laporan resensi lola
TRANSCRIPT
LAPORAN RESENSI BAHAN BACAAN
“LANDSCAPE HISTORY”
INDIGENOUS FIRE USE TO MANAGE SAVANNA LANDSCAPES IN
SOUTHERN MOZAMBIQUE
PENGETAHUAN API LOKAL UNTUK MENGELOLA LANSKAP
SABANA DI BAGIAN SELATAN MOZAMBIK
KELOMPOK 10
ANGGOTA :
Nuriskha Noviawanti (A44090051)
Chika Puspasari (A44090069)
Faris H El Shabir (A44090088)
Ina Winiastuti Hutriani (A44090091)
Herawaty Pare (A44090193)
ASISTEN :
Cindy Alifia, SP
Andre Sujipto
Muhammad Amin Shodiq
DOSEN :
Prof Dr Ir Hadi Susilo Arifin, MS
Prof Dr Ir Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr
Dr Syartinilia Wijaya, SP, M.Si
Dr R.L. Kaswanto, SP, M.Si
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
ARSITEKTUR LANSKAP
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan
nikmat iman, islam dan kesehatan tiada hentinya. Setiap titik masalah dan
motivasi menjadi nikmat yang luar biasa bagi kami sehingga kami bisa
menyelesaikan resensi jurnal bertema “Landscape History” yang berjudul
“Indigenous Fire Use to Manage Savanna Landscape in Southern
Mozambique”.
Dalam kesempatan ini sebagai sebagai bentuk rasa syukur penulis kepada
Allah SWT, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh
Dosen Staff Pengajar MK Pengelolaan Lanskap yaitu Prof Dr Ir Hadi Susilo
Arifin, M.Si , Prof Dr Ir Wahju Qamara Mugnisyah, M.Agr , Dr Syartinilia,
SP,M.Si , Dr R L Kaswanto, SP, M.Si , serta seluruh Asisten Cindy Alifia, SP ,
Andre Sujipto dan Muhammad Amin Shodiq atas semua bimbingan dan nasehat
sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat waktu.
Namun demikian, penulis sangat menyadari bahwa masih terdapat kekurangan
dalam resensi jurnal ini karena keterbatasan kami dan kendala lainnya. Resensi ini
nantinya diharapkan dapat bermanfaat bagi kami dan teman-teman dalam
memperdalam ilmu mengenai Arsitektur Lanskap terutama mengenai pengelolaan
lanskap.
Bogor, November 2012
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL.....................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................ii
ABSTRAK..............................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................1
1.2 Tujuan ...................................................................................................2
BAB II. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................3
2.1 Lokasi Studi...........................................................................................3
2.2 Alat dan Bahan ......................................................................................3
2.3 Metode ...................................................................................................4
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Sumber Api di Madjadjane dan Gala...................................................................4
2. Lima Cara untuk mengendalikan api antropogenik, saat Musim Hujan dari
Oktober hingga April yang terdiri dari panas dan hujan, serta ketika Musim
Panas dari Mei hingga September yang terdiri dari dingin dan
kering............................................................……………....................6
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Lokasi tapak praktikum............................................................................................3
Ukuran tapak ...........................................................................................................5
Pertanian IPB.........................................................................................................17
ABSTRAK
Rezim api yang ditetapkan untuk melindungi area di bagian Afrika Selatan
biasanya didasarkan hanya pada pemodelan dari data sejarah dan eksperimen
dilapangan. Kebanyakan masyarakat desa di wilayah masih menggunakan api
untuk mengelola sumber daya alam untuk kebutuhan dasar namun studi mengenai
pengetahuan api lokal dan penerapan yang ada relatif sedikit. Sejarah panjang dari
api antropogenik di Afrika Selatan menunjukan bahwa Traditional Ecology
Knowledge (TEK) mengenai api dapat memberikan wawasan lebih lanjut pada
lokasi spesifik antropogenik api dalam kontribusi manusia terhadap interaksi
sabana. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi untuk menyelidiki
bagaimana masyarakat lokal berpikir tentang bagaimana mengelola api sebagai
bagian dari kehidupan sehari-hari mereka, studi pada dua kelompok masyarakat
desa di Selatan Mozambik. Penduduk menggunakan api untuk berbagai kegiatan
mata pencaharian dan mengidentifikasi sumber-sumber api antropogenik yang
terkendali dan tidak terkendali.Rezim api tercerminkan pada 5 cara umum
megendalikan api antropogenik berdasarkan frekuensi, musim, daerah dan jenis
habitat yang dibakar.Perbandingan antara api bersejarah dan kontemporar
mengungkapkan menurunnya jumlah kebakaran yang terkendali dan
konsekuensinya meningkatkan jumlah dan ukuran api liar, tetapi tidak merubah
tujuan untuk mengendalikan api atau metode masyarakat menggunakan api.
