laporan akhir anjak ta -...

150
LAPORAN AKHIR ANJAK TA.2013 ESTIMASI PARAMETER PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PANGAN STRATEGIS DI INDONESIA Oleh: Adang Agustian Supena Friyatno Nur Khoiriyah Agustin Supadi Adreng Purwoto PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

Upload: dinhkhanh

Post on 28-Aug-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN AKHIR ANJAK TA.2013

ESTIMASI PARAMETER PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PANGAN

STRATEGIS DI INDONESIA

Oleh:

Adang Agustian Supena Friyatno

Nur Khoiriyah Agustin Supadi

Adreng Purwoto

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN

PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN

2013

ix

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pendahuluan

1) Upaya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu peran strategis

pertanian, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan laju

pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi beras yang masih tinggi.

Berdasarkan kondisi tersebut, selama lima tahun ke depan, Kementerian

Pertanian menempatkan beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula sebagai

lima komoditas pangan utama. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan

utama tersebut, target Kementerian Pertanian selama 2010-2014 adalah

pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan.

2) Pengembangan komoditas pertanian khususnya pangan strategis memerlukan

pemahaman tentang prospek pasar, kemampuan sumberdaya dan potensi

teknologi. Ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan akan

mempengaruhi harga dan profitabilitas, sehingga memerlukan kebijakan

intervensi dan perencanaan untuk menghadapi keadaan tersebut. Analisis dan

proyeksi permintaan dan penawaran akan sangat relevan untuk membuat

kebijakan perencanaan. Prospek permintaan dan penawaran pangan menjadi

indikator penting dalam bidang ketahanan pangan. Dalam konteks demikian,

tentu keberhasilan pembangunan ketahanan pangan sangat ditentukan oleh

kualitas perencanaan pembangunan produksi pertanian.

3) Kualitas pembangunan produksi pertanian itu sendiri sangat ditentukan oleh

akurasi data yang tersedia. Dengan perencanaan pembangunan produksi

pertanian pangan yang lebih berkualitas diharapkan ketahanan pangan

nasional akan lebih kokoh, sehingga impor pangan, kerawanan pangan dan gizi

serta penurunan areal dan produktivitas tanaman pangan dapat dicegah dan

atau dieliminir. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini memiliki urgensi

penting untuk dilaksanakan.

4) Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi parameter dari

peubah-peubah yang mempengaruhi permintaan dan penawaran, melakukan

proyeksi permintaan dan penawaran, menganalisis prospek penawaran dalam

x

memenuhi permintaan, dan merumuskan saran kebijakan atas upaya

pemenuhan kebutuhan komoditas pangan strategis.

5) Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan

data sekunder. Data sekunder berupa data agregat time series selama peiode

tahun 1985-2012. Data ini akan digunakan untuk menduga fungsi permintaan

dan penawaran sejumlah komoditas pangan strategis. Pendugaan fungsi

permintaan dan penawaran sejumlah komoditas tersebut akan dilakukan

dengan pendekatan ekonometrika dengan metode persamaan simultan. Data

primer berupa data di tingkat propinsi yang mencakup informasi-informasi

terkait produksi, usahatani dan pengembangan komoditas pangan strategis.

Estimasi Parameter Permintaan dan Penawaran

6) Produksi komoditas tanaman pangan merupakan perkalian antara luas panen

dan produktivitas. Pada model luas panen untuk komoditas tanaman pangan

strategis (padi, jagung kedelai, dan gula tebu) nasional dipengaruhi oleh harga

komoditas pangan yang bersangkutan, harga komoditas pesaingnya, harga

input urea, upah tenaga kerja dan tingkat suku bunga pinjaman. Secara umum

dapat diketahui arah besaran peubah persamaan luas panen, yaitu untuk

beberapa peubah yang memiliki pengaruh positif terhadap luas panen adalah:

harga komoditas yang bersangkutan, waktu dan lag luas panen. Selanjutnya

beberapa peubah yang memiliki pengaruh negatif terhadap luas panen adalah:

harga komoditas pesaingnya, harga input urea, upah tenaga kerja dan suku

bunga. Pada komoditas beras, harga jagung dan upah tenaga kerja merupakan

dua peubah yang berpengaruh signifikan terhadap luas panen. Sementara itu,

pada komoditas jagung, peubah harga jagung, harga kedelai dan harga input

urea berpengaruh signifikan terhadap luas panen jagung. Untuk komoditas

kedelai, hanya peubah lag luas panen yang berpengaruh signifikan terhadap

luas panen. Selanjutnya pada komoditas gula, peubah harga input urea dan lag

luas panen berpengaruh signifikan terhadap luas panen.

7) Pada model produktivitas komoditas tanaman pangan strategis (padi, jagung

kedelai, dan gula tebu) nasional dipengaruhi oleh harga komoditas pangan

xi

yang bersangkutan, harga input urea, upah tenaga kerja dan peubah waktu

(sebagai proksi dari teknologi). Secara umum dapat diketahui arah besaran

peubah persamaan produktivitas, yaitu untuk beberapa peubah yang memiliki

pengaruh positif terhadap produktivitas adalah: harga komoditas yang

bersangkutan, waktu dan lag produktivitas. Selanjutnya beberapa peubah yang

memiliki pengaruh negatif terhadap produktivitas adalah: harga input urea dan

upah tenaga kerja. Pada komoditas beras dan jagung, peubah upah tenaga

kerja dan lag produktivitas masing-masing merupakan dua peubah yang

signifikan berpengaruh terhadap produktivitas. Untuk komoditas kedelai dan

gula tebu ternyata hanya peubah waktu yang merupakan proksi dari teknologi

berpengaruh signifikan terhadap produktivitas.

8) Pada model ternak sapi, khususnya pada persamaan populasi ternak sapi

bahwa populasi ternak sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi, permintaan

daging sapi, pendapatan/kapita dan jumlah penduduk. Bila dilihat arah

koefisien dari setiap peubah dapat diketahui bahwa seluruh peubah memiliki

pengaruh yang positif terhadap populasi ternak sapi. Artinya jika terdapat

peningkatan dari peubah-peubah tersebut, maka populasi ternak sapi akan

meningkat. Adapun pendapatan/kapita dan lag populasi ternak sapi merupakan

dua peubah yang berpengaruh signifikan terhadap populasi ternak sapi

nasional. Peubah lainnya pengaruhnya tidak signifikan terhadap populasi ternak

sapi.

9) Permintaan komoditas tanaman pangan strategis (padi, jagung kedelai, gula

dan daging sapi) nasional dipengaruhi oleh harga komoditas pangan yang

bersangkutan, harga komoditas pesaingnya, jumlah populasi/penduduk dan

pendapatan per kapita, dan lag permintaan. Pada komoditas beras, peubah

jumlah penduduk, pendapatan per kapita dan lag permintaan merupakan tiga

peubah yang signifikan berpengaruh terhadap permintaan. Sementara pada

komoditas jagung, selain peubah jumlah penduduk/populasi, peubah harga

beras dan populasi ternak unggas ras berpengaruh terhadap permintaan

jagung. Untuk komoditas kedelai, peubah harga kedelai berpengaruh signifikan

terhadap permintaan kedelai. Selanjutnya pada komoditas gula, hanya peubah

xii

pendapatan yang berpengaruh signifikan, sedangkan pada komoditas daging

sapi peubah jumlah penduduk dan lag permintaan berpengaruh signifikan

terhadap permintaan komoditas tersebut.

Proyeksi Komoditas dan Prospek Penawaran dalam Pemenuhan Permintaan

10) Penawaran komoditas tanaman pangan strategis nasional secara umum

dipengaruhi oleh situasi produksi tanaman pangan utama, stock, impor dan

lainnya (tercecer dan kebutuhan untuk penggunaan lainnya). Secara rata-rata

(1985-2012), untuk komoditas beras tampaknya produksi beras nasional masih

berada diatas permintaannya. Untuk komoditas jagung, tampaknya produksi

jagung, kedelai dan gula tebu dibawah permintaannya. Selanjutnya Untuk

komoditas daging sapi, produksinya hampir setara dengan permintaannya.

11) Berdasarkan data hasil proyeksi untuk komoditas padi/beras nasional, bahwa

diketahui untuk surplus beras nasional sejak tahun 2014 telah melampaui

diatas 10 juta ton (sesuai target pemerintah). Hal ini tentunya patut

dipertahankan dan bahkan dapat terus ditingkatkan lagi sesuai dengan

proyeksi yang diharapkan. Untuk komoditas jagung, berdasarkan data hasil

proyeksi, ternyata defisit produksi jagung kecenderungannya akan tetap tinggi

hingga tahun 2025. Untuk menutupi defisit tersebut maka impor jagung akan

masih tetap tinggi, dan bahkan untuk kedelai lebih tinggi lagi. Untuk itu,

diperlukan terobosan kebijakan peningkatan produksi jagung dan kedelai

nasional baik melalui peningkatan teknologi budidaya maupun perluasan areal

pertanaman jagung.

12) Untuk kondisi produksi gula nasional dimana defisit gula nasional mulai dari

tahun 2015 hingga 2025 terus tetap besar. Untuk menutupi defisit tersebut

maka impor gula tebu akan masih tetap tinggi. Untuk itu, diperlukan terobosan

kebijakan peningkatan produksi gula tebu nasional baik melalui peningkatan

teknologi budidaya maupun perluasan areal pertanaman tebu nasional. Hal

yang sama juga terjadi pada kondisi daging sapi, dimana defisit produksinya

juga tetap tinggi hingga tahun 2025. Untuk itu, diperlukan terobosan kebijakan

xiii

peningkatan produksi daging sapi nasional baik melalui peningkatan populasi

sapi potong nasional dengan dukungan program peningkatan populasi dan

pembibitan sapi nasional.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Kesimpulan

13) Secara spesifik upaya pemenuhan komoditas pangan strategis nasional

terutama Padi/Beras dilakukan dengan program Peningkatan Produksi Beras

Nasional (P2BN) dalam mendukung mendukung target nasional surplus 10 juta

ton. Dalam rangka peningkatan produksi padi/beras nasional, terdapat dua

komponen utama yang menentukan yaitu luas panen dan produktivitas.

Pertumbuhan luas panen dipengaruhi oleh perubahan indeks pertanaman,

pembukaan lahan (sawah) baru dan konversi lahan dari lahan pertanian

menjadi non-pertanian. Sementara pertumbuhan produktivitas merupakan

cerminan dari perbaikan penerapan teknologi budidaya di tingkat petani.

14) Untuk peningkatan produksi jagung bisa ditempuh melalui intensifikasi dan

ekstensifikasi. Upaya intensifikasi dilakukan melalui penggunaan benih

bermutu, serta pengolahan lahan dan pemupukan yang memadai. Dalam

rangka meningkatkan produksi jagung nasional telah dikembangkan teknologi

produksi jagung hibrida. Namun realisasi pengembangan jagung hibrida sampai

tahun 2009 baru mencapai 50 persen. Selanjutnya upaya ekstensifikasi bisa

dilakukan dengan memanfaatkan lahan kering yang masih potensial tetapi

belum digarap secara optimal.

15) Peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan dengan peningkatan

produktivitas dan peningkatan areal tanam. Produktivitas kedelai nasional

masih rendah, untuk itu peningkatan produktivitas kedelai dapat dilakukan

dengan penggunaan varietas unggul. Selain itu, peningkatan produksi kedelai

dapat dilakukan dengan menambah areal tanam, terutma pada lahan-lahan

yang pemanfaatannya masih belum optimal.

16) Kebijakan yang dapat ditempuh untuk peningkatan produksi gula nasional

adalah: (1) perlu adanya penerapan tarif impor gula mentah yang disesuaikan

xiv

dengan harga pokok produksi gula kristal dalam negeri, (2) Stabilisasi harga

gula konsumsi di tingkat konsumen, agar tidak menjadi salah satu faktor

pendorong inflasi, (3) Untuk menjaga stabilitas harga gula petani, perlu

dicegah rembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi, dan (4) Untuk

mencegah kenaikan harga gula yang menimbulkan inflasi, diperlukan kebijakan

stabilisasi harga di dua tingkatan, yaitu stabilisasi harga di tingkat pasar lelang

gula pada petani tebu dan stabilisasi harga di tingkat pasar konsumsi gula

kristal.

17) Pemerintah terus meningkatkan populasi sapi dan berupaya meminimalisir

impor daging sapi dan sapi hidup nasional. Upaya peningkatan populasi sapi

lokal dilakukan dengan memperkuat pembibitan ternak unggul, teknologi

budidaya, teknologi pakan, perawatan kesehatan hewan, penanganan pasca

panen dan veteriner. lndonesia mempunyai peluang untuk pengembangan

ternak sapi, hal ini terlihat dari potensi komparatif yang dimiliki mulai dari

sumber daya alam, sumber pakan, iklim, dan topografi serta sumber daya

manusia untuk pengembangan ternak sapi.

Implikasi Kebijakan

18) Secara umum bahwa upaya peningkatan produksi tanaman pangan (padi,

jagung dan kedelai) masih berprospek ditingkatkan lagi untuk memenuhi

permintaan komoditas pangan yang semakin meningkat. Secara umum upaya

peningkatan produksi tanaman pangan nasional dapat dilakukan dengan 4

strategi utama, yaitu: (1) Peningkatan Produktivitas; (2) Perluasan areal

tanam; (3) Pengamanan Produksi; dan (4) Penguatan Kelembagaan petani.

