laporan survey oseanografi perancak-bali (2011)
DESCRIPTION
LAPORAN SURVEY OSEANOGRAFI PERANCAK-BALI (2011)Aulia SyahraniNugrahinggil SubasitaHamdi Eko PutrantoMediana SafitriLucky Dwi NandaBoleh dikopi dan disebarluaskan dengan catatan menyantumkan nama / alamat website di daftar pustaka :) semoga bermanfaat :DTRANSCRIPT
0
LAPORAN SURVEY OSEANOGRAFI
PERANCAK, BALI (MEI – JUNI 2011)
OS4101 ANALISIS DATA OSEANOGRAFI
Oleh :
Aulia Syahrani 12908002
Nugrahinggil Subasita 12908020
Hamdi Eko Putranto 12908026
Mediana Safitri 12908037
Lucky Dwi Nanda 12908038
PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI
FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2011
1
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI 1
DAFTAR GAMBAR 3
DAFTAR TABEL 4
BAB I PENDAHULUAN 5
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Tujuan Penelitian 6
1.3 Sistematika Pembahasan 6
BAB II SURVEI HIDROGRAFI 7
2.1 Dasar-dasar Pengolahan Data Survei Hidrografi 7
2.1.1 Pengukuran Kedalaman 7
2.1.2 Posisi Horizontal dan Vertikal 8
2.1.3 Dasar Pembuatan Peta 10
2.2 Pengolahan Data Kedalaman Laut 10
2.2.1 Koreksi Vertikal 11
2.2.1.1 Koreksi Pasut 11
2.2.1.2 Koreksi Draft Tranducer 13
2.3 Pembuatan Peta 13
2.3.1 Dasar-Dasar Pembuatan Peta 14
2.3.2 Penggambaran Garis Pantai (Shoreline Plotting) 15
2.3.3 Penggambaran Kedalaman (Bathymetry Plotting) 17
2.4 Hasil dan Diskusi 18
BAB III PASANG SURUT 19
3.1 Dasar-dasar Pengolahan Data Pasang Surut 19
3.1.1 Teori Pasang Surut 19
3.1.2 Metode Admiralty 22
3.1.3 Metode Least Square (TIFA) 22
3.2 Pengolahan data 23
3.3 Hasil dan Diskusi 24
3
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Jalur pemeruman 8
Gambar 2.2 (a) Sextant resection (b) Intersection (c) GPS 9
Gambar 2.3 Levelling geometric 10
Gambar 2.4 Parameter koreksi pasang surut 12
Gambar 2.5 Draft transducer 13
Gambar 2.6 Penentuan Garis Pantai (a) Pantai berpasir, (b) Pantai berlumpur, 16
(c) Pantai terjal, (d) Pantai pepohonan, dan (e) Pantai buatan
Gambar 2.7 Contoh peletakkan pilai kedalaman 17
Gambar 2.8 Contoh penggambaran kontur kedalaman 18
Gambar 2.9 Hasil digitizing garis pantai
Gambar 3.1 Tonjolan (bulge) pasang surut yang disebabkan oleh 20
bulan dan matahari pada saat spring tide dan neap tide
Gambar 3.2 Diagram alir pengolahan data pasang surut 22
Gambar 3.3 Output dari metode Least Square (TIFA) 23
Gambar 3.4 Data hasil pengukuran pasang surut 23
Gambar 3.5 Metode Admiralty 15 hari 25
Gambar 3.6 Komponen-komponen pasang surut yang dihasilkan 25
dari metode Admiralty.
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Survei oseanografi dilakukan sebagai langkah awal dalam menganalisis karakteristik
suatu perairan. Beberapa survei dasar yang bisa dilakukan, antara lain pengamatan pasang
surut, batimetri, pengukuran arus, penentuan garis pantai, dan kualitas air laut. Pelaksanaan
survei harus memperhatikan waktu lamanya survei agar data yang diperoleh akurat dan
mewakili keadaan yang terjadi di lapangan. Agar dapat dimanfaatkan lebih lanjut maka data
tersebut selanjutnya diolah dengan berbagai metode. Misalnya untuk data pasang surut, perlu
dilakukan analisis pasang surut untuk mengetahui komponen pasang surut apa saja yang
berpengaruh dan mengetahui nilai muka air rata-rata perairan tersebut. Daerah survei dapat
digambarkan dengan data koordinat garis pantai dan pengukuran batimetri.
