laporan akhir ekpd 09 dki jakarta - ui
DESCRIPTION
Laporan Akhir EKPD 2010 Provinsi DKI Jakarta oleh Universitas IndonesiaTRANSCRIPT
Laporan
EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009
Universitas Indonesia D E P O K
Laporan EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 © 2009 Disusun dalam bahasa Indonesia oleh Tim EKPD UI Tahun 2009 Universitas Indonesia Gedung DRPM UI Lt. 2 Kampus UI, Depok 16424 e-mail: [email protected] KODE LAPORAN: - Penyusun: Tim EKPD UI Tahun 2009
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Merupakan sebuah kepercayaan bagi Universitas Indonesia untuk turut serta melakukan
kegiatan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
2009 bekerja sama dengan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas. Mengingat pentingnya kegiatan ini, Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat (DPRM) Universitas Indonesia sebagai unit yang bertanggung jawab atas
kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat di lingkungan UI, diberi tugas untuk
menyusun tim khusus EKPD UI. Tim ini terdiri dari dosen/peneliti di lingkungan UI yang
memiliki kepakaran di bidang yang terkait dengan pelbagai program yang dievaluasi.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) 2009 dilaksanakan untuk menilai
relevansi dan efektivitas kinerja pembangunan daerah dalam rentang waktu 2004-2008.
Evaluasi ini juga dilakukan untuk melihat apakah pembangunan daerah telah mencapai
tujuan/sasaran yang diharapkan dan apakah masyarakat mendapatkan manfaat dari
pembangunan daerah tersebut.
Hasil evaluasi digunakan sebagai rekomendasi yang spesifik sesuai kondisi lokal guna
mempertajam perencanaan dan penganggaran pembangunan pusat dan daerah periode
berikutnya, termasuk untuk penentuan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana
Dekonsentrasi (DEKON).
Atas bantuan dan kerjasama berbagai pihak khususnya Pemerintah Daerah Provinsi DKI
Jakarta kami mengucapkan banyak terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Depok, 30 Desember 2009
Tim EKPD UI
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .............................................................................................................. i Daftar Isi ........................................................................................................................ ii Bab I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang dan Tujuan .......................................................................... 1 1.2. Keluaran ...................................................................................................... 21.3. Metodologi ................................................................................................... 3 1.4. Sistematika Penulisan Laporan ................................................................... 3
Bab II HASIL EVALUASI .............................................................................................. 4
2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI …………………..… 4 2.1.1 Capaian Indikator………………………………………………………… 4
a. Pendidikan Aparatur Minimal S1…………………………………….. 8 b. Pelayanan Satu Atap…………………………………….………….… 8 c. Pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) ………………………..… 8 d. Pelayanan Puskesmas ……………………………………………..… 10 e. Pelayanan Pemakaman Umum ………………………..………........ 12f. Pelayanan Izin Mendirikan Bangunan ……………........................... 14 g. Pelayanan Pembuatan Sertifikat Tanah ……………………..…..… 16
2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik Dan Menonjol ……………...…… 17 2.1.3. Rekomendasi Kebijakan ……………………………………………..… 18
2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA ……………………………..…... 20
2.2.1.A. Capaian Indikator Bidang Pendidikan ………………………….... 20 a. Indeks Pembangunan Manusia ………………………………….….. 20 b. Angka Partisipasi Sekolah SD/MI …………………………………… 20 c. Angka Melek Aksara 15 Tahun Ke Atas …………………………… 21 d. Rata-rata Nilai Akhir ....................................................................... 22 d. Angka Putus Sekolah ………………………………….…………..… 23 e. Persentase Guru yang Layak Mengajar ………………………….... 24
2.2.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol beserta Rekomendasi …………………………………………………..……
32
2.2.1.B. Capaian Indikator dan Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Bidang Kesehatan …………………………………….. 34
a. Peserta KB Aktif Periode 2004-2009 ………………………….…… 34 b. Angka Harapan Hidup Waktu Lahir Periode 2004-2009 …………. 35c. Angka Kematian Bayi Periode 2004-2009 ………………………… 36d. Angka Kematian Ibu Periode 2004-2009 ………………………..… 37e. Prevalensi Balita Gizi Buruk Periode 2004-2009 ……………….… 38f. Prevalensi Balita Gizi Kurang Periode 2004-2009 ……………….. 38g. Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap 100.000 Penduduk Periode 2004-2009 …………………………………………………... 39
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | iii
2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI ……………………………………..….… 41
2.3.1.1. Capaian Indikator …………………………………………………… 42 2.3.2.1. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ................... 44
A. Kondisi Ekonomi Makro Provinsi DKI Jakarta …………….. 44 a. Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta ………………………... 44 b. Perkembangan Ekspor DKI Jakarta ………………………... 49c. Perkembangan Industri Manufaktur DKI Jakarta ………….. 52d. Perkembangan Pendapatan Per Kapita DKI Jakarta ……… 54e. Perkembangan Inflasi DKI Jakarta ……………………….…. 55f. Perkembangan Investasi Provinsi DKI Jakarta ………..…. 59 g. Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN…….… 59 h. Investasi Penanaman Modal Asing (PMA) ……………….... 62
2.3.3.1. Rekomendasi Kebijakan …………………………………………..… 64 2.3.1.2. Capaian Indikator dan Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Transportasi Darat dan Penyediaan Air Bersih ……….. 66 2.3.2.2. Rekomendasi Kebijakan …………………………………………..... 80
2.4. TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL-EKONOMI …………………………….. 82 2.4.1.Capaian Indikator ................................................................................... 82 2.4.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ........................... 82
a. Kondisi Kemiskinan DKI Jakarta ………………………………………. 83 b. Perkembangan Kondisi Ketenagakerjaan DKI Jakarta ……………… 83c. Perkembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Anak (Terlantar, Jalanan, Balita Terlantar dan Nakal) …………....… 90 d. Perkembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Lanjut Usia ........................................................................................... 91 e. Perkembangan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial (Penyandang Cacat, Tuna Sosial, dan Korban Penyalahgunaan Narkoba) ……….………………………………..…... 92
2.4.3. Rekomendasi Kebijakan ……………………………………..………..…. 92 BAB III KESIMPULAN ................................................................................................. 94 LAMPIRAN
Matriks Data Daftar Grafik Daftar Tabel Daftar Gambar
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 1
Bab I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Tujuan
Pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan
nasional, pada hakekatnya pembangunan daerah adalah upaya terencana untuk
meningkatkan kapasitas daerah dalam mewujudkan masa depan daerah yang lebih
baik dan kesejahteraan bagi semua masyarakat.
Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 32 tahun 2004 yang menegaskan bahwa
Pemerintah Daerah diberikan kewenangan secara luas untuk menentukan kebijakan
dan program pembangunan di daerah masing-masing.
Demikian pula halnya dengan Provinsi DKI Jakarta telah membuat perencanaan
pembangunannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) DKI
Jakarta 2007-2012, yang merupakan penjabaran dari Visi, Misi, Program Gubernur
terpilih Fauzi Bowo. RPJMD DKI Jakarta terdiri dari Kebijakan Umum Pembangunan
Daerah, Kebijakan Umum Keuangan Daerah, Strategi dan Program SKPD, lintas
SKPD, serta program kewilayahan.
Adapun maksud penyusunan RPJMD DKI Jakarta 2007-2012 untuk menghasilkan
program-program pembangunan daerah yang terpadu, fokus dan responsif terhadap
kebutuhan masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah sebagai acuan penyusunan
Rencana Strategis setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), arah
pengembangan usaha bagi pelaku usaha dan harapan bagi setiap warga ibukota.
Visi DKI Jakarta yang telah dituangkan dalam Peraturan Daerah adalah sebagai
berikut: “Jakarta Yang Nyaman dan Sejahtera Untuk Semua”, dengan pemahaman
sebagai berikut:
A. Jakarta yang nyaman bermakna terciptanya rasa aman, tertib, tentram dan damai;
B. Jakarta yang sejahtera bermakna terwujudnya derajat kehidupan penduduk
Jakarta yang sehat, layak, dan manusiawi.
Untuk mewujudkan visi, misi pembangunan 2007-2012 adalah sebagai berikut:
a. Membangun tata kelola pemerintahan yang baik dengan menerapkan kaidah-
kaidah ”Good Governance”.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 2
b. Melayani masyarakat dengan prinsip pelayanan prima.
c. Memberdayakan masyarakat dengan prinsip pemberian otoritas pada masyarakat
untuk mengenali permasalahan yang dihadapi dan mengupayakan pemecahan
yang terbaik pada tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
pengendalian pembangunan.
d. Membangun sarana dan prasarana kota yang menjamin kenyamanan, dengan
memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
e. Menciptakan lingkungan kehidupan kota yang dinamis dalam mendorong
pertumbuhan dan kesejahteraan.
Setelah berjalan sampai tahun 2009, Bappenas memutuskan untuk melakukan
evaluasi terhadap kinerja pembangunan seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi DKI
Jakarta termasuk di dalamnya walaupun jika dilihat dari keberlakuan RPMJD baru
berakhir tahun 2012. Hal ini dilakukan karena kepemimpinan nasional dimulai tahun
2004 dan akan berakhir tahun 2009.
Sebagai catatan perlu disampaikan bahwa pada periode tersebut diatas Provinsi DKI
dipimpin oleh dua orang Gubernur yang berbeda, yaitu Sutiyoso dan Fauzi Bowo.
Kedua orang gubernur ini memerintah dengan Visi, Misi, Renstra serta program
pembangunannya sendiri-sendiri.
Secara kuantitatif, evaluasi ini akan memberikan informasi penting yang berguna
sebagai alat untuk membantu pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan
pembangunan dalam memahami, mengelola dan memperbaiki apa yang telah
dilakukan sebelumnya.
Hasil evaluasi digunakan sebagai rekomendasi yang spesifik sesuai kondisi lokal guna
mempertajam perencanaan dan penganggaran pembangunan pusat dan daerah
periode berikutnya, termasuk untuk penentuan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK)
dan Dana Dekonsentrasi (DEKON).
1.2 Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari pelaksanaan EKPD 2009 meliputi:
1. Terhimpunnya data dan informasi evaluasi kinerja pembangunan di Provinsi DKI
Jakarta
2. Tersusunnya hasil analisis evaluasi kinerja pembangunan di Provinsi DKI Jakarta
sesuai sistematika buku panduan.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 3
1.3 Metodologi Penelitian yang dilakukan adalah penelitian evaluatif yang mengutamakan
penggunaan data sekunder dan pengamatan langsung.
Untuk menganalisis kinerja pembangunan daerah, pendekatan yang digunakan
adalah Relevansi dan Efektivitas.
Relevansi digunakan untuk menganalisis sejauh mana tujuan/sasaran pembangunan
yang direncanakan mampu menjawab permasalahan utama/tantangan. Dalam hal ini,
relevansi pembangunan daerah dilihat apakah tren capaian pembangunan daerah
sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan nasional.
Sedangkan efektivitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian antara
hasil dan dampak pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Efektivitas
pembangunan dapat dilihat dari sejauh mana capaian pembangunan daerah
membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dalam mengumpulkan data dan informasi, teknik yang akan digunakan pada Provinsi
DKI adalah:
Pengumpulan Data Primer Data diperoleh melalui FGD dengan pemangku kepentingan pembangunan daerah.
Tim EKPD melakukan FGD dengan peserta Bappeda DKI bersama dengan sejumlah
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). SKPD yang terlibat adalah mereka yang
berkedudukan di Tingkat Provinsi maupun Kotamadya.
Pengumpulan Data Sekunder Sejauh ini data dan informasi yang telah tersedia pada instansi pemerintah adalah
data yang berasal dari BPS DKI Jakarta, Bappeda Pemda DKI Jakarta, serta dari
sejumlah SKPD yang terkait.Selain itu data-data juga diperoleh dari sumber-sumber
resmi lainnya.
1.4 Sistematika Penulisan Laporan Laporan ini terdiri dari 3 bab yang berisi pendahuluan, hasil evaluasi, dan kesimpulan.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 4
Bab II HASIL EVALUASI
2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI 2.1.1. Capaian Indikator Kurun Waktu Tahun 2007
Pemerintah Daerah DKI Jakarta sejauh ini telah melakukan berbagai upaya
perbaikan pelayanan diberbagai sektor pemerintahan. Penyelenggaraan
Pemerintahan mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2002 tentang
Rencana Strategis Daerah (Renstrada) 2002-2007. Sesuai dengan Renstrada
2002-2007, program Pemerintah Daerah dikelompokan dalam 8 (delapan) Bidang
Pembangunan. Berdasarkan prioritas anggaran, kedelapan bidang pembangunan
tersebut dikelompokkan menjadi Program Dedicated dari Prioritas Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD). Dengan demikian, program pemerintah daerah
adalah sebagai berikut:
1. Program Dedicated
2. Program prioritas SKPD:
a. Bidang Hukum, Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Kesatuan Bangsa
b. Bidang Pemerintahan
c. Bidang Ekonomi
d. Bidang Pendidikan dan Kesehatan
e. Bidang Sosial Budaya
f. Bidang Kependudukan dan Tenaga Kerja
g. Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
h. Bidang Sarana Prasarana Kota
Pencapaian Program Dedicated sampai tahun 2007 dapat dilihat pada deskripsi di
bawah ini:
Pembebasan Tanah Banjir Kanal Timur Sejauh ini telah dibebaskan tanah untuk Banjir Kanal Timur sebesar 72,82% dari
total lahan yang harus dibebaskan
a. Normalisasi Sungai, Situ, Saluran dan Waduk
Terlaksananya pembebasan tanah untuk pembangunan Waduk Sunter Hulu,
Cimanggis, Cilangkap, Rawa Lindung. Demikian pula terlaksananya sebagian
dari normalisasi Kali Banglio, Kali Tanjungan dan Kali Ciliwung Gajah Mada,
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 5
serta berfungsinya saluran penghubung dan saluran mikro sepanjang 13,59
km.
b. Pelabuhan Penumpang Muara Angke
Dalam rangka pembangunan pelabuhan Muara Angke, sejauh ini telah
terbangun dermaganya.
c. Busway
Hasil yang dicapai sampai tahun 2007 adalah terlaksananya pemeliharaan
jalur Busway koridor I – VII, tersedianya jalur Busway (termasuk separator)
Koridor VIII (Lebak Bulus-Harmoni), Koridor IX (Pinang Ranti-Grogol-Pluit),
Koridor X (Cililitan-Tanjung Priok), berfungsinya lokasi park and ride di Halte
Ragunan dan Halte Kampung Rambutan, serta terbangunnya pool Busway di
Cililitan dan Daan Mogot (eks PPD).
d. Perumahan
Dari rencana pembangunan rumah susun sebanyak 2008 unit, telah
direalisasikan sebanyak 1700 unit yang terdiri dari 1200 unit Rusun Marunda,
280 unit Rusun Pinus Elok, 63 unit Rusun Cakung Barat, 48 Unit Rusun Pulo
Jahe dan 100 unit Rusun Pulo Gebang atau 85% dari target rencana.
e. Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Kelurahan dan Kecamatan
Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan di tingkat kelurahan dan
pelayanan, Gubernur DKI telah membuat Peraturan Gubernur (Pergub) No. 46
Tahun 2006 tentang Pelimpahan Wewenang Sebagian Urusan Pemerintahan
Daerah dari Gubernur kepada Walikotamadya/Bupati Kabupaten Administratif,
Camat dan Lurah. Saat ini Peraturan Gubernur tersebut sudah dilaksanakan.
f. Kesehatan
Berfungsinya pelayanan keluarga miskin dan bencana bagi 320.763 pasien di
82 Rumah Sakit serta 44 Puskesmas.
Laporan yang berkaitan dengan Provinsi DKI Jakarta tidak lengkap karena
kesulitan untuk mendapatkan data dari instansi-instansi pemerintah yang ada
(SKPD) walaupun Bappeda bersifat sangat membantu. Selain mendapatkan
sebagian data dari Pemda DKI Jakarta, sebagian data diperoleh dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Transparansi Internasional untuk data Pelayanan
Publik dan Korupsi, serta dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
berkaitan dengan integritas yang berkaitan dengan korupsi dan pelayanan publik.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 6
Kurun Waktu Tahun 2008
Kurun waktu 2008 ditandai dengan sulitnya mendapatkan data yang berkaitan
dengan pelayanan publik di DKI Jakarta. Oleh karena itu tim mengambil data dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Transparansi Internasional tentang Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) seperti yang dapat dibaca di bawah ini.
Transparansi Internasional melakukan penelitian terhadap 50 kota di Indonesia
yang terdiri dari 33 ibukota provinsi dan 17 kota besar lainnya. Hasil penelitian
adalah sebagai berikut:
A. Sepuluh kota terbaik terdiri dari: 1. Yogyakarta 6. Surakarta
2. Palangkaraya 7. Tasikmalaya
3. Banda Aceh 8. Banjarmasin
4. Jambi 9. Samarinda
5. Mataram 10. Pangkal Pinang
B. Ranking 11 sampai 40:
11. Ternate 21. Semarang 31. Surabaya
12. Jayapura 22. Bandar Lampung 32. Denpasar
13. Malang 23. Serang/Cilegon 33. Sibolga
14. Jember 24. Palu 34. Lhokseumawe
15. Kediri 25. Bengkulu 35. Mamuju
16. Balikpapan 26. Batam 36. Jakarta
17. Gorontalo 27. Sorong 37.Manado
18. Makassar 28. Tenggarong 38. Pematang Siantar
19. Padang 29. Tanjung Pinang 39.Palembang
20. Sampit 30. Ambon 40. Medan
C. Ranking 10 terendah 41. Cirebon 46. Purwokerto
42. Pontianak 47. Kendari
43. Bandung 48. Manokwari
44. Padang Sidempuan 49. Tegal
45. Pakan Baru 50. Kupang
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 7
Data di atas memperlihatkan Provinsi DKI Jakarta berada pada ranking 36 dari 50
kota yang disurvei oleh Transparansi Internasional. Data di atas memperlihatkan
bahwa kondisi pelayanan publik yang berkaitan dengan korupsi cukup
memprihatinkan di DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia.
Kurun Waktu 2009
Pada penelitian yang sama, yaitu yang bertemakan korupsi dan pelayanan publik,
KPK mengurut 10 Provinsi dengan hasil Pemerintah DKI Jakarta ada pada
peringkat 8 dengan nilai integritas 5,65. Ini artinya baik dilihat dari ranking unit
pelayanan maupun provinsi yang menjadi sampel penelitian, Provinsi DKI Jakarta
mendapat nilai integritas pelayanan publik yang cukup buruk.
No Prov Nilai Integritas
Pengalaman Integritas
Potensi Integritas
1 Jawa Timur 7,15 7,46 5,94
2 Kalimantan Selatan 7,04 7,56 5,51
3 Jawa Barat 6,81 7,09 5,974 Kalimantan Timur 6,73 7,10 5,645 Bali 6,53 6,67 6,086 Lampung 6,25 6,41 5,787 Sumatera Utara 6,06 6,17 5,728 DKI Jakarta 5,65 5,67 5,619 Sulawesi Utara 4,80 4,66 5,23
10 Sulawesi Selatan 4,75 4,55 5,34Rata-rata 6,18 6,33 5,68
5
Nilai Integritas 10 Pemerintah Provinsi Tahun 2009
Tabel 1. Nilai Integritas 10 Pemerintah Provinsi Tahun 2009
Selain itu pada penelitian yang sama KPK juga melakukan penelitian terhadap 39
unit pelayanan yang tersebar di seluruh Indonesia. Ada 4 unit pelayanan Pemda
DKI Jakarta yang terambil sebagai sampel. Masing masing adalah RSUD DKI
berada pada rangking 6 terbaik dengan nilai integritas 7,28, rangking 28 adalah
Dinas Koperasi dan UKM DKI dengan nilai integritas sebesar 5,78, rangking 31
Lintas Instansi DKI dengan nilai integritas sebesar 5,11, rangking 34 Dinas
Perhubungan DKI dengan nilai integritas sebesar 4,43. Secara keseluruhan nilai
integritas tertinggi adalah 7,42 diperoleh RSUD Provinsi Jawa Timur, sedangkan
nilai terendah adalah 3,72 diperoleh Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 8
Selatan. Dapat disimpulkan sejauh berkaitan dengan pelayanan publik dan
korupsi, kinerja Provinsi DKI dapat dikatakan masih buruk.
a. Pendidikan Aparatur Minimal S1
Berkaitan dengan indikator pendidikan aparatur yang berijazah minimal S1
data menunjukan adanya kenaikan mulai dari tahun 2005 sampai tahun 2009.
Data tersebut adalah sebagai berikut:
Tahun Jumlah
(Persentasi)
2005 29,17
2006 31,61
2007 33,34
2008 36,02
2009 39,18
Tabel 2. Persentase Jumlah Aparat Yang Berijazah Minimal S1
Jumlah Persentase Aparat yang berijazah Minimal S1 untuk tahun 2005
adalah 29,17 persen, tahun 2006 31,61 persen, tahun 2007 33,34 persen,
tahun 2008 36,02 persen serta tahun 2009 39,18 persen.
Data di atas menunjukan kondisi yang lebih baik dari rata-rata nasional.
b. Pelayanan Satu Atap Di Provinsi DKI Jakarta sudah sejak lama terdapat Kantor Pelayanan Satu
Atap (SAMSAT), namun kantor ini hanya terpadu dalam arti lokasi dan belum
dalam arti kewenangan. Berbeda dengan yang ada pada sejumlah provinsi,
keterpaduan diwujudkan dalam Dinas Perijinan. Dengan demikian kualitas
pelayanan sistem satu atap yang ada pada Provinsi DKI belum mampu
mempercepat proses pelayanan. Hal ini disebabkan karena masing-masing
instansi harus kembali lagi ke instansi asalnya untuk pengambilan keputusan.
c. Pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
Persepsi terhadap pelayanan KTP di Kelurahan menurut data survei 83,33
persen memperoleh hasil puas atas pelayanan KTP, 11,90 persen kurang
puas serta 4,17 persen menunjukkan tidak puas pada pelayanan pembuatan
KTP di Kelurahan.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 9
Grafik 1. Persepsi Terhadap Pelayanan KTP di Kelurahan
Waktu penyelesaian pengurusan KTP membutuhkan waktu satu hari untuk
perpanjangan serta dalam hal pembuatan baru, mutasi hilang maka dibutuhkan
waktu maksimum 14 hari. Persepsi terhadap jangka waktu pengurusan KTP
74,03 persen menunjukkan puas, 21,79 persen menyatakan kurang puas,
selebihnya yaitu 4,18 persen menunjukkan tidak puas terhadap lama waktu
penyelesaian pembuatan KTP di kelurahan.
Grafik 2. Persepsi Terhadap Jangka Waktu Pengurusan KTP di Kelurahan
Pelayanan masyarakat bidang administrasi kependudukan di DKI Jakarta
berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah, Peraturan Daerah
Nomor 6-7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk
dalam kerangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (SIMDUK) dalam
wilayah DKI Jakarta, serta Instruksi Gubernur KDKI Jakarta Nomor 134 Tahun
1998 tentang Penghentian Pungutan Beberapa Jenis Pajak Daerah dan
84%
12% 4%
a. Persepsi terhadap Pelayanan KTP di Kelurahan
Puas Kurang Puas Tidak Puas
74%
22%
4%
b. Persepsi terhadap jangka waktu pengurusan KTP
Puas Kurang Puas Tidak Puas
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 10
Retribusi Daerah DKI Jakarta menyatakan bahwa dalam rangka pengurusan
administrasi kependudukan tidak dikenakan biaya, dalam data menunjukkan
persepsi terhadap biaya pengurusan KTP menunjukkan data persentasi: 77,20
persen menyatakan puas, 18,54 persen kurang puas serta 4,26 persen
menyatakan tidak puas atas pelayanan biaya pembuatan KTP. Serta persepsi
terhadap biaya pihak ketiga menyatakan data 55,11 persen menyatakan puas,
22,73 persen meyatakan kurang puas serta 22,16 persen menyatakan tidak
puas dalam rangka pembiayaan pembuatan KTP pihak ketiga.
Grafik 3. Persepsi Terhadap Biaya Pengurusan KTP di Kelurahan
d. Pelayanan Puskesmas
Berdasarkan hasil survei persepsi dan kepuasan publik oleh Pusat Kajian
Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), sebanyak 87,59 persen
warga menyatakan puas terhadap pelayanan Puskesmas Kecamatan.