19) Beberapa strategi penting untuk menjamin keberhasilan peningkatan produksi

pangan nasional yaitu: (1) Perbaikan Harga jual hasil panen petani, (2)

Pemanfaatan Potensi Lahan, pemanfaatan potensi lahan yang tersedia untuk

perluasan areal tanam, (3) Intensifikasi Pertanaman, dan (4) Perbaikan Proses

Produksi, proses produksi yang mampu memberikan produktivitas tinggi,

efisien, dan berkelanjutan.

xv

20) Upaya peningkatan permintaan daging sapi dalam negeri merupakan peluang

dan sekaligus tantangan bagi usaha peternakan dalam negeri. Peluangnya

yaitu berupa masih terbukanya pasar domestik yang luas, sedangkan

tantangannya adalah produk daging impor akan sangat mudah untuk masuk ke

pasar domestik. Untuk itu, upaya peningkatan produksi daging sapi nasional

memiliki urgensi penting untuk terus diintensifkan.

xvi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii

EXECUTIVE SUMMARY......................................................................... ....... iii

RINGKASAN EKSEKUTIF .............................................................................. ix

DAFTAR ISI ................................................................................................ xvi

DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvii

I. PENDAHULAUN ................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 2 1.3. Jastifikasi .................................................................................... 6

1.4. Tujuan Penelitian ......................................................................... 8 1.5. Keluaran yang Diharapkan ........................................................... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 9

2.1. Latar Belakang ............................................................................. 9

2.2. Hasil-Hasil penelitian Terkait ......................................................... 11

III. METODOLOGI ..................................................................................... 14

2.1. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 14 2.2. Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 19

2.3. Lokasi Penelitian dan Responden ................................................... 19 2.4. Data dan Metode Analisis .............................................................. 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 30

4.1. Kinerja Penawaran Komoditas Pangan Strategis Nasional ................ 31

4.2. Permintaan Komoditas Pangan ...................................................... 43 4.3. Ekspor Impor Komoditas Pangan ................................................... 54

4.4. Studi Kasus Lokasi Provinsi Jawa Barat .......................................... 66 4.5. Estimasi Parameter Permintaan dan Penawaran ............................. 80

4.6. Proyeksi Permintaan dan Penawaran ............................................. 127

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ............................................ 131

5.1. Kesimpulan .................................................................................. 131 5.2. Implikasi kebijakan ....................................................................... 135

DAFTAR PUSTAKA

xvii

DAFTAR TABEL

No Tabel Teks Halaman

3.1. Daftar Risiko dan Penanggulangannya .................................................... 29

4.1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di

Indonesia, 1980-2012. .......................................................................... 32

4.2. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di

Indonesia, 1980-2012. .......................................................................... 34

4.3. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedele di

Indonesia, 1980-2012. .......................................................................... 36

4.4. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Gula Tebu

Di Indonesia, 1980-2012. ...................................................................... 40

4.5. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Ternak Sapi

Di Indonesia, 1980-2012. ...................................................................... 43

4.6. Konsumsi Beras per Kapita Nasional dan Jumlah Penduduk,

1980-2012. ........................................................................................... 46

4.7. Perkembangan Konsumsi Perkapita (Kg/kap/tahun) dan Konsumsi

Total Jagung Nasional (Ton), 1980-2012. ............................................... 48

4.8. Konsumsi per kapita, Jumlah Penduduk dan Konsumsi Kedelai

Nasional,1980-2012. ............................................................................. 50

4.9. Perkembangan Konsumsi Perkapita (Kg/kap/tahun) dan Konsumsi

Total Gula Tebu Nasional,1980-2012. ..................................................... 51

4.10. Konsumsi Daging Sapi per Kapita dan Nasional, 1980-2012. ................... 54

4.11. Perkembangan Ekspor dan Impor Beras di Indonesia, 1980-2012. .......... 56

4.12. Perkembangan Ekspor dan Impor Jagung di Indonesia, 1980-2012. ........ 58

4.13. Perkembangan Ekspor dan Impor Kedele di Indonesia, 1980-2012. ......... 60

4.14. Perkembangan Ekspor dan Impor Gula di Indonesia, 1980-2012. ............ 63

4.15. Perkembangan Ekspor dan Impor Daging Sapi Nasional, 1980-2012. ....... 65

xviii

4.16. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di

Jawa Barat, 2008-2012. ......................................................................... 67

4.17. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung di

Jawa Barat, 2008-2012. ......................................................................... 69

4.18. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedele di

Jawa Barat, 2008-2012. ......................................................................... 70

4.19. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Tebu di

Jawa Barat, 2008-2012. ......................................................................... 73

4.20. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Ternak Sapi

Di Jawa Barat, 2008-2012..................................................................... 79

4.21. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Padi di Indonesia..... 81

4.22. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Padi di Indonesia.... 83

4.23. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Beras di Indonesia.... 86

4.24. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Beras di Indonesia........... 87

4.25. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Beras di Indonesia........... 89

4.26. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Jagung di Indonesia.. 90

4.27. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Jagung di Indonesia. 93

4.28. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Jagung di Indonesia......... 95

4.29. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Jagung di Indonesia. 97

4.30. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Jagung di Indonesia......... 98

4.31. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Kedelai di Indonesia. 100

4.32. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Kedelai di Indonesia. 102

4.33. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Kedelai di Indonesia.... 103

4.34. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Kedelai di Indonesia.......... 105

4.35. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Kedelai di Indonesia......... 107

4.36. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Tebu di Indonesia..... 108

4.37. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Tebu di Indonesia... 110

4.38. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Tebu di Indonesia..... 112

4.39. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Gula di Indonesia.............. 114

4.40. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Gula di Indonesia............. 115

xix

4.41. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Daging Sapi di

Indonesia...................................................................................... 116

4.42. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Daging Sapi di Indonesia.. 118

4.43. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Daging Sapi di Indonesia.. 120

4.44. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Populasi Ternak Sapi di Indonesia. 122

4.45. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Padi di Indonesia,

2014-2025...................................................................................... 123

4.46. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Jagung di Indonesia,

2014-2025...................................................................................... 124

4.47. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Kedelai di Indonesia,

2014-2025...................................................................................... 125

4.48. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Tebu/Gula di Indonesia,

2014-2025.................................................................................... 126

4.49. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Ternak/Daging Sapi

di Indonesia, 2014-2025................................................................. 127

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada RPJMN tahap ke-2 (2010-2014), pembangunan pertanian tetap memegang

peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut

ditunjukkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan kapital, penyediaan

bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bio-energi, penyerap tenaga kerja,

sumber devisa negara, dan sumber pendapatan, serta pelestarian lingkungan melalui

praktek usahatani yang ramah lingkungan.

Upaya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu peran strategis

pertanian, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar pada tahun 2011 yaitu

241 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen per tahun dan

tingkat konsumsi beras 113,48 Kg/kapita/tahun. Berdasarkan kondisi tersebut, selama

lima tahun ke depan, Kementerian Pertanian menempatkan beras, jagung, kedelai,

daging sapi dan gula sebagai lima komoditas pangan utama (Renstra Kementan, 2010).

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan utama tersebut, target Kementerian

Pertanian selama 2010-2014 adalah pencapaian swasembada dan swasembada

berkelanjutan. Pencapaian swasembada ditujukan untuk kedelai, daging sapi dan gula

dengan target sasaran produksi adalah kedelai 2,70 juta ton, daging sapi 0,55 juta ton,

dan gula 5,7 juta ton pada tahun 2014. Karena padi dan jagung sudah pada posisi

swasembada, maka target pencapaian selama 2010-2014 adalah swasembada

berkelanjutan dengan sasaran produksi padi sebesar 75,7 juta ton GKG dan jagung 29

juta ton jagung pipilan kering pada tahun 2014.

Kebutuhan komoditas tanaman pangan domestik mencakup untuk pemenuhan

konsumsi penduduk, kebutuhan industri dan kebutuhan lainnya (seperti dari untuk

komoditas jagung dan kedelai digunakan sebagai bahan baku pakan ternak). Adapun

sumber pangan terdiri dari produksi domestik dan impor. Untuk komoditas padi dan

jagung misalnya, selama periode 2000-2011 produksinya meningkat sebesar 2,66

persen dan 6,78 persen. Perkembangan tersebut bersumber dari pertumbuhan luas

2

panen dan produktivitas masing-masing sebesar 1,31 persen dan 1,35 persen untuk

padi, serta 2,18 persen dan 4,60 persen untuk jagung. Hal ini menunjukkan bahwa

perkembangan produksi padi dan jagung dalam sepuluh tahun terakhir masih lebih

dominan akibat perkembangan produktivitas. Sementara itu, produksi kedelai dalam

periode yang sama justru menurun 0,68 persen/ tahun. Penurunan produksi kedelai

disebabkan karena lambatnya peningkatan luas panennya yang hanya mencapai 1,02

persen/tahun, sedangkan produktivitasnya meningkat tipis sebesar 0,43 persen per

tahun. Untuk komoditas tebu (gula), produksinya masih menunjukkan peningkatan

sebesar 3,48 persen/tahun. Untuk daging sapi juga menunjukkan peningkatan 2,62

%/tahun sebagai akibat masih meningkatnya populasi sapi potong nasional sebesar

2,57 %/tahun.

Untuk komoditas jagung, bila disandingkan data produksi dan total kebutuhan

jagung nasional pada kurun waktu 2000- 2006 maka dapat diketahui bahwa produksi

jagung nasional masih dibawah total kebutuhan jagung nasional. Masih rendahnya

produksi jagung nasional, sementara kebutuhannya meningkat pesat menyebabkan

terjadinya ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan jagung. Oleh karena itu, untuk

mencukupi berbagai kebutuhan (untuk makanan atau konsumsi langsung, bahan baku

industri olahan dan terutama bahan baku pakan ternak) telah dilakukan impor jagung

pada kurun waktu tersebut dengan kisaran antara 226 ribu – 1.8 juta ton (FAO, 2009).

Pada tahun 2007, produksi jagung nasional sebesar 13.3 juta ton dan mulai berada

diatas total kebutuhan jagung nasional yang mencapai 12.5 juta ton. Kondisi ini juga

terjadi pada tahun 2008 dan 2009, dan impor jagung tetap dilakukan yaitu sebesar

sebesar 795 ribu ton pada tahun 2007 dan 300 ribu ton pada tahun 2009. Pada

perkembangan berikutnya, yaitu di akhir tahun 2011 impor jagung diperkirakan dapat

mencapai 2.5 juta ton (Kompas, 2011).

Untuk kedelai, kemampuan produksi dalam memenuhi kebutuhan domestik masih

rendah dan menurun pada periode 2000-2007. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan

domestik kedelai masih dilakukan impor (Hadi dan Susilowati, 2010). Perkembangan

luas panen kedelai cenderung berfluktuasinya sehingga perkembangan produksinya

3

lambat, sedangkan produktivitas kedelai nasional hanya sekitar 1.29 ton/ha (tahun

2007).

Berdasarkan fakta dan kondisi diatas, maka isu permintaan, ketersedian dan

produksi pangan utama saat ini terus mendapat perhatian intensif dari berbagai pihak,

karena beberapa alasan : (1) terdapatnya fenomena perubahan iklim yang

dikhawatirkan berpengaruh terhadap produksi pangan terutama padi nasional, (2)

semakin menurunnya stock komoditas pangan dunia, akibat negara produsen menahan

sebagian besar stok pangannya untuk tidak dijual ke pasar bebas, sehingga impor

pangan pun ke depan akan mengalami kendala signifikan, yaitu tingginya harga pangan

dunia dan juga stocknya terbatas, (3) program diversifikasi pangan yang saat ini masih

berat ke konsumsi beras masih belum berhasil dengan memuaskan, khusus untuk

konsumsi beras nasional tampaknya masih tinggi yaitu 113,48 kg/kap/tahun, (4) masih

terus berjalannya konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian, dimana

konversi lahan pertanian di Pulau Jawa dalam rentang 2007-2010 mencapai 600 ribu

hektar, (5) semakin meningkatnya harga input usahatani, yang berhadapan dengan

lemahnya permodalan petani kecil, dan (6) akselerasi program peningkatan produksi

pangan yang belum sepenuhnya mencapai target yang diharapkan, karena berbagai

kendala yang dihadapi.

Bahkan dalam lima tahun terakhir, telah terjadi peningkatan harga pangan dunia.

Kondisi harga-harga pangan diperkirakan akan terus meningkat di masa mendatang

seiring dengan perubahan iklim global. Momentum kenaikan harga pangan tersebut

selayaknya dapat menjadi pangkal tolak akan kebangkitan dan peningkatan produksi

komoditas pangan yang menjadi pilihan petani sebagai sumber pendapatan penting

dalam usaha taninya (Kompas, 2009).

Dengan menyikapi isu permintaan dan ketersediaan maka upaya peningkatan

produksi pangan perlu mendapat perhatian dengan intensitas yang lebih tinggi lagi.

Pembangunan pertanian secara umum ke depan menghadapi banyak tantangan yang

tidak mudah, antara lain bagaimana meningkatkan produktivitas dan nilai tambah

produk dengan sistem pertanian yang ramah lingkungan, membudayakan penggunaan

pupuk kimiawi dan organik secara berimbang untuk memperbaiki dan meningkatkan

4

kesuburan tanah, memperbaiki dan membangun infrastruktur lahan dan air serta

perbenihan dan perbibitan, membuka akses pembiayaan pertanian dengan suku bunga

rendah bagi petani/peternak kecil, mengupayakan pencapaian Millenium Development

Goals (MDG’s) yang mencakup angka kemiskinan, pengangguran, dan rawan pangan,

menciptakan kebijakan harga (pricing policies) yang proporsional untuk produk-produk

pertanian khusus, memperkuat kemampuan untuk bersaing di pasar global serta

mengatasi pelemahan pertumbuhan ekonomi akibat krisis global, memperbaiki citra

petani dan pertanian agar kembali diminati generasi penerus, memperkokoh

kelembagaan usaha ekonomi produktif di perdesaan, menciptakan sistem penyuluhan

pertanian yang efektif, dan memenuhi kebutuhan pangan, serta mengembangkan

komoditas unggulan nasional.

