laporan bioind

24
Laporan Praktikum Hari, Tanggal : Rabu, 26 Maret 2014 Teknologi Bioindustri Dosen : Drs. Ir. Purwoko, M.Si Asisten: 1. Brilliant M. (F341000128) 2. Nurul Muhibbah (F341000064) Oleh: Nur Kholiq F34110105 Libna Salsabila F34110112 Andi Prawoto S F34110115 M. Raja Ihsan F34110118 M. Asrol F34110125

Upload: asrol-syarul

Post on 24-Nov-2015

21 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

laporan bioind

TRANSCRIPT

Laporan PraktikumHari, Tanggal: Rabu, 26 Maret 2014Teknologi BioindustriDosen: Drs. Ir. Purwoko, M.SiAsisten:1. Brilliant M. (F341000128)2. Nurul Muhibbah(F341000064)

Oleh:Nur Kholiq F34110105Libna SalsabilaF34110112Andi Prawoto SF34110115M. Raja IhsanF34110118M. AsrolF34110125

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANINSTITUT PERTANIAN BOGORBOGOR2014I. PENDAHULUANLatar BelakangPeran mikroorganisme dalam industri semakin besar mengingat berbagai macam kelebihan yang dimilikinya. Pemanfaatannya pun semakin banyak dilakukan oleh indusrtri-industri untuk menghasilkan berbagai macam produk, baik itu produk primer maupun produk bahan baku. Selain berperan dalam pembuatan asam sitrat (Aspergillus niger) pada praktikum sebelumnya, beberapa jenis mikroorganisme juga berperan dalam pembuatan bioetanol. Mikroorganisme yang berperan dalam pembuatan bioetanol adalah Saccharomyces cereviceae. Pembuatan bioetanol skala laboratorium ini dilakukan sebagai bentuk praktikum untuk menguji kemampuan kapang terkait (Saccharomyces cereviceae) untuk menghasilkan bioetanol dari molasses. Prosedur pembuatan telah ditetapkan sehingga masing-masing kelompok memberikan perlakuan yang sama. salah satu factor terkontrol yang ditetapkan adalah waktu fermentasi molasses, yaitu jam ke 0 hingga jam ke 96. Beberapa pengujian dilakukan pada sampel, berupa uji jumlah gas terbentuk, pH, biomassa kering, dan kadar gula sisa. Hasil pengujian tersebut yang menjadi pertimbangan keberhasilan rekayasa pembuatan bioetanol dalam praktikum.

TujuanPraktikum ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan bioetanol dari molasses dengan bantuan Saccharomyces cereviceae, serta menguji kemampuan produksinya pada selang jam ke nol hingga jam ke 96.

II. METODOLOGIAlat dan bahanAlat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah Erlenmeyer 450 ml, 5 pipa leher angsa, otoklaf, spektrofotometer, tabung sentrifugasi, timbangan, oven, corong dan kertas saring. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu molasses, urea, biakan khamir Saccharomyces sereviseae, aquades dan DNS.

MetodePembuatan Media dan Pengamatan1. Pembuatan MediaPengamatanLarutan ureaDibuat larutan urea sebanyak 50 mlDiatur hingga pH 4,5 dengan menggunakan asam sulfat encerDibagi kedalam 4 tabung berbeda, kemudian dimasukkan dalam otoklaf selama 15 menitLarutan urea sterilMolases dan airMolasses dan air dicampurkan 1: 4 dalam Erlenmeyer 450 mlDiatur hingga pH 4,5 dengan menggunakan asam sulfat encerDibagi kedalam 4 tabung berbeda, kemudian dimasukkan dalam otoklaf selama 15 menitMolasses steril di campurkan secara aseptis dengan larutan urea steril Media diinokulasikan dengan biakan khamir Saccharomyces cerevisiaeDitutup dengan leher angsa yang telah diberi asam sulfat 10%, kemudian inkubasi (0, 24, 48, 72, 96)

