laporan kasus manajemen anestesi pada pasien …

51
LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN MITRAL STENOSIS BERAT YANG MENJALANI OPERASI ISTHMOLOBECTOMY dr. Cynthia Dewi Sinardja,SpAn.MARS DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RS SANGLAH 2018

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN MITRAL STENOSIS BERAT

YANG MENJALANI OPERASI ISTHMOLOBECTOMY

dr. Cynthia Dewi Sinardja,SpAn.MARS

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RS SANGLAH

2018

Page 2: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

1

BAB I

PENDAHULUAN

Peningkatan jumlah penderita penyakit katup jantung mencapai 2,5 % dari populasi

umum dan meningkat seiring bertambahnya usia. Angka kejadian peningkatan jumlah

ini mengakibatkan banyaknya tindakan operasi non jantung pada pasien dengan

riwayat penyakit katup jantung. Di negara Amerika Serikat (AS) angka kejadian mitral

stenosis (MS) menurun tetapi masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang

dimana prevalensi penyakit rematik masih tinggi. Seperti contoh di India, angka

kejadian demam rematik sebesar 6 : 1000, dengan hampir sepertiganya menunjukkan

gejala dan tanda penyakit jantung rematik dan MS. Di negara maju prevalensi MS yang

terdeteksi melalui ekokardiografi dengan semua penyebab sebesar 0,02- 0,2% (Frogel,

J., 2010).

Implikasi MS terhadap anestesi meliputi : pertama pengisian ventrikel kiri pada

pasien ini sangat tergantung dari kontraksi atrium. Perubahan menjadi irama sinus

harus dilakukan baik dengan obat maupun kardioversi. Takikardi dan bradikardi dapat

menyebabkan penurunan pengisian ventrikel kiri. Tetapi disisi lain pasien dengan MS

sudah terjadi peningkatan tekanan atrium kiri sehingga pemberian cairan yang agresif

dapat menyebabkan kongesti jantung dan edema pulmonum (Ycarson, 2010 dan

Sukernik, 2008). Selanjutnya adalah frekuensi jantung. Aliran darah yang melewati

katup mitral terjadi selama periode diastol ventrikel. Takikardi akan memperpendek

periode diastol, sehingga dengan meningkatkan frekuensi jantung, aliran darah yang

Page 3: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

2

melewati katup mitral stenosis harus ditingkatkan untuk memelihara cardiac output.

Untuk meningkatkan aliran tersebut, tekanan atrium kiri juga harus ditingkatkan.

Tekanan yang tinggi di atrium kiri akan meningkatkan edema pulmonum. Pada saat

yang sama, bradikardi akan berbahaya karena stroke volume relatif menetap. Apabila

atrioventricular pacing dimulai pada pasien ini, interval PR yang panjang (0,15-0,20

msec) akan mengoptimalkan volume aliran darah yang cukup yang melewati katup

mitral stenosis setelah atrium kontraksi. Penurunan interval PR dapat menurunkan

aliran diastolik sehingga mengakibatkan penurunan cardiac output (Sukernik, 2008).

Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah kontraktilitas. Aliran darah

yang adekuat akan tergantung dari kontraktilitas ventrikel kanan dan ventrikel kiri.

Pengisian yang rendah dan kronis pada ventrikel kiri, akan menyebabkan

deconditioning berupa kontraktilitas ventrikel yang terdepresi walaupun sudah ada

perbaikan pengisian. Pada MS stadium terminal, depresi kontraktilitas ventrikel kiri

dapat mengakibatkan gagal jantung kongesti berat. Depresi kontraktilitas ventrikel

kanan membatasi pengisian atrium kiri, dan cardiac output. Banyak pasien

memerlukan agen inotropik sebelum dan setelah cardiopulmonary bypass (Sukernik,

2008).

Pemeliharaan tekanan darah dengan cardiac output yang terbatas, pasien

dengan MS biasanya akan mengalami peningkatan SVR. Penurunan afterload tidak

akan memperbaiki aliran darah karena yang membatasi cardiac output adalah katup

mitral yang stenosis. Direkomendasikan bahwa afterload dijaga dalam batas normal

pada pasien ini (Sukernik, 2008). Pasien juga memiliki kecenderungan PVR yang

Page 4: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

3

meningkat dan mudah mengalami vasokonstriksi pulmonal bila hipoksia. Sehingga

perlu diperhatikan untuk menghindari peningkatan tekanan arteri pulmonal karena

tidak adekuatnya anestesi atau terjadi asidosis, hiperkapnia, hipoksemia, atau

hipotermia (Sukernik, 2008).

Penatalaksanaan pasien dengan kelainan katup jantung selama periode peri

operatif membutuhkan pemahaman perubahan hemodinamik yang menyertai disfungsi

dari katup jantung. Pemilihan tehnik anestesi pada keadaan ini mempertimbangkan

perubahan status hemodinamik yang minimal. Pada laporan kasus ini mencoba

membahas tentang anestesi pada penyakit mitral srenosis.

Page 5: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

4

BAB II

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Identitas : Ni Nyoman Mariati/ P / 55 thn /26 Mei 1963

Nomor Rekam Medik : 16036984

Status : BPJS-KIS

Ruang Rawat : Wijaya Kusuma 14

MRS : 4/9/2018 Pukul 15:21 WITA

Alamat : Tabanan

Anestesi : dr. Pontisomaya Parami, Sp. An, MARS

Bedah : dr. Ketut Widiana Sp. B (K) Onk,

Diagnosis : Solitary Nodule Thyroid Dextra

Tindakan : Isthmolobectomy Dextra

Lokasi : OK IBS

Residen : dr. Oja/ dr. Mira/ dr. Santi

Anamnesis

Keluhan utama : benjolan pada leher kanan

Riwayat Penyakit Sekarang :

Sekitar + 4 tahun SMRS pasien merasakan adanya benjolan pada leher kanan.

Pasien memeriksakan diri ke dokter dan diberikan terapi tirosol 2 mg tiap 24jam.

Page 6: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

5

Setelah 1 tahun terapi pasien diperiksakan jantung dengna echocardiography dan

ditemukan adanya penyakit jantung rheumatik. Disarankan untuk mengkonsumsi

Warfarin 2mg tiap 24jam. Saat ini benjolan pasien tak terlihat dan tak teraba lagi. Tak

ada keluhan sesak napas, berdebar-debar, atau nyeri pada tenggorok selama 3 bulan

terakhir. BAB dan BAK masih dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Dahulu : Rheumatoid Heart Disease sejak + 3tahun SMRS,

kontrol rutin dan dalam terapi

Riwayat operasi : tidak ada

Riwayat alergi, asma, diabetes, hipertensi dan penyakit sistemik lainnya tak ada

Riwayat pengobatan :

- Warfarin 2 mg tiap 48jam PO (Terakhir 31/8/18, sudah berhenti 5hari)

- Tirosol 2 mg tiap 24jam PO (Terakhir + 3bulan SMRS)

- Spironolactone 25mg tiap 24jam PO

- Propanolol 20mg tiap 24jam PO

Riwayat Sosial :

Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang masih bisa menjalani kegiatan intensitas

ringan-sedang tanpa keluhan sesak nafas maupun nyeri dada.