Untuk menghadapi tantangan tersebut tentu diperlukan berbagai informasi

mengenai kinerja penawaran dan prospeknya dalam memenuhi permintaan dalam

negeri. Kinerja penawaran (produksi dalam negeri) akan sangat ditentukan oleh respon

petani terhadap perubahan-perubahan yang ada, baik karena mekanisme pasar

maupun karena kebijakan pemerintah. Respon tersebut dapat direfleksikan oleh fungsi

respon areal tanam (di proksi oleh luas panen), respon produktivitas yang dipengaruhi

oleh penerapan teknologi produksi.

Oleh karena itu, pembangunan pertanian perlu didasarkan pada kekuatan pasar

dan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Pengembangan komoditas pertanian

memerlukan pemahaman tentang prospek pasar, kemampuan sumberdaya dan potensi

teknologi. Ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan akan mempengaruhi

harga dan profitabilitas, sehingga memerlukan kebijakan intervensi dan perencanaan

untuk menghadapi keadaan tersebut. Prospek permintaan dan penawaran pangan

menjadi indikator penting dalam bidang ketahanan pangan. Dalam konteks demikian,

tentu keberhasilan pembangunan ketahanan pangan sangat ditentukan oleh kualitas

perencanaan pembangunan produksi pertanian. Kualitas pembangunan produksi

pertanian itu sendiri sangat ditentukan oleh akurasi data yang tersedia. Salah satu data

yang dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan produksi pertanian adalah kondisi

permintaan dan penawaran komoditas pertanian dan proyeksinya kedepan.

5

Kajian penawaran dan permintaan komoditas pertanian telah banyak dilakukan,

dengan menggunakan berbagai model analisis, baik analisis trend maupun ekonometrik

(Simatupang, et.al, 1995; Sudaryanto, et.al, 1997; Sudaryanto, et.al, 1998; Sadra,

DK.S, et.al, 2000; Syafaat, et.al, 2005 dan Kustiari, et. al, 2009). Penelitian di tujukan

untuk memperoleh parameter-parameter tentang perubahan permintaan komoditas

pangan strategis akibat perubahan harga, pendapatan dan peubah lainnya, serta

memperoleh berbagai informasi terkait perilaku permintaan dan penawaran komoditas

pangan strategis, proyeksi penawaran dan permintaan komoditas, prospek penawaran

dalam memenuhi permintaan pangan strategis, dan saran kebijakan atas upaya

pemenuhan kebutuhan komoditas tanaman pangan strategis.

1.2. Perumusan Masalah

Pembangunan pertanian khususnya untuk komoditas pangan yang telah

dilaksanakan sampai saat ini, masih banyak persoalan mendasar yang harus dipecahkan

dan memerlukan penanganan yang cermat dan tepat, seperti meningkatnya kerusakan

lingkungan dan perubahan iklim global, terbatasnya ketersediaan infrastruktur, sarana

prasarana, lahan dan air, kecilnya status dan luas kepemilikan lahan, belum optimalnya

sistem perbenihan dan perbibitan nasional, terbatasnya akses petani terhadap

permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani, masih lemahnya kapasitas

kelembagaan petani dan penyuluh, masih rawannya ketahanan pangan dan energi,

belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, masih rendahnya nilai tukar petani

dan kurang harmonisnya koordinasi kerja antar sektor terkait pembangunan pertanian

(Renstra Kementan, 2010).

Ketersediaan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan, karena

pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi sumberdaya manusia suatu

bangsa. Oleh karena itu analisis dan dinamika neraca permintaan dan penawaran harus

selalu dicermati agar dapat dibuat perencanaan pembangunan pertanian yang lebih

baik dan berkualitas. Dalam upaya penyediaan pangan tersebut terdapat permasalahan

dan tantangan yang dihadapi seperti: (1) pertumbuhan produksi beberapa komoditas

pertanian seperti kedelai, jagung, dan daging tidak mampu mengejar pesatnya

6

permintaan, (2) pemerataan pembangunan belum sesuai harapan, (3) dalam era pasar

bebas komoditas pertanian dihadapkan pada persaingan yang makin ketat, (4) peran

swasta perlu diperluas dan swasta memerlukan informasi tentang status komoditas

pertanian yang memerlukan investasi. Pada era globalisasi, permasalahan tersebut

mempengaruhi dinamika penawaran dan permintaan komoditas pertanian di pasar

domestik dan pasar internasional. Oleh karena itu neraca permintaan dan penawaran

komoditas pertanian harus selalu dicermati agar dapat dibuat perencanaan

pembangunan pertanian yang responsif terhadap dinamika pasar.

Oleh karena penawaran dan permintaan komoditas pertanian dipengaruhi baik

oleh faktor ekonomi seperti harga komoditas bersangkutan, harga komoditas

substitusi/komplemen dan pendapatan masyarakat maupun faktor non-ekonomi seperti

selera dan teknologi maka dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan

ekonometrika dalam analisisnya. Analisis atas berbagai faktor yang mempengaruhi

permintaan dan penawaran, serta proyeksi permintaan dan penawaran komoditas

pertanian yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan akan menjadi basis bagi

perencanaan pembangunan produksi pertanian oleh masing-masing direktorat teknis

lingkup Kementerian Pertanian dalam rangka mendukung perwujudan ketahanan

pangan nasional yang lebih kokoh.

1.3. Jastifikasi

Sesusi Renstra Kementan (2010-2019) bahwa visi pembangunan pertanian yaitu

terwujudnya pertanian industrial unggul yang berbasis sumberdaya lokal untuk

meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor dan kesejahteraan

petani. Adapun arah pembangunan pertanian secara ringkas adalah: (1) Melanjutkan

dan memantapkan kegiatan tahun sebelumnya yang terbukti sangat baik kinerja dan

hasilnya, (2) Melanjutkan dan memperkuat kegiatan yang berorientasi pemberdayaan

masyarakat, (3) Pemantapan swasembada beras, jagung, daging ayam, telur, dan gula

konsumsi melalui peningkatan produksi yang berkelanjutan, (4) Pencapaian

swasembada kedelai, daging sapi, dan gula industry, (5) Peningkatan produksi susu

segar, buah lokal, dan produk-produk substitusi komoditas impor, (6) Peningkatan

7

kualitas dan kuantitas public goods melalui perbaikan dan pengembangan infrastruktur

pertanian, (7) Jaminan penguasaan lahan produktif, (8) Pembangunan sentra-sentra

pupuk organik berbasis kelompok tani, (9) Penguatan kelembagaan perbenihan dan

perbibitan nasional, (10) Pemberdayaan masyarakat petani miskin melalui bantuan

sarana,pelatihan, dan pendampingan, (11) Penguatan akses petani terhadap iptek,

pasar, dan permodalan bunga rendah, (12) Mendorong minat investasi pertanian dan

kemitraan usaha, (13) Pembangunan kawasan komoditas unggulan terpadu secara

vertical dan/atau horizontal, (14) Pengembangan bio-energi berbasis bahan baku lokal

terbarukan, (15) Pengembangan diversifikasi pangan dan pembangunan lumbung

pangan masyarakat untuk mengatasi rawan pangan dan stabilisasi harga di sentra

produksi, (16) Peningkatan keseimbangan ekosistem dan pengendalian hama penyakit

tumbuhan dan hewan secara terpadu, (17) Peningkatan perlindungan dan

pendayagunaan plasma-nutfah nasional, (18) Penguatan sistem perkarantinaan

pertanian, (19) Penelitian dan pengembangan berbasis sumberdaya spesifik lokasi

(kearifan lokal) dan sesuai agro-ekosistem, (20) Pengembangan industri hilir pertanian

di perdesaan yang berbasis kelompok tani, (21) Berperan aktif dalam melahirkan

kebijakan makro yang berpihak kepada petani, (22) Peningkatan promosi citra petani

dan pertanian guna menumbuhkan minat generasi muda menjadi wirausahawan

agribisnis, dan (23) Peningkatan dan penerapan manajemen pembangunan pertanian

yang akuntabel dan good governance.

Menurut Sudaryanto, et.al (1987) bahwa terdapat tujuh aspek kajian untuk

mencapai visi dan arah pembangunan pertanian di masa datang yaitu sumberdaya

alam, teknologi, permintaan dan penawaran, harga dan perdagangan, kelembagaan,

alih teknologi, dan sumberdaya manusia. Maka dalam penelitian ini aspek yang akan

dikaji difokuskan pada penawaran dan permintaan komoditas pertanian utama.

Keseimbangan ketersediaan pangan harus selalu diupayakan. Oleh karena itu,

tingkat penawaran dan permintaan suatu produk atau komoditas merupakan sumber

data dan informasi penting untuk membuat suatu perencanaan. Hasil analisis dan

proyeksi permintaan dan penawaran akan mengandung kesalahan yang membuatnya

berbeda dari realisasi besaran absolutnya. Namun, melakukan proyeksi dengan

8

menggunakan metoda yang lebih ilmiah diharapkan dapat diperoleh hasil analisis atas

berbagi peubah yang mempengaruhi permintaan dan penawaran serta proyeksi

permintaan dan penawaran komoditas pangan strategis yang lebih akurat sehingga

perencanaan pembangunan produksi pertanian pangan menjadi lebih berkualitas.

Dengan perencanaan pembangunan produksi pertanian pangan yang lebih berkualitas

diharapkan ketahanan pangan nasional akan lebih kokoh, sehingga impor pangan,

kerawanan pangan dan gizi serta penurunan areal dan produktivitas tanaman pangan

dapat dicegah dan atau dieliminir.

1.4. Tujuan

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh parameter-parameter

tentang perubahan permintaan komoditas pangan strategis akibat perubahan harga,

pendapatan dan peubah lainnya, serta memperoleh berbagai informasi terkait perilaku

permintaan dan penawaran komoditas pangan strategis. Secara spesifik penelitian ini

bertujuan untuk:

(1) Mengestimasi parameter dari peubah-peubah yang mempengaruhi

permintaan dan penawaran pangan strategis,

(2) Melakukan proyeksi permintaan dan penawaran komoditas tanaman pangan

strategis, dan

(3) Menganalisis prospek penawaran dalam memenuhi permintaan komoditas

pangan strategis.

1.5. Keluaran yang diharapkan

Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

(1) Hasil estimasi dan analisis atas peubah-peubah yang mempengaruhi

permintaan dan penawaran pangan strategis,

(2) Hasil proyeksi permintaan dan penawaran komoditas tanaman pangan

strategis, dan

(3) Hasil analisis atas prospek penawaran dalam memenuhi permintaan

komoditas pangan strategis.

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritis

2.1.1. Fungsi Produksi dan Penawaran Komoditas Tanaman Pangan

Fungsi produksi merupakan suatu hubungan teknis antara input dan output yang

dihasilkan (Debertin, 1986). Fungsi produksi juga dapat merupakan sebuah deskripsi

matematis atau kuantitatif dari berbagai macam kemungkinan-kemungkinan produksi

teknis yang dihadapi oleh suatu perusahaan. Fungsi produksi memberikan output

maksimum dalam pengertian fisik dari tiap-tiap tingkat input dalam pengertian fisik.

Fungsi produksi mencerminkan hubungan fungsional antara input (faktor produksi) dan

output. Fungsi produksi dengan kondisi keuntungan maksimum dirumuskan sebagai

fungsi permintaan faktor produksi. Dari fungsi permintaan faktor produksi diturunkan

fungsi penawaran produk komoditi yang bersangkutan (Henderson and Quandt, 1980).

Permintaan faktor produksi tergantung pada harga produk dan harga faktor produksi

yang digunakan dalam proses produksi tersebut. Oleh karena itu, jurnlah penawaran

komoditas tanaman pangan (Qs) merupakan fungsi dari pada harga komoditas

tanaman pangan (Pq), dan harga fakfor-faktor produksi (Vxi). Hubungan ini dapat

ditulis sebagai berikut:

Qs = f (Pq, Vxi)

Dalam kenyataannya, keputusan produksi pertanian ditentukan oleh banyak

pilihan produk dan input. Hubungan input-output dalam model produksi multi-input dan

multi-output pada kondisi persaingan sernpurna, fungsi permintaan input dan

penawaran output dapat diturunkan dari the first order condition untuk keuntungan

maksimum. Oleh karena itu, penawaran komoditas tanaman pangan tidak saja

ditentukan oleh harga sendiri dan harga faktor-faktor produksi, tetapi juga ditentukan

oleh harga komoditas lainnya, dalam kajian ini adalah harga jagung.

Untuk mengukur respon penawaran terhadap peubah-peubah yang mempenga-

ruhinya dapat didekati dengan konsep elastisitas. Menurut Heady dan Tweeten (dalam

Nainggolan K, dan Ato S., 1987), terdapat tiga pendekatan yang dapat ditempuh untuk

10

mengukur respon penawaran, yaitu (1) melalui fungsi penawaran langsung, (2)

metode tak langsung, dan (3) elastisitas komponen produksi.

2.1.2. Permintaan Komoditas tanaman pangan

Fungsi permintaan komoditas tanaman pangan diturunkan dari fungsi utilitas

konsumen. Pada tingkat pendapatan dan harga komoditi yang berlaku, konsumen selalu

berusaha memaksimumkan kepuasannya. Kepuasan konsumen maksimum dapat

tercapai jika kegunaan marjinal atau marginal utility (MU) bagi semua komoditi yang

dikonsumsi harus sama dengan rasio harganya (Henderson and Quandt, 1980; Pyndyck

and Rubinfeld, 1994). Oleh karena itu, jumlah permintaan komoditas tanaman pangan

(Qd) merupakan fungsi dari harga komoditas pangan strategis (Pq), harga komoditi lain

(Pi) dalam kajian ini pangan strategis, dan pendapatan konsumen (I). Hubungan

fungsional permintaan komoditas tanaman pangan dapat ditulis sebagai berikut.

