laporan akhir ekpd 09 dki jakarta - ui

110

Upload: ekpd

Post on 15-May-2015

6.482 views

Category:

Education


8 download

DESCRIPTION

Laporan Akhir EKPD 2010 Provinsi DKI Jakarta oleh Universitas Indonesia

TRANSCRIPT

 

 

Laporan

EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009  

Universitas Indonesia D E P O K

        

 

 

Laporan EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 © 2009 Disusun dalam bahasa Indonesia oleh Tim EKPD UI Tahun 2009 Universitas Indonesia Gedung DRPM UI Lt. 2 Kampus UI, Depok 16424 e-mail: [email protected] KODE LAPORAN: - Penyusun: Tim EKPD UI Tahun 2009

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | i 

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Merupakan sebuah kepercayaan bagi Universitas Indonesia untuk turut serta melakukan

kegiatan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

2009 bekerja sama dengan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

Bappenas. Mengingat pentingnya kegiatan ini, Direktorat Riset dan Pengabdian

Masyarakat (DPRM) Universitas Indonesia sebagai unit yang bertanggung jawab atas

kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat di lingkungan UI, diberi tugas untuk

menyusun tim khusus EKPD UI. Tim ini terdiri dari dosen/peneliti di lingkungan UI yang

memiliki kepakaran di bidang yang terkait dengan pelbagai program yang dievaluasi.

Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) 2009 dilaksanakan untuk menilai

relevansi dan efektivitas kinerja pembangunan daerah dalam rentang waktu 2004-2008.

Evaluasi ini juga dilakukan untuk melihat apakah pembangunan daerah telah mencapai

tujuan/sasaran yang diharapkan dan apakah masyarakat mendapatkan manfaat dari

pembangunan daerah tersebut.

Hasil evaluasi digunakan sebagai rekomendasi yang spesifik sesuai kondisi lokal guna

mempertajam perencanaan dan penganggaran pembangunan pusat dan daerah periode

berikutnya, termasuk untuk penentuan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana

Dekonsentrasi (DEKON).

Atas bantuan dan kerjasama berbagai pihak khususnya Pemerintah Daerah Provinsi DKI

Jakarta kami mengucapkan banyak terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Depok, 30 Desember 2009

Tim EKPD UI

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | ii 

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................................. i Daftar Isi ........................................................................................................................ ii Bab I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang dan Tujuan .......................................................................... 1 1.2. Keluaran ...................................................................................................... 21.3. Metodologi ................................................................................................... 3 1.4. Sistematika Penulisan Laporan ................................................................... 3

Bab II HASIL EVALUASI .............................................................................................. 4

2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI …………………..… 4 2.1.1 Capaian Indikator………………………………………………………… 4

a. Pendidikan Aparatur Minimal S1…………………………………….. 8 b. Pelayanan Satu Atap…………………………………….………….… 8 c. Pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) ………………………..… 8 d. Pelayanan Puskesmas ……………………………………………..… 10 e. Pelayanan Pemakaman Umum ………………………..………........ 12f. Pelayanan Izin Mendirikan Bangunan ……………........................... 14 g. Pelayanan Pembuatan Sertifikat Tanah ……………………..…..… 16

2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik Dan Menonjol ……………...…… 17 2.1.3. Rekomendasi Kebijakan ……………………………………………..… 18

2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA ……………………………..…... 20

2.2.1.A. Capaian Indikator Bidang Pendidikan ………………………….... 20 a. Indeks Pembangunan Manusia ………………………………….….. 20 b. Angka Partisipasi Sekolah SD/MI …………………………………… 20 c. Angka Melek Aksara 15 Tahun Ke Atas …………………………… 21 d. Rata-rata Nilai Akhir ....................................................................... 22 d. Angka Putus Sekolah ………………………………….…………..… 23 e. Persentase Guru yang Layak Mengajar ………………………….... 24

2.2.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol beserta Rekomendasi …………………………………………………..……

32

2.2.1.B. Capaian Indikator dan Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Bidang Kesehatan …………………………………….. 34

a. Peserta KB Aktif Periode 2004-2009 ………………………….…… 34 b. Angka Harapan Hidup Waktu Lahir Periode 2004-2009 …………. 35c. Angka Kematian Bayi Periode 2004-2009 ………………………… 36d. Angka Kematian Ibu Periode 2004-2009 ………………………..… 37e. Prevalensi Balita Gizi Buruk Periode 2004-2009 ……………….… 38f. Prevalensi Balita Gizi Kurang Periode 2004-2009 ……………….. 38g. Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap 100.000 Penduduk Periode 2004-2009 …………………………………………………... 39

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | iii 

2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI ……………………………………..….… 41

2.3.1.1. Capaian Indikator …………………………………………………… 42 2.3.2.1. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ................... 44

A. Kondisi Ekonomi Makro Provinsi DKI Jakarta …………….. 44 a. Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta ………………………... 44 b. Perkembangan Ekspor DKI Jakarta ………………………... 49c. Perkembangan Industri Manufaktur DKI Jakarta ………….. 52d. Perkembangan Pendapatan Per Kapita DKI Jakarta ……… 54e. Perkembangan Inflasi DKI Jakarta ……………………….…. 55f. Perkembangan Investasi Provinsi DKI Jakarta ………..…. 59 g. Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN…….… 59 h. Investasi Penanaman Modal Asing (PMA) ……………….... 62

2.3.3.1. Rekomendasi Kebijakan …………………………………………..… 64 2.3.1.2. Capaian Indikator dan Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Transportasi Darat dan Penyediaan Air Bersih ……….. 66 2.3.2.2. Rekomendasi Kebijakan …………………………………………..... 80

2.4. TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL-EKONOMI …………………………….. 82 2.4.1.Capaian Indikator ................................................................................... 82 2.4.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ........................... 82

a. Kondisi Kemiskinan DKI Jakarta ………………………………………. 83 b. Perkembangan Kondisi Ketenagakerjaan DKI Jakarta ……………… 83c. Perkembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Anak (Terlantar, Jalanan, Balita Terlantar dan Nakal) …………....… 90 d. Perkembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Lanjut Usia ........................................................................................... 91 e. Perkembangan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial (Penyandang Cacat, Tuna Sosial, dan Korban Penyalahgunaan Narkoba) ……….………………………………..…... 92

2.4.3. Rekomendasi Kebijakan ……………………………………..………..…. 92 BAB III KESIMPULAN ................................................................................................. 94 LAMPIRAN

Matriks Data Daftar Grafik Daftar Tabel Daftar Gambar

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | iv 

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 1 

 

Bab I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Tujuan

Pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan

nasional, pada hakekatnya pembangunan daerah adalah upaya terencana untuk

meningkatkan kapasitas daerah dalam mewujudkan masa depan daerah yang lebih

baik dan kesejahteraan bagi semua masyarakat.

Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 32 tahun 2004 yang menegaskan bahwa

Pemerintah Daerah diberikan kewenangan secara luas untuk menentukan kebijakan

dan program pembangunan di daerah masing-masing.

Demikian pula halnya dengan Provinsi DKI Jakarta telah membuat perencanaan

pembangunannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) DKI

Jakarta 2007-2012, yang merupakan penjabaran dari Visi, Misi, Program Gubernur

terpilih Fauzi Bowo. RPJMD DKI Jakarta terdiri dari Kebijakan Umum Pembangunan

Daerah, Kebijakan Umum Keuangan Daerah, Strategi dan Program SKPD, lintas

SKPD, serta program kewilayahan.

Adapun maksud penyusunan RPJMD DKI Jakarta 2007-2012 untuk menghasilkan

program-program pembangunan daerah yang terpadu, fokus dan responsif terhadap

kebutuhan masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah sebagai acuan penyusunan

Rencana Strategis setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), arah

pengembangan usaha bagi pelaku usaha dan harapan bagi setiap warga ibukota.

Visi DKI Jakarta yang telah dituangkan dalam Peraturan Daerah adalah sebagai

berikut: “Jakarta Yang Nyaman dan Sejahtera Untuk Semua”, dengan pemahaman

sebagai berikut:

A. Jakarta yang nyaman bermakna terciptanya rasa aman, tertib, tentram dan damai;

B. Jakarta yang sejahtera bermakna terwujudnya derajat kehidupan penduduk

Jakarta yang sehat, layak, dan manusiawi.

Untuk mewujudkan visi, misi pembangunan 2007-2012 adalah sebagai berikut:

a. Membangun tata kelola pemerintahan yang baik dengan menerapkan kaidah-

kaidah ”Good Governance”.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 2 

 

b. Melayani masyarakat dengan prinsip pelayanan prima.

c. Memberdayakan masyarakat dengan prinsip pemberian otoritas pada masyarakat

untuk mengenali permasalahan yang dihadapi dan mengupayakan pemecahan

yang terbaik pada tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan

pengendalian pembangunan.

d. Membangun sarana dan prasarana kota yang menjamin kenyamanan, dengan

memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

e. Menciptakan lingkungan kehidupan kota yang dinamis dalam mendorong

pertumbuhan dan kesejahteraan.

Setelah berjalan sampai tahun 2009, Bappenas memutuskan untuk melakukan

evaluasi terhadap kinerja pembangunan seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi DKI

Jakarta termasuk di dalamnya walaupun jika dilihat dari keberlakuan RPMJD baru

berakhir tahun 2012. Hal ini dilakukan karena kepemimpinan nasional dimulai tahun

2004 dan akan berakhir tahun 2009.

Sebagai catatan perlu disampaikan bahwa pada periode tersebut diatas Provinsi DKI

dipimpin oleh dua orang Gubernur yang berbeda, yaitu Sutiyoso dan Fauzi Bowo.

Kedua orang gubernur ini memerintah dengan Visi, Misi, Renstra serta program

pembangunannya sendiri-sendiri.

Secara kuantitatif, evaluasi ini akan memberikan informasi penting yang berguna

sebagai alat untuk membantu pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan

pembangunan dalam memahami, mengelola dan memperbaiki apa yang telah

dilakukan sebelumnya.

Hasil evaluasi digunakan sebagai rekomendasi yang spesifik sesuai kondisi lokal guna

mempertajam perencanaan dan penganggaran pembangunan pusat dan daerah

periode berikutnya, termasuk untuk penentuan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK)

dan Dana Dekonsentrasi (DEKON).

1.2 Keluaran

Keluaran yang diharapkan dari pelaksanaan EKPD 2009 meliputi:

1. Terhimpunnya data dan informasi evaluasi kinerja pembangunan di Provinsi DKI

Jakarta

2. Tersusunnya hasil analisis evaluasi kinerja pembangunan di Provinsi DKI Jakarta

sesuai sistematika buku panduan.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 3 

 

1.3 Metodologi Penelitian yang dilakukan adalah penelitian evaluatif yang mengutamakan

penggunaan data sekunder dan pengamatan langsung.

Untuk menganalisis kinerja pembangunan daerah, pendekatan yang digunakan

adalah Relevansi dan Efektivitas.

Relevansi digunakan untuk menganalisis sejauh mana tujuan/sasaran pembangunan

yang direncanakan mampu menjawab permasalahan utama/tantangan. Dalam hal ini,

relevansi pembangunan daerah dilihat apakah tren capaian pembangunan daerah

sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan nasional.

Sedangkan efektivitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian antara

hasil dan dampak pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Efektivitas

pembangunan dapat dilihat dari sejauh mana capaian pembangunan daerah

membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Dalam mengumpulkan data dan informasi, teknik yang akan digunakan pada Provinsi

DKI adalah:

Pengumpulan Data Primer Data diperoleh melalui FGD dengan pemangku kepentingan pembangunan daerah.

Tim EKPD melakukan FGD dengan peserta Bappeda DKI bersama dengan sejumlah

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). SKPD yang terlibat adalah mereka yang

berkedudukan di Tingkat Provinsi maupun Kotamadya.

Pengumpulan Data Sekunder Sejauh ini data dan informasi yang telah tersedia pada instansi pemerintah adalah

data yang berasal dari BPS DKI Jakarta, Bappeda Pemda DKI Jakarta, serta dari

sejumlah SKPD yang terkait.Selain itu data-data juga diperoleh dari sumber-sumber

resmi lainnya.

1.4 Sistematika Penulisan Laporan Laporan ini terdiri dari 3 bab yang berisi pendahuluan, hasil evaluasi, dan kesimpulan.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 4 

 

Bab II HASIL EVALUASI

2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI 2.1.1. Capaian Indikator Kurun Waktu Tahun 2007

Pemerintah Daerah DKI Jakarta sejauh ini telah melakukan berbagai upaya

perbaikan pelayanan diberbagai sektor pemerintahan. Penyelenggaraan

Pemerintahan mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2002 tentang

Rencana Strategis Daerah (Renstrada) 2002-2007. Sesuai dengan Renstrada

2002-2007, program Pemerintah Daerah dikelompokan dalam 8 (delapan) Bidang

Pembangunan. Berdasarkan prioritas anggaran, kedelapan bidang pembangunan

tersebut dikelompokkan menjadi Program Dedicated dari Prioritas Satuan Kerja

Pemerintah Daerah (SKPD). Dengan demikian, program pemerintah daerah

adalah sebagai berikut:

1. Program Dedicated

2. Program prioritas SKPD:

a. Bidang Hukum, Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Kesatuan Bangsa

b. Bidang Pemerintahan

c. Bidang Ekonomi

d. Bidang Pendidikan dan Kesehatan

e. Bidang Sosial Budaya

f. Bidang Kependudukan dan Tenaga Kerja

g. Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

h. Bidang Sarana Prasarana Kota

Pencapaian Program Dedicated sampai tahun 2007 dapat dilihat pada deskripsi di

bawah ini:

Pembebasan Tanah Banjir Kanal Timur Sejauh ini telah dibebaskan tanah untuk Banjir Kanal Timur sebesar 72,82% dari

total lahan yang harus dibebaskan

a. Normalisasi Sungai, Situ, Saluran dan Waduk

Terlaksananya pembebasan tanah untuk pembangunan Waduk Sunter Hulu,

Cimanggis, Cilangkap, Rawa Lindung. Demikian pula terlaksananya sebagian

dari normalisasi Kali Banglio, Kali Tanjungan dan Kali Ciliwung Gajah Mada,

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 5 

 

serta berfungsinya saluran penghubung dan saluran mikro sepanjang 13,59

km.

b. Pelabuhan Penumpang Muara Angke

Dalam rangka pembangunan pelabuhan Muara Angke, sejauh ini telah

terbangun dermaganya.

c. Busway

Hasil yang dicapai sampai tahun 2007 adalah terlaksananya pemeliharaan

jalur Busway koridor I – VII, tersedianya jalur Busway (termasuk separator)

Koridor VIII (Lebak Bulus-Harmoni), Koridor IX (Pinang Ranti-Grogol-Pluit),

Koridor X (Cililitan-Tanjung Priok), berfungsinya lokasi park and ride di Halte

Ragunan dan Halte Kampung Rambutan, serta terbangunnya pool Busway di

Cililitan dan Daan Mogot (eks PPD).

d. Perumahan

Dari rencana pembangunan rumah susun sebanyak 2008 unit, telah

direalisasikan sebanyak 1700 unit yang terdiri dari 1200 unit Rusun Marunda,

280 unit Rusun Pinus Elok, 63 unit Rusun Cakung Barat, 48 Unit Rusun Pulo

Jahe dan 100 unit Rusun Pulo Gebang atau 85% dari target rencana.

e. Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Kelurahan dan Kecamatan

Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan di tingkat kelurahan dan

pelayanan, Gubernur DKI telah membuat Peraturan Gubernur (Pergub) No. 46

Tahun 2006 tentang Pelimpahan Wewenang Sebagian Urusan Pemerintahan

Daerah dari Gubernur kepada Walikotamadya/Bupati Kabupaten Administratif,

Camat dan Lurah. Saat ini Peraturan Gubernur tersebut sudah dilaksanakan.

f. Kesehatan

Berfungsinya pelayanan keluarga miskin dan bencana bagi 320.763 pasien di

82 Rumah Sakit serta 44 Puskesmas.

Laporan yang berkaitan dengan Provinsi DKI Jakarta tidak lengkap karena

kesulitan untuk mendapatkan data dari instansi-instansi pemerintah yang ada

(SKPD) walaupun Bappeda bersifat sangat membantu. Selain mendapatkan

sebagian data dari Pemda DKI Jakarta, sebagian data diperoleh dari hasil

penelitian yang dilakukan oleh Transparansi Internasional untuk data Pelayanan

Publik dan Korupsi, serta dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang

berkaitan dengan integritas yang berkaitan dengan korupsi dan pelayanan publik.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 6 

 

Kurun Waktu Tahun 2008

Kurun waktu 2008 ditandai dengan sulitnya mendapatkan data yang berkaitan

dengan pelayanan publik di DKI Jakarta. Oleh karena itu tim mengambil data dari

hasil penelitian yang dilakukan oleh Transparansi Internasional tentang Indeks

Persepsi Korupsi (IPK) seperti yang dapat dibaca di bawah ini.

Transparansi Internasional melakukan penelitian terhadap 50 kota di Indonesia

yang terdiri dari 33 ibukota provinsi dan 17 kota besar lainnya. Hasil penelitian

adalah sebagai berikut:

A. Sepuluh kota terbaik terdiri dari: 1. Yogyakarta 6. Surakarta

2. Palangkaraya 7. Tasikmalaya

3. Banda Aceh 8. Banjarmasin

4. Jambi 9. Samarinda

5. Mataram 10. Pangkal Pinang

B. Ranking 11 sampai 40:

11. Ternate 21. Semarang 31. Surabaya

12. Jayapura 22. Bandar Lampung 32. Denpasar

13. Malang 23. Serang/Cilegon 33. Sibolga

14. Jember 24. Palu 34. Lhokseumawe

15. Kediri 25. Bengkulu 35. Mamuju

16. Balikpapan 26. Batam 36. Jakarta

17. Gorontalo 27. Sorong 37.Manado

18. Makassar 28. Tenggarong 38. Pematang Siantar

19. Padang 29. Tanjung Pinang 39.Palembang

20. Sampit 30. Ambon 40. Medan

C. Ranking 10 terendah 41. Cirebon 46. Purwokerto

42. Pontianak 47. Kendari

43. Bandung 48. Manokwari

44. Padang Sidempuan 49. Tegal

45. Pakan Baru 50. Kupang

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 7 

 

Data di atas memperlihatkan Provinsi DKI Jakarta berada pada ranking 36 dari 50

kota yang disurvei oleh Transparansi Internasional. Data di atas memperlihatkan

bahwa kondisi pelayanan publik yang berkaitan dengan korupsi cukup

memprihatinkan di DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia.

Kurun Waktu 2009

Pada penelitian yang sama, yaitu yang bertemakan korupsi dan pelayanan publik,

KPK mengurut 10 Provinsi dengan hasil Pemerintah DKI Jakarta ada pada

peringkat 8 dengan nilai integritas 5,65. Ini artinya baik dilihat dari ranking unit

pelayanan maupun provinsi yang menjadi sampel penelitian, Provinsi DKI Jakarta

mendapat nilai integritas pelayanan publik yang cukup buruk.

No Prov Nilai Integritas

Pengalaman Integritas

Potensi Integritas

1 Jawa Timur 7,15 7,46 5,94

2 Kalimantan Selatan 7,04 7,56 5,51

3 Jawa Barat 6,81 7,09 5,974 Kalimantan Timur 6,73 7,10 5,645 Bali 6,53 6,67 6,086 Lampung 6,25 6,41 5,787 Sumatera Utara 6,06 6,17 5,728 DKI Jakarta 5,65 5,67 5,619 Sulawesi Utara 4,80 4,66 5,23

10 Sulawesi Selatan 4,75 4,55 5,34Rata-rata 6,18 6,33 5,68

5

Nilai Integritas 10 Pemerintah Provinsi Tahun 2009 

                         Tabel 1. Nilai Integritas 10 Pemerintah Provinsi Tahun 2009

Selain itu pada penelitian yang sama KPK juga melakukan penelitian terhadap 39

unit pelayanan yang tersebar di seluruh Indonesia. Ada 4 unit pelayanan Pemda

DKI Jakarta yang terambil sebagai sampel. Masing masing adalah RSUD DKI

berada pada rangking 6 terbaik dengan nilai integritas 7,28, rangking 28 adalah

Dinas Koperasi dan UKM DKI dengan nilai integritas sebesar 5,78, rangking 31

Lintas Instansi DKI dengan nilai integritas sebesar 5,11, rangking 34 Dinas

Perhubungan DKI dengan nilai integritas sebesar 4,43. Secara keseluruhan nilai

integritas tertinggi adalah 7,42 diperoleh RSUD Provinsi Jawa Timur, sedangkan

nilai terendah adalah 3,72 diperoleh Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 8 

 

Selatan. Dapat disimpulkan sejauh berkaitan dengan pelayanan publik dan

korupsi, kinerja Provinsi DKI dapat dikatakan masih buruk.

a. Pendidikan Aparatur Minimal S1

Berkaitan dengan indikator pendidikan aparatur yang berijazah minimal S1

data menunjukan adanya kenaikan mulai dari tahun 2005 sampai tahun 2009.

Data tersebut adalah sebagai berikut:

Tahun Jumlah 

(Persentasi) 

2005  29,17 

2006  31,61 

2007  33,34 

2008 36,02

2009  39,18 

Tabel 2. Persentase Jumlah Aparat Yang Berijazah Minimal S1

Jumlah Persentase Aparat yang berijazah Minimal S1 untuk tahun 2005

adalah 29,17 persen, tahun 2006 31,61 persen, tahun 2007 33,34 persen,

tahun 2008 36,02 persen serta tahun 2009 39,18 persen.

Data di atas menunjukan kondisi yang lebih baik dari rata-rata nasional.

b. Pelayanan Satu Atap Di Provinsi DKI Jakarta sudah sejak lama terdapat Kantor Pelayanan Satu

Atap (SAMSAT), namun kantor ini hanya terpadu dalam arti lokasi dan belum

dalam arti kewenangan. Berbeda dengan yang ada pada sejumlah provinsi,

keterpaduan diwujudkan dalam Dinas Perijinan. Dengan demikian kualitas

pelayanan sistem satu atap yang ada pada Provinsi DKI belum mampu

mempercepat proses pelayanan. Hal ini disebabkan karena masing-masing

instansi harus kembali lagi ke instansi asalnya untuk pengambilan keputusan.

c. Pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP)

Persepsi terhadap pelayanan KTP di Kelurahan menurut data survei 83,33

persen memperoleh hasil puas atas pelayanan KTP, 11,90 persen kurang

puas serta 4,17 persen menunjukkan tidak puas pada pelayanan pembuatan

KTP di Kelurahan.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 9 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 Grafik 1. Persepsi Terhadap Pelayanan KTP di Kelurahan

 

Waktu penyelesaian pengurusan KTP membutuhkan waktu satu hari untuk

perpanjangan serta dalam hal pembuatan baru, mutasi hilang maka dibutuhkan

waktu maksimum 14 hari. Persepsi terhadap jangka waktu pengurusan KTP

74,03 persen menunjukkan puas, 21,79 persen menyatakan kurang puas,

selebihnya yaitu 4,18 persen menunjukkan tidak puas terhadap lama waktu

penyelesaian pembuatan KTP di kelurahan.

   

 

 

 

 

 

 

 

  Grafik 2. Persepsi Terhadap Jangka Waktu Pengurusan KTP di Kelurahan

Pelayanan masyarakat bidang administrasi kependudukan di DKI Jakarta

berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Peraturan

Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah, Peraturan Daerah

Nomor 6-7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk

dalam kerangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (SIMDUK) dalam

wilayah DKI Jakarta, serta Instruksi Gubernur KDKI Jakarta Nomor 134 Tahun

1998 tentang Penghentian Pungutan Beberapa Jenis Pajak Daerah dan

84%

12% 4%

a. Persepsi terhadap Pelayanan KTP di Kelurahan

Puas Kurang Puas Tidak Puas

74%

22%

4%

b. Persepsi terhadap jangka waktu pengurusan KTP

Puas Kurang Puas Tidak Puas

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 10 

 

Retribusi Daerah DKI Jakarta menyatakan bahwa dalam rangka pengurusan

administrasi kependudukan tidak dikenakan biaya, dalam data menunjukkan

persepsi terhadap biaya pengurusan KTP menunjukkan data persentasi: 77,20

persen menyatakan puas, 18,54 persen kurang puas serta 4,26 persen

menyatakan tidak puas atas pelayanan biaya pembuatan KTP. Serta persepsi

terhadap biaya pihak ketiga menyatakan data 55,11 persen menyatakan puas,

22,73 persen meyatakan kurang puas serta 22,16 persen menyatakan tidak

puas dalam rangka pembiayaan pembuatan KTP pihak ketiga.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Grafik 3. Persepsi Terhadap Biaya Pengurusan KTP di Kelurahan

d. Pelayanan Puskesmas

Berdasarkan hasil survei persepsi dan kepuasan publik oleh Pusat Kajian

Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), sebanyak 87,59 persen

warga menyatakan puas terhadap pelayanan Puskesmas Kecamatan.

