laporan akhir praktikum farmakologi p3
DESCRIPTION
farmakologiTRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
PERCOBAAN III
ANALGETIK
Disusun oleh :
Golongan 1 Kelompok I
Ligia Oktapia S (G1F013002)
Taradifa Nur Insi (G1F013004)
Syifa Zakiyya (G1F013006)
Tri Budi Hastuti (G1F013008)
Suci Baitul Sodiqomah (G1F013010)
Nama Dosen Pembimbing Praktikum : Heny Ekowati
Nama Asisten Praktikum : Wildatus
Farah
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
ANALGETIK
Percobaan III
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nyeri merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan penderita sehingga untuk
mengurangi secara simtomatis diperlukan analgetika. Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala
yang berfungsi memberi tanda tentang adanya gangguan – gangguan di tubuh seperti
peradangan, infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan rangsangan mekanis atau
kimiawi, kalor atau listrik yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat
yang disebut mediator nyeri atau pengantar (Sukandar, 2010)
Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walau pun sering
berfungsi untuk mengingatkan, melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien
merasakannya sebagai hal yang tak mengenakkan, kebanyakan menyiksa dan karena itu
berusaha untuk bebas darinya. Seluruh kulit luar mukosa yang membatasi jaringan dan juga
banyak organ dalam bagian luar tubuh peka terhadap rasa nyeri, tetapi ternyata terdapat juga
organ yang tak mempunyai reseptor nyeri, seperti misalnya otak. Nyeri timbul jika rangsang
mekanik, termal, kimia atau listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri)
dan karena itu menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan yang disebut senyawa
nyeri (Sukandar, 2010).
Obat-obatan yang terutama digunakan sebagai analgetik adalah golongan analgesic
opioid dan golongan analgesic non opioid, seperti aspirin dan obat-obat anti inflamasi
nonsteroid (AINS). Obat-obatan AINS bekerja dengan menghambat sintesis mediator kimia
yang berperan dalam mekanisme terjadinya nyeri dan inflamasi melalui inhibisi salah satu
enzim yang diperlukan dalam pembentukan mediator kimia tersebut, yakni enzim
cyclooksigenase (COX) (Wilmana, 1995). Maka dar itu dilakukan uji daya analgetika agar kita
dapat mempelajari obat analgetika secara lebih terperinci sekaligus dapat membandingkan
efektifitas analgetika yang dimiliki oleh beberapa obat analgetik non opioid dengan praktikum
langsung membandingkannya secara teoritis.
B. Tujuan
Mengenal, mempraktekan dan membandingkan daya analgetika daya analgetika asetosal
dan parasetosal menggunakan metode rangsang kimia.
C. Dasar Teori
Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan
akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Nyeri adalah
perasaansensoris dan emosional yang tidak nyaman,berkaitan dengan ancaman kerusakan
jaringan. Rasa nyeri dalam kebanyakan halhanya merupakan suatu gejala yang berfungsi
sebagai isyarat bahaya tentangadanya gangguan di jaringan seperti peradangan, rematik, encok
atau kejang otot (Tjay dan Rahardja, 2007).
Reseptor nyeri (nociceptor) merupakan ujung saraf bebas, yang tersebar di kulit, otot,
tulang, dan sendi. Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf pusat melalui dua jaras, yaitu jaras
nyeri cepat dengan neurotransmiternya glutamat dan jaras nyeri lambat dengan
neurotransmiternya substansi P (Ganong, 2003).
Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan
prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor )di ujung-ujung saraf bebasdi kulit,
mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksiradang dan kejang-
kejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari
tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan
sangat banyak sinaps via sumsum- belakang, sumsum-lanjutan dan otak-tengah. Dari thalamus
impuls kemudianditeruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri
(Tjay dan Rahardja, 2007).
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi
melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di
jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh
rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan.
Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator
nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi
reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat
diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak
melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang
belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke
pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay dan Rahardja, 2007).
Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
a. Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)
Secara farmakologis praktis dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal) dan non
salisilat. Sebagian besar sediaan–sediaan golongan non salisilat ternmasuk derivat as.
