laporan tahunan 2016 - pusat2.litbang.kemkes.go.id · realisasi indikator kinerja kegiatan jumlah...
TRANSCRIPT
i
LAPORAN TAHUNAN
2016 PUSLITBANG SUMBER DAYA DAN
PELAYANAN KESEHATAN
PUSLITBANG SUMBER DAYA DAN PELAYANAN KESEHATAN BADAN LITBANG KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga Buku Laporan Tahunan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan (Puslitbang SD-Yankes)Tahun
2016 ini terselesaikan.
Buku Laporan Tahunan ini merupakan salah satu evaluasi setiap tahun dari
pelaksanaan kegiatan yang memuat gambaran ringkas tentang kinerja Puslitbang SD -
Yankes dengan menggunakan pendekatan sistem, yakni meliputi masukan (input), proses,
keluaran (output), outcome dan impact. Output diukur dengan capaian indikator kinerja
kegiatan. Sedangkan outcome dan impact hasil penelitian dan pengembangan tidak dapat
diukur di tingkat masyarakat, karena penelitian dan pengembangan adalah kegiatan
penunjang program, maka parameternya adalah seberapa jauh hasil penelitian dan
pengembangan dapat dipakai oleh penentu kebijakan atau pemegang program untuk
perbaikan kebijakan maupun perbaikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Terbitnya Buku Laporan ini diharapkan akan bermanfaat dan dapat memberikan
informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Informasi yang terdapat pada Buku
Laporan Tahunan ini diharapkan dapat dipakai sebagai alat untuk mawas diri sekaligus
masukan untuk perbaikan perencanaan tahun berikutnya.
Kepada Tim Penyusun yang telah menyelesaikan buku ini kami sampaikan
penghargaan yang sebesar-besarnya.Kami menyadari masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, untuk itu saran dan usulan yang membangun dan bermanfaat akan kami
terima.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
Dr. Drs. Nana Mulyana, M.Kes
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..…………………………………………………………..…… i DAFTAR ISI ……………………………………………………….……….……..… ii DAFTAR TABEL ….……………………………………………………….……..… iii DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….……..… iv DAFTAR SINGKATAN ..………………………………………………...….…..… v BAB I. ANALISA AWAL TAHUN ….……………………………..…………………
1
A. HAMBATAN TAHUN LALU ………………………….………………….. 1 B. KELEMBAGAAN ..........................................................………………. 2 C. SUMBER DAYA ………………………………………………………….. 4
BAB II. TUJUAN DAN SASARAN KERJA ……………………………………….
13
A. DASAR HUKUM ……………………………..…………………………. 13 B. TUJUAN, SASARAN DAN INDIKATOR ..……………………………… 14
BAB III. STRATEGI PELAKSANAAN …….………………………………………
17
A. STRATEGI PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN ……………… 17 B. HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN STRATEGI ….……………….. 17 C. TEROBOSAN YANG DILAKUKAN …………………………………… 18
BAB IV. HASIL KERJA …………………….………………………………………
19
A. PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN ……………………………… 19 B. PENCAPAIAN KINERJA …………………………..…………………….. 21 C. REALISASI ANGGARAN .................................................................... 34 D. PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI ................................... 35
BAB V. PENUTUP ……………………………………………………………………
36
Lampiran: Rekomendasi Kebijakan
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. : Sarana dan Prasarana, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Tahun 2016
Tabel 1.2. : Alokasi Anggaran Berdasarkan Belanja, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Tahun 2016
Tabel 1.3. : Alokasi Anggaran Berdasarkan Output Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan,Tahun 2016
Tabel 2.1.
: Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Tahun 2016
Tabel 4.1.
: Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Tahun 2016
Tabel 4.2.
: Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan, Jumlah rekomendasi kebijakan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Tahun 2016
Tabel 4.3.
: Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Jumlah Produk / Informasi/ Data di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan Tahun 2016
Tabel 4.4.
: Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Publikasi ilmiah yang dimuat pada media cetak dan elektronik nasional Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Tahun 2016
Tabel 4.5.
: Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Publikasi ilmiah yang dimuat pada media cetak dan elektronik internasional Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan KesehatanTahun 2016
Tabel 4.6.
: Kegiatan Panitia Pembina Ilmiah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Tahun 2016
Tabel 4.7.
: Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan Belanja, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Tahun 2016
Tabel 4.8.
: Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan IKK, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Tahun 2016
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. : Struktur Organisasi Puslitbang SD-Yankes
Gambar 1.2. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenjang Jabatan
Gambar 1.3. :
Jumlah Pegawai Pegawai Berdasarkan Jenjang Jabatan Fungsional
Gambar 1.4. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenjang Fungsional Peneliti
Gambar 1.5. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Umur
Gambar 1.6. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin
Gambar 1.7. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Golongan
Gambar 1.8. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Gambar 4.1. :
Sertifikat Akreditasi Majalah Ilmiah
Gambar 4.2. :
Sertifikat Akreditasi Laboratorium Penguji
1
BAB I ANALISA SITUASI AWAL TAHUN 2016
A. HAMBATAN TAHUN 2016
Pembangunan kesehatan jangka panjang ditujukan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Dalam jangka menengah lima tahunan, sesuai Peraturan Presiden
Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2015 – 2019, yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan,
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya dapat terwujud, yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan
perilaku dan dalam lingkungan yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata, serta memiliki derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
(Puslitbang SD-Yankes), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, harus ikut
berperan dalam upaya perbaikan indikator kesehatan dan upaya pemecahan masalah dan
penanggulangan penyakit, melalui penelitian dan pengembangan bidang sumber daya dan
pelayanan kesehatan.
Selama pelaksanaan Tahun 2016, terdapat beberapa hal yang menghambat dalam
pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan bidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan, yakni:
1. Merupakan satker dengan tupoksi baru sesuai Permenkes 64 tahun 2015,
2. Perpindahan kantor Pusat dan KPPN yang semula di Bogor menjadi kantor
Pusat dan KPPN Jakarta, membuat seluruh kegiatan tidak dapat berjalan di awal
tahun,
3. dengan tupoksi baru, perpindahan peneliti antar satker latar belakang kepakaran
peneliti yang beragam memerlukan penyesuaian agar dapat menyamakan
persepsi,
4. sebagian besar ketua pelaksana penelitian 2016 masih berasal dari lintas
puslitbang.
5. adanya 2 riset nasional, yang menyita seluruh sumber daya manusia, terutama
peneliti, sehingga mereka tidak fokus dalam menyelesaikan tugasnya sebagai
peneliti yaitu membuat karya tulis ilmiah,
2
B. KELEMBAGAAN
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan (Puslitbang SD-Yankes) mempunyai tugas
melaksanakan penyusunan kebijakan teknis, pelaksanaan, dan pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan penelitian dan pengembangan kesehatan di bidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan
tugas dimaksud, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan
Kesehatan menyelenggarakan fungsi;
1. penyusunan kebijakan teknis penelitian dan pengembangan kesehatan di bidang
sumber daya dan pelayanan kesehatan;
2. pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan di bidang sumber daya dan
pelayanan kesehatan;
3. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan penelitian dan pengembangan kesehatan di
bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan; dan
4. pelaksanaan administrasi Pusat.
Penjabaran dari tugas dan fungsi tersebut, maka dalam susunan organisasi Puslitbang
SD - Yankes yang terdiri dari:
1. Bagian Tata Usaha (Bagian TU)
2. Bidang Sumber Daya Kesehatan (Bidang SDK)
3. Bidang Pelayanan Kesehatan (Bidang Yankes)
4. Sub Bagian Program dan Kerjasama (Sub-bagian PKS)
5. Sub Bagian Keuangan, Kepegawaian dan Umum (Sub-bagian KKU)
6. Sub Bidang Kefarmasi dan Alat Kesehatan (Sub-bidang Farmalkes)
7. Sub Bidang Sumber Daya Manusia Kesehatan (Sub-bidang SDMK)
8. Sub Bidang Pelayanan Kesehatan Primer dan Rujukan (Sub-bidang Yankes Primer
dan Rujukan )
9. Sub Bidang Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Penunjang (Sub-bidang Yankestrad
dan Penunjang)
3
Gambar 1.1. Struktur Organisasi Puslitbang SD – Yankes
Di samping itu, Puslitbang SD-Yankes, sebagai lembaga penelitian dan pengembangan,
juga mempunyai struktur ad-hoc yakni:
1. Panitia Pembina Ilmiah (PPI)
Tugas Panitia Pembina Ilmiah Puslitbang SD - Yankes adalah sebagai berikut:
a) Memberikan masukan kepada Kepala Puslitbang SD - Yankes tentang prioritas dan
kualitas penelitian pengembangan bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan
b) Memberikan saran dalam penyusunan rencana program dan kerjasama penelitian
dan pengembangan Puslitbang SD – Yankes serta pengembangan kemampuan
institusi
c) Melakukan seleksi dan menilai usulan penelitian sesuai dengan kriteria pedoman
yang telah ditentukan dan memberikan saran perbaikan sebagai masukan untuk
Kepala Puslitbang SD – Yankes
d) Melakukan pembinaan penelitian dari proposal, pelaksanaan penelitian, hingga
penyusunan laporan akhir
e) Memberikan saran-saran perbaikan terhadap laporan hasil penelitian,
penyebarluasan hasil penelitian termasuk dalam seminar hasil penelitian dan
publikasi
f) Membina peneliti melalui seminar, diskusi ilmiah, kursus, perumusan pedoman dan
lain sebagainya.
Kepala
Dr. Drs. Nana Mulyana, M.Kes
Sub-bag PKS Dra. Excalanti Prawirawati
Sub-bag KKU Elvira Eka Putri, SKM, M.Kes
Bagian Tata Usaha
Nagiot Cansalony, SKM, ME
Bidang SDK Dr. dr. Harimat Herdarwan, M.Kes
Bidang Yankes dr. Muhammad Karyana, M.Kes
Sub-bidang Farmalkes Ully Adhi, Apt, M.Si
Sub-bidang SDMK Tinexcelly Marisiuli, SKM, MKM
Sub-bidang Yankes Primer dan Rujukan dr. Eva Sulistiowati, M.Biomed
Sub-bidang Yankestrad dan Penunjang dr. Hadi Siswoyo, M.Epid
KF Peneliti
Panitia Pembina Ilmiah (PPI) Puslitbang SD-Yankes
TP2U Puslitbang SD-Yankes
4
g) Memupuk lingkungan kehidupan ilmiah
2. Tim Penilai Peneliti Unit (TP2U)
Tugas Tim Penilai Peneliti Unit Puslitbang SD - Yankes adalah sebagai berikut:
a) Membantu para peneliti dalam proses penilaian dan perhitungan angka kredit jabatan
fungsional
b) Memberikan saran perbaikan kepada para peneliti dalam proses penilaian dan
perhitungan angka kredit jabatan fungsional
c) Memberikan penjelasan kepada para peneliti tentang Angka Kredit Jabatan
Fungsional Peneliti
d) Melaporkan hasil kerjanya kepada Kepala Puslitbang SD – Yankes, mencek
kebenaran artikel/tulisan yang diajukan
e) Mengingatkan/memberi peringatan pada peneliti yang angka kreditnya akan habis
sesuai batas waktu yang ditentukan
C. SUMBER DAYA
Sumber daya yang dipunyai Puslitbang SD - Yankes meliputi sumber daya manusia,
sarana dan prasarana, serta dana. Jabaran tentang sumber daya dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu aset utama dalam organisasi
penelitian. Berdasarkan data kepegawaian sampai dengan 31 Desember 2016,
Puslitbang SD - Yankes memiliki 156 orang pegawai. Berikut adalah penjabaran
jumlah pegawai berdasarkan jabatan struktural dan fungsional, kelompok umur, jenis
kelamin, golongan, pendidikan.
Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1974 jabatan pegawai negeri sipil
dikelompokkan menjadi 2 yakni jabatan fungsional dan jabatan struktural. Berikut
gambaran pegawai berdasarkan jenjang jabatan tersebut:
5
Berdasarkan jenjang jabatan, fungsional tertentu merupakan jumlah pegawai
terbanyak. pegawai. Struktural sebanyak 10 pegawai, dan dalam jenjang struktural
terdapat 5 pegawai yang merangkap jabatan, yaitu sebagai pejabat struktural dan
juga memiliki jenjang fungsional.
Apabila dipilah, maka jenjang jabatan fungsional, dapat dibagi menjadi peneliti,
teknisi litkayasa dan analisis kepegawaian. Berikut adalah gambaran pegawai
berdasarkan jenjang jabatan fungsional.
Berdasarkan jenjang jabatan fungsional tertentu maka peneliti merupakan jenjang
jabatan fungsional dengan jumlah pegawai terbanyak.
Jenjang fungsional penelitipun bila dilihat lebih detil dapat dibagi lagi berdasarkan
ketentuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yakni peneliti utama, peneliti
madya, peneliti muda, dan peneliti pertama. Berikut gambaran jenjang fungsional
peneliti berdasarkan kriteria LIPI.
6
Berdasarkan jenjang jabatan fungsional peneliti maka peneliti madya merupakan
jenjang jabatan fungsional peneliti dengan jumlah pegawai terbanyak.
Menurut kelompok umur pegawai dikelompokkan menjadi 5 kelompok umur, yakni 1)
≤ 30 tahun, 2) 31- 40 tahun, 3) 41-50 tahun, 4) 51-55 tahun, dan 5) ≥ 56 tahun.
Berikut jumlah pegawai berdasarkan umur.
Menurut jenis kelamin, pegawai dibagi berdasarkan jenis kelamin laki laki dan
perempuan. Berikut jumlah pegawai berdasarkan jenis kelamin ;
7
Menurut golongan, pegawai dibagi berdasarkan golongan I, II, III, dan IV. Berikut
jumlah pegawai berdasarkan golongan;
Berdasarkan golongan, dari 156 pegawai banyak didominasi oleh pegawai dengan
golongan III.
Menurut tingkat pendidikan, pegawai dibagi berdasarkan tingkat pendidikan SD,
SLTP, SLTA/D1, D2/D3, S1, S2, dan S3. Berikut jumlah pegawai berdasarkan tingkat
pendidikan;
8
Berdasarkan tingkat pendidikan, dari 156 pegawai banyak didominasi oleh pegawai
dengan tingkat pendidikan S2.
2. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang ada di Puslitbang SD – Yankes meliputi yang bergerak
maupun tidak bergerak. Secara umum sarana yang tidak begerak meliputi: gedung
perkantoran, gedung peneliti, dan gedung laboratorium. Wujud transparansi dan
akuntabilitas sarana dan prasarana Puslitbang SD – Yankes dituangkan dalam
Laporan Barang Milik Negara, yang juga merupakan pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan negara. Laporan Barang Milik Negara disusun menggunakan
Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN).
9
Tabel 1.1. Sarana dan Prasarana dan Ringkasan BMN
Puslitbang SD – Yankes Tahun 2016
AKUN NERACA
JUMLAH KODE URAIAN
1 2 3
117.111 Barang Konsumsi 106.016.495
117.113 Bahan untuk Pemeliharaan 5.556.730
117.114 Suku Cadang 15.903.960
117.121 Pita Cukai. Materai dan Leges 0
117.124 Peralatan dan Mesin untuk dijual atau diserahkan kepada Masyarakat
106.850.000
117.131 Bahan Baku 77.000
117.199 Persediaan Lainnya 45.535.287
131.111 Tanah 20.558.000.000
132.111 Peralatan dan Mesin 22.610.021.528
133.111 Gedung dan Bangunan 14.627.277.246
134.111 Jalan dan Jembatan 653.307.500
134.112 Irigasi 90.860.220
134.113 Jaringan 165.411.270
135.121 Aset Tetap Lainnya 427.130.740
137.111 Akumulasi Penyusutan Peralatan dan Mesin
(17.563.274.2)
137.211 Akumulasi Penyusutan Gedung dan Bangunan
(3.959.537.894)
137.311 Akumulasi Penyusutan Jalan dan Jembatan
(648.110.621)
137.312 Akumulasi Penyusutan Irigasi
(15.446.234)
137.313 Akumulasi Penyusutan Jaringan
(35.744.509)
162.151 Software 60.710.000
166.112 Aset Tetap yang tidak digunakan dalam operasi pemerintahan 18.536.000
169.122 Akumulasi Penyusutan Aset Tetap yang tidak digunakan dalam operasi
(18.536.000)
169.315 Akumulasi Amortisasi software (52.346.250)
J U M L A H 37.198.198.226
3. Dana
Pada tahun 2016 Puslitbang SD - Yankes mendapat anggaran sebesar sebanyak
Rp. 79.161.446.000 (Tujuh puluh sembilan milyar seratus enam puluh satu juta
empat ratus empat puluh enam ribu rupiah) yang terdiri dari belanja pegawai, belanja
barang dan belanja modal. Besaran alokasi masing-masing belanja sebagai berikut:
10
Tabel 1.2. Alokasi Anggaran Berdasarkan Belanja
Puslitbang SD – Yankes Tahun 2016
No Alokasi Jumlah
1 Belanja Pegawai Rp. 11.947.200.000
2 Belanja Barang Rp. 65.181.446.000
3 Belanja Modal Rp. 2.032.900.000
Jumlah Rp. 79.161.446.000
Diluar belanja pegawai, alokasi anggaran terbanyak adalah alokasi untuk belanja barang.
Apabila dipilah berdasarkan output maka alokasi anggaran tersebut sebagai berikut:
Tabel 1.3. Alokasi Anggaran Berdasarkan Output
Puslitbang SD – Yankes Tahun 2016
No Output Jumlah (Rp)
1. Rekomendasi Kebijakan 83.600.000
2. Publikasi Karya Tulis Ilmiah di bidang sumber
daya dan pelayanan kesehatan
32.500.000
3. Penelitian Bidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan
3.252.882.000
4. Laporan Status Kesehatan Masyarakat hasil
Riset Kesehatan Nasional wilayah I
55.369.369.000
5. Dokumen perencanaan program dan anggaran 564.262.000
6. Dokumen Keuangan, kekayaan negara dan
tata usaha
1.219.059.000
7. Manajemen Laboratorium 159.390.000
8. Dokumen informasi, publikasi dan diseminasi 535.150.000
10. Dokumen hukum, organisasi dan kepegawaian 1.143.603.000
11. Dokumen bidang ilmiah dan etik 879.321.000
12. Layanan Perkantoran 15.922.310.000
Jumlah Rp. 79.161.446.000
11
BAB II TUJUAN DAN SASARAN KERJA
A. DASAR HUKUM
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Puslitbang SD – Yankes mengacu pada
dasar hukum sebagai berikut:
1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219);
2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
3) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3609);
5) Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional Tahun 2015-2019
6) Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012
7) Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Prioritas Pembangunan Nasional
8) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 29 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja Dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
9) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1179A/Menkes/SK/X/1999 tentang Kebijakan Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan;
10) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/X/2002 tentang Persetujuan Penelitian Kesehatan Terhadap Manusia;
11) Keputusan Menteri Kesehatan No. 375 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025
12) Peraturan Menteri Kesehatan No. 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
13) Keputusan Menteri Kesehatan HK.02.02/MENKES/52/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015 – 2019
14) DR. Dr. Trihono, MSc. (2011): Rencana Besar Pengembangan Badan Litbangkes, Jakarta.
