laporan sanitasi desinfektan fix
DESCRIPTION
desinfektanTRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berbagai macam senyawa kimia baik organik maupun anorganik bersifat
racun terhadap jasad renik banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Senyawa kimia yang mematikan jasad renik disebut dengan desinfektan.
Desinfektan adalah zat kimia yang mematikan sel vegetatif belum tentu
mematikan bentuk spora mikroorganisme penyebab suatu penyakit. Cara kerja
zat-zat kimia dalam mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme
berbeda-beda antara lain dengan merusak dinding sel, mengubah permeabilitas
sel, mengubah molekul protein dan asam amino yang dimiliki mikroorganisme,
menghambat kerja enzim, menghambat sintesis asam nukleat dan protein, serta
sebagai antimetabolit.
Pengujian jenis atau kemampuan desinfektan berdasarkan uraian di atas,
perlu dilakukan agar mengetahui bagaimana sebenarnya pengaruh desinfektan
tersebut terhadap mikroorganisme yang ada. Apakah desinfektan tersebut
memberikan efek yang baik atau tidak. Selain itu, hal ini berpengaruh juga
terhadap sanitasi dari ruangan, dimana jika ternyata desinfektan tersebut tidak
efektif maka masih terdapat mikroorganisme yang mungkin dapat masuk ke
dalam bahan baku atau dalam proses pengolahan. Jika terdapat mikroorganisme
maka akan berpengaruh bagi ketahanan produk tersebut dan bagi konsumen.
1.2. Tujuan
1. Untuk mengetahui efektifitas suatu desinfektan.
2. Untuk mengetahui keefektifan suatu desinfektan.
3. Untuk menetapkan koefisien fenol suatu desinfektan.
I. TEORI DASAR
I.1. Desinfektan
Desinfektan adalah suatu bahan kimia yang dipakai untuk
mencegah pertumbuhan mikroorganisme melalui suatu mekanisme kerja tertentu,
terutama pada benda mati. Desinfektan digunakan secara luas untuk sanitasi baik
di rumah tangga, laboratorium, dan rumah sakit (Shaffer, 1965; Larson, 2013).
Mekanisme penghancuran mikroorganisme oleh desinfektan dilakukan dengan
jalan merusak struktur dinding sel, mengubah permeabilitas membran sel
(Joklik et al., 1984; Chatim dan Suhato, 1994), mengadakan perubahan molekul-
molekul protein dan asam nukleat, menghambat kerja enzim atau dapat pula
dengan cara menghambat sintesa asam nukleat dan protein. Desinfektan dapat
mematikan bentuk-bentuk pertumbuhan (sel vegetatif) suatu mikroorganisme
tetapi tidak mematikan terhadap bentuk spora karena bentuk spora bersifat lebih
tahan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerja desinfektan antara lain ukuran
dan komposisi populasi jasad renik, konsentrasi zat antimikroba, lama paparan,
temperatur, lingkungan sekitar, konsentrasi desinfektan dan jenis bahan (Pelczar
dan Chan, 1998). Proses desinfeksi dapat menghilangkan 60% - 90%
jasad renik. Usaha desinfeksi dapat bersifat sterilisasi sempurna
atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini
tergantung kepada jenis desinfektan dan lama kontak
desinfektan dengan mikroorganisme yang diuji.
Katzung (1998) mengatakan bahwa konsentrasi yang
sangat rendah dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan
konsentrasi lebih tinggi dapat membunuh mikroorganisme
tertentu. Pemilihan suatu desinfektan, perlu memperhatikan
kriteria desinfektan yang baik. Suatu desinfektan dikatakan baik
apabila pada konsentrasi kecil sudah memiliki daya antimikroba
yang tinggi, disamping itu desinfektan tersebut mudah larut
dalam air, serta stabil di dalam bahan organik. Selanjutnya
Pelczar dan Chan (1998) menambahkan bahwa desinfektan yang
ideal hendaknya tidak bersifat toksik bagi manusia dan hewan,
tidak menyebabkan bau, mempunyai aktivitas broad spektrum
yang luas dan harganya relatif murah.
Kriteria suatu desinfektan yang ideal adalah bekerja
dengan cepat untuk menginaktivasi mikroorganisme pada suhu
kamar, berspektrum luas, aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh
bahan organik, pH, temperatur, dan kelembaban, tidak toksik
pada hewan dan manusia, tidak bersifat korosif, bersifat
biodegradable, memiliki kemampuan menghilangkan bau yang
kurang sedap, tidak meninggalkan noda, stabil, mudah
digunakan, dan ekonomis (Siswandono, 1995; Butcher and
Ulaeto, 2010).
Menurut Risman (2000), menyatakan bahwa tidak ada
desinfektan yang ideal, oleh karena itu penggunaan desinfektan
harus sesuai dengan prosedur penggunaannya. Berdasarkan
struktur kimia jenis bahan, desinfektan dapat terbagi kedalam
beberapa golongan yaitu: alkohol, aldehid, asam, halogen,
dan persenyawaan yang mengandung halogen, peroksidan,
logam berat dan garam-garamnya, serta fenol dan
persenyawaan yang berhubungan dengannya. (Brander et al.,
1982; Katzung, 1998).
I.2. Penggolongan Desinfektan
Menurut Siswandono (1995), desinfektan dapat dibagi menjadi enam
kelompok, yaitu:
1. Turunan Aldehida
Senyawa turunan aldehid memiliki gugus aldehid (COH) pada struktur
kimianya, misalnya formaldehid, paraformaldehid, dan glutaraldehid. Turunan
aldehid umumnya digunakan dalam campuran air dengan konsentrasi 0,5% - 5%
dan bekerja dengan mendenaturasi protein sel bakteri (Siswandono, 1995;
Somani, et al., 2011).
Larutan formaldehid (formalin), mengandung formaldehid (HCOH) 37%
yang mempunyai aktivitas antibakteri dengan kerja yang lambat. Larutan
formaldehid digunakan untuk pengawetan mayat, desinfektan ruangan, alat-alat,
dan baju dengan kadar 1:5000. Larutan formaldehid dalam air atau alkohol
digunakan untuk mendesinfeksi tangan dengan konsentrasi maksimum 0,5 mg/L
(Somani, et al., 2011).
Paraformaldehid diperoleh dengan menguapkan larutan formaldehid.
Senyawa ini serupa dengan formalin. Paraformaldehid mempunyai bau kurang
menyenangkan. Paraformaldehid bekerja pada konsentrasi maksimum 0,1 mg/L
(Ghanem, et al., 2012).
Glutaraldehid digunakan untuk mensterilkan bahan cair dan peralatan
bedah yang tidak dapat disterilkan dengan pemanasan. Senyawa ini mempunyai
keuntungan karena tidak berbau dan efek iritasi terhadap kulit dan mata lebih
rendah dibanding formalin. Larutan glutaraldehid 2% efektif sebagai antibakteri
dan spora pada pH 7,5 – 8,5 (Fazlara and Ekhtelat, 2012). Glutaraldehid
mempunyai lebih efektif daripada Formaldehid dan tidak berpotensi karsinogenik
sehingga lebih banyak dipilih dalam bidang virologi (Siswandono, 1995; Brewer,
2010).