Arylalkanoat (Ganiswara, 1995).
b. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau
morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.
Tetap semua analgesik opioid menimbulkan adiksi / ketergantungan.
Ada 3 golongan obat ini yaitu (Ganiswara, 1995) :
1) Obat yang berasal dari opium-morfin
2) Senyawa semisintetik morfin
3) Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
D. Pemerian
a. Aqua Destillata
Nama Latin : AQUA DESTILLATA
Pemerian : Cairan jenih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
(Anonim, 1979).
b. Asetosal
Nama Latin : ACIDUM ACETYLSALICYLICUM
Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau atau hamper
tidak berbau, rasa asam
Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol 95% P, larut dalam
kloroform P dan dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
(Anonim, 1979).
c. Na Diklorofenak
Nama Latin : NATRIUM DIKLOROFENAK
Pemerian : Serbuk hablur putih hingga hamper putih, higroskopik dan melebur pada
suhu 248oC
Kelarutan : Mudah larut dalam metanol, larut dalam etanol, agak sukar larut dalam air,
praktis larut dalam kloroform dan dalam eter
Penyimpanan : Dalam wada tertutup baik (Anonim, 1995).
II. ALAT DAN BAHAN
A. Alat
Pada percobaan “ANALGETIK” menggunakan alat : spuit injeksi (0,1-1ml), jarum
sonde/ujung tumpul/membulat,beaker glass (1-2 ml),stopwatch,timbangan tikus,neraca analitik dan
alat-alat gelas.
B. Bahan
Pada percobaan “ANALGETIK” menggunakan bahan: aquabidest, parasetamol, asetosal,
natrium diklofenak, larutan steril asam asetat 1% dan hewan coba (tikus).
III. CARA KERJA
Peralatan disiapkan
Tikus ditimbang bobot badannya
Dilakukan perhitungan dosis, dibuat larutan stok dan dihitung banyaknya volume pemberian bahan-bahan uji yang diperlukan
Obat diberikan pada hewan uji melalui cara pemberian (sesuai masing masing kelompok).
IV. PERHITUNGAN DAN HASIL PERCOBAAN
A. Perhitungan
Na Diklofenak
Dosis Konversi = Faktor konversi x dosis pada manusia
Berat badan tikus standar
= 0,018 x 50 mg
BB Tikus
= 0,9 mg
BB Tikus
Konversi larutan stok = Dosis konversi
V max
= 0,9 mg
2 x 5
= 0,9 mg
10
= 0,09 mg/ml x 10 ml = 0,9 mg
Tablet yang diambil = larutan stok x berat tablet
Dosis sediaan
Hewan uji setelah mendapat perlakuan, 5 menit kemudian seluruh hewan coba diberi larutan steril asetat 1% v/v secara intra peritoneal. Diamati
jumlah geliatnya. Dicatat jumlah kumulatif geliat yang dilakukan tikus setiap 5 menit selama 60 menit.
Hasil
= 0,9 mg x 227,1 mg
50
= 4,0878 mg
= 0,0040 gr ad 10 ml
Bobot tikus I : 180gr
Bobot tikus II : 140gr
Bobot tikus III : 160 gr
Volume Pemberian
Aquadest pada tikus 1 melalui per oral (p.o) :
= BB tikus x ½ Vmax
100 gr
= 180 x ½ . 5
100 gr
= 4,5 ml
5 menit kemudian diberi asam asetat sebanyak 4,5 ml secara intra peritoneal (i.p)
Asetosal pada tikus 2 secara per oral (p.o)
= BB tikus x ½ Vmax
100 gr
= 140 x ½ . 5
100 gr
= 3,5 ml
5 menit kemudian diberi asam asetat sebanyak 3,5 ml secara intra peritoneal (i.p)
Natrium diklofenak pada tikus 3 secara per oral (p.o)
= BB tikus x ½ Vmax
100 gr
= 160 x ½ . 5
100 gr
= 4 ml
5 menit kemudian diberi asam asetat sebanyak 4 ml secara intra peritoneal (i.p)
B. Hasil Pengamatan
Obat ∑ geliat (1) % DA (1)
Kontrol 130 -
Asetosal 85 34,6 %
Na diklofenak 93 28,4 %
V. PEMBAHASAN
A. Analgetik
Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan anestetika umum). Nyeri adalah perasaan
sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan.
keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau
memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. nyeri merupakan
suatu perasaan seubjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap
orang. batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45oC (Tjay dan Rahardja, 2007).
Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) pada mana nyeri dirasakan untuk
pertama kalinya. Dengan kata lain, intensitas rangsangan yang terendah saat orang merasakan nyeri.
Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah konstan (Tjay dan Rahardja, 2007).
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi
tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di jaringan, seperti
peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis,
kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu
pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat
mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf
bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ
tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-
tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak
tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls
dirasakan sebagai nyeri (Tjay dan Rahardja, 2007).
Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni :
a. Analgetika perifer (non-narkotik)
Terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Secara kimiawi
analgetika perifer dapat dibagi dalam bebrapa kelompok, yakni :
Parasetamol
Salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat
Penghambat prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen, dll
Derivat-antranilat : mefenaminat, glafenin
Derivat-pirazolon : propifenazon, isopropilaminofenazon, dan
Metamizol
Lainnya : benzidamin
(Tjay dan Rahardja, 2007).
Penggunaan obat analgetik non narkotik atau obat analgetik perifer ini cenderung mampu
menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa pengaruh pada sistem susunan saraf pusat
atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat analgetik non narkotik ini juga
tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (Kee, 1996).
b. Analgetika Narkotik
Digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fracturadan kanker. Analgetik
narkotik, kini disebut juga opioida (mirip opioat) adalah obat-obat yang daya kerjanya meniru
opioid endogen dengan memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor opioid (biasanya
µreseptor) (Tjay dan Rahardja, 2007). Efek utama analgesik opioid dengan afinitas untuk
resetor µ terjadi pada susunan saraf pusat; yang lebih penting meliputi analgesia, euforia, sedasi,
dan depresi pernapasan. Dengan penggunaan berulang, timbul toleransi tingkat tinggi bagi
semua efek (Katzung, 1986).
Opioid menghasilkan alagetik dengan kerjanya pada susunan syaraf pusat, obat-obat
tersebut mengaktivasi neuron penghambat nyeri secara langsung menghambat neurotransmitter
nyeri. Hampir semua analgetik opioid yang dijual di pasaran bekerja pada reseptor opiate yang
sama dan berbeda terutamam pada potensial, cepatnya awalan kerja dan cara pemberian yang
optimall meskipun efek samping yang tergantung dosis adalah serupa diantara opioid yang
berbeda, beberapa efek samping disebabkan oleh akumulasi metabolit monopioid yang unik
untuk masing-masing obat (Isselbacher, 1987).
Nama Generik Dosis Parenteral (mg) Dosis per oral (mg) Keterangan
Kodein 30-60 mg setiap 4 jam 30-60 mg setiap 4
jam
Serng terjadi nausceae
Oksikodon - 5-10 mg setiap 4 m Biasanya dikombinasi
dengan asetaminofen
Morfin 10 mg tiap tiap 4 jam 60 setap 4 jam
Levorfanol 2 setiap 6-8 jam 4 setiap 6-8 jam Kerjanya lebih lamaa
daripada morfin
Metadon 10 setiap 6-8 jam 20 setiap 6-8 jam Sedasi tertunda karena
waktu paruh yang
panjang
Mepedrin 75-100 setiap 3-4 jam 300 tiap 4 jam Absorb tidak baik
peroral, normepedrin
merupakan metabolit
sekunder
Butorfanol 1-2 setiap 4 jam Semprot internasal
(Isselbacher, 1987).
Perbedaan analgetik nonnarkotik dan narkotik :
No. Analgetik nonnarkotik Analgetik narkotik
1. Menghilangkan nyeri ringan sampai sedang Menghilangkan nyeri ringan sampai
hebat
2. Secara kimia bukan steroid Secara kimia steroid (turuna opium)
3. Menghambat Cox1 dan Cox2 Tidak menghambat Cox1 dan Cox2
4. Tidak menyebabkan toleransi/
ketergantungan fisik pada pemakaian
jangka panjang.