Peraturan api yang dimiliki masayarakat bertujuan untuk mengurangi kerusakan
baik pada kepemilikan pribadi maupun masyarakat, sama halnya untuk
melindungi keanekaragaman hayati lokal yang berharga. Kesimpulan pentingnya
Traditional Ecology Knowledge (TEK) atau Pengetahuan Api Lokal untuk
memahami peran antropogenik dalam rezim api. Selain itu, mereka menunjukan
bahwa meskipun perbedaan pandangan didunia, ahli-ahli pengetahuan api lokal
dan barat memiliki tujuan yang sama untuk memelihara keanekaragaman hayati
regional.
Kata Kunci : Kebakaran Antropogenik, Kebakaran terkendali, Rezim api, Mata Pencaharian,
Tanah Maputa, Selatan Afrika, Pengetahuan Ekologi Tradisional
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Api antropogenik secara kritis membentuk keragaman, kelimpahan dan
distribusi vegetasi sabana di Afrika Selatan selama 1,5 juta tahun terakhir. Saat ini
banyak masyarakat desa di Selatan Afrika terus menggunakan api untuk
mengelola sumber daya alam penting untuk kehidupan sehari-hari seperti
membakar padang rumput untuk menghilangkan ilalang dan meningkatkan
rumput untuk makanan ternak, mengendalikan hama, membersihkan lahan untuk
keperluan pertanian dan mengurangi dampak api liar. Namun demikian, rezim api
yang dikembangkan untuk melestarikan dan mengelola Sabana di Selatan Afrika
di kawasan lindung didasarkan pada alam, eksperimen, atau bukti arkeologi
sebagian besar masyarakat pedesaan yang kotemporer mengabaikan Traditional
Ecological Knowledge (TEK) dalam menggunakan dan memanajemen api.
Mulai abad ke -20 kebijakan api mulai diberlakukan untuk melindungi
area manajemen dan legislator nasional diseluruh Afrika Selatan dengan cara yang
bervariasi dan temporal. Namun akibat pengembangan kebijakan ini penggunaan
api antropogenik menjadi terbatas dan menyebabkan hilangnya garis habitat serta
keragaman spesies, penumpukan bahan bakar, dan proliferasi spesies invasif.
Untuk mengatasi masalah tersebut ilmuwan dan manajer melakukan studi ke
beberapa negara untuk mencari rezim api yang dapat di tiru namun pada
kenyataannya untuk menentukan kesesuaian rezim api untuk Sabana Afrika
Selatan sangat sulit karena setiap daerah Sabana memiliki parameter iklim dan
vegetasi berbeda serta sejarah penggunaan yang berbeda. Dalam studi ini, penulis
menggunakan pendekatan etnografi untuk menganalisis TEK api di dua kelompok
masyarakat yang berada di pesisir sabana Selatan Mozambik untuk menjelaskan
bagaimana, kapan dan mengapa mereka menggunakan api dalam kegiatan mata
pencaharian sehari-hari mereka dan menunjukan bagaimana kegiatan tersebut
memberikan kontribusi pada proses dan pola pembentukan lanskap sabana di
daerah mereka.
Sebelumnya sudah ada beberapa studi yang menggunakan pendekatan
entografi untuk mengetahui penggunaan api antropogenik dan pengaruhnya dalam
pola dan proses pembentukan lanskap salah satu contohnya adalah Suku Aborigin
di Australia terampil memanipulasi lanskap Australia secara musiman dengan api
untuk memaksimalkan usaha mereka untuk mencari makan, menggurangi api liar,
memelihara keragaman flora dan fauna, menghilangkan tanaman invasif , dan
mempertahankan integritas ekologi ditempat tinggal mereka.
Di Afrika Selatan sendiri banyak kegiatan mata pencaharian dengan
melibatkan api. Efek dari api ini pada lanskap sabana berkisar dari rendah hingga
tinggi, dan target spesifik habitat tergantung pada musim. Api kecil digunakan
untuk memasak,menempa besi, mengeras tembikar, dan mengumpulkan madu
sedangkan sistem pengendalian api digunakan untuk berburu, membersihkan
lahan untuk bercocok tanam, mencegah satwa liar memakan tanaman pangan, dan
mendorong pertumbuhan jenis tanaman baru. Untuk meminimalkan efek yang
tidak diinginkan dari api dalam lanskap tersebut, masyarakat Afrika Selatan telah
mengembangkan pengetahuan, praktek, dan keyakinan untuk mengatur ukuran,
waktu dan frekuensi api yang didasarkan pada pengamatan dan interaksi selama
jangka waktu tertentu.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian pengetahuan api lokal dengan pendekatan etnografi
ini adalah mendapat pengetahuan mengenai traditional ecological knowledge
(TEK) api lokal dengan bekerja bersama beberapa kelompok masyarakat lokal di
Mozambik Afrika Selatan untuk meningkatkan manajemen lanskap baik untuk
melestarikan keanekaragaman hayati maupun praktek mata pencaharian dan
menunjukan bahwa penduduk menggunakan api dengan tujuan dan pengendalian
tertentu.