2. PengamatanJumlah Gas TerbentukBiomassa keringEndapan dipindahkanDikeringkan pada suhu 70oCTimbang sel keringHitung biomassaDimasukkan ke dalam tabung sentrifuse (timbang)Disentrifuse dengan kecapatan 500 rpm selama 10 menit (filtrate dibuang)Diresupensi endapan sel dengan 10 ml aquades50 ml sampelBiomassa keringBobot Erlenmeyer Hasil gas terbentukDitimbang bobot Erlenmeyerbobot awal bobot akhir

Pengujian pHLarutan Nilai pHDihitung pH dengan pHmeter

Nilai ODLarutan Nilai ODDipanaskan dan dihitung dengan spektrofotometer

Kadar Gula Sisa (DNS)Dihitung dengan spektrofotometerDiencerkan sebanyak 100 kaliDiambil 1 ml larutan dan ditambahkan 3 ml larutan DNSDipanaskan dalam penangas air50 ml sampelNilai DNS

III. HASIL DAN PEMBAHASANHasil Percobaan(Terlampir)PembahasanBioetanol adalah etanol yang diproduksi dari tumbuhan. Bioetanol tidak saja menjadi alternatif yang sangat menarik untuk substitusi bensin, namun mampu juga menurunkan emisi CO2. Dalam hal prestasi mobil, bioetanol dan gasohol (kombinasi bioetanol dan bensin) tidak kalah dengan bensin. Pada dasarnya pembakaran bioetanol tidak menciptakan CO2 netto ke lingkungan karena zat yang sama akan diperlukan untuk pertumbuhan tanaman sebagai bahan baku bioetanol. Bioetanol bisa didapat dari tanaman seperti tebu, jagung, gandum, singkong, padi, lobak, gandum hitam.Biodiesel serupa dengan bioetanol, biodiesel telah digunakan di beberapa negara sebagai pengganti solar (Hidayat dkk 2006).Supply etanol sebagai bahan pencampur minyak fosil beberapa tahun belakangan ini menandakan dimulainya era bahan bakar hijau (green transport fuels). Menurut Hidayat dkk (2006), produk minyak yang sangat ramah lingkungan ini lebih populer disebut gasohol. Gasohol diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan meningkatkan kesejahteraan jutaan petani yang menanam tanaman untuk bahan baku etanol. Berikut merupakan beberapa keunggulan dari penggunaan etanol sebagai bahan bakar. Diproduksi dari tanaman yang bersifat renewable. Mengandung kadar oksigen sekitar 35% sehingga dapat terbakar lebih sempurna. Penggunaan gasohol dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Pembakaran tidak menghasilkan partikel timbal dan benzene yang bersifat karsinogenik (penyebab kanker). Mengurangi emisi fine-particulates yang membahayakan kesehatan manusia. Mudah larut dalam air dan tidak mencemari air permukaan dan air tanah.Bioetanol telah digunakan manusia sejak zaman prasejarah sebagai bahan pemabuk dalam minuman beralkohol. Residu yang ditemukan pada peninggalan keramik yang berumur 9000 tahun dari China bagian utara menunjukkan bahwa minuman beralkohol telah digunakan oleh manusia prasejarah dari masa Neolitik. Indonesia relatif terlambat dibandingkan beberapa negara lain dalam memanfaatkan biodiesel dan bioetanol sebagai sumber energi alternatif. Amerika sudah mengeluarkan B-20 untuk campuran bahan bakar minyak dengan kandungan 20% biodiesel. Sementara negara-negara di Eropa sudah mengeluarkan EN228 (biodiesel dicampur sampai dengan 5% volume) dan EN590 (solar dicampur sampai dengan 5% volume). Di sisi lain Brazil termasuk negara yang leading dalam penggunaan bioetanol. Lebih dari 50% mobil baru yang berjalan di Brazil adalah flexibel fuel car, dimana mobil tersebut dapat pula menggunakan bioetanol, bahkan dengan konsentrasi bioetanol sampai 100% (Rahman 1989).Secara umum, jenis bahan bakar alternatif dari bahan nabati tersebut dinamakan biodiesel (bahan bakar pengganti solar) dan bioetanol (bahan bakar pengganti bensin). Biodiesel dibuat dari minyak nabati seperti minyak sawit, kelapa, jarak pagar, kapuk, malapari, nyamplung, dan sebagainya. Sedangkan bioetanol dibuat dari bahan-bahan bergula atau berpati seperti tetes tebu, nira sorgum, nira nipah, singkong, ganyong, ubi jalar, dan tumbuhan lainnya.Saccharomyces merupakan mikroorganisme yang sangat dikenal masyarakat luas sebagai ragi roti (bakers yeast). Ragi roti ini selain digunakan dalam pembuatan makanan dan minuman, juga digunakan dalam industri etanol (Umbreit, 1959).Saccharomyces cerevisiae adalah mikroorganisme bersel tunggal dengan ukuran antara 5 sampai 20 mikron dan berbentuk bola atau telur. Saccharomyces cerevisae tidak bergerak karena tidak memiliki struktur tambahan di bagian luarnya seperti flagella (Prescott 1959).Saccharomyces cerevisiae mempunyai lapisan dinding luar yang terdiri dari polisakarida kompleks dan di bawahnya terletak membran sel. Sitoplasma mengandung suatu inti yang bebas (discrete nucleus) dan bagian yang berisi sejumlah besar cairan yang disebut vakuola (Buckle 1987).Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dalam media cair dan padat. Pembelahan sel terjadi secara aseksual dengan pembentukan tunas, suatu bahan proses yang merupakan sifat khasdari khamir. Mula-mula timbul suatu gelembung kecil dari permukaan sel induk. Gelembung ini secara bertahap membesar, dan setelah mencapai ukuran yang sama dengan induknya terjadi pengerutan yang melepaskan tunas dari induknya. Sel yang baru terbentuk selanjutnya akan memasuki tahap pertunasan kembali. Tunas pada Saccharomyces serevisae dapat berkembang dari setiap bagian permukaan sel induk (pertunasan multipolar).Saccharomyces cerevisiae dapat berkembang biak secara seksual dan umumnya melibatkan proses perkawinan yang diikuti dengan produksi spora seksual yang disebut akrospora dan spora-spora tersebut berada dalam bentuk kantung yang disebut askus. Biasanya khamir berkembang secara aseksual dan hanya pada kondisi lingkungan tertentu saja akan terjadi perkembangbiakan secara seksual (Buckle 1987).

