lembaga penelitian universitas katolik parahyangan

98
LEMBAGA PENELITIAN UNIRSITAS KATOLIK PARAHYANGAN PENGGALIAN POTENSI D:SAIN CANDI DAN APLlKASlNYA DAl,AM ARSITEKTUR PASCA HINDU- BUDHA DIJAWA MEANUN JATI DIRI YANG BE''UMBER PADA KHASANAH BUDAYA LOL STUDlKASUS: STUD I REPSENT AS! DESAIN CANDI DALAM SOSOK ARSITEKTUR MODERN DI JAWA I'I�NYUSUN : Rahadhian PH Elfan Kedmon BANDUNG, NOVEMBER 2009

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

PENGGALIAN POTENSI DJ<:SAIN CANDI DAN

APLlKASlNYA DAl,AM ARSITEKTUR PASCA HINDU­

BUDHA DIJAWA MEMBAN(iUN JATI DIRI YANG BE'ID'UMBER PADA

KHASANAH BUDAYA LOKAL

STUDlKASUS: STUD I REPRESENT AS! DESAIN CANDI DALAM SOSOK

ARSITEKTUR MODERN DI JAW A

I'I�NYUSUN :

Rahadhian PH Elfan Kedmon

BANDUNG, NOVEMBER 2009

Page 2: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

KATA PENGANTAR

Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, k arena berkat berkah dan

bimbingan-Nya penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian ini digunakan untuk menunjang

studi doktoral yang sedang ditempuh. Penelitian ini berisi pembahasan Penggalian Potensi

Desain Candi dan Aplikasinya dalam Dinamika Arsitektur Pasca Hindu-Budha di Jawa,

Membangun jati diri yang bersumbcr pada khas�mah budaya local, dengan studi kasus

Representasi Desain Candi dalam Sosok Arsitektur Modem di Jawa.

Studi ini ditujukan untuk mcmahami d�m mengetahui sej auh mana wuj ud representasi

unsur arsitektur candi pada sosok bangunan pada masa modern di Jawa berikut faktor-faktor

yang mendasari dan melatarbelanginya,. Hal ini bergun a bagi pembelaj aran, pemahaman, dan

pengaj aran keilrnuan arsitektur yang bersumber pada unsure kelolakan di Indonesia.

Penyusun berusaha menyelesaikan penelitian ini dengan sebaik-baiknya dalam waktu

yang tersedia. Menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempuma, penyusun dengan

senang h ati menerima kritik dan saran. Penelitian ini merupakan titik awal untuk penelitian

lebih lanjut dengan pengkaj ian yang lebih mandalam.

Akhir kata, penyusun herharap peneliti�m ini dapat memberi sumbangan nyata b agi

pendidikim arsitektur di Unpar pada khususnya dan pendidikan arsitektur di Indonesia pada

umumnya.

Wassalam.

Bandung, November 2009

Hormat kami,

Penyusun

Page 3: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

DAFTAR lSI HAL

+ KATA PENGANTAR. ... .

+ DAFT AR lSI... . . . . . . . . . . . . .

+ ABSTRAK ..... .

BABI.PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG . 1.2. PERUMUSAN MASALAH .. 1.3. KERANGKA PEMIKIRAN ..

I.4. TUJUAN PENELITIAN .. .. .

1.5. MANFAAT PENELlTIAN . . . 1.6. OBJEK PENELITIAN.... . . . .... . .

1.7. METODA PENELITIAN ..

. . . . . . . . i . ........ ii

. ............ iii

. . . . ....... I . ....... 2 . ....... 3

. ................ . 3 . ..... . . . . . . . ... 4

. . · · · · · 4 . ... ....... 5

DAB 2. LANDASAN TEORL .. . . ....... ........... .............. . ....... 8 2.I. PENDEKAT AN KORELASJ DALAM REPRESENT AS! ARSITEKTUR. .. .. .............. I 0

2.2. REPRESENT ASI DALAM KONTEKS POSTMODERNISME .. . . . . . . . . . . . . . . . H • .20 2.3WACANA IDENTITAS KELOKALAN DALAM REPRESENTASJ

ARSITEKTUR Dl INDONESIA.. ................ . .. . ............ .23

DAB 3 RI�PRESI<:NTASI CANDI SEBAGAI IDI<:NTITAS KELOKALAN

3.1 PENGGALIAN POTENSI MASA LALU... . ................ . ........... 29 3.2 CANDI SEBAGAI 'LOCAL HISTORICAL PROTOTYPES'.. . .. ............ 35

3.3 UNSURJATRIBUT KlJAT DALAM DESAIN ARSITEKTUR CANDL.. . ......... 46

DAB 4.REPRESENTASJ SOSOK CANDI DAI,AM ARSITEKTUR

MODERN

4.1. MASA KOLONIAL .. . ................ . 52 4.2. MASA PASCA KOLONJAL ..... . . ..... 73

HAB 5. KESIMJ>ULAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 89

KEPlJSTAKAAN ..... . ........................... lV

ii

Page 4: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

ABSTRAK

Fenomena globalisasi pada saat ini. memungkinkan munculnya keragaman representasi arsitektur yang hadir di Indonesia. Kecendenmgan pemanfaatan representasi arsitektur asing tanpa dilandasi oleh semangat kelokalan dikuatirkan dapat menghilangkan karakterlidentitas. Menghadirkan representasi identitas kelokalan melalui semangat regionalisme mempakan tanggapan terhadap fimomena tersebut. Representasi yang bersumber pada tradisi masa lampau dapal menjadi sa/ah satu mjukannya. Upaya untuk mengembangkan nilai-nilai kelokalan dapat dilakukan melalui pengkajian representasi candi sebagai sumber reforensi desain. De sa in candi Jawa diperkirakan menjadi salah satu sumber im]Jirasi pen ling di dalam dinamika arsitektur di Indonesia. Hal ini dapat dikenali mela/ui representasi unsur-unsur desainnya yang sela/u muncul p<ula masa pasca Hindu-Buda di Jawa dan Bali.

Studi ini dilakukan untuk mengkaji representasi desain percandian pada bangunan­bangunan masa Modem di Jawa. Masa Madem dapal dibubungkan dengan masa Kolonial dan Pasca kolonia/. Jstilah Pasca Kolonial dalam studi ini digunakan untuk menggambarkan eralmasa sesudah kolonial, bukan memjuk pada pengertian kritik ideologi. Pasca Kolonial dapat mempunyai konsekuensi pemahaman yang /ebih luas, misalnya ideo/ogi!faham yang mengkritik keberadaan kolonialisme. seperti halnya kritik postmodernisme terhadap moden1isme.

J>endekatan kesejarahan secara diakronik-sinkronik dan studi korelasi digunakan dalam menganisis tran.�jiJmuJsi wujud representasi candi di dalam sosok bangunan­bangunan Pasca Ko/onial di Jawa tersebut. Pembahasan terhadap sosok menjadi penting karena sosok mempakan sarana mudah/awallp<mdanganlimpresi pertama sebagai penangkap visual yang cepat untuk menggambarkan totalitas suatu wujud arsitektur. Sosok mencakup unsur tiga dimensi berikut tampilan jasadenya yang melingkupinya. A.1pek kesejarahan diperlukan untuk memahami latar belakang ideologi, politik, ekonomi, sosia/-budaya yang mendorong motivasi penggunaan representasi candi. Melalui studi ini diharapkan potensi­potensi arsitektur candi dapat diidentifikasi sebagai salah satu sumber inspirasi desain yang merujuk pada nilai kelokalan, khususnya dalam membangzm identitas arsitektur di Indonesia.

iii

Page 5: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

BAB I. PENDAHULUAN I. I. La tar Belakang :

Fenomcna globalisasi pada saat ini memungkinkan masuknya pcngaruh budaya

asmg ke Indonesia. Hal in i membuka kemungkinan keragaman a tau plural it as

representasi arsitektur yang hadir di Indonesia. Kebcragaman rcpresentasi tersebut

menyebabkan karakter a.rsitekturnya menjadi tidak jelas. Lambat laun dikuatirkan dapat

membuat tidak ada bedanya antara wujud arsitektur di Indonesia atau di luar Indonesia.

Faktor 'tempat' (place) yakni ke-Indonesia-an rnenjadi penting dalarn mcmbangun

karaktcr!identitas (Prijotorno, 1988). Schulz (1978) juga mengernukakan pentingnya

pemahaman tentang .1pirit of the place (genius loci) dalam membentuk karakter.

Beberapa karya AMI (A.rsitek Muda Indonesia) dan arsitek lainnya pada saat ini

menunjukkan adanya kesan 'rnemindahkan' tanpa proses penyesuaian lebih Ian jut, baik

menyangkut gaya tcnnasuk aspekaspek yang melatarbelakanginya Landasan yang

d igunakan dalam desainnya menjadi sangat bebas (anything goes).

Oleh karena itu dalam konteks Indonesia saat ini diperlukan penggalian terhadap

nilai-nilai kearifan lokal. Menurut Pangarsa (2006) kearifan setempat atau kearifim

lokal, dikenal secara umum sebagai local wisdom, indigenous knowledge, dsb dapat

difahami mengedepankan kelokalan dan tidak ke-ba.rat-baratan. Pengaruh Barat­

globalisasi atau Erosentrisme tersebut nampak jelas pada aspek politik kebudayaan

Pertemuan antara pengaruh dari luar dengan kearifan setempat menjadi unsur penting di

dalarn muatan metoda pembangunan di negara berkembang. Sejak talmn 2000

organisasi dunia bahkan rnenegaskan rekomendasi program-program identifikasi,

pengembangan dan penyebaran kearifan setempat dalam berbagai bentuk. Di Thailand,

Uganda, dan Afrika Sclatan gerakan mengintergrasikan kearifan setempat dalam

kebijakan pembangunan bahkan dilaporkan relatif telah merata (Pangarsa 2006).

Camli mcrupakan salah satu peninggalan arsitektur purbakala yang mempunyai

kedudukan yang penting dalam sejarah pekembangan arsitektur di Indonesia. Arsitektur

candi di Jawa merupakan hasil dari usaha 'meramu' berbagai seni bangunan suci di luar

dan dari berbagai pusat kesenian dan berbagai jaman yang dipadukan dan diperkaya

dengan unsur-unsur lokal mcnjadi suatu kreasi 'baru'. Dengan demikian menunjukkan

bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sebenamya telah mempunyai daya kreatifitas

yang rnemadai guna rnenciptakan seni-seni baru yang kontekstual dengan budaya lokal

Page 6: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

dan adaptif terhadap budaya Juar. Scni arsitcktur candi tidak hanya bcrhcnti digunakan

pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, namun irnplikasinya diduga masih cukup

kuat baik dalam tataran konscp maupun aplikasi praktis pada masa Islam, Kolonial, dan

Post Kolonial-Modern di Indonesia. Pcninggalan bangunan masa llindu-Buda tersebut

berpotensi sebagai sumber inspirasi/referensi yang 'stabil' (diduga selaltr muncul pada

tiap masa) di Indonesia. Olch karena itu candi dapat dipandang scbagai salah satu local

hislorical prototype yang pcnting di Indonesia. Dalam perkembangannya representasi

cancli tidak sekedar difahami scbagai bangunan saja melainkan dapat mengandung nilai

'place' di dalam alam pikiran masyarakat khususnya di Jawa-Bali.

Studi ini diharapkan dapat mcmbuka wawasan dan dapat digunakan untuk

mengkaji keragaman bcntuk dan prinsip desain arsitcktural candi Indonesia dan aplikasi

serta ref1eksinya untuk sosok bangunan modern. Pcmbahasan terhadap sosok mcnjadi

penting karena sosok merupakan sarana mudah/awallpandangan/impresi pertama

sebagai penangkap visual yang cepat untuk menggambarkan totalitas suatu wujud

arsitektur. Sosok mencakup unsur tiga dimensi berikut tampilan fasadcnya yang

melingkupinya. Melalui studi ini diharapkan dapat memperkaya pengembangan

identitas bentuk-hentuk arsitektural yang bercirikan Nusantara. Di masa kini gaya

arsitektur yang tidak berhubungan dengan konteks lokal dan sejarah Indonesia telah

haclir eli Nusantara, schingga wujudnya tcrasa terlepas dari 'place' dan 'collective

memory' nya Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mcmahami wujud perkembangan

sosok desain arsitektur percandian berikut reprcsentasinya pada masa pasca

HinduBudha. Hal ini scbagai usaha mcncari model adaptasi dalam desain arsitektur

modern yang mencerminkan kemajuan jaman (progresif visioncr), namun tctap

dibangun herlandaskan pada nilai-nilai budaya adiluhung bangsa

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana wujud representasi desain arsitcktur candi di dalam sosok arsitektur masa

pasca Hindu-Budha di Jawa khususnya pada masa modern. Berdasarkan studi ini

diharapkan potensi-potensi sepcrti apa yang mungkin dapat identifikasi dalam

penggalian unsur-unsur desain yang bersumber dari arsitektur candi di Indonesia

tersebut, sehingga dapat mcnjadi masukan bagi pcngembangan desain yang berakar

pada budaya JokaL

2

Page 7: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

1.3. Kcrangka Pcmikiran

Untuk memaharni reprcsentasi dcsain arsitektur caneli pada bangunan sakral

Hinclu-Budha atau candi terscbut maka pcrlu dicari landasan korclasi kcduanya. Selain

itu cligunakan penclekatan kuantitatif clan kualitatif clengan objek-objek nyata untuk

memperkuat pola-pola yang muncul, sehingga memperrnudah untuk penegasan tentang

wujucl aclaptasi dan transfrornasi yang digunakan . Dengan pedoman atau kaidah-kaidah

yang ditemukan diharapkan dapat diretleksikan sebagai guideline dalarn pengembangan

korelasinya.

! Af�SITEK"l UH BANG UN AN CANDI Dl JAWA

Desain I -�-

lA l N'l BELAKANG

SEJARAJ-1

- LATN-1 BElAKANC.i

L.ANDAMN TEOF-11

li I ') KONSEP SOSOK-1 y SPASIAL

1.4. Tujuan Pcnclitiao

ANALISIS KOHELASI

I I

ARSITEKTUR PADA MASA PASCA HINDU­

BUDHA Dl JAWA

01-�S/IJN SAKflAtdnn Non SN<RAI

KONSEP SOSOK­SPASIAL

I • • • ·�-� J

I ��- • • : • • • • • • • • • • • ' • • • • • • • • • • • • • • ' • •

KESIMPULAN

1. Mcmahami wujud pcrkernbangan dcsain arsitektur percandian serta aspck yang

melatarbclakanginya, dan rnemaharni represcntasi arsitektur candi clalarn wujud

perkembangan arsitektur eli Jawa paela rnasa pasca Hindu-Buelha, khususnya eli dalarn

sosok bangunan modern.

2. Mengdidcntifikasi potensi-potensi yang dapat dikcmbangkan dari arsitektur

percandian untuk desain arsitektur masa kini dan rncndatang Hal ini sebagai usaha

mencari model adaptasi dalam arsitektur modern yang tetap rnencerrninkan kernajuan

jaman (progresif visioner), narnun tetap dibangun berlandaskan pada nilai-nilai

budaya adiluhung bangsa

, _)

Page 8: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

1.5. M:mfaat J>enelitian

1. Diharapkan dapat diketahui wujud pcnggunaan arsitektur candi dalam arsitektur

pacla masa pasca Hindu Budha di Jawa, khususnya modern, baik pada bangunan

sakral dan non sakralnya dan aspek perletakannya dalam kawasan/urbanitasnya.

2. Dapat menambah wawasan tentang pengetahuan desain arsitektur yang

berlandaskan pada kaidah-kaidah arsitektur lokal dimana dapat digunakan sebagai

sebagai bahan pengajaran sejarah dan tcori arsitektur ataupun sebagai bahan

penelitian lcbih lanjut.

3. Dapat mcnambah wawasan pengetahuan tentang proses adaptasi candi pad a

bangunan non Hindu-Budha, sehingga bergunna untuk pencarian kemungkinan

kemungkinan penggunaanya kembali pada desain arsitektur secara umum eli

Nusantara saat kini ..

4. Diharapkan dapat membuka wacana lebih lanjut tentang pengkajian hubungan

antara desain candi dengan clinamika perkembangannya dalam membangun wujud

arsitektur Nusantara dan pencarian jatidiri ke-Indonesia-an.

1.6. Objck Pcnelitian

Objck pcnelitian meliputi caneli eli Jawa yang signifikan dan bangunan pada masa

pasca llinelu Budha yang mengindikasikan adanya unsur percandian eli Jawa, seperti

bangunan pemerintahan, monumen, bangunan hunian-hotel, bangunan perkantoran,

bangunan pariwisata, museum, bangunan peribadatan, bangunan perdagangan dsb. Oleh

karena itu perlu kiranya kita ambil metode sampling sebagai pengumpulan data, untuk

dapat mengetahui gambaran peninggalan-peninggalan dengan variasi-variasinya secara

umum. Tetapi jika ditemukan hal-hal yang khusus atau istimewa maka metode studi

kasus elapat digunakan. Dalam penentuan objek dilakukan penelekatan ke arab purposive

sampling yakni <liawali dengan pengarnatan bangunan yang menunjukkan adanya

kemungkinan penggunaan reprcsentasi percanelian. Teknik penentuan sample yang

digunakan adalah berdasarkan atas pertimbangan tertentu dan representatif yang

kebanyakan pe11imbangannya dielasarkan atas pengarnatan wujud fisik bangunannya.

4

Page 9: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

I. 7. Metode Penelitian :

Berdasarkan kajian di atas, pendekatan kesejarahan dan studi korelasi dapat

digunakan sebagai titik tolak dalam studi ini. Pengetahuan terscbut digunakan scbagai

landasan untuk memahami representasinya pada masa Pasca Hindu-Budha di Jawa

Penelitian ini dilakukan untuk memahami representasi arsitektur candi dalam arsitektur

Pasca Hindu-Budha melalui analisis transformasi. Post-modernism yang berkembang

saat ini memungkinkan adanya usaha-usaha untuk membangkitkan kembali unsur-unsur

pro-histmy. Mctode yang dil,'llnakan adalall Deskriptif Argumentatif

I. Objck studi dipilih berdasarkan uji kclayakan

2. Studi litcratur dan obscrvasi tcntang arsitcktur Candi dan bangunan modern yang

dipcrkirakan dipcngarnhi olch dcsain pcrcandian di Jawa.

3. Menemukan sejauh mana wujud pengaruhnya teii1adap arsitektur candi melalui

pendekatan tipo-morfologi, transtormasi, adaptasi, bcrdasarkan analisis dan

interpretasi objek studi dasar teoritisasi, yang berasal dari literatur.

4. Mcncari potensi--potensi yang dapat dikembangkan berdasarkan proses adaptasi

di dalam desain arsitekturnya.

1.7.1. Langkah Penelitian

I . Objek studi yang dipilih telah diseleksi sesuai dengan uji kelayakan bcrdasarkan

kelengkapan komponen bangunan.

2. Mengumpulkan data baik berupa gambar tampak, denah, perletakan dari objek

maupun foto-foto yang mendukung

J. Mcngndaknn pengukuran pada gam bar tampak, denah, perletakan, dan foto

4. Mengkaji dan mcrnbandingkan literatur-litcratur yang berhubungan dengan teori

desain dan aspek-aspeknya bcrdasarkan kaidah yang ada, seperti Manasara, dsb

5. Mcncari hal-hal yang dianggap mempcngaruhi dan menentukan kaidah arsitektur

candi dan arsitcktur Islam di Jawa

6. Melakukan eksperimentasi, interpretasi,analisis berdasarkan pertimbangan kaidah­

kaidah tersebut untuk menemukan kaidah-kaidah adaptasi desain arsitektur candi

pada bangunan pada masa Islam.

7. Menarik kesimpulan untuk kemudian mencari kemungkinan -kemungkinan

pengembangannya pada saat kini serta membuat rekomendasi basil dari

penelitian.

5

Page 10: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

I. 7.2. Hatasan J>enelitian

Penekanan di dalam studi ini lebih pada wujud representasi candi-candi yang

dianggap mendominasi dan menjiwai sosok arsitcktur pada masa pasca Hindu Budha di

Jawa, khususnya untuk bangunan modern. Sosok merupakan wujud unsur tiga dimensi

bangunan termasuk pengolahan fasadenya Modern dapat dikaitkan dengan masa

Kolonial dan Pasca Kolonial. lstilah Pasca Kolonial dalam studi ini digunakan untuk

menggambarkan era/masa 'sesudah kolonial, bukan merujuk pada pengertian kritik

ideologi Pasca Kolonial dapat mempunyai konsekuensi pemahaman yang lebih luas,

misalnya ideologi/taham yang mengkritik keberadaan kolonialisme, seperti halnya

kritik postmodemisme terhadap modernisme.

Kasus bangunan modern ini dipilih karena diperkirakan terjadi indikasi paradoks

dengan konsep kemodernan itu sendiri, mengingat candi merupakan bangunan ibadat

Hindu-Budha pada masa kuno/klasik. Oleh karena itu perlu dicari fenomena

sustainabilitasnya pada masa yang berbeda tersebut dengan fungsi yang berbeda pula,

misalnya dalam masjid, gereja, kantor, dsb dsh Oleh karena itu aspek yang

melatarbelakangi seperti sejarah, politik, agama, tidak dapat saja diabaikan. Aspek

hentuk-sosok di!,>tmakan untuk menjelaskan fenomena transformasi yang terjadi dengan

Jatar belakang hudaya yang terjadi pada saat itu. Jadi dalam hal ini antara analisis

berdasarkan hentuk dan kesejarahan dapat herlaku secara timhal balik. Pcngkaj ian

terhadap aspek sosok berikut komponen juga dilakukan pada bangunan modern lainnya

di Jawa. Hal ini untuk mempermudah mencari fenomena korelasi antara candi dengan

jenis arsitektur tersebut.

I. 7.3. Teknik Pengumpulan Data

PEDOMAN PENGUMPULAN DATA DILAKlJKAN MELALlJI LANGKAH­

LANGKAH SEBAGAI BERIKUT :

a) Studi kepustakaan awal,

b) Menyusun rancangan penelitian,

c) Memilih dan memanfaatkan informan dan narasumber,

d) Menjajaki dan menilai keadaan daerah penelitian,

e) Memilih daerah dan objek penelitian,

f) Perizinan penelitian,

g) Menyiapkan perlengkapan penelitian,

6

Page 11: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

h) Mcngadakan pcngarnatan dan pengarnbilan dokurnentasi dari bangunan yang

dijadikan objek, pengarnbilan data melalui f(Jto di Iokasi, sedangkan gambar pada

Dinas Purbakala,

i) Melengkapi Iiteratur dari yang berhubungan dcngan objek penelitian.

I. 7.4. Prosedur Analisa

1111 Mengkaji hal-hal yang berhubungan dengan Iatar belakang desain arsitektur candi

dan arsitektur pada masa Pasca Hindu Budha di Jawa rnisalnya meliputi sejarah,

budaya, dsb rnelalui studi Iiteratur, pengamatan, pengambilan data pada objek studi.

1111 Berdasarkan telaah leoritik tersebut di atas, dilakukan 'studi korelasi' yang untuk

mengetahui : wujud representasinya berupa sosoknya, termasuk pengolahan fasade

dan elcmen lainnya.

1111 Mengkaji wujud transformasinya untuk mencari hubungan antara estetika sosok

arsitekturalnya Berdasarkan hasil studi yang dilakukan kemudian diidentifikasi

potensinya yang dimiliki oleh sem arsitektur candi, sehingga dapat

direkomendasikan pemanfatannya bagi desain banl,'llllan barn yang memjuk pada

citra candi.

7

Page 12: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

BAB II LANDASAN TEORI

Pada dasarnya manusm mcmcrlukan simbol-simbol tertcntu untuk

mengungkapkan idenya. Reprcsentasi merupakan proses perubahan dari konsep­

konsep ideologi (ide) yang abstrak ke dalam bentuk-bentuk yang kongkret Menurut

Nuraini (2000) representasi bcrkaitan dengan proses maupun produk pemaknaan suatu

tanda. Representasi juga dapat merupakan proses perubahan konsep-konsep ideologi

yang abstrak dalam bcntuk-bcntuk yang kongkret Melalui bahasa (simbol-simbol dan

tanda tertulis, lisan, atau gambar) dapat digunakan untuk mengungkapkan pikiran,

konsep, dan ide-ide tcntang sesuatu. Makna sesuatu hal san gat tergantung dari cara

'mcrepresentasikannya'. Dengan mengamati kata-kata yang digunakan dan citranya

dalam merepresentasikan sesuatu dapat terlihat jelas nilai-nilai yang diberikan pada

sesuatu tersebut

Menurut Hall (1997), representasi adalah salah satu praktik penting yang

memproduksi kebudayaan. Bahasa dapat menjadi perantara dalam memaknai sesuatu,

memproduksi dan men1,>ubah makna. Bahasa mampu melakukannya karena beroperasi

sebagai sistem representasi. Wujud pengungkapannya dapat bcrupa seni tari, seni

patung, seni lukis, arsitektur, dsb, dimana 'bahasa' menjadi mcdiumnya. Berkaitan

dengan hal tersebut arsitektur mcrupakan salah satu wujud pengungkapan bahasa

yang nyata ( dapat dirasakan melalui panca indra).

Representasi wujud (bentuk) arsitektur dapat berasal dari berbagai sumber­

sumber. Menu rut Mark Galenter (1992) penciptaan bentuk (fimn) dalam desain

arsitektural dapat dicapai sebagai berikut •

1. An architectural form is shaped hy intended function Dcsain bentuk suatu

bangunan dapal diciptakan mclalui pcrtimbangan 11mgsi-iungsi tertcntu,

rnisalnya aspck fisik, sosial, psikologi, dan fungsi simbolik. Dalam hal ini

bcntuk rnerupakan rcprescntasi flmgsi.

2. An Architectural form is generated wilhin the creative imagination

Originalitas ide bentuk arsitektural dilahirkan melalui kreativitas imaginatif

dan intuitif pemikiran arsiteknya. Hal ini didasarkan pada kemerdekaan

berfikir intuitif yang mandiri dan tidak terjebak olch batasan-batasan formal,

contoh ekstrimnya adalah desain-desain yang utopis, fimtastik, futuristik,

dekonstruksi, dsb.

8

Page 13: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

3 . An Architectural form is shaped by the prevailing Spirit of Age. Bentuk

arsitektural diciptakan mengikuti semangat Jainannya. Pertimbangan

icleologi/semangat/laham global dan dominan dapat berpcngaruh terhadap

penciptaan bentuknya, misal Post-Modernisme yang pro-histmy

4. An Architectural form is determined by the prevailing social and economic

condition. Bentuk arsitektural dapat diciptakan dengan mempertimbangkan

aspek sosial (untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak) dan ekonomi

( efektif-efisien-fungsional).

5. An Architectural form is derives fi·om timeless principles of form that

transcend particular designers, culture, dan climate. Bentuk-bentuk

arsitektural dapat dilahirkan mclalui konscp-konsep masa lalu. Konsep ini

digunakan karena dianggap mempunyai keunikan!kekhasan, untuk tujuan

khusus, pertimbangan budaya (misalnya: lokalitas), dan kontcktualitas iklim,

dsb. Hal ini dapat menyangkut aspek kesejarahan (pro-history), type, dsb.