Pemeriksaan Fisik

BB: 50kg; TB: 160cm; BMI: 20.31 kg/m2; tax: 37.1o C; NRS diam 0/10, NRS bergerak

0/10

• SSP : Compos Mentis, GCS E4V5M6

Page 7: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

6

• Respirasi : Rate 18x/menit; simetris; vesikuler, rhonki dan

wheezing tidak ada, Saturasi O2 99% room air, Sabrazes test 25 detik

• Kardiovaskular : Tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi 80 x/min; S1 S2

tunggal regular, murmur (+), gallop (+) katup Mitral-trikuspid

• Gastrointestinal : distensi tidak ada, bising usus normal, nyeri tekan tak

ada

• Urogenital : Buang air kecil spontan, UO + 1.5 cc/kg/jam (Urin tampung

24jam sebanyak 1,5 botol aqua besar)

• Muskuloskeletal : Akral hangat, Capillary refill time <2detik, Fleksi

defleksi leher normal, Mallampati I, gigi utuh, gigi palsu tak ada

LARYNGOSCOPY EVALUATION

• L : Tak tampak massa pada leher

• E : Incicivus gap 3 jari, TMD 4 jari, THD 3 jari

• M : Mallampati 1

• O : Rongga mulut bebas obstruksi

• N : Mobilisasi leher bebas tanpa hambatan.

MASK VENTILATION EVALUATION

• M : Mask seal → adequate

• O : BMI 20.31

Page 8: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

7

• A : Usia 51 th (>50th)

• N : Gigi utuh

• S : Riwayat henti napas saat tidur (-), Riwayat mendengkur (-)

Pemeriksaan Penunjang

• Darah lengkap (30/8/18) : WBC 5.6 x 103/µL (4.1-11.0); HGB 12.83 g/dL

(14.5-17.5); HCT 42.35 % (41-53); PLT 199.9 x 103/µL (150-440)

• Kimia Klinik (30/8/18) : SGOT 32.1 U/L (11-33); SGPT 27.5 U/L (11-

50); Alb 4.4 g/dL (3.4-4.8); BUN 12.4 mg/dL (8-23); SC 0.86 mg/dL (0.5-0,9);

GDS 126 mg/dL (70-140); Na 136 mmol/L (136-145); K 3.98 mmol/L (3,5-

5,1); Cl 101 mmol/L (96-108);

• Fungsi thyroid (25/5/18) : FT4 1.2 ng/dL (0.7-1.48); TSH 2.176 nIU/mL

(0.35-4.94)

• Faal Hemostasis (5/9/18) : PPT 15.8 detik (10,8-14,4); APTT 30.7 detik

(24-36); INR 1.32 (0.9-1.1)

• Thorax PA (21/8/18) : Cardiomegaly; Suspek efusi pleura kanan

Page 9: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

8

• USG Thyroid (21/8/18) : Multipel nodul solid sebagian dengan

komponen kalsifikasi ditepinya (ukuran terbesar 1,23 x 1,13 x 1,58 cm);

Pembesaran KGB subsentimeter multipel pada regio colli kanan kiri,

mengesankan suatu atypical lymphadenopathy

• EKG (5/9/18) : AF Normo Ventricular Response, HR 75x/menit, ST-T

change tak ada, Deviasi Axis ke kanan

Page 10: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

9

• Echo (5/9/18) : Dimensi ruang jantung LA Dilatasi; LVH concentric

remodeling; LV fungsi sistolik normal (EF biplane 58.8%); LV fungsi

diastolik undeterminate; Kontraktilitas RV menurun (TAPSE 1.56cm); LV

Wall motion global normokinetik; Katup-katup jantung: Aorta; 3cusp, tampak

kalsifikasi pada NCC dengan fusi pada katup NCC dan LCC, dengan

pergerakan minimal NCC sehingga menyebabkan AR Mild dan AS Mild.

Mitral; Tampak kalsifikasi dan penebalan katup AML dan PML dengan

pergerakan doming pada AML dan tenting pada PML sehingga menyebabkan

MS severe. Trikuspid; TR mild. Pulmonal; PR Mild. IVC eRAP 8mmHg;

Perikardium normal; Aorta normal; Tampak trombus pada LA dan LAA;

Tampak SEC di LA.

Kesimpulan: MS Severe ec RHD (dengan kalsifikasi severe); AR Mild-AS

Mild ec RHD; PR Mild, Tampak trombus di LA dan LAA, SEC (+) di LA

Permasalahan dan kesimpulan

• Permasalahan Aktual:

- KV : EKG; AF Normo Ventricular Response, HR 70x/menit,

ST-T change tak ada, Deviasi Axis ke kanan. Echo; LA Dilatasi; MS

Severe ec RHD (dengan kalsifikasi severe); AR Mild-AS Mild ec RHD;

PR Mild, Tampak trombus di LA dan LAA, SEC (+) di LA – EF 58.8%,

TAPSE 1.56cm, eRAP 8mmHg, Global normokinetik. METs 2-3

Page 11: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

10

- Respirasi : Suspek efusi pleura kanan, Sabrazes test 25detik

- Endokrin : Nodular Thyroid Dextra saat ini dengan Euthyroid FT4 1.2

ng/dL; TSH 2.176 nIU/mL)

- Pemanjangan Faal Hemostasis (INR 1.32)

• Permasalahan potensial:

- AF → Emboli trombus → Stroke

- VT/VF, Cardiac arrest

- Parese N. Laryngeus Reccurens

- Edema laryng

• Permasalahan Pembedahan :

- Lokasi : Leher

- Posisi : Supine

- Durasi : 2-3 jam

Kesimpulan: Status Fisik ASA III

Persiapan Operasi: informed consent tindakan anestesi, puasa, STATICS, obat

anestesi dan emergency, iv line bore besar, komponen darah, arterial line, ETCO2 ,

Temperature monitor, Cold Pack, pasang NGT, Digoxin, defibrilator, Enoxaparin (post

operatif), amprah RTI

Gambar klinis pasien

Page 12: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

11

Page 13: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

12

Teknik Anestesi: BPSS + GA-OTT (Non Kinking)

• Premedikasi : Midazolam 1mg IV, Dexamethasone 10 mg IV,

Diphenhidramine 10mg IV, Vitamin K 10mg IM

• Analgetik : Fentanyl 150mcg IV

• Induksi : Propofol di titrasi sampai pasien hypnosis

• Fasilitasi Intubasi : Rocuronium 40 mg IV

• Maintenance : O2: Compressed Air: Sevoflurane; fentanyl

intermittent 0.5 mcg / kg BB IV tiap 45-60 menit; Rocuronium intermitten 0.15

mg / kgBB IV tiap 30-45 menit;

• Medikasi lain : Ondansetron 4mg IV

• BPSS : Bupivacaine 0,25% 10 ml tiap sisi

Durasi Operasi

Lama Operasi : 1 jam 35 menit

Lama Anestesi : 2 jam

Fluktuasi Hemodinamik

HR : 70-90 kali per menit

BP : 120-140/75-95 mmHg

RR : 16 kali per menit

SpO2 : 91-94%

Cairan Masuk

Kristaloid : 1000 ml

Page 14: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

13

Perdarahan : 20 ml

Urin : spontan

Hasil Operasi : Solitary Nodule Thyroid Dextra

Pasca Operasi

Pasca Operasi:

Analgetik : Fentanyl 300mcg + Ketamine 20mg dalam 50c NS kecepatan 2.1

cc/jam, Parasetamol 1g tiap 8 jam intravena

Perawatan : Ruang Rawat Intensif

Hari Pertama (7 September 2018)

Klinis Penunjang Rencana

SSP : belum dapat dievaluasi

karena masih dalam pengaruh

obat

Resp. : on ventilator, SaO2 99%,

vesikular kedua paru, ronchi

- -

- -

+ +

dan wheezing tidak ada.

