laporan reduksi beban pencemaran dengan bioremediasi
DESCRIPTION
Laporan limbah tentang reduksi beban pencemaran dengan bioremediasi.TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN LIMBAH INDUSTRI
PERIKANAN
Disusun Oleh:
Anditya Candra Satriani
12/334989/PN/12980
Teknologi Hasil Perikanan
Asisten:
Bobby Dwi Kusuma Nababan
Arif
Nurul Binti Isnaini
Mirna Trissa
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI
JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN LIMBAH INDUSTRI PERIKANAN
ANALISIS DAN PREDIKSI BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR
INDUSTRI PERIKANAN
Disusun Oleh:
Anditya Candra Satriani
12/334989/PN/12980
Teknologi Hasil Perikanan
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI
JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan hasil perikanan. Umumnya
hasil perikanan tersebut dapat dikonsumsi dalam bentuk segar ataupun olahan. Berbagai
macam jenis olahan hasil perikanan dapat dijumpai diberbagai wilayah di Indonesia. Dengan
berkembangnya jenis olahan hasil perikanan maka industry perikanan pun semakin
berkembang dan jumlahnya meningkat. Industry perikanan di Indonesia umumnya masih
konvensional. Berkembangnya industry perikanan selain membawa dampak positif yaitu
sebagai penghasil devisa, memberikan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja, juga telah
memberikan dampak negative yaitu berupa buangan limbah. Adanya limbah tersebut pada
akhirnya yang menjadi korban adalah makhluk hidup dan lingkungan yang berada di sekitar
kawasan industry tersebut. (Azwar, 1996).
Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu
tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomi. (Ginting, 2007).
Limbah industry perikanan mengandung karbohidrat, lemak, protein, garam, mineral dan sisa
bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan. Limbah yang diproduksi oleh industry
perikanan bervariasi dalam kuantitas dan kualitasnya. Jenis limbah industri perikanan:
1. Limbah padat basah : limbah dari industry perikanan yang berupa benda padat
yang mengandung air, baik secara alami maupun karena proses produksi
(potongan kepala ikan/udang, sisik, kulit, tulang, duri, trimming, isi perut,
insang, dan karton basah).
2. Limbah padat kering : limbah padat yang tidak mengandung air, atau sifat
bahannya tidak mengandung air (karton kemasan, tali pengemas, sisa label, sisa
pengemasan dll.)
3. Limbah cair : limbah yang berbentuk cair, baik air sisa cucian, air sisa proses
produksi, dan air bekas MCK dari areal produksi (pabrik).
Pembuangan limbah ke sungai/sumber-sumber air tanpa treatment sebelumnya, mengandung
tingkat polutan organic yang tinggi serta mempengaruhi kesesuaian air sungai untuk
digunakan manusia dan merangsang pertumbuhan alga maupun tanaman air lainnya. Hal ini
akan menyebabkan dampak negative terhadap lingkungan sehingga dibutuhkan pengolahan
limbah cair untuk mengurangi dampak yang akan ditimbulkan terhadap lingkungan tersebut.
Metode pengolahan limbah secara biologi atau dikenal dengan bioremediasi adalah
salah satu cara pengolahan air limbah dengan bantuan agen biologis untuk menguraikan
polutan organic yang biodegradable dan terdapat dalam air limbah. Senyawa organic yang
kurang biodegradable dapat diolah akan etapi membtuhkan waktu yang lebih lama.
Mikroorganisme menjadi salah satu agen yang digunakan dalam teknologi bioremediasi ini.
Pada proses bioremediasi ini, mikroba dikondisikan untuk menguraikan senyawa
organic dengan cepat. Pengkondisian tersebut diperlukan fasilitas pengolahan dan parameter
operasi agar mikroba dapat bekerja seccara optimal. Banyak hal yang harus diperhatikan agar
mikroba dapat bekerja secara optimal, diantaranya adalah keseimbangan nutrisi yang
dibutuhkan oleh mikroba (harus memperhatikan perbandingan rasio antara C, N, dan P),
beban pencemar yang masuk ke dalam instalasi pengolahan air, aerator, dan fasilitas lainnya
yang dibutuhkan serta pengkondisian terhadap mikroba itu sendiri.
B. Tujuan Praktikum
1. Praktikan mampu melakukan pengukuran parameter fisika dan kimia dari limbah
industri perikanan
2. Praktikan mampu mengetahui kuantitas parameter pencemaran limbah cair industri
perikanan
3. Praktikan mampu menentukan besar debit dan beban pencemaran limbah cair industri
perikanan
4. Praktikan mampu mengetahui dan menerapkan cara penanganan limbah secara
biologis meliputi fitoremediasi, aerob, dan anaerob.
C. Manfaat
1. Menambah ketrampilan dalam pengukuran parameter fisika, kimia, dan biologi dari
limbah industri perikanan
2. Menambah wawasan mengenai kuantitas parameter pencemaran limbah cair industri
perikanan
3. Menambah kemampuan dalam menentukan besar debit dan beban pencemaran serta
penanganan limbah cair industri perikanan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Limbah
Suatu tatanan lingkungan hidup dapat tercemar atau menjadi rusak disebabkan oleh
banyak hal. Namun yang paling utama dari sekian banyak penyebab tercemarnya suatu
tatanan lingkungan adalah limbah. Limbah digolongkan atas beberapa kelompok berdasarkan
pada jenis, sifat dan sumbernya. Berdasarkan pada jenis, limbah dikelompokkan atas
golongan limbah padat dan limbah cair. Berdasarkan pada sifat yang dibawanya, limbah
dikelompokkan atas limbah organic dan limbah anorganik. Sedangkan bila berdasarkan pada
sumbernya, limbah dikelompokkan atas limbah rumah tangga atau limbah domestic dan
limbah industry. Limbah cair adalah semua jenis bahan sisa yang dibuang dalam bentuk
larutan atau berupa zat cair. Limbah cair dapat berupa air bekas pencucian, busa detergen dan
lain lain. (Palar, 2008)
Ada beberapa karakteristik yang dimiliki air limbah seperti berikut ini:
a. Karakteristik fisik
Air limbah terdiri dari 99,9% air, sedangkan kandungan bahan padatnya mencapai
0,1% dalam bentuk suspense padat (suspended solid) yang volumenya bervariasi
antara 100-500 mg/l. apabila volume suspense padat kurang dari 100 mg/l air limbah
disebut lemah, sedangkan bila lebih dari 500 mg/l disebut kuat.