Pada prinsipnya, turunan aldehida ini dapat digunakan dengan spektrum
luas. Misalnya, formaldehid membunuh jasad renik dalam ruangan, peralatan, dan
lantai. Sedangkan glutaraldehid digunakan untuk membunuh virus. Keunggulan
turunan aldehid adalah sifatnya stabil, persisten, dapat dibiodegradasi, dan cocok
dengan beberapa material peralatan. Namun senyawa tersebut dapat
mengakibatkan resistensi jasad renik, berpotensi sebagai karsinogen dan
mengakibatkan iritasi pada sistem mukosa. (Kahrs, 1995; Larson, 2013).
2. Turunan Alkohol
Turunan alkohol merupakan bahan yang banyak digunakan
selain turunan aldehid, misalnya etanol (C2H5OH), isopropanol
(C3H7OH). Alkohol bekerja dengan mendenaturasi protein dari sel
bakteri dan umumnya dibuat dalam campuran air pada
konsentrasi 70% - 90%. Etanol bersifat bakterisid yang cepat,
digunakan sebagai antiseptik kulit dan sebagai pengawet.
Aktivitas bakterisidnya optimal pada kadar 70%. Isopropanol
mempunyai aktivitas bakterisid lebih kuat dibandingkan etanol
karena lebih efektif dalam menurunkan tegangan permukaan sel
bakteri dan denaturasi bakteri (Elisabeth, 2012).
3. Senyawa Pengoksidasi
Senyawa pengoksidasi yang umum digunakan sebagai
desinfektan adalah hidrogen peroksida, benzoil peroksida,
karbanid peroksida, kalium permanganat, dan natrium perborat
(Siswandono, 1995; Aboh, et al., 2013).
Hidrogen peroksida adalah senyawa pengoksidasi yang
sering digunakan sebagai antimikroba. Senyawa ini diurai oleh
enzim katalase menghasilkan oksigen yang aktif sebagai
antiseptik. Hidrogen peroksida digunakan untuk mencuci luka
dan penghilang bau badan dengan kadar 1-3% (Siswandono,
1995; Ghanem, et al., 2012).
Benzoil peroksida dalam air melepaskan hidrogen
peroksida dan asam benzoat. Benzoil peroksida pada konsentrasi
5-10% digunakan sebagai antiseptik dan keratolitik untuk
pengobatan jerawat (Stampi, et al., 2002; Aboh, et al., 2013).
Karbanid peroksida disebut juga urea peroksida,
mengandung hidrogen peroksida (34%) dan oksigen (16%).
Larutan karbamid peroksida dalam air secara perlahan-lahan
melepaskan hidrogen peroksida, dan digunakan untuk antiseptik
pada telinga dan pada luka (Siswandono, 1995; Elisabeth, 2012).
Kalium permanganat dan natrium perborat digunakan
sebagaidesinfektan dan antiseptik karena bersifat oksidatif. Pada
umumnya, keduasenyawa tersebut digunakan untuk pemakaian
lokal dalam bentuk larutan dalam air (Siswandono, 1995; Larson,
2013).
4. Turunan Fenol
Fenol sendiri mempunyai efek antiseptik dan desinfektan.
Golongan fenol diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang
bersifat bakterisid namun tidak bersifat sporisid. Senyawa
turunan fenol yang dikenal sebagai senyawa fenolik
mengandung molekul fenol yang secara kimiawi dapat diubah.
Perubahan struktur kimia tersebut bertujuan untuk mengurangi
efek iritasi kulit dan meningkatkan aktivitas antibakteri (Brewer,
2010).
Senyawa fenolik seringkali digunakan dalam campuran
sabun dan deterjen. Aktivitas antimikroba senyawa fenolik
disebabkan kemampuannya merusak lipid pada membran
plasma mikroorganisme sehingga menyebabkan isi sel keluar.
Peningkatan sifat lipofil turunan fenol akan meningkatkan
aktivitas desinfektannya. Salah satu senyawa fenolik yang paling
sering digunakan adalah kresol (Siswandono, 1995; Kahrs, 1995).
Fenol digunakan sebagai senyawa baku dalam pengujian
desinfektan karena memiliki mekanisme kerja yang luas. Fenol
dapat merusak dinding sel dan membran sel, mengkoagulasi
protein, merusak ATPase, merusak sulfohidril dari protein, dan
merusak DNA sehingga efektif membunuh bakteri (Siswandono,
1995; Fazlara and Ekhtelat, 2012).
Pemasukan gugus halogen, seperti klorin dan bromin ke
inti fenol akan meningkatkan aktivitas antiseptik. Aktivitas ini
lebih meningkat bila jumlah halogen yang dimasukkan
bertambah. Polihalogenisasi fenol akan membentuk senyawa
yang mempunyai kelarutan dalam air sangat kecil. Ikatannya
dengan reseptor inti fenol lemah, sehingga aktivitasnya rendah.
Pemasukan gugus nitro dapat meningkatkan aktivitas
antimikroba. Sedangkan pemasukan gugus asam karboksilat dan
asam sulfonat menurunkan aktivitas antimikroba karena
menurunkan kelarutan dalam lemak sehingga penembusan ke
membran sel bakteri menurun (Pratiwi, 2008; Ghanem, et al.,
2012).
Fenol, fenol terhalogenisasi, dan alkilfenol meskipun efek
antibakterinya besar tetapi tidak dapat digunakan secara
sistemik karena toksisitasnya tinggi. Senyawa-senyawa tersebut
hanya digunakan untuk antiseptik kulit, mulut, dan desinfektan.
Contoh: timol, kresol, klorokresol, klorosilenol, dan betanaftol
(Pratiwi, 2008).
4.1. Definisi Fenol
Fenol atau asam karbolat atau benzenol adalah zat kristal
tak berwarna yang memiliki bau khas. Rumus kimianya adalah
C6H5OH dan strukturnya memiliki gugus hidroksil (-OH) yang
berikatan dengan cincin fenil. Fenol (fenil alkohol) merupakan zat
padat yang tidak berwarna yang mudah meleleh dan terlarut
baik didalam air. Dalam mencoba keasaman reaksi dalam zat-zat
kimia seperti asam asetat, dan lain-lain banyak digunakan
indikator, indikator seperti kertas lakmus. Fenol yang diketahui
fungsinya sebagai zat desinfektan yang umum dipakai orang.
Berbeda dengan alkohol alifatik, fenol sebagai alkohol aromatik
mempunyai sifat yang berbeda. Dalam air fenol sedikit
terionisasi menghasilkan ion H+ dengan Ka = 10-10.
4.2. Karakteristik Fenol
Fenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yakni 8,3
gram/100 ml. Fenol memiliki sifat yang cenderung asam, artinya
fenol dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya.
Pengeluaran ion tersebut menjadikan anion fenoksida C6H5O−
yang dapat dilarutkan dalam air.
Dibandingkan dengan alkohol alifatik lainnya, fenol bersifat
lebih asam. Hal ini dibuktikan dengan mereaksikan fenol dengan
NaOH, di mana fenol dapat melepaskan H+. Pada keadaan yang
sama, alkohol alifatik lainnya tidak dapat bereaksi seperti itu.