KV. : HR 95 x/menit, BP 83/57

mmHg, S1S2 tunggal, reguler,

Darah lengkap (7/9/2018,

pk16:12:

WBC 12,81x103/µL

(4,10-11,0); Neutrofil

87,83% (47-80); HGb

12,72/dL (13,5-17,50);

HCT 42,33% (41,0-53,0);

PLT 144,50 x103µL (150-

440)

SGOT 31,1 U/L (11-27)

F : RL 1500 ml tiap 24

jam, puasa

A : Fentanyl 300 mcg

dalam 200 cc NS dengan

kecepatan 2,1 cc/jam

intravena

S : tidak ada

T : tidak ada

H : Head up 30-45%

U : tidak ada

Page 15: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

14

murmur (+), gallop (+) katup

Mitral-trikuspid

Abdomen : soepel, tidak ada

distensi

GU : BAK via DK, UOP 300

ml, BC – 56 ml

Muskuloskeletal : akral hangat,

CRT < 2 detik

SGPT 21,50 U/L (11-34)

Albumin 3,50

GDA 110 mg/dl (70-140)

Kreatinin 0,96 mg/dl

(0,50-0,90)

Kalsium 8.0 mg/dl (8,40 –

9,70)

AGD : Ph 7,42 (7,35-

7,45), pO2 130,70 mmHg

(80-100), pCO2 37,1

mmHg (35-45), HCO3

23,70 mmol/L (22-26),

BEecf -0,80 mmol/L (-2-

2), TCO2 24,80 mmol/L

(24,0-30,0), SO2c 98,7%

(95-100), Natrium 142

mmol/L (136-145),

Kalium 3,23 mmol/L

(3,50-5,10), Klorida 83

mmol/ L (96-108)

G : tidak ada

Terapi lain :

Ceftriaxone 2 gram tiap

24 jam IV

Furosemid 20 mg tiap 24

jam

Digoxin jika AF > 120

mmHg

Propanolol 20 mg tiap 24

jam

Spinorolakton 25 mg tiap

24 jam

Enoxaparin 0,5 cc tiap 12

jam SC

Page 16: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

15

Follow up TS Cardio

S: Pasien dalam pengaruh obat

0: BP 83/57, HR 95 x/menit, RR

on ventilator, SpO2 97-99%

Mata: tidak anemis

Cor: S1S2 tunggal, reguler,

murmur (+), gallop (+) katup

Mitral-trikuspid

Pulmo: vesikular kedua paru,

ronchi

- -

- -

+ +

dan wheezing tidak ada.

Abdomen : soepel, tidak ada

distensi

EKG: AF NVR HR 86

x/menit

Echocardiography

7/9/2018 jam 13.09

WITA

IVSd 0,77 cm

IVSs 0,77 cm

LVIDd 2,94 cm

LVIDs 1,98 cm

LVPWd 0,96 cm

LVPWs 1,35 cm

EDV (Teich) 33,37 ml

ESV (Teich) 12,37 ml

EF (Teich) 62,94 %

SV (Teich) 21,01 ml

% FS 32,79 %

Thorax 7/9/2018 jam

19.26

Athrosklerosis Aorta

Dobutamin mulai 5

mcg/KgBB/ jam titrasi

sesuai hemidinamik

Furosemid bolus 60 mg

intravena (bila MAP > 65

atau BP > 90/60 mmHg)

Pantau produksi urin

dalam 1 jam bila > 1

cc/kgBB/jam lanjut drip

furosemide 5 mg/jam

Bila cukup lanjut

furosemide 20 mg tiap 8

jam

Digoxin 0,5 mg intravena

bolus bila HR >120

x/menit

Spinorolacton 2 mg

perenteral tiap 24 jam

Page 17: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

16

Pleuropneumonia

bilateral

Terpasang ETT dengan

tip terproyeksi setinggi

CVTh3

Propanolol 2 miligram

parenteral tiap 24 jam

Foto Thorax AP

Page 18: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

17

Foto Echocardiography

Page 19: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

18

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Manajemen Anestesi pada Penyakit Katup Jantung

Jenis-jenis penyakit kelainan katup jantung dibagi menjadi tipe regurgitasi dan

stenosis. Tipe regurgitasi memiliki keluhan dispnu, edema pulmonal, murmur, dan

pada echocardiogram didapatkan pada Doppler gambaran regurgitasi. Sedangkan pada

yang stenosis didapatkan keluhan dispnu. edema pulmonal, murmur, sinkope,

hipotensi, penurunan pulsasi karotis, atrial fibrilasi, hipertropi ventrikel kiri dan pada

echocardiogram tampak pengurangan area katup. Perbaikan prognosis pasien dengan

penyakit katup jantung tampak lebih efektif pada pemantauan non infasif fungsi

ventrikel, pemakaian katup jantung prosthesis, merupakan teknik rekonstruksi katup

jantung yang lebih maju, dan memilih waktu yang tepat pada intervensi pembedahan

menjadi dasar petunjuk dalam pengembangan tehnik ini (Morgan GE, 2018, Bready

LL, 2012, dan Bongard FS, 2014).

3.1.1 Prolaps Katup Mitral

Mitral Valve Prolapsed (MVP) adalah suatu kondisi dimana

menggelembungnya berlebihan lapisan katup mitral (umumnya, lapisan posterior)

kedalam atrium kiri selama systole. Insidensi dari sindroma MVP yang telah

dilaporkan sekitar 10 % (kemungkinan overestimasi; insidensi tepat sedikitnya 3 %).

Suatu proliferasi miksomatus dari lapisan, annulus, dan chordae, yang menyebabkan

Page 20: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

19

prolaps dan pada kasus yang berat dapat menyebabkan rupture chordae dan mitral

regurgitation (MR) berat (Bready LL, 2012).

1. Evaluasi Klinis

Kebanyakan keluhan dari pasien dengan MVP adalah palpitasi dan dada rasa

tidak nyaman. Nyeri dada seperti angina dengan rasa ditusuk dan diiris. Pada

MR yang jelas, dapat pula terjadi gagal jantung. Terdapat klik midsistolik, yang

diikuti dengan murmur sistolik middle-to-late: semakin berat regurgitasi,

semakin panjang pula murmur. Klik timbul pada awal dan murmur bertambah

panjang pada manuver valsava (Bready LL, 2012).

2. Premedikasi

Pasien dengan MVP seringkali tampak cemas, dan takikardia, Sangatlah

penting persiapan yang tepat secara fisiologis dan farmakologis. Pasien dengan

MR membutuhkan antibiotik profilaksis sebelum operasi. Pasien tanpa

regurgitasi dapat dengan atau tanpa antibiotic (Bready LL, 2012).

3. Monitor

Monitoring standar diperlukan terutama pada MR yang meragukan. Pasien

dengan pasti MR diamati serupa dengan pasien dengan kelainan katup (Bready

LL, 2012 dan Stoelting, 2015).

4. Manajemen Anestesi

Tehnik anestesi terpilih adalah yang paling kecil mengakibatkan takikardia atau

yang menggangu status hemodinamik. Untuk prosedur perifer, block syaraf

atau plexus atau saddle block yang terpilih. Spinal dan epidural dapat

Page 21: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

20

setidaknya secara tiba-tiba menurunkan preload dan afterload, yang dapat

memberatkan MVP. Menghindari obat-obatan yang melepaskan histamine, dan

pemilihan obat muscle relacsan haruslah dengan pertimbangan terhadap efek

kardiovaskular. Atropin, ketamin hendaknya dihindari, dan pada keadaan

dehidrasi serta penggantian cairan dan darah hendaknya secara agresif

dilakukan. Jika takikardia timbul pada keadaan euvolemia maka pengobatan

dengan beta-bloker sesuai untuk diberikan. Jika vasopressor dibutuhkan pada

keadaan hipovolemia relatif (pada spinal tinggi) maka phenylepinefrin yang

terpilih (Bready LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).

