laporan kasus anestesi
DESCRIPTION
anestesiologistTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS ANESTESI
TRACHEOSTOMY DENGAN GENERAL ANESTESI TIVA
Disusun oleh:
Muhammad Zulkham Faza
01.210.6231
Pembimbing:
dr. Meriwijanti, Sp.An (KIC)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
RSUD DR. ADHYATMA, MPH TUGUREJO
SEMARANG
2015
HALAMAN PENGESAHAN
NAMA : MUHAMMAD ZULKHAM FAZA
NIM : 01.210.6231
FAKULTAS : KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS : UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
BIDANG PENDIDIKAN : ANESTESI
PEMBIMBING : dr. MERIWIJANTI, Sp.An (KIC)
Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal Mei 2015
Pembimbing,
(dr. Meriwijanti , Sp.An (KIC) )
DAFTAR MASALAH
No Masalah aktif Tanggal Ket No Masalah pasif Tanggal Ket
1 SNH 29/04/2015 Elektif
LAPORAN KASUS
STATUS PENDERITA
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. N
Umur : 63 th/10 bl/7 hr
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Status : Menikah
No RM : 47-37-50
Tanggal masuk : 22 April 2015
Perawatan : Hari ke-8
Pasien bangsal : ICU
2. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran, Gagal nafas
2.1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke IGD RSUD dr. Adhyatma, MPH Tugurejo pada tanggal 22
April 2015, karena tidak bisa bicara, tangan kiri dan kaki kiri tidak dapat
digerakkan pada tanggal 10 April 2015. Sebelummnya pasien sedang tidur dan
saat terbangun dari tidurnya tangan kiri dan kaki kiri sulit untuk digerakkan tidak
bisa bicara, dan kesadaran menurun. Sebelumnya pada tanggal 10 April 2015
pasien sudah dirawat di RS. Prima Medika , Pemalang. Karena keterbatasan
fasilitas alat kesehatan, keluarga sepakat membawa pasien ke RSUD Dr.
Adhyatma, MPH Tugurejo semarang.
2.2. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat penyakit yang sama: Positif
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit paru : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat kejang : disangkal
6. Riwayat alergi obat : disangkal
7. Riwayat Hipertensi : Positif
2.3. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat penyakit yang sama : Positif
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit paru : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat stroke : disangkal
6. Riwayat kejang : disangkal
7. Riwayat Hipertensi : Positif
2.4. Riwayat Pribadi
1. Riwayat merokok : Positif
2. Riwayat komsumsi alcohol : disangkal
3. Riwayat minum jamu : disangkal
3. Persiapan Pre Operasi
3.1 Anamnesis (28 April 2015)
A (Allergy) : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan dan penyakit
M (Medication) : Tidak ada
P (Past Illnes) : Riwayat DM (-), HT (+), asma (-)
L (Last meal) : Puasa mulai pukul 00.00 WIB (8 jam sebelum operasi)
E (Environment) : Tracheostomy
3.2. Pemeriksaan Fisik Pre-operasi (28 April 2015)
Tanda Vital
TD : 130/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 14 x/menit
SaO2 : 100 %
Suhu : 36,7oC
TB : 165 cm
BB : 65 Kg
Jantung : dbn
Paru : dbn
Mulut, gigi daan jalan nafas : sulit dinilai
Ekstremitas : sulit dinilai
Genitalia : dbn
Lain lain :dbn
Pemeriksaan Penunjang (26 April 2015)
HEMATOLOGI
Darah rutin (WB EDTA) Nilai Normal
1. Leukosit : 21,79 103/uL (H) 3,6-11 103/uL
2. Eritrosit : 3,73 103/uL (L) 3,8-5,2 103/uL
3. Hemoglobin : 10,00 g/dL (L) 11,7-15,5 g/dL
4. Hematocrit : 29,20 % (L) 35-47 %
5. MCV : 78,30 fL (L) 80-100 fL
6. MCH : 26,00 pg 26-34 pg
7. MCHC : 34,20 g/dL 32-36 g/dl
8. Trombosit : 410 103 /uL 150-400 103 /uL
9. RDW : 15,20 % (H) 11,5-14,5 %
10. Diff Count
a. Eosinophil absolute : 0,07 103 /uL 0,045- 0,44 103 /uL
b. Basophil absolute : 0,03 103 /uL 0-0,2 103 /uL
c. Netrofil absolute : 17,91 (H) 103 /uL 1,8-8 103 /uL
d. Limfosit absolute : 2,26 103 /uL 0,9-5,2 103 /uL
e. Monosit absolute : 1,52 (H) 103 /uL 0,16-1 103 /uL
f. Eosinophil : 0,30 % (L) 2-4 %
g. Basophil : 0,10 % 0-1 %
h. Neutrophil : 82,20 % (H) 50-70 %
i. Limfosit : 10,40 % (L) 25-40 %
j. Monosit : 7,00 % 2-8 %
k.