Gambar 1. Siklus hidup Saccharomyces cerevisiae (Kavanagh 2005)Taksonomi Saccharomyces cerevisiaeKingdom:FungiDivision:AscomycotaClass:AscomycetesOrdo:SaccharomycetalesFamilia:SaccharomycetaceaeGenus:SaccharomycesSpecies:Saccharomyces cerevisiaeKhamir merupakan organisme yang bersifat saprofitik terdapat pada daun-daun, bunga-bunga dan eksudat pada tanaman. Sedangkan Saccharomyces cerevisiae secara alami terdapat pada beras maupun jenis serelia lain dan pada kulit anggur (Buckle 1987). Yeast dapat tumbuh dalam media sederhana yang mengandung karbohidrat yang dapat terfermentasi sebagai penyedia energi dan sumber karbon untuk biosintesis, protein yang cukup untuk sintesis protein, garam mineral, dan faktor tumbuh lainnya.Ketersediaan molekul oksigen juga diperlukan walaupun ada beberapa strain seperti Saccharomyces cerivisiae yang mutlak tidak membutuhkan oksigen (Umbreit 1959). Karbohidrat sebagai sumber karbon dapat berupa monosakarida seperti D-glukosa, D-manosa, D-fruktosa, D-galaktosa, dan gula pentosa jenis D-xylulase (Umbreit 1959). Selain monosakarida, disakarida (seperti sukrosa dan maltosa) dan trisakarida (seperti maltotriose dan raffinose) juga dapat difermentasi. Substrat yang mengandung glukosa, fruktosa, dan sukrosa secara cepat akan digunakan oleh yeast pada tahap awal fermentasi. Sukrosa dihidrolisa oleh enzim invertase yang berada di luar membran sel dan dibatasi dinding sel. Sedangkan glukosa dan fruktosa yang ada akan ditransport ke dalam sel.Pada proses pembuatan bioetanol, hal pertama yang dilakukan adalah menyiapkan biakan saccharomyces cereviseae. Biakan ini akan digunakan sebagai agen fermentasi untuk memproses molasses menjadi bioetanol. Pemilihan bakteri saccharomyces cereviseae sebagai agen untuk memproduksi karena jenis bakteri ini dapat menghasilkan enzim zimase dan invertase yang berperan aktif dalam proses fermentasi dan menghasilkan etanol yang lebih berkualitas. Biakan yang baik untuk produksi bioetanol adalah yang dapat tumbuk pada suhu +300 oC dan pada kondisi PH 4.8-6.Selanjutnya, tahap berkutnya adalah menyiapkan molases yang akan digunakan sebagai media fermentasi. Molases merupakan hasil samping produk yang berasal dari proses pembuatan gula tebu. Meskipun molases merupakan sisa produksi, tetapi bahan ini masih mengandung kadar gula tinggi (59-60%), asam amino, dan mineral (Fardiaz 1992). Kondisi yang demikian ini tidak memungkinkan bagi biakan saccharomyces cereviseae untuk dapat tumbuh dan menghidrolisis molases menjadi etanol. Sehingga sebagai langkah awal pre-treatment diperlukan untuk mengencerkan molases terlebih dahulu.Menurut Hidayat dan Suhartini (2006) Molases dapat menghasilkan etanol dengan hasil yang memuaskan jika kandungan gula didalamnya sekitas 10-18%. Sehingga untuk menurunkan kadar gula di dalam molases menjadi kondisi yang optimum, dapat dilakukan dengan pengenceran bahan. Pada praktikum bioindustri