15) Rencana Aksi Kegiatan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan Tahun 2015 – 2019.
B. TUJUAN, SASARAN DAN INDIKATOR
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.64 Tahun 2015 Tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya
dan Pelayanan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan
12
kesehatan, serta menapis teknologi di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan.
Dalam mencapai tugas pokok fungsi tersebut telah ditetapkan sasaran, dan indikator kinerja.
1. Visi
Visi yang ingin dicapai Badan Litbangkes adalah sebagai lokomotif Penelitian, Pengawal
Kebijakan, dan Legimator Program Pembangunan berbasis bukti.
2. Misi
Untuk mencapai visi tersebut telah ditetapkan beberapa misi, yang dilaksanakan oleh
segenap jajaran dilingkungan Puslitbang SD – Yankes. Adapun misi yang telah ditetapkan
meliputi:
a. Mengembangkan sumber daya litbangkes
b. Mengembangkan kerjasama strategis litbang dan iptek kesehatan
c. Menghasilkan rekomendasi untuk pembangunan kesehatan
d. Menghasilkan iptek kesehatan
3. Tujuan
Tujuan organisasi ditetapkan berdasarkan yang ingin dicapai dalam jangka panjang
selama 5 tahun dan jangka pendek selama satu tahun. Untuk tahun 2016, tujuan yang ingin
dicapai meliputi:
a. Membuat rekomendasi kebijakan di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan
b. Melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan
c. Melaksanakan publikasi hasil penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya
dan pelayanan kesehatan
4. Sasaran
Untuk mencapai tujuan telah ditetapkan beberapa sasaran. Sasaran ini merupakan hasil
nyata yang akan dicapai dengan rumusan yang spesifik, terarah. Adapun sasaran yang
telah ditetapkan meliputi:
a. Terlaksananya penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan yang ditandai dengan jumlah hasil di bidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan
b. Terlaksanakan publikasi hasil penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya
dan pelayanan kesehatan yang ditandai dengan publikasi ilmiah di bidang sumber
daya dan pelayanan kesehatan yang dimuat pada media cetak dan elektronik, baik
nasional maupun internasional.
13
5. Indikator Kinerja Kegiatan
Kegiatan yang telah ditetapkan akan diukur setiap akhir tahun anggaran, dan selama
tahun tersebut dilakukan monitoring dan evaluasi dan pencapaiannya. Indikator kinerja
kegiatan yang ditetapkan tahun 2016, adalah:
Tabel 2.1. Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Puslitbang SD-Yankes Tahun 2016
Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target Capaian %
Meningkatnya penelitian
dan pengembangan di
bidang sumber daya
dan pelayanan
kesehatan
Jumlah rekomendasi kebijakan
yang dihasilkan dari penelitian dan
pengembangan di bidang sumber
daya dan pelayanan kesehatan
8 8 100
Jumlah publikasi karya tulis ilmiah
di bidang sumber daya dan
pelayanan kesehatan yang dimuat
di media cetak dan/atau elektronik
nasional dan internasional
11 23 201,1
Jumlah hasil penelitian dan
pengembangan di bidang sumber
daya dan pelayanan kesehatan
9 9 100
Jumlah laporan Status Kesehatan
Masyarakat hasil Riset Kesehatan
Nasional wilayah I
2 2 100
14
BAB III STRATEGI PELAKSANAAN
A. STRATEGI PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN
Strategi pencapaian sasaran dilakukan dengan menyusun program tahun 2016,
dengan mengacu pada RPJMN, Rencana Strategis Kementerian Kesehatan, dan Rencana
Aksi Kegiatan Puslitbang SD – Yankes Tahun 2016 - 2019. Secara umum strategi
pencapaian tujuan dan sasaran dilakukan dengan 4 kegiatan, yakni;
1. Membuat rekomendasi kebijakan dibidang sumber daya dan pelayan kesehatn
2. Melaksanakan penelitian dan pengembangan dibidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan
3. Melaksanakan penyebarluasan dan pemanfaatan hasil litbang
4. Melaksanakan riset kesehatan nasional berupa Survey Indikator Kesehatan Nasional
dan Riset Penyakit Tidak Menular
B. HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN STRATEGI
Dalam melaksanakan strategi pencapaian tujuan dan sasaran, dirasakan adanya
beberapa hambatan. Hambatan tersebut berasal dari internal maupun eksternal Puslitbang
SD-Yankes. Adapan hambatan yang dirasakan meliputi:
a. Perpindahan kantor Pusat dan KPPN yang semula di Bogor menjadi kantor
Pusat dan KPPN Jakarta, membuat seluruh kegiatan tidak dapat berjalan di awal
tahun
b. Merupakan satker dengan tupoksi yang sangat baru dengan peneliti yang
beragam kepakaran, sehingga Koordinasi internal belum optimal dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing. Hal ini memerlukan
penyesuaian guna menyamakan tujuan.
c. Jumlah staf administrasi yang kurang dan tidak sesuai dengan proporsi jumlah
peneliti sehingga dalam menjalan tugas dan fungsi tidak maksimal
d. 5 Ketua Pelaksana penelitian berasal dari satker lain, menyebabkan kesulitan
pada saat monitoring dan evaluasi
e. Riset Nasional yang biasanya hanya 1 per tahun, tahun 2016 ada 2 Riset
(SIRKESNAS dan PTM), menyebakan sumber daya manusia terutama para
peneliti tidak dapat fokus menyelesaikan tugasnya sebagai peneliti, yaitu
menghasilkan KTI
f. Seluruh penelitian harus dihentikan pada tanggal 1 September 2016 karena
efisiensi mencapai 30% dari total anggaran, sementara beberapa penelitian
sudah berjalan lebih dari 50%. Penghentian penelitian menyebabkan hasil yang
15
didapat tidak maksimum. Hanya 3 Penelitian yang dapat menyajikan Laporan
Penelitian yang dianggap lengkap, sisanya yaitu 3 Laporan dengan revisi yaitu
laporan penelitian dengan jumlah sampel penelitian kurang dari target sehingga
belum memenuhi tujuan penelitian seutuhnya dan 3 Laporan kegiatan penelitian
yaitu laporan yang menyajikan sejauh mana pelaksanaan penelitian
C. TEROBOSAN YANG DILAKUKAN
Terobosan telah dilakukan untuk meminimalisasi hambatan yang ada agar tidak
menganggu dalam pencapaian tujuan. Terobosan yang dilakukan berupa:
1. Adanya pembagian kantor Jakarta Bogor, dimana manajemen administrasi berada di
Bogor, terobosan yang dilakukan agar tidak kesulitan dalam rentang kendali
manajemen dan administrasi, adalah dengan melaksanakan komunikasi melalui
internet, short message service, blackberry messenger. Semua komunikasi
dilakukan secara elektronik, termasuk adanya disposisi, dilakukan pengarsipan
secara elektornik selanjutnya dikirimkan kepada yang bersangkutan.
2. Tidak adanya rumah sakit dan laboratorium penunjang penelitian dilakukan
diantisipasi dengan melaksanakan jejaring penelitian dengan institusi yang
mempunyai rumah sakit dan laboratorium penunjang.
3. Kurangnya peneliti yang mempunyai kepakaran dibidang penelitian klinik dilakukan
antisipasi dengan mengirimkan peneliti dalam sebuah forum ilmiah, mengirimkan
penelitian melalui jenjang pendidikan, dan membuat workshop terkait penelitian
klinik, serta dengan mentandemkan peneliti menjadi bagian dari sebuah tim
penelitian institusi lain yang sudah ahli di bidang penelitian klinik.
4. Sarana dan prasarana untuk mendukung penelitian klinik juga sangat minim
dilaksanakan dengan membuat kerjasama dengan institusi penelitian lain.
5. Melaksanakan akreditasi laboratorium pemeriksaan .
6. Membuat panduan registri penelitian klinik
16
BAB IV HASIL KERJA
A. PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN
Pencapaian tujuan dan sasaran dilakukan dengan kegiatan berupa input dan output.
Detil capaian dari masing-masing kegiatan adalah:
1. Masukan (Input)
Untuk melaksanakan kegiatan agar diperoleh output maka telah dilakukan dengan
masukan berupa:
a. Sumber daya manusia sebanyak 156 sangat mendukung untuk pelaksanaan
kegiatan. Sumber daya manusia yang terbagi antara struktural dan fungsional,
fungsional yang terbagi penelitian dan litkayasa serta analis kepegawaian, jenjang
pendidikan yang lebih banyak S2, jenjang peneliti yang lebih didominasi peneliti
madya, umur pegawai yang lebih didominasi usia produksi 31 – 40 tahun.
b. Sarana dan Prasarana yang dimiliki meliputi tanah, peralatan dan mesin, gedung dan
bangunan, irigasi, dan jaringan. Sarana berupa kantor, ruang peneliti, laboratorium,
gedung pelatihan, alat laboratorium dll.
c. Biaya yang teralokasi sebesar Rp 79.161.446.000,- sangat membantu untuk
kelancaran kegiatan.
d. Komunikasi dengan menggunaan internet, short message service. Semua
komunikasi dilakukan secara elektronik, termasuk adanya disposisi, dilakukan
pengarsipan secara elektornik selanjutnya dikirimkan kepada yang bersangkutan.
e. Melaksanakan jejaring penelitian dengan institusi rumah sakit dan universitas
f. Mengirimkan peneliti dalam sebuah forum ilmiah, mengirim peneliti melalui jenjang
pendidikan, dan membuat workshop terkait penelitian, serta dengan mentandemkan
peneliti menjadi bagian dari sebuah tim penelitian institusi lain yang sudah ahli di
bidang penelitian klinik.
g. Membuat kerjasama dengan institusi penelitian lain.
h. Melaksanakan pelatihan penulisan publikasi.
i. Mengoptimalkan fungsi Panitia Pembina Ilmiah
2. Keluaran (Output)
Output yang dicapai setelah dilakukan upaya dengan memberikan masukan baik
berupan sumber daya manusia, dana, saran dan prasarana, teknologi meliputi:
17
a. Pelaksanaan jejaring penelitian klinik dengan fasilitas pelayanan kesehayan sebagai
antisipasi ketiadaan rumah sakit dan laboratorium penunjang. Jejaring dilakukan
dengan wadah Indonesia Research Partnership on Infectious Disease = INA
RESPOND, yang terdiri dari 8 rumah sakit dan 7 fakultas kedokteran. Fakultas
Kedokteran (FK) Universitas Indonesia/RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, RS
Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, FK Universitas Padjadjaran/RSUP Dr Hasan
Sadikin, FK Universitas Diponegoro/RSUP Dr Kariadi, FK Universitas Gadjah
Mada/RSUP Dr Sardjito, FK Universitas Airlangga/RSUD Dr Soetomo, FK
Universitas Udayana/RSUP Sanglah dan FK Universitas Hasanuddin/RSUP Dr
Wahidin Sudirohusodo.
b. Mengirimkan peneliti dalam sebuah forum ilmiah, mengirimkan penelitian melalui
jenjang pendidikan,
c. Mentandemkan peneliti menjadi bagian dari sebuah tim penelitian institusi lain yang
sudah ahli di bidang penelitian klinik.
d. Membuat kerjasama dengan institusi penelitian lain.
e. Panitia Pembina Ilmiah melakukan monitoring setiap pelaksanaan penelitian, dan
dengan bersama tim manajemen melakukan supervisi penelitian
B. PENCAPAIAN KINERJA
Berbagai upaya yang dilakukan untuk pencapaian tujuan dan sasaran baik berupa
masukan maupun keluaran berujung pada pencapaian indikator kinerja kegiatan. Dan
berikut capaian kinerja tersebut:
Tabel 4.1. Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Puslitbang SD-Yankes Tahun 2016
No Indikator Target Realisasi Realisasi
1. Jumlah rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dari penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan
8 8 100
2. Jumlah publikasi karya tulis ilmiah di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan yang dimuat di media cetak dan/atau elektronik nasional dan internasional
11 23 201,1
3. Jumlah hasil penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan
9 9 100
4. Jumlah laporan Status Kesehatan Masyarakat hasil Riset Kesehatan Nasional wilayah I
2 2 100
18
Dari target sebanyak 8 dokumen, telah dapat dipenuhi pencapaian sebesar 8 dokumen
terkait dengan jumlah rekomendasi kebijakan dibidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan. Ke delapan capaian indikator Jumlah rekomendasi kebijakan di bidang
sumber daya dan pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2. Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Rekomendasi Kebijakan
Puslitbang SD – Yankes Tahun 2016
No Judul Rekomendasi Kebijakan Ketua Penelitian
1 Ricketsia sebagai penyebab demam akut di Indonesia Muhamad Karyana, M.Kes, Retna Mustika
2. Optimalisasi Suplementasi dan Fortifikasi untuk Pencegahan Kelainan Bawaan Tabung Saraf (Neural Tube Defect)
Dona Arlinda, Muhammad Karyana
3. Optimalisasi RKO untuk Fasilitas Kesehatan Pemerintah dan Swasta sebagai Salah Satu Solusi Mengatasi Kekosongan Obat di Era Jaminan Kesehatan Nasional
Yuyun Yuniar, Harimat Hendarwan, Ully Adhie Mulyani
4. Menakar Keberadaan Program Internship Dokter Indonesia
Harimat Hendarwan, Mieska Despitasari
5. Menimbang DAK Subbidang Pelayanan Kefarmasian di Era JKN : Masihkah Diperlukan?
Sudibyo Supardi, Yuyun Yuniar
6. Perbaikan Tata Kelola Distribusi Tenaga Kesehatan Berbasis Tim Menuju Nusantara yang Lebih Sehat
Tinexcelly Simamora, Harimat Hendarwan, Rosita, Mukhlisul Faatih
7. Model Pelayanan Kesehatan Tradisional Griya Sehat Nurhayati, Hadi Siswoyo, Delima
8. Percepatan Menurunkan Karies Gigi Anak Balita Lelly Andayasari, Made Ayu Lely Surati
Target hasil penelitian sebanyak 9 dokumen disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4.3. Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Jumlah hasil penelitian dan pengembangan di bidang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Puslitbang SD – Yankes
Tahun 2016
No Judul penelitian Ketua Penelitian Satker Keterangan
1 Studi Konsumsi Obat di Puskesmas, Apotek dan Rumah Sakit Guna Peningkatan Kualitas Pelayanan Obat oleh Apoteker di Era Jaminan Kesehatan Nasional
Selma A.S. Siahaan
Puslitbang Humaniora
Laporan dengan revisi
2 Riset Operasional Model Pelayanan Kesehatan Tradisional
Dr. Nurhayati, SKM, M.Kes
Puslitbang SD-Yankes
Laporan Lengkap
19
3 Kesiapan Daerah Dalam Pemenuhan Tenaga Kesehatan Menghadapi Era Aparatur Sipil Negara (ASN)
Drh. Raflizar Puslitbang UKM
Laporan kegiatan (persiapan...)
4 Penelitian Task shifting (pengalihan tugas) untuk daerah khusus (DTPK) di Indonesia
Nung Nurhotimah, SKM, M.Kes
Puslitbang Humaniora
Laporan Lengkap
5 Riset Khusus Nusantara Sehat (Teambased) 2016
Dr. Agus Triwinarto, SKM, M.Kes
Puslitbang UKM
Laporan Lengkap
6. Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten dan Puskesmas dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia
Dr. Raharni, Apt Puslitbang SD-Yankes
Laporan dengan revisi
7. Bidan Praktek Mandiri Terkait Upaya Kewaspadaan Universal pada Pencegahan dan Penularan Penyakit Infeksi
Sugiharti Puslitbang UKM
Laporan dengan revisi
8. Manajemen Perbekalan Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan & Laboratorium dalam Upaya Penanggulangan HIV AIDS
Andi Leny Puslitbang SD-Yankes
Puslitbang SD-Yankes
9. Studi Komprehensif Resistensi Antibiotika : Multi Drug Resistant Organism dan Rasionalitas di Rumah Sakit Tersier
Indri R Puslitbang BTDK
Puslitbang SD-Yankes
Capaian dua puluh Publikasi ilmiah di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan yang
dimuat pada media cetak dan elektronik nasional, adalah sebagai berikut:
Tabel 4.4.
Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Publikasi ilmiah yang dimuat pada media cetak dan elektronik nasional
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
Tahun 2016
No. Judul Artikel Nama Penulis Media Publikasi
1. NCEP-ATP III and IDF criteria for metabolic syndrome predict type 2 diabetes mellitus
Eva
Sulistiowati
Universa Medicina, Vol.
35 No.1, January –
April 2016
2. Kepuasan pasien peserta JKN
terhadap pelayanan kefarmasian
Yuyun Yuniar Jurnal Kefarmasian
Indonesia, Vol. 6 No. 1,
Februari 2016
20
3. Jamu pada pasien tumor atau kanker
sebagai terapi komplementer
Siti Nur
Hasanah
Jurnal Kefarmasian
Indonesia, Vol. 6 No.1,
Februari 2016
4. Peran Standar Operasional Prosedur
Penanganan Spesimen untuk
Implementasi Keselamatan Biologik
(Biosafety) di Laboratorium Klinik
Mandiri
Armedy Ronny
Hasugian
Media Penelitian dan
Pengembangan
Kesehatan, Vol. 26 No.