Perairan Perancak, Bali merupakan suatu tempat yang cocok dalam melakukan
rangkaian kegiatan survei oseanografi. Hal ini disebabkan karena kegiatan survei oseanografi
yang dilakukan di daerah tersebut secara garis besar berada pada tiga titik yaitu sungai, muara
sungai, dan perairan lepas pantai. Dengan melakukan pengukuran pada tiga tempat yang
berbeda, maka kita dapat melihat variasi dan korelasi data yang didapatkan dari ketiga tempat
pengukuran tersebut. Contohnya adalah ketika melakukan pengambilan sampel kualitas air di
ketiga tempat tersebut, maka dapat dianalisis hal-hal yang dapat menyebabkan data-data yang
diperoleh dari tempat yang berbeda akan menghasilkan nilai yang tidak sama pula, sehingga
kita dapat mengetahui kemungkinan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Perairan Perancak merupakan salah satu contoh daerah yang wilayah pesisirnya
digunakan untuk berbagai kegiatan seperti pariwisata, penangkaran penyu, pemukiman,
perdagangan, dan hingga beberapa tahun lalu masih dijadikan sebagai daerah penangkapan
ikan sebelum akhirnya kegiatan ini mulai dikurangi karena jumlah ikan yang semakin terbatas
keberadaannya. Berbagai kegiatan ini dapat menghasilkan limbah yang dapat mencemari
lingkungan daerah tersebut. Dengan dasar pemikiran tersebut, survei oseanografi yang
dilakukan di daerah ini diharapkan dapat dijadikan salah satu acuan dan sumber informasi
untuk keperluan perencanaan pengelolaan sumberdaya perairan di daerah Perancak, Bali.
6
1.2 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dinamika perairan di sekitar Pantai Perancak, Bali.
2. Mengetahui pengaruh dinamika perairan tersebut terhadap parameter oseanografi.
3. Memberikan pengalaman kepada mahasiswa dalam mengunakan ilmu yang telah
dipelajari selama perkuliahan secara langsung di lapangan.
4. Mengetahui cara pengukuran dan perolehan data pasang surut, batimetri, arus, dan
kualitas air laut di Perancak, Bali.
1.3 Sistematika Pembahasan
Penulisan laporan survei ini terdiri dari 3 bab, dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN, bab ini berisi uraian singkat mengenai latar belakang,
tujuan penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II SURVEI HIDROGRAFI, bab ini berisi uraian tentang dasar-dasar pengolahan
data survei hidrografi, pengolahan data kedalaman laut (batimetri), pembuatan peta,
dan hasil dan diskusi.
BAB III PASANG SURUT, bab ini berisi uraian tentang pengertian pasang surut,
dasar-dasar pengolahan data pasang surut, pengolahan data, dan hasil dan diskusi.
7
BAB II
SURVEI HIDROGRAFI
2.1 Dasar-dasar Pengolahan Data Survei Hidrografi
Survei hidrografi merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data di laut dan salah satu
lingkup kegiatannya adalah pembuatan peta batimetri yang memuat informasi kedalaman
suatu perairan. Pembuatan peta batimetri terdiri atas beberapa kegiatan yaitu :
- Pengukuran titik kerangka dasar di pantai
- Penentuan posisi titik fix perum
- Pengukuran kedalaman titik fix perum
- Pengukuran garis pantai
- Pengamatan pasut
- Pengukuran topografi sekitar pantai
Saat pengambilan data, pengukuran posisi, pengukuran kedalaman, pengukuran pasut,
dan barcheck harus dilakukan pada waktu yang bersamaan agar data yang digunakan untuk
diolah sesuai.