Qd = d (Pq, Pi, I)

Pada sistem perekonomian terbuka, negara yang defisit akan suatu komoditas

akan mengimpor dari negara lain yang surplus. Permintaan impor (QM) suatu negara

merupakan selisih jumlah konsumsi dengan produksi di dalam negeri (QS dan QST =

stok) suatu negara. Oleh karena itu, permintaan impor dapat dirumuskan sebagai

berikut:

QM = QD - (QS + QST )

Fungsi permintaan impor diturunkan dari fungsi konsumsi, sehingga permintaan

impor dipengaruhi oleh harga komoditi impor (PM) dan pendapatan konsumen (Y)

(Kindleberger and Lindert, 1982). Selain itu, kebijaksanaan perdagangan pemerintah

negara pengimpor (GM) dan pengekspor (GX) juga mempengaruhi jumlah permintaan

impor. Oleh karena itu, fungsi permintaan impor komoditas tanaman pangan dapat

dirumuskan sebagai berikut:

QM = f (PM, Y, GM, GX)

11

2.2. Hasil-Hasil Penelitian Terkait

Berbagai studi terkait komoditas tanaman pangan telah banyak dilakukan oleh

beberapa peneliti sebelumnya. Hasil penelitian Syafaat, et.al (2005) bahwa dengan

menggunakan data time series 1969-2003, permintaan beras nasional meningkat

sebesar 2,9 persen/tahun yang berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1,8

persen/tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita beras sebesar 1,2 persen/ tahun.

Dengan pertumbuhan permintaan sebesar 2,9 persen per tahun, maka tambahan

permintaan setiap tahun sebesar sebesar 651 ribu ton. Sementara produksi beras

meningkat sebesar 3,17 persen/tahun yang berasal dari pertumbuhan luas areal

sebesar 2,09 persen dan pertumbuhan produktivitas sebesar 1,06 persen. Dalam hal

ini kinerja permintaan dan penawaran beras selama ini, nampaknya produksi dalam

negeri diperkirakan masih mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hasil lainnya

untuk permintaan jagung meningkat sebesar 5,2 persen/ tahun yang berasal dari

pertumbuhan penduduk sebesar 1,8 persen per tahun dan pertumbuhan konsumsi per

kapita 3,3 persen. Sementara produksi jagung meningkat sebesar 4,69 persen/tahun

yang berasal dari pertumbuhan luas areal sebesar 0,95 persen dan pertumbuhan

produktivitas sebesar 3,70 persen. Saat ini impor jagung masih tinggi, dimana pada

tahun 2003 impor jagung sebanyak 1,3 juta ton. Ke depan produksi jagung dalam

negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sementara

itu, untuk permintaan kedelai meningkat sebesar 5,8 persen/tahun yang berasal dari

pertumbuhan penduduk sebesar 1,8 persen/ tahun dan pertumbuhan konsumsi per

kapita 4,5 persen. Sementara produksi kedelai hanya meningkat sebesar 1,62

persen/tahun yang hanya disumbang dari pertumbuhan produktivitas sebesar 1,77

persen, sedangkan pertumbuhan luas areal negatif 0,14 persen/tahun. Saat ini

Indonesia masih dominan impor kedelai, dimana pada tahun 2003 impor kedelai

sebanyak 1,2 juta ton. Ke depan produksi kedelai dalam negeri perlu terus dipacu

agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Hasil penelitian Syafaat, et.al (2005) lainnya untuk komoditas daging sapi

terungkap bahwa permintaan daging sapi meningkat sebesar 1,2 persen/tahun.

Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1,8

12

persen/tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita menurun sebesar -0,4 persen.

Sementara produksi daging sapi meningkat 2,21 persen/tahun selama periode 1969-

1997 dan selanjutnya menurun menjadi 0,01 persen/tahun selama periode 1997-

2003. Neraca perdagangan daging sapi mengalami defisit. Ke depan produksi daging

sapi dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Sementara untuk permintaan gula meningkat sebesar 3,7 persen/tahun. Pertumbuhan

permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1,8 persen/tahun,

sementara pertumbuhan konsumsi per kapita meningkat sebesar 1,9 persen.

Sementara produksi teh meningkat 3,53 persen/tahun selama periode 1969-1997,

tetapi mengalami penurunan sebesar -1,45 persen/tahun selama periode 1997-2003.

Sampai saat ini Indonesia sebagai net importir gula sekitar 50 persen dari kebutuhan

dalam negeri. Oleh karena itu ke depan produksi teh dalam negeri perlu terus dipacu

agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Hasil penelitian lainnya Kustiari, et.al (2009) mengungkapkan bahwa dalam kurun

waktu 1969-2008, produksi komoditas tanaman pangan meningkat. Produksi komoditas

padi, jagung, dan kedelai masing-masing meningkat dengan laju pertumbuhan per

tahun masing-masing sebesar 2,67 persen; 4,30 persen; dan 1,51 persen/tahun. Secara

umum diperoleh bahwa laju peningkatan produktivitas relatif lebih besar dibandingkan

dengan laju peningkatan luas panen. Ini berarti peningkatan produksi tanaman pangan

lebih besar karena peran peningkatan produktivitas. Kondisi ini terjadi karena semakin

terbatasnya lahan untuk pertanaman. Dalam periode 2009-2014 diproyeksikan luas

panen komoditas padi, jagung dan kedelai sedikit menurun, sementara proyeksi

produktivitas komoditas tanaman pangan (padi, jagung, dan kedelai) meningkat

dengan laju per tahun masing-masing 0,049 persen; 0,01 persen; dan 0,02 persen.

Permintaan total atas produk-produk utama tanaman pangan untuk keperluan konsumsi

rumah tangga diproyeksikan masih meningkat dengan laju kenaikan sebagai berikut:

beras (1,19%/tahun), jagung (1,81%/tahun), dan kedelai (1,53%/tahun). Sumber

pertumbuhan permintaan total untuk konsumsi rumah tangga bagi ketiga komoditas

tanaman pangan adalah pertumbuhan jumlah penduduk dan pertumbuhan tingkat

konsumsi per kapita keempat produk tersebut.

13

Sudaryanto, et.al., (1997) menganalisis tentang penawaran dan permintaan

komoditi pertanian utama seperti; (a) pangan: padi, jagung, kedelai, ubi kayu; (b).

hortikultura: kentang, cabe, tomat, bawang merah, pisang, jeruk, manggis, anggrek,

dan melati; (c). perkebunan tanaman industri: karet, kelapa sawit, kelapa, teh, tebu,

kopi, kakao, lada, dan mete; dan (d). peternakan: sapi potong, ayam broiler, ayam

buras, babi, itik, dan sapi perah. Studi ini telah mempertimbangkan permintaan

langsung dan tidak langsung

Pada penelitian tersebut, fungsi penawaran padi sawah dan palawija digunakan

model dekomposisi produksi total, dimana peningkatan produksi berasal dari

peningkatan luas panen dan peningkatan produktifitas lahan. Untuk padi ladang,

khusus untuk fungsi respon areal mempergunakan fungsi alokasi logistik polinomial

(Simatupang, et.al., 1995). Untuk komoditas hortikultura, fungsi penawaran

dispesifikasikan sebagai fungsi dari luas lahan dan produktifitas. Hanya saja

ditambahkan faktor resiko harga, sesuai dengan karakteristik usahatani hortikultura

yang memiliki resiko harga yang sangat tinggi. Sementara untuk produk ternak,

penawaran dianalisis dengan menggunakan pendekatan model partial adjustment.

Sedangkan untuk komoditas perkebunan, model proyeksi yang dipergunakan dalam

memproyeksi luas panen adalah model penyesuaian Nerlove, dengan menambahkan

adanya lag peubah tak bebas sebagai salah satu peubah penjelas.

Hasil penelitian Tabor et. al. (1988) mengungkapkan hasilnya tentang

penawaran dan permintaan pangan di Indonesia, bahwa elastisitas pendapatan dan

elastisitas harga dari komoditi kedelai adalah cukup tinggi dibandingkan dengan bahan

pokok yang mengandung protein yang tinggi. Permintaan konsumen dan respon

penawaran sangat sensitif terhadap perubahan harga kedelai. Elastisitas harga kedelai

di Jawa lebih elastis dibandingkan dengan di Luar Jawa. Sedangkan hasil penelitian dari

Rosegrant et. al. (1987) menyatakan bahwa kedelai mempunyai respon areal yang

nyata terhadap perubahan dari usahatani padi yang diharapkan. Elastisitas harga

kedelai terhadap areal tanam, penawaran, dan produktivitas adalah bersifat inelastis

dan bertanda positif. Elastisitas permintaan terhadap harga bersifat inelastis bertanda

negatif dan terhadap pendapatan juga bersifat inelastis dengan tanda positif.

14

Selanjutnya hasil penelitian Haryanto et.al, (2008), elastisitas pendapatan

terhadap permintaan kedelai dalam kurun waktu 1999-2005 rata-rata sebesar 0.15.

Semakin meningkat pendapatan rumah tangga di Indonesia, maka pada masa

mendatang maka akan semakin meningkat jumlah impor kedelai. Impor kedelai dapat

dikurangi melalui peningkatan produktivitas kedelai di dalam negeri. Selanjutnya,

disimpulkan bahwa pengaruh harga kedelai terhadap jumlah permintaan kedelai juga

kecil, dan nilai elastisitas terhadap harga sendiri sebesar -0.07.

III. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran

Perubahan lingkungan strategis membuka peluang pengembangan komoditasi

alternatif. Peningkatan pendapatan melalui realokasi pemanfaatan sumberdaya

merupakan pilihan yang dapat dilakukan petani. Pemerintah berkewajiban untuk terus

mendorong petani melalui penyediaan berbagai pilihan teknologi dan komoditas yang

potensial untuk dikembangkan. Melalui pendekatan ini ketahanan pangan di tingkat

nasional maupun rumah tangga akan dapat dicapai karena pada saat yang sama

diharapkan program diversifikasi pangan dan pemberdayaan ekonomi keluarga bisa

dicapai.

Pada dasarnya pendekatan yang digunakan tersebut diatas berpijak pada analisis

permintaan dan penawaran komoditas. Analisis permintaan dan penawaran suatu

komoditas sangat bermanfaat bagi pengembangan komoditas itu sendiri, bagi petani

dan bagi negara secara keseluruhan. Bila hal ini tidak diperhatikan maka akan dapat

menimbulkan kesenjangan antara permintaan dan penawaran serta misalokasi

sumberdaya. Dalam kaitan itu, sebagai langkah awal perlu pemahaman mengenai

perilaku penawaran dan permintaan.

15

3.1.1. Teori Produksi

Fungsi Produksi

Fungsi produksi merepresentasikan hubungan teknis antara input dan output.

Oleh karena itu tidak ada peubah harga pada fungsi produksi. Peubah harga-harga

digunakan dalam perilaku optimasi produsen dengan kendala pada fungsi produksi. Hal

ini menghasilkan fungsi penawaran yang merupakan fungsi dari harga jika harga

relevan pada pendekatan optimisasi produsen.

Pada model-model perilaku produsen diasumsikan bahwa teknologi dapat

direpresentasikan oleh fungsi produksi. Jumlah satu atau lebih output/komoditas yang

diproduksi adalah fungsi dari jumlah input faktor produksi yang digunakan dalam proses

produksi. Model untuk satu jenis output maka fungsi produksinya:

q = f (x1, x2 …..xn ) ………………………………………………………………………(1)

Dimana q adalah output dan xi adalah input. Perkembangan teknologi dapat

direpresentasikan sebagai model produksi yang bergeser dari waktu ke waktu. Dengan

kombinasi input tertentu maka dimungkinkan untuk menghasilkan sejumlah output.

Sebagai contoh adalah fungsi produksi Cobb-Douglas yang pada tahun 1928 diusulkan

oleh ahli matematika Cobb dan seorang ekonom Douglas. Diasumsikan ada dua faktor

produksi yaitu tenaga kerja (l) dan modal (k) digunakan untuk memproduksi komoditas

q. Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah sebagai berikut:

q = A lα kβ, A > 0 ...........................................................................(2)

Pada fungsi produksi Cobb-Douglas, dimana α > 0, β > 0 dan α + β < 1.

Persamaan (2) dapat juga ditulis sebagai hubungan linear logaritma. Produktifitas

marjinal tenaga kerja dan modal direpresentasikan sebagai δq/ δl= α (q/l) > 0, δq/ δk=

β (q/k) > 0, proporsional terhadap rata-rata produktifitas. Produktifitas marjinal bersifat

“decreasing function” dari l dan k. Elastisitas produksi terhadap l dan k

direpresentasikan sebagai α dan β, dengan demikian α + β adalah persentase

perubahan produksi yang disebabkan oleh 1% perubahan input l dan k. Nilai α + β

adalah derajat homogeneity fungsi produksi, α + β dapat bernilai lebih kecil, sama

16

dengan atau lebih besar dari satu tergantung pada decreasing, constant atau increasing

return.

Fungsi produksi Cobb-Douglas sering digunakan karena parameternya adalah

elastisitas dan fungsi ini mengikuti “Law of Diminishing Return”. Namun fungsi Cobb-

Douglas terkendala oleh “Constant Elasticity of Substitution”. Fungsi Cobb-Douglas

dapat merepresentasikan fungsi produksi yang masih increasing return to scale, tetapi

untuk merefleksikan fungsi produksi yang sudah decreasing return to scale maka harus

digunakan retriksi.

Fungsi Penawaran

Seperti asumsi di atas bahwa produsen memproduksi satu komoditas q dimana

karakteristik teknologinya dapat direpresentasikan oleh persamaan (1). Produsen

memilih input yang akan memaksimumkan keuntungan berdasarkan fungsi produksi

dan harga input-input tetap, wi dan harga output, p. Keuntungan sama dengan

penerimaan R (=pq) dikurangi biaya.

