lebih memilih menetap dan membuka lahan untuk bertahan...

25
1 BAB IV HASIL PENELITIAN, POKOK-POKOK TEMUAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum 4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1.1 Sejarah Singkat Unit Pemukiman Trasmigrasi Desa Koli Wilayah Kecamatan Oba merupakan daerah pengungsian etnis makian sebelumnya, setelah terdapat beberapa kali terkena bencana alam. Pengusian terbesar terjadi pada tahun 1988 masyarakat Etnis makian sebagian besar menyebar ke wilayah pulau Halmahera termasuk Kecamatan Oba. Awalnya Etnis Makian membuat tenda-tenda darurat sementara namun, lambat laun etnis Makian lebih memilih menetap dan membuka lahan untuk bertahan hidup dan enggan untuk kembali ke daerah asal (Makian Pulau). Secara umum dapat kita lihat bahwa masyarakat trasmigrasi seperti halnya masyarakat pada umumnya selalu mengalami perkembangan dan perubahan dari zaman kezaman. Perkembangan dan perubahan, mungkin istilah yang tepat untuk mengambarkan perjalanan kehidupan masyarakat. Dan perkembangan itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu yang maju dan menjadi lebih baik dari yang sekarang atau yang lebih maju dari yang sebelumnya. Hal ini di kemukakan oleh A. Rahim Samad (dalam Hariyanto 2008:31). Penempatan lokasi Unit Pemukiman Trasmigrasi telah lama direncanakan. Observasi yang dilakukan oleh Tim pembukaan lahan Transmigrasi Koli

Upload: lydan

Post on 12-May-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB IV

HASIL PENELITIAN, POKOK-POKOK TEMUAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum

4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1.1 Sejarah Singkat Unit Pemukiman Trasmigrasi Desa Koli

Wilayah Kecamatan Oba merupakan daerah pengungsian etnis makian

sebelumnya, setelah terdapat beberapa kali terkena bencana alam. Pengusian

terbesar terjadi pada tahun 1988 masyarakat Etnis makian sebagian besar

menyebar ke wilayah pulau Halmahera termasuk Kecamatan Oba. Awalnya Etnis

Makian membuat tenda-tenda darurat sementara namun, lambat laun etnis Makian

lebih memilih menetap dan membuka lahan untuk bertahan hidup dan enggan

untuk kembali ke daerah asal (Makian Pulau).

Secara umum dapat kita lihat bahwa masyarakat trasmigrasi seperti halnya

masyarakat pada umumnya selalu mengalami perkembangan dan perubahan dari

zaman kezaman. Perkembangan dan perubahan, mungkin istilah yang tepat untuk

mengambarkan perjalanan kehidupan masyarakat. Dan perkembangan itu sendiri

dapat diartikan sebagai suatu yang maju dan menjadi lebih baik dari yang

sekarang atau yang lebih maju dari yang sebelumnya. Hal ini di kemukakan oleh

A. Rahim Samad (dalam Hariyanto 2008:31).

Penempatan lokasi Unit Pemukiman Trasmigrasi telah lama direncanakan.

Observasi yang dilakukan oleh Tim pembukaan lahan Transmigrasi Koli

2

dilakukan pada tahun 2001. Namun Penempatan warga transmigrasi Koli sendiri

dilakukan dalam dua tahap, Tahap I dilaksanakan pada 22 Desember 2007 dan

sekaligus diresmikan sebagai UPT (unit pemikiman trasmigrasi), dan tahap ke II

pada 15 desember 2008.

4.1.1.2 Keadaan Geografis

Lokasi UPT (unit Pemukiman Transmigrasi) berada di kecamatan Oba,

secara administrasi berada di desa Koli. Luas wilayah transmigrasi 115 Ha yang

secara topografi meliputi dataran rendah 66,400 ha, bergelombang 2 (roling) 500

ha, dataran tinggi strep perbukitan 2,00 ha. dengan batas-batas wilayah sebagai

berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan Hutan Lindung

Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Koli

Sebelah Timur berbatasan dengan Hutan Produksi

Sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Tayawi

Lingkungan geografis (keadaan alam) pada umumnya mempunyai

pengaruh dalam keehidupan masyarakat. Lingkungan geografis yang dimaksud

adalah keadaan alam, hasil bumi, dan lain sebagainya. Bila dilihat dari potensi

sumberdaya alam di Unit Pemukiman Transmigrasi desa Koli merupakan daerah

yang subur dan cocok untuk pertanian. Daerah dengan dataran rendah ini

memberikan peluang besar bagi petani untuk mengelolah sebagai usaha dibidang

pertanian, sesuai dengan kesuburan tanah yang standar.

3

4.1.1.3 Keadaan Penduduk

Penduduk merupakan faktor penting , karena penduduk adalah subjek dan

objek dari aktifitas pembangunan disegala budang, termasuk juga dalam bidang

pemerintahan. Tanpa peran serta penduduk pelaksanaan kegiatan pemerintahan,

pembangunan serta kemasyarakatan niscaya tidak akan berjalan sebagaimana

diharapkan. Penduduk merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional

dan daerah yaitu sumberdaya manusia yang handal dan kualitas yang baik

penduduk akan menjadi penentu keberhasilan pembangunan.

Berikut dapat digambarkan jumlah penduduk berdasarkan kelompok jenis

kalamin pada tabel dibawah ini:

Tabel : 1

Keadaan Penduduk Berdasarkan Golongan Umur Dan Jenis Kelamin

No.