ini, dilakukan pengenceran 1:4 agar tercapai kondisi media fermentasi yang sesuai dengan kondisi optimum biakan saccharomyces cereviseae untuk dapat tumbuh.Selanjutnya, dilakukan penyiapan larutan urea dengan konsentrasi sebanyak 1 g/l sebanyak 50 ml. penambahan urea yang disiapkan adalah 0.2% dari kadar gula dalam larutan fermenrasi. Larutan urea ini, pada proses fermentasi akan berfungsi sebagai nutrisi bagi bakteri saccharomyces cereviseae. Penambahan sebanyak 2% dari kadar gula total di dalam molases dimaksudkan sebagai nutrisi pelengkap. Sehingga, saccharomyces cereviseae dapat tumbuh dengan optimum dan menghasilkan etanol berkualitas. Hal yang perlu diperhatikakan adalah kondisi pH larutan urea. Larutan urea diatur pH-nya pada 4.5 sebagai kondisi yang optimum bagi saccharomyces cereviseae untuk dapat mencarna nutrisi dan tumbuh (Fardiaz 1992). Bahan bahan yang sudah disiapkan tadi selanjutnya disterilisa dengan otoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Proses sterilisasi ini bertujuan untuk menghindarkan kemungkinan bahan terkontaminasi oleh benda dan bahan asing, agar proses fermentasi dapat berjalan lancar dan tidak terjadi kerusakan media. Setalah melalui proses sterilisasi, bahan bahan siap untuk dicampurkan secara aseptis. Selanjutnya, biakan dapat diinokulasi ke dalam bahan dalam kondisi yang aseptis. Kondisi aseptis ini harus tetap dijaga, agar tidak ada kontaminasi dari benda asing sehingga dapat merusak proses fermentasi nantinya.Bahan yang sudah dicampurkan dan dinokulasi dengan saccharomyces cereviseae, selanjutnya diinkubasi dalam rentan waktu tertentu. Pada proses inkubasi ini, akan terjadi proses hidrolisis molases oleh saccharomyces cereviseae, dengan tambahan nutrisi urea sebesar 2%. Proses yang terjadi pada proses fermentasi ini adalah bakteri saccharomyces cereviseae akan menghasilkan enzim zimase dan enzim invertase (Ratna, 2012). Enzim zimase akan menghidrolisis sukrosa pada molases menjadi glukosa dan fruktosa. Selanjutnya enzim invertase akan mengubah sukrosa menjadi etanol. Reaksinya adalah : C12H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6Fermentasi C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2( Ratna, 2012)Proses fermentasi akan berjalan beberapa jam setelah dilakukan inkubasi. Dapat dilihat pada reaksi proses, fermentasi juga akan menghasilkan gas karbon dioksida, berupa gelembung gelembung udara kecil di dalam fermentor. Hal yang harus diperhatikan dalam proses ini adalah, kondisi inkubasi tidak melebihi suhu 36oC dan pH dipertahankan pada 4.55 agar proses fermentasi dapat berjalan lancar ( Ratna, 2012). Selnjutnya lakukan pengamatan pada selang waktu tertentu untuk melihat kadar etanol yang terbentuk.Setelah proses fermentasi selesai, lakukan pengamtan terhadap jumlah gas terbentuk, pH, biomassa kering dan kadar gula sisa, sebagai dasar pengujian kualitas etanol yang diproduksi.