Persepsi visual dapat dikaitkan dengan permasalahan pengkajian wujud (form)

dengan maknanya (meaning), contoh lingkaran dianggap sebagai bentuk sakral dalam

Budhisme, karena menggambarkan roda-dharma (dinamis). Dalam doktrin Budismc,

kesucian berasal dari kedinamisan tersebut (konsep perputaran dharma-rcinkarnasi)

menuju ke tahapan moksa (hilang). Oleh itu lingkaran digunakan sebagai bentuk

utama/yang paling suci pada bangunan sakralnya (stupa). Berbeda dengan Budisme,

I-Iinduisme menganggap bahwa surgawi adalah suatu wujud kestabilan. Bentuk yang

dianggap merepresentasikannya adalah geometrik-bujursangkar Bujusangkar

mempunyai sifat memusat dan 'stabil' (tidak bergerak seperti lingkaran). Bentuk-

bentuk memusat tersebut rnenunjukkan

dibandingkan dengan bentuk yang lain.

makna yang lebib utama, penting

Pada masa pasea Hindu-Buda, misalnya masa Islam bentuk denah memusat

digunakan untuk bangunan-bangunan yang bersifat sakral seperti masjid dan utama

yakni 'eta/em· (rumah tinggal utama). Masjid dengan bentuk denah memusat ternyata

sampai saat ini masih banyak digunakan, meskipun berdasarkan kajian sejarah

diketahui bahwa awalnya dipengaruhi oleh warisan arsitektur sakral Hindu-Buda.

Representasi dapat berubah-ubah, selalu dimungkinkan timbul pemaknaan dan

pandangan baru dalam konsep yang sudah pernah ada. Makna selalu berada dalam

proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. lntinya bahwa makna

9

Page 14: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

tidak inhcrcn dalam scsuatu di dunia ini, selalu dikonstruksikan, diproduksi, melalui

proses representasi dan merupakan hasil dari praktik penandaan (Hall, 1997)

Di sisi lain untuk menjclaskan bagaimana representasi makna mclalui bahasa

dapat bertungsi, maka dapat digunakan tiga teori reprcsentasi Hal ini dapat dipakai

sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan: dari mana suatu makna berasal, atau

bagaimana membedakan antara makna yang sebenarnya dari scsuatu atau suatu citra

dari sesuatu. Pertama adalah pendekatan 'reflektif. Dalam hal ini bahasa berfungsi

sebagai cermin yang merefleksikan makna sebenarnya. Kedua adalah pendekatan

'intensional', dimana subjek menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesualu

sesuai dengan cara pandangnya terhadap hal tersehut Ketiga adalah pendekatan

'konstruksionis', yakni mengkonstruksi makna melalui bahasa yang subjek

pergunakan (Nuarini, 2000).

2.1 Pendekatan Korelasi dalam Representasi Arsitektur

Untuk mengetahui bahwa representasi suatu karya arsitektur berasal dari karya

lainnya yang sejaman atau masa lalu dapal ditunjukan melalui korelasi persepsi visual.

Namun demikian tidaklah mudah untuk menyatakan korclasi antar keduanya karena

dibutuhkan pemahaman terhadap Jatar hclakang pengadaptasiaan atau

pengadopsiannya. Aspek kesejarahan mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial,

dan budaya mcmpunyai peranan penting di dalamnya. Norberg-Schulz (1978)

menyatakan agar tidak terjebak pada visual (objek) diharapkan dapat menelaah lebih

lanjut dengan melihat secara keseluruhan (utuh). Adaptasi menunjukan adanya hal

psikologis yang menimbulkan objek tersebut berasal.

Menu rut teori gestalt 1 pcrsepsi visual dapat terbentuk karena: kedekatan posisi

(proximity), kesamaan bcntuk (similiarity), penutupan bentuk, keinambungan pola

(continuity), kesamaan arah gerak (commonfate). Dalam Psikologi Gestalt dikenal

dua prinsip utama yakni :

(I) Principle of Totality, 7he conscious experience must be considered globally

(by taking into account all the physical and mental mpects rJf the individual

simultaneously) becm1se the nature cifthe mind demand� that each component

be considered as part of a system rif dynamic relationships.

1 Brownell, P., cd.(2008) Jlandbook}i!r Theory, Research, and Practice in Gestalt "J'heranY, Newcastle upon Tyne, UK: Cambridge Scholars Publishing

10

Page 15: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

(2) Principle of Psychophysical Isomorphism - A correlation exists between

conscious experience and cerebral activity

Penjabaran lebih lanjut dari prinsip tersebut adalah melalui pcndekatan •

( 1 )Phenomenon l0cperimental Analysis (In relation to the 7(Jtality Principle any

psychological research should take a5 a starting point phenomena and not be

solely.focused on sensory qualities).

(2) Biotic 10cperiment (This signified experimenting in natural situations,

developed in real conditions, in which it would be possible to reproduce,

with higherfidelity what would be habitual fiJr a subject)

Pengkajian tentang persepsi korelasi antar bentuk arsitektural dan maknanya

sepetii di atas rnemerlukan pendekatan yang lebih konkret, yakni rnenyangkut dua

objek yang berbeda. Oleh karena itu dapat dilakukan pendekatan semiotik atau bahasa

tanda. Dalarn rnernpelajari semiologi dalam arsitektur dapat digunakan beberapa

pendekatan serniotik yang menurut Barthes (1964)-diadik dapat terbagi ke dalam

ernpat macam elemen serniologi yaitu• langue dan parole, tanda (sign) terdiri dari

pertanda {.1·ignifie1) dan yang-ditandai (signified), sistem sintagmatik dan

paradigrnatik, dan rnakna denotatif dan konotatif

Sedangkan pendekatan semiotik yang digunakan oleh Charles Sanders Peirce -

triadik, menggunakan tiga macam istilah untuk Ianda yaittL indeks, ikon, dan simbol

(Rahardjo, 1 992). Charles Jenks dalam bukunya, Semiology and Architecture

menggunakan istilah context dan metaphor untuk menggantikan sintagmatik dan

paradigmatik. Terdapat dua cara dasln untuk memahami sebuah tanda. Cara pertama

adalah melalui hubungan tanda itu dengan tanda-tanda lain dalam suatu konteks atau

mata rantai. Cara kedua adalah melalui tanda-tanda lain yang telah menjadi metafora

melalui asosiasi atau kesamaan (Jencks, 1969).

Elemen-elemen pada arsitektur terdiri dari berbagai macam bentukan yang

tentunya memiliki makna. Elemen-elernen tersebut terwujud ke dalam indeks, ikon,

dan simbol. lndeks adalah tanda dari suatu bentuk yang dapat dimengerti oleh

kebanyakan atau semua orang tanpa ada perbedaan Iatar belakang. Ikon adalah tanda

dari suatu bentuk yang dapat dimengerti oleh kebanyakan orang karena bentuk

tersebut menyerupai (resemble) sesuatu. Contoh• orang akan mengenal candi dari

salah satu ikonnya yang berupa stupa. Simbol adalah bentuk-bentuk benda yang

hanya dapat dikenali maknanya karena adanya konsensus budaya.

11

Page 16: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Di sampmg pendekatan persepsi visual dalam rnengkaji wujud reprcsentasi

arsitektur masa lalu (candi) di dalam bangunan rnasa kini (dua objek yang berbeda)

d iperlukan bcberapa pcndekatan korclasi lainnya •

1. Transformasi Arsitektur

Melalui transformasi dimungkinkan reprcsentasi yang berasal dari masa lalu

digunakan sebagai ,mmber iniJJirasi bagi arsitektur masa kin i . Proses transformasi

menyangkut perubahan form (bentuk) dan meaning (makna). Apl ikasinya dapat

berupa wujud tetap-makna berubah atau wujud bembah-makna tetap. Arsitektur pada

jaman Islam di Jawa menggunakan beberapa unsur desain percandian dalarn

bangunannya, demikian juga pada beberapa bangunan modern masa kini, seperti

Hotel dan Museum.

Strategi transformasi dalam desain arsitektur secara umum menumt

Antoniades (J 992) dapat dibagi ke dalam strategi tradisional (umum-konvensional),

peminjaman (borrowing), dan dekonstmksi (deconstmction). Berkaitan dengan hal

tersebut penggunaan representasi yang bersumber pada desain candi pada pasca

Hindu-Iluda dapat mempakan proses tersebut. Secara visual strategi peminjaman

tampak dalam beberapa bangunan masa Islam dan Kolonial, sedangkan strategi

lainnya diperlukan pengkajian lebih lanjut, seperti pendekonstruksian nilai-nilai masa

lalu ke masa kini.

Strategi Peminjaman (borrowing), Adalah pendekatan transfonnasi melalui

peminjaman secara formal suatu bentuk yang berasal dari lukisan, patung, obyek­

obyek dan artefak-artefak lain. Melaluinya juga mempelajari karakter dua dan tiga

dimensional sebagai upaya interpretasi untuk mengetahui aplikasi dan

kemungkinannya. Transformasi 1m mempakan suatu "pictorial tronsferring"

(pemindahan citra) dan juga dapat bempa "pictorial metaphor" (metatora citra).

Contoh• suatu candi dijadikan dasar untuk sebuah transforrnasi dalam membuat hotel,

atau bangunan publik lainnya

Strategi Dekonstmksi (de-conslntction) Adalah pendekatan transformasi

melalui suatu proses dimana seorang perancang mengambil sebuah bentuk secara

keselumhan dan d ipecah-pecah atau dipilah-pilah menjadi bagian-bagian kecil (yang

masih memiliki makna/arti). Hal ini memil iki tujuan untuk mencari cara baru dalam

mengkombinasikan bagian-bagian tersebut, serta menumbuhkan kemungkinan-

12

Page 17: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

kcmungkinan suatu bcntuk kescluruban yang bam (new wholes) dan tatanan baru

(new orders). Contoh: unsur garis l ight-shadow yang berasal dari candi diduga

didekontruksikan dalam wujud fadase dcsain vil la modern olch arsitck Belanda.

Proses transformasi dalam desain juga mclibatkan unsur -unsur yang berkaitan

dengan metafora. Metafora dapat dijadikan alat dalam transformasi, khususnya dalam

stratregi peminjarnan (borrowing). Antoniades ( 1992) mcngulas pcnggunaan

rnetafora dalarn bidang de5ain (arsitcktur). M etafora sangat berguna untuk rnencapai

berbagai "hal/ide baru" pada berbagai unsur suatu bangunan dan proses pcngonscpan

rancangan. "lsi" atau rnakna suatu bangunan akan rnenjadi lebih ekspresif secar·a

kescluruhan. Selain itu, sesuatu hal atau pesan yang hendak dikornunikasikan olch

arsitek suatu bangunan yang dirancangnya, akan rncnjadi lebih eksplisiL

Metafora akan banyak rnembantu untuk menghasi lkan/rncmbangkitkan

konsep-konsep baru yang rnerujuk pada autensitas suatu bangunan. Autensitas di sini

berarti identitas asli yang berasal dari suatu bangunan tertentu, yang hams dipaharni

dan diikuti oleh arsitek ketika rncrancang suatu bangunan. Di Indonesia rnelalui

pendekatan rnetafora diharapkan dapat digunakan untuk desain yang bersurnber pada

unsur budaya kelokalan

Metafora rncrupakan upaya yang dilakukan olch manusia untuk mencoba untuk

rnentransfer suatu referensi yang berasal dari suatu subyek (konsep atau objek) pada

suatu hal yang lain, rncncoba untuk "melihat" suatu subjek (konsep a tau objek)

sebagai sesuatu benda yang lain, dan mcnggantikan fokus suatu penelitian dari suatu

area konsentrasi a tau suatu penyelidikan ke penyelidikan yang lain ( dengan harapan

rnelalui perbandingan atau perluasan tcrscbut, dapat rncnjelaskan suatu subjek dengan

cara yang lain (Antoniades 1992).

Secara etimologi, rnetafora (lnggris: metaphor) berasal dari kata latin yaitu

melapherin yakni pemindahan sesuatu yang berasal dari suatu subyek yang

dikandungnya. Metafora juga dapat berarti scrar1gkaian penuturan yang mengalami

pemindahan makna yang dikandung kepada obyek atau konsep Jain yang ditujukan

rnelalui perbandingan (analogi) atau kornparasi (perbandingan). Sementara itu Roman

Jakobson rnernpunyai pengertian bahwa metafora merupakan suatu istilah yang

mengacu kepada gejala penggantian sebuah kata yang harfiah dcngan sebuah kata lain

yang Jebih figuratif. Dasar penggantian ini adalah kcrniripan (analogi) antara kala

yang harfiab dengan kata figuratif (abstrak) tersebut (Kris, 1999).

]J

Page 18: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Mcnurut seorang filsuf Yunani, Aristotclcs, mctafora adalah suatu pcmindahan

makna-makna istilah yang literal (harfiah), baik yang berasal dari makna yang umum

ke yang khusus (spesifik) atau scbaliknya atau melalui analogi (Samuel, 1 977). Aristoteles juga memberikan pemikiran yang lain mengenai rnetafora yang jauh

berbeda dengan pengertian metafora sebagai analogi. Metafora juga dapat berarti

suatu dekorasi a tau ornamentasi yang "rnenghidupkan" suatu gay a (style). Hal ini

dapat dilihat pada banglinan-bangunan modem yang menggunakan 'rnetafora'

bangunan masa lalu atau meminjarn ide-ide yang berasal dari unsur arsitekturnya

sepert.i hotel amanjiwo, beberapa bangunan di kawasan Braga, dsb.

2. Fenomena Akulturasi Arsitektur

Di masa kini dinamika perubahan tidak mungkin terhindarkan. Van Peursen

( 1988) melihat kreativitas sebagai faktor yang amat penting dalam perubahan sosial

budaya. Dengan adanya kreativitas, muncul scsuatu yang baru. Kreativitas ini selalu

memikirkan kembali suatu situasi dari dalam, lalu menemukan suatu pandangan bam.

Secara tidak terduga rintangan lama telah didobrak. Manfaat kreativitas yang

konstruktif misalnya memungkinkan individu atau masyarakat untuk memberikan

tanggapan yang memadai terhadap situasi-situasi bam dan tantangan-tantangan lama,

khususnya dalam menghadapi globalisasi saat kini.

Strategi meminjam (borrowing) dalam proses transforrnasi rnemungkinkan

adanya usaha-usaha menghadirkan kembali rcpresentasi yang bersumber pada masa

lalu. Fenomena ini mendorong munculnya percampuran-akulturasi dalarn desain

arsitekturnya. Akulturasi merupakan suatu proses budaya - "merninjarn" gagasan­

gagasan dan materi-materi yang berasal dari budaya lainnya. (Azimipour & Jones,

2003). Dua faktor yang berperan penting dalam proses akulturasi suatu budaya

dengan budaya lainnya adalah budaya akar seternpat (mainstream or dominant

culture) dan Budaya asal individu/ pengamh kesukuan (ethnic). Tiga premis dasar

dalam akulturasi (Azimipour & Jones, 2003) ( I ) Adanya suatu perbedaan yang

mencolok pada skala masyarakat yang berinteraksi (mempakan contoh yang terbaik

melalui kontak budaya), (2) Masyarakat yang lebih kecil akan mengalami lebih

banyak perubahan (3) Masyarakat yang lebih kecil akan cenderung kehilangan

identitas mereka, dan mengambil banyak karakteristik masyarakat yang besar.

14

Page 19: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Model perpaduan dan penyesuaian dianggap sebagai model psikologis yang baik

(the most psychologically healthy cuiaptation styles). Beberapa model akulturasi :

(I) Penyesuaian/ adaptasi (m·similated) Adanya proses pcnycsuaian dan adaptasi

satu budaya terhadap budaya lain. Adaptasi adalah to adjust. Adaptasi berarti

untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang sudah ada sebelumnya,

(2) Perpaduan/ sirnbiosis (integrated). Perpaduan dua budaya atau lebih sccara

seimhang, dan cenderung membentuk budaya yang baru ("both and" principle),

(3) Peminggiran (marginalized). Terpinggirnya suatu budaya oleh hudaya lain

yang lebih dominan. ("identifying without no particular set of beliefs". : "neither

nor' 'principle)

( 4) Pcmilahan/ adopsi (separated). Pemilahan suatu bagian atau elemen tertentu

budaya dan diadopsi oleh budaya Jain. Adopsi : adalah rnelaknkan pengambilan

pada elemen yang ada. Adopsi berarti mengarnbil dan memakai sesuatu yang

telah ada sebelumnya.

Di dalam proses akulturasi dapat melibatkan nilai-nilai inkulturasi didalamnya,

khususnya yang menyangkut religi mengingat candi adalah ban6runan sakral dan

dimungkinkan berkaitan dcngan bangunan sakral lainnya. Mcnumt Koentjaraningrat

inkulturasi atau enkulturasi mengacu pada konsep pembudayaan (internal). Bakker

( 1984) mcnyatakan lafal en atau in-- kulturasi dipergunakan dengan kadar yang sama

(en "' Yunani, in � Latin; ' ke dalam' ) diruiikan sebagai latihan, seorang individu

diintcgrasikan ke dalam kebudayaan sejaman dan setcrnpat.

Menurut Djoko Sukiman (2000) inkulturasi merujuk pada proses pembentukan

budaya antar dua kelompok budaya sarnpai munculnya pranata yang mantap,

khususnya yang berkaitan dengan aspek religi Konsep inkulturasi dipakai pertama

kali oleh 1-lerskovits dalam bukunya Man and His Work : The Science {)( Cultural

Anthropologv, yang memandang bahwa inkulturasi sebagai proses esensial melalui

kondisi sadar atau tidak sadar yang digerakkan oleh adat setempat. Tanpa aclanya

proses adaptasi maka inkulturasi tidak dapat berjalan Iancar.

Inkulturasi sebagai suatu proses dalam perkembangannya berjalan melalui tiga

tahapan. Tahap pertama enkulturasi ditandai oleh pengenalan, penyesuaian adat, serta

terjalinnya relasi interaksi, Tahap kedua, ditandai dengan adanya koeksistensi dan

pluriformitas terhadap Iingkungan sekitarnya, menempatkan kepribadian dasar

sebagai objek Iegitimasi Tahap ketiga, sebagai tahap akhir, proses inkulturasi

1 5

Page 20: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

diformulasikan dalam bcntuk munculnya 'sinkritismc' kcbudayaan, kesenian, dan

agama. Proses inkulturasi yang baik abm mcmunculkan bcntuk pcrpaduan dalam

keharomonisan, sedangkan inkulturasi yang mengalami kegagalan akan

rnendatangkan ketegangan antara inkulturasi dan dayacipta.

Contoh proses percampuran akulturasi-inkulturasi yang rnerepresentasikan

arsitektur masa lalu pada masa Kolonial dapat ditunjukkan di dalarn karya Maclaine

Pont yakni gereja Puh Sarang. Pont rnerupakan orang pertarna yang rnerekonstruksi

dan rnenyelidiki situs peninggalan Majapahit di Trowulan. Oleh karena itu banyak

inspirasi yang didapatkan dari peninggalan Majapahit tersebut khususnya penggunaan

bahan terakota dan omamentasi candi Hal ini narnpak pada karyanya yakni gereja

Puh Sarang di Kediri, dirnana altar·tabenakelnya menggunakan bahan terakota yang

dihiasi ragam hias yang berasal dari unsur percandian Majapahit. Tatanan ruang luar

kompleks ini juga mengindikasikan adanya penggunaan pola geornetrik yang herasal

dari bentuk mandala candi, seperti candi Jago atau Penataran.

Secara umum dinamika dalam kebudayaan menurut Koencaraningrat

mencakup proses mernpelajari kebudayaan secara internal (internalisasi, sosialisasi,

inkulturasi), proses perkembangan hudaya ( evolusi), proses penyebaran ( difusi) dan

interaksi antar budaya (akulturasi, asimilasi), proses pembaruan (inovasi), dan sarnpai

pada penemuan baru (discovoy-invention). Proses difusi antar dua kebudayaan

(acceptor dan donor) dapat dibagi menjadi hubungan simbiotik (bersentuhan namun

tidak menyebabkan perubahan), penetration pacifique (perubahan secara damai­

unconscious), hubungan kekerasan/peperangan (perubahan dengan paksaan). Suatu

proses difusi juga dapat mengalami suatu stimulus dijji1sion, rangkaian difusi yang

herantai (Koentjaraningrat, 1986). Para ahli mengaitkan masuknya budaya I ndia ke

Nusantara dcngan jalan penetration pacifique atau secara damai dan cvolutif, melalui

penycbaran agama.

Dalam kaitannya dengan arsitektur, konsepsi budaya tersebut dapat

dianaloginakan dengan pernbahasan tentang transfonnasi desain arsitektur candi baik

pada rnasanya maupun pasca Hindu-Buda. Candi merupakan represcntasi konsep

pertemuan antara yang asing dan lokal, dan antara yang lama dan yang baru. Dalam

pembahasan dinamika arsitektur candi dapat dikaitkan dengan proses akulturasi-difusi

(damai)-inkulturasi 7 evolusi 7 inovasi 7 penemuan gayaJtampilan arsitektur baru

( dalam konteks desain arsitektural).

16

Page 21: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Akulturasi atau disebut sebagai culture contacts dalam pcngertian luas

rncrupakan proses sosial yang timbul hila suatu kelornpok manusia dcngan suatu

kcbudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur suatu kebudayaan asing dengan

sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan

diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian

kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1986).

Secara urnum wujud dan isi kebudayaan yang terjadi dalam proses akulturasi

itu sekurang-kurangnya ada tiga macam, yaitu ( I ) Berupa sistem budaya (cultural

.1ys1em) yang tcrdiri at as gagasan, pikiran, konscp, nilai-nilai, norma, pandangan,

undang-undang, dan sebagainya yang berbentuk abstrak, yang dimiliki oleh

pemangku kebudayaan yang bersangkutan merupakan ide-ide (ideas), (2) Berbagai

aktivitas (activilies) pada pelaku seperti tingkah laku berpola, upacara-upacara yang

wujudnya kongkret dan dapat diamati yang disebut social sistem atau sistern

kernasyarakatan yang berwujud kelakuan (3) Berwujud benda (artifacts), yaitu

benda-benda, baik rnelalui hasil kmya manusia maupun basil t ingkah lakunya yang

berupa benda, yang disebut budaya kultur.

Akulturasi rnerupakan perternuan dua kebudayaan, terdapat penerimaan nilai­

nilai kebudayaan lain, nilai yang baru tersebut diinkorporasi dalam kebudayaau lama.

Akulturasi adalah proses midway antara 'konfrontasi' dan 'fusi'. Ketegangan antara

dua belah pihak itu tidak diruncingkan, melainkan melakukan 'dialog' dapat mencapai

saling penge11ian dan kerjasama. Akulturasi berusaha mencari keseimbangan antara

warisan kebudayaan lama dengan perubahan yang diperlukan.

3. Pendekatan Tipo-Morfologi Arsitektur

Pengkaj ian representasi rna sa lalu dalam arsitektur masa kini berkaitan erat

dengan perrnasa lahan 'form ' dan wujud transformasinya. Oleh karena itu dapat

cligunakan penclekatan Tipo-morfologi Arsitektur. 'Form tran.�formation' tidak dapat

clilepaskan clari permasalahan tentang type (tipe). Di dalam bidang arsitektur, studi

tipologi dignnakan untuk mempelajari dan menganalisa tipe-tipe bangunan. Di sisi

lain studi morfologi dalam arsitektur dapat diartikan sebagai i lmu yang mempelajari

tentang bentuk dalam kaitannya dengan proses penyusunan

stmktur/elemen/komponen a tau komposisinya. Pandangan Sukada ( 1 989), di dalam

studi tipologi dikenal tiga tahapan yaitu clit,•1makan untuk mencntukan bentuk dasar

17

Page 22: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

pada setiap objek, menentukan sifat dasar berdasarkan bentuk dasar tcrscbut, dan

menjelaskan proses komposisi bentuk dasar (presedent).

Studi tipo-morfologi arsitektur dapat diartikan sebagai pengkajian tipe-tipe

arsitektural dengan memperhatikan unsur-unsur pembentuk (struktur/elemen/

komponen) dan komposisinya tanpa mengabaikan unsur fungsi yang berlaku pada

objek tersebul. Studi tipo-morfologi penekanannya lebih mengarah kepada analisa

unsur-unsur pembentuk/elemen/ komponen/struktur pada suatu tipe. Pendekatan ini

digunakan untuk mengkaji sejauh mana tipe-tipe unsur desain percandian yang

muncul dalam wujud representasi pada konteks masa yang berbeda.

Menurut Quatremere de Quincy, pembentukan tipe arsitektural dipengaruhi oleh

rujukan sejarah, representasi alam, dan aspek kegunaan. Menurut Quatremere de

Quincy, tipe mudah berubah dan mudah terpengaruh oleh tipe lainnya. Arsitek dapat

mengekstrapolasi tipe, menggubab tipe sesuai dengan keinginannya, sehingga

menghasilkan suatu model lain atau baru. Quatremere de Quincy kemudian

mengembangkan teori tipenya menjadi composition 'atau komposisi, yaitu

penyusunan bennacam-macam tipe menjadi suatu model bam.

Pada dasamya di dalam proses type-:fi>rmation, suatu tipe tertentu dapat

merupakan basil suatu perjalanan dari tipe sebelumnya. Tipe ini dapat bertahan atau

diubah sesuai dengan keinginan tetapi tetap berasal dari bentuk dasar yang sama yang

diistilahkan sebagai basic form. Basic form (bentuk dasar) diperoleh dengan

mereduksi tipe menjadi 'bentuk yang paling mendasar' melalui diagram tipologi.

Dalam proses komposisi penggunaan bm·icjorm dalam berbagai model dapat menjadi

tak terbatas. Untuk membatasinya maka digunakanlah pengetahuan kesej arahan/

experience and tradition sebagai mle (aturan/kaidah)-canon dalam penyusunan

komposisi.

Merujuk kepada pernyataan Quatrcrnere, Argan pada tahun I 960

mengernukakan pandangannya tentang tipologi melalui tiga pendekatan, pertama,

sebagai alat untuk mesistematisasi bentuk arsitekturaL Kedua untuk menyelidiki

aspek penyebaran ( divergensi) bentuk arsitekturaL Ketiga, sebagai alat d alam proses

desain. Menurut Argan tipologi dapat menjelaskan hubungan antara desain

arsitektural rnasa lalu, sekarang dan rnendatang. Dengan demikian pendekatan ini

digunakan dalam mengkaji permasalaban representasi yang berasal dari arsitektur

masa lalu (candi) ke masa kini.

18

Page 23: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Sejalan dengan pandangan Argan, Ernesto Roger mendefinisikan tipe sebagai

"Part (if a framework defined by reality which characterized and classified all single

events" Menurut Roger, desain arsitektur pada umumnya didasari oleh konsep-konsep

yang telah ada sebelumnya dan merupakan hasil dari suatu proses keberlanjutan.

Pengidentifikasian suatu tipe bergantung pada konteks permasalahan yang dihadapi,

sehingga mempunyai karakter yang berbeda satu dengan lainnya. Setiap karakter

mempunyai spesifikasi khusus yang diistilahkan sebagai 'generic type'. Roger lebih

mementingkan bagaimana arsitek mempergunakan instmmen sesua1 dengan

permasalahannya dari pada menggunakan pendckatan metodologis yang sistematis.

Sepe1ti halnya Roger, Aldo Rossi. juga menekankan teorinya kepada pendekatan

tradisional. Menu rut Rossi ( 1982) The logic (if architectural form lies in a definition

cif type based on the juxtaposition (if memory and reason.. Dengan kata lain, tipe

arsitektur mempakan basil penjajaran dari memory dan pemikiran sebelumnya.

Memory sangat penting karena mempakan historical reason yang menjamin

keberlanjutan proses past-present-future. Rossi lebih cenderung menggunakan

tipologi dalam bidang perkotaan, di mana pembahan eksisting tidak akan terlepas dari

konteks kemasyarakatan dan perjalanan sejarah yang melatarbelakanginya. Ia juga

merujuk pada Murratori yang mengkaitkan hubungan antara rnorfologi kota dan

tipologi ball!,>unan di dalarnnya.

