lapsus tht ozaena
DESCRIPTION
OZAENATRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Secara
klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering,
sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.1 Etiologi dan patogenesis rinitis
atrofi sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Oleh karena
etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan
ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menunjukan
perbaikan, dilakukan operasi. Biasanya diagnosis rinitis atrofi secara klinis tidak
sulit. Biasanya sekret berbau, bilateral, terdapat krusta kuning kehijauan. Keluhan
subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara
pasien sendiri menderita anosmia).1,2
Menurut Boies frekwensi penderita rinitis atrofi wanita : laki-laki adalah 3 : 1.
Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia
pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi
rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.1,2 Rinitis
atrofi atau ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada
di Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di
Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu
penurunan tajam dalam insidens ozaena.2,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Hidung
Secara anatomis, hidung terbagi atas hidung luar dan rongga dalam
hidung. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah : pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung
(hip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: tulang hidung (os
nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor,
dan tepi anterior kartilago septum.4
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang yang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut
nares anterior sedangkan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.4,5
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior, dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina
perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, dan krista nasalis os
palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa
hidung.4,5
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, yang
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan
tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan
konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.4,5
Gambar 1. Anatomi kavum nasi dan konka2
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus.Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.4,5
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.4,5
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk
oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga
hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid.
Tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-
serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os
sfenoid.4,5
Vaskularisasi
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung
di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.4
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor, yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung
mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena
di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki
katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai ke intrakranial.4
Persarafan
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari
n. oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n. maksila melalu ganglion sfenopalatina.4 Ganglion
sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut saraf dari n. maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n.
petrosus superfisialis mayor, dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media.4 Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.4
B. Fisiologi Hidung4
Berdasarkan teori struktur, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidug dan sinus paranasal adalah :
1. Fungsi respirasi
Untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal. Udara respirasi masuk ke hidung menuju sistem
respirasi melalui nares anterior, lalu naik keatas setinggi konka media dan
kemudian turun kebawah kearah nasofaring. Aliran udara yang melalui
hidung di atur sehingga berkisar 37̊:C. Fungsi pengatur suhu ini di
mungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan
d saring di hidung oleh ; rambut (vibrisse) pada vestibulum nasi, silia,
palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-
partikel yang besar akan di kelurakan denfan reflex bersin.
2. Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indera penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
3. Fungsi fenotik
Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
4. Reflex nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan sekresi refleks bersin dan berhenti nafas. Ransang bau
tertentu dapat menyebabkansekresi kelenjer liur, lambung, dan pancreas.
C. Definisi
Rinitis atrofi merupakan penyakit kronik nonspesifik yang ditandai dengan
mukosa dan konka yang atrofi, kelainan mukosa yang menyebabkan terbentuknya
krusta, kavum nasal yang luas, anosmia, dan bau busuk. Rinitis atrofi memiliki
banyak istilah lain seperti Rinitis sika, Rinitis kering, sindrom hidung terbuka dan
ozaena.2,6,7̊
D. Epidemiologi
Penyakit ini paling sering menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun,
terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan status estrogen
(faktor hormonal). Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian
wanita:pria adalah 3:1.1 Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di
negara-negara berkembang. Penyakit ini muncul sebagai endemi di daerah
subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa
Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan ekonomi rendah
dengan status higiene buruk.1
E. Etiologi
Penyebab pasti dari rinitis atrofi (ozaena) belum diketahui secara jelas sampai
sekarang. Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofi dan penyakit
degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter. Namun ada
beberapa teori dan keadaan lain yang dianggap berhubungan dengan terjadinya
rinitis atrofi (ozaena), yaitu :1,2
1. Infeksi oleh kuman spesifik. Kuman yang paling sering ditemukan
adalah spesies Klebsiella, terutama Klebsiella ozaena. Kuman ini
menghentikan aktivitas silia normal pada mukosa hidung manusia.
Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain
Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus mucosus,
Diphteroid bacilli, dan Cocobacillus foetidus ozaena.
2. Defisiensi Fe (zat besi).
3. Defisiensi vitamin A.
4. Infeksi sekunder, misalnya sinusitis kronis.
5. Kelainan hormonal, misalnya ketidakseimbangan hormon estrogen.
6. Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.
7̊. Dan lain sebagainya
F. Klasifikasi
Menurut dr. Spencer Watson (187̊5), rinitis atrofi dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu berdasarkan gejala klinis dan berdasarkan penyebab/ etiologinya.
Berdasarkan gejala klinis, rinitis atrofi dibedakan menjadi: 8
1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan
mudah ditangani dengan irigasi.
2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang
berbau.
3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis,
ditandai oleh rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.
Sedangkan berdasarkan penyebab/etiologinya, rinitis atrofi dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu sebagai berikut: 8,9
1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang
didiagnosis pereklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung,
atau radiasi disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella
ozenae. Dengan kata lain, rinitis atrofi primer adalah rinitis atrofi yang
terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya.
2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan
di negara berkembang. Rinitis atrofi sekunder merupakan komplikasi dari
suatu tindakan atau penyakit. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus,
radiasi, trauma, serta penyakit granuloma dan infeksi.
G. Patogenesis
Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasia epitel kolumnar bersilia
menjadi epitel skuamosa atau atrofik dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat
pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran serta adanya
endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara
patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua :10
1. Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal
akibat infeksi kronik, membaik dengan efek vasodilator dari terapi
estrogen.
2. Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah buruk dengan terapi
estrogen.
Sebagian besar kasus rinitis atrofi merupakan tipe I. Endarteritis di
arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa, juga akan
ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young11 mendapatkan sel
endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya
absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus
menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka
menyebabkan saluran nafas menjadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori
proses autoimun.10,11
Dobbie11 mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan
protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya
resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan
pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik
terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan
juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus
akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta
yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.10,11
Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (ozaena), yaitu :11
1. Mukosa hidung berubah menjadi lebih tipis.
2. Silia hidung akan menghilang.
3. Pada epitel hidung akan terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak
bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis.
4. Kelenjar hidung akan mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil),
atau jumlahnya berkurang.
H. Gejala Klinis
Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung
tersumbat, gangguan penciuman (anosmia), ingus kental yang berwarna hijau,
adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung
terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien
biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) sehingga
pasien biasanya tidak merasakannya, sedangkan orang lain yang penciumannya
normal yang biasanya akan terganggu dengan bau tersebut.1,3
Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak
ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin
lebar/ lapang, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas
lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan
hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf
pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.11,12
I. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan
rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika
krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi
media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret purulen
dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga ditemui ulat/
telur larva (karena bau busuk yang timbul).7̊,10
Sutomo dan Samsudin10 membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 10
1. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan
berlendir, krusta sedikit.
2. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering,
warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
3. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak
sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta
di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini
mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya
pertama mengenai mukosa hidung, tampak beberapa daerah metaplasia yang
kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia dan terbentuk
krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan
pendarahan.2
Atrofi tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih
besar, namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung. Secara perlahan
keadaan ini akan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan
semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara
fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan akan semakin menyeluruh. Jaringan di
sekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka
tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta, dan iritasi mukosa
hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring, dan laring. Keadaan ini
dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah
kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus
lakrimalis termasuk keratitis sicca.1,2
Gambar 2.(kiri) Endoscopy menunjukkan krusta kehijauan, (kanan)cavum nasi tampak lapang
J. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis,
antara lain transluminasi, foto rongen sinus paranasal, pemeriksaan
mikroorganisme dan uji resistensi kuman, pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
Fe serum dan pemeriksaan histopatologik.
