laporan akhir penelitian disertasi doktor
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DISERTASI DOKTOR
MODEL REVITALISASI KEARIFAN LOKAL DALAM
TRADISI LISAN BERPANTUN MASYARAKAT MELAYU
LABUHAN BATU SUMATERA UTARA
Tahun ke-1 dari Rencana 1 Tahun
PENGUSUL
Dra. Tengku Winona Emelia, M.Hum
NIDN 0103097001
Didanai oleh DIPA Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun Anggaran 2015
N0.:023.04.1.673453/2015, tanggal 14 Nopember 2014,
sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian Doktor
No. 005/K1.1.1/AT.1/2015, tanggal 10 Maret 2015
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
JUNI 2015
RINGKASAN
Tujuan penelitian ini untuk membuat model revitalisasi kearifan lokal
yang terdapat dalam tradisi berpantun masyarakat Melayu Labuhan Batu
Sumatera Utara. Sumber data penelitian ini adalah rekaman tradisi berpantun
sebagai data primer dan catatan pantun yang ada pada informan (pemantun,
pepantun, dan tokoh masyarakat adat sebagai data sekunder. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan model analisis
antropolinguistik.
Penelitian ini direncanakan hanya satu tahun dengan empat tahapan
penelitian. Tahap I, penelitian pendahuluan berupa persiapan yaitu mempelajari
tradisi berpantun di Labuhan Batu Sumatera Utara, mencari dan mengumpulkan
serta membaca referensi-referensi yang berhubungan dengan tradisi berpantun,
sudah selesai dikerjakan. Tahap II, pengumpulan data dengan cara merekam acara
atau pertunjukan dimana tradisi berpantun tersebut dilakukan, serta
mewawancarai informan yang berhubungan dengan pelaksanaan tradisi berpantun
tersebut guna mendapatkan data untuk merumuskan model revitalisasi kearifan
lokal yang terdapat dalam tradisi berpantun, sudah selesai dikerjakan.
Tahap III, menganalisis data dengan memahami ko-teks, teks, dan
konteks untuk merumuskan nilai dan norma budaya serta menemukan kearifan
lokal yang terdapat dalam tradisi berpantun, sedang dikerjakan. Tahap IV,
membuat model revitalisasi kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi berpantun,
untuk masyarakat pendukung tradisi berpantun, dan para pepantun dan pemantun
pada khususnya, belum dikerjakan.
Kata Kunci : Model Revitalisasi, Kearifan Lokal, Pantun.
i
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun laporan
kemajuan pelaksanaan penelitian desentralisasi skim desertasi doktor tahun
anggaran 2015. Laporan kemajuan pelaksanaan penelitian desentralisasi skim
desertasi doktor ini ditulis sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban karena
penelitian ini didanai oleh DIPA Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi ,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Penelitian ini sedang berlangsung dan
nantinya akan dilengkapi dengan laporan akhir pada akhir tahun penelitian.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ditlitabmas Dirjen
Dikti sebagai penyandang dana penelitian ini, Koordinator Kopertis Wilayah I,
Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Ketua Lembaga Penelitian
UMSU, dan Dekan FKIP UMSU selaku pimpinan tempat penulis bertugas.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ibu Prof.T.Silvana Sinar,
M.A., Ph.D., bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., bapak Drs. Muhammad
Takari, M.Hum.,Ph.D., selaku promotor dan kopromotor penulis pada program
doktor linguistik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan
dan motivasi kepada penulis dalam penyelesaian penelitian.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada masyarakat
Melayu Labuhan Batu, Kabupaten Labuhan Batu dan Kabupaten Labuhan Batu
Selatan, Provinsi Sumatera Utara yang telah memberi izin untuk melakukan
penelitian di daerah tersebut. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
pihak-pihak lain yang turut membantu demi suksesnya penelitian ini. Penulis
menyadari bahwa laporan kemajuan pelaksanaan penelitian desentralisasi skim
desertasi doktor ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca. Atas kritik dan saran yang diberikan, penulis
ucapkan terima kasih.
Medan, 10 Nopember 2015
Penulis
DAFTAR ISI
RINGKASAN .................................................................................................... i
PRAKATA.......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 6
2.1 Tradisi Lisan ................................................................................. 6
2.2 Kearifan Lokal (Local Wisdom) ................................................... 7
2.3 Revitalisasi ................................................................................... 9
2.4 Tradisi Berpantun ......................................................................... 10
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................... 14
3.1 Tujuan Penelitian .......................................................................... 14
3.2 Manfaat Penelitian ........................................................................ 14
BAB IV METODE PENELITIAN............................................................. 16
4.1 Lokasi Penelitian .......................................................................... 16
4.2 Paradigma dan Model Penelitian .................................................. 16
4.3 Sumber Data dan Data Penelitian ................................................. 19
4.4 Metode Pengumpulan Data .......................................................... 20
4.5 Teknik Analisis Data ..................................................................... 21
4.6 Pengecekan Keabsahan Data ........................................................ 22
BAB V HASIL YANG DICAPAI ........................................................... 23
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 31
6.1 Simpulan ....................................................................................... 31
6.2 Saran ............................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA
iii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Etnis Melayu memiliki tradisi lisan berpantun, tradisi ini sebagai alat
komunikasi kesantunan bahasa pada zaman dahulu yang disampaikan secara turun
temurun yang dituturkan oleh masyarakat Melayu dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Budaya Melayu secara umum dapat digolongkan kepada budaya
logogenik, yang menggunakan bahasa sebagai komunikasi utama, termasuk dalam
pertunjukan pantun. Berpantun merupakan seni komunikasi kesantunan bahasa
mengandung makna yang sangat luas, yang digunakan untuk berbagai tujuan guna
menjalin hubungan kekerabatan dalam kehidupan ditengah masyarakat.
Penggunaan bahasa pantun dan pribahasa bersebati dengan perilaku
kehidupan masyarakat Melayu. Situasi ini merupakan pula suatu karakteristik
bahasa Melayu. Kebiasaan warga masyarakat Melayu dengan menggunakan
pantun, pepatah petitih, ungkapan, maupun bentuk bahasa halus atau bahasa seni
lainnya menyebabkan diperlukannya pemahaman tersendiri atau secara khusus
rnengenai kata atau kata-kata yang diujarkan. Keadaan ini disebabkan terdapatnya
kesebatian antara kebudayaan dan kehidupan bermasyarakat Melayu.
Tradisi berpantun merupakan hal menarik bila dikaji dan dianalisis dari
makna, struktur, fungsi dan nilai, bahasa dalam pantun berdasarkan pemakai dan
pemakaiannya. Sebagai tradisi lisan pantun juga sarat dengan kearifan. Nilai-nilai
kearifan lokal dapat dilihat dari pandangan si penciptanya. Pandangan, falsafah,
sikap dan pemikiran dan adat adalah milik kolektif masyarakat pendukung.