Umur

Jenis Kelamin

Jumlah Pria Wanita

1. 0 – 1 Tahun 17 orang 8 orang 25 orang

2. 2 – 5 Tahun 26 orang 21 orang 47 orang

3. 6 – 9 Tahun 29 orang 9 orang 38 orang

4. 10 – 14 Tahun 22 orang 20 orang 42 orang

5. 15 – 19 Tahun 32 orang 27 orang 59 orang

6. 20 – 24 Tahun 22 orang 16 orang 38 orang

7. 25 – 29 Tahun 56 orang 51 orang 107 orang

8. 30 – 34 Tahun 113 orang 107 orang 220 orang

4

9. 35 – 39 Tahun 71 orang 59 orang 130 orang

10. 40 Tahun Ketas 81 orang 56 orang 137 orang

Total: 469 orang 374 orang 843 orang

Sumber : Diolah Berdasarkan Data Kependudukan UPT desa Koli 2012

Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan bahwa keadaan penduduk Unit

Pemukiman Transmigrasi dengan komposisi sebagai berikut: jumlah pria

sebanyak 469 orang dan wanita sebanyak 374 orang dengan total 843 orang yang

terbagi dalam 200 KK terdiri dari 98 KK asal Jawa 102 KK lokal (etnis Makian

dan Tidore).

1.1.1.4 Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama

Kehidupan suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh agama dimana

agama merupakan tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia untuk mengatur

pelaksanaan hidupnya sehingga dengan ketaatan kepada agama secara langsung

telah mengajarkan manusia untuk patuh dan membiasakan untuk berdisiplin

dalam menjalankan aturan hidupnya.

Lebih jelas keadaan penduduk di unit Pemukiman Transmigrasi desa Koli

berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel berikut:

5

Tabel : 2

Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama

No. Agama Jumlah

1.

2.

3.

4.

5.

Islam

Katolik

Kristen Protestan

Budha

Hindu

835 orang

-

8 orang

-

-

Total : 843 orang

Sumber : Diolah Berdasarkan Data Kependudukan UPT Desa Koli 2012

Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan bahwa penduduk di UPT

mayoritas beragama islam dengan presentase 98 % beragama islam dan berkisar 2

% beragama Kristen protestan sedangkan agama Hindu, Budha, Katolik tidak ada.

1.1.1.5 Keadaan Tingkat Pendidikan

Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam proses

modernisasi masyarakat dalam arti sebuah sikap pandangan serta pola pikir

tradisional dan sulit menerima hal-hal yang bersifat baru. Pendidikan merupakan

salah satu faktor penting dalam keberhasilan pembangunan bangsa. Pendidikan

dapat meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mempunyai

keahlian dalam bidang masing-masing.

Untuk mengetahui keadaan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:

6

Tabel : 3

Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No.

Tingkat Pendidikan

Jenis Kelamin

Jumlah Laki-laki Perempuan

1.

2.

3.

4.

SD

SLTP

SLTA

Sarjana

142 orang

96 orang

87 orang

10 orang

128 orang

80 orang

73 orang

7 orang

270 orang

176 orang

160 orang

17 orang

Total : 335 orang 288 orang 623 orang

Sumber : Diolah Berdasarkan Data Kependudukan UPT Desa Koli 2012

Berdasarkan tabel diatas maka dapat dijelaskan bahwa tingkat pendidikan

di Unit Pemukiman Trasmigrasi desa Koli adalah sebagai berikut tamatan SD

sebanyak 270 orang terdiri dari laki-laki 142 dan perempuan 128, SLTP sebanyak

176 orang terdiri dari laki-laki dan perempuan sebanyak 96 dan permpuaan

sebanyak 80 orang, lulusan SLTA sebanyak 160 terdiri dari laki-laki sebanyak 87

dan permpuan sebanyak 73 orang, selanjutnya untuk akademik/perguruan tinggi

sebanyak 17 orang terdiri dari laki-laki 10 orang dan perempuan sebanyak 7

orang. Melihat tingkat pendidikan di unit pemukiman trasmigrasi desa koli maka

perlu peningkatan kualitas pendidikan melalui penyedian sarana dan prasarana

penunjang khususnya bidang pertanian.

7

4.1.1.6 Spesifikasi Mata pencaharian

Berdasarkan data yang diperoleh dari pemerintah desa Koli, masyarakat

transmigrasi desa Koli memiliki mata pencaharian sebagai berikut: tani,

berdagang dan perbengkelan, dengan komposisi sebagai berikut:

Tabel : 4

Spesifikasi Mata Pencaharian Unit Pemukiman Transmigrasi

No. Jenis Pekerjaan Jumlah

1

2

3

4

Tani

Pedagang

Perbengkelan

Lain-lain

142 KK

33 KK

12 KK

13 KK

Total: 200 KK

Sumber : Diolah Berdasarkan Data Kependudukan UPT Desa Koli 2012

Data pada tabel 1 menunjukkan bahwa spesifikasi mata pencaharian

masyarakat terbagi atas petani, pedagang dan perbengkelan namun lebih dominan

sebagai petani ini di karenakan kondisi geografis yang sangat memungkinkan dan

kurangnya penyediaan kebutuhan sehari-hari masyarakat Maluku Utara umumnya

dan kota Tidore khsususnya. Pedagang sendiri terbagi atas pedagang kecil, dan

pedagang jalanan. Untuk perbengkelan sesuai data pada tabel diatas lebih

didominasi oleh etnis Jawa, dengan pengetahuan dan pengalaman kerja

sebelumnya dan coba diaplikasikan di daerah trasmigrasi.

8

4.1.1.7 Pokok-Pokok Temuan

Pada dasarnya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya merupakan

suatu hal yang mutlak harus dilakukan. Mulai dari kebutuhan ekonomi,

pendidikan, status sosial dan budaya. Hal yang serupa juga terjadi di lingkungan

Unit Pemukiman Transmigrasi sejak, eksisnya transmigrasi di desa Koli menjadi

sebuah lapangan baru bagi masyarakat lokal khususnya etnis Makian untuk

meningkatkan taraf hidupnya. Peneliti melihat dari berbagai sisi kehidupan yang

teryata terdapat perubahan seperti sumber mata pencaharian yang beralih,

masyarakat lokal pada awal mulanya lebih cenderung pada pekerjaan ladang

namun dengan berinteksi dengan etnis Jawa khususnya maka, peralihan sumber

mata pencaharian dan keuletan pun terjadi masyarakat lokal (etnis Makian).