Sedangkan yang merasa kurang puas mencapai 16,80 persen, dan hanya 3,67
persen mengaku tidak puas.
Grafik 4. Persepsi Terhadap Pelayanan Puskesmas
88%
11% 1%
a. Persepsi terhadap Pelayanan Puskesmas
Puas Kurang Puas Tidak Puas
77%
19%
4%
c. Persepsi terhadap biaya pengurusan KTP
Puas Kurang Puas Tidak Puas
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 11
Terhadap biaya pengobatan di Puskesmas, warga menganggap sudah sangat
memadai. Terbukti dari responden yang menyatakan puas terhadap biaya yang
dikenakan saat berobat di puskesmas mencapai 94,06 persen. Responden yang
menyatakan kurang puas hanya 5,68 persen, dan yang tidak puas hanya 0,26
persen.
Grafik 5. Persepsi Terhadap Biaya Pengobatan
Sementara itu, berdasarkan hasil survei Dinas Kesehatan DKI, mayoritas pasien
menginginkan pelayanan yang ramah dan cepat. Untuk itu, Dinas Kesehatan
telah melakukan peningkatan kualitas pelayanan mulai dari loket sampai poliklinik
dengan pola 3S yaitu Senyum, Sapa dan Salam, juga melakukan pembinaan
sumber daya manusia seperti pelatihan service excellent, serta rutin
melaksanakan Gugus Kendali Mutu yang salah satunya adalah menindaklanjuti
keluhan pelanggan.
Persepsi terhadap lama waktu pelayanan Puskesmas menunjukkan data 87,59
persen menyatakan puas, 5,68 persen kurang puas serta 0,26 persen tidak puas.
Grafik 6. Persepsi Terhadap Lama Waktu Pelayanan Puskesmas
94%
6% 0%
b. Persepsi terhadap biaya pengobatan
Puas Kurang Puas Tidak Puas
79%
17%
4%
b. Persepsi terhadap Lama Waktu Pelayanan Puskesmas
Puas Kurang Puas Tidak Puas
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 12
e. Pelayanan Pemakaman Umum Persepsi terhadap pelayanan pemakaman umum DKI Jakarta menunjukkan
angka 68,33 persen menunjukan puas serta 24,17 persen menunjukkan
kurang puas dan 7,50 persen meyatakan tidak puas atas pelayanan
pemakaman umum.
Grafik 7. Persepsi Terhadap Pelayanan Pemakaman Umum
Jangka waktu pengurusan pemakaman menunjukkan angka 76,79 persen
menyatakan puas, 17,41 menyatakan kurang puas dan yang tidak puas sebesar
5,8 persen.
Grafik 8. Persepsi Terhadap Lama Pengurusan Pemakaman
77%
17%
6%
b. Persepsi terhadap lama pengurusan pemakaman
Puas Kurang Puas Tidak Puas
17%
63%
20%
a. Persepsi terhadap pelayanan pemakaman umum
Puas Kurang Puas Tidak Puas
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 13
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah menyatakan
besaran biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka pengurusan pemakaman
umum di DKI Jakarta.
Biaya Perizinan Pelayanan Pemakaman:
1. Izin pemasangan plaket makam Rp30.000,00/izin
2. Izin mengangkut jenazah keluar negeri Rp20.000,00/jenazah
3. Izin mengangkut jenazah keluar wilayah Provinsi DKI Jakarta Rp10.000,00/jenazah
4. Izin tahan jenazah setelah 24 jam Penambahan lebih dari 1 hari sampai dengan paling lama 5 hari
Rp10.000,00/24 jam Rp2.000,00/hari
5. Izin pengabuan jenazah/kerangka jenazah Rp10.000,00/jenazah/ kerangka
6. Izin penggalian dan pemindahan jenazah/ kerangka jenazah
Rp10.000,00/jenazah/ kerangka
7. Izin usaha dan daftar ulang izin usaha dibidang pelayanan pemakaman atau pengabuan (kremasi) Rp250.000,00/tahun
Berdasarkan persepsi terhadap biaya pengurusan pemakaman umum di DKI
Jakarta maka hasil survei menunjukkan data 57,21 persen meyatakan
kepuasan, 30,63 persen kurang puas serta angka 10,74 persen yang meyatakan
tidak puas dalam pembiayaan pengurusan pemakaman umum. Data ini
menunjukkan ketidaksesuaian antara biaya peizinan pelayanan pemakaman
pada Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah dengan
implementasi pengurusannya.
Grafik 9. Persepsi Terhadap Biaya Pemakaman Umum
57%31%
12%
c. Persepsi terhadap biaya pemakaman umum
Puas Kurang Puas Tidak Puas
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 14
f. Pelayanan Izin Mendirikan Bangunan
Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 76 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Memperoleh Izin Mendirikan
Bangunan, Izin Penggunaan Bangunan Dan Kelayakan menggunakan
Bangunan Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta Surat Keputusan
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 147 Tahun 2000 "Tentang
Pendelegasian Wewenang Pelayanan Penetapan Keterangan Rencana Kota
(KRK) dan Penetapan Izin Pendahuluan (IP) Mendirikan Bangunan pada seksi
P2K Kecamatan". Menerangkan bahwa IMB adalah izin yang diberikan untuk
melakukan kegiatan membangun yang dapat diterbitkan apabila rencana
bangunan dinilai telah sesuai dengan ketentuan yang meliputi aspek
pertanahan, aspek planologis, aspek teknis, aspek kesehatan, aspek
kenyamanan dan aspek lingkungan. Bangunan yang tidak memiliki IMB akan
terkena sanksi yaitu tindakan penertiban. Untuk mendapatkan IMB, pertama
pemohon harus datang ke SUDIN Pengawasan Pembangunan Kota Wilayah
setempat, di mana bangunan itu akan didirikan, untuk mengajukan PIMB.
Sebelumnya terlebih dahulu pemohon harus menyiapkan dan melengkapi
berkas permohonan yang akan diajukan.
Persepsi terhadap pelayanan pengurusan IMB menurut data survei 40,00
persen menyatakan puas, 38,26 persen kurang puas serta 21,74 persen
menyakan tidak puas dalam pelayanan pembuatan izin mendirikan bangunan
di DKI Jakarta.
Grafik 10. Persepsi Terhadap Pelayanan Pengurusan IMB
a. Persepsi terhadap pelayanan pengurusan IMB
40%
38%
22%
Puas Kurang Puas Tidak Puas
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 15
Persepsi terhadap lama waktu pengurusan waktu pengurusan IMB menurut
survei adalah 36,79 persen menyatakan puas, 42,45 persen kurang puas serta
tidak puas pada pelayanan pengurusan waktu pengurusan IMB adalah 20,75
persen.
Grafik 11. Persepsi Terhadap Lama Waktu Pengurusan IMB
Persepsi terhadap biaya pengurusan IMB adalah 35,24 persen menyatakan
puas, 44,76 persen kurang puas serta 20,00 persen tidak puas.
Grafik 12. Persepsi Terhadap Biaya Pengurusan Pembuatan IMB
Persepsi terhadap pelayanan pihak ketiga dalam pengurusan IMB adalah 60,92
persen menunjukkan puas, kurang puas di angka 19,54 persen serta yang tidak
puas 19,54 persen.
b. Persepsi terhadap lama waktu pengurusan IMB
37%
42%
21%
Puas Kurang Puas Tidak Puas
c. Persepsi terhadap biaya pengurusan pembuatanIMB
35%
45%
20%
Puas Kurang Puas Tidak Puas
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 16
Grafik 13. Persepsi Terhadap Pihak Ketiga Pengurusan Pembuatan IMB
g. Indikator Pelayanan Pembuatan Sertifikat Tanah
Persepsi terhadap pelayanan pembuatan sertifikat tanah menurut survei
adalah 45,70 persen menunjukkan puas terhadap pelayanan pembuatan
sertifikat tanah, 39,74 persen kurang puas serta 14,57 persen menyatakan
tidak puas.
Grafik 14. Persepsi Terhadap Pelayanan Pembuatan Sertifikasi Tanah
Persepsi terhadap lama waktu pembuatan sertifikasi tanah menunjukkan angka
34,51 persen menyatakan puas, 53,52 persen kurang puas serta 11,97 persen
tidak puas atas waktu yang diperlukan dalam pengurusan pembuatan sertifikat
tanah.
46%40%
14%
a. Persepsi terhadap pelayanan pembuatan sertifikasi tanah
Puas Kurang Puas Tidak Puas
61%19%
20%
d. Persepsi terhadap pihak ketiga pengurusan pembuatan IMB
Puas Kurang Puas Tidak Puas
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 17
Grafik 15. Persepsi Terhadap Lama Waktu Pembuatan Sertifikasi Tanah
Persepsi terhadap biaya pengurusan pembuatan pengurusan sertifikat tanah
adalah 35,62 persen menyatakan puas, 52,05 persen kurang puas dan 12,33
persen tidak puas pada pembiayaan yang dikeluarkan dalam pengurusan
sertifikat tanah.
Grafik 16. Persepsi Terhadap Biaya Pengurusan Pembuatan Sertifikasi Tanah
2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik Dan Menonjol Dari hasil penelitian mengenai korupsi dan pelayanan publk dari kurun waktu
2008-2009 yang dilakukan oleh Transparansi Internasional dan KPK
meperlihatkan kondisi yang memprihatinkan di DKI Jakarta sebagai Ibu Kota
36%
52%
12%
c. Persepsi terhadap biaya pengurusan pembuatan sertifikasi tanah
Puas Kurang Puas Tidak Puas
b. Persepsi terhadap lama waktu pembuatansertifikasi tanah
35%12%
Puas Kurang Puas53%
Tidak Puas
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 18
Negara Indonesia. Dalam laporan penelitian yang disususun oleh KPK, tidak ada
perubahan menuju ke arah yang lebih baik dari tahun 2008 sampai 2009. Dapat
disimpulkan sejauh berkaitan dengan pelayanan publik dan korupsi, kinerja
Provinsi DKI dapat dikatakan masih buruk.
Walaupun secara umum permasalahan korupsi dan pelayanan publik masih
buruk di DKI Jakarta, tetapi ada beberapa hal yang cukup baik di DKI Jakarta
seperti indikator pendidikan aparatur minimal S1 yang berada di atas rata-rata
nasional. Selain itu hasil survei mengenai persepsi dan kepuasan publik oleh
Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), menyimpulkan
ada beberapa layanan yang dipersepsikan oleh masyarakat DKI Jakarta pada
level yang cukup memuaskan dalam pelayananannya seperti pelayanan KTP
dan Puskesmas. Sedangkan indikator pelayanan satu atap, pengurusan IMB
dan pembuatan sertifikat tanah masih belum menunjukkan level yang
memuaskan bagi masyarakat di DKI Jakarta.
2.1.3. Rekomendasi Kebijakan
Dari hasil penelitian mengenai korupsi dan pelayanan publk dari kurun waktu
2008-2009 yang dilakukan oleh Transparansi Internasional dan KPK
meperlihatkan kondisi yang memprihatinkan di DKI Jakarta sebagai Ibu Kota
Negara Indonesia. Dalam laporan penelitian yang disususun oleh KPK, tidak ada
perubahan menuju ke arah yang lebih baik dari tahun 2008 sampai 2009. Dapat
disimpulkan sejauh berkaitan dengan pelayanan publik dan korupsi, kinerja
Propinsi DKI dapat dikatakan masih buruk.
Walaupun secara umum permasalahan korupsi dan pelayanan publik masih
buruk di DKI Jakarta, tetapi ada beberapa hal yang cukup baik di DKI Jakarta
seperti indikator pendidikan aparatur minimal S1 yang berada di atas rata-rata
nasional. Selain itu hasil survei mengenai persepsi dan kepuasan publik oleh
Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), menyimpulkan
ada beberapa layanan yang dipersepsikan oleh masyarakat DKI Jakarta pada
level yang cukup memuaskan dalam pelayananannya seperti pelayanan KTP
dan Puskesmas. Sedangkan indikator pelayanan satu atap, pengurusan IMB
dan pembuatan sertifikat tanah masih belum menunjukkan level yang
memuaskan bagi masyarakat di DKI Jakarta.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 19
Untuk itu di rekomendasikan perbaikan dan reformasi administrasi di lingkungan
Pemprov DKI Jakarta untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik dan
penerapan secara ketat standar pelayanan minimum.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 20
2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA 2.2.1. A. Capaian Indikator Bidang Pendidikan
Berdasarkan data yang diperoleh dari Sekretariat Nasional EKPD, sehubungan
dengan capaian indikator “Tingkat Kualitas Sumber Daya Manusia” untuk
Provinsi DKI Jakarta dan disandingkan dengan capaian di tingkat nasional,
didapat data sebagai berikut :
a. Indeks Pembangunan Manusia Untuk capaian tingkat Provinsi pada tahun 2004 sebesar 75,80 %, tahun 2005
sebesar 76,10%, tahun 2006 sebesar 76,30 %, tahun 2008 sebesar 77,03 %.
Sedangkan untuk tingkat nasional berturut turut tahun 2004, 2005, 2006 dan
2007, yaitu sebesar 68,7%, 69,8%, 70,1% dan 70,59%. Indeks Pembangunan Manusia
68,70
75,8070,59
76,10
76.30
76,40
77,03
78,00
2004 2005 2006 2007 2008
-
-
-
Indeks Pemb manusiaProvinsi (outcomes)
Indeks Pemb Manusia Nasional (outcomes)
Grafik 17. Indeks Pembangunan Manusia Provinsi DKI Dan Nasional
b. Angka partisipasi sekolah SD/MI Untuk capaian tingkat provinsi tahun 2004 sebesar 95,00, tahun 2005
meningkat menjadi 96,15%, tahun 2006 meningkat lagi menjadi 97,12. tetapi
tahun 2007 turun sedikit menjadi 96,71%. Sedangkan untuk tingkat nasional,
capaian angka partisipasi sekolah SD/MI adalah berturut turut tahun 2004,
2005, 2006, 2007 dan 2008 adalah sebesar 93%, 93,3%, 93,54%, 93,75%,
dan 93,98%.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 21
ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH SD/MI :
78.00
93,30
93,9893,75
95,00
96,15
97,1296,71
90.00
2004 2005 2006 2007 2008
-
-
-
Angka Partisipasi Sekolah Provinsi (outcomes)
Angka Partisipasi Sekolah Nasional (outcomes)
Grafik 18. Angka Partisipasi Sekolah DKI dan Nasional
c. Angka Melek Aksara 15 Tahun Ke Atas Untuk capaian tingkat Provinsi pada tahun 2004 sebesar 98,44%, tahun 2005
sebesar 98,48%, tahun 2006: 98,34%, tahun 2007: 98,83% dan tahun 2009
sebesar 98,76 %. Untuk capaian tingkat nasional pada indikator angka melek
aksara 15 tahun ke atas, yaitu berturut-turut tahun 2004, 2005, 2006, 2007
dan 2008 yaitu sebesar 90,4%, 90,90%, 91,50%, 91,87% dan 92,19%.
ANGKA MELEK AKSARA 15 TAHUN KE ATAS :
90.00
91,87 91,50 90,40
98,83 98,34 98,30
99.00
2004 2005 2006 2007 2008
Angka Melek Aksara 15 Tahun Ke atas ProvAngka Melek Aksara 15 th ke atas tk Nasional
Grafik 19. Angka Melek Aksara 15 tahun ke atas DKI dan Nasional
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 22
d. Rata-rata Nilai Akhir Untuk capaian tingkat Provinsi tahun 2004 untuk SMP 5,20 dan SMA 5,12,
tahun 2005 untuk SMP 5,88 dan SMA 6,12, tahun 2006 untuk SMP 5,88 dan
SMA 6,45, tahun 2997 SMP 5,88 dan SMA 6,68 dan tahun 2008 untuk SMP
7,16 dan SMA 6,74. Dan untuk capaian tingkat nasional tahun 2004 untuk
SMP 4,8 dan untuk SMA 4,77. Tahun 2005 untuk SMP 5,42 dan untuk SMA
5,77. Untuk tahun 2006 tingkat SMP 5,42 dan untuk SMA 5,94. Tahun 2007
untuk SMP 5,42 dan untuk SMA 6,28. Tahun 2008 untuk SMP 6,05 dan untuk
SMA 6,35.
RATA-RATA NILAI AKHIR SMP/MTS :
4,50
4,80
5,42 5,20
5,88
6,05
7,16
7.50
2004 2005 2006 2007 2008
-
-
Rata-rata Nilai Akhir SMP Provinsi (outcomes)
Rata-rata Nilai Akhir SMP Nasional (outcomes)
Grafik 20. Rata-Rata Nilai Akhir SMP DKI dan Nasional RATA-RATA NILAI AKHIR SMA/SMK :
4,50
4,77
5,77 5,12
6,125,94
6,45 6,28
6,74 6,68
7.50
2004 2005 2006 2007 2008
-
-
Rata-rata Nilai Akhir SMA Provinsi (outcomes)
Rata-rata Nilai Akhir SMA Nasional (outcomes)
Grafik 21. Rata-Rata Nilai Akhir SMP DKI dan Nasional
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 23
e. Angka Putus Sekolah Untuk capaian tingkat Provinsi tahun 2004 untuk SD 2,79%, SMP 3,70% dan
untuk SMA 4,20%, tahun 2005 untuk SD 5,59%, SMP 0,37% dan untuk SMA
3,00%, tahun 2006 untuk SD 1,78%, SMP 1,87% dan untuk SMA 2,89%, tahun
2007 untuk SD2,43%, SMP 0,77% dan untuk SMA 1,84%. Selanjutnya untuk
capaian tingkat nasional pada tahun 2004, untuk tingkat SD 2,97%, SMP
2.83% dan SMA 3,14%. Tahun 2005 untuk SD 3,17%, SMP 1,97% dan SMA
3,08%. Tahun 2006 untuk SD 2,41%, SMP 2,88% dan SMA 3,33%. Tahun
2007 untuk SD 1,81%, SMP 3,94% dan SMA 2,68%. ANGKA PUTUS SEKOLAH SD :
1,50
1,78
2,41 1,81
2,79 2,43
3,17 2,97
6,35 5,59
7.00
2004 2005 2006 2007 2008
-
-
Angka Putus Sekolah SD tk Provinsi (outcomes) Angka Putus sekolah SD tk Nasional (outcomes)
Grafik 22. Angka Putus Sekolah DKI dan Nasional
ANGKA PUTUS SEKOLAH SMP :
0
0,77 0,37
1,97 1,87
2,88 2,83
3,70 2,97
3,94
5.00
2004 2005 2006 2007 2008
-
-
Angka Putus Sekolah SMP tk Provinsi (outcomes) Angka Putus sekolah SMP tk Nasional (outcomes)
Grafik 23. Angka Putus Sekolah SMP DKI dan Nasional
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 24
ANGKA PUTUS SEKOLAH SMA :
1
1,84
2,89 2,68
3,08 3,00
3,33 3,14
4,20
5,00
2004 2005 2006 2007 2008
-
-
Angka Putus Sekolah SMA tk Provinsi (outcomes) Angka Putus sekolah SMA tk Nasional (outcomes)
Grafik 24. Angka Putus Sekolah SMA DKI dan Nasional
f. Persentase Guru Yang Layak Mengajar
Untuk capaian tingkat Provinsi tahun 2004 untuk SMP 85,94% dan SMA
66,24%, tahun 2005 untuk SMP 85,91% dan SMA 68,81%, tahun 2006 untuk
SMP 82,67% dan SMA 85,91%, tahun 2007 untuk SMP 89,67% dan SMA
86,24%. Sedangkan untuk tingkat nasional tahun 2004 untuk SMP 81,12%
untuk SMA 69,47. Tahun 2005 tingkat SMP 81,01% dan untuk SMA 72,44%.
Tahun 2006 untuk SMP 78,04% dan untuk SMA 82,55%. Tahun 2007 untuk
SMP 86,26% dan untuk SMA 84,05%.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 25
PERSENTASE GURU YANG LAYAK MENGAJAR SMP :
80.00
85,91 82,67
89,67 85,94
99.00
2004 2005 2006 2007 2008
Persentase Guru yang layak Mengajar SMP ProvPersentase guru yg layak mengajar SMPNasional
Grafik 25. Presentase Guru yang Layak Mengajar SMP DKI dan Nasional
Persentase Guru yang layak Mengajar SMA :
66.00
68,81 66,24
86,24 85,91
99.00
2004 2005 2006 2007 2008
Persentase guru yang layak mengajar SMA Prov Persentase guru yg layak mengajar SMA Nasional
Grafik 26. Presentase Guru yang Layak Mengajar SMA DKI dan Nasional
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 26
Tabel 3. Data Kualitas SDM Bidang Pendidikan di Wilayah DKI Jakarta Periode 2004‐2009
Indikator
Hasil
(Outcomes)
Indikator Hasil (Output) Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tingkat
Kualitas
Sumber Daya
Manusia
Indeks Pembangunan Manusia 75,8 76,1 76,3 76,4 77,03
Pendidikan
Angka Partisipasi Sekolah SD/MI 95,00 96,15 97,12 96,71
Rata‐Rata
Nilai Akhir
SMP/MTS 5,20 5,88 5,88 5,88 7,16
SMA/SMK 5,12 6,12 6,45 6,68 6,74
Angka Putus
Sekolah
SD 2,79 5,59 1,78 2,43
SMP 3,70 0,37 1,87 0,77
SMA 4,20 3,00 2,89 1,84
Angka Melek Aksara 15 tahun Ke atas 98,31 98,30 98,34 98,83
Presentase guru yang
layak mengajar
SMP 85,94 85,91 82,67 89,67
Sekolah
Menengah 66,24 68,81 85,91 86,24
Tabel 4. Data Kualitas SDM Bidang Pendidikan Nasional Periode 2004‐2009
Indikator Hasil
(Outcomes) Indikator Hasil (Output)
Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tingkat Kualitas Sumber Daya Manusia
Indeks Pembangunan Manusia 75,8 76,1 76,3 76,4 77,03 Pendidikan Angka Partisipasi Sekolah SD/MI 95,00 96,15 97,12 96,71 Rata‐Rata Nilai Akhir
SMP/MTS 5,20 5,88 5,88 5,88 7,16
SMA/SMK 5,12 6,12 6,45 6,68 6,74
Angka Putus Sekolah
SD 2,79 5,59 1,78 2,43 SMP 3,70 0,37 1,87 0,77 SMA 4,20 3,00 2,89 1,84
Angka Melek Aksara 15 tahun Ke atas 98,31 98,30 98,34 98,83
Presentase guru yang layak mengajar
SMP 85,94 85,91 82,67 89,67 Sekolah Menengah 66,24 68,81 85,91 86,24
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 27
Analisis Relevansi Dan Efektivitas
Pendekatan yang digunakan dalam melakukan analisis adalah analisis relevansi dan
analisis efektifitas. Analisis Relevansi digunakan untuk menganalisis sejauh mana
tujuan/sasaran pembangunan yang direncanakan mampu menjawab permasalahan
utama/tantangan. Dalam hal ini, relevansi pembangunan daerah dilihat apakah tren
capaian pembangunan daerah sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan
nasional. Sedangkan efektivitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian
antara hasil dan dampak pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Efektivitas
pembangunan dapat dilihat dari sejauh mana capaian pembangunan daerah membaik
dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Berdasarkan data yang didapat dari Sekretariat Nasional Evaluasi Kinerja Pemerintah
Daerah, maka dapat diberikan analisis sebagai berikut :
Indeks pembangunan manusia
Untuk sasaran dengan indikator Indeks pembangunan manusia yang pada tahun 2004
dicapai sebesar 75,80 persen, tahun 2005 sebesar 76,10 persen, tahun 2006 sebesar
76,30 persen, tahun 2007 sebesar 76,40 dan tahun 2008 dicapai sebesar 77,03 persen.
Bila kita lihat relevansi yang digunakan untuk menganalisis sejauh mana tujuan/sasaran
pembangunan yang direncanakan tercapai, dengan melihat apakah tren capaian
pembangunan daerah sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan nasional.