Sedangkan menumt Julie Robinson ( 1994), tipe di dalam tipologi bangunan

pada dasarnya digunakan untuk mengkategorisasi variasi dari ragam bangunan.

Pengklasifikasian tipe menurut Robinson harus rnernpertimbangkan dua hal yaitu how

architecture is made dan how architecture received by the audience. Oleh karena itu

terdapat dua pendekatan klasifikasi tipologi yang dapat dilakukan, yaitu dengan

mempertimbangkan

o Physical properties (karakteristik fisik), menyangkut kategori taksonomi dari

material, penyusunan ruang, style, pembagian geometrik, berbagai elemen, dan

sistern konstruksi

o Enviroment that surrounding the objects (Jatar belakang/konsep/ide ), menyangkut

'how enviroments are made, how enviroments are used, and how enviroment are

understood' Misalnya 'rules and proceses' (aturan dan proses) yang menyangkut

permasalahan 'plan of configuration' (konfigurasi komposisi)

19

Page 24: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Di sisi lain dalam studi tcntang type dikcnal juga istilah archetype. Menurut

Mike Brill, archetype lebih mengarah kepada natura/ language dan charge. A rchetype

merupakan kesepakalan secara alamiah alas bentuk pada suatu objek km·ena

mempunya1 nilai tertentu. A rchetype tempat sakral misalnya mempunyai bentuk­

bentuk dasar spesifik yang mampu menampilkan tema-tema mistik. A rchetype

merupakan medium untuk mengekpresikan makna suatu tempat. Dalam sejarah

architype dapat dipahami sebagai asal (origin) dari suatu tipe yang dikembangkan

lanjut dcngan tidak mengubah makna atau nilai yang terkandung di dalamya.

A rchitype berbeda dengan prototype yaitu tipe yang dijadikan basic untuk dibuat

duplikasi yang sama. A rchitype lebih bergerak pada kerangka konseptual (ide­

simbolik), sementara prototype lebih bersifat praktis (fisik). Menurut Jung ( 1 987),

architype adalab citra lcluhur yang terdapat dalam alam bawah sadar kolektif

manusia/ketidaksadaran (unconscious), sebagai simbolisasi kesatuan yang kongkret

antara yang nyata dan yang semu, ide dan perasaan, roh dan materi. Hal ini dapat

dikaitkan dengan fenomena selalu munculnya (dimanfaatkan) representasi arsitektur

candi (citra leluhur) pada tiap era perkembangan arsitektur di Indonesia.

2.2. Rcprcscntasi dalam Kontcks J>ostmodcrnismc

Rcpresentasi arsitcktur yang berkembang saat ini berkaitan erat dengan

semangat postmodemisme yang sedang berkembang, khususnya yang berkaitan

dengan pemanfaatan kembali representasi arsitektur masa lalu. Istilah

postmodernisme, merujuk lhab Hassan, d ipergunakan pertama kali pada talmn 1 930

oleh Federico de Onis, seorang kritikus seni dalam tulisannya Antologia de Ia Poesia

Espanola a HLI]Janoamericana unt:uk menunjuk kepada reaksi minor terhadap

modernisme yang muncul pada saat itu (Featherstone, 1 988: 202) lstilah ini kemudian

sangat populer di tahun 1 960-an ket:ika seniman-seniman muda, penulis dan krikitus

scm seperti Hassan, Rauschenberg, Cage, B arthelme, Fielder dan Sontag

menggunakannya sebagai nama gerakan penolakan terhadap seni modernisme lanjut.

Postmodernisme mcncoba mempert:anyakan kemhali posJSI, batas

dan implikasi asumsi-asumsi modemisme yang telah bembah menjadi mitos baru.

Dalam kerangka kritis itulah Jean Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan

masyarakat Barat dewasa ini. Dengan mengadopsi dan mengembangkan pemikiran­

pemikiran Karl Marx tentang nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value),

20

Page 25: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

semiologi Roland Barthes, society f�( spectacle Guy Debord, serta konscp J;lobal

villaJ;e dan medium is meS'«lJ;e Marshal McLuhan, Baudrillard mcnyatakan bahwa

realitas kebudayaan dewasa 1m mcnunjukkan adanya karakter khas yang

membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat Barat. lnilah

kebudayaan postmodem yang memiliki em-em hiperealitas, simulasi,

serta didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simboL lnilah wacana kebudayaan yang

saat ini sebagai sebuah keni scayaan yang tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan

ini lah yang menawarkan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk mulai

memperhatikan sisi lain realitas masyarakat dewasa ini.

Postmodernisme muncul sebagai diskursus kebudayaan yang banyak menarik

perhatian Berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu seperti : seni, arsitektur, sastra,

sosiologi, sejarah, antropologi, politik dan filsafat hampir secara bersamaan

memberikan tanggapan terhadap tema postmodemisme. Meskipun tidak mudah atau

malah hampir tidak ada cara baku untuk mendefinisikan postmodemisme, namun

tema ini bukanlah lahir tanpa sejarah.

Postmodemisme hadir setelah melalui perjalanan sej arah yang membentuknya

hingga sampai pada keadaannya saat ini . lnilah po&1modemisme yang menggugat

watak modernisme lanjut yang monoton, positivi stik, rasionalistik dan teknosentris;

modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sej arah yang linear, kebenaran

ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang di idealkan, serta

pembakuan secara ketal tala pengetahuan dan sistem produksi; modernisme yang

kehilangan semangat emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan

modernisme yang tak lagi peka pada perbedaan dan keunikan (Ariel Heryanto, 1994).

Representasi dalam seni postmodern memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan

seni modernisme lanjut, yakni: hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari,

runtuhnya distingsi antara budaya tinggi dan budaya massa/populer, maraknya gaya

eklektis dan campur aduk, munculnya kitsch, parodi, pastiche, camp dan ironi,

merosotnya kedudukan pencipta seni, se1ta adanya asumsi seni sebagai pengulangan,

perpetual art (Piliang, 2003). Peng!,'llnaan istilah postmodemisme selanjutnya

perlahan-lahan mulai menyentuh bidang-bidang yang lain. Karakter yang sering

disuarakan postmodemisme antara lain adalah pluralisme, heterodoks, eklektisisme,

keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi,

pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi,delegitimasi serta

demistifikasi (Bertens, 1 995)

21

Page 26: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Postmodcrnisme menawarkan rerprescntasi yang be11olak belakang dengan

watak era pcndahulunya, yakni: menekankan emosi ketimbang niSJO, media

ketimbang isi, t anda kctimbang makna, kemajcmukan ketimbang penunggalan,

kemungkinan ketimbang kepastian, permainan ketimbang keseriusan, ketcrbukaan

ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang yang universal, fiksi ketimbang fakta,

estetika ketimbang etika dan narasi ketimbang teori (Ariel Heryanto, 1 994).

Gerakan Post-modern yang lahir tahun 1 960an tersebut memungkinkan

adanya usaha-usaha untuk membangkitkan kembali unsur-unsur masa lampau (titik

perbedaan dengan modernisme) dalam mewarnai desain arsitektur agar tidak terjadi

keseragaman Dalam alam pasca modern d ikenal istilah-istilah yang diungkapkan oleh

Venturi yakni 'both and, ambigui�v, contradiction adapted-nya, Jencks dengan

double coding, respect to the past, hybrid-nya, Klotz dengan representasi fiksional,

regionalisme-nya, Kurokawa dengan simbiosis, respect to history-nya, dsb.

(Ikhwanuddin, 2005)

Pendekatan postmodernisme mengacu kepada perlawanan terhadap bentuk­

bentuk arsitektur modern yang menonjolkan keteraturan, rasionalitas, objektif, praktis,

ruang isotropis dan estetika mesin, dimana prinsip bentuk mengikuti fungsi menjadi

dewa. Representasi dalam arsitektur postmodern, menawarkan konsep bentuk

asimetris, ambigu, naratif, simbolik, terpiuh, penuh kejutan dan variasi, ekuivokal,

penuh ornamen, metafor serta akrab dengan alam. Doktrin bentuk mengikuti fungsi

dibalik menjadi fungsi mengikuti bentuk.

Namun demikian nilai-nilai yang terkandung dalam post-modernisme

sebenarnya telah berkembang sebelum tahun 60-an namun dengan intensitas yang

kecil dan samar. Jencks (Tanudjaya, 1 992) membagi tradisi-tradisi clalam

perkembangan arsitektur modern ( 1 920 -- 2000an) ke dalam enam pendekatan, tradisi

Idealist dan Logical yang mengacu pada doktrin modernisme secara umum

(fungsionalisme-efisiensi, dsb), tradisi Aktivist dan Intuitive yang mengacu pada

gerakan dan pandangan-pandangan yang fantastik-utopia-visioner (seperti

konstruktivism Rusia, Avant-garde), dan tradisi Self Conscious dan Unself Conscious

yang mengacu pada pandangan yang me-refer pada aspek kesejarahan!masa lampau

baik secara sadar (revival) maupun tidak disadari-alamiah (natural). Meskipun tradisi

Idea/is, Logical, Intuitive dianggap sangat kuat mendominasi arah arsitektur modern

(seperti dalam ClAM), namun sebenarnya pada saat itu masih ada tradisi yang

berusaha mengangkat isu romantisisme masa lalu (Self Conscious dan Unself

22

Page 27: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Conscious). Fenomena tersebut juga ditunjukkan oleh Lcsnikowski ( I 982) dalam

bukunya Raliona/ism and Romanlicism In Archilec/ure_

Pad a saat ini di Indonesia muncul kecenderungan 'penerimaan' arsitektur yang

berasal dari luar tanpa diikuti upaya penyaringan yang lebih kritis terhadap arsitektur

yang masuk terscbut. Beberapa gaya-gaya arsitektur yang berkembang saat ini

terkesan terlepas dari kontcks lokal dan nilai-nilai kesejarahan. Usaha-usaha untuk

mengembangkan semangat regionalisme melalui pengembangan unsur-unsur Jokal,

merupakan tanggapan terhadap fenomena tersebut Semangat postmodernisme yang

berkembang dewasa ini sangat mendukung fenomena tersebut. Regionalisme

diharapkan dapat menghasilkan konsep desain yang menyatukan antara arsitektur

tradisional dengan arsitektur modem

2.3 Wacana ldentitas Kelokalan dalam ReJ>n"Sentasi Arsitektur di Indonesia

Indonesia yang dikenal sebagai negara (yang disebut) berkembang selalu

memberikan ruang yang luas untuk pengaruh peradaban lain dan arsitektur di luar

dirinya, Pengaruh arsitektur luar juga demikian deras masuk ke negeri kita, bahkan

literatur yang banyak ditulis yang tidak memasukkan arsitektur negeri sendiri sebagai

karya yang patut dihargai sebagai bagian dari arsitektur 'dunia'. Dalam era globalisasi

ini memunculkan semangat untuk menggal i kern bali potensi arsitektur yang ada d i

23

Page 28: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Indonesia. Diskusi tentang wacana jatidirilidentitas kelokalan dan dcfinisi arsitcktur

I ndonesia sudah pernah dilakukan scjak lama.

Konggres !AI tahun pada tahun 1 982 berusaha mengangkat isu tentang wujud

identitas kc-lndonesiaan melalui wacana pencarian Arsitektur Indonesia. Dalam

konggres ini kemudian disimpulkan antara lain Arsitcktur Indonesia adalah arsitektur

yang berlandaskan pada konsep budaya Indonesia yakni Bhinneka Tunggal lka,

Pancasila, clan UUD 1 945. Arsitektur Indonesia mcnunjukkan gambaran penghargaan

terhadap konteks budaya Indonesia (Siregar, I 990). Cita-cita untuk mcncapai wujud

arsitektur Indonesia pada hakckatnya tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya,

karena arsitcktur merupakan rcprescntasi dari wujud budaya. Dengan demikian

arsitektur Indonesia mcrupakan representasi wujud budaya ke-lndonesia-an yang

dapat mcnunjukkan adanya cultural resonances eli dalamnya.

Menurut Kultermann ( I 984) bahwa sebuah bangunan clapat dihiasi berbagai

ornamen tradisional. 'Tapi itu sama sekali tidak menjamin, sebuah bangunan bisa

mencerminkan identitas budaya," katanya "today is today." Namun, Udo Kultermann

segera meluruskan pendapatnya, menempelkan ornamen atau mengambil struktur

bangunan lama bukannya tidak baik. Ini scmacam gaya atau inspirasi yang bisa

mcmperkaya. Dan bila arsiteknya mahir, hasilnya pun akan baik. Kultermann

menunjuk karya-karya Almarhum Sujudi antara lain Sekretariat ASEAN eli Jakarta

clan kedubcs Indonesia di Kuala Lumpur sebagai perkawinan antara arsitektur baru

dan lama yang baik "Bemsaha menunjukkan bangunan Indonesia, tapi yang utama

rancangannya baik," ujar Udo tentang karya-karya Suyudi. Berkenaan dengan

Kolterman, Suwondo ( I 984) menyatakan bahwa Indonesia mcmang kay a dengan

khazanah bentuk arsitektur dari masa lalu. Tidak mcnghcrankan hila penyelesaian

masalah identitas dipecahkan secara visual dengan berkiblat pada peninggalan masa

lalu.

Dengan dcmikian apabila tidak memiliki pandangan yang cukup kuat terhadap

jatidiri peradaban arsitektur bangsa kita, maka kita akan dengan mudah beralih kepada

cara pandang hidup dan peradaban arsitektur yang tidak kita miliki, dikuatirkan akan

memmJam dari bangsa lain untuk urusan peradaban arsitektur. Dengan

memperhatikan kemungkinan yang tidak diinginkan tersebut, maka berusaha untuk

mengenali jatidiri peradaban arsitektur bangsa Indonesia agar lebih berjatidiri. Jadidiri

dapat digali clari memori masa lalu.

24

Page 29: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Dalam kajian yang lebih luas penccrahan semangat baru mclawan global isasi

dalam konteks mengembangkan kelokalan-regionalisme, dipelopori olch para arsitek

eli dunia ketiga yang sebagian bcsar justru dididik di Barat. Hasan Fathy, B .V Doshi,

Charles Correa, Ken Y eang, adalah sederetan arsitek di dunia ketiga yang menjadi

pelopor dalam mencari identitas arsitektur bam, identitas yang bisa mewakil i budaya,

iklim dan budaya lokalnya, identitas yang lentur dalam beradaptasi dengan laju

peradaban modern. Ketetbatasan vernakular dalam mengimbangi kompleksitas

arsitektur kontemporer dan kejenuhan terhadap dominasi arsitektur Barat menjadi

tantangan bagi mereka untuk melakukan pendekatan baru, yaitu regional isme. Bahkan

Ken Y eang yang membidani 'bioclimatic skycrapers' dengan Menara Mesiniaganya

tidak menolak untuk dikategorikan sebagai arsitek regionalis.

Mereka kemudian berusaha membangun arsitektur yang bisa jujur bertutur

tentang budaya lokal dan karakter iklimnya, namun juga lentur dalam mengakrabi l aj u

teknologi modem Pendekatan yang lebih menekankan pada cara berarsitektur bukan

pada gaya ini kemudian disebut dengan nama Regionalisme. Semangat ini memang

secara tidak langsung Jahir dalam atmosfer gerakan arsitektur Postmodern. lstilah­

istilah rethink, reform, rebuild, reinvent, redefine, ataupun reevaluate, menurut kritisi

arsitektur Nan Ell in, telah menjadi wacana kritis sebagai reaksi terhadap Modernisme.

Regionalisme sendiri menurut Ken Y eang ( 1 987) merupakan pengadaptasian

terhadap j iwa tempat, dan respon terhadap iklim lokal dengan mengesampingkan

batasan-batasan politik, maupun keprimordialan. Sementara menurut Curtis ( 1 985),

regionalisme menekankan pada kesinambungan budaya dengan semangat bam dan

menolak konsep yang melihat tradisi sebagai sesuatu yang rigid atau 'fixed'. Curtis

juga berargumen bahwa pendekatan regionalisme hanya mengambi l dan

mengidentifikasi pola-pola konsep arsitektur yang selalu relevan dengan ikl im,

material lokal dan faktor geografis dari layer-layer sejarah arsitektur yang saling

beradu dan berhimpitan. Menurut Cmtis di era globalisasi pendekatan regionalisme

dianggap mampu mengawal proses modemisasi arsitektur dunia ketiga dengan

menyeimbangkan muatan lokal dengan muatan internasionaL

Dalam konteks lain, Yasraf Amir Piliang pun menyebutnya sebagai semangat

Renesans Asia. Semangat untuk melakukan resistensi, mengembangkan pluralisme

dan menguatkan kembali ni lai-nilai kearifan lokaL Namun menurut Kenneth Framton

( 1 983), yang harus dikernbangkan bukanlah semangat regionalisme yang romantis,

tetapi yang kritis (critical regionalism) "Contemporary acknowledging, but not

2 5

Page 30: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

bounded by historic definitiom uf the vernacular," lanjut Frarnton. Suatu spirit

berarsitektur yang rnenguatkan makna tempat (genius hx:i), tektonis namun ekspresif

dalam konteks kontemporemya. Menurut Frampton, regionalisme yang rornantis

cenderung rnelahirkan kekakuan berpikir dan sikap menghindari kenyataan (escapist).

Sebagian masyarakat kita memang punya hobi mengadopsi atau rnembekukan bentuk

akhir arsitektur tertentu untuk dipaksakan sebagai identitasnya ketirnbang rnengkritisi

proses dan filosofi pencariarmya.

Berdasarkan kajian tersebut di atas mencari wujud dan definisi arsitektur

Indonesia memang cukup sulit Bhinneka Tunggal Ika adalah salah satu pendekatan

yang pernah diupayakan dalam merepresentasikan i dentitas kelokalan, mengingat

keragarnan yang ada dalam tradisi arsitektur Indonesia. Menghadirkan representasi

identitas kelokalan melalui regionalisme merupakan tanggapan terhadap fenornena

tersebut. Langkah yang dapat dilakukan adalah mengedepankan suasana

mencerrninkan cultural resonances ke-Indonesia-an yang bersumber pada kerarifan

lokal melalui rasa dan suasana, seperti yang pemah diungkapkan oleh Prijotomo

( 1 988), Pangarsa (2003).

Narnun demikian iklim saJa tidak cukup untuk merepresentasikan cultural

resonances ke-lndonesia-an. Oleh karena itu perlu pengkajian terhadap unsur-unsur

kebudayaan rnasa lalu yang mencerminkan kuat unsur kelokalan Indonesia.

Berkembangnya semangat regionalisme dalam arsitektur kontemporer hendaknya

dapat menggugah semangat para pelaku dan pemerhati arsitektur di Indonesia untuk

ikut berperan rnenemukan wujud arsitektur kontemporer yang khas khususnya dalam

kaitannya dengan kesejarahan, budaya, ikl im dan kondisi geografis Indonesia.

Representasi yang bersumber pada tradisi masa lampau dan kelokalan (seperti candi)

dapat rnenjadi salah satu rujukan dalam membangkitkan identitas. Jdentitas tidak bisa

diciptakan secara mendadak (instant), tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu yang

beraturan dan berulang-ulang. ldentitas pada hakekatnya merupakan jejak peradaban

yang clitarnpilkan sepanjang sejarah.

26

Page 31: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

BAB 3 REPRESENTASI CANDI SEHAGAI IDENTITAS KELOKALAN

Dalam perkembangan desain arsitcktur candi telah tcrjadi kedinamisan yang progresif

dan variatif. Desain candi pada masa klasik tua (abad 8), klasik tengah (abad 9-1 0),

klasik mud a (a bad 1 4) menunjukkan adanya perkembangan desain yang signifikan.

Beberapa hal yang d ianggap penting dalam perkembangnnya adalah :

• Candi mengalami perubahan-perubahan bentuk (transformasi) seiring dengan

perkembangan politik, agama, ekonomi yang didukung olch tcknologi dan

konteks lingkungan pada jamannya, muncul adanya penyesuaian (adaptasi)

melalui perubahan fisik (pemugaran). Strategi dalam transf(Jmasi desainnya

tidak sekedar mengulang, meminjam dan meniru (mimesis) dari masa

sebelumnya, melainkan lebih merupakan usaha pen-dekonstruksi-an kembali,

sehingga muncul wujud 'yang lain', nampak 'bam' dan terkesan 'merdeka',

khususnya pada setiap periodenya. Tiap periode menghadirkan karakter yang

khas dan karakter ini kemudian digunakan secara berulang pada jama

nnya.

• Muncul ide-ide arsitektur sinkritisme yang didasari oleh sinkritisme Hindu,

Budha, dan Agama Asli/kuno. Tantrayana yang masuk kc Jawa ikut

mendorong terjadinya fenomena tersebut. Suatu wujud arsitektur yang

akomodatif dan menjujung nilai-nilai 'toleransi' terhadap a gam a dan budaya

masa lampau. Hal ini menunjukkan bahwa yang diutamakan sebenarnya

adalah hakekat/esensi/isi, tidak sekedar kulit luar atau fisiknya (agama sebagai

ageman -baju). Sinkritisme tersebut menunjukkan akan adanya 'dialog' antar

unsur di dalamnya, meskipun ada yang berlawanan namun dapat menyatu

(melebur) dalam satu kesatuan yang tunggal, Bhirmeka Tunga/ lka Tan Hana

Dharma Mangmwa.

• Perkembangan candi mereprescntasikan adanya dinamika penggunaan unsur­

unsur budaya masa lalu dan aspek lokal genius. Perkembangannya (klasik tua

ke muda) menunjukkan transfromasi dari gubahan 'yang meruang' menjadi

'cenderung mas if seperti tugu, menjadi lebih simbolis dan ekspresif ( dapat

dilihat dari pengolahan kala yang menyeringai, sosok, hiasan lainnya). Muncul

indikasi yang merujuk pula pada tradisi purba megalitikum yang memuj a

tugu-tugu batu dan punden-punden. Bangunan candi akhimya dapat kembali

27

Page 32: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

diwujudkan menjadi tugu yang didirikan di atas punden-punden bcrundak

(benda masifyang tak berongga), seperti pclinggih atau padrnasana di Bali.

• Candi menunjukkan adanya konsep dualitas, misalnya dalam perletakannya

Pola susunan candi maupun lingkungannya tersebut menjadi suatu pola yang

khas, yakni menggabungkan antara mandala-gridiron yang konsentris dan

linieritas. Nilai-nilai dualitas sccara umum sebenamya dapat difahami sebagai

konsep-konsep yang mendasari tradisi Jawa (budaya yang melatarbelakngi).

Dualitas ini nampak pada wujud memusat tetapi tidak memusat/bergeser,

linier tetapi radial, unsur horisontal dan vertikal, pemujaan Siwa dan 13udha

sekaligus, maskulin dan feminim, adaptasi lama dan baru, berfikir ke depan

tetapi tetap mcmpertimbangkan aspek yang ada di belakang, dsb.

Berdasarkan hal tersebut di atas dalam perkembangan arsitektur candi dapat

difahami adanya konsep dinamis-adaptif, vtswner (kebaruan), sinkritisme

(akomodatif), dualitas, pro-historis-regionalisme (menghormati masa lalu dan spirit

lokal), dsb. Melalui penjelajahan aspek tersebut dapat dikaitkan pula dengan sifat dan

karakter masyarakatnya, khususnya di Jawa yang dinamis-adaptif-dualitas­

primodialisme, dsb. Hal-hal tersebut di atas dapat dianggap sebagai karakter/kekhasan

dari arsitektur batu peninggalan Hindu-Budha di Nusantara yang berbeda dengan

India atau tempat lainnya. Nilai-nilai tersebut bukannya tidak mungkin untuk tidak

ditransfer pada generasi pasca jaman Hindu-Budha di Jawa. Manusia Jawa pada

dasarnya sangat menghormati budaya-budaya yang diwariskan oleh lcluhurnya,

meskipun di sisi lain secara fisik ditunjukkan adanya kedinamisan yang tinggi sebagai

wujud sikap adaptif terhadap budaya bam Ide-ide sinkritisme menjadi landasan

akomodatif terhadap adanya silang budaya tersebut, seperti yang ditunjukkan dalam

arsitektur candi. Bangunan candi merupakan bangunan penting dan utama pada masa

Hindu-Budha, sehingga tidak mudah untuk dapat dilupakan dalam memory

masyarakatnya, sekalipun telah beralih ideologi religinya.

Pada masa perkembangan arsitektur modem (Kolonial dan Pasca Kolonial),

khususnya di Jawa-Bali sampai sekarang, penggunaan unsur candi diperkirakan

menjadi rujukan desain. Sebelum masa modern yakni masa Islam di Indonesia,

arsitekturnya secara visual menunjukkan adanya pemanfaatan unsur percandian.

Beberapa motivasi yang diduga mendorong pemanfaatan representasi candi tersebut

adalah pengembangan ide-ide kelokalan, penghormatan terhadap leluhur, dsb.

28

Page 33: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Arsitektur candi Jawa dipandang mengandung kcmandirian yang didorong oleh proses

akulturasi secara evolutif Candi merupakan basil kreativitas kelokalan yang adaptif�

dinamis dan represcntasinya terlihat cukup kuat selama berabad larnanya di I ndonesia.

Desain candi menunjukkan adanya kekbasan dan perbedaan yang signifikan dengan

surnber asalnya (India).

3. 1. Penggalian Potensi Masa Lalu.

Dalam alarn pasca modem di rnasa kini dikenal istilah-istilah yang identik

dengan fenomena tersebut di atas misalnya yang diungkapkan oleh Venturi yakni

'both and, ambiguity, contradiction adapted-nya, Jencks dengan dou/Jle coding,

respect to the past, hybrid-nya, Klotz dengan representasi fiksional, regionalisme-nya,

Kurokawa dengan simbiosis, respect to history-nya, dsb. Demikian pula dengan

istilah-istilab dalam filsafat post modem scperti camp (penyimpangan), pastiche

(tiruan-imitasi), parody (parodi- 'plesetan '), and schizophrenia (arnbiguitas), dsb.

Hal-hal tersebut sebenarnya rnenunjukan nilai duaJitas-dualisme, akomodatif,

sinkritisme, adaptif, dsb seperti tcrcerrnin pada konsep perwujudan arsitektur Hindu­

Budha tersebut. B angunan candi meskipun nampak selalu baru (identik halnya doktrin

modernisme, visioner) namun di sisi lain muncul adanya ambiguitas dengan masib

mengikutsertakan ni lai-nilai masa lampau, atau dimungkinkan terjadi 'dialog' antara

yang lama dengan yang baru (tantrayana-mabayana), antara Hindu-Budha, antara

budaya pendatang dan lokal, yang terakultariskan secara alamiah.

Tradisi jawa memungkinkan terjadinya fenomena tersebut di atas. Dalam teori

l majeri India digambarkan babwa 'spirit' kelokalan ikut berperanan dalam

membentuk karakter budaya melalui akulturasi dengan budaya yang masuk. Menurut

Wales dan Subadio, Local genius mengacu pad a kemampuan masyarakat suatu daerah

untuk menerima pengaruh luar secara selektif dan melalui proses kreatif melahirkan

ciptaan baru yang unik dan tidak terdapat daJam wilayah asal budaya tersebut

Fenomena local genius tersebut akan dapat pula memperkuat aspek-aspek yang

mengarab pada genius loci-spirit of place dalam membangun identitas/karakter tempat,

seperti memungkinkan adanya nilai-nilai sinkt1itisme d i dalamnya.