2.1.1 Pengukuran Kedalaman
Dalam pembuatan peta batimetri suatu perairan maka diperlukan data kedalaman
perairan tersebut. Pengukuran kedalaman dapat dilakukan dengan pemeruman (sounding).
Sounding mencakup pengukuran kedalaman titik perum, penentuan posisi titik perum, dan
pengukuran barcheck untuk koreksi kecepatan suara dari pengukuran kedalaman. Tahapan
sounding adalah:
- Tahap persiapan
Tahap ini adalah tahap melakukan persiapan sounding, seperti menentukan metode
sounding, menentukan jalur sounding, serta menyiapkan segala alat dan personil yang
dibutuhkan. Jalur sounding harus mencakup hampir seluruh area survei seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.1.
8
Gambar 2.1 Jalur pemeruman
- Tahap pelaksanaan
Tahap ini adalah tahap pelaksanaan sounding. Langkah-langkah pengerjaan sounding
adalah:
1. Melakukan barcheck sebelum dan sesudah sounding untuk menghilangkan
kesalahan akibat perambatan kecepatan suara di air
2. Melakukan sounding sesuai dengan jalur yang telah ditentukan. Pengukuran
kedalaman dilakukan menggunakan echosounder yang akan dijelaskan lebih lanjut
pada subbab selanjutnya.
- Tahap pengolahan data
Pengolahan data dilakukan untuk mengetahui chart datum yang berlaku, melaksanakan
reduksi kedalaman hasil sounding terhadap chart datum agar diperoleh kedalaman laut
yang sebenarnya yaitu kedalaman tanpa dipengaruhi oleh pasang surut, dan untuk
melakukan penggambaran kedalaman di lembar lukis. Pengolahan data hasil
pemeruman inilah yang kemudian digabungkan dengan data posisi titik garis pantai
dan posisi topografi pantai untuk menggambarkan suatu peta batimetri.
2.1.2 Posisi Horizontal dan Vertikal
Pada survei hidrografi, titik kontrol horizontal digunakan untuk penentuan posisi kapal.
Penentuan posisi bisa dilakukan dengan banyak metode, seperti sextant resection,
intersection, dan lainnya. Tetapi metode yang paling sering digunakan saat ini adalah dengan
mulai
AREA
PEMERUMAN
: Jalur kapal
9
menggunakan GPS. Sextant resection (Gambar 2.2.a) memerlukan minimal 3 titik kontrol,
sedangkan intersection hanya memerlukan minimal 2 titik kontrol (Gambar 2.2.b), dan GPS
(Gambar 2.2.c) hanya perlu 1 titik stasiun referensi.
(a) (b)
(c)
Gambar 2.2 (a) Sextant resection (b) Intersection (c) GPS
Titik kontrol vertikal digunakan untuk untuk menentukan beda tinggi antara titik-titik
di atas permukaan bumi. Tinggi suatu obyek di atas permukaan bumi ditentukan dari suatu
bidang referensi, yaitu bidang yang dianggap ketinggiannya nol. Bidang ini disebut geoid,
yaitu yaitu bidang equipotensial yang berimpit dengan permukaan air laut rata-rata (mean sea
level), selain itu juga sebagai titik referensi ketinggian tide gauge dan referensi titik GPS. Titik
kontrol vertikal dapat diketahui dengan melakukan levelling. Prinsip leveling adalah adalah
dengan menghitung selisih bacaan benang tengah rambu muka dan rambu belakang yang
10
didirikan pada kedua titik pengamatan, dengan asumsi salah tinggi salah satu titik telah
diketahui (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Levelling geometric
2.1.3 Dasar Pembuatan Peta
Peta batimetri dibuat untuk memberikan gambaran relief daratan bawah air yang
nantinya dipergunakan untuk kegiatan navigasi, pelayaran, atau pembangunan struktur. Peta
dibuat pada suatu bidang datar dengan proyeksi dan skala tertentu sesuai dengan kebutuhan
pemakai peta. Penjelasan mengenai pembuatan peta akan dijelaskan pada subbab selanjutnya.