CT scan dianjurkan jika diagnosis meragukan. Pada CT scan dapat
ditemukan :13,14
1. penebalan mukoperiosteum sinus paranasal
2. kehilangan ketajaman dari kompleks sekunder osteomeatal untuk
meresobsi bula etmoid dan proses “uncinate”.
3. hipoplasia sinus maksilaris
4. pelebaran kavum hidung dengan erosi dan membusurnya dinding lateral
hidung .
5. resopsi tulang dan atrofi mukosa pada konka media dan inferior.
Gambar 3. CT-Scan Rinitis Atrofi13
Secara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia
menghilang, metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng
berlapis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi dan atrofi serta jumlahnya berkurang dan
bentuknya jadi kecil.15
Gambar 4. Microphotograph menunjukkan metaplasia skuamosa15
Gambar 5. Microphotograph menunjukkan pembuluh darah melebar15
K. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.1,16
L. Diagnosis Banding
Diagnosa banding dari rhinitis atrofi adalah (1) Rinitis kronik tbc, (2) rinitis
kronik lepra, (3) rinitis kronik sifilis, (4) sinusitis.1,17̊
M. Penatalaksanaan1,2,6
Karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatan rinitis atrofi belum ada
yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan mengatasi gejala.
Pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau pembedahan.
Konservatif
Diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi
kuman. Terapi secara paliatif dapat di lakukan dengan melakukan irigasi atau cuci
hidung untuk menghilangkan bau dan membersihkan krusta. Nasal
irrigation&douches, dengan komposisi 28.4g sodium bicarbonate (disolusi
krusta), 28.4g sodium diborate (antiseptik, bertindak sebagai bakterisidal dalam
asam dan membantu untuk membuffer bicarbonate), 56.7̊ sodium chloride (untuk
membuat larutan menjadi isotonik). Satu sendok teh campuran diatas dicampur
dengan 280ml air hangat-luke, dapat digunakan sebagai douches pada kavum
nasi untuk membersihkan krusta menggunakan disposibel 10 atau 20 cc. Dapat
diulang 3-4 kali sehari.
Saat prosedur berlangsung, pasien diminta untuk terus mengucapkan
“K,K,K…” untuk menutup nasofaringeal isthmus, sehingga resiko aspirasi jadi
semakin kecil. Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi
dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring
dikeluarkan melalui mulut.
Berdasarkan studi di California, penggunaan hipertonik salin pulsasi nasal
irigasi selama tiga sampai enam minggu menunjukkan perubahan yang
signifikan pada gejala-gejala tersebut. Jika sukar mendapatkan larutan diatasm
dapat dilakukan juga dengan menggunakan 100cc air hangat, satu sendok makan
betadine (15cc), atau larutan garam dapur setengah sendok teh dicampur segelas
air hangat. Dapat diberikan juga vitamin A 3x50.000 unit dan preparat FE selama
dua minggu. Tetes hidung glukosa-gliserin juga dapat diadministrasikan setelah
melakukan douches. Glukosa diharapkan dapat menghambat infeksi saprofitik,
dan bakteri proteolitik, serta meningkatkan pertumbuhan flora komensal. Gliserin
disisi lain membantu sebagai lubrikan dan agen higroskopik. Efek samping dari
gliserin dapat menyebabkan iritasi. Pada Rinitis Atrofi tipe satu dapat
diberikan, estradiol dalam minyak arachis dalam bentuk obat tetes dan semprot
(100.000 unit/ml). Perlu diperhatikan, penggunaan dekongestan merupakan
kontraindikasi pada rinitis atrofi karena dapat memperburuk patologis penyakit.
Pembedahan
Dilakukan jika tidak ada perbaikan setelah diberikan pengobatan
konservatif. Prinsip pembedahan pada rinitis atrofi dibagi dalam empat kelompok
besar:
1. mengurangi ukuran dari kavum nasi, untuk mengurangi turbulensi
udara dalam kavum nasi dan mencegah pengeringan mukosa serta
produksi krusta,
2. menginduksi regenerasi mukosa normal nasal dengan cara
penyempitan rongga hidung sebagian atau total, dengan implantasi,
dilakukan selama dua tahun,
3. meningkatkan lubrikasi pada mukosa nasal yang kering,
4. improvisasi vaskularisasi pada kavum nasi.