Berdasarkan data yang diperoleh, bobot glukosa berkurang selama proses fermentasi. Bobot gula diperoleh dengan memasukan nilai adsorbansi pada persamaan,

Bobot Gula=Adsorbansi/(3,15) Pengenceran Volume Media

Bobot gula pada hari ke 0, 1, 2, 4, dan 5, ialah: 5,56g, 7,94g, 5,95g, 5,56g, dan 3,57. Persamaan regresi yang diperoleh dari data tersebut adalah Y = -0,5036X + 6,9 dengan nilai R2= 0,452. Nilai slope persamaan yang negatif menunjukan bahwa data membentuk tren negatif atau menurun, sementara nilai R2 yang mendekati 0 menunjukan pola data tidak rapih atau banyak simpangannya. Galat yang terjadi pada pengukuran DNS dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti: setiap kondisi diuji oleh beberapa orang melainkan bukan 1 orang saja. Sehingga dapat terjadi perbedaan pada saat pengambilan sampel, pengenceran, serta pemanasan yang dapat memengaruhi kondisi campuran pereaksi DNS serta sampel pada saat akan diuji nilai adsorbansinya.Berdasarkan hasil yang diperoleh dari praktikum, diketahui kondisi pH cenderung konstan. Data yang diambil pada dari sampel hari ke 0, 1, 2, 4, dan 5 memiliki pH, sebesar: 4,6; 4,6; 4,6; 4,7; dan 4,6. Simpangan nilai pH terjauh hanya berkisar 2% yaitu: 4,7. Nilai tersebut masih berada di bawah batas galat tingkat keyakinan 95%. Sehingga dapat disimpulkan walaupun etanol merupakan asam lemah, etanol yang dihasilkan tidak memengaruhi pH media. Etanol merupakan asam lemah dengan pKa = 15,9 (Brown et al 2014). Kondisi media yang asam (di bawah pH normal) merupakan ketentuan prosedur praktikum. Sebelum dilakukan fermentasi, pH ditambahkan asam sulfat hingga pH-nya menjadi 4,5. Hal ini disebabkan karena fermentasi etanol membutuhkan kondisi yang asam (Hidayat dkk 2006). Adapun galat atau simpangan pH media dapat sebabkan penggunaan alat yang kurang tepat, seperti: pencucian tidak bersih atau detektor belum terendam semua.Gas CO2 merupakan hasil metabolisme Saccharomyces cereviseae selain etanol. Gas CO2 terbentuk pada saat perubahan asam piruvat menjadi asetaldehid oleh piruvat dekarboksilase, selanjutnya asetaldehid direduksi menjadi etanol oleh NADH (Ochs 2014). Pengukuran gas CO2 yang terbentuk untuk merepresentasikan etanol yang terbentuk. Dengan asumsi stokiometri reaksinya C6H12O6 2C5H6OH + 2CO2.Data hasil praktikum menunjukan gas CO2 yang terbentuk berbanding lurus dengan lama fermentasi. Gas CO2 yang dihasilkan pada hari ke-0, 1, 2, 4, dan 5, ialah: 0; 0,74; 2,23; 2,6; dan 3,17. Persamaan regresi yang didapat dari data tersebut ialah: Y = 0,613X + 0,286 dengan nilai R2 = 0,91. Slope yang bernilai positif membuktikan pola data yang memiliki tren positif, sementara nilai R2 yang mendekati 1 menunjukan data