laporan skenario 3.doc
DESCRIPTION
laporan tutorial skenario 3 blok respirasiTRANSCRIPT
LAPORAN KELOMPOK TUTORIALBLOK SISTEM RESPIRASI
SKENARIO 3
TUBERCULOSIS PARU
Kelompok 7
Aflifia Birruni Sabila (G0009005)Anita Rachman (G0009019)Bela Dirk (G0009037)Dwiana Ardianti (G0009067)Ferika Brillian Sabania (G0009081)Kristiana Margareta (G0009117)Nadhira Puspita Ayuningtyas (G0009145)Reyhan Pradnya Pradana (G0009181)Rizka Solehah (G0009189)Siti Fatimah Risa (G0009201)Wisnu Yudho Hutomo (G0009213)
Tutor : Suradi, dr., Sp. PD
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien
tuberculosis (TB) baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia.
Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada
negara-negara berkembang. Padahal, sekitar 75% pasien TB adalah kelompok
usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun) serta berasal dari
kelompok ekonomi kelas menengah kebawah.. Selain merugikan secara
ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma
bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Di negara kita ini TB merupakan salah satu penyakit yang tidak asing lagi.
Sudah banyak sekali penduduk yang terinfeksi kuman TB. Untuk menanggulagi
keadaan tersebut pemerintah mengadakan pemberantasan TB. Pada tanggal 16
Desember 2010 Indonesia dinatakan menduduki peringak ke-5 dari seluruh kasus
TB di dunia. Pasien dengan permasalahan TB datang dengan gejala-gejala khas
TB, seperti yang dicontohkan pada skenario ke tiga berikut ini :
Seorang laki-laki 3o tahun, datang ke IGD dengan keluhan utama batuk
darah sebanyak 250 cc sejak satu jari yang lalu. Penderita mengeluh batuk
dengan dahak yang sulit keluar sejak 2 bulan diikuti demam hilang timbul dan
keringat malam. Tidak mau makan 2 hari ini. Berat badan menurun 4kg.
Penderita adalah perokok. Tiga tahun yang lalu penderita pernah sakit paru
dengan suara serak dan telah mendapat pengobatan paket dari Puskesmas
selama 6 bulan. Saat mendapat pengobatan tersebut penderita pernah dirawat di
rumah sakit karena muntah-muntah dan mata kuning. Penderita mempunyai 2
anak yang masih balita. Ayah penderita meninggal dengan penyakit paru menular
dan jantung 6 tahun yang lalu. Tekanan darah 100/60 mmHg. Pada pemeriksaan
didapatkan konjungtiva pucat, auskultasi suara amforik pada paru kanandan
didapatkan pembesaran kelenjar leher. Pemeriksaan darah belum ada hasil. Foto
torak tampak gambaran fibroinfiltrat dan kavitas di paru kanan. Gambaran
sarang tawon pada apeks paru kiri. Direncanakan pemeriksaan sputum, biopsi
jarum halus (BJH) dan bila perlu bronkoskopi di atas meja operasi. Penderita
ditenangkan, diajarkan agar tidak takut untuk membatukkan. Batuk darah
ditampung dan dimonitor volumenya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana patofisiologi dari gejala tersebut?
2. Apasajakah pengaruh dari batuk darah yang diderita pasien?
3. Bagaimana penatalaksanaannya?
4. Apasajakah diagnosis banding untuk kasus ini?
5. Mengapa pasien diharuskan mengeluarkan darah nya pada saat batuk?
6. Apasajakah pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan dan bagaimana
interpretasi hasilnya?