b. Karakteristik kimia
Air limbah biasanya bercampur dengan zat kimia anorganik yang berasal dari air
bersih dan zat organic dari limbah itu sendiri. Saat keluar dari sumber, air limbah
bersifat basa. Namun, air limbah yang sudah lama atau membusuk akan bersifat asam
karena sudah mengalamai kandungan bahan organiknya mengalami proses
dekomposisi yang dapat menimbulkan bau tidak menyenangkan. Komposisi
campuran dari zat-zat itu dapat berupa:
1. Gabungan dengan nitrogen misalnya urea, protein atau asam amino.
2. Gabungan dengan non-nitrogen misalnya lemak, sabun, atau karbohidrat.
c. Karakteristik bakteriologis
Bakteri pathogen yang terdapat dalam air limbah biasanya termasuk golongan E. coli.
B. Parameter Pencemaran
Sumber air dikatakan tercemar apabila mengandung bahan pencemar yang dapat
mengganggu kesejahteraan makhluk hidup (hewan, manusia, tumbuh-tumbuhan) dan
lingkungan. Akan tetapi air yang mengandung bahan pencemar tertentu dikatakan tercemar
untuk keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan rumah tangga belum tentu dapat
dikatakan tercemar untuk keperluan lain. Dengan demikian standar kualitas air untuk setiap
keperluan akan berbeda, bergantung pada penggunaan air tersebut, untuk keperluan rumah
tangga berbeda dengan standar kualitas air untuk keperluan lain seperti untuk keperluan
pertanian, irigasi, pembangkit tenaga listrik dan keperluan industry. Dengan demikian
tentunya parameter yang digunakan pun akan berbeda pula.
Indikator pencemaran air dapat diketahui dan diamati baik secara visual maupun
pengujian, seperti :
a. Perubahan pH atau konsentrasi ion hydrogen
Air dapat bersifat asam atau basa, tergantung pada besarnya konsentrasi
ion hydrogen di dalam air. Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu
kehidupan mempunyai pH antara 6,5 – 7,5. Air limbah industry belum terolah yang
dibuang langsung ke sungai akan mengubah pH air yang dapat mengganggu
kehidupan organism di dalam sungai. Kondisi ini akan semakin parah jika daya
dukug lingkungan rendah seperti debit sungai yang kecil. (Sunu, 2001). Proses
penanganan biologik konvenional tidak dapat bekerja dengan baik di luar daerah
pH 6,5 – 8,5 dan sifat asam atau alkali harus dimodifikasi dengan cara tertentu
seperti dengan pengenceran, netralisasi, dan pengendalian proses reaksi biologic.
Air limbah yang mengandung konsentrasi asam organic yang cukup banyak sering
mempunyai pH yang rendah, dan dapat diatasi secara efektif dengan menyesuaikan
laju penghilangan dengan laju input massa dari asam. (Laksmi, 1993).
b. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut adalah suatu factor yang terpenting dalam setiap system
perairan. Sumber utama oksigen terlarut berasal dari atmosfer dan proses
fotosintesis tumbuhan hijau. Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung.
Oksigen hilang dari air oleh adanya pernafasan biota, penguraian bahan organic,
aliran masuk air bawah tanah yang miskin oksigen, adanya besi, dan kenaikan
suhu.
Biologycal Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologi adalah suatu
analisis empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses
mikrobiologis yang benar-benar di dalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen
yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasi) hamper semua
zat organis yang terlarut dan sebagian zat-zat organis yang tersuspensi dalam air.
Bila suatu badan air tercemar oleh zat-zat anorganik, bakteri tersebut dapat
menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi tersebut yang bias
mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobic dan
dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut. Pemeriksaan BOD didasarkan
pada reaksi oksidasi zat organic dengan oksigen di dalam air, dan proses tersebut
berlangsung karena adanya bakteri aerobic. Sebagai hasil oksidasi akan terbentuk
karbon dioksida, air, dan amoniak. Atas dasar reaksi tersebut, yang memerlukan
kira-kira 2 hari dimana 50% reaksi telah tercapai, 5 hari supaya 75% dan 20 hari
supaya 100% tercapai, maka pemeriksaan BOD dapat digunnakan untuk
menafsirkan beban pencemaran zat organis (Alaerts, 1987).
COD (Chemical Oxygen Demand) atau Kebutuhan Oksigen Kimia adalah jumlah
oksigen (mg) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organis yang ada dalam
satu liter air, dimana k2cr2o7 digunakan sebagai sumber oksigen (Oxidating
Agent). Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis
yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses mikrobiologis, dan
mengakibatkan berkurangnya oksigen dalam air. (Alaerts, 1987)
c. Adanya endapan, koloid, bahan terlarut
Total Suspended Solid atau Padatan Tersuspensi adalah padatan yang
menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung.
Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya
lebih kecil dari sedimen seperti bahan-bahan organic tertentu, tanah liat dan lain-
lain. Misalnya air permukaan mengandung tanah liat dalam bentuk tersuspensi. Air
buangan selain mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah yang bervariasi,
juga sering mengandung bahan-bahan yang bersifat koloid seperti protein. Air
buangan industry makanan mengandung padatan tersuspensi yang relatif tinggi.
Padatan terendap dan padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar
matahari ke dalam air, sehinggga dapat mempengaruhi regenerasi oksigen secara
fotosintesa.