Berdasarkan hasil observasi dilapangan peneliti menemukan berbagai

pemasalahan baik secara positif maupun yang lahir secara negatif. Pokok

persoalan yang sering muncul adalah secara internal yaitu kebiasaan untuk

mengubah hidup atau sikap dalam bekerja, cara pandangan, prospek terhadap

masa depan yang kurang cemerlang memberi dampak negatif pada sisi sosial

ekonomi yang buruk bahkan gagal pada persaingan “positif”. Pandangan

masyarakat terhadap manejemen waktu yang terkadang masih minim, padahal

dalam persaingan telah diberikan kesempatan yang sama untuk mengelolah lahan

dan komoditas yang sama pula.

Pada sisi yang lain dapat kita lihat pada pengaruh eksternal, misalnya

masyarakat lokal (etnis Makian) yang lebih cenderung pada pleanning jangka

9

pendek. Pada rana ini kurangnya kesadaran dan kesabaran untuk mencapai sesuatu

yang diinginkan atau dengan kata lain keinginan tinggi dengan kemampuan yang

tebatas. Hal ini seharusnya mereka menyadari untuk menanamkan nilai-nilai etika

misalnya Kerajinan, gotong royong, saling membantu dan bersikap sopan.

Apabila ini terjadi dikalangan etnis Makian maka perubahan pada etos kerja pun

akan terlihat secara nyata.

Sesuai dengan fakta empiris dilapangan terjadi banyak sekali

penyimpangan, salah satunya adalah kurangnya perhatian pemerintah terhadap

masyarakat. Artinya disatu sisi masyarakat telah banyak melakukan perubahan

namun pada sisi yang lain tidak tersedianya pasar untuk menampung hasil yang

ada secara kolektif. Masalah ini secara psikologi dapat memberikan rasa jenuh

dan malas terhadap masyarakat untuk bekerja. Seharusnya pemerintah dengan

sejuta program harus tuntas hingga mampu mengakomodir hasil yang ada.

Temuan lain adalah penyedian pupuk bagi petani yang kurang akibat dari

banyaknya pengusaha yang melakukan peyelewengan.

Hal lain dapat dilihat dalam peningkatan semangat bekerja dan sikap

gotong royong yang semakin terbina dan mengalami peningkatan. Padahal bila

dilihat tempramen dari kedua etnis ini sangat jauh berbeda. Namun teryata terjadi

sebuah kesadaran secara masif bahwa persaingan demi kelangsungan hidup

membutuhkan orang lain dan metode baru. Ada hal tidak dapat di pungkiri dalam

kehidupan bermasyarakat misalnya gesekan-gesekan yang terjadi secara

momentum. Disadari bahwa masyarakat Jawa pada konteks Transmigrasi

10

mendapat penolakan keras namun hal ini tidak berlanjut akibat kesadaran

masyarakat lokal terhadap program pembangunan dan kebijakan pemerintah.

Pada umumnya perubahan yang terjadi di masyarakat dewasa ini adalah

perubahan yang direncanakan, misalnya untuk meningkatkan taraf hidup dan

kesejahteraan keluarga/masyarakat diperlukan rencana yang matang mengenai

perubahan tata cara kehidupan dengan wawasan keluarga kecil dan bahagia,

dengan mengikuti berbagai program pemerintah. Hal ini tidak mungkin akan

terjadi bila tidak ditopang dengan strategi dalam menyediakan fasilitas.

Penggunaan jenis strategi ini akan berhasil apa bila saran perubahan bertumpu

pada, kesadaran terhadap apa yang dihadapi kedepan sehingga merasa perlu

adanya perubahan atau perbaikan, sikap “membuka diri” dengan orang lain demi

berpartisipasi dalam usaha memperbaiki dirinya.

Perubahan sistem mata pencaharian menjadi sebuah tantangan baru dalam

persaingan antara etnis Makian dengan etnis Jawa, hal ini terjadi karena kondisi

lingkungan yang mengharuskan, dan sesuai dengan program pemerintah. Dimasa

transisi masyarakat lokal untuk merubah pola, sikap dan etos kerja harus lebih

unggul membutuhkan etos kerja yang tinggi. Sebab bila tidak demikian akan

tergilas dengan waktu dan kesempatan pasar yang diberikan. Temuan-temuan

dilapangan menjadi tolak ukur keberhasilan individu dan suatu kelompok

sehingga dapat diberikan kesimpulan bahwa etos kerja masyarakat lokal “etnis

Makian” kian mengalami perubahan kearah yang labih baik.

11

4.2 Hasil Penelitian

1.2.1 Penerimaan Etnis Makian Terhadap Etnis Jawa

Kehadiran etnis Jawa di Unit Pemukiman Transmigrasi secara sosiologis

memiliki dampak sosial yang sangat besar, baik pertambahan jumlah penduduk,

persediaan lapangan kerja, pemukiman maupun dari sudut kerawanan sosial.

Kendati demikian dari sudut penerimaan etnis Makian terhadap etnis Jawa ini

sangat positif dan konstruktif. Hal ini di buktikan adanya kerjasama dan saling

pengertian antara etnis Jawa dengan etnis Makian. Pada sentra pemukiman

Transmigrasi tidak ditemukan konflik sosial, kecuali kenakalan remaja sebagai

gejala sosial. Penerimaan yang tergolong positif tersebut telah dimanfaatkan etnis

Jawa untuk menata kehidupan sosial ekonomi secara bertahap.