KIMIA KLINIK(SERUM B)
1. Kalium 3,40 (L) mmol/L
2. Natrium 132 (L) mmol/L
3. Chlorida 103 mmol/L
4. Calsium 7,5 (L) mg/dL
5. Albumin 1,9 (L) g/dL
4. Laporan Anesthesi Durante Operasi
Tindakan operasi : Tracheostomy
Jenis anestesi : General Anestesi TIVA
Lama anestesi : 11.30 – 13.00 WIB
Lama operasi : 11.35 – 12.50 WIB
Premedikasi : - Ondancetron 4 mg/2ml (I.V)
- Atropine 0,25 mg (I.V)
Induksi : Propofol 50 mg (I.V)
Maintenance : O2 6 L/menit
Adjuvantia : Ketamin 2,5 mg (I.V)
Hipnoz 2mg (I.V)
Terapi cairan : RL 20 tpm
Post operasi : Selesai operasi pasien dipindahkan ke recovery room
4.1 Tindakan Anestesi General Anestesi TIVA
Pasien diposisikan supinasi atau terlentang, dilakukan pemasangan manset dan
oximeter untuk monitoring dan penilaian kondisi umum awal, cairan di ganti
jenis RL.Injeksi obat premedikasi ondancetron 4mg i.v , Sulfa Atropin 0,25
mg i.v
Kemudian siapkan spuit 10 ml, masukkan propofol 50 mg untuk induksi.
Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.
4.2 Pemberian Cairan
Cairan masuk
Pre operatif : RL 500 cc
Durante operatif : RL 500 cc
Cairan keluar
Perdarahan : ± 100 cc
Pasca Bedah di Recovery Room (RR)
Recovery Room
Masuk jam : 13.05 WIB
Pulang jam : 13.15 WIB
Keadaan Umum : Baik
Respon Kesadaran : Terjaga
Status mental : Sadar penuh
Jalan nafas : Nasal
Pernafasan : Teratur
Terapi Oksigen : Nasal Canul
Sirkulasi anggota badan: Merah muda
Kulit : Hangat
Posisi Pasien : Supinasi
Nadi : Teratur
Infus : RL
Tanda Vital
TD : 140/90 mmHg
Nadi : 83 x/menit
RR : 16 x/menit
SaO2 : 100%
TB : 165 cm
BB : 60 Kg
Instruksi Post Operasi Dengan General Anestesi TIVA
o Sadar penuh, mual (-), muntah (-), makan dan minum bertahap
o Oksigen 6 liter/menit
o Monitor KU dan hemodinamik
Infus : RL 20 tpm
Inj. Tramadol 3 x 100 mg drip mulai jam 18.00 WIB
Inj. Ketolorac 3 x 30 mg iv bila nyeri mulai jam 18.00 WIB
PEMBAHASAN
1. Pre Operatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan
pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi.
Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat
mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan jenis
operasi yang akan di gunakan, melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi
seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu,
dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa
menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan pre
operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi.
Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi
klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan
anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal.
Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien
tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform
consent.
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi
terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus
dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat
penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan
(termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen
anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi
anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk
mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa.
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik
dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history taking,
sedangkan history taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ
tertentu yang harus diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien
yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah,
heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan
system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi
regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi
regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi
geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting
untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian
masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan
abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan
tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang
terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek
mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada pasien yang
sehat dan asimtomatik bila history taking dan pemeriksaan fisik gagal mendeteksi
adanya abnormalitas. Namun, karena legitimasi hukum banyak dokter yang tetap
memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes
koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada semua pasien.
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping
anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA
diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk
ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga
berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease
hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif,
maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu,
klasifikasi status fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi,
terutama teknik monitoring.
klasifikasi status fisik ASA
Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa
limitasi aktivitas sehari-hari.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas
normal.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan
memerlukan terapi intensif, dengan limitasi serius pada aktivitas
sehari-hari.
Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan atau
tanpa pembedahan.
Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien
yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan
oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman
bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih
dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.
Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,
kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya
pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus
menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari
tabel dibawah:
Kebutuhan Cairan Selama Operasi
Jenis Operasi Kebutuhan Cairan Selama Operasi
Ringan 4 cc/kgBB/jam
Sedang 6 cc/kgBB/jam
Berat 8 cc/kgBB/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit
cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan
maintenance dengan waktu puasa.
Penggantian Cairan Selama Puasa
50 % selama jam I operasi
25 % selama jam II operasi
25 % selama jam III operasi
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:
• Meredakan kecemasan dan ketakutan
• Memperlancar induksi anesthesia
• Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
• Meminimalkan jumlah obat anestetik
• Mengurangi mual muntah pasca bedah
• Menciptakan amnesia
• Mengurangi isi cairan lambung
• Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron 4mg/ml.
Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan
mual dan muntah.
2. Durante Operasi
Pada pasien ini obat induksi yang di gunakan adalah propofol I.V. TIVA adalah
teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anestesi yang dimasukkan lewat
jalur intravena tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA digunakan buat
mencapai 4 komponen penting dalam anestesi yang menurut Woodbridge (1957) yaitu blok
mental, refleks, sensoris dan motorik. Atau trias A (3 A) dalam anestesi yaitu
1. Amnesia
2. Arefleksia otonomik
3. Analgesik
4. +/- relaksasi otot
Jika keempat komponen tadi perlu dipenuhi, maka kita membutuhkan kombinasi dari
obat-obatan intravena yang dapat melengkapi keempat komponen tersebut. Kebanyakan obat
anestesi intravena hanya memenuhi 1 atau 2 komponen di atas kecuali Ketamin yang
mempunyai efek 3 A menjadikan Ketamin sebagai agen anestesi intravena yang paling
lengkap.
Kelebihan TIVA:
1. Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam dosis yang
lebih akurat sesuai yang dibutuhkan.
2. Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada operasi
sekitar jalan nafas atau paru-paru.
3. Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang
khusus.
DEFINISI ANESTESI INTRAVENA
Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan memasukkan
obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat tersebut digunakan
untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik. Induksi anestesi seperti misalnya
tiopenton yang juga digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada
tindakan analgesia regional. Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat –
obat anestesi dan yang digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti,
Tiopenton, Diazepam , Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.
INDIKASI ANESTESI INTRAVENA
1. Obat induksi anesthesia umum
2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat
3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
4. Obat tambahan anestesi regional
5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi).
CARA PEMBERIAN
1. Sebagai obat tunggal :
· Induksi anestesi
· Operasi singkat: cabut gigi
2. Suntikan berulang :
· Sesuai kebutuhan : curetase
3. Diteteskan lewat infus :
· Menambah kekuatan anestesi
JENIS-JENIS ANESTESI INTRAVENA
1. Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol )
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan
lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi
pada tahun 1977 sebagai obat induksi.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada
pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol
dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya asam
etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat tergantung pada pabrik pembuat
obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik
dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7-8 Obat ini juga kompatibel dengan D5W.
1.1 Mekanisme kerja
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi diperkirakan efek
primernya berlangsung di reseptor GABA – A (Gamma Amino Butired Acid).
1.2 Farmakokinetik
Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein plasma,
eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak aktif, waktu paruh
propofol diperkirakan berkisar antara 2 – 24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis jauh
lebih pendek karena propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan tepi. Dosis induksi
cepat menyebabkan sedasi ( rata – rata 30 – 45 detik ) dan kecepatan untuk pulih juga relatif
singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat hipnotik murni
tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.
1.3 Farmakodinamik
Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat
menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi
(2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood
tapi tidak sehebat thiopental. Dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular
sebanyak 35%.
Cp50 - respon terhadap perintah hilang (verbal ) = 2.3 - 3.5 mcg/ml
Pemeliharaan : 1.5-6 mcg/ml
Pasien bangun: < 1.6 mcg/ml
Pasien terorientasi: < 1.2 mcg/ml
Pada sistem kardiovaskuler
Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh
darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi. Ini
diakibatkan Propofol mempunyai efek mengurangi pembebasan katekolamin dan
menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30%. Pengaruh pada jantung
tergantung dari :
· Pernafasan spontan – mengurangi depresi jantung berbanding nafas kendali
· Pemberian drip lewat infus – mengurangi depresi jantung berbanding pemberian secara
bolus
· Umur – makin tua usia pasien makin meningkat efek depresi jantung
Pada sistem pernafasan
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus
dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan. Secara lebih
detail konsentrasi yang menimbulkan efek terhadap sistem pernafasan adalah seperti berikut:
· Pada 25%-40% kasus Propofol dapat menimbulkan apneu setelah diberikan dosis induksi
yang bisa berlangsung lebih dari 30 saat.