5. Pemulihan

Monitoring tekanan darah, denyut jantung dan status volume intravaskular

postoperatif secara terus-menerus hingga hemodinamik stabil (Bready LL,

2012).

Page 22: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

21

Skema 1. Manajemen anestesi pada Mitral Valve Prolapse (MVP) (Bready LL, 2012)

Page 23: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

22

3.1.2 Mitral Stenosis

Mitral Stenosis (MS) seringkali disebabkan penyakit jantung rheumatik dengan

gambaran klinis penyakit bermanifestasi setelah 3-5 tahun pasca infeksi. Pada kasus

ini, 25% merupakan murni MS, dan 40% merupakan kombinasi MS dan mitral

regurgitasi (MR). Stenosis terjadi karena fusi komissura, kalsifikasi, dan penebalan

lapisan dan chordae tendineae (Bready LL, 2012).

1. Evaluasi Klinis

Gejala yang timbul akibat aktivitas yang menimbulkan gangguan hemodinamik

merupakan suatu hal yang penting dalam menilai derajat beratnya MS. Gejala

utama pada MS yaitu dyspnea yang dikarenakan berkurangnya daya komplains

dari paru. Orthopnea, paroksimal nocturnal dyspnea dan dyspnea saat istirahat

seringkali berhubungan dengan tekanan atrium kiri, sekunder karena perbedaan

gradien tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri. Gradien ini dapat berubah

secara cepat sebagai akibat perubahan cardiac output dan waktu pengisian

diastolic (Bready LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).

2. Premedikasi

Pemberian obat profilaksis pada pasien dengan MS seperti penanganan gagal

jantung antara lain digitalis untuk memperlambat laju ventrikel pada atrial

fibrillasi, diuretika dan retriksi natrium. Pemberian antikoagulan 1-3 hari

sebelum operasi. Terdapat beberapa obat-obatan untuk mengobati hipertensi

Page 24: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

23

pulmonal yang berat antara lain inhaled prostasiklin dan nitrit oxide (Bready

LL, 2012 dan Bongard FS, 2014)

3. Monitor

Pembesaran Atrium kiri dan atrial fibrilasi merupakan gambaran utama pada

EKG. Deviasi aksis kanan dan hipertropi ventrikel kanan timbul akibat

hipertensi pulmonal. Gambaran rontgen dada menunjukkan pembesaran atrium

kiri dan ventrikel kanan. Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat sebagai

pemeriksaan non invasif. Doppler echo juga berguna dalam menilai derajat

beratnya MS dan memperkirakan gradien transvalvular. System skoring dengan

menggunakan ekokardiografi berguna dalam menilai hasil pemakaian

percutaneus ballon valvuloplasty. Cardiac catheterization juga dapat

menentukan gradien transvalvular, area katup mitral , fungsi ventrikel kiri dan

tekanan ventrikel kanan.

Takikardi memperberat hemodinamik dengan cara menurunkan waktu

diastolik. Curah jantung yang menurun berkaitan tidak hanya dikarenakan oleh

derajat beratnya stenosis tetapi juga sekunder oleh penyakit vaskuler pulmonal

dan reflex vasokontriksi pada sirkulasi sistemik. Kenaikan yang mendadak

pada volume darah dapat mecetuskan edema, gagal jantung kanan, atau atrial

fibrillasi (Morgan GE, 2018 dan Stoelting, 2015).

4. Manajemen Anestesi

Epidural anestesi merupakan tekhik anestesi regional yang terpilih. Hindari

hidrasi yang cepat, dan pertahankan level anestesi yang pelan. Efedrin dapat

Page 25: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

24

meningkatkan denyut jantung. Epinefrin menyebabkan peningkatan afterload

ventrikel yang dapat mencetuskan gagal jantung (Bready LL, 2012 dan

Bongard FS, 2014)

5. Pemulihan

Pasien dengan MS mempunyai resiko terjadinya edema paru dan gagal jantung

kanan. Nyeri, hiperkarbia, asidosis respiratorik, dan hipoksia arteri merupakan

penyebab meningkatnya denyut jantung atau pulmonary vascular resistence

(PVR). Pemberian antibiotik dan antikoagulan dilanjutkan (Bready LL, 2012).

Page 26: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

25

Skema 2. Manajemen anestesi pada Mitral Stenosis (Bready LL, 2012)

Page 27: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

26

3.1.3 MITRAL REGURGITASI

Prolapse Katup Mitral dan penyakit jantung rheumatik kronis akan

menyebabkan mitral regurgitasi (MR). Ruptur chordae tendineae dan prolaps katup

mitral dapat disebabkan trauma dan endokarditis. Derajat beratnya regurgitasi dan lesi

merupakan faktor yang menentukan perjalanan penyakit. MR berat akut yang

disebabkan oleh apapun, tanpa terapi bedah memiliki prognosis yang jelek. MR ringan

kronik memiliki prognosis yang lebih baik hingga beberapa tahun tanpa adanya tanda-

tanda disfungsi ventrikel kiri. Kelelahan dan dispnoe merupakan gejala yang timbul

sebagai konsekuensi dari disfungsi ventrikel kiri. MR akut dapat menimbulkan

manifestasi gagal jantung kongestif yang berat dan edema paru, dan kadang terdapat

kolaps kardiovaskuler dan hipotensi (Bready LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).

1. Evaluasi Klinis

Pada MR kronis terjadi overload volume ventrikel kiri. Hipertropi ventrikel kiri

menyebabkan LV end-diastolic pressure (LVEDP) terpelihara normal,

meskipun ada peningkatan LV end-diastolic volume (LVEDV). Pembesaran

atrium kiri dan distensible menyebabkan tekanan atrium kiri normal walaupun

pada keadaan volume regurgitasi yang besar. Stroke volume ventrikel kiri

meningkat. Pada MR akut, complains dari atrium kiri terbatas dan secara jelas

meningkatkan tekanan pada atrium kiri yang menyebabkan edema pulmonal

Page 28: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

27

serta mencetus kontraksi dan takikardia karena kompensasi simpatis (Bready

LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).

2. Premedikasi

Reduksi afterload bermanfaat dalam hal penatalaksanaan pasien dengan akut

dan kronik MR yang diharapkan akan mempertahankan stroke volume. Selain

itu dengan menurunkan volume ventrikel kiri dapat menurunkan ukuran

annulus mitral dengan demikian terhadap orifisium regurgitasi. Pasien ini

seringkali juga diobati dengan inotropik (digitalis) dan diuretik, karena akan

menurunkan fraksi regurgitan.

Beberapa tindakan pembedahan dapat lebih bijaksana dipertimbangkan

sebelum terjadinya kegagalan ventrikel kiri yang jelas, misalnya pada pasien

dengan disfungsi otot papillary mungkin memerlukan pemasangan pompa

balon intraortic pre operatif (Bready LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).

3. Monitor

Monitoring didasarkan pada derajat disfungsi ventrikel. Pemantauan tekanan

arteri pulmonal sangat bermanfaat pada pasien dengan gejala. Penurunan

afterload intraoperatif akibat vasodilator memerlukan pengawasan penuh

terhadap hemodinamik (Bongard FS, 2014).

Kateterisasi arteri pulmonal sangat berguna untuk menilai tekanan

pengisian ventrikel, curah jantung, dan efek pemberian vasodilator. Ukuran

regurgitan dan gelombang V tidak berkorelasi dengan derajat MR (Bongard FS,

2014 dan Stoelting, 2015).