Pantun merupakan seperangkat ujaran yang telah melekat di mulut
penutur, dimana keindahan bahasa dan kebijakan dalam bertutur kata dilandasi
kesopansantunan berbahasa merupakan ciri-ciri yang transparan. Pantun dan
pribahasa dimanfaatkan sebagai jalur media penyampai perbandingan demikian
1
pula pesan-pesan moralisme bersasaran keteladanan dan pengajaran. Hal ini
tercakup dalam ungkapan lama “bahasa menunjukkan bangsa.” Kesopan-
santunan dan kepatuhan pada adat istiadat akan mejadikan seseorang sebagai
manusia terpuji atau manusia bermanfaat bukan hanya bagi diri pribadi namun
juga bagi masyarakat sekeliling dan lingkungannya. Dalam konteks globalisasi
merupakan sesuatu yang berguna bagi pembinaan sikap hidup harmonis dalam
pergaulan dengan berbagai bangsa di dunia.
Pantun sangat dinamis sebagai sebuah karya tradisional, mempunyai ciri
universal yang dapat digunakan pada situasi apapun, sebagaimana dikatakan
bahwa:
Di mana orang berkampung di sana pantun bersambung.
Di mana ada nikah kawin di sana pantun dijalin.
Di mana orang berunding di sana pantun bersanding.
Di mana orang bermufakat di sana pantun diangkat.
Di mana ada adat dibilang, di sana pantun diulang.
Di mana adat dibahas di sana pantun dilepas.
Pantun mencerminkan watak, kegiatan dan cara hidup masyarakat Melayu.
Dalam budaya Melayu, dimana bahasa Melayu merupakan unsur yang paling
dominan, selalu ditekankan betapa pentingnya berbagai usaha dan upaya bagi
meningkatkan taraf dan kemampuan hidup bagi diri pribadi, keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara. Ditekankan pula bahwa kesenangan dan kebahagiaan tidak
mungkin diperoleh dan dicapai tanpa melalui pengorbanan dibarengi berbagai
usaha dan upaya. Melalui ungkapan dibina dan ditekankan sikap hidup seperti
tercermin dalam untaian kata:
Berakit - rakit ke hulu,
berenang-renang ke tepian.
Bersakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian.
Pesan-pesan pembinaan sikap hidup melalui pantun memberikan pula
tatanan sadar diri dimana sesuatu usaha atau upaya bukanlah sesuatu yang mudah
dan sederhana. Melalui ungkapan bahasa yang merupakan karakteristik dasar
2
bahasa Melayu disampaikan pula berbagai langkah dan pembinaan sikap manusia
yang merupakan kearifan lokal (local wisdom) yang ada dalam masyarakat
Melayu. Budaya Melayu mengatur nilai, sikap dan tindak laku masyarakatnya
yang mempunyai karakter yang selalu terbuka dan dapat menerima dan
menyesuaikan dengan kehendak serta tuntutan perubahan zaman. Karakter budaya
ini dikenal dengan ungkapan “ sekali air bah sekali tepian berubah”.
Perlunya pendokumentasian tradisi berpantun. sebagai tradisi lisan
masyarakat Melayu sebagai sumber ilmu pengetahuan yang kiranya dapat
memberi jawaban keunikan-keunikan lokal dalarn budaya nusantara sebagai salah
satu warisan budaya yang amat berharga dan penting dalarn pembentukan
identitas dan karakter bangsa sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH) yang
ditetapkan UNESCO dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003 sebagai salah satu
unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan.
Tradisi lisan berpantun merupakan salah satu dan Intangible Cultural
Heritage bagi masyarakat Melayu yang kaya makna dan nilai tersebut tentunya
perlu dikembangkan dan direvitalisasi ditengah realitas pada masyarakat di mana
para nutur dan komunitas tradisi lisan berpantun yang semakin berkurang.
Berpantun sebagai kekuatan kultural merupakan sumber pembentukan peradaban
dalam berbagai aspek kehidupan, sebagai tradisi lisan pantun baik yang berupa
peribahasa, tamsil, pameo, ibarat dan ungkapan mengandung berbagai hal yang
menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, seperti kearifan lokal
(local wisdom), sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowledge), sejarah,
hukum adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi. Tradisi lisan dapat dilihat
sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali (invented culture)
untuk dimanfaatkan, dikembangkan dan direvitalisasi atau sebagai suatu bentuk
kebudayaan yang karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dan kepunahannya.
Pantun yang ada di Labuhan batu disampaikan dalam berbagai cara
diantaranya dalam bentuk sinandong, di Labuhan Batu dikenal dengan sinandong
3
Bilah hal ini kita jumpai dalam berbagai acara, antara lain dalam penyambutan
tamu, acara perkawinan, khitanan, perayaan hari besar seperti hari kemerdekaan,
dan sebagainya. Pantun yang terdapat dalam sinandong bilah dijumpai
penyampaian syair dalam bentuk pantun yang diubah dengan menggunakan
irama sendu atau mendayu dengan diiringi gesekan biola, yang syairnya berisi
pantun nasehat, pengalaman hidup, tuntunan hidup, bahkan kisah yang
menyelimuti terjadinya sinandong bilah tersebut. Selain ditambahkan pula
beberapa tarian seperti : Tari Inek, Tari Bunga Dabus, Tari Pilandok, Tarian Abang
Tunggal yang merupakan ciri khas dari kesenian Sinandong Bilah ini.
Peralatan kesenian pada sinandong bilah ini terdiri dari gendang, piul
(biola), bangsi (sejenis suling kecil), gambang (sejenis gamelan yang terbuat dari
kayu nibung), losung dagang (sejenis lumpang yang terbuat dari kayu aloban),
gong kecil, kicir (tamborin yang terbuat dari kelapa kecil berbentuk bulat).Pada
umumnya kesenian ini diadakan pada acara perkawinan, khitanan anak atau pada
acara peringatan hari besar termasuk hari kemerdekaan.
Tradisi berpantun yang terdapat pada masyarakat Melayu di Labuhan Batu
yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini pada kenyataannya, mengalami
kemunduran dalam penggunaanya di tengah masyarakat Melayu Labuhan Batu.
Tradisi berpantun juga dijumpai dalam Bordah yang berasal dari Kualuh dan
Labuhan Bilik , sudah sangat jarang sekali dilakukan pada sepuluh tahun
terakhir ini. Tradisi berpantun ini merupakan penggabungan antara tari, pencak
silat dan berbalas pantun yang merupakan salah satu tradisi masyarakat Melayu
Labuhan Batu yang harus mendapat perhatian sebelum akhirnya sama sekali
punah.
Tradisi ini menggambarkan kearifan lokal dalam bergotong royong
keramahtamahan dengan lingkungan alam yang mengitari masyarakat tersebut.
Dimana tradisi ini menggambarkan nilai-nilai positif didalam membina hubungan
kebersamaan dalam sebuah masyarakat, kegotong-royongan dalam membantu dan
4
menyenangkan warga masyarakat yang mempunyai hajatan. Dalam berpantun,
pantun yang disampaikan secara interaksional saat acara berbalas pantun
disampaikan nilai-nilai sikap dan pembinaan hidup yang mengandung petuah dan
nasehat sebagai media pengajaran dan pendidikan. Penyampaian tradisi berpantun
yang mengandung nilai-nilai filosofis dengan kemasan kesenian yang riang dan
bahasa yang halus tentu lebih mengena bagi generasi muda bila hal ini terus
dilestarikan.