Pelepasan ini diakibatkan pelengkapan orbital antara satu-
satunya pasangan oksigen dan sistem aromatik yang
mendelokalisasi beban negatif melalui cincin tersebut dan
menstabilkan anionnya.
4.3. Sifat Fenol
1. Mempunyai gugus hidroksi tetapi bukan termasuk
golongan alkohol dan bukan pula termasuk basa
2. Termasuk asam karbolat yang bersifat asam lemah
3. Tidak berwarna dengan wujud padat tetapi mudah
mencair dengan titik lebur 42°C
4. Jika terkena fenol, kulit akan melepuh dan rusak
5. Dalam kehidupan sehari-hari fenol dikenal dengan
karbol (lisol) yang digunakan sebagai disinfektan
dengan pengawet kayu karena bakteri akan mati
disebabkan mengalami kerusakan pada protein
6. Fenol bersifat meng-koagulasikan protein
7. Fenol digunakan sebagai bahan baku dalam sintesis zat
warna, obat-obatan, pembuatan plastik.
4.4. Kegunaan Fenol
Fenol dapat digunakan sebagai antiseptik seperti yang
digunakan Sir Joseph Lister saat mempraktikkan pembedahan
antiseptik. Fenol merupakan komponen utama pada anstiseptik
dagang, triklorofenol atau dikenal sebagai TCP (trichlorophenol).
Fenol juga merupakan bagian komposisi beberapa anestitika
oral, misalnya semprotan kloraseptik. Fenol berfungsi dalam
pembuatan obat-obatan (bagian dari produksi aspirin, pembasmi
rumput liar, dan lainnya. Selain itu fenol juga berfungsi dalam
sintesis senyawa aromatis yang terdapat dalam batu bara.
Turunan senyawa fenol (fenolat) banyak terjadi secara alami
sebagai flavonoid alkaloid dan senyawa fenolat yang lain. Contoh
dari senyawa fenol adalah eugenol yang merupakan minyak
pada cengkeh.
Fenol pertama kali ditemukan oleh Runger pada tahun
1834 dan tar batubara yang kemudian disebut asam karbolat.
Pada tahun 1860 temuan tersebut itu baru digunakan sebagai
desinfektan. Pada tahun 1867 fenol untuk pertama kali
digunakan sebagai antiseptik pada pelaksanaan operasi oleh
Lister sebagai germicide untuk mencegah timbulnya infeksi
pasca bedah (Brander et al., 1982; Chatim dan Suhato, 1994;
Katzung, 1998).Golongan fenol merupakan desinfektan yang baik
digunakan sebagai desinfektan (Brander et al.,1982). Hal itu
disebabkan karena fenol lebih bersifat stabil terhadap bahan
organik jika dibandingkan dengan bahan lainnya namun fenol
juga memiliki beberapa kerugian yaitu sifatnya yangsangat
beracun terhadap manusia maupun hewan, mengiritasi dan
merusak jaringan tubuh, serta harganya yang relatif mahal
(Pelczar dan Chan, 1998; Roostita, 2002).
Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, maka fenol
jarang digunakan sebagai antiseptika maupun sebagai
desinfektan. Sebagai gantinya digunakan turunan fenol yaitu
kresol (Joklik et al., 1984; Katzung, 1998). Kresol sering dipakai
sebagai desinfektan karena dianggap lebih efektif (Brander et al.,
1982). Katzung (1998) mengatakan bahwa kresol merupakan
salah satu fenol yang mempunyai daya antimikroba beberapa
kali lebih kuat daripada fenol, mempunyai sifat racun dan iritasi
jaringan yang lebih kecil, serta harganya yang relatif lebih
murah. Menurut pendapat Pelczar dan Chan (1998) dan Katzung
(1998), kresol beberapa kali germisidal dibandingkan fenol, akan
tetapi tidak berpengaruh terhadap spora (Brander et al.,1982).
Bahan kimia ini berbentuk cair, hampir tidak berwarna sampai
kuning kecoklatan pucat atau dapat menjadi lebih tua akibat
pengaruh waktu dan udara. Baunya seperti fenol, kelarutannya
dalam air relatif kecil namun dapat ditingkatkan dengan cara
mencampur kresol dengan air sabun (Harvey, 1990).
Bentuk campuran ini sudah dibakukan dan disebut larutan kresol
tersabun, atau dikenal dengan nama lisol (Rawlins, 1980). Lisol
merupakan campuran larutan kresol dalam pelarut minyak
yang berasal dari lemak nabati dengan kalium hidroksida atau
natrium hidroksida dengan air. Larutan lisol berwarna kuning
sampai coklat kekuningan, berbau kresol dan larutan sempurna
di dalam air dengan segala perbandingan (Martindale, 1993).
Lisol memiliki spektrum yang luas sebagai bakterisid dan
konsentrasi yang biasa digunakan adalah 2-5 %, sehingga
pemakaian lisol jauh lebih ekonomis bila dibandingkan dengan
fenol mengingat lisol lebih mudah didapat dan konsentrasi yang
dibutuhkan lebih kecil daripada fenol (Rosilawati, 1994).
Mekanisme kerja lisol dalam membunuh mikroorganisme adalah
dengan merusak dinding dan membran sitoplasma sel serta
menyebabkandenaturasi protein sel (Joklik et al.,1984; Volk and
Wheeler, 1992).
4.5. Definisi Kresol
Kresol adalah salah satu contoh benzena tersubtitusi. Benzena yang
disubtitusi adalah benzena yang dua atom hidroksilnya diganti dengan gugus
fungsional yang lain. Nama lain kresol adalah metil fenol. Gugus fenol dan
hidroksil dapat berkedudukan orto-, meta-, atau para-.
4.6. Kegunaan Kresol
Kresol efektif sebagai bakterisida, dan kerjanya tidak banyak dirusak oleh
adanya bahan organic.Namun, agen ini menimbulkan iritasi (gangguan) pada
jaringan hidup dan oleh karena itu digunakan terutama sebagai disinfektan untuk
benda mati.Satu persen lisol (kresol dicampur dengan sabun) telah digunakan
pada kulit, tetapi konsentrasi yang lebih tinggi tidak dapat ditolerir.
8. Turunan Ammonium Kuartener
Turunan amonium kuartener seperti benzalkonium klorida,
benzetonium klorida, setrimid, dequalinium klorida, dan domifen
bromida. Turunan ini mempunyai efek bakterisid dan
bakteriostatik terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif,
jamur, dan protozoa. Tetapi, turunan ini tidak aktif terhadap
bakteri pembentuk spora, seperti Mycobacterim tuberculosis dan virus
(Loughlin, et al., 2002; Ghanem, et al., 2012). Keuntungan
penggunaan turunan amonium kuartener sebagai desinfektan
antara lain adalah toksisitasnya rendah, kelarutan dalam air
besar, stabil dalam larutan air, tidak berwarna, dan tidak
menimbulkan korosi pada alat logam. Kerugiannya adalah
senyawa ini tidak efektif dengan adanya sabun dan surfaktan
anionik dan non ionik, ion Ca dan Mg, serum darah, makanan,
dan senyawa kompleks organik (Fazlara dan Ekhtelat, 2012).
