
75. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
76. Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah.
77. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
78. Maha Agung nama Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan karunia.
(QS. Ar-Rahman 70-78)
Setelah itu Fahmi berdo’a dan Aibi mengamininya di belakang dengan berurai air mata. Setelah
merasa puas berdo’a, kemudian Fahmi memutar badannya dan menatap Aibi dengan tatapan penuh
cinta. Dengan beringsut di dekatinya Aibi dan mengangkat kedua tangannya. Dia berdo’a tepat di
ubun-ubun Aibi dengan do’a yang biasa di baca nabi dan para sahabat ketika setelah menikah. Dan
Aibi juga mengangkat tangannya dan mengamininya masih dengan berurai air mata. Setelah itu
kembali di tatapnya Aibi dengan sepenuh jiwanya dan di kecupnya ubun-ubun Aibi lama sekali oleh
Fahmi dengan bercucuran Air mata. Setelah itu diraihnya tangan Aibi dan di bawanya ke mulutnya,
diciumnya dengan segenap hatinya. Di angkatnya tubuh Aibi yang ringkih dan di baringkannya di
ranjang yang bertaburkan bunga dan dia duduk di tepi ranjang sembari tangannya melepaskan
mukena Aibi dengan penuh kelembutan dan kehati-hatian. Dikecupnya bibir Aibi dan di tatapnya
lekat wajah Aibi dengan penuh cinta dan sepenuh hati.
“Sekarang kamu tidak sendiri dik. Karena Mas akan mendampingimu sampai kapanpun dik. Dua
tangan ini, saat ini adalah milikmu dik, yang akan menjangkau segala yang adik inginkan. Dua kaki
ini juga adalah milikmu dik, yang akan melangkah kemanapun adik inginkan. Jiwa dan raga ini juga
adalah milikmu, yang akan menjagamu di setiap waktu. ‘Tubuh mempunyai keinginan yang tidak
kita ketahui. Mereka dipisahkan karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa
tetap ada di tangan cinta terus hidup sampai kematian datang dan menyeret mereka kepada Tuhan’
”. Fahmi mengutip kata-kata Kahlil Gibran untuk di persembahkannya kepada istrinya tercinta.
“Cintaku, terima kasih untuk penerimaanmu, sayang. Aku mencintaimu melebihi segalanya.
Ridhokah engkau menjadi belahan jiwaku, dik?”. Tanya Fahmi kemudian dengan lembut seraya
mempermainkan anak-anak rambut Aibi dan tangan yang satunya lagi menggenggam erat tangan
Aibi.
Aibi tidak menjawab dengan kata-kata tapi hanya dengan anggukan kepala yang diiringi dengan
hujan air mata. Dan kemudin di peluknya suaminya dengan sepunuh jiwanya. Pelukan pertamanya
kepada suaminya di hari pertama mereka berada pada satu kamar. Kulitnya telah menyentuh kulit
Fahmi yang terasa panas. Ya, dia telah ridho menjadi istrinya Fahmi. Dia siap mengarungi
kehidupan bersama Fahmi. Dia siap lahir dan bathin untuk memberikan segalanya untuk suaminya
tercinta. Semakin diperkuatnya pelukannya ke Fahmi yang berbahu bidang itu.
“Suamiku, Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat
yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada." Aibi pun juga
mengutip kata-kata Sapardi Djoko Damono, salah seorang penyair tersohor itu untuk
dipersembahkannya kepada suaminya tercinta.
“Kamu tau Mas, ini adalah hari yang paling indah dalam hidupku setelah kecelakaan yang aku
hadapi. Ini adalah hari yang paling bahagia dalam hidupku. Terima kasih suamiku, engkau telah
membuatku bangga menjadi wanita. Engkau telah menyempurnakan gelar wanita sejati dalam
hidupku. Suamiku, jiwa raga aku persembahkan untukmu. Ku raih cinta di langit dan dengan
sepenuh hati aku persembahkan untukmu. Jamahlah hatiku dengan jamahan yang paling indah yang
kau miliki suamiku. Kecuplah bibirku dengan kecupan yang paling lembut yang engkau punya.
Suamiku, aku mencintaimu sepenuh jiwa dan ragaku. Bawalah aku berlayar bersamamu. Aku siap
melawan gelombang yang menerjang dan menghadang, asal semua itu aku lalui bersamamu
suamiku”. Ungkap Aibi meluapkan semua luapan perasaannya.
Mendengar ungkapan hati Aibi yang begitu dalam maknanya, Fahmi memulainya dengan sepenuh
hati dan.....
****
40
Masa-Masa Indah
Ketika subuh menjelang Aibi terbangun dalam kondisi penuh tanda tanya. Di tatapnya suaminya
yang tertidur di samping kanannya. Tidurnya begitu lelap. Aibi tidak berani mengganggu tidurnya.
Dibiarkannya Fahmi tertidur beberapa saat, dan kemudian di belainya lembut kepala suaminya dan
ternyata dia terbangun.
“Kamu sudah bangun sayang?” Tanya Fahmi kemudian sembari melirik jam digital yang terletak di
sisi tempat tidur.
Aibi menjawabnya dengan senyuman yang sangat indah dan kemudian mengambil tangan Fahmi
dan menciumnya. Fahmi melakukan hal yang sama.
“Mas, sebentar lagi adzan subuh. Kita belum mandi. Maukah kamu membantuku untuk ke kamar
mandi Mas”? ucap Aibi dengan suara manja.
“Dengan senang hati tuan putri”. Sambut Fahmi bersiap bangkit dari tidurnya. Tapi cepat Aibi
menarik lengannya dan membisikkan sesuatu di telinga Fahmi. “Jangan lupa memakai sarung ya
cintaku”. Ungkap Aibi lembut. Mendengar apa yang di sampaikan Aibi, mata Fahmi membeliak
besar dan kemudian dia menghujani Aibi dengan ciuman dan merangkulnya dengan erat. “OK my
love”. Katanya kemudian dengan senyuman yang sangat indah. Setelah memastikan segala
sesuatunya, barulah dia bangkit dari tidurnya. Dan menggendong Aibi ke kamar mandi.
Pagi ini tidak ada Rahmi lagi yang mengantarnya ke kamar mandi dan membantunya berwudhu
seperti biasa. Semua tugas itu telah di ambil alih oleh suaminya tercinta dengan sepenuh hati. Setiap
pagi dia mendapatkan kecupan hangat di keningnya dan kemudian rangkulan hangat dari suaminya
tercinta.
Tapi semenjak pagi itu setiap dia terbangun, dia bangun dengan berjuta tanya di hatinya. Tapi tanya
itu tidak mampu di ungkapkannya dengan nyata. Dia bingung kenapa setiap terbangun selalu
merasa tidak stabil dan ada sesuatu yang hilang di dalam hidupnya. Apakah gerangan yang terjadi?
Aibi tidak mengerti kenapa hal ini bisa terjadi dalam hidupnya. Dia ingin membicarakannya sama
Fahmi, tapi tidak tau bagaimana cara memulainya. Dia takut Fahmi tidak merasakan apa yang di
rasakannya. Di pendamnya sendiri masalah itu sendiri. Dia akan mengatakan ketika waktunya pas
dan tepat.
****
Waktu berlalu dengan cepat, sudah memasuki tiga bulan usia pernikahan mereka. Dan terlihat aman
dan bahagia. Pasangan yang sangat ideal menurut pengamatan Rahmi dan juga dua pembantu yang
ada di dalam rumah mereka. Setiap hari mereka terlihat memadu kasih dan seling mencintai. Tapi
sejatinya di hati mereka masing-masing ada tanda tanya besar yang ingin mereka pecahkan. Ada
konflik bathin diantara mereka. Tapi konflik itu tidak kentara sepertinya.
Di rumah sakit tempat Fahmi dinas, setiap kali dia lewat di depan para perawat yang centil-centil
selalu heboh membicarakan pernikahannya dengan Aibi. Mereka semua menyayangkan pilihan
Fahmi yang menurut mereka tidak capable. Sebenarnya lebih kepada iri dan cemburu. Kenapa
Fahmi yang gagah dan perkasa menjatuhkan pilihan kepada wanita yang duduk di kursi roda yang
tidak bisa apa-apa. Apa menariknya coba? Fahmi tidak menghiraukan desas desus itu. Sampai
kapan sih mereka akan mampu bertahan membicarakan semua itu? Seminggu, Sebulan? Dua bulan?
Atau setahun? Semua itu tidak akan merubah cintanya pada Aibi.
Penyambutan Aibi saat Fahmi pulang selalu saja dengan penuh cinta dan kehangatan. Kehangatan
yang berjalan selama bulan pertama dan kedua, memasuki bulan ke tiga tetap bertahan. Walau
konflik yang terjadi dalam dirinya semakin akut, tapi dia berusaha untuk memperlihatkan kewajaran
di mata Fahmi. Aibi tidak tahu kenapa. Yang jelas setiap kali Fahmi sampai di rumah ada sesuatu
yang mengusik hatinya. Belakangan dia mulai menolak hadirnya Fahmi di dalam hidupnya. Konflik
bathin yang di deritanya semakin jadi-menjadi. Setiap berhubungan dengan Fahmi dia semakin
tidak merasakan kehangatan sebagaimana mestinya. Sudah di carinya segala penyebabnya di
berbagai buku dan media, tapi dia juga tidak menemukan. Tapi sikap Fahmi kepadanya tidak pernah
berubah. Dia tetap lembut dan menatapnya penuh cinta.
Pernah suatu pagi Fahmi terbangun dalam keadaan tercenung sambil menatap lekat padanya. Dia
fikir ketika itu Fahmi mulai menyadari kelemahannya. Tapi ternyata ketika dia menyentuh lembut
lengan Fahmi, dengan cekatan Fahmi menyambar tubuhnya dan membopongnya ke kamar mandi.
Ternyata Fahmi hanya ingin mengerjainya pagi itu.
Dia semakin tidak mengerti. Penolakan itu lagi-lagi dirasakannya di dalam hatinya. Dia rindu pada
Fahmi tapi dia tidak mau melihat wajah Fahmi. Oh Tuhan, ada apa ini? Kenapa dia tidak merasakan
segalanya? Lalu kenapa suaminya seperti tidak menyadari hal ini?
Fahmi yang berangkat ke kantor dengan berjuta tanya. Setiap kali dia akan meninggalkan rumah,
dia selalu berfikir bagaimana cara mengajak istrinya untuk membicarakan segala yang di
rasakannya? Kenapa dia menangkap perubahan yang besar dalam diri istri yang sangat di cintainya?
Dia ingin membicarakan semua ini dengan baik dan mendiskusikannya, tapi dia tidak tahu dia harus
memulai dari mana. Dia takut Aibi nanti tersinggung.
Berjuta tanya hadir dalam hati Fahmi. Dia tidak merasakan apa-apa ketika berhubungan dengan
Aibi. Aibi tidak merespon apapun ketika dia memberikan signal-signal ke Aibi. Justru beberapa kali
dia merasakan Aibi menolaknya dengan mendorong tubuhnya. Ada apa gerangan? Dia belum
pernah menemukan kasus seperti ini. Apakah kelumpuhan yang di alami Aibi juga mengakibatkan
kelumpuhan pada? Ah tidak mungkin. Yang lumpuh itu hanya anggota tubuh seperti kaki dan... Tapi
tunggu-tunggu.. Bukankah Aibi mengalami kelumpuhan separoh dari tubuhnya? Oh tidak. Jika iya
bagaimana dia akan membicarakan hal ini dengan bidadarinya itu?
Fahmi merasa terpukul dengan pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkannya sendiri. Kenapa semua
ini harus terjadi pada Aibinya? Kenapa harus Aibi yang menanggung semua derita ini?
****
“Hai sayang !!!”. Sapa Fahmi suatu petang ke Aibi. Ia sedang duduk membaca buku di sofa
kamarnya seraya mengecup keningnya.
“Sudah pulang Mas? Bagaimana pekerjaanmu hari ini Mas? Menyenangkan?” imbuh Aibi sembari
memeluk lembut suaminya dan mengecup pipinya.
“Hmmm... Cukup melelahkan tapi sangat menyenangkan. Hari ini ada lima pasien yang mendatangi
Mas, Dik. Dan masalah yang mereka hadapi sangat memprihatinkan. Jantung kroner. Semakin hari
di Indonesia ini semakin banyak saja yang menderita jantung”. Ungkap Fahmi menceritakan hari
yang di laluinya di rumah sakit.
“Dik, apa adik punya waktu malam ini?” tanya Fahmi pelan sembari duduk di samping Aibi dan
memeluknya dengan hangat.
“Hm. Ada apa sayang? Untuk suamiku tercinta, aku selalu punya waktu”. Jawab Aibi singkat
sembari tersenyum dan merebahkan kepalanya di dada Fahmi yang bidang.
“Malam ini ada temanku yang melangsungkan pesta pernikahan. Dia mengundang kita berdua
kesana. Bagaimana menurutmu sayang?”.
“Good idea my husband. Kebetulan sebenarnya aku juga ingin mengajak Mas untuk menikmati
suasana di luar malam ini. Hitung-hitung cari angin segar, lagi pula ada sesuatu yang ingin aku
sampaikan pada Mas. Dan sepertinya akan lebih enak kalau kita berbicaranya sambil menikmati
hembusan angin”.
Jantung Fahmi berdebar kencang mendengar apa yang di sampaikan Aibi. Inikah saatnya Aibi akan
mengatakan segalanya? Akan mengatakan penyebab perubahan sikapnya yang belakangan agak
dingin dan terkadang menolak dirinya?
Fahmi menatap lembut Aibi sambil tersenyum penuh arti dan kemudian di ciumnya bibir Aibi
lembut. Kemudian berkata, “Kalau begitu kita tidak usah ke pesta pernikahan, karena kita tidak
akan bisa berbicara dengan bebas di sana. Bagaimana kalau kita mencari tempat yang indah malam
ini, dan menjelang tengah malam baru kita akan kembali ke rumah? Bagaimana menurutmu
sayang?”.
“Sepertinya cukup menarik, Mas. Dan kita bisa membicarakan segala sesuatunya dengan nyaman”.
Ungkap Aibi dengan mata membelalak lebar tanda takjub.
Fahmi bahagia sekali melihat ekspresi wajah Aibi. Sudah lama dia tidak lagi menikmati wajah yang
begitu ceria dari Aibi. Apalagi sebulan belakangan. Bahkan berbicara sehangat sekarang sulit untuk
mereka ciptakan. Fahmi semakin mempererat pelukannya ke tubuh Aibi yang semakin hari semakin
mengkerut dan mengecil. Ah, betapa dia rindu dengan suasana seperti ini. Di acaknya rambut Aibi
yang tergerai dan kemudian beranjak sambil berkomentar.
“Kalau begitu, Mas mandi dulu ya cinta. Lanjutkan membaca bukunya. Nanti menjelang tidur
ceritakan isi buku itu padaku, sudah lama tidak mendongeng untukku bukan? Aku rindu, dik”.
Ungkap Fahmi berlalu ke kamar mandi.
Tinggal Aibi yang tercengang. Dia sudah rencanakan malam ini akan di ungkapkannya semua yang
dirasakannya selama ini. Dia tidak ingin terlalu lama menyiksa dirinya dengan konflik bathin yang
di hadapinya. Semuanya sangat menyakitkan baginya. Dia harus mengatakan segalanya pada Fahmi
belahan jiwanya.
****
41. Belahan Jiwa
Mobil Yaris hitam yang menjadi tunggangan Fahmi kemanapun pergi saat ini telah bertolak
meninggalkan pekarangan rumah yang asri. Dia mengemudikannya dengan tenang. Sekali-kali di
tatapnya lembut Aibi yang duduk di sampingnya. Dan terkadang di sempatkannya meremas jemari
Aibi yang terletak di pahanya.
Aibi duduk dengan anggun di sampingnya. Baju gamis biru muda dan di padukan dengan jilbab
putih menambah cantik penampilan Aibi. Sekilas dia tidak seperti wanita cacat lazimnya. Tapi lebih
kepada seorang wanita yang berselara tinggi. Terkadang di rebahkannya kepalanya ke lengan Fahmi
yang sedang menyetir. Terkadang tangannya sibuk mengupas buah dan menyuapkannya ke mulut
Fahmi.
Malam ini bahagia sekali. Ini adalah malam pertama mereka kencan di luar. Mereka mungkin akan
menyaksikan cahaya rembulan di bawah sebatang pohon sambil menikmati jagung bakar dengan
berbincang-bincang ringan tentang rencana masa depan dan memperkuat komitmen pernikahan
layaknya sepasang pengantin baru yang tidak mau melewati malam begitu saja. Ya, dia kembali
merasakan malam pengantin barunya bersama suaminya tercinta. Terbayang tingkah Fahmi yang
kaku ketika pertama kali sekamar dengannnya. Begitu juga dengannya, dengan kaku di sambutnya
kedatangan Fahmi di kamarnya yang wangi semerbak. Ha... Berapa lamakah dia akan menikmati
semua ini? Akankah dirasakannya sampai ajal menjelang? Tiga bulan saja sudah sulit membuatnya
bertahan dengan kondisi dirinya yang serba kekurangan.
Di liriknya Fahmi yang sedang mengemudi. Wajah itu, begitu menghangatkan hatinya. Dia laki-laki
yang sangat baik sekali. Dia beruntung sekali mendapatkan suami seperti Fahmi. Tapi apakah
Fahmi beruntung mendapatkan istri seperti dia? Oh Tuhan betapa semua sangat menyiksa bathin
dan hatinya. Matanya tidak beralih dari wajah laki-laki yang sangat dicintainya itu.
“Hey... Kenapa menatapku seperti itu dik? Seperti mau menelanku saja. Ada yang salah dengan
wajah ini? Atau wajah ini terlalu ganteng menurutmu? Nikmatilah, karena wajah ini hanya milikmu,
sayang”. Kata Fahmi yang merasa di perhatikan Aibi cukup lama sembari meremas jemari Aibi.
“Iya, Mas. Adik baru sadar, ternyata wajah suami adik begitu tampan dan mempesona. Wajar para
suster di rumah sakit iri besar sama adik”. Seloroh Aibi sambil menggerakkan bahunya.
Mendengarkan seloroh Aibi membuat Fahmi tergelak-gelak sembari mengacak-acak kepala Aibi.
“Eh, ngomong-ngomong kita mau kemana ini tuan putri? Kuta? Parangkritis? Sanur? Atau kepantai
Carocok yang ada di Pesisir Selatan seperti yang adik ceritakan tempo hari? Atau ke Pantai Air
Manis melihat patung si Malin Kundang? Mau kemana? Ayo dipilih buk, tak antarin sampai
tujuan”. Balas Fahmi dengan berseloroh juga. Karena tadi mereka memang belum menentukan
lokasi mana yang akan mereka tuju malam ini.
“Aduh pak, sebenarnya saya mau ke jembatan Siti Nurbaya. Pasti lagi rame sekarang. Banyak yang
pacaran tu di sana. Suasanya juga romantis sekali. Tapi karena kejauhan, kasihan nanti Bapak
kecapean menyetir dan sampai disana minta di pijit lagi. Mbuh ah”.
“Hahahaha...So, kemana kita Buk? Putar-putar kota Jakarta bagaimana”?
“Wah nggak cukup waktu semalam Pak. Kita pergi pacaran ke Ancol aja bagaimana Pak? Soalnya
adik mau dengar desauan angin laut dan gemuruh ombak yang sedang berkejar-kejaran”.
“Siap cintaku. Mobil ini akan mengantarkan kemana pun tempat yang kau inginkan”. Fahmi pun
menambah kecepatan mobil.
Mobil telah di parkir. Fahmi keluar terlebih dahulu dan kemudian ke arah Aibi yang sudah
membuka pintu mobil. Fahmi akan menggendong Aibi di punggungnya malam ini. Mereka sengaja
tidak membawa kursi roda Aibi. Karena Fahmi ingin sepanjang malam ini menggendong Aibi
kemanapun mereka pergi. Mereka mencari tempat yang sepi dan romantis. Disepanjang bibir pantai
ada tembok setinggi pinggang orang dewasa. Disanalah mereka duduk sambil menikmati kerlap
kerlip cahaya bintang di langit.
Tubuh Aibi terasa dingin di hembus angin pantai. Dia semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh
Fahmi untuk mengurangi rasa dingin dengan tangan didekapkan ke dada. Melihat Aibi yang
kedinginan, Fahmi izin berjalan ke mobil mengambil sesuatu. Tak lama setelah itu Fahmi datang
lagi dengan switer biru laut ditangannya. Sedang dia sendiri telah memakai jacket hitam mengkilat.
“Untung tadi sebelum berangkat Mas sempat memasukkan ini ke mobil. Ternyata benar ada
manfaatnya”. Katanya kemudian dan membantu Aibi memakainya.
Mereka berbicara banyak hal sambil menikmati kwaci dan teh botol. Mereka terus berbicara
layaknya sepasang kekasih yang sedang memadu kasih.
“Cinta...” panggil Fahmi lembut, “katanya tadi ada yang mau dibicarakan? Kalau Mas boleh tahu,
apa yang ingin adik bicarakan? Hm?” Lanjut Fahmi kemudian sambil merangkul tubuh Aibi di
pelukannya.
“Hmmmm.... Jadi Mas penasaran dengan apa yang ingin Aibi katakan?”. Tanya Aibi balik ke
Fahmi.
Menyadari pertanyaan jebakan yang disampaikan Aibi, Fahmi tersenyum dan berkata. “Ya sudah
kalau nggak mau mengatakannya”. Jawab Fahmi pura-pura ngambek.
“Mas....” panggil Aibi kemudian.
“hm...” sambut Fahmi dengan jantung berdebar.
“Aku bahagia bisa menikah denganmu, Mas. Aku bahagia sekali bisa menjadi istrimu, Mas. Seperti
kata-kata yang pernah dikatakan oleh Khalil Gibran‘. Kemarin aku sendirian di dunia ini, kekasih;
dan kesendirianku... sebengis kematian... Kemarin diriku adalah sepatah kata yang tak bersuara..., di
dalam pikiran malam. Hari ini... aku menjelma menjadi sebuah nyanyian menyenangkan di atas
lidah hari. Dan, ini berlangsung dalam semenit dari sang waktu yang melahirkan sekilasan pandang,
sepatah kata, sebuah desakan dan... sekecup ciuman’”. Kata Aibi dan kemudian terhenti
“Pabila cinta memanggilmu... ikutilah dia walau jalannya berliku-liku... Dan, pabila sayapnya
merangkummu... pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu,
kamu tau dik, Aku juga cinta. Aku juga sangat bahagia bisa menikahimu,dik”. Jawab Fahmi sambil
memangku lututnya dan menaruh kepalanya di sana dengan posisi duduk lurus menghadap ke Aibi.