1, Maret 2016
5. Faktor Risiko Dominan Penderita
Stroke di Indonesia
Lannywati
Ghani
Buletin Penelitian
Kesehatan, Vol. 44
No.1, Maret 2016
6. Faktor – faktor yang mempengaruhi
tingginya DMF-T di Provinsi Bangka
Belitung Tahun 2011
FX. Sintawati
Buletin Penelitian
Kesehatan, Vol. 44
No.1, Maret 2016
7. Periodontitis dan penyakit Stroke di
Indonesia (Riskesdas 2013)
Indirawati
Tjahja N
Jurnal Biotek
Medisiana Indonesia,
Vol. 5 No. 1, April
2016
8. Faktor – faktor yang mempengaruhi
Hasil Pemantapan Mutu Eksternal
Pemeriksaan Glukosa, Kolesterol dan
Trigliserida Laboratorium Klinik
Mandiri di Indonesia tahun 2011
Suhardi Jurnal Biotek
Medisiana Indonesia,
Vol. 5 No. 1, April 2016
9. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Orang Tua tentang Kesehatan Gigi
dan Mulut pada Anak Usia Taman
Kanak-Kanak di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Provinsi
Banten Tahun 2014
Made Ayu Lely
Surati
Media Penelitian dan
Pengembangan
Kesehatan, Vol. 26 No.
2, Juni 2016
10. Hubungan Antara Intoleransi Glukosa
dan Diabetes Melitus dengan Riwayat
Tuberkulosis Paru Dewasa di
Indonesia (Analisis Lanjut Riskesdas
2013)
Made Dewi
Susilawati
Media Penelitian dan
Pengembangan
Kesehatan, Vol. 26 No.
2, Juni 2016
11. Studi Kasus: Konfirmasi Kasus Flu
Burung di Kota Bengkulu Tahun 2012
Rudi Hendro Buletin Penelitian
Kesehatan, Vol.44
No.2, Juni 2016
12. Parity and risk of low birth weight
infantin full term pregnancy
Lelly
Andayasari
Health Science Journal
of Indonesia, Vol. 7
No.1, Juni 2016
21
13. Sarana dan Prasarana Rumah Sakit
Pemerintah dalam Upaya Pencehan
dan Pengendalian Infeksi di Indonesia
Max Joseph
Herman
Jurnal Kefarmasian
Indonesia, Vol. 6 No. 2,
Agustus 2016
14. Hubungan Gangguan Mental
Emosional dengan Hipertensi Pada
Penduduk Indonesia
Sri Idaiani Media Penelitian dan
Pengembangan
Kesehatan, Vol. 26 No.
3, September 2016
15. Faktor Risiko Dominan Penyakit
Jantung Koroner di Indonesia
Lannywati
Ghani
Buletin Penelitian
Kesehatan, Vol.44
No.3, September 2016
16. Peningkatan Indeks Pencemaran
Udara (ISPU) dan Kejadian Gangguan
Saluran Pernapasan di Kota
Pekanbaru
Asep
Hermawan
Jurnal Ekologi
Kesehatan, Vol. 15 No.
2, September 2016
17. Ketersediaan SDM Kesehatan pada
FKTP di Era JKN di 8 kabupaten/kota
Mujiati Media Penelitian dan
Pengembangan
Kesehatan, Vol. 26 No.
4, Desember 2016
18. Hubungan Pengetahuan dan Sikap
dengan Kepatuhan Berobat Pada
Pasien TB Paru yang Rawat Jalan di
Jakarta Tahun 2014
Ida Diana Sari Media Penelitian dan
Pengembangan
Kesehatan, Vol. 26 No.
4, Desember 2016
19. Herbal therapy and quality of life in hypertension patients at health facilities providing complementary therapy
Nurhayati Health Science Journal
of Indonesia, Vol. 7 No.
1, Desember 2016
20. Smoking as a risk factor of periodontal
disease
Made Ayu Lely
Surati
Health Science Journal
of Indonesia, Vol. 7
No. 2, Desember 2016
Untuk capaian ketiga publikasi ilmiah di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan
yang dimuat pada media cetak dan elektronik internasional, adalah sebagai berikut
22
Tabel 4.5.
Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Publikasi ilmiah yang dimuat pada media cetak dan elektronik internasional
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
Tahun 2016 No Judul Artikel Nama Penulis Media Publikasi
1. Plasmodium vivax infection: a major determinant of severe anaemia in infancy
Muhammad Karyana,
Emiliana Tjitra
Malaria Journal 15 (1),321
2. Case report: Weil’s disease with multiple organ failure in a child living in dengue endemic area
Muhammad Karyana BMC Research Notes 9 (1), 407
3. Treatment-seeking behavior and associated costs for malaria in Papua, Indonesia
Muhammad Karyana,
Emiliana Tjitra
Malaria Journal 15 (1),536
a) Akreditasi Laboratorium
Pelaksanaan penelitian perlu didukung oleh adanya laboratorium yang terstandar.
Tahun 2016, telah dilakukan akreditasi terhadap Laboratirum Puslitbang SD-Yankes.
Akreditasi diperoleh untuk ISO 17025 yakni standar utama untuk Laboratorium Penguji
dan Kalibrasi, untuk pengujian Vitamin A dan Zinc.
Gambar 3.2.
Sertifikat Akreditasi Laboratorium Penguji
23
b) Panitia Pembina Ilmiah
Panitia Pembina Ilmiah dibentuk untuk membantu Kepala Puslitbang SD - Yankes dalam
pelaksanaan kegiatan terutama penelitian dan pengembangan. Anggota PPI adalah para
peneliti yang mempunyai komitmen untuk membina dan memberikan masukan kepada
peneliti lain agar pelaksanaan penelitian tidak lepas dari kaidah ilmiah. Beberapa
kegiatan yang dilakukan meliputi:
Tabel 4.6.
Kegiatan Panitia Pembina Ilmiah
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
Tahun 2016
No Tanggal Topik Bahasan
1. 5 Januari 2016 Penyelesaian Laporan Akhir Penelitian 2014
Penyusunan Rekomendasi Kebijakan
2. 22 – 23 Januari 2016 Pemaparan Protokol 2016
Laporan PPI
Laporan Akhir Penelitian 2014
3. 2 - 3 Februari 2016 Penyusunan Protokol Infeksi Rumah Sakit Terkait
Penggunaan Alat Medis Invasif
4. 13 – 14 April 2016 Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan penelitian
Pembahasan Proposal Analisis Lanjut
5. 20 April 2016 Pembahasan Hasil Review Protokol Analisis Lanjut
Penyusunan Rencana Kerja PPI
6. 12 Juni 2016 Penajaman Kegiatan Penelitian dalam mendukung
RPJMN
7. 6 Agustus 2016 Pembahasan Rencana Pelaksanaan Penilaian Teknologi HTA secara ekstramural
8. 20 Agustus 2016 Pembahasan Usulan Rekomendasi Kebijakan sebagai sebagai bahan Advokasi Litbang
9. 25 Agustus 2016 Paparan Proposal penelitian 2016
Paparan Proposal Risbinkes 2016
10. 11 September 2016 Harmonisasi Analisis Lanjut
11. 7-8 Desember 2016 Pembahasan Laporan Akhir
c) Diseminasi Hasil Penelitian
Pertemuan review dari artikel yang masuk dilakukan setiap jurnal akan terbit,
dengan melibatkan dewan redaksi dan peer reviewer. Jurnal gizi dan makanan
mulai Agustus 2016 berhasil mempertahankan akreditasinya. Akreditasi berlaku
sampai dengan 3 tahun.
24
Gambar 3.3.
Sertifikat Akreditasi Majalah Ilmiah Gizi dan Makanan
Kepesertaan pameran dari Puslitbang SD - Yankes dilakukan pada kegiatan Pameran
Produk Inovasi di Semarang dan Simposiun Internasional Badan Litbangkes di Jakarta.
Topik yang dipamerkan meliputi; 1) Isolat galaktomanan dari ampas kelapa, 2) Ready Use
Therapeutic Food untuk penanggulangan gizi buruk, 3) Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya persalinan sesar, dan 4) Faktor risiko terjadinya balita stunting.
C. REALISASI ANGGARAN
Anggaran yang dikelola Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
sebanyak Rp. 79.161.446.000 (Tujuh puluh sembilan milyar seratus enam puluh
satu juta empat ratus empat puluh enam ribu rupiah), dengan realisasi sebesar Rp.
73.914.428.281 (Tujuh puluh tiga milyar sembilan ratus empat belas juta empat ratus
dua puluh delapan ribu dua ratus delapan puluh satu rupiah) atau sebesar 93,37%.
Realisasi masing-masing indikator kinerja kegiatan sebagai berikut:
Tabel 4.7.
Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan Belanja Pusat Puslitbang SD – Yankes
Tahun 2016
No Alokasi Pagu Realisasi %
1 Belanja Pegawai Rp. 10.142.264.000 Rp 9.856.335.569 97,18%
2 Belanja Barang Rp. 89.536.586.000 Rp. 60.221.427.950 67,26%
25
3 Belanja Modal Rp. 3.234.200.000 Rp. 2.031.831.000 62,82%
Jumlah Rp 102.913.050.000 Rp. 72.109.594.519 70,07%
Tabel 4.8.
Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan IKK
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
Tahun 2016
No Alokasi Pagu Realisasi %
1 Jumlah rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dari penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan
Rp. 1.841.000.000 Rp. 62.434.000 3,39%
2 Jumlah publikasi karya tulis ilmiah di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan yang dimuat di media cetak dan/atau elektronik nasional dan internasional
Rp. 678. 200.000 Rp. 27.854.500 4,11%
3 Jumlah hasil penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan
Rp. 13.330.036.000 Rp. 2.931.452.207 21,99%
4 Jumlah laporan Status Kesehatan Masyarakat hasil Riset Kesehatan Nasional wilayah I
Rp 64.600.463.000 Rp. 51.209.782.643 79,27%
5 Dukungan Layanan Manajemen
Rp. 8.345.877.000 Rp. 4.316.828.580 51,72%
6 Layanan Perkantoran Rp. 14.117.474.000 Rp. 13.561.242.589 96,06%
Jumlah Rp. 102.913.050.000 Rp. 72.109.594.519 70,07%
D. PELAKSANAAN REFORMASI BIROKASI
Upaya untuk pelaksanaan reformasi birokrasi telah dilakukan. Upaya tersebut
meliputi:
1. Penatausahaan Barang Milik Negara-aset tetap
2. Penatausahaan barang persediaan
3. Proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara elektronik
26
4. Pengelolaan hibah dimana semua penelitian dimasukan dalam Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran
5. Penatalaksanaan perjalanan dinas; surat tugas, kelengkapan SPPD ditandatangani
pejabat tempat tujuan, tiket pesawat dilampiri boarding pass, kuitansi hotel, pengeluaran
riil, laporan perjalanan dinas.
6. Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara
27
BAB V PENUTUP
Secara umum kegiatan Puslitbang SD – Yankes¸ yakni penelitian dan
pengembangan bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan dapat berjalan. Indikator
keberhasilan ditentukan oleh tingkat capaian dari ketiga Indikator Kinerja Kegiatan, yang
melebihi target, terutama publikasi internasional.
Keberhasilan dibidang penelitian dan pengembangan dikarenakan adanya
pembinaan yang dilakukan manajemen Litbangkes, baik oleh struktural maupun komisi ad
hoc PPI. Pun demikian, meskipun sebagai satker baru belum memiliki jurnal, akan tetapi
keaktifan peneliti untuk publikasi nasional dan internasional mendukung tercapainya output
publikasi. Adapun untuk capaian status kesehatan masyarakat dapat terlaksana
dikarenakan adanya dukungan dari berbagai pihak.
Kedepan capaian tersebut akan lebih ditingkatkan lagi dengan adanya penelitian
yang langsung diarahkan pada produk/model/protipe/standar. Dan publikasi juga
dilaksanakan dengan seminar internasional.
ii
LAMPIRAN
Rekomendasi Kebijakan
Ricketsia Sebagai Penyebab Demam Akut di Indonesia
Ringkasan
Penyebab demam yang paling sering ditemukan selama ini adalah virus dengue, bakteri
Salmonella dan bakteri atau virus pneumonia. Namun demikian dari penelitian mengenai
penyebab demam yang dilakukan selama 4 tahun di 8 Rumah Sakit tipe A di Indonesia
ditemukan spesies Rickettsia sebagai penyebab demam. Penyakit akibat spesies Rickettsia
ini jarang sekali terdiagnosis di Rumah Sakit. Hal ini dikarenakan keterbatasan sumber daya
yang terdapat di Rumah Sakit.
Berdasarkan hasil penelitian yang lain, demam akibat Rickettsia ini cukup banyak terjadi di
Rumah Sakit dan pada kasus-kasus berat dapat berakibat fatal. Hal ini terjadi karena pasien
tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Kasus demam akibat Rickettsia ini luput dari
perhatian baik dari klinisi, maupun dari pemerintah. Untuk itu perlu adanya suatu upaya
untuk mengangkat Rickettsia ini agar kembali mendapat perhatian baik dari klinisi maupun
dari pemerintah.
Saat ini belum tersedia suatu panduan mengenai manajemen kasus demam akibat
Rickettsia. Alat diagnostik untuk mendiagnosis rickettsia ini juga tidak ditemukan di Rumah
Sakit. Sediaan obat Doksisiklin sebagai pilihan pengobatan untuk Riskettsia juga terbatas
sediaan oral dan hanya untuk pasien dewasa. Klinisi dan ahli profesi perlu menyegarkan
kembali ingatannya terhadap Rickettsia. Bersama pemerintah meningkatkan kewaspadaan
terhadap Rickettsiosis. Pemerintah perlu mengeluarkan suatu kebijakan untuk memperbaiki
sarana dan prasarana penunjang yang tersedia di Rumah Sakit dalam konteks manajemen
kasus Rickettsia
Pengantar
Demam merupakan salah satu penyebab pasien mencari pengobatan ke dokter, klinik
maupun Rumah Sakit (RS). Bahkan pada kondisi tertentu, pasien dengan demam dapat
menjalani rawat inap di Rumah Sakit. Salah satu penyebab demam adalah infeksi. Ada
banyak jenis infeksi yang bisa terjadi pada tubuh dikarenakan oleh bakteri, virus, parasit
iii
atau jamur. Namun demikian seringkali penyebab infeksi tidak dapat ditegakkan secara
cepat, tepat dan akurat dikarenakan keterbatasan sumber daya maupun sarana di fasilitas
kesehatan. Di Indonesia penyebab demam akut yang paling sering diantaranya dalah
dengue virus sebagai penyebab Infeksi dengue, Salmonella sp. sebagai penyebab demam
typhoid/infeksi Salmonella, Streptococcus pneumoniae sebagai penyebab pneumonia
bakterialis, Chikungunya virus sebagai penyebab demam chikungunya, bakteri leptospira
sebagai penyebab leptospirosis, dan plasmodium malaria sebagai penyebab malaria
terutama di daerah endemis. Beberapa penyebab demam tersebut secara klinis maupun
pemeriksaan hematologis sulit dibedakan, namun demikian untuk mencari penyebabnya
seringkali terbentur pada keterbatasan sumber daya maupun sarana yang tersedia.
Keterbatasan ini terkadang menyebabkan ketidaksesuaian diagnosis. Di Rumah Sakit
dimana dilakukan penelitian mengenai penyebab demam akut, ditemukan ketidaksesuaian
antara diagnosis klinis yang dilakukan di RS dengan diagnosis penyebab demam akut yang
dilakukan oleh penelitian. Salah satu penyebab demam yang selama ini luput dari perhatian
para dokter atau klinisi adalah bakteri Rickettsia sp.
Tabel 1. Ketidaksesuaian Diagnosis Klinis dan Etiologis
Diagnosis Klinis di Rumah
Sakit
Jumlah
Kasus
Diagnosis Etiologis Hasil
Penelitian
Jumlah
Kasus
Infeksi Dengue 240 Virus Dengue 238
Infeksi Salmonella 133 Salmonella sp 87
Leptospirosis 24 Ricketsia sp 78
UTI 18 Leptospira 31
Pneumonia 17 Virus Chikungunya 29
GEA 11 S pneumonia 2
Penyebab lainnya 81 Penyebab lainnya 59
Total 524 524
Hasil Penelitian
Spesies Rickettsia ini dapat menyebabkan Rickettsiosis (penyakit Rickettsia) yang dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu: murine typhus, spotted fever, dan scrub typus. Gejalanya dapat
ringan seperti demam, ruam kemerahan, mual, muntah, nyeri perut, hingga klinis yang lebih
berat seperti peradangan otak, gagal ginjal, dan kegagalan pernafasan. Bakteri rickettsia ini
ditemukan pada tikus sebagai reservoir dan pada serangga kecil golongan arthropoda
seperti tungau, kutu, atau pinjal sebagai vector. Beberapa studi telah melaporkan bukti
adanya penyakit rickettsia di Indonesia. Murine dan scrub typhus telah dilaporkan
ditemukan pada pelancong setelah kembali dari Indonesia. Sebuah survei di kawasan Asia
menemukan bahwa Rickettsia merupakan penyebab demam akut pada anak (5.9%). Pada
studi lainnya didapatkan bahwa prevalensi murine typhus, scrub typus, dan spotted fever di
iv
papua timur laut adalah sebanyak 5%, 3%, dan 1%. Sedangkan di daerah Jawa Tengah
ditemukan bahwa prevalensi murine typhus sebanyak 7%.
Hasil penelitian AFIRE yang dilakukan pada pasien rawat inap di 8 Rumah Sakit Rujukan
Tipe A di Indonesia, menunjukkan bahwa Rickettsiosis merupakan penyebab demam akut
ke-3 terbanyak setelah Infeksi dengue dan Salmonella. Hasil ini diperoleh dengan
menggunakan pemeriksaan serologi dan PCR (Polymerase Chain Reaction). Dari hasil
penelitian ini didapatkan ketidaksesuaian antara diagnosis yang ditegakkan oleh klinisi di RS
dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada penelitian. Hal ini dapat dilihat dari gambar
1, dimana 5 kasus terbanyak penyebab demam akut ditemukan berbeda antara diagnosis
hasil penelitian dengan diagnosis oleh klinisi. Perlu juga digarisbawahi pada hasil
pemeriksaan klinisi di RS, tidak satupun pasien yang didiagnosa dengan Rickettsiosis. Hal
ini mencerminkan bahwa para klinisi belum memikirkan Rickettsiosis sebagai salah satu
penyebab demam akut di Indonesia.