Pembedahan dengan tujuan mengurangi ukuran dari kavum nasi
pertama kali dilakukan oleh Lautenschlager, dengan cara menarik dinding lateral
nasal kearah medial, atau dinding edial dari antrum maksilaris dengan metode
Caldwell-Luc. Tindakan ini sering disebut juga “rekalibrasi fosa nasalis”.
Menginduksi regenerasi mukosa nasal dapat dilakukan dengan beberapa cara,
seperti Metode Young, disusul dengan Modifikasi Sinha, Modifikasi Gadre,
Ghosh’s vestibuloplasty., dan lainya saling berkaitan dengan metode young.
Induksi lubrikasi pada kavum nasal yang kering dapat dilakukan dengan
metode Wiitmack, dimana dilakukan implantasi duktus stensen ke antrum
maksilaris. Injeksi ganglion stellate dilakukan dengan tujuan adanya improvisasi
vaskularisasi kavum nasi.
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain:
1. Operasi Young
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Telah dilaporkan hasil yang
baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan
menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga
tahun.
2. Operasi Young yang dimodifikasi
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3. Operasi Lautenschlager
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid,
kemudian dipindahkan ke lubang hidung.
4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan
sintetis seperti teflon, campuran triosite dan lem fibrin.
5. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasi Wittmack)
dengan tujuan membasahi mukosa hidung.
Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara lain:13
1. Simpatektomi servikal
2. Blokade ganglion Stellata
3. Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina
Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap
faring pada penderita rinitis atrofi anak berhasil dengan memuaskan. Penutupan
ini juga dapat dilakukan pada nares anterior yang bertujuan untuk
mengistirahatkan mukosa hidung.
N. Komplikasi
Komplikasi dari rinitis athrofi dapat berupa: perforasi septum, faringitis,sinusitis,
miasis hidung, hidung pelana.17̊
O. Prognosis17̊
Prognosis rinitis atrofi tergantung dari etiologi dan progresifitas penyakitnya,
jika cepat ditangani umumnya akan berakhir baik. Jika penyakit didiagnosa pada
tahap awal dan penyebabnya dapat dipastikan bakteri, maka terapi antimikrobial
yang adekuat serta cuci hidung yang rutin diharapkan dapat mengembalikan
fungsi hidung kembali. Jika penyakit didapati dengan gejala klinis yang parah,
tetap dicoba dengan terapi medika mentosa, dan jika tidak berhasil perlu
dipikirkan untuk melakukan tindakan bedah.
Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada
pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan
dalam pengobatan.
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. EP
Umur : 54 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Benteng atas
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Swasta
Waktu Pemeriksaan: Poli klinik THT RSUD dr. M. Haullusy Ambon
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 06-01-2015
B. Anamnesis
- Keluhan Utama: pilek.
- Anamnesis Terpimpin:
Pasien datang ke Poliklinik THT dengan keluhan pilek sejak 3 tahun lalu.
Keluhan dialami pada kedua lubang hidung dan hilang timbul. Ingus
berwarna putih hingga kehijauan, konsistensi cair hingga kental. Pasien
juga sering mengeluh hidung tersumbat pada kedua hidung dan terkadang
pasien sering mengeluh bau busuk pada hidung. Nyeri kepala (+) pada
seluruh bagian kepala. Riwayat alergi (-), nyeri tenggorokan (-), sesak
nafas (-), keluhan lain pada telinga (-), batuk (+) lendir berwarna putih.
- Riwayat penyakit yang sama: (-)
- Riwayat Penyakit Dahulu: Hipertensi (-), DM (-)
- Riwayat Keluarga: (-)
- Riwayat Pengobatan: tidak ada obat yang diminum
- Riwayat Kebiasaan : Korek hidung dengan kuku tajam (+), minum air es
(+).