1

1

( , , )n

n i i

i

R C pf x x w x

K ………………………………………………....(3)

Kondisi ordo pertama untuk keuntungan maksimum adalah:

0i

i

fp w

x

…………………………………………………………………………….(4)

Dimana δf/ δxi adalah produktifitas marjinal input i. Hasil dari persamaan (4)

dalam xi sebagai fungsi dari p dan wi adalah sistem fungsi permintaan input sebagai

berikut:

xi = xi (p, w1, w2 …..wn ), i=1,..., n …………………………………………….(5)

Dengen mensubstitusikan persamaan (5) ke dalam fungsi produksi menghasilkan

persamaan sebagai berikut:

q = f (xi (p, w1, w2 …..wn ) ), i=1,..., n …………………………………..(6)

17

Persamaan (6) adalah fungsi penawaran. Fungsi penawaran menghasilkan output

optimal sebagai fungsi dari peubah harga di pasar output dan pasar input.

3.1.2. Teori Konsumsi

Fungsi konsumsi pada hakekatnya dapat diturunkan dari maksimisasi utilitas

(kegunaan) dengan kendala pendapatan (jumlah pengeluaran) :

Maksimumkan U=u (Q1, Q2,.., Qn)…………………….………………………......(7)

Kendala : Y =

n

i

iiQp1

……………………………………………….....…………. (8)

U = Utilitas

Qi = Jumlah barang konsumsi

Y = total pendapatan (pengeluaran)

Dengan syarat-syarat maksimisasi dapat diturunkan fungsi konsumsi sebagai

fungsi dari harga barang dan pendapatan :

Qi = Qi (p1, p2, …, pn, Y) ……………………………………………………..........(9)

Dalam analisa konsumsi terdapat konsep dualitas, yaitu untuk setiap fungsi

utilitas pasti terdapat suatu fungsí utililtas tak langsung dan fungsí pengeluaran. Dari

fungsí utilitas tak langsung dan fungsi pengeluaran ini dapat diperoleh jumlah konsumsi

yang nilainya identik pada titik optimal.

Fungsi utilitas tak langsung dapat diperoleh dari maksimisasi utilitas. Dengan

memasukkan persamaan (7) ke dalam persamaan (9) diperoleh fungsi utilitas tak

langsung sebagai fungsi dari harga dan pendapatan.

V = v (p1, p2, …, pn, Y) ……………………………………………………….......(10)

V = utilitas tak langsung

Fungsi pengeluaran menunjukkan biaya minimum untuk mencapai kepuasan

tertentu. Dengan demikian, fungsi pengeluaran dapat diturunkan sebagai berikut :

Minimumkan : E =

n

i

iiQp1

…………………………………………..........(11)

Dengan Kendala : U(Q1, Q2,...., Qn) …………………………….............(12)

18

Berdasarkan jawaban persoalan minimisasi ini diperoleh fungsi pengeluaran yang

tergantung pada harga barang dan tingkat kepuasan :

E = E (p1, p2, …, pn, Ú) …………………………………………………….. (13)

Hasil minimisasi pengeluaran dapat juga dipakai untuk memperoleh fungsi

transformasi. Fungsi transformasi ini menunjukkan jumlah komposisi konsumsi yang

paling murah untuk mencapai kepuasan tertentu:

F (Q, Q1, Q2,...., Qn, U) = minimum

n

i

iiQp1

………………………….. (14)

Kendala: v (p1, p2, …, pn, Y) < Ú

Dari fungsi utilitas dan fungsi utilitas tak langsung dapat diperoleh fungsi

kebalikan dan fungsi langsung permintaan Marshallian. Fungsi langsung permintaan

tersebut diperoleh dengan mempergunakan Roy Identity:

Qi m (p1, p2, …, pn, Y) =

yV

pv i

/

/……………………………………….. (15)

Fungsi kebalikan permintaan Marshallian diturunkan dari fungsi utilitas langsung

Marshallian dengan mempergunakan indentitas Hotelling-Word:

Pi m(Q1, Q2, …, Qn, Y) =

n

j

ij

i

QuQ

QuY

1

/

/……………………………………. (16)

Fungsi permintaan langsung dan kebalikan Hicksian dapat diperoleh dari fungsi

pengeluaran dan transformasi. Fungsi permintaan langsung ini diperoleh dengan

mempergunakan Shephard Lemma:

Qi m (p1, p2, …, pn, U) = ipE / ………………………………………… (17)

Sedangkan dari fungsi transformasi dapat diperoleh fungsi kebalikan permintaan

Hicksian dengan mempergunakan Shephard –Lemma:

Pi m(Q1, Q2, …, Qn, U) =

iQ

F

……………………………………….. (18)

Berdasarkan pemikiran tersebut diatas, bentuk fungsi permintaan tergantung

pada asumsí bentuk fungsi utilitas, utilitas tak langsung pengeluaran atau fleksibilitas.

19

Sifat-sifat teoritis permintaan berdasarkan dari syarat-syarat maksimisasi kepuasan

adalah: (1) Agregasi engel, (2)Agregasi Cournot, (3) Simetri, dan (4) Homogenity.

3.2. Ruang Lingkup Kegiatan

Pengkajian dilakukan untuk komoditas pangan strategis yaitu tanaman pangan:

padi, jagung dan kedelai, perkebunan: gula (tebu) dan peternakan: daging sapi.

Pemilihan komoditas pada masing-masing sub sektor didasarkan pada pertimbangan

nilai strategis dan/atau nilai komersialnya sesuai Renstra Kementan (2010-2014).

Pada penelitian estimasi parameter permintaan dan penawaran ini akan digunakan

pendekatan ekonometrika. Lingkup kegiatan meliputi atas analisis berbagai faktor yang

mempengaruhi permintaan dan penawaran, proyeksi permintaan dan penawaran

komoditas pangan strategis, dan prospek penawaran dalam memenuhi permintaan

komoditas pangan strategis. Untuk keperluan analisis akan digunakan data time series

tingkat nasional untuk setiap komoditas pangan strategis dari kurun waktu 1985-2011.

Selain itu, untuk mendukung analisis juga dilakukan penggalian data primer di lokasi

penelitian sesuai tujuan penelitian dalam rangka pendalaman atas kondisi terkini dan

menggali permasalahan baik dalam hal kinerja produksi maupun permintaan komoditas.

3.3. Lokasi penelitian dan responden

3.3.1. Dasar Pertimbangan

Untuk mendapatkan gambaran mikro tentang perkembangan dan permasalahan

sistem usahatani (produksi) berbagai komoditas pangan strategis, maka pada penelitian

ini akan melakukan pengumpulan informasi mikro lapangan yang dilaksanakan di

propinsi tertentu yaitu Provinsi Jawa Barat. Sementara untuk data sekunder akan di

peroleh di instansi pusat yaitu dari Kementerian Pertanian dan BPS.

3.3.2. Lokasi dan Responden

Lokasi yang dipilih merupakan sampel sentra produksi pangan strategis, yaitu

Provinsi Jawa Barat. Responden sebagai sumber data dan informasi adalah kelompok

tani, penyuluh pertanian, dan pejabat instansi pada Dinas Pertanian.

20

Daftar pertanyaan yang digunakan pada penelitian ini adalah berisi pokok-pokok

informasi yang hendak dikumpulkan yang mencaku prospek pengembangan komoditas

pangan strategis di propinsi terpilih ditinjau dari berbagai aspek seperti perkembangan

luas areal tanam, perkembangan produktivitas, ketersediaan lahan yang cocok untuk

pengembangan komoditas bersangkutan berikut luasnya, minat masyarakat/pengusaha

untuk melakukan investasi dalam rangka pengembangan komoditas bersangkutan,

ketersediaan teknologi maju, ketersediaan paket program, bentuk-bentuk kemitraan,

dan berbagai kendala yang menjadi penghambat pengembangan komoditas

bersangkutan.

3.4. Data dan Metode Analisis

3.4.1. Jenis dan sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data

sekunder. Data sekunder berupa data agregat time series selama peiode tahun 1985-

2011. Data ini akan digunakan untuk menduga fungsi permintaan dan penawaran

sejumlah komoditas pangan strategis. Pendugaan fungsi permintaan dan penawaran

sejumlah komoditas pangan strategis tersebut akan dilakukan dengan pendekatan

ekonometrika. Data primer berupa data di tingkat propinsi yang mencakup informasi-

informasi yang telah disebutkan diatas. Data ini digunakan untuk menganalisis prospek

pengembangan komoditas pangan strategis di masing-masing propinsi lokasi penelitian.

Prospek pengembangan komoditas pertanian utama tersebut akan dianalisis dengan

metoda deskriptif khususnya berupa tabulasi silang. Dengan diperolehnya informasi

tentang prospek pengembangan komoditas pertanian utama akan dapat diketahui

faktor-faktor pendorong maupun penghambat terealisasinya hasil proyeksi serta

besarnya peluang hasil proyeksi tersebut akan terealisir.

Sumber utama data sekunder antara lain adalah (1) Badan Pusat Statistik (BPS);

(2) Direktorat Jenderal Lingkup Departemen Pertanian; (3) Instansi terkait lainnya.

21

3.4.2. Metode Analisis

Untuk menjawab tujuan 1 dan 2, akan digunakan model penawaran dan

permintaan baik secara simultan. Selanjutnya untuk menjawab tujuan 3, akan dilihat

dan selanjutnya dianalisis hasil proyeksi penawaran bagaimana dikaitkan dalam

memenuhi permintaan komoditas pangan strategis. Berikut ini akan diuraikan model

penawaran dan permintaan untuk menjawab tujuan 1 dan 2 secara simultan.

Analisis dalam penelitian ini juga dicoba dengan analisis simultan antara

penawaran dan permintaan. Dalam analisis simultan ini, akan coba dijelaskan perilaku

secara sistem antara faktor-faktor penawaran, permintaan, dan harga masing-masing

komoditas. Sistem (atau blok persamaan) yang dikembangkan diseimbangkan dengan

suatu persamaan identitas.

Dalam penelitian ini proses pencapaian tingkat harga menggunakan pendekatan

ketidakseimbangan (non-equilibrium approach). Dianggap tingkat harga seluruh

komoditas yang dianalisis ditentukan langsung oleh faktor-faktor yang

mempengaruhinya, yaitu penawaran (produksi dan impor) dan permintaan (konsumsi

dan ekspor). Faktor-faktor penawaran dan permintaan akan dianggap sebagai faktor-

faktor yang secara terpisah dan tersendiri mempengaruhi tingkat harga masing-masing

komoditas. Selanjutnya faktor tingkat harga juga kemudian akan mempengaruhi

masing-masing penawaran dan permintaan. Tingkat harga akan mempengaruhi

penawaran melalui variable produksi, sedangkan permintaan akan dipengaruhi untuk

variabel konsumsi (langsung).

Model ekonometrika komoditas tanaman pangan (padi, jagung dan kedelai),

perkebunan (tebu/gula) memiliki tujuh peubah endogen, yaitu luas areal panen,

produktivitas, produksi, impor, penawaran, permintaan domestik, dan harga domestik.

Berikut diuraikan model ekonometrik yang akan digunakan.

22

(1) Luas areal panen tanaman pangan dan kebun (padi, jagung , kedelai dan

tebu)

Luas areal panen komoditas tanaman pangan/kebun dipengaruhi oleh harga

komoditas tanaman pangan/kebun domestik (nasional), harga komoditas tanaman

pangan/kebun, harga rata-rata pupuk urea, upah tenaga kerja sektor pertanian, tingkat

teknologi atau peubah trend, tingkat suku bunga, dan luas areal komoditas tanaman

pangan/kebun tahun sebelumnya. Persamaan luas areal panen secara umum untuk

padi, jagung, kedelai dan tebu dapat dirumuskan sebagai berikut :

AREALt = ao + a1PRICEit + a2PRICEyt + a3PRICEURt + a4WAGEt + a5TIME +

a6INRt + a7LagAt +U1t

Dengan keterangan:

AREALt = luas areal panen komoditas tanaman pangan/kebun (000 ha),

PRICEit = harga komoditas tanaman pangan/kebun domestik (Rp/kg),

PRICEyt = harga komoditas pesaingnya domestik (Rp/kg),

PRICEURTt = harga rata-rata pupuk urea (Rp/kg),

WAGEt = upah tenaga kerja di sektor pertanian (Rp/hari kerja)

TIME = peubah waktu. t = 1,……n

INRt = tingkat bunga rata-rata

LagAt = variabel beda kala dari luas areal panen

U1t = peubah pengganggu, dan

Nilai koefisien regresi yang diharapkan: a1, a5 > 0 ; a2, a3, a4, a4, a6<0; dan

0<a7<1.

(2) Produktivitas tanaman pangan dan Kebun

Faktor-faktor yang memengaruhi produktivitas komoditas tanaman pangan/kebun

adalah harga komoditas tanaman pangan/kebun domestik, harga rata-rata pupuk urea,

upah tenaga kerja, tingkat teknologi dan produktivitas tanaman pangan/kebun tahun

sebelumnya. Persamaan produktivitas komoditas tanaman pangan dan kebun (padi,

jagung, kedelai, dan tebu/gula) tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

23

YIELDt= bo + b1 PRICEit + b2 PRICEURt + b3 WAGEt+ b4 TIME + b5LagYt + U2t

Dengan keterangan :

YIELDt = produktivitas tanaman pangan (ton/ha),

LagYt = peubah beda kala dari YIELDt, dan

U2t = peubah penganggu.

Nilai koefisien regresi yang diharapkan : b1, b3, b4 > 0; b2 < 0; 0 < b4 < 1.