Secara klinis tanda dan gejala dari penyakit Rickettsia sulit dibedakan dari gejala penyakit
infeksi lainnya. Disamping demam, lebih dari 50% mengeluhkan sakit kepala dan mual
Gambar 1. Penyebab demam akut berdasarkan penelitian VS berdasarkan
diagnosis RS
v
sebagi gejala penyakit ini. Sementara lebih dari sepertiga pasien mengeluhkan gejala nafsu
makan kurang, menggigil, lesu, muntah, dan nyeri sendi. Secara hematologi, gambaran
pasien Rickettsiosis sulit dibedakan dengan pasien yang terinfeksi salmonella. Gambaran
leukositosis yang sering menjadi acuan untuk mendiagnosis penyakit Infeksi karena bakteri
seringkali tidak berbeda antara kedua penyakit ini. Pada penelitian AFIRE didapatkan
gambaran leukosit pada Rickettsiosis dan infeksi salmonella adalah: leukositosis masing-
masing sebanyak 16% dan 17%, normal sebanyak 80% dan 70%. Hal ini membuat
pemeriksaan penunjang lainnya sangat diperlukan untuk mendapatkan diagnosis yang
tepat.
Ketidaksesuaian diagnosis ini dapat berujung kepada ketidaktepatan akan pengobatan yang
diberikan. Antibiotik golongan tetrasiklin, terutama doksisiklin merupakan terapi pengobatan
terpilih untuk kasus rickettsia. Dengan dosis 200 mg per hari untuk orang dewasa dan 2.2
mg/kgBB untuk anak, golongan tetrasiklin dapat menurunkan demam setelah 48 jam setelah
pemberian, jika diberikan pada 5 hari pertama sakit. Kasus Rickettsia yang ditemukan pada
penelitian ini sebagian besar sukses diterapi dengan antibiotika golongan lain seperti
penisilin, cephalosporin, aminoglikosida, eritromisin maupun sulfonamida. Namun demikian
pada beberapa kasus pemberian antibiotika yang kurang tepat dapat memperberat kasus
rickettsia dan menjadikannya fatal. Kasus di India dimana seorang pasien datang dengan
manifestasi sepsis dan sindrom disfungsi multi organ kemudian tidak diterapi dengan
doksisiklin secara benar, berakibat pada kematian. Sementara kasus rickettsia berat serupa
yang diterapi dengan doksisiklin mengalami perbaikan secara klinis. Pada penelitian AFIRE
juga terdapat satu kasus rickettsia berat dengan manifestasi sepsis dimana diagnosis awal
adalah pneumonia kemudian mendapatkan terapi ciprofloksasin dan pada akhirnnya
meninggal dunia.
Gambar 3. Proporsi gejala yang ditemukan pada Rickettsiosis
N = 78
Gambar 2. Penularan Rickettsia
vi
Konteks kebijakan terkait
Ketersediaan buku panduan manajemen kasus Rickettsiosis
Walaupun telah ditemukan kasus Rickettsiosis di Indonesia, baik pemerintah maupun
organisasi profesi belum memahami sepenuhnya mengenai penyakit ini. Terbukti dengan
ketiadaan buku pedoman atau buku panduan mengenai tatalaksana Rickettsiosis yang
disusun oleh pemerintah maupun organisasi profesi. Di Fakultas Kedokteran sendiri,
Rickettsiosis bukan merupakan kasus yang dititik beratkan pada mata kuliah Ilmu Penyakit
Dalam. Kasus seperti Infeksi Dengue, salmonella, leptospira, dan chikungunya masih
merupakan kasus infeksi tropis yang menjadi perhatian utama. Pada profil kesehatan yang
diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan, Penyakit Rickettsia juga tidak disertakan dalam
pelaporan.
Ketersediaan alat diagnostik Rickettsiosis
Dikarenakan kurangnya perhatian pemerintah maupun profesi terhadap penyakit Rickettsia,
selama ini di RS juga tidak tersedia sarana untuk mendiagnosis kasus Rickettsiosis.
Laporan kasus penyakit Rickettsia ini kebanyakan berasal dari hasil penelitian maupun
survei.
Beberapa penyakit infeksi seperti Infeksi Dengue dan Salmonella telah dapat didiagnosis
dengan alat uji diagnostik cepat. Namun untuk penyakit Rickettsia, sampai saat ini belum
ditemukan. Tetapi alat uji diagnostik cepat yang sudah tersedia untuk beberapa penyakit
vii
infeksi juga masih memiliki kekurangan dimana banyak ditemukan hasil positif palsu.
Diagnosis Rickettsia selama ini hanya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan ELISA atau
PCR yang tergolong mahal. Disamping harganya yang tidak murah, sampai saat ini masih
sedikit laboratorium yang dapat mengerjakannya. Untuk itu diperlukan suatu upaya untuk
memperkuat laboratorium yang ada, terutama di RS rujukan, terutama RS tipe A dimana di
Indonesia banyak ditemukan penyakit-penyakit Infeksi yang mempunyai gambaran klinis
serupa dan sulit dibedakan dengan pemeriksaan hematologi sederhana.
Ketersediaan Doksisiklin sebagai terapi Rickettsia
Jika diagnosis rickettsia dapat ditegakkan, maka penatalaksanaan kasus rickettsia perlu
mendapat perhatian, terutama pada pasien yang datang dengan manifestasi klinis yang
berat. Jika penyebab demam seperti infeksi dengue maupun salmonella dapat disingkirkan,
maka rickettsiosis perlu dipikirkan sebagai salah satu penyebab demam akut. Namun
demikian, hasil positif dari alat uji diagnostik cepat untuk infeksi dengue dan salmonella
belum tentu benar, karena masih memungkinkan hasil positif palsu. Jika pengobatan
antibiotik tidak responsif, pikirkan kemungkinan diagnosis lainnya. Kapsul doksisiklin 100 mg
sebagai obat terpilih untuk pengobatan rickettsia telah tercantum dalam formularium
nasional (Fornas). Namun demikian sediaan untuk anak yang biasanya berupa suspensi,
belum tercantum didalamnya, begitu juga dengan sediaan intravena yang diperlukan dalam
kondisi berat.
Rekomendasi kebijakan
1. Meningkatkan kewaspadaan pihak terkait baik program maupun klinisi terhadap penyakit
Rickettsia melalui seminar dan workshop.
2. Organisasi profesi dan pemerintah dapat bekerjasama membuat suatu buku pedoman atau buku
panduan mengenai penatalaksanaan penyakit Rickettsia.
3. Pemerintah menyediakan sarana untuk mendeteksi penyakit Rickettsia melalui penguatan
laboratorium di RS rujukan.
4. Organisasi profesi dan pemerintah mendukung penelitian dalam menemukan algoritma dan alat
uji diagnostik cepat untuk mendeteksi penyakit Rickettsia.
5. Pemerintah melalui kementerian kesehatan memperkuat peran sumber daya kesehatan di
fasilitas kesehatan dasar dan rujukan untuk mengembangkan usaha promotive dan preventif
terkait dengan kasus Rickettsiosis.
6. Pemerintah melalui Kementerian kesehatan memasukkan doksisiklin sediaan anak dan intra vena
sebagai obat terpilih dari rickettsia ke dalam formularium nasional.
viii
Rujukan
1. Raoult D, Roux V. Rickettsioses as paradigms of new or emerging infectious diseases. Clinical microbiology reviews 1997; 10(4): 694-719.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Infectious Diseases Related to Travel. CDC Health Information for International Travel 2016. New York: Oxford University Press; 2016.
3. Faccini-Martinez AA, Garcia-Alvarez L, Hidalgo M, Oteo JA. Syndromic classification of rickettsioses: an approach for clinical practice. International journal of infectious diseases : IJID : official publication of the International Society for Infectious Diseases 2014; 28: 126-39.
4. Olano JP. Rickettsial infections. Annals of the New York Academy of Sciences 2005; 1063: 187-96.
5. Ibrahim IN, Okabayashi T, Ristiyanto, et al. Serosurvey of wild rodents for Rickettsioses (spotted fever, murine typhus and Q fever) in Java Island, Indonesia. European journal of epidemiology 1999; 15(1): 89-93.
6. Jiang J, Soeatmadji DW, Henry KM, Ratiwayanto S, Bangs MJ, Richards AL. Rickettsia felis in Xenopsylla cheopis, Java, Indonesia. Emerging infectious diseases 2006; 12(8): 1281-3.
7. Barbara KA, Farzeli A, Ibrahim IN, et al. Rickettsial infections of fleas collected from small mammals on four islands in Indonesia. Journal of medical entomology 2010; 47(6): 1173-8.
8. Widjaja S, Williams M, Winoto I, et al. Geographical Assessment of Rickettsioses in Indonesia. Vector borne and zoonotic diseases 2016; 16(1): 20-5.
9. Kato H, Yanagisawa N, Sekiya N, Suganuma A, Imamura A, Ajisawa A. [Murine typhus in a Japanese traveler returning from Indonesia: a case report]. Kansenshogaku zasshi The Journal of the Japanese Association for Infectious Diseases 2014; 88(2): 166-70.
10. Parola P, Vogelaers D, Roure C, Janbon F, Raoult D. Murine typhus in travelers returning from Indonesia. Emerging infectious diseases 1998; 4(4): 677-80.
11. Stockdale AJ, Weekes MP, Kiely B, Lever AM. Case report: Severe typhus group rickettsiosis complicated by pulmonary edema in a returning traveler from Indonesia. The American journal of tropical medicine and hygiene 2011; 85(6): 1121-3.
12. Capeding MR, Chua MN, Hadinegoro SR, et al. Dengue and other common causes of acute febrile illness in Asia: an active surveillance study in children. PLoS neglected tropical diseases 2013; 7(7): e2331.
13. Punjabi NH, Taylor WR, Murphy GS, et al. Etiology of acute, non-malaria, febrile illnesses in Jayapura, northeastern Papua, Indonesia. The American journal of tropical medicine and hygiene 2012; 86(1): 46-51.
14. Gasem MH, Wagenaar JF, Goris MG, et al. Murine typhus and leptospirosis as causes of acute undifferentiated fever, Indonesia. Emerging infectious diseases 2009; 15(6): 975-7.
15. Jiang J, Chan TC, Temenak JJ, Dasch GA, Ching WM, Richards AL. Development of a quantitative real-time polymerase chain reaction assay specific for Orientia tsutsugamushi. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene 2004; 70(4): 351-6.
ix
16. Suharti C, van Gorp EC, Dolmans WM, et al. Hanta virus infection during dengue virus infection outbreak in Indonesia. Acta Med Indones 2009; 41(2): 75-80.
17. Peters TR, Edwards KM, Standaert SM. Severe ehrlichiosis in an adolescent taking trimethoprim-sulfamethoxazole. Pediatr Infect Dis J 2000;19:170--2.
18. Brantley RK. Trimethoprim-sulfamethoxazole and fulminant ehrlichiosis [Letter]. Pediatr Infect Dis J 2001;20:231.
19. Joshi HS, Thomas M, Warrier A, Kumar S. Gangrene in cases of spotted fever: a report of three cases. BMJ Case Reports. 2012;2012:bcr2012007295. doi:10.1136/bcr-2012-007295.
20. McBride WJH, Hanson JP, Miller R, Wenck D. Severe Spotted Fever Group Rickettsiosis, Australia. Emerging Infectious Diseases. 2007;13(11):1742-1744. doi:10.3201/eid1311.070099. Acute Fever Requiring Hospitalization (AFIRE) Study
x
Optimalisasi Suplementasi dan Fortifikasi Asam Folat untuk
Pencegahan Kelainan Bawaan Tabung Saraf (Neural Tube Defects)
Ringkasan
Kelainan bawaan merupakan penyebab penting kematian, kesakitan, dan kecacatan pada
anak. Menurut hasil Survailans Kelainan Bawaan di Indonesia tahun 2016, kelainan bawaan
tabung saraf (Neural Tube Defects/NTDs) adalah kelainan bawaan ketiga terbanyak dengan
prevalensi 15,7 per 10.000 kelahiran.Selain itu, NTDs merupakan penyebab utama kematian
janin pada persalinan preterm (usia gestasi <28 minggu dan 28-35 minggu) dan lebih dari
50% bayi dengan NTDs lahir mati (stillbirths) atau meninggal dalam tujuh hari pasca
kelahiran. Jenis kelainan NTDs tersering adalah spina bifida, anensefali, dan ensefalokel.
Penyebab pasti NTDs belum diketahui atau bersifat multifaktorial dari interaksi faktor
predisposisi genetik dan maternal. Faktor risiko maternal meliputi defisiensi asam folat,
defisiensi vitamin B12, paparan terhadap obat-obatan seperti asam valproat (untuk
pengobatan epilepsi), serta penyakit kronis seperti diabetes dan obesitas.
Setidaknya setengah kasus NTDs dapat dicegah dengan konsumsi asam folat adekuat pada
masa perikonsepsi, yaitu tiga bulan sebelum dan selama trimester pertama kehamilan.Untuk
mengurangi risiko NTDs, direkomendasikan wanita usia reproduksi mengonsumsi
suplementasi harian asam folat 400 µg (0.4 mg).Pada wanita yang sudah pernah memiliki
bayi dengan NTDs direkomendasi mengonsumsi suplementasi asam folat dosis lebih tinggi
sebesar 4,000 µg (4 mg), dimulai setidaknya sebulan sebelum kehamilan dan selama
trimester pertama. Demikian juga dengan wanita dengan diabetes, epilepsi dalam terapi
natrium valproat, dan obesitas. Fortifikasi asam folat pada tepung terigu dan beras diharap
dapat mengimbangi kebutuhan asam folat pada masa perikonsepsi.
Diperlukan multi intervensi untuk pencegahan NTDs. Kebijakan terkait sudah sangat
mendukung, yaitu UU 52 Tahun 2009 tentang keluarga berencana, Permenkes 88 Tahun
2014 dan Permenkes 51 Tahun 2016 tentang standarisasi suplemen gizi, Permenkes 97
Tahun 2014 tentang suplementasi pada ibu hamil, dan Kepmenkes 1452 Tahun
2003tentang fortifikasi terigu. Kebijakan tersebut harus dioptimalisasi pelaksanaannya,
dimulai dari pemantapan Gerakan Keluarga Berencana Nasional dan pengaturan
kehamilan, pendidikan gizi dan promosi diet kaya asam folat, yodium, seng, dan zat besi
pada makanan pokok sehari-hari, kegiatan suplementasi dan fortifikasi asam folat, yodium,
seng, dan zat besi, serta surveilans dan monitoring kelainan bawaan skala nasional sebagai
dasar evaluasi kebijakan intervensi seperti suplementasi asam folat atau fortifikasi asam
folat pada bahan makanan.
xi
Pengantar
Seiring dengan tren penurunan angka kematian bayi dan anak, ditengarai terjadi pergeseran
penyebab kematian kearah kelainan bawaan atau dengan kata lain, proporsi kelainan
bawaan sebagai penyebab kematian bayi dan anak di dunia meningkat.1Selain sebagai
salah satu penyebab utama kematian, kelainan bawaan juga merupakan penyebab penting
kesakitan dan kecacatan pada anak yang berimplikasi pada beratnya biaya kesehatan yang
harus ditanggung keluarga dan negara. Oleh karena itu sudah selayaknya pencegahan
kelainan bawaan menjadi salah satu fokus utama intervensi kesehatan di Indonesia.
Hasil Penelitian
Kelainan Bawaan dan Neural Tube Defects
Menurut estimasi WHO tahun 2010, kelainan bawaan ditemukan pada minimal 3% dari
seluruh kelahiran di dunia atau sebanyak 4,8 juta kasus, lebih dari setengahnya terjadi di
Afrika dan Asia Tenggara (Gambar 1).2Prevalensi kelainan bawaan di dunia pada tahun
2006 bervariasi, terendah di Perancis sebanyak 39,7 per 1000 kelahiran hidup dan tertinggi
di Sudan sebanyak 82 per 1000 kelahiran hidup. Indonesia bersama tujuh negara di Asia
Tenggara (India, Sri Lanka, Thailand, Nepal, Bangladesh, Myanmar, dan Bhutan)
menempati posisi tengah dengan prevalensi kelainan bawaan sebesar 55 hingga 65 per
1000 kelahiran hidup.3Kelainan bawaan bersama dengan asfiksia neonatal dan kelahiran
prematur/pertumbuhan janin terganggu berkontribusi pada 25% sampai 60% kematian anak
usia <5 tahun (balita) di dunia.4
Gambar 1. Distribusi kasus kelainan bawaan di dunia (Sumber: WHO, 2010)
xii
Kelainan bawaan tabung saraf (Neural Tube Defects/NTDs) merupakankelainan bawaan
mayor dengan jumlah kasus kedua terbanyak di dunia (323.904 kasus), setelah kelainan
jantung kongenital (1.040.835 kasus).3Survailans Kelainan Bawaan di Indonesia tahun 2016
memperlihatkan NTDs adalah kelainan bawaan ketiga terbanyak dengan prevalensi sebesar
15,7 per 10.000 kelahiran.Selain itu, NTDs merupakan penyebab utama kematian janin
pada persalinan preterm (usia gestasi <28 minggu dan 28-35 minggu) dan lebih dari 50%
bayi dengan NTDs lahir mati (stillbirths) atau meninggal dalam tujuh hari pasca kelahiran.5
Jenis kelainan NTDs terseringadalah spina bifida,anensefali, dan ensefalokel(Gambar 2).
NTDs terjadi apabila tabung saraf janin gagal menutup pada 21-28 hari pertama kehamilan,
dimana tabung saraf adalah ‘bakal calon’ bagi pembentukan tulang belakang, saraf tulang
belakang, tengkorak, dan otak. Penyebab pasti NTDs belum diketahuiatau bersifat
multifaktorial dari interaksi faktor predisposisi genetik dan maternal. Faktor risiko maternal
meliputi defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, paparan terhadap obat-obatan seperti
asam valproat (untuk pengobatan epilepsi), serta penyakit kronis seperti diabetes dan
obesitas.6
Gambar 2. Berturut-turut, bayi dengan spina bifida, anensefali, dan ensefalokel (Sumber: Karyana, 2016)
Folat dan Asam Folat
Asam folat (folic acid) adalah senyawa sintetik dari folat (folate)yang digunakan dalam
suplemen dan makanan yang difortifikasi. Folat adalah vitamin B9 yang larut dalam airdan
secara alamiah ditemukan pada makanan seperti sayuran hijau, kacang-kacangan, kuning
telur, ati, dan lain-lain. Akan tetapi, bioavailabilitas atau penyerapan folat alamiah dari
makanan ternyata 10% hingga 98%lebih rendah daripada asam folat sintetik.7
Sebagai senyawa yang larut dalam air, asam folat tidak diketahui memiliki dosis toksik.