Sedangkan yang merasa kurang puas mencapai 16,80 persen, dan hanya 3,67

persen mengaku tidak puas.

 

Grafik 4. Persepsi Terhadap Pelayanan Puskesmas

88%

11% 1%

a. Persepsi terhadap Pelayanan Puskesmas

Puas Kurang Puas Tidak Puas

77%

19%

4%

c. Persepsi terhadap biaya pengurusan KTP

Puas Kurang Puas Tidak Puas

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 11 

 

Terhadap biaya pengobatan di Puskesmas, warga menganggap sudah sangat

memadai. Terbukti dari responden yang menyatakan puas terhadap biaya yang

dikenakan saat berobat di puskesmas mencapai 94,06 persen. Responden yang

menyatakan kurang puas hanya 5,68 persen, dan yang tidak puas hanya 0,26

persen.

Grafik 5. Persepsi Terhadap Biaya Pengobatan

Sementara itu, berdasarkan hasil survei Dinas Kesehatan DKI, mayoritas pasien

menginginkan pelayanan yang ramah dan cepat. Untuk itu, Dinas Kesehatan

telah melakukan peningkatan kualitas pelayanan mulai dari loket sampai poliklinik

dengan pola 3S yaitu Senyum, Sapa dan Salam, juga melakukan pembinaan

sumber daya manusia seperti pelatihan service excellent, serta rutin

melaksanakan Gugus Kendali Mutu yang salah satunya adalah menindaklanjuti

keluhan pelanggan.

Persepsi terhadap lama waktu pelayanan Puskesmas menunjukkan data 87,59

persen menyatakan puas, 5,68 persen kurang puas serta 0,26 persen tidak puas.

Grafik 6. Persepsi Terhadap Lama Waktu Pelayanan Puskesmas

94%

6% 0%

b. Persepsi terhadap biaya pengobatan

Puas Kurang Puas Tidak Puas

79%

17%

4%

b. Persepsi terhadap Lama Waktu Pelayanan Puskesmas

Puas Kurang Puas Tidak Puas

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 12 

 

e. Pelayanan Pemakaman Umum Persepsi terhadap pelayanan pemakaman umum DKI Jakarta menunjukkan

angka 68,33 persen menunjukan puas serta 24,17 persen menunjukkan

kurang puas dan 7,50 persen meyatakan tidak puas atas pelayanan

pemakaman umum.

Grafik 7. Persepsi Terhadap Pelayanan Pemakaman Umum

Jangka waktu pengurusan pemakaman menunjukkan angka 76,79 persen

menyatakan puas, 17,41 menyatakan kurang puas dan yang tidak puas sebesar

5,8 persen.

Grafik 8. Persepsi Terhadap Lama Pengurusan Pemakaman

77%

17%

6%

b. Persepsi terhadap lama pengurusan pemakaman

Puas Kurang Puas Tidak Puas

17%

63%

20%

a. Persepsi terhadap pelayanan pemakaman umum

Puas Kurang Puas Tidak Puas

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 13 

 

Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah menyatakan

besaran biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka pengurusan pemakaman

umum di DKI Jakarta.

Biaya Perizinan Pelayanan Pemakaman:

1. Izin pemasangan plaket makam Rp30.000,00/izin

2. Izin mengangkut jenazah keluar negeri Rp20.000,00/jenazah

3. Izin mengangkut jenazah keluar wilayah Provinsi DKI Jakarta Rp10.000,00/jenazah

4. Izin tahan jenazah setelah 24 jam Penambahan lebih dari 1 hari sampai dengan paling lama 5 hari

Rp10.000,00/24 jam Rp2.000,00/hari

5. Izin pengabuan jenazah/kerangka jenazah Rp10.000,00/jenazah/ kerangka

6. Izin penggalian dan pemindahan jenazah/ kerangka jenazah

Rp10.000,00/jenazah/ kerangka

7. Izin usaha dan daftar ulang izin usaha dibidang pelayanan pemakaman atau pengabuan (kremasi) Rp250.000,00/tahun

Berdasarkan persepsi terhadap biaya pengurusan pemakaman umum di DKI

Jakarta maka hasil survei menunjukkan data 57,21 persen meyatakan

kepuasan, 30,63 persen kurang puas serta angka 10,74 persen yang meyatakan

tidak puas dalam pembiayaan pengurusan pemakaman umum. Data ini

menunjukkan ketidaksesuaian antara biaya peizinan pelayanan pemakaman

pada Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah dengan

implementasi pengurusannya.

 

Grafik 9. Persepsi Terhadap Biaya Pemakaman Umum

57%31%

12%

c. Persepsi terhadap biaya pemakaman umum

Puas Kurang Puas Tidak Puas

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 14 

 

f. Pelayanan Izin Mendirikan Bangunan

Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Nomor 76 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Memperoleh Izin Mendirikan

Bangunan, Izin Penggunaan Bangunan Dan Kelayakan menggunakan

Bangunan Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta Surat Keputusan

Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 147 Tahun 2000 "Tentang

Pendelegasian Wewenang Pelayanan Penetapan Keterangan Rencana Kota

(KRK) dan Penetapan Izin Pendahuluan (IP) Mendirikan Bangunan pada seksi

P2K Kecamatan". Menerangkan bahwa IMB adalah izin yang diberikan untuk

melakukan kegiatan membangun yang dapat diterbitkan apabila rencana

bangunan dinilai telah sesuai dengan ketentuan yang meliputi aspek

pertanahan, aspek planologis, aspek teknis, aspek kesehatan, aspek

kenyamanan dan aspek lingkungan. Bangunan yang tidak memiliki IMB akan

terkena sanksi yaitu tindakan penertiban. Untuk mendapatkan IMB, pertama

pemohon harus datang ke SUDIN Pengawasan Pembangunan Kota Wilayah

setempat, di mana bangunan itu akan didirikan, untuk mengajukan PIMB.

Sebelumnya terlebih dahulu pemohon harus menyiapkan dan melengkapi

berkas permohonan yang akan diajukan.

Persepsi terhadap pelayanan pengurusan IMB menurut data survei 40,00

persen menyatakan puas, 38,26 persen kurang puas serta 21,74 persen

menyakan tidak puas dalam pelayanan pembuatan izin mendirikan bangunan

di DKI Jakarta.

Grafik 10. Persepsi Terhadap Pelayanan Pengurusan IMB

a. Persepsi terhadap pelayanan pengurusan IMB

40%

38% 

22% 

Puas Kurang Puas Tidak Puas

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 15 

 

Persepsi terhadap lama waktu pengurusan waktu pengurusan IMB menurut

survei adalah 36,79 persen menyatakan puas, 42,45 persen kurang puas serta

tidak puas pada pelayanan pengurusan waktu pengurusan IMB adalah 20,75

persen.

Grafik 11. Persepsi Terhadap Lama Waktu Pengurusan IMB

Persepsi terhadap biaya pengurusan IMB adalah 35,24 persen menyatakan

puas, 44,76 persen kurang puas serta 20,00 persen tidak puas.

Grafik 12. Persepsi Terhadap Biaya Pengurusan Pembuatan IMB

Persepsi terhadap pelayanan pihak ketiga dalam pengurusan IMB adalah 60,92

persen menunjukkan puas, kurang puas di angka 19,54 persen serta yang tidak

puas 19,54 persen.

b. Persepsi terhadap lama waktu pengurusan IMB 

37%

42%

21%

Puas  Kurang Puas Tidak Puas

c. Persepsi terhadap biaya pengurusan pembuatanIMB

35%

45%

20%

Puas  Kurang Puas Tidak Puas

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 16 

 

Grafik 13. Persepsi Terhadap Pihak Ketiga Pengurusan Pembuatan IMB

g. Indikator Pelayanan Pembuatan Sertifikat Tanah

Persepsi terhadap pelayanan pembuatan sertifikat tanah menurut survei

adalah 45,70 persen menunjukkan puas terhadap pelayanan pembuatan

sertifikat tanah, 39,74 persen kurang puas serta 14,57 persen menyatakan

tidak puas.

 

Grafik 14. Persepsi Terhadap Pelayanan Pembuatan Sertifikasi Tanah

Persepsi terhadap lama waktu pembuatan sertifikasi tanah menunjukkan angka

34,51 persen menyatakan puas, 53,52 persen kurang puas serta 11,97 persen

tidak puas atas waktu yang diperlukan dalam pengurusan pembuatan sertifikat

tanah.

46%40%

14%

a. Persepsi terhadap pelayanan pembuatan sertifikasi tanah

Puas Kurang Puas Tidak Puas

61%19%

20%

d. Persepsi terhadap pihak ketiga pengurusan pembuatan IMB

Puas Kurang Puas Tidak Puas

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 17 

 

 

Grafik 15. Persepsi Terhadap Lama Waktu Pembuatan Sertifikasi Tanah

Persepsi terhadap biaya pengurusan pembuatan pengurusan sertifikat tanah

adalah 35,62 persen menyatakan puas, 52,05 persen kurang puas dan 12,33

persen tidak puas pada pembiayaan yang dikeluarkan dalam pengurusan

sertifikat tanah.

Grafik 16. Persepsi Terhadap Biaya Pengurusan Pembuatan Sertifikasi Tanah

2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik Dan Menonjol Dari hasil penelitian mengenai korupsi dan pelayanan publk dari kurun waktu

2008-2009 yang dilakukan oleh Transparansi Internasional dan KPK

meperlihatkan kondisi yang memprihatinkan di DKI Jakarta sebagai Ibu Kota

36%

52%

12%

c. Persepsi terhadap biaya pengurusan pembuatan sertifikasi tanah

Puas Kurang Puas Tidak Puas

b. Persepsi terhadap lama waktu pembuatansertifikasi tanah

35%12%

Puas  Kurang Puas53%

Tidak Puas

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 18 

 

Negara Indonesia. Dalam laporan penelitian yang disususun oleh KPK, tidak ada

perubahan menuju ke arah yang lebih baik dari tahun 2008 sampai 2009. Dapat

disimpulkan sejauh berkaitan dengan pelayanan publik dan korupsi, kinerja

Provinsi DKI dapat dikatakan masih buruk.

Walaupun secara umum permasalahan korupsi dan pelayanan publik masih

buruk di DKI Jakarta, tetapi ada beberapa hal yang cukup baik di DKI Jakarta

seperti indikator pendidikan aparatur minimal S1 yang berada di atas rata-rata

nasional. Selain itu hasil survei mengenai persepsi dan kepuasan publik oleh

Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), menyimpulkan

ada beberapa layanan yang dipersepsikan oleh masyarakat DKI Jakarta pada

level yang cukup memuaskan dalam pelayananannya seperti pelayanan KTP

dan Puskesmas. Sedangkan indikator pelayanan satu atap, pengurusan IMB

dan pembuatan sertifikat tanah masih belum menunjukkan level yang

memuaskan bagi masyarakat di DKI Jakarta.

2.1.3. Rekomendasi Kebijakan

Dari hasil penelitian mengenai korupsi dan pelayanan publk dari kurun waktu

2008-2009 yang dilakukan oleh Transparansi Internasional dan KPK

meperlihatkan kondisi yang memprihatinkan di DKI Jakarta sebagai Ibu Kota

Negara Indonesia. Dalam laporan penelitian yang disususun oleh KPK, tidak ada

perubahan menuju ke arah yang lebih baik dari tahun 2008 sampai 2009. Dapat

disimpulkan sejauh berkaitan dengan pelayanan publik dan korupsi, kinerja

Propinsi DKI dapat dikatakan masih buruk.

Walaupun secara umum permasalahan korupsi dan pelayanan publik masih

buruk di DKI Jakarta, tetapi ada beberapa hal yang cukup baik di DKI Jakarta

seperti indikator pendidikan aparatur minimal S1 yang berada di atas rata-rata

nasional. Selain itu hasil survei mengenai persepsi dan kepuasan publik oleh

Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), menyimpulkan

ada beberapa layanan yang dipersepsikan oleh masyarakat DKI Jakarta pada

level yang cukup memuaskan dalam pelayananannya seperti pelayanan KTP

dan Puskesmas. Sedangkan indikator pelayanan satu atap, pengurusan IMB

dan pembuatan sertifikat tanah masih belum menunjukkan level yang

memuaskan bagi masyarakat di DKI Jakarta.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 19 

 

Untuk itu di rekomendasikan perbaikan dan reformasi administrasi di lingkungan

Pemprov DKI Jakarta untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik dan

penerapan secara ketat standar pelayanan minimum.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 20 

 

2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA 2.2.1. A. Capaian Indikator Bidang Pendidikan

Berdasarkan data yang diperoleh dari Sekretariat Nasional EKPD, sehubungan

dengan capaian indikator “Tingkat Kualitas Sumber Daya Manusia” untuk

Provinsi DKI Jakarta dan disandingkan dengan capaian di tingkat nasional,

didapat data sebagai berikut :

a. Indeks Pembangunan Manusia Untuk capaian tingkat Provinsi pada tahun 2004 sebesar 75,80 %, tahun 2005

sebesar 76,10%, tahun 2006 sebesar 76,30 %, tahun 2008 sebesar 77,03 %.

Sedangkan untuk tingkat nasional berturut turut tahun 2004, 2005, 2006 dan

2007, yaitu sebesar 68,7%, 69,8%, 70,1% dan 70,59%. Indeks Pembangunan Manusia

68,70

75,8070,59

76,10

76.30

76,40

77,03

78,00

2004 2005 2006 2007 2008

-

-

-

Indeks Pemb manusiaProvinsi (outcomes)

Indeks Pemb Manusia Nasional (outcomes)

Grafik 17. Indeks Pembangunan Manusia Provinsi DKI Dan Nasional

b. Angka partisipasi sekolah SD/MI Untuk capaian tingkat provinsi tahun 2004 sebesar 95,00, tahun 2005

meningkat menjadi 96,15%, tahun 2006 meningkat lagi menjadi 97,12. tetapi

tahun 2007 turun sedikit menjadi 96,71%. Sedangkan untuk tingkat nasional,

capaian angka partisipasi sekolah SD/MI adalah berturut turut tahun 2004,

2005, 2006, 2007 dan 2008 adalah sebesar 93%, 93,3%, 93,54%, 93,75%,

dan 93,98%.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 21 

 

  ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH SD/MI :

78.00

93,30

93,9893,75

95,00

96,15

97,1296,71

90.00

2004 2005 2006 2007 2008

-

-

-

Angka Partisipasi Sekolah Provinsi (outcomes)

Angka Partisipasi Sekolah Nasional (outcomes)

Grafik 18. Angka Partisipasi Sekolah DKI dan Nasional

c. Angka Melek Aksara 15 Tahun Ke Atas Untuk capaian tingkat Provinsi pada tahun 2004 sebesar 98,44%, tahun 2005

sebesar 98,48%, tahun 2006: 98,34%, tahun 2007: 98,83% dan tahun 2009

sebesar 98,76 %. Untuk capaian tingkat nasional pada indikator angka melek

aksara 15 tahun ke atas, yaitu berturut-turut tahun 2004, 2005, 2006, 2007

dan 2008 yaitu sebesar 90,4%, 90,90%, 91,50%, 91,87% dan 92,19%.

ANGKA MELEK AKSARA 15 TAHUN KE ATAS :

90.00

91,87 91,50 90,40

98,83 98,34 98,30

99.00

2004 2005 2006 2007 2008

Angka Melek Aksara 15 Tahun Ke atas ProvAngka Melek Aksara 15 th ke atas tk Nasional

Grafik 19. Angka Melek Aksara 15 tahun ke atas DKI dan Nasional

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 22 

 

d. Rata-rata Nilai Akhir Untuk capaian tingkat Provinsi tahun 2004 untuk SMP 5,20 dan SMA 5,12,

tahun 2005 untuk SMP 5,88 dan SMA 6,12, tahun 2006 untuk SMP 5,88 dan

SMA 6,45, tahun 2997 SMP 5,88 dan SMA 6,68 dan tahun 2008 untuk SMP

7,16 dan SMA 6,74. Dan untuk capaian tingkat nasional tahun 2004 untuk

SMP 4,8 dan untuk SMA 4,77. Tahun 2005 untuk SMP 5,42 dan untuk SMA

5,77. Untuk tahun 2006 tingkat SMP 5,42 dan untuk SMA 5,94. Tahun 2007

untuk SMP 5,42 dan untuk SMA 6,28. Tahun 2008 untuk SMP 6,05 dan untuk

SMA 6,35.

RATA-RATA NILAI AKHIR SMP/MTS :

4,50

4,80

5,42 5,20

5,88

6,05

7,16

7.50

2004 2005 2006 2007 2008

-

-

Rata-rata Nilai Akhir SMP Provinsi (outcomes)

Rata-rata Nilai Akhir SMP Nasional (outcomes)

Grafik 20. Rata-Rata Nilai Akhir SMP DKI dan Nasional RATA-RATA NILAI AKHIR SMA/SMK :

4,50

4,77

5,77 5,12

6,125,94

6,45 6,28

6,74 6,68

7.50

2004 2005 2006 2007 2008

-

-

Rata-rata Nilai Akhir SMA Provinsi (outcomes)

Rata-rata Nilai Akhir SMA Nasional (outcomes)

Grafik 21. Rata-Rata Nilai Akhir SMP DKI dan Nasional

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 23 

 

e. Angka Putus Sekolah Untuk capaian tingkat Provinsi tahun 2004 untuk SD 2,79%, SMP 3,70% dan

untuk SMA 4,20%, tahun 2005 untuk SD 5,59%, SMP 0,37% dan untuk SMA

3,00%, tahun 2006 untuk SD 1,78%, SMP 1,87% dan untuk SMA 2,89%, tahun

2007 untuk SD2,43%, SMP 0,77% dan untuk SMA 1,84%. Selanjutnya untuk

capaian tingkat nasional pada tahun 2004, untuk tingkat SD 2,97%, SMP

2.83% dan SMA 3,14%. Tahun 2005 untuk SD 3,17%, SMP 1,97% dan SMA

3,08%. Tahun 2006 untuk SD 2,41%, SMP 2,88% dan SMA 3,33%. Tahun

2007 untuk SD 1,81%, SMP 3,94% dan SMA 2,68%. ANGKA PUTUS SEKOLAH SD :

1,50

1,78

2,41 1,81

2,79 2,43

3,17 2,97

6,35 5,59

7.00

2004 2005 2006 2007 2008

-

-

Angka Putus Sekolah SD tk Provinsi (outcomes) Angka Putus sekolah SD tk Nasional (outcomes)

Grafik 22. Angka Putus Sekolah DKI dan Nasional

ANGKA PUTUS SEKOLAH SMP :

0

0,77 0,37

1,97 1,87

2,88 2,83

3,70 2,97

3,94

5.00

2004 2005 2006 2007 2008

-

-

Angka Putus Sekolah SMP tk Provinsi (outcomes) Angka Putus sekolah SMP tk Nasional (outcomes)

Grafik 23. Angka Putus Sekolah SMP DKI dan Nasional

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 24 

 

ANGKA PUTUS SEKOLAH SMA :

1

1,84

2,89 2,68

3,08 3,00

3,33 3,14

4,20

5,00

2004 2005 2006 2007 2008

-

-

Angka Putus Sekolah SMA tk Provinsi (outcomes) Angka Putus sekolah SMA tk Nasional (outcomes)

Grafik 24. Angka Putus Sekolah SMA DKI dan Nasional

f. Persentase Guru Yang Layak Mengajar

Untuk capaian tingkat Provinsi tahun 2004 untuk SMP 85,94% dan SMA

66,24%, tahun 2005 untuk SMP 85,91% dan SMA 68,81%, tahun 2006 untuk

SMP 82,67% dan SMA 85,91%, tahun 2007 untuk SMP 89,67% dan SMA

86,24%. Sedangkan untuk tingkat nasional tahun 2004 untuk SMP 81,12%

untuk SMA 69,47. Tahun 2005 tingkat SMP 81,01% dan untuk SMA 72,44%.

Tahun 2006 untuk SMP 78,04% dan untuk SMA 82,55%. Tahun 2007 untuk

SMP 86,26% dan untuk SMA 84,05%.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 25 

 

PERSENTASE GURU YANG LAYAK MENGAJAR SMP :

80.00

85,91 82,67

89,67 85,94

99.00

2004 2005 2006 2007 2008

Persentase Guru yang layak Mengajar SMP ProvPersentase guru yg layak mengajar SMPNasional

Grafik 25. Presentase Guru yang Layak Mengajar SMP DKI dan Nasional

Persentase Guru yang layak Mengajar SMA :

66.00

68,81 66,24

86,24 85,91

99.00

2004 2005 2006 2007 2008

Persentase guru yang layak mengajar SMA Prov Persentase guru yg layak mengajar SMA Nasional

Grafik 26. Presentase Guru yang Layak Mengajar SMA DKI dan Nasional

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 26 

 

Tabel 3. Data Kualitas SDM Bidang Pendidikan di Wilayah DKI Jakarta Periode 2004‐2009

Indikator 

Hasil 

(Outcomes) 

Indikator Hasil (Output) Tahun 

2004  2005  2006  2007  2008  2009 

Tingkat 

Kualitas 

Sumber  Daya 

Manusia 

Indeks Pembangunan Manusia 75,8 76,1 76,3 76,4  77,03 

Pendidikan 

Angka Partisipasi Sekolah SD/MI 95,00 96,15 97,12 96,71 

Rata‐Rata 

Nilai Akhir 

SMP/MTS  5,20  5,88  5,88  5,88  7,16    

SMA/SMK 5,12 6,12 6,45 6,68  6,74 

Angka Putus 

Sekolah 

SD  2,79 5,59 1,78 2,43 

SMP  3,70 0,37 1,87 0,77 

SMA  4,20  3,00  2,89  1,84    

Angka Melek Aksara 15 tahun Ke atas  98,31  98,30  98,34  98,83    

Presentase guru yang 

layak mengajar 

SMP  85,94  85,91  82,67  89,67    

Sekolah 

Menengah 66,24  68,81  85,91  86,24 

   

 

Tabel 4. Data Kualitas SDM Bidang Pendidikan Nasional Periode 2004‐2009 

Indikator Hasil 

(Outcomes) Indikator Hasil (Output) 

Tahun 

2004  2005  2006  2007  2008  2009 

Tingkat Kualitas Sumber Daya Manusia 

Indeks Pembangunan Manusia  75,8  76,1  76,3  76,4  77,03    Pendidikan    Angka Partisipasi Sekolah SD/MI  95,00  96,15  97,12  96,71    Rata‐Rata Nilai Akhir 

SMP/MTS  5,20  5,88  5,88  5,88  7,16    

SMA/SMK  5,12  6,12  6,45  6,68  6,74   

Angka Putus Sekolah 

SD  2,79  5,59  1,78  2,43    SMP  3,70  0,37  1,87  0,77    SMA  4,20  3,00  2,89  1,84    

Angka Melek Aksara 15 tahun Ke atas  98,31  98,30  98,34  98,83      

Presentase guru yang layak mengajar 

SMP  85,94  85,91  82,67  89,67    Sekolah Menengah  66,24  68,81  85,91  86,24      

 

 

 

 

 

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 27 

 

Analisis Relevansi Dan Efektivitas

Pendekatan yang digunakan dalam melakukan analisis adalah analisis relevansi dan

analisis efektifitas. Analisis Relevansi digunakan untuk menganalisis sejauh mana

tujuan/sasaran pembangunan yang direncanakan mampu menjawab permasalahan

utama/tantangan. Dalam hal ini, relevansi pembangunan daerah dilihat apakah tren

capaian pembangunan daerah sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan

nasional. Sedangkan efektivitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian

antara hasil dan dampak pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Efektivitas

pembangunan dapat dilihat dari sejauh mana capaian pembangunan daerah membaik

dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Berdasarkan data yang didapat dari Sekretariat Nasional Evaluasi Kinerja Pemerintah

Daerah, maka dapat diberikan analisis sebagai berikut :

Indeks pembangunan manusia

Untuk sasaran dengan indikator Indeks pembangunan manusia yang pada tahun 2004

dicapai sebesar 75,80 persen, tahun 2005 sebesar 76,10 persen, tahun 2006 sebesar

76,30 persen, tahun 2007 sebesar 76,40 dan tahun 2008 dicapai sebesar 77,03 persen.