Capaian indeks pembangunan manusia, ternyata untuk provinsi lebih baik dari capaian
tingkat nasional. Mulai tahun 2004 capaian tingkat Provinsi DKI 75,8% sedangkan
capaian tingkat nasional sebesar 68,7%. Begitu juga untuk tahun 2005 untuk tingkat
provinsi capaiannya sebesar 76,1% sedangkan untuk tingkat nasional capaiannya
sebesar 69,8%. Tahun 2006 untuk provinsi capaiannya sebesar 76,3% dan untuk tingkat
nasional sebesar 70,1%. Sedangkan untuk tahun 2007 capaian provinsi sebesar 76,4%
dan untuk tingkat nasional sebesar 70,59%.
Berdasarkan data yang ada, maka untuk indeks pembangunan manusia, terdapat
peningkatan dari tahun 2004 sampai tahun 2009. Hal ini berarti lebih baiknya untuk
sasaran pembangunan manusia melalui pendidikan di berbagai jenjang di Provinsi DKI
bila dibandingkan dengan capaian tingkat nasional. Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa
sasaran pembangunan tercapai dengan baik. Selain itu kita dapat juga melihat
efektivitasnya, yaitu dengan adanya peningkatan capaian di Provinsi DKI dari tahun ke
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 28
tahun sebelumnya, yaitu dari 75,8%, 76,1%, 76,3%, 76,4% dan terakhir 77,03%. Maka
hal ini dapat dikatakan bahwa sasaran di bidang pendidikan adalah efektif, karena tingkat
capaian sasaran meningkat terus bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Angka partisipasi sekolah SD/MI: Selanjutnya untuk melihat relevansi capaian hasil, maka akan ditinjau apakah sejalan
dan sesuai dengan sasaran yang dicapai di tingkat nasional. Mengacu pada capaian
tingkat nasional dengan indikator “angka partisipasi sekolah SD/MI”, yaitu berturut-turut
untuk tahun 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008 adalah 93%, 93,3%, 93,54%, 93,75% dan
93,98%. Dari capaian tersebut dapat dilihat bahwa capaian tingkat provinsi selalu lebih
tinggi dibandingkan dengan capaian tingkat nasional untuk tahun yang sama. Dengan
demikian terdapat relevansi dalam angka partisipasi sekolah SD/MI.
Bila dilihat dari capaian yang diperoleh, untuk angka partisipasi sekolah, ternyata cukup efektif. Hal ini dapat dilihat bahwa, terjadi peningkatan sejak tahun 2004 hingga tahun
2006, yaitu dari 95,00 % menjadi 96,15 % dan meningkat lagi menjadi 97,12. Namun
pada tahun 2007 terjadi penurunan dari tahun 2004 sebesar 1,71%, yaitu menjadi
96,71%.
Angka Melek Aksara 15 tahun ke atas : Capaian yang dihasilkan selama kurun waktu 2004 sampai 2008 adalah sebagai berikut :
tahun 2004 sebesar 98,44%, tahun 2005 sebesar 98,48%, tahun 2006 sebesar 98,34%,
tahun 2007 sebesar 98,83% dan tahun 2008 sebesar 98,76 %. Adapun tolok ukur yang
digunakan dalam mengukur angka melek aksara usia 15 tahun ke atas adalah
sebagaimana ditetapkan dalam RPJM yaitu sebagai berikut :
1) meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) jenjang SD, MI dan paket A sebesar
115,76 % dengan jumlah siswa menjadi sekitar 27,68 juta. Dan untuk jenjang SMP
sebesar 98,09 % dengan jumlah siswa menjadi sebanyak 12,20 juta.
2) Meningkatnya angka melanjutkan lulusan SD ke jenjang SMP menjadi 94,00%,
sehingga jumlah siswa kelas satu dapat ditingkatkan dari 3,67 juta siswa pada tahun
2004/2005 menjadi 4,04 juta siswa pada tahun 2009/2010;
3) Menurunnya angka buta aksara penduduk berusia 15 tahun keatas menjadi 5% pada
tahun 2009;
4) Meningkatnya proporsi anak yang terlayani pada pendidikan anak usia dini;
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 29
5) Meningkatnya proporsi pendidikan pada jalur pendidikan formal maupun non formal
yang memiliki kualitas minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan
mengajar;
Untuk melihat relevansi dalam indikator “angka melek aksara 15 tahun ke atas, maka
dapat dibandingkan dengan capaian angka melek aksara tingkat nasional, yaitu berturut-
turut tahun 2004, 2005, 2006, 2007dan 2008, yaitu 90,40%, 90,90%, 91,50%, 91,87% .
Hal tersebut menunjukan bahwa, capaian tingkat Provinis ternyata jauh lebih tinggi dari
capaian tingkat nasional, dengan demikian untuk indicator angka melek aksara 15 tahun
ke atas di tingkat provinsi DKI lebih baik dari tingkat nasional.
Sedangkan untuk melihat efektivitasnya, maka mengacu pada capaian tingkat provinsi
dari tahun ke tahun dan ternyata tidak cukup efektif. Hal ini disebabkan terjadi penurunan
capaian pada tahun 2004 sebesar 98,31% turun pada tahun 2005 menjadi 98,30%.
Namun kemudian pada tahun 2006 dan 2007 meningkat menjadi 98,34% dan 98,83%.
Rata-rata Nilai Akhir Sejak tahun 2004 hingga tahun 2008 untuk tingkat pendidikan SMP di tingkat Provinsi,
terjadi peningkatan terhadap nilai akhir rata-rata, yaitu pada tahun 2004 hanya 5,20
kemudian tahun 2005, 2006 dan 2007 menjadi 5,88 serta terakhir tahun 2008 meningkat
menjadi 7,16.
Bila dibandingkan dengan capaian tingkat nasional, yaitu tahun 2004 sebesar 4,8, 2005,
2006 dan 2007 sebesar 5,42 dan tahun 2008 6,05, dapat dilihat relevansinya. Maka
capaian tingkat Provinsi ternyata lebih baik dari capaian tingkat nasional. Berarti sasaran
untuk nilai akhir di Provinsi DKI telah berhasil dengan baik.
Dilihat dari capaian terhadap sasaran, maka terdapat peningkatan dari tahun ke tahun
yang cukup signifikan, terutama dari tahun 2007 ke tahun 2008, yaitu dari 5,88 menjadi
7,16. Sehingga dapat dikatakan bahwa pembangunan di bidang pendidikan untuk tingkat
SMP dengan indikator rata-rata nilai akhir, maka evaluasi tergolong “efektif”, walaupun
pada tahun 2005, 2006 dan 2007, tidak terdapat perubahan capaian.
Sedangkan untuk tingkat pendidikan SMA, pada tahun 2004 rata-rata nilai akhir adalah
5,12. Dan berturut turut untuk tahun 2005 , 2006, 2007 dan 2008 terjadi peningkatan
yaitu berturut-turut 6,12 ; 6,45 ; 6,68; dan 6,74. Disinipun terjadi peningkatan rata-rata
nilai akhir untuk tingkat pendidikan SMA. Dengan demikian dapat dikatakan efektif, dilihat
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 30
dari indikator capaian rata-rata nilai akhir SMA di Provinsi DKI Jakarta, yang meningkat
terus dari tahun ke tahun.
Sedangkan untuk melihat relevansinya, maka perlu melihat pada capaian tingkat
nasional, yaitu berturut turut 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008, yaitu: 4,77 ,5,77, 5,94,
6,28, dan 6,35. Merujuk pada capaian tersebut, maka nampak bahwa capaian tingkat
provinsi lebih baik dibandingkan dengan capaian tingkat Provinsi.
Angka Putus Sekolah
Angka putus sekolah untuk tingkat sekolah dasar, terjadi peningkatan yang cukup tajam
pada tahun 2005, yaitu 5,59%, dari tahun sebelumnya tahun 2004 sebesar 2,79%.
Namun pada tahun 2006 terjadi penurunan yang sangat drastis yaitu menjadi 1,78%.
Kemudian tahun 2007 terjadi sedikit peningkatan kembali angka putus sekolah yaitu
menjadi 2,43%. Hal ini tentunya harus diwaspadai, agar selalu terjadi penurunan angka
putus sekolah setiap tahunnya. Karena indikator inilah mempunyai korelasi yang sangat
besar terhadap tingkat kesejahteraan, dimana kemampuan masyarakat sangat
menentukan kelangsungan pendidikan dari seorang siswa. Melihat pada relevansinya,
maka mengacu pada capaian yang terjadi yaitu tahun 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008,
yaitu sebesar 2,97%, 3,17%, 2,41%, 1,81% dan 6,35%. Tren capaian untuk tingkat
provinsi pun mengalami naik dan turun juga dari tahun ke tahun. Namun demikian
persentase putus sekolah dari provinsi lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat
nasional. Maka hal ini berarti kondisi provinsi lebih baik dalam indikator “angka putus
sekolah tingkat sekolah dasar”.
Kemudian untuk jenjang pendidikan SMP, angka putus sekolah justru pada tahun 2005
sangat menurun drastis yaitu menjadi 0,37%, dari tahun sebelumnya 2004 yaitu sebesar
3,70%. Berarti pada tahun 2005 boleh dibilang minimalisasi angka putus sekolah hampir
berhasil seratus persen. Prestasi yang luar biasa. Selanjutnya pada tahun 2006
meningkat lagi menjadi 1,87% dan tahun 2007 turun kembali menjadi 0,77%. Berarti
tahun 2007 juga sudah membaik, karena angka putus sekolah hanya 0,77%. Jadi dapat
dikatakan bahwa untuk indikator angka putus sekolah, tidak efektif, karena terjadi naik
turun setiap tahunnya.
Analisis relevansi terhadap angka putus sekolah tingkat SMP, dapat dilihat dengan
membandingkannya terhadap capaian tingkat nasional, yaitu tahun 2004, 2005, 2006,
2007 dan 2008 adalah 2,83%, 1,97%, 2,88% dan 3,94%. Khusus untuk tahun 2004,
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 31
kondisi capaian nasional ternyata lebih baik bila dibandingkan dengan capaian Provinsi,
dimana angka putus sekolah SMP di Provinsi DKI lebih tinggi .
Dan untuk tingkat pendidikan SMA menunjukkan grafik yang terus membaik dari tahun
2004 sebesar 4,20 %, tahun 2005 sebesar 3,00%, tahun 2006 sebesar 2,89% dan tahun
2007 sebesar 1,84%. Dengan terus menurunnya angka putus sekolah tingkat SMA, maka
menunjukkan hasil yang membaik dari tahun ke tahun. Dengan demikian dilihat dari
capaian hasil tersebut, maka dapat dikatakan bahwa untuk indikator angka putus sekolah
tingkat SMA adalah efektif, karena dari tahun ke tahun membaik. Kemudian bila
dibandingkan dengan capaian tingkat nasional, yaitu tahun 2004, 2005, 2006, dan 2007
adalah 3,14% , 3,08% , 3,33% dan 2,68%. Ternyata pada tahun 2004, capaian tingkat
Provinsi tidak lebih baik bila dibandingkan dengan capaian tingkat nasional. Namun pada
tahun 2005, 2006, dan 2007 ternyata capaian tingkat Provinsi lebih baik dibandingkan
dengan capaian tingkat nasional.
Persentase Guru yang Layak Mengajar Untuk tingkat pendidikan SMP, persentase guru yang layak mengajar pada tahun 2004
sebesar 85,94%, kemudian tahun sebesar 2005 sebesar 85,91%, tahun 2006 sebesar
82,67% dan tahun 2007 sebesar 89,67%. Merujuk pada capaian tersebut dari tahun ke
tahun terkait indikator persentase guru yang layak mengajar di tingkat SMP, ternyata
terdapat trend naik dan turun pula, sehingga tidak dapat dikategorikan efektif. Pada tahun
2006 terjadi penurunan capaian persentase guru yang layak mengajar menjadi 82,67%
dari tahun sebelumnya 2005 yaitu 85,91%.
Selanjutnya untuk melihat relevansinya, maka perlu dikemukakan capaian tingkat
nasional yaitu: tahun 2004, 2005, 2006, dan 2007 yaitu sebesar 81,12, 81,01, 78,04, dan
86,26. Dengan demikian capaian tingkat provinsi lebih baik dari capaian tingkat nasional,
dan hal ini juga menunjukkan bahwa keberhasilan dapat capaian guru yang layak
mengajar di tingkat SMP.
Selanjutnya untuk tingkat pendidikan SMA, persentase guru yang layak mengajar pada
tahun 2004 sebesar 66,24% dan tahun 2005 sebesar 66,81%. Selanjutnya pada tahun
2006 terdapat peningkatan yang sangat besar yaitu menjadi 85,91% dan tahun 2007
menjadi 86,24%. Hal ini menunjukkan kinerja yang sangat baik, sehingga evaluasinya
tergolong “efektif”, karena setiap tahunnya terdapat peningkatan capaian terhadap
indikator “guru yang layak mengajar pada tingkat SMA”.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 32
Selanjutnya untuk melihat relevansi terhadap indikator tersebut, perlu
dibandingkan dengan capaian tingkat nasional. Adapun capaian tingkat nasional
adalah: tahun 2004 sebesar 69,47%, tahun 2005 sebesar 72,44%, tahun 2006
sebesar 82,55%, dan tahun 2007 sebesar 84,05%. Dari hal tersebut menunjukkan
bahwa pada tahun 2004 dan 2005 menunjukkan bahwa capaian tingkat Provinsi
DKI tidak lebih baik dari capaian tingkat nasional. Namun untuk tahun 2006 dan
2007 ternyata capaian tingkat Provinsi lebih baik dari capaian tingkat nasional.
2.2.2. Analisis capaian indikator spesifik dan menonjol beserta rekomendasi a. Capaian indeks pembangunan manusia baik di tingkat Provinsi DKI maupun di
tingkat nasional, menunjukkan peningkatan yang stabil, sehingga grafik selalu
meningkat. Hal ini menunjukkan meningkatnya relevansi pendidikan dengan
kebutuhan pembangunan. Untuk itu rekomendasi bagi strategi dalam
mewujudkan sasaran dan tujuan sebagaimana ditetapkan dalam RPJM, perlu
terus dilanjutkan dan dipertahankan, karena memang sudah relevan dan
efektif.
b. Capaian indikator angka partisipasi sekolah SD/MI di tingkat Provinsi DKI,
pada tahun 2007 terjadi penurunan sebesar 0,41% dari tahun sebelumnya (
tahun 2006 sebesar 97,12% turun menjadi 96,71% pada tahun 2007).
Walaupun bila dibandingkan dengan capaian di tingkat nasional, memang
masih lebih baik (tingkat nasional capaiannya yaitu sebesar 93,75 % pada
tahun 2007). Kondisi ini perlu diwaspadai dalam penentuan sasaran, dimana
sebenarnya Wajib Belajar 9 tahun sudah dicanangkan, seharusnya angka
partisipasi sekolah semakin membaik, tidak boleh ada penurunan. Dengan
demikian angka partisipasi sekolah dapat dijadikan indikator untuk
menentukan keberhasilan kebijakan Wajib Belajar 9 tahun, yang telah
dicanangkan oleh pemerintah. Penurunan ini perlu dicari penyebabnya, agar
dapat diperbaiki di kemudian hari. Untuk itu rekomendasi yang dapat
diberikan adalah, kebijakan pemerintah yang menyangkut kesempatan untuk
memperoleh pendidikan gratis terutama dalam tingkat Wajib Belajar 9 tahun,
perlu terus diperbaiki agar pelaksanaannya benar-benar terwujud dengan baik
di berbagai daerah baik di perkotaan maupun di pedesaan, sehingga angka
partisipasi sekolah akan terus membaik dari tahun ke tahun.
c. Indikator angka putus sekolah di tingkat Provinsi DKI untuk Sekolah Dasar,
terjadi peningkatan yang sangat tajam pada tahun 2005, dengan mengalami
sebesar 1,80% (dari 2,79% pada tahun 2004 menjadi 5,59% pada tahun
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 33
2005). Begitu juga pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 0,65%
(dari tahun 2006 sebesar 1,78% menjadi 2,43% pada tahun 2007 ). Hal ini
tentunya perlu dicermati, karena terjadinya penurunan dalam dua tahun yaitu
2005 dan 2007. Melihat loncatan penurunan tersebut, berarti pada tahun 2009
akan terjadi penurunan kembali. Untuk itu rekomendasi yang dapat diberikan
adalah kebijakan pemerintah yang menetapkan Wajib Belajar 9 tahun perlu
diperbaiki, agar angka putus sekolah tidak meningkat. Hal ini mungkin terkait
juga dengan kemampuan dari masyarakat untuk menikmati pendidikan dan
tersedianya sekolah yang dapat menampung anak usia Sekolah Dasar
tertampung semuanya. Di samping memberikan sosialisasi kepada
masyarakat agar berorientasi kepada pendidikan untuk meningkatkan taraf
hidup, juga perlu dibuat kebijakan pemerintah yang memberikan anggaran
pendidikan yang memadai, yang didukung oleh sistem pembiayaan yang adil,
efisien, efektif, trasparan, dan akuntabel.
d. Berbeda untuk angka putus sekolah di tingkat Provinsi bagi SMP, pada tahun
2005 terjadi penurunan yang sangat tajam, yaitu sebesar 3,33% (dari 3,70%
pada tahun 2004 menjadi 0,37 pada tahun 2005). Namun terjadi peningkatan
yang cukup besar lagi pada tahun 2006 sebesar 1,50% ( dari 0,37% pada
tahun 2005 menjadi 1,87 % pada tahun 2006). Melihat hal tersebut, maka
terjadi ketidakstabilan dalam capaian angka putus sekolah di tingkat SMP.
Untuk itu perlu direkomendasikan agar pemerintah menetapkan kebijakan
terkait yang lebih mempunyai nilai daya paksa untuk Wajib Belajar 9 tahun.
Dan perlu terus dilakukan perbaikan dalam implementasi Wajib Belajar 9 tahun
tersebut, sehingga ada pemebenahan di berbagai level pelaksanaan, sehingga
akan terwujud Wajib Belajar 9 tahun, sesuai sasaran yang telah ditetapkan
dalam RPJM. Selain itu perlu terus diupayakan agar terjadi peningkatan
efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan pendidikan, agar biaya pendidikan
tidak terlalu mahal, atau bahkan benar-benar gratis bagi sekolah sampai level
pendidikan 9 tahun.
e. Untuk indikator persentase guru yang layak mengajar di tingkat provinsi DKI
untuk SMP, terjadi penurunan dari tahun 2004 ke 2005 dan terus menurun
sampai tahun 2006, yaitu dari 85,94% menjadi 85,91% dan terus turun menjadi
82,67%. Indikator ini tentunya akan berkorelasi secara langsung pada mutu
pendidikan yang akan diberikan kepada murid sekolah SMP. Bila guru yang
layak mengajar saja, semakin menurun tentunya kualitas capaian hasil
pengajaranpun akan menurun. Untuk itu rekomendasi yang dapat diberikan
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 34
adalah pemerintah perlu terus membuat kebijakan untuk peningkatan pada
jenjang pendidikan formal maupun pendidikan dan latihan di lingkungan
instansi tenaga pendidik dengan memberikan bantuan dana yang memadai,
sehingga para tenaga pendidikan dapat menjalankannya dengan baik dan
konsentrasi. Dengan demikian persentase guru yang layak mengajar akan
semakin meningkat dari tahun ke tahun.
2.2.1.B. Capaian Indikator dan Analisis Spesifik dan Menonjol Bidang Kesehatan
a. Peserta KB Aktif Periode 2004-2009
Grafik 27. Peserta KB Aktif Periode 2004-2009
Grafik di atas menggambarkan tren peserta aktif keluarga berencana di DKI
Jakarta sejak 2004 sampai 2009 dan tren peserta Keluarga Berencana di
tingkat nasional. Dari grafik tersebut dapat kita simpulkan bahwa pencapaian
DKI Jakarta selama periode 2004 sampai 2009 di atas pencapaian angka
nasional, dengan perbedaan sekitar 9,61% sampai 14,59%. Secara rata-rata,
persentase peserta aktif Keluarga Berencana di DKI mencapai 78,16%;
sedangkan di tingkat nasional pencapaian rata-rata per tahun sebesar 65,83%.
Perbedaan ini disebabkan oleh berbagai hal, antara lain karena di DKI Jakarta
tersedia fasilitas pelayanan kontrasepsi yang relatif mencukupi bila dibanding
dengan provinsi-provinsi lainnya, serta kesanggupan masyarakat yang lebih
tinggi untuk memperoleh kontrasepsi, sesuai dengan latar belakang budaya
serta sosial masyarakat serta letak geografis Provinsi DKI Jakarta.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 35
b. Angka Harapan Hidup Waktu Lahir Periode 2004-2009
Grafik 28. Angka Harapan Hidup Waktu Lahir Periode 2004-2009
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa di Provinsi DKI Jakarta, terjadi
peningkatan angka harapan hidup waktu lahir pada periode 2004 sampai
2009. Angkanya meningkat dari 74,9 tahun pada 2004 menjadi 76,4 tahun
pada 2009, walaupun terjadi penurunan sedikit pada tahun 2005 dan 2006,
yakni berturut-turut 74,28 dan 74,43 tahun. Tren yang meningkat juga
ditunjukkan oleh angka nasional, dengan peningkatan yang cukup stabil, dari
66,20 pada 2004 menjadi 70,76 tahun pada 2008. Angka nasional pada 2009
belum dapat diperoleh.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 36
c. Angka Kematian Bayi Periode 2004-2009
Angka Kematian Bayi Periode 2004-2009
05
10152025303540
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
Per
100
0 ke
lahi
ran
hidu
p
DKINASIONAL
Grafik 29. Angka Kematian Bayi Periode 2004-2009
Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator kesehatan kesehatan
yang terpenting. Pada grafik di atas, dapat dilihat bahwa pencapaian kinerja
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah jauh lebih baik daripada pencapaian
nasional, walaupun kalau dilihat dari trennya tidak ada kemajuan yang
mengesankan, atau dapat dikatakan penurunannya sangat lamban. Ini dapat
dilihat dari penurunan selama periode 2004 sampai 2009, hanya menurun dari
16,1 menjadi 13,70 per 1000 kelahiran hidup. Lambannya penurunan angka
kematian bayi di Provinsi DKI Jakarta juga sesuai dengan apa yang terjadi di
Indonesia, walaupun datanya tidak lengkap. Dapat disimpulkan baik di Provinsi
DKI Jakarta maupun di Indonesia penurunan angka kematian bayi belum
terjadi secara signifikan selama periode 2004-2009.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 37
d. Angka Kematian Ibu Periode 2004-2009
Angka Kematian Ibu Periode 2004-2009
0
50
100
150
200
250
300
350
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
Per
100
.000
Kel
ahira
n H
idup
DKINASIONAL
Grafik 30. Angka Kematian Ibu Periode 2004-2009
Selain angka kematian bayi dan angka harapan hidup saat lahir, AKI (Angka
Kematian Ibu), merupakan indikator yang penting untuk menentukan status
kesehatan suatu bangsa. Indikator ini menggambarkan bagaimana
penyelenggaraan pelayanan kesehatan, yakni perawatan ibu hamil,
melahirkan, dan nifas di suatu populasi. Angka kematian ibu di DKI Jakarta
belum menunjukkan adanya tren penurunan yang signifikan. Pada 2007
seolah-olah terjadi lonjakan angka kematian ibu yang sangat tinggi, angkanya
hanya sedikit di bawah angka nasional (225 dan 228). Data 2007 berasal dari
SDKI, yang dilakukan di semua provinsi di Indonesia oleh BPS. Data tahun-
tahun lainnya berasal dari data yang dikumpulkan sendiri oleh Dinas
Kesehatan DKI Jakarta. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa ada perbedaan
hasil yang diperoleh dari survei dan data yang dikumpulkan secara rutin.