Pengukuran langsung padatan tersuspensi (TSS) sering memakan waktu cukup
lama. TSS adalah bobot bahan yang tersuspensi dalam volume air tertentu yang
biasanya dinyatakan dalam mg/L atau ppm. Partikel tersuspensi akan menyebarkan
cahaya yang datang, sehingga menurunkan intensitas cahaya yang disebarkan.
Padatan tersuspensi dalam air umunya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, sisa
tanaman dan limbah industry. (Sunu, 2001)
d. Perubahan warna bau rasa
C. Debit Limbah
Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh suatu kegiatan
atau industry yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan
(air). Mutu limbah cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit (aliran
masuk dan keluar), kadar maksimum, dan beban pencemaran.
a. Debit maksimum yaitu debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
lingkungan.
b. Kadar maksimum yaitu kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
lingkungan.
c. Beban pencemaran maksimum adalah beban tertinggi yang masih diperbolehkan
dibuang ke lingkungan.
Itulah sebabnya sebelum dibuang ke system perairan, limbah cair terlebih dahulu harus diolah
pada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sampai kualitas yang dicapai memenuhi
peryaratan yang ditetapkan.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, beban pencemaran adalah
jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah. Limbah cair yang
dihasilkan dari suatu industri perikanan harus dianalisis terlebih dahulu agar dapat diketahui
atau diprediksi beban pencemarannya. Parameter yang harus diperhatikan dalam analisis
tersebut adalah pH, TSS, BOD, COD, dan minyak atau lemak. Beban pencemaran industri
perikanan menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 06 Tahun 2007 adalah sebagai
berikut:
D. Beban Pencemaran Limbah
Menurut Djabu (1999), beban pencemaran adalah bahan pencemar dikalikan
kapasitas aliran air yang mengandung bahan pencemar, artianya adalah jumlah berat
pencemar dalam satuan waktu tertentu misalnya kg/hari. Istilah beban pencemaran dikaitkan
dengan jumlah total pencemar atau campuran pencemar yang masuk ke dalam lingkungan
(langsung atau tidak langsung) oleh suatu industry atau kelompok industry pada areal tertentu
dalam periode waktu tertentu. Pada kasus limbah rumah tangga dan kota, istilah beban
pencemaran berkaitan dengan jumlah total limbah yang masuk ke dalam lingkungan
(langsung atau tidak langsung dari komunitas kota selama periode waktu tertentu.)
(Djajadiningrat dan Amir, 1991).
Menurut Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001, daya tampung beban
pencemaran adalah kemampuan air pada suatu sumber air untuk menerima masukan beban
pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar. (Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 110 tahun 2003)
E. Baku Mutu Limbah Cair Industri Perikanan
Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau bahan
pencemar untuk dibuang dari sumber pencemar ke dalam air pada sumber air sehingga tidak
mengakibatkan dilampauinya baku mutu air.
Tabel 1 Baku Mutu Limbah Cair Industri Perikanan
Parameter
Pembekuan Ikan Pengalengan Ikan Tepung Ikan
Beban Pencemaran Beban Pencemaran
Kadar
(mg/l)
Beban
Pencemaran
(kg/ton
produk)
Kadar
(mg/l)
(kg/ton bahan baku)Kadar
(mg/l)
Beban Pencemaran
Ikan UdangLain-
lainIkan Udang
Lain-
lain
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
pH 6-9
TSS 100 1 3 1,5 100 1,5 3 2 100 1,2
Sulfida - - - - - 0,015 0,03 0,02 1 0,012
Amoniak 10 0,1 0,3 0,15 5 0,075 0,15 0,1 5 0,06
Klor Bebas 1 0,01 0,03 0,015 1 0,015 0,03 0,02 - -
BOD5 100 2 3 1,5 75 1,125 2,25 1,5 100 1,2
COD 200 0,15 6 3 150 2,25 4,5 3 300 3,6
Minyak/
lemak15 0,45 0,225 15 0,225 0,45 0,3 15 0,18
Debit Air
Limbah
(m3/ton)
- 10 30 15 - 15 30 20 - 12
F. Mekanisme Reduksi Limbah
Pada umumnya pengolahan secara biologi dipergunakan untuk mereduksi atau
menurunkan kadar pencemaran organic dalam air limbah dengan menggunakan dan
memanfaatkan keaktifan mikroorganisme, misalnya dengan lumpur aktif (activated sludge),
saringan menetes (trickling filter), kolam stabilisasi dan sebagainya. Mara (1976)
mengemukakan bahwa untuk kemungkinan perlakuan limbah dan tidak semua tahap ini harus
dikerjakan, tergantung dari kualitas dan kebutuhan limbah. Keempat tahap perlakuan limbah
tersebut meliputi : perlakuan pendahuluan, primer, sekunder dan tersier, diuraikan sebagai
berikut :
a. Perlakuan pendahuluan
Tahap ini terdiri dari penyaringan (screening) dan pembersihan limbah dengan kerikil
halus. Tahap awal ini adalah pembersihan limbah dari benda-benda besar yang mengapung
seperti potongan-potongan kayu dan partikel padat (pasir dan kerikil). Tahap ini dilakukan
untuk melindungi kerusakan peralatan yang dipakai pada tahap perlakuan. Perlakuan
pendahuluan adalah tahap pemisahan sampah berukuran besar dan partikel terlarut dengan
cara penyaringan. Mula-mula limbah dialirkan pada sebuah saringan yang berfungsi
memisahkan sampah berukuran besar seperti kertas, botol-botol dan lain-lain, sedangkan
pasir batu-batu kecil akan diendapkan pada suatu saluran yang akan dialiri limbah dengan
konstan atau dapat juga melalui kamar pasir. Menurut Mason (1981), yang dimaksud kamar
pasir adalah suatu ruangan yang akan dialiri limbah dan diberi aerasi dari dasar kamar untuk
menciptakan gerakan spiral, sehingga pasir akan terkumpul pada tempat penampungannya
untuk kemudian dibuang. Pengguanaan tahap ini yaitu apabila limbah dalam jumlah besar
mengandung sampah yang berukuran besar.
b. Perlakuan primer
Proses yang menjadi cirri pada tahap ini adlaah proses pengendapan yang menurut
Mara (1976) merupakan pemisahan suspense terlarut menjadi komponen cair dan padat. Pada
tahap ini limbah ditempatkan pada tangki terbuka dan partikel-partikel terlarut dibiarkan
mengendap, sedangkan partikel-partikel yang ringan akan mengapung membentuk busa.