Bila kita lihat relevansi yang digunakan untuk menganalisis sejauh mana tujuan/sasaran

pembangunan yang direncanakan tercapai, dengan melihat apakah tren capaian

pembangunan daerah sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan nasional.

Capaian indeks pembangunan manusia, ternyata untuk provinsi lebih baik dari capaian

tingkat nasional. Mulai tahun 2004 capaian tingkat Provinsi DKI 75,8% sedangkan

capaian tingkat nasional sebesar 68,7%. Begitu juga untuk tahun 2005 untuk tingkat

provinsi capaiannya sebesar 76,1% sedangkan untuk tingkat nasional capaiannya

sebesar 69,8%. Tahun 2006 untuk provinsi capaiannya sebesar 76,3% dan untuk tingkat

nasional sebesar 70,1%. Sedangkan untuk tahun 2007 capaian provinsi sebesar 76,4%

dan untuk tingkat nasional sebesar 70,59%.

Berdasarkan data yang ada, maka untuk indeks pembangunan manusia, terdapat

peningkatan dari tahun 2004 sampai tahun 2009. Hal ini berarti lebih baiknya untuk

sasaran pembangunan manusia melalui pendidikan di berbagai jenjang di Provinsi DKI

bila dibandingkan dengan capaian tingkat nasional. Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa

sasaran pembangunan tercapai dengan baik. Selain itu kita dapat juga melihat

efektivitasnya, yaitu dengan adanya peningkatan capaian di Provinsi DKI dari tahun ke

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 28 

 

tahun sebelumnya, yaitu dari 75,8%, 76,1%, 76,3%, 76,4% dan terakhir 77,03%. Maka

hal ini dapat dikatakan bahwa sasaran di bidang pendidikan adalah efektif, karena tingkat

capaian sasaran meningkat terus bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Angka partisipasi sekolah SD/MI: Selanjutnya untuk melihat relevansi capaian hasil, maka akan ditinjau apakah sejalan

dan sesuai dengan sasaran yang dicapai di tingkat nasional. Mengacu pada capaian

tingkat nasional dengan indikator “angka partisipasi sekolah SD/MI”, yaitu berturut-turut

untuk tahun 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008 adalah 93%, 93,3%, 93,54%, 93,75% dan

93,98%. Dari capaian tersebut dapat dilihat bahwa capaian tingkat provinsi selalu lebih

tinggi dibandingkan dengan capaian tingkat nasional untuk tahun yang sama. Dengan

demikian terdapat relevansi dalam angka partisipasi sekolah SD/MI.

Bila dilihat dari capaian yang diperoleh, untuk angka partisipasi sekolah, ternyata cukup efektif. Hal ini dapat dilihat bahwa, terjadi peningkatan sejak tahun 2004 hingga tahun

2006, yaitu dari 95,00 % menjadi 96,15 % dan meningkat lagi menjadi 97,12. Namun

pada tahun 2007 terjadi penurunan dari tahun 2004 sebesar 1,71%, yaitu menjadi

96,71%.

Angka Melek Aksara 15 tahun ke atas : Capaian yang dihasilkan selama kurun waktu 2004 sampai 2008 adalah sebagai berikut :

tahun 2004 sebesar 98,44%, tahun 2005 sebesar 98,48%, tahun 2006 sebesar 98,34%,

tahun 2007 sebesar 98,83% dan tahun 2008 sebesar 98,76 %. Adapun tolok ukur yang

digunakan dalam mengukur angka melek aksara usia 15 tahun ke atas adalah

sebagaimana ditetapkan dalam RPJM yaitu sebagai berikut :

1) meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) jenjang SD, MI dan paket A sebesar

115,76 % dengan jumlah siswa menjadi sekitar 27,68 juta. Dan untuk jenjang SMP

sebesar 98,09 % dengan jumlah siswa menjadi sebanyak 12,20 juta.

2) Meningkatnya angka melanjutkan lulusan SD ke jenjang SMP menjadi 94,00%,

sehingga jumlah siswa kelas satu dapat ditingkatkan dari 3,67 juta siswa pada tahun

2004/2005 menjadi 4,04 juta siswa pada tahun 2009/2010;

3) Menurunnya angka buta aksara penduduk berusia 15 tahun keatas menjadi 5% pada

tahun 2009;

4) Meningkatnya proporsi anak yang terlayani pada pendidikan anak usia dini;

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 29 

 

5) Meningkatnya proporsi pendidikan pada jalur pendidikan formal maupun non formal

yang memiliki kualitas minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan

mengajar;

Untuk melihat relevansi dalam indikator “angka melek aksara 15 tahun ke atas, maka

dapat dibandingkan dengan capaian angka melek aksara tingkat nasional, yaitu berturut-

turut tahun 2004, 2005, 2006, 2007dan 2008, yaitu 90,40%, 90,90%, 91,50%, 91,87% .

Hal tersebut menunjukan bahwa, capaian tingkat Provinis ternyata jauh lebih tinggi dari

capaian tingkat nasional, dengan demikian untuk indicator angka melek aksara 15 tahun

ke atas di tingkat provinsi DKI lebih baik dari tingkat nasional.

Sedangkan untuk melihat efektivitasnya, maka mengacu pada capaian tingkat provinsi

dari tahun ke tahun dan ternyata tidak cukup efektif. Hal ini disebabkan terjadi penurunan

capaian pada tahun 2004 sebesar 98,31% turun pada tahun 2005 menjadi 98,30%.

Namun kemudian pada tahun 2006 dan 2007 meningkat menjadi 98,34% dan 98,83%.

Rata-rata Nilai Akhir Sejak tahun 2004 hingga tahun 2008 untuk tingkat pendidikan SMP di tingkat Provinsi,

terjadi peningkatan terhadap nilai akhir rata-rata, yaitu pada tahun 2004 hanya 5,20

kemudian tahun 2005, 2006 dan 2007 menjadi 5,88 serta terakhir tahun 2008 meningkat

menjadi 7,16.

Bila dibandingkan dengan capaian tingkat nasional, yaitu tahun 2004 sebesar 4,8, 2005,

2006 dan 2007 sebesar 5,42 dan tahun 2008 6,05, dapat dilihat relevansinya. Maka

capaian tingkat Provinsi ternyata lebih baik dari capaian tingkat nasional. Berarti sasaran

untuk nilai akhir di Provinsi DKI telah berhasil dengan baik.

Dilihat dari capaian terhadap sasaran, maka terdapat peningkatan dari tahun ke tahun

yang cukup signifikan, terutama dari tahun 2007 ke tahun 2008, yaitu dari 5,88 menjadi

7,16. Sehingga dapat dikatakan bahwa pembangunan di bidang pendidikan untuk tingkat

SMP dengan indikator rata-rata nilai akhir, maka evaluasi tergolong “efektif”, walaupun

pada tahun 2005, 2006 dan 2007, tidak terdapat perubahan capaian.

Sedangkan untuk tingkat pendidikan SMA, pada tahun 2004 rata-rata nilai akhir adalah

5,12. Dan berturut turut untuk tahun 2005 , 2006, 2007 dan 2008 terjadi peningkatan

yaitu berturut-turut 6,12 ; 6,45 ; 6,68; dan 6,74. Disinipun terjadi peningkatan rata-rata

nilai akhir untuk tingkat pendidikan SMA. Dengan demikian dapat dikatakan efektif, dilihat

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 30 

 

dari indikator capaian rata-rata nilai akhir SMA di Provinsi DKI Jakarta, yang meningkat

terus dari tahun ke tahun.

Sedangkan untuk melihat relevansinya, maka perlu melihat pada capaian tingkat

nasional, yaitu berturut turut 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008, yaitu: 4,77 ,5,77, 5,94,

6,28, dan 6,35. Merujuk pada capaian tersebut, maka nampak bahwa capaian tingkat

provinsi lebih baik dibandingkan dengan capaian tingkat Provinsi.

Angka Putus Sekolah

Angka putus sekolah untuk tingkat sekolah dasar, terjadi peningkatan yang cukup tajam

pada tahun 2005, yaitu 5,59%, dari tahun sebelumnya tahun 2004 sebesar 2,79%.

Namun pada tahun 2006 terjadi penurunan yang sangat drastis yaitu menjadi 1,78%.

Kemudian tahun 2007 terjadi sedikit peningkatan kembali angka putus sekolah yaitu

menjadi 2,43%. Hal ini tentunya harus diwaspadai, agar selalu terjadi penurunan angka

putus sekolah setiap tahunnya. Karena indikator inilah mempunyai korelasi yang sangat

besar terhadap tingkat kesejahteraan, dimana kemampuan masyarakat sangat

menentukan kelangsungan pendidikan dari seorang siswa. Melihat pada relevansinya,

maka mengacu pada capaian yang terjadi yaitu tahun 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008,

yaitu sebesar 2,97%, 3,17%, 2,41%, 1,81% dan 6,35%. Tren capaian untuk tingkat

provinsi pun mengalami naik dan turun juga dari tahun ke tahun. Namun demikian

persentase putus sekolah dari provinsi lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat

nasional. Maka hal ini berarti kondisi provinsi lebih baik dalam indikator “angka putus

sekolah tingkat sekolah dasar”.

Kemudian untuk jenjang pendidikan SMP, angka putus sekolah justru pada tahun 2005

sangat menurun drastis yaitu menjadi 0,37%, dari tahun sebelumnya 2004 yaitu sebesar

3,70%. Berarti pada tahun 2005 boleh dibilang minimalisasi angka putus sekolah hampir

berhasil seratus persen. Prestasi yang luar biasa. Selanjutnya pada tahun 2006

meningkat lagi menjadi 1,87% dan tahun 2007 turun kembali menjadi 0,77%. Berarti

tahun 2007 juga sudah membaik, karena angka putus sekolah hanya 0,77%. Jadi dapat

dikatakan bahwa untuk indikator angka putus sekolah, tidak efektif, karena terjadi naik

turun setiap tahunnya.

Analisis relevansi terhadap angka putus sekolah tingkat SMP, dapat dilihat dengan

membandingkannya terhadap capaian tingkat nasional, yaitu tahun 2004, 2005, 2006,

2007 dan 2008 adalah 2,83%, 1,97%, 2,88% dan 3,94%. Khusus untuk tahun 2004,

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 31 

 

kondisi capaian nasional ternyata lebih baik bila dibandingkan dengan capaian Provinsi,

dimana angka putus sekolah SMP di Provinsi DKI lebih tinggi .

Dan untuk tingkat pendidikan SMA menunjukkan grafik yang terus membaik dari tahun

2004 sebesar 4,20 %, tahun 2005 sebesar 3,00%, tahun 2006 sebesar 2,89% dan tahun

2007 sebesar 1,84%. Dengan terus menurunnya angka putus sekolah tingkat SMA, maka

menunjukkan hasil yang membaik dari tahun ke tahun. Dengan demikian dilihat dari

capaian hasil tersebut, maka dapat dikatakan bahwa untuk indikator angka putus sekolah

tingkat SMA adalah efektif, karena dari tahun ke tahun membaik. Kemudian bila

dibandingkan dengan capaian tingkat nasional, yaitu tahun 2004, 2005, 2006, dan 2007

adalah 3,14% , 3,08% , 3,33% dan 2,68%. Ternyata pada tahun 2004, capaian tingkat

Provinsi tidak lebih baik bila dibandingkan dengan capaian tingkat nasional. Namun pada

tahun 2005, 2006, dan 2007 ternyata capaian tingkat Provinsi lebih baik dibandingkan

dengan capaian tingkat nasional.

Persentase Guru yang Layak Mengajar Untuk tingkat pendidikan SMP, persentase guru yang layak mengajar pada tahun 2004

sebesar 85,94%, kemudian tahun sebesar 2005 sebesar 85,91%, tahun 2006 sebesar

82,67% dan tahun 2007 sebesar 89,67%. Merujuk pada capaian tersebut dari tahun ke

tahun terkait indikator persentase guru yang layak mengajar di tingkat SMP, ternyata

terdapat trend naik dan turun pula, sehingga tidak dapat dikategorikan efektif. Pada tahun

2006 terjadi penurunan capaian persentase guru yang layak mengajar menjadi 82,67%

dari tahun sebelumnya 2005 yaitu 85,91%.

Selanjutnya untuk melihat relevansinya, maka perlu dikemukakan capaian tingkat

nasional yaitu: tahun 2004, 2005, 2006, dan 2007 yaitu sebesar 81,12, 81,01, 78,04, dan

86,26. Dengan demikian capaian tingkat provinsi lebih baik dari capaian tingkat nasional,

dan hal ini juga menunjukkan bahwa keberhasilan dapat capaian guru yang layak

mengajar di tingkat SMP.

Selanjutnya untuk tingkat pendidikan SMA, persentase guru yang layak mengajar pada

tahun 2004 sebesar 66,24% dan tahun 2005 sebesar 66,81%. Selanjutnya pada tahun

2006 terdapat peningkatan yang sangat besar yaitu menjadi 85,91% dan tahun 2007

menjadi 86,24%. Hal ini menunjukkan kinerja yang sangat baik, sehingga evaluasinya

tergolong “efektif”, karena setiap tahunnya terdapat peningkatan capaian terhadap

indikator “guru yang layak mengajar pada tingkat SMA”.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 32 

 

Selanjutnya untuk melihat relevansi terhadap indikator tersebut, perlu

dibandingkan dengan capaian tingkat nasional. Adapun capaian tingkat nasional

adalah: tahun 2004 sebesar 69,47%, tahun 2005 sebesar 72,44%, tahun 2006

sebesar 82,55%, dan tahun 2007 sebesar 84,05%. Dari hal tersebut menunjukkan

bahwa pada tahun 2004 dan 2005 menunjukkan bahwa capaian tingkat Provinsi

DKI tidak lebih baik dari capaian tingkat nasional. Namun untuk tahun 2006 dan

2007 ternyata capaian tingkat Provinsi lebih baik dari capaian tingkat nasional.

2.2.2. Analisis capaian indikator spesifik dan menonjol beserta rekomendasi a. Capaian indeks pembangunan manusia baik di tingkat Provinsi DKI maupun di

tingkat nasional, menunjukkan peningkatan yang stabil, sehingga grafik selalu

meningkat. Hal ini menunjukkan meningkatnya relevansi pendidikan dengan

kebutuhan pembangunan. Untuk itu rekomendasi bagi strategi dalam

mewujudkan sasaran dan tujuan sebagaimana ditetapkan dalam RPJM, perlu

terus dilanjutkan dan dipertahankan, karena memang sudah relevan dan

efektif.

b. Capaian indikator angka partisipasi sekolah SD/MI di tingkat Provinsi DKI,

pada tahun 2007 terjadi penurunan sebesar 0,41% dari tahun sebelumnya (

tahun 2006 sebesar 97,12% turun menjadi 96,71% pada tahun 2007).

Walaupun bila dibandingkan dengan capaian di tingkat nasional, memang

masih lebih baik (tingkat nasional capaiannya yaitu sebesar 93,75 % pada

tahun 2007). Kondisi ini perlu diwaspadai dalam penentuan sasaran, dimana

sebenarnya Wajib Belajar 9 tahun sudah dicanangkan, seharusnya angka

partisipasi sekolah semakin membaik, tidak boleh ada penurunan. Dengan

demikian angka partisipasi sekolah dapat dijadikan indikator untuk

menentukan keberhasilan kebijakan Wajib Belajar 9 tahun, yang telah

dicanangkan oleh pemerintah. Penurunan ini perlu dicari penyebabnya, agar

dapat diperbaiki di kemudian hari. Untuk itu rekomendasi yang dapat

diberikan adalah, kebijakan pemerintah yang menyangkut kesempatan untuk

memperoleh pendidikan gratis terutama dalam tingkat Wajib Belajar 9 tahun,

perlu terus diperbaiki agar pelaksanaannya benar-benar terwujud dengan baik

di berbagai daerah baik di perkotaan maupun di pedesaan, sehingga angka

partisipasi sekolah akan terus membaik dari tahun ke tahun.

c. Indikator angka putus sekolah di tingkat Provinsi DKI untuk Sekolah Dasar,

terjadi peningkatan yang sangat tajam pada tahun 2005, dengan mengalami

sebesar 1,80% (dari 2,79% pada tahun 2004 menjadi 5,59% pada tahun

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 33 

 

2005). Begitu juga pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 0,65%

(dari tahun 2006 sebesar 1,78% menjadi 2,43% pada tahun 2007 ). Hal ini

tentunya perlu dicermati, karena terjadinya penurunan dalam dua tahun yaitu

2005 dan 2007. Melihat loncatan penurunan tersebut, berarti pada tahun 2009

akan terjadi penurunan kembali. Untuk itu rekomendasi yang dapat diberikan

adalah kebijakan pemerintah yang menetapkan Wajib Belajar 9 tahun perlu

diperbaiki, agar angka putus sekolah tidak meningkat. Hal ini mungkin terkait

juga dengan kemampuan dari masyarakat untuk menikmati pendidikan dan

tersedianya sekolah yang dapat menampung anak usia Sekolah Dasar

tertampung semuanya. Di samping memberikan sosialisasi kepada

masyarakat agar berorientasi kepada pendidikan untuk meningkatkan taraf

hidup, juga perlu dibuat kebijakan pemerintah yang memberikan anggaran

pendidikan yang memadai, yang didukung oleh sistem pembiayaan yang adil,

efisien, efektif, trasparan, dan akuntabel.

d. Berbeda untuk angka putus sekolah di tingkat Provinsi bagi SMP, pada tahun

2005 terjadi penurunan yang sangat tajam, yaitu sebesar 3,33% (dari 3,70%

pada tahun 2004 menjadi 0,37 pada tahun 2005). Namun terjadi peningkatan

yang cukup besar lagi pada tahun 2006 sebesar 1,50% ( dari 0,37% pada

tahun 2005 menjadi 1,87 % pada tahun 2006). Melihat hal tersebut, maka

terjadi ketidakstabilan dalam capaian angka putus sekolah di tingkat SMP.

Untuk itu perlu direkomendasikan agar pemerintah menetapkan kebijakan

terkait yang lebih mempunyai nilai daya paksa untuk Wajib Belajar 9 tahun.

Dan perlu terus dilakukan perbaikan dalam implementasi Wajib Belajar 9 tahun

tersebut, sehingga ada pemebenahan di berbagai level pelaksanaan, sehingga

akan terwujud Wajib Belajar 9 tahun, sesuai sasaran yang telah ditetapkan

dalam RPJM. Selain itu perlu terus diupayakan agar terjadi peningkatan

efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan pendidikan, agar biaya pendidikan

tidak terlalu mahal, atau bahkan benar-benar gratis bagi sekolah sampai level

pendidikan 9 tahun.

e. Untuk indikator persentase guru yang layak mengajar di tingkat provinsi DKI

untuk SMP, terjadi penurunan dari tahun 2004 ke 2005 dan terus menurun

sampai tahun 2006, yaitu dari 85,94% menjadi 85,91% dan terus turun menjadi

82,67%. Indikator ini tentunya akan berkorelasi secara langsung pada mutu

pendidikan yang akan diberikan kepada murid sekolah SMP. Bila guru yang

layak mengajar saja, semakin menurun tentunya kualitas capaian hasil

pengajaranpun akan menurun. Untuk itu rekomendasi yang dapat diberikan

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 34 

 

adalah pemerintah perlu terus membuat kebijakan untuk peningkatan pada

jenjang pendidikan formal maupun pendidikan dan latihan di lingkungan

instansi tenaga pendidik dengan memberikan bantuan dana yang memadai,

sehingga para tenaga pendidikan dapat menjalankannya dengan baik dan

konsentrasi. Dengan demikian persentase guru yang layak mengajar akan

semakin meningkat dari tahun ke tahun.

2.2.1.B. Capaian Indikator dan Analisis Spesifik dan Menonjol Bidang Kesehatan

a. Peserta KB Aktif Periode 2004-2009

Grafik 27. Peserta KB Aktif Periode 2004-2009

Grafik di atas menggambarkan tren peserta aktif keluarga berencana di DKI

Jakarta sejak 2004 sampai 2009 dan tren peserta Keluarga Berencana di

tingkat nasional. Dari grafik tersebut dapat kita simpulkan bahwa pencapaian

DKI Jakarta selama periode 2004 sampai 2009 di atas pencapaian angka

nasional, dengan perbedaan sekitar 9,61% sampai 14,59%. Secara rata-rata,

persentase peserta aktif Keluarga Berencana di DKI mencapai 78,16%;

sedangkan di tingkat nasional pencapaian rata-rata per tahun sebesar 65,83%.

Perbedaan ini disebabkan oleh berbagai hal, antara lain karena di DKI Jakarta

tersedia fasilitas pelayanan kontrasepsi yang relatif mencukupi bila dibanding

dengan provinsi-provinsi lainnya, serta kesanggupan masyarakat yang lebih

tinggi untuk memperoleh kontrasepsi, sesuai dengan latar belakang budaya

serta sosial masyarakat serta letak geografis Provinsi DKI Jakarta.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 35 

 

b. Angka Harapan Hidup Waktu Lahir Periode 2004-2009

Grafik 28. Angka Harapan Hidup Waktu Lahir Periode 2004-2009

Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa di Provinsi DKI Jakarta, terjadi

peningkatan angka harapan hidup waktu lahir pada periode 2004 sampai

2009. Angkanya meningkat dari 74,9 tahun pada 2004 menjadi 76,4 tahun

pada 2009, walaupun terjadi penurunan sedikit pada tahun 2005 dan 2006,

yakni berturut-turut 74,28 dan 74,43 tahun. Tren yang meningkat juga

ditunjukkan oleh angka nasional, dengan peningkatan yang cukup stabil, dari

66,20 pada 2004 menjadi 70,76 tahun pada 2008. Angka nasional pada 2009

belum dapat diperoleh.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 36 

 

c. Angka Kematian Bayi Periode 2004-2009

Angka Kematian Bayi Periode 2004-2009

05

10152025303540

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Tahun

Per

100

0 ke

lahi

ran

hidu

p

DKINASIONAL

Grafik 29. Angka Kematian Bayi Periode 2004-2009

Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator kesehatan kesehatan

yang terpenting. Pada grafik di atas, dapat dilihat bahwa pencapaian kinerja

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah jauh lebih baik daripada pencapaian

nasional, walaupun kalau dilihat dari trennya tidak ada kemajuan yang

mengesankan, atau dapat dikatakan penurunannya sangat lamban. Ini dapat

dilihat dari penurunan selama periode 2004 sampai 2009, hanya menurun dari

16,1 menjadi 13,70 per 1000 kelahiran hidup. Lambannya penurunan angka

kematian bayi di Provinsi DKI Jakarta juga sesuai dengan apa yang terjadi di

Indonesia, walaupun datanya tidak lengkap. Dapat disimpulkan baik di Provinsi

DKI Jakarta maupun di Indonesia penurunan angka kematian bayi belum

terjadi secara signifikan selama periode 2004-2009.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 37 

 

d. Angka Kematian Ibu Periode 2004-2009

Angka Kematian Ibu Periode 2004-2009

0

50

100

150

200

250

300

350

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Tahun

Per

100

.000

Kel

ahira

n H

idup

DKINASIONAL

Grafik 30. Angka Kematian Ibu Periode 2004-2009

Selain angka kematian bayi dan angka harapan hidup saat lahir, AKI (Angka

Kematian Ibu), merupakan indikator yang penting untuk menentukan status

kesehatan suatu bangsa. Indikator ini menggambarkan bagaimana

penyelenggaraan pelayanan kesehatan, yakni perawatan ibu hamil,

melahirkan, dan nifas di suatu populasi. Angka kematian ibu di DKI Jakarta

belum menunjukkan adanya tren penurunan yang signifikan. Pada 2007

seolah-olah terjadi lonjakan angka kematian ibu yang sangat tinggi, angkanya

hanya sedikit di bawah angka nasional (225 dan 228). Data 2007 berasal dari

SDKI, yang dilakukan di semua provinsi di Indonesia oleh BPS. Data tahun-

tahun lainnya berasal dari data yang dikumpulkan sendiri oleh Dinas

Kesehatan DKI Jakarta. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa ada perbedaan

hasil yang diperoleh dari survei dan data yang dikumpulkan secara rutin.