“Apa yang Mas harapkan dalam pernikahan kita, Mas”? Tanya Aibi kemudian.
Mendengar pertanyaan yang di lontarkan Aibi, Fahmi melepaskan pelukan di lututnya, di ambilnya
tangan Aibi dan di genggamnya erat tangan itu.
“Yang Mas harapkan dalam pernikahan ini ridho Allah dik. Karena pernikahan adalah ibadah.
Pernikahan adalah suatu ikatan suci. Satu-satunya perbuatan yang semulanya haram, menjadi halal
gara-gara ikatan pernikahan ini”. Jawab Fahmi lugas.
“Tidak ada yang lain yang Mas harapkan?”.
“Hm... Tidak dik. Karena ridho Allah akan memberikan kita segalanya. Kenyamanan, kebahagian,
ketentraman, kecintaan, kesetiaan, pemahaman dan banyak lagi yang akan kita temukan. Itulah
yang membuat rumah tangga kita menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah warohmah”.
“Bagaimana jika Mas menemukan sesuatu dalam diri pasangan Mas? Apa Mas akan kecewa?”
“Bukankah Mas sudah meminta ke Allah dalam sujud-sujud panjang Mas ketika istikhoroh?
Bukankah setiap manusia mempunyai kelebihan dan kekurangan? Mas Yono pernah bilang sama
Mas. Pernikahan itu merupakan tempat berkumpulnya segala yang serba berkekurangan. Semua itu
akan dilengkapi oleh masing-masing pasangan yang menjadi belahan jiwanya. Sehingga yang serba
kekuranan tadi akan menjadi sempurna. Dik... kamu tau, aku sangat beruntung bisa menjadi suami
dari wanita sholehah sepertimu dinda. Dan kamu adalah belahan jiwaku. Maka, tidak ada kata
kecewa pada belahan jiwa, yang ada adalah perasaan saling membutuhkan dan saling mengerti.”
“Tapi, ada satu hal yang terjadi dalam diriku Mas. Aku tidak tahu apakah Mas merasakan, atau
hanya aku saja yang merasakannya, yang jelas semua itu sangat fatal dalam ikatan sebuah
perkawinan. Aku khawatir permasalahan itu akan menjadi penghalang diantara kita untuk
kedepannya”.
“Apakah yang terjadi dalam dirimu dik? Katakanlah, biar kita carikan solusinya. Bukankah Mas
sudah katakan, Mas siap mendampingimu dalam kondisi apapun. Apa yang mengganjal
pemikiranmu, Dik”?
Aibi mulai tercenung. Pandangan matanya dialihkan dari wajah Fahmi yang ada di depannya.
Genggaman tangan Fahmi di tangannya perlahan di lepaskannya. Ada kesedihan tergantung di
wajahnya. Wajah yang tadi cerah, kini berubah mendung dengan tangis siap jatuh dari sana.
Tatapannya jauh kedepan. Mencari kata-kata yang tepat untuk di ungkapkannya. Menyadari
perubahan wajah Aibi, Fahmi cepat tanggap dan di rangkulnya lembut tubuh itu. Tapi dengan halus
Aibi mendorong Fahmi kesamping. Fahmi mengerti Aibi sedang di amuk ombak persaannya.
Dibiarkannya sesaat, namun tatapan matanya tidak lepas dari wajah Aibi.
“Kenapa cinta?”. Tanya Fahmi kemudian, karena Aibi tidak juga kunjung mengungkapkan
segalanya. “Apa kamu lelah duduk disini? Kalau begitu kita pindah ke mobil ya. Biar kamu bisa
menyandarkan punggungmu dan bisa lebih nyaman untuk mengungkapkan segalanya. Disini terlalu
ramai, bukan?”. Ungkap Fahmi hati-hati kemudian meloncat turun dari tembok dan langsung
menggendong Aibi di punggungnya.
“Mas...” Panggil Aibi kemudian setelah berada di dalam mobil. Dengan tatapan mata masih lurus
kedepan. Fahmi yang duduk di sampingnya memalingkan wajahnya “ham”. Sahut Fahmi singkat.
“Maafkan aku Mas. Jika aku tidak bisa membahagiakanmu. Maafkan aku, jika aku telah mengekang
kebebasanmu”. Ungkap Aibi lemah
Lagi Fahmi tersentak mendengar komentar Aibi. dan kemudian kembali di genggamnya tangan
Aibi. “Aku sangat bahagia menikah denganmu Dik. Aku tidak pernah merasa terikat menikah
denganmu, sayang. Karena kamu adalah belahan jiwaku dik. Ayolah Dik. hentikan semua perasaan
bersalahmu. Karena kamu tidak pernah berbuat salah padaku, Dik. Tidak pernah. Kondisimu yang
seperti ini, sebelum menikah aku telah ridho. Masih ingat pembicaraan kita ketika pertama kali kita
sekamar? Itu adalah komitment pernikahan kita. Insya Allah itu akan kita pegang sampai kapanpun
dik.
“Tapi Mas, justru semenjak pertama itu aku mulai sanksi dengan kemampuanku untuk menjadi istri
yang baik untukmu Mas. Mas tau, semenjak pertama kali kita menikah dan melakukannya, aku
tidak bisa merasakan apa-apa Mas . Aku tidak bisa merasakan kehangatan yang Mas berikan.
Semula aku fikir mungkin karena aku kecapen atau bagaimana. Tapi setelah begitu sering kita
lakukan sampai detik ini ternyata sama Mas, tetap aku tidak bisa merasakan apa-apa. Semenjak itu
aku berfikir kalau aku tidak mampu menjadi istri yang baik untuk Mas. Semenjak itu aku merasa
ada penolakan setiap kali dekat denganmu Mas. Maafkan aku Mas, yang belakangan dingin
padamu. Aku bingung dan frustasi dengan semua yang terjadi. Kenapa aku tidak bisa merasakan
apapun ketika berhubungan dengan Mas. Apa yang salah dalam tubuhku Mas. Apa Mas tidak
merasakan hal itu?”. Ungkap Aibi dengan air mata berjatuhan. Tapi hatinya legah. Hal yang selama
ini sangat mengganggu hatinya telah di ungkapkannya kepada laki-laki yang paling di cintainya.
Fahmi sendiri terkejut mendengarkan semua kejujuran Aibi. Dia telah larut dalam persaannya.
Bagaimanalah perasaan Aibi selama ini? Bahkan semenjak pertama mereka melakukannya dia tidak
mampu merasakan kenikmatan ketika berhubungan dengan suaminya. Lalu kenapa Aibi tidak
pernah menolak ketika dia memintanya? Lalu inikah alasannya semenjak mereka menikah Aibi
tidak pernah memintanya kepadanya? Oh Aibiku, apa yang aku cemaskan dan selalu menjadi
deretan pertanyaaan panjang dalam benakku setiap kali menempuh perjalanan ke kantor ternyata
benar. Tapi kenapa bisa terjadi seperti ini? Kenapa Aibi? Fahmi kehilangan kata-kata. Dia tidak tau
apa yang akan dikatakannya. Di rangkulnya Aibi dan dia pun menangis bersama Aibi.
“Sudahlah... Seperti apapun kondisimu, aku akan tetap menerimamu Aibi. karena aku telah banyak
mencintaimu Aibi. Sepenuh jiwaku hanya ingin aku persembahkan untukmu Aibi. karena kamu
telah memberikan warna dalam hidupku. Aku tidak peduli dengan kondisimu. Percayalah, kita akan
mengobati semua yang terjadi pada dirimu dik. Dan kamu pasti akan bisa merasakannya suatu
ketika”. Hibur Fahmi ke Aibi. tapi sejatinya semua itu hanya untuk dirinya sendiri.
****
42
Ujian Pertama Dalam Pernikahan
Semenjak mereka selesai membicarakan semua yang terjadi pada Aibi. semenjak itu mereka
berusaha untuk bersikap secara wajar dan normal. Tapi sepertinya begitu sulit untuk memecahkan
kebekuan diantara mereka. Aibi sering terlihat melamun di kursi rodanya. Lama-lama hatinya
semakin hambar menerima kehadiran Fahmi. Bahkan saat ini Fahmi tidak lebih dari hanya sekedar
teman untuk tidur baginya seperti yang dilakukan Rahmi selama bertahun-tahun untuknya.
Berbicara menjelang tidur semakin jarang mereka lakukan. Kecupan di keningnya yang dulu terasa
sangat menyejukkan, belakang terasa sangat menyakitkan baginya.
Fahmi sepertinya tidak kehabisan cara untuk menormalkan kembali kondisi Aibi, di ajaknya Aibi
berobat menemui dokter Obstetri ginekologi. Dan hasilnya dokter tidak menemukan penyebab yang
membuat Aibi kehilangan rasa ketika berhubungan dengan suaminya, yang terdeteksi itu hanya
female orgastic dysfuntion (organ kewanitaan yang tidak berfungsi). Dan penyebabnya tidak di
ketahui.
Berdasarkan kejiwaan hal itu bisa terjadi karena wanita melakukan hubungan dengan suaminya
dalam keadaan tertekan. Sementara Aibi tidak pernah merasa tertekan ketika akan melakukan
hubungan dengan suaminya. Bahkan dari awal ketika ijab kabul selesai di ucapkan dia sudah siap
lahir dan bathin menyerahkan semua yang dimilikya kepada suaminya tercinta.
Secara medis tidak ditemukan penyebab terjadinya kerusakan pada organ kewanitaan Aibi. Fahmi
tidak habis fikir kenapa hal itu bisa terjadi pada Aibi? Mungkinkah semua itu akibat dari kecelakaan
yang di derita Aibi sebelas tahun yang lalu? Juga mengalami kelumpuhan pada organ kewanitaan.
Tapi adakah kasus seperti itu di dunia kedokteran? Jika ada kenapa para dokter ahli yang mereka
temui tidak mampu mengungkapnya?
Apa lagi yang akan di harapkan pada sebuah ikatan perkawinan jika yang tersisa dari semua yang
seharusnya indah tidak lebih dari hanya keheningan dan kesepian yang mencekam. Semuanya
terasa sangat menyakitkan. Jika dulu pertemuan adalah sesuatu yang sangat di rindukan, hari ini
terasa sangat menyakitkan. Jika dulu bisikan penuh cinta dan kelembutan adalah sesuatu yang
sangat dinanti-nanti, hari ini telah berubah menjadi sesuatu yang sangat di benci dan tidak di
harapkan lagi.
Tidak ada lagi yang menarik, semuanya telah berubah menjadi hari-hari yang membosankan yang
lama kelamaan semakin membungkam mulut pasangan pengantin baru itu. ya, mereka masih
pengantin baru yang seharusnya masih di mabuk kasih dan asmara. Tapi yang terjadi malah
sebaliknya. Usia pernikahan yang belum se usia jagung, tapi begitu berat ujian yang harus mereka
tanggung. Bayangan pernikahan yang dulu mereka bangun semakin lama semakin pudar dalam
ingatan dan asa mereka. Komitmen pernikahan ketika pertama kali menaiki ranjang pengantin telah
lapuk di makan rayap kebisuan yang mencekam. Kemana lagi akan di cari makna dari pernikahan
yang mereka jalani. Masalah bukan karena ketidak cocokan, tapi karena ketidak mampuan salah
satu pasangan untuk melayani pasangannya. Ah, semua ini sangat menyakitkan bagi keduanya.
Fahmi tergugu dalam sujud-sujud panjangnya. Betapa dalam hatinya dia sangat ingin
membahagiakan istrinya. Tapi jika kondisinya sudah seperti ini, kebahagian seperti apa lagi yang
akan di berikannya? Dia mengerti Aibi lebih tersiksa lagi dari padanya. Aibi lebih menderita
menghadapi semua ini.
Tuhan, semua ini begitu berat untuk Aibi. Lagi-lagi kenapa harus Aibi istrinya yang mengalami
semua ini? Apa setelah kecelakaan itu Aibi tidak berhak lagi menikmati segala bentuk kebahagian,
termasuk kebahagian dan kenikmatan dalam berumah tangga? Aibi, kasihan kamu cintaku, harus
menanggung semua beban bathin ini. Betapa dia ingin meringankan beban bathin yang di derita
istrinya, tapi bagaimana? Apa yang harus dilakukannya? Hatinya hancur ketika melihat Aibi yang
semakin pendiam dan tidak banyak lagi berkomentar tentang segalanya. Rumah saat ini menjadi
tempat yang paling di hindarinya. Dan hari ini saja dia benar-benar menghindar dan menjauh dari
rumahnya. Dia tidak sanggup melihat kesedihan yang menggelantung di pelupuk mata Aibi.
Semakin lama cahaya di mata itu semakin meredup dan semakin hilang.
Fahmi terus meratapi nasib Aibi. Malam ini dia sengaja tidak pulang ke rumah. Tadi sore di
katakannya kalau dia ada dinas malam, dia yakin Aibi pasti bertanya-tanya kenapa begitu
mendadak dinas malam? Bukankah sebelumnya dia tidak pernah dinas malam? Maafkan Mas, dik.
Mas hanya ingin menenangkan diri. Mas butuh untuk beberapa saat menghindar darimu. Mungkin
Mas terlalu egois padamu dik, seharusnya Mas selalu mendampingimu seperti janji Mas di awal
pernikahan kita. Tapi ketahuilah karena Mas terlalu mencintaimu sehingga Mas harus menghindar
sejenak darimu. Saat ini Mas benar-benar tidak sanggup lagi menahan semua beban ini.
Sepanjang malam ini Fahmi tidak berhenti menangis di ruang kerjanya di rumah sakit. Dia ingin
meluapkan segala perasaannya. Dia ingin meluapkan segala kesedihannya. Sungguh betapa dia
tidak sanggup lagi menahan segalanya. Semuanya terasa sangat menyakitkan. Di genggaman
tangannya ada foto dirinya dan Aibi setelah akad nikah. Di tatapnya foto itu, begitu anggun dan
cantiknya Aibi yang ada di dalam gendongannya. Pernikahan mereka baru memasuki bulan ke
enam, tapi sudah begitu banyak cobaan yang mereka hadapi. Air matanya kembali mengalir.
Terbayang Aibi yang sedang terjaga sepanjang malam di ranjang kamarnya. Tatapan matanya yang
semakin meredup, dan wajah yang semakin tirus. Ekspresi wajah yang sangat dingin dan tidak
bereaksi apa-apa lagi ketika dia akan berangkat ke kantor. Jika sebelumnya Aibi masih
menyempatkan untuk memperbaiki dasinya ketika dia akan berangkat dan mengantarnya sampai
pintu, sebulan belakangan hal itu tidak pernah di lakukan lagi oleh Aibi. Sambutan Aibi yang tidak
lagi hangat ketika dia pulang dari kantor. Suasana di meja makan yang semakin sepi, dan
keheningan panjang di kamar tidur. Dan semuanya telah berubah hanya dalam hitungan bulan saja.
Dadanya bergemuruh dengan gelombang perasaan yang begitu besar. Dia benar-benar sudah tidak
tahan lagi. oh Aibi, apa yang harus aku lakukan untuk mengembalikan senyummu dik? Katakan
padaku dik, apa yang harus aku lakukan? Jangan siksa aku dengan diammu dik. Ratapan Fahmi
semakin menjadi-jadi di ruang kerjanya.
Di tengadahkannya kepalanya, ditariknya nafas dalam-dalam dan kemudian dihembuskannya
dengan kuat. Bayangan Aibi sedang bermain indah di pelupuk matanya. Tiba-tiba dia sangat rindu
sekali dengan Aibi. dia ingin memeluk tubuh Aibi dan menangis di pangkuan Aibi. dia ingin
mengungkapkan semuanya kepada Aibi. dia ingin Aibi tau, bahwa dia juga sangat tersikas dengan
semua ini. Oh Tuhan, dia benar-benar sangat merindukan kehadiran Aibi di sampingnya saat ini.
Dia ingin pulang, dia ingin meluahkan segala perasaan ini pada belahan jiwa yang sangat di
cintainya. “Dik, Mas merindukanmu dik”. Bisiknya lembut. Kembali di ambilnya foto dirinya dan
Aibi yang ada di meja kerjanya, dibawahnya foto itu ke mulutnya dan diciumnya foto itu dengan
penuh perasaan, seolah dia sedang mencium Aibi istrinya. Sedang permukaan foto itu telah penuh
oleh deraian air matanya.
“Sayang, apa yang sedang kamu lakukan cinta”? Apa yang sedang dilakukan Aibi saat ini? Dia tahu
persis setelah berbulan-bulan semenjak mereka pulang dari Ancol membicarakan segalanya Aibi
tidak pernah lagi tidur dengan nyenyak. Kerap dia mendengar isak tangis Aibi. oh Aibi begitu kejam
hidup ini untukmu Aibi. Apa yang bisa aku lakukan untuk meringankan bebanmu Aibi? Apakah
Aibi juga sedang menangis seperti dirinya saat ini? Dia tahu Aibi pasti lebih sedih lagi darinya. Aibi
lebih menderita darinya. Oh... Tubuh kokoh itu semakin terguncang dalam isakan tangis yang
mendalam.
***
Kesunyian telah mencekam. Langit hitam kelam, tak ada satu cahaya bintangpun yang menghiasi
langit malam ini. Dunia telah mencapai puncak kesepiannya. Semua telah hanyut dalam dengkuran
lunak bergelung di atas tempat tidur empuk di kamar-kamar indah rumahnya. Sebagian makhluk
ada yang tidur dengan bertemankan dengungan nyamuk di mana-mana. Tidur dengan alas ala
kadarnya di emper-emper tokoh dan bahkan di kolong jembatan. Bangun lebih awal dari yang
lainnya, jika tidak mau di usir seperti binatang oleh pemilik tokoh. Dan bahkan tidak jarang
terkadang tengah akan tidur kena razia satpol PP, sehingga semalam suntuk terpaksa lari
menyelamatkan diri. Lari entah kemana di tengah gelapnya gulita malam.
Sementara nun jauh di sudut-sudut sunyi hotel berbintang para pejabat kelas kakap yang
mempunyai uang melimpah dan berlipat-lipat tapi hasil jarahan dari kekayaan negara, menipu para
rakyat kecil dengan embel-embel “pilih saya, maka akan saya berikan kehidupan layak pada kalian”
sibuk memenuhi keinginan nafsu bejatnya. Sibuk bergemul dengan para pelacur-pelacur yang
kemudian tiba-tiba akan berubah menjadi selebritis negeri ini karena melaporkan skandal mereka
dengan si pejabat bejat. Sehingga berminggu-minggu lamanya semua media yang ada di negeri ini
akan sibuk memberitakan tentang skandal mereka. Begitulah kehidupan di kota mertopolitan ini.
Yang kaya menikmati kekayannya tidur dengan nyaman di kasur-kasur empuk dan berselimutkan
selimut hangat yang nyaman. Tapi hasil jarahan uang rakyat. Sementara yang miskin akan semakin
terpuruk. Moral semakin jauh dan empati semakin berkurang. Tapi mereka dengan bangga masih
mengatakan bangsa ini adalah bangsa beradab dan bermoral. Benarkah?
Dan selarut malam ini, Aibi masih duduk mematung di kursi rodanya. Matanya nanar. Sudah lama
dia ingin menangisi semua ini. Tapi air matanya seperti kering di kerongkongan. Dia sudah tidak
sanggup menahan semua beban bathinnya. Semuanya terasa sulit baginya. Dibiarkannya jendela
kamarnya terbuka lebar, agar panas di hatinya meredah dan mumet di kepalanya berkurang.
Setelah sekian lama akhirnya malam ini semua derita itu telah di luapkannya. Dia telah puas
menangisi nasibnya. Dia telah puas mengutuki dirinya yang tidak berguna. Semua yang menyumbat
uluh harinya telah di lepaskannya. Jika selama ini dia masih berusaha untuk menahan dan
menghibur diri dengan kata-kata sabar dan ikhlas, hari ini kata-kata itu tidak mempan lagi. semua
derita yang ditanggungnya telah sampai kepuncaknya. Dia telah kehilangan kendali. Kata-kata
sabar menjadi kata yang sangat menyakitkan baginya. Dia telah puas mengungkapkan segala
protesnya kepada Tuhan. Dia telah puas mengungkapkan segala deritanya kepada Tuhan.
Setelah melewati rentetan kehidupan yang begitu menggentarkan selama ini, masihkah ada tersisa
kebahagian untuknya? Ataukah dia memang telah di takdirkan untuk menikmati segala kemelut ini
dalam hidupnya. Dia telah kehilangan segalanya dalam hidupnya. Impian, cita-cita, harapan dan
segalanya. Dan ketika harapan itu datang lagi melalui sosok Fahmi yang di cintainya, kenapa tidak
bertahan lama? Kenapa hanya sehari saja kebahagian itu di rasakannya? Ya, hanya sehari saja ketika
ijab dan kabul. Setelah itu permasalahan lain datang lagi menghampirinya.
Kenapa hidupnya tidak pernah berhenti dari permasalahan? Belum cukupkah semua penderitaan
yang dihadapinya selama ini? Kapan semua derita ini akan berhenti? Tidakkah Engkau tahu Tuhan,
kehilangan fungsi dua kaki ini saja sudah sangat menekan bathinku. Lalu kenapa Engkau
menambahnya lagi dalam bentuk lain? Seperti inikah ungkapan cintaMu kepada ku Tuhan? Ya
Tuhan, aku begitu lemah untuk menghadapi semua ini. Aku begitu rapuh untuk menjalani semua
ini. Aku tidak siap menerima ungkapan cintaMu jika seperti ini bentuknya.
Sungguh Tuhan, aku sudah tidak sanggup menghadapinya. Kenapa tidak Engkau berikan
kebijaksanaan hati untukku dalam menghadapi semua ini? Pundakku telah terlalu berat rasanya
Tuhan. Dan aku sudah tidak sanggup memikul semua beban bathin ini. Semuanya sangat
menyiksaku. Aibi trus menangis di kepekatan malam. Hatinya meronta-ronta ingin di lepaskan dari
segala yang mengikatnya selama ini. Isakan itu terdengar pilu menyayat hati. Jeritan hati seorang
istri di malam hari, jeritan hati seorang hamba di puncak malam dimana ketika Tuhan sedang turun
ke langit bumi mendengarkan rintihan hamba-hamba yang sedang meminta kepadaNya.
****
Bila ada surga di dunia, itu adalah rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang penuh dengan
rasa sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan bila ada neraka di dunia itu adalah rumah tangga yang
hancur, suami istri saling menyalahkan, curiga, tidak saling mencintai dan jauh dari rasa sakinah
mawaddah dan rahmah.