7. Adakah pengaruh dari penyakit yang diderita oleh ayah kandung pasien?
C. Tujuan
1. Agar mengetahui patofisiologi dari gejala yang diderita pasien tersebut
2. Agar mengetagui pengaruh batuk darah yang diderita pasien tersebut
3. Agar mengetahui penatalaksanaan yang harus dilakukan untuk pasien
tersebut
4. Agar mengetahui macam-macam diagnosis banding untuk kasus tersebut
5. Agar mengetahui penyebab diharuskannya pasien mengeluarkan darah
tersebut
6. Agar mengetahui macam-macam pemeriksaan penunjang yang harus
dilakukan pada kasus tersebut
7. Agar mengetahui ada atau tidaknya hubungan penyakit keluarga dengan
penyakit yang diderita oleh pasien tersebut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hemoptisis
Hemoptosis (batuk darah) diklasifikasikan berdasarkan berat ringannya / jumlah
darah yang dibatukkan :
1. Bercak (streaking)
Darah bercampur dengan sputum – hal yang sering terjadi, paling
umum pada bronchitis. Volume darah kurang dari 15 – 20 ml/24
jam.
2. Hemoptisis
Hemoptisis dipastikan ketika total volume darah yang dibatukkan
20 – 600 ml/ 24 jam. Walaupun tidak spesifik untuk penyakit
tertentu, hal ini berarti pendarahan dari pembuluh darah yang lebih
besar dan biasanya karena kanker paru, pneumonia (necrotizing
pneumonia), TB, atau emboli paru.
3. Hemoptosis massif
Darah yang dibatukkan dalam waktu 24 jam lebih dari 600 ml –
biasanya karena kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
4. Pseudohemoptosis
Batuk darah dari struktur saluran pernafasan bagian atas (di atas
laring) atau dari saluran cerna atas (gastrointestinal) atau hal ini
dapat berupa pendarahan buatan (factitious). Perdarahan terakhir
biasanya karena luka disengaja di mulut, faring, atau rongga
hidung (Amin, 2007).
B. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan ini hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat
tuberkulosis baru mulai (aktif), akan didapatkan jumlah lekosit yang
sedikit meninggi. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap
darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah lekosit
kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai
turun ke arah normal. Hasil pemeriksaan lain dari darah didapatkan anemia
ringan normokrom normositer.
Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi takahashi.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau
tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1 / 128. Positif
palsu dan negatif palsu dari pemeriksaan ini masih besar (Amin dan Bahar,
2007).
Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukannya kuman BTA,
diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Selain itu, pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan. Tidak mudah untuk mendapatkan sputum terutama pada pasien
yang tidak batuk atau batuk yang nonproduktif. Dalam hal ini dianjurkan 1
hari sebelum pemeriksaan, pasien dianjurkan minum air sebanyak ± 2 liter
dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dan juga dengan memberikan
tambahan obat – obat mukolitik, ekspektoran atau dengan inhalasi larutan
garam hipertonik selama 20 – 30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat
diperoleh dengan cara bronkoskopi, diambil dengan brushing atau
bronchial washing atau Broncho Alveolar Lavage (BAL). Basil tahan
asam dari sputum juga dapat diperoleh dengan cara bilasan lambung. Hal
ini sering dikerjakan pada anak – anak karena mereka sulit mengeluarkan
dahaknya. Kuman baru dapat ditemukan apabila bronkus yang terlibat
proses penyakit ini terbuka keluar sehingga sputum yang mengandung
kuman BTA mudah keluar. Kriteria sputum BTA positif adalah bila
sekurang –kurangnya ditemukan ditemukan 3 kuman dalam 1 sediaan,
atau dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 ml sputum (Amin
dan Bahar, 2007).
C. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran Radiologi Tuberculosis
Foto toraks menunjukkan gambaran fibroinfiltrat dan kavitas di paru
kanan serta gambaran sarang tawon di apeks paru kiri. Gambaran
radiologis beranekaragam ini semakin menguatkan diagnosis tuberkulosis,
namun untuk memastikan diagnosis melalui gambaran radiologis selain
gambaran posterior anterior dan lateral seharusnya dilakukan foto toraks
top lordotik, oblik, dan tomografi dengan densitas keras karena masing-
masing gambaran yang beranekaragam ini menggambarkan juga proses
penyakit lain seperti kavitas pada abses paru dan infiltrat pada wkanker
paru (Zulkifli, 2006). Sedangkan gambaran radiologis pada pasien
skenario kemungkinan dimulai dengan proses TB primer dimulai di paru
kanan yang membuat banyak lesi dan kavitas sehingga memungkinkan
relaps menjadi TB pascaprimer yang menyebar ke paru kiri serta akibat
terbentuknya banyak kavitas menyebabkan juga bronkiektasis di apeks
paru kiri karena tingginya tekanan oksigen di daerah tersebut
dibandingkan daerah lain membuat kuman tumbuh dengan baik.