Tampaknya perlu dilakukan perbaikan sistem pengumpulan data, untuk
menjamin kebenaran data, yang tentunya sangat diperlukan untuk
perencanaan dan penilaian program.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 38
e. Prevalensi Balita Gizi Buruk Periode 2004-2009
Grafik di atas menunjukkan adanya tren penurunan prevalensi balita dengan
gizi buruk, dari 3,9 pada 2004 menjadi 2,5 pada 2009. Penurunan ini walaupun
tidak terlalu tajam, tetapi cukup baik; mengingat prevalensinya pada 2004
sudah relatif kecil bila dibandingkan dengan kondisi nasional. Perbedaan yang
mencolok dengan angka nasional pada 2004 disebabkan adanya kabupaten-
kabupaten di luar Provinsi DKI Jakarta yang persentase penduduk miskinnya
cukup tinggi. Dengan menurunnya prevalensi Balita gizi buruk di Indonesia dari
8,8 pada 2004 menjadi 5,40 pada 2007, menunjukkan adanya perbaikan gizi
Balita yang signifikan. Data ini dapat menunjukkan adanya keberhasilan
program gizi serta perbaikan ekonomi masyarakat secara nasional.
Grafik 31. Prevalensi Balita Gizi Buruk Periode 2004-2009
f. Prevalensi Balita Gizi Kurang Periode 2004-2009
Prevalensi Balita dengan gizi kurang di Provinsi DKI Jakarta menunjukkan
tren penurunan yang mengesankan, dari 19,3 pada 2004 menjadi 9,20 pada
2009. Penurunan tersebut sesuai dengan tren penurunan yang terjadi pada
angka nasional, walaupun data nasional tidak lengkap. Dapat disimpulkan
bahwa pada periode 2004 sampai 2009, terjadi penurunan prevalensi balita
kurang gizi, baik di Provinsi DKI Jakarta maupun secara nasional.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 39
Grafik 32. Prevalensi Balita Gizi Kurang Periode 2004-2009
Grafik 32. Prevalensi Balita Gizi Buruk Periode 2004-2009
g. Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap 100.000 Penduduk Periode 2004-2009
Tabel 5. Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap 100.000 Penduduk
Data mengenai rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk tidak lengkap baik di
tingkat nasional maupun di Provinsi DKI Jakarta. Sulit untuk dapat
membandingkan rasio tenaga kesehatan di DKI Jakarta dengan nasional, karena
datanya diperoleh dari tahun yang berbeda. Selama periode 2007-2008, rasio
dokter praktik umum di Provinsi DKI Jakarta, lebih tinggi daripada rasio dokter
praktik umum di tingkat nasional pada 2005-2008; tetapi bila dilihat dari trennya,
kenaikan di tingkat nasional lebih tinggi, ini sesuai dengan kebutuhan dokter
secara nasional. Begitu juga halnya pada dokter spesialis; rasionya lebih tinggi di
Provinsi DKI Jakarta, tetapi peningkatannya tidak berbeda. Hal ini disebabkan
Tenaga Kesehatan Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Dr. Praktek Umum Nasional 11.66 19.93 19.59
Dr. Praktek Umum DKI 43 43
Dr. Spesialis Nasional 4.43 5.53
Dr. Spesialis DKI 30 30
Perawat Nasional 53.91 137.9
Perawat DKI 185 185
Bidan Nasional 30.54 35.4 42.92
Bidan Nasional 52 52
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 40
karena produksi dokter spesialis yang masih terbatas. Dapat diperkirakan rasio
perawat di DKI Jakarta masih lebih tinggi daripada rasio perawat di tingkat
nasional, walaupun tren kenaikan tidak ada, berbeda dengan tren di tingkat
nasional yang meningkat dengan tajam di tahun 2005-2006. Selama periode
2007-2008, rasio bidan di Provinsi DKI Jakarta, lebih tinggi daripada rasio bidan di
tingkat nasional pada 2005-2008, tetapi bila dilihat dari trennya kenaikan di tingkat
nasional lebih tinggi, ini sesuai dengan kebutuhan secara nasional.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 41
2.3 TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI
2.3.1.1. Capaian Indikator Kondisi pembangunan ekonomi Provinsi DKI Jakarta dapat diamati dari
perkembangan indikator-indikator ekonomi makro, investasi, dan infrastruktur
Provinsi DKI Jakarta. Pada bagian ini, akan dijelaskan terlebih dahulu
perkembangan indikator ekonomi makro dan indikator investasi. Secara agregat,
perkembangan kedua indikator ini dalam kurun waktu 2004-2008 dapat diamati
pada gambar berikut1.
Grafik 33. Perkembangan Kondisi Ekonomi Makro DKI Jakarta dan Nasional, 2004-2009
Keterangan: *angka sementara
Analisis Relevansi Indikator Ekonomi Makro. Berdasarkan gambar di atas
terlihat bahwa dalam kurun waktu 2004-2008, perkembangan ekonomi makro DKI
Jakarta berada dalam kondisi yang selalu lebih baik dibandingkan dengan
perkembangan ekonomi makro nasional. Hal ini teramati dari nilai agregasi
indikator ekonomi makro DKI Jakarta yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai agregasi nasional. Secara rata-rata, nilai agregasi indikator ekonomi makro
DKI Jakarta mencapai 43.02 per tahun, sementara nilai agregasi nasional hanya
berada di tingkat 38.76 per tahun.
Analisis Efektifitas Indikator Ekonomi Makro. Perkembangan ekonomi makro
DKI Jakarta dan nasional cendrung berfluktuasi dari tahun ke tahun. Tekanan
ekonomi makro DKI Jakarta dan nasional terutama terlihat secara bersama-sama
1 Perkembangan ekonomi makro DKI Jakarta dan nasional dapat diamati pada Grafik 33, sementara perkembangan investasi DKI Jakarta dan nasional dapat diamati pada Grafik 34
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 42
terjadi di tahun 2005 dan 2008 yang ditandai oleh terjadinya penurunan nilai
agregasi di kedua tahun ini. Tahun 2005 merupakan tahun diberlakukannya
kebijakan pencabutan subsidi BBM untuk mengurangi beban anggaran
pemerintah akibat kenaikan harga minyak dunia, sementara tahun 2008
merupakan tahun terjadinya krisis ekonomi global. Adanya penurunan nilai
agregasi ekonomi makro di kedua tahun ini menandakan bahwa perkembangan
ekonomi makro, baik di DKI Jakarta maupun di tingkat nasional, sangat
dipengaruhi oleh kebijakan pencabutan subsidi BBM dan krisis ekonomi global.
Perkembangan indikator kedua, yaitu indikator investasi DKI Jakarta dan nasinal,
dapat diamati pada Grafik 34 di bawah. Nilai agregasi investasi di bawah diperoleh
dengan menggunakan nilai pertumbuhan realisasi investasi PMA dan PMDN di
DKI Jakarta dan nasional.
Grafik 34. Perkembangan Kondisi Investasi DKI Jakarta dan Nasional
Keterangan: *angka sementara
Analisis Relevansi Indikator Investasi. Dalam kurun waktu 2004-2008,
perkembangan indikator investasi DKI Jakarta dan nasional memang terlihat
mengalami fluktuasi dengan nilai kinerja investasi DKI Jakarta yang tidak selalu
mengungguli kinerja investasi nasional. Tahun 2004 dan 2005 merupakan tahun
dimana kinerja investasi DKI Jakarta lebih rendah dibandingkan dengan kinerja
investasi nasional, sementara tahun 2006-2009, kinerja investasi DKI Jakarta telah
mulai mengungguli nasional. Namun jika diamati nilai rata-rata tahunan dari
agregasi indikator investasi, terlihat bahwa DKI Jakarta lebih unggul dibandingkan
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 43
nasional. Rata-rata nilai agregasi indikator investasi DKI Jakarta mencapai 30.64
per tahun, sementara nilai agregasi nasional hanya bernilai 28.22 per tahun.
Analisis Efektifitas Indikator Investasi. Jika diamati pada gambar di atas,
fluktuasi perkembangan investasi DKI Jakarta terutama terjadi di tahun 2004,
2006, dan 2008. Di ketiga tahun ini terlihat adanya penurunan nilai agregasi
investasi. Bahkan di tahun 2004 dan 2006, nilainya mencapai angka negatif yang
menandakan bahwa nilai realisasi investasi PMA dan PMDN secara bersama-
sama mengalami penurunan di kedua tahun ini. Terjadinya penurunan kinerja
investasi di tahun-tahun ini diduga berkaitan dengan perkembangan kebijakan
ekonomi dan kondisi ekonomi makro yang berkembang saat itu. Penurunan
investasi di tahun 2006 didorong oleh berkurangnya daya saing DKI Jakarta dan
nasional akibat lonjakan inflasi sebagai dampak dari kebijakan pencabutan subsidi
BBM di akhir tahun 2005. Penurunan investasi di tahun 2006 didorong oleh kondisi
ekonomi global yang mengalami resesi yang menyebabkan turunnya penawaran
investasi baik di DKI Jakarta maupun di tingkat nasional.
Perkembangan indikator ekonomi makro dan investasi di atas sebenarnya dapat
diagregasi membentuk nilai indikator perkembangan tingkat pembangunan
ekonomi, seperti yang digambarkan pada 35.
Grafik 35. Perkembangan Indikator Pembangunan Ekonomi DKI Jakarta dan Nasional
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 44
Analisis Relevansi dan Efektifitas Tingkat Pembangunan Ekonomi. Kinerja
pembangunan ekonomi DKI Jakarta terlihat lebih baik dibandingkan kinerja
pembangunan ekonomi nasional sejak tahun 2006, namun dengan tingkat
perkembangan yang berfluktuasi dari tahun ke tahun. tahun yang terlihat
mengalami tekanan adalah tahun 2006 dan 2008. Terjadinya fluktuasi tingkat
pembangunan ini—terutama di tahun 2006 dan 2008—menandakan bahwa
pembangunan di DKI Jakarta, dan juga Indonesia secara keseluruhan, sangat
terpengaruh oleh adanya tekanan kenaikan harga minyak di akhir tahun 2005 dan
adanya tekanan krisis global yang terjadi di akhir tahun 2009.
2.3.2.1 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol DKI Jakarta diakui sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki tingkat
pembangunan ekonomi yang relatif lebih unggul dibandingkan dengan provinsi
lainnya di Indonesia. Paling tidak, keunggulan provinsi DKI Jakarta ini dapat
teramati dari berbagai sub-indikator penyusun indikator ekonomi makro dan
indikator investasi seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, kontribusi ekspor,
pendapatan per kapita penduduk, tingkat inflasi, dan nilai realisasi investasi PMA.
Sub-indikator ini tercatat memiliki kinerja di atas kinerja ekonomi nasional. Hanya
perkembangan sub-indikator kontribusi industri dan investasi PMDN DKI Jakarta
yang perlu mendapat perhatian lebih di provinsi ini mengingat perkembangannya
yang mengalami ketertinggalan dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Pada
bagian berikut akan dipaparkan berbagai capaian subindikator-subindikator
pembangunan ekonomi secara lebih mendalam.
A. Kondisi Ekonomi Makro Provinsi DKI Jakarta
Terdapat lima sub-indikator yang termasuk ke dalam indikator ekonomi makro,
yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi, kontribusi ekspor dan kontribusi industri
terhadap pembentukan perekonomian daerah, tingkat pendapatan per kapita, dan
tingkat inflasi.
a. Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta
Dalam kurun waktu 2004-2008, nilai PDRB DKI Jakarta terus mengalami
peningkatan, yang tidak hanya terjadi pada nilai PDRB nominal, namun juga
pada nilai PDRB Riil (Gambar 36). Kondisi ini menandakan bahwa
perkembangan perekonomian Provinsi DKI Jakarta tidak hanya terjadi dari sisi
nilai uangnya, namun juga dari sisi output riil yang dihasilkan. Nilai output riil ini
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 45
tumbuh positif dalam kurun waktu 2004-2008, dengan tingkat pertumbuhan
sekitar 6.04% per tahun. Tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi DKI Jakarta
terjadi pada tahun 2007, yaitu mencapai 6.44%, sehingga tahun 2007 pun
disebut sebagai tahun akselerasi pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta (Bank
Indonesia: 2007).
Grafik 36. Perkembangan Nilai PDRB Riil dan PDRB Nominal, dan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta, Tahun 2008-2009
Keterangan: *) hingga kuartal I tahun 2009
Namun sayangnya, pertumbuhan ekonomi di tahun 2007 ini masih belum
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Jika diamati lebih
dalam, pertumbuhan ekonomi di tahun ini ternyata masih didorong oleh
peningkatan konsumsi, bukan oleh peningkatan investasi, seperti yang
teramati pada Grafik 37. Komponen konsumsi—baik konsumsi rumah tangga
dan lembaga swasta nirlaba maupun konsumsi pemerintah—tumbuh dengan
nilai masing-masing 9.13% dan 8.21%, sementara komponen investasi hanya
tumbuh sebesar 6.72%. Komponen lain, yaitu komponen ekspor-impor,
bahkan mengalami pertumbuhan negatif di saat terjadi akselerasi
pertumbuhan ekonomi ini, yaitu sebesar -14.82%.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 46
Grafik 37. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil Pendekatan Pengeluaran Tahun 2007
Perkembangan sektor ekonomi pada tahun 2007 ini pun menunjukkan bahwa
sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi adalah sektor-sektor
yang tingkat penyerapan tenaga kerjanya rendah, yaitu sektor pengangkutan
dan komunikasi, sektor konstruksi, sektor perdagangan, hotel, dan restoran.
Ketiga sektor ini tumbuh sebesar 15.25 persen, 7.81 persen, dan 6.88 persen,
berturut-turut. Sementara sektor industri, yang merupakan sektor yang
memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi, ternyata hanya tumbuh sebesar
4.75%.
Grafik 38. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil Pendekatan Sektoral Tahun 2007
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 47
Di tahun 2008, perekonomian DKI Jakarta terlihat lebih tertekan dibandingkan
dengan tahun 2007. Di tahun 2008 ini, perekonomian DKI Jakarta hanya
tumbuh sebesar 6.18 persen, atau 0.26 persen lebih rendah dari tingkat
pertumbuhan ekonomi tahun 2007. Komponen yang terlihat mengalami
tekanan besar di tahun 2008 adalah komponen ekspor netto. Teramati bahwa
komponen ini tumbuh dengan angka negatif, yaitu mencapai -32.80%.
Besarnya tekanan yang dialami komponen ekspor netto DKI Jakarta ini terkait
dengan terjadinya krisis finansial global yang mendorong melemahnya
permintaan ekspor dari DKI Jakarta. Ditengah melemahnya permintaan ekspor
ini, permintaan impor DKI Jakarta masih tetap tinggi akibat masih kuatnya
permintaan dalam negeri. Komponen konsumsi dan investasi tetap terlihat
menjadi komponen yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi DKI
Jakarta. Pertumbuhan kedua komponen ini menunjukkan angka yang positif,
meskipun untuk komponen konsumsi terlihat adanya penurunan pertumbuhan
dibandingkan dengan tahun 2007.
Tabel 6. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil dengan Pendekatan Pengeluaran,
Tahun 2005-2008 2005 2006 2007 2008
Konsumsi RT dan Lembaga Swasta Nirlaba
7.48 8.23 9.13 6.67
pengeluaran konsumsi pemerintah 6.67 7.74 8.21 6.75
PMTDB 9.53 4.26 6.72 8.49
Ekspor Netto (Ekspor-Impor) -2.09 1.35 -14.82 -32.80
Pertumbuhan PDRB DKI Jakarta 6.01 5.95 6.44 6.18
Jika diamati dari segi perkembangan sektor-sektor ekonomi, terlihat bahwa
tekanan ekonomi di tahun 2008 dialami oleh hampir seluruh sektor ekonomi,
termasuk tiga sektor yang menjadi sektor unggulan Provinsi DKI Jakarta di tahun
2007, yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor konstruksi; dan sektor
perdagangan, hotel, dan restoran. Satu-satunya sektor ekonomi yang
menunjukkan peningkatan pertumbuhan dari tahun 2007 adalah sektor listrik, gas,
dan air bersih. Sektor ini mampu tumbuh 1.12 persen lebih tinggi dibandingkan
dengan tahun 2007.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 48
Tabel 7. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil Pendekatan Sektoral, Tahun 2004-2008
2004 2005 2006 2007 2008
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan
(1.27) 1.05 1.13 1.55 0.77
Pertambangan dan Penggalian (6.81) (7.24) 1.87 0.46 0.32
Industri Pengolahan 5.74 5.07 4.82 4.75 3.87
Listrik, Gas, dan Air Bersih 5.66 6.95 4.99 5.20 6.32
Konstruksi 4.42 5.89 7.12 7.81 7.67
Perdagangan, Hotel dan Restoran 6.96 7.89 6.47 6.88 6.25
Pengangkutan 12.63 13.28 14.36 15.25 14.97
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
4.17 4.10 3.82 4.47 4.31
Jasa-Jasa 4.65 5.06 5.56 6.08 6.05
Pertumbuhan PDRB DKI Jakarta 5.65 6.01 5.95 6.44 6.18
Terlepas dari berbagai fluktuasi ekonomi yang dialami DKI Jakarta dalam kurun
waktu 2004-2008, DKI Jakarta masih tetap merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang selalu berhasil mendorong pertumbuhan ekonominya di atas
pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam kurun waktu 2004-2008, rata-rata tingkat
pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta mencapai 6.04 persen, sementara rata-rata
tingkat pertumbuhan ekonomi nasional hanya sebesar 5.73 persen.
Grafik 39. Laju Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional,
Tahun 2004-2009
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 49
Selalu lebih tingginya pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta dibandingkan dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi nasional menandakan bahwa DKI Jakarta
merupakan provinsi yang berkontribusi dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional. Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa PDRB provinsi ini
merupakan penyumbang terbesar terhadap pembantukan PDB Nasional.
Namun sayangnya jika diamati lebih dalam, kekuatan pertumbuhan ekonomi
DKI Jakarta sebenarnya terlihat semakin melemah dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2004, DKI Jakarta mampu mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar
0.52% lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
nasional, namun di tahun 2008, pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta hanya
0.09% lebih tinggi dari perekonomian nasional.
b. Perkembangan Ekspor DKI Jakarta Nilai ekspor Provinsi DKI Jakarta dapat dibedakan atas ekspor melalui
pelabuhan muat di DKI Jakarta dan ekspor produk DKI Jakarta. Dalam kurun
waktu 2004-2008, kedua kategori ekspor ini terus mengalami peningkatan.
Rata-rata pertumbuhan ekspor melalui DKI Jakarta adalah sekitar 10% per
tahun, sementara rata-rata pertumbuhan ekspor produk Jakarta adalah sekitar
15% per tahun. Pertumbuhan ekspor DKI Jakarta pada tahun 2008 tercatat
sebagai tingkat pertumbuhan ekspor tertinggi dalam rentang waktu 2004-2008,
sementara pertumbuhan ekspor produk Jakarta tertinggi terjadi di tahun 2007.
Tabel 8. Ekspor melalui Jakarta dan Ekspor Produk Jakarta
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Nilai Ekspor melalui Jakarta 24,501.22 26,958.17 29,809.52 32,186.88 35,893.93 21,204.38
Pertumbuhan Ekspor melalui Jakarta 0.10 0.11 0.08 0.12 (0.41)
Nilai Ekspor Produk Jakarta 5,662.26 6,363.34 5,902.90 8,059.57 9,393.32 4,438.78
Pertumbuhan Ekspor Produk Jakarta 0.12 (0.07) 0.37 0.17 (0.53)
Sumber: Badan Pusat Statistik
Jika diamati dari sisi komoditas ekspornya, DKI Jakarta memiliki dua
komoditas ekspor utama, yaitu komoditas manufaktur dan komoditas
pertanian. Diantara kedua komoditas ini, komoditas manufaktur merupakan
komoditas ekspor utama dengan proporsi ekspor mencapai 99.2 persen dari
total ekspor DKI Jakarta. Sementara proporsi ekspor komoditas pertanian
hanya sebesar 0.8% dari total ekspor DKI Jakarta. Besarnya sumbangan
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 50
komoditas manufaktur terhadap total ekspor DKI Jakarta menjadikan DKI
Jakarta sebagai daerah pengekspor komoditas non migas terbesar di
Indonesia. Karakteristik ekspor DKI Jakarta ini tidak terlepas dari adanya
dukungan infrastruktur yang lebih memadai dibandingkan dengan daerah lain,
yang menjadikan DKI Jakarta sebagai daerah yang menarik untuk aktivitas
industri. Grafik 40. Komposisi Ekspor Berdasarkan Komoditas
Kawasan yang menjadi tujuan utama ekspor DKI Jakarta adalah Kawasan
Asia dan Kawasan Amerika. Proporsi ekspor ke kedua kawasan ini berturut-
turut mencapai 58.78 persen dan 16.54 persen per tahun. Sisanya, yaitu
sekitar 20.13 persen tersebar ke tiga kawasan, yaitu Kawasan Afrika,
Kawasan Australia, dan Kawasan Eropa. Diantara keseluruh kawasan tujuan
ekspor ini, negara Singapura dan negara Amerika Serikat adalah dua negara
dengan proporsi ekspor DKI Jakarta terbesar.
Grafik 41. Komposisi Ekspor Berdasarkan Kawasan Tujuan Ekspor
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 51
Perkembangan nilai ekspor DKI Jakarta dapat diamati pada Grafik 41. Dalam
kurun waktu 2004-2008, nilai ekspor DKI Jakarta cendrung mengalami tren
peningkatan dari tahun ke tahun, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata
mencapai 4.66 persen per tahun. Dengan tingkat pertumbuhan ini, nilai ekspor
DKI Jakarta pun terdorong dari angka Rp233.96 triliun pada tahun 2004
menjadi Rp373.34 triliun pada tahun 2008.
Grafik 42. Nilai Ekspor dan Impor DKI Jakarta, Tahun 2004-2008 (Triliun Rupiah)
Perkembangan nilai ekspor yang positif dalam kurun waktu 2004-2008
ternyata tidak diiringi oleh terus meningkatnya kontribusi ekspor DKI Jakarta
terhadap pembentukan PDRB DKI Jakarta. Dari tahun ke tahun, teramati
adanya tren penurunan kontribusi. Pada tahun 2004, kontribusi ekspor DKI
Jakarta masih sebesar 62.3 persen terhadap total PDRB DKI Jakarta, namun
di tahun 2008 proporsinya turun menjadi 54.41 persen. Berdasarkan struktur
PDRB DKI Jakarta yang disajikan pada Tabel 9, terlihat bahwa peran ekspor
sebagai pembentuk PDRB DKI Jakarta cendrung digantikan oleh pengeluaran
konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba, serta pengeluaran konsumsi
pemerintah. Teramati bahwa beriringan dengan terjadinya penurunan
kontribusi ekspor terhadap pembentukan PDRB DKI Jakarta, kontribusi
konsumsi dan pengeluaran pemerintah justru mengalami penguatan.
Jika dibandingkan dengan kondisi di tingkat nasional, kontribusi ekspor DKI
Jakarta memang tetap jauh lebih besar, meskipun trennya terus mengalami
penurunan. Dalam kurun waktu 2004-2008, rata-rata kontribusi ekspor
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 52
terhadap pembentukan PDRB DKI Jakarta mencapai 59.16 persen per tahun,
sementara kontribusi ekspor terhadap pembentukan PDB nasional hanya
sekitar 31.19 persen per tahun.
Tabel 9. Kontribusi Komponen PDRB DKI Jakarta dengan Pendekatan Pengeluaran,
Tahun 2004-2009 2004 2005 2006 2007 2008 2009*
Konsumsi RT dan Lembaga Swasta Nirlaba
52.02 52.93 53.65 55.97 55.63 57.05
pengeluaran konsumsi pemerintah 5.19 5.36 5.28 5.89 7.07 7.48
PMTDB 35.59 36.90 35.74 37.58 35.79 35.53
Ekspor 62.30 62.08 57.95 56.67 54.41 54.01
MINUS Impor 50.12 52.41 48.37 53.90 55.11 55.59
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Kontribusi Ekspor Nasional 32.08 33.61 31.03 29.45 29.76 23.58
Keterangan: *) hingga kuartal I tahun 2009
Terlepas dari berbagai perkembangan ekspor DKI Jakarta di atas, hal yang
perlu dicermati dalam mengamati kondisi ekspor DKI Jakarta dalam kurun
waktu 2004-2008 adalah bahwa seiring dengan meningkatnya nilai nominal
ekspor, nilai nominal impornya juga mengalami peningkatan. Hingga tahun
2007, nilai impor DKI Jakarta masih berada di bawah nilai ekspornya. Namun
di tahun 2008, nilai impor DKI jakarta ini telah mengungguli nilai ekspornya.