9. Turunan Halogen Dan Halogenofor
Turunan halogen yang umum digunakan adalah berbasis
iodium seperti larutan iodium, iodofor, dan povidon iodium.
Kompleks klorin dengan senyawa organik disebut klorofor,
sedangkan kompleks iodin dengan senyawa organik disebut
iodofor. Halogen dan halogenofor digunakan sebagai antiseptik
dan desinfektan. Klorin dan klorofor terutama digunakan untuk
mendesinfeksi air, seperti air minum dan air kolam renang.
Contohnya, klorin dioksida, natrium hipoklorit, kalsium hipoklorit,
dan triklosan. Sedang iodin dan iodofor digunakan untuk
antiseptik kulit sebelum pembedahan dan antiseptik luka.
Turunan ini umumnya digunakan dalam larutan air dengan
konsentrasi 1 - 5% dan mampu mengoksidasi dalam rentang
waktu 10-30 menit. Contohnya, povidon iodium (Brewer, 2010).
I.3. Koefisien Fenol
Daya kekuatan desinfektan dapat diuji antara lain dengan
koefisien fenol. Koefisien fenol merupakan kemampuan suatu
desinfektan dalam membunuh bakteri dibandingkan dengan
fenol. Uji ini dilakukan untuk membandingkan aktivitas suatu
produk (desinfektan) dengan fenol baku dalam kondisi uji yang
sama. Fenol dijadikan standar dalam uji efektivitas desinfektan
karena kemampuannya dalam membunuh jasad renik sudah
teruji. Penentuan koefisien fenol adalah untuk mengevaluasi
kekuatan anti mikroba suatu desinfektan dengan memperkirakan
efektivitasnya berdasarkan konsentrasi dan lamanya kontak
terhadap mikroorganisme tertentu (Dwijoseputro, 1982; Somani,
et al., 2011). Nilai koefisien fenol kurang dari satu menunjukkan
bahwa desinfektan yang diuji kurang efektif atau kurang dayanya
bila dibandingkan dengan fenol. Sebaliknya bila nilai koefisien
fenol lebih dari satu, maka desinfektan tersebut lebih kuat
dayanya atau lebih efektif dalam membunuh mikroorganisme
dibandingkan dengan senyawa fenol. Koefisien fenol ditentukan
dengan cara membagi pengenceran tertinggi dari fenol yang
mematikan jasad renik dalam sepuluh menit tetapi tidak
membunuh dalam lima menit terhadap pengenceran tertinggi
bahan antimikroba yang membunuh jasad renik dalam sepuluh
menit tetapi tidak dalam lima menit (Purohit, et al., 2004).
Pada prinsipnya uji koefisien fenol merupakan
perbandingan aktivitas fenol dengan pengenceran baku terhadap
aktivitas sampel dengan pengenceran tertentu MIC (Minimum
Inhibitor Consentration) (konsentrasi terendah dimana pertumbuhan
bakteri terhambat ) suatu antiseptik terhadap bakteri tertentu.
Metode pegenceran bertingkat dengan mengurangi konsentrasi
zat sebanyak setengah dari konsentrasi awal dengan volume
yang sama. Metode turbidimetri, menentukan takaran dengan
melihat kekeruhan yang terjadi setelah percobaan dilakukan.
Hasil kali konsentrasi dengan volume senyawa yang semula
digunakan adalah sama dengan hasil kali konsentrasi senyawa
tersebut dalam volume setelah pengenceran.
I.4. Media
Pertumbuhan adalah pertambahan teratur semua komponen suatu
organisme. Dengan demikian, pertambahan ukuran yang diakibatkan oleh
bertambahnya air atau karena deposit lipid bukan merupakan pertumbuhan sejati.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dapat dibedakan
menjadi faktor fisik dan faktor kimia termasuk nutrisi dalam media kultur. Faktor
fisik meliputi temperatur, pH, tekanan osmotik dan cahaya. Faktor kimia meliputi
karbon, oksigen, mikroelemen atau unsur kelumit (trace element), dan faktor-
faktor pertumbuhan organik. Bahan nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan
mikroorganisme di laboraturium disebut media kultur (Sylvia, 2008).
Kelangsungan hidup dan pertumbuhan mikroorganisme tergantung pada
nutrisi yang tersedia dan lingkungan pertumbuhan yang menguntungkan. Di
dalam laboratorium, persiapan gizi yang digunakan untuk menumbuhkan
mikroorganisme disebut media (tunggal, sedang). Tiga bentuk fisik yang
digunakan: cair, atau kaldu, media; media setengah padat; dan media padat.
Perbedaan utama antara media-media ini adalah media padat dan setengah padat
berisi bahan pemadat (biasanya agar-agar), sedangkan media cair tidak (Prescott,
2002).
Media untuk budidaya mikroorganisme mengandung zat-zat yang
diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dari mikroorganisme. Karena
keragaman mikroorganisme dan jalur metabolik mereka yang beragam, ada
berbagai media. Bahkan sedikit perbedaan komposisi medium bisa menghasilkan
perbedaan secara dramatis pertumbuhan karakteristik mikroorganisme. Ketika
metode untuk kultur mikroorganisme pertama kali dikembangkan pada abad ke-
19, sebagian besar oleh Robert Koch dan rekannya, jaringan hewan dan tumbuhan
yang terutama digunakan sebagai sumber nutrisi yang digunakan untuk
mendukung pertumbuhan mikroba. Salah satu penemuan utama Fanny Hesse di
laboratorium Koch adalah bahwa agar-agar dapat digunakan untuk membentuk
kultur media dimana mikroorganisme dapat tumbuh. Ekstrak tumbuhan dan
jaringan hewan disusun sebagai kaldu atau dicampur dengan agar-agar untuk
membentuk berbagai kultur media. Hampir semua tanaman, hewan, atau organ
hewani dipertimbangkan untuk digunakan dalam mempersiapkan media (Ronald,
2005).
Berdasarkan konsistensinya, media dikelompokkan menjadi dua macam,
yaitu media cair (liquid media) dan media padat (solid media). Apabila media cair
merupakan ekstrak kompleks maerial biologis, maka media tersebud dinamakan
rich medaia atau broth. Media padat menggunakan bahan pembeku (solidifying
agent), misalnya agar, suatu kompleks polisakarida yang diperoleh dari alga
merah (red algae). Agar memiliki komposisi kimia berupa D-galaktosa, 3,6-
anhidro-L-galaktosa, D-glucuronic acid. Agar sebagai bahan pembeku akan
mencair saat didihkan, kemudian didnginkan pada suhu 40-42C sebelum
dibekukan. Medai agar ini tidak akan mencair lagi kecuali pada suhu 80-90C.
Agar merupakan agen pengeras yang bagus sekali karena tidak dapat didegradasi
oleh mikroorganisme (Sylvia, 2008).