Apabila tradisi lisan ini punah patut disesalkan karena tradisi lisan
mempunyai berbagai nilai yang bermanfaat. Nilai yang dimaksud adalah (1)
kearifan lokal yang dapat digunakan sebagai sarana pendidikan (Sobary,
1999:5-12), (2) nilai estetik agama, nilai sosial (Teeuw, 1984:304), dan (3) nilai
seni yang bercirikan individual, lokal, dan universal (Foley, 1986), oleh karena
itu, perlu ada usaha pelestarian tradisi lisan.
Perlunya mengetahui konsep nilai pengguna pantun dalam tradisi
melisankan tersebut dalam kehidupan penutur dan komunitas tradisi lisan yang
semakin berkurang, akibat proses pewarisan secara alamiah yang tidak berjalan
sesuai dengan yang diharapkan sementara perubahan kebudayaan berjalan cepat
ditengah kemajuan peradaban manusia khususnya masyarakat Melayu.
Konsep nilai di dalam tradisi lisan terpancar nilai yang kini dalam keadaan
kritis, gagasan, norma kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki individu maupun
masyarakat. Penelitian tentang hal yang terkandung dalam tradisi lisan sesuai
dengan nilai ideal masyarakat pendukung tradisi lisan tersebut yang melahirkan
kearifan-kearifan lokal. Hal inilah yang melatarbelakangi kajian kearifan lokal
berpantun pada masyarakat Melayu Labuhan Batu,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tradisi Lisan
Tradisi lisan menurut Sibarani (2000) adalah semua kesenian, pertunjukan,
atau permainan yang menggunakan tuturan lisan. Jika suatu kesenin tidak
menggunakan atau tidak disertai ucapan lisan tidak termasuk tradisi lisan.
Sebaliknya, jika suatu cerita tidak ditradisikan (dipertunjukkan) di hadapan
masyarakat pendukungnya, tidak termasuk tradisi lisan, walaupun itu sastra lisan
dan potensial jadi tradisi lisan.
Sedyawati (1996:5) mendefinisikan tradisi lisan “segala wacana yang
disampaikan secara lisan, mengikuti cara atau adat istiadat yang telah memola
dalam suatu masyarakat.” Kandungan isi wacana tersebut dapat meliputi berbagai
hal : berbagai jenis cerita ataupun berbagai jenis ungkapan seremonial dan ritual.
Cerita-cerita yang disampaikan secara lisan itu bervariasi mulai dan uraian
genealogis, mitos, legenda, dongeng, hingga berbagai cerita kepahlawanan.
Perkembangan tradisi lisan terjadi dan mulut ke mulut sehingga menimbulkan
banyak versi cerita. Menurut Suripan Sadi Hutomo (1991: 11), tradisi lisan itu
mencakup beberapa hal, yakni (1) yang berupa kesusastraan lisan, (2) yang berupa
teknologi tradisional, (3) yang berupa pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana
dan kota metropolitan, (4) yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan fo/k di
luar batas formal agama-agama besar. (5) yang berupa kesenian folk di luar
pusat-pusat istana dan kota metropolitan, dan (6) yang berupa hukum adat.
Pudentia (1999: 32) memberikan pemahaman tentang hakikat kelisanan
(orality) sebagai berikut: Tradisi lisan (oral tradition) mencakup segala hal yang
berhubungan dengan sastra, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan
serta jenis keseman lain yang disampaikan dan mulut ke mulut. Jadi, tradisi lisan
tidak hanya mencakup cerita rakyat teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat,
5
6
mitologi, dan legenda sebagaimana umumnya diduga orang, tetapi juga berkaitan
dengan system kognitif kebudayaan, seperti : sejarah, hukum dan pengobatan.
Tradisi Lisan adalah “segala wacana yang diucapkan dan disampaikan secara
turun temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara”. Lisan yang pertama
(oracy) mengandung maksud kebolehan bertutur secara beraksara. Kelisanan
dalam masyarakat beraksara sering diartikan sebagal hasil dan masyarakat yang
tidak terpelajär; sesuatu yang belum dituliskan; sesuatu yang dianggap belum
sempurna dan matang, juga sering dinilai dengan kriteria keberaksaraan.
2.2. Kearifan Lokal (Local Wisdom)
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai
usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan
bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai
kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau
bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang
terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai
‘kearifan/kebijaksanaan’.
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal terdiri dari 2 kata, yaitu kearifan
(wisdom) dan lokal (local). Dalam kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan
Hasan Syadily, Local yang berarti setempat, sementara wisdom sama dengan
kebijaksanaan. Dengan demikian maka dapat dipahami, bahwa pengertian
kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-padangan
setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. I Ketut Gobyah
(dalam Sartini, 2004) mengatakan bahwa kearifan lokal adalah kebenaran yang
telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan
perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada.
7
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat
maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk
budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup.
Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat
universal.
Kebudayaan dan kearifan lokal sangat erat hubungannya dengan masyarakat,
maknanya bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dipengaruhi
oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Kebudayaan dapat
dipandang sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang
lain, yang kemudian disebut sebagai superorganik.
Kearifan lokal memiliki suatu nilai tersendiri yang mana nilai- nilai yang
terkandung dalam kearifan lokal dapat tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun kearifan lokal yang mencerminkan nilai budaya di antaranya adalah
kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotong royong,
pengelolaan gender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan,
kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan
penyeselesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur (Sibarani 2012:
133-134) yang dikelompokkan menjadi kearifan lokal inti (core local wisdom)
yaitu kesejateraan dan kedamaian.
Kearifan lokal merupakan modal utama masyarakat dalam membangun
dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif dengan lingkungan alam
sekitarnya. Kearifan lokal dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung dalam
struktur sosial masyarakat sendiri dan memiliki fungsi sebagai pedoman,
pengontrol, dan rambu-rambu untuk berperilaku dalam berbagai dimensi
kehidupan baik saat berhubungan dengan sesama maupun dengan alam. Sekarang
eksistensi kearifan lokal dirasakan semakin memudar pada berbagai kelompok
masyarakat.
2.2. Revitalisasi
Revitalisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008:1172)
berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali.
Pengertian ini menunjukkan bahwa suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya
dan kurang mendapat perhatian dihidupkan atau digiatkan kembali sehingga
menjadi penting dan perlu sekali.
Sibarani (2004:30) yang menyatakan bahwa revitalisasi kebudayaan adalah
sebuah proses dan usaha memvitalkan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat
atau usaha untuk membuat kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan harus menjadi bagian dari masyarakat
pendukungnya.
Sedangkan menurut Keesing (1999:257) revitalisasi adalah perubahan
komunitas karena kesadaran baru untuk mencapai suatu cita-cita atau menempuh
suatu cara hidup dengan sesuatu yang baru ataupun cara hidup dan nilai-nilai dari
zaman yang sudah lampau. Keesing lebih menekankan pada kesadaran baru
terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan masyarakat yang sudah menyimpang
dari tradisi-tradisi lama. Revitalisasi dapat berupa cara hidup yang sesuai dengan
perkembangan zaman dengan tetap mengikuti aturan-aturan yang diwariskan oleh
para leluhur ataupun tetap mengikuti pola kehidupan lama yang telah
diturun-temurunkan dari suatu generasi kegenerasi berikutnya.
Budaya lokal harus diusahakan dapat bermanfaat dalam kehidupan
manusia untuk lebih menyejahterakan masyarakat. Budaya lokal yang
berkembang secara turun temurun dari zaman lampau sudah semakin tergerus dan
tertatih-tatih menghadapi pengaruh globalisasi yang semakin luas daya jelajahnya.