Tidak banya pada jaman Hindu-Budba saja, fenomena ini juga akan dibawa

pada masa pasca Hindu-Budba di Jawa. Jika pada masa Hindu Budha yang dianggap

lokal genius adalah budaya Pra-l-Iindu-Budba, maka pada jaman Islam yang dianggap

29

Page 34: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

lokal genius adalah budaya pada jaman 1-lindu-Budha, demikian sclanjutnya ketika

budaya Barat masuk ke Nusantara. Penggunaan kembali bcntuk arsitektur masa

lampau juga dilakukan pada masa Islam, Kolonial, dan Post Kolonial. Namun

demikian unsur -unsur arsitektur yang bcrasal dari peradaban I-lindu-Budha dianggap

yang paling kuat berpengamh terhadap pembentukan 'spirit kelokalan' dibandingkan

dengan peradaban berikutnya seperti Islam dan KoloniaL Kemungkinan besar karena

peradaban I-lindu-Budha memang Ielah mewarnai perkembangan kebudayaan

Nusantara kurang lebih 1 200 tahun lamanya.

Gerakan Post-modem di masa modern yang lahir tahun 1 960an

memungkinkan adanya usaha-usaha untuk membangkitkan kembali unsur-unsur masa

larnpau (titik perbedaan dengan modernisrne) dalam mewarnai desain arsitektur agar

tidak terjadi kesergaman arsitektur yang atomistik. Namun demikian nilai-nilai post­

modern sebenarnya telah ada sebelum tahun 60-an namun dengan intensitas yang

kecil dan samar.

Frank Llyod Wright (FLW) menggunakan salah satu pendekatan desainnya

yang rnerujuk pada arsitektur masa lampau dan konsep kelokalan. Konsep demokrasi

Gb 0 1 . Tradisi Arsitcktur Modem menurut Jencks nerika, oleh karen a itu FL W

menggunakan hmizontal sebagai representasi dari konsep egaliter-demokrasi dalarn

desain arsitekturnya. Di samping aspek horizontal tersebut, nilai kelokalan lainnya

yang berasal dari masa lampau seperti adaptasi ' the prairie house ' (bangunan

vernakular amerika) dengan elemen-elemennya berupa penggunaan batu alam dan

cerobong asap. Di sisi lain nilai modern (kontekstualitas dengan jamannya-kebaruan)

juga ditampilkan disana, yakni horizontal dapat dikaitkan dengan streamline yang

didukung dengan teknologi cantilever beton bertulang (new material).

F.L Wright termasuk arsitek yang juga mengadaptasikan/mendayagunakan

nilai-nilai arsitektur purbakala dalam desain yang bam (modem). Tidak sekedar

dijiplak atau ditiru tetapi d igubah (di-dekonstrusi-kan) kembali menjadi komposisi

yang baru misalnya menjadi kubisme-abstrak. Nilai-nilai purbakala tersebut berasal

dari Amerika/lndian Purba (pre-columbian architecture) - kebudayaan Maya-Inca­

Aztec dan Mesir Purba d imana gaya-gaya ini kemudian berkembang dalam gaya art

deco-nya. Penelitian selanjutnya (Australia) ada yang menyatakan F.L Wright juga

pernah mengadopsi arsitektur purbakala yang berasal dari Indonesia (Hindia Belanda).

Nilai kelokalan dalam desain F.L Wright ditunjukan dengan penggunaan gaya Indian

purba Purba (pre-columbian architecture) tersebut, meskipun nilai kelokalan itu

30

Page 35: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

menjadi tidak murni ketika bercampur dengan arsitcktur di luar kcbudayaan asl i

seperti tradisional Jepang dan Mesir purba. Namun demikian transfromasi dalam

stratcgi desain bempa penggunaan rcferensi yang berasal dari bangunan purbakala

yang berasal dari budaya lokal untuk bangunan modern pernah dilakukan oleh

FLWright.

· ' ,, ;j: ··'' ;.'

Gb 3.1. Adaptasi arsitektur amerika purba , mesir purba dan tradisional Jepang pada karya FLW

31

Page 36: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

.,

;;:::\�:.:>· ..-_-r-. , . .

G b 3.2. Pcngaruh arsitcktur candi Jaw a '! (lingga yoni dan p rofil moul ding)

32

Page 37: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Terdapat tiga rnacam pcndekatan transformasi dalam dcsain arsitektur

(Antoniades 1 992) ( 1 ) Strategi Tradisional (The traditional strategy) rnerupakan

pendekatan transformasi melalui cvolusi progresif dari suatu bentuk melalui

penyesuaian bertahap (langkah dcrni Iangkah) terhadap "konstrain" yang ada seperti:

Secara ekstemal: tapak, view, orientasi, pergcrakan angin, matahari, kriteria-kriteria

l ingkungan lainnya, Secara internal: fungsional, programatik, kriteria structural,

Secara artistik: kemampua:n, keinginan, kcccnderungan dan perilaku si arsitek dalam

memanipulasi bentuk, bersamaan dengan penyikapan terhadap dana, kemudahan

konstruksi dan kriteria pragmatis lainnya. Pendekatan (2) Peminjaman (Borrowing)

merupakan pendekatan transformasi melalui peminjaman secara formal suatu bentuk

(unrelatedfimn) dari lukisan, patung, obyek-obyek, artefak-artefak lain, dsb. Melalui

strategi ini juga mempelajari karakter dua dan tiga dimensional sebagai upaya

interpretasi untuk mengetahui aplikasi dan kemungkinannya. Transformasi i n i

merupakan suatu "pictorial tramferring" (pemindahan citra) dan juga dapat berupa

"pictorial metaphor " (metafora citra). Desain candi (bangunan sakral) dimungkinkan

untuk sebuah transformasi (unrelated .ftmn) dalam membuat rumah, hotel, atau

bangunan publik lainnya (bangunan non sakral). Pendekatan (3) adalah De-konstruksi

(De-construction), mempakan pendekatan transformasi rnelalui suatu proses dimana

seorang perancang mengambi l scbuah bentuk secara keseluruhan dan dipecah-pecah

atau dipilah-pilah menjadi bagian-bagian kccil (yang masih memiliki makna/arti). Hal

ini memiliki tujuan untuk mencari cara baru/lain dalam mcngkombinasikan bagian­

bagian tersebut, serta menumbuhkan kemungkinan-kemungkinan suatu bentuk

keseluruhan yang baru (new wholes) dan tatanan bam (new orders). FLW secara tidak

langsung telah melakukan hal tersebut terhadap arsitektur purbakala. Post modern

(pad a pasca masa FL W) sangat memungkinkan penggunaan ketiga strategi tersebut di

at as dalam desain kontemporer, khususnya Borrowing dan Deconstruction.

Jencks lebih lanjut dalam perkembangan arsitektur post-modern tahun 60an

mengidcntifikasi adanya 6 a:kar yang membentuk karakter arsitekturnya, yakni

Historicism dan Straight Revivalism, Nco-Vernacular dan Ad-Hoc Urbanist,

Metaphor-Metaphysical, Post-modem Space (menuju dekonstmksism, sementara

Antoniades membedakan antara pendekatan history dan historicism. Historicism

menurut Antoniades d ianggap dapat rnemunculkan eklektisme berlebihan (fanatisme)

sehingga menghilangkan makna hakiki yang sesungguhnya dan dimungkinkan

menjadi mannerist dan menghambat kreatitifitas. Dengan demikian d iperlukan studi

Page 38: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

'precedent ' yang memadai dalam menanggapi isu kesejarahan. Bcntuk-bentuk masa

lampau tidak hanya diadopsi begitu saja namun hams dikaji melalui analisis yang

mendalam melalui studi preseden tersebut. FLW dianggap mampu mendayagu nakan

sejarah tanpa menjadi mannerist. Dalam kaitannya dengan proses analisis mcnurut

Antoniades hendaknya desainer memahami : reference to 'local historical prototypes ',

r�ference to global prototypes (cross-cultural), reference to 'remote ' as well as

'closer ' historic times, rdunded exploration of the historic precedent, and critical

judgment in the selection and kind of precedent.

Ke enam akar Jencks di alas adalah keniscayaan untuk dapat dihindari dalam

desain arsitcktur masa kini, apalagi mcnanggapi isu globalisasi dimana nilai-nilai

nasionalisme, regionalisme ikut berkembang kuat sebagai penyeimbangnya (global­

paradok). Penghargaan terhadap nilai kelokalan (budaya, iklim, tradisi, dsb) dan aspek

kesejarahan mulai menjadi acuan kembali. Dekontruksivism (abad 20-akhir) dalam

arsitektur menyebabkan arsitek terlihat tidak mempunyai 'pegangan' yang jelas

(anything goes), sehingga ikut berperanan mendorong munculnya 'romantisisme

kepada nilai-nilai dengan akar yang jelas dan kontekstual (spirit kelokalan).

Berkaitan dengan hal diatas bangunan candi dapat difahami sebagai material

artifact, berupa objek buatan manusia yang meninggalkan jejak atau sebagai teks

sejarah (historical texts) dan dapat menjadi collective imagination (khususnya

berhubungan dengan warisan tradisi arsitektur masa lalu) yang muncul dalam

pemikiran pasca Hindu-Budha. Candi dapat menjadi sebuah Place sebagai

reperesentasi dari masa lampau dan mengakar kuat serta menjadi collective memmy

secara alamiah pada masa pasca Hindu-Budha. Menurut Abramson ( I 999) sejarah

merupakan suatu pendirian yang disepakati, namun terbuka terhadap kritik. Monumen

sepe1ii halnya sejarah dapat terus berdiri menghubungkan masa lalu ke masa depan

karena adanya kesepakatan dan kemauan keras. Perjalanan waktu mcnuntut adanya

perubahan-perubahan. Perubahan membutuhkan kesepakatan yang berujung pada

pendirian tertentu. Keyakinan terhadap suatu pendirian seharusnya terbuka untuk di

debat. Dengan adanya debat, akan terjadi perubahan. Dalam hal ini, Abramson

melihat memon tidak bisa didebat, sedangkan sej arah dapat. Tetapi tidak berarti

sejarah harus melenyapkan memori, karena memori tetap diperlukan untuk menguji

sejarah secara kritis, 'through memory toward history'.

Memori berkaitan era! alam bawah sadar masyakaratnya yang dapat bermuara

dalam wujud arketipe. Jung dengan teorinya: arketipe adalah citra leluhur yang

3 4

Page 39: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

terdapat dalam alam bawah sadar kolektif manusia/ ketidaksadaran (unselj'conscious),

sebagai simbolisasi kesatuan yang kongkret antara yang nyata dan yang semu, ide dan

perasaan, roh dan materi. Arsitektur candi tidak sekedar difahami sebagai bangunan

melainkan mengandung nilai 'place ' yang secara bawah sadar berada di dalam alam

pikiran masyarakat Jawa pada saat itu. Berkaitan dengan pendekatan post modern,

candi dapat d ianggap merupakan reference yang berakar pada 'local historical

protozvpes '. Melalui historic precedent dapat dikaji peranannya dalam membentuk

'karakter' dan 'spirit' ke- Indonesia-an yang diperkirakan mampu bertahan sampai

saat ini.

3.2 Candi sebagai 'Local Historical Prototypes'

Dalam kaitannya dengan proses analisis kesejarahan dalam dcsain, desainer

hendaknya memahami : reference to 'local historical prototypes', rej'erence to global

prototypes (cross-cultural), reference to 'remote ' as well as 'closer ' historic times,

rounded exploration (if the historic precedent, and critical judgment in the selection

and kind rif precedent ( Antoniades, 1992).

Berkaitan dengan hal diatas banf,'lJnan candi dapat difahami sebagai material

artifact, berupa objek buatan manusia yang meninggalkan jejak atau sebagai teks

scjarah (historical texts) dan dapat menjadi collective imagination (khususnya

berhubungan dcngan warisan tradisi arsitektur masa lalu) yang muncul dalam

pemikiran pasca Hindu-Buda. Candi dapat menjadi sebuah Place scbagai

reperesentasi masa Jampau dan mengakar kuat serta menjadi collective memory secara

alamiah pada masa pasca Hindu-Buda.

Menurut Abramson ( 1 999) sejarah merupakan suatu pendirian yang disepakati,

namun terbuka terhadap kritik. Monumen seperti halnya scjarah dapat terus berdiri

menghubungkan masa lalu ke masa dcpan karena adanya kescpakatan dan kcmauan

keras. Pcrjalanan waktu menuntut adanya pembahan-perubahan. Perubahan

membutuhkan kesepakatan yang berujung pada pendirian te1tentu. Keyakinan

tcrhadap suatu pendirian seharusnya terbuka untuk di debat. Dengan adanya debat,

akan terjadi perubahan. Dalam hal ini, Abramson melihat memori tidak bisa d idebat,

sedangkan sejarah dapat. Tetapi tidak berarti sejarah hams melenyapkan memori,

karena memori tetap diperlukan untuk menguji scjarah secara kritis, 'through memory

toward history' .

3 5

Page 40: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Memori berkaitan erat alam bawah sadar masyakaratnya yang dapat berrnuara

dalarn wujud arketipe. Arsitektur candi tidak sekedar dif1.tlmmi sebagai bangunan

melainkan mengandung nilai-nilai di bawah sadar berada di dalam alam pikiran

masyarakat Jawa pada saat itu. Berkaitan dengan pendekatan post modern, candi

dapat dianggap merupakan reference yang berakar pada local historical prototypes.

Melalui historic precedent dapat dikaji peranan candi dalam membentuk salah satu

'karakter' dan 'spirit' ke- Indonesia-an (identitas) yang diperkirakan mampu bertahan

saat ini.

Candi mengandung unsur-unsur yang merujuk pada nilai-nilai kelokalan

Nusantara. Banyak perbedaan yang ditemukan antara candi-candi di Jawa dengan di

India (Suleiman Satyawati, 1 984). Hal ini menunjukkan bahwa unsur-unsur kelokalan

melatarbelakangi desain candi-candi tersebut. Local Genius berperanan disana. Wales

dan Subadio merujuk pada nilai-nilai sebelum masuknya pengaruh budaya luar. Nilai­

nilai tersebut lahir melalui proses alami berdasarkan pada pengalaman-pengalaman

budaya dan sosial yang bersifat lokaL Nilai-nilai tersebut menjadi penyaring dalam

menerima budaya dari luar. Sebelum masuknya tradisi India pada sekitar awal tarich

masehi, sulit ditentukan budaya seperti apa yang telah berkembang di Indonesia. Pada

saat pengaruh Islam masuk ke Indonesia, yang dijadikan sebagai aspek lokal di

Indonesia adalah akulturasi budaya Hindu · Buda dengan budaya asli .

Menurut Wales, Subadio, local genius mengacu pada kemarnpuan masyarakat

suatu daerah untuk rnenerima pengaruh luar secara selektif dan melalui proses kreatif

melahirkan ciptaan baru yang unik dan tidak terdapat dalam wilayah asal budaya

tersebut. Quaritch Wales mendefinisikan local genius adalah the sum of the cultural

characteristics which the vest majority of the people have in common as a result '!f the

eksperiences in early life, what I meant by local is simply pre-indian. Menurut Haryati

Subadio, focal genius dapat diartikan sebagai kemarnpuan menyerap sambi I

mengadakan seleksi dan rnengolah secara aktif pengaruh kebudayaan asing, sampai

dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat dalam budaya asalnya

Bosch menghubungkan fenomena local genius tersebut dengan kernampuan

para silpin (pembuat candi) priburni. yang pemah belajar keagamaan di India, terbukti

dengan adanya dua asrama bagi orang Indonesia, di Nalanda (India Utara) dan

Nagapatnam (di India Selatan). Setelah kembali ke Indonesia para silpin mulai

mendirikan bangunan-ban6>unan suci Hindu maupun Buda, dan mereka berusaha

menggabungkan berbagai unsur kcsenian India dengan kesenian lokal menjadi suatu

3 6

Page 41: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

krcasi bam yang sangat unik. Hal ini rnembuktikan adanya hubungan antara focal

genius dan kcmampuan daya cipta rncngolah. Jika pirnpinan proyck pembangunan

candi-candi di Indonesia adalah orang India rnaka bentuknya pun dapat dipastikan

tidak jauh bcrbcda dcngan di I ndia. Jadi ' lok.al genius' memang sangat berpengamh

pada desain candi-candi di lndoensia tersebut.

Meskipun Bosch berpendapat bahwa pembangunan candi di Dieng dalam hal

bentuk dan proporsi terutama eandi Arjuna sangat patuh terhadap aturan Vasusastra,

tetapi tidak ditemukan bukti bahwa Vastusastra benar-benar digunakan sebagai

Iandasan pembangunan candi-candi klasik awal. Bahkan bcberapa hasil pcnclitian

membuktikan adanya pcrbedaan dan penyimpangan. Dapat dimungkinkan pula

adanya penafsiran lain Vastusastra tersebut. Penafsiran yang berbeda tersebut

kemungkinan disebabkan adanya faktor local genius, misalnya menyangkut aspek

geografis, kondisi sosial, dan kepercayaan asli yang telah ada sebelurn rnasuknya

tradisi India. Di sisi lain contoh konkretnya adalah adanya budaya pengagungan

terhadap nenek moyang yang rnenyebabkan bergesernya fungsi kuil sebagai tempat

pemujaan dewa rnenjadi sekaligus tempat pemujaan terhadap nenek moyang atau raja

yang sudah wafat.

Namun demikian menurut Soekmono (1986) hal ini dapat dihubungkan

dengan usaha 'meramu' berbagai sem bangunan suci di India yang berasal dari

berbagai pusat kesenian dan berbagai jaman, menjadi suatu kreasi barn yang

diperkaya dengan unsur-unsur lokal. Dengan demikian menunjukkan bahwa nenek

moyang Indonesia sebenarnya telah mempunyai daya kreativitas yang memadai guna

menciptakan seni-seni baru, khususnya dalam desain arsitektur candi-candinya.

Bosch dalam hipotesisnya menolak istilah peleburan atau campuran atau

pengaruh atau mempengaruhi dan menggunakan istilaJ1 'pembuahan' dalam

menanggapi hal tersebut. Pembuahan dapat terjadi melalui bahan-bahan hidup

masyarakat Nusantara yang bakal berkembang menjadi suatu organisme tersendiri,

dimana yang asing dan yang pribumi menjadi satuan yang tidak terpisahkan.

Para Indiolog seperti Brandes, Kern, Krom seperti yang ditulis W.P.H.

Coolhaas, rnelakukan perubahan pendekatannya setelah mereka tinggal lama d i

Indonesia. Mereka kemudian tidak lagi memfokuskan pada supremasi budaya Hindu

yang superior atas Nusantara. Namun akhirnya tertarik mempelajari esensi peradaban

Indonesia jauh sebelum Hindu tiba, seperti batik, gamelan, dan kerajinan. Dengan

kata lain dalam proses peradaban di Nusantara bukan seberapa besar pengaruhnya,

37

Page 42: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

tctapi scbcrapa bcsar kx:al genius dalam mcncipta, menyerap, dan mcngolah unsur

budaya luar sesuai dengan orientasi, presepsi, pola atau sikap, dan gaya hidup bangsa,

yang kemudian hasilnya menjadi kebudayaan nasionalnya. (Purwasito, 2002).

Menurut Koentjaraningrat ( J 984) unsur-unsur yang berasal dari India

mengalami perubahan (transformasi) dalam bentuk, sifat, dan konsepsinya.

Puspowardojo ( I 984) menyatakan hakekat local genius merupakan kemampuan

mengintergrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli-lokal, memiliki kemampuan

mengendalikan dan memberikan arab perkembanganya.

Magetsari ( 1 984) membagi pemahaman local genius dalam kehidupan

beragama pada masa Hindu Buda menjadi 2 jenis yakni abad 9 (Mataram) dan abad

1 4 (Majapahit). Kedua masa ini memiliki kesamaan yakni menunjukkan adanya

konsep sinkritisme antara Paramitayana dengan Mantrayana pada abad 9 dan antara

Siwa dan Buda pada abad 14 . Fenomena ini menggambarkan adanya usaha-usaha

kreatif penggubahan kaidah-kaidah yang berasal di India menjadi baru, seperti dalam

kitab Sang Hyang Kamahayanikan pada abad 9 dan Sutasoma pada abad 1 4. Dalam

Sutasoma tersirat bahwa agama-agama pada akhirnya bermuara pada tujuan yang

sama (Bhinneka limggal lka). Proses kreativitas sinkritisme ini juga digambarkan

pada wujud arsitektur bangunan sakralnya, yakni Candi. Sehubungan dengan hal ini

dapat dikatakan bahwa lndialah yang di-Jawanisasi atau di-lokalkan, bukan Jawa yang

di Jndiakan.

Dalam proses difusi kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya akulturasi d i

Nusantara tidak dapat dipisahkan dengan istilah lndianisasi tersebut. lndianisasi

mengacu pada proses penyebaran pengaruh kebudayaan dan agama dari India ke

kawasan Asia termasuk Indonesia. Namun lstilah Indianisasi menjadi perdebatan

besar, banyak para ahli mempertanyakannya. Indianisasi mengakibatkan adanya

pemahaman bahwa Nusantara pasi( terkesan tidak berdaya dalam menerima budaya

asing tersebut. Pendekatan mutakhir dalam permasalahan ini kemudian digunakan

istilah si lang budaya seperti yang digunakan oleh Lombard ( J 994) sehingga menjadi

aktif kedua-duanya. Interpretasi ini didukung oleh Brandes dan Kern yang

berpendapat bahwa telah terjadi akulturasi antara budaya pendatang dengan budaya

lokal (local genius berperanan di dalamnya) 2

2 Fonte in, Jan & Sockmono R, Edi Scdyawati ( 1990), The Sculpture of Indonesia, Washington, USA,

National Gallery of Art, hal 98

3 8

Page 43: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Candi-candi pada masa Majapahit mcnunjukkan perbedaan yang signifikan

dengan candi-candi scbelumnya. Nilai-nilai budaya asing ( India- Cina, Hindu-Buda)

dipadukan dengan nilai-nilai lokal (genius loci dan kepcrcayaan asli) Camli

menunjukkan suatu gambaran hasil perpaduan budaya yang menghasilkan karya yang

baru. Dinamika perkembangan arsitektur candi tidak dapat dilepaskan dari

perkembangan Budaya. Namun demikian pengaruh lndianisasi masih tampak pada

penggunaan tulisan Pallawa dan bahasa Sanskerta di dalam prasasti-prasasti yang

menurut para ahli berasal dari Kerajaan Indonesia kuno yang mempunyai hubungan

dengan kerajaan-kerajaan di India Selatan. Raja-raja Indonesia kuno diperkirakan

mengadopsi konsep-konsep Hindu dan Buda dengan perantaraan ahli-ahli golongan

Brahmana atau pendeta yang diundang ke Indonesia 3

Arsitektur candi d i Indonesia dipcrkirakan sedikit banyak dipengaruh olch gay a

India Selatan4 . Narnun bcrdasarkan penelitian yang telah di lakukan, menunjukkan

bahwa gaya candi di Indonesia mempunyai bcntuk yang berbeda dengan India.

Artinya hasil pengadaptasian banyak dipengaruhi oleh pemikiran lokal. Para ahli

meragukan bahwa arsitek-arsitek semua candi di Jawa adalah orang-orang .Hindu

India sendiri, karena sudah banyak unsur asli pribumi di dalamnya. ' Pannono Atmadi

dalam disertasinya membuktikan adanya penyimpangan tersebut, terutama dalam hal

proporsi bangunan. Penyimpangan tersebut akan tampak Iebih nyata Iagi apabila

dibandingkan dengan bentuk candi-candi yang bcrcorak Majapahit.

Pada akhirnya para ahli sepakat bahwa kebudayaan Hindu hanyalah merupakan

lapisan tipis yang terdapat dalam budaya Indonesia, India hanyalah 'lmajeri ' .

Eksistensi kebudayaan Hindu hanya menyentuh pada lapisan elite dan bangsawan,

sedangkan pada masyarakat umum yang kehidupannya jauh dari pusat kerajaan masi h

tetap menjalan kehidupan asalnya. Identik dengan fenomena penetrasi budaya

Byzantium kc dalam budaya Rusia Kuno. Dalam proses pembudayaan di Rusia,

model Byzantium menjadi pola yang terukir dalam peradaban Rusia. Orang

cenderung menarik diri untuk mempelajari budaya Byzantium meskipun Rusia tidak

pernah mengalami Byzantiumisasi (Purwasito, 2002).

Kebudayaan Hindu-Buda yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja.

Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia telah rnemiliki dasar-dasar kebudayaan yang

3 Koentjaraningrat, ( 1 997), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Djambatan, hal 2 1 4 Cardoso S.L ( 1 966), Seni India, Seri Monografi 1 , Kursus B I Tertulis Sedjarah , Bukittinggi, hal 46 5 Sumintarja, Jauhari ( 1 966), Kompendium Sejarah Arsitektur, Bandung, Lcmbaga Penye1idikan Masalah Bangtman Bandung, hal 30

39

Page 44: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

cukup kuat, sehingga masuknya kebudayaan asmg kc Indonesia menambah

perbendaharaan kebudayaan I ndonesia. Bangunan eandi merupakan representasi

wujuc! akulturasi (sinkritisme), berupa usaha-usaha penggubahan yang krcatif yang

melibatkan unsur kclokalan eli dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa camii

mempakan local historical prototype.

3.3 lJnsur/Atribut kuat dalam Oesain Arsitektur Candi

Candi scbagai banf,>unan sakral tidak hanya difahami dalam konteks sekala

(rupa) saja namun juga mel ibatkan unsur-unsur yang bersifat niskala (arupa) .

Pemahaman tentang ruang candi, tidak hanya ditcrjcmahkan mcnyangkut aspek fis ik

'ruang dalam' tctapi harus dipandang scbagai satu kesatuan yang kompleks dengan

ruang-ruang luar yang ada di sekitarnya. Pemahaman tentang ruang dalam konteks

arsitektur Nusantara atau arsitektLII Timur dapat ditafsirkan bcrbcda dcngan

pcndckatan Barat sehingga wujudnya bcrbeda (lain I liyan 6) Hal ini dapat

dianalogikan dengan konsep ruang dalam pemahaman dunia Timur yakni tectonic,

stereotomic, dan ruang antara7 (antara ada dan tiada).

Pada umumnya bangunan suci peninggalan Jaman Hindu di Indonesia, dikenal

dengan scbutan "candi". Di Jawa Timur bangunan-bangunan tersebut dinamakan

"cungkup". Istilah " candi" dikenal pula di Sumatra bagian Selatan seperti Candi

Jepara di Lampung, dan eli Sumatra bagian Tengah seperti Muara Takus. Sedangkan

di Sumatra lJtara istilah yang digunakan adalah "biaro"seperti candi-candi di

Padanglawas. Di Kalimantan Selatan dapat kita jumpai Candi Agung dekat Amuntai.

Narnun di Bali tidak didapatkan istilah "candi", dalarn arti bahwa bangunan-bangunan

purbakalanya tidak satu pun yang oleh rakyat disebut sebagai candi 8

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia candi diartikan sebagai bangunan kuno

yang dibuat dari batu, berupa ternpat pemujaan, penyimpanan abu jenazah raja-raja

atau pendeta-pendeta Hindu atau Buda. Dalam kamus besar Bahasa Sanskerta

dijumpai keterangan, bahwa candi adalah sebutan untuk Durga atau dewi maut

candika, sedangkan candigreha atau candikagrha atau candikalaya adalah penarnaan

tempat pemujaan bagi dewi tersebut. Dalam Bahasa Kawi, candi atau cinandi atau

6 Prijotomo, Josef (2008), Arsitektur Nusantara : Arsitektur Pertedulwn dan Arsitektur 'Liyan ', Pidato Pcngukuh;rn untuk Jabatan Gum l3csar dalam Bidang Ilrnu/Mata Kuliah Tcori dan Mctode Rancangan pada Fakultas Tcknik Sipil dan Perencanaan lnstitut Teknologi Sepuluh Nopcrnbcr, Surabaya 7 Van de Yen, Comelis (1991), Ruang dalamArsitektur, Jakarta, PT. Gmrnedia Pustaka Utama 8 Sockmono, R ( 1 974), Candi, Fungsi dan Pengertiannya, Discrtasi Doktor, Universitas Indonesia.