Tampaknya perlu dilakukan perbaikan sistem pengumpulan data, untuk

menjamin kebenaran data, yang tentunya sangat diperlukan untuk

perencanaan dan penilaian program.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 38 

 

e. Prevalensi Balita Gizi Buruk Periode 2004-2009

Grafik di atas menunjukkan adanya tren penurunan prevalensi balita dengan

gizi buruk, dari 3,9 pada 2004 menjadi 2,5 pada 2009. Penurunan ini walaupun

tidak terlalu tajam, tetapi cukup baik; mengingat prevalensinya pada 2004

sudah relatif kecil bila dibandingkan dengan kondisi nasional. Perbedaan yang

mencolok dengan angka nasional pada 2004 disebabkan adanya kabupaten-

kabupaten di luar Provinsi DKI Jakarta yang persentase penduduk miskinnya

cukup tinggi. Dengan menurunnya prevalensi Balita gizi buruk di Indonesia dari

8,8 pada 2004 menjadi 5,40 pada 2007, menunjukkan adanya perbaikan gizi

Balita yang signifikan. Data ini dapat menunjukkan adanya keberhasilan

program gizi serta perbaikan ekonomi masyarakat secara nasional.

Grafik 31. Prevalensi Balita Gizi Buruk Periode 2004-2009

f. Prevalensi Balita Gizi Kurang Periode 2004-2009

Prevalensi Balita dengan gizi kurang di Provinsi DKI Jakarta menunjukkan

tren penurunan yang mengesankan, dari 19,3 pada 2004 menjadi 9,20 pada

2009. Penurunan tersebut sesuai dengan tren penurunan yang terjadi pada

angka nasional, walaupun data nasional tidak lengkap. Dapat disimpulkan

bahwa pada periode 2004 sampai 2009, terjadi penurunan prevalensi balita

kurang gizi, baik di Provinsi DKI Jakarta maupun secara nasional.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 39 

 

Grafik 32. Prevalensi Balita Gizi Kurang Periode 2004-2009

Grafik 32. Prevalensi Balita Gizi Buruk Periode 2004-2009

g. Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap 100.000 Penduduk Periode 2004-2009

Tabel 5. Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap 100.000 Penduduk

Data mengenai rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk tidak lengkap baik di

tingkat nasional maupun di Provinsi DKI Jakarta. Sulit untuk dapat

membandingkan rasio tenaga kesehatan di DKI Jakarta dengan nasional, karena

datanya diperoleh dari tahun yang berbeda. Selama periode 2007-2008, rasio

dokter praktik umum di Provinsi DKI Jakarta, lebih tinggi daripada rasio dokter

praktik umum di tingkat nasional pada 2005-2008; tetapi bila dilihat dari trennya,

kenaikan di tingkat nasional lebih tinggi, ini sesuai dengan kebutuhan dokter

secara nasional. Begitu juga halnya pada dokter spesialis; rasionya lebih tinggi di

Provinsi DKI Jakarta, tetapi peningkatannya tidak berbeda. Hal ini disebabkan

Tenaga Kesehatan Tahun

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Dr. Praktek Umum Nasional 11.66 19.93 19.59

Dr. Praktek Umum DKI 43 43

Dr. Spesialis Nasional 4.43 5.53

Dr. Spesialis DKI 30 30

Perawat Nasional 53.91 137.9

Perawat DKI 185 185

Bidan Nasional 30.54 35.4 42.92

Bidan Nasional 52 52

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 40 

 

karena produksi dokter spesialis yang masih terbatas. Dapat diperkirakan rasio

perawat di DKI Jakarta masih lebih tinggi daripada rasio perawat di tingkat

nasional, walaupun tren kenaikan tidak ada, berbeda dengan tren di tingkat

nasional yang meningkat dengan tajam di tahun 2005-2006. Selama periode

2007-2008, rasio bidan di Provinsi DKI Jakarta, lebih tinggi daripada rasio bidan di

tingkat nasional pada 2005-2008, tetapi bila dilihat dari trennya kenaikan di tingkat

nasional lebih tinggi, ini sesuai dengan kebutuhan secara nasional.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 41 

 

2.3 TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI

2.3.1.1. Capaian Indikator Kondisi pembangunan ekonomi Provinsi DKI Jakarta dapat diamati dari

perkembangan indikator-indikator ekonomi makro, investasi, dan infrastruktur

Provinsi DKI Jakarta. Pada bagian ini, akan dijelaskan terlebih dahulu

perkembangan indikator ekonomi makro dan indikator investasi. Secara agregat,

perkembangan kedua indikator ini dalam kurun waktu 2004-2008 dapat diamati

pada gambar berikut1.

Grafik 33. Perkembangan Kondisi Ekonomi Makro DKI Jakarta dan Nasional, 2004-2009

Keterangan: *angka sementara

Analisis Relevansi Indikator Ekonomi Makro. Berdasarkan gambar di atas

terlihat bahwa dalam kurun waktu 2004-2008, perkembangan ekonomi makro DKI

Jakarta berada dalam kondisi yang selalu lebih baik dibandingkan dengan

perkembangan ekonomi makro nasional. Hal ini teramati dari nilai agregasi

indikator ekonomi makro DKI Jakarta yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan

nilai agregasi nasional. Secara rata-rata, nilai agregasi indikator ekonomi makro

DKI Jakarta mencapai 43.02 per tahun, sementara nilai agregasi nasional hanya

berada di tingkat 38.76 per tahun.

Analisis Efektifitas Indikator Ekonomi Makro. Perkembangan ekonomi makro

DKI Jakarta dan nasional cendrung berfluktuasi dari tahun ke tahun. Tekanan

ekonomi makro DKI Jakarta dan nasional terutama terlihat secara bersama-sama

                                                             1 Perkembangan ekonomi makro DKI Jakarta dan nasional dapat diamati pada Grafik 33, sementara perkembangan investasi DKI Jakarta dan nasional dapat diamati pada Grafik 34

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 42 

 

terjadi di tahun 2005 dan 2008 yang ditandai oleh terjadinya penurunan nilai

agregasi di kedua tahun ini. Tahun 2005 merupakan tahun diberlakukannya

kebijakan pencabutan subsidi BBM untuk mengurangi beban anggaran

pemerintah akibat kenaikan harga minyak dunia, sementara tahun 2008

merupakan tahun terjadinya krisis ekonomi global. Adanya penurunan nilai

agregasi ekonomi makro di kedua tahun ini menandakan bahwa perkembangan

ekonomi makro, baik di DKI Jakarta maupun di tingkat nasional, sangat

dipengaruhi oleh kebijakan pencabutan subsidi BBM dan krisis ekonomi global.

Perkembangan indikator kedua, yaitu indikator investasi DKI Jakarta dan nasinal,

dapat diamati pada Grafik 34 di bawah. Nilai agregasi investasi di bawah diperoleh

dengan menggunakan nilai pertumbuhan realisasi investasi PMA dan PMDN di

DKI Jakarta dan nasional.

Grafik 34. Perkembangan Kondisi Investasi DKI Jakarta dan Nasional

Keterangan: *angka sementara

Analisis Relevansi Indikator Investasi. Dalam kurun waktu 2004-2008,

perkembangan indikator investasi DKI Jakarta dan nasional memang terlihat

mengalami fluktuasi dengan nilai kinerja investasi DKI Jakarta yang tidak selalu

mengungguli kinerja investasi nasional. Tahun 2004 dan 2005 merupakan tahun

dimana kinerja investasi DKI Jakarta lebih rendah dibandingkan dengan kinerja

investasi nasional, sementara tahun 2006-2009, kinerja investasi DKI Jakarta telah

mulai mengungguli nasional. Namun jika diamati nilai rata-rata tahunan dari

agregasi indikator investasi, terlihat bahwa DKI Jakarta lebih unggul dibandingkan

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 43 

 

nasional. Rata-rata nilai agregasi indikator investasi DKI Jakarta mencapai 30.64

per tahun, sementara nilai agregasi nasional hanya bernilai 28.22 per tahun.

Analisis Efektifitas Indikator Investasi. Jika diamati pada gambar di atas,

fluktuasi perkembangan investasi DKI Jakarta terutama terjadi di tahun 2004,

2006, dan 2008. Di ketiga tahun ini terlihat adanya penurunan nilai agregasi

investasi. Bahkan di tahun 2004 dan 2006, nilainya mencapai angka negatif yang

menandakan bahwa nilai realisasi investasi PMA dan PMDN secara bersama-

sama mengalami penurunan di kedua tahun ini. Terjadinya penurunan kinerja

investasi di tahun-tahun ini diduga berkaitan dengan perkembangan kebijakan

ekonomi dan kondisi ekonomi makro yang berkembang saat itu. Penurunan

investasi di tahun 2006 didorong oleh berkurangnya daya saing DKI Jakarta dan

nasional akibat lonjakan inflasi sebagai dampak dari kebijakan pencabutan subsidi

BBM di akhir tahun 2005. Penurunan investasi di tahun 2006 didorong oleh kondisi

ekonomi global yang mengalami resesi yang menyebabkan turunnya penawaran

investasi baik di DKI Jakarta maupun di tingkat nasional.

Perkembangan indikator ekonomi makro dan investasi di atas sebenarnya dapat

diagregasi membentuk nilai indikator perkembangan tingkat pembangunan

ekonomi, seperti yang digambarkan pada 35.

Grafik 35. Perkembangan Indikator Pembangunan Ekonomi DKI Jakarta dan Nasional

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 44 

 

Analisis Relevansi dan Efektifitas Tingkat Pembangunan Ekonomi. Kinerja

pembangunan ekonomi DKI Jakarta terlihat lebih baik dibandingkan kinerja

pembangunan ekonomi nasional sejak tahun 2006, namun dengan tingkat

perkembangan yang berfluktuasi dari tahun ke tahun. tahun yang terlihat

mengalami tekanan adalah tahun 2006 dan 2008. Terjadinya fluktuasi tingkat

pembangunan ini—terutama di tahun 2006 dan 2008—menandakan bahwa

pembangunan di DKI Jakarta, dan juga Indonesia secara keseluruhan, sangat

terpengaruh oleh adanya tekanan kenaikan harga minyak di akhir tahun 2005 dan

adanya tekanan krisis global yang terjadi di akhir tahun 2009.

2.3.2.1 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol DKI Jakarta diakui sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki tingkat

pembangunan ekonomi yang relatif lebih unggul dibandingkan dengan provinsi

lainnya di Indonesia. Paling tidak, keunggulan provinsi DKI Jakarta ini dapat

teramati dari berbagai sub-indikator penyusun indikator ekonomi makro dan

indikator investasi seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, kontribusi ekspor,

pendapatan per kapita penduduk, tingkat inflasi, dan nilai realisasi investasi PMA.

Sub-indikator ini tercatat memiliki kinerja di atas kinerja ekonomi nasional. Hanya

perkembangan sub-indikator kontribusi industri dan investasi PMDN DKI Jakarta

yang perlu mendapat perhatian lebih di provinsi ini mengingat perkembangannya

yang mengalami ketertinggalan dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Pada

bagian berikut akan dipaparkan berbagai capaian subindikator-subindikator

pembangunan ekonomi secara lebih mendalam.

A. Kondisi Ekonomi Makro Provinsi DKI Jakarta

Terdapat lima sub-indikator yang termasuk ke dalam indikator ekonomi makro,

yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi, kontribusi ekspor dan kontribusi industri

terhadap pembentukan perekonomian daerah, tingkat pendapatan per kapita, dan

tingkat inflasi.

a. Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta

Dalam kurun waktu 2004-2008, nilai PDRB DKI Jakarta terus mengalami

peningkatan, yang tidak hanya terjadi pada nilai PDRB nominal, namun juga

pada nilai PDRB Riil (Gambar 36). Kondisi ini menandakan bahwa

perkembangan perekonomian Provinsi DKI Jakarta tidak hanya terjadi dari sisi

nilai uangnya, namun juga dari sisi output riil yang dihasilkan. Nilai output riil ini

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 45 

 

tumbuh positif dalam kurun waktu 2004-2008, dengan tingkat pertumbuhan

sekitar 6.04% per tahun. Tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi DKI Jakarta

terjadi pada tahun 2007, yaitu mencapai 6.44%, sehingga tahun 2007 pun

disebut sebagai tahun akselerasi pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta (Bank

Indonesia: 2007).

Grafik 36. Perkembangan Nilai PDRB Riil dan PDRB Nominal, dan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta, Tahun 2008-2009

Keterangan: *) hingga kuartal I tahun 2009

Namun sayangnya, pertumbuhan ekonomi di tahun 2007 ini masih belum

menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Jika diamati lebih

dalam, pertumbuhan ekonomi di tahun ini ternyata masih didorong oleh

peningkatan konsumsi, bukan oleh peningkatan investasi, seperti yang

teramati pada Grafik 37. Komponen konsumsi—baik konsumsi rumah tangga

dan lembaga swasta nirlaba maupun konsumsi pemerintah—tumbuh dengan

nilai masing-masing 9.13% dan 8.21%, sementara komponen investasi hanya

tumbuh sebesar 6.72%. Komponen lain, yaitu komponen ekspor-impor,

bahkan mengalami pertumbuhan negatif di saat terjadi akselerasi

pertumbuhan ekonomi ini, yaitu sebesar -14.82%.

 

 

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 46 

 

Grafik 37. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil Pendekatan Pengeluaran Tahun 2007

Perkembangan sektor ekonomi pada tahun 2007 ini pun menunjukkan bahwa

sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi adalah sektor-sektor

yang tingkat penyerapan tenaga kerjanya rendah, yaitu sektor pengangkutan

dan komunikasi, sektor konstruksi, sektor perdagangan, hotel, dan restoran.

Ketiga sektor ini tumbuh sebesar 15.25 persen, 7.81 persen, dan 6.88 persen,

berturut-turut. Sementara sektor industri, yang merupakan sektor yang

memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi, ternyata hanya tumbuh sebesar

4.75%.

Grafik 38. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil Pendekatan Sektoral Tahun 2007

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 47 

 

Di tahun 2008, perekonomian DKI Jakarta terlihat lebih tertekan dibandingkan

dengan tahun 2007. Di tahun 2008 ini, perekonomian DKI Jakarta hanya

tumbuh sebesar 6.18 persen, atau 0.26 persen lebih rendah dari tingkat

pertumbuhan ekonomi tahun 2007. Komponen yang terlihat mengalami

tekanan besar di tahun 2008 adalah komponen ekspor netto. Teramati bahwa

komponen ini tumbuh dengan angka negatif, yaitu mencapai -32.80%.

Besarnya tekanan yang dialami komponen ekspor netto DKI Jakarta ini terkait

dengan terjadinya krisis finansial global yang mendorong melemahnya

permintaan ekspor dari DKI Jakarta. Ditengah melemahnya permintaan ekspor

ini, permintaan impor DKI Jakarta masih tetap tinggi akibat masih kuatnya

permintaan dalam negeri. Komponen konsumsi dan investasi tetap terlihat

menjadi komponen yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi DKI

Jakarta. Pertumbuhan kedua komponen ini menunjukkan angka yang positif,

meskipun untuk komponen konsumsi terlihat adanya penurunan pertumbuhan

dibandingkan dengan tahun 2007.

Tabel 6. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil dengan Pendekatan Pengeluaran,

Tahun 2005-2008 2005 2006 2007 2008

Konsumsi RT dan Lembaga Swasta Nirlaba

7.48 8.23 9.13 6.67

pengeluaran konsumsi pemerintah 6.67 7.74 8.21 6.75

PMTDB 9.53 4.26 6.72 8.49

Ekspor Netto (Ekspor-Impor) -2.09 1.35 -14.82 -32.80

Pertumbuhan PDRB DKI Jakarta 6.01 5.95 6.44 6.18

Jika diamati dari segi perkembangan sektor-sektor ekonomi, terlihat bahwa

tekanan ekonomi di tahun 2008 dialami oleh hampir seluruh sektor ekonomi,

termasuk tiga sektor yang menjadi sektor unggulan Provinsi DKI Jakarta di tahun

2007, yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor konstruksi; dan sektor

perdagangan, hotel, dan restoran. Satu-satunya sektor ekonomi yang

menunjukkan peningkatan pertumbuhan dari tahun 2007 adalah sektor listrik, gas,

dan air bersih. Sektor ini mampu tumbuh 1.12 persen lebih tinggi dibandingkan

dengan tahun 2007.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 48 

 

Tabel 7. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil Pendekatan Sektoral, Tahun 2004-2008

2004 2005 2006 2007 2008

Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan

(1.27) 1.05 1.13 1.55 0.77

Pertambangan dan Penggalian (6.81) (7.24) 1.87 0.46 0.32

Industri Pengolahan 5.74 5.07 4.82 4.75 3.87

Listrik, Gas, dan Air Bersih 5.66 6.95 4.99 5.20 6.32

Konstruksi 4.42 5.89 7.12 7.81 7.67

Perdagangan, Hotel dan Restoran 6.96 7.89 6.47 6.88 6.25

Pengangkutan 12.63 13.28 14.36 15.25 14.97

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

4.17 4.10 3.82 4.47 4.31

Jasa-Jasa 4.65 5.06 5.56 6.08 6.05

Pertumbuhan PDRB DKI Jakarta 5.65 6.01 5.95 6.44 6.18

Terlepas dari berbagai fluktuasi ekonomi yang dialami DKI Jakarta dalam kurun

waktu 2004-2008, DKI Jakarta masih tetap merupakan salah satu provinsi di

Indonesia yang selalu berhasil mendorong pertumbuhan ekonominya di atas

pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam kurun waktu 2004-2008, rata-rata tingkat

pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta mencapai 6.04 persen, sementara rata-rata

tingkat pertumbuhan ekonomi nasional hanya sebesar 5.73 persen.

Grafik 39. Laju Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional,

Tahun 2004-2009

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 49 

 

Selalu lebih tingginya pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta dibandingkan dengan

tingkat pertumbuhan ekonomi nasional menandakan bahwa DKI Jakarta

merupakan provinsi yang berkontribusi dalam mendorong pertumbuhan

ekonomi nasional. Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa PDRB provinsi ini

merupakan penyumbang terbesar terhadap pembantukan PDB Nasional.

Namun sayangnya jika diamati lebih dalam, kekuatan pertumbuhan ekonomi

DKI Jakarta sebenarnya terlihat semakin melemah dari tahun ke tahun. Pada

tahun 2004, DKI Jakarta mampu mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar

0.52% lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi

nasional, namun di tahun 2008, pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta hanya

0.09% lebih tinggi dari perekonomian nasional.

b. Perkembangan Ekspor DKI Jakarta Nilai ekspor Provinsi DKI Jakarta dapat dibedakan atas ekspor melalui

pelabuhan muat di DKI Jakarta dan ekspor produk DKI Jakarta. Dalam kurun

waktu 2004-2008, kedua kategori ekspor ini terus mengalami peningkatan.

Rata-rata pertumbuhan ekspor melalui DKI Jakarta adalah sekitar 10% per

tahun, sementara rata-rata pertumbuhan ekspor produk Jakarta adalah sekitar

15% per tahun. Pertumbuhan ekspor DKI Jakarta pada tahun 2008 tercatat

sebagai tingkat pertumbuhan ekspor tertinggi dalam rentang waktu 2004-2008,

sementara pertumbuhan ekspor produk Jakarta tertinggi terjadi di tahun 2007.

Tabel 8. Ekspor melalui Jakarta dan Ekspor Produk Jakarta

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Nilai Ekspor melalui Jakarta 24,501.22 26,958.17 29,809.52 32,186.88 35,893.93 21,204.38

Pertumbuhan Ekspor melalui Jakarta 0.10 0.11 0.08 0.12 (0.41)

Nilai Ekspor Produk Jakarta 5,662.26 6,363.34 5,902.90 8,059.57 9,393.32 4,438.78

Pertumbuhan Ekspor Produk Jakarta 0.12 (0.07) 0.37 0.17 (0.53)

Sumber: Badan Pusat Statistik

Jika diamati dari sisi komoditas ekspornya, DKI Jakarta memiliki dua

komoditas ekspor utama, yaitu komoditas manufaktur dan komoditas

pertanian. Diantara kedua komoditas ini, komoditas manufaktur merupakan

komoditas ekspor utama dengan proporsi ekspor mencapai 99.2 persen dari

total ekspor DKI Jakarta. Sementara proporsi ekspor komoditas pertanian

hanya sebesar 0.8% dari total ekspor DKI Jakarta. Besarnya sumbangan

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 50 

 

komoditas manufaktur terhadap total ekspor DKI Jakarta menjadikan DKI

Jakarta sebagai daerah pengekspor komoditas non migas terbesar di

Indonesia. Karakteristik ekspor DKI Jakarta ini tidak terlepas dari adanya

dukungan infrastruktur yang lebih memadai dibandingkan dengan daerah lain,

yang menjadikan DKI Jakarta sebagai daerah yang menarik untuk aktivitas

industri. Grafik 40. Komposisi Ekspor Berdasarkan Komoditas

Kawasan yang menjadi tujuan utama ekspor DKI Jakarta adalah Kawasan

Asia dan Kawasan Amerika. Proporsi ekspor ke kedua kawasan ini berturut-

turut mencapai 58.78 persen dan 16.54 persen per tahun. Sisanya, yaitu

sekitar 20.13 persen tersebar ke tiga kawasan, yaitu Kawasan Afrika,

Kawasan Australia, dan Kawasan Eropa. Diantara keseluruh kawasan tujuan

ekspor ini, negara Singapura dan negara Amerika Serikat adalah dua negara

dengan proporsi ekspor DKI Jakarta terbesar.

Grafik 41. Komposisi Ekspor Berdasarkan Kawasan Tujuan Ekspor

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 51 

 

Perkembangan nilai ekspor DKI Jakarta dapat diamati pada Grafik 41. Dalam

kurun waktu 2004-2008, nilai ekspor DKI Jakarta cendrung mengalami tren

peningkatan dari tahun ke tahun, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata

mencapai 4.66 persen per tahun. Dengan tingkat pertumbuhan ini, nilai ekspor

DKI Jakarta pun terdorong dari angka Rp233.96 triliun pada tahun 2004

menjadi Rp373.34 triliun pada tahun 2008.

Grafik 42. Nilai Ekspor dan Impor DKI Jakarta, Tahun 2004-2008 (Triliun Rupiah)

Perkembangan nilai ekspor yang positif dalam kurun waktu 2004-2008

ternyata tidak diiringi oleh terus meningkatnya kontribusi ekspor DKI Jakarta

terhadap pembentukan PDRB DKI Jakarta. Dari tahun ke tahun, teramati

adanya tren penurunan kontribusi. Pada tahun 2004, kontribusi ekspor DKI

Jakarta masih sebesar 62.3 persen terhadap total PDRB DKI Jakarta, namun

di tahun 2008 proporsinya turun menjadi 54.41 persen. Berdasarkan struktur

PDRB DKI Jakarta yang disajikan pada Tabel 9, terlihat bahwa peran ekspor

sebagai pembentuk PDRB DKI Jakarta cendrung digantikan oleh pengeluaran

konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba, serta pengeluaran konsumsi

pemerintah. Teramati bahwa beriringan dengan terjadinya penurunan

kontribusi ekspor terhadap pembentukan PDRB DKI Jakarta, kontribusi

konsumsi dan pengeluaran pemerintah justru mengalami penguatan.

Jika dibandingkan dengan kondisi di tingkat nasional, kontribusi ekspor DKI

Jakarta memang tetap jauh lebih besar, meskipun trennya terus mengalami

penurunan. Dalam kurun waktu 2004-2008, rata-rata kontribusi ekspor

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 52 

 

terhadap pembentukan PDRB DKI Jakarta mencapai 59.16 persen per tahun,

sementara kontribusi ekspor terhadap pembentukan PDB nasional hanya

sekitar 31.19 persen per tahun.

Tabel 9. Kontribusi Komponen PDRB DKI Jakarta dengan Pendekatan Pengeluaran,

Tahun 2004-2009 2004 2005 2006 2007 2008 2009*

Konsumsi RT dan Lembaga Swasta Nirlaba

52.02 52.93 53.65 55.97 55.63 57.05

pengeluaran konsumsi pemerintah 5.19 5.36 5.28 5.89 7.07 7.48

PMTDB 35.59 36.90 35.74 37.58 35.79 35.53

Ekspor 62.30 62.08 57.95 56.67 54.41 54.01

MINUS Impor 50.12 52.41 48.37 53.90 55.11 55.59

100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Kontribusi Ekspor Nasional 32.08 33.61 31.03 29.45 29.76 23.58

Keterangan: *) hingga kuartal I tahun 2009

Terlepas dari berbagai perkembangan ekspor DKI Jakarta di atas, hal yang

perlu dicermati dalam mengamati kondisi ekspor DKI Jakarta dalam kurun

waktu 2004-2008 adalah bahwa seiring dengan meningkatnya nilai nominal

ekspor, nilai nominal impornya juga mengalami peningkatan. Hingga tahun

2007, nilai impor DKI Jakarta masih berada di bawah nilai ekspornya. Namun

di tahun 2008, nilai impor DKI jakarta ini telah mengungguli nilai ekspornya.