Dari awal ketika dia mengiyakan dan menerima Fahmi untuk menjadi bagian dalam hidupnya, dia
telah bermimpi akan mereguk syurganya dunia dengan rumah tangga yang bahagia yang penuh
dengan sakinah, mawaddah dan rahmah bersama suaminya tercinta. Dia telah bermimpi dari
rahimnya akan lahir para mujahid dan mujahidah tangguh yang akan melanjutkan perjuangan
dakwahnya.
Dia telah mengimpikan semua itu. Tapi setelah enam bulan di jalaninya sepertinya hal itu sangat
jauh dari rumah tangga mereka. Sepertinya semua itu hanya akan menjadi mimpi belaka yang tidak
akan pernah terwujud. Bukan karena mereka saling menyalahkan dan tidak saling mencintai. Justru
mereka sangat saling mencintai satu sama lain.
Menjadi seorang Ibu... Akankah dia akan menjadi seorang Ibu? Akankah ada yang akan
memanggilnya Umi seperti yang di rindukannya selama ini? Tuhan, semuanya sangat menyakitkan
Tuhan. Semua itu tidak akan pernah di perolehnya. Semua itu hanya akan menjadi cita-cita di masa
lalu, sama seperti kisah tentang S.2nya ke negeri Sakura. Semuanya nyaris di raihnya, tapi
semuanya kandas karena kecelakaan. Begitu juga dengan pernikahannya, semua kenikmatan dan ke
bahagian itu hampir di raihnya, tapi dia harus menggigit jarinya lagi karena menerima kenyataan
kalau dirinya tidak bisa menjadi istri yang di harapkan. Dia tidak mampu melayani suaminya lahir
dan bathin. Sungguh semuanya sangat menyakitkan.
****
43
Air Mata Yang Mengalir Deras
Di dunia kita, kita hidup di kehidupan yang sibuk dan melelahkan di kelilingi oleh berbagai macam
schedule dan deadline. Bagi pasangan, ini artinya kemungkinan Kita tidak bisa meluangkan waktu
bersama-sama dan berada sendiri di tengah-tengah kesibukan kerja dan komitmen tugas. Kita
jangan membiarkan hal ini terjadi terus menerus. Cobalah sesekali Kita luangkan waktu untuk
melakukan kegiatan secara periodik dengan pasangan kita. Ingat rasul juga pernah meluangkan
waktunya untuk berlomba lari dengan Aisyah r.a.
Keluar dengan pasangan yang merupakan belahan jiwa sesering mungkin. Lakukan aktivitas
bersama, mengunjungi teman bersama, piknik bersama atau sekedar berbelanja di mall bersama.
Selalu jaga romantika dalam hubungan Kita. Kehidupan modern hampir mengubah kita menjadi
robot atau mesin teknologi tinggi tanpa emosi. Menunjukkan emosi dan perasaan yang Kita rasakan
perlu untuk menjaga ikatan pernikahan agar terhindarkan dari berkarat, peluruhan. Sebagaimana
yang di ajarkan Rasul kepada kita "Katakanlah kepadanya kalau engkau mencintai saudaramu,"
sebuah pengajaran untuk menunjukkan cinta kepada teman karena ikatan ukhuwah. Terlebih lagi
bila pasangan kita yang terikat dengan ikatan suci pernikahan, nyatakanlah.
Jangan meremehkan hal-hal penting yang terlihat kecil, seperti membawakan belanjaan Istri bagi
seorang suami atau memijit suami bagi istri barangkali atau suami membuKakan pintu mobil dan
sebagainya untuk istrinya seperti yang di ajarkan rasulullah menyediakan kakinya untuk membantu
istrinya naik ke atas unta.
Begitu indah kehidupan rumah tangga. Segala sesuatunya selalu di lakukan berdua. Tapi itu
mungkin bagi pasangan-pasangan yang tidak punya permasalahan yang tengah di hadapi Aibi dan
Fahmi. Rumah tangga yang mereka jalani telah kehilangan arti.
Fahmi sudah semakin sering melarikan dirinya dengan cara bermalam di rumah sakit tempatnya
dinas. Begitu juga Aibi sudah semakin kerap menghabiskan sisa malam yang di lewatinya dengan
menangis dan menangis. Tidak ada lagi yang bisa membuat hatinya tenang saat ini kecuali
menangis. Walau terkadang Fahmi pulang, maka tidak lebih ketika malam sudah beranjak
mendekati larut. Ketika semua orang telah tertidur dan barulah dia akan kembali ke rumah. Tidak
jarang ketika dia sampai di rumah ketika Aibi telah tertidur, itu anggapannya. Padahal tak
sedikitpun mata Aibi bisa di pejamkan sepanjang malam. Dia hanya pura-pura memejamkan
matanya ketika Fahmi masuk ke kamar.
Kondisi benar-benar tidak menguntungkan bagi siapapun. Fahmi hanya sanggup memandang Aibi
di kegelapan kamar tidur mereka. Dia hanya sanggup menyentuh Aibi di dalam hatinya. Setiap kali
melihat wajah Aibi, banyak air mata rasanya yang ingin di tumpahkannya. Dia ingin semuanya
cepat berlalu dan rumah tangganya kembali normal sebagaimana layaknya rumah tangga orang-
orang yang bahagia, yang selalu memadu kasih.
Malam semakin larut, Fahmi masih duduk di tepi ranjang dengan mata menatap Aibi lekat. Di
tatapnya Aibi semakin dalam, perlahan tangannya mulai membelai lembut rambut Aibi dan
kemudian di sentuhnya tangan Aibi yang tergeletak di sampingnya. Dan tak lama setelah itu
matanya terasa sangat panas. Dia ingin sekali menangis dan memeluk Aibi. Dia ingin
menumpahkan segela beban di hatinya. Dia tidak tahan hidup seperti ini. Dia tidak sanggup
bertahan dalam kebisuan yang panjang. Dia dia juga tidak sanggup menghadapi kebisuan Aibi yang
semakin akut. Di urungkannya niatnya untuk memeluk Aibi. Dia takut mengganggu tidur Aibi.
Setelah sesaat di tatapnya lekat Aibi, dia berdiri dan ke kamar mandi. Di kamar mandi dia menangis
sejadi-jadinya.
Setelah puas menangis, dia ingin sekali mengadukan semua ini kepada Allah. Bukankah Dia yang
memberikan semua cobaan ini? Semuanya telah sampai kepuncaknya. Hatinya sudah penuh
menahan segala beban bathin ini. Dengan berurai air mata dia menghadap Allah dan mengadukan
semuanya kepada sang pemilik kehidupan ini.
“Oh dik.. kemana akan aku adukan segala beban ini dik. Hatiku telah penuh, dan aku sudah tidak
sanggup lagi untuk menahan semua ini. Sampai kapan aku akan menghadapi kebisuanmu yang
tidak berpenghujung itu, dinda”? Fahmi mulai menceracau di kegelapan malam. Cahaya temaram
rembulan masuk menembus jendela kamar mereka. Dia telah tersungkur menangis di hamparan
sajadahnya. Dia benar benar sudah tidak bisa menahan semua amukan perasaan ini. “Katakanlah
sesuatu biar aku bisa berbuat dinda. Begitu beratkah mulutmu untuk mengungkapkan segalanya
kepadaku? Aku suamimu dik? Apa gunanya kita berada pada satu rumah, satu kamar, satu ranjang,
tapi tidak satu kata pun yang kita ucapkan selama hampir sebulan ini? Begitu susahkah bagimu
untuk mengungkapkan segalanya?” Fahmi terus meratap di hamparan sajadahnya. Sementara Aibi
yang dari tadi terlihat seperti tertidur lelap, sejatinya tak sekejap pun dia mampu memejamkan
matanya. Betapa dia lebih menderita lagi menahan semua ini. Badannya bergetar menahan tangis.
Tapi sedapat mungkin di tahannya tangis itu, karena dia tidak ingin Fahmi mengetahui semua itu.
“Oh Tuhan...... andai tidak ada cahaya keimanan di dalam hati ini, mungkin telah lama aku
tinggalkan kehidupan yang seperti ini. Mungkin telah lama aku hengkang dari kehidupan yang
serba menyakitkan ini. Tapi Tuhan, kenapa Engkau memberikan perasaan cinta yang sangat
mendalam ke dalam hati hamba kepadanya? Dan aku tidak sanggup melihatnnya terluka seperti ini.
Hamba tahu dia lebih terluka lagi dari pada hamba ya Allah. Apa yang harus hamba lakukan untuk
mengobati luka di jiwanya ya Allah? Allah, di kegelapan malam ini, aku nmengadukan semua duka
nestapa ini padaMu. Berikan hamba jalan keluar yang tidak menyakiti istri hamba. Hamba sudah
tidak sanggup bertahan dengan kebekuan ini. Hamba sudah tidak sanggup bertahan dalam kebisuan
yang panjang ini. Hamba terlalu rapuh ya Allah. Hamba butuh ketenangan jiwa dan bathin hamba
Ya Allah”. Fahmi terus menangis di haribaan Tuhannya. Dia terus mengadukan semua
kegundahannya kepada sang pemilik kehidupan ini.
“Ya Allah kenapa cinta ini begitu menyakitkan hati hamba ya Allah? Kenapa hamba menjadi
pengecut seperti ini? Kenapa hamba tidak mampu bertahan menghadapi semua ini? Kenapa ya
Allah? Bukankah hamba sangat mencintai istri hamba? Lalu kenapa hamba tidak mampu bertahan
dengan kondisi ini? Oh Tuhan, betapa semua ini sangat menyakitkan ya Allah. Maafkan hamba jika
hamba tidak sabar menghadapi semua ini”. Fahmi terus meratapi semuanya. Dia terus menceracau
tidak jelas.
Aibi semakin terguncang di tempat tidur mendengar semua keluhan Fahmi pada Rabbnya. Betapa
dia merasa berdosa telah menyia-nyiakan suami sebaik Fahmi. Betapa dia ingin menghambur ke
pelukan Fahmi dan meminta maaf akan segala perbuatannya selama ini. Tapi dia tidak sanggup
untuk melakukan semua itu. Energinya sudah terlalu terkuras dengan semua beban bathin yang di
hadapinya.Aibi hanya bisa menahan isakan di ranjang, sedang bantalnya telah penuh oleh cucuan
Air matanya. Aibi semakin terisak mendengar semua kejujuran yang di sampaikan Fahmi. Pantaslah
beberapa hari ini Fahmi lebih sering tidak di rumah dan pulang ke rumah setelah larut malam.
Kenapa dia tidak memikirkan semua dampak yang tidak baik untuk Fahmi suaminya? Kenapa dia
hanya memikirkan nasibnya selama ini? Kenapa dia tidak memikirkan tentang perasaan Fahmi yang
terabaikan? Kenapa Aibi?
Malam itu dua insan yang sejatinya saling mencintai telah menangis memikirkan nasib mereka
masing-masing. Mereka sudah kehilangan cara untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Dan rumah yang mereka huni yang seharusnya menjadi tempat untuk mencurahkan cinta dan kasih,
untuk menghilangkan kepenatan di luar, nyatanya hanya menjadi tempat menambah beban setiap
kali mereka berada dalam satu atap.
***
44
Mencari Jalan Setapak Ke Hatimu
Malam yang kesekiannya Aibi tidak bisa memejamkan matanya walau hanya agak sejenak saja.
Setelah mendengarkan ratapan Fahmi semalam di hamparan sajadahnya, semenjak itu jiwanya tidak
pernah tenang. Dia sangat terganggu dengan semuanya. Ratapan lirih Fahmi masih terngiang-
ngiang jelas di telinganya. “Oh Tuhan...... andai tidak ada cahaya keimanan di dalam hati ini,
mungkin telah lama aku tinggalkan kehidupan yang seperti ini. Mungkin telah lama aku hengkang
dari kehidupan yang serba menyakitkan ini”. Aibi mulai mengerti dan faham dengan makna ratapan
itu. Dia mulai bisa menangkap sinyal yang ada di balik ratapan Fahmi itu. Dia mengerti sekali, dia
harus mengambil tindakan yang tepat secepatnya sebelum semuanya terlambat. Dan hal itu akan di
sampaikannya ke Fahmi.
Setelah sekian lama dia mencari celah untuk memulai pembicaraan yang sangat serius dengan
suaminya, maka malam ini berangsur celah itu mulai tampak. Celah itu mulai nyata di matanya. Dia
akan memulainya segera. Dia tidak ingin segalanya terlambat dan menjadi penyesalan dimasa yang
akan datang padanya dan juga Fahmi. Dia sudah putuskan, malam inilah saat yang paling tepat
baginya untuk memulainya lagi. Membangun kembali jalan setapak menuju hati suaminya untuk
mencari jalan keluar yang jernih untuk permasalahan yang mereka hadapi.
Malam semakin larut, detak jarum jam semakin jelas terdengar. Ruangan tamu telah lengang. Sepi
dan mencekam, lampu ruangan telah di ganti dengan yang agak redup. Dibawah remang-remang
cahaya lampu lima watt Aibi masih setia menanti pangeran hatinya untuk pulang. Dia yakin Fahmi
akan pulang. Karena walau mereka sudah tidak saling berkomunikasi lagi, Fahmi belum pernah
tidak pulang ke rumah tanpa mengabari terlebih dahulu. Walau itu hanya lewat SMS. Begitu juga
hari ini, dia tidak mendapatkan kabar apa-apa dari Fahmi, maka dia yakin Fahmi pasti pulang. Dia
akan menanti Fahmi sampai dia pulang. Walau Rahmi sudah bersikeras menemaninya, tapi dia tidak
mau, dia akan menanti kedatangan Fahmi sendirian.
Jam terus berjalan, dan malam semakin merangKak mendekati larut. Aibi masih duduk dengan
tenang di sofa tamu menanti kedatangan Fahmi. Sekali-kali Aibi terangguk karena kantuk, tapi
cepat dia terbagun setiap kali mendengar suara mobil mendekat. Untuk mengusir rasa kantuk di
hidupkannya TV, tapi ternyata tidak sanggup menahan kantuknya. Hampir saja Aibi benar-benar
jatuh tak sadarkan diri karena kantuk, tiba-tiba terdengar suara pagar di dorong, dia kembali
membuka matanya berusaha menegakkan tubuhnya dan sedikit meregangkan tubuhnya.
Tak lama setelah itu cahaya lampu mobil menembus masuk ke kaca jendela dan menyilaukan
pandangan matanya dan berhasil mengusir rasa kantuknya. Terdengar bunyi mesin mobil di matikan
dan membanting pelan pintu mobil. Suara ketukan sepatu terdengar mendekati pintu rumah dan
sejenak terdengar suara-suara membuka kunci pintu, tapi ternyata pintu tidak di kunci dan dengan
mudah Fahmi mendorongnya. Pintu terbuka, dia berhasil menangkap bayangan orang yang sedang
duduk di kursi tamu. Dia yakin itu Aibi, karena orang itu tidak berusaha untuk berdiri dan hanya
duduk menantinya di sana. Dengan hati penuh tanya di hampirinya sosok yang sedang duduk
tersebut dan benar ternyata itu Aibi. Aibi memutar kepalanya menghadap Fahmi.
Dengan kikuk di dekatinya Aibi dan di ciumnya dengan penuh cinta dan perasaan rindu yang
meluap-luap. Setelah sekian bulan, ternyata malam ini Aibi kembali menunggu kedatangannya
seperti malam-malam ketika mereka pertama kali menikah. Jika dia tahu Aibi akan menunggunya
pulang malam ini, mungkin dia akan pulang lebih cepat. Tidak akan menghabiskan dulu harinya
dengan bermenung di tepi pantai. Dengan duduk jongkok di depan Aibi di belainya lembut kepala
Aibi sembari berkata. “Kamu belum tidur sayang?”. Katanya lembut sembari menatap lembut Aibi.
Aibi tersenyum dengan sangat indah sekali dan dengan lembut di ambilnya tangan Fahmi dan
menciumnya dengan lembut. “Belum Mas. Saya ingin menunggumu pulang, karena saya sangat
merindukanmu Mas”. Jawab Aibi dengan suara lirih. “apa Mas sudah makan?”. Tanya Aibi
kemudian.
Sebelum dia menjawab pertanyaan Aibi, dengan lembut di ciumnya Aibi dengan penuh cinta. “Mas
sudah makan Dik. Mas makan di luar tadi”. Jawab Fahmi singkat. “Kamu sudah makan dik? Tapi
malam ini Mas mau makan lagi. Tiba-tiba Mas sangat lapar Dik. Maukah Adik mengambilkan
untuk Mas?” Lanjut Fahmi lagi.
Mendengar permintaan Fahmi, Aibi tersenyum, “Dengan senang hati cintaku. Tapi maukah Mas
membantu mengantarkan Adik ke dapur?”.
“Tentu tuan putri. Tapi melihat senyummu yang begitu indah, ternyata menghilangkan lapar Mas,
dik. Sekarang keinginannya berubah menjadi ingin bercerita banyak denganmu. Tapi di kamar saja
ya, sayang. Biar bisa sambil beristirahat”. Kata Fahmi kemudian.
“Baiklah. Kalau begitu Mas mandilah. Biar ku buatkan minum untukmu untuk menemani
pembicaraan kita malam ini”.
“Apakah kita akan berbicara sampai pagi, dik?”
“Jika perlu, kenapa tidak? Banyak hal yang ingin aku katakan pada Mas malam ini”.
“Baiklah dik. Kalau gitu biar Mas bantu ke kursi roda ya”. kata Fahmi sembari menggendong Aibi
dan meletakkannya di atas kursi roda. Sebelum dia beranjak ke kamar, di ciumnya lagi Aibi dengan
penuh cinta dan kerinduan yang teramat sangat. “Aku mecintaimu, dik”. Bisiknya lirih sembari
beranjak ke kamar. Aibi mulai mendorong kursinya menuju dapur memanaskan air dan menyeduk
teh untuk Fahmi. Sedang Fahmi beranjak ke kamar ingin membersihkan tubuhnya biar segar.
Berjalan menuju kamar, air matanya tidak berhenti berjatuhan. Dalam hati dia bersyukur kepada
Tuhan telah mengembalikan Aibi seperti dulu. Walau dia masih menangkap kesedihan, tapi paling
tidak dia sudah tersenyum lagi. senyum yang sangat di rindukannya selama ini.
Begitu pun dengan Aibi. Air matanya tidak berhenti mengalir menjelang sampai di dapur. Begitu
sampai di dapur dia tidak langsung memanaskan air, tapi menangis sejadi-jadinya. Tuhan, betapa
dia rindu dengan tatapan penuh cinta itu. dan malam ini dia kembali mendapatkanya dari orang
yang di cintainya. Betapa selama ini dia telah kehilangan segalanya. Dia tidak menyangka malam
ini begitu mudah mencairkan kebekuan diantara mereka. Jika dia tau akan semudah ini, dia tidak
akan menunggu hingga selama ini. Oh, betapa hatinya bahagia mendapatkan kecupan penuh cinta
dan kerinduan dari Fahmi tadi.
****
45. Kebutuhan Yang Tak Tersalurkan
Setelah puas menangis dan dia yakin Fahmi juga sudah selesai mandi, cepat-cepat di panaskannya
air. Tapi belum selesai dia menyiapkan segalanya, dia mendengar ada langkah kaki mendekatinya.
Dia yakin itu langkah Fahmi. Ternyata benar itu Fahmi dengan celana training hitam dan baju kaos
oblong warna putih mendekatinya dengan wajah penuh keceriaan. Wajah itu semakin tampan di
bawah sinar lampu yang agak temaram. Di lanjutkannya menyeduh tehnya sembari berujar, “Sudah
selesai mandinya sayang?” katanya masih sibuk mengaduk gula dengan teh.
Fahmi tidak menjawab, tanpa aba-aba di sambarnya tubuh Aibi yang mengkerut di atas kursi
rodanya. Di gendongnya dan di bawanya ke beranda samping rumah mereka yang menghubungkan
mereka dengan taman asri di samping rumahnya. Tercium bau semerbak mawar yang sedang
bermekaran, disana ada sofa panjang di letakkan. Di letakkanya Aibi di sana dengan hati-hati dan
kemudian dia juga duduk di sana dengan posisi memeluk tubuh Aibi dengan lembut. “Aku sangat
merindukanmu cinta. Rasanya telah bertahun-tahun aku tidak menemukanmu. Aku hampir saja gila
menghadapi semua ini. Aku fikir aku tidak akan mendapatkan sambutan yang hangat lagi darimu,
dik. Sungguh dik, Mas sangat merindukanmu dik”. Ungkap Fahmi meluapkan semua perasaannya
kepada Aibi. berkali-kali di hujaninya tubuh Aibi dengan ciuman.
Mendapatkan perlakukan yang tiba-tiba seperti itu dari Fahmi tentu membuat Aibi tidak sempat
untuk menghindar. Diterimanya segalanya dengan air mata berjatuhan. Dengan hangat dibalasnya
ciuman Fahmi sembari berbisik lirih. “Maafkan aku Mas. Maafkan aku telah membiarkanmu begitu
lama untuk menunggu. Aku juga sangat merindukanmu Mas. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-
apa. Maafkan aku telah membiarkanmu menderita selama ini. Sungguh aku bingung dengan kondisi
diriku yang seperti ini. Sehingga membuatku lupa untuk memikirkanmu Mas. Tapi percayalah Mas,
aku sangat mencintaimu. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Maafkan aku Mas”. Isak Aibi sedang
tangannya tidak berhenti membelai wajah Fahmi.
“Tidak ada yang perlu di maafkan sayang. Kamu tidak salah. Mas mengerti dengan kondisi dirimu.
Seharusnya Mas mendampingimu dan memberikan penguatan kepadamu, tapi malah
membiarkanmu menghadapi semua ini sendirian. Betapa menderitanya kamu selama ini, dik.
Maafkan Mas yang telah membiarkanmu untuk sendiri menghadapi semua ini. Aku terlalu rapuh
untuk menghadapi segala dukamu dik. Tapi mulai malam ini, Mas tidak akan membiarkanmu
menghadapi semua ini sendirian. Aku akan selalu ada untukmu dik. Kita akan menghadapi
segalanya bersama. Seperti janji yang pernah kita ucapkan di awal pernikahan kita”.
“Tapi Mas, dengan kondisiku yang seperti ini, sepertinya tidak mungkin Mas. Walau bagaimanapun,
Mas butuh seseorang yang bisa memberikan segalanya untuk Mas. Sementara aku, aku tidak bisa
memberikan segala apa yang Mas butuhkan. Aku tidak sanggup Mas. Aku tidak ingin membuat Mas
lebih menderita lagi”. Ungkap Aibi menceracau sembari menatap wajah Fahmi.
“Apa maksudmu dik, Aku tidak mengerti. Aku tidak menuntut apa-apa padamu, kecuali hanya satu,
jangan berhenti untuk tersenyum padaku dik. Aku tidak bisa hidup tanpa senyumanmu dinda.