2.2 Pengolahan Data Kedalaman Laut (Batimetri)
Batimetri merupakan ilmu yang mempelajari kedalaman di bawah air. Ilmu ini
menghasilkan relief daratan yang disebut kontur kedalaman. Mulanya batimetri sangat penting
untuk kegiatan navigasi. Namun saat ini, batimetri juga digunakan untuk berbagai keperluan
lainnya.
Awalnya batimetri dilakukan dengan cara sederhana, yaitu menurunkan seutas tali
yang diberi pemberat ke dalam air. Batas air pada tali tersebut kemudian diukur. Hasil
pengukuran diinterpretasikan sebagai kedalaman air. Penggunaan cara ini sangat terbatas
karena hanya dapat dilakukan untuk kedalaman yang relatif dangkal.
Saat ini batimetri dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan satelit altimetri dan
metode akustik.
11
Satelit Altimetri
Altimetri adalah Radar (Radio Detection and Ranging) gelombang mikro yang dapat
digunakan untuk mengukur jarak vertikal antara permukaan bumi dengan wahana antariksa
(satelit atau pesawat terbang). Pengukuran ini dapat menghasilkan topografi permukaan laut
sehingga dapat menduga geoid laut, arus permukaan dan ketinggian gelombang. Satelit
altimetri memiliki prinsip penggambaran bentuk paras laut dimana bentuk tersebut
menyerupai bentuk dasar laut dengan pertimbangan gravitasi yang mempengaruhi paras laut
dan hubungan antara gravitasi dan topografi dasar laut yang bervariasi sesuai dengan wilayah.
Satelit Altimetri diperlengkapi dengan pemancar pulsa radar (transmiter), penerima pulsa
radar yang sensitif (receiver), serta jam berakurasi tinggi.
Metode Akustik
Cara ini yang digunakan dalam kegiatan survei praktikan di Prancak, Bali dengan
menggunakan alat echosounder. Echosounder menggunakan metode akustik yaitu
memancarkan gelombang mikro ke dasar perairan selanjutnya menerima kembali gelombang
yang dipantulkan dasar perairan. Bila gelombang yang dipancarkan memiliki kecepatan
(meter/detik) dan waktu yang ditempuh dari dipancarkan hingga kembali akibat dipantulkan
adalah (detik) maka akan diperoleh jarak yang ditempuh gelombang (meter).
Karena gelombang bergerak bolak-balik maka jarak yang ditempuh menjadi dua kali.
2.2.1 Koreksi Vertikal
Dalam pengukuran batimetri terdapat koreksi-koreksi vertikal yang perlu diperhatikan.
Koreksi tersebut seperti pasang surut, draft transducer, gangguan kapal, dsb. Untuk survei
oseanografi kali ini, koreksi yang dilakukan hanya koreksi pasang surut dan juga koreksi draft
transducer.
2.2.1.1 Koreksi Pasut
Pasang surut merupakan peristiwa naik turunnya muka air laut secara vertikal yang
diikuti oleh pergerakan massa air secara horizontal yang terjadi secara periodik. Pasang surut
12
disebabkan oleh gaya tarik dari benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap
massa air di bumi.
Pasang surut sangat penting untuk digunakan sebagai acuan posisi vertical suatu
tempat. Ini terkait dengan keselamatan kapal dari ancaman kandas. Sehingga ketinggian air
minimum yang digunakan direferensikan terhadap chart datum yang diperoleh dari komponen
pasang surut.
Chart datum merupakan suatu titik atau bidang referensi yang digunakan pada peta-
peta navigasi maupun pada peramalan pasut, yang umumnya dihubungkan terhadap
permukaan air rendah (Suyarso, dalam Aisyah 2008).
Adapun koreksi pasang surut dijelaskan Gambar 1 dibawah ini
Gambar 2.4 Parameter koreksi pasang surut
(Sumber: http://www.dishidros.go.id)
Dari gambar di atas diketahui
Keterangan
= Reduksi pasang surut
= Hasil pengukuran pasang surut
= Muka air laut rata-rata
= kedalaman muka surutan di bawah MSL
13
2.2.1.2 Koreksi Draft Transducer
Selain koreksi pasang surut, hasil batimetri juga perlu dikoreksi akibat gangguan
lainnya seperti koreksdi draft transducer. Koreksi ini muncul karena ada jarak antara
transducer yang masuk ke dalam air dengan muka air. Sehingga hasil pengukuran batimetri
harus dikoreksi dengan menambah jarak ini. Untuk lebih jelas perhatikan gambar di bawah.