Page 29: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

28

4. Manajemen Anestesi

Penanganan anestesi disesuaikan dengan derajat beratnya MR dan fungsi

ventrikel kanan. Faktor-faktor yang memicu regurgitasi harus dihindari, seperti

denyut jantung yang lambat (sistolik yang panjang) dan peningkatan afterload

secara mendadak. Bradikardi dapat meningkatkan volume regurgitasi akibat

peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri dan annulus mitral yang

melebar secara mendadak. Denyut jantung harus dipertahankan antara 80-

100x/menit. Peningkatan afterload ventrikel kiri secara mendadak, seperti

akibat intubasi endotrakeal dan stimulasi pembedahan, harus segera ditangani

tetapi tanpa depresi miokardium yang berat. Kelebihan cairan juga dapat

memperburuk regurgitasi akibat melebarnya ventrikel kiri (Bready LL, 2012

dan Bongard FS, 2014).

Anestesi spinal dan epidural dapat ditoleransi dengan baik, juga dapat

menghindari terjadinya bradikardi. Anestesi epidural dapat menurunkan

tahanan vaskular sistemik (SVR), sehingga membantu aliran darah dan

mencegah kongesti paru. Pasien dengan gangguan ventrikel yang berat sering

sangat sensitif dengan efek depresan dari obat volatile. Anestetik yang berbahan

dasar opioid lebih cocok digunakan, karena menghindari bradikardia.

Pemilihan pankuronium sebagai relaksan otot disertai anestetik yang berbahan

dasar opioid biasanya sangat bermanfaat (Bongard FS, 2014).

Page 30: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

29

5. Pemulihan

Mencegah nyeri, hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis dapat membantu

meningkatkan SVR (Bready LL, 2012).

Skema 3. Manajemen anestesi pada Mitral Regurgitasi (Bready LL, 2012)

Page 31: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

30

3.1.4 AORTA STENOSIS

Aorta stenosis (AS) bisa terjadi kongenital atau didapat. Penyebab kongenital

meliputi katup unikuspid atau bikuspid dan fusi sebelum lahir. Penyebab didapat

meliputi kalsifikasi senilis dan penyakit jantung rematik. Pada AS karena kalsifikasi

terjadi degenerasi dari daun katup, pembentukan kalsifikasi, diikuti obstruksi akibat

stenosis. Pada AS terjadi kelebihan tekanan ventrikel kiri. Hipertropi konsentrik

mempertahankan tekanan dinding yang normal, sehingga fraksi ejeksi dipertahankan.

Tekanan sistolik yang melampaui 50 mmHg dengan curah jantung yang normal atau

muara aorta efektif <0,75 cm2 pada rata-rata ukuran dewasa biasanya dianggap sebagai

kritis obstruksi aliran ventrikel kiri. Ventrikel kiri menghadapi peningkatan secara

bertahap untuk mengatasi ejeksi. Afterload terus meningkat sampai pada saat volume

sekuncup berkurang dan ventrikel kiri mulai membesar akibat timbunan volume

(Morgan, 2018 dan Bready LL, 2012).

1. Evaluasi klinis

Tanda kardinal dari AS adalah trias dispnoe, angina, dan sinkop. Pasien bisa

tetap asimptomatik untuk waktu yang lama, namun onset gejala menunjukkan

harapan hidup kurang dari 5 tahun. Ekokardiagrafi sangat penting untuk menilai

derajat beratnya AS. Pada pasien yang menunjukkan gejala diperlukan

kateterisasi jantung untuk menilai gradasi AS berdasarkan pengukuran aortic

valve area (AVA). Pasien bisa ditangani secara non operatif dengan ballon

valvuloplasi aorta perkutaneus. Sedangkan pada pasien senilis dengan fungsi

ventrikel yang buruk mungkin memerlukan pembedahan penggantian katup

Page 32: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

31

aorta untuk dapat memperbaiki gejala klinis (Bready LL, 2012 dan Bongard FS,

2014)

2. Premedikasi

Pasien AS memerlukan antibiotika profilaksis untuk mencegah endokarditis

infektif. Teknik anestesi yang dapat menyebabkan depresi miokardium atau

penurunan tekanan darah harus dihindari, biasanya yang disebabkan oleh agen

volatile. Pemilihan agen penghambat neuromuscular didasarkan pada denyut

jantung pada saat istirahat. Obat-obatan yang menurunkan afterload dapat

menurunkan tekanan diastolik aorta dan mengganggu aliran darah

subendocardial (Bready LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).

3. Monitor

Diperlukan pengawasan ketat pada EKG dan tekanan darah, yang bertujuan

mempertahankan irama sinus, denyut jantung, dan volume intravaskular yang

normal. Hipotensi harus dihindari dan preload harus dipertahankan adekuat.

Hipotensi harus segera diatas untuk mencegah penurunan tekanan perfusi

koroner. Kebutuhan oksigenasi meningkat. Fenilefrin dosis kecil (50-100 ug)

dapat menaikkan tekanan darah dan perfusi koroner. Takikardi sangat penting

diperhatikan karena menurunkan waktu perfusi subendokardial. Bradikardi akan

meningkatkan gradient katup, yang menyebabkan hipertensi sistemik dan

iskemik subendokardial. Pada EKG, iskemia akan menunjukkan depresi

segmen-ST dan kelainan gelombang-T. Takiartimia supraventrikular harus

ditangani segera karena dapat menyebabkan kekacauan hemodinamik.

Page 33: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

32

Hilangnya sistolik atrial dapat mengganggu pengisian ventrikel kiri dan kongesti

paru yang berat. Disritmia atrial memerlukan DC kardioversi (Bready LL, 2012

dan Stoelting, 2015).

4. Manajemen Anestesi

Pada pasien dengan AS ringan sampai sedang (biasanya asimptomatik)

umumnya anestesi spinal atau epidural lumbal dapat ditoleransi dengan baik.

Perhatian khusus diberikan pada terjadinya hipotensi akibat penurunan preload,

afterload, atau keduanya. Anestesi epidural lebih disukai karena onset hipotensi

lebih lambat dan memungkinkan penanganan yang lebih agresif (Bready LL,

2012 dan Bongard FS, 2014).

Pada pasien dengan AS yang berat, anestesi spinal dan epidural menjadi

kontraindikasi. Pemilihan obat anestesi umum sangat penting. Tekhik anestesi

yang berbahan dasar opioid biasanya menyebabkan depresi jantung minimal,

sehingga lebih sesuai dipakai agen induksi non-opioid seperti etomidat dan

kombinasi ketamin dan benzodiazepine. Jika digunakan agen volatile,

konsentrasinya harus diperhatikan untuk menghindari depresi miokardium,

vasodilatasi, dan hilangnya sistolik atrium yang normal. Esmolol, pilihan

penghambat beta adrenergik, lebih disukai karena waktu paruhnya pendek

(Bongard FS, 2014).

5. Pemulihan

Analgesia harus diberikan serta menghindari disritmia, hiperkarbia, dan

hipotermia merupakan hal yang diperhatikan post operatif (Bready LL, 2012).