Gambar 1 Peta Distrik Matutuine, Mozambik.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Lokasi Studi
Lokasi studi di Distrik Matutuine
bagian dari Provinsi Maputo, distrik ini
berada dibagian Selatan Mozambik
(gambar 1) dengan luas daerah sebesar
5403 km2. Bagian utara distrik ini
dibatasi oleh Teluk Maputo, bagian
timur oleh Samudera Hindia, bagian
barat oleh Swaziland dan bagian selatan
dibatasi oleh KwaZulu-Natal dan Afrika
Selatan.
Lanskap Matutuine didominasi
oleh mosaik padang rumput, tanah
basah, rumpun hutan, Hutan rawa dan
hutan pasir yang langka dengan bukit-
bukit pasir. Distrik Matutúine merupakan pusat keanekaragaman endemik
Maputaland 17.000 km2 wilayah yang mengandung spesies 2500 + tanaman
termasuk 225 spesies endemik atau dekat endemik dan tiga genus endemik
tanaman, 100 spesies mamalia dan 470 spesies burung yang termasuk empat
spesies dan 43 subspesies yang endemik di atau dekat endemik.
Studi ini berlangusng pada dua komunitas yaitu Madjadjane dan Gala, dua
komunitas desa ini berdekatan dengan REM. Sekitar 90% penduduk menganggap
diri mereka sebagai keturunan Mazingiri Ronga dan persentase lainnya sebagian
kecil penduduk mengidentifikasi dirinya sebagai Changaan, Zulu, Matsua, Makua,
Portugis, dan Ndau. Hanya jarak 19 km yang memisahkan Madjadjane dan Gala.
Lanskap Madjadjane didominasi oleh hutan, tanah berpasir dan semak belukar
yang membentang sepanjang Sungai Futi. Sedangkan Lanskap Gala didominasi
oleh padang rumput, sabana terbuka dan padang rumput daerah basah di daerah
tepian Danau Piti dan Ntiti (de Boer 2000). Kombinasi dari sistem ladang
berpindah dan foraging membentuk dasar dari perekonomian lokal mereka.
2.2 Hasil Studi
Hasil dari wawancara menunjukkan bahwa penggunaan api pada aktivitas
sehari-hari sebagian besar memang sengaja dilakukan dan merupakan bagian dari
mata pencaharian seperti produksi arang dan persiapan penggembalaan. Aktivitas
lain yang menggunakan api antara lain berburu, menghalau ular, monyet, gajah,
dan hewan perusak panen lain dan membersihkan sampah dari pembuatan tikar.
Beberapa penggunaan api yang tidak terkontrol berasal dari ketidaksengajaan
seperti anak-anak yang meniru pembuatan arang dan pembakaran rumah dengan
sengaja. Penjelasan mengenai sumber api, pengendalian dan kesengajaan
penggunaan api dari komunitas Madjadjane dan Gala dapat dilihat dari tabel 1.
Tabel 1 Sumber Api di Madjadjane dan Gala
Pada malam hari api unggun dibutuhkan, sehingga praktek (pembakaran)
ini terutama diamati pada tempat lalu lintas gajah, ladang produksi, dan ladang
sekeliling rumah. Hingga Juni 2004, masyarakat Gala membakar rumput dekat
rumah dan ladang mereka untuk mengusir ular berbisa seperti mamba hitam
(Dendroaspis polylepis). Pada lokasi konstruksi pembangunan, dilakukan
pengendalian pembakaran untuk membersihkan lahan untuk rumah baru atau
bangunan umum untuk masyarakat seperti gereja dan sekolah. Dengan
menggunakan jerami membangun api untuk membuka lahan untuk
membersihkan benih dan batang yang masih tersisa.
Untuk membuat arang, masyarakat Gala biasanya menempatkan gundukan
arang di daerah terbuka dengan pohon tanpa kanopi dan tanpa rerumputan. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi kemungkinan kebakaran di dalam gundukan arang
yang di luar kendali dan untuk membantu menjaga suhu tinggi yang dihasilkan
dari dalam gundukan arang tersebut akibat pembakaran spontan.