Hidupku hampa tanpa senyuman darimu. Karena senyummu adalah matahari hidupku dik”.
“Tidak Mas, jangan kamu bohongi hatimu, kamu membutuhkannya bukan? Aku telah mendengar
segalanya Mas. Aku telah mendengar tangisan Mas di penghujung malam. Mas tidak sanggup hidup
dengan kondisi seperti ini. Bukankah Mas mengatakan jika bukan karena kekuatan iman di dalam
hati Mas akan meninggalkan segalanya? Jangan bohongi hatimu hanya gara-gara tidak ingin
membuatku tersakiti Mas. Sudah cukup pengorbanan Mas selama ini untukku Mas”.
“Apa maksudmu sayang? Aku benar-benar tidak mengerti”.
“Mas, aku telah fikirkan semuanya. Aku telah memutuskan semuanya, dan semoga ini adalah yang
terbaik untuk Mas dan juga untukku. Aku tau ini berat, tapi kita harus menempuhnya Mas. Karena
sudah tidak ada jalan lain lagi selain jalan ini. Dan aku harap kamu tidak akan menolaknya Mas.
Berjanjilah Mas, bahwa Mas tidak akan menolak semua ini. Karena hanya inilah jalan satu-satunya
untuk menyelesaikan segala permasalahan ini Mas”.
“Apa maksudmu Dik? Aku semakin tidak mengerti? Jalan satu-satunya untuk apa? Dan kenapa aku
harus berjanji dik? Ada apa sebenarnya dik”?
Fahmi benar-benar bingung menghadapi semuanya. Dia tidak mengharapkan situasi yang seperti
ini. Ini jauh dari gambarannya tadi. Dia tidak berfikir semuanya akan seperti ini. Dia benar-benar
tidak mengeti.
“Mas, aku tau kamu sangat tersiksa dengan kondisi diriku yang tidak bisa melayanimu. Untuk itu
aku tidak akan mempersulitmu Mas, jika kamu ingin menikah lagi, maka menikahlah. Mas tidak
usa merasa terhalang denganku, karena sampai kapanpun aku tidak akan bisa menjadi istri untuk
Mas. Aku hanya bisa menjadi teman bicara untuk Mas. Tapi tidak untuk urusan yang satu itu.
karena aku tidak akan pernah mampu, sampai kapanpun aku tidak akan mampu Mas”. Benar-benar
tidak ada air mata yang mengalir. Benar, Aibi telah memikirkan segalanya sejak lama.
Mendengar apa yang di sampaikan Aibi membuat Fahmi seperti di sambar halilintar. Dia tidak
menyangka inilah maksud Aibi. Dia tidak pernah berfikir akan melakukan hal itu. Karena dia ingin
pernikahan hanya terjadi satu kali dalam hidupnya dan itu dengan Aibi. Fahmi tidak sanggup
menanggapi apa yang di sampaikan Aibi. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya berulang kali.
Betapa dia tidak pernah menginginkan hal itu. Jangankan menginginkannya, memikirkannya saja
tidak.
“Hmmm... itu gila dik. Aku tidak bisa melakukan hal itu. Karena aku tidak pernah memikirkan hal
itu. Dan aku juga tidak akan pernah melakukannya. Ini benar-benar ide konyol. Bagiku pernikahan
itu hanya satu kali. Tidak ada istilah dua kali. Aku tidak bisa dik”. Jawab Fahmi setelah sekian
lama terdiam.
Malam semakin larut, udara dingin semakin menusuk-nusuk tulang mereka. Tapi panas di hatinya
melebihi dinginnya udara jam 3 dini hari. Cahaya bintang mengintip mereka dari atas langit. Dan
desau angin ingin mencuri perdebatan mereka dan ingin menyebarkan cerita itu ke segala penjuru.
“Saya tau ini memang gila Mas. Bahkan terlalu dini untuk pernikahan kita yang baru enam bulan
saja. Tapi sudah tidak ada lagi yang bisa kita harapkan dari pernikahan kita karena sepanjang malam
kita hanya bisa menjadi teman tidur tanpa melakukan apa-apa. Sepanjang malam kita hanya di
temani kebisuan yang panjang dan tak berpenghujung. Aku tersiksa dengan semua itu Mas. Aku
merasa berdosa karena aku tidak sanggup menjalankan tugasku menjadi seorang isrti untukmu.
Menikahlah Mas. Jangan bohongi hatimu. Aku tau kamu sangat membutuhkannya Mas”.
Untuk kedua kalinya Fahmi terdiam. Apa yang dikatakan Aibi memang ada benarnya. Sampai
kapankah mereka akan bertahan? Enam bulan? Sudah rasakan bertahun-tahun baginya. Tapi
akankah dia melakukan hal itu hanya untuk kepentingannya sendiri? Lalu membiarkan Aibi
menghadapi segalanya sendiri? Betapa kejamnya jika seperti itu. Betapa tidak adilnya untuk Aibi.
Perasaan kelelakiannya memang merindukan kehadiran seorang wanita yang bisa memberikan
segalanya untuknya. Tapi perasaan kemanusiannya, seorang yang mempunyai hati dan cinta, dia
tidak bisa melakukan semua itu. Karena dia tahu hal itu hanya akan menyakiti orang yang di
cintainya.
“Tidak dik, aku tidak akan melakukan hal itu. Aku sudah cukup bahagia bisa menikah denganmu
dik. Kamu tau, aku hanya mengenal dua wanita dalam hidupku, yang pertama adalah ibuku dan
yang kedua adalah kamu dik. Dan aku tidak bisa hidup tanpamu dinda”.
“Itu dulu Mas, ketika Mas belum tau tentang apa yang terjadi dalam diriku. Setelah apa yang kita
lalui, masihkah perasaanmu sama? Tidakkah berubah? Sekali lagi jangan bohongi perasaanmu Mas.
Jika memang Mas telah bahagia memilikiku, kenapa belakangan Mas sering tidak pulang ke rumah?
Kenapa mendadak Mas menjadi menutupi segalanya? Kenapa Mas sering pulang larut malam
bahkan beberapa kali pernah menjelang subuh baru Mas pulang? Kenapa Mas? Apa semua itu yang
Mas katakan dengan sudah bahagia? Aku tahu kamu menderita, sama seperti diriku yang juga
menderita.
“Mas, berhentilah memirkanku. Aku sudah di takdirkan untuk seperti ini. Aku tau ini sakit, untukku
dan juga untuk Mas. Aku tidak meragukan cintamu Mas. Tapi aku tidak ingin cintamu kepadaku
menyakitiku dan menyakitimu Mas. Sampai kapan Mas akan hidup seperti itu? hanya bisa mencium
bau harum dari bunga yang ada di kamar Mas saja, tapi Mas tidak bisa menjamahnya dan
menikmatinya, karena ternyata bunga yang ada di dalam kamar Mas itu tidak ranum. Hanya baunya
saja yang menggoda Mas.
“Andai saja aku bisa memberikan semuanya untukmu Mas, tidak akan aku suruh Mas untuk
menikah lagi. Tapi aku tidak bisa memberikan semuanya untuk Mas. Bahkan hal yang paling pokok
dalam hubungan suami istri, aku tidak bisa memberikannya Mas”.
“Tapi kita masih bisa mengobatinya dik. Masih ada harapan. Dan kamu akan sembuh seperti wanita
lainnya. Aku akan membawa berobat kemanapun. Aku yakin kamu bisa sembuh. Sudahlah, lupakan
masalah itu”.
“Mas, bukankah kita telah mendatangi banyak dokter ahli selama beberapa bulan ini? Baik saya
yang datang dengan Mas, maupun saya sendiri yang mendatanginya. Dan tidak ada hasil Mas. Ok,
aku bisa sembuh, tapi kapan? Ketika Mas telah mencari wanita yang tidak halal untuk Mas gauli,
karena Mas sudah tidak bisa menahan segalanya? Jika hal itu terjadi betapa berdosanya aku Mas.
Aku tidak ingin Mas mengalami hal yang seperti itu. lagi pula poligami tidak di haramkan oleh
agama. Poligami adalah solusi untuk permasalahan yang kita hadapi. Dan Mas melakukannya atas
permiantaanku sebagai istri yang sah Mas. Lalu siapa yang akan mengahalangi?”
Fahmi terdiam. Apa yang dikatakan Aibi ada benarnya. Dia teringat dengan apa yang di katakan
oleh dokter ahli syaraf yang mereka temui sebulan yang lalu. Karena dokter Obgin tidak
menemukan kerusakan pada alat reproduksi Aibi, maka mereka di sarankan untuk menemui dan
berkonsultasi dengan dokter ahli Neorologi yang akhirnya memberikan keterangan yang sangat
menyakitkan untuk Fahmi. Tapi ketika itu Aibi tidak mendengarkannya, bahkan sampai hari ini dia
tidak pernah memberitahukan Aibi apa yang di katakan dokter ahli syaraf yang mereka temui
sebulan yang lalu.
“Sudah berapa tahun istri anda mengalami kelumpuhan, dr. Fahmi?” tanya dr. Neorologi padanya
saat itu.
“Ini sudah memasuki tahun yang ke dua belas dok. Emang kenapa dok? Apa ada hubungannya
penyakit yang di derita istri saya dengan kelumpuhan yang di deritanya? Tanya Fahmi cemas.
“Dan sudah berapa lama anda menikah dengannya? Tanya dokter itu lagi pada Fahmi tanpa
menghiraukan apa yang di pertanyakan Fahmi.
“Baru tiga bulan dok”.
“Dan selama tiga bulan itu istri anda tidak bisa merespon anda ketika berhubungan dengannya?”
“Iya dok”.
Anda juga seorang dokter. Saya rasa banyak sedikitnya anda faham. Setelah saya lakukan
serentetan pemeriksaan tadi, sepertinya ketidak mampuan istri anda merespon anda ketika
berhubungan itu di akibat oleh kerusakan syaraf kemaluannya. Itu terjadi karena kecelakaan yang di
alaminya 12 tahun yang lalu. Di tambah lagi dengan kerusakan syaraf tulang belakang di bagian
panggulnya, disana merupakan pusat dari syaraf kemaluan dr. Fahmi. jadi dengan berat hati saya
harus ketakan kepada anda, istri anda sudah tidak bisa lagi di sembuhkan, kecuali hanya hanya
karena mukjizat dari Tuhan. Kerusakannya sangat fatal dr”. Terangnya pada Fahmi dengan wajah
penuh keprihatinan.
“Apa benar-benar tidak bisa di sembuhkan lagi dok?” tanya Fahmi dengan wajah sangat terpukul.
Bagaimanakah dia akan menjelaskan semuanya ke Aibi?
Dokter Rahmat tidak menjawab, tapi hanya menggelengkan kepalanya seraya meletakkan
tangannya di pundak Fahmi dan menepuk-nepuk pundak itu dengan lembut. Sebagai tanda kalau
Fahmi harus bersabar menghadapi segalanya.
Mengenang itu semua Fahmi tidak bisa menjawab lagi. Dia telah kehabisan kata-kata. Dia berada
pada pilihan yang sangat sulit saat ini.
“Sudahlah dik, aku rasa ini hanya luapan perasaanmu saja yang merasa bersalah padaku karena
kamu tidak bisa memberikan apa yang semestinya kamu berikan untukku. Sebaiknya sekarang kita
masuk ke dalam dan beristirahat, sebentar lagi shubuh akan menghampiri sepertinya. Kita
tenangkan hati kita. Aku yakin itu hanya luapan perasaan sementaramu saja. Ayo kita masuk, dan
kita cukupkan pembicaraan kita sampai disini. Ok, sayang?”. Fahmi akhirnya menyudahi
pembicaraan dengan menggendong tubuh Aibi ke dalam dan kemudian meletakkanya di atas kursi
roda Aibi yang dibiarkan begitu saja tinggal di ruang dapur tadi. Dan setelah itu mendorongnya ke
kamar bersiap karena sebentar lagi adzn subuh berkumandang. Sementara Aibi hanya mengikut
saja. Dia tau Fahmi tidak bisa menerima apa yang di sampaikannya. Tapi dia berjanji akan
membicarakan lagi hal ini. Karena ini bukan luapan perasaan sementara seperti yang di sampaikan
Fahmi. Tapi ini adalah satu-satunya solusi untuk segalanya.
***
46. Niat Poligami
Pembicaraan tentang ide poligami itu tidak berhenti hanya sampai di sana seperti yang di katakan
Fahmi. tapi berlanjut sampai malam-malam berikutnya. Aibi selalu mendesaknya untuk menyetujui
idenya untuk berpoligami. Tapi seperti biasa Fahmi hanya menanggapi dengan dingin dan tanpa
berkomentar apa-apa. Tapi Aibi tidak kehilangan akal. Dia harus berhasil membuat Fahmi
berpoligami. Karena setiap kali dia melihat Fahmi hatinya miris dan di penuhi perasaan berdosa
karena tidak bisa memberika apa yang di inginkan Fahmi.
Malam ini kembali ide itu di muculkannya setelah mereka sholat isya berjama’ah dan ketika itu
Fahmi sedang khusuk dengan bacaan al-qur’annya. Sedang Aibi sedang duduk di atas sofa panjang
di kamarnya dengan berselonjor dan tangannya sedang memegang buku. Dengan hati-hati
dimulainya pembicaraannya.
“Mas...” panggilnya dengan hati-hati.
Fahmi tidak menyahuti, dia terus asyik dengan bacaan al-qur’annya. Dia sudah bosan untuk
membahas masalah itu dengan Aibi dan malam ini dia tidak ingin mendengarkannya lagi. dia terus
saja membaca al-qur’annya. Bahkan bacannya semakin di perkerasnya. Menyaksikan hal itu,
dibiarkannya Fahmi menyelesaikan membaca al-qur’annya. Dia yakin Fahmi tidak akan
menghabiskan malamnya membaca al-qur’an sampai pagi. Dan ketika Fahmi sudah selesai nanti,
barulah dia akan membicarakannya dengan Fahmi lagi.
Benar saja, lima belas menit kemudian Fahmi menyudahi bacaan al-qur’annya. Dan Aibi pun
memulainya lagi.
“Mas, kali ini tolong Mas dengarkan aku. Tolong beri aku waktu lima menit saja Mas. Terserah
setelah itu apa yang Mas pilih”. Ungkap Aibi memulainya dengan hati-hati. Dia sudah siap dengan
semua resiko yang akan di tanggungnya.
Dengan malas Fahmi bangun dari sajadahnya dan berjalan ke arah kiri tempat tidur membuka
pecinya dan meletakkanya di atas meja dan juga al-qur’annya.
“Apa lagi yang akan kita bicarakan? Masalah poligami itu lagi? Bukankah aku sudah jawab, aku
tidak akan melakukannya. Apapun yang terjadi aku tidak akan melakukannya. Aku tidak
menginginkannya. Karena aku tidak ingin ada yang tersakiti. Hal ini saja sudah membuatku sangat
sakit dik. Jadi berhentilah untuk membicarakan masalah poligami itu. sungguh aku tidak akan
melakukannya”. Ungkap Fahmi tegas dan kemudian bersiap untuk tidur.
“Baiklah, kalau Mas tidak mau untuk poligami, itu berarti Mas harus menceraikan aku”. Jawab Aibi
tanpa berfikir panjang. Mendengar apa yang di sampaikan Aibi, Fahmi yang tadi sudah bersiap
untuk tidur kembali berdiri dengan mata nyalang dan membesar menatap Aibi tidak percaya.
Dengan perlahan di dekatinya Aibi dan dengan posisi berjongkok di dekatkannya wajahnya ke
Aibi.
“Apa? Apa yang kamu katakan tadi dik? Kamu tidak seriuskan?” tanya Fahmi sambil mengguncang
bahu Aibi. “Coba katakan lagi padaku, apa aku tidak salah dengar?” tanya Fahmi pada Aibi
“Mas kamu menyakitiku Mas”. Kata Aibi cepat. Dirasakannya cengkraman tangan Fahmi di
bahunya sangat kuat sekali.
Menyadari apa yang dilakukannya, Fahmi melepaskan cengkraman tangannya di bahu Aibi dan
membulatkan tinjunya dan kemudian menatap Aibi lagi “Aku tidak salah dengarkan, dik? Tanya
lagi pada Aibi.
“Kamu tidak salah dengar Mas dan aku serius. Kalau memang Mas tidak mau poligami, maka
ceraikan aku. Aku tau Mas tidak mau poligami karena Mas tidak mau menyakitiku. Maka ceraikan
aku Mas, agar aku tidak tersakiti lagi. Biar kamu bisa melakukannya”.
“Kegilaan apa lagi ini dik? Bercerai? Nonsense. Aku tidak akan menceraikanmu dan tidak akan
berpoligami”. Sambar Fahmi berdiri membalikkan badannya.
“Apa lagi yang kita harapkan dari pernikahan kita ini Mas? Sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya
air mata dan kebisuan yang panjang. Mas, aku mohon jangan biarkan aku selalu merasa berdosa
karena tidak bisa melayanimu sebagaimana mestinya. Percayalah, tidak akan ada yang tersakiti.
Karena aku ikhlas Mas. Menikahlah dengan wanita yang bisa memberikan segalanya kepadamu.
Jika Mas tidak berani melamar wanita itu untuk Mas, biar aku yang akan melamarkannya untuk
Mas. Biar aku yang memintanya kepada wanita itu untuk menjadi istri Mas. Jika aku harus
mengemis kepada wanita itu agar dia mau menjadi istri Mas, maka aku akan lakukan Mas. Karena
sungguh aku tidak bisa melihatmu menderita seperti ini.
“Jika Mas tidak sanggup mencari wanita lain, maka biar aku yang akan mencarikannya untuk Mas.
Menikahlah Mas, jangan siksa dirimu terlalu lama dengan menahan segala gejolak hati dan
perasaanmu. Sampai kapan kamu akan sanggup menahannya? Ini saja sudah memasuki bulan
kelima kamu menahannya Mas, aku tahu bagaimana susahnya kamu menahan semua itu.
“Oh... Andai saja aku mampu, tidak akan aku izinkan kamu untuk melakukan hal itu. Aku mengerti
ini sangat menyakitkan, tapi percayalah Mas itu hanya sesaat saja. Setelah kamu merasakan
semuanya kamu tidak akan merasa sakit lagi Mas. Percayalah Mas”. Aibi sudah tidak tahan.
Akhirnya air mata itu mengalir deras membanjiri pipinya bersih.
“Lalu bagaimana denganmu dik? Apa kamu akan bahagia menerima semua itu? Aku mungkin akan
bahagia dengan menikah lagi. Tapi bagaimana dengan dirimu? Aku mencintaimu dinda. Aku tidak
bisa hidup tanpamu sayang”.
“Mas masih bisa menyangiku, karena aku masih tetap istri Mas. Jika Mas merindukanku, aku selalu
ada untuk Mas. Jika Mas butuh teman berbicara, aku siap mendengarkan ceritamu Mas. Karena aku
tetap akan menjadi istrimu yang halal untuk kau sentuh. Tidak akan ada yang berubah yakinlah”.
“Tapi aku tidak bisa dik. Aku tidak akan sanggup berlaku adil. Aku tidak akan sanggup mencintai
wanita lain, karena aku telah sekian lama mencintaimu dik”.
“Cinta akan bisa muncul dengan sendirinya Mas ketika telah terjadi persatuan jiwa antara Mas
dengan wanita itu. Mas akan bisa mencintainya, karena setiap kita akan mendapatkan cinta yang
berbeda-beda dari orang-orang yang ada di sekelilingnya”.
“Tidak dik. Aku tidak bisa dik. Itu berat untukku. Aku khawatir tidak mampu berlaku adil dik.
Tolong jangan paksa Mas untuk melakukan hal itu dik”.
“Demi aku Mas, demi cintamu padaku, menikahlah Mas. Aku ridho insya Allah. Aku ikhlas seperti
apapun nanti ending dari semua ini, yang penting kamu bisa bahagia Mas. Aku ingin kamu bahagia
Mas. Aku tidak akan menuntut apa-apa padamu, Mas. Aku mohon Mas, menikahlah Mas dengan
gadis manapun yang kamu pilih. Asalkan gadis itu bisa memberikan segalanya untukmu. Aku ikhlas
insya Allah”.
Fahmi sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa menangis di pangkuan Aibi seperti
anak kecil yang kehilangan mainan. Sementara Aibi membelai lembut kepala Fahmi yang ada di
pelukannya seperti seorang ibu yang sedang menenangkan anaknya yang menangis karena
kehilangan mainan. Dua insan yang saling mencintai menangis bersama mengharap jalan keluar
yang bijaksana terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Akankah keputusan mereka benar?
****
Kesepakatan itu telah terjadi, walau Fahmi tidak menjawab dengan kata-kata tapi Aibi sudah bisa
mengambil kesimpulan kalau Fahmi sudah setuju. Dia sudah menyiapkan dirinya untuk menerima
semuanya dengan lapang dada. Jika memang dia yang harus melamar wanita itu untuk Fahmi, maka
dia akan lakukan.
Berhari-hari lamanya kebisuan kembali mencekam mereka. Setelah terjadi pembicaraan tentang
permohonan tentang poligami itu, yang di akhiri dengan bertangis-tangisan, kembali mereka
terjebak kebisuan yang tak berpenghujung. Tapi biarlah, Fahmi sedikit agak tenang dengan semua
itu, walaupun itu bukan situasi yang diinginkannya. Paling tidak perdebatan tentang poligami
sudah tidak ada lagi. Itu sudah cukup baginya.
Tapi ternyata Fahmi salah. Aibi justru menunggu kabar dari Fahmi tentang gadis yang akan di
nikahinya. Aibi mengira semenjak malam itu Fahmi akan mencari gadis lain atau mungkin datang
ke rumah Mas Yono dan meminta tolong ke Mas Yono untuk mencarikan istri untuknya. Tapi
ternyata Fahmi tidak pernah melakukan hal itu. Selama ini ia hanya diam dan tidak melakukan apa-
apa. Setiap pagi dia pergi ke kantor dan pulang menjelang malam. Begitu selama beberapa hari
lamanya.
Malam ini Aibi ingin menanyakan tentang semuanya kepada Fahmi, apakah dia sudah mencari
gadis yang akan di nikahinnya? Maka malam ini setelah mereka sholat berjama’ah kembali di
pertanyakannya hal itu. Setelah lima hari, apakah perdebatan seperti malam-malam sebelumnya
akan terjadi lagi?
“Bagaimana Mas?” tanya Aibi memulai pembicaraan. Mendengar pertanyaan Aibi seperti itu hati
Fahmi tersentak, dia fikir Aibi tidak akan mempertanyakan lagi hal itu.