Setelah dibiarkan beberapa saat, proses ini dapat dilanjutkan. Tahap perlakuan primer dapat
mengendapkan 55% partikel terlarut sebagai lumpur dan dapat menurunkan BOD5 sampai
35%. Ada beberapa macam tangki pengendapan, tetapi yang seirng digunakan adalah tangki-
tangki dangkal berpola radier (lingkaran) yang dilengkapi dengan gigi mekanik untuk
memindahkan lumpur. (Mason, 1981)
c. Perlakuan sekunder
Pada prinsipnya tahap perlaukan sekunder adalah tahap oksidasi senyawa organic
terlarut dengan adanya mikroorganisme. Limbah dibiarkan dalam waktu yang agak lama pada
kondisi optimal untuk pertumbuhan mikrobia. (Mutiara, 1999), biasanya dilakukan dengan 3
cara yaitu menggunakan kolam oksidasi, metode lumpur aktif, dan trickling filter.
Penggunaan kolam oksidasi sebagai instalasi penanggulangan limbah di daerah tropic yang
sepanjang tahun menerima cahaya matahari adalah sangat memungkinkan. (Mason, 1981).
Kolam oksidasi dapat membersihkan limbah dengan menggunakan kerjasama antara bakteri
dan alga. Menurut Mutiara (1999), keanekaragaman jenis algae yang terdapat dalam kolam
oksidasi tidak dipengaruhi iklim dan letak geografis dan tampaknya lebih dipengaruhi kondisi
fisika-kimia limbah serta besarnya jumlah material yang tidak dapat dioksidasi. Kolam
oksidasi merupakan kolam terbuka dengan kedalaman 1-2 meter. Limbah yang masuk
diperlakukan selama 3 sampai 6 minggu. Bakteri yang terdapat dalam kolam oksidasi
menguraikan bahan-bahan organic dan menghasilkan CO2 , ammonia, nitrat dan fosfat.
Selanjutnya senyawa-senyawa ini akan digunakan algae untuk mengadakan fotosintesis
digunakan oleh jasad-jasad aerob untuk proses kehidupan dan aktivitasnya.
d. Perlakuan tersier
Tahap ini akan menghasilkan buangan yang lebih baik dari kualitasnya dan hanya dikerjakan
bila sangat diperlukan. Dalam berbagai keadaan limbah yang telah ditanggulangi melalui
tahap-tahap penanggulangan di atas, belum cukup memadai bila dibuang ke lingkungan. Oleh
karena itu perlu ditanggulangi lebih lanjut, misalnya dengan penggunaan saringan mikro
untuk menyaring bakteri pathogen atau zat-zat terlarut yang masih terkandung dalam cairan
limbah. Proses ini menurut Mason (1981) dapat menurunkan BOD5 < 10 mg/L. Limbah yang
telah diberi perlakuan pendahuluan, primer, sekunder dan tersier diharapkan tidak lagi
bersifat racun baik bagi lingkungan maupun organism air dan manusia.
III. HIPOTESIS
1. Pengolahan limbah secara biologis dapat mereduksi beban pencemaran limbah cair
industri perikanan
2. Semakin banyak perlakuan bioremediasi yang diberikan maka reduksi beban pencemaran
limbah cair industri perikanan semakin baik dan optimal
IV. METODOLOGI PENELITIAN
A. Alat
1. Pipet tetes
2. Tabung
mikrotube
3. Petridish
4. Drigalski
5. Bunsen
6. Jarum ose
7. Tabung reaksi
8. Autoklaf
9. Mikroskop
10. Erlenmeyer
11. Toples kaca
12. Botol oksigen
13. Kempot
14. Pipet ukur
15. Pipet tetes
16. Botol film
17. Kertas pH
18. pH meter
19. Kertas saring
20. Aerator
21. Ember plastik
22. Plastik hitam
penutup
23. Selang
B. Bahan
1. Medium Luria
Bertani
2. Akuades
3. Bacto agar
4. Tryptone Soya
Broth (TSB)
5. NaCl 0,85%
6. Phenol Blue
7. H2SO4 4N
8. KMnO4 0,1 N
9. Amonium oksalat
10. MnSO4
11. Reagen oksigen
12. H2SO4 pekat
13. Amilum
14. 1/80 N Na2S2O3
15. Limbah cair
industri
pengolahan ikan
16. Tanaman air
C. Tata Laksana Praktikum
1) Persiapan sampel
Media Luria Bertani (LB)
Media Tryptone Soya Broth (TSB)
Isolasi bakteri B (Bacillus lichiniformis)
Isolasi bakteri A (Arachnia propionica)
2) Persiapan Isolasi Bakteri
3) Pengkayaan Bakteri
Diambil satu ose
Dimasukkan ke dalam Media LB dan aduk secukupnya
Diinkubasi dalam incubator shaker selama 24 jam dengan suhu 35 ± 2 C
Inkubasi dalam incubator shaker dengan suhu 35 ± 2 C selama 24 jam
Dimasukkan dalam media LB 10 ml
Diambil 1 ose biakan bakteri
Diambil satu ose, dimasukkan ke dalam TSB dan aduk secukupnya
Isolat bakteri B (Bacillus licheniformis)
Bakteri A
Inkubasi 24 jam
7 ml TSB
Inkubasi 24 jam 10 ml TSB
Keterangan
Bakteri A : Arachnia propionica Bakteri B : Bacillus licheniformes
Bakteri B
Inkubasi 24 jam
7 ml LB
Inkubasi 24 jam 10 ml LB
Masukkan kertas pH ke dalam limbah selama beberapa detik
Diamati hasil dan dibandingkan warna kertas pH dengan indikator pH
Fitoremediasi Fito + aerob Fito + aerob Aerob + Aerob + Kontrol Aerob Bakteri A Bakteri B Bakteri A Bakteri B
4) Pengukuran Derajat Keasaman (pH)
2 liter limbah
2 liter limbah
2 liter limbah
2 liter limbah
2 liter limbah
2 liter limbah
2 liter limbah
Diinkubasi 7 hari
Pengamatan
(BOD, DO, suhu, pH, TSS, bau, kekeruhan,
kandungan protein terlarut)
H+5 uji BOD5Setiap hari diamati bau dan kekeruan
5) Pengukuran Suhu
6) Pengukuran Kandungan O2 Terlarut (Dissolved Oxygen atau DO)
Masukkan thermometer ke dalam limbah selama beberapa detik
Diamati hasil thermometer
Diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer
Ditambahkan 1 ml larutan MnSO4 dan 1 ml reagen oksigen ke dalam botol oksigen secara berturut-turut.