Page 34: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

33

Skema 4. Manajemen anestesi pada Aorta Stenosis (Bready LL, 2012)

Page 35: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

34

3.1.5 AORTA INSUFISIENSI

1. Evaluasi klinis

Aorta insufisiensi (AI) dapat disebabkan oleh penyakit katup akibat demam

rematik, atau proses degeneratif pada akar aorta yang menyebabkan kelemahan

katup pada usia lanjut. AI biasanya berkembang secara lambat dan progresif

(kronis), tetapi juga bisa berkembang secara akut. Pada AI kronis, terjadi

kelebihan volume yang menyebabkan dilatasi ventrikel kiri, hipertrofi dinding

ventrikel, dan dapat berlanjut menjadi disfungsi ventrikel kiri akibat hipertrofi

yang tidak lagi adekuat untuk mengatasi tekanan pada dinding ventrikel. Pada

AI yang akut, terjadi overload diastolik ventrikel kiri yang berat, yang dapat

berlanjut menjadi kegagalan ventrikel kiri. Penurunan curah jantung

mengaktifkan refleks system saraf simpatik yang meningkatkan denyut jantung

dan SVR.

Gejala yang dapat ditemui antara lain takikardi dan dispnoe akibat

kongesti vena pulmonal, serta angina akibat berkurangnya tekanan perfusi

koroner. Sedangkan pada AI yang akut dengan onset kegagalan ventrikel kiri

yang cepat tanpa kompensasi, menimbulkan gejala kolaps kardiovaskular

(kelelahan, dispnoe, dan hipotensi) (Bready LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).

2. Premedikasi

Pasien AI akut sering memerlukan operasi emergensi sehingga beresiko tinggi

untuk terjadi aspirasi. Induksi dengan etomidat bermanfaat karena menurunkan

SVR dengan depresi miokardium minimal. Pankuronium merupakan pilihan

Page 36: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

35

yang baik sebagai relaksan otot karena dapat mencegah bradikardi (Bready LL,

2012 dan Bongard FS, 2014).

3. Monitor

Denyut jantung harus dipertahankan dalam batas atas normal (80-100 x/menit).

Bradikardi meningkatkan volume regurgitan. Distensi ventrikel dapat

menghasilkan bradikardi yang berat. Penderita lebih bisa mentoleransi

kenaikan denyut jantung yang moderat.

Agen inotropik positif dapat bermanfaat untuk mempertahankan tekanan

perfusi sistolik, khususnya pasien pre-operatif dengan disfungsi ventrikel kiri.

Sebagai vasopressor untuk mengatasi hipotensi lebih dipilih menggunakan

efedrin. Fenilefrin dosis kecil (25-50 ug) dapat digunakan jika terjadi hipotensi

akibat vasodilatasi yang berat. Penurunan afterload intraoperatif dengan

nitroprusside secara optimal membutuhkan monitoring ketat pada

hemodinamik (Bready LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).

4. Manajemen Anestesi

Penderita AI kronik dapat dengan aman diberikan anestesi umum atau regional.

Sebagian besar penderita mentoleransi dengan baik anestesi spinal dan

epidural. Anestesi umum sebaiknya menggunakan isoflurane dan desflurane

karena adanya vasodilatasi. Penderita AI berat mungkin tidak dapat

mentoleransi depresi miokardium, sehingga tekhik narkosis berbahan dasar

opioid lebih sesuai (Bongard FS, 2014).

Page 37: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

36

Skema 5. Manajemen anestesi pada Aorta Insufisiensi (Bready LL, 2012)

Page 38: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

37

2.1.6 TRIKUSPID REGURGITASI

1. Evaluasi klinis

Regurgitasi trikuspid umumnya merupakan kelainan fungsional yang

ditandai dilatasi dari ventrikel kanan yang disebabkan hipertensi pulmonal.

Regurgitasi trikuspid biasanya terjadi pada hipertensi pulmonal dan overload

volume dari ventrikel kanan yang sering disebabkan kegagalan ventrikel kiri

akibat penyakit katup aorta atau mitral. Angka kejadian yang signifikan

regurgitasi tricuspid yang merupakan komplikasi sekunder dari infeksi

endokarditis yang sering menyertai penderita penyalahgunaan obat secara

intravena. Regurgitasi trikuspid biasanya dikarenakan stenosis dari katup

tricuspid yang merupakan komplikasi dari demam rheumatic (Gurkowski,

2017).

2. Monitor

Volume cairan intravaskuler dan tekanan vena sentral dipertahankan dalam

batas maksimal normal untuk menjamin terpenuhinya stroke volume

ventrikel kanan dan pengisian dari ventrikel kiri. Tekanan intratorak yang

tinggi pada tekanan positif ventilasi paru atau venodilatasi oleh obat dapat

menurunkan tekanan balik vena dan lambat laun akan mempengaruhi stroke

volume ventrikel kiri. Hindari terjadinya peningkatan resistensi vaskuler

pulmonal seperti hypoxemia arterial dan hiperkarbia (Gurkowski, 2017).

Page 39: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

38

Pengawasan intraoperatif temasuk pengukuran tekanan pengisian atrium

kanan akan sangat membantu dalam memilih pengganti cairan intravena dan

menditeksi efek yang lebih lanjut dari obet anastesi atau tehnik pada jumlah

regurgitasi tricuspid (Stoelting, 2015 dan Gurkowski, 2017).

3. Manajemen anestesi

Manajeman anastesi dari pasien dengan regurgitasi tricuspid sama, baik

dengan satu kelainan itu saja maupun yang disertai dengan penyakit katup

aorta atau mitral.

Kombinasi obat-obat anestesi atau tehnik yang spesifik tidak dianjurkan

dalam menangani pasien dengan regurgitasi tricuspid. Namun anastesi

volatile yang dapat menyebabkan vasodilatasi pulmonal dapat

dipertimbangkan untuk digunakan, dan ketamin dapat digunakan karena

efeknya dalam mempertahankan aliran balik vena. Nitro-oksida adalah

vasokonstriktor yang lemahapabila dikombinasikan dengan opioid dan dapat

memperparah regurgitasi tricuspid dengan mekanisme ini. Penggunaan

nitro-oksida akan membantu mengontrol aliran darah balik vena sentral dan

kemungkinan dapat membantu meningkatkan tekanan atrium kanan

(Gurkowski, 2017).

3.2 Manajemen Anestesi pada Operasi Isthmolobectomy

3.2.1 Anatomi dan fisiologi dari kelenjar tiroid

Kata “thyroid” berarti organ berbentuk perisai segi empat. Kelenjar ini

merupakan kelenjar endokrin yang paling banyak vaskularisasinya, dibungkus

Page 40: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

39

oleh capsula yang berasal dari lamina pretracheal fascia profunda. Capsula ini

melekatkan thyroid ke larynx dan trachea (Richard, 2017).

Kelenjar thyroid terletak di leher depan setentang vertebra cervicalis 5

sampai thoracalis 1, terdiri dari lobus kiri dan kanan yang dihubungkan oleh

isthmus. Setiap lobus berbentuk seperti buah pear, dengan apex di atas sejauh

linea oblique lamina cartilage thyroidea, dengan basis di bawah pada cincin

trachea 5 atau 6 (Richard, 2017).

Gambar 1. Kelenjar thyroid (tampak depan)

Berat kelenjar thyroid bervariasi antara 20-30 gr, rata-rata 25 gr (Richard, 2017).

Dengan adanya ligamentum suspensorium Berry kelenjar thyroidea ditambatkan ke

cartilage cricoidea dari facies posteromedial kelenjar. Jumlah ligamentum ini 1 di kiri

dan kanan. Fungsinya sebagai ayunan/ gendongan kelenjar ke larynx dan mencegah

Page 41: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

40

jatuh/ turunnya kelenjar dari larynx, terutama bila terjadi pembesaran kelenjar

(Richard, 2017).