“Bagaimana apanya dik? Mas tidak mengerti”. Ungkap Fahmi berusaha tenang. Aibi faham Fahmi
hanya pura-pura tidak faham. Dengan tatapan mata sayu di pandangnya Fahmi yang ada di
depannya.
“Mas, kenapa kamu tidak mau melembutkan sedikit hatimu untuk mendengarkanku Mas”? tanya
Aibi kemudian kepada Fahmi.
“Bukan begitu dik, hanya saja mencari gadis yang cocok untuk ku jadikan istri sangat sulit aku
temukan dik karena semua kriteria istri yang aku inginkan sudah ada pada dirimu dik”.
Aibi mengerti apa yang di sampaikan Fahmi. Dia tidak akan berkata apa-apa lagi. Karena Fahmi
akan mengatakan alasan-alasan yang menurut Aibi tidak masuk akal. Dia akan menjalankan
rencananya. Dia yang akan mencarikan wanita untuk suaminya. Dia yang akan mencarikan istri
untuk suaminya. Tapi siapa? Dan jika ada bagaimana dia akan mengatakan kepada wanita itu dan
memintanya untuk menjadi istri suaminya? Ah, masalah itu nanti saja, yang jelas dia harus
menemui dulu wanita yang cocok untuk suaminya.
Pagi yang indah, Fahmi telah berangkat ke kantor dengan perasaaan penuh tanda tanya. Kenapa
Aibi semalam tidak melanjutkan pembicaraannya? Apa dia sudah bosan membicarakan semua itu?
Dan pagi ini Aibi juga tidak seperti biasanya. Walau mereka selama ini dicekam kebisuan yang
panjang, tapi Aibi selalu menyediakan baju untuk di pakainya ke kantor setiap paginya dan
menyiapkan sarapan untuknya. Tapi pagi ini Aibi tidak melakukan apa-apa. Dia hanya tiduran di
tempat tidur semenjak selesai sholat subuh tadi. Semenjak menikah dia tidak pernah melihat Aibi
tidur lagi setelah shubuh, tapi pagi ini? Ketika ditanyanya apakah dia sakit, dia tidak menjawab apa-
apa. Dan ketika disentuhnya Aibi malah mengibaskan tangannya. Ada apa? Apa Aibi marah karena
dia tidak mengindahkan apa yang di inginkannya?
Pagi ini sebenarnya Aibi merasa punggungnya sangat sakit sekali. Dia merasa ada palu besar yang
menghantam punggungnya. Hampir pingsan dia menahan rasa sakit di punggungnya. Selepas
shubuh dia meminta Fahmi untuk kembali menidurkannya di atas ranjang dengan alasan masih
mengantuk karena semalam dia tidak dapat tidur sekejap pun. Dengan mati-matian dia
menyembunyikan rasa sakitnya agar tidak di ketahui Fahmi. Karena hebatnya rasa sakit yang
dirasanya, dia terus memejamkan matanya sampai dia benar-benar tertidur tak sadarkan diri. Sekitar
jam enam dia terbangun dari tidurnya karena mendengar bunyi sower di kamar mandi.
Dia yakin Fahmi sedang mandi. Dia harus menyiapkan baju kantor Fahmi, tapi betapa terkejutnya
dia ternyata dia tidak bisa bangkit dari tidurnya. Bahkan untuk sekedar menggerakkan badannya
saja dia tidak bisa. Dia tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Kenapa? Dan ketika Fahmi
selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dengan pakai handuk dia kembali pura-pura
memejamkan matanya. Dia tidak ingin Fahmi melihat dan menangkap rasa sakit dari matanya. Dan
ketika Fahmi berusaha menyentuh keningnya mencek panas tubuhnya, dia malah mengibaskan
tangan Fahmi sembari berkata “Jangan ganggu aku Mas, aku masih sangat mengantuk sekali.
Semalam aku tidak bisa tidur sedikitpun”. Jawabnya ringan.
Begitu Fahmi keluar dan di dengarnya deru mobil Fahmi sudah menjauh meninggalkan rumah,
dengan bersusah payah di raihnya Hpnya yang tergeletak di meja di samping tempat tidurnya dan
cepat menghubungi Rahmi yang sedang sibuk membantu Bi Ina memasak di dapur.
“Assalamu’alaikum Mbak”. Jawab Rahmi di seberang sana.
“Wa’alaikumussalam dik. Dik, tolong bantu Mbak dik. Punggung Mbak sakit sekali dan tubuh
Mbak nggak bisa di gerakkan dik”. Suara Aibi terdengar panik.
“I....ya Mbak. Tunggu sebentar Mbak. Rahmi kesana secepatnya”.
Dengan jarum suntik dan obat penghilang rasa sakit ditangannya, Rahmi bergegas menuju kamar
Aibi. Sejenak dia ragu untuk masuk, dia takut masih ada Fahmi di dalam. Tapi kalau ada Fahmi
ngapain Aibi meminta tolong padanya? Tanpa buang-buang waktu lagi Rahmi langsung saja masuk.
Aibi sedang terkapar tidak berdaya di tempat tidurnya. Keringat dingin mengaliri tubuhnya karena
menahan rasa sakit. Rasa sakit yang di rasai Aibi sudah sampai di puncaknya. Dengan sigap Rahmi
menyuntikkan cairan rasa sakit ke tubuh Aibi dan tak lama setelah itu Aibi mulai merasakan
nyaman dan berangsur rasa sakitnya mulai menghilang. Setelah agak nyaman dimintanya Rahmi
untuk membantunya turun dari ranjangnya dan memintanya untuk mengantarkannya ke kamar
mandi. Dia ingin buang air kecil.
****
47
Wanita Yang Beruntung
Angin bertiup sepoi-sepoi, mengincar ubun-ubun. Satu dua burung-burung sedang terbang rendah.
Ada yang yang sedang bertengger di dahan-dahan kayu, memperhatikan dengan seksama kalau-
kalau ada ulat atau serangga yang lewat di sana untuk jadikannya santapan. Bisa jadi juga untuk
anak-anaknya yang sedang menunggu di sarangnya.
Aibi sedang duduk di beranda samping rumah yang menghubungkannya langsung dengan taman
mawar yang sedang mulai bermekaran. Tarikan nafasnya terdengar ringan, namun tatapan matanya
mengandung sejuta makna. Dia tidak tau harus mengatakan apa. Saat ini hatinya sangat gundah.
Teringat lagi percakapannya tadi malam bersama Fahmi tentang rencana poligami. Fahmi telah
menyepakatinya tapi dia hanya akan menikah dengan gadis yang di pilih Aibi sendiri. Kemana akan
di carinya gadis itu?
Sekali lagi terdengar tarikan nafas Aibi. Kali ini terdengar agak panjang dan berat. Ada rasa yang di
pendamnya di sana. Rahmi yang duduk menemani Aibi di beranda, merasakan Aibi saat ini sedang
menyimpan sesuatu. Lembut, disentunya bahu Aibi pelan.
“Mbak, apa Mbak masih sakit Mbak? Apa tidak sebaiknya Mbak beristirahat di kamar saja? Saya
khawatir nanti punggung Mbak semakin menjadi sakitnya”. Ungkap Rahmi pelan
“Hm... Tidak dik. Mbak tidak apa-apa. Mbak hanya sedang berusaha menikmati wangi yang
keluarkan mawar itu”. Jawab Aibi tanpa memalingkan mukanya ke arah Rahmi. Tapi tetap menatap
lurus kedepan.
Rasa sakitnya sudah tidak ada lagi, tapi Aibi merasakan tubuhnya gak lemas. Dia merasa sangat
lelah sekali padahal dia tidak melakukan apa-apa. Tapi dia tidak mau hanya di atas ranjang saja. Dia
membutuhkan udara yang segar, maka setengah jam yang lalu, dia meminta Rahmi menemaninya
untuk duduk di beranda samping rumahnya sambil menikmati indahnya kebun mawar mereka.
“Dik,...!!!” Panggil Aibi “sudah berapa usiamu sekarang?” tanya Aibi pada Rahmi sedang matanya
masih tetap menatap lurus kedepan.
“Sudah 31 tahun Mbak”. Jawab Rahmi pelan.
“Apa masih belum ada perencanaanmu untuk menikah?” tanya Aibi prihatin pada Rahmi. Dia tahu
Rahmi telah menghabiskan usianya untuk merawat Aibi selama ini. Sehingga dia tidak sempat lagi
memikirkan tentang dirinya.”Maafkan Mbak ya dik, jika Mbak telah membuatmu terlalu sibuk
dengan diri Mbak selama ini, sehingga kamu melupakan tentang dirimu sendiri”. ungkap Aibi lagi
dengan mata berkaca-kaca.
“Mbak ngomong apa Mbak? Selama ini Mbak telah memberikan segalanya untukku Mbak.
Keluaga, cinta dan kebahagian. Aku tidak pernah menyangka aku akan mendapatkan segalanya dari
Mbak. Aku fikir aku akan selamanya menjadi anak panti asuhan yang tidak akan pernah
mempunyai keluarga yang sesungguhnya. Tapi begitu aku ketemu sama Mbak, Mbak telah
merubah semuanya menjadi nyata dalam hidupku Mbak. Aku punya Mama dan Papa. Aku punya
Mbak, aku punya keluarga Mbak, hal yang selama ini mustahil akan aku dapatkan. Aku sangat
bahagia Mbak.
“Perihal tentang diriku yang terlalu sibuk mengurus Mbak sampai melupakan diriku sendiri, itu
tidak ada Mbak. Aku tidak pernah merasa Mbak merepotkanku. Justru malah aku senang kalau
Mbak minta tolong padaku, Mbak. aku, tidak usa mbak fiirkan, ya. Sebagai seorang adik, maka
merawat Mbak adalah tugasku Mbak.
“Tentang perencanaan menikah itu? Hmmm, aku rasa semua orang pasti punya perencanaan, begitu
juga dengan aku. Tapi mau bagaimana lagi, seperti yang pernah Mbak katakan padaku dulu, bahwa
laki-laki sholeh belum ada yang datang mengkhitbahku dan ingin menjadikan aku sebagai istrinya
Mbak. Jadi aku harus sabar menanti. Karena suatu saat nanti dia pasti akan datang menjemputku
Mbak”. Rahmi menjawab dengan panjang lebar.
Mendengar apa yang di sampaikan Rahmi membuat Aibi menangis. Kenapa semua orang ingin
menghabiskan hidup mereka untuk dirinya? Fahmi yang menerima segala ketakberdayaan dirinya.
Mama dan Papanya yang bersedia melakukan apapun untuk membahagiakannya. Rahmi yang selalu
ada kapanpun dia membutuhkannya. Oh, dia sendiri apa yang bisa di lakukannya untuk orang-orang
yang di sayanginya ini? Akankah dia mampu membalas semua kebaikan mereka yang begitu tulus
menerima dan mencintainya?
Dengan penuh cinta dipeluknya Rahmi. Dia beruntung mendapatkan adik seperti Rahmi, yang telah
berkorban banyak untuk hidup yang sedang di jalaninya. Dia ingat bagaimana dengan sabarnya
Rahmi merawatnya ketika dia mengalami krisis kepercayaan diri. Bagaimana Rahmi dengan telaten
merawatnya, apa yang di lakukan Rahmi padanya tidak akan sanggup di bayarnya dengan uang
sebanyak apapun. 12 tahun hampir berlalu, bahkan sampai detik ini, dia masih bergantung pada
Rahmi.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu dan di lepaskannya pelukannya ke Rahmi. Setelah menghapus air
matanya di tatapnya Rahmi dengan penuh kehangatan. Di perbaikinya kacamata minusnya. Dan di
sentuhnya lembut bahu Rahmi.
“Dik”. Panggilnya kemudian. “Ini seandainya dik. Seandainya ada laki-laki sholeh datang padamu
dan memintamu untuk menjadi istrinya, apa kamu mau dik?” tanya Aibi hati-hati.
Mendengar pertanyaan Aibi, walaupun heran tapi dia tersenyum mendengarnya. Setelah lama
bersama Aibi hampir dua belas tahun, ini adalah pertanyaan aneh pertama yang pernah di
pertanyakan Aibi padanya. Pertanyaan pertama tentang laki-laki yang pernah di pertanyakan Aibi
padanya.
“Tidak ada alasan untuk menolaknya Mbak. Jika yang datang itu adalah laki-laki sholeh seperti
yang Mbak katakan. Tentu saja aku mau dan saya rasa siapapun pasti mau”. Jawab Rahmi singkat.
“Bagaimana kalau laki-laki itu telah pernah menikah dik”? tanya Aibi lagi. Rahmi sebenarnya
semakin heran mendengar perntanyaan Aibi tapi tetap saja di jawabnya.
“Kalau dia duda, kenapa tidak? Karena konteksnya tadi laki-laki sholeh Mbak. Tapi kalau istriya
masih ada, mungkin aku akan tanya dulu kepada isrtinya kenapa membiarkan suaminya menikah
lagi? Dan aku akan sarankan pada wanita itu untuk tidak memperbolehkan suaminya menikah lagi”.
Jawab Rahmi lagi
“Bagaimana kalau istri laki-laki itu masih bersikeras, bahkan dia rela suamianya menikah
denganmu dik. Apa yang akan kamu lakukan?” Lagi Aibi bertanya.
“Mbak, kok tiba-tiba Mbak bertanya aneh seperti itu? Yang jelas tidak akan ada satu orang istripun
yang akan membiarkan suaminya untuk menikah lagi Mbak”.
Mendengar pertanyaan Rahmi, membuat Aibi sejenak terhenti dan kemudian menghela nafas
panjang. Setelah agak lama terdiam, Aibi pun kembali angkat bicara dengan suara pelan dan
berkata. “Ini ada kisah nyata dik. Seorang wanita yang sangat beruntung menikah dengan seorang
laki-laki yang luar biasa sholehnya. Yang menerima si wanita seperti apapun kondisinya. Dia tidak
pernah menuntut wanita itu macam-macam. Dia merasa cukup dan merasa bahagia bisa menikahi
wanita itu. Kamu tau dik, laki-laki itu tidak pernah menuntut isrtinya, seperti apapun kondisinya.
“Tapi sayang pernikahan mereka baru berumur setampuk jagung di uji oleh Allah. Istrinya ternyata
sakit dan karena sakitnya itu dia tidak bisa melayani suaminya sebagaimana mestinya”. Sejenak
Aibi berhenti. Di lihantnya Rahmi menyimak ceritanya dengan seksama.
“Hal itu membuat wanita yang sangat beruntung itu merasa sangat bersalah pada suaminya tersebut.
Tapi subhanallah Dik, suaminya tidak pernah protes. Dia tetap mencintai istrinya seperti apapun
kondisinya. Bahkan cintanya semakin besar. Sampai akhirnya wanita itu tidak sanggup lagi dan
kebisuan panjang terjadi dalam rumah tangga mereka. Tapi laki-laki sholeh itu tetap sabar
menunggu istrinya, sampai istrinya siap membicarakan segalanya dengannya.
“Berbulan-bulan dia menanti, tapi istrinya tidak juga kunjung pulih seperti sedia kala, malah
semakin dingin padanya. Tapi dia tetap menanti dik. Sampai pada suatu malam laki-laki itu tidak
sanggup lagi menahan segala beban bathinya, dia menangis kepada Allah dan terdengar oleh
istrinya dan menyadarkan si istri bahwa apa yang dilakukannya adalah salah. Maka istrinya pun
mencari jalan keluar untuk permasalahan yang mereka hadapi dan jalan satu-satunya adalah
poligami. Dia tau itu sangat menyakitkan. Tapi dia harus tempuh jalan itu atau bercerai dengan
suaminya.Sedangkan dia tidak menginginkan hal itu.
“Dan ketika dia menyampaikannya kepada suaminya, ternyata dia menolak habis-habisan dengan
alasan dia sudah bahagia bisa menikahi istrinya dan dia tidak butuh lagi orang lain. Tapi dik,
istrinya masih ingin dia menikahi gadis lain, karena dia tidak bisa melayani suaminya kerana
penyakit yang di deritanya. Sampai akhirnya si suami luluh dan meluluskan permintaan istrinya
untuk menikah lagi. pertanyaannya, maukah kamu menjadi istri kedua dari laki-laki itu dik? Jika
mau, maka dalam waktu dekat pernikahanmu akan di langsungkan dengan laki-laki sholeh itu dik”.
Terang Aibi panjang lebar. Yang diceritakannya adalah pernikahannya dengan Fahmi. Dia yakin
Rahmi adalah orang yang tepat untuk Fahmi.
“Tapi bagaimana dengan istri laki-laki itu Mbak? Bukankah sangat menyedihkan dengan
kondisinya yang sedang sakit yang seharusnya di dampingi oleh suaminya, malah suaminya
menikah lagi dengan wanita lain? Saya tidak ingin merusak rumah tangga orang lain Mbak”.
“Tidak dik, kamu tidak merusak rumah tangga mereka, justru malah menyelamatkan. Karena kamu
telah meringankan beban wanita itu untuk melayani suaminya. Kamu akan menjadi penyelamat dik.
Tidakkah kamu ingin menikah sekaligus menyelamatkan rumah tangga orang lain? berapa pahala
yang akan kamu dapatkan dik? Inilah yang dikatakan dengan menikah karena dakwah dik.”
“Tapi Mbak aku masih ragu Mbak. Aku tau perasaan wanita itu sama. Jika di bawakan ke aku, maka
aku tidak bisa menerima suamiku berduaan dengan wanita lain sekalipun wanita itu adalah istri
syahnya. Diduakan itu pasti sakit Mbak. Tidak ada istri di dunia ini yang mau di duakan. Jika
Aisyah istri nabi saja yang di berikan keimanan yang begitu hebat masih goyah ketika Nabi
menikah lagi. Lalu bagaimanalah dengan wanita itu Mbak? Aku tidak bisa bayangkan”.
“Kamu tidak usah bayangkan dik. Karena jika semuanya di bayangkan, semuanya tidak akan
terjadi. Ini kondisinya darurat. Dan poligami tidak di haramkan. Dari pada menempuh jalan cerai?
Mana lebih baik dengan poligami?”
“Sebegitu parahnyakah Mbak kondisi wanita itu? Aku kasihan sekali pada wanita itu, karena harus
berbagi suami dengan wanita lain”.
“Wanita itu Insya Allah sudah siap untuk berbagi dik. Sekarang apakah kamu siap untuk menjadi
istri kedua laki-laki itu dik? Jika siap maka dalam minggu ini pernikahanmu dengannya bisa di
langsungkan. Bahkan istri laki-laki itu yang akan datang secara langsung memintamu untuk
menjadi isrti bagi suaminya”.
“Mbak sebelum aku menjawab, bolehkah aku tau siapa wanita itu? dan siapa laki-laki itu? Lalu
kenapa aku yang di pilihnya?”
“Mereka adalah orang yang sangat kamu kenal dik. Bahkan sangat dekat sekali denganmu dik.
Dia.........” Aibi mulai tidak sanggup melanjutkannya, air matanya sudah tidak tahan lagi ingin
keluar. Melihat Aibi yang terhenti tiba-tiba seperti itu membuat Rahmi bingung dan heran.
“Dia siapa Mbak? Orang yang sangat dekat denganku, siapa Mbak?” kejar Rahmi cepat. Dia tidak
ingin Aibi menghentikan dan mengalihkan pembicaraan. Dia sangat penasaran dengan apa yang
ceritakan Aibi. Kenapa Aibi begitu mengenali mereka?
Aibi sudah tidak bisa mengelak lagi. Dia harus melanjutkan rencananya. Dia yakin Rahmi adalah
wanita yang cocok untuk Fahmi. Dia akan melanjutkannya. Sudah terlambat untukya menarik
semua kata-katanya. Maka dengan di awali dengan tarikan nafas panjang dan dengan bismillah Aibi
mulai menjelaskan lagi.
“Tapi kamu janji jangan terkejut dik. Yakinlah ini tujuannya adalah untuk kebaikan. Maukah kamu
berjanji dengan Mbak tidak akan terkejut mendengarkan semuanya Rahmi?”. Rahmi semakin
bingung dan penasaran mendengar apa yang di sampaikan Aibi. Dengan ragu di anggukkannya
kepalanya, sembari berucap “Insya Allah Mbak”. Ujar Rahmi lirih.
“Wanita beruntung itu adalah aku dik, dan laki-laki sholeh itu adalah Mas Fahmi. Dan yang aku
ceritakan padamu tadi adalah kisah rumah tangga kami, dik. Tidakkah kamu ingin
menyelamatkannya dik”? Ungkap Aibi mulai menangis terisak. Dia telah menyimpan semua beban
ini selama berbulan-bulan. Dan untuk pertama kalinya masalah yang di hadapinya selama menikah
di ceritakannya kepada orang lain. Hatinya walau hancur, tapi ada harapan akan menemukan jalan
keluar yang bijaksana untuk segala permasalahannya itu.
Rahmi yang mendengar pengakuan dari Aibi ternganga tidak dapat menjawab. Tidak dapat
dipungkiri betapa dia sangat terkejut mendengarkan semua itu. Selama ini dia melihat rumah tangga
Aibi baik-baik saja. Seperti tidak ada masalah. Tujuh bulan Aibi menikah dan selama itu juga dia
ikut pindah ke rumah Aibi atas permintaan dari Aibi sendiri dan juga permintaan dari Mama dan
Papa angkatnya untuk berjaga-jaga menjaga Aibi ketika Fahmi sedang tidak ada di rumah. Selama
itu dia tidak pernah mendengarkan pertengkaran di antara mereka. Bahkan mereka kelihatan akur-
akur saja. Aibi masih tetap mengantar Fahmi ke pintu ketika akan berangkat ke kantor dan
menunggu kedatangan Fahmi dari kantor. Walau terkadang tidak tahan akhirnya menunggu di
kamar. Tapi dia tetap melihat tidak ada masalah di antara meraka. Begitu hebat mereka
menyembunyikannya selama ini. Sampai-sampai dia tidak tahu kalau ternyata selama ini mereka
sedang mengalami konflik.
Rahmi tidak habis fikir. Di tatapnya Aibi dengan tatapan penuh tanda tanya. Dia tidak percaya
dengan apa yang di sampaikan Aibi. Dia merasa Aibi sedang mempermainkannya. Tapi jika Aibi
mempermainkannya, lalu kenapa Aibi menangis dengan air mata yang mengalir dengan begitu
hebatnya? Di carinya kebenaran dimata Aibi yang basah. Dan disentuhnya lembut bahu Aibi. dan
berucap. “Semua yang Mbak ceritakan itu tidak benarkan Mbak? Mbak hanya bercanda kan
Mbak?” tanya Rahmi pelan
“Itu benar dik. Mbak serius, Mbak ingin melamarmu untuk menjadi istri kedua Mas Fahmi. Maukah
kamu menjadi istri kedua Mas Fahmi dik? Insya Allah Mas Fahmi adalah laki-laki yang sholeh
yang selalu menjaga hati dan dirinya. Dia Imam yang baik untukmu dik, kamu tidak akan menyesal
menikah dengannya”. Aibi meyakinkan Rahmi sembari menggenggam erat tangan Rahmi.