Diambil sampel air menggunakan botol oksigen tanpa gelembung udara
Botol oksigen ditutup, kemudian digojok perlahan-lahan hingga reaksi berjalan sempura
Ditambahkan indicator amilum sebanyak 3 ml
Dititrasi dengan larutan 1/80 N Na2S2O3 sambil erlenmeyer digoyang-goyang perlahan hingga larutan menjadi bening (a ml)
Didiamkan beberapa saat hingga endapan yang timbul terlihat mengendap sempurna
Botol dibuka dan ditambahkan 1 ml larutan H2SO4 pekat
Botol ditutup kembali, digojok dengan cara bolak balik sehingga endapan larut sempurna
Perhitungan :
Kandungan O2 terlarut = 1000
50 x a x f x 0.1 mg/l
(f) = faktor koreksi = 1
7) Pengukuran BOD (Biologycal Oxygen Demand)
Diambil sampel air menggunakan botol oksigen (botol BOD) tanpa gelembung udara, kemudian inkubasi
Ditambahkan 1 ml larutan 4N H2SO4, ditambahkan 1-2 tetes 0,1 N kalium permanganat (warna pink keunguan), gojog botol hingga homogen
Didiamkan beberapa saat hingga warna rose tidak hilang, jika hilang tambahkan 1-2 tetes 0,1 N kalium permanganat, gojog dan diamkan
Titrasi dengan 0,1 N ammonium oksalat, gojog dan diamkan sampai warna rose hilang hingga mengarah ke warna bening
Ditambahkan 1ml larutan MnSO4 dan 1ml reagen oksigen ke dalam botol
Botol ditutup kembali, digojok dengan cara bolak balik sehingga endapan larut sempurna
Diamkan beberapa saat hingga endapan yang timbul terlihat mengendap sempurna
Membuka botol dan menambahkan 1 ml larutan H2SO4 pekat
Botol ditutup kembali, digojok secara bolak balik sehingga endapan larut sempurna
Perhitungan :
Kandungan BOD = 1000
50 x (b – a) x f x 0.1 mg/L
(f) = faktor koreksi = 1
8) Pengukuran TSS
Diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer
Ditambahkan indikator amilum 3 tetes
Dititrasi dengan larutan 1/80 N Na2S2O3, erlenmeyer digoyangkan perlahan hingga larutan menjadi bening (a mL) jikaada inkubasi maka (b mL)
Timbang berat awal kertas saring (a gram)
Lipat kertas saring dan letakkan diatas corong
Saring 1000 mL air sampel
Keringkan kertas saring dengan dikering anginkan selama ± 24 jam
Timbang berat akhir kertas saring (b gram)
Hitung TSS dengan rumus :
TSS = (b-a) x 10 x 100 mg/L
0,5 ml sampel
Tambahkan 0,7 ml larutan D (Laury A + B + C)
Vortex lalu inkubasi suhu ruang 20 menit
Tambakhan 0,1 ml larutan E (reagen ciocaiteau)
Vortex lalu inkubasi suhu ruang 30 menit
1,3 ml sampel
Ditera OD pada λ = 750 nm
9) Uji Kandungan Protein
mikrotube
kuvet
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
ParameterSebelu
mSetelah Perlakuan
I II III IV V KontrolSuhu 28 28 30 31 30 30 20TTS (mg/l) 0,4 0,1 0,2 0,2 0,2 0 0,2pH 7 7 7 8 8 8 8Kekeruhan +++ ++ ++ ++ ++ ++ ++++Bau ++++ ++ ++ + ++ ++ +++++DO (mg/l) 5,8 8 6 12 3 5 2BODHo (mg/l) 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8BODH5 (mg/l) - 2,6 2,8 2,8 0,6 0,8 7Aborbansi sampel 0,068 0,0195 0,0125 0,013 0,025 0,0225 0,1145Protein Terlarut
Keterangan :
++++ Sangat keruh/Sangat bau
+++ Keruh/Bau
++ Agak keruh/Agak bau
+ Bening/Tidak bau
Perlakuan:
I Fitoremediasi Aerob
II Fitoremediasi + Aerob + Bakteri A
III Fitoremediasi + Aerob + Bakteri B
IV Aerob + Bakteri A
V Aerob + Bakteri B
Tabel 2. Hasil Aplikasi Bioremediasi pada Limbah Cair Industri Perikanan
B. Pembahasan
Praktikum Analisis dan Prediksi Beban Pencemaran Limbah Cair Industri
Perikanan dilakukan dengan menggunakan sampel limbah industri UKM Mina Tayu dengan
satu control dan lima perlakuan, yaitu:
1. Perlakuan fitoremediasi dan aerasi
2. Perlakuan fitoremediasi, aerasi dan penambahan kultur bakteri A
3. Perlakuan fitoremediasi, aerasi dan penambahan kultur bakteri B
4. Perlakuan aerasi dan penambahan kultur bakteri A
5. Perlakuan aerasi dan penambahan kultur bakteri B
Cara kerja yang dilakukan pertama adalah isolasi dan identifikasi bakteri. Medium
Luria Bertani (LB) disiapkan untuk isolasi bakteri A (Arachnia propionica) dan medium
Tryptone Soya Broth (TSB) untuk isolasi bakteri B (Bacillus licheniformis).