Gambar 2.5 Draft transducer
(Sumber: http://support.echoview.com)
Setelah mendapat koreksi pasang surut dan draft transducer maka pegukuran batimetri
menjadi
2.3 Pembuatan Peta (Plotting)
Peta adalah salah satu bentuk publikasi yang memberikan gambaran unsur-unsur alam
dan/atau buatan manusia yang berada di atas maupun di bawah permukaan bumi. Peta dibuat
pada suatu bidang datar dengan proyeksi dan skala tertentu dengan memuat nama unsur
rupabumi baku yang tercantum dalam gasetir nasional. Dengan demikian nama-nama
rupabumi yang termuat di dalam peta rupabumi merupakan nama-nama yang sudah baku dan
dapat dijadikan sebagai referensi ataau acuan dalam pembuatan peta-peta turunan lain.
(Bakosurtanal).
14
Pada Umumnya ada dua jenis peta, yaitu :
a. Peta Topografi
Peta Topografi adalah jenis peta yang ditandai dengan skala besar dan detail,
biasanya menggunakan garis kontur dalam peta modern. Sebuah peta topografi
biasanya terdiri dari dua atau lebih peta yang tergabung untuk membentuk
keseluruhan peta. Sebuah garis kontur merupakan kombinasi dari dua segmen garis
yang berhubungan namun tidak berpotongan, ini merupakan titik elevasi pada peta
topografi. Salah satu contoh dari peta topografi adalah peta bathimetri. Peta
Bathimetri adalah peta topografi yang menggambarkan kedalaman laut. Garis-garis
kontur yang biasanya menggambarkan ketinggian (dalam arah z positif) dalam peta
bathimetri menjadi kedalaman (dalam arah z negatif).
b. Peta Chorografi
Peta chorografi menggambarkan daerah yang luas, misalnya propinsi, negara, benua
bahkan dunia. Dalam peta chorografi digambarkan semua kenampakan yang ada pada
suatu wilayah di antaranya pegunungan, gunung, sungai, danau, jalan raya, jalan
kereta api, batas wilayah, kota, garis pantai, rawa dan lain-lain. Atlas adalah
kumpulan dari peta chorografi yang dibuat dalam berbagai tata warna.
Dalam Kuliah Analisis Data Oseanografi ini, akan mengolah data pengukuran garis
pantai dan bathimetri perairan Perancak, Bali. Kemudian data tersebut akan dibuatkan menjadi
sebuah peta batimetri lokal untuk daerah Perancak, Bali.
2.3.1 Dasar-dasar Pembuatan Peta (Lembar Lukis)
Dalam mengolah data lapangan menjadi sebuah peta perlu dilakukan penentuan
batasan daerah kajian. Data lapangan seperti data pengamatan garis pantai dan data bathimetri,
haruslah mempunyai data lintang-bujur, serta waktu pengambilan data. Hal tersebut
diperlukan untuk dikoreksi dengan data penunjang lainnya seperti data pasang surut.
Langkah-langkah membuat peta dasar atau base map atau gambar lukis, yaitu:
a. Peta dasar atau base map dibuat di atas kertas yang lebar yang mampu
mengakomodir daerah kajian sehingga tampilan maksimal.
b. Membuat koordinat dalam peta atau gridding yang sesuai dengan daerah kajian.
15
c. Menempatkan titik-titik hasil pengamatan pada gambar lukis sesuai posisi
sebenarnya.
d. Untuk data garis pantai, perlu adanya kesepakatan dimana menentukan titik
pengamatan. Hal ini untuk menyamakan presespsi dalam mengoreksi data pasang
surut.
e. Penyesuaian dengan peta keadaan yang dibuat di lokasi.