40

Page 45: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

sucandi berarti 'yang dikuburkan', sedangkan dalam pemahaman arkeologi, cancli

dapat dihubungkan dengan bangunan untuk pemakaman maupun pemujaan. Dalam

prasasti Prambanan istilah candi dapat dikaitkan dengan graha (rumah) yakni

Siwagraha (mmah Siwa - candi Siwa Prambanan). Dalam Negarakretagama dan

Pararaton dikenal istilah dharma, sudharma (dharma hajj), puralpuri (tempat) seperti

Wisesapura, Wisnubhawanapura, Bajrajinaparamitapura yang berkaitan dengan

percandian.

Dapat disimpulkan bahwa pada dasamya candi dapat mempunyai dua fungsi

utama yaitu sebagai makam dan sebagai kui L Sesuai dengan ungkapan Soekmono

( 1 974) dalam disertasinya, lhngsi candi adalah mempakan tempat/kuil pemujaan, dan

apabila dikaitkan dengan makam raja, maka candi merupakan bangunan yang

dibangun hanya untuk memuliakan raja atau bangsawan yang sudah wafat.

Dumarcay dalam bukunya ' lhe Temple of Java menggolongkan periodisasi

pendirian camli .. Meski secara khusus hanya membahas sejarah perkembangan bentuk

percandian di pulau Jawa. Literatur yang lebih umum atau yang mencakup

pembahasan percandian di luar jawa dapat dilihat di dalam karya Bernett Kempres

yaitu 'Ancient Indonesian Art · dan encyclopedia Glorier yang berjudul " Indonesian

Heritage " volume I dan 6. Literatur pendukung juga dapat digunakan karya Jan

Fontein yaitu 'The Sculpture (Jf Indonesia ' .yang banyak mernbahas seni patung pada

candi-candi tersebut.

Empat literatur di atas dapat dipergunakan sebagai mjukan dasar di dalam

rnenganalisa candi di Indonesia, rnelalui Jatar belakang sejarah, sosial-budaya,

teknologi, bahan, geografis, agarna, politik, kosmologi. Sedangkan untuk rujukan

proporsi dan bentuk bangunan dapat dipeq,'llnakan karya Parrnono Atmadi yaitu

'Some Architectural Design Principles of Temples in Java ', karya Andreas

Volwashen . Selain perrnasalahan prop<Jrsr, alam-ekologi lingkungan ikut

mempengaruhi konsepsi desain candi tersebut9 Topos setempat (lokal) dapat ikut

mempengaruhi orientasi kosmologi tata mang suatu bangunan 10 dan kota, khususnya

bangunan sakraL Hal ini dapat dilihat melalui keterkaitan kosmologi dengan

penerapan wujud mandalanya, seperti penggunaan mandala cartesian (India) dengan

9 Mundardjito (2002), Pertimbangan Ekologis, Penempatan Situs Masa Hindu-Budha di Daemh Yogyakarta, Jakarta, Wedatama Widya Sastra-Ecole Francaise ])'Extreme-Orient 1 0 Tuan, Yi Fu ( 1 989), Space and Place, The perspective of experience, Minnepolis

4 1

Page 46: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

axis linieritas (seperti dalam tata ruang permukiman masyarakat austronesia purba)

gunung-laut, dsb.

Kaidah pendidirian bangunan sakral kuno di India diatur di dalam Vatusastra 1 1 .

(Kitab tentang arsitektur) atau S'ilpasastra (kitab pegangan Silpin), yang jumlahnya

cukup ban yak, di antaranya Manasara, Mayamata, Silpaprakasa,

Visnudharmottaram, aturan di dalam kitab Purana, atau kitab keagamaan. Bosch

mengkaitkan percandian dl Indonesia dengan kitab manasara yang berasal dari India

Selatan Kitab ini berisi tentang patokan membuat kuil beserta komponennya dan

bangunan profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks

kota/desa, dsb. (Acharya 1933) Sampai saat ini keterkaitan manasara dengan

arsitektur candi Indonesia masih diperlukan pcnelitian lebih lanjut.

Pemball!,>unan suatu candi dipimpin oleh Yajamana (pimpinan proyek).

Yajamana membawahi dua orang arsitek yaitu Sthapaka ( arsitek pend eta guru) dan

Sthapati (arsitek perencana). Sthapaka bertugas membuat persiapan yang

berhubungan dengan upacara-upacara ritual dan hal-hal 'gaib' di dalam proses

pembangunan atau perencanaan suatu candi sedangkan Sthapati betanggung jawab

atas proses fisik perencanaan dan pembangunan. Sthapali membawahi Sutragrahin

(pelaksana dan pemimpin umum teknis), Vardhakin (perancang seni hias) dan

Taksaka (ahli pahat).

Terdapat beberapa pnns1p arsitektural 12 pada bangunan candi. Terdapat

beberapa atribut kuat yang selalu muncul dalam desainnya, yaitu: komposisi

geometris-cartesian, unsur garis pada jasade-ejek gelap terang, sosok volumelrik,

ejek prespektifis khu.l<�.mya JXlda atap candi, kesimetrisan, penggunaan aturan

perbandingan skala-proporsi, a.;pek pembagian tiga, pendangan, ragam hias (lihat

lampiran).

I. Komposisi Geometrik

Bentuk geometris merupakan bentuk dasar (basic type) yang signifikan dan

dominan dalam pengolahan desain suatu candi. Pengolahan desain candi selalu

menggunakan komposisi bentuk dasar geometrik, seperti bentuk dasar

persegiempat berikut ornamentasinya pada setiap bagian. Meskipun beberapa

bagian menggunakan ornamentasi ragam bias tumbuhan, binatang, manus1a

1 1 Volwahsen, Andreas ( I 969), Living Architecture : India, New York, Grosset & Dunlap, Inc., hal 1 3 8 1 2 Kunardi, Marco dan Prajudi (2003) lntcmasional Simposium : Jelajah Arsitektur Nusantara, A Studv on Indonesian 'Temple 'Candi 'Aesthetic)

42

Page 47: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

namun kcscrnuanya itu dibingkai dan atau diolah di atas bcntuk-bcntuk gcomctrik

(l ingkaran, pcrsegi em pat, nJrciform ) .

Dominasi bentuk g'"'<Jmetris yang digunakan adalah perseg1 cmpat

(bujursangkar maupun persegipanjang). Secara umum sosok candi dapat

digambarkan sebagai bentuk geometris baik dalarn pengolahan ekpresi tampak

maupun denah dan perletakannya. Bentuk denah pada candi selalu menggunakan

bentuk-bentuk geometrik yang memi lik i titik pusat yang bedungsi sebagai inti

sakral. Bentuk-bentuk ini bempa l ingkaran, bujursangkar dan cruciform (bentuk

persegi panjang yang digunakan untuk tempat sernedi/ditinggal i).

2. Elemen Garis

Garis rnerni l iki peranan yang signifikan dalarn rnernbentuk estetika pada setiap

bagian dari candi. Pengolahan garis dapat bempa garis-garis horisontal seperti

pelipit pada bagian peralihan setiap bagian dan vertikal bempa bingkai pengapit

(kolorn sernu) pada badan dan kaki, rnaupun dudukan kepala. Garis terscbut diolah

tirnbul dari permukaan bempa hiasan moulding. Pengolahan garis pada suatu

candi biasanya d idorninasi olch unsur horizontal seperti pelipil pada bagian

peralihan sctiap bagian dan unsur vertikal bempa bingkai pengapit (kolom sernu)

pada badan dan kaki, maupun dudukan kepala.

Pcngolahan garis ini diwujudkan melalui penggunaan hiasan moulding yang

dapat rnenirnbulkan efek gelap-terang/ fibTtJre-ground dan pcrrnainan kedalaman

perrnukaan candi bila terkena sinar matahari. MmJ/ding pada candi sclalu berada

dalarn suatu fi'ame yang terdapat pada setiap segrncn candi. Sepcrti pada kaki

candi, terdapat moulding yang rnembentuk suatu frame. An tara peralihan segmen

candi, selalu ditandai dengan bentuk moulding yang berbeda dengan moulding di

bawahnya.

3. Sosok V olumetrik dan Siluet Segitiga

Pengolahan yang digunakan pada tiap bagian candi biasanya cenderung tidak

didorninasi pendekatan substraktif dibandingkan aditif sehingga berkesan masii�

volumetrik. D i samping itu bentuk yang volurnctrik tersebut disusun rnembentuk

siluet sosok yang rnernbentuk kesan segitiga. Elemen kepala-badan-kaki

dikomposisikan dan di integrasikan untuk rnernbentuk satu sosok yakni bentuk

segitiga. (secara fi losofis bentuk segitiga mengacu pada konsep bentuk Gunung -

candi rnerupakan manifestasi dari Mahameru ) . Meskipun ada elemen yang

43

Page 48: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

menonjol, semuanya dikomposisikan sedemikian rupa sehingga secara total tctap

mcnggambarkan satu kesatuan yang tercermin dalam bentuk segitiga tersebut.

Si luct bentuk scgitiga terscbut mcnunjukkan suatu bentuk yang stabi l , sesuai

dengan konsep surgawi. Dalam satuan yang lebih kecil bentuk segitiga juga

ditunjukkan oleh sosok atap candi berikut elemen penghiasnya. Atap candi tidak

lain adalah gambaran tempat kedudukan dewa-dewa di Mahameru, sehingga tidak

heran jika sosok segitig'a banyak ditemukan di sana.

4. Efek Perspektifis

Bagian kepala pada suatu candi memiliki ornamen-ornamen dengan aturan

perbandingan antara panjang dan Iebar sehingga menimbulkan kesan perspektif

pada bagian kepala. Pada bagian kepala elemen-lernennya disusun semakin ke atas

semakin mengeci l . Hal ini merepresentasikan kesan menjauh, lalu menghilang

sebagai gambaran dari dunia dewa yang tinggi dan jauh. Kesan prespektif ini

ditampilkan dalam wujud sosok elemen maupun dalam bentuk ornamentasinya.

5 . Kesimetrisan

Keseimbangan berhubungan dengan kualitas gerakan mata ketika mata

melihat sebuah objek secara keseluruhan. Pada candi hal ini nampak jelas dan

dibantu oleh adanya beberapa elemen yang menonjol pada bagian kanan, kiri, dan

tengah untuk menunjukkan kesimetrisan dari bangunan tersebut. Pengolahan

arsitektur candi menerapkan keseimbangan yaitu adanya kesimetrisan bagian kiri

dan kanannya. Keseimbangan yang simetris juga nampak pada semua komposisi

elemen estetikanya, seperti ornamentasi, elemen atap, dan sebagainya.

Bagian tengah pada pengolahan kepala, badan, dan kaki merupakan titik aksen

yang memperkuat adanya garis simetri yang membagi sama kuat antara bagian

kiri dan kanannya. Dapat dikatakan sccara vertikal bahwa bagian kiri merupakan

cermman dari bagian kanannya, demikian pula sebaliknya. Komposisi

keseimbangan yang selalu ditekankan pada tiga titik (pada kepala dengan elemen

simbar, pada badan elemen pintu dan relung area, dan pada kaki pada elemen

tangga dan ornamen bingkai) pada semua bagiannya.

Komposisi demikian pada candi Hindu bisa dihubungkan dengan konsep

Trimutri atau konsep menyebarnya atman dari Brahman ke penjuru dunia. Irama

dan ritme serta perulangan diciptakan pada pemberian elemen pelipit pada setiap

44

Page 49: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

bagian peral ihan bidang. Ketcraturan pada pernberian elernen m1 menyebabkan

bangunan menjadi tidak monoton atau sekedar datar saja.

6. Proporsi dan Skala

Secara keseluruhan, proporsi digunakan untuk mendukung kaitan antara elemen

yang satu dengan yang lain. Hal ini diatur dalarn Manasara terdapat beberapa hal

penting yang digunakan :

1 . Ukuran dasar untUk bangunan adalah 'basta', satu hasta setara dengan 26

Angula atau 26 dhanur musti atau kurang lebih berkisar 50 em. Perkiraan

terscbut didasarkan pada I all!,'Ula atau Iebar ibu jari yaitu sekitar o/. inc atau 2

em.

2. Ukuran dasar untuk ornamen adalah 'tala', satu tala setara dengan jarak antara

ujung ibu jari sampai ujung jari tengah jika keduanya dibentangkan secara

maksimal atau setara dengan jarak antara ujung dagu sampai ujung atas dahi.

3 . Rasio perbandingan antara ukuran umum pad a banf,>unan satu lantai, j ika

perbandingan rasio antara tinggi ballf,>unan (T) dan Iebar bangunan (L )�

4.

(T/L)

a. sama dengan 1 dinarnakan Santika (besar) b. sarna dengan 1 '/. dinamakan Pausthika (besar) C. sama dengan 1 y, dinamakan Jayada (medium) d. sama dengan I % dinarnakan Dhanada (kecil) e. sama dengan 2 dinamakan Adbhuta (kecil)

Jika bangunan diukur berdasarkan tingginya maka bangunan tersebut

dinamakan Sthanaka, Jika bal1!,>unan tersebut diukur berdasarkan Iebar muka

nya maka dinamakan Asana, Jika bangunan tersebut diukur berdasarkan Iebar

sam ping nya maka dinamakan Sayana.

5 . Terdapat perbandingan rasio tetap an tara tinggi kaki bangunan (TK) dengan

tinggi bangunan (T) kescluruhan yaitu 1 /8 dengan variasi modular jika tinggi

bangunan terbagi atas :

a. 8 bagian atau dengan modul I /8 T maka I X 1 /8 T b. I 0 bagian atau dengan modul 1 / 1 0 T maka 1 ,25 X 1 /8 T C. 1 2 bagian atau dengan modul 1 / 12 T maka 1 ,5 X 1 /8 T d. 1 4 bagian atau dengan modul 11 14 T maka 1 ,75 x i/8 T e. 1 6 bagian atau dengan modul I /1 6 T maka 2 X 1 /8 T

j ika digunakan untuk kolom maka perbandingan sisanya adalah V< T

6. Rasio perbandingan Iebar pintu (lp) dengan tinggi pintu (tp) � lp/tp adalah y,

45

Page 50: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

7. Untuk bangunan dua lantai, tinggi dari kaki candi 3/28 0, 1 0 dari tinggi

diukur dari puncak atap sampai dasar

Proporsi mcnunjukkan pcrbandingan panjang, Iebar, dan tinggi, dan semuanya

pada umumnya dapat dinyatakan dalam pcrbandingan numerik. Proporsi diatur

sedemikian rupa untuk menghasilkan kesan vertikal yang kuat (nampak dari

bentuk elemen penghias yang umumnya ramping), namun diimbangi oleh

elemen yang melebar ke arah samping untuk menciptakan kesan kokoh dan

stabil . Proporsi merupakan salah satu unsur yang turut menentukan aspek

kesatuan pada bangti'nan candi tcrscbut, karena proporsi berkaitan era! dengan

hubungan geometrik, rasio/perbandingan antar bagian dalam suatu komposisi.

Berdasarkan penelitian tcrdahulu ", diambil contoh misalnya pada masa abad

1 3 candi-candinya menunjukan adanya penyimpangan dari lata aturan baku

dalam manasara, semakin muda umurnya maka pcnyimpangannya semakin

jelas

Skala perbandingan antara kaki, badan dan kepa1a disusun untuk menimtmlkan

kesan stabil . lni dapat dilihat pada komposisi kesatuan kaki yang terlihat dominasi

I ebar terhadap tingginya, karena kaki bcrfungsi landasan. Mnlai bagian badan,

skalanya mcngecil terhadap Iebar, dan berubah ke arah tinggi, untuk menunjukkan

irama yang meningkat. Kemudian pada bagian kepala, kesan vertikalitas 1m

akhirnya mengecil menuju satu titik untuk membcrikan pengakhiran.

7. Pembagian Tiga

Pengolahan elcmcn estetika pada candi didominasi menggunakan sistem

komposisi "pcmbagian tiga" yang sama dengan pcmbagian sosok candi (kepala,

badan, dan kaki), baik secara horisontal maupun vertikal, dan sampat

ornamcntasinya. Pengolahan sosok candi menunjukkan adanya pembagian

tiga'/tripatitc. Prinsip ditunjukkan adanya kaki-tubuh-kepala atau alas-tubuh-atap

atau bawah-tengah-atas. Pada masing-masing elcmen pada bagian tersebut berlaku

pula prinsip tripatite yang mencakupi elemen atas, elemen tengah, atau elemen

bawah atau jika diputar maka akan ditemukan elemen kiri, tengah, kanan

13 Prajudi, Rahadhian (2002): Penelitian : Kajian Proporsi Arsitektnr Candi Klasik Muda di Jawa

Timur, Lcmbaga Pencliti:m Unpar

46

Page 51: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

8. I>t�rulangan

Desain candi menunjukkan adanya aspek perulangan �- perulangan elemennya�

Hal ini menunjukkan adanya integrasi dalam pengolahan desain candi untuk

membentuk kesatuan dan keteraturan di dalamnya. Keselarasan antara elernen

penghias dengan sosoknya yang menggunakan bentuk dasar yang sama, ataupun

dalam komposisi perletakan ornarnen penghias pada titik - titik tertentu juga

rnenunjukkan usaha urituk menciptakan kesatuan yang tercermin dalam ekspresi

bangunannya. Perulangan bentuk yang sama tcrsebut akan rnenimbulkan kesan

dominasi, dirnana dominasi ini akan rnenimbulkan kesatuan antara clernen atau

bagian yang satu dengan lainnya, seperti bentuk dasar geometrik persegiernpat

yang didapatkan pada setiap clernen atau bagian.

Perulangan dapat berupa bentuk mahkota ataupun clcmen dalarn sosok candi

itu sendiri baik, elernen simbar, bingkai/pengapitlpelipit pada bagian peralihan

bidang vertikal maupun horisontal berupa : elemen garis (kolorn semu - vertikal,

pelipit - horisontal) yang sclalu rnembingkai bidang (jendela semu) pada badan.

Fenornena perulangan ditunjukkan pada kaki, badan, serta bagian atap yang

ditunjukkan oleh pengolahan dudukan elemen penghias kepala. Adanya

perulangan yang bempa irama dan ritme tcrtcntu tersebut rnenimbulkan ekspresi

bangunan candi menjadi tidak monoton. Keseragaman bentuk elemen penghias

yang menempcl pada candi dengan bentuk dasarnya mempcrkuat kesan

kesatuan/keselarasan pada candi itu sendiri�

9. Ragam Hias

Mcnurut Bosch, terdapat beberapa perbedaan yang menyangkut seni bias dan

seni area pada candi. Hal ini d isebabkan karena dalam manasara tidak terdapat

ketentuan jenis relief macam apa yang seharusnya dipahat di dinding bangunan

suci, hanya disebut bahwa kuil dapat diberi hiasan agar terlihat indah (Bosch

1 924: 26)� Di Jawa, simbolisme dari keistimewaan dekoratif lebih kaya clari

daerah manapun juga. Empat macam kategori dari dekorasi yang bisa dibedakan

pada candi :

a� Relief naratif, menceritakan peristiwa-peristiwa hidup, legenda-legenda dewa­

dewa atau tema syair kepahlawanan yang selalu memainkan peranan utama

dalam kesenian di Indonesia.

47

Page 52: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

b. Patung besar dari dew<Hlewa (bodhisa/lva), biasanya diukir di dalam rclung

atau di antara pilaster dari candi.

c. Dekorasi yang diinspirasikan secara utama dari tumbuhan yang hidup, seperti

daun-daun ornamental, lotus, pohon yang "memberikan keinginan", simbol­

simbol menguntungkan yang diwarisi d ari India.

d. Kepala Kala-makara, yang berberwujudkan binatang (siluman/monster)

bertanduk dengan mata yang melihat dengan tajam, sama seperti "topeng

kemenangan" (kirtimukha) dari ikonografi bangsa India dan diletakkan di

puncak arch (lengkungan). Setiap ujungnya diberi hiasan dengan kepala

makara (sebuah rnakhluk !aut dengan bclalai gajah). Kala dan makara sering

berfimgsi sebagai y;argoyle (hiasan patung makhluk rnenyeramkan pada gercja

Gothic -· juga berfungsi sebagai talang air) yang dibuat di sekeli l ing bangunan.

Ragam Hias candi rnenunjukkan pula adanya elemen yang mendominasi pada

setiap bagian memberikan kesan adanya "point of interest". Pada bagian kepala

ditunjukan oleh bagian ornamen yang lebih besar pada bagian tengah, kanan dan kiri.

Pada bagian badan kita bisa rnenemukannya pada elemen pintu masuk yang memiliki

detail yang lebih baik dan lebih menonjol dan konscp ini pada bagian kaki diterapkan

dengan adanya elemen tangga. Dari semua elemen yang menjadi "point of interest"

tersebut, bagian lengah memiliki di antara ketiganya. Point of interest tersebut akan

memperkual kesimetrisan yang dapat mendukung keseimbangan (adanya kesimetrisan

bagian kanan yang merupakan penceminan bagian kirinya - dan juga sebaliknya). Hal

ini mencerminkan kesan stabil dari bangunan itu sendiri.

Pengkajian desain arsitektural secara umurn tidak dapat dilepaskan dari aspek

tala ruang-massa, anatomi sosok-fasade, unsur dekoratif, material, dan l ingkungan,

tennasuk di dalam menganalisis kaitan percandian dengan bangunan lainnya.

Karakteristikl Atribut yang tercermin dalam desain percandian di atas dapat

diwujudkan ke dalam tata ruang-massa, anatomi sosok-fasade, unsur dekoratif,

material, dan l ingkungan. Berdasarkan studi tersebut akan diketahui kontinuitas dan

diskontinuitas elemen-elemnya. Latar belakang kescjarahan menjadi landasan dalam

memahami kontekstualitas penggunaan kembali representasi percandian. Melalui

pengkajian tersebut diharapkan dapat diketahui peluang pengembangannya dalam

desain arsitektur pada masa modem

48

Page 53: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

___ ___! j

Efck Pcrspektifis

Garis dan Efek Gelap Tcrang

Geometrik

Simetris - Keseimbangan

Perulangan dan Kesatuan

Pembagian Tiga

Gb 3.3. Atribut Kuat dari desain Candi Jaw a

49

Page 54: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

I '

.P. .. D . . . . r- • . " . " u: ., �:-�e-=-�---��l i L�,_---�·�-r: ·��J�rt. . I �\t['4"" 1 \ ' I · '"L�t .... .... .

. , JJ (iT<Jongsongo · I [�cco=r,····• "\\ Can •

Class

.

1 c

I E \1 Hindu b.rrly � t· � \\ .1>

. . I : 1\

fDll � I .·. rr"\ L;t.d ' [) ·· .p. r \ ..,. .. .. . . . .. ...... . . . .. ......... . I A-J, Jumbu r� Pleks

_Candi V \'j: \\ Kom r· ldU .

: Dieng • I 11

1--:

l' .. arly Classic

.,. lmh -LumhJmg

l':twon • .

. Sewu - !Ju . Candi Borohudu:_.;·_

Mid<lle ClaSSIC

Candt c M. Idle Cla._.;;sJc

Mer" 'ttt Buddu< Buddha - I(

ILl

�--· J'" •.• ._,

{ ___ J �" di Pcnatamn \r. Can . Classic Hindu - Late

. J i Cand• a . Buddha Hindu-Sivd

Late ClassJc

.·-----���::�������--������JP�l�;�t;k;��-;n.:::·�-���"i,near dan kkan Cand•, . d lam Perleta D hsme a .

K nsep ua . '

Gb 3.4. 0 · · ·

· · ·

Konsetris

Middle Classic

50

Page 55: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

BAH 4 REPRESENTASI CANDI Dl DALAM SOSOK ARSITEKTUR MODERN DI I NDONESIA

Pandangan umum menyatakan modern berasal dari bahasa Latin pada abad kc-5,

yakni modemas yang digunakan untuk mcmbedakan orang Kristen dan Rornawi dari

zarnan Pagan. Mcnurut Turner (2003), istilah ini digunakan untuk rnenunjukkan ' masa

kini' yang berbeda dengan masa lalu. Menurut Habcrmas dalarn Turner (2003) istilah

modern mernpunyai pcngertian 'kesadaran akan jaman bam yang rnembentuk dirinya

sendiri dengan cara rnemperbami hubungannya dengan rnasa lalu. Di sisi lain,

hubungan dengan rnasa lalu hanya merupakan metode untuk menunjukkan te1jadinya

suatu keharusan. Menumt Calinescu, istilah modernisme rnerupakan perwujudan

kesusastraan universal dari krisis kej iwaan yang ditemukan dalarn seni, i lmu

pengetahuan, agama, dan politik secara bertahap dalarn semua aspek kehidupan (Turner,

2003).

Dalam konteks Barat, Berman ( 1 983) membagi tahapan perkembangan

modernisme atas tiga bagian. Pertama, antara awal abad ke 1 6 sampai akhir abad 1 8,

yakni sejak manusia mengenal kehidupan modern (didorong oleh renaisancc) Kedua,

masa setelah revolusi Prancis, saa1 terjadi kekacauan di bidang sosial, politik, dan

individu. Ketiga, pada saat te1jadi globalisasi kebudayaan modern (Turner 2003).

Sedangkan dalam konteks arsitektur, modernisme dipicu oleh munculnya pemikiran­

pemikiran bam yang d idorong oleh revolusi industri di dunia Barat. Le Corbusier pada

tahun 1 920 dalam majalah L ?osprit Nouveau menyatakan " Jaman agung sudah mulai,

Di sana terdapat eli jiwa bam : j iwa bam tersebut ada1ah jiwa pcmbangunan dan jiwa

sintesis yang dituntun oleh suatu konsepsi yangjelas."

Di sisi lain Jencks ( 1 992) membagi tradisi-tradisi dalam perkembangan

arsitektur modern ( 1 920 -·· 2000an) ke dalam enam pendekatan, tradisi Idealist dan

Logical yang mengacu pada doktrin modernisme secara umum (fungsional isme­

efisiensi, dsb), tradisi Activist dan Intuitive yang mengacu pada gerakan dan pandangan­

pandangan yang fantastik-utopia-visioner (seperti konstruktivism Rusia, Avant-garde),

dan tradisi Self Conscious dan Unself Conscious yang mengacu pada pandangan yang

me-refer pada aspek kesejarahanlmasa lampau baik secara sadar (revival) rnaupun tidak

disadari-alamiah (natural). Meskipun tradisi Idea/is, Logical, Intuitive dianggap sangat

kuat mendominasi arah arsitektur modern (seperti dalam ClAM}, namun sebenarnya

51

Page 56: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

tidak semua berpandangan scperti yang telah digariskan Tradisi Idealist , Logical,

Intuitive, Activist adalah cerminan dari konsep modernisme yang menekankan pada

fungsionalismc. Pemikiran ini mendominasi desain arsitektur di tahun 20-an. Namun

harus diakui di sisi lain juga muncul tradisi S'elf Conscious dan Unself conscious yang

menekankan pada konscp romantisisme-kcscjarahan.

Pembakakan perkembangan arsitektur modern di Indonesia secara eksplisit

belum didefnisikan dengan jelas. Dalam konteks arsitektur masa modem ditandai

seiring dengan masuknya pendekatanlpemikiran-pemikiranlkonsep bam/modern yakni

sekitar awal abad 20an-masa kolonial yang berlanjut sampai saat ini (Sumalyo, 1 997).

Pemahaman modern secara luas dimulai dengan adanya inovasi-inovasi bam dalam

desain yang menunjukkan adanya perbedaan dengan masa scbelumnya.