Isolasi bakteri A dilakukan dengan mengambil 1 ose isolat bakteri kemudian
dimasukkan kedalam medium TSB dan diaduk secukupnya. Selanjutnya TSB yang sudah
diberi isolat diinkubasi dalam incubator shaker selama 24 jam dengan suhu 35±2oC.
Selanjutnya adalah tahap pengkayaan bakteri dengan cara mengambil 1 ose biakan kemudian
dimasukkan kedalam medium TSB 10 ml dan diinkubasi dengan incubator shaker pada suhu
35±2oC selama 24 jam. Isolasi bakteri B dilakukan dengan mengambil 1 ose isolat bakteri
kemudian dimasukkan kedalam medium LB dan diaduk secukupnya. Medium LB adalah
terdiri atas bahan-bahan tryptone, NaCl, yeast extract dan akuades yang dicampur
menggunakan stirrer tanpa panas agar homogen yang selanjutnya disterilisasi dengan autoklaf
selama 15 menit pada suhu 121oC. Selanjutnya LB yang sudah diberi isolat diinkubasi dalam
incubator shaker selama 24 jam dengan suhu 35±2oC. Selanjutnya adalah tahap pengkayaan
bakteri dengan cara mengambil 1 ose biakan kemudian dimasukkan kedalam medium LB 10
ml dan diinkubasi dengan incubator shaker pada suhu 35±2oC selama 24 jam.
Limbah cair yang digunakan dalam praktikum acara Analisis dan Prediksi Beban
Pencemaran Limbah Cair Industri Perikanan didapap dari Mina Tayu. Industri ini mengolah
rolade ikan dan limbah cair didapat dari air bekas cucian ikan. Limbah yang didapat
kemudian diberi perlakuan bioremedias. Bioremediasi ini dilakukan dengan pertama-tama
menyaring limbah cair agar terpisah dari padatan. Limbah ini kemudian diukur DO, BOD,
BOD5, TSS, dan pHnya untuk dibandingkan dengan hasil perlakuan sebagai perlakuan awal.
Selanjutnya limbah dibagi menjadi ke dalam enam toples kaca. Satu toples digunakan sebagai
control dan tidak diberi perlakuan, sedangkan kelima toples lainnya diberikan perlakuan
sebagai berikut :
1. Perlakuan fitoremediasi dan aerasi
2. Perlakuan fitoremediasi, aerasi dan penambahan kultur bakteri A
3. Perlakuan fitoremediasi, aerasi dan penambahan kultur bakteri B
4. Perlakuan aerasi dan penambahan kultur bakteri A
5. Perlakuan aerasi dan penambahan kultur bakteri B
Fitoremediasi dilakukan menggunakan tanaman air. Setelah itu air limbah di inkubasi selama
7 hari untuk melihat kerja dari masing-masing perlakuan. Selanjutnya diamati parameter DO,
BOD, BOD5, TSS, pH, kekeruhan, bau, dan protein terlarutnya. Hasil yang didapat kemudia
dibandingkan dengan baku mutu dan dihitung beban pencemarannya.
Fitoremediasi merupakan salah satu teknologi yang muncul berdasarkan gabungan
kegiatan tanaman dan asosiasinya dengan komunitas mikroorganisme untuk menurunkan,
memindahkan, menginaktifkan atau mengurangi bahan beracun di dalam perairan. Sejalan
dengan itu, menurut Chappel (1997), fitoremediasi adalah menggunakan tanaman hidup
secara langsung untuk mendegradasi dan meremediasi tanah, lumpur, sedimen dan perairan
yang tercemar secara in situ. Fitoremediasi dapat digunakan untuk membersihkan logam,
pestisida, pelarut minyak mentah, PAH, dan limbah cair yang dihasilkan oleh sebuah tempat
penampungan sampah. Berdasarkan etimologinya, fitoremediasi berasal dari bahasa
yunani/greek, phyton yang berarti tumbuhan/tanaman dan remediation berasal dari kata latin
remediare yang berarti memperbaiki, menyembuhkan atau membersihkan sesuatu. Fungsi
aerasi ini adalah menyuplai O2 untuk pengolahan secara biologi oleh bakteri aerobic untuk
penurunan kadar COD dalam limbah.
Hasil praktikum bioremediasi limbah menunjukkan nilai tiap parameter yang diuji.
DO (Dissolved Oxygen) atau Oksigen Terlarut adalah jumlah oksigen yang tersedia dalam
suatu badan air. Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki
kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut
telah tercemar. (Weiss, 1970). Pada perlakuan fitoremediasi dan aerasi, kadar DO yang
didapat adalah 8 ppm. Hal tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan control yang tidak
diberi perlakuan apapun dengan kadar DO sebesar 2 ppm. Peningkatan kadar oksigen terlarut
disebabkan karena penggunaan tumbuhan air sebagai agen bioremediasi karena tumbuhan
menghasilkan oksigen sebagai produk dari fotosintesis yang dilakukannya. Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa perlakuan fitoremediasi ini dapat mereduksi beban pencemaran.
pH, salah satu dari analisis yang paling umum dilakukan pada pengujian kualitas
tanah maupun perairan, adalah suatu standar perhitungan yang digunakan untuk mengetahui
seberapa asam maupun basa suatu senyawa. Diukur dengan skala dari 0-14, pH 7 adalah
netral, pH kurang dari 7 bersifat asam dan lebih dari 7 bersifat basa.(Addy et. al., 2004).