Kondisi ini menyebabkan nilai ekspor netto DKI Jakarta menjadi negatif pada

tahun 2008, yaitu sebesar Rp-4.742 triliun (perhatikan Grafik 42).

c. Perkembangan Industri Manufaktur DKI Jakarta

Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDRB DKI Jakarta menduduki urutan

ke tiga setelah sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dan sektor

perdagangan, hotel, dan restoran. Rata-rata tahunan kontribusi sektor

keuangan-persewaan-jasa, sektor perdagangan-hotel-restoran, dan sektor

industri pengolahan terhadap pembentukan PDRB DKI Jakarta dalam kurun

waktu 2004-2008 berturut-turut adalah sebesar 29.89%, 20.27%, dan 15.91%.

Tidak mendominasinya sektor industri dalam membentuk PDRB DKI Jakarta

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 53 

 

ini merupakan hal yang dapat dipahami karena adanya kebijakan integralisasi

pembangunan DKI Jakarta ke dalam kawasan metropolitan Jabodetabek.

Dalam Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan (RTRW) Kawasan

Metropolitan Jabodetabek, pembangunan industri yang berlokasi di DKI

Jakarta dibatasi hanya untuk industri yang berteknologi tinggi, rendah polusi,

tidak menggunakan lahan yang luas, dan tidak memerlukan banyak air2.

Sementara untuk jenis industri lain diarahkan pembangunannya ke daerah

Bodetabek, kota satelit dari DKI Jakarta. Adanya pembatasan ini-lah yang

membuat sumbangan sektor industri terhadap PDRB DKI Jakarta menjadi

terbatas, hanya dengan rata-rata kontribusi sebesar 15.91% dalam jangka

waktu 2004-2008.

Meskipun memiliki nilai kontribusi yang terbatas, kontribusi sektor industri DKI

Jakarta terlihat relatif lebih stabil jika dibandingkan dengan kontribusi sektor

industri di tingkat nasional. Adanya fluktuasi ekonomi, misalnya yang terjadi di

tahun 2005 dan 2008, ternyata tidak berpengaruh besar terhadap sumbangan

sektor industri terhadap perekonomian DKI Jakarta.

Grafik 43. Kontribusi Sektor Manufaktur DKI Jakarta dan Nasional

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009

                                                             2 http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:sjKrxiKo6JYJ:pskmp.site88.net/tugas/ew_rahim_m1.pdf+penurunan+kontribusi+ekspor+terhadap+pdrb+dki+jakarta&hl=id&gl=id

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 54 

 

Dampak fluktuasi ekonomi terhadap sektor industri DKI Jakarta baru terlihat

ketika pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan sektor industri. BPS

melaporkan bahwa nilai pertumbuhan sektor industri DKI Jakarta mengalami

kecendrungan penurunan sejak tahun 2005. Di tahun 2005, sektor industri DKI

Jakarta masih tumbuh sebesar 5.07%, namun di tahun 2006, 2007, dan 2008,

nilai pertumbuhan sektor industri menurun menjadi 4.82%, 4.75%, dan 3.87%.

Perlambatan pertumbuhan sektor industri di tahun 2007 didorong oleh

kurangnya insentif pasar3 (BI, 2007), sementara perlambatan pertumbuhan di

tahun 2008 disebabkan oleh penurunan permintaan dalam dan luar negeri

akibat krisis global sehingga akhirnya mendorong dunia industri untuk

mengurangi volume produksinya.

d. Perkembangan Pendapatan Per Kapita DKI Jakarta Dengan perbagai perkembangan ekonomi yang mewarnai pembentukan

PDRB DKI Jakarta, DKI Jakarta tetap mampu memiliki pendapatan per kapita

dengan tren yang meningkat dari tahun ke tahun, dengan kecepatan rata-rata

tahunan sebesar 14.43%. Dalam kurun waktu tahun 2004-2008, nilai

pendapatan per kapita DKI Jakarta telah meningkat sebesar Rp31.12 juta,

(dari nilai Rp42.92 juta di tahun 2004 menjadi Rp74.04 juta di tahun 2008).

Jika dibandingkan dengan peningkatan pendapatan per kapita nasional,

peningkatan PDRB per Kapita DKI Jakarta ini teramati lebih tinggi dari

peningkatan pendapatan per kapita nasional yang hanya sebesar Rp11.19 juta

pada periode yang sama. Namun jika diamati dari sisi kecepatan rata-rata

peningkatannya, pendapatan per kapita nasional-lah yang lebih tinggi. Grafik 44. Pendapatan Per Kapita DKI Jakarta dan Nasional

                                                             3 berupa terbatasnya pertumbuhan pasar ekspor dan semakin kompetitifnya pasar internasional

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 55 

 

e. Perkembangan Inflasi DKI Jakarta

Secara istilah, inflasi merupakan suatu indikator yang menunjukkan terjadinya

kenaikan harga barang/jasa secara umum dan berlangsung terus menerus.

Inflasi ini merupakan salah satu indikator makro ekonomi penting karena

memiliki dampak luas terhadap stabilitas ekonomi suatu wilayah, bahkan

mampu berpengaruh langsung terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.

Dalam kurun waktu 2004-2008, rata-rata inflasi DKI Jakarta tercatat sebesar

8.25% per tahun, dengan tingkat inflasi tertinggi terjadi di tahun 2005, yaitu

mencapai 16.06%, dan terendah terjadi di tahun 2004, yaitu sebesar 5.87%.

Terjadinya lonjakan tingkat inflasi DKI Jakarta pada tahun ini didorong oleh

diberlakukannya kebijakan pencabutan subsidi BBM pada akhir tahun 2005

yang akhirnya menjadi pemicu kenaikan harga-harga barang secara

keseluruhan.

Grafik 45. Perkembangan Inflasi DKI Jakarta dan Inflasi Nasional 2004-2008

Komoditas yang terlihat sangat terpengaruh oleh adanya kebijakan

pencabutan subsidi BBM ini adalah komoditas transportasi dan komunikasi

dan jasa keuangan. Teramati dari Tabel 10 bahwa komoditas ini mengalami

inflasi tertinggi, yang mencapai 40.13%.

Selain tahun 2005, kondisi inflasi di tahun 2008 juga mengalami lonjakan,

meskipun tingkat inflasi yang terjadi tidak setinggi tingkat inflasi di tahun 2005.

Pada tahun 2008 ini, inflasi DKI Jakarta meningkat dari 6.04% di tahun 2007

menjadi 11.11% di tahun 2008. Terjadinya krisis finansial global pada tahun

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 56 

 

2008 ini merupakan faktor yang mendorong terjadinya lonjakan inflasi ini. Jika

dibandingkan inflasi nasional, dampak krisis finansial global terhadap inflasi

DKI Jakarta terlihat lebih besar.

 

Sebagai indikator yang menunjukkan terjadinya kenaikan harga barang/jasa

secara keseluruhan, tingkat inflasi DKI Jakarta ini juga dapat diamati menurut

kelompok komoditas barang/jasa kebutuhan masyarakat yang terdapat di

Provinsi DKI Jakarta. Tabel 10 menyajikan tingkat inflasi DKI Jakarta menurut

kelompok komoditas kebutuhan masyarakat.

Tabel 10. Tingkat Inflasi DKI Jakarta menurut Tujuh Kelompok Komoditas dalam Periode

2004-2008  

2004 2005 2006 2007 2008 2009* Rata-Rata Tahunan

2004-2008**

Bahan Makanan 4.86 11.09 15.35 11.04 15.48 1.33 10.72

Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau

4.69 13.64 4.43 5.36 12.91 3.65 7.22

Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar

7.95 14.3 4.34 4.81 14.84 0.17 8.12

Sandang 4.05 6.9 7.8 8.15 8.56 1.99 6.86

Kesehatan 3.34 6.17 5.65 3.99 7.31 3.26 5.08

Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga

7.7 6.31 5.07 9.09 5.56 1.08 6.59

Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan

4.79 40.13 0.7 1.14 6.2 -4.72 3.94

Umum 5.87 16.06 6.03 6.04 11.11 0.38 8.25

Sumber: Badan Pusat Statistik

Komoditas kebutuhan masyarakat, baik berupa barang ataupun jasa, pada

dasarnya dapat dikelompokkan atas tujuh kelompok besar, yaitu 1) komoditas

bahan makanan, 2) makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau, 3)

perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar, 4) sandang, 5) kesehatan, 6)

pendidikan, rekreasi, dan olahraga, dan 7) transportasi, komunikasi, dan jasa

keuangan. Diantara ketujuh kelompok komoditas ini, komoditas yang

mengalami inflasi rata-rata tertinggi inflasi di DKI Jakarta dalam kurun waktu

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 57 

 

2004-2008 adalah komoditas bahan makanan, dan komoditas perumahan, air,

listrik, gas, dan bahan bakar. Tingkat inflasi rata-rata kedua kelompok

komoditas ini mengalami inflasi mencapai 10.72% dan 8.12%, berturut-turut,

selama tahun 2004-2008. Sementara kelompok komoditas yang mengalami

inflasi terendah adalah komoditas transportasi, komunikasi, dan jasa

keuangan, dengan tingkat inflasi sebesar 3.94%.

Jika diamati, tingkat inflasi ketujuh komoditas ini sebenarnya berfluktuasi dari

tahun ke tahun. Salah satu komoditas yang mengalami fluktuasi inflasi secara

tiba-tiba adalah komoditas transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan. Pada

tahun 2005, tingkat inflasi komoditas ini melonjak mencapai 40.13%,

sementara di tahun sebelumnya (yaitu di tahun 2004) dan di tahun

sesudahnya (yaitu tahun 2006) tingkat inflasi komoditas ini hanya sebesar

4.79% dan 0.7%. Lonjakan inflasi komoditas ini di tahun 2005 menggambarkan

bahwa kebijakan pemerintah mencabut subsidi BBM di akhir tahun 2005, yang

menyebabkan inflasi DKI Jakarta sebesar 17.11%, terutama didorong oleh

kenaikan biaya transportasi, komunikasi dan jasa keuangan. Hal ini dapat

dimaklumi mengingat BBM merupakan barang komplementer dari komoditas

transportasi. Kenaikan harga BBM tentu menjadi pendorong kenaikan biaya

transportasi, yang akhirnya mendorong meningkatnya harga komoditas ini.

Jika dibandingkan dengan inflasi nasional, perkembangan inflasi DKI Jakarta

selama kurun waktu 2004-2008 teramati selalu berada di bawah tingkat inflasi

nasional, kecuali di tahun 2008 (Grafik 45). Rata-rata inflasi DKI Jakarta dari

tahun 2004-2008 sebesar 8.25% per tahun, sementara rata-rata inflasi

nasional mencapai 8.8% per tahun. Disamping itu, pergerakan inflasi DKI

Jakarta juga teramati bergerak searah dengan pergerakan inflasi nasional.

Lonjakan-lonjakan inflasi DKI Jakarta yang terjadi di tahun 2005 dan 2008 juga

teramati di tingkat nasional; di tingkat nasional, peningkatan inflasi yang terjadi

di tahun 2005 mencapai 10.71% dari 2004, sementara di tahun 2008,

peningkatan inflasi nasional yang terjadi adalah sebesar 5.07%. Di saat terjadi

lonjakan inflasi di tahun 2005, komoditas transportasi, komunikasi, dan jasa

keuangan merupakan komoditas yang mengalami tekanan terbesar dalam

menghadapi kebijakan pencabutan subsidi BBM; sementara di tahun 2008,

komoditas yang mengalami tekanan inflasi terbesar adalah komoditas bahan

makanan dan makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 58 

 

Tabel 11. Tingkat Inflasi Nasional menurut Tujuh Kelompok Komoditas dalam Periode 2004-2008

2004 2005 2006 2007 2008 2004-2008**

Bahan Makanan 6.38 13.91 12.94 11.26 16.35 11.62

Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau

4.85 13.71 6.36 6.41 12.53 8.06

Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar

7.4 13.94 4.83 4.88 10.92 7.67

Sandang 4.87 6.92 6.84 8.42 7.33 6.77

Kesehatan 4.75 6.13 5.87 4.31 7.96 5.67

Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga

10.31 8.24 8.13 8.83 6.66 8.35

Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan

5.84 44.75 1.02 1.25 7.49 4.78

Umum 6.4 17.11 6.6 6.59 11.06 8.80

Jika diamati perkembangan inflasi rata-rata tujuh kelompok komoditas kebutuhan

masyarakat, teramati bahwa di tingkat nasional, komoditas yang berkontribusi

besar terhadap inflasi adalah komoditas bahan manakanan dan komoditas

pendidikan-rekreasi-olahraga, dengan tingkat rata-rata inflasi masing-masing

sebesar 11.62% dan 8.35% per tahun dalam kurun waktu 2004-2008. Komoditas

yang mengalami rata-rata inflasi terendah adalah komoditas transportasi,

komunikasi, dan jasa keuangan.

B. Perkembangan Investasi Provinsi DKI Jakarta Kemampuan investasi untuk berperan sebagai pendorong kegiatan ekonomi dan

penyerap tenaga kerja menjadikan investasi menjadi salah satu komponen penting

bagi perekonomian suatu daerah. Diantara berbagai jenis sumber investasi,

investasi yang berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan

Penanaman Modal Asing (PMA) seringkali menjadi barometer iklim investasi suatu

daerah. Bagaimana perkembangan investasi PMDN dan PMA di Provinsi DKI

Jakarta?

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 59 

 

a. Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Perkembangan realisasi investasi PMDN Provinsi DKI Jakarta dalam kurun

waktu 2004-2009 dapat diamati pada Tabel 12. Rata-rata izin usaha yang

dikeluarkan dalam kurun waktu ini teramati sebanyak 29.2 unit per tahun,

dengan nilai rata-rata realisasi investasi per tahunnya mencapai Rp3084.1

miliar. Jika diamati lebih dalam, pada tahun 2006-2007, realisasi investasi

PMDN DKI Jakarta terlihat mengalami perkembangan, yang ditandai oleh

berhasilnya DKI Jakarta memicu peningkatan jumlah izin usaha investasi

PMDN di tahun 2006 dan 2007 masing-masing mencapai 17.24% dan 20.83%,

dan memicu peningkatan nilai realisasi investasi PMDN sebesar 21.29% dan

36.59% di tahun yang sama (2006 dan 2007). Namun di tahun-tahun lain, yaitu

tahun 2005 dan 2008, kondisi investasi DKI Jakarta terlihat mengalami

tekanan. Investasi PMDN, baik yang teramati dari sisi jumlah izin usaha

maupun dari sisi nilai realisasi investasi, mengalami penurunan (atau paling

tidak tetap) pada tahun-tahun ini. Di tahun 2005, penurunan izin investasi yang

terjadi adalah sebesar 4%, sementara penurunan nilai realisasi investasi

PMDN yang terjadi adalah sebesar 31.76%. Di tahun 2008, meskipun jumlah

izin usaha tetap berjumlah 34 unit, namun nilai realisasi investasi di tahun

2008 ini turun lebih dari setengahnya, yaitu mencapai -56.44 persen.

Tabel 12. Jumlah Izin Usaha Tetap dan Nilai Realisasi Investasi PMDN DKI Jakarta

2004-2009

Jumlah Izin Usaha Tetap yang Dikeluarkan

Nilai Realisasi Investasi

Unit Pertumbuhan (%) Rp Miliar Pertumbuhan (%)

2004 25 47.06 3731.2 -15.69

2005 24 -4.00 2546 -31.76

2006 29 20.83 3088 21.29

2007 34 17.24 4218 36.59

2008 34 0.00 1837.3 -56.44

2009* 5 266

Berbagai tekanan investasi PMDN yang dialami Provinsi DKI Jakarta ini juga

terefleksi pada kontribusi PMDN DKI Jakarta terhadap pembentukan PMDN

Nasional. Pada Tabel teramati bahwa kontribusi PMDN terus mengalami

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 60 

 

penurunan sejak tahun 2006. Jika awalnya (tahun 2004) besaran PMDN DKI

Jakarta menempati peringkat pertama nasional dari terhadap total PMDN Nasional

(BKPM: 2009), namun dari tahun ke tahun peringkat ini terus mengalami

penurunan menempati urutan ketiga nasional di tahun 2008 dan urutan keempat di

tahun 20094. Fakta yang menarik dari kondisi ini adalah adanya indikasi yang

menunjukkan semakin melemahnya daya tarik DKI jakarta sebagai pilihan lokasi

investasi bagi investor dalam negeri, dan daya tarik ini cendrung beralih ke daerah

Jawa Barat. Kondisi Jawa Barat menjadi pilihan investor terlihat dari peringkat

jumlah investasi PMDN Jawa Barat yang semula (di tahun 2004) menduduki

peringkat kedua nasional, namun kini (sejak tahun 2006) selalu menduduki

peringkat satu nasional. Adanya keterbatasan ruang DKI Jakarta lah yang menjadi

pendorong peralihan alokasi investasi PMDN dari Jakarta ini.

Tabel 13. Perkembangan Realisasi Investasi PMDN DKI Jakarta dan Jawa Barat

DKI JAKARTA JAWA BARAT

Jumlah Izin Usaha Tetap

yang Dikeluarkan

Nilai Realisasi Investasi

Kontribusi*

(Peringkat)

Jumlah Izin Usaha Tetap

yang Dikeluarkan

Nilai Realisasi Investasi

Kontribusi** (Peringkat)

2004 25 Rp3731.2miliar 24.21% (1) 31 Rp2783.4miliar 18.06% (2)

2005 24 2546 8.3 (5) 52 3346.1 10.91 (4)

2006 29 3088 14.95 (3) 29 5314.4 25.74 (1)

2007 34 4218 12.09 (3) 35 11347.9 32.54 (1)

2008 34 1837.3 9.02 (3) 64 4289.5 21.06 (1)

2009* 5 266 10.12 (4) 31.77 (1)

*) proporsi realisasi investasi PMDN DKI Jakarta terhadap realisasi investasi PMDN Nasional **) proporsi realisasi investasi PMDN Jawa Barat terhadap realisasi investasi PMDN Nasional

Terlepas dari berbagai fluktuasi investasi PMDN yang terjadi di Provinsi DKI

Jakarta, daya serap tenaga kerja dari kegiatan investasi PMDN di provinsi ini

masih tetap menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun, paling tidak

hingga tahun 2007. Rata-rata daya serap tenaga kerja dari investasi PMDN

Provinsi DKI Jakarta adalah sebanyak 6,739.6 tenaga kerja/tahun dalam kurun

waktu 2004-2008. Daya serap tenaga kerja tertinggi terjadi di tahun 2007, dengan

serapan mencapai 7,653 tenaga kerja. Pada tahun 2008 memang terjadi

                                                             4 Hingga bulan Februari 2009.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 61 

 

penurunan daya serap tenaga kerja dari aktivitas investasi PMDN, yaitu sekitar

3.56% dari tahun 2007. Hal ini merupakan konsekuensi dari besarnya penurunan

nilai realisasi investasi PMDN di tahun ini, yang mencapai -56.44 persen.

Grafik 46. Daya Serap Tenaga Kerja Investasi PMDN, 2004-2008

b. Investasi Penanaman Modal Asing (PMA)

Perkembangan kondisi investasi PMA Provinsi DKI Jakarta dapat diamati pada

Grafik 47. Dalam kurun waktu 2004-2006, kondisi investasi PMA DKI Jakarta

terlihat lebih berfluktuasi dibandingkan dengan kondisi investasi PMA pada

tahun 2006-2008.

Grafik 47. Jumlah Izin Usaha Tetap dan Nilai Realisasi Investasi PMA DKI Jakarta 2004-2009

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 62 

 

Membaiknya kondisi investasi PMDN sejak tahun 2006 tergambar dari terus

meningkatnya nilai realisasi investasi PMA di Provinsi DKI Jakarta dan terus

meningkatnya jumlah izin usaha tetap yang dikeluarkan. Rata-rata

pertumbuhan nilai realisasi investasi yang terjadi dalam kurun waktu 2006-

2008 mencapai 156.63% per tahun, meningkat dari US$1,468.4 juta pada

tahun 2006 menjadi US$9,927.8 juta pada tahun 2008. Nilai realisasi investasi

di tahun 2008 ini tercatat sebagai nilai investasi PMA DKI Jakarta tertinggi

dalam kurun waktu 2004-2008. Begitu juga halnya dengan jumlah izin usaha

yang dikeluarkan. Sejak tahun 2006, terlihat adanya tren peningkatan dengan

rata-rata kecepatan sebesar 14.16% per tahun. Tahun 2008 pun tercatat

sebagai tahun dengan jumlah izin usaha tetap terbesar.

Grafik 48. Kontribusi PMA DKI Jakarta terhadap Pembentukan PMA Nasional

Pesatnya perkembangan PMA DKI Jakarta sejak tahun 2006 tidak hanya

terlihat dari nilai realisasi investasi PMA dan jumlah izin usaha yang

dikeluarkan, namun juga dari segi kontribusi PMA DKI Jakarta terhadap PMA

Nasional. Jika di tahun 2006 kontribusi PMA DKI Jakarta hanya sebesar

24.57%, namun di tahun 2008, lebih dari separuh PMA ditempatkan di DKI

Jakarta, dengan proporsi mencapai 66.76% dari total PMA nasional. Besaran

kontribusi PMA DKI Jakarta ini terhadap pembentukan nilai investasi PMA

Nasional menjadikan DKI Jakarta hampir selalu menempati peringkat pertama

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 63 

 

nasional dari segi kontribusi investasi PMA, kecuali di tahun 2006 yang

menempati urutan kedua setelah Provinsi Jawa Barat.

Meskipun iklim investasi PMA DKI Jakarta terus mengalami perbaikan sejak

tahun 2006, namun tingkat daya serap tenaga kerja PMA di provinsi ini masih

belum bisa berjalan searah dengan perbaikan iklim investasi PMA. Seperti

yang teramati dari Grafik 49, dalam rentang waktu 2006-2008, yaitu masa

dimana terjadi tren peningkatan nilai realisasi investasi dan izin usaha PMA

DKI Jakarta, peningkatan daya serap tenaga kerja terlihat tidak serta-merta

terjadi. Di tahun 2007 justru terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja

sebesar 11,602 tenaga kerja.