Berdasarkan beberapa dcfinisi di atas pengertian arsitektur modem tidak terbatas

hanya menyangkut permasalahan modernisme saja narnun juga mengarah pada

postmodernisme. Dalam studi ini perkembangan arsitektur yang dijadikan patokan

dalam pemahaman tentang arsitektur modern adalah dimulai tahun 20-an (masuknya

faham-faham bam seperti modernismc) sampai saat ini (globalisasi ·Turner 2003). Pada

masa Modcrn-Kolonial pengadaptasian arsitcktur candi mengarah pada scmangat

pencarian identitas /karakter yang khas Indonesia dan program misionaris. Candi

dianggap sebagai salah satu seni arsitektur yang dapat mcrepresentasikan keunggulan

nilai-nilai yang berasal dari kelokalan, meskipun beberapa arsitck Belanda masih

memandang bahwa candi-candi di Jawa masih 'kental' dengan kebudayaan India.

Model strategi pengadaptasian yang dilakukan pada masa kolonial dapat secara

langsung maupun tidak langsung.

4. 1 Masa Kolonial

Pada masa Kolonial pcngaruh percandian nampak pada aristektur di awal abad

20-an. Di awal masa kolonial (VOC) arsitektur yang dibangun lebih mcngacu kepada

banb'tman-bangunan yang ada di Eropa (Belanda), seperti Stadhuis-Batavia (sekarang

museum Fatahilah) yang identik dengan balaikota lama di Amsterdam, kemudian

setelah runtuhnya VOC, muncul gaya Empire Style yang diperkenalkan pada jaman

Deandels di Hindia Belanda. Gaya ini juga mengacu pada gaya Neo-Klasik dan unsur­

unsur Barok di Eropa. B aru pada akhir abad 19 dan awal ke-20 mulai timbul gejala

lndisch dalam arsitektumya, yakni terjadinya percampuran atau sinktrismc/hybrida

52

Page 57: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

antara arsitektur Barat dan tradisional di Indonesia, misalnya penggunaan atap joglo

dengan kolom klasik (dorik/ionik), penggunaan teras dan teritis (tanggapan terhadap

tropis), pcnggunaan ornamcntasi yang berasal dari pcreandian, scpcrti kala makara, dsb.

Gb 4.1 Balai Kota Lama di Amsterdam dan Batavia (Museum Fatab.illah sekarang).

Politik Etis (Ethische) di Belanda sangat jelas imp li kasinya dalam bidang arsitektur

yaitu mcndorong dibuatnya fungsi-fungsi bangunan modern pada area perkotaan misalnya

seperti rumab sakit, bank dan sekolab-sekolab, dsb. Selain itu pada masa ini dimulailah

masa masuknya arsitek-arsitek Belanda ke kawasan Hindia Belanda. Arsitek-arsitek

tersebut membawa pengaruh dari aliran-aliran arsitektur yang berkembang di Belanda.

Kebangk itan kembali arsitektur Belanda sebenarnya dimulai dari Hulswit and Cuypers

( ! 827- ! 92 J ) yang beraliran Neo-Gothic, disusul UP Berlage-dkk (1 856 J 934) yang

beraliran Nieuwe Kunst, M. de Klerk-dkk ( ! 884- ! 927) dari Amsterdam School, Retvielt­

dkk dari aliran ne Stijl, Prof Granpre dari Delji School Aliran-aliran tersebut pada

umumnya di kenal sebagai bagian dari aliran Modernisme yang berkembang pesat di Eropa

<lim Amerika (Bauhaus di Jerman, Chicago School di Amerika, Organic-Art-Deco-Frank L

W di Amerika, Art Nouveau di Belgia, dsb).

A walnya pad a era ini karya arsitektur Belanda di Indonesia banyak mengacu kepada

arsitektur vernacular di Belanda yang dibawa oleh arsitek-arsitek Belanda terscsbut

Berlage banyak mengkritik karya arsitektur yang tidak tanggap terhadap konteks lokal,

yang dianggapnya seperti kandang anjing yang dipcrindab. Berlage mengusulkan

pentingnya acuan terhadap kelokaJan baik dari gaya ataupun bahan untuk dapat

dikembangkan menjadi gaya arsitektur baru di Hindia Belanda. Pada awal tahun 20-an

merupakan titik to!ak penerapan pemikiran-pemikiran baru tersebut di dalam wujud

arsitekturnya. Menurut Berlage ' bangsa Indonesia harus memilki gaya dan langgam

arsitekturnya sendiri '. Dalam bukunya 'Myn lndishce Reis ' tahun 1 93 1 , Berlage

menyatakan 'bahwa kelak kita bakal menyadari, babwa akan labir suatu gaya arsitektur

5 3

Page 58: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

lndones ia-Eropa, yang terwujud dari s intesa perpaduan system struktur bangunan Barat

dengan bentuk seni budaya Timur. Dari perpaduan teknik dan gay a arsitektur seperti itulah,

sosok bangunan bam dapat di kcmbangkan ' . Kritik yang dikcmukru1 Bcrlagc tcrscbut

rnendorong perubahan konsep dasar ru·sitcktur yang berkembang di Hindia Belanda

kernudian. Wujud aliran yang berkembang di Hindia Belanda kemudian dapat dibedakan

menJadJ dua yakm ( I ) ahran yang menggunakan adaptasi gaya lokal dan (2) aliran yang

mengadaptasi modernisme d i Barat Meskipun terbagi menjadi dua aliran tetapi tidak

menutup kemungkinan bahwa arsitck Belanda dapat menggunakannya secara bersamaan di

dalam karya-karyanya.

Gb 4.2 Kandang Anjing yang dipcrindal1? (HP Berlagc)

Pada dua dasawarsa awal periode modern arsitektur kolonial Belanda d i

Nusantara, realisasi dari konsep asimilasi desain arsitektur modern Eropa dan

tradisional belum dapat sepenuhnya dijalankan. Penggunaan estetika candi dalam

bangunan kolonial Belanda merupakan salah satu media yang dipakai oleh para arsitek

Belanda pada waktu itu, untuk memenuhi tuntutan akan pembentukan citra Arsitektur

lndo-Eropa (lndisch) Sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan akan berbagai

bangunan pub l i k, Dinas Pekerjaan Umum !Iindia Belanda (Bureau van Openbare

Werken atau B . O.W) banyak rnendirikan berbagai bangunan publik. Melalui arsitek­

arsitek yang ada pada waktu itu seperti Edward Cuypers, BJ. Ouendag dan J.F.

Klinkhamer, rnulailah dibangun Javasche Bank d i kota-kota besar d i Jawa. Unsur-unsur

gaya lokal masih belum terasa eksistensinya, dan kalaupun ada masih berupa elemen

tempelan yang agak dipaksakan. Hal ini dapat d ibuktikan pada bangunan Javasche Bank

yang ada di Bandung dan di Jakarta, dimana hiasan candi seperti kepala kala dan

makara letaknya tersamar dan tersembunyi. Namun demikian Jambat laun penggunaan

unsur-unsur arsitektur candi dalarn arsitektur kolonial rnulai muncul ke permukaan d i

akhir tahun 20-an ini.

54

Page 59: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Early Classic Middle Classic Late Classic

Gb 4.3.Penggunaan Ornamentasi Kala Makara

Penggunaan unsur percandian tidak hanya berupa memmJam aspek

ornamentasinya (eklektik) melainkan di!,,>unakan pula secara konseptual yang lebih

mendalam. Bentuk yang menggunakan adaptasi Jokal diistilahkan sebagai bentuk

hibrida Jokal. Dalam memahami desain candi, arsitek Belanda bemsaha menggali

aspek-aspek estetikanya kcmudian bemsaha mcntransfernya kc dalam bangunan

modem Aspek yang digali dari arsitektur candi bempa studi ten tang sosok -bentuk

dan ruang (komposisi geometrik tektonika pcngolahan massa siluct · kcpala-badan-

kaki), studi tentang elemen pengolahan fasadenya seperti order pada elemen garis

(moulding)-bidang (jendcla dan kolom semu)-volum (kemasifan), studi tcntang elemen

dan dekorasinya ( ornamen, relief, patung), studi ten tang perletakannya ( orientasi­

komposisi tata mang-massa), dan studi tentang bahan-teknologi (batu, terakota).

Karsten mengkritik para arsitek Belanda yang sekedar "menempel" elemen

tradisional pada bangunan yang dirancangnya. Menurutnya, penempatan ornamen

kepala kala di atas pintu masuk hanyalah sekedar karikatur. Karsten juga memberikan

pernyataan mengenai arsitektur Hindu-Jawa. !a menyatakan bahwa arsitektur Hindu-

55

Page 60: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Jawa perlu dipertimbangkan kctika mcmilih clemen lokal. Arsitcktur Hindu-Jawa 1111

tidak "hidup" lagi di dalam masyarakat Jawa. Teknik pembuatan bangunan dari batu

sudah tidak dipergunakan lagi. Bcntuk-bcntuk sepcrti candi, ornamennya serta konsepsi

rancangannya sudah tidak lagi dipcrgunakan dalam rnasyarakat Jawa. Bangunan­

bangunan sedernikan tidak rnengernbangkan interior, melainkan lebih rnementingkan

pengolahan kulit bangunan (eksterior). Oleh karcnanya dapat dimungkinkan untuk

rnenghubungkan arsitektur Hindu-Jawa dengan bangunan modern namun perlu

diperhatikan jangan sampai hal ini hanya sekedar tempelan atau sekedar penyamaran

saja. Pont memiliki gagasan yang serupa dengan Karsten mengenai bagaimana

seharusnya Arsitektur lndo-Eropa itu. Ia juga mengkritik sistem politik pernerintah

kolonial yang walaupun telah menggunakan Politik Etis tetapi terlalu menekan

masyarakat tradisional beserta budayanya sehingga sulit untuk berkembang. Oleh

karenanya arsitektur Indo-Eropa sulit untuk menemukan jati dirinya karena menjadi

lemah akibat tekanan sistem politik kolonial yang belum banyak terbuka untuk

menerirna kebudayaan lokal

Maclaine Pont merupakan saJah satu arsitek Belanda yang berupaya menggunakan

pendekatan lokaJ dalam desain modemnya Misalnya karya Maclaine Pont untuk bangunan

Tcchnische I-Ioogeschool ( 19 19- 1 920)-aula Barat-Timur ITB. Atap bangunan tersebut

sekilas mirip dengan atap bangunan Batak (mandailing), tetapi disisi lain juga diidentikan

dcngan atap Sunda (sunda besar), bahkan ada yang berpendapat terdapat unsur-unsur atap

Minangkabau-Padang. Dalam relief percandian juga ditemukan gambaran bentuk atap yang

sejenis. Pont juga menggunakan beberapa unsur candi, seperti tampak pada pcngolahan

tangga. Terlepas dari silang pendapat yang terjadi di dalam menganalisis bangunan tersebut

namun pada dasarnya bangunan tersebut merupakan hasil dari adaptasi konteks lokal yang

berasal dari arsitektur tradisional lndonesia atau mengacu pada modifikasi bentuk arsitektur

Austronesia Purba. Pont juga seorang peneliti purbakala, sehingga wawasan yang diperoleh

dari penelitian arsitektur purbakaJa menjadi referensi daJam desainnya. Di samping adanya

kelokalan unsur kemodernannya ditunjukkan pada teknologi struktur yang inovatif pada

jamannya. Semangat modern tetap ditampilkan tetapi unsur kelokalan juga tidak

ditinggaJkan (terjadi sinkritisme di dalarnnya) khususnya yang berasal dari wawasan

arsitektur purbakala di Jawa.

Pont merupakan orang pertama yang merekonstruksi dan menyelidiki situs

peninggalan Majapahit di Trowulan. Oleh karena itu banyak inspirasi yang didapatkan dari

peninggalan Majapahit tersebut khususnya penggunaan bahan terakota dan omamentasi

56

Page 61: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

candi . Hal ini nampak pada karyanya yakni gercj a Puh Sarang di Kediri, dimana altar­

tabenakelnya menggunakan bahan terakota yang dihiasi ragam hi as yang berasal dari unsur

percandiau Ma]apahit Tatanan ruang luar kompleks ini juga mengindikasikan adanya

pengguna;m pol a gcornetrik yang berasal dari bentuk mandala candi, seperti candi .Jago atau

Penataram. Area ini sekarang difungsikan sebagai rnakam pastur. Seperti halnya Aula

Barat-Tirnur ITB unsur kelokalan - candi juga disandingkan dengan unsur yakni teknologi

strukturnya yang inovatif (kabel di tahun 20-an). Bangunan pada kompleks mi juga

menggunakan jenis atap yang tergarnbar di dalam relief percandian di Jawa

Gb 4.4. Aula ITB - Tangga dan Tangga Candi

Gb 4.5 Denab Candi dan Puh Sarang

Page 62: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

G b 4.6. Cereja l'uh Sarang ( interior dan gerbang masuk)

'i 8

Page 63: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Gb 4.7.Candi dan Elcmcn Arsitcktur Gereja

59

Page 64: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Selain Pont adaptasi unsur-unsur yang berasal dari arsitcktur candi juga

d itunj ukkan oleh Gerber dalam desain Gedung Sate. 13angunan ini dapat dikategorikan

kc dalam hibrida lokal, yakni mengandung unsur lokal dan pengaruh dari luar. Di sana

tercermin gaya-gaya arsitektur yang berasal dari luar seperti India, Moor, dsb. Namun di

dalamnya juga tercermin adanya unsur-unsur lokal, khususnya berasal dari arsitcktur

percandian. Gedung Sate direncanakan sebagai pusat pemerintahan Gubernur Jendral

Hindia Belanda, sehingga sebenarnya unsur ke-Belanda-annya juga tampak, tipologi

sosoknya mengingatkan pada bangunan Stadhuis (Museum Fatahillah) yang mempunyai

cupola di tengahnya (seperti balaikota lama eli Amsterdam). Namun karena bertempat di

I ndonesia maka unsur lokalnya harus ditonjolkan, sehingga cupolanya diganti dengan

bentuk meru seperti atap candi-candi di Jawa. Sosok gedung sate kemudian dapat

dikaitkan dengan sosok siluet candi Borobudur. Menurut majalah Oesterreichs Bau Und

Werkunst, Wien tahun 1 924, dinyatakan bahwa Gedung Sate banyak diilhami oleh

keanggungan candi Borobudur. J>ada masa itu candi-candi mulai direkonstruksi dan

dipugar, sehingga tidak heran jika kemudian dijadikan referensi dalam desainnya.

Namun karena candi-candi di Jawa masih dalam taraf pemugaran maka dimungkinkan

bahwa gerber kemudian menyadur bentuk-bentuk dari India yang d ianggap sebagai akar

aritektur candi.

-

•.. :-:,-�;?f/.

Gb 4.8 Gedung Balai Kota Lama .Jakarta dan Gedung Sate

Unsur arsitektur percandian dalam desain Gedung Sate dapat dilihat pada

elemen yang berupa moulding di bagian kaki dari gedung ini. 'J>ermainan' pelipit pada

bagian kaki bangunan sangat identik dengan pelipit yang terdapat pada kaki cancli

(seperti Candi Borobudur). Pelipit ini juga dapat dijumpai pada skala dan ukuran yang

lebih kecil seperti pada leher pilaster yang membentuk !rave. Selain itu pada bagian

pintu masuk, terdapat penebalan dinding untuk mempertegas entrance, yang juga

menggunakan perrnainan pilaster. Sedangkan untuk moulding vertikal, dapat terlihat

pada penggunaan elemen kolom semu. Kolom semu ini mengingatkan pada fasade yang

ditampilkan pada percandian klasik tua dan tengah di Jawa. Kolom semu pada Gedung

60

Page 65: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Sate dapat dibcdakan rncnjadi dua macam. Tipe pertama adalah kolom semu yang

bersifat dua dimensi yang ditonjolkan pada setiap pilmter gcdung. Sedangkan kolom

semu tipe kcdua adalah kolom senm yang bcrupa tonjolan perscgi cnam dcngan ukuran

yang cukup besar pada pengakhiran kiri dan kanan bangunan. Selain pengolahan

moulding, unsur candi juga nampak pada pengolahan pintu masuk Gedung Sate, hiasan

pada pintu masuk ( candi klasik muda-Majapahit), dan penggunaan meru untuk

mahkotanya. Awalnya gaya ornamentasi gedung ini dikaitkan dengan gaya arsitektur

Thailand, namun hal ini kurang berdasar, meskipun konon tukang-tukang yang

membangunnya scbagian d idatangkan dari Siam. Arsitektur Gcdung Sate adalah salah

satu yang dipuji olch Berlage sebagai gaya arsitcktur baru yang kontckstual di !·!india

Belanda.

Gb 4.9 Profil Moulding pada kolom, Entance, dan kaki

6 1

Page 66: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

• • • • • •

Gb 4.1 0. Hibrida ( Lokal- meru-borobudur-klasik mud a, Moor, India)

Contoh bangunan lain adalah Gedung HVA Surabaya (Sekarang P.T.

Perkebunan). Mahkota atap dihisasi motif yang rnenggarnbarkan candi klasik rnuda,

selain itu penggunaan moulding horizontal yang berkarakter candi, terdapat pada pelipit

bagian kaki bangunan yang sebenarnya rnerupakan fondasi bangunan. Pelipit pada kaki

ini sebenarnya cukup identik dengan karak1er pelipit yang ada pada kaki Gedung Sate.

Penggunaan pelipit juga didapati pada bagian kolom pengakhiran pada sisi kiri dan

kanan. Tampak pada kapital dan dasar kolom dihiasi dengan pelipit. Selain itu elernen

pelipit juga terdapat pada bagian porch yang berbentuk kubus, tepatnya pada bagian

kepala dari porch

62

Page 67: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Gb 4.1 I . gedung HVA dan candi

63

Page 68: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Terobosan lain yang dilakukan dalam adaptasi desain candi dalam bangunan

modern pada jaman kolonial adalab yang dilakukan CPW. Schoemaker. Schoemaker

merupakan arsitek yang beral iran Art-Deco dan produktif menghasilkan karya-karyanya

di Bandung. Karya-karya Schoemaker sedikit banyak juga terimbas karya-karya Frank

LW (Schoemaker pernah bertemu Frank LW). Hal ini dapat dilihat dari keidentikan

karyanya, seperti tcrlihat dalam pengolahan fasade muka bangunan. Seperti halnya

Frank LW, seni arsitektur yang dikembangkan oleh Schoemaker salah satunya adalah

penggalian arsitektur purbakala, seperti candi. secara umum prinsip arsitektural candi

didasarkan kepada prinsip religiusitas dan prinsip keseimbangan dengan alam Oleh

karenanya tidak mudah untuk mengadaptasikan desain arsitektur candi kepada

bangunan modern. Ia berpendapat bahwa arsitektur dan budaya tradisional dari

Indonesia harus dipelajari dan dikembangkan oleh para arsitek agar perkembangan

Arsitektur Indo-Eropa dapat terwujud dan d ipercepat. Oleh karenanya para arsitek harus

mempelajari arsitektur Hindu-Jawa atau arsitektur candi, karena hal ini merupakan

peninggalan budaya dan peradaban yang ada di Indonesia. Schoemaker bemsaha

mencari terobosan-terobosan lain dalam mengadaptasi arsitektur candi, tidak sekedar

menim omamentasinya tetapi dapat di-dekonstruksi-kan sehingga menjadi wujud

arsitektur yang khas.

Dalam desain candi salah satu unsur estetika yang ditampilkan adalah

penggunaan elemen garis-garis fasadenya baik vertikal maupun horisontal. Pada masa

klasik muda/Majapahit fasadenya lebih banyak menggunakan dominasi unsur garis­

garis horisontal baik pada moulding, ragam hias, dsb. Garis-garis ini jika terkena sinar

matahari (tropis) memunculkan efek gelap terang, jigure and ground, sehingga terkesan

menjadi 3 dimensi. Schoemaker pernah melakukan studi make! suatu candi untuk

melihat efek bayangan cahaya pada pelipit-pelipit pada candi. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa penggunaan unsur garis pelipit horisontal pada bangunan modern

mempakan hasil transformasi yang dilakukan Schoemaker sehingga menghasilkan

paradigma baru dalam sintagmatik bangunannya.

64

Page 69: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Gb 4.12. Studi Maket Candi dan Candi

Karya Schoemaker yang meng!,'llnakan pendekatan di atas adalah perancangan

Villa Isola. Villa Isola merupakan bangunan dengan desain yang terlihat 'baru' atau

'modern', namun mengandung unsur-unsur candi di dalamnya (basil pen-dekonstruksi­

an estetika garis dari percandian). Schocmaker pada beberapa karyanya juga

berusaba'belajar' dari arsitektur candi di Indonesia Ia mengadakan uj i maket candi untuk

melihat efek bayangan, efek gelap terang, dan beberapa komponen garis dan bidang pada

dinding candi. Bangunan Villa Isola didominasi oleh unsur-unsur garis horizontal bempa

pelipit bangunan. Garis-garis moulding ini diwujudkan dengan permainan maju-mundur

dari kulit bangunan. !'ada bangunan ini Schocmaker menerapkan prinsip penggunaan

moulding yang sebelumnya tidak pernah digunakan oleh para perancang dari bangunan

Belanda lainnya.

Gb 4. 1 3 Villa Isola

65

Page 70: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Moulding pada Villa Isola bempa teritisan dan lantai kantilever yang

difungsikan sebagai balk on. Bcntuk dari moulding ito sendiri berupa garis lcngkung dan

garis datar Garis l engkung diletakkan sebagai foreground scdangkan garis datar

difl.mgsikan scbagai background Garis l engkung sifatnya lcbib mcndorninasi

dibandingkan dengan garis datar Moulding vertikal pada bangunan ini tidak dijurnpai

karena tidak ada clernen seperti kolorn sernu yang biasa terdapat pada candi . Kalaupun

ada elemen vertikal yang · narnpak adalab semacam menara kern bar pad a tampak

mukanya. Sosok dari Villa Isola terkomposisi oleb bentukan-bentukan geometrik

apabila kita l ibat dari tampak muka. Bagian tengah merupakan bentuk persegi empat

yang diapit oleb dua menara yang juga berbentuk persegi panjang. Pengakhiran dari

sa yap kiri dan kanan bangunan juga merupakan bentukan perscgi empat yang berundak

makin rendab ke arah kiri dan kanan. Kemudian benmdak makin mengecil ke arab kiri

dan kanan. Prinsip pengomposisian sosok dengan bentuk di tengah yang lebih tinggi

atau dengan kata lain berkarakter segitiga simetris merupakan prinsip komposisi yang

serupa dengan candi.

Gb 4.14.Pengolahan Garis

Bentuk lain yang memiliki unsur geometrik adalah bingkai-bingkai jendela yang

terbentuk dari moulding horizontaL Moulding Villa Isola selalu berada dalam komposisi

geometrik, seperti candi . Komposisi geometrik merupakan bagian dari prinsip estetika

candi, terlibat pada tampak bangunan babwa bentuk geometrik yang ada seperti pada

jendela, selalu berada pada bingkai (frame) yang tcrbungkus oleh moulding Elemen

moulding selalu membentukfiwne baik pada segmen badan maupun kaki candi. Setiap

segrnen candi selalu dilengkapi moulding atas dan bawah yang mernberikan titik

peraliban pada segmen berikutnya.

Dalam perletakannya, Schoemaker menggunakan sumbu imaj iner utara-selatan

dengan arab utara menghadap Gunung Tangkuban Perahu dan arab selatan rnenghac! ap

K ota Bandung. Pcnggunaan suntbu utara-seiatan dcngan berorientasi pada sesuatu yang

66

Page 71: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

sakral (gunung atau ]aut) merupakan orientasi kosrnis masyarakat di Pulau J awa Hal

yang sarna diterapkan dalam pengolahan tapak Teclmi sche Hoogheschool te Bandoeng

(lnstitut Tcknologi Bandung/JTB) yang berorientasi pada Gunung Tangk uban Pcrahu

dan Kota Yogyakarta pada Gunung Merapi . Orientasi sumbu-sumbu ini j ika dit injau

lebih jauh juga diternukan pad a tat a letak percandian di Jawa.

Gb 4.15. Perletakan Isola dan ITB

Unsur-unsur garis-garis pada candi sebenarnya mempakan bagian dari

pcngolahan geometris. Geometrik adalah unsur yang paling kuat dalam seni arsitektur

percandian. Pcngadaptasian candi tidak dapat di lcpaskan dari studi tentang gcomctrik

candi, seperti di dalam wujud denah dan tampaknya. Karakter geometrik i n i dapat

berwujud ornamentasinya maupun gubahan massa dan ruangnya. Karakter guba han

massa geometrik yang bcrasal dari percanclian menunjukkan rcprcscntasi yang kbas.

Art-Deco yang d i kembangkan olch arsitek belanda sangat sclaras dengan unsur-unsur

desain pcrcandian tersebut, sehingga dapat memperkaya pcrwujudan art-dcco yang rnc­

lokal (mengacu pada unsur Indonesia). Art-dcco scndiri adalah gaya arsitektur yang

mengkomoclasi unsur-unsur geometrik baik berupa ornamental maupun gubaban massa.

apalagi diramu dengan De-Stijl yang kubisme (modern) ataupun .Jugentslj! yang plastis­

dinamis di Hindia Belanda. Schoemaker adalah salah satu arsitek yang menganut art­

deco tcrsebut, sehingga tidak heran jika pengaruh Frank LW muncul dalam clesainnya.

Jika Frank LW mengadopsi arsitektur Amerika purba maka Schoemaker meramunya

dengan unsur lokal Indonesia, yakni percandian.

67

Page 72: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Gb 4.16. Karya Fl Wright (kiri) dan Schoemaker(kanan) Pont dan Schoemaker mempunyai kesamaan visi dalam mengadaptasi desain

percandian. Namun di sisi lain adapula yang benar-benar memindahkan gaya arsitektur

candi untuk fungsi yang lain, seperti bangunan gerej a Ganjuran. Kompleks gereja

Ganjuran mulai dibangun pada tahun 1 924 atas prakarsa dua bersaudara keturunan

Belanda, Joseph Smutzer dan Julius Smutzer. Pembangunan gereja yang dirancang oleh

arsitek Belanda J Yh van Oyen ini adalah salah satu bentuk semangat sosial gereja

(Rerum Navarum) yang dimiliki Smutzer bcrsaudara. Nuansa percandian terlihat pada

elemen sakralnya berupa altar, sancristi (tempat menyimpan peralatan misa), doopvont

(wadah air untuk baptis) dan chatevummenen (tempat katekis). Patung Yesus dan

Bunda Maria yang tengah menggendong putranya juga d igambarkan tengah memakai

pakaian patung-patung pada percandian Demikian pula relief-relief pada tiap

pemberhentian jalan salib, Yesus digambarkan memiliki rambut mirip seorang pendeta

Hindu. Selain gereja ganjuran arsitektur candi secara 'eksplisit' juga digunakan pad a

bangunan pavillion Hindia Belanda di World Fair, San Fransisco tahun 1 939. Bentuk

atap gaya candi Panataran ( candi-candi klasik muda) digunakan sebagai atap bangunan

dalam pavilion tersebut. Belanda membangun pavilion ini digunakan sebagai promosi

dalam pembangunan daerah jajahannya. Gaya arsitektur candi klasik muda dianggap

sebagai representasi dari karakter arsitektur Indonesia pada saat itu.

68

Page 73: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

G b 4. 1 7 Gcrcja Ganjuran, Patung Bunda .">1aria- Ycsus

69

Page 74: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Arsitck Bclanda dalam mengadaptasi arsitcktur candi, melakukan pendekatan

secara ornamcntal-eklektik dan non eklektik (mencari model adaptasi yang lebih

abstrak), atau mengkombinasikan antar keduanya. Proses ini menunjukkan bahwa candi

mempunyai peranan yang kuat dalam membentuk karakter yang bersumber pada unsur

lokal. Candi dapat d ianggap sebagai reference yang berakar pada 'local historical

prototypes '.