(3) Produksi tanaman pangan

Produksi komoditas tanaman pangan/kebun dipengaruhi oleh luas areal panen

dan produktivitas. Persamaan produksi komoditas tanaman pangan dan kebun (padi,

jagung, kedelai, dan tebu/gula) dapat dirumuskan sebagai berikut :

PRODt= AREALt * YIELDt

Dengan keterangan:

PRODt = produksi tanaman pangan/kebun (000 ton):

Khusus untuk padi, terdapat persamaan identitas tambahan yaitu:

PRODRt = PRODt* cf

Cf = faktor konversi dari gabah (GKG ke beras)

(4) Penawaran tanaman pangan

Penawaran komoditas tanaman pangan/kebun merupakan persamaan identitas

dimana penawarannya sama dengan produksi komoditas tanaman pangan/kebun

domestik ditambah dengan impornya, dan stok komoditas tanaman pangan/kebun

tersebut. Persamaan penawaran komoditas tanaman pangan/kebun tersebut dapat

dirumuskan sebagai berikut :

SUPLAIt = PRODt + IMPORt + STOCKt - Ot

Dengan keterangan:

SUPLAIt = jumlah penawaran komoditas tanaman pangan/kebun (000 ton), dan

IMPORt = jumlah impor komoditas tanaman pangan/kebun (000 ton).

Ot = jumlah yang digunakan sebagai bibit dan tercecer (000 ton)

24

Pada analisis ini, variabel stock tidak dapat diperoleh sehingga nilainya nol.

Untuk data jumlah yang digunakan untuk bibit dan tercecer dapat diketahui.

(5) Permintaan tanaman pangan dan kebun domestik

Permintaan komoditas tanaman pangan/kebun domestik ditentukan oleh harga

komoditas tanaman pangan/kebun domestik, harga komoditas pesaingnya, pendapatan

per kapita, jumlah populasi ternak ayam (khusus untuk komoditas jagung), jumlah

penduduk, dan permintaan komoditas tanaman pangan tahun sebelumnya. Persamaan

permintaan komoditas tanaman pangan domestik ini dapat dirumuskan sebagai berikut

:

DEMANDt =eo + e1PRICEit + e2PRICEyt + e3lNCOMEt+ e4CHKRASt + e5POPt

+ e6LagDt + U5t

Dengan keterangan:

DEMANDt = jumlah permintaan komoditas tanaman pangan/kebun domestik

(000 ton)

INCOMEt = pendapatan per kapita penduduk (Rp/kap)

CHKtRASt = populasi ternak ayam (khusus untuk komoditas jagung),

POPt = jumlah penduduk (000 orang),

LagDt = peubah bedakala dari DEMANDt, dan

U5t = peubah pengganggu.

Nilai koefisien regresi yang diharapkan : e1, e2 < 0; e3, e4, e5, > 0; dan 0<e6<1.

(6) Impor tanaman pangan dan Kebun

Impor komoditas tanaman pangan ditentukan oleh harga komoditas tanaman

pangan/kebun impor, nilai tukar valuta asing, permintaan komoditas tanaman

pangan/kebun domestik dan pendapatan per kapita, dan impor komoditas tanaman

pangan/kebun tahun sebelumnya. Persamaan impor tersebut dapat dirumuskan sebagai

berikut :

IMPORt = f0 + f1 PIMPORt + f2 EXCHRt + f4 DEMANDt + f5 LagMt + U6t

Dengan keterangan:

25

IMPORt = jumlah impor komoditas tanaman pangan/kebun (000 ton),

PIMPORt = harga komoditas tanaman pangan/kebun impor (US $ /kg),

EXCHRt = nilai tukar valuta asing (Rp/US$),

LagMt = peubah bedakala dari IMPORt, dan

U6t = peubah pengganggu.

Nilai koefisien regresi yang diharapkan : f1, f2 < 0 ; f4 > 0; 0 < f5 < 1.

(7) Harga komoditas tanaman pangan/kebun domestik

Harga komoditas tanaman pangan/kebun domestik akan memengaruhi luas areal

panen komoditas tanaman pangan/kebun tersebut, produktivitas, stok, dan permintaan

domestik. Namun, harga komoditas tanaman pangan/kebun domestik juga dipengaruhi

oleh jumlah komoditas tanaman pangan/kebun impor, nilai tukar valuta asing,

permintaan domestik, penawaran komoditas tanaman pangan/kebun, dan harga

komoditas tanaman pangan/kebun domestik tahun sebelumnya. Persamaan harga padi,

jagung, kedelai dan tebu/gula domestik tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

PRICEit =go + g1 IMPORt + g2 EXCHRt + g3 DEMANDt + g4 SUPLAIt + g5 LagPrt

+ U7t

Dengan keterangan:

LagPrt = peubah bedakala dari PRICEit, dan

U7t = peubah pengganggu.

Nilai koefisien regresi yang diharapkan : g2, g3 >0; g1, g4 <0; 0<g5<1.

Adapun model untuk komoditas ternak sapi potong adalah sebagai berikut:

(1) Permintaan Daging Sapi

Permintaan komoditas daging sapi ditentukan oleh harga daging sapi, harga

daging ayam ras, pendapatan per kapita, jumlah penduduk, dan permintaan komoditas

daging sapi tahun sebelumnya. Persamaan permintaan komoditas tanaman pangan

domestik ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

DEMANDt =ao + a1PRDCOWt + a2PRDCHKt + a3lNCOMEt+ a4POPt + a5LagDt

+ U1t

26

Dengan keterangan:

DEMANDt = jumlah permintaan komoditas daging sapi (000 ton)

PRDCOWt = harga daging sapi (Rp/Kg)

PRDCHKt = harga daging ayam ras (Rp/Kg)

INCOMEt = pendapatan per kapita penduduk (Rp/kap)

POPt = jumlah penduduk (000 orang),

LagDt = peubah bedakala dari DEMANDt, dan

U1t = peubah pengganggu.

Nilai koefisien regresi yang diharapkan : a1 < 0; a2, a3, a4 > 0; dan 0<a5<1.

(2) Harga Daging Sapi

Harga komoditas daging sapi diduga dipengaruhi oleh jumlah volume impor

daging sapi, nilai tukar valuta asing, permintaan domestik, penawaran komoditas

daging sapi, dan harga komoditas daging sapi domestik tahun sebelumnya. Persamaan

dirumuskan sebagai berikut:

PRDCOWt = bo + b1 IMPORt + b2 EXCHRt + b3 DEMANDt + b4 SUPLAIt +

b5 LagPrdcowt + U2t

Dengan keterangan:

IMPORt = Volume impor daging sapi ( 000 ton)

DEMANDt = jumlah permintaan komoditas daging sapi (000 ton)

SUPLAIt = jumlah penawaran komoditas daging sapi (000 ton),

EXCHRt = nilai tukar valuta asing (Rp/US$),

LagPrdcowt = peubah bedakala dari PRDCOWt, dan

U2t = peubah pengganggu.

Nilai koefisien regresi yang diharapkan : b2, b3 >0; b1, b2, b4 <0; 0<b5<1.

(3) Impor

Impor komoditas daging sapi ditentukan oleh harga daging sapi impor, nilai tukar

valuta asing, permintaan domestik daging sapi, dan impor daging sapi tahun

sebelumnya. Persamaan impor tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

27

IMPORt = c0 + c1 PIMPORt + c2 EXCHRt + c4 DEMANDt + c5 LagMt + U3t

Dengan keterangan:

IMPORt = jumlah impor daging sapi (000 ton),

PIMPORt = harga daging sapi impor (US $ /kg),

EXCHRt = nilai tukar valuta asing (Rp/US$),

LagMt = peubah bedakala dari IMPORt, dan

U3t = peubah pengganggu.

Nilai koefisien regresi yang diharapkan : c1, c2 < 0 ; c4 > 0; 0 < c5 < 1.

(4) Populasi Ternak Sapi Potong (Supply)

Populasi ternak sapi potong diduga dipengaruhi oleh harga daging sapi,

permintaan daging sapi, pendapatan perkapita, jumlah penduduk dan populasi ternak

sapi tahun sebelumnya. Persamaan populasi ternak sapi dapat dirumuskan sebagai

berikut :

POPCOWt = d0 + d1 PRDCOWt + d2DEMANDt + d3 lNCOMEt + d4 POPt +

d5 LagPOPCOWt + U4t

Dengan keterangan:

POPCOWt = jumlah ternak sapi (000 ekor),

LagPOPCOWt = peubah bedakala dari populasi ternak sapi (000 ekor)

U4t = peubah pengganggu.

Nilai koefisien regresi yang diharapkan: d1, d2, d3, d4 > 0; 0 < d5 < 1.

Identifikasi Model

Identifikasl model struktural order condition menurut Koutsoyiannis, (1977)

dapat dirumuskan sebagai berikut :

(K - M) ≥ (G - 1)

yaitu:

G = jumlah persamaan (current endogenous variables) dalam model,

M = jumlah seluruh variabel (endogenous dan exogenous variables) yang

terdapat dalam suatu persamaan,

28

K = jumlah total variabel di (current endogenous and predetermined variables)

dalam Model.

Jika (K - M) sama dengan (G - 1), maka persamaan dalam model dikatakan

exactly identified, jika (K - M) lebih kecil dari (G - 1), maka persamaan dalam model

dikatakan unidentified, dan jika (K - M) lebih besar dari (G - 1), maka persamaan dalam

model dikatakan over identified.

Sesuai teori, jika persamaan dalam model struktural semuanya over identified,

maka persamaan dapat diduga dengan metode LIML (Limited Information Likelihood),

FIML (Full Information Maximum Likelihood), 2 SLS (Two Stage Least Squares) atau 3

SLS (Three Stage Least Squares).

Jika semua persamaan struktural dalam model teridentifikasi berlebih (over

identified), maka metode pendugaan terkecil tak langsung (Indirect Least orluare) akan

memberikan hasil dugaan parameter struktural yang tidak unik. Secara umum metode

kuadrat terkecil tiga tahap (3 SLS) menghasilkan hasil dugaan parameter yang lebih

efisien secara asimtotik dari pada metode kuadrat terkecil dua tahap (2 SLS). Tetapi

metode 3 SLS lebih sensitif terhadap perubahan dalam spesifikasi, karena setiap

perubahan dalam spesfikasi awal akan memengaruhi semua hasil dugaan parameter.

Disamping itu, metode ini membutuhkan data yang lebih banyak dari pada metode 2

SLS, karena semua parameter struktural diduga secara bersamaan.

Selanjutnya juga untuk mendukung analisis akan dilakukan tabulasi data dengan

analisis trend perkembangan luas panen, populasi ternak sapi, produksi, produktivitas,

konsumsi, dan impor komoditas padi, jagung, kedelai, gula dan daging sapi nasional.

Sementara untuk menjawab tujuan 2, akan dilakukan proyeksi untuk permintaan dan

penawaran/produksi komoditas padi, jagung, kedelai, tebu/gula dan ternak sapi

potong. Untuk Tujuan 3, akan dilakukan analisis deskriptif mengenai prospek

penawaran dalam memenuhi permintaan komoditas pangan strategis.

29

3.4.5. Analisis Risiko

Pelaksanaan penelitian ini diduga akan mengalami hambatan yang menjadi risiko

kegiatan. Tabel berikut menunjukkan beberapa risiko yang diperkirakan dialami dalam

penelitian ini, namun upaya penanggulangannya akan ditempuh melalui berbagai cara.

Akses terhadap data dan informasi kemungkinan akan menjadi masalah utama yang

akan berdampak pada keterbatasan analisis. Cara penanggulangan terhadap risiko ini

diharapkan masih dapat ditingkatkan dengan mengintensifkan komunikasi dengan

pihak-pihak terkait.

Tabel 3.1. Daftar Risiko dan Penanggulangannya

No. Risiko Penyebab Dampak Penanggulangan

1. Akses untuk

konsultasi dan

akses terhadap

sumber data

(sekunder)

Instansi diluar

Kementan

Keterbatasan akses Melakukan upaya

analisis sesuai

ketersediaan data

2. Kelengkapan

data

Tidak

terdokumentasi

atau tidak dapat

diakses karena

berbagai kendala

Analisis tidak

lengkap

Mengindentifikasi

data yang

dibutuhkan dan

mengusahakan

ketersediaannya

30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kinerja Penawaran Komoditas Pangan Strategis Nasional

4.1.1. Padi/Beras

Penyediaan beras dapat dilakukan melalui dua cara yaitu memproduksi sendiri di

dalam negeri dan dengan mengimpor dari negara lain. Di sisi produksi ada dua

komponen utama yang menentukan yaitu luas panen dan produktivitas. Pertumbuhan

luas areal panen dipengaruhi oleh perubahan indeks pertanaman, pembukaan lahan

(sawah) baru dan konversi lahan dari lahan pertanian menjadi non-pertanian.

Sementara pertumbuhan produktivitas merupakan cerminan dari perbaikan penerapan

teknologi budidaya di tingkat petani.

Perkembangan luas panen padi di indonesia pada periode 1980-2012 mengalami

peningkatan sebesar 1,61 %/tahun, yaitu dari 9,01 juta ha pada tahun 1980 menjadi

13,44 juta ha pada tahun 2012. Peningkatan luas panen tertinggi terjadi pada periode

1980-1990 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,60 persen. Setelah periode

tersebut, rata-rata peningkatan luas panen menurun. Namun periode selanjutnya

meningkat lagi meskipun peningkatannya masih relatif kecil bila dibandingkan periode

1980-1990. Menurut Irawan et al (2003) perlambatan luas panen dapat disebabkan

oleh perubahan pola tanam dari tanaman padi ke komoditas lain. Faktor lainnya adalah

konversi lahan dan anomali iklim yang dapat berupa kekeringan atau banjir.

