list peraturan internasional yang diratifikasi indonesia

Upload: dewa-pandhit

Post on 10-Oct-2015

58 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ratifikasi

TRANSCRIPT

List peraturan internasional yang diratifikasi indonesia Hingga saat ini, Indonesia telah meratifikasi 19 Konvensi IMO dan Code, yang merupakan aturan di bidang keselamatan pelayaran, keamanan pelayaran, dan perlindungan lingkungan laut, antara lain, SOLAS 1974, MARPOL 73/78 Annex I dan II, LOAD LINES 66, TONNAGE 69, STP 71, STP PROTOCOL 73, INMARSAT OA AMANDEMEN *(FAL 1965, CLC 69, CLC Protocol 92, ISM CODE, ISPS CODE, IMDG CODE dan lain-lain. Selain Konvensi IMO, Indonesia juga telah meratifikasi Basel Convention 1989, Maritime Liens and Mortgages 1993, dan ILO Convention 185 tentang Dokumen Identitas Pelaut.

Saat ini, Indonesia dalam tahap akhir finalisasi ratifikasi Marpol 73/78 (Kementerian Perhubungan) dan SAR Maritime 197 9 (Basarnas). Selain itu, saat ini sedang dilakukan pembahasan internal International Convention on Civil Liability for Bunker Oil Pollution Damage 2011 dan The International Convention on the Controlof Harmful Anti-Fouling System on Ships.

Implementasi konvensi-konvensi yang telah diratifikasi tersebut telah dielaborasi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Untuk memenuhi standar keselamatan pelayaran, Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 65 Tahun 2009 tentang Non-Covention Vessel Standard. Sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 saat ini juga telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan. Di bidang perlindungan laut juga telah dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2006 tentang Keadaan Darurat Penanggulangan Tumpahan Minyak Tingkat Nasional. 2. Konvensi No: 27 (1929) - tentang Pemberian Tanda Berat Pada Pengepakan Barang-Barang Besar yang Diangkut Dengan Kapal (The Marking at The Weight On Heavy Packages Transported By Vessels)- dibuat pada tahun 1929 dan diratifikasi pada tahun 1933 Nederland staatsblad 1932 No: 185, Nederland staatblad 1933 No: 34 dan dinyatakan berlaku untuk Indonesia dengan Indonesia staatblad 1933 No: 117

5. Konvensi No: 69 (1946) - tentang Sertifikasi Juru Masak Kapal (Certification of Ships Cook)- dibuat pada tahun 1946 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden No: 4 tahun 1992

8. Konvensi No: 185- tentang Dokumen Identitas Pelaut (Seafarers Identity Documents/SID)- diratifikasi pada tahun 2008

UU No.17 Tahun 2009 tentang Pelayaran mengaturan keselamatan dan keamanan transportasi di laut dilaksanakan oleh Dephub. Ini juga dilakukan sebagai implementasi amanat Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS) dan Konvensi Internasional di Bidang Maritim. Menurut UNCLOS , kapal perikanan yang termasuk dalam kriteria kapal niaga harus tunduk kepada hukum yang mengatur tentang kapal niaga, termasuk pula yang menyangkut masalah keselamatan dan keamanan pelayaran yang pembinaannya merupakan tanggung jawab Dephub. Setiap pelaut juga diwajibkan memiliki buku pelaut dan buku sijil pelayaran.[6] Urgensi bagi Indonesia untuk memiliki pengawal laut dan pantai (coast guard) sesuai dengan Hukum Maritim Internasional karena Indonesia sejak tahun 1974 sudah yang sudah menyepakati (SOLAS 1974) yang tertuang dalam :

a. Bab V Peraturan 15 Konvensi Internasional tentang Keselamatan Jiwa di Laut (SOLAS 1974) mengenai kewajiban negara penandatangan untuk membentuk organisasi Pengawal Pantai (Coast Guard) atau Pengawal Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard).

b. Ketentuan Internasional tentang Keamanan Kapal dan Fasilitas PelabuhanTahun 2002 atau International Ships and Port Facilities Security Code 2002(ISPS Code 2002) mengenai kewajiban negara peserta untuk menetapkanotoritas nasional dan otoritas lokal yang bertanggungjawab atas keselamatandan keamanan maritim.

c. Pasal 217, pasal 218 dan pasal 220 Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsatentang Hukum Laut (UNCLOS III, 1982) mengenai penegakan hukum olehNegara Bendera (Flag State), oleh Negara Pelabuhan (Port State), dan olehNegara Pantai (Coastal State).