Untuk menangkal arus globalisasi yang begitu gencar mempengaruhi keberadaan,
legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal, maka munculnya kekuatan yang
disebut kearifan lokal, atau lebih tegasnya
8
revitalisasi kearifan lokal.
Revitalisasi juga dapat difungsikan untuk memperkokoh jati diri bangsa
yang didalamnya meliputi kesadaran sejarah memegang peranan penting dalam
menumbuhkembangkan jati diri dan identitas bangsa sehingga penghayatan
kebersamaan di masa lampau dapat membangkitkan rasa kepemilikan terhadap
kearifan lokal. Selain itu, kesatuan dan persatuan akan terus terpelihara dalam
mempersiapkan masa yang akan datang tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang
diwariskan oleh generasi pendahulu. Gagasan revitalisasi mengandung pikiran
jernih yang menyisaratkan adanya pandangan positif tentang beberapa strateginya
kekuatan kearifan lokal dalam menghadapi derasnya arus globalisasi.
2.4 Tradisi Berpantun
Pantun merupakan satu puisi Melayu. Pantun terpendek terdiri dan dua
bans yang mempunyai ikatan berirarna san mempunyai sebutan yang sama
dihujungnya. Baris-baris ini pula yang dikumpulkan menjadi empat, enam atau
delapan baris. Pantun terbagi kepada dua bagian sama banyak rangkapnya, yaitu
bagian pembayang dan diikuti dengan maksud pantun. Bagian pembayang pada
pantun empat kerat terdiri dan dua ayat pembayang dan dua ayat maksud, dan
bagi pembayang pantun delapan kerat adalah empat ayat pembayang dan empat
ayat maksud dan demikian seterusnya.
Sebagai sebuah tradisi lisan tradisional, Pantun (ungkapan tradisional)
diduga telah ada dan digunakan untuk berbagai kepentingan praktis dalam
kehidupan masyarakat Melayu sejak zaman nenek moyang. Tradisi lisan ini tidak
diciptakan bila tidak memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat. Dalam
kehidupan masyarakat Melayu sehari-hari menunjukkan bahwa tradisi ini sering
digunakan untuk mengontrol perilaku anggota masyarakat, khususnya generasi
muda, mewariskan nilai-nilai yang dianggap positif, mendidik, dan berbagai
fungsi pemakaian lain. Pantun adalah ungkapan bijak warisan nenek moyang
tentang nilai-nilai dan filosofis kehidupan masyarakat Melayu yang diungkapkan
9
10
dengan singkat, padat dan dengan sentuhan bajiasa puitis. Melayu mengajarkan
berbagai dirnensi nilai dan filosofis, agar menjadi pegangan dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari. Sebahagian besar dan Pantun merupakan kristalisasi dan
nilai-nilai agama dalam sistem budaya masyarakat Melayu.
Hampir bisa dipastikan semua Pantun memuat nilai-nilai yang sesuai
dengan ajaran agama yang dianut masyarakat Melayu yaitu agama Islam. Hal mi
sejalan dengan ungkapan salah satu peribahasa yang sangat masyhur yakni :‘Adat
yang bersendikan Syara’, Syara yang bersendikan Qitabullah . Peribahasa ini
menggambarkan secara tepat bagaimana adat dan hukum telah terintegrasi secara
utuh dan harmonis, sehingga tidak mungkin memisahkan antara keduanya.
Masyarakat Melayu sebagai masyarakat multikultural yang terdiri dan
berbagai suku bangsa. Di mana kumpulan manusia yang berbeda-beda
asal-usulnya membentuk kepentingan dan tujuan yang sama pada saat tertentu
dalam perjalanan historis kerajaan Melayu pada masa lalu. Berbagai keragaman
itu dapat dibuktikan secara sederhana dan bentuk fisik, karakter sosial dan
bahasa-bahasa lokal sebagai bukti nyata yang terdapat dalam masyarakat Melayu
sampai saat ini.
Keberagaman pemikiran orang Melayu ini seperti terlacak dalam
kehidupan masyarakat melalui ungkapan sehari-hari yang terdapat dalam pantun
meskipun ini dikemas dalam bentuk syair, narnun sesungguhnya memiliki pokok
pemikiran dalam masyarakat yang dibentuk.
Pantun merupakan ungkapan verbal tradisional yang saat erat dengan
budaya masyarakat Melayu sebagai alat untuk mengekspresikan harapan,
kehendak, cita-cita dan sebagainya, baik mengenai alam maupun lingkungan
sekitar dimana isinya mengandung pesan-pesan, ungkapan, teguran halus,
peringatan, tunjuk ajar dan sebagainya yang berkaitan dengan seluruh sisi
kehidupan dalam budaya masyarakat Melayu yang bercirikan bahasa tradisi atau
11
bahasa bertradisi (traditional language of tradition). Pantun hadir dalam setiap
sisi kehidupan masyarakat Melayu.
Pantun dimasa lalu tidak hanya dijadikan sebagai sarana hiburan rakyat
semata tetapi juga difungsikan sebagai sarana retorika yang sangat fungsional,
sehingga para tokoh pimpinan masyarakat formal dan informal hams
mempelajarinya dan menguasainya dengan baik. Pantun merupakan salah satu
jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara.
Pada Masyarakat Melayu Labuhan Batu pantun hadir dalam setiap acara,
upacara dalam kehidupan masyarakat misalnya acara khitanan, perkawinan, dan
sebagainya. Pada masyarakat Melayu Labuhan Batu pantun juga dipengaruhi
dengan budaya Mandailing sehingga pantun Mandailing juga mendominasi
khasanah pantun di Labuhan Batu misalnya pada tradisi cenggok-cenggok dan
endeng-endeng, pantun dalam tradisi cenggok-cenggok dan endeng-endeng
dipadukan dengan dengan tarian serampang dua belas dan pencak silat. Tradisi ini
lazimnya dilakukan masyarakat yang sedang menggelar pesta khitanan (sunat
rasul) atau malam pesta perkawinan. Malam sebelum digelarnya pesta besar,
biasanya pemilik hajatan mengundang warga sekampung utnuk melakukan
kenduri. Kenduri itu biasanya digelar untuk meyampaikan do’a dan puji-pujian.
Selain itu kegiatan itu bermaksud untuk menjamu warga sekampung khususnya
para pria dan orang-orang tua untuk bersantap malam dirumah pemilik hajatan.
Usai bersantap, para tetua biasanya mengelar acara do’a dan membacakan
Al Barzanji dan wiridan kecil selepas itu pemilik hajatan biasanya mengundang
tarian cenggok-cenggok atau endeng-endeng utuk menemami sang pengantin
bergadang sampai pagi menjelang digelarnya pesta besar. Para tradisi
cenggok-cenggok lazimnya dilakoni 12 orang pemain yakni enam orang sebagai
penabuh gendang sekaligus pemain pencak silat, seorang pemain biola, seorang
pemain bangsi (seruling) dan empat orang wanita sebagai penari. Pertunjukan
cenggok-cenggok biasanya diawali oleh sambutan, dilanjutkan dengan tarian dan
12
nyanyian Melayu, selepas pertunjukan dilakukan berbalas pantun dan pencak silat
begitu seterusnya pertunjukan ini biasanya berlangung selama tiga jam.