Ibu rumah tangga di Madjadjane dan Gala masih memasak menggunakan
lubang-lubang pembakaran dangkal dalam tanah berpasir agar terlindung dari
angin yang kencang di daerah mereka.
Berdasarkan informasi dari masyarakat hasil pengamatan di lapang
menunjukkan bahwa api merupakan sumber budaya Ronga dan sumber kehidupan
masyarakat mereka (tabel 2).
Tabel 2 Lima Cara untuk mengendalikan api antropogenik, saat Musim Hujan dari
Oktober hingga April yang terdiri dari panas dan hujan, serta ketika Musim Panas
dari Mei hingga September yang terdiri dari dingin dan kering.
Saai ini dan di masa lalu masyarakat menggunakan api pembakaran untuk
mengendalikan pembersihkan ladang pertanian untuk produksi tanaman. Petani
membakar ladang 2 kali setahun untuk menghilangkan rumput dan semak-semak.
Pada awal musim hujan, Oktober dan November, petani menggunakan api untuk
pembakaran di daerah hutan dan sabana dekat rumah mereka untuk membersihkan
plot tanaman seperti jagung, kacang, labu, kacang-kacangan, dan ubi kayu. Waktu
pembakaran ini tergantung pada musim hujan sebelumnya. Petani membakar dan
menanam di Oktober bila ada “hujan yang baik”. Jika tidak, mereka menunggu
sampai Bulan November. Jika seseorang berencana untuk menggunakan wilayah
yang sama di tahun berikutnya untuk produksi tanaman, pembakaran kedua terjadi
pada saat akhir musim hujan di Februari untuk menekan pertumbuhan tanaman
kayu di lahan yang dibajak. Pembakaran pada April dan Mei, juga di akhir musim
musim hujan untuk menyiapkan sawah di perbatasan hutan rawa dan di sepanjang
sungai, selain itu pada bagian daerah danau untuk gula tebu, pisang, kentang
manis, dan sayuran yang tumbuh selama musim panas yang dimulai sejak Bulan
Mei.
Umumnya, daerah ini dibersihkan sekali kemudian digunakan terus
menerus. Orang jarang membakar lahan pertanian yang lebih kecil dari 0,5 ha
namun lebih memilih membersihkan ladang ini dengan tangan. Masyarakat
Madjadjane dan Gala menggembala ternak komunal di sabana terbuka, sabana
berhutan, dan daerah hutan terbuka sebelum perang saudara Mozambik.
Masyarakat Madjadjane dan Gala menggunakan api untuk membakar
padang rumput menghilangkan rerumputan yang hampir mati dan mendorong
pertumbuhan tanaman baru. Dari seorang pria Gala yang sedang menggembala
ternaknya seperti anaknya sendiri penulis mendapat informasi bahwa dia pernah
membakar setengah wilayah padang rumput dalam jangka waktu sekitar satu
tahun, dan membakar setengah lainnya di tahun berikutnya untuk membuat
rumput tumbuh lebih baik. Setelah padang rumput tersebut terbakar penggembala
dilarang menggembalakan ternak mereka disana selama satu tahun, padang
rumput tersebut dibiarkan untuk beristirahat.
Pembakaran selanjutnya terjadi di pertengahan musim hujan yaitu pada
bulan Februari, ketika rumput “belum tumbuh besar” sehingga api tidak bisa
menyebar jauh. Mantan penggembala yang lain dari Madjadjane menjelaskan
kondisi padang rumput yang ada ketika ia masih seorang gadis, sekitar 70 tahun
yang lalu, penggunaan api untuk meningkatkan pertumbuhan di padang rumput
berubah setelah perang saudara. Saat ini pemilik ternak mengandalkan kawanan
hewan yang berpindah dan kebakaran alami hutan untuk memberikan pdang
rumput yang baik bagi pakan ternak. Dari hasil wawancara dengan beberapa
pemilik ternak mereka menekankan bahwa pembakaran adalah ilegal. Mereka
juga menjelaskan juga banyak masyarakat menggunakan api untuk mendapatkan
madu selama dua tahun terakhir. Pada awal musim hujan, November dan
Desember, apikulturis semakin banyak di hutan tertutup, hutan sabana, dan hutan
terbuka, untuk memanen sarang lebah liar. Pohon ekaliptus yang merupakan
pohon non-pribumi menghasilkan banyak serbuk sari selama bulan-bulan kering
(Juni dan Juli) ketika tanaman asli banyak yang tidak berbunga sehingga banyak
mendominasi tanaman. Madu liar yang dikumpulkan saat ini dari perkebunan
ekaliptus dan koloni lebah, terletak 1 km dari tribun. Pada pengambilan madu
secara tradisional, kolektor mengarahkan asap dan api ke sarang lebah untuk
menenangkan dan membunuh lebah, dan biasanya mereka memadamkan api
sebelum mereka meninggalkan sarang lebah tersebut. Disisi lain kombinasi sayur
yang mengalami kekeringan dan pohon di sekitarnya membuat pohon ekaliptus
sangat rentan terhadap kebakaran. Asap dapat menenangkan lebah tapi pemburu
yang mengambil madu dari sarangnya dapat membuat lebah menjadi lebih agresif
lagi. Jika ada rokok atau cerutu yang jatuh diatas rumput atau batang ekaliptus, di
situlah api akan menyala. Metode apikultur modern juga telah diberikan oleh
pemerintah seperti kotak fumigasi lebah, memiliki pengaruh signifikan untuk
mengurangi potensi kebakaran hutan. Pengendalian kebakaran digunakan untuk
mengontrol kebakaran di sabana terbuka, sabana berhutan, dan habitat hutan
terbuka. Beberapa tetua adat menjelaskan bahwa pemburu masa lalu
menggunakan api untuk mendorong hewan buruannya menuju garis perangkap
dan menciptakan penggembalaan rumput.