Grafik 49. Daya Serap Tenaga Kerja Investasi PMDN, 2004-2008

Jika dibandingkan dengan perkembangan investasi PMA di daerah sekitar DKI

Jakarta, yaitu di daerah Jawa Barat dan Banten, terlihat tren yang berbeda

dengan perkembangan realisasi PMDN. Jika pada perkembangan realisasi

PMDN terdapat kecendrungan peralihan investasi menuju daerah non-Jakarta,

namun untuk realisasi PMA, DKI Jakarta tetap merupakan daerah tujuan

investasi PMA utama di Indonesia.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 64 

 

Tabel 14. Nilai Realisasi Investasi PMA di Pulau Jawa (US$ Juta), Tahun 2004-2008

2004 2005 2006 2007 2008

DKI JAKARTA 1451.4 3266.8 1472.1 4676.9 9927.8

JAWA BARAT 1136.8 2561.4 1622.9 1326.9 2552.1

BANTEN 338 668.2 508.2 708.6 477.8

JAWA TIMUR 190.7 702.2 384.3 1689.6 457.3

JAWA TENGAH 99.9 23.9 380.1 100.7 135.3

D.I YOGYAKARTA 1.3 17.3 48.8 0.8 16.6

2.3.3.1. Rekomendasi Kebijakan Jika diamati dari pemaparan di atas, DKI Jakarta merupakan daerah yang masih

memiliki persoalan dengan realisasi investasi PMDN. Dalam kurun waktu 2004-

2008 terlihat adanya penurunan kontribusi DKI Jakarta terhadap pembentukan

PMDN nasional, serta penurunan peringkat nilai realisasi investasi PMDN relatif

terhadap daerah lain di Indonesia. Kedua hal ini menandakan bahwa di mata

investor dalam negeri, daya saing DKI Jakarta relatif lebih rendah dibandingkan

dengan daerah lainnya di Indonesia sehingga proporsi realisasi investasi PMDN

di DKI Jakarta pun cendrung mengalami penurunan. Adanya keterbatasan ruang

DKI Jakarta (yang berimplikasi pada mahalnya biaya tanah di Jakarta) memang

menjadi faktor penyebabnya. Namun ditengah keterbatasan ruang ini, investor

masih berkepentingan untuk berlokasi dekat dengan Jakarta karena keberadaan

infrastruktur yang memadai di daerah ini. Alhasil, daerah yang menjadi pilihan

sehingga akhirnya daerah yang menjadi sasaran investasi adalah daerah di

sekitar DKI Jakarta. Mengamati fenomena ini, hal yang perlu dilakukan

pemerintah DKI Jakarta adalah menjalin kerjasama yang baik dengan daerah-

daerah yang berada di sekitar Jakarta agar pembangunan DKI Jakarta dan

daerah sekitarnya dapat berlangsung dengan saling mendukung. Salah satu

upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengoptimalkan peran BKSP

(Badan Kerjasama Pembangunan) Jabodetabekpunjur. Jalinan kerjasama yang

baik antar daerah ini pun sebenarnya juga diperlukan untuk relokasi industri DKI

Jakarta. DKI Jakarta yang kini diorientasikan sebagai pusat jasa dan industri non

polutan perlu merelokasi industrinya ke daerah sekitar Jakarta sehingga

kerjasama antar daerah mutlak diperlukan.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 65 

 

Untuk sub-indikator lain seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, kontribusi ekspor

terhadap pembentukan PDRB DKI Jakarta, pendapatan per kapita DKI Jakarta,

tingkat inflasi, dan realisasi investasi PMA, perkembangannya relatif lebih unggul

dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Agar sustainabilitas perkembangan

sub-indikator ini dapat berlangsung secara berkelanjutan, pemerintah perlu untuk

menjaga iklim investasi DKI Jakarta untuk menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi,

ekspor, dan investasi asing. Disamping itu, pemerintah juga perlu menjaga tingkat

inflasi agar daya beli masyarakat dan daya saing DKI Jakarta dapat terdorong.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 66 

 

2.3.1.2.Capaian Indikator dan Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Transportasi Darat dan Penyediaan Air Bersih

Transportasi Darat Penyediaan jaringan jalan merupakan prasyarat mutlak dalam pelayanan

pergerakan dan mobilitas penduduknya. Semakin baik penyediaan jaringan jalan

akan semakin meningkatkan produktivitas dari suatu wilayah tersebut. Proses

dan distribusi kegiatan akan makin cepat dan lancar. Tetapi hal sebaliknya akan

terjadi apabila penyediaan sarana dan prasarana jalan yang diberikan tidak

sesuai dengan standar pelayanan minimum. Masalah transportasi khususnya

kemacetan akan muncul apabila penyediaan jaringan jalan tidak mencukupi

kapasitas kendaraan yang melewatinya. Kemacetan berujung pada rendahnya

tingkat produktivitas penduduknya dan secara ekonomi makro akan mengganggu

pertumbuhan ekonomi. Penyebabnya adalah pertambahan jumlah kendaraan

pribadi tidak diimbangi dengan pertambahan panjang jalan. Hal ini juga

diperparah oleh banyaknya penglaju (commuters) yang melakukan pergerakan

dari kota ke Jakarta setiap harinya. Mobilitas penduduk yang tinggi

mengakibatkan peningkatan kepadatan lalulintas di jalan raya dan menimbulkan

titik-titik rawan kemacetan.

Dalam ketersediaan sarana dan prasarana, Jakarta sebagai kota metropolitan

memiliki sistem jaringan jalan lingkar, yaitu lingkar dalam (inner ring road) dan

lingkar luar (outer ring road). Sistem ini juga menjadi jaringan jalan arteri primer,

jaringan radial yang melayani kawasan di luar inner ring road menuju kawasan di

dalam inner ring road dan jaringan jalan berpola grid di wilayah pusat kota.

Namun jaringan ini tidak terkoneksi dengan wilayah penyangga yang berada di

sekitar Kota Jakarta, yaitu : Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan

Cianjur. Padahal pengguna kendaraan setiap hari berasal dan menuju daerah-

daerah penyangga tersebut. Konsep pembangunan sarana dan prasarana harus

selalu mengacu pada pemikiran bahwa Jakarta dan sekitarnya adalah wilayah

megapolitan.

Pada Gambar 1 diperlihatkan pola jaringan jalan di wilayah DKI Jakarta, sistem

jaringan jalan terdiri atas inner ring road dan outer ring road yang juga

merupakan jaringan jalan arteri. Adapun pola jaringan jalan di pusat kota adalah

sistem grid.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 67 

 

Sumber: Pola Transportasi Makro DKI Jakarta

Gambar 1. Pola Jaringan Jalan DKI Jakarta

Tabel 15. Panjang Jalan menurut Kota Administrasi berdasarkan Jenis Jalan tahun 2007

Kotamadya Panjang Jalan (m)

Total Tol Nasional Provinsi Kotamadya

Jakarta Selatan 21.884,00 50.240,00 312.087,00 1.273.686,47 1.657.897,47

Jakarta Timur 37.222,00 31.458,00 335.423,01 1.057.955,16 1.462.058,17

Jakarta Pusat 6.380,00 13.566,75 233.709,40 628.877,01 882.533,16

Jakarta Barat 12.882,00 39.075,00 254.615,50 1.026.653,79 1.333.226,29

Jakarta Utara 34.592,00 29.440,00 194.494,00 949.755,84 1.208.281,84

Total 112.960,00 163.779,75 1.330.328,91 4.936.928,27 6.543.996,93

Sumber : Sub Dinas Bina Program, Dinas Pekerjaan Umum Jalan Provinsi Jakarta dalam Biro Pusat Statistik DKI Jakarta (2008)

Sebaran jalan menurut statusnya di kotamadya/kota administrasi dalam

wilayah DKI Jakarta cukup bervariasi, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel

15 dan Tabel 16. Kotamadya Jakarta Selatan merupakan kotamadya yang

memiliki jumlah total panjang dan luas jalan terpanjang dan terluas di DKI

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 68 

 

Jakarta. Sementara itu, jalan tol dan jalan provinsi, Kotamadya Jakarta Timur

menempati urutan teratas untuk panjang dan luasnya.

Tabel 16. Luas Jalan menurut Kota Administrasi berdasarkan Jenis Jalan tahun 2007

Kotamadya Luas Jalan (m2)

Total Tol Nasional Provinsi Kotamadya

Jakarta Selatan 430.512,00 801.138,00 3.492.546,00 5.471.446,14 10.195.642,14

Jakarta Timur 997.736,00 694.468,00 3.801.343,17 4.511.562,96 10.005.110,13

Jakarta Pusat 114.840,00 330.744,50 3.685.626,60 2.602.565,87 6.733.776,97

Jakarta Barat 231.876,00 464.404,00 2.410.958,50 4.372.373,05 7.479.611,55

Jakarta Utara 697.716,00 520.720,00 1.986.478,50 4.030.155,79 7.235.070,29

Total 2.472.680,00 2.811.474,50 15.376.952,77 20.988.103,81 41.649.211,08

Sumber : Sub Dinas Bina Program, Dinas Pekerjaan Umum Jalan Provinsi Jakarta dalam Biro Pusat Statistik DKI Jakarta (2008)

Tabel 17. Panjang Jalan menurut Jenis dan Status Jalan selama tahun 2005 - 2007

Jenis Jalan Panjang Jalan (m)

Stastus Jalan 2005 2006 2007

Tol 94.180,00 112.960,00 112.960,00 Tol

Arteri primer 104.039,25 112.149,00 112.149,00 Nasional

Kolektor primer 55.130,75 51.630,75 51.630,75 Nasional

Arteri skunder 528.637,27 502.640,00 506.415,00 Provinsi

Kolektor skunder 984.743,78 823.913,91 823.913,91 Provinsi

Kotamadya 5.884.202,25 4.936.928,77 4.936.928,27 Kotamadya

Total 7.650.933,30 6.540.222,43 6.543.996,93

Sumber : Sub Dinas Bina Program, Dinas Pekerjaan Umum Jalan Provinsi Jakarta dalam Biro Pusat Statistik DKI Jakarta (2008), telah diolah

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 69 

 

Tabel 18. Luas Jalan menurut Jenis dan Status Jalan selama tahun 2005 – 2007

Jenis Jalan Luas Jalan (m2) Status

Jalan 2005 2006 2007

Tol 2.078.300,00 2.472.680,00 2.472.680,00 Tol

Arteri primer 2.147.040,10 2.140.090,00 2.140.090,00 Nasional

Kolektor primer 860.669,00 671.384,50 671.384,50 Nasional

Arteri skunder 824.790,43 8.299.089,00 8.406.014,00 Provinsi

Kolektor skunder 8.256.798,90 6.970.938,77 6.970.938,77 Provinsi

Kotamadya 25.906.134,32 20.988.103,81 20.988.103,81 Kotamadya

Total 40.073.732,75 41.542.286,08 41.649.211,08

Sumber : Sub Dinas Bina Program, Dinas Pekerjaan Umum Jalan Provinsi Jakarta dalam Biro Pusat Statistik DKI Jakarta (2006, 2007, 2008), telah diolah

Pada Tabel 17 dan Tabel 18 dapat dilihat bahwa pertumbuhan (panjang dan

luas) infrastruktur jalan untuk jalan tol di DKI Jakarta tahun 2005-2007 tidak

signifikan. Pertumbuhan panjang jalan tol dari 94,18 km menjadi 112,96 km.

Bahkan jumlah total panjang jalan dari tahun 2005-2007 berkurang dari 7.651

km menjadi 6.544 km. Pengurangan jalan ini dimungkinkan karena adanya

pembangunan untuk Busway yang digunakan untuk angkutan massal

transjakarta.

Sumber: Biro Pusat Statistik DKI Jakarta (2008), telah diolah kembali

Grafik 50. Jumlah Kendaraan Bermotor yang Terdaftar menurut Jenisnya selama 2003 – 2007 di Wilayah DKI Jakarta dan Prediksi untuk tahun 2008 - 2010

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 70 

 

Pertumbuhan kendaraan dapat dilihat pada Grafik 50, jumlah kendaraan

motor yang terdaftar (tidak termasuk Polisi, TNI dan CD) pada tahun 2005

sebanyak 7,23 juta unit kendaraan menjadi sebesar 8,73 juta unit kendaraan

pada tahun 2007. Belum lagi ditambah kendaraan yang berasal dari daerah

penyangga juga masuk ke ibukota setiap harinya yang harus ditampung oleh

6.544 km jalan. Pertumbuhan tertinggi adalah kepemilikan sepeda motor.

Sedangkan pertumbuhan jumlah mobil penumpang, angkutan umum (bus dan

angkutan umum) relatif stagnan. Hal ini perlu diantisipasi oleh stakeholder

(pemangku kepentingan) yang bertanggung jawab akan sektor transportasi.

Apabila pertumbuhan kendaraan pribadi tidak diimbangi dengan penyediaan

jalan akan menimbulkan dampak kemacetan yang sangat parah, ironisnya

wilayah pengembangan jaringan jalan di DKI Jakarta sudah terbatas. Prediksi

yang dilakukan oleh Laboratorium Transportasi UI dengan metode regresi

linier mengenai jumlah sepeda motor pada tahun 2010 mencapai kisaran 8

(delapan) juta unit kendaraan. Data kecepatan rata-rata kendaraan dalam

SITRAMP untuk tahun 2009 mencapai besaran 15,8 km/jam sedangkan pada

tahun 2008 mencapai besaran 25,8 km/jam. Fakta ini membuktikan bahwa

kecepatan kendaraan mengalami penurunan sebesar 10 km/jam yang akan

mengakibatkan berbagai hal, khususnya di sektor perekonomian. Oleh karena

itu, perlu dicari solusi yang efektif untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu

dengan penerapan sistem operasi transportasi yang efesien dengan

penerapan angkutan umum massal yang mempunyai kapasitas angkut besar

dalam 1 (satu) unit.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 71 

 

Sumber : Pola Transportasi Makro DKI Jakarta

Gambar 2. Rencana Jaringan transportasi Jakarta

Sumber: Pola Transportasi Makro DKI Jakarta

Gambar 3. Jaringan Utama pendukung Bandara Soekarno Hatta

Sistem transportasi yang mampu mengakomodasikan seluruh permintaan

pergerakan perkotaan metropolitan di DKI Jakarta diperlukan sistem jaringan

pendukung sebagai feeder. Dengan demikian, diperlukan adanya integrasi

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 72 

 

antarmoda transportasi agar meningkatakan aksesibilitas penumpang dalam

melakukan pergerakan.

Contoh salah satu komponen jaringan transportasi adalah aksesibilitas

bandara terhadap jaringan transportasi yang ada termasuk di antaranya

jaringan jalan. Pergerakan dan perpindahan orang maupun barang menuju

lokasi tujuan akhir harus baik dan mudah. Bandara Soekarno-Hatta memiliki

beberapa jalan akses utama yaitu Prof. Sedyatmo (tol dan Arteri), Lingkar luar

Barat. Jl. Prof. Sedyatmo dan Lingkar Luar yang membentuk suatu lingkar

jaringan yang berkesinambungan. Dengan demikian mempermudah akses

ke/dari bandara baik untuk luar Jakarta (BOTABEK) maupun untuk daerah

Jakarta.

Kontribusi transportasi laut terhadap transportasi Indonesia cukup besar.

Volume perpindahan barang antarwilayah dan luar Indonesia juga besar

mengingat wilayah Indonesia merupakan negara kepulauan. Pelabuhan laut

Tg. Priok didukung oleh sistem jaringan jalan dan rel sistem jaringan jalan

yang mendukung yaitu : (1) Jl. Martadinata yang menghubungkan kawasan

Barat DKI Jakarta hingga masuk wilayah Tangerang; (2) Jl. Yos Sudarso yang

menghubungkan kawasan pusat kota DKI Jakarta dan wilayah selatan DKI

Jakarta serta membentuk jaringan jalan dengan Tol Jagorawi untuk

menghubungkan DKI Jakarta hingga wilayah Bogor dan sekitarnya; dan (3) Jl.

Cakung-Cilincing yang menghubungkan kawasan timur DKI Jakarta serta

membentuk jaringan yang menghubungkan kawasan Bekasi dan sekitarnya.

Sumber: Pola Transportasi Makro DKI Jakarta

Gambar 4. Jaringan Utama Pendukung Pelabuhan Laut Tg. Priok

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 73 

 

Sedangkan sistem jaringan rel pendukung yaitu : (1) Jaringan Bogor yang

menghubungkan kawasan DKI Jakarta utara hingga daerah selatan DKI Jakarta dan

Bogor; (2) Jaringan Tangerang dan Serpong yang menghubungkan kawasan barat

DKI Jakarta hingga Tangerang; dan (3) Rencana jaringan Citayam yang

menghubungkan wilayah Timur DKI Jakarta dan Bekasi hingga selatan DKI Jakarta.

DKI Jakarta memiliki 3 (tiga) terminal utama, yaitu : terminal antarkota Rawa

Buaya (rencana), Pulogebang (rencana) dan Kampung Rambutan berfungsi

sebagai pintu masuk ke/dari wilayah sekitar Jakarta. Terminal Rawa Buaya

merupakan pintu masuk ke/dari arah barat Jakarta yang membuat rantai

sistem jaringan penghubung antarwilayah (provinsi Banten) dan antarpulau

(Sumatera). Akses pendukung utama terminal tersebut, yaitu : (1) Tol/Arteri

Lingkar Luar, menghubungkan ke wilayah kota DKI Jakarta; dan (2) Jalan

Daan Mogot, sebagai akses dari arah barat dan penghubung ke jaringan

pusat kota DKI Jakarta.

Sumber: Pola Transportasi Makro DKI Jakarta

Gambar 5. Jaringan Utama Pendukung Terminal -Terminal Utama AntarKota

Terminal Pulogebang merupakan pintu timur dari/ke DKI Jakarta yang

melayani transit dari wilayah Bekasi dan daerah di pulau Jawa terutama jalur

kota-kota utara Jawa. Terminal Pulogebang didukung oleh jaringan jalan

diantaranya I Gusti Ngurah Rai, Bekasi Raya, Tol Lingkar Luar, Cakung-

Cilincing, Kol.Soegiono, dan Jl. Jend. R.S. Soekanto. Jaringan ini akan

menghubungkan terminal dengan wilayah lain di DKI Jakarta serta didukung

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 74 

 

pula oleh jaringan kereta api Jakarta - Bekasi (Stasiun Cakung). Jaringan

utama terminal antarkota Kampung Rambutan merupakan pintu di bagian

selatan DKI Jakarta yang merupakan terminal penghubung wilayah DKI

Jakarta dengan kota Bogor dan wilayah di pulau Jawa khususnya kota-kota di

selatan Jawa. Jaringan jalan pendukungnya yaitu tol Jagorawi dan rangkaian

jaringan tol dalam kota.

Stasiun Kereta api utama di Jakarta mendukung pergerakan antar kota dan

dalam kota. Jaringan rel kereta api pendukung pergerakan dalam kota saat ini

adalah Kereta api Jakarta - Bogor yang melewati stasiun - stasiun dalam kota

Jakarta. Untuk masa mendatang telah direncanakan pengembangan rel

kereta api dalam kota yang menghubungkan stasiun Cilandak dan stasiun

Kota. Untuk pergerakan antar kota terutama dilayani oleh stasiun Gambir dan

Jatinegara. Peningkatan permintaan yang cukup tinggi setiap tahunnya

menuntut peningkatan pelayanan yang lebih memadai. Dukungan jaringan

jalan untuk akses dari dan menuju terminal merupakan satu hal utama untuk

meningkatkan pelayanan. Jaringan jalan utama pendukung stasiun-stasiun

utama di Jakarta, sebagai berikut: (1) JORR wilayah utara; (2) JORR wilayah

selatan; (3) Inner ring road timur; (4) Koridor barat-timur Daan Mogot-Hasyim

Ashari-Juanda; dan (5) Koridor barat-timur Perintis Kemerdekaan-Suprapto-

Prapatan.

Transjakarta merupakan salah satu angkutan yang diupayakan oleh

Pemerintah untuk mengatasi kemacetan dan masuk dalam bagian dalam

sistem transportasi massal yang direncanakan Pemerintah Provinsi DKI.

Apresiasi masyarakat sejak program Transjakarta koridor Blok M-Kota

diluncurkan Gubernur pada tanggal 15 Januari 2004 dan diberlakukan secara

resmi sejak 1 Februari 2004 tinggi sehingga banyak masyarakat yang

menggunakan angkutan umum Transjakarta.

Transjakarta telah mengoperasikan 8 (delapan) koridor, yaitu: (1) Koridor 1

Blok M – Kota; (2) Koridor 2 Pulogadung – Harmoni; (3) Koridor 3 Harmoni –

Kalideres; (4) Koridor 4 Pulogadung – Dukuh Atas; (5) Koridor 5 Kampung

Melayu – Ancol; (6) Koridor 6 Ragunan – Kuningan; (7) Koridor 7 Kampung

Rambutan – Kampung Melayu; dan (8) Koridor 8 Lebak Bulus – Harmoni.

Selain itu terdapat 2 (dua) koridor yang belum beroperasi karena berbagai

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 75 

 

masalah, seperti terbatasnya jumlah armada. Koridor tersebut adalah Koridor

9 Pluit – Pinang Ranti dan Koridor 10 Tanjung Priok – Cililitan. Koridor 11 -15

masih dalam tahap perencanaan pembangunan.

Pengoperasionalan angkutan Transjakarta dikelola oleh Badan Layanan

Umum (BLU) Transjakarta yang bernaung di bawah Dinas Perhubungan,

Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, terdapat juga beberapa Perusahaan Operator

yang mengelola armada yang melayani tiap koridor. Operator tersebut, yaitu:

(1) PT. Jakarta Express Trans (JET) – Koridor 1; (2) PT. Trans Batavia (TB) –

Koridor 2 dan 3; (3) PT. Jakarta Trans Metropolitan (JTM) – Koridor 4 dan 6;

(4) PT. Primajasa Perdayana Utama – Koridor 4, 6 dan 8 (bersama dengan

PT. Eka Sari Lorena); (5) PT. Jakarta Mega Trans (JMT) – Koridor 5 dan 7;

dan (6) PT. Eka Sari Lorena (LRN) – Koridor 5, 7 dan 8 (bersama dengan PT.

Primajasa).

Sumber : Badan Layanan Umum DKI Jakarta (2009), telah diolah

Grafik 51. Total Jumlah Penumpang Transjakarta di semua Koridor

Awal keberadaan Transjakarta mendapat banyak pertentangan dari

masyarakat terutama oleh pengguna kendaraan pribadi tetapi jumlah

penumpang angkutan ini mengalami peningkatan secara signifikan.

Fenomena tersebut mengisyaratkan bahwa moda transportasi Transjakarta

telah menjadi moda alternatif angkutan perkotaan di Provinsi DKI Jakarta.

Walaupun pada awalnya keberadaan Transjakarta ditentang oleh warga

terutama oleh pengguna kendaraan pribadi, namun jumlah penumpang

Transjakarta terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan, seperti

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 76 

 

yang ditunjukkan dalam Gambar 6. Laboratorium Transportasi UI melakukan

peramalan dengan menggunakan metode regresi linier dan mendapatkan

perkiraan jumlah penumpang Transjakarta hingga tahun 2014 mencapai 168

juta penumpang tiap tahunnya atau 462.273 penumpang tiap harinya (dengan

asumsi 1 tahun adalah 365 hari).

Gambar 7 menunjukkan jumlah penumpang selama tahun 2006 sampai 2009

(bulan Oktober) di setiap koridor. Jumlah penumpang Transjakarta yang

paling banyak terdapat pada koridor 1. Hal ini disebabkan koridor 1

menghubungkan pusat-pusat aktivitas kota. Dengan demikian, Pemerintah

Daerah dapat melakukan peningkatan pelayanan angkutan Transjakarta

dengan memperhatikan prioritas penanganan sesuai dengan permintaan

jumlah penumpang di setiap koridor.

Sumber : Badan Layanan Umum DKI Jakarta (2009), telah diolah

Grafik 52. Jumlah Penumpang Transjakarta di setiap Koridor

Evaluasi kinerja Transjakarta dapat disimpulkan, sebagai berikut : (1) koridor

9 dan 10 belum beroperasi, walaupun pembangunan konstruksi jalan telah

selesai lebih dari 1 (satu) tahun yang lalu. Salah satu alasan penundaan

pengoperasian koridor tersebut adalah kurangnya jumlah armada yang akan

beroperasi; (2) adanya penurunan pelayanan yang diakibatkan kurangnya

perawatan terhadap fasilitas penunjang Transjakarta seperti shelter (terdapat

pencurian dan perusakan fasilitas halte), pembatas jalan dan kondisi bus

(terbukti terdapat bus yang terbakar akibat hubungan arus pendek). Hal ini

menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta sebaiknya

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 77 

 

menunda pengembangan koridor Busway berikutnya untuk memperbaiki

sistem pengoperasian koridor yang sudah ada; (3) masih belum berlakunya

sterilisasi jalur Busway di beberapa koridor, hal ini mengakibatkan waktu

perjalanan Busway tidak sesuai dengan perencanaan waktu tempuh dan

headway Busway, sehingga mengurangi keunggulan Busway; (4) jumlah

penumpang di shelter (khususnya trasnsit shelter) dan bus sering melebihi

kapasitas maksimal; (5) tidak adanya optimalisasi peranan sistem feeder dan

park & ride untuk memperluas daerah layanan Busway; (6) transparansi dan

akuntabilitas di dalam menggunakan subsidi. Penggunaan subsidi Pemerintah

Daerah DKI Jakarta harus membawa konsekuensi terbukanya informasi

pemanfaatan anggaran bagi kepentingan masyarakat luas.