Meskipun demikian, asam folat dosis tinggi dapat menyamarkan gejala defisiensi vitamin
B12, yaitu dengan mengoreksi anemia yang merupakan gejala awal defisiensi sehingga
menyebabkan keterlambatan diagnosisdefisiensi vitamin B12. Oleh karena itu ditetapkan
batas atas konsumsi harian asam folat sintetik sebesar 1000 µg(diluar folat alamiah).8
xiii
Pencegahan NTDs dan Suplementasi Asam Folat
Untuk mengurangi risiko NTDs, direkomendasikan wanita usia reproduksi mengonsumsi
suplementasi harian asam folat 400 µg(0.4 mg).(DHHS, 1992; IOM, 1998)Di Cina tahun
1993-1996, suplementasi asam folat 400 µg/hari pada wanita hamil menurunkan prevalensi
NTDs, di Cina bagian Utara dari 6 per 1000 menjadi 1 per 1000 kelahiran dan di Cina bagian
Selatan dari 1 per 1000 menjadi 0,6 per 1000 kelahiran. (Berry et al., 1999; Moore et al.,
1997)
Pada wanita yang sudah pernah memiliki bayi dengan NTDs, risiko NTDs pada kehamilan
berikutnya berkurang 70% jika mengonsumsi suplementasi asam folat dosis lebih tinggi
sebesar 4,000 µg (4 mg), dimulai setidaknya sebulan sebelum kehamilan dan selama
trimester pertama. Wanita dengan diabetes, epilepsi dalam terapi natrium valproat, dan
obesitas juga disarankan mengonsumsi suplementasi asam folat dengan dosis lebih
tinggi.(MOD, 2004; MRC Vitamin Study Research) Suplementasi asam folat juga dapat
mencegah kelainan mayor lainnya, seperti kelainan jantung bawaan, penyakit jantung
koroner, beberapa tipe kanker dan demensia.(Canfield et al., 2005; La Vecchia et al., 2002;
McIlroy et al., 2002; Wald et al., 2002)
Pencegahan NTDs dan Fortifikasi Asam Folat
Setidaknya setengah kasus NTDs dapat dicegah dengan konsumsi asam folat adekuat pada
masa perikonsepsi, yaitu tiga bulan sebelum dan selama trimester pertama
kehamilan.(CDC, 2005) Akan tetapi seringkali terjadi kehamilan tanpa direncanakan, bahkan
di negara maju sekalipun, dan seringkali pada 28 hari pertama wanita belum menyadari
kehamilannya. Hal ini yang menjadi dasar program fortifikasi makanan pokok dengan asam
folat, yodium, dan zat besi untuk pencegahan NTDs dan kelainan bawaan lainnya, juga
pencegahan defisiensi yodium dan anemia.
Di Chili tahun 2000, program nasional fortifikasi asam folat pada tepung (bahan baku roti)
sebanyak 2,2 mg/kg tepung (setara dengan penambahan asam folat 427 mg/hari)
meningkatkan kadar folat serum 3,8 kali dan folat sel darah merah 2,4 kali pada wanita usia
subur dalam satu tahun pasca fortifikasi.(Hertrampf et al., 2003) Di Amerika Serikat,
sepertiga kasus NTDs menurun tiap tahun dengan program fortifikasi asam folat pada
tepung dan negara hemat 400 juta USD per tahun. Implementasi program nasional fortifikasi
asam folat pada tepung di Chili tahun 2000 menurunkan prevalensi NTDs 40%
(anencephaly, encephalocele and spina bifida).(Hertramp and Cortés, 2004; Castilla et al.,
2003; Lopez-Carmelo et al., 2005)
xiv
Konteks kebijakan terkait
Keluarga Berencana dan Pengaturan Kehamilan
Program keluarga berencana dan pengaturan kehamilan dapat menurunkan beban dari
kelainan bawaan dan diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun
2009 menggantikan UU No. 10 Tahun 1992. Keluarga Berencana adalah upaya mengatur
kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi,
perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga
yangberkualitas.Pengaturan kehamilan adalah upaya untuk membantu pasangan suami istri
untuk melahirkan pada usia yang ideal, memiliki jumlah anak, dan mengatur jarak kelahiran
anak yang ideal denganmenggunakan cara, alat, dan obat kontrasepsi.Gerakan Keluarga
Berencana Nasional Indonesia telah berumur sangat lama yang dimulai pada tahun 70-an
dan cukup berhasil menurunkan angka kelahiran di Indonesia.
Suplementasi Asam Folat untuk Wanita Usia Subur dan Wanita Hamil
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2014 ditujukan untuk
standarisasi produk tablet tambah darahbagi wanita usia subur dan ibu hamil. Saat ini
banyak produk tablet tambah darah yang beredar di masyarakat dengan nama dagangdan
komposisi yang beragam. Beberapa diantaranya tidak memenuhistandar tablet tambah
darah seperti yang disarankan oleh WHOterutama kandungan elemental besi dan asam
folatnya. Setiap tablet tambah darah bagi wanita usia subur dan ibu hamil sekurangnya
mengandung zat besi setara dengan 60 mg besi elemental (dalam bentuksediaan Ferro
Sulfat, Ferro Fumarat atau Ferro Gluconat); dan asam folat 400 µg (0,4 mg).Ruang lingkup
peraturan ini diperluas dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 51
Tahun 2016 tentang standarisasi produk suplementasi gizi untuk memenuhi kecukupan gizi
bagi bayi, balita, anakusia sekolah, wanita usia subur, ibu hamil, dan ibu nifas.
Selain itu, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2014
menyaratkan setiap ibu hamil harusmendapat tablet tambah darah (tablet zat besi)dan asam
folatminimal 90 tablet selama kehamilan yang diberikan sejak kontakpertama untuk
mencegah anemia gizi besi.
Fortifikasi Asam Folat pada Tepung Terigu dan Beras
Program fortifikasi tepung terigu diatur oleh Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1452 Tahun 2003 yang diperkuat oleh SNI wajib fortifikasi tepung terigu
tahun 2008.Tepung terigu yang di produksi, diimpor ataudiedarkan di Indonesia harus
ditambahkan fortifikan sehingga mengandung besi minimal 50 ppm; seng minimal30 ppm;
xv
vitamin B1 (tiamin) minimal 2,5 ppm; vitamin B2 (riboflavin) minimal 4 ppm; dan asam folat
minimal2 ppm.Program fortifikasi zat besi, seng, dan asam folat pada beras khususnya
beras raskin saat ini dalam tahap persiapan pilot project di Kabupaten Karawang dan
Bekasi.
Rekomendasi kebijakan
1. Optimalisasi kegiatan promosi Gerakan Keluarga Berencana Nasional dan pengaturan
kehamilan.
2. Optimalisasi kegiatan pendidikan gizi dan promosi diet kaya asam folat, yodium, seng,
dan zat besi pada makanan pokok sehari-hari.
3. Optimalisasi kegiatan suplementasi gizi untuk memenuhi kecukupan gizi bayi, balita,
anak usia sekolah, wanita usia subur, ibu hamil, dan ibu nifas.
4. Optimalisasi kegiatan fortifikasi asam folat, yodium, seng, dan zat besipada makanan
pokok sehari-hari.
5. Membentuk surveilans dan monitoring kelainan bawaan skala nasional sebagai dasar
evaluasi kebijakan intervensi seperti suplementasi asam folat atau fortifikasi asam folat
pada bahan makanan.
Kepustakaan terpilih
1. WHO. Birth Defects in South-East Asia A Public Health Challenge: Situation Analysis.
India: World Health Organization Regional Office for South-East Asia; 2013.
2. WHO. World Health Statistics 2011. Geneva: World Health Organization; 2011.
3. Christianson A, Howson CP, Modell B. March of Dimes Global Report on Birth Defects:
The hidden toll of dying and disabled children. New York: March of Dimes Birth Defects
Foundation; 2006.
4. Lotto LD, Mastroiacovo P. Birth defects prevention: Global issues. Geneva: World
Health Organization; 2012.
5. Karyana M. Indonesia Hospital-based Birth Defects Surveillance. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2016.
6. Flores AL, Vellozzi C, Valencia D, Sniezek J. Global Burden of Neural Tube Defects,
Risk Factors, and Prevention. Indian J Community Health 2014;26:3-5.
7. McNulty H, Pentieva K. Folate bioavailability. Proceedings of the Nutrition Society
2007;63:529-36.
8. AAP. Folic Acid for the Prevention of Neural Tube Defects. Pediatrics 1999;104:325.
xvi
Optimalisasi RKO untuk Fasilitas Kesehatan
Pemerintah dan Swasta sebagai Salah Satu Solusi
Mengatasi Kekosongan Obat
di Era Jaminan Kesehatan Nasional
Latar Belakang
Perbekalan farmasi merupakan komponen terbesar dalam biaya pengeluaran RS yaitu
mencapai sekitar 40‐ 50 persen. Pengadaan obat dalam masa Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) mengacu pada Formularium Nasional yang telah ditetapkan dan sebagian
besar harus menggunakan e‐ procurement dengan harga yang sudah ditetapkan melalui
e‐ katalog. Pemerintah berkewajiban menjamin ketersediaan perbekalan farmasi untuk
pelayanan kesehatan. Ketersediaan obat esensial selalu menjadi target yang ditetapkan
dalam rencana strategis Kemenkes. Namun demikian, upaya menjamin ketersediaan
obat merupakan suatu mata rantai yang kompleks dengan berbagai kendala pada setiap
titik dalam siklus tersebut.
Urgensi Permasalahan :
Mekanisme pengadaan obat melalui e-catalogue belum optimal antara lain karena tidak
akuratnya rencana kebutuhan obat (RKO) sebagai dasar pengadaan e-catalogue.
Produksi obat melalui mekanisme e-procurement dan e-catalog sangat tergantung pada
ketepatan Rencana Kebutuhan Obat (RKO). Salah satu penyebab kelangkaan cairan RL
dan obat lain yang terjadi di pasaran yaitu karena adanya kelebihan permintaan bila
dibandingkan dengan perencanaan produksi.
Permasalahan lain adalah masih banyak pihak-pihak yang belum menyampaikan RKO,
sebagian menyampaikan data RKO yang tidak valid karena minimnya data penggunaan
Ringkasan Eksekutif
Obat merupakan komponen terbesar dalam pembiayaan kesehatan khususnya di rumah sakit.
Pemerintah berkewajiban menjamin ketersediaan obat di seluruh fasilitas kesehatan.
Pengadaan obat dalam masa JKN sebagian besar dilakukan melalui e-procurement.
Permasalahan kekosongan obat semakin menguak sejak pelaksanaan JKN tahun 2014. Proses
perencanaan obat melalui Rencana Kebutuhan Obat (RKO) merupakan titik kritis dalam mata
rantai pengadaan obat, yang menentukan estimasi kecukupan pengadaan obat dalam skala
nasional. Sebagian besar fasilitas kesehatan swasta belum membuat RKO yang disampaikan ke
pusat dan belum bisa membeli obat melalui e-catalogue. Industri farmasi pemenang tender e-
catalogue mengalami berbagai kendala dalam penyediaan obat sesuai kontrak sehingga
memperbesar masalah kekosongan obat tidak hanya di daerah yang memiliki kesulitan akses
geografis tetapi di semua wilayah termasuk di perkotaan. Alternatif solusi permasalahan
kekosongan obat adalah optimalisasi RKO dengan melibatkan seluruh fasilitas kesehatan
swasta disertai kebijakan membuka akses e-catalogue untuk fasilitas kesehatan swasta.
xvii
obat peserta JKN pada tahun lalu, bahkan ada juga fasilitas kesehatan yang menetapkan
rencana dengan kapasitas berlebihan.
Fasilitas kesehatan swasta seperti rumah sakit dan klinik banyak yang mengeluhkan
sulitnya proses penyediaan obat JKN. Sebagian rumah sakit harus membeli obat dengan
harga reguler yang lebih mahal dibandingkan harga e-catalogue sehingga mereka harus
melakukan pendanaan subsidi silang dengan pasien non JKN untuk tetap dapat
menyediakan obat . Akses untuk membeli obat e-catalogue memang masih diutamakan
untuk fasilitas kesehatan pemerintah yang menggunakan dana APBN sedangkan untuk
fasilitas kesehatan swasta sebagian besar masih belum bisa melakukan e-purchasing
melalui e-catalogue.
Pada tahun 2015, RKO telah disampaikan oleh 461 dinas kesehatan, 505 RS Pemerintah,
79 RS Swasta, dan 51 apotik PRB. Pada tahun 2016 RKO telah disampaikan oleh 507 dinas
kesehatan, 500 RS Pemerintah, 13 RS Swasta, dan 294 apotik PRB.
Isu strategis
Perencanaan obat sangat tergantung pada RKO dari dinas kesehatan dan fasilitas
pelayanan kesehatan. RKO bermanfaat untuk perencanaan penyediaan obat program
dan sebagai dasar penawaran dalam e-catalogue yang dikaitkan dengan kapasitas
produksi.
Selama ini fasilitas kesehatan pemerintah termasuk dinas kesehatan masih menjadi
sumber utama informasi RKO skala nasional sedangkan fasilitas kesehatan swasta yang
bisa mengakses e-catalogue masih terbatas. RKO merupakan titik kritis yang
menentukan proses penyediaan obat, sehingga perlu kejelasan aturan data RKO dan
pengirimannya. Dalam tataran pelayanan kesehatan dasar telah ditetapkan Kepmenkes
Nomor 112/Menkes/SK/XII/2008 tentang Pedoman Teknis Pengadaan Obat dan
Perbekalan Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Dasar, yang seharusnya bila
diterapkan dengan baik dapat mengurangi kesenjangan data RKO untuk pelayanan
kesehatan dasar. Termasuk dalam hal ini adalah mewajibkan rumah sakit/fasilitas
pelayanan kesehatan mencantumkan obat yang digunakan untuk peserta JKN ketika
mengajukan klaim yang dibayarkan, agar tersedia basis data tahun sebelumnya untuk
memproyeksikan kebutuhan tahun berikutnya.
xviii
Rekomendasi Kebijakan
Perbaikan tata kelola obat untuk mencegah dan mengatasi kekosongan obat dalam
menunjang implementasi program JKN harus dimulai dari optimalisasi RKO dengan
melibatkan fasilitas kesehatan swasta dalam pembuatan RKO skala nasional disertai
dengan pembukaan akses e-catalogue untuk seluruh fasilitas kesehatan swasta
Referensi
Mekanisme Penetapan Harga Obat di Era JKN. Presentasi Engko Sosialine Direktur
Pengelolaan Obat Publik dan Perbekkes dalam Forum Dialog Kebijakan dalam rangka
Penyusunan Dokumen Analisis Kebijakan Penetapan Harga Obat . Jakarta, 11 Oktober
2016.
xix
Policy Brief :
MENAKAR KEBERADAAN PROGRAM
INTERNSIP
DOKTER INDONESIA Harimat Hendarwan, Mieska Despitasari
LATAR BELAKANG
Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) merupakan salah satu upaya pemerintah
dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia khususnya di bidang
kedokteran. Sejak ditetapkannya Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dan perkembangan global dalam etika praktik kedokteran mensyaratkan bahwa
pasien tidak boleh dijadikan objek praktik mahasiswa kedokteran. Adanya perubahan
mendasar dalam pengendalian praktik kedokteran berdampak pada proses pendidikan
dokter. Selama pendidikan di fakultas kedokteran pada masa kepaniteraan klinik, mahasiswa
tidak lagi menangani pasien secara mandiri dan masa pendidikan dokter menjadi lebih
singkat.
Undang-Undang tersebut mengamanatkan bahwa praktik kedokteran dilaksanakan
ber-azaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan,
keseimbangan serta perlindungan dan keselamatan pasien. Dalam pasal 25 ditegaskan
bahwa pendidikan dan pelatihan kedokteran/kedokteran gigi untuk memberikan kompetensi
kepada dokter/doktergigi yang dilaksanakan sesuai standar pendidikan profesi kedokteran.
Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan penetapan standar kurikulum baru pendidikan
dokter yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi.Kurikulum ini menetapkan bahwa
pendidikan dokter meliputi dua tahap, yaitu tahap pendidikan dokter dan tahap pelaksanaan
program internsip.
Hal ini sejalan dengan standard World Federation of Medical Education (WFME), suatu
badan pendidikan dibawah WHO, yang menyatakan bahwa pendidikan dokter terdiri dari
dua tahap, yaitu tahap basic medical education yang meluluskan dokter dan selanjutnya
tahap Post Graduate Medical Education (PGME) yang disebut juga sebagai pre registration
training atau internsip.
Berdasarkan perkembangan tersebut, untuk peningkatan kemahiran dan
kemandirian, penerapan standar kompetensi yang dicapai selama pendidikan, serta
penerapan standar profesi dokter, maka diperlukan proses pelatihan keprofesian pra-
registrasi yang disebut Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI). Program tersebut menjadi
prasyarat untuk mendapat kewenangan praktik kedokteran berupa Surat Tanda Registrasi
(STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia. Proses ini dikenal di negara lain sebagai program
internship atau housemanship.
Di beberapa negara Eropa program ini dilaksanakan setelah lulus pendidikan dokter
selama 3 tahun. Di Indonesia, disepakati internsip dilaksanakan selama 1 tahun setelah lulus
pendidikan dokter.
KEBERADAAN PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA (PIDI)
PIDI telah diinisiasi dan disepakati oleh Kementerian Kesehatan, Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Kementerian Pendidikan Nasional sejak
tahun 2008. Penyelenggaraan PIDI ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik
xx
Indonesia No.299/Menkes/Per/II/2010 tentang Penyelenggaraan Program Internsip dan
Penempatan Dokter Pasca Internsip.Konsil Kedokteran Indonesia menerbitkan Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia No. 1/KKI/Per/2010 tentang Registasi Dokter Program Internsip.
Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI) sebagai Pelaksana Program Internsip Dokter telah
diangkat dan ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor: 138/Menkes/SK/I/2011 tentang Komite Internsip Dokter Indonesia.Pelaksanaan PIDI
untuk pertama kali dilaksanakan di Provinsi Sumatera Barat pada Bulan Maret 2010.
Peserta PIDI angkatan pertamaadalah dokter lulusan Fakultas Kedokteran (FK)
Universitas Andalas. FK Universitas Andalas telah melaksanakan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) sejak tahun 2004 sebagai hasil pilot project pengembangan kurikulum
kedokteran dari Health Workforce and Services (HWS). Pada tahun 2006 KKI telah
mengesahkan Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia dan Standar Kompetensi Dokter
Indonesia. Oleh karena itu pada tahun 2007 seluruh FK di Indonesia harus sudah
melaksanakan pendidikan dokter dengan implementasi KBK.Pada tahun 2005 beberapa
Fakultas Kedokteran mulai melaksanakan KBK. Pada Bulan November 2010 lulusan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia dengan KBK mulai melaksanakan PIDI di Provinsi Jawa
Barat.
Sejak tahun 2010 sampai dengan Oktober 2015 sebanyak 19.671 dokter mengikuti
PIDI. Sejumlah 13.482 dokter diantaranya telah selesai melaksanakan PIDI, sedangkan 6.189
dokter sedang melaksanakan PIDI dengan melibatkan 1.708 dokter pendamping di 560
rumah sakit dan 588 puskesmas di 34 provinsi. Peserta PIDI tersebut berasal dari 56 FK yang
berada di Indonesia baik pemerintah maupun swasta dan 5 FK luar negeri yang sebelumnya
telah mengalami proses adaptasi.
Seluruh pelaksanaan PIDI sejak tahun 2010 sampai dengan 2015 dibebankan pada
anggaran Pemerintah Pusat melalui APBN Kementerian Kesehatan. Jumlah peserta PIDI yang
meningkat setiap tahunnya sesuai dengan jumlah lulusan fakultas kedokteran menimbulkan
konsekuensi peningkatan besaran anggaran. Pada kurun waktu tahun 2010 sampai dengan
2015,anggaran PIDI terus mengalami peningkatan. Kebutuhan anggaran PIDI diperkirakan
akan meningkat pada tahun 2016, seiring dengan bertambahnya lulusan FK. Dengan
demikian, berdasarkan pagu definitif Kementerian Keuangan, anggaran PIDI untuk tahun
2016 dialokasikan sebanyak Rp. 650.000.000.000.
Tabel Anggaran PIDI Tahun 2010-2016
TAHUN ALOKASI ANGGARAN (dalam Rupiah)
2010 10.066.900.000
2011 33.075.677.000
2012 79.902.422.000
2013 166.036.240.000
2014 242.231.249.976
2015 261.866.300.000
2016 (pagu definitif) 650.000.000.000
xxi
EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
Selama kurun waktu 2010 – 2015, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
sudah 3 (tiga) kali mendapatkan amanat untuk melakukan penilaian terhadap pelaksanaan
PIDI, baik penilaian yang dilakukan sendiri oleh Badan Litbangkes maupun yang dilakukan
bersama-sama dengan beberapa institusi pendidikan kedokteran.
Penilaian pertama pada tahun 2011, adalah asesmen 1 tahun perjalanan PIDI.
Selanjutnya, Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
antara Kementerian Kesehatan, KIDI, dan Komisi IX DPR RI pada tanggal 26 November 2012,
menghasilkan rekomendasi dilakukannya evaluasi PIDI. Oleh karena itu, pada tahun 2013
dilakukan kajian internsip di 9 (sembilan) provinsi.Hasil evaluasi tersebut telah dipaparkan
dalam RDP dengan Komisi IX DPR RI pada tanggal 24 Juni 2013.
Sebagai tindaklanjut pemaparan hasil kajian tersebut, diperoleh rekomendasi dari
Komisi IX DPR RI bahwa perlu dilakukan kajian tentang manfaat Program Internsip secara
komprehensif mengingat besarnya anggaran Program Internsip yang dibebankan kepada
anggaran Kementerian Kesehatan. Mempertimbangkan hal tersebut, maka pada tahun 2015
dilakukan kajian Cost, Output, dan Manajemen Program Internsip Dokter Indonesia.
Hasil Evaluasi I :Asesmen Program Internsip Dokter Indonesia Tahun 2011
Asesmen dilakukan untuk menilai pelaksanaan Program Internsip Dokter Indonesia
(PIDI) pada tahun pertama.Pada saat itu baru dokter lulusan FK Universitas Andalas yang
hampir selesai menjalankan program internsip. Asesmen dilakukan secara potong lintang,
dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif di 4 kabupaten di Provinsi
Sumatera Barat (Pariaman, Solok, Pesisir Selatan, dan Lima Puluh Kota).
Hasil asesmen menunjukkan bahwa secara umum Program Internsip Dokter
Indonesia telah berjalan dengan cukup baik di Sumatera Barat.Internsip dinilai bermanfaat,
baik untuk peserta maupun untuk wahana. Beberapa hal memerlukan pembenahan, antara
lain manajemen internsip, perbaikan buku pedoman dan log book, serta kelengkapan sarana
di wahana.Beberapa RS dan puskesmas belum memenuhi persyaratan sebagai wahana.
Pemerintah Daerah belum memberikan dukungan nyata untuk pelaksanaan PIDI. Kendala
yang dihadapi peserta internsip antara lain keterbatasan sarana dan fasilitas diagnostik,
penunjang diagnostik, dan sarana penunjang internsip lainnya. Terdapat persepsi yang keliru
mengenai status peserta internsip, serta manajemen yang masih kurangteratur.
Hasil Evaluasi II :Penelitian Evaluasi (Evaluation Research); Evaluasi Program Internsip
Dokter Indonesia
Penelitian dilakukan antara Bulan Maret – Mei 2013, di 10 kabupaten/kota terpilih di
9 provinsi di Indonesia yang telah menerima peserta PIDI. Lokasi penelitian ditentukan
dengan menggunakan multistage sampling.Pemilihan lokasi penelitian terkait erat dengan
kriteria inklusi peserta internsip yang digunakan pada penelitian ini.Peserta internsip yang
menjadi responden/informan penelitian ini adalah peserta internsip yang telah menjalani
program internsip minimal 10 bulan. Pemilihan lokasi penelitian juga mempertimbangkan
status akreditasi FK lulusan peserta internsip, kepemilikan FK (negeri atau swasta),
wilayahpenempatan, dan frekuensi keterlibatan wahana peserta internsip. Berdasarkan hal
tersebut terpilih Kabupaten Pidie (Provinsi Aceh), Kabupaten Kampar (Provinsi Riau), Kota
Jambi (Provinsi Jambi), Kabupaten Lebak (Provinsi Banten), Bandung (Provinsi Jawa Barat),
Nganjuk (Jawa Timur), Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat),
Kabupaten Pontianak (Kalimantan Barat), serta Sidenreng Rappang (Sulawesi Selatan).
xxii
Peneliti dan pengumpul data adalah peneliti, peneliti ad hoc dan staf Badan
Litbangkes, beberapa orang peneliti dan staf dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga, didampingi beberapa orang staf
Pusrengun BPPSDM Kesehatan.
Kajian ini menghasilkan kesimpulanbahwa terjadi peningkatan pemahiran,
pemandirian dan profesionalisme pada 7 area kompetensi inti dokter melalui proses
internsip; PIDI membantu pemenuhan SDM Kesehatan di fasyankes, membantu
mempersingkat respon time pelayanan, membantu fasyankes dalam menyusun SOP, sharing
perkembangan iptek kedokteran dengan seluruh staf fasyankes, membantu fasyankes dalam
sistem rujukan, meningkatkan cakupan program puskemas khususnya berkaitan dengan
upaya kesehatan masyarakat, promotif dan preventif. Terdapat beberapa kendala dan
permasalahan dalam pelaksanaan PIDI misalnya bantuan biaya hidup peserta dan honor
pendamping khususnya berkaitan dengan besaran dan ketepatan waktu penyaluran.
Beberapa fasyankes kurang memenuhi persyaratan sebagai wahana PIDI. Fasyankes tersebut
tidak dilengkapi dengan unit gizi, laboratorium sederhana pada beberapa wahana puskemas
belum ada, begitu pula halnya dengan ruang baca/perpustakaan dan lain-lain. Temuan lain
adalah tidak memadainya dukungan logistik dan manajemen seperti tidak tersedianya buku
pedoman, kurang jelasnya log book peserta dan sulitnya proses penerbitan SIP Internsip.
Hasil evaluasi ini telah dipaparkan dalam RDP dengan Komisi IX DPR RI pada tanggal
24 Juni 2013.Dalam RDP tersebut, Komisi IX DPR RI menyetujui usulan Menteri Kesehatan
untuk menaikkan Bantuan Biaya Hidup (BBH) dokter Internsip dari Rp 1.200.000,00 menjadi
Rp2.500.000,00. Usulan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan RI dengan
ditetapkannya izin prinsip kenaikan satuan BBH dokter Internsip menjadi Rp 2.500.000,00.
Hasil Evaluasi III : Kajian Cost, Output, dan Manajemen Program Internsip Dokter
Indonesia tahun 2015
Kajian ini menggunakan desain pre-post test interventiondan dilakukan di fasyankes (RS dan
atau puskesmas) di kabupaten/kota yang pada Bulan Februari 2015 terdaftar sebagai tempat
pelaksanaan PIDI.Kajian dilakukan pada tahun 2015, dengan tahap persiapan dan
penyusunan kuesioner dilakukan pada akhir tahun 2014.Penyusunan kuesioner mengundang
AIPKI, IDI, dan KIDI.
Terdapat dokter lulusan dari 73fakultas kedokteran yang mengikuti internsip periode
Februari 2015 yang tersebar di 25 provinsi. Pemilihan lokasi penelitian mempertimbangkan
status akreditasi FK lulusan peserta internsip, kepemilikan FK (negeri atau swasta),wilayah
penempatan, dan frekuensi keterlibatan wahana peserta internsip. Berdasarkan hal tersebut,
dilakukan pemilihan secara random (acak) dengan mempertimbangkan proporsi peserta
internsip di masing-masing wilayah (Probability Proporsional to Size), terpilih Kabupaten
Muko-muko, Kota Jakarta Utara, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Probolinggo, Kota Blitar,
Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Sikka, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Wajo, Kota
Sorong dan Kabupaten Biak Numfor sebagai lokasi penelitian.
Pada kajian ini dilakukan pengumpulan data pengetahuan dokter peserta internsip
mengenai Upaya Kesehatan Perorangan dan Upaya Kesehatan Masyarakat, Pengumpulan
Data Kemahiran Dokter Peserta Internsip (menggunakan instrumen MINI CEX dan DOPS),
xxiii
kesiapan wahana, pendamping, penilaian terhadap peserta internsip, penilaian terhadap
manajemen, data capaian target kasus oleh peserta (diperoleh dari buku log peserta), dan
pengumpulan data rata-rata pengeluaran peserta internsip (menggunakan instrumen
Susenas yang telah dimodifikasi).
Penilaian tahap awal dilakukan pada Bulan Maret 2015 untuk memperoleh data awal
peserta. Data ini kemudian dibandingkan dengan data hasil pengumpulan berikutnya (Bulan
Oktober 2015).
Hasil kajian menunjukkan masih banyak wahana yang belum sesuai dengan
persyaratan. Secara umum, terjadi peningkatan pengetahuan peserta internsip mengenai
Upaya Kesehatan Masyarakat. Namun tidak terjadi peningkatan pengetahuan dalam Upaya
Kesehatan Perorangan.Penilaian pemahiran menggunakan DOPS dan MINI CEX
menunjukkan telah terjadi peningkatan pemahiran dalam keterampilan klinis dan
diagnosis.Perlu menjadi catatan, penilaian ini merupakan pencapaian selama 8 bulan peserta
menjalani program internsip (Maret sampai Oktober 2015), belum sepenuhnya menjalani 12
bulan periode pelaksanaan internsip.
Dari hasil analisa data kualitatif, sebagian besar peserta internsip menilai bahwa
program internsip bermanfaat untuk peningkatan pemahiran dan rasa percaya diri. Kendati
demikian, beberapa peserta menganggap bahwa program ini tidak perlu karena merasa ilmu
yang diperoleh selama pendidikan sudah memadai.
Data pengeluaran peserta internsip diperoleh dengan mengadopsi instrumen
konsumsi rumah tangga Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).Instrumen pengeluaran
terdiri dari dua pengelompokan pengeluaran konsumsi rumah tangga, yaitu pengelompokan
konsumsi makanan dan non makanan. Dari hasil kajian ini, proporsi rata-rata estimasi
kebutuhan minimal peserta internsip dalam satu bulan adalah sebesar Rp 4.684.318,00
OPSI KEBIJAKAN
Berdasarkan hasil ketiga evaluasi tersebut, maka terdapat beberapa opsi kebijakan untuk
Program Internsip Dokter Indonesia, yakni :
Menghentikan Program Internsip Dokter Indonesia dan meningkatkan kualitas output
pendidikan kedokteran.
Melanjutkan Program Internsip Dokter Indonesia sebagaimana pengelolaan saat ini dengan
melakukan perbaikan manajemen secara menyeluruh, termasuk kesiapan wahana,
pendamping, peningkatan bantuan biaya hidup, dan perangkat pendukung program
internsip lainnya.
Melanjutkan Program Internsip Dokter Indonesia denganpendamping yang berasal dari
institusi pendidikan kedokteran.
xxiv
Melanjutkan Program Internsip Dokter Indonesia dengan institusi pendidikan kedokteran
sebagai pengelola.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Menimbang dampak positif programinternsip dokter Indonesia dalampemahiran dokter
sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan, maka opsi melanjutkan Program Internsip
Dokter Indonesiadengan institusi pendidikan sebagai pengelola menjadi pilihan utama
kebijakan.
Melanjutkan PIDI dengan melakukan perbaikan manajemen secara menyeluruh, tidak
menjadi pilihan utama dikarenakan setelah 5 tahun PIDI berjalan, relatif masih banyak
wahana yang tidak memenuhi persyaratan. Kondisi ini akan diperberat dengan
meningkatnya jumlah peserta internsip di masa yang akan datang.
xxv
Policy Brief
Menimbang DAK Subbidang Pelayanan Kefarmasian di Era JKN : Masihkah
Diperlukan?
Latar Belakang
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan bagian dari dana perimbangan yang erat
kaitannya dengan strategi pembangunan nasional. DAK Bidang Kesehatan diarahkan
untuk kegiatan Subbidang Pelayanan Kesehatan Dasar, Pelayanan Kesehatan Rujukan
dan Pelayanan Kefarmasian. Tujuan pembangunan kesehatan di sektor kefarmasian
adalah menyediakan obat dalam jumlah dan jenis yang cukup, mutu yang terjamin,
terjangkau serta mudah diakses. Pengalokasian DAK ditentukan melalui kriteria umum,
kriteria khusus dan kriteria teknis. Mulai tahun 2016 DAK ditentukan oleh unit utama
melalui proses pengajuan proposal dari daerah (proposal based).
DAK subbid yanfar diberikan pada kabupaten/kota yang tertentu dan digunakan
terutama untuk pengadaan obat dan perbekalan kesehatan, pembangunan atau
rehabilitasi instalasi farmasi di kabupaten / kota serta pengadaan sarana
pendukung instalasi farmasi. Sejak tahun anggaran 2014 DAK subbid yanfar ada yang
diberikan pada tingkat provinsi untuk pembangunan atau rehabilitasi instalasi farmasi
provinsi dan pengadaan sarana pendukungnya.
Urgensi Permasalahan
Permasalahan terkait DAK yaitu mengenai pengalokasian daerah yang masih
mengandalkan DAK dan hanya menyediakan dana pendamping 10%, rendahnya tingkat
pelaporan dan kurangnya pemahaman tentang implementasi peraturan pelaksanaan
DAK. Dalam pelaksanaan pelaporan penggunaan DAK yang diterima oleh Dirjen Binfar
Alkes terlihat bahwa respon rate pelaporan sangat rendah. Pada tingkat provinsi hanya
ada 5 provinsi yang mengirimkan laporan >95% yaitu provinsi Nangroe Aceh
Ringkasan Eksekutif
DAK subbid yanfar dialokasikan untuk pengadaan obat dan perbekalan kesehatan serta
pembangunan dan rehabilitasi instalasi farmasi. Pelaporan DAK subbid yanfar yang
diterima oleh ditjen Binfar alkes secara umum masih rendah. DAK subbid yanfar masih
merupakan sumber dana utama pengadaan obat meskipun setelah JKN ada dana kapitasi
yang bisa dialokasikan untuk pengadaan obat. Sebagian daerah masih belum
menggunakan dana kapitasi karena berbagai kendala khususnya masalah kebijakan
teknis, sehingga cenderung menggunakan DAK yang secara teknis lebih mudah.
Peningkatan pelaporan DAK perlu diupayakan melalui pengembangan regulasi dan
melanjutkan pelaporan dengan google drive. Dana kapitasi untuk pengadaan obat perlu
dipertimbangkan dalam perhitungan alokasi DAK subbid yanfar sehingga dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan dana kapitasi maupun DAK.
xxvi
Darussalam, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara dan Papua. Data dari Biro
Perencanaan menunjukkan pelaporan pada tingkat provinsi mencapai 100% sedangkan
realisasinya lebih kecil. Provinsi Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat memiliki tingkat
pelaporan dan realisasi yang paling tinggi yaitu 100% pelaporan dan 99% realisasi
keuangan. Pada tingkat kabupaten/kota terlihat bahwa kabupaten/kota yang berada di
provinsi DIY memberikan pelaporan 100% dengan tingkat realisasi keuangan paling
tinggi yaitu 95%, disusul oleh kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan
Barat dan Jawa Timur dengan tingkat pelaporan 100% dan realisasi 93%. Secara nasional
pelaporan tingkat provinsi hanya 57% sementara realisasi mencapai 84% sedangkan di
kabupaten/kota pelaporan mencapai 60% sedangkan realisasi mencapai 87%.