Kondisi ini menyebabkan nilai ekspor netto DKI Jakarta menjadi negatif pada
tahun 2008, yaitu sebesar Rp-4.742 triliun (perhatikan Grafik 42).
c. Perkembangan Industri Manufaktur DKI Jakarta
Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDRB DKI Jakarta menduduki urutan
ke tiga setelah sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dan sektor
perdagangan, hotel, dan restoran. Rata-rata tahunan kontribusi sektor
keuangan-persewaan-jasa, sektor perdagangan-hotel-restoran, dan sektor
industri pengolahan terhadap pembentukan PDRB DKI Jakarta dalam kurun
waktu 2004-2008 berturut-turut adalah sebesar 29.89%, 20.27%, dan 15.91%.
Tidak mendominasinya sektor industri dalam membentuk PDRB DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 53
ini merupakan hal yang dapat dipahami karena adanya kebijakan integralisasi
pembangunan DKI Jakarta ke dalam kawasan metropolitan Jabodetabek.
Dalam Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan (RTRW) Kawasan
Metropolitan Jabodetabek, pembangunan industri yang berlokasi di DKI
Jakarta dibatasi hanya untuk industri yang berteknologi tinggi, rendah polusi,
tidak menggunakan lahan yang luas, dan tidak memerlukan banyak air2.
Sementara untuk jenis industri lain diarahkan pembangunannya ke daerah
Bodetabek, kota satelit dari DKI Jakarta. Adanya pembatasan ini-lah yang
membuat sumbangan sektor industri terhadap PDRB DKI Jakarta menjadi
terbatas, hanya dengan rata-rata kontribusi sebesar 15.91% dalam jangka
waktu 2004-2008.
Meskipun memiliki nilai kontribusi yang terbatas, kontribusi sektor industri DKI
Jakarta terlihat relatif lebih stabil jika dibandingkan dengan kontribusi sektor
industri di tingkat nasional. Adanya fluktuasi ekonomi, misalnya yang terjadi di
tahun 2005 dan 2008, ternyata tidak berpengaruh besar terhadap sumbangan
sektor industri terhadap perekonomian DKI Jakarta.
Grafik 43. Kontribusi Sektor Manufaktur DKI Jakarta dan Nasional
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009
2 http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:sjKrxiKo6JYJ:pskmp.site88.net/tugas/ew_rahim_m1.pdf+penurunan+kontribusi+ekspor+terhadap+pdrb+dki+jakarta&hl=id&gl=id
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 54
Dampak fluktuasi ekonomi terhadap sektor industri DKI Jakarta baru terlihat
ketika pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan sektor industri. BPS
melaporkan bahwa nilai pertumbuhan sektor industri DKI Jakarta mengalami
kecendrungan penurunan sejak tahun 2005. Di tahun 2005, sektor industri DKI
Jakarta masih tumbuh sebesar 5.07%, namun di tahun 2006, 2007, dan 2008,
nilai pertumbuhan sektor industri menurun menjadi 4.82%, 4.75%, dan 3.87%.
Perlambatan pertumbuhan sektor industri di tahun 2007 didorong oleh
kurangnya insentif pasar3 (BI, 2007), sementara perlambatan pertumbuhan di
tahun 2008 disebabkan oleh penurunan permintaan dalam dan luar negeri
akibat krisis global sehingga akhirnya mendorong dunia industri untuk
mengurangi volume produksinya.
d. Perkembangan Pendapatan Per Kapita DKI Jakarta Dengan perbagai perkembangan ekonomi yang mewarnai pembentukan
PDRB DKI Jakarta, DKI Jakarta tetap mampu memiliki pendapatan per kapita
dengan tren yang meningkat dari tahun ke tahun, dengan kecepatan rata-rata
tahunan sebesar 14.43%. Dalam kurun waktu tahun 2004-2008, nilai
pendapatan per kapita DKI Jakarta telah meningkat sebesar Rp31.12 juta,
(dari nilai Rp42.92 juta di tahun 2004 menjadi Rp74.04 juta di tahun 2008).
Jika dibandingkan dengan peningkatan pendapatan per kapita nasional,
peningkatan PDRB per Kapita DKI Jakarta ini teramati lebih tinggi dari
peningkatan pendapatan per kapita nasional yang hanya sebesar Rp11.19 juta
pada periode yang sama. Namun jika diamati dari sisi kecepatan rata-rata
peningkatannya, pendapatan per kapita nasional-lah yang lebih tinggi. Grafik 44. Pendapatan Per Kapita DKI Jakarta dan Nasional
3 berupa terbatasnya pertumbuhan pasar ekspor dan semakin kompetitifnya pasar internasional
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 55
e. Perkembangan Inflasi DKI Jakarta
Secara istilah, inflasi merupakan suatu indikator yang menunjukkan terjadinya
kenaikan harga barang/jasa secara umum dan berlangsung terus menerus.
Inflasi ini merupakan salah satu indikator makro ekonomi penting karena
memiliki dampak luas terhadap stabilitas ekonomi suatu wilayah, bahkan
mampu berpengaruh langsung terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
Dalam kurun waktu 2004-2008, rata-rata inflasi DKI Jakarta tercatat sebesar
8.25% per tahun, dengan tingkat inflasi tertinggi terjadi di tahun 2005, yaitu
mencapai 16.06%, dan terendah terjadi di tahun 2004, yaitu sebesar 5.87%.
Terjadinya lonjakan tingkat inflasi DKI Jakarta pada tahun ini didorong oleh
diberlakukannya kebijakan pencabutan subsidi BBM pada akhir tahun 2005
yang akhirnya menjadi pemicu kenaikan harga-harga barang secara
keseluruhan.
Grafik 45. Perkembangan Inflasi DKI Jakarta dan Inflasi Nasional 2004-2008
Komoditas yang terlihat sangat terpengaruh oleh adanya kebijakan
pencabutan subsidi BBM ini adalah komoditas transportasi dan komunikasi
dan jasa keuangan. Teramati dari Tabel 10 bahwa komoditas ini mengalami
inflasi tertinggi, yang mencapai 40.13%.
Selain tahun 2005, kondisi inflasi di tahun 2008 juga mengalami lonjakan,
meskipun tingkat inflasi yang terjadi tidak setinggi tingkat inflasi di tahun 2005.
Pada tahun 2008 ini, inflasi DKI Jakarta meningkat dari 6.04% di tahun 2007
menjadi 11.11% di tahun 2008. Terjadinya krisis finansial global pada tahun
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 56
2008 ini merupakan faktor yang mendorong terjadinya lonjakan inflasi ini. Jika
dibandingkan inflasi nasional, dampak krisis finansial global terhadap inflasi
DKI Jakarta terlihat lebih besar.
Sebagai indikator yang menunjukkan terjadinya kenaikan harga barang/jasa
secara keseluruhan, tingkat inflasi DKI Jakarta ini juga dapat diamati menurut
kelompok komoditas barang/jasa kebutuhan masyarakat yang terdapat di
Provinsi DKI Jakarta. Tabel 10 menyajikan tingkat inflasi DKI Jakarta menurut
kelompok komoditas kebutuhan masyarakat.
Tabel 10. Tingkat Inflasi DKI Jakarta menurut Tujuh Kelompok Komoditas dalam Periode
2004-2008
2004 2005 2006 2007 2008 2009* Rata-Rata Tahunan
2004-2008**
Bahan Makanan 4.86 11.09 15.35 11.04 15.48 1.33 10.72
Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau
4.69 13.64 4.43 5.36 12.91 3.65 7.22
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar
7.95 14.3 4.34 4.81 14.84 0.17 8.12
Sandang 4.05 6.9 7.8 8.15 8.56 1.99 6.86
Kesehatan 3.34 6.17 5.65 3.99 7.31 3.26 5.08
Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga
7.7 6.31 5.07 9.09 5.56 1.08 6.59
Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan
4.79 40.13 0.7 1.14 6.2 -4.72 3.94
Umum 5.87 16.06 6.03 6.04 11.11 0.38 8.25
Sumber: Badan Pusat Statistik
Komoditas kebutuhan masyarakat, baik berupa barang ataupun jasa, pada
dasarnya dapat dikelompokkan atas tujuh kelompok besar, yaitu 1) komoditas
bahan makanan, 2) makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau, 3)
perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar, 4) sandang, 5) kesehatan, 6)
pendidikan, rekreasi, dan olahraga, dan 7) transportasi, komunikasi, dan jasa
keuangan. Diantara ketujuh kelompok komoditas ini, komoditas yang
mengalami inflasi rata-rata tertinggi inflasi di DKI Jakarta dalam kurun waktu
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 57
2004-2008 adalah komoditas bahan makanan, dan komoditas perumahan, air,
listrik, gas, dan bahan bakar. Tingkat inflasi rata-rata kedua kelompok
komoditas ini mengalami inflasi mencapai 10.72% dan 8.12%, berturut-turut,
selama tahun 2004-2008. Sementara kelompok komoditas yang mengalami
inflasi terendah adalah komoditas transportasi, komunikasi, dan jasa
keuangan, dengan tingkat inflasi sebesar 3.94%.
Jika diamati, tingkat inflasi ketujuh komoditas ini sebenarnya berfluktuasi dari
tahun ke tahun. Salah satu komoditas yang mengalami fluktuasi inflasi secara
tiba-tiba adalah komoditas transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan. Pada
tahun 2005, tingkat inflasi komoditas ini melonjak mencapai 40.13%,
sementara di tahun sebelumnya (yaitu di tahun 2004) dan di tahun
sesudahnya (yaitu tahun 2006) tingkat inflasi komoditas ini hanya sebesar
4.79% dan 0.7%. Lonjakan inflasi komoditas ini di tahun 2005 menggambarkan
bahwa kebijakan pemerintah mencabut subsidi BBM di akhir tahun 2005, yang
menyebabkan inflasi DKI Jakarta sebesar 17.11%, terutama didorong oleh
kenaikan biaya transportasi, komunikasi dan jasa keuangan. Hal ini dapat
dimaklumi mengingat BBM merupakan barang komplementer dari komoditas
transportasi. Kenaikan harga BBM tentu menjadi pendorong kenaikan biaya
transportasi, yang akhirnya mendorong meningkatnya harga komoditas ini.
Jika dibandingkan dengan inflasi nasional, perkembangan inflasi DKI Jakarta
selama kurun waktu 2004-2008 teramati selalu berada di bawah tingkat inflasi
nasional, kecuali di tahun 2008 (Grafik 45). Rata-rata inflasi DKI Jakarta dari
tahun 2004-2008 sebesar 8.25% per tahun, sementara rata-rata inflasi
nasional mencapai 8.8% per tahun. Disamping itu, pergerakan inflasi DKI
Jakarta juga teramati bergerak searah dengan pergerakan inflasi nasional.
Lonjakan-lonjakan inflasi DKI Jakarta yang terjadi di tahun 2005 dan 2008 juga
teramati di tingkat nasional; di tingkat nasional, peningkatan inflasi yang terjadi
di tahun 2005 mencapai 10.71% dari 2004, sementara di tahun 2008,
peningkatan inflasi nasional yang terjadi adalah sebesar 5.07%. Di saat terjadi
lonjakan inflasi di tahun 2005, komoditas transportasi, komunikasi, dan jasa
keuangan merupakan komoditas yang mengalami tekanan terbesar dalam
menghadapi kebijakan pencabutan subsidi BBM; sementara di tahun 2008,
komoditas yang mengalami tekanan inflasi terbesar adalah komoditas bahan
makanan dan makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 58
Tabel 11. Tingkat Inflasi Nasional menurut Tujuh Kelompok Komoditas dalam Periode 2004-2008
2004 2005 2006 2007 2008 2004-2008**
Bahan Makanan 6.38 13.91 12.94 11.26 16.35 11.62
Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau
4.85 13.71 6.36 6.41 12.53 8.06
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar
7.4 13.94 4.83 4.88 10.92 7.67
Sandang 4.87 6.92 6.84 8.42 7.33 6.77
Kesehatan 4.75 6.13 5.87 4.31 7.96 5.67
Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga
10.31 8.24 8.13 8.83 6.66 8.35
Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan
5.84 44.75 1.02 1.25 7.49 4.78
Umum 6.4 17.11 6.6 6.59 11.06 8.80
Jika diamati perkembangan inflasi rata-rata tujuh kelompok komoditas kebutuhan
masyarakat, teramati bahwa di tingkat nasional, komoditas yang berkontribusi
besar terhadap inflasi adalah komoditas bahan manakanan dan komoditas
pendidikan-rekreasi-olahraga, dengan tingkat rata-rata inflasi masing-masing
sebesar 11.62% dan 8.35% per tahun dalam kurun waktu 2004-2008. Komoditas
yang mengalami rata-rata inflasi terendah adalah komoditas transportasi,
komunikasi, dan jasa keuangan.
B. Perkembangan Investasi Provinsi DKI Jakarta Kemampuan investasi untuk berperan sebagai pendorong kegiatan ekonomi dan
penyerap tenaga kerja menjadikan investasi menjadi salah satu komponen penting
bagi perekonomian suatu daerah. Diantara berbagai jenis sumber investasi,
investasi yang berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan
Penanaman Modal Asing (PMA) seringkali menjadi barometer iklim investasi suatu
daerah. Bagaimana perkembangan investasi PMDN dan PMA di Provinsi DKI
Jakarta?
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 59
a. Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Perkembangan realisasi investasi PMDN Provinsi DKI Jakarta dalam kurun
waktu 2004-2009 dapat diamati pada Tabel 12. Rata-rata izin usaha yang
dikeluarkan dalam kurun waktu ini teramati sebanyak 29.2 unit per tahun,
dengan nilai rata-rata realisasi investasi per tahunnya mencapai Rp3084.1
miliar. Jika diamati lebih dalam, pada tahun 2006-2007, realisasi investasi
PMDN DKI Jakarta terlihat mengalami perkembangan, yang ditandai oleh
berhasilnya DKI Jakarta memicu peningkatan jumlah izin usaha investasi
PMDN di tahun 2006 dan 2007 masing-masing mencapai 17.24% dan 20.83%,
dan memicu peningkatan nilai realisasi investasi PMDN sebesar 21.29% dan
36.59% di tahun yang sama (2006 dan 2007). Namun di tahun-tahun lain, yaitu
tahun 2005 dan 2008, kondisi investasi DKI Jakarta terlihat mengalami
tekanan. Investasi PMDN, baik yang teramati dari sisi jumlah izin usaha
maupun dari sisi nilai realisasi investasi, mengalami penurunan (atau paling
tidak tetap) pada tahun-tahun ini. Di tahun 2005, penurunan izin investasi yang
terjadi adalah sebesar 4%, sementara penurunan nilai realisasi investasi
PMDN yang terjadi adalah sebesar 31.76%. Di tahun 2008, meskipun jumlah
izin usaha tetap berjumlah 34 unit, namun nilai realisasi investasi di tahun
2008 ini turun lebih dari setengahnya, yaitu mencapai -56.44 persen.
Tabel 12. Jumlah Izin Usaha Tetap dan Nilai Realisasi Investasi PMDN DKI Jakarta
2004-2009
Jumlah Izin Usaha Tetap yang Dikeluarkan
Nilai Realisasi Investasi
Unit Pertumbuhan (%) Rp Miliar Pertumbuhan (%)
2004 25 47.06 3731.2 -15.69
2005 24 -4.00 2546 -31.76
2006 29 20.83 3088 21.29
2007 34 17.24 4218 36.59
2008 34 0.00 1837.3 -56.44
2009* 5 266
Berbagai tekanan investasi PMDN yang dialami Provinsi DKI Jakarta ini juga
terefleksi pada kontribusi PMDN DKI Jakarta terhadap pembentukan PMDN
Nasional. Pada Tabel teramati bahwa kontribusi PMDN terus mengalami
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 60
penurunan sejak tahun 2006. Jika awalnya (tahun 2004) besaran PMDN DKI
Jakarta menempati peringkat pertama nasional dari terhadap total PMDN Nasional
(BKPM: 2009), namun dari tahun ke tahun peringkat ini terus mengalami
penurunan menempati urutan ketiga nasional di tahun 2008 dan urutan keempat di
tahun 20094. Fakta yang menarik dari kondisi ini adalah adanya indikasi yang
menunjukkan semakin melemahnya daya tarik DKI jakarta sebagai pilihan lokasi
investasi bagi investor dalam negeri, dan daya tarik ini cendrung beralih ke daerah
Jawa Barat. Kondisi Jawa Barat menjadi pilihan investor terlihat dari peringkat
jumlah investasi PMDN Jawa Barat yang semula (di tahun 2004) menduduki
peringkat kedua nasional, namun kini (sejak tahun 2006) selalu menduduki
peringkat satu nasional. Adanya keterbatasan ruang DKI Jakarta lah yang menjadi
pendorong peralihan alokasi investasi PMDN dari Jakarta ini.
Tabel 13. Perkembangan Realisasi Investasi PMDN DKI Jakarta dan Jawa Barat
DKI JAKARTA JAWA BARAT
Jumlah Izin Usaha Tetap
yang Dikeluarkan
Nilai Realisasi Investasi
Kontribusi*
(Peringkat)
Jumlah Izin Usaha Tetap
yang Dikeluarkan
Nilai Realisasi Investasi
Kontribusi** (Peringkat)
2004 25 Rp3731.2miliar 24.21% (1) 31 Rp2783.4miliar 18.06% (2)
2005 24 2546 8.3 (5) 52 3346.1 10.91 (4)
2006 29 3088 14.95 (3) 29 5314.4 25.74 (1)
2007 34 4218 12.09 (3) 35 11347.9 32.54 (1)
2008 34 1837.3 9.02 (3) 64 4289.5 21.06 (1)
2009* 5 266 10.12 (4) 31.77 (1)
*) proporsi realisasi investasi PMDN DKI Jakarta terhadap realisasi investasi PMDN Nasional **) proporsi realisasi investasi PMDN Jawa Barat terhadap realisasi investasi PMDN Nasional
Terlepas dari berbagai fluktuasi investasi PMDN yang terjadi di Provinsi DKI
Jakarta, daya serap tenaga kerja dari kegiatan investasi PMDN di provinsi ini
masih tetap menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun, paling tidak
hingga tahun 2007. Rata-rata daya serap tenaga kerja dari investasi PMDN
Provinsi DKI Jakarta adalah sebanyak 6,739.6 tenaga kerja/tahun dalam kurun
waktu 2004-2008. Daya serap tenaga kerja tertinggi terjadi di tahun 2007, dengan
serapan mencapai 7,653 tenaga kerja. Pada tahun 2008 memang terjadi
4 Hingga bulan Februari 2009.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 61
penurunan daya serap tenaga kerja dari aktivitas investasi PMDN, yaitu sekitar
3.56% dari tahun 2007. Hal ini merupakan konsekuensi dari besarnya penurunan
nilai realisasi investasi PMDN di tahun ini, yang mencapai -56.44 persen.
Grafik 46. Daya Serap Tenaga Kerja Investasi PMDN, 2004-2008
b. Investasi Penanaman Modal Asing (PMA)
Perkembangan kondisi investasi PMA Provinsi DKI Jakarta dapat diamati pada
Grafik 47. Dalam kurun waktu 2004-2006, kondisi investasi PMA DKI Jakarta
terlihat lebih berfluktuasi dibandingkan dengan kondisi investasi PMA pada
tahun 2006-2008.
Grafik 47. Jumlah Izin Usaha Tetap dan Nilai Realisasi Investasi PMA DKI Jakarta 2004-2009
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 62
Membaiknya kondisi investasi PMDN sejak tahun 2006 tergambar dari terus
meningkatnya nilai realisasi investasi PMA di Provinsi DKI Jakarta dan terus
meningkatnya jumlah izin usaha tetap yang dikeluarkan. Rata-rata
pertumbuhan nilai realisasi investasi yang terjadi dalam kurun waktu 2006-
2008 mencapai 156.63% per tahun, meningkat dari US$1,468.4 juta pada
tahun 2006 menjadi US$9,927.8 juta pada tahun 2008. Nilai realisasi investasi
di tahun 2008 ini tercatat sebagai nilai investasi PMA DKI Jakarta tertinggi
dalam kurun waktu 2004-2008. Begitu juga halnya dengan jumlah izin usaha
yang dikeluarkan. Sejak tahun 2006, terlihat adanya tren peningkatan dengan
rata-rata kecepatan sebesar 14.16% per tahun. Tahun 2008 pun tercatat
sebagai tahun dengan jumlah izin usaha tetap terbesar.
Grafik 48. Kontribusi PMA DKI Jakarta terhadap Pembentukan PMA Nasional
Pesatnya perkembangan PMA DKI Jakarta sejak tahun 2006 tidak hanya
terlihat dari nilai realisasi investasi PMA dan jumlah izin usaha yang
dikeluarkan, namun juga dari segi kontribusi PMA DKI Jakarta terhadap PMA
Nasional. Jika di tahun 2006 kontribusi PMA DKI Jakarta hanya sebesar
24.57%, namun di tahun 2008, lebih dari separuh PMA ditempatkan di DKI
Jakarta, dengan proporsi mencapai 66.76% dari total PMA nasional. Besaran
kontribusi PMA DKI Jakarta ini terhadap pembentukan nilai investasi PMA
Nasional menjadikan DKI Jakarta hampir selalu menempati peringkat pertama
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 63
nasional dari segi kontribusi investasi PMA, kecuali di tahun 2006 yang
menempati urutan kedua setelah Provinsi Jawa Barat.
Meskipun iklim investasi PMA DKI Jakarta terus mengalami perbaikan sejak
tahun 2006, namun tingkat daya serap tenaga kerja PMA di provinsi ini masih
belum bisa berjalan searah dengan perbaikan iklim investasi PMA. Seperti
yang teramati dari Grafik 49, dalam rentang waktu 2006-2008, yaitu masa
dimana terjadi tren peningkatan nilai realisasi investasi dan izin usaha PMA
DKI Jakarta, peningkatan daya serap tenaga kerja terlihat tidak serta-merta
terjadi. Di tahun 2007 justru terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja
sebesar 11,602 tenaga kerja.