Tabel 19 Jumlah Kecelakaan Lalulintas di Provinsi DKI Jakarta

Tahun Jumlah KejadianJumlah Korban

MD (jiwa) LB (orang) LR (orang)

2004 5.437 1.085 2.465 3.617

2005 4.395 1.028 2.158 2.075

2006 4.453 1.147 2.510 2.271

2007 4.684 1.127 2.555 2.110

2008 1.300 503 663 609

Sumber : Ditlantas Polda Metro Jaya dalam Biro Pusat Stastistik DKI Jakarta (2008)

Tabel 20. Prosentase Korban Kecelakaan Lalulintas berdasarkan dampak Keparahannya di Provinsi DKI Jakarta

Tahun Jumlah KorbanJumlah Korban

MD (%) LB (%) LR (%)

2004 7.167 0,15 0,34 0,50

2005 5.261 0,20 0,41 0,39

2006 5.928 0,19 0,42 0,38

2007 5.792 0,19 0,44 0,36

2008 1.775 0,28 0,37 0,34

Sumber : Ditlantas Polda Metro Jaya dalam Biro Pusat Stastistik DKI Jakarta (2008), telah diolah

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 78 

 

Tingkat pelayanan transportasi juga dapat dilihat dari tingginya frekuensi

kecelakaan lalulintas dan fatalitas selama tahun 2004 – 2008, seperti yang

ditunjukkan dalam Tabel 19. Pemantauan dari variabel jumlah kejadian,

tindakan preventif yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah efektif. Namun,

prosentase jumlah korban meninggal terhadap total korban mengalami

peningkatan yang signifikan pada tahun 2008, seperti ditunjukkan dalam

Tabel 20. Hal ini memerlukan perhatian khusus dari Pemerintah Daerah untuk

melakukan upaya-upaya yang dapat mereduksi tingkat fatalitas.

Penyediaan Air Bersih

Kebutuhan air bersih meningkat sesuai dengan pertumbuhan jumlah

penduduk di DKI Jakarta. Pertumbuhan penduduk DKI Jakarta sejak Sensus

Penduduk 2007 sebesar 1,11 % (Biro Pusat Statistik DKI Jakarta, 2008).

Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 23 tahun 2006 menyatakan bahwa

standar kebutuhan pokok air bersih sebanyak 10 m3/KK/bulan atau 60

L/orang/hari. Dengan demikian, kebutuhan air bersih akan meningkat secara

linier sebanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk di DKI Jakarta.

Angka 10 m3/KK/bulan atau 60 L/orang/hari merupakan rasio kebutuhan

pokok air bersih jumlah KK terhadap jumlah orang sebesar 1 : 6. Jika jumlah

pelanggan dalam 5 (lima) tahun terakhir dijadikan dasar perhitungan volume

kebutuhan air bersih DKI Jakarta, maka besar volume yang dibutuhkan dapat

diperbandingkan dengan volume air yang telah didistribusikan oleh

Pemerintah Daerah. Tabel 21. Jumlah Penduduk dan Prediksi Kebutuhan Air DKI Jakarta

Tahun Jumlah penduduk (juta jiwa)

kebutuhan air bersih (m3/hari)

kebutuhan air bersih (m3/bulan)

kebutuhan air bersih (m3/tahun)

2004 8,77 526.020 15.780.600 189.367.200

2005 8,86 531.806 15.954.187 191.450.239

2006 8,96 537.656 16.129.683 193.556.192

2007 9,06 543.570 16.307.109 195.685.310

2008 9,16 549.550 16.486.487 197.837.848

Sumber : Biro Pusat Statistik DKI Jakarta (2008), telah diolah

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 79 

 

Volume yang ditampilkan dalam Tabel 21 merupakan volume yang perlu

dilayani oleh Pemerintah Daerah atau dalam kata lain nilai kebutuhan air

bersih dalam satuan m3 per tahun sebanding dengan total volume air bersih

yang terjual oleh pihak operator penyedia air bersih di DKI Jakarta. Namun,

cakupan pelayanan air bersih oleh Pemerintah Daerah belum dapat mencapai

100 %. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya jumlah pengguna air

tanah. Asumsi yang digunakan adalah semakin tinggi permintaan untuk

menggunakan air tanah maka semakin buruknya pelayanan penyediaan air

bersih oleh Pemerintah Daerah dilihat berdasarkan kuantitasnya.

Jika Pemerintah Daerah tidak melakukan upaya secepat mungkin untuk

meningkatkan volume distribusi air bersih, maka eksplorasi air tanah akan

terjadi secara terus menerus. Eksploitasi berlebihan terhadap air tanah akan

membuat permukaan air tanah menjadi turun, sehingga akan menyebabkan

terjadinya rongga yang berpotensi menyebabkan turunnya permukaan tanah.

Turunnya permukaan tanah ditambah naiknya permukaan air laut akibat efek

pemanasan global bahkan dapat menenggelamkan sebagian wilayah DKI.

Fenomena tersebut telah terjadi di DKI Jakarta, yaitu : penurunan muka tanah

dan interusi air laut. Berikut merupakan pemetaan wilayah DKI Jakarta

selama 5 (lima) tahun terakhir yang telah terjadi penurunan permukaan tanah

dan interusi air laut. Dinas Pertambangan DKI menyatakan bahwa penurunan

permukaan tanah di daerah Thamrin dalam 8 (delapan) tahun terakhir

berkisar 20 – 40 cm (Kompas, 2009) dan intrusi air laut sudah mencapai 11

hingga 12 kilometer dari garis pantai dan telah memasuki wilayah Setia Budi,

Jakarta Selatan (Darunndono dalam Tempo, 2009).

Pemerintah Daerah seharusnya dapat lebih serius dalam menangani

penyediaan air bersih. Penyediaan air bersih di DKI Jakarta dilaksanakan oleh

2 (dua) operator, yaitu : PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT. Aetra Air

Jakarta. Kedua operator tersebut bekerja dengan membagi cakupan wilayah

layanan berdasarkan kewilayahan bagian timur dan barat. Kedua operator

menyediakan air bersih di bawah koordinasi dari PAM JAYA dan dipantau

oleh sebuah institusi bernama Badan Regulator Air.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 80 

 

2.3.2.2. Rekomendasi Kebijakan

Transportasi Darat Pertumbuhan jaringan jalan di DKI Jakarta tidak sebanding dengan pertumbuhan

kendaraan yang ada. Apabila pertumbuhan kendaraan pribadi tidak diimbangi

dengan penyediaan jalan akan menimbulkan dampak kemacetan yang sangat

parah, ironisnya wilayah pengembangan jaringan jalan di DKI Jakarta sudah

terbatas. Oleh karena itu, perlu dicari solusi yang efektif untuk jangka panjang,

menegah dan jangka pendek untuk memecahkan masalah tersebut agar tujuan

transportasi untuk memindahkan penumpang/barang ke suatu tempat secepat

mungkin dan dengan harga yang ekonomis tersebut dapat tercapai. Namun

dengan melihat kondisi penduduk di wilayah DKI Jakarta yang sangat padat

hingga mencapai 9,06 juta jiwa pada tahun 2007 dan keterbatasan jaringan

jalan, salah satunya solusi jangka pendek yaitu dengan strategi TDM (Transport

Demand Management) yakni aplikasi strategi dan kebijakan dalam rangka

mengatur perilaku pengendara melalui pengurangan permintaan perjalanan

kendaran pribadi ataupun mendistribusikan permintaan perjalanan tersebut

dalam konsep ruang dan waktu. Solusi untuk jangka panjang dan menengah

yaitu dengan penerapan sistem operasi transportasi yang efesien dengan

penerapan angkutan umum massal (public transport) yang mempunyai

kapasitas angkut besar dalam 1 (satu) unit.

Penyediaan Air Bersih Solusi yang diusulkan adalah (1) melakukan pembatasan jumlah sumur air tanah

dan volume air yang dipompakan; dan (2) meningkatkan tingkat penyediaan air

bersih. Pemerintah Daerah sampai saat ini telah menaikkan tarif air tanah yang

dikomersialisasikan tetapi solusi ini belum efektif untuk menekan besarnya

volume penggunaan air tanah. Hal lain yang perlu dilakukan para operator

penyedia air minum adalah mereduksi tingkat kebocoran yang selama ini

menjadi hambatan bagi operator untuk meningkatkan debit distribusi air bersih

ke masyarakat.

Pembangunan infrastruktur sangatlah vital mengingat ketersediaan infrastruktur

yang baik dan berkualitas sangat mendukung aktifitas masyarakat. Lancarnya

transportasi ditentukan oleh mutu jalan yang baik dan sistem transportasi yang

dapat dihandalkan. Dengan demikian, kemacetan dapat dikurangi sehingga

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 81 

 

kerugian akibat kemacetan juga dapat direduksi. Selain itu, ketersediaan air

bersih yang prima oleh Pemerintah Daerah melalui operator PAM dapat

mengurangi dampak kerusakan air tanah.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 82 

 

2.4. TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL-EKONOMI 2.4.1 Capaian Indikator

Kondisi kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta dapat diamati dari tingkat

kemiskinan, tingkat pengangguran, persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi

anak terlantar dan penduduk usia lanjut, serta persentase pelayanan dan rehabilitasi

sosial. Pada bagian ini akan dijelaskan terlebih dahulu perkembangan indikator

tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Secara agregat, perkembangan

kedua indikator ini dalam kurun waktu 2004-2008 dapat diamati pada gambar

berikut. Grafik 53. Perkembangan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi DKI Jakarta dan Nasional

Analisis Relevansi Tingkat Kesejahteraan Ekonomi. Berdasarkan gambar di

atas terlihat bahwa dalam kurun waktu 2004-2008, tingkat kesejahteraan ekonomi

DKI Jakarta jauh lebih baik dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan ekonomi

nasional. Secara rata-rata, nilai agregasi tingkat kesejahteraan ekonomi DKI Jakarta

mencapai 91.17 per tahun, sementara nilai agregasi nasional hanya berada di

tingkat 86.88 per tahun. Nilai tingkat kesejahteraan ekonomi ini terus mengalami

perbaikan sejak tahun 2006, seperti yang ditandai oleh terus meningkatnya tren

pertumbuhan tingkat kesejahteraan ekonomi baik di DKI Jakarta maupun di tingkat

nasional.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 83 

 

Analisis Efektivitas Tingkat Kesejahteraan Ekonomi. Dalam kurun waktu 2004-

2008, kondisi di tahun 2006 terlihat sebagai titik balik kesejahteraan ekonomi

penduduk DKI Jakarta. Jika sebelumnya tingkat kesejahteraan ekonomi cendrung

mengalami penurunan, sejak tahun 2006, tingkat kesejahteraan ekonomi terlihat

mengalami perbaikan.

2.4.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Analisis kesejahteraan ekonomi dengan menggunakan data agregasi kurang dapat

memberikan gambaran yang detil terhadap kondisi kesejahteraan masyarakat DKI

Jakarta. Oleh karena itu pada pembahasan berikut ini, akan dijelaskan secara lebih

mendalam tentang kondisi kemiskinan dan kondisi pengangguran DKI Jakarta

sebagai sub-indikator pembentuk indikator kesejahteraan ekonomi DKI Jakarta.

Disamping itu indikator kesejahteraan sosial di DKI Jakarta dapat membantu

menjelaskan mengenai tingkat kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta. Walaupun

terjadi peningkatan kesejahteraan ekonomi tapi indikator kesejahteraan sosial

menunjukkan bahwa permasalahan sosial di masyarakat belum tertangani dengan

baik.

a. Kondisi Kemiskinan DKI Jakarta Kemiskinan merupakan salah satu indikator kesejahteraan yang telah menjadi

perhatian pemerintah dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2005, perhatian pemerintah

terhadap kemiskinan dituangkan ke dalam rumusan Strategi Nasional

Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), yang terintegrasi dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah—RPJM I (2004-2009). Strategi ini kemudian

dijalankan oleh pemerintah daerah dengan mengembangkan lebih jauh RPJMD-

nya, yang didalamnya mencantumkan strategi pemerintah daerah untuk

penanggualangan persoalan kemiskinan.

Pada tahun 2004, terdapat sekitar 277,100 jiwa penduduk miskin di Jakarta.

Angka ini terus mengalami peningkatan hingga mencapai angka 407,100 jiwa di

tahun 2006. Namun sejak tahun 2006, DKI Jakarta berhasil mendorong penurunan

tingkat kemiskinannya dari angka 407,100 jiwa menjadi 379,600 jiwa di tahun

2008.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 84 

 

Tabel 22. Kemiskinan Provinsi DKI Jakarta Periode 2004-2008

Tahun Jumlah Penduduk Miskin Jakarta (000)

Penduduk Miskin (%)

2004 277.10 3,18

2005 316.00 3,61

2006 407.10 4,60

2007 405.70 4,48

2008 379.6 4.29

2009 323.20 3.62

Sumber: Badan Pusat Statistik

Terjadinya peningkatan kuantitas penduduk miskin DKI Jakarta hingga tahun

2006 tidak terlepas dari kondisi naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang salah

satunya dipicu oleh pencabutan subsidi BBM dalam rentang waktu ini. Sejak tahun

2006, jumlah penduduk miskin DKI cendrung mengalami penurunan, bahkan

terjadi hingga tahun 2009. Faktor utama yang menyebabkan tingkat kemiskinan

menurun adalah kondisi ekonomi yang membaik sejalan dengan berkurangnya

dampak kenaikan harga BBM tahun 2005. Disamping itu, hal ini juga dipengaruhi

oleh mulai berjalannya komitmen pemerintah untuk mengatasi persoalan

kemiskinan yang merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan dalam

Rencana Pembangunan Daerah (RPJMD) I melalui strategi pro poor.

Jika diamati dari aspek sebaran penduduk miskin di Provinsi DKI Jakarta, terlihat

bahwa daerah yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar adalah

Kepulauan Seribu. Persentase penduduk miskin di daerah ini mencapai angka

rata-rata 15.44% per tahun, jauh lebih tinggi dari persentase penduduk miskin di

Jakarta Timur sebesar 3.4%, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat sebesar 3.6%,

Jakarta Pusat sebesar 4%, dan Jakarta Utara sebesar 7.3%.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 85 

 

Grafik 54. Tingkat Kemiskinan DKI Jakarta dan Nasional

Keterangan: *) Kemiskinan bulan Maret 2009

Jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan di

Provinsi DKI Jakarta jauh lebih rendah. Disaat rata-rata tahunan tingkat

kemiskinan nasional mencapai 16.43% dalam kurun waktu 2004-2008, rata-rata

tahunan tingkat kemiskinan di DKI Jakarta telah mencapai angka 4.27%.

b. Perkembangan Kondisi Ketenagakerjaan DKI Jakarta

Penduduk DKI Jakarta yang berada dalam usia kerja, yaitu yang berumur 15

tahun ke atas, terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Penduduk usia

kerja ini tersebar ke dalam dua kategori, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan

kerja. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk yang berusia

diatas 15 tahun yang sedang bekerja atau sedang mencari pekerjaan; sementara

penduduk yang termasuk kategori bukan angkatan kerja adalah penduduk berusia

15 tahun keatas yang masih bersekolah atau mengurus rumah tangga atau

melaksanakan kegiatan lainnya. Sebaran angkatan kerja dan bukan angkatan

kerja DKI Jakarta dapat diamati pada tabel berikut.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 86 

 

Tabel 23. Penduduk Usia Kerja DKI Jakarta Tahun 2004-2009

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Angkatan Kerja 4,100,100 4,181,248 4,121,821 4,085,030 4,559,108 4,757,518

a. Bekerja 3,497,359 3,565,331 3,531,799 3,543,028 4,054,976 4,186,956

b. Menganggur 602,741 615,917 590,022 542,002 504,132 570,562

Bukan Angkatan Kerja 2,520,129 2,447,567 2,449,913 2,607,317 2,357,099 2,250,966

Penduduk Usia Kerja 6,620,229 6,628,815 6,571,734 6,692,347 6,916,207 7,008,484

Diantara kedua kelompok penduduk usia kerja ini, keberadaan penduduk di

kategori angkatan kerja merupakan hal yang menarik untuk diamati lebih jauh

karena dengan mengamati penduduk yang berada di kategori ini, tingkat

pengangguran dan tingkat bekerja penduduk di DKI Jakarta dapat diamati.

Sebaran tingkat pengangguran dan tingkat bekerja penduduk DKI Jakarta dapat

diamati pada Grafik 55. Pada gambar ini terlihat bahwa dalam kurun waktu 2004-

2009, rata-rata tingkat pengangguran terbuka DKI Jakarta adalah sebesar 13.27

persen per tahun dan rata-rata tingkat bekerja adalah 86.64 persen per tahun.

Grafik 55. Tingkat Pengangguran dan Tingkat Bekerja DKI Jakarta Tahun 2004-2009

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 87 

 

Dari sisi angkatan kerja yang bekerja, status pekerjaan dari mayoritas pekerja di

Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai buruh/karyawan, dengan proporsi mencapai

63.48% dari total pekerja di provinsi ini5. Pada tahun 2009, dari total sekitar 4.2

juta jiwa angkatan kerja yang bekerja, sebesar 2.5 juta jiwa-nya merupakan

buruh/karyawan.

Tabel 24. Angkatan Kerja yang Bekerja Provinsi DKI Jakarta menurut Status Pekerjaan Utama

Status Pekerjaan Utama 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Berusaha Sendiri tanpa Bantuan Orang Lain

712,276 753,791 726,211 672,287 682,640 884,475

Berusaha dengan Dibantu Anggota Rumah Tangga Buruh Tidak Tetap

158,764 160,910 188,898 220,639 228,780 284,088

Berusaha dengan Buruh Tetap

142,277 150,955 165,637 159,723 175,960 207,350

Buruh/Karyawan 2,380,620 2,299,120 2,213,525 2,152,079 2,663,890 2,495,539 Pekerja Tak Dibayar 103,422 123,294 1,470 208,011 780 687 Pekerja Bebas Pertanian

0 1,629 96,190 1,929 93,000 88,018

Pekerja Bebas Non Pertanian

0 74,632 139,868 128,360 209,920 226,799

Jumlah Angkatan Kerja yang Bekerja

3,497,359 3,564,331 3,531,799 3,543,028 4,054,970 4,186,956

Mendominasinya pekerja DKI Jakarta sebagai buruh/karyawan (tidak tetap) tentu

secara langsung/tidak langsung dapat menggambarkan kondisi pendidikan dan

keterampilan pekerja di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan data statistik

ketenagakerjaan BPS diketahui bahwa umumnya tingkat pendidikan pekerja

Provinsi DKI Jakarta adalah tamatan SMU/sederajat (sekitar 40.67% dari

angkatan kerja Provinsi DKI Jakarta yang bekerja pada tahun 2004-2009

merupakan lulusan level pendidikan ini). Diantara 40.67% pekerja yang lulusan

SMU/sederajat, hanya 16% yang merupakan lulusan SMK. Pekerja yang

merupakan lulusan perguruan tinggi hanya sebesar 22.63% dari total angkatan

kerja (nilai rata-rata tahunan). Berdasarkan gambaran ini, terlihat bahwa pekerja di

Provinsi DKI Jakarta memang didominasi oleh pekerja yang berpendidikan rendah

(SMU/sederajat) dan tidak memiliki keterampilan (teramati dari rendahnya lulusan

SMK)6, yang mendorong mereka hanya bekerja sebagai buruh/karyawan.

                                                             5 Proporsi ini merupakan nilai proporsi rata-rata tahunan dalam kurun waktu 2004-2009. 6 Terlihat dari rendahnya proporsi pekerja lulusan SMK dan lulusan perguruan tinggi

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 88 

 

Pekerja yang berusaha sendiri tanpa dibantu oleh orang lain menempati proporsi

terbesar kedua setelah buruh/karyawan, dengan nilai rata-rata proporsi tahunan

sebesar 19.77% (antara tahun 2004-2009). Di saat terjadi krisis keuangan global

yang menyebabkan terbatasnya daya serap lapangan kerja, terjadi penurunan

jumlah angkatan kerja Provinsi DKI Jakarta yang bekerja sebagai buruh/karyawan

di tahun 2009. Berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain pun menjadi pilihan

angkatan kerja menyikapi kesulitan ekonomi di tahun 2009 ini, yang ditandai oleh

terjadinya peningkatan pekerja yang berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain

pada tahun tersebut—peningkatannya mencapai 201,835 jiwa dari tahun 2008 ke

tahun 2009, setelah sebelumnya cendrung mengalami tren penurunan.

Tabel 25 menunjukkan struktur penduduk yang bekerja menurut tiga sektor

ekonomi, yaitu sektor primer, sektor sekunder, dan sektor tersier.

Tabel 25. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu menurut Sektor Ekonomi

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Primer 30,191 22,604 31,953 29,525 31,913 29,600

Sekunder 889,988 882,280 731,536 755,947 898,268 803,167

Tersier 2,577,180 2,660,447 2,768,310 2,757,556 3,124,795 3,354,189

Total 3,497,359 3,565,331 3,531,799 3,543,028 4,054,976 4,186,956

Dalam kurun waktu 2004-2009, jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor

pertanian mengalami penurunan dari 30,191 jiwa menjadi 29,600 jiwa. Hal yang

sama juga terlihat di sektor sekunder, dengan penurunan sebesar 86,821 jiwa

(turun dari 889,988 jiwa di tahun 2004 menjadi 803,167 jiwa di tahun 2009). Sektor

ekonomi yang menunjukkan adanya peningkatan penyerapan tenaga kerja adalah

sektor tersier. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang kini

terjadi di Provinsi DKI Jakarta telah mengalami transformasi ke arah

pembangunan sektor tersier.

Dari sisi pengangguran, teramati bahwa selama periode waktu sebelum tahun

2009, DKI Jakarta berhasil menekan tingkat pengangguran terbukanya sebesar

3.64 persen, yaitu dari 14.7 persen (tahun 2004) menjadi 11.06% (tahun 2008);

namun di tahun 2009 tingkat pengangguran DKI Jakarta ini kembali mengalami

tekanan ke angka 11.99 persen (perhatikan Grafik 65). Jika dianalisis, terjadinya

peningkatan tingkat pengangguran terbuka di tahun 2009 ini merupakan dampak

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 89 

 

dari krisis keuangan global yang menyebabkan terjadinya penurunan daya beli

masyarakat sehingga akhirnya mendorong rumah tangga untuk menambah

anggota rumah tangganya yang bekerja dan yang mencari pekerjaan.

Konsekuensinya, jumlah angkatan kerja yang mencari pekerjaan pun menjadi

meningkat di tahun ini.

Daerah yang memiliki tingkat pengangguran terbuka tertinggi di DKI Jakarta

terdapat di Jakarta Timur, dengan rata-rata tingkat pengangguran mencapai

30.61% per tahun, atau setara dengan 180 ribu jiwa. Sementara daerah dengan

sebaran pengangguran terendah terdapat di wilayah Kepulauan Seribu dan

Jakarta Pusat dengan nilai rata-rata tahunan tingkat pengangguran sebesar

11.29% dan 0.12% per tahun dari jumlah angkatan kerja, atau setara dengan

sejumlah 992 jiwa dan 66 ribu jiwa, berturut-turut.

Grafik 56. Tingkat Pengangguran Terbuka Nasional dan DKI Jakarta

Tingkat pengangguran terbuka DKI Jakarta ini, dari tahun ke tahun, selalu berada

di atas tingkat pengangguran nasional. Disaat rata-rata tingkat pengangguran

terbuka nasional adalah 9.44 persen per tahun dalam kurun waktu 2004-2009,

tingkat pengangguran terbuka Provinsi DKI Jakarta mencapai 13.54%. Hal ini

yang menjadi faktor pemicu tingginya tingkat pengangguran di Provinsi DKI

Jakarta ini diantaranya adalah tingginya arus urbanisasi menuju DKI Jakarta yang

tidak diiringi oleh peningkatan daya serap tenaga kerja.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 90 

 

c. Perkembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Anak (Terlantar, Jalanan, Balita Terlantar dan Nakal)

Grafik 57. Persentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Anak Nasional dan DKI Jakarta

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa tingkat pelayanan terhadap

penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) bidang anak di DKI Jakarta

lebih rendah dari persentase nasional. Kemudian ada trend penurunan layanan

terhadap anak dari tahun 2006-2008, baik pada tingkat nasional maupun DKI

Jakarta. Khusus untuk DKI Jakarta, hal ini dapat dikaitkan dengan statusnya

sebagai ibukota negara yang menjadi `magnet` bagi individu ataupun keluarga

untuk datang, menetap dan bekerja. Sebagai konsekuensinya jumlah PMKS anak

meningkat atau secara agregat lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya.