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan pH sebesar 7 pada perlakuan pertama (fitoremediasi
+ aerasi). Bila dibandingkan dengan control maka terjadi penurunan pH dari basa (pH 8)
menjadi netral (pH 7). pH dapat dipengaruhi oleh kandungan CO2 yang ada dalam perairan,
semakin tinggi CO2 yang ada dalam perairan, maka pH akan semakin bersifat asam. (Addy
et. al., 2004). Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar CO2 dalam limbah cukup tinggi
sehingga dapat menurunkan pH, dapat disebabkan karena proses respirasi yang terjadi pada
tumbuhan yang menghasilkan CO2. Dibandingkan pada baku mutu pH limbah, maka pH
pada limbah yang diberi perlakuan fitoremediasi dan aerasi sudah memenuhi standar karena
berada dalam kisaran pH 6-9 yaitu pH 7. Maka, perlakuan fitoremediasi dan aerasi dapat
mereduksi beban pencemaran limbah perikanan dengan cukup baik.
Biological Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis adalah
jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobic pada suatu badan air
untuk memecah material organic yang ada pada sampel. (Sawyer et. al., 2003). Oleh karena
itu semakin tinggi nilai BOD maka kualitas perairan semakin buruk karena semakin banyak
mikrobia yang menggunakan oksigen terlarut yang ada dalam perairan sehingga kandungan
oksigen terlarutnya sedikit. BOD yang diukur pada praktikum ini ada dua macam yaitu
BOD0 dan BOD5, BOD0 adalah BOD yang diukur pada hari pertama pengujian dilakukan
dan BOD5 adalah jumlah oksigen terlarut yang terdapat pada sampel air setelah diinkubasi
selama 5 hari. Karena pada saat pengujian BOD digunakan sampel yang sama maka angka
BOD0 kontrol dan semua perlakuan sama. Pada BOD5, control mempunyai kadar 7 ppm
sedangkan perlakuan pertama (fitoremediasi + aerasi) mempunyai kadar BOD5 sebesar 2,6
ppm. BOD5 pada control meningkat dibanding BOD0-nya (3,8 ppm menjadi 7 ppm)
menunjukkan bahwa perairan semakin memburuk tanpa adanya perlakuan, sehingga banyak
mikroorganisme yang berkembang biak dan menggunakan oksigen lalu mengurangi jumlah
DO yang terdapat dalam perairan. Sedangkan pada perlakuan fitoremediasi, BOD5 berkurang
dibandingkan BOD0 yaitu 3,8 ppm menjadi 2,6 ppm. Bila dibandingkan dengan baku mutu,
maka kadar BOD5 pada perlakuan fitoremediasi dan aerasi ini masih cukup tinggi karena
seharusnya menurut baku mutu, kadar BOD5 pada limbah adalah 1 ppm. Hal tersebut berarti
bahwa perlakuan fitoremediasi dan aerasi masih belum terlalu baik dan tidak dapat mereduksi
beban pencemaran limbah sesuai standar.
TSS (Total Suspended Solid) adalah semua partikel yang tersuspensi di air yang
tidak dapat melewati sebuah filter. Padatan tersuspensi dapat ditemukan pada air buangan dan
berbagai tipe limbah cair industry. Saat TSS meningkat, suatu badan perairan mulai
kehilangan kemampuannya untuk menyokong diversitas kehidupan akuatik. Padatan
tersuspensi menyerap panas dari matahari yang dapat meningkatkan temperature air dan
kemudian menurunkan kadar oksigen terlarut. (Edward and Glysson, 1999). Pada perlakuan
fitoremediasi dan aerasi, TSS yang didapatkan adalah 0,1 mg/l. TSS pada perlakuan pertama
tersebut mempunyai jumlah lebih sedikit bila dibandingkan dengan control yang mempunyai
TSS 0,2 mg/l. Bila dibandingkan dengan baku mutu, maka perlakuan fitoremediasi dan aerasi
tersebut telah sesuai baku mutu karena baku mutu TSS limbah cair perikanan adalah 1 mg/l.
Protein terlarut dalam perairan dapat terdekomposisi lanjut. Protein kaya akan asam amino
bersulfur (sistein) yang dapat menghasilkan asam sulfide, gugus thiol dan amoniak. Hal
tersebut dapat menimbulkan bau busuk pada perairan. (Oktavia et. al., 2012).
Mikroorganisme yang digunakan dalam bioproses limbah udang harus memiliki sifat
proteolitik dan dapat menciptakan suasana asam agar protein dapat mengalami deproteinase.
(Austin, 1988). Bila dibandingkan dengan control, jumlah protein terlarut dalam limbah yang
diberi perlakuan fitoremediasi dan aerasi mengalami penurunan dari 1097 ppm menjadi 147
ppm. Hal tersebut menunjukkan bahwa mikroorganisme yang ada dalam limbah tersebut
mampu melakukan deproteinasi pada protein terlarut yang ada dalam limbah. Bila
dibandingkan dengan perlakuan lain, maka perlakuan dengan fitoremediasi saja tidak sebaik
dengan perlakuan menggunakan bakteri. Pada perlakuan dengan pemberian kultur bakteri
Arachnia propionica dan Bacillus licheniformis, protein terlarutnya adalah 77 ppm dan 82
ppm. Hal tersebut dapat disebabkan karena kultur bakteri tersebut merupakan bakteri
proteolitik sehingga dapat melakukan proses deproteinase dengan baik dan mereduksi beban
pencemaran limbahh cair perikanan.
Kekeruhan pada limbah cair industri perikanan yang diberi perlakuan fitoremediasi
dan aerasi mengalami penurunan. Pada control, kekeruhannya adalah ++++ (sangat keruh),
sedangkan setelah diberi perlakuan fitoremediasi dan aerasi kekeruhannya berkurang menjadi
++ (agak bening), hal ini dapat disebabkan karena menurunnya TSS pada perairan sebab TSS
yang terdapat pada perairan dapat menyebabkan perairan menjadi keruh.