Rasio efektifitas penggunaan tertinggi adalah pengadaan sarana pendukung instalasi
farmasi baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi sementara untuk penyediaan
obat dan perbekalan kesehatan rasio efektifitasnya hanya 54,58%. Indikator yang belum
terealisasi adalah pengadaan sarana instalasi pengolahan limbah padat obat di IF
kabupaten/kota dan IF provinsi.
DAK subbid yanfar masih menjadi sumber dana utama untuk pengadaan obat di
kabupaten/kota yang mendapatkan dana DAK. Dengan adanya dana kapitasi,
pengalokasian DAK mengalami pengurangan tetapi banyak daerah belum siap dengan
pengurangan DAK subbid yanfar tersebut karena memang kapitasi belum digunakan.
Dana kapitasi masih belum banyak dimanfaatkan di berbagai daerah karena kendala
aturan pemanfaatan yang belum jelas, pengaruh kendala e-catalogue, serta kurangnya
SDM yang memenuhi syarat untuk melakukan pengadaan di puskesmas. Di kota Serang
pada tahun 2015 pun DAK masih menjadi sumber dana utama untuk pengadaan obat. Hal
berbeda pada tahun 2015 di Kota Bekasi dan Kab. Pandeglang yang menunjukkan dana
kapitasi menjadi sumber terbesar untuk pengadaan obat. Secara umum terlihat trend
peningkatan penggunaan dana kapitasi pada tahun 2014 ke tahun 2015.
xxvii
Rekomendasi
1. Rekomendasi terkait pelaporan DAK
Perlu dibuat regulasi agar daerah dapat mengerjakan laporan tepat waktu, jika DAK
tidak sesuai realisasi, maka DAU yang akan dipotong. Pelaporan menggunakan google
drive perlu dilanjutkan dan dibuatkan payung hukumnya.
2. Rekomendasi terkait efektivitas dan efisiensi
DAK masih menempati porsi terbesar pendanaan obat di kabupaten/kota, di beberapa
daerah mencapai 90% sehingga APBD hanya untuk dana pendamping 10%. Dalam
meningkatkan efektivitas dan efisiensi DAK subbid yanfar perlu melakukan evaluasi
hubungan antara realisasi DAK dan ketersediaan obat di setiap kabupaten/kota hingga
ke tingkat puskesmas. Dengan adanya perubahan kebijakan perencanaan dan
pengalokasian DAK tahun 2016 maka perlu pertimbangan dalam penentuan alokasi DAK.
Perlu dikaji lebih lanjut mengenai hal-hal apa saja yang diperhitungkan dalam
pembagian alokasi ke provinsi dan kabupaten/kota.
3. Rekomendasi terkait kapitasi
Kapitasi perlu diperhitungkan dalam penganggaran DAK, tetapi tidak serta merta DAK
dihentikan atau diturunkan dengan adanya kapitasi. Perlu sosialisasi dan penyesuaian
yang memastikan bahwa daerah sudah dapat menggunakan kapitasi untuk pengadaan
obat, sehingga ketersediaan obat dan vaksin tetap terjamin. Perlu ada evaluasi terkait
kesiapan daerah untuk menjamin ketersediaan obat tanpa dana DAK, dilihat dari data
ketersediaan obat dan pembiayaannya. Meskipun daerah tersebut mengajukan DAK
lagi, maka data tahun-tahun sebelumnya dapat digunakan untuk memantau apakah
daerah tersebut mampu memenuhi kebutuhan obatnya dengan sistem pendanaan yang
telah berjalan. Daerah harus didorong untuk meningkatkan alokasi anggaran untuk
xxviii
pengadaan obat sendiri. Dalam hal daerah sudah sanggup mengadakan obat dengan
dana APBD dan kapitasi JKN, maka dapat dilakukan pergeseran menu dari pengadaan
obat bisa menjadi penyediaan sarana pendukung instalasi farmasi.
Referensi
1. Noviyanti W. Analisis Proses Penetapan Alokasi Anggaran Kesehatan pada Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Bogor tahun 2012. Depok: Universitas
Indonesia; 2012.
2. Marliana. Gambaran Proses Perencanaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan Tahun
2011 di Kementerian Kesehatan. Depok: universitas Indonesia; 2011.
3. Ermawan. Analisis Proses Perencanaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan di Biro
Perencanaan dan Anggaran Depok: Universitas Indonesia; 2005.
xxix
PERBAIKAN TATA KELOLA DISTRIBUSI TENAGA
KESEHATAN BERBASIS TIM MENUJU NUSANTARA YANG LEBIH SEHAT Oleh : Tinexcelly Simamora, Harimat Hendarwan, Rosita, Mukhlisul
Faatih
Rangkuman Eksekutif
Penugasan khusus berbasis tim untuk mendukung Program Nusantara Sehat telah
dilakukan oleh Pemerintah sejak tahun 2015 dan sampai dengan akhir tahun 2016
telah ditempatkan tim di 251 puskesmas dalam 5 gelombang (5 batch). Telah
dilakukan kegiatan monitoring terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut
terhadap peserta penugasan khusus yang sudah menjalankan sedikitnya 1 tahun
masa penugasan (batch 1 dan 2). Secara umum Tim telah bekerja dengan baik
dan memberikan hasil positif. Kendati demikian masih dijumpai adanya berbagai
permasalahan, baik dalam hal administrasi maupun pelaksanaan di lapangan.
Direkomendasikan untuk dilakukan beberapa perbaikan dalam tata kelola
penugasan khusus berbasis tim, antara lainperlu dibuat sekretariat bersama yang
mengurus mengenai Penugasan Khusus Tim Nusantara Sehat dengan pembagian
tugas yang jelas di antara Unit Utama, Perlu disusun Kurikulum Modul Pelatihan
(Kurmod) Pembekalan NS secara “Terpadu”, sehingga Penempatan NS adalah
dalam rangka Memperkuat Tim Puskesmas yang sudah ada (Integrasi ke dalam
Sistem), Perlu Pembekalan Ka Puskesmas terkait Pengintegrasian POA Tim NS ke
dalam POA Puskesmas beserta pengerahan sumber daya (Anggaran dan
sarpras), Perlu disusun Buku Pedoman (Juknis) terkait Peran Pusat, Peran
Provinsi, dan Peran Kab/Kota dalam Pendampingan dan Supervisi NS, Perlu Buku
Pedoman (Juknis) Pendayagunaan Tenaga NS dalam Peningkatan Kinerja
Puskesmas untuk Manajemen Puskesmas (Ka Puskesmas dan Staf), Puskesmas
yang sudah selesai penugasan Tim NS, perlu dipikirkan keberlanjutan program
peningkatan kinerja Puskesmas (Penempatan TIM NS kembali, Penempatan NS
Individual, dll), Tim NS yang sudah selesai penugasan, perlu dipikirkan jenjang
karirnya (PNS Pusat/ Daerah, tenaga kontrak), Agar Tim NS dapat berkiprah
secara optimal maka, pertimbangan tingkat keterpencilan (ke-DTPK-an) dan
komitmen Dinkes/ Puskesmas Setempat harus menjadi pertimbangan.
1. Pendahuluan
Sejak Pemerintah menjalankan distribusi tenaga kesehatan melalui penugasan
khusus berbasis timuntuk mendukung Program Nusantara Sehat yang dikenal
dengan Tim Nusantara Sehat pada tahun 2015, telah ditempatkan tim Nusantara
Sehat di 251 puskesmas. Penempatan ini dibagi dalam 5 gelombang (batch), pada
tahun 2015 ditempatkan tim di 120 puskesmas (batch 1 dan 2) dan pada tahun 2016
telah ditempatkan tim pada 131 puskesmas di seluruh Indonesia (batch 3,4, dan
5).Penugasan khusus tenaga kesehatan berbasis tim (team based) dalam
mendukung Program Nusantara Sehat merupakan pendayagunaan secara khusus
tenaga kesehatan berbasis tim dalam kurun waktu tertentu dengan jumlah dan
jenis tertentu guna menigkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan pada
fasilitas daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan dan daerah bermasalah
xxx
kesehatan. (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 tahun
2015)
Kebijakan ini ditetapkan dengan mempertimbangkan amanat Amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H
menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan, serta terkait dengan upaya
penyediaan sumber daya di fasilitas pelayanan kesehatan yang merupakan
tanggung jawab Pemerintah (Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, pasal 16). Selanjutnya, Pasal 26 ayat (1) UU 36 tahun 2009 juga
menyebutkan bahwa Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk
pemerataan pelayanan kesehatan. Hal ini dilakukan agar setiap orang dapat
memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau (pasal 5 UU 36 tahun
2009). Tidak terkecuali pemenuhan amanat pada masyarakat yang bertempat
tinggal di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK) dan Daerah
Bermasalah Kesehatan (DBK) yang secara alami sangat berbeda dengan daerah
lainnya.
Selama ini, Pemerintah Pusat telah melakukan berbagai program dalam
rangka pemenuhan akses dan mutu pelayanan kesehatan terutama untuk DTPK
dan DBK melalui penempatan dokter, dokter gigi dan bidan pegawai tidak tetap
(PTT) serta penugasan khusus untuk tenaga kesehatan lulusan D3 lainnya. Masih
diperlukan suatu program penempatan tenaga kesehatan yang komprehensif
melalui pendekatan promotif, preventif dan kuratif, dan rehabilitatif. Terkait
dengan hal tersebut, makaPemerintah membuat suatu program baru yaitu
Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan Berbasis Tim (Team Based) Dalam
Mendukung Program Nusantara Sehat yang diharapkan mampu melaksanakan
program secara terintegrasi dan memberikan pelayanan kesehatan secara
optimal di tingkat pelayanan dasar khususnya di DTPK dan DBK.
Penugasan khusus tenaga kesehatan tersebut dilaksanakan sesuai dengan
amanat Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah menetapkan untuk
menempatkan tim pada puskesmas-puskesmas yang memenuhi kriteria tertentu,
dimana setiap tim akan bertugas selama 2 tahun. Dalam rencana, penempatan tim
ini akan dilakukan setidaknya sampai dengan tahun 2019.
Monitoring dan evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
siklus implementasi suatu program, agar dapat memantau dan melakukan
langkah koreksi apabila ditemukan adanya kemungkinan distorsi antara tujuan
dan realita yang terjadi. Setelah lebih dari 1 tahun kebijakan penugasan khusus
berbasis tim ini dijalankan, maka perlu dilakukan monitoring dan evaluasi
terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut, khususnya terhadap 120 tim yang
ditempatkan pada tahun 2015 (batch 1 dan 2) yang telah melewati 1 tahun
penugasan.
xxxi
2. Permasalahan dalam implementasi kebijakan
Kegiatan monitoring dilakukan melalui pendekatan kuantitatif. Data
kualitatif dikumpulkan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut atas beberapa
temuan kuantitatif. Dilakukan penilaian terhadap beberapa parameter yang
mencerminkan peran Pemerintah Pusat (Kementerian Kesehatan), pemerintah
kabupaten/kota, dan puskesmas. Subyek monitoring meliputi peserta dan Tim
Nusantara Sehat, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan kepala puskesmas
lokasi penempatan tim Nusantara Sehat.
2.1. Peran Kementerian Kesehatan
Peran Kementerian Kesehatan dinilai berdasarkan tahapan yang dilakukan
oleh Kemenkes mulai dari rekrutmen, pembekalan, penempatan, pasca
penempatan, pendampingan dan supervisi serta pengelolaan secara umum.
Secara umum proses rekrutmen dinilai sudah cukup baik dalam hal
keterbukaan, informasi mudah didapat, tahapan yang sesuai, netral, adil, sesuai
kompetensi, transparan, tidak bertele-tele dan tidak memungkinkan peluang
KKN. Keluhan umum yang disampaikan yaitu terkait proses pengumuman dan
registrasi online menggunakan internet cukup menyulitkan bagi calon peserta
yang berada di desa atau di pedalaman yang sulit mendapat akses internet,
selain itu kadang-kadang juga sulit log in. Ketidakjelasan wajib atau tidaknya STR
dan NPWP, lokasi tes yang sulit dijangkau dari tempat tinggal peserta menjadi
permasalahan tersendiri.
Pembekalan masih dianggap kurang memuaskan terutama dalam hal porsi
materi dengan praktek dengan harapan porsi praktek bisa ditambah dan
disesuaikan dengan profesi masing-masing, tidak dicampurkan semua peserta
mendapat semua materi karena ada materi yang spesifik seperti dokter keluarga
seharusnya cukup untuk anggota tim berlatar belakang dokter. Selama
pembekalan, materi praktek masih kurang terutama untuk yang berlatar
belakang non medis. Keluhan lainnya terkait dengan padatnya jadwal materi
sehingga peserta kurang bisa konsentrasi akibat kelelahan disertai dengan
banyaknya tugas, kegiatan terus menerus dengan waktu ibadah dan waktu
istirahat yang kurang sehingga banyak peserta yang sakit. Kelas dirasakan
terlalu besar sehingga tidak kondusif untuk pembelajaran.
Kegiatan bela negara disebutkan sebagai salah satu penyebab kelelahan
sehingga disarankan agar waktu bela negara dikhususkan misalnya dalam satu
minggu berbeda. Pelatihan bela negara, kepemimpinan, tanggung jawab,
survival, team work dan problem solving perlu dipertahankan. Permasalahan
lain terkait higienitas makanan, ruang yang panas dan penyampaian materi yang
cenderung satu arah membuat peserta mengantuk. Pembelajaran yang perlu
ditambahkan antara lain teknologi tepat guna khususnya untuk kesehatan
lingkungan seperti cara pengolahan air, sampah dan pembuatan arang briket.
Untuk peserta yang berlatarbelakang pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat
(SKM) perlu pembekalan mengenai manajemen puskesmas, BOK, akreditasi,
promkes dan pelaporan di puskesmas termasuk pelaporan NS dan alur kerjanya.
Pembekalan teknis lain yaitu sosial budaya setempat seperti potensi makanan
lokal untuk gizi, penjaringan keswa dan praktek ATLM disertai dengan strategi
mengatasi keterbatasan alat di lapangan. Advokasi dianggap merupakan hal
xxxii
yang penting untuk tim NS tapi masih kurang diberikan. Hal lainnya yaitu
kebutuhan untuk diberikan data puskesmas penempatan, pemberian sertifikat
pelatihan dan harapan agar ada pendamping Kemenkes selama 24 jam.
Permasalahan utama dalam hal penempatan adalah perlunya penyesuaian antara
jenis tenaga yang dikirimkan dengan kebutuhan puskesmas baik dalam hal jenis
tenaga, jumlah dan sarana prasarananya serta penempatan dokter sesuai
prioritas daerah. Masih ada tim NS yang ditempatkan di puskesmas yang sudah
banyak SDM atau penempatan di puskesmas kota bukan DTPK sehingga terkesan
tidak adil, ada yang ditempatkan di daerah sendiri, bahkan ada yang minta
ditukar penempatan tanpa alasan yang jelas. Penempatan tim NS perlu diawali
dengan survei lokasi dan kesepahaman/koordinasi antara Kementerian
Kesehatan dengan Pemerintah Daerah dan puskesmas sehingga tidak terjadi
penolakan yang mengakibatkan tim NS merasa kurang diterima dan dipersulit
oleh pihak puskesmas. Hal lain yaitu adanya usulan agar penempatan dilakukan
sejak awal pembekalan, perlunya pembimbing di provinsi, memperhatikan porsi
laki-laki dan perempuan sesuai kondisi daerah.
Hal yang banyak dikhawatirkan tim NS pasca penugasan adalah peluang kerja
pasca NS atau pemberian beasiswa untuk alumni NS. Sebagian tim NS merasa
dilepas begitu saja,tidak ada yang melakukan supervisi, semua laporan tidak ada
feedback, dan kurangnya komunikasi dengan pendamping.
Pendamping diharapkan menjadi jembatan antara tim NS dengan Kementerian
Kesehatan dan dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota. Pada kenyataannya ada
pendamping yang aktif, selalu berkomunikasi bahkan mendampingi sampai
survey awal dan pertemuan lintas sektor. Di sisi lain ada pendamping yang
dianggap baik tapi akses komunikasinya terbatas, ada juga pendamping yang
sibuk dan sulit dihubungi. Ada pendamping yang terkesan tidak tahu apa-apa
tentang NS.
Sebagian tim mengeluhkan masalah administrasi yang tidak tertangani seperti
pengurusan STR, kartu BPJS dan NPWP. Diusulkan ada unit khusus yang
menangani NS di Kementerian Kesehatan untuk menerima keluhan atau laporan
dari Tim NS.
Tabel 1
Persepsi responden tentang beberapa peran Kementerian Kesehatan
Aspek N Ya
n %
Lokasi tes mudah dijangkau 119 77 64,7
Porsi materi antara pengetahuan dan
praktek sudah sesuai 119 49 40,8
Lokasi penempatan sesuai dengan yang
dibayangkan
120 33 27,5
Kementerian Kesehatan telah menjalankan
pengelolaan program NS dengan baik 120
92 76,7
xxxiii
2.2. Peran Dinas Kesehatan
Persepsi tim Nusantara Sehat (NS) terhadap dinas kesehatan digali berdasarkan
upaya yang dilakukan oleh dinas kesehatan dalam penerimaan Tim Nusantara
Sehat mulai dari penyediaan sarana dan prasarana seperti tempat tinggal, alat
transportasi, tunjangan daerah dan lain-lain, upaya peningkatan kapasitas SDM
Nusantara Sehat, supervisi terhadap Tim Nusantara Sehat dan peran dinas
kesehatan dalam upaya implementasi Rencana Kerja/POA Tim NS.
Sebagian besar informan menyatakan mendapat sarana rumah untuk tempat
tinggal dari dinaskesehatankabupaten/kota, dengan kondisi yang berbeda-beda
mulai dari tempat tinggal yang nyaman dilengkapi dengan fasilitas sampai
dengan tempat tinggal yang belum layak huni karena merupakan bagian dari
ruangan Puskesmas. Selain rumah tinggal, sebagian Tim Nusantara Sehat juga
mendapatkan alat transportasi berupa kendaraan roda dua yang digunakan untuk
operasional sehari-hari.
Meskipun secara umum dinas kesehatan kabupaten sudah menyediakan sarana
dan prasarana, tetapi masih ada dinas kesehatan yang hanya membantu dalam
koordinasi dengan kepala puskesmas untuk menyediakan sarana dan prasarana,
tidak menyediakan alat transportasi sehingga Tim NS mengandalkan ojek atau
sewa sepeda motor atau berjalan kaki, tidak menyediakan tunjangan daerah
maupun dijanjikan untuk menjadi tenaga PNS maupun tenaga PNS daerah.