2.3.2 Penggambaran Garis Pantai (Shoreline Plotting)
Garis pantai berdasarkan Kamus Hidrografi dari IHO (1970) merupakan garis
pertemuan antara pantai (daratan) dan air (lautan). Walaupun secara periodik permukaan air
laut selalu berubah, suatu tinggi muka air tertentu yang tetap dan dapat ditentukan, harus
dipilih untuk menjelaskan posisi garis pantai. Pada peta laut biasanya digunakan garis air
tinggi (high water line) sebagai garis pantai. Sedangkan untuk acuan kedalaman biasanya
digunakan garis air rendah (low water line).
Walaupun secara teoritis, garis pantai diambil dari kedudukan garis air tinggi, pada
kenyataannya, penentuan garis pantai di lapangan akan menghadapi berbagai kendala yang
berkaitan dengan karakteristik pantai. Contoh dari karakteristik pantai berdasarkan unsur
pembentuknya antara lain:
Pantai Lumpur
Pantai Pasir
Pantai Batu/Batu Kersik/Batu Besar
Pantai Karang/Karang Terjal
Pantai Curam
Pantai Pepohonan
Pantai Rerumputan
Pantai Buatan
16
(a) (b)
(c) (d)
(e)
Gambar 2.6 Penentuan Garis Pantai (a) Pantai berpasir, (b) Pantai berlumpur,
(c) Pantai terjal, (d) Pantai pepohonan, dan (e) Pantai buatan
Sama halnya dengan kegiatan penentuan posisi lainnya dengan GPS, maka tahap
pengolahan data dilakukan secara post-processing dengan bantuan perangkat lunak tertentu,
sesuai dengan peralatan GPS yang digunakan. Hasil dari kegiatan pengolahan data (lihat
Modul Pengolahan Data GPS) adalah berupa daftar koordinat geografis semua titik detail
pantai yang diukur.
17
Terakhir, untuk kegiatan penyajian data, maka perlu dilakukan transformasi koordinat
dari sistem geografis (WGS-84) ke sistem koordinat kartesian bidang proyeksi peta yang
dipakai (misalnya, Mercator). Hal ini diperlukan, karena pengeplotan posisi titik-titik lebih
mudah menggunakan satuan metrik.
2.3.3 Penggambaran Kedalaman (Bathymetry Plotting)
Dalam pembuatan peta kedalaman, kita harus menentukan posisi horizantal dari data
kedalaman yang didapatkan. Pada peta, kita gambarkan kembali jalur pengambilan data yang
dibuat saat pengukuran. Kemudian kita tentukan titik-titik data yang telah diukur sebelumnya.
Data kedalaman yang dikoreksi dimasukkan kepada posisi-posisi yang telah
digambarkan di peta. Setelah nilai-nilai kedalaman telah dimasukkan ke dalam peta, kemudian
dilakukan interpolasi. Garis kontur digambarkan disesuaikan pengguna. Ada yang per meter,
atau setiap 5 meter, dan sebagainya tergantung kesesuaian kegunaan.
Gambar 2.7 Contoh peletakkan nilai kedalaman
18
Gambar 2.8 Contoh penggambaran kontur kedalaman
2.4 Hasil dan Diskusi
Gambar 2.9 berikut ini merupakan hasil digitizing dari koordinat-koordinat yang
didapatkan dari penentuan garis pantai dengan menggunakan GPS.
Gambar 2.9 Hasil digitizing garis pantai.
19
BAB III
PASANG SURUT
3.1 Dasar-Dasar Pengolahan Data Pasang Surut
3.1.1 Teori Pasang Surut
Pasang surut laut adalah fenomena naik-turunnya permukaan air laut disertai gerakan
horizontal massa air dan gejala ini mudah dilihat secara visual.Penyebab terjadinya pasang
surut adalah gaya tarik menarik antara matahari dan bumi, bumi dan bulan, serta matahari-
bulan dan bumi. Gaya tarik menarik antara bumi dan planet-planet lainnya kecil sehingga
dapat diabaikan.