Menimbulkan toleransi/ ketergantungan
fisik pada pemakaian jangka panjang.
5. Bekerja di perifer dengan menghambat
biosintesis prostaglandin yang merupakan
mediator timbulnya rasa nyeri
Bekerja di pusat rasa nyeri yaitu
melalui reseptor opioid
6. Merupakan senyawa heterogen karena
struktur kimia senyawa NSAID berbeda-
beda. Contoh aspirin dengan asetaminofen,
asam mefenamat dengan ibuprofen
mempunyai struktur yang berbeda
Meerupakan senyawa homogen karena
merupakan golongan narkotika kecuali
tramadol
7. Efek samping penggunaan jangka panjang Efek samping akibat penggunaan
dapat merangsang sekresi asam lambung
dan menurunkan aliran darah ke ginjal
jangka panjang dapat menyebabkan
konstipasi karena di saluran pencernaan
juga terdapat reseptor opioid yaitu
reseptor σ, Ƙ, µ
( Ganiswara, 1995)
Sensasi nyeri, tak perduli apa penyebabnya, terdiri dari masukan isyarat bahaya ditambah
reaksi organisme ini terhadap stimulus. Sifat analgesik opiat berhubungan dengan kesanggupannya
merubah persepsi nyeri dan reaksi pasien terhadap nyeri. Penelitian klinik dan percobaan
menunjukkan bahwa analgesik narkotika dapat meningkatkan secara efektif ambang rangsang bagi
nyeri tetapi efeknya atas komponen reaktif hanya dapat diduga dari efek subjektif pasien. Bila ada
analgesia efektif, nyeri mungkin masih terlihat atau dapat diterima oleh pasien, tetapi nyeri yang
sangat parah pun tidak lagi merupakan masukan sensorik destruktif atau yang satu-satunya
dirasakan saat itu (Katzung, 1986).
Nyeri memiliki mekanisme sebagai berikut :
Adapun mekanisme bahan-bahan obat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu:
a) Parasetamol
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda (Wilmana, 1995).
Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan
panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer (Goodman dan
Gilman, 2003)). Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa
nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek
langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin
dan bukan blokade langsung prostaglandin (Wilmana, 1995).
b) Asetosal
Mekanisme kerja dari asetosal yaitu efektivitas aspirin terutama disebabkan oleh
kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat efektivitas enzim
siklooksigenase secara ireversibel (prostaglandin sintetase), yang mengkatalis perubahan asam
arakidonal menjadi senyawa endoperoksida. Pada dosis tepat, obat ini akan menurunkan
pembentukan prostaglandin maupun trombokan, tetapi tidak leukotrein. Salisilat menghambat
sintesis prostaglandin secara reversibel (Katzung, 1998).
c) Na Diklofenak
Mekanisme kerja dari Na Diklofenak menginhibisi sintesis prostaglandin didalam jaringan
tubuh dengan menginhibisi siklooksigenase ; sedikitnya 2 isoenzim, siklooksigenase- 1 (Cox-1) dan
siklooksidenase-2 (Cox-2), telah di identifikasikan dengan mengkatalis atau memecah formasi atau
bentuk dari prostaglandin didalam jalur asam arakhidonat. Walaupun mekanisme patinya belum
jelas NSAID berfungsi sebagai antiinflamasi, analgetik dan antipiretik yang pada dasarnya
menginhibisi isoenzim Cox-2, meninhibisi Cox-1 kemungkinan terhadap obat yang tidak
dikehendaki pada mukosa GI dan agregasi platelet (AHFS, 2010).