Etnis makian seperti terkandung dalam filosofiya untuk menerima semua

kalangan, baik golongan, suku, etnis dan ras. Ini menjadi sebuah kajian penting

bagaimana dengan penerimaan etnis Makian terhadap etnis Jawa. Penerimaan

yang dimaksud adalah penerimaan secara totalitas baik dari segi budaya, tradisi

maupun kebiasaan-kebiasaannya. Tentu hal ini akan menjadi suatu kesatuan yang

utuh, bila tertanam sikap solidaritas di lingkuangan sekitar.

Menurut penuturan Ahdar Syarif bahwa:

Kedataangan etnis Jawa sebagai penolong kehidupan ekonomi mayarakat, misalnya kemudahan dalam mendapatkan keperluan hidup sehari-hari. Kehadiran etnis Jawa memberikan kontribusi nyata mulai dari perubahan sikap, presepsi dan etos kerja dari etnis Makian. Penerimaan positif etnis Makian tidak hanya pada satu pemenfaatan sumber daya etnis Jawa namun secara totalitas dengan berbagai bukti misalnya perayaan hari-hari besar, etnis Makian tidak menganggap lagi mayoritas-minoritas sehingga mendominasi setiap segmen kehidupan (wawancara 11 juni 2013).

12

Berdasarkan penjelasan diatas etnis Makian menghendaki hidup yang

selaras dan serasi dengan pola pergaulan saling menghormati. Hidup yang saling

menghormati akan menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga

maupun di masyarakat. Dua prinsip yang paling menentukan dalam pola

pergaulan etnis Makian adalah rukun dan hormat. Dengan memegang teguh

prinsip rukun dalam berhubungan dengan sesama, maka tidak akan terjadi konfik.

1.2.2 Adaptasi Sosial Antara Etnis Jawa dan Etnis Makian

Ketika transmigran ditempatkan untuk pertama kalinya di kawasan

transmigrasi, hal utama yang harus dilakukan adalah beradaptasi dengan suasana

dan lingkungan baru, yang kadang-kadang sangat berbeda dengan kondisi daerah

asalnya. Baik perbedaan menyangkut lingkungan fisik, maupun perbedaan

lingkungan sosial. Semakin cepat masa adaptasi, maka akan semakin baik bagi

transmigran untuk memulai aktivitas produktif, sehingga secara berangsur-angsur

mampu mandiri dan melepaskan diri dari ketergantungan pada bantuan

pemerintah.

Masa adaptasi sangat dipengaruhi oleh seberapa lebar kesenjangan kondisi

lingkungan fisik dan seberapa lentur kondisi lingkungan sosial antara etnis Jawa

dan etnis Makian di Unit Pemukiman Transmigrasi berikut hasil wawancara

menurut:

Firdaus Kuylo menjelaskan bahwa:

Etnis Makian merupakan salah satu etnis yang “tempramental” namun tetap membuka diri bagi siapapun untuk berkomunikasi. Sehingga hubungan antara etnis Makian dengan etnis Jawa sangat terlihat harmonis. Hubungan antara kedua etnis ini sangat menekan pada kerja sama, tolong-menolong, gotong royong dalam berbagai kepentingan baik kepentingan

13

individu (keluarga) maupun kepentingan bersama. Satu hal yang sangat disadari sepenuhnya oleh etnis Makian dan etnis Jawa di UPT desa Koli adalah kebersamaan dalam sikap tenggang rasa dan saling menghargai sebagai tujuan untuk meningkatkan taraf hidup. Oleh karena itu, muncul kesadaran untuk menumbuhkembangkan sikap gotong royong. (wawancara pada 9 Juli 2013). Suwarti menambahkan bahwa:

Hubungan antara etnis Makian dan etnis Jawa sama halnya dengan manusia pada umumnya yang hidup saling kertergantungan. Nah inilah yang menjadi dasar terbentuknya kehidupan yang harmonis di UPT desa Koli-Kosa. Menjadi fakta empiris dilapangan bahwa banyak terbentuknya kelompok yang didalamnya tidak ada sekat-sekat antara etnis yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh terbentuknya kelompok bersama, yang diberi nama JATIMA “Jawa, Tidore, Makian”. Inilah kehidupan sosial terjadi di UPT terjalin dengan baik dalam berbagai sisi kehidupan (wawancara pada 9 Juli 2013).

Berdasar penjelasan diatas maka dapat dikatakan bahwa etnis Makian

lebih mengutamakan rasa kekerabatan dengan etnis disekitarnya. Seperti pada

semangat filosofis kekerabatan orang makian yang disebut sebagai “Gasilim

Nipoyopso” ( Lima sisi melahirkan satu kepala, dan satu kepala melahirkan lima

sisi, dan seterusnya). Filosofi tersebut dimanefestasikan dalam kehidupan

keseharian sehingga dapat membentuk sebuah jaringan-sosial yang kuat dan

mempunyai sifat interdependensi dengan lingkungan sekitar. Semangat inilah

yang kemudian membuat orang makian mempunyai sifat menolong, menopang

dan membesarkan lingkungannya. Sistem kekerabatan juga dibangun menembus

batas teritorial wilayahnya dengan semangat “Daio Nalou Tadopas-dopas,

Maiulona Tadopas te” ( Walaupun kita dipisahkan oleh gunung dan laut, namun

semangat dan hati kita tetap satu).

14

Selain itu melalui pendekatan budaya, agama serta serangkaian sosial

lainnya, pada akhirnya kehadiran etnis Jawa ini dapat diterima warga setempat

khususnya masyarakat etnis Makian. Dengan demikian, telah terbentuk pola

hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme (hubungan saling menguntungkan)

antara etnis Jawa dengan etnis Makian. Di satu sisi kesamaan nasib dan agama

merupakan faktor pendorong terjadinya proses adaptasi khususnya antara etnis

Makian dengan etnis Jawa serta etnis lainnya yang seagama.