Penurunan luas panen padi di Indonesia terjadi pada tahun 1982, 1985, 1987,

1990, 1991, 1994, 1997, 2000, 2001, 2003, 2006 pada umumnya disebabkan oleh

anomali iklim (fenomena El Nino - La Nina). Secara umum dalam tahun-tahun terakhir

(periode 2005-2012) perkembangan luas panen padi menunjukkan peningkatan yang

cukup signifikan dalam arti peningkatan areal luas panen padi lebih tinggi dibandingkan

periode 1980-1990. Hal ini seiring dengan dicanangkannya program P2BN (Peningkatan

Produksi Beras Nasional).

Perkembangan produktivitas padi nasional pada periode 1980-2012 mengalami

peningkatan dari 3,29 ton/ha pada tahun 1980 menjadi 5,14 ton/ha pada tahun 2012.

Periode tahun 1990-2000 merupakan periode yang mempunyai keragaan produktivitas

31

padi nasional yang paling rendah. Menurut Simatupang (2001) perlambatan

pertumbuhan produktivitas usahatani padi diperburuk oleh kesuburan lahan, kapasitas

irigasi dan kualitas jaringan irigasi yang makin menurun serta adanya penyimpangan

iklim El Nino dan La Nina. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah adanya stagnasi

penerapan intensifikasi padi. Sedangkan menurut Irawan et al (2003) perlambatan

produktivitas padi sawah disebabkan oleh perlambatan laju peningkatan mutu

intensifikasi dan juga disebabkan kelelahan lahan aibat pemanfaatan lahan secara

intensif. Dalam rangka meningkatkan produktivitas padi sawah maka perbaikan mutu

usahatani seperti pengolahan tanah, pemupukan (penggunaan pupuk organik),

pengaturan pola tanam dan seterusnya seyogyanya lebih mendapat penekanan.

Selama pascaswasembada tahun 1984, pertumbuhan produktivitas makin

menurun. Hal ini disebabkan belum adanya terobosan teknologi baru. Sampai tahun

1995 varietas unggul baru belum ada yang mempunyai potensi hasil yang lebih tinggi

dari IR-64 yang diintroduksikan tahun 1986. Stagnasi dalam teknologi ini menyebabkan

produksi padi secara keseluruhan mengalami pelandaian (Suryana, 2004). Namun bila

dilihat dari perkembangan tingkat produktivitas selama periode terakhir (2005-2012)

maka peningkatan produktivitas menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan.

Popularitas padi IR-64 yang dilepas tahun 1986 mulai digeser oleh varietas unggul baru

(VUB) yang dilepas pada tahun 2000 seperti Ciherang, Cigeulis,Way Apo Buru. VUB

Ciherang mampu memberi kontribusi nyata terhadap peningkatan produksi beras

nasional.

Perkembangan produksi padi di Indonesia pada periode 1980-2012 terus

mengalami peningkatan yaitu dari 29,65 juta ton GKG pada tahun 1980 menjadi 69,05

juta ton pada tahun 2012 (Tabel 4.1). Hal ini seiring dengan peningkatan luas panen

dan produktivitas padi. Periode 1980-1990 merupakan periode paling baik dibandingkan

dengan periode lainnya, dimana pada periode ini yaitu tahun 1984 Indonesia pertama

kali mencapai swasembada beras. Keberhasilan peningkatan produksi padi pada periode

ini karena adanya dukungan politik yang kuat dari pemerintah dalam pembangunan

pertanian terutama untuk meningkatkan produksi padi dan sekaligus memperbaiki taraf

hidup petani (Hafsah dan Sudaryanto, 2004).

32

Periode 1990-2000 merupakan periode terburuk untuk perpadian nasional.

Menurut Irawan et. al (2003) perlambatan produksi pangan pada pada dasarnya dapat

terjadi akibat perlambatan laju pertumbuhan luas panen dan atau produktivitas

usahatani. Sekitar 70 persen perlambatan produksi padi sawah disebabkan oleh

perlambatan laju pertumbuhan produktivitas usahatani. Pada periode ini yaitu tahun

1997 terjadi krisis ekonomi yang diikuti dengan komitmen perubahan kebijakan

ekonomi atas dorongan lembaga internasional (Suryana, 2004).

Tabel 4.1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di Indonesia, 1980-2012.

Tahun Luas Panen(Ha) Produktivitas (ton/Ha) Produksi(Ton)

1980 9005065 3,29 29651904

1985 9902293 3,94 39032944

1990 10502357 4,30 45178752

1995 11438760 4,35 49744140

2000 11793000 4,40 51898000

2001 11500000 4,39 50460800

2002 11521166 4,47 51489696

2003 11477357 4,54 52137600

2004 11922974 4,54 54088468

2005 11839060 4,57 54151097

2006 11786430 4,62 54454937

2007 12147637 4,71 57157436

2008 12309155 4,89 60251072

2009 12883576 5,00 64398890

2010 13253450 5,02 66469394

2011 13201316 4,98 65740946

2012 13443443 5,14 69045141

(r %/thn)

1980-1990 1,61 2,24 3,83

1990-2000 1,31 -0,03 1,27

2000-2012 1,38 1,37 2,77

1980-2012 1,10 0,94 2,02

2005-2012 2,10 1,66 3,73

Sumber: BPS (1980-2012).

33

Dengan adanya program P2BN (Peningkatan Produksi Beras Nasional) telah

memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan produksi padi nasional,

sehingga periode 2005-2012 relatif telah mampu memulihkan kondisi perpadian

nasional karena perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi meningkat

cukup signifikan. Seperti halnya perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi

padi nasional setiap periodenya maka penggunaan benih secara nasional menunjukkan

trend yang relatif sama dengan perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi

padi. Penggunaan benih padi cenderung meningkat setiap tahunnya yaitu 0,29 juta ton

pada tahun 1980 meningkat menjadi 0,57 juta ton pada tahun 2012.

4.1.2. Jagung

Selama kurun waktu 1980-1990, luas panen jagung mengalami peningkatan 1,71

%/tahun. Sementara produksi jagung meningkat lebih pesat lagi yaitu sebesar 5,52

%/tahun, dan peningkatan produktivitasnya sebesar 3,81 %/tahun. Dengan demikian,

peningkatan produksi jagung nasional periode 1980-1990 lebih dominan terdorong oleh

peningkatan produktivitas melalui teknologi dalam budidaya jagung dan penggunaan

benih unggul hibrida yang disebarluaskan pemerintah sejak tahun 1985. Pada periode

berikutnya (1990-2000), tampak bahwa perkembangan luas panen jagung sedikit

menurun dibanding periode sebelumnya yaitu mencapai 1,60 %/tahun, dan

peningkatan produksi serta produktivitasnya masing-masing mencapai 2,91 %/tahun

dan 4,51 %/tahun. Peningkatan produksi jagung selama periode tersebut dapat

dipahami mengingat introduksi benih jagung hibrida yang terus meningkat yang

menjadi pendorong peningkatan produksi jagung nasional.

Pada periode selanjutnya yaitu 2000-2012, luas panen jagung nasional mengalami

peningkatan lebih pesat lagi yaitu mencapai 2,02 %/tahun. Sementara peningkatan

produksi dan produktivitasnya masing-masing sebesar 6,70 %/tahun dan 4,68

%/tahun. Pada periode ini peningkatan produksi jagung nasional juga lebih dominan

terdorong oleh peningkatan produktivitas melalui perbaikan teknologi budidaya jagung

dan penggunaan benih unggul hibrida. Pada tahun 2012, luas panen jagung nasional

34

mencapai 3,96 juta ha, sedangkan produksi dan produktivitasnya masing-masing

sebesar 19,38 juta ton dan 4,89 ton/ha.

Tabel 4.2. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas jagung di Indonesia, 1980-2012.

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (ton/Ha) Produksi (Ton)

1980 2734940 1,46 3990939

1985 2439966 1,77 4329503

1990 3158092 2,13 6734028

1995 3651838 2,26 8245902

2000 3500000 2,76 9677000

2001 3285900 2,84 9347200

2002 3126830 3,07 9585277

2003 3358511 3,24 10886442

2004 3356914 3,34 11225243

2005 3625987 3,45 12523894

2006 3345805 3,47 11609463

2007 3630324 3,66 13287527

2008 4003313 4,08 16323922

2009 4160659 4,24 17629740

2010 4131676 4,44 18327636

2011 3861433 4,57 17629033

2012 3959909 4,89 19377030

(r %/thn)

1980-1990 1,71 3,81 5,52

1990-2000 1,60 2,91 4,51

2000-2012 2,02 4,68 6,70

1980-2012 1,20 3,50 4,70

2005-2012 2,04 5,24 7,28

Sumber: BPS (1980-2012).

Meskipun trend peningkatan jagung cukup tinggi, akan tetapi produksi jagung

nasional saat ini masih belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan jagung nasional.

Untuk itu, produksi jagung domestik terus ditingkatkan dengan berbagai kebijakan yang

dilakukan. Dalam rangka meningkatkan produksi jagung nasional telah dikembangkan

teknologi produksi jagung hibrida. Namun realisasi pengembangan jagung hibrida

sampai tahun 2009 baru mencapai 50 persen. Menurut Rusastra dan Kasryno (2007)

35

bahwa keenganan petani untuk memanfaatkan teknologi produksi jagung hibrida ini

disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) harga benih jagung hibrida mahal dan

hanya dapat ditanam sekali, (2) kebutuhan pupuk lebih banyak, sehingga biaya

produksinya menjadi tinggi, (3) umurnya lebih panjang, (4) menghendaki lahan yang

relatif subur, (5) lemahnya permodalan petani sehingga tidak tersedia modal yang

cukup untuk membeli benih, pupuk dan obat-oabatan yang dibutuhkan, (6) sering

terlambatnya suplai benih sehingga tidak tepat waktu tanamnya, dan (7) kurangnya

rangsangan produksi yang diberikan oleh pasar kepada petani jagung. Akibatnya

produksi jagung yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

4.1.3. Kedelai

Jumlah penawaran kedelai yang berasal dari domestik digambarkan oleh jumlah

produksi, hal ini ditentukan oleh luas panen dan produktivitas, secara rinci luas panen,

produktivitas disajikan pada Tabel 4.3. Dengan memperhatikan data tersebut, tampak

bahwa kinerja penawaran komoditas kedelai yang bersumber dari domestik dalam

kurun waktu 3 dekade (1980-2012) menunjukkan dinamika yang cenderung menurun.

Hal ini tercermin dari penurunan produksi kedele sebesar 0,54 %/tahun, yaitu dari

sebesar 1.226.727 ton menurun menjadi 851.647 ton. Namun jika dipilah berdasarkan

dekade, tampak terjadi dinamika supply produksi kedelai yakni pada dekade pertama

(1980-1990) telah terjadi kenaikan rata-rata 10,06 %/tahun, pada dekade kedua (1990-

2000) terjadi penurunan yang drastis rata-rata 3,33 %/tahun dan dekade ketiga (2000-

2012) terjadi kenaikan yang kecil sebesar 0,56%/tahun.

Jika memperhatikan dua faktor penting penyebabnya adalah tampak bahwa

faktor utama kecenderungan penurunan supply produksi adalah lebih banyak

disebabkan oleh semakin turunnya luas panen. Sementara terjadinya dinamika kenaikan

dalam kurun waktu dekade tertentu itu lebih banyak disebabkan karena upaya

pemerintah untuk meningkatkan produktivitas kedelai malalui intensifikasi dan

penerapan teknologi baru khususnya pengembangan dan penggunaan varietas baru

dan atau teknik budidaya. Berdasarkan data tersebut tampak baik secara total periode

36

waktu maupun dipilah menurut dekadenya bahwa produktivitas terus cenderung

meningkat dari waktu ke waktu, namun peningkatan produktivitas ini tidak mampu

mengkompensasi turunnya luas panen sehingga produksi dalam jangka panjang

cenderung menurun. Sementara peningkatan produktivitas yang signifikan terjadi

pada dekade pertama (1980-1990) sebesar 3,02%/tahun dan dekade ketiga (2000-

2012) sebesar 1,31%/tahun, sedangkan dekade kedua kenaikannya hanya sebesar

0,97%/tahun.

Tabel 4.3. Perkembangan Luas Panen, produktivitas dan produksi kedelai di Indonesia, 1980-2012

Tahun Luas Panen(Ha) Produktivitas(Ku/Ha) Produksi(Ton)

1980 732000 0,89 652762

1985 896220 0,97 869718

1990 1334100 1,11 1487433

1995 1477432 1,14 1680010

2000 825000 1,23 1017634

2001 678848 1,22 826932

2002 544522 1,24 673056

2003 526796 1,27 671600

2004 565155 1,28 723483

2005 621541 1,30 808353

2006 580534 1,29 747611

2007 459116 1,29 592634

2008 591899 1,31 776491

2009 722791 1,35 974512

2010 660823 1,37 907031

2011 620928 1,36 843838

2012 567871 1,50 851647

(r %/thn)

1980-1990 30,49 11,24 41,60

1990-2000 -21,00 5,10 -16,84

2000-2012 -0,80 1,31 0,56

1980-2012 -4,19 2,14 -1,93

2005-2012 1,11 1,80 2,82

Sumber : Data BPS, 1980-2012

37

Dinamika luas panen kedelai secara gabungan dari tahun 1980-2012 menunjukan

penurunan sebesar 1,65%/tahun. Penurunan luas panen terbesar terjadi pada dekade

kedua (1990-2000) rata-rata sebesar 4,20%/tahun dan dekade ketiga (2000-2012)

menurun sebesar 0,80%/tahun. Sementara pada awal dekade (1980-1990) luas panen

kedelai terjadi peningkatan yang signifikan yakni 7,15%/tahun. Berdasarkan

pengamatan empiris dilapangan diketahui bahwa faktor yang menyebabkan dinamika

luas panen pada dua dekade terakhir adalah : (1) pada dekade pertama harga kedelai

masih kompetitif terhadap harga pangan kompetitor lainnnya, seperti padi, jagung dan

kacang tanah. Dengan kalahnya harga oleh harga kompetitor, maka petani akan

melakukan tindakan yang rasional untuk memilih jenis tanaman dengan harga yang

lebih baik pada lahan yang sama, (2) pada dekade tersebut juga program pemerintah

pada jaman orde baru, masih efektif untuk meingkatkan beberapa komoditas tanaman

pangan, bukan saja kedelai tetapi juga padi dan jagung, (3) pada saat itu, kondisi iklim

juga masih dapat diantisipasi dan tidak terjadi anomali iklim yang cukup mengganggu

pertanaman, disamping kondisi infrastruktur irigasi juga masih relatif baik, karena

ketersediaan anggaran masih cukup baik untuk pengelolaan dan pemeliharaan dan (4)

diduga pada saat tersebut pengendalian impor kedelai masih cukup terkontrol, sehingga

tidak sering terjadi gejolak harga yang menyebabkan petani kedelai mengalami

kerugian karena harga yang diterima petani tidak mampu menutup ongkos produksi.