Saat ini kesenian yang diadopsi dan Kualuh dan Labuhan Bilik ini sudah
sangat jarang dilakukan pada pagelaran acara penyambutan tamu atau acara
sunatan perkawinan, bahkan nyaris tidak ada sepuluh tahun belakangan ini.
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
(1) Menemukan kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi berpantun di Labuhan
Batu.
(2) Membuat model revitalisasi kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi
berpantun bagi masyarakat dan khususnya bagi pemantun dan pepantun di
Labuhan Batu
3.2 Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian di atas hasil penelitian ini akan memberi kontribusi
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan sosial budaya.
a. Penelitian ini bermanfaat bagi pegembangan ilmu pengetahuan, sebagai
berikut
1. Menemukan suatu teori atau pendekatan baru yang berangkat dari teori
atau pendekatan sendiri untuk mengkaji atau menganalisis tradisi lisan.
Selama ini teori atau pendekatan digunakan boleh dikatakan hampir
semuanya menggunakan teori dari dunia barat. Sebaliknya, kalau tidak
didapatkan pendekatan atau teori baru diharapkan penelitian ini dapat
menguatkan pendekatan atau teori yang sudah ada.
2. Menghasilkan model revitalisasi kearifan lokal yang terdapat dalam
tradisi berpantun bagi masyarakat , khususnya pemantun dan pepantun
sebagai mediator pantun terebut.
13
b. Penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan pendidikan, sosial dan budaya,
antara lain :
1. Bagi pemantun dan pepantun khususnya dapat dijadikan sebagai
pedoman penyampaian pantun di tengah masyarakat Labuhan Batu
2. Bagi Dinas Pendidikan dapat dijadikan muatan lokal di
sekolah-sekolah, lembaga pendidikan formal dan informal. Bagi Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Dapat dijadikan sebagai upaya pelestarian
kebudayaan daerah.
14
BAB IV
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di kabupaten Labuhan Batu terdiri dari 2
(dua) kecamatan yaitu kecamatan Rantau Prapat dan kecamatan Labuhan Bilik,
dan 1(satu) kecamatan di kabupaten Labuhan Batu Selatan, provinsi Sumatera
Utara. Pemilihan Rantau Prapat, Labuhan Bilik dan Kota Pinang sebagai lokasi
penelitian karena masyarakatnya masih menjunjung tinggi adat-istiadat dan masih
mempraktekkan tradisi berpantun dalam kehidupan masyarakatnya.
Waktu penelitian diperkirakan lebih kurang satu tahun mulai dan persiapan
pengumpulan data, penganalisisan data hingga pembuatan laporan penelitian.
Sementara jika diperlukan tempat penelitian dilakukan di beberapa kecamatan
yang ada di kabupaten Labuhan Batu. Hal ini ditetapkan mengingat wilayah
pemukiman masyarakat Melayu Labuhan Batu cukup luas, maka 3 kecamatan
ini cukup signifikan untuk mewakili semua kecamatan yang ada di Labuhan Batu
.3.2 Paradigma dan Model Penelitian
Paradigma penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif
karena penelitian ini berusaha menggali, menemukan, mengungkapkan, dan
menjelaskan makna dan pola tradisi berpantun secara holistik. Makna dapat
dipahami sebagai fungsi, nilai, norma, dan kearifan lokal; sedangkan pola dapat
dipahami sebagai kaidah, struktur, dan formula. Kedua hal itulah yang menjadi
tujuan akhir penelitian kualitatif (Sibarani, 2012:266-227).
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini model analisis
antropolinguistik yang sudah penulis modifikasi sesuai dengan data tradisi
berpantun di Labuhan Batu, Sibarani (2012:304-305) model analisis
antropolinguistik dapat diterapkan dalam kajian tradisi lisan karena kajian
15
16
antropolinguistik terhadap tradisi lisan dimulai dari unsur-unsur verbal, kemudian
masuk ke unsur-unsur nonverbal. Struktur dan formula unsur verbal dan
nonverbal tradisi lisan dapat dijelaskan melalui pemahaman ko-teks, teks, dan
konteks. Untuk lebih jelasnya model penelitian ini dapat dilihat pada bagan
alur berpikir proses penelitian di bawah ini.
Bagan 1. Alur Berfikir Proses Penelitian
Riset Awal Studi Pustaka Peneliti
TRADISI BERPANTUN
PERTUNJUKAN
KO-TEKS KONTEKS KO-TEKS
PARALINGUISTIK,
PROKSEMIK, KINETIK,
MATERIAL
NILAI BUDAYA
SOSIAL, SITUASI,
DAN IDIOLOGI
UNSUR FORMULAIK
BAHASA FIGURATIF
NILAI DAN NORMA BUDAYA
KEARIFAN LOKAL
REVITALISASI KEARIFAN
LOKAL TRADISI LISAN
BERPANTUN
Keterangan:
1. Bagan ini merupakan bagan model analisis antropolinguistik yang sudah
dimodifikasi dan juga bisa diterapkan dalam kajian tradisi lisan (lihat juga
Sibarani, 2012:310).
2. Keterangan bagan:
Garis penelitian pendahuluan
Garis penelitian lanjutan
Garis hasil penelitian
Garis revitalisasi hasil penelitian
Berdasarkan bagan di atas terdapat empat tahapan penelitian, yaitu:
1. Penelitian Tahap I: sudah selesai dikerjakan
Penelitian pendahuluan berupa pematangan persiapan dengan cara
mempelajari tradisi berpantun di Labuhan Batu dan mencari serta membaca
referensi-referensi yang berhubungan dengan tradisi berpantun tersebut.
2. Penelitian Tahap II: sudah selesai dikerjakan
Pengumpulan data dengan cara merekam acara berpantun dan mewawancarai
informan untuk mendapatkan data tambahan untuk merumuskan model
revitalisasi kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi berpantun tersebut.
3. Penelitian Tahap III: sudah dikerjakan
17
Menganalisis data dengan memahami ko-teks, teks, dan konteks untuk
merumuskan nilai dan norma budaya serta menemukan kearifan lokal yang
terdapat dalam tradisi berpantun di Labuhan Batu
4. Penelitian Tahap IV: sedang dikerjakan
Membuat model revitalisasi kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi
berpantun untuk masyarakat Labuhan Batu baik itu bagi pemimpin
sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) bagi masyarakat umumnya
dan tokoh adat, budayawan, pemantun dan pepantun pada khususnya.
3.3 Sumber Data dan Data Penelitian
Sumber data penelitian ini adalah rekaman acara tradisi berpantun
sebagai data primer dan catatan pantun yang ada pada informan sebagai data
sekunder. Sedangkan buku-buku yang memuat pantun seperti karangan Tenas
Effendi (2004, 2005), Tengku Amin Ridwan (2005), Harun Mat Piah (1989),
Tabrani Rab (1989), Tengku Luckman Sinar (2002) dijadikan sebagai literatur
atau bahan bacaan karena menurut Bungin (2007:122) apabila bahan-bahan
dokumenter diterbitkan sebagai buku dan boleh dibeli dan dibaca orang setiap saat
maka sifatnya berubah menjadi literatur atau sebagai bahan bacaan.