1.2.3 Perubahan sikap dan Etos Kerja Etnis Makian

Kemampuan untuk mengidentifikasi diri sendiri, situasi dan lingkungan

sosio-kultur adalah pangkal dari proses pembaharuan (modernisasi), disamping itu

kesadaran akan diri sendiri menjadi sumberdaya moral untuk terus berusaha

hingga tercapainya eksistensi diri sendiri. Etos kerja yang tinggi biasanya muncul

karena berbagai tantangan, harapan-harapan dan kemungkinan-kemungkinan yang

menarik. Jadi dengan situasi dimana manusia itu bekerja dengan rajin, teliti,

berdedikasi serta tanggung jawab yang besar. Kemunculan etos kerja bagi suatu

masyarakat dengan sendirinya merupakan suatu karakter yang menjadi watak

masyarakat itu. Etos kerja suatu masyarakat lahir dan berkembang berdasarkan

standar dan norma-norma yang dijadikan orientasi masyarakatnya. Etos kerja

suatu masyarakat memang merupakan suatu sikap yang dikehendakinya dengan

bebas tumbuh dari suatu kesadaran untuk selalu bekerja dengan tekun.

Dapat dikatakan etos suatu masyarakat atau bangsa adalah sifat, watak,

dan kualitas kehidupan mereka, moral dan gaya estetis serta suasana hati mereka.

Etos adalah sikap mendasar terhadap diri mereka sendiri dan terhadap dunia diluar

15

mereka yang direfleksikan dalam aktifitas kehidupan sehari-hari. Pandangan

dunia mereka adalah gambaran mereka tentang kenyataan apa adanya, konsep

mereka tentang alam, diri dan masyarakatnya. Pandang dunia mereka

mengandung gagasan-gagasan yang paling konprehensif mengenai tatanan,

kepercayaan, dan ritus-religius, kesemuanya saling berhadapan dan saling

mengeluhkan satu sama lain.

Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi (KUPT) Koli, Ishak Lukman, S.P

menuturkan bahwa:

Keberhasilan warga transmigrasi Koli ini disebabkan karena para warga memiliki etos kerja yang tinggi. Warga yang berhasil pada umumnya pekerja keras dan terampil, oleh karena itu mereka lebih cepat berhasil dibandingkan dengan warga lainnya yang etos kerjanya biasa-biasa saja. Para warga memperoleh pemukiman yang sama, lahan pekarangan yang sama, lahan usaha yang sama serta perlakuan yang sama. Namun akhirnya etos kerjalah yang menentukan siapa yang lebih maju dan sejahtera”. (Wawancara pada senin, 08 Juli 2013).

Etos kerja merupakan bagian dari sikap dan perilaku hidup manusia, dan

perilaku manusia selalu diarahkan pada tujuan tertentu agar dapat mencapai suatu

keberhasilan. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk berpikir, memandang

sesuatu dan bertingkah laku dengan cara tertentu yang merupakan bagian dari

kepribadiannya. Begitupun dengan etos kerja, setiap manusia atau bangsa tertentu

di bumi ini memiliki etos kerja yang berbeda-beda. Sebab etos kerja lahir atau

dibentuk dari berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, agama, iklim serta sistem

nilai yang dimiliki. Etos selalu mencerminkan jati diri suatu bangsa atau

masyarakat.

16

Manurut Kifli S. Hasan bahwa:

Secara umum etnis Makian beranggapan bahwa kondisi lahan yang kecil tidak menjanjikan sebuah kehidupan yang layak. Sejak dibukanya UPT desa Koli etnis Makian lebih cenderung menjalakan aktifitasnya sendiri, namun seiring berjalannya waktu anggapan itu terbantahkan dengan sendirinya. Banyak kalangan etnis Jawa yang telah sukses dengan bukti kepemilikan barang-barang mewah seperti mobil, kendaran bermotor dll. Padahal bila dilihat etnis Makian merupakan warga lokal yang memiliki dusun di area UPT yang lebih besar. Namun, hal ini bisa dikatakan gaya hidup yang serba instan telah melekat di benak etnis Makian. Keberadaan UPT (Unit Pemikiman Trasmigrasi) memberikan berbagai dampak positif terhadap etnis Makian yang dahulunya tidak memiliki skill dapat merubah dirinya menjadi lebih baik. Bahkan ketertarikan pun memrambat sampai ke profesi yang lain seperti Pegawai Negeri Sipil yang mengisi kekosongan waktunya dengan bertani (wawancara pada 9 Juli 2013). Dula Adam menuturkan bahwa:

Prospek masa depan merupakan hasil kerja hari ini, dengan semangat untuk mengerjarnya harus memiliki prinsip yang dinamankan lebih dini bahwa “hari ini harus lebih baik dari hari esok” kerja keras mamang penting namun bukan menjadi faktor utama dalam meraih kesuksesan atau dalam meniti masa depan yang lebih matang terlebih dahulu memiliki pleaning/recana yang matang selain itu juga kemampuan untuk menejemen diri. Kesabaran dan ketabahan diri juga penting sekali karena sering kali kita terpuruk dengan kestabilan ekonomi, politik dan sosial budaya yang akan menghiring pada hal-hal yang tidak memberikan dampak positif (wawancara pada 11 Juli 2013).

Makna kerja bagi manusia tidak lagi semata-mata berupa pelepasan enegi

fisik untuk menghasilkan sesuatu, tetapi pada kerja itu sendiri melekat faktor

spiritual. Disamping menghasilkan sesuatu, manusia juga mengekspresikan diri

dalam melaksanakan kerjanya. Disini kerja berfungsi sebagai simbol, jadi sebuah

kode yang menunjuk kepada nilai atau makna tertentu.