Berdasarkan teori pasang surut setimbang (Equilibrium Tidal Theory), gaya
pembangkit pasang surut oleh sistem bumi-bulan mengelilingi sumbu bersamanya (barry
center), rotasi bumi pada sumbunya, dan revolusi bulan mengelilingi bumi. Sedangkan
menurut teori pasang surut dinamis (Dynamical Tidal Theory), penjalaran pasang surut
dipengaruhi oleh daratan, efek dari inersia massa air, gesekan dasar, serta perlunya kedalaman
air yang berhingga untuk membantu penjalaran pasang surut .
Tipe pasang surut menurut posisi bumi-bulan-matahari dapat dibagi menjadi dua, yaitu
pasut purnama (spring tide) dan pasut perbani (neap tide). Pada saat posisi bumi, bulan, dan
matahari berada dalam satu garis lurus, maka pasang surut akibat bulan dan pasang surut
akibat matahari akan saling menguatkan sehingga akan terjadi pasang maksimum seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.1. Kondisi seperti ini terjadi pada saat bulan baru atau bulan
purnama dan disebut spring tide. Kebalikannya, pada saat atau menjelang pertama dan
terakhir, efek pasang surut akibat matahari dan bulan akan berlawanan seperti yang
ditunjukkan oada Gambar 3.1. Hal ini menyebabkan keadaan pasang minimum atau biasa
disebut neap tide.
20
Gambar 3.1 Tonjolan (bulge) pasang surut yang disebabkan oleh bulan dan matahari pada
saat spring tide dan neap tide.
(Sumber: http://www.engineering.lancs.ac.uk/lureg/images/neap_spring_tides.png)
Tipe pasang surut juga dapat ditentukan dengan menggunakan bilangan pembentuk
Formzahl (F) (Tabel 3.1) dengan membandingkan antara jumlah amplitudo komponen-
komponen diurnal K1 dan O1 dengan jumlah komponen-komponen semidiurnal M2 dan S2.
Perbandingan ini dinyatakan dalam hubungan:
dengan:
K1 : Lunar Sonar
O1 : Pricipal Lunar
S2 : Pracipal sonar
M2 : Pracipal Lunar
1 1
2 2
K OF
M S
21
Tabel 3.1 Tipe pasang surut berdasarkan bilangan pembentuk (Formzahl)
(Sumber: Hadi, 2008)
F Tipe Pasang Surut Keterangan
F ≤ 0,25 Pasut semidiurnal
murni
2 kali pasang sehari dengan tinggi
sama
Interval waktu transit bulan dan
pasang naik untuk suatu tempat
hampir sama
0,25 < F ≤ 1,5 Pasut campuran,
condong ke pasut
ganda
2x pasang sehari tetapi tinggi dan
interval waktu transit dan pasang
naik tidak sama.
1,5 < F ≤ 3 Pasut campuran
condong ke pasut
tunggal
Terkadang hanya sekali pasang
sehari dan mengikuti deklinasi
maksimum dari bulan
Terkadang pula terjadi 2x pasang
sehari tetapi tinggi dan interval
waktu antara transit bulan dan
pasang naik sangat berbeda
F > 3 Pasut tunggal 1x pasang dan 1x surut dalam satu
hari
Pada saat pasang perbani (neap
tide), ketika bulan melewati bidang
ekuator dapat terjadi 2x pasang
dalam satu hari
Pengolahan data pasang surut melewati beberapa proses yang dapat dilihat seperti pada
Gambar 3.2.
22
Gambar 3.2 Diagram alir pengolahan data pasang surut
3.1.2 Metode Admiralty
Metode Admiralty (analisa harmonik pasut) ditemukan oleh Doodson pada tahun 1929.
Admiralty sendiri andalah badan kelautan di Inggris yang mengembangkan metode ini.
Metode Admiralty berfungsi untuk mengetahui komponen-komponen pasang surut dari suatu
data observasi pasang surut.