I.4.1. Nutrien Broth (NB)
Nutrient broth merupakan media untuk mikroorganisme yang berbentuk
cair. Nutrien broth adalah medium umum untuk uji air dan produk dairy. NB juga
digunakan untuk pertumbuhan mayoritas dari mikroorganisme yang tidak selektif,
dalam artian mikroorganisme heterotrof. Media ini merupakan media sederhana
yang dibuat dari ekstrak beef, pepton, dan agar. NB merupakan salah satu media
yang umum digunakan dalam prosedur bakteriologi seperti uji biasa dari air,
sewage, produk pangan, untuk membawa stok kultur, untuk pertumbuhan sampel
pada uji bakteri, dan untuk mengisolasi organisme dalam kultur murni.
III. ALAT DAN BAHAN
III.1. Alat
1. Bulb Pipet
2. Bunsen
3. Erlenmeyer
4. Pipet Ukur
5. Pipet Volume
6. Rak Tabung Reaksi
7. Stopwatch
8. Swab
9. Tabung Reaksi Steril
III.2. Bahan
1. Aquades
2. Larutan Fenol 5%
3. Larutan Kresol 10%
4. Media NB (Nutrient Broth)
5. NaCl fisiologis
IV. PROSEDUR
IV.1. Pembuatan Suspensi Bakteri
1. Lantai dioles dengan menggunakan swab.
2. Swab dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi NaCl fisiologis 9 ml.
3. Diambil sebanyak 1 ml dari tabung reaksi tersebut.
4. Dimasukkan ke dalam tabung reaksi lain yang berisikan 9 ml media NB
(Nutrient Broth).
IV.2. Pengujian Desinfektan
1. Tabung reaksi 6 buah disusun pada rak tabung.
2. Dibuat seri pengenceran larutan kresol dalam tabung-tabung reaksi sebagai
berikut:
Kresol 10%(ml)
Akuades(ml)
Volume Total (ml)
Dikurang(ml)
Volume Akhir (ml)
Pengenceran
2 3 5 0 5 1 : 252 4 6 1 5 1 : 302 5 7 2 5 1 : 352 6 8 3 5 1 : 402 7 9 4 5 1 : 452 8 10 5 5 1 : 50
3. Dipipet 2 ml larutan kresol 10% dan dimasukkan ke dalam 6 tabung
reaksi.
4. Ditambahkan akuades steril dengan volume seperti tabel di atas, kocok
hingga homogen.
5. Dikurangi volume tiap-tiap tabung sehingga tertinggal 5 ml larutan dengan
berbagai tingkat pengenceran.
6. Dibuat seri pengenceran larutan fenol seperti pada larutan kresol.
7. Pada saat t0, masukkan 0,5 ml suspensi biakan murni ke masing-masing
tabung yang berisi larutan fenol dan kresol, mulai dari pengenceran
terendah sampai yang tertinggi, lalu inkubasikan pada suhu kamar.
8. Setelah waktu kontak 5 menit, ambil 1 ose dari tiap-tiap tabung
pengenceran, dan masing-masing diinokulasikan ke dalam tabung reaksi
lainnya yang berisi 10 ml medium NB. Lakukan hal tersebut sampai waktu
kontak 25 menit.
9. Diinkubasikan selama 2 hari pada suhu T=30oC.
10. Diamati adanya pertumbuhan dari kekeruhan medium. Jika ada
pertumbuhan ditandakan positif (+), jika sebaliknya maka diberi tanda (-).
V. HASIL PENGAMATAN
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pertumbuhan Mikroorganisme pada Kresol 5% dan Fenol
Sampel PengenceranPertumbuhan Mikroorganisme Setelah
Waktu Kontak (menit)5 10 15 20 25
Fenol
1:25 - - - - -1:30 - + + + +1:35 + + - + -1:40 + - + - -1:45 - - - + -1:50 + + + - +
Kresol 5% 1:25 + + + + +1:30 + + + + +1:35 + + + + +1:40 + + + + +1:45 + + + + +
1:50 + + + + +Sumber : Dokumentasi Pribadi (2014)
Tabel 2. Uji Kresol 10% dengan waktu Pengujian 10 Menit
Sampel
Pengenceran
Pertumbuhan Mikroorganisme Setelah Waktu
Kontak(10 menit)
Kekeruhan Endapan
Kresol 5%
1:25 + Keruh Terdpat endapan +
1:30 + Keruh +2 Terdapat endapan
+21:35 + Keruh +3 Terdapat
endapan +3
1:40 + Keruh + Terdapat endapan +
1:45 + Keruh +5 Terdaat endapan
+41:50 + Keruh +4 Terdapat
endapan +3
Sumber : Dokumentasi Pribadi (2014)
VI. PEMBAHASAN
Pengawasan terhadap mikroorganisme penyebab penyakit telah menjadi
pemikiran para ahli semenjak penyakit-penyakit mulai dikenal. Berbagai macam
substansi telah dicoba untuk memilih yang paling tepat guna menghilangkan
pencemaran oleh jasad renik terhadap benda-benda baik hidup ataupun
mati. Bahan antimikroba yang ditemukan memiliki keefektifan yang bermacam-
macam, dan pengunaannya pun ditujukan terhadap hal-hal yang berbeda-beda
pula. Salah satu jenis anti mikroba dikenal sebagai disinfektan, merupakan suatu
zat (biasanya kimia) yang dipakai untuk maksud disinfeksi pada bahan-bahan
tidak bernyawa.
Desinfektan didefinisikan sebagai bahan kimia yang digunakan untuk
mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran jasad renik seperti bakteri dan virus,
juga untuk membunuh atau menurunkan jumlah mikroorganisme atau kuman
penyakit lainnya. Desinfektan memiliki sifat mikrosidal, yaitu membunuh
mikroorganisme dan mikrostatik, yaitu menghambat pertumbuhan
mikroorganisme (Fardiaz, 1992). Desinfektan dapat mencegah infeksi dengan
jalan penghancuran atau pelarutan jasad renik yang patogen. Berdasarkan struktur
kimia jenis bahan, desinfektan dapat terbagi kedalam beberapa golongan yaitu:
alkohol, aldehid, asam, halogen, dan persenyawaan yang mengandung halogen,
peroksidan, logam berat dan garam-garamnya, serta fenol dan persenyawaan yang
berhubungan dengannya. (Brander et al., 1982; Katzung, 1998).
Zat-zat antimikroba yang dipergunakan untuk disinfeksi harus diuji
keefektifannya. Cara menentukan daya sterilisasi zat-zat tersebut adalah dengan
melakukan tes koefisien fenol. Uji ini dilakukan untuk membandingkan aktivitas
suatu produk (desinfektan) dengan daya bunuh fenol dalam kondisi tes yang sama.
Berbagai pengenceran fenol dan produk yang dicoba dicampur dengan suatu
volume tertentu biakan Salmonella thyphosa atau Staphylococcus aureus. Salah
satu cara pengujian desinfektan yang umumnya dipakai di laboratorium dalah
metode pengeceran dimana kekuatan desinfektan dinyatakan dengan koefisien
fenol. Metode koefisien fenol merupakan uji yang telah dibukukan dengan baik.
Dalam metode ini, mikroorganisme uji dimasukkan dalam larutan fenol murni dan
larutan zat kimia yang akan di evaluasi pada berbagai taraf pengenceran (Schlegel
dan Schmidt,1994).