Lapisan sel-sel folikel mempunyai kemampuan yang sangat besar dalam

mengekstrasi iodin dari dalam darah dan menggabungkannya dengan tirosin asam

amino, untuk membentuk suatu hormon tri-iodotironin (T3) aktif. Sebagian tiroksin

yang kurang aktif juga dibentuk. Tiroksin (T4) diiubah menjadi tri-iodotironin (T3) di

dalama tubuh. Senyawa ini dan intermediat tertentu disimpan dalam koloid dari folikel.

Penyimpanan ini penting, karena iodin mungkin tidak terdapat didalam diet. Dimana

dalam keadaan ini kelenjar tiroid akan membesar yang disebut Goiter (Richard, 2017).

Mekanisme pembentukan hormon Tiroid dimulai dari aktivitas hipotalamus

yang menghasilkan Thyroid Releasing Hormone (TRH). TRH akan menstimulasi

Hipofisis anterior untuk menghasilkan Thyroid Stimulating Hormon (TSH). TSH akan

menstimulasi pembentukan T3 dan T4 dalam folikel dengan menggabungkan iodin

dalam darah dan tirosin asam amino (Richard, 2017).

Pembentukan TSH dihambat oleh tingginya kadar hormon tiroid. Hormon

tiroid meningkatkan laju metabolik dari semua jaringan, mungkin dengan

meningkatkan sintesa enzim pernafasan dalam sel. Iodium merupakan semua bahan

utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tyroid. Bahan yang

mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap

paling banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk

yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan

menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk

Page 42: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

41

dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3).

Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid

Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang

tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan

keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus

menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif

meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan

pembesaran kelenjar tyroid (Richard, 2017).

Skema 6 Pembentukan Hormon Thyroid (Richard, 2017).

Page 43: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

42

3.2.2 Isthmus

Isthmus adalah bagian kelenjar yang terletak di garis tengah dan

menghubungkan bagian bawah lobus dextra dan sinistra (isthmus mungkin juga tidak

ditemukan). Diameter transversa dan vertical ± 1,25 cm.

Pada permukaan anterior isthmus dijumpai (dari superficial ke profunda) :

- Kulit dan fascia superficialis

- V. Jugularis anterior

- Lamina superficialis fascia cervicalis profunda

- Otot-otot : M. Sternohyoideus danM. Sternothyroideus.

Permukaan posterior berhubungan dengan cincin trachea ke 3 dan 4. Pada margo

superiornya dijumpai anastomose kedua A. Thyroidea superior, lobus pyramidalis dan

Levator glandulae. Di margo inferior didapati V. Thyroidea inferior dan A. Thyroidea

ima.

Gambar 3. Topografi kelenjar thyroid (tampak belakang)

Page 44: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

43

3.2.3 Pengobatan dan pertimbangan anastesi

- Kombinasi propofol dan potassium iodide sebelum pmeberian panastesi dan

pembedahan

- Esmolol dapat diberikan terus menerus secara intravena

- Isoflurin dan sevofluran (penanganan intaroperatif adalah pencapaina anastesi

yang dalam)

- Ketamin dan Pankuronium tidak dianjurkan karena dapat mengaktivasi

system saraf simpatis

- Tidak menambahkan epinefrin pada anastesi regional (persiapan operatif tidak

aadekuat → komplikasi bedah (Sukhminder dan Vishal, 2013).

3.2.4 Preoperatif Anastesia

- Tunda tindakan sampai klinis dan lab eutiroid baik

- Preoperatif tes

- Fungsi tiroid normal

- HR <85X/menit (saat istirahat)

- Benzodiazepin pilihan yang baik dalam penatalaksaan preoperatif sedasi

- Obat antitiroid dan β- adrenergik antagonis lanjut sampai hari operasi

- Pada bedah darurat, sirkulasi hipodinamik dapat control dengan titrasi esmolol

(Sukhminder dan Vishal, 2013).

3.3.5 Intaroperatif Anastesi

- Monitor fungsi kardiovaskular dan temperatur

- Proteksi mata

Page 45: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

44

- Elevasi meja operasi 15-20 derajat

- Intubasi

- Hindari: Ketamin, Pancuronium, Agonis adrenergic

- Induksi thiopental dosis tinggi

- Anatesi dalam

- Pelumpuhan otot digunakan secara hati-hati (Sukhminder dan Vishal, 2013).

3.3.6 Pasca operasi bedah

Badai tiroid (Thyroid Storm)

- Hiperpireksia

- Takhikardia

- Hipotensi

- Perubahan kesadaran sering terjadi pada operasi pasien hipertiroid akut yang

terjadi 6-24 jam pasca bedah dan saat intraoperatif

- Bedakan dari keadaan hyperthermia maligna, feokromisotoma, anastesi yang

tidak adekuat (Sukhminder dan Vishal, 2013).

Page 46: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

45

BAB IV

DISKUSI KASUS

Pada pasien ini didapatkan beberapa masalah yang mempengaruhi manajemen

anestesi yaitu Solitary Nodule Thyroid Dextra yang diderita pasien, prediksi kesulitan

intubasi, mitral stenosis dengan berbagai komplikasinya.

Pasien ini telah menderita Solitary Nodule Thyroid Dextra sejak 4 tahun

sebelum hari dilakukan operasi sehingga kondisi yang mempengaruhi manajemen

Anestesi adalah kadar hormon tiroid harus dalam batas normal untuk mengurangi

residko dari angka kejadian badai thyroid. Pada pasien ini telah mendapatkan

pengobatan tirosol 2 mg tiap 24jam peroral dan terakhir + 3bulan SMRS sehingaa

didapatkan hasil fungsi thyroid FT4 1.2 ng/dL (0.7-1.48); TSH 2.176 nIU/mL (0.35-

4.94), sehingga dapat dilakukan anastesi general (Sukhminder, 2013).

Diagnosis mitral stenosis didapatkan dari pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Dari anamnesis tidak didapatkan gejala-gejala kongesti paru yang diketahui

saat pemeriksaan 1 tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik jantung didapatkan tekanan

darah 120/70 mmHg, Nadi 80 x/min; S1 S2 tunggal regular, murmur (+), gallop (+)

katup Mitral-trikuspid. Diagnosis banding untuk bising diastolik adalah trikuspid

stenosis,dan flow murmurs (disebabkan karena aliran darahyang meningkat yang

melewati katup mitral atau trikuspid, yaitu pada mitral regurgitasi, trikuspid

regurgitasi, ASD, VSD, dan PDA) (Vahanian, 2017).

Page 47: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

46

Pasien mendapatkan terapi Warfarin 2 mg tiap 48jam PO (Terakhir 31/8/18,

sudah berhenti 5hari), Spironolactone 25mg tiap 24jam PO, Propanolol 20mg tiap

24jam PO. Dari obat-obatan yang diberikan tersebut, hanya warfarin yang merupakan

antikoagulan yang dihentikan 5 hari sebelum operasi sedangkan obat- obatan lainnya

diteruskan sampai hari dilakukan operasi.

Pada pemeriksaan EKG didaptakan hasil AF Normo Ventricular Response, HR

75x/menit, ST-T change tak ada, Deviasi Axis ke kanan. Pada pasien MS, atrial fibrilasi

dapat terjadi bila pada pasien ini sudah terjadi penebalan atrium kiri. Atrial fibrilasi

pada pasien ini dapat terkontrol dengan Spironolactone 25mg tiap 24 jam PO dan

Propanolol 20 mg tiap 24jam PO. Penurunan kecepatan aliran darah di atrium akan

meningkatkan resiko pembentukan trombus intra-atrial, dan emboli sistemik (Frogel,

2010 dan Ycarson 2010).