17
C. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Telinga
a. Inspeksi Telinga: normal
b. Otoskopi
Kanan Kiri
Daun Telinga Nyeri Tekan(-)
Nyeri Tarik Aurikula (-)
Nyeri Tekan(-)
Nyeri Tarik Aurikula (-)
Liang Telinga Lapang, serumen (-) Lapang, serumen (-)
Membran
Timpani
Intak, reflex cahaya (+) Intak, reflex cahaya (+)
c. Pemeriksaan Pendengaran
Kanan Kiri
Rinne (+) (+)
Weber Tidak ada lateralisasi Tidak Lateralisasi (-)
Swabach Sesuai dengan pemeriksa Sesuai dengan pemeriksa
2. Pemeriksaan Hidung
a. Rhinoscopy Anterior
Kanan Kiri
Cavum Lapang, sekret (-) Lapang, krusta (+),sekret
(+)
Chonca Hiperemis (-) Edema (-) Hiperemis (-), edema (-)
Septum Deviasi (-), spina (-) Deviasi (-), spina (-)
b. Rhinoskopi posterior: Tidak diperiksa.
c. Laringoskopi Indirect : Tampak hiperemis, sekret (+).
18
3. Pemeriksaan Tenggorokan
- Tonsil : T1/T1 tenang
- Dinding faring : Hiperemis (-), granuler (-), post nasal drip (-)
- Uvula : deviasi (-)
4. Pemeriksaan Leher
- Kelenjar Limfe : (-)
- Kelenjar Tiroid : (-)
- Nodul : (-)
D. Pemeriksaan penunjang : Tidak dilakukan
E. Diagnosis: Laringitis kronik + Rinitis atrofi
F. Terapi
- Clindamycin cap 300mg 2 dd 1 cap
- Vestein 3 dd 1 tab
19
BAB IV
DISKUSI
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Keluhan
penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan
penciuman (anosmia), ingus kental yang berwarna hijau, adanya krusta (kerak)
berwarna hijau, sakit kepala, bau busuk pada hidung. Pada kasus ini ditemukan
keluhan hidung tersumbat, gangguan penciuman (anosmia), ingus kental yang
berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, dan bau pada
hidung yang sudah dialami sejak 3 tahun yang lalu dan hilang timbul.
Pada kasus ini, pasien merupakan seorang wanita, dimana epidemiologi rinitis
atrofi terbanyak terjadi pada wanita dibandingkan pria. Pada teori dikatakan bahwa
rinitis atrofi terjadi pada usia 1-35 tahun, dimana terbanyak terjadi pada usia pubertas.
Namun, dalam kasus pasien berusia 54 tahun.
Diagnosis rinitis atrofi ditegakkan melalui anamnesis (gejala klinis),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini dari hasil pemeriksaan
rhinoskopi anterior ditemukan cavum nasi lebih luas dan lapang, pada cavum kiri
ditemukan krusta berwarna kehijauan, dan concha kedua hidung sudah atrofi. Pada
kasus belum dilakukan pemeriksaan penunjang, baik pencitraan, kultur sekret,
maupun, apusan hidung untuk melihat perubahan epitel.
Penatalaksanaan rinitis atrofi yakni secara konservatif maupun pembedahan.
Secara konservatif, pasien diberikan antibiotik spektrum luas dengan uji resistensi
dan uji kepekaan. Pada kasus, pasien diberikan antibiotik Clindamycin dengan dosis
yang sesuai namun tanpa uji resistensi dan uji kepekaan dikrenakan waktu yang lama
dalam menunggu hasil pengujian. Terapi secara paliatif yakni dengan melakukan
irigasi atau cuci hidung untuk menghilangkan bau dan membersihkan krusta perlu
20
dipertimbangkan untuk pasien. Terapi vestein® (Erdosteine) yang diberikan tujuannya
sebagai mukolitik karena pada pemeriksaan laringoskop indirect terdapat sekret.