Praktikum kali ini akan melakukan uji sifat-sifat desinfektan. Sampel yang
digunakan yaitu fenol 5% dan kresol 10 %. Uji sanitasi yang dilakukan ini untuk
mengetahui apakah desinfektan efektif dalam membunuh suatu jenis biakan
bakteri serta untuk mengetahui koefisien fenol.
VI.1. Pengujian Sifat Desinfektan
Pengujian sifat desinfektan dilakukan dengan cara melihat daya kerja fenol
atau kresol dalam membunuh bakteri pada konsentrasi dan waktu kontak tertentu.
Pertama dibuat terlebih dahulu suspensi bakteri dengan cara menswab lantai lalu
hasil swab tersebut dicelupkan ke dalam tabung rekasi yang berisi 9 ml NaCl
fisiologis kemudian sebanyak 1 ml dari tabung tersebut diambil dan dimasukkan
ke dalam tabung reaksi lainnya yang berisi 9 ml media NB (Nutrient Broth).
Kocok tabung reaksi hingga homogen kemudian didapatkan suspensi bakteri.
Pengujian desifektan dilakukan dengan cara menyusun sebanyak 6 tabung reaksi
steril pada rak tabung reaksi kemudian diisikan kresol 10% atau fenol 5%
masing-masing sebanyak 2 ml dan diberi nomor dari 1-6. Tabung reaksi kemudian
ditambahkan akuades sebanyak 3 ml, 4 ml 5 ml, 6 ml, 7 ml, dan 8 ml sesuai
urutan tabung. Hal ini dilakukan untuk membuat seri pengenceran. Setelah fenol
atau kresol tercampur dengan akuades, larutan tersebut kemudian diambil hingga
tersisa 5 ml pada setiap tabung. Pengenceran yang didapatkan yaitu 1:25, 1:30,
1:35, 1:40, 1:45, 1:50. Larutan yang tersisa tersebut kemudian ditambahkan 0,5 ml
suspensi biakan murni.
Setelah 5 menit, tabung pengenceran tersebut diinokulasikan dengan ose
steril ke dalam tabung reaksi yang telah berisi medium NB. Medium NB (Nutrient
Broth) adalah medium cair yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri.
Komposisi kimia medium NB sama dengan medium NA tetapi pada pembuatan
NB tidak ditambahkan agar sebagai pemadat. Hal yang sama dilakukan pada
waktu kontak setelah 10 menit, 15 menit, 20 menit, dan 25 menit. Tabung reaksi
yang telah diinokulasi diinkubasikan pada suhu 300C selama 2 hari. Pengamatan
lalu dilakukan dengan mengamati kekeruhan larutan, jika dalam tabung terdapat
kekeruhan, berarti menunjukan adanya aktifitas mikroorganisme yang tumbuh dan
ditandai dengan positif untuk yang keruh dan negatif yang tidak keruh.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa semua tabung pada
semua konsentrasi dan waktu kontak terdapat pertumbuhan mikroorganisme (+).
Pertumbuhan mikroorganisme dapat diidentifikasi dari adanya kekeruhan atau
endapan pada tabung reaksi. Dari hasil pengamatan tersebut tidak dapat diketahui
jenis desinfektan mana yang lebih efektif. hasil pengamatan menunjukkan bahwa
bakteri atau spora tidak ada yang mati, baik menggunakan fenol maupun kresol.
Hasil praktikum menunjukkan perbedaan dengan literatur, seharusnya dengan
desinfektan yang diberikan bakteri dapat mati pada suhu tertentu
karena menurut Dwidjoseputro (1994) desinfektan adalah bahan kimia yang
digunakan untuk memusnahkan mikroorganisme. Kenaikan suhu yang semakin
tinggi juga seharusnya memengaruhi tingkat kematian bakteri atau spora. Hal ini
mungkin disebabkan karena pada saat melakukan percobaan terjadi kontaminasi
dari lingkungan sekitar. Mungkin juga disebabkan oleh alat-alat yang digunakan
sudah terkena kontaminasi silang. Bahan yang digunakan, yaitu fenol dan kresol
sudah tidak aseptis lagi (lama penyimpanan memengaruhi daya kerjanya sebagai
desinfektan).
Gambar 1. Tabung Uji Petumbuhan MikroorganismeSumber : Dokumentasi Pribadi (2014)
Desinfektan jenis senyawa fenol (fenol, cresol, hexachorophene,
recorcinol, dan thymol) dapat membunuh mikroba dengan cara mendenaturasi
protein dan memiliki konsentrasi kerja 2-5 %. Berdasarkan literatur tersebut, fenol
dan kresol seharusnya sudah dapat mematikan mikroba dalam konsentrasi 2-5%.
Sedangkan hasil praktikum yang menggunakan fenol dan kresol 5 % tidak dapat
mematikan ataupun menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini dapat
disebabkan karena beberapa faktor :
Tabung yang berisi larutan kresol atau fenol telah terkontaminasi
mikroorganisme lain saat inokulasi
Tabung dan peralatan lainnya tidak tersterilisasi dengan baik, fenol dan
kresol yang digunakan sudah rusak sehingga daya efektivitasnya sudah
menurun
Jenis mikroorganisme yang diinokulasikan tidak dapat dihambat
pertumbuhannya oleh desinfektan jenis fenol maupun kresol
Konsentrasi desinfektan yang rendah
Pada pengujian ini juga dilakukan pengenceran dan dilakukan inokulasi
pada menit yang berbeda-beda. Hal tersebut dilakukan untuk melihat pengaruh
konsentrasi dan waktu kontak terhadap daya efektivitas desinfektan. Pada
pengenceran, semakin tinggi pengenceran maka semakin rendah konsentrasi
desinfektan tersebut, sehingga kemampuannya untuk menghambat atau
mematikan mikroorganisme juga semakin berkurang. Sedangkan menit inokulasi
berpengaruh terhadap waktu kontak antara mikroorganisme dengan desinfektan.
Semakin lama waktu kontak maka semakin efektif daya kerja desinfektan
tersebut.
Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan secara teratur
semua komponen dalam sel hidup. Pertumbuhan pada organisme uniseluler
termasuk bakteri dapat didefinisikan sebagai pertambahan jumlah sel yang diikuti
pertumbuhan jumlah sel mikroorganisme (Fardiaz, 1992). Pertumbuhan sel pada
bakteri berlangsung secara eksponensial. Berdasarkan hasil pengamatan dapat
disimpulkan bahwa pada semua tabung terjadi pertumbuhan mikroorganisme yang
ditandai dengan adanya kekeruhan. Pada beberapa tabung selain terjadi kekeruhan
juga terdapat endapan.