Pemberian 2,4 mg/kg:
ü Memperlambat frekuensi pernafasan selama 2 menit
ü Volume tidal (VT) menurun selama 4 menit
Pemberian 100 µg/kg/min:
ü Respons CO2 sedikit menurun
ü VT berkurang 40% ,frekuensi pernafasan meningkat 20%
Pemberian 200 µg/kg/min:
ü Hanya sedikit mendepresi VT
ü paCO2 menurun
1.4 Dosis dan penggunaan
a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.
b) Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infus
c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 µg/kg/min IV (titrate to effect).
d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila digabung
penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang minimal 0,2%
f) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang
steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah
kontaminasi dari bakteri.
1.5 Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa
muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan
dengan menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2
menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara
I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien
setelah operasi menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga
pemberiannya harus hati – hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti
hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik
(thiopental < propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah dilaporkan
terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang. Terdapat juga kasus
terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan pada anak-anak akibat pemberian
propofol.
2 Tiopenton
Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih dikenal dengan
nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal yang merupakan obat
anestesi umum barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan
memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai
puncak konsentrasi dan setelah 5 – 10 menit konsentrasi mulai menurun di otak dan
kesadaran kembali seperti semula. Dosis yang banyak atau dengan menggunakan infus akan
menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran.
Beberapa jenis barbiturat seperti thiopental [5-ethyl-5-(1-methylbutyl)-2-
thiobarbituric acid], methohexital [1-methyl-5-allyl-5-(1-methyl-2-pentynyl)barbituric acid],
dan thiamylal [5-allyl-5-(1-methylbutyl)-2-thiobarbituric acid]. Ada juga turunan barbiturat
yang dipakai sebagai induksi seperti secobarbital dan pentobarbital tetepi penggunaannya
sangat jarang. Thiopental (Pentothal) dan thiamylal (Surital) merupakan thiobarbiturates,
sedangan methohexital (Brevital) adalah oxybarbiturate.
Walaupun terdapat beberapa barbiturat dengan masa kerja ultra singkat , tiopental
merupakan obat terlazim yang dipergunakan untuk induksi anasthesi dan banyak
dipergunakan untuk induksi anestesi.
2.1 Mekanisme kerja
Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat akan
menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada sistem saraf pusat, barbiturat menekan
sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang
beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa fungsi vital termasuk
kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih berpengaruh pada sinaps
saraf dari pada akson. Barbiturat menekan transmisi neurotransmitter inhibitor seperti asam
gamma aminobutirik (GABA). Mekanisme spesifik diantaranya dengan pelepasan transmitter
(presinap) dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap).
2.2 Farmakokinetik
Absorbsi
Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan secara intravena untuk
induksi anestesi umum pada orang dewasa dan anak – anak. Perkecualian pada tiopental
rektal atau sekobarbital atau metoheksital untuk induksi pada anak – anak. Sedangkan
phenobarbital atau sekobarbital intramuskular untuk premedikasi pada semua kelompok
umur.
Distribusi
Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh
selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf dan jaringan lain yang kaya akan vaskularisasi,
secara perlahan akan mengalami difusi kedalam jaringan lain seperti hati, otot, dan jaringan
lemak. Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam plasma ini terutama oleh karena
redistribusi obat dari otak ke dalam jaringan lemak.
Metabolisme
Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.
Ekskresi
Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi terjadi 3 ml/kg/menit dan
pada anak – anak terjadi 6 ml/kg/menit.
2.3 Farmakodinamik
Pada Sistem saraf pusat
Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan hiperalgesia pada dosis
subhipnotik, menghasilkan penurunan metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada
dosis yang tinggi akan menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram.Thiopental turut
menurunkan tekanan intrakranial. Manakala methohexital dapat menyebabkan kejang setelah
pemberian dosis tinggi.
Mata
Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi thiopental atau
methohexital. Biasanya diberikan suksinilkolin setelah pemberian induksi thiopental supaya
tekanan intraokular kembali ke nilai sebelum induksi.