Grafik 49. Daya Serap Tenaga Kerja Investasi PMDN, 2004-2008
Jika dibandingkan dengan perkembangan investasi PMA di daerah sekitar DKI
Jakarta, yaitu di daerah Jawa Barat dan Banten, terlihat tren yang berbeda
dengan perkembangan realisasi PMDN. Jika pada perkembangan realisasi
PMDN terdapat kecendrungan peralihan investasi menuju daerah non-Jakarta,
namun untuk realisasi PMA, DKI Jakarta tetap merupakan daerah tujuan
investasi PMA utama di Indonesia.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 64
Tabel 14. Nilai Realisasi Investasi PMA di Pulau Jawa (US$ Juta), Tahun 2004-2008
2004 2005 2006 2007 2008
DKI JAKARTA 1451.4 3266.8 1472.1 4676.9 9927.8
JAWA BARAT 1136.8 2561.4 1622.9 1326.9 2552.1
BANTEN 338 668.2 508.2 708.6 477.8
JAWA TIMUR 190.7 702.2 384.3 1689.6 457.3
JAWA TENGAH 99.9 23.9 380.1 100.7 135.3
D.I YOGYAKARTA 1.3 17.3 48.8 0.8 16.6
2.3.3.1. Rekomendasi Kebijakan Jika diamati dari pemaparan di atas, DKI Jakarta merupakan daerah yang masih
memiliki persoalan dengan realisasi investasi PMDN. Dalam kurun waktu 2004-
2008 terlihat adanya penurunan kontribusi DKI Jakarta terhadap pembentukan
PMDN nasional, serta penurunan peringkat nilai realisasi investasi PMDN relatif
terhadap daerah lain di Indonesia. Kedua hal ini menandakan bahwa di mata
investor dalam negeri, daya saing DKI Jakarta relatif lebih rendah dibandingkan
dengan daerah lainnya di Indonesia sehingga proporsi realisasi investasi PMDN
di DKI Jakarta pun cendrung mengalami penurunan. Adanya keterbatasan ruang
DKI Jakarta (yang berimplikasi pada mahalnya biaya tanah di Jakarta) memang
menjadi faktor penyebabnya. Namun ditengah keterbatasan ruang ini, investor
masih berkepentingan untuk berlokasi dekat dengan Jakarta karena keberadaan
infrastruktur yang memadai di daerah ini. Alhasil, daerah yang menjadi pilihan
sehingga akhirnya daerah yang menjadi sasaran investasi adalah daerah di
sekitar DKI Jakarta. Mengamati fenomena ini, hal yang perlu dilakukan
pemerintah DKI Jakarta adalah menjalin kerjasama yang baik dengan daerah-
daerah yang berada di sekitar Jakarta agar pembangunan DKI Jakarta dan
daerah sekitarnya dapat berlangsung dengan saling mendukung. Salah satu
upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengoptimalkan peran BKSP
(Badan Kerjasama Pembangunan) Jabodetabekpunjur. Jalinan kerjasama yang
baik antar daerah ini pun sebenarnya juga diperlukan untuk relokasi industri DKI
Jakarta. DKI Jakarta yang kini diorientasikan sebagai pusat jasa dan industri non
polutan perlu merelokasi industrinya ke daerah sekitar Jakarta sehingga
kerjasama antar daerah mutlak diperlukan.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 65
Untuk sub-indikator lain seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, kontribusi ekspor
terhadap pembentukan PDRB DKI Jakarta, pendapatan per kapita DKI Jakarta,
tingkat inflasi, dan realisasi investasi PMA, perkembangannya relatif lebih unggul
dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Agar sustainabilitas perkembangan
sub-indikator ini dapat berlangsung secara berkelanjutan, pemerintah perlu untuk
menjaga iklim investasi DKI Jakarta untuk menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi,
ekspor, dan investasi asing. Disamping itu, pemerintah juga perlu menjaga tingkat
inflasi agar daya beli masyarakat dan daya saing DKI Jakarta dapat terdorong.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 66
2.3.1.2.Capaian Indikator dan Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Transportasi Darat dan Penyediaan Air Bersih
Transportasi Darat Penyediaan jaringan jalan merupakan prasyarat mutlak dalam pelayanan
pergerakan dan mobilitas penduduknya. Semakin baik penyediaan jaringan jalan
akan semakin meningkatkan produktivitas dari suatu wilayah tersebut. Proses
dan distribusi kegiatan akan makin cepat dan lancar. Tetapi hal sebaliknya akan
terjadi apabila penyediaan sarana dan prasarana jalan yang diberikan tidak
sesuai dengan standar pelayanan minimum. Masalah transportasi khususnya
kemacetan akan muncul apabila penyediaan jaringan jalan tidak mencukupi
kapasitas kendaraan yang melewatinya. Kemacetan berujung pada rendahnya
tingkat produktivitas penduduknya dan secara ekonomi makro akan mengganggu
pertumbuhan ekonomi. Penyebabnya adalah pertambahan jumlah kendaraan
pribadi tidak diimbangi dengan pertambahan panjang jalan. Hal ini juga
diperparah oleh banyaknya penglaju (commuters) yang melakukan pergerakan
dari kota ke Jakarta setiap harinya. Mobilitas penduduk yang tinggi
mengakibatkan peningkatan kepadatan lalulintas di jalan raya dan menimbulkan
titik-titik rawan kemacetan.
Dalam ketersediaan sarana dan prasarana, Jakarta sebagai kota metropolitan
memiliki sistem jaringan jalan lingkar, yaitu lingkar dalam (inner ring road) dan
lingkar luar (outer ring road). Sistem ini juga menjadi jaringan jalan arteri primer,
jaringan radial yang melayani kawasan di luar inner ring road menuju kawasan di
dalam inner ring road dan jaringan jalan berpola grid di wilayah pusat kota.
Namun jaringan ini tidak terkoneksi dengan wilayah penyangga yang berada di
sekitar Kota Jakarta, yaitu : Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan
Cianjur. Padahal pengguna kendaraan setiap hari berasal dan menuju daerah-
daerah penyangga tersebut. Konsep pembangunan sarana dan prasarana harus
selalu mengacu pada pemikiran bahwa Jakarta dan sekitarnya adalah wilayah
megapolitan.
Pada Gambar 1 diperlihatkan pola jaringan jalan di wilayah DKI Jakarta, sistem
jaringan jalan terdiri atas inner ring road dan outer ring road yang juga
merupakan jaringan jalan arteri. Adapun pola jaringan jalan di pusat kota adalah
sistem grid.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 67
Sumber: Pola Transportasi Makro DKI Jakarta
Gambar 1. Pola Jaringan Jalan DKI Jakarta
Tabel 15. Panjang Jalan menurut Kota Administrasi berdasarkan Jenis Jalan tahun 2007
Kotamadya Panjang Jalan (m)
Total Tol Nasional Provinsi Kotamadya
Jakarta Selatan 21.884,00 50.240,00 312.087,00 1.273.686,47 1.657.897,47
Jakarta Timur 37.222,00 31.458,00 335.423,01 1.057.955,16 1.462.058,17
Jakarta Pusat 6.380,00 13.566,75 233.709,40 628.877,01 882.533,16
Jakarta Barat 12.882,00 39.075,00 254.615,50 1.026.653,79 1.333.226,29
Jakarta Utara 34.592,00 29.440,00 194.494,00 949.755,84 1.208.281,84
Total 112.960,00 163.779,75 1.330.328,91 4.936.928,27 6.543.996,93
Sumber : Sub Dinas Bina Program, Dinas Pekerjaan Umum Jalan Provinsi Jakarta dalam Biro Pusat Statistik DKI Jakarta (2008)
Sebaran jalan menurut statusnya di kotamadya/kota administrasi dalam
wilayah DKI Jakarta cukup bervariasi, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel
15 dan Tabel 16. Kotamadya Jakarta Selatan merupakan kotamadya yang
memiliki jumlah total panjang dan luas jalan terpanjang dan terluas di DKI
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 68
Jakarta. Sementara itu, jalan tol dan jalan provinsi, Kotamadya Jakarta Timur
menempati urutan teratas untuk panjang dan luasnya.
Tabel 16. Luas Jalan menurut Kota Administrasi berdasarkan Jenis Jalan tahun 2007
Kotamadya Luas Jalan (m2)
Total Tol Nasional Provinsi Kotamadya
Jakarta Selatan 430.512,00 801.138,00 3.492.546,00 5.471.446,14 10.195.642,14
Jakarta Timur 997.736,00 694.468,00 3.801.343,17 4.511.562,96 10.005.110,13
Jakarta Pusat 114.840,00 330.744,50 3.685.626,60 2.602.565,87 6.733.776,97
Jakarta Barat 231.876,00 464.404,00 2.410.958,50 4.372.373,05 7.479.611,55
Jakarta Utara 697.716,00 520.720,00 1.986.478,50 4.030.155,79 7.235.070,29
Total 2.472.680,00 2.811.474,50 15.376.952,77 20.988.103,81 41.649.211,08
Sumber : Sub Dinas Bina Program, Dinas Pekerjaan Umum Jalan Provinsi Jakarta dalam Biro Pusat Statistik DKI Jakarta (2008)
Tabel 17. Panjang Jalan menurut Jenis dan Status Jalan selama tahun 2005 - 2007
Jenis Jalan Panjang Jalan (m)
Stastus Jalan 2005 2006 2007
Tol 94.180,00 112.960,00 112.960,00 Tol
Arteri primer 104.039,25 112.149,00 112.149,00 Nasional
Kolektor primer 55.130,75 51.630,75 51.630,75 Nasional
Arteri skunder 528.637,27 502.640,00 506.415,00 Provinsi
Kolektor skunder 984.743,78 823.913,91 823.913,91 Provinsi
Kotamadya 5.884.202,25 4.936.928,77 4.936.928,27 Kotamadya
Total 7.650.933,30 6.540.222,43 6.543.996,93
Sumber : Sub Dinas Bina Program, Dinas Pekerjaan Umum Jalan Provinsi Jakarta dalam Biro Pusat Statistik DKI Jakarta (2008), telah diolah
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 69
Tabel 18. Luas Jalan menurut Jenis dan Status Jalan selama tahun 2005 – 2007
Jenis Jalan Luas Jalan (m2) Status
Jalan 2005 2006 2007
Tol 2.078.300,00 2.472.680,00 2.472.680,00 Tol
Arteri primer 2.147.040,10 2.140.090,00 2.140.090,00 Nasional
Kolektor primer 860.669,00 671.384,50 671.384,50 Nasional
Arteri skunder 824.790,43 8.299.089,00 8.406.014,00 Provinsi
Kolektor skunder 8.256.798,90 6.970.938,77 6.970.938,77 Provinsi
Kotamadya 25.906.134,32 20.988.103,81 20.988.103,81 Kotamadya
Total 40.073.732,75 41.542.286,08 41.649.211,08
Sumber : Sub Dinas Bina Program, Dinas Pekerjaan Umum Jalan Provinsi Jakarta dalam Biro Pusat Statistik DKI Jakarta (2006, 2007, 2008), telah diolah
Pada Tabel 17 dan Tabel 18 dapat dilihat bahwa pertumbuhan (panjang dan
luas) infrastruktur jalan untuk jalan tol di DKI Jakarta tahun 2005-2007 tidak
signifikan. Pertumbuhan panjang jalan tol dari 94,18 km menjadi 112,96 km.
Bahkan jumlah total panjang jalan dari tahun 2005-2007 berkurang dari 7.651
km menjadi 6.544 km. Pengurangan jalan ini dimungkinkan karena adanya
pembangunan untuk Busway yang digunakan untuk angkutan massal
transjakarta.
Sumber: Biro Pusat Statistik DKI Jakarta (2008), telah diolah kembali
Grafik 50. Jumlah Kendaraan Bermotor yang Terdaftar menurut Jenisnya selama 2003 – 2007 di Wilayah DKI Jakarta dan Prediksi untuk tahun 2008 - 2010
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 70
Pertumbuhan kendaraan dapat dilihat pada Grafik 50, jumlah kendaraan
motor yang terdaftar (tidak termasuk Polisi, TNI dan CD) pada tahun 2005
sebanyak 7,23 juta unit kendaraan menjadi sebesar 8,73 juta unit kendaraan
pada tahun 2007. Belum lagi ditambah kendaraan yang berasal dari daerah
penyangga juga masuk ke ibukota setiap harinya yang harus ditampung oleh
6.544 km jalan. Pertumbuhan tertinggi adalah kepemilikan sepeda motor.
Sedangkan pertumbuhan jumlah mobil penumpang, angkutan umum (bus dan
angkutan umum) relatif stagnan. Hal ini perlu diantisipasi oleh stakeholder
(pemangku kepentingan) yang bertanggung jawab akan sektor transportasi.
Apabila pertumbuhan kendaraan pribadi tidak diimbangi dengan penyediaan
jalan akan menimbulkan dampak kemacetan yang sangat parah, ironisnya
wilayah pengembangan jaringan jalan di DKI Jakarta sudah terbatas. Prediksi
yang dilakukan oleh Laboratorium Transportasi UI dengan metode regresi
linier mengenai jumlah sepeda motor pada tahun 2010 mencapai kisaran 8
(delapan) juta unit kendaraan. Data kecepatan rata-rata kendaraan dalam
SITRAMP untuk tahun 2009 mencapai besaran 15,8 km/jam sedangkan pada
tahun 2008 mencapai besaran 25,8 km/jam. Fakta ini membuktikan bahwa
kecepatan kendaraan mengalami penurunan sebesar 10 km/jam yang akan
mengakibatkan berbagai hal, khususnya di sektor perekonomian. Oleh karena
itu, perlu dicari solusi yang efektif untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu
dengan penerapan sistem operasi transportasi yang efesien dengan
penerapan angkutan umum massal yang mempunyai kapasitas angkut besar
dalam 1 (satu) unit.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 71
Sumber : Pola Transportasi Makro DKI Jakarta
Gambar 2. Rencana Jaringan transportasi Jakarta
Sumber: Pola Transportasi Makro DKI Jakarta
Gambar 3. Jaringan Utama pendukung Bandara Soekarno Hatta
Sistem transportasi yang mampu mengakomodasikan seluruh permintaan
pergerakan perkotaan metropolitan di DKI Jakarta diperlukan sistem jaringan
pendukung sebagai feeder. Dengan demikian, diperlukan adanya integrasi
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 72
antarmoda transportasi agar meningkatakan aksesibilitas penumpang dalam
melakukan pergerakan.
Contoh salah satu komponen jaringan transportasi adalah aksesibilitas
bandara terhadap jaringan transportasi yang ada termasuk di antaranya
jaringan jalan. Pergerakan dan perpindahan orang maupun barang menuju
lokasi tujuan akhir harus baik dan mudah. Bandara Soekarno-Hatta memiliki
beberapa jalan akses utama yaitu Prof. Sedyatmo (tol dan Arteri), Lingkar luar
Barat. Jl. Prof. Sedyatmo dan Lingkar Luar yang membentuk suatu lingkar
jaringan yang berkesinambungan. Dengan demikian mempermudah akses
ke/dari bandara baik untuk luar Jakarta (BOTABEK) maupun untuk daerah
Jakarta.
Kontribusi transportasi laut terhadap transportasi Indonesia cukup besar.
Volume perpindahan barang antarwilayah dan luar Indonesia juga besar
mengingat wilayah Indonesia merupakan negara kepulauan. Pelabuhan laut
Tg. Priok didukung oleh sistem jaringan jalan dan rel sistem jaringan jalan
yang mendukung yaitu : (1) Jl. Martadinata yang menghubungkan kawasan
Barat DKI Jakarta hingga masuk wilayah Tangerang; (2) Jl. Yos Sudarso yang
menghubungkan kawasan pusat kota DKI Jakarta dan wilayah selatan DKI
Jakarta serta membentuk jaringan jalan dengan Tol Jagorawi untuk
menghubungkan DKI Jakarta hingga wilayah Bogor dan sekitarnya; dan (3) Jl.
Cakung-Cilincing yang menghubungkan kawasan timur DKI Jakarta serta
membentuk jaringan yang menghubungkan kawasan Bekasi dan sekitarnya.
Sumber: Pola Transportasi Makro DKI Jakarta
Gambar 4. Jaringan Utama Pendukung Pelabuhan Laut Tg. Priok
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 73
Sedangkan sistem jaringan rel pendukung yaitu : (1) Jaringan Bogor yang
menghubungkan kawasan DKI Jakarta utara hingga daerah selatan DKI Jakarta dan
Bogor; (2) Jaringan Tangerang dan Serpong yang menghubungkan kawasan barat
DKI Jakarta hingga Tangerang; dan (3) Rencana jaringan Citayam yang
menghubungkan wilayah Timur DKI Jakarta dan Bekasi hingga selatan DKI Jakarta.
DKI Jakarta memiliki 3 (tiga) terminal utama, yaitu : terminal antarkota Rawa
Buaya (rencana), Pulogebang (rencana) dan Kampung Rambutan berfungsi
sebagai pintu masuk ke/dari wilayah sekitar Jakarta. Terminal Rawa Buaya
merupakan pintu masuk ke/dari arah barat Jakarta yang membuat rantai
sistem jaringan penghubung antarwilayah (provinsi Banten) dan antarpulau
(Sumatera). Akses pendukung utama terminal tersebut, yaitu : (1) Tol/Arteri
Lingkar Luar, menghubungkan ke wilayah kota DKI Jakarta; dan (2) Jalan
Daan Mogot, sebagai akses dari arah barat dan penghubung ke jaringan
pusat kota DKI Jakarta.
Sumber: Pola Transportasi Makro DKI Jakarta
Gambar 5. Jaringan Utama Pendukung Terminal -Terminal Utama AntarKota
Terminal Pulogebang merupakan pintu timur dari/ke DKI Jakarta yang
melayani transit dari wilayah Bekasi dan daerah di pulau Jawa terutama jalur
kota-kota utara Jawa. Terminal Pulogebang didukung oleh jaringan jalan
diantaranya I Gusti Ngurah Rai, Bekasi Raya, Tol Lingkar Luar, Cakung-
Cilincing, Kol.Soegiono, dan Jl. Jend. R.S. Soekanto. Jaringan ini akan
menghubungkan terminal dengan wilayah lain di DKI Jakarta serta didukung
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 74
pula oleh jaringan kereta api Jakarta - Bekasi (Stasiun Cakung). Jaringan
utama terminal antarkota Kampung Rambutan merupakan pintu di bagian
selatan DKI Jakarta yang merupakan terminal penghubung wilayah DKI
Jakarta dengan kota Bogor dan wilayah di pulau Jawa khususnya kota-kota di
selatan Jawa. Jaringan jalan pendukungnya yaitu tol Jagorawi dan rangkaian
jaringan tol dalam kota.
Stasiun Kereta api utama di Jakarta mendukung pergerakan antar kota dan
dalam kota. Jaringan rel kereta api pendukung pergerakan dalam kota saat ini
adalah Kereta api Jakarta - Bogor yang melewati stasiun - stasiun dalam kota
Jakarta. Untuk masa mendatang telah direncanakan pengembangan rel
kereta api dalam kota yang menghubungkan stasiun Cilandak dan stasiun
Kota. Untuk pergerakan antar kota terutama dilayani oleh stasiun Gambir dan
Jatinegara. Peningkatan permintaan yang cukup tinggi setiap tahunnya
menuntut peningkatan pelayanan yang lebih memadai. Dukungan jaringan
jalan untuk akses dari dan menuju terminal merupakan satu hal utama untuk
meningkatkan pelayanan. Jaringan jalan utama pendukung stasiun-stasiun
utama di Jakarta, sebagai berikut: (1) JORR wilayah utara; (2) JORR wilayah
selatan; (3) Inner ring road timur; (4) Koridor barat-timur Daan Mogot-Hasyim
Ashari-Juanda; dan (5) Koridor barat-timur Perintis Kemerdekaan-Suprapto-
Prapatan.
Transjakarta merupakan salah satu angkutan yang diupayakan oleh
Pemerintah untuk mengatasi kemacetan dan masuk dalam bagian dalam
sistem transportasi massal yang direncanakan Pemerintah Provinsi DKI.
Apresiasi masyarakat sejak program Transjakarta koridor Blok M-Kota
diluncurkan Gubernur pada tanggal 15 Januari 2004 dan diberlakukan secara
resmi sejak 1 Februari 2004 tinggi sehingga banyak masyarakat yang
menggunakan angkutan umum Transjakarta.
Transjakarta telah mengoperasikan 8 (delapan) koridor, yaitu: (1) Koridor 1
Blok M – Kota; (2) Koridor 2 Pulogadung – Harmoni; (3) Koridor 3 Harmoni –
Kalideres; (4) Koridor 4 Pulogadung – Dukuh Atas; (5) Koridor 5 Kampung
Melayu – Ancol; (6) Koridor 6 Ragunan – Kuningan; (7) Koridor 7 Kampung
Rambutan – Kampung Melayu; dan (8) Koridor 8 Lebak Bulus – Harmoni.
Selain itu terdapat 2 (dua) koridor yang belum beroperasi karena berbagai
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 75
masalah, seperti terbatasnya jumlah armada. Koridor tersebut adalah Koridor
9 Pluit – Pinang Ranti dan Koridor 10 Tanjung Priok – Cililitan. Koridor 11 -15
masih dalam tahap perencanaan pembangunan.
Pengoperasionalan angkutan Transjakarta dikelola oleh Badan Layanan
Umum (BLU) Transjakarta yang bernaung di bawah Dinas Perhubungan,
Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, terdapat juga beberapa Perusahaan Operator
yang mengelola armada yang melayani tiap koridor. Operator tersebut, yaitu:
(1) PT. Jakarta Express Trans (JET) – Koridor 1; (2) PT. Trans Batavia (TB) –
Koridor 2 dan 3; (3) PT. Jakarta Trans Metropolitan (JTM) – Koridor 4 dan 6;
(4) PT. Primajasa Perdayana Utama – Koridor 4, 6 dan 8 (bersama dengan
PT. Eka Sari Lorena); (5) PT. Jakarta Mega Trans (JMT) – Koridor 5 dan 7;
dan (6) PT. Eka Sari Lorena (LRN) – Koridor 5, 7 dan 8 (bersama dengan PT.
Primajasa).
Sumber : Badan Layanan Umum DKI Jakarta (2009), telah diolah
Grafik 51. Total Jumlah Penumpang Transjakarta di semua Koridor
Awal keberadaan Transjakarta mendapat banyak pertentangan dari
masyarakat terutama oleh pengguna kendaraan pribadi tetapi jumlah
penumpang angkutan ini mengalami peningkatan secara signifikan.
Fenomena tersebut mengisyaratkan bahwa moda transportasi Transjakarta
telah menjadi moda alternatif angkutan perkotaan di Provinsi DKI Jakarta.
Walaupun pada awalnya keberadaan Transjakarta ditentang oleh warga
terutama oleh pengguna kendaraan pribadi, namun jumlah penumpang
Transjakarta terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan, seperti
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 76
yang ditunjukkan dalam Gambar 6. Laboratorium Transportasi UI melakukan
peramalan dengan menggunakan metode regresi linier dan mendapatkan
perkiraan jumlah penumpang Transjakarta hingga tahun 2014 mencapai 168
juta penumpang tiap tahunnya atau 462.273 penumpang tiap harinya (dengan
asumsi 1 tahun adalah 365 hari).
Gambar 7 menunjukkan jumlah penumpang selama tahun 2006 sampai 2009
(bulan Oktober) di setiap koridor. Jumlah penumpang Transjakarta yang
paling banyak terdapat pada koridor 1. Hal ini disebabkan koridor 1
menghubungkan pusat-pusat aktivitas kota. Dengan demikian, Pemerintah
Daerah dapat melakukan peningkatan pelayanan angkutan Transjakarta
dengan memperhatikan prioritas penanganan sesuai dengan permintaan
jumlah penumpang di setiap koridor.
Sumber : Badan Layanan Umum DKI Jakarta (2009), telah diolah
Grafik 52. Jumlah Penumpang Transjakarta di setiap Koridor
Evaluasi kinerja Transjakarta dapat disimpulkan, sebagai berikut : (1) koridor
9 dan 10 belum beroperasi, walaupun pembangunan konstruksi jalan telah
selesai lebih dari 1 (satu) tahun yang lalu. Salah satu alasan penundaan
pengoperasian koridor tersebut adalah kurangnya jumlah armada yang akan
beroperasi; (2) adanya penurunan pelayanan yang diakibatkan kurangnya
perawatan terhadap fasilitas penunjang Transjakarta seperti shelter (terdapat
pencurian dan perusakan fasilitas halte), pembatas jalan dan kondisi bus
(terbukti terdapat bus yang terbakar akibat hubungan arus pendek). Hal ini
menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta sebaiknya
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 77
menunda pengembangan koridor Busway berikutnya untuk memperbaiki
sistem pengoperasian koridor yang sudah ada; (3) masih belum berlakunya
sterilisasi jalur Busway di beberapa koridor, hal ini mengakibatkan waktu
perjalanan Busway tidak sesuai dengan perencanaan waktu tempuh dan
headway Busway, sehingga mengurangi keunggulan Busway; (4) jumlah
penumpang di shelter (khususnya trasnsit shelter) dan bus sering melebihi
kapasitas maksimal; (5) tidak adanya optimalisasi peranan sistem feeder dan
park & ride untuk memperluas daerah layanan Busway; (6) transparansi dan
akuntabilitas di dalam menggunakan subsidi. Penggunaan subsidi Pemerintah
Daerah DKI Jakarta harus membawa konsekuensi terbukanya informasi
pemanfaatan anggaran bagi kepentingan masyarakat luas.
Tabel 19 Jumlah Kecelakaan Lalulintas di Provinsi DKI Jakarta
Tahun Jumlah KejadianJumlah Korban
MD (jiwa) LB (orang) LR (orang)
2004 5.437 1.085 2.465 3.617
2005 4.395 1.028 2.158 2.075
2006 4.453 1.147 2.510 2.271
2007 4.684 1.127 2.555 2.110
2008 1.300 503 663 609
Sumber : Ditlantas Polda Metro Jaya dalam Biro Pusat Stastistik DKI Jakarta (2008)
Tabel 20. Prosentase Korban Kecelakaan Lalulintas berdasarkan dampak Keparahannya di Provinsi DKI Jakarta
Tahun Jumlah KorbanJumlah Korban
MD (%) LB (%) LR (%)
2004 7.167 0,15 0,34 0,50
2005 5.261 0,20 0,41 0,39
2006 5.928 0,19 0,42 0,38
2007 5.792 0,19 0,44 0,36
2008 1.775 0,28 0,37 0,34
Sumber : Ditlantas Polda Metro Jaya dalam Biro Pusat Stastistik DKI Jakarta (2008), telah diolah
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 78
Tingkat pelayanan transportasi juga dapat dilihat dari tingginya frekuensi
kecelakaan lalulintas dan fatalitas selama tahun 2004 – 2008, seperti yang
ditunjukkan dalam Tabel 19. Pemantauan dari variabel jumlah kejadian,
tindakan preventif yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah efektif. Namun,
prosentase jumlah korban meninggal terhadap total korban mengalami
peningkatan yang signifikan pada tahun 2008, seperti ditunjukkan dalam
Tabel 20. Hal ini memerlukan perhatian khusus dari Pemerintah Daerah untuk
melakukan upaya-upaya yang dapat mereduksi tingkat fatalitas.