Berdasarkan hasil perhitungan pada perlakuan fitoremediasi dan aerasi, beban
pencemaran TSS yang didapatkan adalah 210 kg. Hal tersebut menandakan bahwa beban
pencemaran limbah cair industry perikanan Mina Tayu yang telah diberi perlakuan
(fitoremediasi dan aerasi) masih memenuhi baku mutu beban pencemaran TSS yang
ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 yaitu sebesar 210.000 kg atau
210 ton. Sedangkan beban pencemaran BOD limbah cair industry perikanan Mina tayu yang
telah diberi perlakuan (fitoremediasi dan aerasi) adalah 2.520 kg atau 2,52 ton. Beban
pencemaran tersebut masih memenuhi baku mutu beban pencemaran BOD yang ditetapkan
oleh Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 yaitu sebesar 157.500 kg atau 157,5 ton.
Bila dibandingkan antar perlakuan berdasarkan parameternya maka perlakuan terbaik adalah
perlakuan III yaitu perlakuan dengan penambahan fitoremediasi, aerasi, dan bakteri Bacillus
licheniformis. Hal tersebut dapat dilihat dari parameter bau yang ditimbulkan, kandungan DO
dan protein terlarutnya. Bau yang ditimbulkan oleh perlakuan III adalah netral yang artinya
limbah tersebut tidak menghasilkan bau menyengat dan merupakan hasil terbaik dalam
menghilangkan bau limbah dibandingkan perlakuan lainnya. Pada kandungan DO,
kandungan DO perlakuan III adalah yang tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya (12 mg/l).
Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah oksigen terlarut meningkat dengan sangat baik pada
perlakuan III dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Dilihat dari kemampuannya
mendeproteinase protein terlarut dalam limbah, maka perlakuan III tidak jauh berbeda dengan
perlakuan II. Namun hasil yang didapatkan sangat baik karena dapat menurunkan protein
terlarut yang dapat terdegradasi lanjut menjadi amoniak. Hal tersebut sesuai dengan teori
karena perlakuan III menggunakan kultur bakteri proteolitik yaitu Bacillus licheniformis.
Deproteinasi adalah proses pelepasan protein dari ikatan kitin limbah udang. Protein yang
terdapat pada limbah udang dapat berikatan secara fisik dan kovalen. Protein yang terikat
secara kovalen dapat didegradasi dengan perlakuan kimia yaitu pelarutan dalam larutan basa
kuat atau dengan perlakuan biologis (Austin, 1988). Deproteinasi secara biologis dilakukan
dengan menggunakan enzim protease, yaitu enzim yang mampu menghidrolisis ikatan
peptida dalam protein. Enzim protease ini dapat diperoleh dari metabolit sekunder mikroba
hasil kultivasi bakteri Bacillus licheniformis (Bisping, 2005).
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pengukuran parameter fisika limbah cair industry perikanan dilakukan dengan
mengukur TSS, kekeruhan dan bau. Pengukuran parameter kimia dilakukan dengan
mengukur pH, DO, BOD0 dan BOD5
2. Kuantitas tiap parameter berbeda sesuai dengan perlakuan :
a. TSS berkisar antara 0 mg/l (perlakuan V) hingga 0,2 mg/l (perlakuan II, III dan
IV)
b. pH berkisar antara 7 (perlakuan I dan II) hingga 8 (perlakuan III, IV, V)
c. DO berkisar antara 3 (perlakuan IV) hingga 12 (perlakuan III)
d. BOD5 berkisar antara 0,6 mg/l (perlakuan IV) hingga 2,8 (perlakuan II dan III)
B. Saran
Sebaiknya seluruh kegiatan praktikum dapat dilakukan oleh semua praktikan agar setiap
praktikan dapat memahami tiap perlakuan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Addy, K., Linda Green, and Elizabeth Herron. 2004. pH and Alkalinity. University of Rhode Island. Kingston.
Alaerts, G. dan Santika S. S. 1987. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya.
Austin, P., C.J., Brine, J.E. Castle, and J.P. Zikakis. 1981. Chitin : New ofResearch. Science. 212 : 749
Azwar, Azrul. 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.
Bisping, B., G. Daun. and G. Haegan. 2005. Aerobik Deproteinization and Decalcification of Shrimp Wastes for Chitin Extraction. Discussion Forum “Prospect of Chitin Production and Aplication In Indonesia”. BPPT. Jakarta.
Chappel, S. 1997. Searching for Genetic Clues to The Causes of Pre-Eclampsia. Clinical Science 110 : 443-458.
Edwards, T.K., and Glysson, G.D., 1999, Field Methods for Measurement of Fluvial Sediment: U.S. Geological Survey Techniques of Water-Resources Investigations, Book 3, Chapter C2, 89 p.
Ginting, P. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Cetakan 1. Yrama Widya. Bandung.
Laksmi,B. S. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius. Jakarta.
Mara, D. 1976. Domestic Wastewater Treatment in Developing Countries. John Wiley & Son, Inc. New York.
Mason, C. F. 1981. Biology of Freshwater Pollution. Longman. New York.
Oktavia, D. A., Djumali M., Singgih W., Titi C.S., dan Mulyorini R. 2012. Pengelolaan Limbah Cair Perikanan Menggunakan Konsorsium Mikroba Indigenous Proteolitik dan Lipolitik. Agrointek Vol. 6 No. 2 : 65-71
Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta
Sawyer, C.N., Perry L. McCarty, Gene F. P. 2003. Chemistry for Environmental Engineering and Science. McGraw-Hill. New York.
Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. PT Grasindo. Jakarta.
Weiss, R. 1970. The Solubility of Nitrogen, Oxygen, and Argon in Water and Seawater. Deep-Sea Res. 17 : 721-735