Rahmi yang mendengarkan semua itu menjadi semakin bingung, dengan halus di tariknya
tangannya dan berdiri dari duduknya. Kali ini dia membelakangi Aibi dengan menaruh dua
tangannya di dada. Dia terdiam panjang dan matanya panas karena menahan tangis. Sementara Aibi
sudah terisak di belakangnya. Aibi benar-benar sudah tidak berdaya lagi. Jika Rahmi menolak, dia
tidak tahu akan mencari wanita mana lagi yang akan di jadikannya istri untuk suaminya? Oh Tuhan
jika Engkau tidak melarang poligami, maka mudahkanlah jalan kami menuju ke sana Ya Allah.
Lunakkan hati Rahmi dan juga Mas Fahmi untuk menerima semua ini.
“Dik, Mbak tau ini berat untukmu, untukku, dan juga untuk Mas Fahmi sendiri. Tapi percayalah jika
kita sudah menjalaninya, maka kita akan bisa menghadapinya dengan baik, dik. Fikirkanlah dahulu
dengan baik, kapan perlu kamu istikhoroh dan minta petunjuk dari Tuhan. Setelah itu baru kamu
jawab, ya dik”. Akhirnya Aibi memberikan kesempatan kepada Rahmi untuk memikirkannya
sebelum menjawabnya.
“Tidak usah Mbak. Aku sudah bisa jawab sekarang dan jawabannya adalah aku tidak mau. Karena
tidak mungkin aku akan berebut cinta dengan kakakku sendiri. Mbak sadar nggak si Mbak, aku ini
adik Mbak dan Mbak bagiku lebih dari sekedar seorang kakak. Walau kita tidak terlahir dari rahim
yang sama dan benih yang sama, tapi hati kita telah di satukan. Jika Mbak ingin mencarikan istri
lagi untuk Mas Fahmi, maka aku pastikan itu bukan aku. Silahkan Mbak cari gadis lain. Lagi pula,
saya rasa Mbak terlalu gegabah untuk mengambil jalan menyuruh Mas Fahmi untuk berpoligami,
padahal pernikahan kalian baru tujuh bulan, belum lagi memasuki usia satu tahun.
“Ibarat bayi baru bisa tengkurap dan baru belajar merangkak, belum berjalan dan berlari, kenapa
sudah di ambil keputusan ide gila itu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan Mbak. Hari ini bisa
jadi Mbak bisa menerimanya. Tapi bagaimana dengan besok ketika Mbak melihat Mas Fahmi
sedang denganku atau ketika Mas Fahmi sudah tidak ada lagi di samping Mbak karena dia harus
tidur denganku, masihkah Mbak ikhlas? Masihkah Mbak bisa menerimanyan?
“Ini bukan masalah sekarang Mbak, tapi akan berdampak pada kehidupan selanjutnya, karena hidup
tidak berhenti sampai disini, tapi masih panjang. Apa Mbak akan tahan melihat Mas Fahmi saban
hari akan bermesraan denganku? Mungkin Mbak sabar, karena aku tau Mbak adalah orang yang
tegar, tapi bagaimana dengan aku? Tegakah aku mengambil dan menikmati semuanya yang
seharusnya menjadi milik Mbak? Menikmati yang seharusnya menjadi hak Mbak? Tidak Mbak, aku
benar-benar tidak mau. Aku sarankan sebaiknya Mbak lupakan saja tentang ide konyol Mbak itu,
mencarikan istri untuk suaminya. Itu gila Mbak”. Rahmi benar-benar gusar mendengarkan semua
itu. Kenapa Aibi menganggap semua ini begitu mudah? Benar Aibi bisa menerima, tapi bagaimana
dengan dirinya? Akankah dia ikut menambah penderitaan Aibi lagi?
“Mungkin itu memang gila dik, tapi jika hal itu terjadi pada dirimu, apa yang akan kamu lakukan?
Membiarkan suamimu menahan dan menderita? Padahal dalam hubungan suami istri banyak yang
harus kita bina, tidak hanya perhatian dan saling mencintai, tapi lebih dari itu juga keintiman di atas
ranjang. Sementara aku tidak mampu untuk melakukannya dik. Bahkan semenjak pertama kali kami
menikah. Semenjak malam pertama pernikahan kami, aku tidak pernah mampu sampai detik ini.
Kamu tau dik, untuk sekarang saja sudah lima bulan Mas Fahmi harus berpuasa dan menahan
keinginannya. Mampukah kamu melihat suamimu seperti itu? Mungkin ini adalah aib kami. Masih
kah kamu mengatakan semua ini gila dan konyol?
“Aku tahu ini gila dan poligami bukan satu-satunya solusi. Solusi lain dari permasalahan yang aku
hadapi ini adalah bercerai. Tapi itu juga di benci oleh Allah. Lalu apa yang harus aku lakukan
menghadapi semua itu? Membiarkan Mas Fahmi dan menjalani kehidupan seperti biasa, atau
menjadi boneka pajangan di dalam kamar, yang bisa di bawa bercanda tapi tidak bisa menikmatinya
untuk lebih jauh. Oh dik, semua itu menyakitkan bagiku dan juga bagi Mas Fahmi sendiri. Begitu
egoisnya aku jika aku membiarkan hal itu terjadi.
“Kamu mungkin benar, apakah aku masih akan ikhlas ketika melihat suaminya berduaan dengan
orang lain? yang dulu perhatiannya hanya teruntuk untukku, dan setelah menikah lagi aku akan
berbagi dengan orang lain dan orang lain itu adalah orang yang sudah aku anggap seperti adikku
sendiri? Siapa yang tidak akan tersakiti? Aku rasa tidak ada istri manapun di dunia yang
menginginkan suaminya membagi segala sesuatunya dengan orang lain, karena semua orang
menginginkan menjadi yang pertama dan terakhir bagi suaminya.
“Tapi dengan kasusku yang seperti ini, pantaskah aku menjunjung tinggi konsep pertama dan
terakhir itu? Tidak dik. Aku tidak punya hak untuk menahan dan melarang Mas Fahmi untuk
menikah lagi. Bahkan aku berjanji pada diriku sendiri, aku yang akan melamarkan istri untuk Mas
Fahmi. Mungkin ini kegilaan yang berikutnya. Tapi aku harus melakukannya. Karena mas Fahmi
sendiri tidak menginginkannya.
“Dan kenapa akhirnya aku memilihmu dik? Tadi aku tidak pernah berfikir akan menawarkannya
padamu dik. Tapi tiba-tiba saja aku ingat, dan aku yakin kamu adalah gadis yang paling cocok
untuk Mas Fahmi, karena aku sudah mengenalimu seperti aku mengenali diriku sendiri. Aku mohon
dik, tolong bantu aku. Aku tidak akan menuntutmu apa-apa setelah pernikahan nanti. Aku hanya
butuh ada yang memberikan perhatian pada Mas Fahmi dan memberikan kepuasan lahir dan bathin
untuknya. Aku ingin ada wanita yang halal yang akan disentu Mas Fahmi untuk meluahkan semua
perasaannya yang selama ini terpendam jauh di dalam sanubarinya. Dan aku berharap orang itu
adalah kamu dik.
“Oh dik, andai aku mampu untuk memberikan semuanya, tidak akan aku berikan tugas itu padamu
dik. Sekalipun aku hanya duduk di kursi roda ini. Tapi aku tidak mampu dik. Berpuluh dokter ahli
ginekologi yang telah kami datangi dalam beberapa bulan terakhir dan hasilnya sama dik, aku tidak
mampu untuk melakukannya dik. Andai kamu tahu betapa tersiksanya kami, tidur dalam satu
ranjang tapi kami tidak melakukan apapun, kecuali hanya bertahan dalam kebisuan panjang yang
kami hadapi. Berusaha untuk tetap normal di depan anggota keluarga yang lainnya, lebih membuat
aku tersakiti dik. Aku seolah menjadi orang yang paling munafik di dunia ini. Berlagak sok mesra di
depan umum, tapi menjadi dingin ketika sudah berduan di dalam kamar. Kehidupan macam apa itu
dik?
“Jika kamu berada di posisiku, masihkah kamu mampu bertahan? Masihkah kamu menahan
suamimu untuk tidak menikah lagi? Masihkah kamu akan berdiam diri membiarkan suamimu
menderita? Masihkah dik? Jawab dik... Jawab pertanyaanku...” Aibi sudah tidak mampu lagi
menahannya. Dia benar-benar sangat tersiksa dengan semua ini. Dia terus menangis, mengibah di
depan Rahmi yang tegak mematung di depannya.
“Haruskah aku mengemis padamu dik, supaya kamu mau menikah dengan Mas Fahmi? Jika aku
harus melakukan hal itu, maka akan aku lakukan untuk Mas Fahmi”. Setelah Aibi berkata seperti itu
di jatuhkannya tubuhnya ke lantai dan di sentuhnya kaki Rahmi. Melihat apa yang dilakukan Aibi
serentak Rahmi juga menjatuhkan dirinya dan berjongkok di depan Aibi dan meraih tubuh Aibi
untuk di dudukkan kembali ke atas sofa. Tapi ternyata Aibi malah meraih tangannya dan memohon
dengan air mata berurai padanya.
“Mbak mohon dik, tolong bantu Mbak untuk mewujudkan segalanya. Kamu tidak akan merusak
rumah tangga Mbak. Kamu tidak akan menghancurkan rumah tangga Mbak dik. Aku mohon tolong
dik. Tolong bantu aku dik”. Rahmi tidak bisa menjawabnya tapi dia tidak bisa mengabulkan
permintaan Aibi. Dia hanya ikut menangis dan memeluk Aibi. Setelah mereka puas bertangis-
tangisan, Rahmi bangkit dan membantu Aibi untuk duduk di kursi rodanya.
“Sudahlah Mbak. Kita tenangkan dulu hati kita. Beri aku kesempatan untuk memikirkan segalanya.
Ketika hatiku telah tenang, maka aku akan jawab apa yang Mbak utarakan tadi. Aku tidak bisa
putuskan sekarang”. Mendengar apa yang disampaikan Rahmi, Aibi tidak menanggapi apa-apa.
Tapi dia berusaha untuk tersenyum pada Rahmi. Dan senyum itu sungguh sangat memiriskan hati
Rahmi. Akankah dia kehilangan senyum itu jika dia menerima tawaran Aibi? dia ingin sekali
membantu Aibi. Tapi menerima permintaan Aibi untuk menikah dengan Fahmi tentu itu sangat
berat baginya.
Dia mengerti dengan penderitaan yang dihadapi Aibi selama ini. Dia juga sudah memahami Aibi
seperti dia memahami dirinya sendiri. setelah sekian tahun mereka bersama, kenapa masalah seperti
tidak mau berhenti menghampiri Aibi? Pernikahan yang dilalui Aibi yang diharapkannya akan
membahagiakan Mbaknya itu, tapi ternyata malah menyakitinya dan menyiksanya. Tidakkah
kehidupan ini mau berpihak lagi pada Aibi setelah kecelakaan itu? Kenapa segala asa tentang
kehidupan yang baik seperti telah tercerabut dalam hidup Aibi. Sungguh tidak adil kehidupan untuk
Aibi. Kenapa lagi-lagi Aibi yang harus menanggung semua penderitaan ini? Semua beban bathin
ini? Rahmi sudah tidak tahan lagi. Air matanya semakin deras mengalir. Dia tidak ingin menambah
kesedihan Aibi.
“Mari aku bantu Mbak untuk masuk ke dalam. Mbak masih sakit, sebaiknya Mbak istirahat di
dalam”. Akhirnya Rahmi mengalihkan pembicaraan. Setelah sekian lama mereka terjebak dengan
pembicaraan yang mengharu biru.
“Tidak dik. Mbak masih ingin disini. Mbak merasa lebih nyaman disini. Kalau kamu mau masuk,
masuklah. Maafkan aku telah mengacaukan pemikiranmu dik”. Jawab Aibi sembari mengibaskan
lembut tangan Rahmi yang sudah bersiap akan mengangkatnya ke kursi roda. Sesaat dia bimbang
meninggalkan Aibi sendiri, tapi dia sudah tidak tahan berada di sana. Dia tidak sanggup melihat
Aibi yang di amuk kesedihan yang mendalam. Setelah sesaat bimbang, akhirnya di putuskannya
masuk ke dalam dengan berurai air mata. Tampa pamit lagi di tinggalkannya Aibi sendiri di beranda
samping rumah.
48
Puncak Emosi
Rumput yang hijau di halaman tidak lagi menarik perhatian Aibi. Mawar yang bermekaran tidak
lagi menjadi pemandangan yang menyejukkan matanya. Dan bau mawar yang semerbak tidak lagi
memenuhi rongga dadanya dengan kenyamanan. Tapi lebih telah membuatnya tercekat dan dadanya
sesak. Bumi semakin sesak terasa olehnya. Pandangan matanya semakin mengabur, karena dipenuhi
air mata yang siap berhamburan dari sana. Seluruh tubuhnya terasa lunglai. Dia sudah tidak
sanggup lagi menahan segala derita ini.
Oh tuhan kenapa harus Aibi yang menanggung segalanya? Tidak adakah sedikit kebahagiaan yang
tersisa untuknya? Sampai kapan dia akan menjalani kehiduapan ini dengan berjuta air mata yang
siap berjatuhan kapanpun? Sudah terlalu banyak air mata Tuhan. Dia telah lelah menghadapi semua
ini.
Takdir, atau memang seperti inilah takdir yang Kau berikan untuk Aibi? Jika iya, semoga saja Aibi
tegar dan sabar menghadapi segala takdir hidupnya. Semoga saja Aibi bisa menjalani segalanya
dengan tenang.
Semua kenangan masa lalu bermunculan di pelupuk matanya. Gambaran gadis berusia 20 tahunan
sedang berjalan dengan lincah menyelesaikan semua permasalahan dengan cerdas dan mencapai
puncak prestasi dalam hidupnya. Tidak ada orang yang tidak kenal denganya ketika itu. Tapi semua
itu berakhir dengan kecelakaan tragis yang dihadapinya. Dia kehilangan segalanya dalam hidupnya.
Kepercayaan diri, cita-cita dan impian. Sampai segala asa telah tercabut dalam hidupnya. Bertahun-
tahun dia berusaha membangun kembali semua itu, ketika dia sudah yakin dia mampu berdiri lagi
dan melaju lagi dalam hidupnya dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, dia menemukan
seorang pendamping hidup yang laur biasa yang menerima segala keterbatasan dirinya. Tak terkira
bahagia hatinya ketika itu.
Dia berfikir inilah akhir dari segala derita yang di hadapinya. Inilah buah dari kesabarannya selama
ini, dia berharap dengan di dampingi oleh suami yang luar biasa dia akan bisa mengukir kembali
segalanya, dia akan meraih kembali semua mimpi yang sempat tertunda bahkan hampir habis
terkikis oleh erosi kesedihan, tapi ternyata kesedihan itu tidak berpenghujung. Kesedihan itu datang
lagi menghampirinya dengan wajah dan duka yang berbeda. Karena ternyata dia hanya bisa
menikmati indahnya menjadi seorang istri sehari saja. Hanya ketika di hari akad nikah saja
kebahagian menghampirinya, setelah itu masalah lain bermunculan lagi. Semuanya sangat
melelahkan dirinya.
Aibi semakin menangisi nasibnya. Dia tidak pernah menyangka semuanya akan berlanjut selama
ini. Dia tidak pernah mengira semuanya akan sesulit ini jadinya. Bagaimanalah dia akan menata
kembali hatinya yang sudah terlalu sering tercerabut? Bagaimanalah dia akan mempersiapkan
kembali hatinya setelah melewati sedimikian banyak derita? Akankah dia sanggup menghadapi
duka yang selanjutnya? Tuhan, berikan kesabaran kepadaku Tuhan. Berikan hati yang bijaksana
kepadaku dalam menghadapi setiap dari episode kehidupanku ini. Aku yakin Engkau adalah
sutradara atas semua ini. Engkaulah yang telah menuliskan skenario kehidupan yang begitu hebat
untukku. Aku ridho Allah atas suratan yang telah Engkau tetapkan untukku.
Hanya satu yang aku inginkan saat ini, ketenangan. Curahkan ketenagan itu, aku sudah terlalu lelah
untuk menangisi segalanya. Berikan kesempatan kepadaku untuk membahagiakan orang-orang
yang aku cintai. Suamiku, orang tua dan semuanya. Izinkan Tuhan, walau itu melalui orang lain.
Kirimkan seseorang yang akan menyelesaikan semua permasalahan ini dengan baik. Biar aku bisa
tenang setelah itu. Aku mohon padaMu Tuhan.
Aibi merintih dalam do’a panjangnya. Selama ini hanya do’a lah yang selalu memperkuat hatinya
untuk menghadapi segalanya. Andai tidak ada kesabaran di dalam hati ini, mungkin telah lama dia
mengakhiri hidupnya. Andai tidak ada janji Tuhan tentang kehidupan yang lebih baik di kemudian
hari, sudah lama Aibi mungkin mecari jalan pintas untuk menyelesaikan semua permasalahannya.
Andai tidak ada balasan dari setiap kebaikan dan keburukan yang di lakukan manusia di dunia ini,
mungkin telah lama Aibi menggalkan dunia yang penuh dengan kesengsaraan ini. Andai saja semua
berandai-andai itu diperbolehkan akan semakin banyak yang ingin di katakan Aibi.
Hanya ada dua muara untuk kehidupan yang di jalani manusia saat ini. Kenikmatan yang
berkepanjangan atau kesengsaraan yang tak berpenghujung. Kita telah diberika kebebasan untuk
memilih. Jika kita menginginkan kenikmatan yang berkepanjangan, maka ikutilah segala kode etik
kehidupan, jangan pernah berusaha untuk melanggarnya. Jika kita telah terlanjur melanggarnya,
maka cepatlah akui kesalahan itu kepada pengausa alam semesta dan berjanjilah untuk tidak
mengulanginya lagi. Dan jika kita menginginkan kesengsaraan yang tidak berpenghujung, maka
lakukanlah semuanya. Tidak usa hiraukan tentang kode etik kehidupan yang telah tertulis dalam
kitab undang-undang kehidupan yang telah dititipka oleh Sang Penguasa Jagat kepada laki-laki
kharismatik yang cintainya. Lakukanlah sekehendak hati.
Aibi telah memilih untuk bersabar, maka dia harus menjalani kehidupan ini sampai akhir dengan
kekuatan kata sabar yang di ambilnya. Walau sejatinya sabar itu sangat sulit kawan. Sabar, kata
ajaib yang begitu mudah bisa di ucapkan oleh manusia dibelahan dunia manapun, tapi sungguh
betapa sulit untuk menjalankannya. Sering kita terjebak dengan kata-kata sabar. Tapi benarkah sabar
menerima segala sesuatunya dengan pasrah? Tanpa perlawanan? Seperti yang sering kita lihat
dalam perfilman Indonesia yang menampilkan pemain yang kesabarannya melebihi kesabaran
siapapun? Benarkah seperti itu? Entahlah.
***
49
Pilihan Sulit
Rahmi sama-sama di amuk perasaan seperti Aibi. Hatinya hancur mendengar semua cerita
Aibi. Kata-kata masih saja terus memenuhi gendrang telinganya. “Jika kamu berada di posisiku,
masihkah kamu mampu bertahan? Masihkah kamu menahan suamimu untuk tidak menikah lagi?
Masihkah kamu akan berdiam diri membiarkan suamimu menderita? Masihkah dik? Jawab dik...
Jawab pertanyaanku...” Jika dia ada di posisi Aibi mungkin dia akan melakukan hal yang sama. Tapi
kenapa harus dia yang dipilih oleh Aibi untuk menjadi istri keduanya Fahmi? Kenapa harus dia
yang di pilih? Dia jelas tidak bisa. Aibi sudah di anggapnya seperti Kakak kandungnya sendiri. Dan
dia tidak ingin membuat Aibi terluka.
Rahmi terus menangis sejadi-jadinya. Dia bingung harus melakukan apa. Dia ingin membantu
Aibi. Tapi tidak menikah dengan Fahmi, tidak itu yang dilakukannya untuk membantu Aibi. Tapi
dengan apa? Jalan lain apa yang harus di tempuhnya untuk membantu Aibi? Oh Tuhan, semua ini
sangat berat ya Allah. Menikah dengan suami orang yang paling aku sayangi dan aku segani?
Memikirkannya saja aku begitu ngeri. Apalagi akan melakukannya. Tidak ya Allah. Tidak adakah
jalan lain ya Allah?
Terbayang wajah Aibi yang memelas padanya, betapa dia tidak kuasa untuk menolak semua
itu. “Haruskah aku mengemis padamu dik, supaya kamu mau menikah dengan Mas Fahmi? Jika aku
harus melakukan hal itu, maka akan aku lakukan untuk Mas Fahmi”. Tidak.. Tidak Mbak, jangan
paksa aku untuk melakukan hal itu. aku tidak sanggup. Aku tidak ingin membuat Mbak lebih
menderita lagi. aku mohon, jangan paksa aku Mbak. Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
Berikan aku jalan keluar yang baik untuk semua permasalahan ini ya Allah. Haruskah ya Allah aku
menerima tawaran Mbak Aibi seperti Mas Fahmi yang menerima tawaran Mbak Aibi untuk
berpoligami? Bagaimana jika hal itu membuat Mbak Aibi tersakiti nantinya? Aku tidak ingin dia
tersakiti.
Rahmi bingung akan mengambil jalan yang mana. Berulang kali dia mondar mandir, duduk
lagi di ranjangnya, kemudian berdiri lagi. Dia sedang mencari jalan keluar yang baik untuk
permasalahan ini. Dia jelas tidak bisa menerima permintaan Aibi. Dia terus berfikir. Di edarkannya
pandangannya ke sekeliling kamar, tiba-tiba matanya terbentur dengan travel back hitam yang
terletak di atas lemari. Ya, dia telah mendapatkan ide. Pergi dari rumah ini mungkin jauh lebih baik
untuknya dan juga Aibi. Dia tidak ingin menambah permasalahan Aibi. sebab apabila dia masih di
sana, maka Aibi akan datang lagi padanya dan akan memintanya lagi untuk enikah dengan Fahmi.
Dia tidak ingin hal itu terjadi.