Seiring perkembangan waktu pemburu terus menggunakan teknologi baru.
Sebagian besar pemburu di daerah ini masih orang muda dari kota-kota besar di
Kabupaten Matutuine dan Maputo yang tidak memiliki hubungan dengan
komunitas lokal tempat pemburuan. Alhasil, mereka memiliki sedikit insentif
untuk mengontrol penyebaran kebakaran ke masyarakat sekitar. Mereka hanya
menggunakan api untuk memasak diantara semak-semak.Hasil penelitian di
lapangan menunjukan bahwa pembakaran tidak membunuh tanaman dan justru
merangsang pertumbuhan tanaman baru. Suhu dan curah hujan adalah faktor
penting untuk menentukan waktu pengendalian pembakaran. Warga Madjadjane
dan Gala mempertimbangkan variasi harian dan musiman ketika merencanakan
pembakaran. Hari yang panas membantu rumput untuk kering sehingga siap
melakukan pembakaran yang biasanya dilakukan di pagi atau sore hari. Karena di
waktu pagi atau sore hari, temperatur lebih dingin, vegetasi mempertahankan
kelembapan, tingkat pelepasan panas berkurang dan ketinggian api rendah,
sehingga memberikan kontrol yang lebih besar.
2.2.1 Pengetahuan dan Praktek Api Suku Ronga di Selatan Mozambik
Masyarakat Madjajane dan Gala mempertimbangkan iklim dan cuaca
daerah untuk melakukan kegiatan pembakaran. Pertimbangan yang paling
mendasar dilihat dari iklim, masyarakat banyak membakar lahan pada musim
kemarau karena pada musim tersebut rumput lebih cepat kering dan mudah
terbakar, selain itu waktu pembakaran dipilih pada waktu pagi dan sore hari
karena pada waktu tersebut suhu udara lebih dingin sehingga api lebih mudah
dikontrol. Sedangkan pada musim hujan menurut catatan sejarah pernah ada
pembukaan lahan untuk padang rumput gembalaan pada bulan februari.
Sebelum pembakaran lahan masyarakat memanen kayu untuk kebutuhan
rumah tangga seperti memasak dan untuk bahan produksi batu bara. Ada 2
Metode untuk melakukan pembakaran lahan, metode pertama masyarakat
sebelumnya membuat parit berbentuk lingkaran dengan ukuran 2 sampai 2.5
meter dan kedalaman 1 sampai 2 meter kemudian membakar lahan didalam
lingkaran tersebut atau metode yang kedua yaitu memilih lahan yang akan dibakar
dan lahan yang akan dilindungi kemudian untuk lahan yang akan dilindungi
rumput disekeliling lahan yang dilindungi dipotong 0,5 m dan dirundukan dengan
rumput runduk lebar 3 meter, metode kedua ini yang paling umum digunakan oleh
masyarakat. Untuk menghindari penyebaran api masyarakat membuat sekat api di
sekitar area pembakaran yang terdapat jenis tanaman obat dan buah-buahan.
Pengendalian api juga memanfaatkan arah angin yang berhembus, arah angin
menentukan titik awal penempatan api serta besar kecilnya api sehingga
pembakaran lahan lebih mudah dikontrol.