Pemeriksaan radiologis seringkali menunjukkan adanya TB, tetapi hampir
tidak dapat membuat diagnosis berdasarkan pemeriksaan ini saja karena
hampir semua manifestasi TB dapat menyerupai penyakit-penyakit lainnya
(Price dan Standridge, 2006). Secara patologis, manifestasi TB paru
biasanya berupa suatu kompleks kelenjar getah bening parenkim. Pada
orang dewasa, segmen apeks dan posterior lobus atas atau segmen superior
lobus bawah merupakan tempat-tempat yang sering menimbulkan lesi
yang terlihat homogen dengan densitas yang lebih pekat. Dapat juga
terlihat adanya pembentukan kavitas dan gambaran penyakit yang
menyebar yang biasanya bilateral. Ketidaknormalan apapun pada foto
dada seseorang yang positif HIV dapat mengindikasikan adanya penyakit
TB. Sebenarnya, seseorang yang positif HIV dengan penyakit TB dapat
memiliki foto dada yang normal (CDC, 2000). Pada saat ini pemeriksaan
radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menentukan lesi
tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal memberikan
keuntungan seperti pada tuberculosis anak-anak dan tuberculosis milier.
Pada kedua hal di atas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan
radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.
Lokasi lesi tuberculosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal
lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai
lobus bawah (bagian inferior) atau daerah hillus menyerupai tumor paru
(misalnya pada tuberculosis endokondrial). Pada awal penyakit saat lesi
masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa
bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila
lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan
dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberculoma. Pada
kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.
Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis
terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya
tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.
Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang
dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambaran tuberculosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran
radiologis lain yang sering menyertai tuberculosis paru adalah penebalan
pleura /(pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi
pleura/empiema), bayangan hitam radio-lusen di pinggir paru/ pleura
(pneumotoraks).
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus (pada tuberculosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis
fibrotik, kalsifikasi, kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis
dan emfisema. Tuberculosis sering memberikan gambaran yang aneh-
aneh, terutama gambaran radiologis; sehingga dikatakan tuberculosis is the
great imitator. Gambaran infiltrasi dan tuberculoma sering diartikan
sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma
metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di
samping itu perlu diingat juga faktor kesalahan dalam mebaca foto. Faktor
kesalahan ini dapat mencapai 25%. Oleh sebab itu untuk diagnosisd
radiologi sering dilakukan juga foto dengan proyeksi densitas keras.
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya
aktivitas penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi
penyakit yang sudah non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi
yang berupa fibrotik, kalsifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada
orang-orang yang sudah tua. Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang
juga diperlukan adalah bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan
bronkus atau paru yang disebabkan oelh tuberculosis. Pemeriksaan ini
umumnya dilakukan bila pasien akan mengalami pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak
dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning
(CT Scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibanding lebih superior
dibanding radiologis biasa. Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas
dan sayatan dapat dibuat transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat
mengevaluasi proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan
dada-perut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal (Amin dan
Bahar, 2007). Gambaran Radiologi Bronkiektasis. Bronkiektasis adalah
keadaan yang ditandai dengan dilatasi/ pelebaran bronkus dan bronkiolus.
Timbul bila dinding bronkus melemah. Bahan-bahan purulen terkumpul
pada bagian yang melebar ini mengakibatkan infeksi yang menetap.