DASAR-DASAR PEMBENTUKAN PENGAWAL LAUT DAN PANTAI

Indonesia telah menyetujui untuk bertanggungjawab dan menjamin pembentukan organisasi tersebut sejak tahun 1974 (SOLAS 1974)

Indonesia telah menyetujui ketentuan baru dalam amandemen SOLAS 1974 tentang peningkatan keselamatan dan keamanan maritim (ISPS Code 2002)

Indonesia telah menyetujui Resolusi A 924 (22) tentang tinjauan ulang terhadap pedoman dan prosedur pencegahan tindak terorisme yang mengancam keamanan penumpang dan para awak kapal serta keselamatan kapal yang ditetapkan pada tanggal 20 November 2002 dalam Sidang Majelis Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization, IMO).

Dasar Legal Hukum Nasional dan Konvensi Internasional

UUD 1945 - Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 Ayat (3) bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

TZMKO 1939 - Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim (Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie) Staatblad Tahun 1939 Nomor 442, Pasal 13~18, tentang penegakan hukum serta pengawalan keamanan dan keselamatan di laut.

UU 21/1992 - Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, khususnya tentang penunjukan pejabat yang berwenang sesuai penetapan Peraturan Pemerintah dalam hal Kecelakaan Kapal, Pencarian dan Pertolongan (Pasal 93~94) dan Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran oleh Kapal (Pasal 67).

SOLAS 1974 Konvensi Internasional tentang Keselamatan Jiwa di Laut (Safety of Life at Sea), Bab V Peraturan 15 tentang penyelenggaraan pengawasan pantai dan penyelamatan dari kecelakaan laut, sesuai tingkat kepadatan lalulintas laut dan bahaya navigasi yang ada SOLAS 1974 sudah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1980.

UNCLOS III 1982 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea), Article 220 tentang penegakan hukum di laut oleh Negara Pantai (Coastal State). UNCLOS III 1982 sudah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.

SOLAS Chapter XI-2 dan ISPS Code 2002 Amandemen SOLAS 1974 berupa penambahan ketentuan tentang Tindakan Khusus untuk Penguatan Keamanan Maritim (Chapter XI-2 Special Measures to Enhance Maritime Security) dan Peraturan Internasional tentang Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan (International Ship and Port Facility Security Code 2002 atau ISPS Code 2002), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2004. Khususnya tentang penunjukan Otoritas Nasional yang bertanggungjawab di bidang keamanan maritim, dalam hal menerima dan memberi informasi, menanggapi, memberi bantuan, atau bertindak secara memadai.[15] Lima Fungsi Pengawal Laut dan Pantai

Melindungi perbatasan maritim dari semua gangguan dengan cara menangkal penyelundupan narkoba, orang asing, dan barang-barang terlarang lainnya ke Indonesia melalui laut; mencegah pencurian kekayaan laut; dan menindak pelanggaran hukum di kawasan maritim.

Mencegah kematian, kecelakaan dan kerusakan hartabenda yang terkait dengan transportasi maritim, usaha perikanan, dan rekreasi.

Memfasilitasi penyelenggaraan perdagangan maritim dan memelihara efisiensi dan nilai ekonomis pergerakan barang dan orang, dan memaksimalkan akses pariwisata maritim.

Mencegah kerusakan lingkungan dan penurunan mutu sumberdaya alam yang terkait dengan lingkungan transportasi maritim, usaha perikanan, dan rekreasi.

Melakukan bela-negara sesuai UUD 1945, sebagai cadangan Angkatan Laut Republik Indonesia serta memperkokoh stabilitas regional dalam kerangka strategi pertahanan keamanan sesuai keunikan dan relevansi kapasitasnya.

RUJUKAN HUKUM

1. Rujukan hukum internasional

a. Bab V Peraturan 15 Konvensi Internasional tentang Keselamatan Jiwa di Laut (SOLAS 1974) mengenai kewajiban negara penandatangan untuk membentuk organisasi Pengawal Pantai (Coast Guard) atau Pengawal Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard).

b. Ketentuan Internasional tentang Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan Tahun 2002 atau International Ships and Port Facilities Security Code 2002 (ISPS Code 2002) mengenai kewajiban negara peserta untuk menetapkan otoritas nasional dan otoritas lokal yang bertanggungjawab atas keselamatan dan keamanan maritim.

c. Pasal 217, pasal 218 dan pasal 220 Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS III, 1982) mengenai penegakan hukum oleh Negara Bendera (Flag State), oleh Negara Pelabuhan (Port State), dan oleh Negara Pantai (Coastal State).