Jumlah orang yang melakukan pembakaran tergantung pada ukuran api
dan pengalaman orang-orang tersebut terlibat. Sebagian besar masyarakat
menunjukan bahwa mereka membakar lahan pertanian sendiri atau dengan
bantuan dari anggota keluarga. Anak-anak termasuk yang paling sering terlibat
membantu orangtua mereka untuk belajar praktik membakar dengan cara yang
tepat dan membantu menjaga api untuk menghindari penyebaran keluar daerah
yang ditunjuk. Biasanya pembakaran juga dilakukan bersama pemilik lahan
lainnya yang memiliki lahan yang berdekatan hal ini agar dapat menghemat usaha
yang dikeluarkan dan mengurangi dari resiko api yang tak terkendali.
Menurut ketua adat masyarakat bahwa masyarakat Madjajane dan Gala
masih belum dapat megubah alasan mereka melakukan pembakaran lahan. Hal ini
telah berlangsung lama secara turun temurun. Teknik yang digunakan untuk
mengelola api pun sama dengan yang digunakan oleh orangtua dan kakek-nenek
mereka. Mereka telah mempersiapkan anak atau cucu mereka untuk menjadi
pembakar lahan sejak usia 16 tahun dengan pengalaman selama membantu
orangtua dan bimbingan arahan yang tepat, mereka berharap anak dan cucu
mereka dapat menjadi pembakar lahan.
Namun dari itu semua, para ketua dan sesepuh masyarakat telah
mengamati peningkatan jumlah kebakaran hutan, dengan penurunan yang
simultan pembakaran lahan. Mereka percaya perubahan ini dimulai selama Perang
Sipil. Selama perang masyarakat berhenti membakar lahan sebagai mata
pencahariaan. Kebakaran membuat polisi milter patroli untuk menyelidiki dan
meredam bahaya yang mengancam kemanan pribadi. Ketika perang sipil berakhir
pada tahun 1992, masyarakat kembali membakar lahan namun dengan populsi
yang lebih kecil, dengan ternak yang lebih sedikit dan kebijakan baru untuk
mengontrol pembukaan lahan untuk ladang dan padang rumput. Menurut sensus
penduduk tahun 1980-1997, pada masa perang sipil menunjukan bahwa di
Kabupaten Matutuine populasi masyarakat menurun 38,9 % dari jumlah awal
57.509 orang (Gaspar, 2002). Setelah perang beberapa LSM masuk untuk
membantu perekonomian masyarakat dan mendorong kebijakan anti pembakaran
lahan.
2.2.2 Peraturan Lokal dan Regional Api
Pasal 40 dari Taman Nasional Mozambik menghukum kegiatan
pembakaran yang menghancurkan semua atau sebagian dari hutan, semak, belukar
atau savana dengan hukuman penjara selama 1 tahun dan denda (Serra dan
Chicue, 2005). Namun terbatasnya tenaga kerja dan transportasi menyulitkan
bagian Administrasi Matutuine dan staf REM menegakan peraturan ini. Akibatnya
masyarakat Matutuine tidak dihukum karena melakukan pembakaran lahan untuk
pembukaan ladang. Para LSM seperti International Union for Conservation of
Nature (IUCN) dan kelompok pengembang dari swiss Helvetas di Madjadjane
dan Gala berusaha bersama dengan masyarakat membangun pondok-pondok
ekowisata dan membangun sebuah pondok industri untuk produk-produk lokal
daerah seperti madu dan ukiran-ukiran kayu.
Berdasarkan otoritas tradisional dari para regulo lokal dan Induna, sebuah
dewan yang beranggotakan masyarakat usia 55 sampai 70 yang merupakan
komunitas terkuat tentang peraturan penggunaan api. Penggunaan peraturan api di
Madjadjane dan Gala hanya dapat digunakan untuk pembakaran lahan untuk
bidang yang jelas dan melarang pembakaran lahan untuk daerah hutan yang
dikeramatkan. Warga mengakui bahwa pembakaran lahan yang tidak terkendali
berdampak negatif terhadap mereka, hilangnya tanaman-tanaman yang
menyediakan obat-obatan, buah-buahan dan konstruksi bangunan, tanaman
endemik serta rusaknya hutan suci dan situs-situs bersejarah dari peradabaan
terdahulu. Para regulo dari Madjadjane dan Gala menyatakan bahwa warga
menghormati hukum dan otoritas Regulo dan Induna untuk menghukum pelaku
pelanggar aturan. Pelanggar yang bersalah akan sanksi sosial berupa permohonan
pengampunan kepada masyarakat serta membayar denda sebesar 1000 metacais,
setara dengan $ 41,84 USD atau sekitar Rp. 418.410,00. Jika pelanggar
merupakan penduduk nonlokal, pelanggar akan dibawa ke Kantor Polisi di Bela
Vista atau Zitundo untuk dihukum karena tidak memiliki wilayah hukum
masyarakat.