Sebagian besar tim Nusantara Sehat belum pernah dilibatkan untuk mengikuti
pelatihan. Umumnya pelatihan diperuntukkan bagi PNS puskesmas, kalaupun ada
tim Nusantara Sehat yang mengikuti pelatihan lebih dikarenakan tim NS tersebut
ditugasi untuk memegang program di puskesmas. Pelatihan diutamakan untuk
pegawai yang sudah berstatus PNS, terutama untuk pelatihan-pelatihan yang
bersertifikat, karena apabila diikuti oleh pegawai yang non PNS dikhawatirkan
akan pindah lokasi kerja sehingga dinas kesehatan harus mencari SDM lainnya
untuk dilatih kembali.
Sedikit tim NS yang dilibatkan yang dilibatkan dalam pertemuan dinas
kesehatan. Hal ini disebabkan berbagai faktor, seperti sulitnya akses yang
ditempuh dari puskesmas menuju ibukota kabupaten, atau jadual pertemuan
tidak sesuai dengan jadual pesawat atau kapal laut.
Tabel 2.
Persepsi tentang peran dinas kesehatan kabupaten/kota
Aspek
N
Ya
n %
Penyediaan tunjangan daerah 120 20 18,3
Mengusulkan menjadi PNS 119 9 7,6
Penyediaan peralatan/sarana puskesmas 120 61 50,8
Dinkes mengikutsertakan dalam
pertemuan rutin 120 24 20,0
Dinkes mengikutsertakan tim NS dalam
pelatihan 120 44 36,7
Dinkes pernah melakukan supervisi
khusus NS ke puskesmas 119 27 22,7
34
2.3. Puskesmas
Umumnya pemangku kepentingan (stakeholder) menerima keberadaan
tim Nusantara Sehat, kendati demikian tim Nusantara Sehat merasa bahwa
kelompok staf puskesmas merupakan kelompok yang terbanyak yang tidak
menerima kedatangan tim dengan baik.
Hampir seluruh tim Nusantara Sehat telah menempati rumah tinggal,
walaupun sebagian di antaranya (35%) membayar dari uang pribadi (kolektif
tim). Lebih dari setengah puskesmas menyediakan sarana transportasi yang
dapat digunakan oleh tim Nusantara Sehat untuk mendukung pelaksanaan tugas
operasionalnya. Sebagian besar tim NS di puskesmas mendapatkan dana
kapitasi. Terdapat puskesmas yang tidak memberikan dana kapitasi kepada tim
NS karena sudah mendapatkan tunjangan daerah dari Pemda dan dana terpencil
(Dacil), atau tunjangan dari Dinas Kesehatan.
Sebagian tim NS menilai ruangan puskesmas kurang tertata, tidak
memadai, keamanan lokasi kurang, dan tidak ada sarana transportasi untuk
merujuk (ambulan). Dari segi akses dan geografis ada puskesmas yang wilayah
kerjanya terlalu luas, tidak ada angkutan umum, jalan rusak atau tidak ada akses
jalan darat, biaya transportasi tinggi. Kendala lain yang disampaikan oleh tim
adalah sulitnya transportasi pada waktu-waktu tertentu, misalnya ketika cuaca
buruk.
Sebagian besar tim (83,3%) menyatakan bahwa Rencana Usulan Kegiatan
(RUK) yang disusun oleh Tim NS telah diintegrasikan dengan PoA Puskesmas.
Disayangkan masih terdapat sekitar 22,5% kepala puskesmas yang dirasakan
belum memberikan bimbingan dan arahan kepada tim NS dalam menjalankan
tugas sehari-hari.
Tabel .
Persepsi tentang Puskesmas
2.4. Sarana pendukung penugasan
Sebagian tim menyampaikan terdapatnya keterbatasan sarana komunikasi,
seperti tidak adanya sinyal telepon dan internet, kurang dan sulitnya
mendapatkan air bersih, ketiadaan listrik dan genset yang kadang mati
kehabisan bahan bakar. Selain itu, banyak pula tim yang mengeluhkan
kurangnya sarana pendukung penugasan di puskesmas, seperti peralatan
laboratorium dan alat-alat medis.
Aspek
N
Ya
n %
Tim NS telah menempati rumah tinggal 120 115 95,8
Sumber biaya rumah tinggal dari pribadi/kolektif tim 111 35 31,5
Puskesmas menyediakan alat transportasi 116 70 60,3
Mendapatkan tunjangan khusus atau dana kapitasi 120 93 77,5
RUK yang disusun Tim NS telah diintegrasikan dengan
PoA Puskesmas 120 100 83,3
Kepala puskesmas memberikan bimbingan dan arahan
terhadap Tim NS dalam menjalankan tugas sehari-hari 120 93 77,5
35
Tabel 4.
Keberadaan prasarana penunjang penugasan Tim Nusantara Sehat di puskesmas
Aspek
N
Ya
n %
Di kawasan wilayah kerja sekitar puskesmas
terdapat sumber air bersih 120 103 95,8
Tersedia listrik di puskesmas 120 114 95
Di kawasan sekitar puskesmas terdapat sinyal
internet 120 76 63,3
2.5. Penilaian Stakeholder atas keberadaan Tim Nusantara Sehat.
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh dinas kesehatan dan kepala
puskesmas, kehadiran tim NS memberikan dampak positif terhadap kinerja
puskesmas secara keseluruhan,mulai dari manajerial, pelaporan hingga memicu
tenaga kesehatan yang lain di puskesmas bekerja lebih maksimal. Keberadaan
Tim Nusantara Sehat di puskesmas dapat meningkatkan cakupan program,
meningkatkan jumlah kunjungan ke puskesmas, mengaktifkan kembali beberapa
programseperti prolanis dan STBM, meningkatkanrespon time pelayanan
puskesmas, administrasi menjadi lebih rapi,pelayanan laboratorium aktif
kembali, sertapeningkatan jumlah Posyandu yang menggunakan 5 meja.
Secara umum penilaian kepala puskesmas tentang kinerja tim NS, termasuk
di dalamnya sikap, perilaku, pengetahuan, dan pelaksanaan tugas adalah sangat
baik. Hanya saja untuk ketrampilan memang harus lebih ditingkatkan dengan
lebih banyak praktek terutama pada pelayanan. Ada kepala puskesmas yang
menyatakan agar kinerja tim NS dapat menjadi contoh untuk staf puskesmas
lainnya. Sebagian besar Tim NS juga dinilai dapat bekerjasama dengan baik
dengan kepala puskesmas dan staf. Kerjasama yang baik juga ditunjukkan oleh
sebagian besar tim NS kepada lintas sektor untuk menjalankan program dari
puskesmas.
3. Rekomendasi Kebijakan
Mengingat secara umum keberadaan tim Nusantara Sehat di puskesmas
memberikan hasil positif, maka direkomendasikan untuk melanjutkan kebijakan
penempatan tenaga kesehatan berbasis tim, dengan beberapa perbaikan
sebagai berikut :
Di tingkat Kementerian, perlu dibuat sekretariat bersama yang mengurus
mengenai Penugasan Khusus Tim Nusantara Sehat dengan pembagian tugas
yang jelas di antara Unit Utama.
Perlu disusun Kurikulum Modul Pelatihan (Kurmod) Pembekalan NS secara
“Terpadu”, sehingga Penempatan NS adalah dalam rangka Memperkuat Tim
Puskesmas yang sudah ada (Integrasi ke dalam Sistem)
36
Perlu Pembekalan Ka Puskesmas terkait Pengintegrasian POA Tim NS ke
dalam POA Puskesmas beserta pengerahan sumber daya (Anggaran dan
sarpras)
Perlu disusun Buku Pedoman (Juknis) terkait Peran Pusat, Peran Provinsi, dan
Peran Kab/Kota dalam Pendampingan dan Supervisi NS
Perlu Buku Pedoman (Juknis) Pendayagunaan Tenaga NS dalam Peningkatan
Kinerja Puskesmas untuk Manajemen Puskesmas (Ka Puskesmas dan Staf)
• Puskesmas yang sudah selesai penugasan Tim NS, perlu dipikirkan
keberlanjutan program peningkatan kinerja Puskesmas (Penempatan TIM NS
kembali, Penempatan NS Individual, dll)
• Tim NS yang sudah selesai penugasan, perlu dipikirkan jenjang karirnya (PNS
Pusat/ Daerah, tenaga kontrak)
• Agar Tim NS dapat berkiprah secara optimal maka, pertimbangan tingkat
keterpencilan (ke-DTPK-an) dan komitmen Dinkes/ Puskesmas Setempat
harus menjadi pertimbangan.
xxxvii
xxxviii
POLICY BRIEF
Penurunan Karies Gigi Pada Anak Balita
Latar Belakang
Penyakit gigi dan mulut yang paling sering ditemui di masyarakat adalah karies gigi.
Karies gigi biasa menyerang pada orang dewasa dan anak-anak. Riskesdas 2013
diperoleh indeks status kesehatan gigi pada dewasa adalah 4,6 dan prevalensi aktif
53,2. Prevalensi karies gigi anak balita cukup tinggi yaitu 50% dan cenderung
meningkat di beberapa negara.
Karies gigi dapat dihindari dengan melakukan perawatan sejak dini. Perawatan gigi
anak membutuhkan peran aktif orang tua untuk menghindari kelainan atau
gangguan gigi agar gigi tetap sehat, teratur, rapi, dan indah. Memperhatikan
kesehatan gigi anak atau gigi susu sangat berpengaruh pada pertumbuhan gigi
tetap.
Ringkasan
Karies gigi masih menjadi masalah utama dan mengenai 60-90% murid sekolah. Tingkat karies gigi pada kelompok usia ini lebih cepat berubah daripada gigi permanen dan usia 5 tahun merupakan usia anak mulai sekolah. Kebiasaan anak makan makanan manis dan lengket serta tidak benarnya waktu dan frekuensi menyikat gigi merupakan faktor penyebab karies gigi. Policy brief ini disusun untuk meningkatkan perawatan kesehatan gigi dan mulut anak usia taman kanak-kanak. Hasil penelitian menunjukkan perilaku menyikat gigi yang benar berhubungan dengan kejadian karies gigi. Demikian juga kebiasaan konsumsi makanan kariogenik berhubungan dengan kejadian karies gigi.
Promosi menyikat gigi yang benar perlu dilakukan lebih intensif melalui media cetak dan elektronik. Pengurangan konsumsi makanan kariogenik perlu diterapkan untuk mencegah terjadinya karies gigi.
xxxix
Hal ini dikarenakan gigi susu merupakan gigi pertama tumbuh saat usia bayi sekitar
6–8 bulan yang mengalami pertumbuhan secara lengkap mencapai 20 buah dan
berhenti saat bayi berusia tiga tahun. Memasuki usia 6 tahun gigi secara perlahan
akan tanggal dan digantikan dengan gigi tetap sebanyak 32 buah.
Kenyataan yang ada, tidak semua orang tua memperhatikan kesehatan gigi anak
terutama gigi susu. Hal tersebut disebabkan masih adanya paradigma dari orang tua
yang mengatakan bahwa, “Nanti juga akan digantikan oleh gigi permanen”.
Masalah gigi dan mulut seperti karies gigi banyak dijumpai pada anak usia sekolah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Jakarta menunjukkan 85% anak
prasekolah sudah mengalami karies gigi.
Upaya promotif dan preventif perlu ditingkatkan untuk mencegah terjadinya karies
gigi melalui pengendalian faktor risiko. Pencegahan terhadap karies gigi sudah
menjadi perhatian dan telah dilaksanakan oleh pemerintah maupun organisasi
kesehatan regional dan dunia. Perilaku konsumsi makanan kariogenik belum
mendapat perhatian yang berarti.
Suplemen Fluor
Penyediaan air minum mengandung fluor masih sulit terwujud. Saat ini kadar fluor
dalam air minum yang digunakan oleh masyarakat Indonesia berasal dari air tanah,
air PDAM dan air kemasan di bawah 0,3 ppm. Padahal, kadar fluor dalam air minum
yang dapat mengurangi terjadinya karies gigi adalah 1 ppm. Untuk itu perlu
melakukan tindakan pencegahan primer yaitu pemberian suplemen fluor.
Fluor bisa diberikan dalam bentuk air minum, cairan tetes, tablet, obat kumur, dan
pasta gigi. Bisa juga diberikan topical fluoridasi yang diaplikasikan pada gigi.
Suplemen fluor berupa tablet yang diminum berguna untuk benih-benih gigi yang
akan tumbuh nanti. Tablet fluor dapat diberikan sejak bayi berumur 2 minggu hingga
anak 16 tahun. Umur 2 minggu-2 tahun biasanya diberikan dosis 0,25 mg, 2-3 tahun
diberikan 0,5 mg, dan 3-16 tahun sebanyak 1 mg.
Hubungan konsumsi makanan kariogenik dengan karies gigi
Makanan sangat berpengaruh terhadap kesehatan gigi dan mulut. Makanan
kariogenik adalah makanan yang dapat memicu timbulnya kerusakan gigi, seperti
xl
makanan yang manis dan lengket. Kebiasaan anak mengkonsumsi makanan
kariogenik akan meningkatkan terjadinya karies gigi.
Beberapa penelitian baik di dalam maupun di luar negeri menunjukkan adanya
hubungan bermakna antara konsumsi makanan kariogenik dengan kasus karies gigi.
Penelitian oleh Badan Litbangkes tahun 2014 menunjukkan kebiasaan anak
mengkonsumsi makanan manis dan lengket setiap hari sebesar 35,3%.
Konsumsi makanan manis diantara waktu makan akan lebih berbahaya dari pada
saat waktu makan utama.
Penyuluhan Kesehatan Gigi
Masa lima tahun awal kehidupan dalam tahap perkembangan anak adalah masa
emas dalam tumbuh kembang anak atau golden age. Pada masa ini segala hal
yang tercurah dan terserap pada diri anak akan menjadi dasar dan memori yang
tajam. Terkait dengan kesehatan gigi, jika pada masa emas telah terbentuk memori,
perilaku, kebiasaan dan sikap yang benar tentang cara merawat gigi dan mulut,
maka akan terbawa hingga dewasa. Oleh karena itu pengetahuan tentang
pemeliharaan kesehatan gigi perlu ditanamkan pada masa kanak-kanak, selain
orang tua menjadi contoh yang baik bagi anak. Banyak orang tua beranggapan
bahwa gigi sulung hanya sementara karena akan digantikan oleh gigi tetap,
sehingga mereka tidak memperhatikan kebersihan gigi anak. Pada masa gigi sulung
justru harus mulai diajarkan cara untuk menjaga kebersihan gigi. Untuk menjaga
kesehatan gigi, orang tua juga perlu memeriksakan gigi anak-anak secara rutin
minimal 6 bulan sekali.
Pengetahuan tentang kesehatan gigi dapat dilakukan oleh guru Taman Kanak-kanak
(TK) dan kegiatan menyikat gigi bersama dilakukan setiap hari setelah makan
bersama.
Rekomendasi Kebijakan
Beberapa alternatif kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemegang kebijakan di
Kementerian Kesehatan bersama dengan PDGI dan instansi-instansi terkait yaitu:
1. Mengurangi konsumsi makanan kariogenik, meningkatkan konsumsi makanan
karioprotektif seperti buah-buahan dan sayur-sayuran.
2. Memperluas promosi cara menyikat gigi yang benar melalui media elektronik.
xli
3. Meningkatkan pemakaian pasta gigi mengandung floride.
4. Menyikat gigi dua kali setiap hari pada pagi hari setelah sarapan dan sesaat
sebelum tidur malam.
5. Memasukkan materi kesehatan gigi dalam kurikulum pendidikan Taman Kanak-
kanak.
Kebijakan di atas diharapkan akan berimplikasi pada penurunan jumlah karies pada
anak balita.
Daftar rujukan
1. Kementerian Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. 2013.
2. Raharja S. 2005. Hubungan Pola Makan Makanan Karies Gigi Anak Prasekolah
(Study Kasus di TK Aba Bodeh. Gamping Sleman;
3. Setiawati F. 2012. Peran Pola Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dalam Pencegahan
Early Chilhood Carries (ECC) di DKI Jakarta. Disertasi
4. Seow WK. Clifford H. Battistuta D. Moranoska A. 2009. Case Control Study of
Early Childhood Carries in Australia. Carries Res. 43 (1): 25-35;
5. Vahirarojpisan T. Shinada K. Kawaguchi Y. et al.2004. Early Childhood Caries in
Children Aged 6-19 months. Community Dental Oral Epidemiology. 32 (2): 133-
42;
6. Schroth R. Dahl P. Haque M. et al. 2010. Early Childhood Caries among Hutterite
Preschool Children in Manitoba Canada. Rural Remote Health. 10 (4): 1535;
7. Iida H. Auinger P. Billings RJ. Et al. 2007. Association Between Infant
Breastfeeding and Early Childhood Carries in the United States Pediatrics. 120
(94):
8. Sroda, R. 2010. Nutrition for a healthy mouth. 2nd edition. Lippincot, Williams &
Wilkins. Philadelphia.
9. What is the Burden of Oral Disease? http:/www.who.int/oral health/disease
burden/global/en/index.html. Diunduh pada tanggal 13 Januari 2014
10. Adyatmaka I. 2008. Model Simulator Risiko Karies Gigi Pada Anak Prasekolah.
Disertasi. Universitas Indonesia.
11. Rosyana. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Gigi Dan Mulut Anak
Usia Prasekolah Di Pos Paud Perlita Vinolia Kelurahan Mojolangu. Juli 2015.
Jurnal Keperawatan.
xlii
12. Margarit R, Andrei OC, Daguci C. Diet and Hygiene as Risk Factors in Dental
Caries Case Report. Romanian Journal on Oral Rehabilitation. Vol. 3, No. 1,
January 2011.
13. Kementerian Kesehatan. 2012. Pedoman Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan
Mulut Ibu Hamil dan Anak Usia Balita Bagi Tenaga Kesehatan di Fasililitas
Pelayanan Kesehatan.
14. Nova. 2010. Rawat Gigi Sedini Mungkin.http://www.pdgi-online.com/v2/index.php
(diakses 2 Januari 2017)
43
xliv