Prinsip dasar dari kekeruhan sebagai tanda pertumbuhan bakteri adalah
jika cahaya mengenai sel, maka sebagian cahaya diserap dan sebagian cahaya
diteruskan. Jumlah cahaya yang diserap proposional (berbanding lurus) dengan
jumlah sel bakteri atau jumlah cahaya yang diteruskan berbanding terbalik dengan
jumlah sel bakteri (Pelczar, 1986). Semakin banyak jumlah sel, semakin sedikit
cahaya yang diteruskan dan medium semakin keruh. Menurut Surya (2009) efek
keruh ditimbulkan akibat interaksi antara cahaya dengan materi yang dilewatinya
bisa 3 macam yaitu diserap, dipantulkan dan diteruskan, semakin banyak cahaya
yang diserap oleh bakteri yang berbanding lurus dengan jumlahnya maka semakin
sedikit cahaya yang diteruskan dan yang akan ditangkap mata kita sehingga
menimbulkan efek keruh.
Pertumbuhan bakteri yang terjadi tidak sesuai dengan pendugaan awal
karena komponen yang ada pada fenol maupun kresol seharusnya mampu
membunuh bakteri. Koefisien fenol dilakukan pada kresol. Koefisen fenol
merupakan kemampuan suatu desinfektan dalam membunuh bakteri jika
dibandingkan dengan fenol. Cara pengujiannya dengan mengencerkan suatu
kultur cair bakteri sebanyak 1:10 dengan larutan desinfektan yang diuji pada
konsentrasi berbeda. Titik akhir adalah konsentrasi terendah yang menghasilkan
kultur steril setelah diinkubasi. Jika suatu desinfektan mempunyai koefisien fenol
40 maka daya membunuhnya berarti 40 kali dibandungkan fenol (Fardiaz, 1992).
Berdasarkan definisi dan penetapan koefisen fenol maka hasil praktikum yang
dilakukan tidak akurat karena tidak ada tabung yang steril (tidak ditumbuhi
mikroorganisme). Pertumbuhan bakteri yang terjadi tidak sesuai dengan
pendugaan awal karena komponen yang ada pada fenol maupun kresol seharusnya
mampu membunuh bakteri.
Fenol dan kresol merupakan bahan kimia yang bersifat desinfektan atau
antisptik. Menurut Fardiaz (1992) ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
memilih bahan kimia sebagai desinfektan yaitu
1. Sifat mikrosidal (membunuh jasad renik)
Komponen kimia yang bersifat membunuh jasad renik disebut
mempunyai sifat bakterisidal maupun fungisidal. Beberapa komponen
kimia efektif membunuh mikroorganisme jenis tertentu contohnya
virus yang dibunuh dengan halogen, oksadin, formalin serta
Mycobacteria yang dibunuh dengan fenol maupun alkohol.
2. Sifat mikrostatik (menghambat pertumbuhan jasad renik)
Komponen ini ada yang bersifat bakteristatik maupun fungistatik.
Biasanya komponen ini terdapat dalam jumlah yang kecil misalnya
pada rempah-rempah. Komponen kimia yang bersifat membunuh lebih
baik dibandingka dengan yang bersifat menghambat.
3. Kecepatan penghambatan
Komponen kimia memiliki kecepatan pembunuh yang berbeda ada
yang cepat maupun lambat. Sel yang sedang tumbuh atau berkembang
biak lebih sensitif dan mudah dibunuh dibandingkan sel yang dalam
keadaan istirahat/statis. Bakteri menjadi lebih tahan pada fase statis
akibat sudah masuk fase pertumbuhan lambat dan sudah lewat fase
adpatasi.
4. Sifat lain
Sifat ini sebagai sifat pendukung seperti harganya yang tidak mahal,
aktivitasnya dalam waktu lama, larut dalam air, stabil dalam larutan,
sifat racun, sifat iritasi kulit dan warna yang tidak dapat dihilangkan.
Fenol merupakan salah satu jenis bahan kimia yang ada pada bahan
pembersih, fenol digunakan karena memiliki mekanisme dalam membuh bakteri.
Fenol memiliki mekanisme bakterisidal atau membunuh bakteri. Mekanisme kerja
fenol yaitu dengan denaturasi protein sel bakteri sehingga sifat khasnya hilang.
Pada konsentrasi rendah fenol bekerja dengan merusak membaran sitoplasma
yang menyababkan bocornya isi sel dan pada konsentrasi tinggi fenol dapat
berkoagulasi dengan protein seluler. Aktivitasnya sangat efektif ketika bakteri
dalam tahapan pembelahan dimana lapisan fospolipid di sekeliling sel sedang
dalam kondisi yang sangat tpis sehingga fenol dapat berpenetrasi dengan mudah
dan merusak isi sel (Kusdarwati dkk,, 2010).
Kresol adalah salah satu senyawa fenolik yang digunakan sebagai
desinfektan dan antiseptik. Senyawa fenolik adalah senyawa fenol yang telah
mengalami modifikasi secara kimiawi. Cara kerja kresol dalam membunuh bakteri
adalah dengan koagulasi protein dan menyebabkan kebocoran membran sel,
konsentrasi yang biasa digunakan adalah 2%. Keuntungan dari penggunaan
senyawa grup fenol ini adalah aktivitasnya tidak hilang dengan adanya zat
organik, sabun atau air sadah dan tidak meninggalkan efek residu jika mengering.
Kelemahannya adalah kresol harus digunakan pada air lunak (Fardiaz, 1992). Air
lunak adalah air yang mengandung kadar mineral yang rendah. Penentuan air ini
dilihat dari jumlah busa sabun yang dihasilkan, artinya air sadah tidak dapat
digunakan.
Perlakuan pengenceran pada desinfektan baik kresol atau fenol murni dan
waktu inokulasi bakteri ke desinfektan dijadikan sebagai salah satu prosedur pada
pengujian koefisien fenol. Semakin pekat pembersih maka semakin efektif
desinfektan tersebut dalam membunuh bakteri namun beberapa jenis mempunyai
konsentrasi maksimum seperti kresol pada 2% dan fenol pada 1%. Semakin lama
waktu inokulasi bakteri pada desinfektan maka jumlah bakteri yang dibunuh
semakin banyak akibat kerja desinfektan yang maksimum, namun ini juga
berpengaruh dari kecepatan penghambatan komponen kimia pada desinfektan.
Pada pengujian koefisien fenol pada kresol maka didapatkan tabung berisi
pengenceran kresol dengan fenol dengan berbagai konsentrasi dan dengan
beberapa waktu inokulasi bakteri menghasilkan hasil yang positif padahal untuk
menentukan koefisen fenol diperlukan tabung yang steril. Menurut studi yang
dilakukan dari berbagai sumber maka kesalahan ini bisa disebabkan
1. Bakteri yang diinokulasikan pada pembersih berada pada fase
pertumbuhan statis sehingga susah dibunuh. Pada fase pertumbuhan
statis sel-sel menjadi lebih tahan terhadap keadaan ekstrim sepeti
panas, dingin, radiasi dan bahan kimia (Fardiaz, 1992).
2. Jumlah bakteri yang dinokulasikan sangat banyak sehingga saat diberi
fenol/kresol tidak semua terbunuh dan membuat bakteri yang masih
ada/resisten bisa melakukan pertumbuhan saat sudah dipindahkan ke
media NB.
3. Terdapatnya spora bakteri yang resisten terhadap komponen fenol.
Spora bakteri dalam fase vegetatif lebih susah dibunuh dan hanya
beberapa komponen kimia yang efektif terhadap spora seperti halogen,
merkuriklorida, formalin dan etilen oksida (Fardiaz, 1992).