hampir membentuk pola linier yang baik.Efisiensi konversi gula menjadi CO2 dilambangkan dengan Y CO2/ Gula. Data yang digunakan ialah data pada fermentasi hari ke 1,2,4 dan 5 agar datanya bagus. Y CO2/Gula merupakan slope dari persamaan regresi selisih gas CO2 terhadap selisih glukosa. Persamaan yang didapat dari data tersebut adalah Y= 0,5605X + 0,2315 dengan R2=0,924. Sehingga Y CO2/Gula = 0,5605, hal ini berarti secara teoritis 1 gram glukosa menghasilkan 0,5605 gram gas CO2. Gas CO2 yang terbentuk pada praktikum ini sebagai representasi etanol. Menurut Rahman (1989), faktor- faktor yang mempengaruhi fermentasi yaitu jumlah mikroba, lama fermentasi, pH (keasaman), substrat (medium), suhu, alkohol, oksigen, garam dan air. Penjelasan dari faktor-faktor tersebut di antaranya sebagai berikut:A. MikrobaFermentasi dilakukan dengan menggunakan kultur murni atau starter. Banyaknya mikroba (starter/inokulum) yang ditambahkan berkisar antara 310 % dari volume medium fermentasi. Penggunaan inokulum yang bervariasi ini dapat menyebabkan proses fermentasi dan mutu produk selalu berubah-ubah. Inokulum adalah kultur mikroba yang diinokulasikan ke dalam medium fermentasi pada saat kultur mikroba tersebut berada pada fase pertumbuhan eksponensial. Kriteria untuk kultur mikroba agar dapat digunakan sebagai inokulum dalam proses fermentasi adalah: sehat dan berada dalam keadaan aktif sehingga dapat mempersingkat fase adaptasi tersedia cukup sehingga dapat menghasilkan inokulum dalam takaran yang optimumberada dalam bentuk morfologi yang sesuai bebas kontaminasi dapat mempertahankan kemampuannya membentuk produk.

B. Lama FermentasiMenurut Buckle et al., (1985) bila suatu sel mikroorganisme diinokulasikan pada media nutrien agar, pertumbuhan yang terlihat mula mula adalah suatu pembesaran ukuran, volume dan berat sel. Ketika ukurannya telah mencapai kira-kira dua kali dari besar sel normal, sel tersebut membelah dan menghasilkan dua sel. Sel-sel tersebut kemudian tumbuh dan membelah diri menghasilkan empat sel. Selama kondisi memungkinkan, pertumbuhan dan pembelahan sel berlangsung terus sampai sejumlah besar populasi sel terbentuk.Waktu antara masing-masing pembelahan sel berbeda-beda tergantung dari spesies dan kondisi lingkungannya, tetapi untuk kebanyakan bakteri waktu ini berkisar antara 1060 menit. Tipe pertumbuhan yang cepat ini disebut pertumbuhan logaritmis atau eksponensial karena bila log jumlah sel digambarkan terhadap waktu dalam grafik akan menunjukkan garis lurus. Tetapi pada kenyataannya tipe pertumbuhan eksponensial ini tidak langsung terjadi pada saat sel dipindahkan ke medium pertumbuhan dan tidak terjadi secara terus menerus (Rachman 1989).