2. Rujukan hukum nasional

a. Penegakan hukum oleh Negara Bendera tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 Pasal 55 tentang keselamatan dan keamanan kapal.

b. Penegakan hukum oleh Negara Pelabuhan tertuang dalam Peraturan Bandar 1925 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 Pasal 21 ayat (3) tentang ketertiban dan keamanan pelabuhan atau bandar.

c. Penegakan hukum oleh Negara Pantai seperti diatur dalam Pasal 13-18 Ordonansi Laut Internasional dan Lingkungan Maritim 1939 tentang keselamatan dan keamanan maritim di perairan laut dan pantai Indonesia.

Dalam upaya untuk membentukcoast guardperlu diperhatikan fasilitas pendukungnya. Tentunya masih banyak yang perlu dibenagi agar dapat membentuk Indonesiancoast guard. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah tekhnonogi pendukung, sumber daya manusianya. Dalam hal ini yang perlu dipertanyakan adalah sudah siapkah sumber daya manusia Indonesia untuk ditempatkan sebagai personilcoast guard. Untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas sebagai personelcoast guardkita dapat memulai dari perekrutan yang besih dari KKN, karena sumber daya manusia yang profesional, kompeten dan berpengalan itu yang dibutuhkan di Indonesia, hal ini bisa terwujud dengan diberikannya diklat-diklat yang merata kepada seluruh anggota.

Hingga saat ini Indonesia belum memiliki Pusat Pendidikan dan Pelatihan (PusDikLat) Keselamatan dan Keamanan Maritim, sehingga aspek keselamatan dan keamanan maritim tidak tertangani sebagaimana mestinya, bahkan menyebabkan tumpang-tindih dan perebutan kekuasaan sesama instansi pemerintah. Selain Itu sumberdaya manusia maritim Indonesia kurang profesional dan tidak ahli di bidang peraturan perundangan maritim, administrasi maritim, dan manajemen maritim. Sumberdaya manusia di bidang keselamatan dan keamanan maritim sama sekali tidak memiliki bekal pengetahuan tersebut. Oleh karenanya dibutuhkan dukungan semua pihak yang terkait dengan melupakan kepentingan sektoral.

Inpres Nomor 5 Tahun 2005 dibuat dengan tujuan memberdayakan perusahaan

pelayaran nasional yang nasionalis dan dapat bersaing memperebutkan pasar global

dengan syarat kapal nasional harus berbendera Indonesia dan Kelas BKI (Biro Klasifikasi

Indonesia), menyamaratakan semua jenis kapal untuk menerapkan asas Cabotage, namun

belum berhasil karena tidak menerima kenyataan globalisasi di industri pelayaran dimana

kapal milik nasional harus berbendera Indonesia dan kelas BKI.

Untuk memantapkan tujuan pemberlakuan Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tadi,

Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan KM No 71 tahun 2005 tentang

Pengangkutan Barang/Muatan antar Pelabuhan Laut di Dalam Negeri dalam rangka

Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional khususnya penerapan asas cabotage secara

konsekuen dan telah menjadi kebijakan Pemerintah dengan membuat Road Map

yang menyebutkan: Pengangkutan penunjang kegiatan usaha hulu dan hilir Migas

menggunakan kapal berbendera Indonesia dan kelas BKI, dilaksanakan selambatlambatnya 1 Januari 2011. Yang dimaksud disini adalah kapal-kapal khusus.Menyusul kemudian pemberlakukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang

Pelayaran dengan ketentuan yang sama. Setelah Pemerintah menerbitkan Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Angkutan laut di Perairan Indonesia,

menegaskan bahwa kegiatan pertambangan Migas sudah harus menggunakan kapal

berbendera Indonesia mulai 1 Januari 2011 sesuai yang direncanakan dalam Road

Map tadi. Ternyata tidak ada kapal-kapal khusus yang berbendera Indonesia. Perusahaan

pelayaran tetap tidak sanggup memenuhi peraturan itu dengan alasan-alasan yang

disebutkan tadi di atas.

Berkaitan dengan penerapan asas Cobatage apakah sesuai dengan amanat

Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2005

Permasalahan kesyahbandaran terdapat benturan antara undang-undang Nomor

17 tahun 2008 Tentang Pelayaran dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun

2009 Tentang Perikanan. Dimana dalam undang undang tentang perikanan

mengenal adanya syahbandar perikanan, sedangkan menurut aturan

Penyusunan Kembali Rancangan (Redesign) Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pelayaran 32

internasional hanya diakui satu syahbandar yaitu syahbandar kepelabuhanan;