2.2.3 Menggabungkan pengetahuan untuk mengelola lanskap Matutúine.
Pembakaran sangat bertentangan dengan masyarakat setempat dan
pengelolaan kawasan lindung. Di Madjadjane dan Gala, penduduknya sangat
berhati-hati dalam membentuk suatu lanskap dengan membakar untuk produksi
pangan langsung dan untuk menjamin keberlanjutan basis sumber daya untuk
panen masa depan. Pengetahuan lingkungan mereka dan keyakinan tentang iklim,
vegetasi, dan perilaku membakar membantu mereka dalam pengambilan
keputusan mengenai ke mana, kapan, dan bagaimana mengendalikan pembakaran
untuk berbagai aktivitas kehidupan mereka. Lembaga masyarakat dan peraturan
dalam pembakaran mampu menyelesaikan perselisihan yang muncul ketika
sumber daya yang dibutuhkan masyarakat telah rusak oleh pembakaran dari
orang-orang yang mengabaikan akal sehat dari pembakaran, atau dalam kasus
yang jarang terjadi dari pembakaran. Sebaliknya, Pengelola REM memiliki
bahasan tentang kontrol penggunaan pembakaran dalam pembuatan lanskap
sabana untuk memelihara dan menghasilkan keanekaragaman hayati untuk
kepentingan sendiri. Akan tetapi, tidak ada rencana resmi yang dibuat serta
kebijakan dari REM untuk melindungi keanekaragaman hayati melalui
pencegahan kebakaran hutan. Penyusutan populasi setelah perang saudara,
tekanan saat ini untuk memindahkan orang keluar dari kawasan lindung dan
direncanakan, dan kebijakan yang mengatur kebakaran telah mengubah hubungan
antara Ronga dan tanah leluhur mereka di Mo¬zambique selama 25 tahun
terakhir. Banyak daerah yang dulunya sering terbakar akibat kegiatan mata
pencaharian sekarang menjadi lebih jarang dalam skala yang lebih luas dan
kerusakan akibat kebakaran hutan. Madjadjane dan Gala merupakan komunitas
kecil baik dalam suatu populasi dan suatu luas lahan namun warganya saling
berbagi sejarah yang sama, budaya, dan lingkungan dengan masyarakat lainnya
dalam kawasan Matutúine dan wilayah pusat Maputaland yang lebih besar.
Berbagi sejarah dan budaya, aktivitas kebakaran yang sesuai dengan rezim
yang berlaku, berdasarkan pengetahuan lingkungan setempat, dilakukan agar
pembakaran lanskap sabana berlangsung secara teratur demi kepentingan
kehidupan. Penelitian saya bersama penduduk Madjadjane dan Gala adalah
menilai kebakaran di Ronga ini dan memeriksa kontribusi TEK yang telah dibuat
sebagai rezim pembakaran di kawasan itu. Informasi tentang frekuensi kebakaran
akibat kegiatan manusia, musim, serta ukuran dan jenis daerah yang terbakar
dapat digunakan oleh pengelola kawasan lindung di daerah ini untuk
mengembangkan kebakaran sesuai rezim yang berlaku dan menetapkan kebutuhan
dari pembakaran untuk kepentingan kawasan lindung.