BAB V
KESIMPULAN
Rinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Penyakit ini paling sering
menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini
dihubungkan dengan status estrogen (faktor hormonal). Rinitis atrofi kebanyakan
terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1.
Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder. Rinitis atrofi
primer adalah rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya,
sedangkan rinitis atorfi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau
penyakit. Rinitis atrofi primer adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana
penyebab pastinya belum diketahui namun pada kebanyakan kasus ditemukan
klebsiella ozaenae.
Keluhan biasanya berupa nafas berbau, ada ingus kental yang berwarna
hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu (penciuman), sakit kepala, dan
merasa hidung tersumbat. Pada pemeriksaan THT didapatkan rongga hidung sangat
lapang, konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen berwarna
hijau, dan krusta berwarna hijau. Penatalaksanaan dapat diberikan secara konservatif
atau kalau tidak menolong dilakukan pembedahan. Pengobatan konservatif diberikan
antibiotik spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman dengan dosis yang
adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Endang, M. & Nusjirwan, R. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. Jakarta.
2. Adams GL, Boies Jr LR, Higler PA. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Ed 6.
Wijaya C, alih bahasa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC),1997̊: 17̊3-
188, 221-2
3. Dutt SN, Kameswaran M. Aetology and Management of atropic rinitis.
Journal Otolaryngol. 2005 Nov;119:843-52
4. Endang, M. & Nusjirwan, R. Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006. Jakarta.
5. Ballenger JJ. The technical anatomy and physiology of the nose and
accessory sinuses. In Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head, & Neck.
Fourteenth ed. Ballenger JJ. Lea & Febinger. Philadelphia, London, 1991:
p.3-8.
6. Yucel A, Aktepe O, et al. Atrophic Rinitis: a case report. Turk J Med sd.
2003 July 2008; 33:405-7̊
7̊. Moore & Kern. Atrophic Rinitis. American Journal Of Rhinology.
2001;15(6): 355-61
8. Cowan, Alan MD. Atrophic Rhinitis. Grand Round Presentation, UTMB,
Dept of Otolaryngology 2005.
9. Yucel, Aylin, et al. Atrophic Rinitis : A case report, Turkey Journal Medical
Scientists. 2003; 33: 405-7̊.
10. Asnir, Rizalina Arwinati. Rinitis Atrofi. Cermin Dunia Kedokteran. 2004:144.
11. Ballenger JJ. Chronic Rhinitis and Nasal Obstruction. In : Ballenger JJ, Snow
22
JB, editors. Otorhinolaryngology Head and Neck 15th Baltimore,
Philadelphia. Williams & Wilkins, 1996: p.129-34
12. Soedarjatni. Updated 197̊7̊. Foetor Ex Nasi. Available from :
http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2015, January 13. Sumber : Cermin Dunia
Kedokteran No. 9, 197̊7̊.
13. Yuka Sevil Ari et all. A forgotten difficult entity:Ozena Report of two
cases. Eastern Journal of Medicine 15. 2010: 114-117̊.
14. Mark E. Friedel et all. Skull base defect in a patient with ozena undergoing
dacryocystorhinostomy. Allergy Rhinol (Providence). 2011 Jan-Mar; 2(1):
36–39.
15. Marisa A. Earley, et all. Study of Histopathological Changes in Primary
Atrophic Rhinitis. ISRN Otolaryngol. 2011: 26947̊9.
16. Thiagarajan, Balasubramanian. Atrophic Rhinitis. A Literature Review.
Webmed Central: ENT Scholar Review articles 2012;3(4):WMC003261.
17̊. Munir, Delfitri. Penatalaksanaan Rinitis Atrofi (Ozaena) Secara Konservatif.
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Majalah Kedokteran
Nusantara. 2006: 39: 2.
23