Kerja sebagai suatu aktivitas manusia yang mengisi sebagian besar

kehidupannya secara wajar melekat secara integral dalam kehidupannya. Banyak

kegiatan fisikpun sukar dipisahkan dari aspek spiritual kehidupan manusia.

17

Apabila manusia selalu berusaha memberi makna kepada kehidupannya dengan

antara lain dicakup dalam pandangan dunianya, maka sebagian bagian itegral

hidup itu tercakup pula dalam pandangan dunia itu (Sartono Kartodirdjo 1993).

Mengamati secara mendalam kehidupan etnis Makian di UPT desa Koli,

perubahan sikap etos kerjanya, menunjukkan adanya kemajuan sikap positif dan

proaktif, dibandingkan dengan sebelumnya. Akibat dari perubahan ini maka

sangat terlihat jelas reting persaingan hampir menjadi setara dengan etnis Jawa di

daerah UPT desa Koli. Namun masih banyak yang tidak memiliki skill dan

keuletan dalam bidang pertanian dan budaya, hal ini mengyebabkan etnis makian

berada pada posisi transisi dengan etnis Jawa.

Fahrun Muin selaku tokoh pemuda menjelaskan bahwa:

Kami hidup sebelumnya terasa manja oleh lingkungan. Karena begitu gampangnya mencari uang, sehingga rasa angkuh dan pola hidup boros tidak bisa dihindari. Setelah kami berada UPT unit pemukiman transmigrasi desa Koli sikap dan etos itu berubah menjadi lebih hemat, terencana dan bersahaja. Hal ini muncul karena tantangan yang dihadapi dan persaingan yang berbeda. Banyak diantara kami yang sudah menikmati gaya hidup kelas menengah sebelumnya setelah berhasil menaikkan status sosial-ekonomi (wawancara pada 9 Juli 2013).

Mas To mempertegas kembali bahwa:

Manurut penjelasan mas To bahwa uang bisa merubah segalanya, karena kehidupan kami tergantung dari bantuan orang lain, bagaimana bisa bersikap seperti sebelumnya. Penyesuaian diri dengan pola hidup kami yang sederhana dan bersahaja, menjadi panutan mereka untuk meraih sukses kembali. Pola itu sebenarnya yang dibawa nenek dan kakek moyang kami sejak masa lalu dan diwariskan kepada kami hingga meraih kesuksesan (wawancara pada 8 Juli 2013).

18

Berdasarkan penjelasan diatas merupakan suatu pengakuan baik oleh etnis

Makian maupun etnis Jawa. Kehadiran etnis Jawa menjadi pemicu terjadinya

perubahan pola kehidupan bagi etnis Makian dewasa ini. Dahulunya dengan pola

hidup instan berubah menjadi sebuah kesadaran besar kearah perubahan demi

tecapainya kesejahteraan.

4.2.4 Presepsi Etnis Makian dan Etnis Jawa Terhadap Kerja

Bagi masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun

perkotaan cenderung beranggapan bahwa mereka harus terus berikhtiar dan

bekerja. Bagi mereka, bekerja merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan

hidup. Sebaliknya bagi masyarakat kelas menengah dan atas telah memiliki tujuan

dari hakekat kerja, sehingga usaha yang dijalankannya selalu dihubungkan dengan

hasil yang diharapkan. Bagi mereka bekerja adalah segala sesuatu yang dicita-

citakan dan harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh, artinya untuk

mewujudkan cita-cita diperlukan biaya dan pengorbanan. Selain etnis Jawa,

pandangan etnis Makian bahwa bekerja keras sudah merupakan soal biasa, bahkan

sudah tertanan dalam diri mereka sejak lama.

Hendra Gusriawati, menjelaskan bahwa:

Bekerja sebagai petani sudah menjadi nasib kami, namun kami tidak bersikap berpangku tangan menerima takdir tanpa berusaha. Sebagai etnis Jawa kami memang tidak terbebas sama sekali dari konsep yang disebut dengan “nrimo”. Konsep ini adalah cara pandang hidup mereka terhadap apa yang sudah ditakdirkan tuhan terhadap mereka namun “nrimo ” bukan berarti hanya berdiam diri dan menyerah pada nasib. “Nrimo” adalah sebuah pandangan bagi orang Jawa dalam memandang hidup yaitu dengan mensyukuri pemberian Tuhan dan selalu berusaha untuk menjadi lebih baik. Sistem pengetahuan ini sangat erat hubungannya dengan keyakinan

19

mereka sebagai umat Islam dalam memandang hidup. Keyakinan ini mereka sebut dengan “sinten ingkang ndamel ngangge, sinten ingkang nanem ngunduh” (siapa yang berusaha dialah yang akan berhasil dan siapa yang menanam dialah yang akan memanen) (wawancara 12 Juli 2013).

Keyakinan yang melekat dalam kehidupan transmigran Jawa tersebut

merupakan bentuk sistem pengetahuan yang mereka miliki. Keyakinan tersebut

menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan dan menjadi nilai-nilai yang selalu

mereka jadikan sebagai pedoman untuk selalu berusaha dan tekun bekerja.

Konsep “nrimo” merupakan taksonomi atau klasifikasi dari bahasa milik orang

Jawa yang menunjukkan cara pandang mereka terhadap hakikat hidup dan

bekerja. Etos kerja berhubungan erat dengan sistem keyakinan yang gambarkan

oleh Max Weber (2006) dalam bukunya Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme,

selain itu perkembangan pendidikan juga sangat penting.