·----- ·

·-- -· ·- · · - -

4.18. Atap Klasik Muda pada bangunan Pavilion di Worldfair 1939 dan rumab tinggal di Malang

70

Page 75: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Kebanyakan contob yang dihadirkan adalah karya-karya arsitck Bclanda.

Sebenarnya di masa ini juga muncul beberapa arsitek Indonesia yang juga bekarya

dengan mcnggunakan candi sebagai referensinya. Karya yang menunjukan adanya

konsep candi adalah gedung museum pers d i Surakarta yang berasal dari gedung

Societeit Sasono Suko. Hal ini berkaitan dengan perencanaan kota Solo. Konsep kota

Surakarta sebagai "Solo Berseri" sebenarnya telah muncul sejak masa pernerintahan

Mangkunegara VlL Hal in· ditandai dengan pembangunan sarana urnum antara lain:

Taman Tirtonadi, Minapadi, Partimah Park, Societeit Sasono Suko (SSS). Societeit

Sasono Suko (SSS) rnulai dibangun pada tahun 1 9 1 8 oleh seorang arsitck pribumi yang

bernama Atmodirono. Masyarakat awam menamakan gedung ini dengan "Kamar Bola"

karena bangunan klasik yang bagian depannya dilengkapi dengan ornamen candi i n i

setiap malam selalu dipakai oleh orang-orang Belanda untuk bermain bola sodok atau

billiard

Aboekasan Atmodirono ( 1 860-1 920). merupakan arsitek lulusan pertama

Indonesia. Ia lulus Sekolah Tekni k Menengah Jurusan Ban�o>unan (Middelbare

Technische School) yang berhasil mencapai jenjang opzichter. Setelah naik pangkat, ia

dikenal sebagai de eerste inlandse architect (arsitek pribumi pertama) dan bekerja di

Departement van Burgerlijke Openbare Werken (Departemen }>ekerjaan Umum). Ia

hadir di Kongres I Boedi Oetomo dan masuk dalam daftar caJon ketua. Ketika

pemerintah Hindi a Belanda membentuk Dewan Rakyat (volksraad) di tahun I 9 I 8, ia

ditunjuk duduk di parlemen sebagai tokoh Boedi Oetomo yang juga mewaki l i

Perhimpunan Pamong Praja P r ibumi "Mangoenhardjon

Para wartawan seperti Soedarjo Tjokrosisworo, BM. Diah dan rekan-relannya

mempunyai gagasan baru untuk mendirikan sebuah wadah yang lebih merangkul semua

wartawan d i Indonesia. Mereka lalu mengadakan Konggres di Solo, tepatnya di gedung

Sositet Sasono Suko, Mangkunegaran. Gedung Sositet Sasono Suko kemudian

difungsikan sebagai Monumen Pers NasionaL Monumen Pers nasional terdiri dari tiga

unit gedung dengan tambahan lantai atas pada bangunan induk. Sebagai monumen yang

sekaligus berfungsi sebagai museum, gedung ini banyak menyimpan dan mengoleksi

benda-benda bersejarah peninggalan wartawan pejuang tempo dulu.

7 1

Page 76: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

G b 4. 1 8. Candi dan Gedung Museum Pers Surakarta-Atmodirnno

Page 77: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

2. Masa l'ost Kolonial di .Jawa Pada masa ini pengadaptasian representasi arsitektur percandian mengarah kepada

pengembangan semangat nasional isme (kebanggaan), wacana pencarian jatidiri yang

kontekstual dengan Indonesia, dan penghargaan terhadap peninggalan warisan masa lalu

(semangat pelestarian) Di samping ketiga hal tersebut tujuan lainnya yang sedang

menggejala adalah kepentingan kepariwi sataan (ekonomi-devisa)

Post Kolonial ditandai dengan masa berakhirnya masa penjajahan Belanda d i

Indonesia. Masa pembangunan d i Indonesia d i era kemcrdckaan dapat dikatakan

dimulai setelah selesainya agresi mil iter Bclanda dan pergolakan-pergolakan d i

I ndonesia. Kemerdckaan Indonesia seeara d e jure, scbenarnya baru diakui setelah KMB

di Belanda tahun 1 949. Presiden Sukarno mengembangkan semangal nasionalisme

sebagai titik berangkat dalam membangun Indonesia. Nation Building adalah salah satu

program yang d icanangkan untuk membangkitkan semangat nasional isme di Indonesia.

Bangunan-bangunan yang mendukung Nation Building antara lain Monas, Bank

Indonesia, Masj id Istiqlal, dsb. Arsitektur yang berkembang pada masa ini ditujukan untuk

merepresentasikan kebesaran Indonesia dalam kancah dunia l nternasionaL Hal ini dapat

dil ihat melalui pembangunan : C..elora Bung Karno yang mempakan stadion terbesar di Asia

saat itu, Masji d Istiqlal (karya Silaban) yang merepresentasi sebagai negara dengan

penduduk Muslim terbesar di dunia, dsb (Kusno, 2000). Penghargaan terhadap candi juga

ditunjukkan dengan pemugaran candi induk Prambanan oleh Van Ramondt dan

diresrnikan oleh Presiden Sukamo.

Semangat kecintaan terhadap tanah air perlu didorong ke depan mengingat us1a

kemerdekaan yang relatif masih muda. Di dunia Barat, arsitektur Gothic dianggap

sebagai simbolisasi dari akar kemodernan yang mengandung nilai rasionalitas dan

inovatif (seperti ungkapan Viollet le due-guru Frank LW di Ecole des Beaux Arts).

Arsitektur gothic juga menjadi sumber ide pencakar langit bagi Sullivan (Chicago

School). Sebenarnya Prambanan juga dapat dianalogikan demikian. Prambanan dapat

dianggap sebagai sirnbol keunggulan bangsa Indonesia di masa lalu, khususnya dalam

tradisi berarsitektur. Prambanan termasuk bangunan high rise pertama di Asia Tenggara

(abad ke 9 M) yang tentunya d ibangun dengan teknologi yang inovatif pada jamannya

Karya yang mengadaptasi dari bentuk yang berasal percandian dapat dili hat pada

bangunan Monumen Nasional (Monas). Monas merupakan basil dari sayembara yang

diprakarsai oleh Presiden Sukarno. Sebenarnya karya-karya nominasinya menunjukkan

7 3

Page 78: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

adanya variasi namun kurang ditunjang olch nilai--nilai yang bcsumbcr pada lokaL

M i salnya Silaban mengajukan karya rancangan Monas yang berbentuk kubisme seperti

bangunan modern di Barat. Pada akhirnya Monas yang dibangun adalah yang

menccrminkan nilai-nilai kelokalan, yakni kmya dari Sudarsono. M onas mengambil

ni lai yang berasal dari bentuk-bentuk yang berasal dari percandian, yakni l i ngga dan

yom. Lingga dan yoni adalah unsur yang paling sakral dalam bangunan candi Hindu

yang terletak di dalam ruang inti candi. Lingga merupakan simbolisasi dari Siwa

(Dewa) dan yoni merupakan simbolisasi Parwati (pasangan I cakti Sywa). Persatuan

l i ngga dan yoni mcrupakan simbolisasi dari penciptaan makhluk hidup (sangkan

paraning dumadi) sebagai rnanifestasi dari kesuburan. Monas ( kaJYa Sudarsono) didesain

scbagai representasi Lingga-Y oni. Dalam bahasa postmodem dapat dinyatakan bahwa

bentuk lingga dan yoni (sculptural form) di pinjam (borrowing) untuk dijadikan

(metafor) ban�o,>unan.

Gb 4. 1 9 Monas - Lingga dan Yoni

Jadi Monas tidak lain merupakan simbolisasi dari nilai-nilai kesuburan­

kemakmuran bangsa Indonesia yang tidak akan pernah padam (berkobar-api monas

yang selalu menyala dan terbuat bahan yang utama-cmas). Nilai-nilai dasar dari

arsitektur sakral Hindu-Budha yakni kesuburan ditransformasikan ke dalam bentuk

Monas. Candi merupakan sirnbol dari kesuburan, hal ini dapat ditinjau dari proses

74

Page 79: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

pcmbuatanny<L Filosofi yang mcndasarinya adalah bahwa tanah tcmpat candi dibangun

mcrupakan penampung bcnih dari segala apa yang tumbuh, maka bcnih kuil (garbha) pun diserahkan kepadanya agar bangunan sucinya nanti mcnyerap dan mcngcmbangkan

sari-sari yang terpendam dalam tanah yang telah disucikan itu. Bila tanahnya sudah

tidak subur maka kui l di atasnya dapat dikatakan kurang Jayak di!,'lmakan

Dalam bahasa postmodern dapat dinyatakan bahwa bentuk lingga dan yom

(sculptural form) d i pinjam (borrowing) untuk dijadikan (metafor) bangunan. Lingga

dan yoni bukan bangunan melainkan elemen dari bangunan candi yang kemudian

ditransformasikan ke dalam wujud ban!,'Unan Monas. Pengambilan bentuk ini

didasarkan pada surnber referensi yang berasal dari unsur lokal, mcskipun l ingga yoni

juga ditemukan eli India, Kamboja. Namun demikian l ingga dan yoni telah dianggap

sebagai perwakilan dari bentuk yang mengakar pada nilai-nilai Indoncsiawi, karena

berasal dari bangunan candi-candi dan menjadi unsur utama disana. Lebih jauh dari

l ingga dan yoni, sebenamya tradisi nusantara pra-Hindu juga telah mcngenal tradisi

pemujaan terhadap tugu-tugu batu yang dikenal sebagai menhir yang identik dengan

l ingga. Pemujaan terhadap tiang/tU!,'ll dapat dikatakan merupakan nilai-nilai yang lebih

bersifat universal karena juga ditemukan d i peradaban Mesir purba (Obelisk), India

Purba, dan Indian Purba. Tugu dianggap sebagai aksis mundi penghubung dunia

manusia dengan dunia dewa. Axis mundi ditempatkan di tengah sistem mandala. Secara

wujud denah pada kuil Hindu axis mundi in i di letakkan pada ruang utama kuil yang

dinamakan garbhagriha atau 'rahim' yang dianggap sebagai ruang paling suci. Di

dalam ruang in i terdapat lambang perwujudan dari 'atman' atau asal mula kchidupan

yaitu pcrsatuan l ingga-yoni. Sesuai dengan posisinya yang sakral maka Monas

diletakkan di tengah lapangan merdeka sebagai 'yoni' nya Indonesia.

Penggunaan unsur candi juga ditunjukkan oleh Si laban dalam karyanya berupa

gerbang taman makam Pahlawan kalibata. TMP Kalibata adalah termasuk karya-karya

awal F. Silaban. Bentuk dasar denah yang digunakan pada gerbang TMP Kalibata

adalah bujursangkar yang digabung dengan persegipanjang. Pcngolahan tasade

bangunan didominasi dengan ornamen-omamen yang mengacu pada candi. Hal in i

terlihat jelas pada pembagian bentuk fasade yang terbagi kepala, badan dan kaki

Adaptasi bentuk candi pada omamen-ornamen yang sifatnya tidak struktural menghiasi

sudut-sudut bangunan. Bentuk gerbang ini mengambi l modifikasi dari bentuk-bentuk

candi-candi di Jawa bempa peng!,'llnaan moulding candi, gubahan gcometrik dan

volumetrik pada pengolahan sosoknya.

75

Page 80: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

G b 4.20. Gerbang TMP Kalibata

Pengolahan gerbang yang identik dengan candi ini kemudian juga digunakan

pada komponen lainnya (bangunan kantornya). Pada sudut-sudut bangunan ini

menggunakan perulangan dari gerbang sementara atapnya bcrbcntuk pcrisai . Bentuk

bangunan ini identik dengan candi-candi pada masa klasik muda atau seperti bangunan

gedong dalam pura di bali. Atap perisai menggunakakan teritis yang Iebar (tropis)

sehingga ekspresinya menunjukkan adanya kesan ringan, rnengingatkan pada

pengolahan yang di lakukan Frank L Wright, dcngan teritis-teritisnya. Bangunan candi

tidak selalu bcratap batu. Candi dimungkinkan menggunakan kombinasi dengan atap

kayu yang berbentuk perisai. Pada masa kini candi dengan atap kayu sulit ditemukan,

karen a telah musnah. Namun bcrdasarkan gambaran relief pada percandian seperti candi

Tegowangi di Pare menunjukkan adanya gambaran bangunan candi yang beratap non

batu. Bukti nyatanya ditemukan pada kompleks candi Penataran terdapat salah satu

candinya beratap non batu, karena sisa atap batu tidak ditemukan disekitarnya. Dengan

dernikian dapat diketahui bahwa atap candi tidak selalu berbahan batu (dapat bersusun

ataupun tidak bersusun). Jadi penggunaan atap perisai dalam percandian adalah hal yang

biasa, khususnya candi-candi di era klasik muda atau Majapahit. Penggunaan atap non

batu sebagai elemen dalam desain percandian dapat dil ihat di masa kini pada bangunan

gedong di pura-pura (pengaruh candi Jawa di Bali). Demikian pula penggunaannya pada

TMP Kalibata. Melalui arsitektur Bali bentuk ini dapat dijembatani .

76

Page 81: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Gb 4.2 1 . Bangunan di Bali dan TMP Kalibata

Pada desain gerbang TMP Kalibata ini jelas representasi yang bcrasal arsitektur

cancl i dapat dimunculkan disana mclalui karakateristik desain candi pada umumnya.

Perlu diakui bahwa Silaban tidak langsung mcniru scpcrti candi aslinya, tetapi lcbih

sederhana dari asalnya. Menuut Si laban keindahan hadir dari kcscderhanaan. Hal ini

menunjukkan bahwa meskipun yang diadopsi adalah arsitektur candi namun hasil

akhirnya candi yang 'modern' yakni yang sederhana. Secara alamiah keindahan muncul

dari tekstur bahan yang digunakan. Ornamentasi digunakan seperlunya untuk

memberikan karaktcr yang berasal dari percandian.

Gb 4.22. Beberapa Detail Gerbang TMP Kalibata - Candi

77

Page 82: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Penggunaan konsep eandi mcmang sesum untuk fimgsi TMP sebagai

makam!bcrkaitan dengan kematian. Bangunan candi adalah bangunan sakral yang

dikaitkan dcngan bangunan untuk pemuliaan raja yang telah wafat. Para ahli

menyangsikan bahwa candi adalah makam, karena dalam tradisi Hindu abu jenasah

tidak pernah disimpan melainkan dibuang ke !aut atau pertirtaan. Jika dikaitkan dengan

kematian, maka candi mempakan bangunan yang d ipergunakan sebagai penanda dari

raja yang telah wafat tersebut. Namun secara fungsional eandi tidak berbeda dengan

kuil atau pura-pura di Bali dimana digunakan sebagai tempat beribadat. Penggunaan

unsur candi dalam desain TMP Kalibata juga merupakan penghargaan terhadap

arsitektur yang berakar dari sum her lokal di Indonesia.

Pada masa pemerintahan Suharto, semangat penghormatan terhadap budaya/

tradisi semakin diperkuat dalam program-program yang dicanangkan dalam

pembangunan nasional, contohnya adalah program pemban�o,>unan TMII. Semangat

regionalisme ini diperkuat dengan adanya penghargaan terhadap nilai Iokal, baik fisik

maupun spiritual. Penggalian terhadap arsitektur lokal-tradisional sampai wacana

tentang penemuan jatidiri arsitektur Indonesia mulai marak muncul ke permukaan.

Kondisi in i sesuai pula dengan semangat postmodernisme yang sedang berkembang

pesat. Kepentingan kepariwistaan (ekonomi - devisa) juga ikut mendorong munculnya

semangat regionalitas dan kelokalan tersebut. Banyak candi-candi yang dipugar,

termasuk penyelesaian pemugaran candi Borobudur dan pengembangan daerah

kepariwisataan yang berbasis pada wisata sejarah dan budaya termasuk candi di

dalamnya. Pemerintah mencanangkan program Visit Indonesian Year, dengan objek

percandian menjadi salah satu andalannya.

Pada mas a Or de Baru (Suharto) pasca Or de Lama (Sukamo) ini, arsitektur yang

berkembang di Indonesia rnenjadi sernakin bervariasi. Namun dernikian desain yang

merujuk pada modernisme juga masih bertahan, di samping posmodemisme. Sujudi

termasuk rnengembangkan ide-ide modem tetapi kontekstual dengan lokal (tropis).

Semangat pencarian identitas atau jati diri menjadi isu penting pada masa ini. Masj id Amal

Bhakti Muslim Pancasila dengan atap tumpangnya, dsb. Penghargaan terhadap warisan

budaya rnasa lalu juga ditunjukkan dengan pemugaran candi-candi, dsb. Pada masa ini

tidak sedikit arsitek asing yang terlibat dalam proyek-proyek arsitekturnya Meskipun

rnelibatkan arsitek asing namun penggunaan sumber-sumber kelokalan tetap dilakukan,

seperti Bandara Sukarno-Hatta, Wisma Dharrnala, dsb.

78

Page 83: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Desain bangunan modern yang mengadaptasi arsitektur candi dapat dilihat pada

beberapa fungsi kantor (Bank Mandiri Semanggi), hotel(Amanjiwo, Hyatt Yogyakarta),

dan museum (Persada Sukarno ), dsb. Penggunaan adaptasi desain yang berasal dari

bangunan sakral Hindu-Buda (mem) juga dilakukan oleh arsitek Sujudi dalam bangunan

Kedutaan Besar RI eli Malaysia. Representasi yang berasal dari konteks tempat juga

menginspirasikan Baskoro Tedjo pada tahun 2000an dalam desain Persada Sukarno eli

Blitar, khususnya yang berkaitan dengan arsitektur candi. Desain Persada Sukarno

mengadaptasi desain bangunan candi induk Penataran d i Blitar.

4.23. Candi dan Gedung Mandiri

Penggunaan adaptasi desain yang berasal drui bangunan sakral Hindu-Budha

juga dilakukan oleh Sujudi dalam bangunan Kedutaan Besar Rl di Malaysia, meskipun

tidak secara langsung. Bangunan ini mengadaptasi unsur arsitektur meru. Meru

merupakan jenis atap yang umumnya digunakan untuk komponen bangunan suatu

kompleks Pura di Indonesia. Bentuk Meru sering di scbut pula scbagai bentuk atap yang

bersusun-susun atau tumpang. Kata Mcm mengacu pada istilah ' Sumeru', sebutan bagi

gunung suci dalam tradisi Hinduisme dan Budhisme. Sumeru merupakan istilah yang

digunakan untuk simbolisasi gunung tempat para dewa bersemayam. Namun secara

harfiah, Sumeru dapat disebut sebagai 'Mahameru' gunung yang terbentang eli daerah

India Utara dan Nepal. Di Jawa Sumeru sering diindikasikan sebagai Semeru, gunung

tertinggi di Pulau Jawa. Atap meru diperkirakan mulai dikenal di Indonesia khususnya

eli Jawa pada abad 1 1 M, dan kemudian dibawa ke Bali oleh mpu Kuturan.

79

Page 84: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

G b 4.24. Adaptasi Meru

Berdasarkan penehtian di lapangan, bentuk atap candi mulai pada abad ke I J di

Jawa d iperkirakan terbagi menjadi dua yaitu berbcntuk prisma scgitiga monolit pejal

berpuncak kubus dengan komponen berukir (batu/bata) dan berbentuk meru

tumpang/bersusun (ijuk). Jika beratap monolit pejal maka tubuh penyangganya terbual

dari batulbata, sedangkan jika atapnya'meru' maka tubuh penyangganya dapat terbuat

dari batulbata atupun kayu berikut umpaknya. Kedua jenis atap ini sama-sama

menunjukkan adanya jenjang tingkatan. Bentukan atap ini sangat khas dan berbeda

sekali dengan candi-candi peninggalan Mataram Kuno.

Bentuk candi yang dihasilkan pada masa ini mempunyai ' style dasar' yang dapat

berlaku untuk sernua desain candi baik yang bersifat Hindu ataupun Budha. Hal tersebut

sangat mungkin terjadi akibat adanya sinkrititasi antara Siwa - Budha tersebut. Filosoll

atap meru pada candi-candi tersebut tidak berbeda dengan atap batu pada candi lainnya

yaitu melambangkan Swahloka atau dunia atas atau alarn para dewa. Tingkatan meru

pada candi tersebut dapat ditafsirkan sebagai tingkatan langit ataupun tingkatan

surgaw1, baik dalam konteks Hinduisrne ataupun Budhisme . . Candi Jajaghu (Candi

Jago) di desa Turnpang Malang tempal pemuliaan Raja Wisnuwardahana sebagai

Budha, menggunakan atap yang berbentuk ' meru'/ tumpang. Candi pemuliaan yang

bersifat Budha lainnya yang diduga juga menggunakan atap meru atap susun adalah

Candi Bayalangu, di Tulungagung Jawa Timur tempat pernul iaan Dewi Gayatri

permaisuri raja Majapahit. Candi-candi yang bersifat Hindu dan diduga beratap meru

antara lain adalah Surowono dan Tegowangi di Pare, Wonorejo di Madiun,

Gambarwetan dan Kates di Bhtar, Mirigambar di Tulungagung, Kedhaton di

Probolinggo, dsb. Candi-candi tersebut ditemukan hanya tinggal bagian kaki ataupun

80

Page 85: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

hanya sampai badannya, dimana komponcn atapnya telah musnah. Di dinding cancli

Jajaghu dipahatkan pula garnbaran kompleks bangunan sakral yang mempunyai

komponen meru yang mirip dengan garnbaran kornposisi kompleks bangunan suci yang

kita kenai sebagai Punl. Bentuk rneru pada pura rnenonjolkan keindahan atap

bertingkat-tingkat yang berjumlah ganj i l 3, 5, 7, 9 dan I I . Tingkatan atap rnenunjukkan

derajat kesakralan, semakin banyak tingkatannya bcrarti kedudukannya semakin

tinggi/sakraL Meru terdiri dari tiga komponen yaitu atap, ruang pernujaan, dan

bebaturan. Fungsi meru adalah untuk tempat pemujaan utarna bagi Tuhan, Dewa, dan

nenek moyang.

Gb 4.25. Cnndi-candi bcratap mcru

Penggunaan unsur Meru pada bangunan KBRI ini menunjukkan adanya usaha­

usaha untuk mengangkat nilai kelokalan yang bersumber pada arsitektur Indonesia.

Meru yang banyak diternukan di Bali digunakan sebagai acuan dalarn rnenampilkan

karakter Indonesia ke Internasional, rnelalui perwujudan meru (atap candi) yang

ditransformasikan ke dalam bangunan modern. Unsur kelokalan lain yang

direpresentasikan oleh meru adalah unsur ketropisannya, yakni adanya teritisan. Sujudi

adalah salah seorang arsitek yang mengembangkan unsur kekontektualitasan terhadap

ikl im namun juga menampilkan sifat kemodernan (visioner). Prinsip kemodeman yang

dimunculkan dalam desain ini adalah penggunaan beton dalam teritis-teritisnya.

Karakter umum yang dikembangkan Sujudi dalam desain-desainnya adalah

penggunaan unsur-unsur garis-garis horisontal berupa listplank --listplank beton (tropis)

sebagai sirip yang menimbulkan efek light mul shadow. Karakter yang lainnya adalah

ekspresi volumentrik dan anti ornamentasi. Bangunan biasanya bersifat polos, putih

dan licin. Sujudi banyak menggunakan bentuk - bentuk geometris untuk dikembangkan

8 1

Page 86: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

melalui kckreativitasannya Bahan beton yang berkarakter berat dan kaku dapat digubah

menjadi terkesan ringan. Mem menampilkan garis-garis teritis horisontal, sehingga

sangat sesuai dengan karaktcr desainnya yang rnemang menonjolkan adanya ekspresi

horisontalisme (pengamh arsitektur modern di Barat-Streamline, perjalanan ke

Skandinavia, dsb ), sementara yang memk>dakannya adalah kepolosan dan kedinarnisan­

asimetri dalam pengolahannya.

Seperti halnya percandian yang menampilkan kesan volumetrik dan monumental,

karya Sujudi juga menampilkan kesan demikian. Elemen rumit dalam arsitektur meru

digubab (distilasi) menjadi bentuk yang sederhana sebagai wujud simbolisasi

kemodernan. Sujudi dikenal sebagai sosok yang memperkenalkan arsitektur modern

yang konstekstual dengan Indonesia. Karya Sujudi KBRl Malaysia ini kemungkinan

besar menginspirasikan karya desain berikutnya seperti Wisma Dharmala (Paul Rudolp)

di Jakarta, kantor Pemda kawasan Sirnpang Lima Semarang. Dua bangunan ini

mempunya1 tipe pengolahan yang sama (terit is segitiga beton horisontal), yang

membedakanya misalnya denah bangunan Wisma D harmala d idesain secara

superimpose yang diputar. Namun demikian dapat diketahui bahwa peng.[,>tmaan nilai­

nilai lokal yang berasal dari percandian telah digunakan untuk bangunan modern.

Gb 4.27. Perbandingan KBRJ, Gedung Gubernuran Jawa Tengah, dan Dharmafa

82

Page 87: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Dcsain bangunan modern yang mcnadaptasi arsitektur candi dapat dilihat pada

bcberapa fimgsi kantor, hotel, dsb. Fcnorncrna dc-sakralisasi arsitcktur candi muncul

seperti halnya pada rnasa lalu. · candi' sebagai bangunan sakral diadaptasikan rnenjadi

bangunan non sakraL Dalarn hal ini terjadi penggubahan pemahaman candi menjadi

suatu gaya arsitektur, seperti halnya gaya arsitektur klasik yang disadur berdasarkan

kuil-kuil Yunani. Hyatt Regency Yogyakarta rncnampilkan desain yang rnencerrninkan

sosok candi Borobudur. Dalam konteks ini Borobudur tidak sekedar diposisikan sebagai

bangunan suci tetapi dianggap sebagai reference yang bcrakar pada 'focal histm·ica!

prototypes '. Mernaknai Borobudur tidak sempit hanya sebagai bangunan suci tetapi

dapat bcrlapis, scpert.i simbolisasi dari 'place' yang mempunyai 'spirit' genius loci.

Gb 4.28. Grand Hyatt Yogyakarta

83

Page 88: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Denah Hotel ini berbentuk crucil(Jrm sepcrti dcnah pada candi Borobudur

namun lebih disederhanakan Aksis Hyatt Regency berjumlah empat yang

direpresentasikan dcngan jalur entcrancc dari empat penjuru mata angin. Aksi s ini

terlihat dengan jelas karena pada aksis ini terdapat tangga dari teras yang bawah menuju

teras paling atas Denah curciform Hyatt Regency Y ogyakarta disusun bertingkat

sebanyak 7 lantai mengikuti sosok candi borobudur yang mempunyai 7 tingkatan: 3

tingkat teras utama stupa dan 4 tingkat teras galeri. Hyatt Regency Yogyakarta

mengadaptasi bentuk vajradhatu mandala candi Borobudur berupa bcntuk cruciform.

Nuansa candi ditampilkan pada pengolahan interior dan eksterior yang didominasi

clemen garis-garis dan elemen-elcmcn geometrik . !'ada desain ini juga digunakan

beberapa ornamentasi candi Borobudur scpcrti pintu gerbang, kepala kala, makara.

Nuansa ekspresi bahan percandian tctap dijaga dengan padanya penggunaan material

bahan batu candi/batu alam dan pcnggunaan warna batu, abu-abu. Namun dernikian

desain ini adalah merupakan adaptasi inovatif terhadap candi Borobudur untuk fungsi

modern.