Biasanya bronkiektasis disebabkan oleh obstruksi bronkus jangka lama,
penyakit fibrokistik pada pankreas; infeksi berulang dan sebagai
komplikasi campak, batuk rejan, influenza; atau kelainan kongenital
sindrom kartagener. Penyebab yang terakhir ini diturunkan sebagai gen
resesif autosomal. Gambaran klinis uatam bronkiektasis adalah batuk
kronik yang jarang, sputum mukopurulen berbau busuk, hemoptisis, pada
tingkat lanjut penumonia rekuren, malnutrisi, jari tabuh (Rahmatullah,
2007).
D. Patogenesis Tuberkulosis
Tuberkulosis disebabkan Mycobacterium tuberculosis. Kuman berbentuk
batang, tahan asam dalam pewarnaan® bakteri tahan asam (BTA). Cepat
mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup di tempat
gelap dan lembab. Cara penularan, melalui droplet (percikan dahak).
Kuman dapat menyebar secara langsung jaringan sekitar, pembuluh limfe,
pembuluh darah. Daya penularan ditentukan banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari paru. Bakteri tuberculosis berada di udara dalam bentuk
droplet kemudian masuk ke saluran pernafasan atas. Basil yang tertelan
atau masuk ke saluran pernafasan merupakan gumpalan basil (unit) yang
terdiri dari 2-3 basil, yang lebih besar dari itu biasanya tidak bias masuk
karena terlalu besar dan tertahan di bronkus/bronkiolus, saluran hidung,
dan tidak menimbulkan penyakit. Setelah berhasil masuk kesaluran
pernafasan bagian bawah sampai ke alveolus biasanya daerah yang
disenangi oleh bakteri TB adalah di daerah-daerah yang memiliki tekanan
oksigen yang tinggi yaitu di lobus tengah pada paru-paru kanan, atau pada
apex paru bagian bawah sampai lobus atas bagian bawah, kemudian lobus
inferior bagian atas.
Basil tuberkel yang berada di alveolus akan membangkitkan reaksi radang
berupa odema mukosa, pelebaran pembuluh darah, produksi cytokine,
senyawa kimia yang bersifat kemotaktik bagi PMN. PMN yang datang ke
alveolus kemudian berkumpul, berakumulasi dan bertambah bayak untuk
memfagosit basil tersebut. Dalam tubuh PMN basil tersebut tidak mati
melainkan berkembang biak didalam sel PMN. Sesudah hari pertama
terjadinya infeksi leukosit yaitu PMN tadi digantikan perannya oleh
makrofag. Makrofag tersebut berkumpul menjadi banyak akhirnya
terjadilah konsolidasi alveolus akibat terdapatnya makrofag dan PMN
yang berkumpul disertai cairan-cairan dari pembuluh darah yang
vasodilatasi akibat reaksi peradangan tadi. Ketika terjadi konsolidasi inilah
ditemukan adanya tanda-tanda pneumonia akut. Bakteri yang difagosit
oleh makrofag yang seharusnya mati justru berkembang biak lagi di dalam
makrofag. Sampai pada proses ini banyak yang menamainya proses infeksi
primer Ghon. Basil yang sudah banyak ini melalui pembuluh darah yang
rusak dan aliran limfatik paru menyebar ke nodus limfatikus regional.
Sampai pada penyebaran ini dinamakan proses infeksi primer kompleks
Ranke. Proses ini berjalan dan memakan waktu 3-8 minggu. Pada tahap ini
pada sebagian orang dapat sembuh sendiri tanpa cacat. Sebagian orang
meninggalkan sedikit berkas-berkas berupa garis fibrotic, kalsifikasi di
hilus yang berpotensi untuk kambuh lagi karena kuman yang dormant.
Dan pada sebagian orang lagi ada yang terus berlanjut menyebar secara
perkontinuitatum, secara bronkogen menyebabkan paru sebelahnya ikut
terinfeksi. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga
sampai ke usus dan secara limfogen ke oragan tubuh lainnya, secara
hematogen ke organ tubuh yang lainnya. Bila masuk ke arteri pulmonalis
maka akan menjadi TB milier karena menjalar keseluruh lapang paru.