Pada pemeriksaan ekokardiografi didapatkan MS berat dengan trombus di LA

dan LAA, sehingga pasien ini diterapi antikoagulan. Oleh karena itu, anestesiologis

harus mengetahui fungsi faktor koagulasi pada pasien ini sebelum operasi yaitu dengan

memeriksa PTT, aPTT, dan INR. Pada pasien ini didapatkan hasil PPT 15.8 detik (10,8-

14,4); APTT 30.7 detik (24-36); INR 1.32 (0.9-1.1). Seperti yang telah disebutkan

diatas, tujuan manajemen perioperatif anestesi pada pasien ini adalah mencegah

penurunan preload, mencegah terjadinya takikardi, menjaga kontraktilitas ventrikel

kanan dan kiri, menjaga SVR dalam batas normal, dan menghindari peningkatan PVR.

Obat premedikasi yaitu analgetik yaitu Fentanyl 150mcg IV, kemudian dilakukan

induksi dengan propofol di titrasi sampai pasien hypnosis.

Page 48: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

47

Pasien dilakukan intubasi dengan Rocuronium 40 mg IV dan pemeliharaan

anestesi pada pasien ini menggunakan O2; Compressed Air; Sevoflurane; fentanyl

intermittent 0.5 mcg / kg BB IV tiap 45-60 menit; Rocuronium intermitten 0.15 mg /

kgBB IV tiap 30-45 menit. Anestesi inhalasi yang ideal untuk pasien dengan MS adalah

sevoflurane karena mempunyai efek yang minimal terhadap kardiovaskular (Morgan

GE, 2018). Selain itu pasien juga dilakukan BPSS dengan Bupivacaine 0,25% 10 ml

tiap sisi. Yang harus diperhatikan adalah kedalaman anestesi harus cukup untuk

menumpulkan respon simpatis, dan menghindari vasodilatasi dan depresi miokard

sistemik (Frogel, 2010).

Tidak digunakannya N2O untuk pemeliharaan anestesi pada pasien ini karena

N2O dapat menstimulasi sistem syaraf simpatis melalui peningkatan katekolamin

endogen, bersifat mendepresi miokard, dan mengurangi FiO2 (Morgan GE, 2018).

Fentanil kontinyu diberikan untuk mendapatkan analgetik yang adekuat pada pasien

ini. Pasien ini akan direncanakan ekstubasi karena pada pemeriksaan preoperasi

menunjukkan fungsi respirasi pasien ini masih baik walaupun didapatkan edema

pulmonum, tetapi pada pemeriksaan AGD menunjukkan oksigenasi, ventilasi, dan

perfusi pasien masih cukup baik.

Kemudian pada saat akhir operasi, SpO2 menunjukkan 99-100%, balance

cairan cukup, nilai CVP 11, hemodinamik stabil, dan ventilasi adekuat sehingga

diputuskan untuk di ekstubasi. Pada pasien ini dilakukan ekstubasi dalam. Sebenarnya

proses ekstubasi pada pasien ini mempunyai permasalahan tersendiri. Karena pasien

harus terhindar dari peningkatan hemodinamik akibat ekstubasi maka sebaiknya

Page 49: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

48

ekstubasi dalam. Tetapi ekstubasi dalam kontradiktif dengan pasien ini karena pasien

ini termasuk sulit intubasi, sehingga apabila ventilasi tidak adekuat pasca ekstubasi

dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapni yang dapat mengakibatkan hipertensi

pulmonal yang akhirnya bisa terjadi gagal ventrikel kanan akut. Ekstubasi dalam

dilakukan pada pasien ini, dengan pertimbangan ventilasi sebelum ekstubasi sudah

adekuat (frekuensi nafas > 8 x/mnt, volume tidal > 6 cc/kgBB) dan pada saat induksi

pasien ini dapat diventilasi dengan face mask secara adekuat. Sehingga bila ventilasi

tidak adekuat pasca ekstubasi, masih dapat dibantu dengan face mask.

Perawatan pascaoperasi pasien ini adalah di Ruang intesif Terpadu untuk

mendapatkan perawatan dan monitoring intensif, serta untuk memastikan tercapainya

tujuan hemodinamik yang telah disampaikan diawal. Analgetik pascaoperasi yang

diberikan adalah Fentanyl 300mcg + Ketamine 20mg dalam 50c NS kecepatan 2.1

cc/jam, Parasetamol 1g tiap 8 jam intravena menyesuaikan dengan kebutuhan pasien.

Page 50: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

49

BAB V

KESIMPULAN

Penyakit katup jantung, khususnya mitral stenosis dan komplikasi yang

menyertainya seperti gagal jantung dan atrial fibrilasi dapat meningkatkan morbiditas

dan mortalitas perioperatif. Penilaian preoperatif yang baik, monitoring perioperatif

yang adekuat, dan penanganan dini dari komplikasi yang timbul dapat mencegah efek

samping yang akan terjadi dan meningkatkan keluaran pasien. Manajemen anestesi

pada pasien dengan mitral stenosis meliputi memelihara irama sinus dan frekuensi

jantung normal, volume cairan intravaskular normal, dan menghindari peningkatan

PVR.

Page 51: LAPORAN KASUS MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN …

50

DAFTAR PUSTAKA

Bongard FS, Sue DY. 2014. Critical care diagnosis and treatment. 4st ed. The United

States of America. Appleton and lange. Pp: 463-77

Bready LL, Mullins RM, Noorily SH, Smith RB. 2012, Decision making in

anesthesiology an algorithmic approach. 4rd ed. Mosby. St Louis Missouri.

Pp: 122-34

Frogel, J., dan Galusca, D. 2010. Anesthetic Considerations for Patient with Advanced

Valvular Heart Disease Undergoing Noncardiac Surgery. Anesthesiology clin;

28. Hal 67-85.

Gurkowski MA, Bracken CA. 2017. Specialty Anesthesia. 5nd ed. Mosby.

Pennsylvania.Pp: 279-89.

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2018. Clinical anesthesiology. Valvular heart

disease. 5th ed. The United States of America. Appleton and lange, pp: 463-78.

Richard S. Snell, MD, PhD. 2017. Clinical Anatomy for Medical Students, Sevent

edition, New York. Page 652-653, 796.

Stoelting RK, Dierdorf SF. 2015. Anesthesia and co-existing disease. 5th ed. Churchill

livingstone. Philadelphia. Pp: 25-43

Sukernik, MR., dan Martin, DE. 2008. Anesthetic Management for the Surgical

Treatment of Valvular Heart Disease. In Hensley FA, Martin DE, and Gravlee

DP; Cardiac Anesthesia 4th edition. Lippincot Williams and Wilkins. Hal 317-

347.

Sukhminder Jit Sighn Bajwa and Vishal Sehgel. 2013. Anasthesia and Thyroid

Surgery: the Never Ending Challenges. Indian Journal Anasteshia. Doi:

10.4103/2230-8210.109671.

Vahanian, A., Baumgartner, H., Bax, J., Butchart, E., Dion, R., Filippatos, G.,

Flachskampf, F., Hall, R., Iung, R., Kasprzak, J., Nataf, P., Tornos, P.,

Torracca, L., dan Wenink, A. 2017. Guidelines on the management of valvular

heart disease; The Task Force on the Management of Valvular Heart Disease

of the European Society of Cardiology. European Heart Journal; 28. Hal 230–

268.

Ycarson. 2010. Mitral Stenosis- Etiology, Mechanics, Implication and Anes.

Management. The University of Texas Southwestern Medical Center.

Available at: www.southwestern.co.id