Data penelitian adalah ungkapan-ungkapan pantun dan kearifan lokal
yang terdapat dalam tradisi lisan berpantun.Sumber data yang dipakai dalam
penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder, data primer yaitu data utama
sedangkan data sekunder disebut dengan data kedua. Data primer merupakan data
yang diperoleh langsung ketika acara berpantun dilakukan sehingga tradisi lisan
sebagai wadah berlangsungnya acara berpantun tersebut. Data primer juga didapat
dengan mengambil data dan informan kunci yaitu pelaku adat dan tokoh yang
memahami adat istiadat Melayu di Labuhan Batu, sedangkan untuk memahami
bahasa dalam pantun dikumpulkan dan hasil rekaman. Selanjutnya pengujian
18
pemahaman pantun dalam penelitian mi ditentukan informan utama yang terdiri
atas tiga kelompok usia, yaitu 15-20 tahun, 21-45 tahun dan di atas 46 tahun.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik dokurnentasi
instrumen pengumpulan data terdiri dari dua: a) lembar dokumentasi untuk data
tertulis; dan b) teknik rekam untuk data lisan. Data bahasa yang digunakan ketika
acara berpantun dilaksanakan akan dikiasifikasikan berdasarkan kearifan lokal
yang ada di dalam pantun tersebut. Data pantun yang dikumpulkan merupakan
data lisan dan data tulisan yang terdokumentasi.
Instrumen pelengkap dalam penelitian mi adalah bèrupa daftar pertanyaan
yang akan ditanyakan langsung kepada informan. Daftar pertanyaan akan
digunakan saat mewawanarai informan. Data yang digali dan informan adalah
segenap pantun Melayu pada masyarakat setempat. Untuk mendapatkan data
tentang lambang, simbol dan lain-lain yang berhubungan dengan perangkat
pendukung dalam pelaksanaan tradisi berpantun digunakan kamera rekam
(handycam) agar unsur pendukung mi dapat disajikan secara utuh.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Ada beberapa jenis metode pengumpulan data ditempuh dalam penelitian
ini, yaitu:
a. Metode Observasi Partisipatoris Langsung
Metode ini dipergunakan untuk mengadakan pengamatan secara
langsung jalannya acara tradisi berpantun. Alat bantu yang digunakan dalam
pengamatan ini adalah tape recorder dan handycam. Alat-alat ini digunakan untuk
merekam jalannya acara berpantun dan merekam kejadian dalam bentuk gambar.
b. Metode Wawancara Terbuka dan Mendalam
Wawancara terbuka dan mendalam digunakan untuk mendapatkan
informasi dari informan sebagai data penelitian untuk dianalisis. Dengan metode
19
ini peneliti mewancarai para informan. Informasi yang akan ditanyakan kepada
para informan dapat berupa informasi bentuk, isi, dan model revitalisasi sesuai
dengan konsep masyarakat.
c. Metode Diskusi Kelompok Terarah
Data penelitian diperoleh dengan cara metode diskusi
kelompok terarah dari para informan. Metode ini digunakan untuk melakukan
deskripsi dan rekonstruksi sebuah tradisi lisan. Setiap peserta akan memberikan
masukan mengenai model pengelolaan dan model revitalisasi nilai-nilai kearifan
lokal yang terdapat dalam tradisi berpantun.
d. Metode Dokumenter
Data penelitian juga dikumpulkan dengan cara metode dokumenter. Data
ini diperoleh dari catatan pidato adat yang ada pada informan (pemantun dan
pepantun ) dan audio-visual berupa rekaman acara berpantun
3.5 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sejak sebelum memasuki
lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Dalam hal ini
Nasution (2003) menyatakan analisis data kualitatif telah dimulai sejak
merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan
berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. Analisis data menjadi
pegangan bagi penelitian selanjutnya. Namun, dalam penelitian ini, analisis data
lebih difokuskan pada proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data.
Analisis data berdasarkan analisis konteks yang dipakai memberikan
analisis, interpretasi atau penafsiran dan mengambil kesimpulan terhadap
data-data yang sudah terkumpul. Pedoman analisis data yang dilakukan peneliti
adalah sebagai berikut:
20
1. Setiap hasil wawancara dan rekaman tradisi berpantun ditranskripsikan
2. Setiap kegiatan dan simbol-simbol yang mendukung acara berpantun
tersebut dianalisis dan diinterpretasi satu persatu berdasarkan analisis
konteks
3. Selanjutnya, hasil analisis dan interpretasi dilengkapi dengan data
pendukung untuk mengambil kesimpulan.
3.6 Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data dicek dengan teknik triangulasi sumber data. Data acara
berpantun yang diperoleh dari observasi melalui teknik rekaman, dicek dengan
data pantun yang dalam bentuk tertulis yang ada pada informan (pemantun dan
pepantun) penulis peroleh dengan cara wawancara. Kemudian data ini juga dicek
dengan buku-buku yang memuat pidato adat. Sedangkan data upaya revitalisasi
kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi berpantun akan dicek di antara sesama
informan.
21
BAB V
HASIL YANG DICAPAI
5.1 Kearifan Lokal dalam Tradisi Berpantun
Pantun merupakan ungkapan verbal tradisional yang saat erat dengan
budaya masyarakat Melayu sebagai alat untuk mengekspresikan harapan,
kehendak, cita-cita dan sebagainya, baik mengenai alam maupun lingkungan
sekitar dimana isinya mengandung pesan-pesan, ungkapan, teguran halus,
peringatan, tunjuk ajar dan sebagainya yang berkaitan dengan seluruh sisi
kehidupan dalam budaya masyarakat Melayu yang bercirikan bahasa tradisi atau
bahasa bertradisi (traditional language of tradition). Pantun hadir dalam setiap
sisi kehidupan masyarakat Melayu.
Pantun dimasa lalu tidak hanya dijadikan sebagai sarana hiburan rakyat
semata tetapi juga difungsikan sebagai sarana retorika yang sangat fungsional,
sehingga para tokoh pimpinan masyarakat formal dan informal harus
mempelajarinya dan menguasainya dengan baik. Pantun merupakan salah satu
jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara.
Tradisi berpantun merupakan tradisi lokal yang mengandung kearifan
lokal sehingga perlu upaya menjaga dan mendokumentasikan sampai pada
menganalisis tradisi lisan berpantun agar dapat mencegah proses kepunahan
tradisi lisan ini. Untuk itu perlu merubah sikap dan cara pandang masyarakat
untuk tetapa mempertahankan keberadaan tradisi lisan ditengah komunitas
masyarakat tradisi tersebut.
Dalam tradisi lisan berpantun ini ditemukan kearifan lokal antara lain :
22
5.1.1 Nilai-nilai religius
Budaya dan adat istiadat Melayu berpilar pada ajaran agama Islam disebut
dengan “Adat bersendikan syara’ syara’ bersendikan Qitabullah”. Demikian juga
dengan masyarakat Melayu Labuhan Batu , dimana dalam sikap dan konsep
hidup mereka bepegang pada agama dan adat. Dalam kebudayaan Melayu
meletakkan dasar pada akidah, akhlak dan ilmu dalam menjalankan kehidupan
secara bersama dan mengacu pada adat istiadat. Hal tersebut ditemukan dalam
penelitian ini dimana dalam pelaksanaan tradisi berpantun yang biasanya berupa
pertunjukan merupakan yang living tradition lahir dari konteks sosio budaya
yang sudah berlangsung lama dan biasanya selalu berhubungan dengan acara
peralihan (rites de passage ) yakni kelahiran, kehidupan dan kematian dalam
bentuk pertunjukan yang dipertontonkan akan melakonkan fenomena yang terjadi
dalam masyarakatnya.