Basil tuberkel yang didalam makrofag berhasil mengambil alih makrofag
sehingga mengatur makrofag agar dapat menyatu satu sama lainnya
menjadi Tuberkel yaitu suatu granuloma yang terdiri dari histiosit dan sel
datia langerhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai
jaringan ikat. Keadaan ini biasanya memakan waktu 3-10 minggu setelah
gejala pneumonia yang berupa konsolidasi. Sarang-sarang granuloma ini
dapat direabsorbsi kembali tanpa cacat atau sarang-sarang tadi meluas
namun sembuh dengan meninggalkan bekas sebukan jaringan fibrosis.
Ada yang membungkus diri menjadi keras dan menimbulkan pengapuran.
Selanjutnya yang paling parah adalah keadaan granuloma yang terus
meluas dan menyebar sehingga jumlahnya juga banyak pada lapang paru
sehingga bagian yang meluas tadi akan menghancurkan jaringan ikat
sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek
membentuk jaringan keju kejadian inilah yang disebut perkejuan. Bila
jaringan keju tadi copot dan dibatukkan keluar maka akan terbentuklah
kavitas pada tengah-tengahnya. Mula-mula dinding kavitasi ini tipis
namun semakin lama semakin tebal karena sebukan fibroblast membentuk
jaringan fibrositik yang pada akhirnya menjadi kronik dinamai kavitas
sklerotik. Terjadinya perkejuan tersebut dikarenakan pada jaringan
nekrotik tersebut dihasilkan TNF dan sitokin yang berlebihan oleh
jaringan sekitar dan oleh leukosit, selain itu juga dihasilkannya enzim-
enzim hidrolisis protein, lipid dan asam nukleat yang dihasilkan makrofag
yang sebetulnya ditujukan pada basil TB namun karena makrofagnya
rusak maka enzim tersebut keluar ke jaringan.
Banyak komplikasi yang terjadi akibat dari persarangan ini diantaranya
adalah meluasnya lesi tersebut dan membuat sarang pneumonia baru. Bila
masuk dalam arteri pulmonalis maka akan menjadi TB millier. Tertelan
akan menjadi TB ekstra paru. Apabila sampai pada bronchial dan tracea
makan akan menjadi TB endobronchial dan TB endotracheal dan bisa
menjadi empiema bila rupture ke pleura. Sarang-sarang ini bisa memadat
dan membentuk suatu pengerasan yang dinamakan tuberkuloma.
Tuberkuloma ini dapat cair yang membentuk kavitas baru. Komplikasi
kronik kavitas adalah apabila berinteraksi dan kolonisasi dengan fungus
seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma (Price dan
Standridge, 2006; Amin dan Bahar, 2007).
E. Tuberkulosis
Klasifikasi Tuberkulosis
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan
klinis, radiologis dan mikrobiologis :
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberkulosis paru
3. Tuberkulosis paru tersangka
a. Tuberculosis paru tersangka yang diobati. Disini sputum BTA
negative, tetapi tanda-tanda lain positif.
b. Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Disini sputum
BTA negative dan tanda-tanda lain juga meragukan.
Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan
apakah termasuk TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam
klasifikasi ini perlu dicantumkan status bakteriologi,
mikroskopik sputum BTA (langsung), biakan sputum BTA,
status radiologis (kelainan yang relevan untuk tuberculosis
paru), status kemoterapi (riwayat pengobatan dengan obat anti
tuberculosis).
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori, yakni:
1. Kategori I, ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif
dan kasus baru dengan bentuk TB berat.
2. Kategori II, ditujukan terhadap kasus kambuh dan kasus gagal
dengan BTA positif.
3. Kategori III, ditujukan terhadap kasus BTA negative dengan
kelainan paru yang tidak luas dan kasus TB ekstra paru selain dari
yang disebut dalam kategori I.
4. Kategori IV, ditujukan terhadap TB kronik (Amin dan Bahar,
2007).