Penyediaan Air Bersih
Kebutuhan air bersih meningkat sesuai dengan pertumbuhan jumlah
penduduk di DKI Jakarta. Pertumbuhan penduduk DKI Jakarta sejak Sensus
Penduduk 2007 sebesar 1,11 % (Biro Pusat Statistik DKI Jakarta, 2008).
Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 23 tahun 2006 menyatakan bahwa
standar kebutuhan pokok air bersih sebanyak 10 m3/KK/bulan atau 60
L/orang/hari. Dengan demikian, kebutuhan air bersih akan meningkat secara
linier sebanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk di DKI Jakarta.
Angka 10 m3/KK/bulan atau 60 L/orang/hari merupakan rasio kebutuhan
pokok air bersih jumlah KK terhadap jumlah orang sebesar 1 : 6. Jika jumlah
pelanggan dalam 5 (lima) tahun terakhir dijadikan dasar perhitungan volume
kebutuhan air bersih DKI Jakarta, maka besar volume yang dibutuhkan dapat
diperbandingkan dengan volume air yang telah didistribusikan oleh
Pemerintah Daerah. Tabel 21. Jumlah Penduduk dan Prediksi Kebutuhan Air DKI Jakarta
Tahun Jumlah penduduk (juta jiwa)
kebutuhan air bersih (m3/hari)
kebutuhan air bersih (m3/bulan)
kebutuhan air bersih (m3/tahun)
2004 8,77 526.020 15.780.600 189.367.200
2005 8,86 531.806 15.954.187 191.450.239
2006 8,96 537.656 16.129.683 193.556.192
2007 9,06 543.570 16.307.109 195.685.310
2008 9,16 549.550 16.486.487 197.837.848
Sumber : Biro Pusat Statistik DKI Jakarta (2008), telah diolah
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 79
Volume yang ditampilkan dalam Tabel 21 merupakan volume yang perlu
dilayani oleh Pemerintah Daerah atau dalam kata lain nilai kebutuhan air
bersih dalam satuan m3 per tahun sebanding dengan total volume air bersih
yang terjual oleh pihak operator penyedia air bersih di DKI Jakarta. Namun,
cakupan pelayanan air bersih oleh Pemerintah Daerah belum dapat mencapai
100 %. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya jumlah pengguna air
tanah. Asumsi yang digunakan adalah semakin tinggi permintaan untuk
menggunakan air tanah maka semakin buruknya pelayanan penyediaan air
bersih oleh Pemerintah Daerah dilihat berdasarkan kuantitasnya.
Jika Pemerintah Daerah tidak melakukan upaya secepat mungkin untuk
meningkatkan volume distribusi air bersih, maka eksplorasi air tanah akan
terjadi secara terus menerus. Eksploitasi berlebihan terhadap air tanah akan
membuat permukaan air tanah menjadi turun, sehingga akan menyebabkan
terjadinya rongga yang berpotensi menyebabkan turunnya permukaan tanah.
Turunnya permukaan tanah ditambah naiknya permukaan air laut akibat efek
pemanasan global bahkan dapat menenggelamkan sebagian wilayah DKI.
Fenomena tersebut telah terjadi di DKI Jakarta, yaitu : penurunan muka tanah
dan interusi air laut. Berikut merupakan pemetaan wilayah DKI Jakarta
selama 5 (lima) tahun terakhir yang telah terjadi penurunan permukaan tanah
dan interusi air laut. Dinas Pertambangan DKI menyatakan bahwa penurunan
permukaan tanah di daerah Thamrin dalam 8 (delapan) tahun terakhir
berkisar 20 – 40 cm (Kompas, 2009) dan intrusi air laut sudah mencapai 11
hingga 12 kilometer dari garis pantai dan telah memasuki wilayah Setia Budi,
Jakarta Selatan (Darunndono dalam Tempo, 2009).
Pemerintah Daerah seharusnya dapat lebih serius dalam menangani
penyediaan air bersih. Penyediaan air bersih di DKI Jakarta dilaksanakan oleh
2 (dua) operator, yaitu : PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT. Aetra Air
Jakarta. Kedua operator tersebut bekerja dengan membagi cakupan wilayah
layanan berdasarkan kewilayahan bagian timur dan barat. Kedua operator
menyediakan air bersih di bawah koordinasi dari PAM JAYA dan dipantau
oleh sebuah institusi bernama Badan Regulator Air.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 80
2.3.2.2. Rekomendasi Kebijakan
Transportasi Darat Pertumbuhan jaringan jalan di DKI Jakarta tidak sebanding dengan pertumbuhan
kendaraan yang ada. Apabila pertumbuhan kendaraan pribadi tidak diimbangi
dengan penyediaan jalan akan menimbulkan dampak kemacetan yang sangat
parah, ironisnya wilayah pengembangan jaringan jalan di DKI Jakarta sudah
terbatas. Oleh karena itu, perlu dicari solusi yang efektif untuk jangka panjang,
menegah dan jangka pendek untuk memecahkan masalah tersebut agar tujuan
transportasi untuk memindahkan penumpang/barang ke suatu tempat secepat
mungkin dan dengan harga yang ekonomis tersebut dapat tercapai. Namun
dengan melihat kondisi penduduk di wilayah DKI Jakarta yang sangat padat
hingga mencapai 9,06 juta jiwa pada tahun 2007 dan keterbatasan jaringan
jalan, salah satunya solusi jangka pendek yaitu dengan strategi TDM (Transport
Demand Management) yakni aplikasi strategi dan kebijakan dalam rangka
mengatur perilaku pengendara melalui pengurangan permintaan perjalanan
kendaran pribadi ataupun mendistribusikan permintaan perjalanan tersebut
dalam konsep ruang dan waktu. Solusi untuk jangka panjang dan menengah
yaitu dengan penerapan sistem operasi transportasi yang efesien dengan
penerapan angkutan umum massal (public transport) yang mempunyai
kapasitas angkut besar dalam 1 (satu) unit.
Penyediaan Air Bersih Solusi yang diusulkan adalah (1) melakukan pembatasan jumlah sumur air tanah
dan volume air yang dipompakan; dan (2) meningkatkan tingkat penyediaan air
bersih. Pemerintah Daerah sampai saat ini telah menaikkan tarif air tanah yang
dikomersialisasikan tetapi solusi ini belum efektif untuk menekan besarnya
volume penggunaan air tanah. Hal lain yang perlu dilakukan para operator
penyedia air minum adalah mereduksi tingkat kebocoran yang selama ini
menjadi hambatan bagi operator untuk meningkatkan debit distribusi air bersih
ke masyarakat.
Pembangunan infrastruktur sangatlah vital mengingat ketersediaan infrastruktur
yang baik dan berkualitas sangat mendukung aktifitas masyarakat. Lancarnya
transportasi ditentukan oleh mutu jalan yang baik dan sistem transportasi yang
dapat dihandalkan. Dengan demikian, kemacetan dapat dikurangi sehingga
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 81
kerugian akibat kemacetan juga dapat direduksi. Selain itu, ketersediaan air
bersih yang prima oleh Pemerintah Daerah melalui operator PAM dapat
mengurangi dampak kerusakan air tanah.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 82
2.4. TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL-EKONOMI 2.4.1 Capaian Indikator
Kondisi kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta dapat diamati dari tingkat
kemiskinan, tingkat pengangguran, persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi
anak terlantar dan penduduk usia lanjut, serta persentase pelayanan dan rehabilitasi
sosial. Pada bagian ini akan dijelaskan terlebih dahulu perkembangan indikator
tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Secara agregat, perkembangan
kedua indikator ini dalam kurun waktu 2004-2008 dapat diamati pada gambar
berikut. Grafik 53. Perkembangan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi DKI Jakarta dan Nasional
Analisis Relevansi Tingkat Kesejahteraan Ekonomi. Berdasarkan gambar di
atas terlihat bahwa dalam kurun waktu 2004-2008, tingkat kesejahteraan ekonomi
DKI Jakarta jauh lebih baik dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan ekonomi
nasional. Secara rata-rata, nilai agregasi tingkat kesejahteraan ekonomi DKI Jakarta
mencapai 91.17 per tahun, sementara nilai agregasi nasional hanya berada di
tingkat 86.88 per tahun. Nilai tingkat kesejahteraan ekonomi ini terus mengalami
perbaikan sejak tahun 2006, seperti yang ditandai oleh terus meningkatnya tren
pertumbuhan tingkat kesejahteraan ekonomi baik di DKI Jakarta maupun di tingkat
nasional.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 83
Analisis Efektivitas Tingkat Kesejahteraan Ekonomi. Dalam kurun waktu 2004-
2008, kondisi di tahun 2006 terlihat sebagai titik balik kesejahteraan ekonomi
penduduk DKI Jakarta. Jika sebelumnya tingkat kesejahteraan ekonomi cendrung
mengalami penurunan, sejak tahun 2006, tingkat kesejahteraan ekonomi terlihat
mengalami perbaikan.
2.4.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Analisis kesejahteraan ekonomi dengan menggunakan data agregasi kurang dapat
memberikan gambaran yang detil terhadap kondisi kesejahteraan masyarakat DKI
Jakarta. Oleh karena itu pada pembahasan berikut ini, akan dijelaskan secara lebih
mendalam tentang kondisi kemiskinan dan kondisi pengangguran DKI Jakarta
sebagai sub-indikator pembentuk indikator kesejahteraan ekonomi DKI Jakarta.
Disamping itu indikator kesejahteraan sosial di DKI Jakarta dapat membantu
menjelaskan mengenai tingkat kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta. Walaupun
terjadi peningkatan kesejahteraan ekonomi tapi indikator kesejahteraan sosial
menunjukkan bahwa permasalahan sosial di masyarakat belum tertangani dengan
baik.
a. Kondisi Kemiskinan DKI Jakarta Kemiskinan merupakan salah satu indikator kesejahteraan yang telah menjadi
perhatian pemerintah dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2005, perhatian pemerintah
terhadap kemiskinan dituangkan ke dalam rumusan Strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), yang terintegrasi dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah—RPJM I (2004-2009). Strategi ini kemudian
dijalankan oleh pemerintah daerah dengan mengembangkan lebih jauh RPJMD-
nya, yang didalamnya mencantumkan strategi pemerintah daerah untuk
penanggualangan persoalan kemiskinan.
Pada tahun 2004, terdapat sekitar 277,100 jiwa penduduk miskin di Jakarta.
Angka ini terus mengalami peningkatan hingga mencapai angka 407,100 jiwa di
tahun 2006. Namun sejak tahun 2006, DKI Jakarta berhasil mendorong penurunan
tingkat kemiskinannya dari angka 407,100 jiwa menjadi 379,600 jiwa di tahun
2008.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 84
Tabel 22. Kemiskinan Provinsi DKI Jakarta Periode 2004-2008
Tahun Jumlah Penduduk Miskin Jakarta (000)
Penduduk Miskin (%)
2004 277.10 3,18
2005 316.00 3,61
2006 407.10 4,60
2007 405.70 4,48
2008 379.6 4.29
2009 323.20 3.62
Sumber: Badan Pusat Statistik
Terjadinya peningkatan kuantitas penduduk miskin DKI Jakarta hingga tahun
2006 tidak terlepas dari kondisi naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang salah
satunya dipicu oleh pencabutan subsidi BBM dalam rentang waktu ini. Sejak tahun
2006, jumlah penduduk miskin DKI cendrung mengalami penurunan, bahkan
terjadi hingga tahun 2009. Faktor utama yang menyebabkan tingkat kemiskinan
menurun adalah kondisi ekonomi yang membaik sejalan dengan berkurangnya
dampak kenaikan harga BBM tahun 2005. Disamping itu, hal ini juga dipengaruhi
oleh mulai berjalannya komitmen pemerintah untuk mengatasi persoalan
kemiskinan yang merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan dalam
Rencana Pembangunan Daerah (RPJMD) I melalui strategi pro poor.
Jika diamati dari aspek sebaran penduduk miskin di Provinsi DKI Jakarta, terlihat
bahwa daerah yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar adalah
Kepulauan Seribu. Persentase penduduk miskin di daerah ini mencapai angka
rata-rata 15.44% per tahun, jauh lebih tinggi dari persentase penduduk miskin di
Jakarta Timur sebesar 3.4%, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat sebesar 3.6%,
Jakarta Pusat sebesar 4%, dan Jakarta Utara sebesar 7.3%.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 85
Grafik 54. Tingkat Kemiskinan DKI Jakarta dan Nasional
Keterangan: *) Kemiskinan bulan Maret 2009
Jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan di
Provinsi DKI Jakarta jauh lebih rendah. Disaat rata-rata tahunan tingkat
kemiskinan nasional mencapai 16.43% dalam kurun waktu 2004-2008, rata-rata
tahunan tingkat kemiskinan di DKI Jakarta telah mencapai angka 4.27%.
b. Perkembangan Kondisi Ketenagakerjaan DKI Jakarta
Penduduk DKI Jakarta yang berada dalam usia kerja, yaitu yang berumur 15
tahun ke atas, terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Penduduk usia
kerja ini tersebar ke dalam dua kategori, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan
kerja. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk yang berusia
diatas 15 tahun yang sedang bekerja atau sedang mencari pekerjaan; sementara
penduduk yang termasuk kategori bukan angkatan kerja adalah penduduk berusia
15 tahun keatas yang masih bersekolah atau mengurus rumah tangga atau
melaksanakan kegiatan lainnya. Sebaran angkatan kerja dan bukan angkatan
kerja DKI Jakarta dapat diamati pada tabel berikut.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 86
Tabel 23. Penduduk Usia Kerja DKI Jakarta Tahun 2004-2009
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angkatan Kerja 4,100,100 4,181,248 4,121,821 4,085,030 4,559,108 4,757,518
a. Bekerja 3,497,359 3,565,331 3,531,799 3,543,028 4,054,976 4,186,956
b. Menganggur 602,741 615,917 590,022 542,002 504,132 570,562
Bukan Angkatan Kerja 2,520,129 2,447,567 2,449,913 2,607,317 2,357,099 2,250,966
Penduduk Usia Kerja 6,620,229 6,628,815 6,571,734 6,692,347 6,916,207 7,008,484
Diantara kedua kelompok penduduk usia kerja ini, keberadaan penduduk di
kategori angkatan kerja merupakan hal yang menarik untuk diamati lebih jauh
karena dengan mengamati penduduk yang berada di kategori ini, tingkat
pengangguran dan tingkat bekerja penduduk di DKI Jakarta dapat diamati.
Sebaran tingkat pengangguran dan tingkat bekerja penduduk DKI Jakarta dapat
diamati pada Grafik 55. Pada gambar ini terlihat bahwa dalam kurun waktu 2004-
2009, rata-rata tingkat pengangguran terbuka DKI Jakarta adalah sebesar 13.27
persen per tahun dan rata-rata tingkat bekerja adalah 86.64 persen per tahun.
Grafik 55. Tingkat Pengangguran dan Tingkat Bekerja DKI Jakarta Tahun 2004-2009
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 87
Dari sisi angkatan kerja yang bekerja, status pekerjaan dari mayoritas pekerja di
Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai buruh/karyawan, dengan proporsi mencapai
63.48% dari total pekerja di provinsi ini5. Pada tahun 2009, dari total sekitar 4.2
juta jiwa angkatan kerja yang bekerja, sebesar 2.5 juta jiwa-nya merupakan
buruh/karyawan.
Tabel 24. Angkatan Kerja yang Bekerja Provinsi DKI Jakarta menurut Status Pekerjaan Utama
Status Pekerjaan Utama 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Berusaha Sendiri tanpa Bantuan Orang Lain
712,276 753,791 726,211 672,287 682,640 884,475
Berusaha dengan Dibantu Anggota Rumah Tangga Buruh Tidak Tetap
158,764 160,910 188,898 220,639 228,780 284,088
Berusaha dengan Buruh Tetap
142,277 150,955 165,637 159,723 175,960 207,350
Buruh/Karyawan 2,380,620 2,299,120 2,213,525 2,152,079 2,663,890 2,495,539 Pekerja Tak Dibayar 103,422 123,294 1,470 208,011 780 687 Pekerja Bebas Pertanian
0 1,629 96,190 1,929 93,000 88,018
Pekerja Bebas Non Pertanian
0 74,632 139,868 128,360 209,920 226,799
Jumlah Angkatan Kerja yang Bekerja
3,497,359 3,564,331 3,531,799 3,543,028 4,054,970 4,186,956
Mendominasinya pekerja DKI Jakarta sebagai buruh/karyawan (tidak tetap) tentu
secara langsung/tidak langsung dapat menggambarkan kondisi pendidikan dan
keterampilan pekerja di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan data statistik
ketenagakerjaan BPS diketahui bahwa umumnya tingkat pendidikan pekerja
Provinsi DKI Jakarta adalah tamatan SMU/sederajat (sekitar 40.67% dari
angkatan kerja Provinsi DKI Jakarta yang bekerja pada tahun 2004-2009
merupakan lulusan level pendidikan ini). Diantara 40.67% pekerja yang lulusan
SMU/sederajat, hanya 16% yang merupakan lulusan SMK. Pekerja yang
merupakan lulusan perguruan tinggi hanya sebesar 22.63% dari total angkatan
kerja (nilai rata-rata tahunan). Berdasarkan gambaran ini, terlihat bahwa pekerja di
Provinsi DKI Jakarta memang didominasi oleh pekerja yang berpendidikan rendah
(SMU/sederajat) dan tidak memiliki keterampilan (teramati dari rendahnya lulusan
SMK)6, yang mendorong mereka hanya bekerja sebagai buruh/karyawan.
5 Proporsi ini merupakan nilai proporsi rata-rata tahunan dalam kurun waktu 2004-2009. 6 Terlihat dari rendahnya proporsi pekerja lulusan SMK dan lulusan perguruan tinggi
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 88
Pekerja yang berusaha sendiri tanpa dibantu oleh orang lain menempati proporsi
terbesar kedua setelah buruh/karyawan, dengan nilai rata-rata proporsi tahunan
sebesar 19.77% (antara tahun 2004-2009). Di saat terjadi krisis keuangan global
yang menyebabkan terbatasnya daya serap lapangan kerja, terjadi penurunan
jumlah angkatan kerja Provinsi DKI Jakarta yang bekerja sebagai buruh/karyawan
di tahun 2009. Berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain pun menjadi pilihan
angkatan kerja menyikapi kesulitan ekonomi di tahun 2009 ini, yang ditandai oleh
terjadinya peningkatan pekerja yang berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain
pada tahun tersebut—peningkatannya mencapai 201,835 jiwa dari tahun 2008 ke
tahun 2009, setelah sebelumnya cendrung mengalami tren penurunan.
Tabel 25 menunjukkan struktur penduduk yang bekerja menurut tiga sektor
ekonomi, yaitu sektor primer, sektor sekunder, dan sektor tersier.
Tabel 25. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu menurut Sektor Ekonomi
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Primer 30,191 22,604 31,953 29,525 31,913 29,600
Sekunder 889,988 882,280 731,536 755,947 898,268 803,167
Tersier 2,577,180 2,660,447 2,768,310 2,757,556 3,124,795 3,354,189
Total 3,497,359 3,565,331 3,531,799 3,543,028 4,054,976 4,186,956
Dalam kurun waktu 2004-2009, jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor
pertanian mengalami penurunan dari 30,191 jiwa menjadi 29,600 jiwa. Hal yang
sama juga terlihat di sektor sekunder, dengan penurunan sebesar 86,821 jiwa
(turun dari 889,988 jiwa di tahun 2004 menjadi 803,167 jiwa di tahun 2009). Sektor
ekonomi yang menunjukkan adanya peningkatan penyerapan tenaga kerja adalah
sektor tersier. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang kini
terjadi di Provinsi DKI Jakarta telah mengalami transformasi ke arah
pembangunan sektor tersier.
Dari sisi pengangguran, teramati bahwa selama periode waktu sebelum tahun
2009, DKI Jakarta berhasil menekan tingkat pengangguran terbukanya sebesar
3.64 persen, yaitu dari 14.7 persen (tahun 2004) menjadi 11.06% (tahun 2008);
namun di tahun 2009 tingkat pengangguran DKI Jakarta ini kembali mengalami
tekanan ke angka 11.99 persen (perhatikan Grafik 65). Jika dianalisis, terjadinya
peningkatan tingkat pengangguran terbuka di tahun 2009 ini merupakan dampak
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 89
dari krisis keuangan global yang menyebabkan terjadinya penurunan daya beli
masyarakat sehingga akhirnya mendorong rumah tangga untuk menambah
anggota rumah tangganya yang bekerja dan yang mencari pekerjaan.
Konsekuensinya, jumlah angkatan kerja yang mencari pekerjaan pun menjadi
meningkat di tahun ini.
Daerah yang memiliki tingkat pengangguran terbuka tertinggi di DKI Jakarta
terdapat di Jakarta Timur, dengan rata-rata tingkat pengangguran mencapai
30.61% per tahun, atau setara dengan 180 ribu jiwa. Sementara daerah dengan
sebaran pengangguran terendah terdapat di wilayah Kepulauan Seribu dan
Jakarta Pusat dengan nilai rata-rata tahunan tingkat pengangguran sebesar
11.29% dan 0.12% per tahun dari jumlah angkatan kerja, atau setara dengan
sejumlah 992 jiwa dan 66 ribu jiwa, berturut-turut.
Grafik 56. Tingkat Pengangguran Terbuka Nasional dan DKI Jakarta
Tingkat pengangguran terbuka DKI Jakarta ini, dari tahun ke tahun, selalu berada
di atas tingkat pengangguran nasional. Disaat rata-rata tingkat pengangguran
terbuka nasional adalah 9.44 persen per tahun dalam kurun waktu 2004-2009,
tingkat pengangguran terbuka Provinsi DKI Jakarta mencapai 13.54%. Hal ini
yang menjadi faktor pemicu tingginya tingkat pengangguran di Provinsi DKI
Jakarta ini diantaranya adalah tingginya arus urbanisasi menuju DKI Jakarta yang
tidak diiringi oleh peningkatan daya serap tenaga kerja.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 90
c. Perkembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Anak (Terlantar, Jalanan, Balita Terlantar dan Nakal)
Grafik 57. Persentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Anak Nasional dan DKI Jakarta
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa tingkat pelayanan terhadap
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) bidang anak di DKI Jakarta
lebih rendah dari persentase nasional. Kemudian ada trend penurunan layanan
terhadap anak dari tahun 2006-2008, baik pada tingkat nasional maupun DKI
Jakarta. Khusus untuk DKI Jakarta, hal ini dapat dikaitkan dengan statusnya
sebagai ibukota negara yang menjadi `magnet` bagi individu ataupun keluarga
untuk datang, menetap dan bekerja. Sebagai konsekuensinya jumlah PMKS anak
meningkat atau secara agregat lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Disamping itu, tidak masuknya pelayanan PMKS anak sebagai program prioritas
DKI Jakarta pada tahun 2009 membawa dampak tidak dapat meningkat nya
secara kuantitas pelayanan terhadap PMKS anak. Walaupun di DKI Jakarta
secara umum peran serta masyarakat cukup tinggi dalam penanganan PMKS
anak, dapat terlihat dengan `menjamur` nya LSM atau pun Yayasan yang
menyantuni atau menangani masalah anak. Tapi perkembangan tersebut, tidak
sebanding dengan besaran masalah yang ada.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 91
d. Perkembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Lanjut Usia
Grafik 58. Persentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Lanjut Usia Nasional dan DKI Jakarta
Dapat dikatakan secara berangsur-angsur terjadi perubahan struktur umur
masyarakat di Indonesia pada umumnya dan di DKI Jakarta pada khususnya, hal
ini terlihat dengan meningkatnya jumlah lansia. Hal ini berdampak tidak
mencukupinya pelayanan panti sosial milik Dinas Sosial DKI Jakarta. Selain itu
PMKS lansia kurang mendapatkan prioritas dalam penanganan PMKS. Seperti hal
nya PMKS anak, PMKS lansia tidak termasuk ke dalam program prioritas
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2009. Disamping itu peran serta
masyarakat dan dunia usaha masih kurang didalam medukung pelayanan
terhadap lansia. Pertumbuhan panti atau ‘retirement house’ kurang signifikan
dengan meningkatnya lansia di DKI Jakarta.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 92
e. Perkembangan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial (Penyandang Cacat, Tuna Sosial, dan Korban Penyalahgunaan Narkoba)
Grafik 59. Persentase Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Nasional dan DKI Jakarta
Pelayanan dan rehabilitasi sosial mempunyai persentase mendekati tingkat
nasional walaupun masih berada di bawah persentase nasional. Secara umum
dapat dikatakan peran serta masyarakat didalam pelayanan rehabilitasi sosial
cukup baik karena banyak ditemukan di DKI Jakarta institusi-institusi rehabilitasi
yang merupakan inisiatif masyarakat seperti rehabilitasi narkoba dan penyandang
cacat. Disamping itu masih beroperasinya panti sosial milik Dinas Sosial DKI
Jakarta yang menjadi tulang punggung pelayanan. Berdampak dengan
meningkatnya kuantitas pelayanan rehabilitasi sosial PMKS.