3.1.3 Metode Least Square (TIFA)
Sejak tahun 1960 muncul metode least square yang dapat menghitung lebih banyak
komponen (64 komponen) daripada metode admiralty (9 komponen) sehingga dapat
menyusun ramalan pasang surut dengan lebih baik pula. Metode least square ini mulai
dikenalkan oleh Horn (1960) kemudian Diankiss (1964) dan Schumacher (1966). Hal-hal
yang perlu diperhitungkan dalam menggunakan metode anlisa ini adalah :
- Panjang data yang tersedia.
- Pemilihan komponen yang akan dianalisa.
23
1 1
( ) cos .sinM M
n n n
i i
t So Hi it Hi it
Dimana :
• η(t) = tinggi pasut pada jam ke t
• Hi = Amplitudo komponen pasut ke i
• ωi = kecepatan sudut komponen pasut ke i
• Pi = phasa dari komponen pasut ke I pada t = 0
• So = Tinggi perumkaan Mean Sea Level dari titik acuan.
3.2 Pengolahan Data
Gambar 3.3 Output dari metode Least Square (TIFA)
Pada hasil plot grafik Metode Least Square (TIFA) pada Gambar 3.3 terlihat garis rapat
menandakan tipe pasang surut yang didapatkan sama dengan hasil perhitungan menggunakan
Metode Admiralty, yakni tipe campuran condong semi diurnal/mixed semi diurnal).
Dalam grafik residu terlihat bahwa perbedaan nilai elevasi antara data awal observasi
dan hasil metode least square pada umumnya tergolong cukup baik (berhimpitan), dengan
galat yang juga relatif kecil (kisaran 0 s/d 4 cm).
24
3.3 Hasil dan Diskusi
Data Pasang Surut
Berikut ini adalah data pasang surut setiap setengah jam yang diukur dari 27 Mei 2011 (19.30) sampai tanggal 6 Juni 2011 (07.30).
Gambar 3.4 Data hasil pengukuran pasang surut.
25
Data di atas kemudian diolah menggunakan metode Admiralty 7 hari seperti pada
Gambar 3.5 dan komponen-komponen yang didapatkan dari metode Admiralty dapat dilihat
pada gambar 3.6.
Gambar 3.5 Metode Admiralty 15 hari
Gambar 3.6 Komponen-komponen pasang surut yang dihasilkan dari metode Admiralty.
Sedangkan untuk metode least square, karena keterbatasan data yang ada, yakni
selama 11 hari maka metode yang digunakan untuk pengolahan data pasut ini adalah
pendekatan dengan Metode Admiralty selama 7 hari dan Metode Least Square menggunakan
program TIFA .
Oleh karena itu, diharapkan pengolahan data ini dapat menghasilkan hasil yang lebih
akurat karena data yang digunakan merupakan data hasil pengukuran langsung di lapangan
bukan hasil interpolasi atau pun ekstrapolasi data yang kemungkinan memiliki galat error
(Perancak Bali, Juni-Juli 2011).
Penentuan tipe pasang surut dapat dilakukan melalui Metode Admiralty dengan
perhitungan analisis harmonik yang menghasilkan komponen dominan untuk menetukan tipe
pasang surut suatu perairan (9 komponen).
Selain dengan menggunakan analisa harmonik pasut dengan menggunakan Metode
Admiralty kita dapat menggunakan Metode least square yang dapat memisahkan lebih banyak
26
komponen pada data yang panjang, yakni data sampai dengan 3 bulan yang dapat menghitung
konstanta harmonik hingga 64 komponen.
27
DAFTAR PUSTAKA
Dronkers, J.J. 1964. Tidal Computation in Rivers and Coastal Waters. North Holland
PublishingCompany. Amsterdam
Bahan Kuliah Analisa dan Dasar Pasang Surut (Ningsih, 2011)
Bahan Kuliah Survei Hidrografi (Windupranata, 2010)
Handout Kuliah Analisa dan Dasar pasang Surut I, II, III (Ali, 2010)
Modul Praktikum Analisa Pasut 2011
http://jasapemetaan.wordpress.com/2011/06/17/kosep-pengukuran-kedalaman-pada-
echosounder/
http://sekilasgeodesi.blogspot.com/2011/10/sipat-datarlevellingwaterpassing.html