Saat ini tidak ada kebijakan kebakaran yang ditetapkan oleh pemerintah
nasional Mozambique dan non-pemerintahan pun gagal untuk memasukkan
penemuan ilmiah terbaru tentang pentingnya kebakaran untuk pemeliharaan
keanekaragaman sabana, dan mencerminkan ideologi bersejarah yang dilihat dari
semua praktik kebakaran alami yang berdampak negatif. Sebagai hasilnya,
kebijakan ini bertentangan langsung terhadap praktek mata pencaharian pedesaan
di kawasan Matutúine. Daripada memaksakan peraturan bukan kebakaran tanpa
pemeriksaan kondisi lokal, dan praktek, studi ini menyoroti dimana daerah-daerah
Departemen Konservasi kawasan alami Mozambique dan staf REM dapat bekerja
dengan masyarakat di distrik Matutúine untuk menggabungkan praktek-praktek
manajemen adaptif lokal. Pengetahuan pengguna tentang kebakaran dalam
masyarakat bisa juga digunakan untuk membantu pengontrolan kebakaran dalam
batasan kawasan lindung. Menggambar pada TEK juga akan membantu ekonomi
lokal dalam masyarakat seperti Madjadjane dan Gala dengan mendukung
kelanjutan dari kegiatan mata pencaharian, juga mengenali dan membangun
inisiatif konservasi lokal. Meneliti kontribusi kegiatan manusia terhadap rezim
kebakaran Maputaland di kawasan Matutúine, Mozambique, memperdalam
pemahaman ilmiah hubungan antara manusia dan proses ekologi dan pola di
daerah ini. Deskripsi etnografi Mazingiri Ronga kebakaran TEK disajikan dalam
berbagai macam informasi yang dapat diperoleh dari meminta jawaban
masyarakat setempat mengenai bagaimana, mengapa, dan yang mana mereka
menggunakan api. Informasi semacam ini tidak dapat diperoleh dengan cepat
melalui eksperimen, catatan bersejarah atau pemodelan komputer. Pada tingkat
yang luas, data menawarkan contoh lain dari niat penggunaan api oleh masyarakat
pedesaan Afrika untuk produksi makanan. Data menyoroti keyakinan, praktek,
dan peraturan bahwa banyak masyarakat harus melindungi spesies dan habitat,
juga sebagai pribadi dan milik umum,dari kehancuran. Meskipun pandangan
dunia berbeda, Para ahli adat dan Barat api berbagi tujuan yang sama dalam
mempertahankan keanekaragaman hayati regional. Para ahli adat dan Barat api
berbagi tujuan yang sama dalam mempertahankan keanekaragaman hayati
regional. Akhirnya, sifat rinci dan holistik kebakaran Mazingiri Ronga TEK
memberikan wawasan ke pusat Maputaland ekologi dan menunjukkan cara-cara
khusus untuk meningkatkan rencana manajemen sumber daya nasional. Dalam
jangka panjang, penggabungan kebakaran ini TEK ke dalam perencanaan
konservasi akan memberikan kontribusi untuk perlindungan keanekaragaman
hayati Maputaland pusat dengan mempertahankan, dan menetapkan kembali
apabila diperlukan, kebakaran lokal yang sesuai baik di dalam rezim maupun di
luar batas-batas wilayah yang dilindungi.
2.3 Studi Kasus Budaya Penggunaan Api di Indonesia
Afrika Selatan memiliki budaya penggunaan apinya tersendiri dan
berbeda-beda sesuai dengan jenis vegetasi dan penggunaan lahannya, di Indonesia
budaya penggunaan api juga ada diwilayah yang banyak didominasi oleh hutan.
Gambar 2 Studi Kasus Budaya Api di Bengkulu Indonesia
sumber:www.antarabengkulu.com
Studi kasus budaya penggunaan api di Indonesia salah satunya ada di Kota
Bengkulu yaitu budaya penggunaan api untuk membakar lahan garapan untuk
membuka lokasi pertanian. Namun budaya penggunaan api untuk membuka lahan
garapan baru ini mengakibatkan kerusakan hutan dan menurunkan kualitas
kesuburan tanah. Saat ini untuk mengatasi permasalahan budaya membakar lahan
pemerintah khususnya Departemen Kehutanan sedang bekerjasama bersama tokoh
masyarakat dan berbagai pihak lain untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
Bengkulu agar tidak membuka lahan pertanian dengan cara membakar. Alasan
masyakarat Bengkulu terus mempertahankan budaya membakar diantaranya untuk
membersihkan lahan dengan cepat, murah dan menguntungkan untuk budidaya
tanaman pertanian,membersihkan lahan agar nilai lahan menjadi lebih tinggi,
pengendalian hama dan penyakit, dan mempercepat pertumbuhan pohon yangg
dibudidayakan seperti Pohon Galam di Bengkulu.
Gambar 3 dan 4 Bekas Pembakaran lahan di Bengkulu Juli 2012
sumber : green.kompasiana.com
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Agus Faizul.2012. Menhut:Budaya Membakar Lahan Harus Diubah.
regional.kompas.com/read/2012/09/15/19424361/Menhut.Budaya.
Membakar.Lahan.Harus.Diubah [22 November 2012]
Lubis, Zulkifli. 2012. Menhut: budaya bakar rusak kawasan hutan.
www.antarabengkulu.com/berita/6094/menhut-budaya-bakar-rusak-
kawasan-hutan [22November 2012]
Siddik, Ahmad. 2012. Mengapa Hutan dan Lahan Terus Terbakar?.
green.kompasiana.com/penghijauan/2012/09/01/mengapa-hutan-dan-lahan-
terus-terbakar/ [22 November 2012]
Triyatna, Stefanusa Osa. 2012. Menhut: Hindari Budaya Membakar.
bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/09/11/17074978/Menhut.Hindari.B
udaya.Membakar [22 November 2012]