B. Cara Kerja Uji Analgetik
Cara kerja pada praktikum ini menggunakan metode geliat dimana obat uji dinilai
kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi pada hewan
percobaan. Manifestasi nyeri akibat pemberian perangsang nyeri asam asetat intraperitonium akan
menimbulkan refleks respon geliat yag berupa tarikan kebelakang, penarikan kembali abdomen
dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki belakang. Frekuensi gerakan ini dalam
waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakan. Metode ini tidak hanya sederhana dan
dapat dipercaya tapi juga dapat memberikan evaluasi yang cepat teradap jenis analgetik perifer
(Wilmama, 1995).
Pertama-tama adalah menyiapkan seluruh alat dan bahan termasuk tikus sudah termasuk
juga menimbang bobotnya. Hal ini dilakukan agar pengujian dapat berjalan baik dan bobot tikus
dipergunakan untuk dapat menghitung dosis maupun volume pemberian pada hewan uji (tikus)
tersebut. Tiga hewan uji yang ditimbang memiliki bobot yang masing-masing berbeda. Tikus yang
ditandai I (ditujukan untuk pemberian aquabidest) berbobot 180 gram, tikus II (ditujukan untuk
pemberian asetosal) berbobot 140 gram, dan tikus III (ditujukan untuk pemberian Na diklofenak)
berbobot 160 gram. Setelah perhitungan selesai dilakukan dan mengetahui jumlah masing-masing
pemberian obat pada tikus, Pemberian obat pada tikus segera dilakukan dimana pada tikus I
diberikan aquabidest, tikus II diberikan asetosal, dan tikus III diberikan Na diklofenak yang
semuanya diberikan secara oral. Selang lima menit tiap-tiap tikus diberikan asam asetat 1% secara
peritonea. Hal ini dilakukan untuk memberi waktu bagi masing-masing obat untuk masuk dan
memberikan efek terlebih dahulu. Proses selanjutnya yaitu mengamati dan mencatat jumlah geliat
pada tikus tiap 5 menit selama 60 menit. Hasil jumlah geliat tikus I adalah 130, tikus II adalah 85
dan tikus III adalah 93.
B. Hasil vs Literatur
Berdasarkan percobaan yang dilakukan, asetosal memiliki daya analgetik yang lebih tinggi
yaitu sebesar 34,6 % disusul dengan Na diklofenak sebesar 28,4% dan yang terakhir yaitu pada
hewan kontrol yang hanya diberikan aquabidest dan asam asetat yang tidak memiliki daya
anlgetik. Hasil yang diperoleh tersebut tidak sesuai dengan literatur dimana urutan daya analgetik
dari yang terkuat yaitu Na diklofenak dan setelahnya yaitu asetosal (Wilmana, 1995).
Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat. Absorpsi obat ini melalui saluran cerna
berlangsung lengkap dan cepat. Obat ini terikat pada protein plasma 99% dan mengalami efek
metabolisma lintas pertama (first-pass) sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat 1-3 jam,
dilklofenakl diakumulasi di cairan sinoval yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih
panjang dari waktu paruh obat tersebut (Ian, 1976).
Asam salisilat atau asetosal sendiri sangat iritatif. Derivatnya yang dapat dipakai secara
sistemik adalah ester salisilat dengan substitusi pada gugus hidroksil, misalnya asetosal. Untuk
memperoleh efek anti-inflamasi yang baik dalam kadar plasma perlu dipertahankan antara 250-300
mg/ml. Pada pemberian oral sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di
lambung. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Setelah diabsorpsi salisilat
segera menyebar ke jaringan tubuh dan cairan transeluler sehingga ditemukan dalam cairan
sinoval. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik,
efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesa tromboksan
(Ian, 1976).
C. Faktor Kesalahan
Dalam praktikum yang dilakukan terjadi ketidak sesuaian Antara hasil dan literatur, hal
tersebut kemungkinan dikarenakan adanya kesalahan awal pada saat melakukan perhitungan dosis
konversi
VI. KESIMPULAN
1. Analgetik atau obat-obat penghlang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau melenyapkan
rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
2. Uji analgetik menggunakan metode geliat memiliki prinsip obat uji dinilai kemampuannya
dalam menekan atau menghlangkan rasa nyeri yang diinduksi secara intraperitoneal pada
hewan percobaan.