2.4.3 Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa DKI Jakarta dapat dikatakan sebagai
salah satu daerah yang berhasil menjaga tingkat kemiskinan jauh di bawah tingkat
kemiskinan nasional. Namun untuk penanganan pengangguran, DKI Jakarta masih
memiliki persoalan. Hal ini teramati dari selalu lebih tingginya tingkat pengangguran
DKI Jakarta terhadap tingkat pengangguran nasional. tren pengangguran DKI
Jakarta memang mengalami penurunan sejak tahun 2005, namun tingkat
penurunannya masih belum mampu mengejar penurunan tingkat pengangguran
yang terjadi di tingkat nasional. Disamping itu indikator kesejahteraan sosial di
bidang anak, lansia dan rehabilitasi sosial menunjukkan masih belum
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 93
tertanggulanginya PMKS di DKI Jakarta. Hal ini juga perlu dipahami bahwa sebagai
Ibukota negara, DKI Jakarta menjadi `magnet` bagi penduduk yang berdomisili di
luar DKI Jakarta untuk datang dan menetap. Sehingga mendorong peningkatan
besaran masalah PMKS.
Dari berbagai data yang ada, hal yang perlu didorong oleh pemerintah untuk
menangani persoalan pengangguran ini adalah mengoptimalkan keberadaan
lembaga pelatihan dan SMK di DKI Jakarta agar DKI Jakarta memiliki angkatan
kerja yang terampil. Disamping itu, hal yang perlu dijembatani pemerintah pula
adalah memperkuat hubungan antara sekolah/lembaga pendidikan dengan dunia
usaha, agar tenaga terampil yang telah berhasil dimiliki dapat langsung disalurkan
ke dunia kerja.
Sementara itu untuk bidang sosial, DKI Jakarta haruslah menempatkan penanganan
PMKS anak, sosial dan rehabilitasi sosial sebagai salah satu program prioritas.
Karena peningkatan kesejahteraan ekonomi tidak akan berdampak secara signifikan
kepada kesejahteraan masyarakat tanpa disertai peningkatan quality of life dari
penduduknya. Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan DKI Jakarta
mengatasi PMKS adalah dengan melibatkan atau melakukan kerjasama dengan
berbagai pihak seperti dunia usaha dan masyarakat sipil untuk mengatasi
permasalahan sosial yang ada.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 94
Bab III
KESIMPULAN
Item Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat
Rendah
Tingkat pelayanan Publik dan Korupsi V
Tingkat Kualitas SDM V
Tingkat Pembangunan Ekonomi V
Tingkat Kesejahteraan Sosial V
Pelayanan Publik
Dari hasil penelitian mengenai korupsi dan pelayanan publk dari kurun waktu 2008-2009
yang dilakukan oleh Transparansi Internasional dan KPK meperlihatkan kondisi yang
memprihatinkan di DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia. Dalam laporan
penelitian yang disususun oleh KPK, tidak ada perubahan menuju ke arah yang lebih baik
dari tahun 2008 sampai 2009. Dapat disimpulkan sejauh berkaitan dengan pelayanan
publik dan korupsi, kinerja Provinsi DKI dapat dikatakan masih buruk.
Walaupun secara umum permasalahan korupsi dan pelayanan publik masih buruk di DKI
Jakarta, tetapi ada beberapa hal yang cukup baik di DKI Jakarta seperti indikator
pendidikan aparatur minimal S1 yang berada di atas rata-rata nasional. Selain itu hasil
survei mengenai persepsi dan kepuasan publik oleh Pusat Kajian Kebijakan dan
Pembangunan Strategis (Puskaptis), menyimpulkan ada beberapa layanan yang
dipersepsikan oleh masyarakat DKI Jakarta pada level yang cukup memuaskan dalam
pelayananannya seperti pelayanan KTP dan Puskesmas. Sedangkan indikator pelayanan
satu atap, pengurusan IMB dan pembuatan sertifikat tanah masih belum menunjukkan
level yang memuaskan bagi masyarakat di DKI Jakarta.
Untuk itu di rekomendasikan perbaikan dan reformasi administrasi di lingkungan Pemprov
DKI Jakarta untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik dan penerapan secara ketat
standar pelayanan minimum.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 95
Sumber Daya Manusia
Capaian indeks pembangunan manusia baik di tingkat Provinsi DKI maupun di tingkat
nasional, menunjukkan peningkatan yang stabil. Hal ini menunjukkan meningkatnya
relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan. Untuk itu rekomendasi bagi
strategi dalam mewujudkan sasaran dan tujuan sebagaimana ditetapkan dalam RPJM,
perlu terus dilanjutkan dan dipertahankan, karena memang sudah relevan dan efektif.
Sedangkan untuk indikator partisipasi sekolah SD/MI, rata-rata Nilai Akhir (SMP dan
SMA), angka putus sekolah dan persentase guru yang layak mengajar secara umum lebih
tinggi dari rata-rata tingkat nasional walaupun ada beberapa indiator yang mempunyai
trend naik-turun dari tahu ke tahun. Namun sebagian besar indikator dapat dikatakan
efektif untuk menunjang pembangunan bidang pendidikan.
Rekomendasi yang ditawarkan antara lain: memperbaiki mekanisme pendidikan gratis
terutama dalam wajib belajar 9 tahun; kebijakan pemerintah yang memberikan anggaran
pendidikan yang memadai, yang didukung oleh sistem pembiayaan yang adil, efisien,
efektif , transparan dan akuntabel; peningkatan daya tampung sekolah; sosialisasi kepada
masyarakat agar berorientasi kepada pendidikan untuk meningkatkan taraf hidup; terakhir
adalah pendidikan dan latihan di lingkungan instansi tenaga pendidik dengan memberikan
bantuan dana yang memadai, sehingga para tenaga pendidik dapat menjalankan
tugasnya dengan baik.
Pembangunan Ekonomi
Kinerja pembangunan ekonomi DKI Jakarta terlihat lebih baik dibandingkan kinerja
pembangunan ekonomi nasional sejak tahun 2006, namun dengan tingkat perkembangan
yang berfluktuasi dari tahun ke tahun. Tahun yang terlihat mengalami tekanan adalah
tahun 2006 dan 2008. Terjadinya fluktuasi tingkat pembangunan ini—terutama di tahun
2006 dan 2008—menandakan bahwa pembangunan di DKI Jakarta, dan juga Indonesia
secara keseluruhan, sangat terpengaruh oleh adanya tekanan kenaikan harga minyak di
akhir tahun 2005 dan adanya tekanan krisis global yang terjadi di akhir tahun 2009.
DKI Jakarta merupakan daerah yang masih memiliki persoalan dengan realisasi investasi
PMDN. Dalam kurun waktu 2004-2008 terlihat adanya penurunan kontribusi DKI Jakarta
terhadap pembentukan PMDN nasional, serta penurunan peringkat nilai realisasi investasi
PMDN relatif terhadap daerah lain di Indonesia. Kedua hal ini menandakan bahwa di
mata investor dalam negeri, daya saing DKI Jakarta relatif lebih rendah dibandingkan
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 96
dengan daerah lainnya di Indonesia sehingga proporsi realisasi investasi PMDN di DKI
Jakarta pun cendrung mengalami penurunan. Adanya keterbatasan ruang DKI Jakarta
(yang berimplikasi pada mahalnya biaya tanah di Jakarta) memang menjadi faktor
penyebabnya. Namun ditengah keterbatasan ruang ini, investor masih berkepentingan
untuk berlokasi dekat dengan Jakarta karena keberadaan infrastruktur yang memadai di
daerah ini. Alhasil, daerah yang menjadi pilihan sehingga akhirnya daerah yang menjadi
sasaran investasi adalah daerah di sekitar DKI Jakarta. Mengamati fenomena ini, hal
yang perlu dilakukan pemerintah DKI Jakarta adalah menjalin kerjasama yang baik
dengan daerah-daerah yang berada di sekitar Jakarta agar pembangunan DKI Jakarta
dan daerah sekitarnya dapat berlangsung dengan saling mendukung. Salah satu upaya
yang perlu dilakukan adalah dengan mengoptimalkan peran BKSP (Badan Kerjasama
Pembangunan) Jabodetabekpunjur. Jalinan kerjasama yang baik antar daerah ini pun
sebenarnya juga diperlukan untuk relokasi industri DKI Jakarta. DKI Jakarta yang kini
diorientasikan sebagai pusat jasa dan industri non polutan perlu merelokasi industrinya
ke daerah sekitar Jakarta sehingga kerjasama antar daerah mutlak diperlukan.
Untuk sub-indikator lain seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, kontribusi ekspor terhadap
pembentukan PDRB DKI Jakarta, pendapatan per kapita DKI Jakarta, tingkat inflasi, dan
realisasi investasi PMA, perkembangannya relatif lebih unggul dibandingkan daerah
lainnya di Indonesia. agar sustainabilitas perkembangan sub-indikator ini dapat
berlangsung secara berkelanjutan, pemerintah perlu untuk menjaga iklim investasi DKI
Jakarta untuk menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi, ekspor, dan investasi asing.
Disamping itu, pemerintah juga perlu menjaga tingkat inflasi agar daya beli masyarakat
dan daya saing DKI Jakarta dapat terdorong.
Sedangkan untuk transportasi darat, pertumbuhan jaringan jalan di DKI Jakarta tidak
sebanding dengan pertumbuhan kendaraan yang ada. Apabila pertumbuhan kendaraan
pribadi tidak diimbangi dengan penyediaan jalan akan menimbulkan dampak kemacetan
yang sangat parah, ironisnya wilayah pengembangan jaringan jalan di DKI Jakarta sudah
terbatas. Oleh karena itu, perlu dicari solusi yang efektif untuk jangka panjang, menegah
dan jangka pendek untuk memecahkan masalah tersebut agar tujuan transportasi untuk
memindahkan penumpang/barang ke suatu tempat secepat mungkin dan dengan harga
yang ekonomis tersebut dapat tercapai. Namun dengan melihat kondisi penduduk di
wilayah DKI Jakarta yang sangat padat hingga mencapai 9,06 juta jiwa pada tahun 2007
dan keterbatasan jaringan jalan, salah satunya solusi jangka pendek yaitu dengan strategi
TDM (Transport Demand Management) yakni aplikasi strategi dan kebijakan dalam
rangka mengatur perilaku pengendara melalui pengurangan permintaan perjalanan
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 97
kendaran pribadi ataupun mendistribusikan permintaan perjalanan tersebut dalam konsep
ruang dan waktu. Solusi untuk jangka panjang dan menengah yaitu dengan penerapan
sistem operasi transportasi yang efesien dengan penerapan angkutan umum massal
(public transport) yang mempunyai kapasitas angkut besar dalam 1 (satu) unit.
Untuk air bersih, cakupan pelayanan air bersih oleh Pemerintah Daerah belum dapat
mencapai 100 %. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya jumlah pengguna air tanah.
Asumsi yang digunakan adalah semakin tinggi permintaan untuk menggunakan air tanah
maka semakin buruknya pelayanan penyediaan air bersih oleh Pemerintah Daerah dilihat
berdasarkan kuantitasnya. Eksploitasi berlebihan terhadap air tanah akan membuat
permukaan air tanah menjadi turun, sehingga akan menyebabkan terjadinya rongga yang
berpotensi menyebabkan turunnya permukaan tanah. Turunnya permukaan tanah
ditambah naiknya permukaan air laut akibat efek pemanasan global bahkan dapat
menenggelamkan sebagian wilayah DKI. Rekomendasi yang diusulkan adalah (1)
melakukan pembatasan jumlah sumur air tanah dan volume air yang dipompakan; dan (2)
meningkatkan tingkat penyediaan air bersih. Pemerintah Daerah sampai saat ini telah
menaikkan tarif air tanah yang dikomersialisasikan tetapi solusi ini belum efektif untuk
menekan besarnya volume penggunaan air tanah. Hal lain yang perlu dilakukan para
operator penyedia air minum adalah mereduksi tingkat kebocoran yang selama ini
menjadi hambatan bagi operator untuk meningkatkan debit distribusi air bersih ke
masyarakat.
Kesejahteraan Sosial-Ekonomi
DKI Jakarta dapat dikatakan sebagai salah satu daerah yang berhasil menjaga tingkat
kemiskinan jauh di bawah tingkat kemiskinan nasional. Namun untuk penanganan
pengangguran, DKI Jakarta masih memiliki persoalan. Hal ini teramati dari selalu lebih
tingginya tingkat pengangguran DKI Jakarta terhadap tingkat pengangguran nasional.
Tren pengangguran DKI Jakarta memang mengalami penurunan sejak tahun 2005,
namun tingkat penurunannya masih belum mampu mengejar penurunan tingkat
pengangguran yang terjadi di tingkat nasional. Disamping itu indikator kesejahteraan
sosial di bidang anak, lansia dan rehabilitasi sosial menunjukkan masih belum
tertanggulanginya PMKS di DKI Jakarta. Hal ini juga perlu dipahami bahwa sebagai
Ibukota negara, DKI Jakarta menjadi `magnet` bagi penduduk yang berdomisili di luar DKI
Jakarta untuk datang, bekerja dan menetap. Sehingga mendorong peningkatan besaran
masalah PMKS.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 98
Dari berbagai data yang ada, hal yang perlu didorong oleh pemerintah untuk menangani
persoalan pengangguran ini adalah mengoptimalkan keberadaan lembaga pelatihan dan
SMK di DKI Jakarta agar DKI Jakarta memiliki angkatan kerja yang terampil. Disamping
itu, hal yang perlu dijembatani pemerintah pula adalah memperkuat hubungan antara
sekolah/lembaga pendidikan dengan dunia usaha, agar tenaga terampil yang telah
berhasil dimiliki dapat langsung disalurkan ke dunia kerja.
Sementara itu untuk bidang sosial, DKI Jakarta haruslah menempatkan penanganan
PMKS anak, sosial dan rehabilitasi sosial sebagai salah satu program prioritas. Karena
peningkatan kesejahteraan ekonomi tidak akan berdampak secara signifikan kepada
kesejahteraan masyarakat tanpa disertai peningkatan quality of life dari penduduknya.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan DKI Jakarta mengatasi PMKS adalah
dengan melibatkan atau melakukan kerjasama dengan berbagai pihak seperti dunia
usaha dan masyarakat sipil untuk mengatasi permasalahan sosial yang ada.
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 99
Daftar Grafik
Grafik 1. Persepsi Terhadap Pelayanan KTP di Kelurahan Grafik 2. Persepsi Terhadap Jangka Waktu Pengurusan KTP di Kelurahan Grafik 3. Persepsi Terhadap Biaya Pengurusan KTP di Kelurahan Grafik 4. Persepsi Terhadap Pelayanan Puskesmas Grafik 5. Persepsi Terhadap Biaya Pengobatan Grafik 6. Persepsi Terhadap Lama Waktu Pelayanan Puskesmas Grafik 7. Persepsi Terhadap Pelayanan Pemakaman Umum Grafik 8. Persepsi Terhadap Lama Pengurusan Pemakaman Grafik 9. Persepsi Terhadap Biaya Pemakaman Umum Grafik 10. Persepsi Terhadap Pelayanan Pengurusan IMB Grafik 11. Persepsi Terhadap Lama Waktu Pengurusan IMB Grafik 12. Persepsi Terhadap Biaya Pengurusan Pembuatan IMB Grafik 13. Persepsi Terhadap Pihak Ketiga Pengurusan Pembuatan IMB Grafik 14. Persepsi Terhadap Pelayanan Pembuatan Sertifikasi Tanah Grafik 15. Persepsi Terhadap Lama Waktu Pembuatan Sertifikasi Tanah Grafik 16. Persepsi Terhadap Biaya Pengurusan Pembuatan Sertifikasi Tanah Grafik 17. Indeks Pembangunan Manusia Provinsi DKI Dan Nasional Grafik 18. Angka Partisipasi Sekolah DKI dan Nasional Grafik 19. Angka Melek Aksara 15 tahun ke atas DKI dan Nasional Grafik 20. Rata-Rata Nilai Akhir SMP DKI dan Nasional Grafik 21. Rata-Rata Nilai Akhir SMP DKI dan Nasional Grafik 22. Angka Putus Sekolah DKI dan Nasional Grafik 23. Angka Putus Sekolah SMP DKI dan Nasional Grafik 24. Angka Putus Sekolah SMA DKI dan Nasional Grafik 25. Presentase Guru yang Layak Mengajar SMP DKI dan Nasional Grafik 26. Presentase Guru yang Layak Mengajar SMA DKI dan Nasional Grafik 27. Peserta KB Aktif Periode 2004-2009 Grafik 28. Angka Harapan Hidup Waktu Lahir Periode 2004-2009 Grafik 29. Angka Kematian Bayi Periode 2004-2009 Grafik 30. Angka Kematian Ibu Periode 2004-2009 Grafik 31. Prevalensi Balita Gizi Buruk Periode 2004-2009 Grafik 32. Prevalensi Balita Gizi Buruk Periode 2004-2009 Grafik 33. Perkembangan Kondisi Ekonomi Makro DKI Jakarta dan Nasional, 2004-2009 Grafik 34. Perkembangan Kondisi Investasi DKI Jakarta dan Nasional Grafik 35. Perkembangan Indikator Pembangunan Ekonomi DKI Jakarta dan Nasional Grafik 36. Perkembangan Nilai PDRB Riil dan PDRB Nominal, dan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta, Tahun 2008-2009 Grafik 37. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil Pendekatan Pengeluaran Tahun 2007 Grafik 38. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil Pendekatan Sektoral Tahun 2007 Grafik 39. Laju Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional, Tahun 2004-2009 Grafik 40. Komposisi Ekspor Berdasarkan Komoditas Grafik 41. Komposisi Ekspor Berdasarkan Kawasan Tujuan Ekspor Grafik 42. Nilai Ekspor dan Impor DKI Jakarta, Tahun 2004-2008 (Triliun Rupiah) Grafik 43. Kontribusi Sektor Manufaktur DKI Jakarta dan Nasional Grafik 44. Pendapatan Per Kapita DKI Jakarta dan Nasional Grafik 45. Perkembangan Inflasi DKI Jakarta dan Inflasi Nasional 2004-2008 Grafik 46. Daya Serap Tenaga Kerja Investasi PMDN, 2004-2008
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 100
Grafik 47. Jumlah Izin Usaha Tetap dan Nilai Realisasi Investasi PMA DKI Jakarta 2004-2009 Grafik 48. Kontribusi PMA DKI Jakarta terhadap Pembentukan PMA Nasional Grafik 49. Daya Serap Tenaga Kerja Investasi PMDN, 2004-2008 Grafik 50. Jumlah Kendaraan Bermotor yang Terdaftar menurut Jenisnya selama 2003 – 2007 di Wilayah DKI
Jakarta dan Prediksi untuk tahun 2008 - 2010 Grafik 51. Total Jumlah Penumpang Transjakarta di semua Koridor Grafik 52. Jumlah Penumpang Transjakarta di setiap Koridor Grafik 53. Perkembangan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi DKI Jakarta dan Nasional Grafik 54. Tingkat Kemiskinan DKI Jakarta dan Nasional Grafik 55. Tingkat Pengangguran dan Tingkat Bekerja DKI Jakarta Tahun 2004-2009 Grafik 56. Tingkat Pengangguran Terbuka Nasional dan DKI Jakarta Grafik 57. Persentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Anak Nasional dan DKI Jakarta Grafik 58. Persentase Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Lanjut Usia Nasional dan DKI Jakarta Grafik 59. Persentase Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Nasional dan DKI Jakarta
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 101
Daftar Tabel Tabel 1. Nilai Integritas 10 Pemerintah Provinsi Tahun 2009 Tabel 2. Persentase Jumlah Aparat Yang Berijazah Minimal S1 Tabel 3. Data Kualitas SDM Bidang Pendidikan di Wilayah DKI Jakarta Periode 2004-2009 Tabel 4. Data Kualitas SDM Bidang Pendidikan Nasional Periode 2004-2009 Tabel 5. Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap 100.000 Penduduk Tabel 6. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil dengan Pendekatan Pengeluaran, Tahun 2005-2008 Tabel 7. Pertumbuhan Komponen PDRB Riil Pendekatan Sektoral, Tahun 2004-2008 Tabel 8. Ekspor melalui Jakarta dan Ekspor Produk Jakarta Tabel 9. Kontribusi Komponen PDRB DKI Jakarta dengan Pendekatan Pengeluaran, Tahun 2004-2009 Tabel 10. Tingkat Inflasi DKI Jakarta menurut Tujuh Kelompok Komoditas dalam Periode 2004-2008 Tabel 11. Tingkat Inflasi Nasional menurut Tujuh Kelompok Komoditas dalam Periode 2004-2008 Tabel 12. Jumlah Izin Usaha Tetap dan Nilai Realisasi Investasi PMDN DKI Jakarta 2004- 2009 Tabel 13. Perkembangan Realisasi Investasi PMDN DKI Jakarta dan Jawa Barat Tabel 14. Nilai Realisasi Investasi PMA di Pulau Jawa (US$ Juta), Tahun 2004-2008 Tabel 15. Panjang Jalan menurut Kota Administrasi berdasarkan Jenis Jalan tahun 2007 Tabel 16. Luas Jalan menurut Kota Administrasi berdasarkan Jenis Jalan tahun 2007 Tabel 17. Panjang Jalan menurut Jenis dan Status Jalan selama tahun 2005 - 2007 Tabel 18. Luas Jalan menurut Jenis dan Status Jalan selama tahun 2005 – 2007 Tabel 19. Jumlah Kecelakaan Lalulintas di Provinsi DKI Jakarta Tabel 20. Prosentase Korban Kecelakaan Lalulintas berdasarkan dampak Keparahanya di DKI Jakarta Tabel 21. Jumlah Penduduk dan Prediksi Kebutuhan Air DKI Jakarta Tabel 22. Kemiskinan Provinsi DKI Jakarta Periode 2004-2008 Tabel 23. Penduduk Usia Kerja DKI Jakarta Tahun 2004-2009 Tabel 24. Angkatan Kerja yang Bekerja Provinsi DKI Jakarta menurut Status Pekerjaan Utama Tabel 25. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu menurut Sektor
Ekonomi
LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009 | 102
Daftar Gambar Gambar 1. Pola Jaringan Jalan DKI Jakarta Gambar 2. Rencana Jaringan transportasi Jakarta Gambar 3. Jaringan Utama pendukung Bandara Soekarno Hatta Gambar 4. Jaringan Utama Pendukung Pelabuhan Laut Tg. Priok Gambar 5. Jaringan Utama Pendukung Terminal -Terminal Utama AntarKota