Pada penelitian tradisi berpantun ini biasanya dilaksanakan berkaitan
dengan konteks acara peralihan (rites de passage) pada penelitian ini ditemukan
dalam acara perkawinan, kelahiran dan dan berkaitan dengan menandai sebuah
kesuksesan dalam hal ini adalah khataman Qur’an. Pada penelitian ini yang
berkaitan dengan acara perkawinan, kelahiran dan khataman Qur’an dimeriahkan
dengan tradisi berpantun yang berlangsung pada malam hari yang dimulai dengan
makan malam, pembacaan doa Al-Barjanzi yang kesemuanya berhubungan dengan
pemujaan kepada yang Maha Kuasa.
Pelaksanan acara ini kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan musik Bordah
yang didalamnya terdapat pantun-pantun yang disajikan oleh group Bordah
Al-Fuza. Dari tradisi berpantun yang dilaksanakan terdapat kearifan lokal yang
berlandaskan agama dan adat pantun pada pelaksanaan acara dibuka oleh dengan
memohon izin kepada Allah.
Selamat datang kami ucapkan
Mohon serta keberkahan dan keampunan
Kepada Allah kito tujukan
Semoga pertemuan mendapat kesyukuran
23
Dilanjutkan dengan teks pada sinandong yang dinyanyikan dalam pertunjukan
Bordah yang disajikan dalam bentuk teks pantun yang juga bermuatan religius
untuk tidak melupakan bentuk pemujaan dan ketaatan kepada Allah dengan
mengerjakan sholat lima waktu yang merupakan kewajiban umat Islam.
Kalo pangantin poi ka mokah
Tolong bawakkan permata batu
Kalo panganten mencari nafkah
Jangan lupakan yang lima waktu
Tradisi berpantun yang dipertunjukkan masyarakat Melayu Labuhan Batu pada
malam sebelum acara syukuran dilaksanakan mempunyai maksud mengingatkan
manausia kepada Allah . Dimana masyarakat berbudaya Islam menyeimbangkan
tiga fondasi dasar Islam dalam dalam menyikapi kehidupan untuk tidak saja
menjadi manusia materialistis yang hanya berorientasi pada kebendaan saja.
Dengan berpegang pada dasar agama masyarakt Melayu Labuhan Batu
menerapkan nilai-nilai religius yang berpijak pada kearifan lokal budayanya dalam
konteks pantun yang disajikan pada acara malam syukuran sebelum pelaksanaan
acara baik itu pesta pernikahan, penabalan nama anak dan khataman Al’Qur’an.
Pantun yang disajikan pada acara hajatan direalisasikan dengan sikap-sikap
kearifan sebagai berikut :
(1) Sikap demokratis dalam mengambil keputusan,
(2) Menghormati orang tua,
(3) Sikap kepemimpinan
(4) Menghormati tamu dan adat istiadat
(5) Menjaga alam semesta.
Sikap-sikap pembinaan hidup yang disampaikan lewat pantun yang disajikan dlam
tradisi ini dapat menjadi pegangan lisan dalam kehidupan sehari-hari
masyarakatnya.
(1) Sikap demokratis dalam mengambil keputusan.
24
Pada acara tradisi berpantun yang disajikan terdapat konsep demokratis yang
tertuang dalam bait pantun yang disajikan. Dimana mengutamakan
musyawarah dan mufakat untuk menyelesaikan sesuatu. Teks pantun yang
mengambarkan konsep demokratis dalam mengambil keputusan yakni :
Bulat kato untuk mufakat
Bulat air untuk pembuluh
Sanak famili kaum kerabat
Seukhangpun tak ado yang mengoluh
Teks pantun berikut menggambarkan untuk melanjutkan musyawarah dengan
kekeluargaan.
Ambek akar batangnya kapak
Supaya sonang membuat jamban
Karena sudah bertukar tepak
Ada kombur kita toruskan
Hang Jebat Hang Kasturi
Budak-budak tanah Malaka
Kalua hendak jangan dicuri
Mari kita batontang muka.
Proposisi “kalua hendak jangan dicuri” menunjukakan demokratisasi dalam
menyikapi pengambilan keputusan untuk tidak melakukan sesuatu dengan
sembunyi-sembunyi tapi dengan berterus terang dengan musyawarah dan
kesepakatan.
(2). Sikap menghormati orang tua.
Bagi masyarakat yang berlandaskan pada agama dan adat khususnya
masyarakat Melayu Labuhan Batu orang tua haruslah dihormati, orang
tua yang dihormati termasuk juga orang yang sudah memakan asam garam
dalam kehidupannya dalam masyarakat, meliputi pemimpin masyarakat
dan tokoh adat. Teks pantun yang menggambarkan penghormatan pada
25
orang tua “ bapak dan ibu” dalam wujud terima kasih karena telah
dibesarkan dan mohon maaf dan lambang bakti pada orang tua.
Pakaian anak rajo marhum
Rajo yang adil Rajo Telapak
Sombah sampai kepado hukum
Sombah kepada ibu dan bapak
(3) Sikap kepemimpinan
Sikap kepemimpinan dalam acara adat sangat kental terlihat . Sikap dan
konsep ini didapati dalam acara perkawinan hal ini dimulai pada orang tua
sebagai pemimpin bagi anaknya dan sebagai orang yang akan menikahkan
anaknya baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Dalam hal ini
persetujuan orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga sangat penting
sikap kepemimpinan tersebut tergambar dari teks berikut ini.
Bukan lobah sebarang lobah
Lobah bersarang di pokok nangko
Bukan sombah sembarang sombah
Sombah untuk adat pusako
Sikap dan konsep ini mencerminkan bahwa sikap pemimpin dalam
memutuskan atau ingin menyampaikan sesuatu hal yang penting harus
memperhatikan dan menghargai pihak-pihak lain yang hadir dalam acara
tersebut.
(4) Sikap menghormati tamu dan adat istiadat
Adat dan tradisi yang ada dalam masyarakt Melayu Labuhan Batu sangat
berkaitan erat dengan bentuk silaturahmi antar keluarga. Dalam bentuk
silaturahmi ini ada yang disebut tuan rumah dan tamu yang harus disambut.