3. Berdasarkan uji analgetika di laboratorium didapatkan hasil bahwa obat dengan daya
analgetik terkuat adalah asetosal yaitu sebesar 34,6 % disusul dengan Na diklofenak sebesar
28,4% dan yang terakhir yaitu pada hewan kontrol yang hanya diberikan aquabidest dan
asam asetat yang tidak memiliki daya anlgetik. Hasil yang diperoleh tersebut tidak sesuai
dengan literatur dimana urutan daya analgetik dari yang terkuat yaitu Na diklofenak dan
setelahnya yaitu asetosal.
DAFTAR PUSTAKA
American Hospital Formularium Service, 2010. AHFS Drug Information. USA : American Society
of Health-System Pharmacists Inc
Anonim, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Deprtemen Kesehatan Republik Indonesia
Anonim, 1979. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Deprtemen Kesehatan Republik Indonesia
Ganiswara, G., S. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Gaya Baru
Ganong, 2003. Buku Ajar Fisiologi kedokteran. Jakarta: ECG
Goodman dan Gilman. 2003. Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta : EGC
Ian, Tanu. 1976. Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Isselbachter, dkk. 1987. Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC
Katzung, G. Bertram. !998. Farrmakologi Dasar dan Klinik Edisi Keenam. Jakarta : EGC
Kee, Joyke L. 1996. Farmakologi : Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta : EGC
Sukandar, dkk. 2010. ISO Farmakoterapi. Jakarta : ISFI
Wilmana, P. F. 1995. Analgesik, Antipiretik, Antiinflamasi dan Antipirasi. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
Tjay, Tan Hoan dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta : PT Gramedia
TUGAS
1. Ada berapa macam analgetika ? Jelaskan beserta contohnya
Jawab :
Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
Analgetik Opioid / Analgetik Narkotika
Analgetik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium
atau morfin. Golongan obat ini digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa
nyeri seperti pada fractura dan kanker. Tetap semua analgetik opioid menimbulkan
adiksi/ketergantungan. Analgetik Opioid/analgetik narkotika. Contoh obat Analgetik
Opioid yaitu Alfentanil, Benzonatate, Buprenorphine, Butorphanol, Codeine,
Dextromethorphan Dezocine, Difenoxin, Dihydrocodeine, Diphenoxylate, Fentanyl,
Heroin Hydrocodone, Hydromorphone, LAAM, Levopropoxyphene, Levorphanol
Loperamide, Meperidine, Methadone, Morphine, Nalbuphine, Nalmefene, Naloxone,
Naltrexone, Noscapine Oxycodone, Oxymorphone, Pentazocine, Propoxyphene,
Sufentanil.
Analgetik Non-narkotik
Obat Analgesik Non-Nakotik dalam Ilmu Farmakologi juga sering dikenal dengan
istilah Analgetik/Analgetika/Analgesik Perifer. Analgetika perifer (non-narkotik), yang
terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan
Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu
menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan
saraf pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik
Non-Narkotik / Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan
pada pengguna (berbeda halnya dengan penggunaan Obat Analgetika jenis Analgetik
Narkotik). Contoh obat Analgetik Non-Narkotik Acetaminophen, Aspirin, Celecoxib,
Diclofenac, Etodolac, Fenoprofen, Flurbiprofen Ibuprofen, Indomethacin, Ketoprofen,
Ketorolac, Meclofenamate, Mefanamic acid Nabumetone, Naproxen, Oxaprozin,
Oxyphenbutazone, Phenylbutazone, Piroxicam Rofecoxib, Sulindac, Tolmetin.
2. Ada berapa cara mekanisme kerja analgetika ? Jelaskan dan beri contohnya
Jawab :
Mekanisme kerja analgetik ada 2 yaitu :
Mekanisme Kerja Analgetik Opioid
Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase dalam
pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgetiknya dan efek
sampingnya. Kebanyakan analgetik OAINS diduga bekerja diperifer . Efek
analgetiknya telah kelihatan dalam waktu satu jam setelah pemberian per-oral.