C. pH (keasaman)Makanan yang mengandung asam biasanya tahan lama, tetapi jika oksigen cukup jumlahnya dan kapang dapat tumbuh serta fermentasi berlangsung terus, maka daya awet dari asam tersebut akan hilang. Pada keadaan ini mikroba proteolitik dan lipolitik dapat berkembang biak. Sebagai contoh misalnya susu segar pada umumnya akan ditumbuhi dengan beberapa macam mikroba, mula-mula adalah Streptococcus lactis akan menghasilkan asam laktat. Tetapi pertumbuhan selanjutnya dari bakteri ini akan terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri.Selanjutnya bakteri menjadi inaktif sehingga akan tumbuh bakteri jenis Lactobacillus yang Iebih toleran terhadap asam. Lactobacillus juga akan menghasilkan asam lebih banyak lagi sampai jumlah tertentu yang dapat menghambat pertumbuhannya.Selama pembentukan asam tersebut pH susu akan turun sehingga terbentuk "curd" susu. Pada keasaman yang tinggi Lactobacillus akan mati dan kemudian tumbuh ragi dan kapang yang lebih toleran terhadap asam. Kapang akan mengoksidasi asam sedangkan ragi akan menghasilkan hasil-hasil akhir yang bersifat basa dari reaksi proteolisis,sehingga keduanya akan menurunkan asam sampai titik di mana bakteri pembusuk proteolitik dan lipolitik akan mencerna "curd" dan menghasilkan gas serta bau busuk.

D. SuhuTiap-tiap mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan maksimal, minimal dan optimal yaitu suhu yang memberikan pertumbuhan terbaik dan perbanyakan diri tercepat. Mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan suhu pertumbuhan yang diperlukannya yaitu golongan psikrofil, tumbuh pada suhu dingin dengan suhu optimal 10 20C, golongan mesofil tumbuh pada suhu sedang dengan suhu optimal 20 45C dan golongan termofil tumbuh pada suhu tinggi dengan suhu optimal 50-60C (Gaman dan Sherrington 1992). Suhu fermentasi sangat menentukan macam mikroba yang dominan selama fermentasi.Bakteri bervariasi dalam hal suhu optimum untuk pertumbuhan dan pembentukan asam. Kebanyakan bakteri dalam kultur laktat mempunyai suhu optimum 30C, tetapi beberapa kultur dapat membentuk asam dengan kecepatan yang sama pada suhu 37C maupun 30C. Suhu yang lebih tinggi dari 40C pada umumnya menurunkan kecepatan pertumbuhan dan pembentukan asam oleh bakteri asam laktat, kecuali kultur yang digunakan dalam pembuatan yoghurt yaitu L.bulgaricus dan S.thermophilus memiliki suhu optimum 40-45C (Ansory 1992).Inkubasi dengan suhu 43C selama 4 jam terjadi peningkatan produksi berbagai enzim dari L.bulgaricus dan S.thermophilus antara lain enzim laktase dan 8 orthonitrophenol -d-galaktopyranosid.

E. OksigenTersedianya oksigen dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Jamur bersifat aerobik (memerlukan oksigen) sedangkan khamir dapat bersifat aerobik atau anaerobik tergantung pada kondisinya. Bakteri diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu aerob obligat (tumbuh jika persediaan oksigen banyak), aerob fakultatif (tumbuh jika oksigen cukup, juga dapat tumbuh secara anaerob), anaerob obligat (tumbuh jika tidak ada oksigen) dan anaerob fakultatif (tumbuh jika tidak ada oksigen juga dapat tumbuh secara aerob) (Gaman dan Sherrington 1992).