Gejala Penyakit TB paru
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak
terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan
diagnosa secara klinik.
Gejala sistemik/umum
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
Penurunan nafsu makan dan berat badan.
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan
darah).
Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
Gejala khusus
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”,
suara nafas melemah yang disertai sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau
diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak
yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji
tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah
dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30%
terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah (Anonim, 2009).
F. Penatalaksanaan TB
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Paduan OAT dan peruntukannya.
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
• Pasien TB ekstra paru
Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Berat Badan
Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Dosis per hari / kali Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Tablet
Isoniasid
@ 300 mgr
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mgr
Tablet
Pirazinamid
@ 500 mgr
Tablet
Etambutol
@ 250 mgr
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/
5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
• Pasien kambuh
• Pasien gagal
• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
Berat Badan
Tahap Intensif
tiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu
30 – 37 kg2 tablet 4KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.2 tablet 4KDT
2 tablet 2KDT
+ 2 tab Etambutol
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
55 – 70 kg4 tablet 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.4 tablet 4KDT
4 tablet 2KDT
+ 4 tab Etambutol
≥ 71 kg5 tablet 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.5 tablet 4KDT
5 tablet 2KDT
+ 5 tab Etambutol
Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2
Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Tablet
INH
@ 300
mgr
Kaplet
R
@ 450
mgr
Tablet
Z
@ 500
mgr
Etambutol
Strepto
misin
injeksi
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Tablet
@ 250
mgr
Tablet
@
400
mgr
Tahap
Intensif
(dosis
harian)
2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
-
-
0,75gr
-
56
28
Tahap
Lanjutan
(dosis 3x
semggu)
5 bulan 2 1 - 1 2 - 60
Catatan:
• Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
c. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
(Depkes RI, 2007).
Efek samping pemberian OAT
Efek Samping Ringan Penyebab Penanganan
Tidak ada nafsu makan, mual,
sakit perutRifampisin Semua OAT diminum malam sebelum tidur
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa terbakar di
kakiINH Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg per hari
Warna kemerahan pada air seni
(urine)Rifampisin
Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu penjelasan
kepada pasien.
Efek Samping Berat Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT Ikuti petunjuk penatalaksanaan dibawah *).
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol.
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol.
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua Hentikan semua OAT sampai ikterus
OAT menghilang.
Bingung dan muntah-muntah
(permulaan ikterus karena
obat)
Hampir semua
OAT
Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi
hati.
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin.
(Anonim, 2009)
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Penyakit pada pasien berkaitan dengan riwayat penyakit keluarganya,
yaitu ayahnya.
2. Pasien kemungkinan menderita Tuberculosis Paru dengan gejala batuk
berdahak, demam, keringat malam, dan berat badan yan menurun.
3. Diagnosis pada pasien kemungkinan adalah TBC Paru dengan komplikasi
berupa batuk berdarah.
B. Saran
1. Sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu
diagnosis pasti agar pasien dapat dilakukan pengobatan dengan cepat dan
tepat.
2. Sebaiknya pasien berhenti untuk merokok dan melakukan pola hidup sehat
serta melakukan kontrol rutin.
3. Sebaiknya anak pasien juga diperiksa karena kemungkinan untuk tertular
TBC sangat besar.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Zulkifli. 2007. Manifestasi Klinik dan Pendekatan Pada Pasien Dengan Kelainan Sistem Pernapasan dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Amin, Zulkifli. Bahar, Asril. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Anonim. 2009. Penyakit TBC. Akses tanggal 30 Desember 2009 17:15 dihttp://www.medicastore.com/tbc/penyakit_tbc.htm
Anonim. 2009. Obat Tuberkulosis (TBC). Akses tanggal 30 Desember 2009 17:12 dihttp://www.medicastore.com/apotik_online/kemoterapi_antimikroba/obat_tb.htm
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta: Depkes RI.
Price, Sylvia A. Standridge, Mary P. 2006. Tuberkulosis Paru dalam Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.
Rahmatullah, Pasiyan. 2007. Bronkiektasis dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.