Sistem kardiovaskuler
Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat meningkatkan frekwensi
jantung, penurunan tekanan darah sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal
ini disebabkan karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung turun, dan
dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan
disritmia bila terjadi resistensi CO2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat
ringan akan pulih normal dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau
dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh
darah karena depresi pusat vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat terjadi
oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.
Sistem pernafasan
Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap CO2 menurun terjadi
penurunan frekwensi nafas dan volume tidal bahkan dapat sampai menyebabkan terjadinya
asidosis respiratorik. Dapat juga menyebabkan refleks laringeal yang lebih aktif berbanding
propofol sehingga menyebabkan laringospasme. Jarang menyebabkan bronkospasme.
2.4 Dosis
Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk menghindarkan efek
negatif dari tiopental tadi sering diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi
pasien.
2.5 Efek samping
Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan memberikan
obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap barbiturat, sebab hal ini dapat
menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis yang jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi
pada pasien dengan porfiria akut, karena barbiturat akan menginduksi enzim d-
aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya serangan akut. Iritasi vena dan
kerusakan jaringan akan menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui I.V, hal ini dapat
diatasi dengan pemberian heparin dan dilakukan blok regional simpatis.
3 Ketamin
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki
struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962, dimana
awalnya obat ini disintesis untuk menggantikan obat anestetik yang lama (phencyclidine)
yang lebih sering menyebabkan halusinasi dan kejang. Obat ini pertama kali diberikan pada
tentara amerika selama perang Vietnam.Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil
sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non barbiturate general anesthesia”. Ketalar
sebagai nama dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965
yang digunakan sebagai anestesi umum.
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan
takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah
– muntah , pandangan kabur dan mimpi buruk. Ketamin juga sering menebabkan terjadinya
disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan
sering disebut dengan emergence phenomena.
3.1 Mekanisme kerja
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat dalam otak
dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor
metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik.
3.2 Farmakokinetik
Absorbsi
Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau intramuskular
Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan ke
seluruh organ. Efek muncul dalam 30 – 60 detik setelah pemberian secara I.V dengan dosis
induksi, dan akan kembali sadar setelah 15 – 20 menit. Jika diberikan secara I.M maka efek
baru akan muncul setelah 15 menit.
Metabolisme
Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi beberapa metabolit
yang masih aktif.
Ekskresi
Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui ginjal.
3.4 Farmakodinamik
Susunan saraf pusat
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami
perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka
spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari
(cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Itu
merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin.
Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering
mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien
mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah
intrakranial. Konsentrasi plasma (Cp) yang diperlukan untuk hipnotik dan amnesia ketika
operasi kurang lebih antara 0,7 sampai 2,2 µg/ml (sampai 4,0 µg/ml buat anak-anak). Pasien
dapat terbangun jika Cp dibawah 0,5µg/ml. Ketamin merupakan suatu reseptor antagonis N-
Metil-D-aspartat (NMDA) yang non kompetitif yang menyebabkan :
· Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat
· Mengurangi pembebasan presinaps glutamat
· Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)
Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang berupa:
· Mimpi buruk
· Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari badan)
· Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi
· Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan
· 20%-30% terjadi pada orang dewasa
· Dewasa > anak-anak
· Perempuan > laki-laki
Mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan, terjadi
peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.
Sistem kardiovaskuler
Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa
meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik
positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Sistem pernafasan
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi. dapat
menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat
pilihan pada pasien asma.
3.5 Dosis dan pemberian
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila akses
pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak – anak. Ketamin bersifat larut air sehingga
dapat diberikan secara I.V atau I.M. Dosis induksi adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 –
10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi
untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara
intermitten atau kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 – 15 menit dengan
dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.3 Dosis obat untuk menimbulkan efek
sedasi atau analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg IV atau 2 – 4 mg/kg IM atau 5 – 10 µg/kg/min
IV drip infus.
Bioavailabilitas
Route % bioavailabilitas
Nasal 50
Oral 20
IM 90
Rektal 25
Epidural 77
3.6 Efek samping
Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada
mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi dan mimpi buruk
juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka
selain itu ketamin juga dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat
menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.
3.7 Kontra indikasi
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang telah
disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien yang
menderita penyakit sistemik penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan
intrakranial yang meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi
intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada
operasi intraokuler. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat –
obat simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll.