Tanpa berfikir panjang, Rahmi mulai memasukkan bajunya kedalam tas dan bersiap untuk
pergi. Mumpung Aibi masih di beranda samping, maka dia akan pergi tanpa pamit pada Aibi. Dia
akan mengabari Aibi ketika dia sudah di luar nanti. Dia berencana akan pulang ke rumah Aibi di
Jakarta Selatan. Ya, dia yakin inilah jalan terbaik yang harus di tempuhnya.
Baru saja dia selesai mengepak pakainnya, tiba-tiba pintu kamarnya ada yang mengetok dan
ternyata itu adalah Aibi yang diantar oleh Bi Ina. Dia tidak tahu harus berbuat apa, belum sempat
dia menjawab, pintu kamarnya telah terbuka. Dia menyesal kenapa tidak di kuncinya pintu
kamarnya. Melihat apa yang ada di depan Rahmi, Aibi terkejut melihatnya. Dan menyuruh Bi Ina
pergi. Di dorongnya kursi rodanya ke dalam dan di tutupnya pintu kamar.
“Seperti inikah caramu dik? Inikah yang kamu katakan bahwa kamu menganggapku sebagai
Kakakmu? Apakah kamu akan meninggalkanku dengan diam-diam seperti ini? Hanya gara-gara
kamu tidak mau menolongku? Hentikan kebodohanmu dik. Aku tidak akan memaksamu untuk
menikah dengan Mas Fahmi. Aku sudah putuskan dan aku sudah mencari jalan keluar, dan mudah-
mudahan ini adalah yang terbaik untukku dan juga untuk Mas Fahmi, bahkan untuk kita semua
mungkin barang kali. Aku akan memberikan surat gugatan cerai pada Mas Fahmi. Karena kalau
aku menunggu Mas Fahmi menceraikanku, maka hal itu tidak akan pernah terjadi. Jadi kamu tidak
perlu pergi, karena aku masih membutuhkanmu dik. Kamu hanya boleh pergi dariku, kalau kamu
sudah menikah seperti yang dulu pernah Mbak katakan padamu. Kamu masih ingat dik?”.Ya, Aibi
telah berfikir tadi. Dia telah menimbang baik buruknya. Dia akan menempuh jalan itu. karena
mencarikan istri untuk suaminya, jelas tidak mudah. Dia hanya ingin Fahmi bahagia dan tidak harus
ikut menderita bersamanya.
Mendengar apa yang di sampaikan Aibi, membuat Rahmi terkejut. Jalan ini jelas juga tidak di
inginkannya untuk Aibi, karena dia tahu Aibi sangat mencintai Fahmi. Ini juga bukan jalan terbaik.
Oh tuhan, kenapa posisinya semakin sulit?
“Mbak, apa Mbak yakin itu adalah jalan terbaik? Apa yakin Mbak ingin bercerai dengan Mas
Fahmi? Bukankah Mbak sangat mencintai Mas Fahmi? Ini apalagi Mbak? Kenapa aku menjadi
serba sulit Mbak? Apa hubungan permasalahan ini denganku Mbak?” Rahmi sudah kehabisan
kesabaran. Dia menjadi tertekan dengan semua permasalahan yang di hadapi Aibi dan juga
membawa-bawa dirinya.
“Maafkan aku dik, jika aku telah membawa-bawamu dalam permasalahanku. Tapi jika bukan
denganmu, lalu dengan siapa lagi aku akan berbagi dik? Hatiku sudah terlalu penuh untuk
menanggung semua ini sendiri. Dengan Mas Fahmi, aku rasa tidak akan mendapatkan jalan
keluarnya, karena aku tau Mas Fahmi akan menentang hal itu mati-matian. Aku lelah untuk
berdebat dengan Mas Fahmi. Jadi aku berbagi denganmu dik. Salahkan aku jika aku ingin
menceritakan segalanya padamu, dik? Jika aku salah aku minta maaf padamu dik, maafkan aku
telah melibatkanmu dalam permasalahanku. Maafkan aku telah banyak melibatkanmu dalam
hidupku dik”.
“Maksudku bukan itu Mbak... Aku..Aku..”
“Sudahlah aku mengerti. Permasalahan ini biar aku selesaikan sendiri. karena ini menyangkut
kehidupanku, bukan kehidupanmu dik. Maafkan aku telah mengganggumu” Aibi sudah memutar
kursi rodanya dan sudah bersiap meninggalkan kamar Rahmi. Tapi Rahmi cepat menyambar kursi
roda Aibi dan menahannya.
“Lepaskan dik. Lepaskan kursi rodaku, biarkan aku keluar, aku janji aku tidak akan
mengatakan apa-apa lagi padamu. Aku akan menghadapi semuanya sendiri. Sudahlah, jika kamu
ingin pergi dan meninggalkanku pergilah. Setelah itu Mas Fahmi juga akan meninggalkanku. Dan
semuanya akan pergi meninggalkanku. Maka biarkan aku dengan ketidakberdayaanku. Terima kasih
untuk kebaikanmu selama ini dik”.
“Tidak Mbak. Aku tidak akan meninggalkan Mbak. Maafkan aku jika aku telah menyakiti
Mbak. Aku bingung Mbak, aku harus berbuat apa. Aku ingin membantu Mbak. Tapi dengan cara
apa? Jika memang menikah dengan Mas Fahmi aku bisa meringankan beban Mbak, aku siap
melakukannya Mbak. Asal Mbak tidak bercerai dengan Mas Fahmi. Untuk Mbak aku akan
melakukan apapun. Aku akan menikah dengan Mas Fahmi Mbak. Tapi jangan pernah keluarkan aku
dari kehidupan Mbak. Karena aku menyayangi Mbak”.
“Tidak dik, aku tidak ingin kamu menikah dengan Mas Fahmi karena terpaksa. Jika memang
kamu tidak mau, maka tidak usah, karena aku sadar tidak ada orang yang mau menjadi yang kedua
dalam hidup seseorang. Mungkin ini sudah takdirku dik, maka akan aku jalani takdirku dengan
segala penerimaanku. Mungkin memang bercerai dengan Mas Fahmi adalah satu-satunya jalan yang
terbaik biar tidak ada yang tersakiti”.
“Apa Mbak yakin tidak ada yang tersakiti? Bagaimana dengan Mbak sendiri? apa Mbak
benar-benar ingin berpisah dengan Mas Fahmi? Karena aku tau Mbak sangat mencintai Mas
Fahmi? Lalu bagaimana dengan Mas Fahmi? Apakah Mbak yakin Mas Fahmi tidak tersakiti?
Sudahlah Mbak, jika memang poligami adalah jalan satu-satunya, maka aku akan membantu Mbak
untuk mewujudkan hal itu. Yang penting kita tetap berkumpul. Mbak masih bisa tetap bersama
dengan Mas Fahmi dan aku juga masih tetap akan menjadi adik Mbak dan Mbak menjadi Mbakku,
sampai kapanpun. Aku siap Insya Allah Mbak. Aku ridho Insya Allah Mbak, jika Mbak memang
sudah ridho Mas Fahmi menikah denganku”.
“Tapi dik, apa benar kamu ingin menjadi istri kedua dari Mas Fahmi? apakah hal itu tidak
membuatmu tertekan?” tanya Aibi ke Rahmi untuk meyakinkannya.
Rahmi tidak menjawab, tapi hanya menganggukan kepalanya dengan mantap. Di tatapnya
Rahmi dalam oleh Aibi dicarinya kebenaran dari anggukan kepala Rahmi dari sorot mata Rahmi. Di
tangkapnya ada ketulusan di sana. Ada peneriaan di sana seperti yang dikatakan oleh Rahmi bahwa
dia Insya Allah ridho. Dengan hati bergemuruh di peluknya Rahmi dengan erat. “terima kasih Dik,
terima kasih untuk semuanya. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Tapi aku berusaha
meyakinkan Mas Fahmi agar dia mau menikahimu secepatnya. Agar semua penderitaan ini berakhir
dan berganti dengan keceriaan.
***
Pernikahan Rahmi dan Fahmi akhirnya di langsungkan dengan sederhana. Dengan hanya di
hadiri oleh keluarga terdekat saja. orang tua Aibi dan juga orang tua Fahmi dan tentu saja ada Aibi
dan wali hakim untuk menikahkan Rahmi dengan Fahmi.
Awal ketika Aibi menyampaikan ke Fahmi, Fahmi sempat menolak habis-habisan. Dia
bersedia menikahi wanita lain seperti yang di inginkan Aibi yaitu wanita pilihan Aibi. Tapi dia sama
sekali tidak menyangka Aibi akan memilih Rahmi untuk di nikahinya. Dia telah menganggap
Rahmi sebagai adiknya sama seperti Aibi yang menganggap Rahmi sebagai adiknya. Dan itu tidak
memungkinkannya untuk menikahi Rahmi. Jika pernikahan itu terjadi, lalu bagaimana tanggapan
orang-orang nantinya? Tidakkah hal itu akan menimbulkan fitnah? Kenapa tidak gadis lain saja?
Sempat Fahmi mengajukan keberatan. Dan ketika Aibi meminta kepadanya gadis lain yang di
inginkannya, ternyata Fahmi tidak memiliki pilihan, maka dengan bersusah payah di bujuknya
Fahmi untuk bersedia menikahi Rahmi. Karena kegigihan Aibi membujuknya, maka akhirnya
Fahmi luluh juga. Dia tidak tega mempersulit Aibi lagi. Dia bersedia menikahi Rahmi dengan
beberapa syarat: satu, dia tidak akan menjelaskan apa-apa kepada keluarga besar mereka tentang
rencana pernikahan mereka. Dia hanya akan diam dan membiarkan Aibi yang akan menjelaskannya.
Dua, jika terjadi bisik-bisik tetangga, maka dia tidak akan mau tahu, hanya akan menyerahkan
permasalahan itu kepada Aibi. tiga, jika nanti terjadi permasalahan seperti dia tidak bisa
memposisikan dirinya sebagai suami kepada Rahmi karena dia telah menganggap Rahmi sebagai
adiknya sendiri, maka dia akan meminta waktu utuk bisa . Jika tidak bisa, maka dia akan
menceraikan Rahmi.
Dua syarat pertama yang di ajukan Fahmi bisa disepakati oleh Aibi. Tapi untuk syarat yang
ketiga Aibi protes habis-habisan. Jika akan ada perceraian, lalu untuk apa di adakan pernikahan ini.
Tidak ada gunanya. Tapi sepertinya Fahmi tidak bisa di tawar lagi. Dia akan menikahi Rahmi
dengan tiga syarat di atas. Aibi sempat tegang dan tidak bisa terima. Tapi setelah menimbang dan
berfikir apa salahnya mencoba, maka di terimanya ketiga syarat yang di tawarkan Fahmi, walaupun
terasa sangat berat untuknya dan juga untuk Rahmi nantinya jika perceraian itu benar-benar terjadi.
Begitu juga ketika mereka memberitahukan rencana pernikahan itu kepada keluarga besar
mereka. Hampir semalam suntuk terjadi perdebatan antara Aibi dan Papa Mamanya. Begitu juga
dengan Papa dan Mamanya Fahmi. dan yang lebih menyakitkannya lagi ternyata Fahmi benar-benar
menutup mulutnya dan tidak mau berkomentar apa-apa pada orang tua mereka.
Itu baru Aibi memberi tahukan tentang rencana poligami yang akan di lakukan Fahmi. Belum
lagi masalah siapa calon yang akan menjadi istri kedua Fahmi membuat perdebatan semakin hangat.
Kenapa harus Rahmi? Apa wanita lain?
Mereka semua protes dan tidak bisa terima. Kenapa harus berpoligami? Kenapa tidak
menempuh jalan lain? berusaha untuk pergi mengobati penyakit yang di derita Aibi? bahkan Papa
dan Mama Aibi menyarankan untuk membawa Aibi pergi berobat ke luar negeri. Mereka yakin
pasti bisa. Tapi ketika Aibi menjelaskan bahwa mereka sudah pergi berobat kemana-mana dan
mereka sudah menemui berpuluh dokter obstetri ginekologi tapi hasinya nihil. Lalu sampai kapan
Fahmi akan menunggu? Ada solisi yang lain dari selain berpoligami yaitu bercerai. Dan ternyata
keluarga semakin tidak bisa terima. Karena cerai bukan tradisi keluarga mereka.
Dengan kepala tertunduk, dan dengan berat hati akhirnya mereka terpaksa meluluskan
permintaan Aibi. Sementara Fahmi telah kehilangan harapan. Dia berharap keluarga besar mereka
akan menentang keinginan Aibi apapun alasan yang di kemukakan Aibi. Tapi karena alasan yang di
berikan Aibi sangat masuk akal, akhirnya mereka setuju, tapi dengan catatan jika terjadi
permasalahan di kemudian hari, maka mereka tidak mau tau. Mereka tidak akan ikut campur.
Sepanjang perdebatan terjadi Bu Aisyah tidak berhenti menangis. Hatinya hancur, kenapa
nasib putrinya harus setragis ini? Kenapa begitu sangat menyedihkan sekali? Oh Aibi sanggupkah
kamu menghadapi semua ini sayang?
****
50
Cemburu Karena Cinta
Ternyata permasalahan poligami ini sangat ribet sekali. Aibi tidak menyangka akan
menghabiskan banyak waktu dan menguras banyak tenaga. Dia tidak menyangka tanggapan
keluarga mereka akan seperti itu. Apalagi tanggapan dari Papanya yang jelas sangat menentang
sekali.
Tapi hari ini dengan susah payah disembunyikannya air mata ketika disaksikannya pernikahan
Fahmi dan Rahmi. Ada yang hilang rasanya dalam dirinya ketika Fahmi menjawab akad nikah dan
ketika para saksi mengucapkan kata syah dengan lantang. Rahmi langsung berhamburan
kepelukannya dengan berurai air mata. Tapi Aibi dengan tegar tersenyum kepada Rahmi dan
mengucapkan kata selamat.
Tapi tahukah, sebenarnya hatinya hancur menyaksikan semua itu. jika dia tidak ingat kalau
pernikahan itu atas keinginnya mungkin dari tadi dia telah menangis meraung-raung, karena suami
yang di cintainya untuk malam-malam selanjutnya tidak akan selalu ada di sampingnya lagi.
Semua yang ada di ruangan itu menangis menyaksikan pernikahan itu. Pak Rizaldi tidak tahan
lagi menyaksikan semua itu. berulang kali dia keluar menghilangkan rasa sedihnya. Melihat Aibi
yang tersenyum indah membuat hatinya semakin miris. Dia tahu senyum itu hanya di luar saja. Di
dalamnya, betapa anak gadisnya itu telah tercabik-cabik. Bu Aisyah tidak sanggup menyaksikannya.
Selama proses pernikahan dia hanya mampu memejamkan matanya dan menahan nafas sesak.
Akad nikah itu telah terjadi. Fahmi telah syah menjadi suami Rahmi dan sebaliknya Rahmi
telah menjadi istri syah Fahmi. Kedua pengantin baru itu mulai menyalami orang-orang yang hadir
secara bergantian. Rahmi masih menangis pilu di pangkuan Aibi. Dia tidak percaya dia benar-benar
telah melakukannya. Dan dia tidak percaya mendengarkan ucapan selamat dari mulut Aibi. Semakin
di pereratnya pelukannya ke Aibi. “Sudahlah dik, semoga kamu berbahagia dinda. Tolong jaga
Mas Fahmi yang sekarang sudah menjadi suami kita berdua”. Ungkap Aibi lembut di telinga
Rahmi. Ada yang ganjil rasanya yang di ucapkanya ke Rahmi, “Suami kita berdua”. Benarkah? Dia
baru sadar kalau mulai hari ini Fahmi tidak lagi miliknya seutuhnya. Jika malam-malam
sebelumnya Fahmi tidak pulang, itu karena dia lebih memilih tidur di kantornya. Tapi malam
berikutnya kalau Fahmi tidak pulang ke kamarnya, itu berarti Fahmi ada di kamar Rahmi yang
hanya berjarak beberapa meter saja dengan kamarnya. Benarkan hal ini? Oh Tuhan untuk pertama
kalinya dia merasakan sangat kehilangan dalam dirinya. Sementara Rahmi semakin menangis di
dalam pelukannya.
Sekarang Fahmi sudah ada di depannya. Dengan baju pengantin dan peci pengantin yang
menawan. “Kamu begitu gagah Mas.” Ungkap Aibi lembut dan di sentuhnya pipi Fahmi.
“Pasti kamu sudah bahagiakan dik melihat aku menikahi Rahmi. Kamu sudah puas? Jangan
salahkan aku jika nanti aku tidak bisa mencintainya. Karena cintaku telah habis untukmu Aibi.
Dalam hatiku hanya ada kamu Aibi. Aku khawatir nanti Rahmi akan tersakiti dengan tindakanku”.
Bisik Fahmi lirih kepada Aibi. mendengar apa yang disampaikan Fahmi betapa sebenarnya Aibi
ingin menangis. Dia ingin meratap di pengkuan Fahmi. Tapi sedapat mungkin di tahannya. Istri
mana yang akan bahagia melihat suaminya menikah dengan wanita lain? Tidak ada. Tidak ada satu
istripun yang merasa bahagia ketika suamianya menikah dengan gadis lain. Begitu juga dengan
Aibi. Walau ini adalah permintaannnya, tapi dia lebih terluka lagi.
Benar apa yang dirasakan oleh Pak Rizaldi. Senyum itu hanya diluar saja, tetapi di dalamnya
hatinya telah berkeping-keping. Hatinya telah hancur. Dia telah kehilangan tempat berpegang. Tidak
akan ada lagi yang akan mengangkatnya ke kamar mandi di pagi hari, tidak akan ada lagi yang akan
menemaninya, semuanya telah pergi. Tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk menangisi. Dia
tidak ingin memperlihatkan kerapuhannya di depan orang-orang yang sangat di cintainya.
Bukankah ini keinginannya? Dia tidak ingin merusak segalanya dengan tangisannya. Dengan
tersenyum indah di sentuhnya lembut pipi Fahmi dan di ambilnya tangan Fahmi dan ciumnya
dengan penuh takzim seperti biasanya ketika dia akan mengantarkan Fahmi berangkat ke Kantor.
“Tentu saja aku bahagia Mas. Karena akhirnya kamu menikah dengan gadis pilihanku. Aku
yakin dalam waktu dekat kamu akan bisa mencintai Rahmi. Menjelang terbiasa, kamu akan bisa
mencintainya. Dan aku yakin kamu tidak akan menyakiti Rahmi Mas, karena aku tahu siapa kamu.
Kamu orang yang berhati lembut, tidak akan tega kamu menyakiti seorang wanita, apalagi wanita
itu adalah wanita yang sudah kamu kenali. Berbahagialah Mas”. Ungkap Aibi lembut. Mendengar
apa yang di sampaikan Aibi, Fahmi sudah tidak tahan lagi. dari awal memasuki mesjid tadi dia
sudah ingin menangis. Betapa dia tidak berdaya menghadapi Aibi. Dia yakin Aibi merasakan rasa
sakit yang sama seperti dirinya. Tapi kenapa Aibi masih bisa untuk tersenyum? Kenapa Aibi
menyembunyikan semua ketidakberdayaannya di balik senyumnya yang sejatinya adalah semu?
Direbahkannya kepalanya di paha Aibi. Dia menangis sejadinya. Sampai badanya bergetar.
Melihat apa yang terjadi semua orang yang ada di dalam ruangan itu semakin larut dengan tangisan.
Rahmi menangis pilu di pangkuan Bu Aisyah dan Fahmi menangis pilu di pangkuan Aibi.
Sementara Aibi setelah berusaha menahan agar tidak menangis, akhirnya air mata itu jatuh juga. Dia
tidak mampu lagi untuk berkata-kata. Dia hanya bisa memeluk Fahmi yang sedang menangis di
pangkuannya sembari membelai-belai kepala Fahmi.
Ternyata sangat sulit urusannya apabila sudah berbicara masalah bagi membagi. Apalagi
membagi suami dan menbagi cinta? Benarkah? Tuhan semuanya telah terjadi. Lalu apa yang kami
lakukan selanjutnya wahai sang skenario kehidupan? Ini jelas sangat sulit. Ini jelas masalah yang
sangat rumit, serumit rumus relatifitas yang di temui Enstein.
***
Mobil rombongan pengantin baru itu mulai meninggalkan lokasi Masjid tempat mereka
melangsungkan akad nikah. Aibi dan Fahmi untuk pertama kalinya terpisah dalam mobil yang
berbeda. Jika tadi berangkat ke Masjid mereka masih sempat satu mobil, kali ini Aibi sengaja
memilih semobil dengan Mama dan Papanya. Sementara Fahmi dan Rahmi berada di atas mobil
yang dikemudikan oleh Papanya sendiri. Dia sengaja ingin memberikan kesempatan kepada mereka
untuk saling mengenal lagi.
Sepenjang perjalanan mereka hanya diam saja. tak satupun yang berbicara. Aibi
membungkam mulutnya dengan diam seribu bahasa. Matanya nanar, dia masih merasakan seperti
baru saja terjaga dari mimpi buruknya. Pak Rizaldi yang ada di belakang kemudi sering mencuri
pandang kebelakang dari kaca spionnya. Mengamati mimik wajah anak gadisnya. Dia tau mimik
wajah itu adalah mimik wajah yang terluka. Tapi apa yang harus di lakukannya untuk
menyembuhkan luka tersebut? Di liriknya istrinya yang duduk di belakang bersama Aibi. Sama,
wajah itu sama-sama terluka.
Begitu juga antara Fahmi dan Rahmi. Mereka juga di cekam kesunyian panjang. Tidak ada
yang berusaha untuk memulai pembicaraan.
Syukuran pernikahan selanjutnya di adakan di panti asuhan tempat Rahmi di besarkan.
Dengan membagikan paket peralatan sekolah untuk anak-anak penghuni panti dan kemudian di
lanjutkan dengan acara makan-makan. Setelah itu mereka kembali ke istana kecil mereka yang
sekarang mempunyai dua ratu dan satu raja.
****
51. Rasa Yang Berkecamuk
Mereka pulang ketika malam mulai beranjak. Setelah mengantar Aibi, Rahmi dan juga Fahmi
pulang ke rumah mereka, orang tua mereka pulang ke rumah masing-masing. Sebelum mereka
pergi di peluknya erat anak-anak mereka dan setelah itu dengan air mata tergantung mereka
meninggalkan halaman rumah yang asri itu menuju kediaman mereka masing-masing. Tinggallah
Aibi, Rahmi dan Fahmi dengan suasana yang diam seribu bahasa.
Ketika mereka akan beranjak memasuki kamar masing-masing, Fahmi barsiap akan
membawa Aibi ke kamar. Tapi cepat di cegah oleh Aibi. “Ops.. Mulai malam ini yang mengurusi
segala keperluanku adalah Bi Ina. Dan Mas silahkan masuk ke kamar pengantin yang telah di
persiapkan bersama Rahmi”. Kata Aibi sembari memanggil Bi Ina.