Contoh lain adaptasi lain dari candi Borobudur adalah pada Hotel Amanjiwo

(Hotel Butik berkelas utama-eksklusif-khusus). Amanjiwo berasal dari bahasa

Sanskcrta, artinya berarti jiwa yang damai. Scsuai dengan narnanya kedamaian bagi

tamu yang menginap merupakan hal utama yang diberikan oleh hotel Amanjiwo.

Penataan visual (tata massa, pencahayaan, dsb) menimbulkan aura religius Pengaruh

dari i lmu kebatinan kehidupan Jawa berusaha ditampilkan disana dengan keheningan.

Sesuatu yang tidak tampak, tersernbunyi rapat tetapi mampu mempesonakan. Sosok

yang ditransforrnasikan adalah tingkatan Ampadatu (paling sakral) pada candi

Borobudur, yang terdiri dari stupa besar Induk, stupa-stupa kecil yang rnengel i l inginya,

dan selasar pradaksina patha. Stupa lnduk ditransformasikan ke dalam bentuk fungsi

lobby-lounge-restaurant, stupa-stupa kecil ditransforrnasikan ke dalam bentuk cottage.

Potensi view yang mengarah pada candi Borobudur dimanfaatkan dalam desain in i

dengan menernpatkan bukaan ke arab sana. Candi Borobutdur dirnanfaatkan sebagai

potensi view yang dapat dilihat selama 24 jam dari Hotel ini dari kejauhan. Hotel 1111

dapat dianggap sebagai sarana merefleksikan citra keagungan desain Borobudur.

Seperti halnya fenomena di atas desakralisasi muncul dalam desain Hotel m1

khususnya pada konteks religi (tataran Arupadatu-tertinggi menjadi tataran fungsi

profan), namun pernahamannya tidak selalu demikian dalarn konteks yang lain.

Borobudur rnempakan simbol dari kedudukan keutamaan (kesakralan dapat pula

84

Page 89: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

ditafsirkan sebagai utama/pcnting) demikian pula dcngan posisi Amanjiwo dalam

konteks yang lain. Borobudur dapat dianggap rcprescntasi dari ni l ai-nilai kontckstualitas

d i mana bangunan itu bcrada. Hotel Amanjiwo ini terlctak jauh dari kota, terscmbunyi

dari keramaian. Sehingga hotel Amanjiwo sangat sunyi identik seperti halnya fu ngsi

candi Borobudur iru scndiri. l'engunjung yang datang kc Amanjiwo tidak disediakan

fasi l itas televisi pada kamarnya, karena ingin menjaga karakatcrnya scbagai hotel yang

berkonsep kembali kc a lam, jauh dari keramaian kota, jauh dari kegiatan, santai dan

damai, serta !erasing dari kehidupan layaknya orang yang sedang bersemedi, suatu ritual

yang dilakukan pada candi-candi. Antara Amanjiwo dan area sawah penduduk dan

l ingkungan desa hanya dibatasi olch sungai Sileng scbagai pembatas alami, tanpa harus

dilindungi secara f1sik bangunan terhadap lingkungannya. Amanjiwo tetap terlihat

anggun dan elegan sebagai ternpat peristirahatan yang eksklusif Ornamen-ornamen

arsitektur candi yang terdapat pada Borobudur terlihat jelas digunakan dalarn

pengolahan eksterior dan interior Hotel ini.

Gb 4.29. Aman jiwo

8 5

Page 90: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Rcpresentasi yang berasal dari konteks tempat juga menginspirasikan Baskoro

Tedjo pada tahun 2000an dalam desain Persada Sukarno di B litar, khususnya yang

berkaitan dcngan arsitektur candi. Desain Pcrsada Sukarno mcngadaptasi desain

bangunan candi induk Penataran di B litar. Candi penataran dianggap merupakan

representasi dari Kota Blitar, mcskipun yang d iadaptasi dalam desain persada Sukarno

hanya bagian kaki yang tcrsisa dari candi induknya. Candi pcnataran dianggap sebagai

aset budaya penting yang dimiliki oleh kota Blitar, di samping makam presiden

Sukarno. Candi in i merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Jawa Timur dan

merupakan peninggalan · · dari masa Mpu Sindok sampai Majapahit. Candi Ill!

menggunakan atap jenis meru (telah hancur) dan susunan tata ruangnya identik dengan

pura-pura di Bali .

Gb 4.30. Kaki candi Induk Penataran dan Persada Sukamo

Selain itu beberapa karya yang merujuk pada percandian juga dapat dilihat pada

karya AT6 yakni gedung Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang biasanya dikenal

dengan gedung Sapta-Pesona pada masa Orde Baru. Gedung ini didesain dengan

pendekatan konsep yang merujuk pada konsep gerbang candi Bentar khas candi-candi

Nus,mtara yang digabungkan dengan konsep masa kini yakni Satelit di mahkotanya.

86

Page 91: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Pengolahan fiJSad tengahnya mcnggambarkan adanya unsur barong/kala seperti halnya

hiasan di dalam candi-candi. Penggunaan konsep kla�ik ini sangat sesuai dengan fungsi

gedung ini sebagai 'gerbang' Pariwisata di Indonesia.

Gb 4.30. gerbang Bentar dan Gedung Budpar.

!'ada saat ini wujud arsitektur yang berkembang eli Indonesia menjadi lebih

bervariasi seiring dengan semakin cepatnya teknologi informasi dan kuatnya arus

gloibalisasi. Tidak menutup kemungkinan arsitek mencari sumber ruJukan dari berbagai

sumber di tempat lain dengan mudah dan cepat, sehingga menimbulkan permasalahan

terhadap wujud bangunan yang dihasilkan. Pada beberapa desainya terkesan sekedar meniru

bentuk-bentuk dari luar. Fenomena ini secara signifikan dapat membuat wajah arsitekturnya

menjadi tidak mempunyai karakter, tidak ada bedanya dengan tempat lainnya. Oleh karena

itu studi ini berupaya untuk menggali pemahaman kembali tentang konsep kemodernan

namun tetap kontekstualitas terhadap unsur kelokalan, misalnya seperti yang pemal1

dicontohkan pada masa lalu.

Selain dalam wujud bangunan, rerprcsentasi candi juga dipandang berpcngaruh

pada tatanan spasial kawasan. Pola perletakan candi diperkirakan idcntik pula dengan

pol a tat<man I ingkungan urbanitasnya khususnya di pusat/inti kerajaan yang

menggunakan mandala sebagai acuannya. Namun demikian seperti halnya candi, pola­

pola yang berlandaskan pada masa pra-1-lindu-Buda juga ikut mcwarnai tatanan fisik

spasialnya, seperti unsur linieritas -- aksis sumbu-sumbu tinier yang mengacu pada

elemen fisik alam/unsur topos-nya-konsep gunung-laut.

Pola susunan candi maupun l ingkungannya tersebut mcnjadi suatu pola yang khas

yakni menggabungkan antara mandala-gridiron yang konsentris dan l in ieritas. Nilai­

nilai dualitas secara umum dapat difahami scbagai konsep-konsep yang mendasari

budaya/trad isi Jawa, seperti yang diungkapkan oleh Pigeaud ( 1 948) dan Gunawan

87

Page 92: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Tjahjono ( 1 990). Pol a tat a spasial i n i kemudian di pcrkirakan diwariskan pad a kota- kota

klasik pasca H i ndu-Buda di Jawa. Berdasarkan uraian d i alas diketahui bahwa potensi

arsitcktur candi tclah d iupayakan untuk diadaptasikan pada masa pasca H i ndu-Buda

melalui kreativitas yang inovatif

Roma

Gb. 4.3 1 . Memindahkan dari luar ( Kiri) ke dalam ( Kanan)

8 8

Page 93: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

BAB S KESJMPlJ LAN

Mclalui uraian di atas dapat diketahui bahwa potensi yang berasal dari arsitektur

candi (arsitektur sakral Hindu-Budha) telah diupayakan untuk diadaptasikan pada masa

pasca Hi ndu-Budha. Mesk1pun d1 Jawa istilah postmodemisme tidak dikenal, namun

indikasi yang mengarah pada semangat ke arah hal ini telah ada. 'Candi' merupakan

wujud peninggalan rnasa lampau yang masih dapal dilihat sampai sekarang, sehingga

di harapkan dapat menjadi jembatan untuk memahaminya. Candi dapat dipahami sebagai

sebuah 'Place ' atau mempunyai nilai 'place' yang mereperesentasikan arsitektur

purbakala masa lampau dan dianggap telah menjadi collective memory secara unsel( ­

conscious/ alamiah pada masa pasca Hindu-Budha. Candi dianggap mcrupakan salah

satu basil dari local genius-nya Nusantara dan dapat merupakan reference yang berakar

pada 'local historical prototypes '. Melalui historic precedent dapat dikaji peranannya

dalam membentuk ' karakter' dan 'spirit' ke- Indonesia-an.

Kebudayaan Hindu-Buda yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saJ a.

Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia telah rnemiliki dasar-dasar kebudayaan yang

cukup kuat, sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah

perbendaharaan kebudayaan Indonesia. Bangunan candi merupakan representasi wujud

akulturasi (sinkritisme), berupa usaha-usaha penggubahan yang kreatif yang mel ibatkan

unsur kelokalan di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa candi merupakan local

historical prototype.

Desain Arsitektur candi menunjukkan adanya konsep yang dinamis-adaptit;

VJSJoner (kebaruan-modern), sinkritisme (akomodatif), dualitas, pro-historis­

regionalisme, seperti pendckatan yang dikembangkan dalam posrnodcrnis 1 000 tahun

kemudian yakni double-coding, plurarist, semiotic form-articulation, hybrid expression,

complexcity, eclectic, pro organic (dinamic), pro-metaphor, pro historical reference,

pro-.1ymbolic. Di sana terjadi 'dialog' seperti antara yang lama dengan yang baru, yang

lokal dengan pcngaruh luar, dsb. Pengadaptasiannya eli masa kini dapat melalui strategi

yang diungkapkan Antoniades yakni tradisional, borrowing, dan decontruction.

Wujudnya dapat berupa transfer ornamental atau sosok secara langsung maupun tidak

langsung (melalui pcndckomposisian). Contoh tramifer secara langsung misalnya

pemindahan kala-makara, pemindahan wujud 3D, sedangkan yang tidak l angsung

rnisalnya pendekonstuksian elemen garis-gelap terang, elemen geometrik, dsb.

89

Page 94: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Desain candi yang eli-transfer ke dalam wujud lainnya dikuatirkan menimbukan

efek historisism bagi arsiteknya. Historisism dalam arsitektur cenderung akan

menimbulkan eklektikisme, meskipun dalam pandangan postmodern hal tersebut bukan

sesuatu yang anomali dan bahkan ' sengaja' dikembangkan. Pemahaman tentang

pengambilan desain masa lalu ke dalam masa kini memang dapat menjadi ' naif a tau

lucu (parodi) karcna kemudian dapat menjadi de-sakralisasi, namun hal ini hams dilihat

dahuku tendesi dan Jatar bclakangnnya. Semiotika (dalam postmodern) memungkinkan

adanya makna berlapis (multi-layer) atau yang tersurat dan tersirat /konotatif denotatif

dalam memahami sebuah tanda, khususnya apabila dikaitkan dengan tradisi Jawa

misalnya dalam menafsirkan (melalui hermeneutik) candrasengkala. Simbol pcndirian

Kraton Jogyakarta ditandai dengan simbol dua naga yang saling membelit bersatu

dengan sebutan Dwinogorosotunggal, simbolisasi lapis satu dapat berupa tahun

pendirian Keraton (Dwi = 2, Nogo ='8, Roso = 6, Tunggal = I ; 1 682 jawa atau 1 756 M),

simbolisasi lapis dua berupa simbolisasi manunggalnya perjuangan lahir dan batin,

simbolisasi lapis ketiga tidak lain adalah Sultan HB I sendiri sebagai pendiri

Kesultanan, dan lapis-lapis berikutnya.

Pemahaman adaptasi dengan mengambil bentuk percandian kiranya dapat

dianalogikan sama, misalnya dalam pengadaptasian arsitektur Borobudur pada

arsitektur modern. Makna lapis satu dapat dipahami adalah mendukung kepentingan

pariwisata-devisa (makna yang paling dangkal-naif), lapis dua Borobudur scbagai

simbol representasi Yogyakarta (karena Borobudur hanya ada di Yogyakarta), lapis

ketiga Borobudur sebagai simbol representasi dari Indonesia (karena di negara lain

tidak mempunyai Borobudur), lapis keempat Borobudur sebagai simbol representasi

arsitektur lokal yang khas (Identitas-Karakter) Indonesia (kontekstual dengan tempat),

lapis lima Borobudur sebagai representasi arketipe dari genius loci yang mengakar

pada kontcks lokal, lapis enam Borobudur scbagai reprcsentasi dari keunggulan

kreativitas nenek moyang bangsa Indonesia (lokal genius) yang dapat mendorong

munculnya semangat nasionalisme, dan scterusnya (lapis-lapis berikutnya). Adaptasi

Borobudur dalam arsitektur modern sebenamya tidak sekedar dapat difahami secara

'dangkal' (tuntutan ekonomi-komoditi pariwisata) sebagaimana halnya yang dikuatirkan

oleh historisism, melainkan dapat disesuaikan dan di-dialog-kan dengan tujuan-tujuan

lain yang lebih mendalam.Menurut Jung arketipe adalah citra leluhur yang terdapat

dalam alam bawah sadar kolektif manusia, sebagai simbolisasi kesatuan yang kongkret

antara yang nyata dan yang semu, ide dan perasaan, roh dan materi.

90

Page 95: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Representasi yang bersumber pada tradisi rnasa larnpau dan kelokalan dalam

'alam' post-modern menjadi salah satu mjukan dalam membangkitkan identitas.

ldentitas tidak bisa diciptakan secara mendadak (instant), tetapi melalui tahapan­

tahapan tertentu yang beraturan dan berulang-ulang. Sehingga identitas pada hakekatnya

merupakan j ej ak peradaban yang ditarnpilkan sepanjang sejarah. Schulz mengemukakan

pentingnya pemahaman tentang spirit of the place (genius loci) khususnya dalam

membangun identitas.

, __ ,. ,. -.- .- '-' ... _.,. __ ., .. " . . . . .

( " -, .. ' . .

Gb 5 . 1 J>engadaptasian Karakter arsitektur kuno Cina pad a bangunan Modern di Cina

Pengadaptasian arsitektur candi pada jaman Islam adalah mengarah pada adanya

semangat pelestarian/penga�o,>1mgan yang 'memusakakan' budaya masa lalu dan strategi

penyebaran agama. 'Islam' mendayagunakan apa yang telah ada dan melakukan

penggubahan pemaknaannya secara evolutif menjadi lcbih Islami (rneskipun eli

kemudian terdapat aliran-aliran Islam yang mcngarah pada radikalismc yang menolak

cara-cara yang dilakukan oleh para sufi terscbut). Pada masa Kolonial pengadaptasian

9 1

Page 96: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

arsitektur candi mcngarah pada semangat pcncanan idcntitas /karakter yang khas

Indonesia dan program misionaris. Candi dianggap scbagai salah satu seni arsitcktur

yang dapat merepresentasikan keunggulan nilai-nilai yang berasal dari kelokalan,

meskipun beberapa arsitck Belanda masih memandang bahwa candi-candi di Jawa

masih 'kental' dengan kebudayaan India. Model stratcgi pcngadaptasian yang dilakukan

pada masa kolonial dapat secara langsung maupun tidak langsung. Pada masa Post

kolonial pengadaptasian arsitektur yang mengacu pada pcrcandian mengarah pada

penekanan semangat nasionalisme (kebanggaan), wacana pencarian jatidiri yang

kontckstual dcngan Indonesia, dan pcnghargaan tcrhadap pcninggalan warisan masa lalu

(semangat pelcstarian). Di samping kctiga hal tcrsebut tujuan lainnya yang sedang

menggejala adalah kepentingan kcpariwisataan ( ekonomi-devisa) Hubungan dengan

masa lalu adalah keharusan bagi munculnya tradisi yang baru dan penuh kepercayaan

diri (keoptimisan). Berdasarkan pembahasan di atas maka nyatalah bahwa arsitektur

candi merupakan unsur terpenting dalam perkembangan arsitektur di Indonesia.

Gb 5.2. Transformasi

Pengunaan representasi candi sebagai sumbcr inspirasi merupakan hasil dari

kreativitas arsitektur baru namun tidak meninggalkan masa laJu. Di masa kini dinamika

perubahan tidak mungkin terhindarkan. Van Peursen ( 1 988) melihat kreativitas sebagai

faktor yang amat penting dalam perubahan sosial budaya. Dengan adanya kreativitas,

muncul sesuatu yang baru. Kreativitas ini selalu memikirkan kembali suatu situasi dari

dalam, lalu menemukan suatu pandangan baru. Secara tidak terduga rintangan lama

telah didobrak. Manfaat kreativitas yang konstruktif misalnya memungkinkan individu

atau masyarakat untuk memberikan tanggapan yang memadai terhadap situasi-situasi

baru dan tantangan-tantangan lama, khususnya dalam menghadapi globalisasi saat kini.

92

Page 97: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Kepustakaan I . Abramson, H. ( 1 980). Assimilation and pluralism. In S. Thernstrom (Ed.), Harvard en(yc/opedia of

American ethnic groups (pp. 1 50-1 60). Cambridge, MA: Harvard University Press. 2_ Acharya, Prasanna K, ( 1 979), Hindu Architecture in India and A broad. New Delhi : Oriental Books

J{cprint Corporation. 3 . Akihary, Huib ( 1 990), Architectuur & Stedehouw in lndones.ie, Zutphcn., De Walburg Pers Zutphcn 4 . Antoniades, Anthony C . ( 1 992), Poetics Of Architecture, Theory OJ Design, New York, Van Nostrand

Reinhold. 5 . Atmadi, Pannono ( 1 994), ._)orne Architectural Design Principles of Temples in Java, Yogyakarta,

Gadjah Mada University Prt-'-SS. 6 . /\ricl l-Icryanto ( 1994), Postmodernisme: Yang Aftma?". Jtnnal Kalam� 1 ( 1 ). 7 . Azimipour & Jones, (2003) Akulturasi - Artikcl 8. AyatrohacJi, cd ( 1 986), Kepribadian Budaya Ba11gsa (Local Genius), Jakarta, Pus!ab .Jay·a 9 . Bakker, J . W.M ( 1 984), Filwifat Kebudaya<m sebuah pengantar, Y ogyakarta, Kanisius. l 0. l-3ertcns, I L ( 1 995), The Idea of the Postmoden1: A History, Routledge, London I I . Budiman, Kris ( 1 9 99) Kosa Semiotika, LKiS, Y ogyakarta 1 2 . Brownell, P., ed.(2008) Handbook for 77reory, Research, curd Practice in Gestalt 1'lrerapy, Newcastle

upon Tyne, UK: Cambridge Scholars Publishing 1 3 . Cardoso S.L ( 1966), Seni India, Seri Monografi 1, Kursus B 1 Tertulis Scdjarah , Bukittinggi 1 4. Curtis, William ( 1 985), Regiona/is,.-I in A rchitecture, Concept Media, Singapore 1 5. Dumarcay, J. ( 1 985), La Clwrpenterie des mosquees Javanaises, Archipc1 30, Paris. 1 6. Dumarcay, Jacques & Michael Smithies (translate) ( 1991), The Temples of Java, Singapore, Oxford

University Press. 1 7. Featherstone, Mike-. ( 1 988) ln Pursuit of the Postmodern: An lntrorhJction. Theory, Culture and

Society. 1 8. Fontein, Jan & Soekmono R, Edi Setyawati ( 1 990), The 5ku/pture of Indonesia, Washington, USA,

National Gallery of Art ! 9. Frampton, K . , Foster, J-1, Editor ( 1 983) Place-Form tmd Cultural Identity ji-om The !Inti-Aesthetic:

Essays on Postrnoden1 Culture ", 20 Frank, Karen A, etc editor ( 1 994) Ordering Space, Types in Architecture and Design, New York, Van

Nocstrand Reinhold 2 J . (Jalcntcr, Mark ( 1 995), ,)'mace oJArchitectura/ Form, Great Britain 22. Gicdion, S. ( 1 956), ... )pace, Time and Architecture, Libr'dl)' of Congres Catalog, USA. 23. Groslier, Bemard Philippe (2002), Jndocina : Persilangan Kebudayaan, Jakarta, KPG (Kcpustakaan

Populcr Gnuncdia) 24 I Jail, S. ( 1 997) Representation: Cultural Representations and Signifying Practices 25. Ikhwanuddin (2005), Nlenggali Pemikiran Posmodemise dalmn Arsilektur, Yogyakarta, Gadjah Mada

University Press 26. Jencks, Charles. (1 984), The Language of Post-A1odern Architecwre, Fourth Edition, USA, l�jzzoli 27. Jencks, Charles ( l 969),.)erniology and Architecture USA? Rizzoli 28. Jung, C. Gustav ( 1 987) Menjadi Diri Se1uiiri, (I'crjcmahan dari judul asli: .llion. Researches into the

Phenomenology of the Self), Gramcdia, Jakarta. 29. Kultcrmann, Suwondo, Jan PieJX!f ( 1 984) Peranan Jdentitas Kebudayaan dalam Arsitektur" Tempo,

Edisi. 30/XIV/22 - 28 September 1 984 30. Kunardi, Marco dan Prajudi (2003) lntemasional Simposium : Jclajah Arsitektur Nusantara, /1 S'tudy

on Indonesian Temple 'C"'andi 'Aesthetic. 3 1 . Kusno, Abidin (2000) Behilul the Postcolonial, Architecture, Urban 5"'pace and Political Cultures in

Indonesia, Routledge, London. 32. Lesnikowski, Wojciech G. ( 1 982), Rationalism and Romanticism In A rchitecture, USA, McGraw-1-Iill,

Inc. 33. Leupcn, Ilemard, etc ( 1 9 97) Design and Analysis, New York, Van Nocstrand Reinhold 34. Lombard, Denys ( 1 996), NusaJawa : ::.liang Budaya Vo/ 1,2,3, Jakarta, Pt Gramcdia Puslaka \Jtama. 35. Mocno, Raphael ( 1986), On Typo/ogi, dalam Paul Vcrmuclcn., Leuven !3elgia

l V

Page 98: LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

36. Norbcrg-Schulz, Christian ( 1 978), Genius l-Oci ToHYITrb A Phenomenology q(Architecture, New York, 1\iz;.oli lutcinational Publications, Inc:

3 7 Nurarini (2000), http :1/kunci_or. id/csai/nws/04/rcprt.�scntasi .him 38 Pangarsa, Galih W ( 2006), Aderafz }Jutih Arsitektur Nusantara� Yogyakalia, i\nd1. 39. Pcursen, Van, C. A. ( 1 988), Strategi Kebudayaan, Yogyakarta, Pt.-nerhi t Kanisius 40. Piliang, Yasraf Amir (2004), llipersemiotika, Tafasir Cultural S'/u(/ies Alas !vfatinya !viakna,

Yogyakarta, Jalasutra 4 1 Prajudi, Rahadhian, H, (1 999), Kajian Tipo-Morfologi Arsitekntr Candi di Jawa, Thesis, 1\rsitcktur

Institute Teknologi B<mdtmg,, Bandung 42. Prijotomo, Josef ( I 988), Pasang S'untt Arsitektur Indonesia, Surabaya, Wastu J,anas Grafika. 41 Prijotomo, Josef (2008), Arsitektur Nusantara : Arsilektur Pertedu}um dan Arsitektur 'Uyan ', Pidato

Pcngukuhan untuk Jabatan Guru Bcsar dalam Bi(hm g Ilmu/Mat.a Kuliah Teori dan Mct(x1e Ranc<mgtm pada Fakultas Teknik Sipil dan Pcrcncanaan Institut Tckn ologi Scpulnh Nopcrnbcr, Surabaya

'14. Punvasito, AIHh·ik (2002), Jmajeri Indio .- S'tudi Tam/a dalam Wacmw, Surakarta, YayasaJl Pustaka C-:tknt

4 5 Rahardjo, Supra! ikno (2002), Feradohan .Jawa : Dinamika pranata politik, agamo, dan ekonomi jaw a kuno, Jakarta, Komtmitas Barnhu

46 R.arx)port, Amos ( 1 978), I louse Fonn and Culture, Milwaukee, University of Wisconsin 4 7. Roesmanto, Totok (2007), Pemr.ol.ftmtan Potensi Lokal dallun Arsitektur Indonesia, Pidato JK'ngukuhan

Guru Bcsar Arsitcktur, Semarang, Universitas Diponcgoro 48. 1\ossi, J\ldo ( 1 982) The Architecture of the City, The MIT Press, Cambridge 49. Sarnuel, Levin ( 1 977), The ,Wmantic Metaphor, The John Hopkins University Press 10 Santiko, Hariani ( 1 995), .. )eni Bangunan ,)'akral A-fasa J-lindu-13uda di indonesia Analisis Arsitektur

dan A1akna Simbolik, Piclato Pc·ngu.kuhan G-uru Be.sar Madya Tetap JJ<ida Faknlt<Js Saslra Universitas Indonesia, Dqx)k

5 I . Sal iya, Y( 1 986), Notes on Architectural Jdentity in Cultural Context, in Mimar publication. 52. Sockiman, Djoko (2000), Kebudayaan Jndis, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya. 5.1. Soegiyono, dkk (2007), Metodologi Penelitian Kualitati!f Kuantitatifdlm R&D Bnmhmg, All�1bcta. 511 Sukada, Budi, ( 1 989), Memahami Ifrsitektur Tradisional dengan pendekatan Tipolof!,i, dalam Eko

l3udiarjo, Mcrnahami Jatidiri Arsitektm· Indonesia, Bandtmg, Alumni 55. Surnalyo, Yul ianto ( 1 993), Arsitektur Kolonial di Jndonesia� Yogyakar-ta, Gadjah Mada UnivLl"Sity

Press 56 Sumintarja, Jaubari ( 19(>6), Kompendiwn iY.!jorah Arsitektur, Bandung, Lcmbaga Fenyclidikan

Masalah Bangunan J bndung. 57 lanudjapr, F. Christian J Sinar ( I 992), Arsitektur Mrxlem : Tradi.•i 71·<kii.H dan J]lir<m A/iran Serta

Permum Politik Politik, Yogyakarta, PCI1erbitan Universitas 1\tma Jaya 58. Tjahjono, Gmwwan, editor ( 1 998), Indonesian lleritage - A rchitecture, Singapore, Editions Didier

Millct 59. Tuan, Yi Fu ( 1 989), .)'pace (md Place, 71w perspective of experience, Minnepolis

60 Van de Yen, Cornel is ( 1 9 9 1 ), R.uang dalam A rsitektur � Jakarta, PT. Gr<m1Cdia Pus taka Utama 6 1 . Volwahscn, Andreas ( 1 969), Living A rchitec/ure : India, New York, Grosset & Dunlap 62. Ycang, Ken, ( 1 987) Tropical Urban Regionalism : Building in a South-Fast Asian

City", S ingapore, Concept Media.

Rujukan Disertasi 1. i\tmadi, Pannono ( 1 979), ,)�orne Architectural Design Principles of Temples in Java, Doctoral

Dissertation, Gadjah Mada University.

2. Kusno, Abidin (2000) Behind the Postcolonial, Architecture, Urb(lJ1 5'pace and Political ('ultures in Indonesia, Doctoral Dissertation, The History and Theory of Art and Arhitt.."Cturc Graduate Programme, State University, New York . .

3. Soekmono R ( 1 974), C(mdi, FUngsi dan Pengertiannya, Discrtasi Doktor, Universitas Indonesia, Jakarta.

4. Sudradjat� I wan ( 1 99 1 ), A ,_)'tudy of Indonesi(m Archilectural History, Cibcsis for Doctor of Philosophy, /Jcpartment of Architecture University of Sydney.

v