Hal ini tentu menjadi bagian dalam penerimaan tamu yang dalam ajaran
Islam juga ditekankan pentingnya menjaga silaturahmi dan penghormatan
terhadapa tamu. Dalam masyarakat Melayu penyambutan tamu kerap
ditandai dengan penyerahan tepak sirih sebagai tanda pihak yang
mempunyai hajatan penyelenggaraan suatu acara merasa bahagia dengan
26
27
datangnya tamu yang diharapkan membawa kabar bahagia dan tepak sirih
diibaratkan sebagai pembuka kata. Pada teks pantun ditemukan sikap
menghormati tamu yang datang yakni :
Apa diusung tepak puan
Batang jurame dinding perahu
Apa maksud tuan dan puan
Datangnya ramai kami ingin tahu
Proposisi “ apa maksud tuan dan puan” melukiskan sikap hormat tuan
rumah ketika menyambut tamu yang datang
(5) Menjaga Alam Semesta
Dalam tradisi berpantun yang merupakan budaya masyarakat Melayu
didpati representasi alam semesta yang melingkupi isinya termasuk wilayah
geografis, kebudayaan dan gambaran masyarakat yang dirangkum dengan
menunjukkan jati diri Melayu. Dalam pantun yang demikian kreatif
dipertontonkan dalam tradisi berpantun dijumpai hal yang berkaitan
dengan alam semesta. Hal ini kita jumpai dalam tradisi berpantun yang
berkaitan dengan binatang, yakni : penyebutan balanak, ikan, itek surati ,
pilanduk (kancil). Kosa kata berkaitan dengan tumbuhan, yakni : jurame
(batang padi), tempurung, sabut, salada, sireh. Penyebutan nama daerah
dan wilayah yakni: Mokah, Bengkalis, Belawan, Aceh, Batubara,
penyebutan ini berkaitan dengan budaya daerah berikut aspek lokalitasnya.
Kampong salamat pokannya baru
Makan salada bekawan susuk
Semoga selamat penganten baru
Dari anak sampai ke cucu
Anak itek teronang-ronang
Dari Aceh ke Batubara
Ambek sireh betali boning
Tanda kita basudara
Pilanduk-pilanduk tekial-kial
Kona jorat pilanduk Sembilan mata
Habis pondok ponding tajual
Alamat hidup akan merana
5.2 Model Revitalisasi Kearifan Lokal
Penelitian ini bertolak dari keberadaan tradisi lisan berpantun yang
menjadi bagian dari budaya masyarakat Melayu Labuhan Batu. Proses
keberadaan tradisi lisan dalam masyarakat Melayu Labuhan Batu
biasanya dipertunjukkan dalam upacara peralihan (rites de passage) yang
berkaitan dengan kelahiran dan kehidupan. Dalam penelitian ini berkaitan
dengan acara perkawinan, kelahiran dan kesuksesan dan selamatan telah
khatam Al Qur’an. Dalam perkembangan budaya masyarakat. Sesuai
dengan model revitalisasi objek tradisi lisan berpantun agar menjadi
sesuatu yang vital dalam masyarakat Melayu Labuhan Batu yang menjadi
bagian penting dalam kehidupan kebudyaan masyarakatnya sebelum
tradisi ini kehilangan bentuk dan maknanya perlu dilakukan upaya
revitalisasi terhadap kearifan lokal tradisi ini . Proses revitalisasi tentunya
dilakukan dengan terorganisir oleh individu, pelaku budaya, kelompok
komunitas tradisi bersama-sama pemerintah yang memiliki kesadaran
akan petingnya warisan budaya untuk dijaga dan dilestarikan. Model
revitalisasi kearifan lokal ini dapat digunakan untuk mengkaji
kebudayaan secara holistik dimana keseluruhan unsur-unsur yang
terdapat dalam model ini saling berkaitan dan mendukung sehingga
membentuk kesatuan. Usaha ini dimulai dari mendidik calon pemantun
dan pepantun sebagai penerus tradisi yang dilakukan secara lisan dan
praktik yang dilakukan di sanggar budaya, balai pertemuan adat atau pun
lewat sekolah formal dan informal yang praktiknya akan dipertunjukkan
pada rangkaian acara dimana tradisi tersebut dipentaskan. Lewat cara
inilah proses revitalisasi kearifan lokal dapat ditransformasi melalui
pertunjukan guna melestarikan warisan budaya.
28
Secara sederhana model revitalisasi kearifan lokal tersebut dapat
dilihat pada bagan di bawah ini.
Bagan Model Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Tradisi Berpantun
Calon Pemantun dan Pepantun
Lisan Praktik tradisi
1. Sanggar
2. Balai Adat
3. Sekolah
1. Acara Perkawinan
2. Acara Khitanan
3. Khataman Al Qur’an.
Pelestarian Tradisi
Berpantun
29
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Dari hasil penelitian ini ditemukan kearifan lokal dalam tradisi lisan berpatun
pada masyarakat Melayu Labuhan Batu Sumatera Utara. Kearifan lokal dapat
ditemukan dalam tradisi pertunjunkan pantun dan dalam teks pantun itu sendiri.
Tradisi lisan masyarakat Melayu Labuhan Batu Sumatera Utara ini
memperlihatkan tingginya peradaban suku bangsa Melayu yang tercermin dalam
tradisi lisan pantun yang didalamnya sarat dengan nilai, norma yang melahirkan
sikap kearifan lokal. Revitalisasi kearifan lokal dapat dilakukan secara lisan
dengan tetap mempertahankan tradisi ini dalam bentuk interaksi dalam
masyarakatnya.
7.2 Saran
Tradisi berpantun ini hendaknya tetap dipertahankan keberadaannya dalam
bentuk kebiasaan menggunakan pantun dalam berinteraksi. Sehingga konsep nilai
yang ada dalam pantun dapat menjadi cermin bagi masyarakat dalam berfikir dan
bertindak sehingga dapat membawa nilai kearifan dalam wujud kedamaian.
30
DAFTAR PUSTAKA
Baharshah II, Luckman Sinar. dan Wan Syaifuddin. 2002. Kebudayaan Melayu
Sumatera Timur. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Bungin, M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media Group.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia
Effendy, Tenas. 2004. Tunjuk Ajar dalam Pantun Melayu. Yogyakarta: BKPBM
Adicita
_____, 2005. PantunNasehat. Yogyakarta: BKPBM Adicita
I Ketut Gobyah, 2003. “Berpijak pada Kearifan Lokal”, dalam http://www.balipos.
co.id , diakses 13/6/2014
Iun, “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali”, dalam http://www.balipos. co.id
Hutomo, Suripan Hadi (1991), Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra
Lisan. Surabaya: HISKI Komisariat Jawa Timur.
Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif
Kontemporer.(Samuel Gunawan, Pentj). Jakarta: Erlangga.
Piah, Harun Mat. 1989. Puisi Melayu Tradisional: Satu Pembicaraan Genre dan
Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Pudentia MPSS (Ed.) (1998), Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Rab, Tabrani. 1986. Kepribadian orang Melayu. Pekanbaru: Pemda Dati-I Riau.
Ridwan, T. Amin. 2005. Budaya Melayu Menghadapi Globalisasi. Medan: USU
Press.
31
_____. 2005. Mendaulatkan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Utama Dunia.
Medan: USU Press.
Nasution, S. 2003. Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Sartini. 2004. “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati”.
Jurnal Filsafat, Jilid 37, Nomor 2
Sedyawati, Edi (1996), Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan
Ilmu Ilmu Budaya, dalam Warta ATL. Jurnal Pengetahuan dan
Komunikasi Peneliti dan Pemerhati Tradisi Lisan. Edisi III Maret.
Jakarta: ATL.
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik atau Linguitik
Antropologi. Medan: Penerbit Poda.
---------. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan.
Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Sobary. M. 1999. “Kearifan Lokat dalam Tradisi Lisan” dalam Warta ATL Edisi
V Juni 1999. Jakarta: ATL.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Vansina, Jan. 1985. Oral Tradition as History. Wisconsin: The University of
Wisconsin Press.
32