4. Terjadinya kontaminasi saat menginokulasikan bakteri yang sudah
diberi fenol/kresol ke media NB. Bakteri yang sudah diinokulasi ke
larutan fenol/kresol kemudian diinokulasi ke media untuk melihat
keefektifan suatu jenis desinfektan untuk membunuh/mengurangi
jumlah mikroorganisme. Kontaminasi dapat terjadi saat inokulasi ke
medium tumbuh akibat proses yang tidak steril (alat, lingkungan dan
praktikan) sehingga menyebabkan adanya koloni yang tumbuh pada
medium yang berasal dari luar dan bukan bagian bakteri hasil
pemberian kreol/fenol.
5. Proses sterilisasi yang tidak maksimal dan kontaminasi dari luar pada
alat yang digunakan dan medium NB.
6. Keefektifan dari kresol dan fenol yang digunakan sudah menurun
sehingga kurang efektif membunuh bakteri.
Konsentrasi dan waktu kontak merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi efektivitas desinfektan. Selain konsentrasi dan waktu kontak,
efektivitas desinfektan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Efisiensi dan
efektivitas disinfektan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
- Konsentrasi
Konsentrasi desinfektan tergantung pada bahan yang akan
didesinfektan dan pada organisme yang akan dihancurkan. Konsentrasi
yang tinggi dapat membunuh mikroorganisme tetapi jika kosentrasi rendah
maka hanya sebatas menghambat pertumbuhannya saja tidak mampu
mematikan.
- Waktu kontak
Waktu yang diperlukan mungkin dipengaruhi oleh banyak variabel,
tetapi waktu yang cukup bagi desinfeksi untuk bekerja sangat membantu
dalam menghambat atau membunuh mikroba.
- Suhu desinfektan
Semakin tinggi suhunya maka kerja desinfektan semakin cepat dan
meningkat. Desinfektan terbuat dari bahan-bahan kimia sehingga suhu
yang tinggi akan mempercepat reaksi kimia pada komponen desinfektan.
- Jenis mikroba
Setiap jenis mikroba memiliki sifat resistensi yang berbeda-beda.
- Kondisi lingkungan (pH dan tempat mikroba hidup)
VII. KESIMPULAN
1. Semua tabung pada semua konsentrasi dan waktu kontak menunjukan
hasil yang positif (+) artinya terdapat pertumbuhan mikroorganisme.
2. Dari hasil pengamatan tersebut tidak dapat menentukan keofisien
fenol.
3. Pada semua tabung terjadi pertumbuhan mikroorganisme yang
ditandai dengan adanya kekeruhan. Pada beberapa tabung selain
terjadi kekeruhan juga terdapat endapan.
4. Ketidakakuratan data hasil pengamatan disebabkan karena bakteri
yang diinokulasikan pada pembersih berada pada fase pertumbuhan
statis sehingga susah dibunuh, jumlah bakteri yang dinokulasikan
sangat banyak, terdapatnya spora bakteri yang resisten terhadap
komponen fenol, terjadinya kontaminasi saat menginokulasikan
bakteri yang sudah diberi fenol/kresol ke media NB, proses sterilisasi
yang tidak maksimal dan kontaminasi dari luar pada alat yang
digunakan dan medium NB.
5. Keefektifan dari kresol dan fenol yang digunakan sudah menurun
sehingga kurang efektif membunuh bakteri.
6. Efisiensi dan efektivitas desinfektan dipengaruhi oleh konsentrasi,
waktu kontak, suhu, jenis mikroba, dan kondisi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Aboh, M., Oladosu, P., dan Ibrahim, K. (2013). Antimicrobial Activities of Some Brands of Households Disinfectants Marketed in Abuja Municipal Area Council, Federal Capital Territory, Nigeria. American Journal of Research Communication. 1(8): 172-183.
Brander, G. C., Pugh D. M. and Bywater R. J. 1982. Veteriary Applied Pharmacology and Theraupetics. 4th Ed. The English Languange Book Science Society and Bailliere Tindall. London: 405-410.
Brewer, C. (2010). Variations in Phenol Coefficient Determinations of Certain Disinfectants. American Journal of Public Health. 33(1): 261.
Butcher, W and Ulaeto, D. (2010). Contact Inactivation of Orthopoxviruses by
Household Disinfectants. Philadelphia: Department of Biomedical Sciences, Dstl Porton Down. Hal. 279-283.
Dwidjoseputro. (1994). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan. Jakarta. Hal. 102, 118-134.
Elisabeth, R., Apriliana, E., dan Rukmono, P. (2012). Uji Efektivitas Pada Antiseptik di Unit Perinatologi Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek Bandar Lampung. Medical Journal of Lampung University. 14(1): 125-126.
Fardiaz. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fazlara, A and Ekhtelat, M. (2012). The Disinfectant Effects of Benzalkonium Chloride on Some Important Foodborne Pathogens. American-Eurasian Journal of Agricultural & Environment Scientifique. 12(1): 23-29.
Ghanem, K.M., Fassi, F.A., and Hazmi, N.M. (2012). Optimization of Chloroxylenol Degradation by Aspergillus niger Using Plackett- Burman Design and Response Surface Methodology. African Journal of Biotechnology. 11(84): 144-156.
Kahrs, R.F. (1995). Disinfectants, Antiseptics, Sanitizers, and Sterilizing Agents. Revue Scientifique et Technique de L’ Office International Des Epizooties. 14(1): 105-122.
Katzung, B. G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. 630-633.
Kusdarwati, dkk. 2010. Daya Antibakteri Ekstrak Buah Adas terhadap Bakteri Micrococcus luteus secara In Vitro. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol 2 No. 1 Hal: 31-35
Martindale. 1993. The Extra Pharmacopeia. 30th Ed. The Pharmaceutical Press. London. 570-572.
Larson, E. (2013). Monitoring Hand Hygiene. American Journal of Infection Control. 41(2): 43-45.
Pelczar, M. J., dan E. C. S. Chan. 1998. Dasar-Dasar Mikrobiology. UI Press. Jakarta. 466-507.
Pratiwi, S. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hal. 17-18.
Risman, E. 2000. Sanitasi dan Desinfektan, Langkah Awal yang Efektif Mencegah Penyakit. Infomedia. No: Tl/078. Edisi no. 169 April 2000: 1-4.
Schlegel, H.G., dan K. Schmidt. 1994. Mikrobiologi Umum. Gajah Mada University Press. Yogyakarta
Shaffer, J.G. 1965. The Role of Laboratory in Infection Control in the Hospital. Arbor: University of Michigan, School of Pulbic health. Hal. 354, 357.
Siswandono. 1995. Kimia Medisinal. Airlangga University Press. Surabaya.
Hal. 249-250.
Somani, S.B., Ingole, W.N., and Kulkarni, S.N. (2011). Disinfection of Water
by Using Sodiun Chloride (NaCl) and Sodium Hypochlorite (NaOCl). Shegaon: Shri Sant Gajanan Maharaj College of Engineering. Hal. 40-43.
Surya, Yohannes. 2009. Optika. Penerbit Kandel, Tangerang.