4. Opioid
Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun. Obat
opium didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum somniferum, dan kata “opium “
berasal dari bahasa yunani yang berarti getah. Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid
opioids. Morphine, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil merupakan
golongan opioid yang sering digunakan dalam general anestesi. efek utamanya adalah
analgetik. Dalam dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam operasi kardiak. Opioid
berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan efek samping.
4.1 Mekanisme kerja
Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf pusat dan
jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , μ,Ќ,δ,σ. Walaupun opioid
menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari
spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan apakah reseptornya
aktif. Aktivasi reseptor opiat menghambat presinaptik dan respon postsinaptik terhadap
neurotransmitter ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif.
4.2 Farmakokinetik
Absorbsi
Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin intramuskuler, dengan
puncak level plasma setelah 20-60 menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode
efektif menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10 menit) analgesia dan sedasi
pada anak-anak (15-20 μg/Kg) dan dewasa (200-800 μg).
Distribusi
Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dan
morfin memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan
durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi
singkat setelah injeksi bolus.
Metabolisme
Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar, aliran darah hepar.
Produk akhir berupa bentuk yang tidak aktif.
Ekskresi
Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati bilier dan
tergantung pada aliran darah hepar. 5 – 10% opioid diekskresikan lewat urine dalam bentuk
metabolit aktif, remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot polos esterase.
4.3 Farmakodinamik
Sistem kardiovaskuler
System kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung
maupun tonus otot pembuluh darah.Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena
terjadi penurunan aliran simpatis medulla, tahanan sistemik juga menurun hebat pada
pemberian meperidin atau morfin karena adanya pelepasan histamin.
Sistem pernafasan
Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi
nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun .PaCO2 meningkat dan respon terhadap
CO2 tumpul sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga
mampu menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau kelenturan otot
nafas, opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada dosis tertentu.
Sistem gastrointestinal
Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan lambung juga
terhambat.
Endokrin
Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress
anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah relatif stabil.
4.4 Dosis dan pemberian
Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena 0,5
mg/Kgbb, sedangakan morfin sepersepuluh dari petidin dan fentanil seperseratus dari petid5.
Benzodiazepin
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah Diazepam
(valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam tidak larut
dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam tersedia dalam sediaan
emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis
tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam merupakan
benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.
5.1 Mekanisme kerja
Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, anxiolitik, amnestik,
antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di sentral. Benzodiazepine bekerja di reseptor
ikatan GABAA. Afinitas pada reseptor GABAA berurutan seperti berikut lorazepam >
midazolam > diazepam. Reseptor spesifik benzodiazepine akan berikatan pada komponen
gamma yang terdapat pada reseptor GABA.
5.2 Farmakokinetik
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan muncul
setelah 4 - 8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari
benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi
dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam didistribusikan secara cepat
setelah injeksi bolus, metabolisme mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.
Clearance in ml/kg/min
Short midazolam 6-11
Intermediate lorazepam 0.8-1.8
Long diazepam 0.2-0.5
5.3 Farmakodinamik
Sistem saraf pusat
Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan mepunyai efek
sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme.
Sistem Kardiovaskuler
Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac out put.
Ttidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi
pada dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid.
Sistem Pernafasan
Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal , depresi pusat nafas
mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental.
Sistem saraf otot
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supraspinal dan
spinal , sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka.
5.4 Dosis
Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.
· Untuk preoperatif digunakan 0,5 – 2,5mg/kgbb
· Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 – 5 mg
· Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena.
· Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.
5.5 Efek samping
Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika digunakan sebagai sedasi.
Lorazepam dan diazepam dapat menyebabkan iritasi pada vena dan trombophlebitis.
Benzodiazepine turut memperpanjang waktu sedasi dan amnesia pada pasien. Efek
Benzodiazepines dapat di reverse dengan flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV
prn to 1 mg, dan 0.5 - 1 mcg/kg/menit berikutnya.
REFERENSI
1. Said A. Latif dkk, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2002.
2. “Intravenous Anesthetics” didapat dari http://www.metrohealthanesthesia.com/edu.htm
3. “Intravenous anesthesic” didapat dari http://anesthesiologyinfo.com/intravenousanesthetic
4. “Hipnotika dan Sedativa” didapat dari http://www.medicastore.com
5. “Anestesi Intravena” didapat dari http://ryan-mul.blogspot.com/2009/04/anestesi
intravena.html
6. “Opioid” didapat dari http://en.wikipedia.org/wiki/Wikipedia: Opioid
7. “Anestesi Umum” didapat dari http://www.scribd.com/anestesiumum