Sementara efek antiinflamasi OAINS telah tampak dalam waktu satu-dua minggu
pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul berpariasi dari 1-4 minggu. Setelah
pemberiannya peroral, kadar puncaknya NSAID didalam darah dicapai dalam waktu 1-3
jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya
makanan. Volume distribusinya relatif kecil (< 0.2 L/kg) dan mempunyai ikatan dengan
protein plasma yang tinggi biasanya (>95%). Waktu paruh eliminasinya untuk golongan
derivat arylalkanot sekitar 2-5 jam, sementara waktu paruh indometasin sangat
berpariasi diantara individu yang menggunakannya, sedangkan piroksikam mempunyai
waktu paruh paling panjang (45 jam).
Mekanisme Kerja Obat Analgesik Non-Nakotik
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim
siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya
adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok
pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang
terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya
tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors. Efek samping yang paling umum
dari golongan obat ini adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati
dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh
penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar.
3. Bagaimana mekanisme kerja dari parasetamol dan asetosal ? Mengapa memberikan hasil
yang berbeda ?
Jawab :
Berikut mekanisme bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini :
Parasetamol
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat
menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara
berbeda (Wilmana, 1995). Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat
dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang
kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek
ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak
mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan
bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung
prostaglandin. (Wilmana, 1995).
Asetosal
Mekanisme kerja dari asetosal yaitu efektivitas aspirin terutama disebabkan oleh
kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat
efektivitas enzim siklooksigenase secara ireversibel (prostaglandin sintetase), yang
mengkatalis perubahan asam arakidonal menjadi senyawa endoperoksida. Pada dosis
tepat, obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin maupun trombokan, tetapi
tidak leukotrein. Salisilat menghambat sintesis prostaglandin secara reversibel
(Katzung, 1998).
4. Bagaimana proses terjadinya rasa nyeri ?
Jawab :
Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang yang ditemukan
hampir pada setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke Sistem Saraf Pusat
(SSP) melalui dua sistem Serabut. Sistem pertama terdiri dari serabut Aδ bermielin
halus bergaris tengah 2-5 µm, dengan kecepatan hantaran 6-30 m/detik. Sistem kedua
terdiri dari serabut C tak bermielin dengan diameter 0.4-1.2 µm, dengan kecepatan
hantaran 0,5-2 m/detik. Serabut Aδ berperan dalam menghantarkan "Nyeri cepat" dan
menghasilkan persepsi nyeri yang jelas, tajam dan terlokalisasi, sedangkan serabut C
menghantarkan "nyeri Lambat" dan menghasilkan persepsi samar-samar, rasa pegal dan
perasaan tidak enak. Pusat nyeri terletak di talamus, kedua jenis serabut nyeri berakhir
pada neuron traktus spinotalamus lateral dan impuls nyeri berjalan ke atas melalui
traktus ini ke nukleus posteromidal ventral dan posterolateral dari talamus. Dari sini
impuls diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak.
5. Cari dan jelaskan cara uji daya analgetika yang lain (3 contoh)
Jawab :
Uji Analgetik Metode Listrik
Metode inii menggunaan aliran listrik sebagai penginduksi nyeri. Sebagai respon
terhadap nyeri, hewan akan menunjukkan gerakan atau cicitsn. Arus listrik dapat
ditingkatkan sesuai dengan kekuatan analgetik yang diberikan. Metode ini dapat
dilakukan terhadap kera, anjing, kucng, kelinci, tikus dan mencit.
Uji Analgetik Metode Panas
Ekor hewan uji dicelupkan dalam air panas yang dipertahankan pada suhu 60 +/- 10oC.
Selain itu bisa juga menggunakan panas radiasi terhadap ekor hewan uji melalui kawat
Ni panas (%5,5 +/- 0,05 Amps)
Uji Analgetik Mekanik
Metode ini menggunakan tekanan sebagai penginduksi nyeri. Tekanan diberikakn pada
ekor atau kaki hewan uji. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tekanan yang
diperlukan untuk menimbulkan nyeri sebelum dan sesudah diberi obat. Metode ini
dapat dilakukan terhadap anjing, tikus, dan mencit.