IV. PENUTUPKesimpulanProses produksi etanol oleh Saccharomyces cereviseae memerlukan sumber gula. Hal ini ditunjukan oleh nilai slope yang negatif pada persamaan regresi bobot gula terhadap lama fermentasi. Konsumsi bobot gula tiap harinya adalah 0,5036 g gula/ hari. Selain menghasilkan etanol, pada proses fermentasi dihasilkan gas CO2 yang terbentuk akibat perombakan asam piruvat menjadi asetaldehida. Gas CO2 diukur sebagai representasi etanol yang terbentuk. Pembentukan gas CO2 berbanding lurus dengan lama fermentasi. Gas CO2 yang terbentuk tiap harinya adalah 0,6127 g/ hari. Efisiensi pembentukan gas CO2 terhadap substrat pada praktikum ini adalah Y CO2/Gula = 0,5606. Gula dapat dikonversi mikroba untuk pertumbuhan atau menghasilkan biomassa. Efisiensi konversi gula menjadi biomassa pada praktikum ini adalah 0,0034 gram biomassa/gram gula dengan laju pertumbuhan spesifiknya 0,799 lnX/hari.Etanol merupakan asam lemah. Hal ini dibuktikan walaupun memiliki nilai pKa dan jumlahnya bertambah tiap harinya, pH media tidak turun. Namun fermentasi etanol membutuhkan suasana asam. Sehingga penambahan asam apabila perlu harus dilakukan agar kondisi media asam.

SaranDari percobaan yang telah dilakukan, percobaan berjalan dengan baik dan hasil yang diperoleh tidak seperti praktikum sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ansory, Rahman. 1992. Teknologi Fermentasi. Jakarta: Arcan.Buckle, K.A.,1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.Brown W, Iverson B, Anslyn E, Foote C. 2014. Organic Chemistry, 7th Edition. California: Cenage Learning.Fardiaz, S,1992. Mikrobiologi pangan I.Gramedia pustaka utama. JakartaGaman, P. M, dan K. B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University PressHidayat N, Padaga M C, Suhartini S. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: Penerbit Andi.Hidayat,N.M.C, Suhartini.2006. Mikrobiologi Industri. Andi.Jakarta.Kavanagh, Kevin. 2005. Fungi Biology and Applications. England: John Willey & Sons Ltd,.Liu S. 2013. Bioprocess Engineering: Kinetics, Biosystems, Sustainability, and Reactor Design. Elsevier: Oxford.Ochs R. 2014. Biochemistry. Massachusetts: Jones & Bartlett Learning.Prescott, Samuel Cate and Cecil Gordon Dunn. 1959. Industrial Microbiology. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.Rahman, A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bogor: PAU Institut Pertanian Bogor.Ratna, Juwita. 2012. Studi Produksi Alkohol dari Tetes Tebu Selama Proses Fermentasi. Skripsi. Makassar : Fakultas Pertanian-Universitas Hasanuddin.Umbreit, Wayne W. 1959. Advances In Applied Microbiology, Vol. 1. New Jersey: Rutgers University.

.

LAMPIRAN

Tabel 1. Kondisi Selama Proses FermentasiKelompokfermentasi (hari)Berat awal (gram)Berat akhir (gram)Gas CO2 yang Terbentuk (gram)pH

15363,9360,733,174,6

24376,72374,082,644,7

32362,71360,482,234,6

41371,12370,380,744,6

50346,32346,3204,6

Grafik 1. Grafik Pembentukan CO2 terhadap Lama Fermentasi

Grafik 2. Kondisi pH Selama Proses Fermentasi

Tabel 2. Tabel Konsumsi Glukosa dan Pembentukan CO2HariNilai AdsorbansiKonsentrasi gula (%)Bobot Gula (g)

00,01411,115,56

10,0215,877,94

20,01511,905,95

40,01411,115,56

50,0097,143,57

Grafik 3. Grafik Absorbansi DNS terhadap Lama Fermentasi

Grafik 4. Grafik Bobot Gula terhadap Lama Fermentasi

Tabel 3. Tabel Konsumsi Glukosa dan Pembentukan CO2 Bobot Gula CO2

00

1,5871,49

1,9051,90

3,4922,43

Grafik 5. Y CO2 / Glukosa