Jamal Faruk menjelaskan bahwa:

Bekerja, seperti yang diistilahkan oleh etnis Makian adalah “Mpe te de mon te” (tidak bekerja maka jelas tidak bisa makan). Makna yang terkandung didalam istilah ini merupakan sebuah dorongan bagi etnis Makian untuk bekerja. Bekerja demi meningkatkan status sosial adalah suatu keharusan bagi etnis Makian misalanya, untuk menunaikan ibadah haji, keluarga bergotong royong untuk memenuhi kebutuhan yang bersangkutan. etnis Makian juga dikenal dengan salah satu etnis di Maluku Utara yang mayoritas beragama islam. Dengan berdasarkan keyakinan terhadap ajaran agama islam seperti sesuatu tidak akan datang dengan sendirinya namun harus dibarengi dengan kerja keras dan berdoa dengan sunguh-sungguh, (wawancara 10 Juli 2013).

Hasil observasi yang dilakukan peneliti tentang cara-cara etnis Makian dan

Etnis Jawa mengatasi kebutuhannya cukup berfariasi, diantaranya mereka

berjualan hasil tani kepada masyarakat sekitar untuk memperoleh penghasilan,

bekerja sebagai tukang kayu bagi kaum laki-laki yang memiliki keterampilan

dibidang tersebut, bekerja sebagai tukang ojek, petani, dan sebaggainya.

20

Pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan etnis Makian dan etnis Jawa disamping

sebagai tindakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, jika kemungkinan akan

dikembangkan terus akan menjadi sumber pencaharian mereka dalam jangka

panjang di unit pemukiman transmigrasi.

4.3 Pembahasan

4.3.1 Proses Transformasi Etos Kerja Etnis Makian

Terjadinya transformasi bertumpu pada bertemunya kedua unsur yang

berbeda kemudian menghasilkan sesuatu yang baru. Pada konteks transformasi

etos kerja tentu menjadi pilihan berat bagi kedua unsur tersebut kerena didorong

oleh persaingan maka, akan terjadinya asas pemanfaatan waktu kerja, keuletan

kerja, dan peningkatan etos kerja. Tentu bukan suatu hal yang mudah untuk

mentransformasi diri pada era modernisasi namun menjadi sebuah keharusan

untuk melakukannya demi kelangsungan hidup dan ganasnya melawan himpitan

ekonomi, sosial, budaya dan politik.

Secara historis etnis Makian adalah salah satu etnis yang menjunjung etos

kerja tinggi salah satunya tercermin dalam etos kerja etnis Makian yang dikenal

bekerja keras. Meskipun budaya kerja atau etos kerja tinggi telah diterapkan sejak

dahulu, namun seiring berjalannya waktu etos kerja tinggi yang telah tertanam

sejak dulu dalam jiwa etnis Makian, sedikit demi sedikit mulai terkikis oleh

berbagai pengaruh modernisasi, masalah sosial seperti masalah dalam pemerintah

kurang terorganisir dan cenderung memanfaatkan rakyat demi kepentingan

sendiri, kemajuan teknologi yang mengajarkan masyarakat untuk hidup serba

21

instan dan serba mudah yang akhirnya malah mengembangkan budaya malas

dalam jiwa masyarakat maka kiranya tak salah jika kita mengatakan bahwa kini

etos kerja tinggi telah berganti menjadi budaya malas. Namun dari sekian banyak

warga etnis Makian tentu tidak semua memiliki etos kerja rendah adapula yang

masih memegang teguh etos kerja, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai

leluhur.

Pada perkembangannya dilapangan terlihat berbagai perubahan konkrit, ini

terjadi karena adanya kesadaran akan persaingan hidup antara etnis Jawa dengan

enis Makian. Salah satu contohnya adalah kesadaran masyarakat lokal yang

menganggap bahwa persaingan yang terjadi adalah persaingan didalam kawasan

kita sendiri, anggapan ini merunjuk pada konsep kebangsaan “tanah ini adalah

tanah air kita haruskah kita menjadi pengemis?” dengan semangat demikian tentu

menjadi sebuah prospek masa depan. Proses transformasi etos kerja etnis Makian

tidak terjadi dengan sendirinya namun mendapat pengaruh lain seperti nilai-nilai

etika yang dikaitkan dengan etos kerja seperti rajin, bekerja, keras, berdisplin

tinggi, menahan diri, ulet, tekun yang diterapkan oleh etnis Jawa.

Tidak hanya Nalai-nilai etika, namun Unsur-unsur untuk menumbuhkan

etos kerja juga menjadi barometer dalam proses transformasi etos kerja misalnya

pertama, Kejujuran. Kejujuran merupakan sifat dasar yang mesti dimiliki oleh

seorang karyawan atau pekerja. Jujur dalam diri sendiri akan tercermin dalam

perilaku keseharian seseorang. Lebih jujur juga akan mendapatkan kepercayan

lebih dari orang lain. Kedua, Rasa tanggung jawab merupakan cerminan bahwa

kita memiliki komitmen yang tinggi atas apa yang kita lakukan. Ketiga, Perlunya

22

pengakuan atau penilaian atas prestasi kerja, hal ini akan menciptakan rasa saling

menghormati dan menghargai karya satu sama lain di dalam perusahaan. Empat

elemen di atas perlu diaplikasikan melalui rasa kepedulian baik dalam lingkungan

sendiri maupun masyarakat luas.

4.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Transformasi Etos Kerja Etnis

Jawa terhadap Enis Makian

Transformasi etos kerja etnis Jawa terhadap etnis Makian di Unit

pemukiman Transmigrasi terjadi karena dipengaruhi oleh fator-faktor berikut:

Faktor Agama, masyarakat yang bermukim di Unit Pemukiman

Transmigrasi desa Koli mayoritas menganut agama islam, etnis Makian dan etnis

Jawa tetap memegang teguh keyakinannya dan ajaran-ajaran agama islam. Maka

seperti yang di ajarkan didalam kitab suci Al-Qur’an seperti surat An-Najm ayat

39: "Seseorang tiada memperoleh selain dengan apa yang diusahakannya."