Disamping itu, tidak masuknya pelayanan PMKS anak sebagai program prioritas

DKI Jakarta pada tahun 2009 membawa dampak tidak dapat meningkat nya

secara kuantitas pelayanan terhadap PMKS anak. Walaupun di DKI Jakarta

secara umum peran serta masyarakat cukup tinggi dalam penanganan PMKS

anak, dapat terlihat dengan `menjamur` nya LSM atau pun Yayasan yang

menyantuni atau menangani masalah anak. Tapi perkembangan tersebut, tidak

sebanding dengan besaran masalah yang ada.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 91 

 

d. Perkembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Lanjut Usia

Grafik 58. Persentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Lanjut Usia Nasional dan DKI Jakarta

Dapat dikatakan secara berangsur-angsur terjadi perubahan struktur umur

masyarakat di Indonesia pada umumnya dan di DKI Jakarta pada khususnya, hal

ini terlihat dengan meningkatnya jumlah lansia. Hal ini berdampak tidak

mencukupinya pelayanan panti sosial milik Dinas Sosial DKI Jakarta. Selain itu

PMKS lansia kurang mendapatkan prioritas dalam penanganan PMKS. Seperti hal

nya PMKS anak, PMKS lansia tidak termasuk ke dalam program prioritas

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2009. Disamping itu peran serta

masyarakat dan dunia usaha masih kurang didalam medukung pelayanan

terhadap lansia. Pertumbuhan panti atau ‘retirement house’ kurang signifikan

dengan meningkatnya lansia di DKI Jakarta.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 92 

 

e. Perkembangan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial (Penyandang Cacat, Tuna Sosial, dan Korban Penyalahgunaan Narkoba)

Grafik 59. Persentase Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Nasional dan DKI Jakarta

Pelayanan dan rehabilitasi sosial mempunyai persentase mendekati tingkat

nasional walaupun masih berada di bawah persentase nasional. Secara umum

dapat dikatakan peran serta masyarakat didalam pelayanan rehabilitasi sosial

cukup baik karena banyak ditemukan di DKI Jakarta institusi-institusi rehabilitasi

yang merupakan inisiatif masyarakat seperti rehabilitasi narkoba dan penyandang

cacat. Disamping itu masih beroperasinya panti sosial milik Dinas Sosial DKI

Jakarta yang menjadi tulang punggung pelayanan. Berdampak dengan

meningkatnya kuantitas pelayanan rehabilitasi sosial PMKS.

2.4.3 Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa DKI Jakarta dapat dikatakan sebagai

salah satu daerah yang berhasil menjaga tingkat kemiskinan jauh di bawah tingkat

kemiskinan nasional. Namun untuk penanganan pengangguran, DKI Jakarta masih

memiliki persoalan. Hal ini teramati dari selalu lebih tingginya tingkat pengangguran

DKI Jakarta terhadap tingkat pengangguran nasional. tren pengangguran DKI

Jakarta memang mengalami penurunan sejak tahun 2005, namun tingkat

penurunannya masih belum mampu mengejar penurunan tingkat pengangguran

yang terjadi di tingkat nasional. Disamping itu indikator kesejahteraan sosial di

bidang anak, lansia dan rehabilitasi sosial menunjukkan masih belum

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 93 

 

tertanggulanginya PMKS di DKI Jakarta. Hal ini juga perlu dipahami bahwa sebagai

Ibukota negara, DKI Jakarta menjadi `magnet` bagi penduduk yang berdomisili di

luar DKI Jakarta untuk datang dan menetap. Sehingga mendorong peningkatan

besaran masalah PMKS.

Dari berbagai data yang ada, hal yang perlu didorong oleh pemerintah untuk

menangani persoalan pengangguran ini adalah mengoptimalkan keberadaan

lembaga pelatihan dan SMK di DKI Jakarta agar DKI Jakarta memiliki angkatan

kerja yang terampil. Disamping itu, hal yang perlu dijembatani pemerintah pula

adalah memperkuat hubungan antara sekolah/lembaga pendidikan dengan dunia

usaha, agar tenaga terampil yang telah berhasil dimiliki dapat langsung disalurkan

ke dunia kerja.

Sementara itu untuk bidang sosial, DKI Jakarta haruslah menempatkan penanganan

PMKS anak, sosial dan rehabilitasi sosial sebagai salah satu program prioritas.

Karena peningkatan kesejahteraan ekonomi tidak akan berdampak secara signifikan

kepada kesejahteraan masyarakat tanpa disertai peningkatan quality of life dari

penduduknya. Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan DKI Jakarta

mengatasi PMKS adalah dengan melibatkan atau melakukan kerjasama dengan

berbagai pihak seperti dunia usaha dan masyarakat sipil untuk mengatasi

permasalahan sosial yang ada.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 94 

 

Bab III

KESIMPULAN

Item Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat

Rendah

Tingkat pelayanan Publik dan Korupsi V

Tingkat Kualitas SDM V

Tingkat Pembangunan Ekonomi V

Tingkat Kesejahteraan Sosial V

Pelayanan Publik

Dari hasil penelitian mengenai korupsi dan pelayanan publk dari kurun waktu 2008-2009

yang dilakukan oleh Transparansi Internasional dan KPK meperlihatkan kondisi yang

memprihatinkan di DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia. Dalam laporan

penelitian yang disususun oleh KPK, tidak ada perubahan menuju ke arah yang lebih baik

dari tahun 2008 sampai 2009. Dapat disimpulkan sejauh berkaitan dengan pelayanan

publik dan korupsi, kinerja Provinsi DKI dapat dikatakan masih buruk.

Walaupun secara umum permasalahan korupsi dan pelayanan publik masih buruk di DKI

Jakarta, tetapi ada beberapa hal yang cukup baik di DKI Jakarta seperti indikator

pendidikan aparatur minimal S1 yang berada di atas rata-rata nasional. Selain itu hasil

survei mengenai persepsi dan kepuasan publik oleh Pusat Kajian Kebijakan dan

Pembangunan Strategis (Puskaptis), menyimpulkan ada beberapa layanan yang

dipersepsikan oleh masyarakat DKI Jakarta pada level yang cukup memuaskan dalam

pelayananannya seperti pelayanan KTP dan Puskesmas. Sedangkan indikator pelayanan

satu atap, pengurusan IMB dan pembuatan sertifikat tanah masih belum menunjukkan

level yang memuaskan bagi masyarakat di DKI Jakarta.

Untuk itu di rekomendasikan perbaikan dan reformasi administrasi di lingkungan Pemprov

DKI Jakarta untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik dan penerapan secara ketat

standar pelayanan minimum.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 95 

 

Sumber Daya Manusia

Capaian indeks pembangunan manusia baik di tingkat Provinsi DKI maupun di tingkat

nasional, menunjukkan peningkatan yang stabil. Hal ini menunjukkan meningkatnya

relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan. Untuk itu rekomendasi bagi

strategi dalam mewujudkan sasaran dan tujuan sebagaimana ditetapkan dalam RPJM,

perlu terus dilanjutkan dan dipertahankan, karena memang sudah relevan dan efektif.

Sedangkan untuk indikator partisipasi sekolah SD/MI, rata-rata Nilai Akhir (SMP dan

SMA), angka putus sekolah dan persentase guru yang layak mengajar secara umum lebih

tinggi dari rata-rata tingkat nasional walaupun ada beberapa indiator yang mempunyai

trend naik-turun dari tahu ke tahun. Namun sebagian besar indikator dapat dikatakan

efektif untuk menunjang pembangunan bidang pendidikan.

Rekomendasi yang ditawarkan antara lain: memperbaiki mekanisme pendidikan gratis

terutama dalam wajib belajar 9 tahun; kebijakan pemerintah yang memberikan anggaran

pendidikan yang memadai, yang didukung oleh sistem pembiayaan yang adil, efisien,

efektif , transparan dan akuntabel; peningkatan daya tampung sekolah; sosialisasi kepada

masyarakat agar berorientasi kepada pendidikan untuk meningkatkan taraf hidup; terakhir

adalah pendidikan dan latihan di lingkungan instansi tenaga pendidik dengan memberikan

bantuan dana yang memadai, sehingga para tenaga pendidik dapat menjalankan

tugasnya dengan baik.

Pembangunan Ekonomi

Kinerja pembangunan ekonomi DKI Jakarta terlihat lebih baik dibandingkan kinerja

pembangunan ekonomi nasional sejak tahun 2006, namun dengan tingkat perkembangan

yang berfluktuasi dari tahun ke tahun. Tahun yang terlihat mengalami tekanan adalah

tahun 2006 dan 2008. Terjadinya fluktuasi tingkat pembangunan ini—terutama di tahun

2006 dan 2008—menandakan bahwa pembangunan di DKI Jakarta, dan juga Indonesia

secara keseluruhan, sangat terpengaruh oleh adanya tekanan kenaikan harga minyak di

akhir tahun 2005 dan adanya tekanan krisis global yang terjadi di akhir tahun 2009.

DKI Jakarta merupakan daerah yang masih memiliki persoalan dengan realisasi investasi

PMDN. Dalam kurun waktu 2004-2008 terlihat adanya penurunan kontribusi DKI Jakarta

terhadap pembentukan PMDN nasional, serta penurunan peringkat nilai realisasi investasi

PMDN relatif terhadap daerah lain di Indonesia. Kedua hal ini menandakan bahwa di

mata investor dalam negeri, daya saing DKI Jakarta relatif lebih rendah dibandingkan

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 96 

 

dengan daerah lainnya di Indonesia sehingga proporsi realisasi investasi PMDN di DKI

Jakarta pun cendrung mengalami penurunan. Adanya keterbatasan ruang DKI Jakarta

(yang berimplikasi pada mahalnya biaya tanah di Jakarta) memang menjadi faktor

penyebabnya. Namun ditengah keterbatasan ruang ini, investor masih berkepentingan

untuk berlokasi dekat dengan Jakarta karena keberadaan infrastruktur yang memadai di

daerah ini. Alhasil, daerah yang menjadi pilihan sehingga akhirnya daerah yang menjadi

sasaran investasi adalah daerah di sekitar DKI Jakarta. Mengamati fenomena ini, hal

yang perlu dilakukan pemerintah DKI Jakarta adalah menjalin kerjasama yang baik

dengan daerah-daerah yang berada di sekitar Jakarta agar pembangunan DKI Jakarta

dan daerah sekitarnya dapat berlangsung dengan saling mendukung. Salah satu upaya

yang perlu dilakukan adalah dengan mengoptimalkan peran BKSP (Badan Kerjasama

Pembangunan) Jabodetabekpunjur. Jalinan kerjasama yang baik antar daerah ini pun

sebenarnya juga diperlukan untuk relokasi industri DKI Jakarta. DKI Jakarta yang kini

diorientasikan sebagai pusat jasa dan industri non polutan perlu merelokasi industrinya

ke daerah sekitar Jakarta sehingga kerjasama antar daerah mutlak diperlukan.

Untuk sub-indikator lain seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, kontribusi ekspor terhadap

pembentukan PDRB DKI Jakarta, pendapatan per kapita DKI Jakarta, tingkat inflasi, dan

realisasi investasi PMA, perkembangannya relatif lebih unggul dibandingkan daerah

lainnya di Indonesia. agar sustainabilitas perkembangan sub-indikator ini dapat

berlangsung secara berkelanjutan, pemerintah perlu untuk menjaga iklim investasi DKI

Jakarta untuk menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi, ekspor, dan investasi asing.

Disamping itu, pemerintah juga perlu menjaga tingkat inflasi agar daya beli masyarakat

dan daya saing DKI Jakarta dapat terdorong.

Sedangkan untuk transportasi darat, pertumbuhan jaringan jalan di DKI Jakarta tidak

sebanding dengan pertumbuhan kendaraan yang ada. Apabila pertumbuhan kendaraan

pribadi tidak diimbangi dengan penyediaan jalan akan menimbulkan dampak kemacetan

yang sangat parah, ironisnya wilayah pengembangan jaringan jalan di DKI Jakarta sudah

terbatas. Oleh karena itu, perlu dicari solusi yang efektif untuk jangka panjang, menegah

dan jangka pendek untuk memecahkan masalah tersebut agar tujuan transportasi untuk

memindahkan penumpang/barang ke suatu tempat secepat mungkin dan dengan harga

yang ekonomis tersebut dapat tercapai. Namun dengan melihat kondisi penduduk di

wilayah DKI Jakarta yang sangat padat hingga mencapai 9,06 juta jiwa pada tahun 2007

dan keterbatasan jaringan jalan, salah satunya solusi jangka pendek yaitu dengan strategi

TDM (Transport Demand Management) yakni aplikasi strategi dan kebijakan dalam

rangka mengatur perilaku pengendara melalui pengurangan permintaan perjalanan

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 97 

 

kendaran pribadi ataupun mendistribusikan permintaan perjalanan tersebut dalam konsep

ruang dan waktu. Solusi untuk jangka panjang dan menengah yaitu dengan penerapan

sistem operasi transportasi yang efesien dengan penerapan angkutan umum massal

(public transport) yang mempunyai kapasitas angkut besar dalam 1 (satu) unit.

Untuk air bersih, cakupan pelayanan air bersih oleh Pemerintah Daerah belum dapat

mencapai 100 %. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya jumlah pengguna air tanah.

Asumsi yang digunakan adalah semakin tinggi permintaan untuk menggunakan air tanah

maka semakin buruknya pelayanan penyediaan air bersih oleh Pemerintah Daerah dilihat

berdasarkan kuantitasnya. Eksploitasi berlebihan terhadap air tanah akan membuat

permukaan air tanah menjadi turun, sehingga akan menyebabkan terjadinya rongga yang

berpotensi menyebabkan turunnya permukaan tanah. Turunnya permukaan tanah

ditambah naiknya permukaan air laut akibat efek pemanasan global bahkan dapat

menenggelamkan sebagian wilayah DKI. Rekomendasi yang diusulkan adalah (1)

melakukan pembatasan jumlah sumur air tanah dan volume air yang dipompakan; dan (2)

meningkatkan tingkat penyediaan air bersih. Pemerintah Daerah sampai saat ini telah

menaikkan tarif air tanah yang dikomersialisasikan tetapi solusi ini belum efektif untuk

menekan besarnya volume penggunaan air tanah. Hal lain yang perlu dilakukan para

operator penyedia air minum adalah mereduksi tingkat kebocoran yang selama ini

menjadi hambatan bagi operator untuk meningkatkan debit distribusi air bersih ke

masyarakat.

Kesejahteraan Sosial-Ekonomi

DKI Jakarta dapat dikatakan sebagai salah satu daerah yang berhasil menjaga tingkat

kemiskinan jauh di bawah tingkat kemiskinan nasional. Namun untuk penanganan

pengangguran, DKI Jakarta masih memiliki persoalan. Hal ini teramati dari selalu lebih

tingginya tingkat pengangguran DKI Jakarta terhadap tingkat pengangguran nasional.

Tren pengangguran DKI Jakarta memang mengalami penurunan sejak tahun 2005,

namun tingkat penurunannya masih belum mampu mengejar penurunan tingkat

pengangguran yang terjadi di tingkat nasional. Disamping itu indikator kesejahteraan

sosial di bidang anak, lansia dan rehabilitasi sosial menunjukkan masih belum

tertanggulanginya PMKS di DKI Jakarta. Hal ini juga perlu dipahami bahwa sebagai

Ibukota negara, DKI Jakarta menjadi `magnet` bagi penduduk yang berdomisili di luar DKI

Jakarta untuk datang, bekerja dan menetap. Sehingga mendorong peningkatan besaran

masalah PMKS.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 98 

 

Dari berbagai data yang ada, hal yang perlu didorong oleh pemerintah untuk menangani

persoalan pengangguran ini adalah mengoptimalkan keberadaan lembaga pelatihan dan

SMK di DKI Jakarta agar DKI Jakarta memiliki angkatan kerja yang terampil. Disamping

itu, hal yang perlu dijembatani pemerintah pula adalah memperkuat hubungan antara

sekolah/lembaga pendidikan dengan dunia usaha, agar tenaga terampil yang telah

berhasil dimiliki dapat langsung disalurkan ke dunia kerja.

Sementara itu untuk bidang sosial, DKI Jakarta haruslah menempatkan penanganan

PMKS anak, sosial dan rehabilitasi sosial sebagai salah satu program prioritas. Karena

peningkatan kesejahteraan ekonomi tidak akan berdampak secara signifikan kepada

kesejahteraan masyarakat tanpa disertai peningkatan quality of life dari penduduknya.

Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan DKI Jakarta mengatasi PMKS adalah

dengan melibatkan atau melakukan kerjasama dengan berbagai pihak seperti dunia

usaha dan masyarakat sipil untuk mengatasi permasalahan sosial yang ada.

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 99 

 

Daftar Grafik

Grafik 1. Persepsi Terhadap Pelayanan KTP di Kelurahan Grafik 2. Persepsi Terhadap Jangka Waktu Pengurusan KTP di Kelurahan Grafik 3. Persepsi Terhadap Biaya Pengurusan KTP di Kelurahan Grafik 4. Persepsi Terhadap Pelayanan Puskesmas Grafik 5. Persepsi Terhadap Biaya Pengobatan Grafik 6. Persepsi Terhadap Lama Waktu Pelayanan Puskesmas Grafik 7. Persepsi Terhadap Pelayanan Pemakaman Umum Grafik 8. Persepsi Terhadap Lama Pengurusan Pemakaman Grafik 9. Persepsi Terhadap Biaya Pemakaman Umum Grafik 10. Persepsi Terhadap Pelayanan Pengurusan IMB Grafik 11. Persepsi Terhadap Lama Waktu Pengurusan IMB Grafik 12. Persepsi Terhadap Biaya Pengurusan Pembuatan IMB Grafik 13. Persepsi Terhadap Pihak Ketiga Pengurusan Pembuatan IMB Grafik 14. Persepsi Terhadap Pelayanan Pembuatan Sertifikasi Tanah Grafik 15. Persepsi Terhadap Lama Waktu Pembuatan Sertifikasi Tanah Grafik 16. Persepsi Terhadap Biaya Pengurusan Pembuatan Sertifikasi Tanah Grafik 17. Indeks Pembangunan Manusia Provinsi DKI Dan Nasional Grafik 18. Angka Partisipasi Sekolah DKI dan Nasional Grafik 19. Angka Melek Aksara 15 tahun ke atas DKI dan Nasional Grafik 20. Rata-Rata Nilai Akhir SMP DKI dan Nasional Grafik 21. Rata-Rata Nilai Akhir SMP DKI dan Nasional Grafik 22. Angka Putus Sekolah DKI dan Nasional Grafik 23. Angka Putus Sekolah SMP DKI dan Nasional Grafik 24. Angka Putus Sekolah SMA DKI dan Nasional Grafik 25. Presentase Guru yang Layak Mengajar SMP DKI dan Nasional Grafik 26. Presentase Guru yang Layak Mengajar SMA DKI dan Nasional Grafik 27. Peserta KB Aktif Periode 2004-2009 Grafik 28. Angka Harapan Hidup Waktu Lahir Periode 2004-2009 Grafik 29. Angka Kematian Bayi Periode 2004-2009 Grafik 30. Angka Kematian Ibu Periode 2004-2009 Grafik 31. Prevalensi Balita Gizi Buruk Periode 2004-2009 Grafik 32. Prevalensi Balita Gizi Buruk Periode 2004-2009 Grafik 33. Perkembangan Kondisi Ekonomi Makro DKI Jakarta dan Nasional, 2004-2009 Grafik 34. Perkembangan Kondisi Investasi DKI Jakarta dan Nasional Grafik 35. Perkembangan Indikator Pembangunan Ekonomi DKI Jakarta dan Nasional Grafik 36. Perkembangan Nilai PDRB Riil dan PDRB Nominal, dan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta, Tahun 2008-2009 Grafik 37. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil Pendekatan Pengeluaran Tahun 2007 Grafik 38. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil Pendekatan Sektoral Tahun 2007 Grafik 39. Laju Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional, Tahun 2004-2009 Grafik 40. Komposisi Ekspor Berdasarkan Komoditas Grafik 41. Komposisi Ekspor Berdasarkan Kawasan Tujuan Ekspor Grafik 42. Nilai Ekspor dan Impor DKI Jakarta, Tahun 2004-2008 (Triliun Rupiah) Grafik 43. Kontribusi Sektor Manufaktur DKI Jakarta dan Nasional Grafik 44. Pendapatan Per Kapita DKI Jakarta dan Nasional Grafik 45. Perkembangan Inflasi DKI Jakarta dan Inflasi Nasional 2004-2008 Grafik 46. Daya Serap Tenaga Kerja Investasi PMDN, 2004-2008

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 100 

 

Grafik 47. Jumlah Izin Usaha Tetap dan Nilai Realisasi Investasi PMA DKI Jakarta 2004-2009 Grafik 48. Kontribusi PMA DKI Jakarta terhadap Pembentukan PMA Nasional Grafik 49. Daya Serap Tenaga Kerja Investasi PMDN, 2004-2008 Grafik 50. Jumlah Kendaraan Bermotor yang Terdaftar menurut Jenisnya selama 2003 – 2007 di Wilayah DKI

Jakarta dan Prediksi untuk tahun 2008 - 2010 Grafik 51. Total Jumlah Penumpang Transjakarta di semua Koridor Grafik 52. Jumlah Penumpang Transjakarta di setiap Koridor Grafik 53. Perkembangan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi DKI Jakarta dan Nasional Grafik 54. Tingkat Kemiskinan DKI Jakarta dan Nasional Grafik 55. Tingkat Pengangguran dan Tingkat Bekerja DKI Jakarta Tahun 2004-2009 Grafik 56. Tingkat Pengangguran Terbuka Nasional dan DKI Jakarta Grafik 57. Persentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Anak Nasional dan DKI Jakarta Grafik 58. Persentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Lanjut Usia Nasional dan DKI Jakarta Grafik 59. Persentase Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Nasional dan DKI Jakarta

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 101 

 

Daftar Tabel Tabel 1. Nilai Integritas 10 Pemerintah Provinsi Tahun 2009 Tabel 2. Persentase Jumlah Aparat Yang Berijazah Minimal S1 Tabel 3. Data Kualitas SDM Bidang Pendidikan di Wilayah DKI Jakarta Periode 2004-2009 Tabel 4. Data Kualitas SDM Bidang Pendidikan Nasional Periode 2004-2009 Tabel 5. Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap 100.000 Penduduk Tabel 6. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil dengan Pendekatan Pengeluaran, Tahun 2005-2008 Tabel 7. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil Pendekatan Sektoral, Tahun 2004-2008 Tabel 8. Ekspor melalui Jakarta dan Ekspor Produk Jakarta Tabel 9. Kontribusi Komponen PDRB DKI Jakarta dengan Pendekatan Pengeluaran, Tahun 2004-2009 Tabel 10. Tingkat Inflasi DKI Jakarta menurut Tujuh Kelompok Komoditas dalam Periode 2004-2008 Tabel 11. Tingkat Inflasi Nasional menurut Tujuh Kelompok Komoditas dalam Periode 2004-2008 Tabel 12. Jumlah Izin Usaha Tetap dan Nilai Realisasi Investasi PMDN DKI Jakarta 2004- 2009 Tabel 13. Perkembangan Realisasi Investasi PMDN DKI Jakarta dan Jawa Barat Tabel 14. Nilai Realisasi Investasi PMA di Pulau Jawa (US$ Juta), Tahun 2004-2008 Tabel 15. Panjang Jalan menurut Kota Administrasi berdasarkan Jenis Jalan tahun 2007 Tabel 16. Luas Jalan menurut Kota Administrasi berdasarkan Jenis Jalan tahun 2007 Tabel 17. Panjang Jalan menurut Jenis dan Status Jalan selama tahun 2005 - 2007 Tabel 18. Luas Jalan menurut Jenis dan Status Jalan selama tahun 2005 – 2007 Tabel 19. Jumlah Kecelakaan Lalulintas di Provinsi DKI Jakarta Tabel 20. Prosentase Korban Kecelakaan Lalulintas berdasarkan dampak Keparahanya di DKI Jakarta Tabel 21. Jumlah Penduduk dan Prediksi Kebutuhan Air DKI Jakarta Tabel 22. Kemiskinan Provinsi DKI Jakarta Periode 2004-2008 Tabel 23. Penduduk Usia Kerja DKI Jakarta Tahun 2004-2009 Tabel 24. Angkatan Kerja yang Bekerja Provinsi DKI Jakarta menurut Status Pekerjaan Utama Tabel 25. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu menurut Sektor

Ekonomi

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 102 

 

Daftar Gambar Gambar 1. Pola Jaringan Jalan DKI Jakarta Gambar 2. Rencana Jaringan transportasi Jakarta Gambar 3. Jaringan Utama pendukung Bandara Soekarno Hatta Gambar 4. Jaringan Utama Pendukung Pelabuhan Laut Tg. Priok Gambar 5. Jaringan Utama Pendukung Terminal -Terminal Utama AntarKota

 

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH  PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 103 

 

LAMPIRAN MATRIKS DATA EKPD PROVINSI DKI JAKARTA