“Tidakkah kamu mengizinkan aku mengantarkanmu ke kamar malam ini dik? Aku masih
suamimu. Tidakkah boleh aku mengantarkan istriku? Aku akan masuk ke kamar Rahmi setelah
memastikan kalau kamu sudah aman dan baik-baik saja”. Sambar Fahmi sambil menatap Rahmi
dan kemudian beralih lagi ke Aibi.
“Aku akan baik-baik saja Mas. Percayalah. Mas sama Rahmi istirahatlah, kalian berdua pasti
lelah sekali. Malam ini biar Bi Ina yang membantuku”. Fahmi tidak bisa apa-apa. Ketika Bi Ina
telah mendorong kursi roda Aibi menuju kamar yang ternyata di kamar Rahmi yang lama.
Sedangkan dia dan Rahmi akan menempati kamar utama. Dia tidak tahu entah kapan Aibi
mempersiapkan segalanya.
Di tatapnya Rahmi yang masih duduk di sofa. Diperhatikannya, Rahmi sebenarnya begitu
manis dan anggun. Aibi benar, dia tidak akan sanggup menyakiti Rahmi, karena dia begitu penurut
dan tidak banyak tingkah. Sesaat dia bimbang, dan setelah berfikir beberapa saat akhirnya di
sentuhnya lembut tangan Rahmi. Untuk pertama kalinya dia menyentuh Rahmi setelah pernikahan
tadi. “Masuklah terlebih dahulu dik. Kamu pasti capek. Mas ingin istirahat disini agak sejenak.
Nanti Mas akan menyusul ke dalam”. Katanya lembut.
“Baik Mas”. Jawab Rahmi singkat dan kemudian berdiri dan beranjak menuju kamar utama.
Sedang air mata menggantung di pelupuk matanya. Air mata itu siap jatuh kapanpun.
Tinggal Fahmi sendiri. dimatikannya lampu tengah dan kemudian dia duduk kembali di sofa
tamu. Dia ingin menangis di kegelapan malam. Aibi adalah wanita yang sangat dicintainya, dia
berharap anak-anaknya akan lahir dari rahim Aibi. Baru kemaren rasanya dia berhasil menyunting
Aibi dengan perjuangan yang sangat panjang. Dan hari ini ternyata dia telah menduakan Aibi
dengan gadis yang tidak asing bagi Aibi, yaitu Rahmi yang telah di anggap adik oleh Aibi. Rahmi
gadis yang manis dan anggun. Kepribadiannya hampir sama dengan Aibi, karena Aibi yang telah
mendidik dan menempanya. Bagaimanakah dia akan memperlakukan dua wanita itu? Dia terlalu
lemah untuk berbuat adil. Cintanya sudah habis diberiannya kepada Aibi. Sementara pada Rahmi
tidak ada rasa cinta sedikitpun di hatinya. Yang ada hanya anggapan kalau Rahmi adalah adik
baginya. Rasa sayangnya untuk Rahmi hanya sekedar rasa sayang seorang abang kepada adiknya.
Bagaimanakah dia akan bersikap dan memperlakukan Rahmi?
Fahmi terus menangis di kegelapan malam. Setelah puas dia menangis dilangkahkannya
kakinya menuju kamar Aibi. Dia merindukan Aibi. Hatinya tidak nyaman, dia merasa ada sesuatu
yang terjadi dengan Aibi. Maka dengan cepat di seretnya langkah kakinya menuju kamar Aibi yang
sekarang sudah berpindah ke kamar yang biasa di tempati Rahmi. Begitu sudah berdiri di depan
kamar Aibi, dia akan mengetok pintu, tiba-tiba telinganya menangkap suara isakan tangis yang
tertahan. Dia semakin faham Aibi sedang menangis di dalam sana. Dia mengerti Aibi merasa sangat
terluka sebenarnya dengan apa yang telah di lakukannya. Dengan keras di bukunya pintu kamar
Aibi. Ternyata tidak dikuncinya. Mendengar ada yang membuka pintu cepat di hapusnya air
matanya oleh Aibi dan di hidupknaya lampu kamarnya.
Di ambang pintu Fahmi berdiri masih memakai baju pengantinnya. Dia tahu, berarti Fahmi
belum masuk ke kamar menemui Rahmi. Di hapusnya air matanya dan disapanya Fahmi. “Kenapa
Mas masih di sini? Masuklah ke kamar, Rahmi pasti telah menunggumu Mas. Jangan biarkan dia
terlalu lama menunggu”. Kata Aibi dan kemudian bersiap untuk tidur dan mematikan kembali
lampu tidurnya.
Tapi karena melihat Fahmi yang masih berdiri mematung di ambang pintu dan
memandangnya lekat seperti ingin menerkamnya, diapun mengurungkan niatnya. Dan kembali
memperbaiki posisi duduknya. “Ada apa Mas? Kenapa Mas menatapku seperti itu? Apakah aku
salah berucap barusan? Jika aku salah, aku minta maaf Mas”. Ucapa Aibi lagi
Fahmi masih belum menjawab. Dengan langkah gontai di dekatinya Aibi. Melihat apa yang
dilakukan Fahmi, Aibi faham pasti ada sesuatu yang ingin di katakan Fahmi padanya. Tapi apakah
itu? Dipersiapkannya dirinya untuk menerima apa yang akan di sampaikan Fahmi.
“Kenapa Mas? Apa ada masalah?”. Tanya Aibi setelah Fahmi begitu dekat dengannya. Mata
Fahmi masih menatapnya dengan tajam, sepertinya ada kemarahan di sana.
“Kenapa kamu berbohong dik? Kenapa kamu berbohong padaku? Dan kenapa kamu
melakukan semua ini? Jika kamu tersakiti, kanapa kamu masih memaksaku untuk melakukan
semua ini dik? Kenapa dik? Aku telah mendengar tangismu. Aku telah mendengar ratapanmu.
Kamu merasa kehilanganku bukan? Oh dik, kenapa semua ini harus kita lakukan? Semua ini hanya
akan menyusahkan kita. Bagai manalah aku akan memperbaiki segalanya? Sekarang sudah
terlambat dik. Aku telah menikahinya. Andai kamu jujur dari awal padaku, mengatakan segalanya
padaku, hal ini tidak akan terjadi. Sekarang bagaimanalah aku akan melakukan semuanya dik? Aku
akan bersenang-senang dengan wanita lain yang telah menjadi istriku. Tapi bagaimana dengamu
dik? Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang”? Fahmi menangis di pelukan Aibi.
Dan Aibi juga menangis sambil membelai lembut kepala Fahmi.
“Maafkan aku Mas. Aku tidak pernah tersakiti. Hanya saja ini malam pertama kamu tidak ada
di sampingku karena kamu ada di sisi Rahmi. Hanya saja aku cemburu pada Rahmi Mas. Andai saja
aku Rahmi, alangkah bahagianya hidupku, karena aku bisa memberikan apa yang kamu inginkan
Mas. Aku tidak pernah berbohong padamu Mas. Percayalah. Ini sudah menjadi keputusan kita,
maka Mas harus memainkan peran Mas dengan baik. Bukankah sangat indah kehidupan yang akan
kita lewati? Karena kamu akan di jaga oleh dua isrti yang Insya Allah mencintaimu Mas.
Bahagialah Mas. Dan kembalilah ke kamarmu, karena Rahmi telah menungguhmu di sana”.
“Benarkah kita akan mendapatkan kebahagian dari pernikahan ini dik? Apakah kamu benar-
benar tidak akan tersakiti?”
“Insya Allah Mas. Tidak akan ada yang tersakiti. Kita semua akan bahagia. Berjanjilah
padaku Mas, kamu akan mencintai Rahmi seperti kamu mencintaiku. Bahagiakan dia seperti kamu
ingin membahagiakanku, Mas. Jika kamu melakukan semua itu, maka aku akan bahagia dan tidak
akan tersakiti lagi”.
“Tapi aku tidak yakin aku akan bisa melakukannya dik. Untuk masuk ke kamarnya saja aku
tidak berani. Kamu tau, aku hanya berani duduk di luar sambil menangis memikirkan kalian
berdua. Mampukah aku berlaku adil nantinya”?
“Aku yakin Mas akan bisa melakuannya. Sekarang masuklah. Temuilah Rahmi. Tidak baik
membuatnya terlalu lama menunggu. Lakukan seperti apa yang kamu lakukan ketika pertama kali
kita sekamar. Ajak dia sholat sunat berjamaah, setelah itu bacakan do’a di ubun-ubunnya seperti
kamu membacakan do’a untukku ketika itu. Setelah itu ajaklah dia berbicara dari hati ke hati
denganmu Mas. Lakukan tugasmu sebagai suami. Aku ikhlas Mas. Aku ridho Mas. Lakukanlah”.
“Tapi aku takut dik”.
“apa yang Mas takutkan? Itu hanya perasaan seorang pengantin baru yang akan menemui
isrtinya. Bukankah kamu telah pernah merasakan dan melewati masa-masa seperti itu ketika kita
baru menikah? Datanglah Mas. Temui dia. Demi aku, lakukanlah dan bersenang-senanglah Mas
dengan Rahmi malam ini. Kamu sudah terlalu lama untuk menahannya bukan? Nikmatilah malam
pertama Mas dengan Rahmi”. Aibi memberikan kepercayaan kepada Fahmi di genggamnya erat
tangan Fahmi. Tapi tahukah, betapa hatinya terluka ketika mengatakan semua itu.
Sedangkan Fahmi sudah tidak mampu lagi untuk menjawabnya. Kenapa Aibi justru malah
menyuruhya untuk melakukan semua ini? Bukankah tadi dia mendengar ratapan Aibi? Bukankah
tadi dia mendengarkan kalau Aibi merasa kehilangannya? Tapi kenapa dia jutru menyuruhnya untuk
menemui Rahmi malam ini? Begitu hebatkah Aibi menyembunyikan segala perasaannya? Setelah di
ciumnya Aibi dan dipeluknya Aibi dengan hangat. Fahmi beranjak meninggalkan Aibi. Walau
dengan hati bimbang dia akan menemui Rahmi. Dia akan melakukan seperti apa yang dikatakan
Aibi padanya.
Sementara Aibi begitu pintu tertutup lagi dan bayang Fahmi telah hilang di telan kegelapan,
dimasukkannya kepalanya ke bawah bantal dia menangis sejadi-jadinya. Dia memangil-mangil
Fahmi dalam tangisnya. Oh Tuhan, betapa hati ini begitu sakit sebenarnya ya Allah. Betapa aku
tidak sanggup menahan semua ini, aku cemburu Allah. Aku cemburu dengan semua yang akan di
dapatkan Rahmi. Mereka sebentar lagi akan melakukannya, lalu begaimana denganku? Ikhlaskan
hati hamba ya Allah. Ikhlaskan hati hamba ya Allah. Hamba mohon padamu ya Allah. Hilangkan
rasa sakit ini ya Allah. Oh Tuhan kenapa aku dihantui oleh bayangan mereka yang sedang bermadu
kasih? Kenapa bayangan itu yang sering berkelebat ya Allah?
Seperti inikah rasanya mempunyai suami yang memiliki dua istri? Belum lagi lama kami
menjalaninya, baru sehari tapi kenapa begitu berat rasanya? Dunia terasa hampa dan sepi. Tidak
dapat dipungkiri ternyata tidak mudah untuk ikhlas ya Allah. Andai aku tahu akan seperti ini tak
akan pernah aku menyuruh Mas Fahmi untuk menikah lagi. Andai aku mau mengkuti saran Rahmi
tak akan hal ini terjadi. Tapi hari ini semua itu telah terlambat ya Allah. Tidak bisa lagi aku
melakukan apa-apa. Hanya bersabar dan berusaha untuk ikhlas menerima semua ini. Tapi sungguh
Ya Allah ternyata begitu sulit untuk mengikhlaskannya.
52. Memetik Hikmah
Mulut ini boleh berdusta, tapi hati ini telah hancur tak berbentuk lagi. Oh Mas Fahmi,
kemanakah akan aku sandarkan lagi kepala ini kala aku tak sanggup lagi menahan beban ini?
Kepada siapa lagikah akan aku labuhkan segala rindu ini? Aku mencintaimu Mas, sangat
mencintaimu. Tapi cinta kita telah terhalang satu benua. Hatimu tidak lagi untuk ku se utuhnya.
Kehadiranmu tidak lagi di tunggu oleh satu orang wanita, tetapi telah di nanti dua hati wanita yang
ingin engkau jamah. Apalah dayaku hari ini, hidupku sudah semakin hampa dan sengsara. Tuhan,
sampai kapan aku akan menahankan segala rasa ini Tuhan? Hatiku tidak cukup luas untuk
menampung semua ini Tuhan. Berikan hati yang bijaksana kepada hamba untuk menghadapi semua
ini Tuhan.
Sepanjang malam itu tak sepejampun matanya mau di ajak berkompromi. Setiap di
pejamkannya matanya yang hadir justru bayangan Fahmi yang sedang bercinta dengan Rahmi.
Berusaha di tutupnya mata dan telinganya tapi bisikan-bisikan cinta mereka semakin nyata hadirnya
dalam angannya. Hatinya telah di bakar kecemburuan. Dunia benar-benar hampa dan sunyi.
Berulang kali di palingkannya kepalanya ke arah kiri berharap tiba-tiba Fahmi tidur di sisinya, tapi
kembali dia menangis ketika di sadarinya kalau Fahmi tidak akan hadir lagi di sisinya sepanjang
malam ini, dan mungkin akan berlanjut sampai malam-malam berikutnya.
Sepanjang malam hanya di habiskanya dengan mendesah panjang dan menangis panjang. Hati
wanita mana yang akan tahan menghadapi situasi seperti ini? Wanita mana yang akan menerima
suaminya tidur dengan wanita lain, walaupun itu adalah istri syahnya? keikhlasan di awal akan
mulai goyah ketika suami mulai memasuki kamar pengantinnya bersama istri mudanya. Seperti
inikah perasaan yang dirasakan oleh Ibunda Aisyah ketika Rasul menikah lagi? atau bunda Aisyah
lebih tegar lagi dan menerimanya dengan senyuman? Tuhan aku ingin mendapatkan ketegaran
sepeti ketegaran yang dimiliki Ibunda Aisyah. Jika tidak seutuhnya berikanlah setengahnya untukku
Tuhan. Ya Tuhan berikan aku segelas air dari syurgaMu biar aku siram api kecemburuan yang
sedang bergejolak di hati ini. Biar hilang segala rasa yang penuh penderitaan ini.
****
Sementara di kamar utama Fahmi dan Rahmi memulainya seperti yang dikatakankan Aibi
pada Fahmi. Diajaknya Rahmi sholat sunnat dua rakaat dan setelah itu dibacakannya do’a tepat di
ubun-ubun Rahmi yang kemudian diikuti dengan ciuman yang lama sekali. Setelah itu di ajaknya
Rahmi berbicara dari hati-kehati. Di dudukkanya Rahmi di tepi ranjang yang penuh ditaburi bunga
dengan wangi yang semerbak.
Di pandangnya wajah Rahmi yang begitu lembut. Di jelajahinya setiap jengkal dari tubuh
Rahmi dengan tatapan penuh cinta. Gaun malam yang di pakai Rahmi terlihat begitu anggun di
tubuhnya. Tapi saat ini dia tidak berminat memikirkan hal yang itu. di sentuhnya lembut dagu
Rahmi dan angkatnya kepala yang tertunduk itu. Ditatapnya lembut mata Rahmi dan mendalami isi
hatinya.
“Dik, kamu begitu cantik malam ini. Kamu begitu anggun sekali. Tapi tahukah kamu dik,
mungkin aku butuh waktu untuk mencintaimu. Karena sampai detik ini di hatiku kamu masih
seperti adikku. Seperti apa Aibi menganggapmu, seperti itulah kamu di hatiku. Tapi aku janji aku
akan berusaha mencintaimu walaupun nanti tidak seperti cintaku pada Aibi. Hari ini kamu adalah
istri syahku yang harus mengikutiku, tapi aku akan berikan kebebasan padamu. Jika kamu mau
menunggu sampai aku benar-benar bisa mencintaimu aku akan berterima kasih padamu. Tapi jika
kamu tidak bisa menunggu, aku akan beri kebebasan padamu, silahkan lakukan apa yang ingin
kamu lakukan. Aku tidak akan mengikatmu”. Fahmi mulai berbicara mengutarakan apa yang
dirasakannya saat ini. Entah kenapa dia tidak menginginkan berada di kamar ini. Dia tidak bisa
melakukan seperti yang disuruh Aibi padanya. Hatinya menjerit. Dia tahu Aibi terluka. Bagaimana
dia akan bersenang-senang dengan Rahmi sementara Aibi menangis pilu di kamarnya dalam
kesendiriannya? Tegakah dia?
“Saya mengerti Mas. Saya tidak akan paksa Mas untuk mencintaiku. Karena saya tahu tidak
akan ada yang bisa menggantikan posisi Mbak Aibi di hati Mas. Aku tidak akan mendesakmu untuk
mencintaiku, tapi satu hal aku minta padamu Mas, jangan sampai kamu meninggalkanku dan
mencampakkanku. Karena hal itu sama saja kamu membuatku hancur. Aku akan sabar menanti
sampai kamu benar-benar bisa mencintaiku. Seperti Mbak Aibi yang sabar melepas Mas ke
padaku”. Walau hancur hati Rahmi mendengar keterusterangan Fahmi tapi dia berusaha untuk
menerima apa yang di sampaikan Fahmi.
“Insya Allah aku akan coba. Sekarang tidurlah, kamu pasti capek dik. Aku masih ingin
menikmati kesendirianku. Aku butuh ketenangan saat ini”. Kemudian Fahmi melangkah keluar
kamar dan terus menuju beranda samping rumahnya. Dia ingin menikmati malam di bawah sinar
cahaya bintang.
Tinggallah Rahmi seorang diri di tepi ranjang. Melenguh lembut menerima perlakuan Fahmi
yang ternyata begitu sangat jujur mengatakan kepadanya. Jika bukan karena rasa sayang dan
segannya pada Aibi mungkin dia akan berhamburan keluar kamar dan menangis sejadi-jadinya.
Seperti inikah rasanya menjadi orang kedua dalam kehidupan seseorang? Malam pertama yang
seharusnya mereka nikmati berdua ternyata terasa hambar karena Fahmi lebih memilih untuk
menyendiri dan merenungi segalanya. Sampai kapankah dia akan sabar menanti? Oh betapa tidak
enaknya ternyata menjalani kehidupan seperti ini. Mungkin inilah yang di rasakan Aibi selama ini.
Lalu bagaimana dengan Aibi saat ini? Apakah Aibi bahagia seperti yang dikatakannya tadi siang
setelah akad nikah?
“Oh Mbak... Apa yang harus aku lakukan? Aku telah mendengar pengakuan Mas Fahmi. Dia
tidak bisa mencintaiku Mbak. Bisakah Mbak bayangkan bagaimana tercabiknya perasaanku saat
ini? Di malam pertama pernikahan kami, aku yang seharusnya mendapatkan bisikan cinta dari
suamiku yang kata Mbak adalah laki-laki baik dan sholeh tapi ternyata aku justru mendengarkan
pengakuan jujurnya kalau ternyata dia tidak mencintaiku. Dia tidak bisa mencintaiku Mbak. Dia
hanya mencintaimu seorang. Dan dia hanya menganggapku seperti adiknya. Seperti Mbak yang
menyayangiku seperti adik kecil Mbak. Dia memang laki-laki yang baik seperti yang Mbak
katakan. Dia laki-laki yang lembut seperti yang Mbak katakan. Tapi kebaikan dan kelembutannya
telah menghancurkan hatiku. Lalu sampai kapan aku akan menunggu Mbak?
Rahmi terus meratap di sepinya malam. Cahaya temaram lampu tidur semakin menambah
sendu suasana malamnya. Di reMasnya seprai putih yang terpasang di kibaskannya semua bunga
yang berserakan di ranjang pengantinnya. Semuanya terasa sangat menyiksa hatinya.
Fahmi sama menderitanya dengan mereka berdua. Dia tahu apa yang dikatakannya ke Rahmi
pasti menyakiti hati Rahmi. Tidak seharusnya di malam pertamanya dia mengatakannya dengan
begitu jujur pada Rahmi. Tapi pura-pura mencintainya sama saja dengan menyakiti Rahmi. Dan itu
akan lebih sakit lagi. jika dia jujur mugkin Rahmi benar akan tersakiti, tapi tidak akan lama. Malam
ini tiga air mata mengalir dari orang-orang yang saling merasa tersiksa dengan perasaannya sendiri.
Tidak semudah itu ternyata menjalani kehidupan. Karena ilmu tentang kehidupan adalah ilmu
para praktisi, bukan ilmu para teoritis. Kehidupan ternyata harus di jalani dulu baru bisa di katakan.
Jangan dikatakan baru bisa dijalankan. Mungkin inilah sebabnya kenapa akhirnya keluar kata-kata
bijak pengalaman adalah pelajaran yang paling berharga. Tidak ada satupun teori yang yang
berhasil mengungkap tentang rahasia kehidupan. Karena kehidupan harus di jalani, bukan di
bayangkan.
[1] Panggilan untuk muslimah dalam jumlah lebih dari satu. Biasanya panggilan ini hanya di gunakan untuk orang-orang yang aktif di dakwah. (Aktifis Dakwah)
[2] Wisma sejenis asrama yang di dirikan oleh mahasiwa yang menjadi aktivis dakwah. Di dalamnya di berikan pembinaan keagamaan dan kepribadian.
[3] Pengajian khusus untuk yang cewek-cewek. Untuk laki-laki biasanya Forum Ar-Rijal
[4] Maaf
[5]Persaudaraan
[6] Saudara perempuan. Panggilan untuk satu orang. Sedangkan Akhwat untuk banyak orang.
[7] Sebenarnya Ana : Saya
[8] Saudaraku sekalian yang berada dalam genggaman Allah. Biasanya di gunakan ketika menyapa dalam acara-acara tertentu.
[9] Terima Kasih
[10] Semoga Allah membalas dengan balasan yang lebih baik.
[11] Sejenis ketua RT.
[12] Kuliah Kerja Nyata
[13] Berteriak-teriak
[14] Forum Studi Islam sama dengan LDK
[15] Kakak Perempuan
[16] Pertemuan yang dilakukan sekali sepekan dalam rangka pembentukan kepribadian yang islami.
[17] Se ide
[18] Silahkan wahai adikku
[19] Kembali
[20] Pejuang wanita
[21] Virus Merah Jambu (Pacaran)
[22] Sebutan untuk aktivis laki-laki
[23] Umum
[24] Guru
[25] Desa