Keberhasilan adalah hak setiap individu, keberhasilan tidak datang dengan

sendirinya namun asal dia mau berusaha dan bekerja. Sehingga keberhasilan yang

diperoleh adalah sesuai dengan yang diusahakannya.

Faktor Budaya, kualitas etos kerja ditentukan oleh sistem orientasi nilai

budaya. Etnis Jawa memiliki sistem nilai budaya yang terdiri dari lima hakekat

pokok, yaitu: Hakekat hidup, etnis Jawa memandang hakekat hidup dengan

menerima yang telah diberikan Tuhan secara apa adanya, harus tabah dan pasrah

dengan takdir serta ikhlas menerima segala hal yang diperolehnya dan selalu

berusaha. Hakekat kerja, Bagi etnis Jawa bekerja adalah segala sesuatu yang

23

dicita-citakan dan harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh, artinya

untuk mewujudkan cita-cita diperlukan biaya dan pengorbanan. Hakekat waktu,

Banyak orang berpendapat bahwa etnis Jawa itu kurang menghargai waktu. Hal

ini disebabkan karena ada pemahaman mereka bahwa melakukan segala sesuatu

tidak usah terburu-buru, yang penting selesai. Hakekat hubungan manusia dengan

sesamanya, Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras dan serasi dengan

pola pergaulan saling menghormati. Hidup yang saling menghormati akan

menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di

masyarakat. Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya, Pandangan

hidup etnis Jawa adalah mengharuskan manusia mengusahakan keselamatan dunia

beserta segala isinya agar tetap terpelihara dan harmonis.

Selanjutnya dalam diri etnis Makian mempunyai pandangan filosofi yang

diambil melalui “buah kenari” dan dijadikan simbol jati diri etnis makian. Kenari

dapat diartikan sebagai sesuatu yang keras (kulitnya), namun didalamnya terdapat

isi yang putih, menandakan etnis Makian yang keras (bersemangat) dalam

berjuang, dan selalu bersandarkan pada nilai kebaikan bersama. Karenanya,

dengan semangat filosofi dan etos kerja yang tinggi itu bukanlah sesuatu yang

mustahil jika hingga kini peranan etnis makian diberbagai sektor kehidupan

dimaluku utara, diantaranya, birokrasi, politik,pendidikan, sangatlah dominan.

Faktor sosial politik, Maluku Utara dikenal dengan letak geografisnya

yang berpulau-pulau dengan 28 etnis dan 29 bahasa tersebar di maluku utara.

Daerah ini dikenal dengan empat kerajaan besar dan kerajaan kecil lainnya yang

24

hingga kini masih eksis. Dengan demikian semangat primordialisme pun masih

tertanam pada setiap diri etnis di Maluku Utara. Hal ini dapat memberi pengaruh

besar terhadap kondisi sosial politik di maluku Utara.

Faktor lingkungan (geografis), lingkungan alam yang mendukung

mempengaruhi manusia berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat

mengelola dan mengambil manfaat. Keadaan alam di unit pemukiman

transmigrasi desa Koli seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa sangat potensial

dipertanian dengan keadaan topografi dataran rendah 664,00 ha, bergelombang

roling 5,00 ha dan dataran tinggi atau perbukitan 2,00 ha. Selain keadaan

topografi, iklim yang mendukung dengan curah hujan rata-rata 2,372, kelembaban

rata-rata 81,1 % dan temperatur rata-rata 27,25 0 C serta berada pada tepi sungi

tayawi sehingga kesuburan tanah sangat baik.

Faktor pendidikan, peningkatan Sumber Daya Manusia khususnya etnis

Makian juga dipengaruhi oleh pengalaman hidup bersama etnis Jawa. Etnis Jawa

dengan skill dalam mengolah lahan yang minim menjadi produktif kemudian,

pengetahuan tentang penggunaan alat-alat teknologi pertanian dan pengusaan

dalam bidang pertanian misalnya pemberantasan hama atau penyakit pada

tanaman. Kemampuan etnis Jawa dalam sistem irigasi juga terbilang cukup baik

dilain pihak etnis Makian juga terkenal dengan kemampuan dan penguasaan pada

hal tertentu. Sehingga di lingkungan unit pemukiman transmigrasi begutu

berkembang pesat.

25

Faktor Motivasi, merupakan daya dorong untuk memperoleh apa yang kita

inginkan. Motivasi sering muncul dalam diri sendiri (In) dan juga ada pengaruh

dari luar (eks) antara, etnis Jawa dengan etnis Makian tentu mempunyai nilai

budaya yang berbeda dan nilai budaya ini akan menjadi motivasi tersendiri bagi

setiap individu. Etnis Makian seperti yang terkandung dalam filosofi buah kenari

dengan kulit yang keras (semangat) dan isinya putih (kesucian) dalam bekerja

seperti yang di uraikan oleh Jasen Sinamo. Sementara etnis Jawa dengan konsep

Nrimo bukan hanya berpangku tangan dengan keadaan yang ada melainkan

dengan keadaan seperti ini mengharuskan untuk bekerja lebih giat lagi.

Semakin tinggi tingkat kebutuhan seseorang maka semakin giat harus

bekerja dan berusaha untuk mencapainya. Bila melihat tingkat kebutuhan keluarga

di Unit Pemukiman Transmigrasi tergolong sejahtera. Himpitan ekonomi bukan

menjadi halangan bagi meraka untuk putus asa dan berpangku tangan. Sehingga

kesejahteraan keluarga dan kamajuan daerah terlihat secara nyata dengan hadirnya

transmigrasi.