Pada dekade berikutnya, ditengah-tengah persaingan penggunaan lahan sawah

maupun lahan kering yang mendorong luas panen tanaman kedelai terus menurun

adalah : (1) harga kedelai cenderung turun sampai pada kondisi tidak bisa menutupi

ongkos produksi, hal ini diduga karena masuknya kedelai impor yang tidak dikendalikan

dan juga karena harga pangan competitor lainnya lebih menjanjikan, seperti harga

jagung dan padi, selain itu rendahnya harga kedelai karena tertekan oleh harga impor

kedelai dari luar, (2) program pemerintah terutama pada dekade kedua terlalu bias

terhadap peningkatan produksi padi, dan (3) secara teknis juga pengembangan kedelai

tidak lebih mudah dari pengembangan padi, terutama pada penyediaan benih kedelai

yang memiliki dormansi yang pendek.

38

Dari sisi riset dan teknologi, tampak bahwa perhatian terhadap kedelai terus

meningkat, hal ini dicirikan oleh semakin meningkatnya tingkat produktivitas

pertanaman kedelai yang merupakan proksi dari penerepan teknologi baik dalam hal

perbenihan maupun teknik budidaya. Walaupun peningkatan produktivitas tersebut

masih tergolong rendah jika dibanding dengan Negara-negara subtropis, pada tahun

1980 produktivitas kedelai di Indonesia masih sekitar 0,89 ton/ha dan meningkat terus

sampai pada tahun 2012 menjadi 1,50 ton/ha, atau pertumbuhan produktivitas selama

kurun waktu 1980-2012 adalah rata-rata 1,43%/tahun.

4.1.4. Gula Tebu

Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia

sebagai komoditas khusus (special products), bersama beras, jagung dan kedelai. Di

Indonesia, gula juga merupakan salah satu komoditi penting dan strategis bagi

masyarakat. Pentingnya gula tidak hanya dirasakan bagi konsumen sebagai pengguna

akhir namun juga bagi kalangan industri sebagai produsen yang mengolah komoditi

gula menjadi produk dengan value added tersendiri.

Produksi gula di dalam negeri makin tidak mampu memenuhi kebutuhan

konsumsi, sehingga sejak awal 1990 impor gula terus meningkat dari tahun ke tahun.

Oleh karena itu, Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah untuk menjaga

kestabilan harga gula. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah di akhir tahun 2009

dan di awal tahun 2010 adalah dengan melakukan impor gula. Namun, fakta di

lapangan menunjukkan bahwa upaya pemerintah ini sia-sia. Harga gula tetap saja

tinggi bahkan terus meningkat. Anehnya lagi di saat musim giling tiba harga gula pun

tidak tertekan untuk turun. Impor gula tidak semata-mata dilakukan untuk menekan

harga gula di saat tidak musim giling tetapi juga terutama untuk memenuhi kebutuhan

gula nasional. Produksi gula domestik mengalami berbagai permasalahan terkait

dengan produktivitasnya yang rendah serta belum tercapainya skala ekonomis dari

setiap pabrik gula.

39

Berikut jenis-jenis gula yang dilihat dari keputihannya melalui standar ICUMSA

(International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis):

1. Raw Sugar

Raw Sugar adalah gula mentah berbentuk kristal berwarna kecoklatan dengan

bahan baku dari tebu. Untuk mengasilkan raw sugar perlu dilakukan proses seperti

berikut : Tebu -> Giling -> Nira ->Penguapan -> Kristal Merah (raw sugar). Raw Sugar

ini memiliki nilai ICUMSA sekitar 600 – 1200 IU5. Gula tipe ini adalah produksi gula

“setengah jadi” dari pabrik-pabrik penggilingan tebu yang tidak mempunyai unit

pemutihan yang biasanya jenis gula inilah yang banyak diimpor untuk kemudian diolah

menjadi gula kristal putih maupun gula rafinasi.

2. Refined Sugar/Gula Rafinasi

Refined Sugar atau gula rafinasi merupakan hasil olahan lebih lanjut dari gula

mentah atau raw sugar melalui proses Defikasi yang tidak dapat langsung dikonsumsi

oleh manusia sebelum diproses lebih lanjut. Yang membedakan dalam proses produksi

gula rafinasi dan gula kristal putih yaitu gula rafinasi menggunakan proses Carbonasi

sedangkan gula kristal putih menggunakan proses sulfitasi.

3. Gula Kristal Putih

Gula kristal putih memiliki nilai ICUMSA antara 250-450 IU. Departemen

Perindustrian mengelompokkan gula kristal putih ini menjadi tiga bagian yaitu Gula

kristal putih 1 dengan nilai ICUMSA 250, Gula kristal putih 2 dengan nilai ICUMSA 250-

350 dan Gula kristal putih 3 dengan nilai ICUMSA 350-4507. Semakin tinggi nilai

ICUMSA maka semakin coklat warna dari gula tersebut serta rasanya pun yang semakin

manis.

Sementara itu, bila dilihat perkembangan luas areal, produksi dan produktivitas

berdasarkan analisis per periode dari kurun waktu 1980-2012 disajikan pada Tabel 4.4.

Selama kurun waktu 1980-1990, luas panen tebu mengalami peningkatan 0,46

%/tahun. Sementara produksi tebu meningkat sebesar 5,20 %/tahun, dan

produktivitasnya juga meningkat sebesar 4,74 %/tahun. Dengan demikian, selama

periode ini peningkatan produksi tebu nasional periode 1980-1990 lebih dominan

terdorong oleh peningkatan produktivitasnya. Hal yang berbeda dengan periode

40

berikutnya (1990-2000), tampak bahwa luas panen tebu menurun 0,93 %/tahun,

selanjutnya produksi dan produktivitasnya juga mengalami penurunan masing-masing

sebesar 3,87 %/tahun dan 2,94 %/tahun. Penurunan produksi tebu pada periode

tersebut antara lain disebabkan karena kompetisi lahan usahatani dengan usahatani

padi (untuk pertanaman di lahan sawah) dan kompetisi dengan pertanaman palawija

atau hortikultura (untuk pertanaman di lahan kering). Selain itu, juga terdapatnya alih

penggunaan lahan pertanian didaerah-daerah sentra tebu seperti di Jawa Barat ke

penggunaan non pertanian.

Tabel 4.4. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Gula Tebu di Indonesia, 1980-2012.

Tahun Luas Panen(Ha) Produktivitas(ton/Ha) Produksi(Ton)

1980 316.063 3,99 1259950

1985 340.229 5,58 1898809

1990 363.968 5,82 2119585

1995 435.827 4,77 2077251

2000 340.660 4,96 1690004

2001 344.441 5,01 1725467

2002 350.722 5,00 1755354

2003 335.725 4,86 1631918

2004 344.793 5,95 2051644

2005 381.786 5,87 2241782

2006 396.441 5,82 2307027

2007 427.799 6,13 2623786

2008 436.505 6,11 2668428

2009 422.953 5,95 2517374

2010 432.715 5,29 2290116

2011 447.131 4,98 2228140

2012 465.577 5,59 2601258

(r %/thn)

1980-1990 0,46 4,74 5,20

1990-2000 -0,93 -2,94 -3,87

2000-2012 2,90 0,86 3,76

1980-2012 0,64 0,42 1,06

2005-2012 2,35 -1,84 0,51

Sumber: BPS (1980-2012).

41

Pada periode selanjutnya yaitu 2000-2012, luas panen tebu nasional mengalami

peningkatan 2,90 %/tahun. Sementara peningkatan produksinya juga mulai tinggi lagi

yaitu sebesar 3,76 %/tahun, sedangkan produktivitasnya mengalami peningkatan tipis

sebesar 0,86 %/tahun. Pada periode ini peningkatan produksi tebu nasional juga lebih

dominan terdorong oleh peningkatan luas panennya. Pada tahun 2012, luas panen tebu

nasional mencapai 465,58 ribu ha, sedangkan produksi dan produktivitasnya masing-

masing sebesar 2,60 juta ton dan 5,59 ton/ha.

4.1.5. Ternak Sapi Potong/Daging Sapi

Ternak Sapi mempunyai peran terbesar dalam perekonomian dibandingkan

komoditas ruminansia lain karena jumlah produksi sapi mencapai 80 persen dari total

ruminansia dan hampir tersebar di seluruh provinsi (Yusdja et al, 2006). Daging sapi

lebih populer dibandingkan jenis daging lainnya dan menjadi makanan yang banyak

dikonsumsi oleh berbagai kalangan, disajikan mulai dari warung-warung di pinggir jalan

hingga ke restoran dan bahkan di hotel-hotel berbintang lima.

Struktur usaha peternakan sapi potong sebagian besar tetap bertahan dalam

bentuk usaha rakyat. Usaha ternak mempunyai ciri-ciri antara lain tingkat pendidikan

peternak rendah, pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi

konvensional, lokasi ternak menyebar luas, skala usaha relatif kecil serta pengadaan

input utama yaitu hijauan makanan ternak (HMT) masih tergantung musim,

mengandalkan tenaga kerja keluarga, penggunaan lahan HMT dan produksi butiran-

butiran terbatas dan sebagian tergantung impor (Ilham et.al, 2009). Menurut

Simatupang et. al (1993) usaha ternak sapi potong pada umumnya merupakan usaha

peternakan keluarga dan sebagai usaha sampingan petani. Pemeliharaan sapi oleh

petani biasanya dikaitkan dengan tujuan multiguna karena selama dipelihara untuk

digemukkan juga sebagai ternak kerja dan tabungan usaha peternakan ssapi potong

berkembang hampir di seluruh Indonesia.

Secara agregat populasi sapi potong di Indonesia terus meningkat dari waktu ke

waktu. Kegiatan pemeliharaan yang didominasi oleh usaha rumah tangga dan

umumnya kurang intensif menyebabkan perkembangan populasi tidak begitu besar.

42

Selama periode tahun 1980-2012, populasi sapi potong yang dipelihara di Indonesia

meningkat dengan rata-rata 1,64 %/tahun. Bila dilihat dari produksi daging yang

dihasilkan maka peningkatannya berkisar pada angka 2,42 %/tahun. Lebih besarnya

rata-rata laju peningkatan produksi daging sapi dibandingkan dengan laju peningkatan

populasi sapi menunjukkan telah terjadi peningkatan berat rata-rata sapi yang

dipelihara, dan ini berpengaruh sangat nyata terhadap berat karkas yang dihasilkan.

Periode 1990-2000 merupakan periode yang paling rendah perkembangan

populasi sapi potong, yaitu hanya sekitar 0,76 %/tahun. Rendahnya populasi sapi pada

periode tersebut juga diiringi dengan paling rendahnya perkembangan tingkat produksi

daging dibandingkan periode-periode sebelum dan sesudahnya. Pada periode ini adalah

munculnya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang menyebabkan usaha

penggemukkan sapi potong mengalami penurunan produksi yang tajam (Yusdja, et. al,

2006). Masih menurut Yusdja et.al (2006) ternyata sumbangan produksi daging sapi

lebih besar dari sisi ternak modern sedangkan tradisional terus menurun. Hal ini sangat

memprihatinkan karena proses produksi ternak modern sangat tergantung pada impor.

Pada periode 2000-2012 terjadi pertumbuhan populasi yang lebih tinggi

dibandingkan periode sebelumnya. Kecenderungan perkembangan populasi sapi potong

menunjukkan trend peningkatan yang lebih positif. Hal ini diperlihatkan dalam periode

2005-2012 rata-rata perkembangan populasi sapi mencapai 6,02 %/tahun lebih tinggi

dibandingkan periode-periode sebelumnya (Tabel 4.5). Namun menurut Yusdja et. al

(2006) pertumbuhan yang diharapkan adalah 15 %/tahun.

Peningkatan populasi sapi potong pada periode ini juga diiringi dengan

peningkatan produksi daging yang trendnya menunjukkan ke arah yang lebih positif.

Hal ini diperlihatkan dari perkembangan produksi daging sapi pada periode akhir-akhir

ini (2005-2012) sebesar 4,86 persen yang lebih tinggi dibandingkan periode-periode

sebelumnya. Namun menurut Yusdja et al (2006) ternyata sumbangan produksi daging

sapi lebih besar dari sisi ternak modern sedangkan tradisional terus menurun. Hal ini

sangat memprihatinkan karena proses produksi ternak modern sangat tergantung pada

impor.

43

Tabel 4.5. Perkembangan Populasi dan Produksi Daging Ternak Sapi Potong di

Indonesia, 1980-2012.

Tahun Populasi (ribu ekor) Produksi (Ton)

1980 6440 220800

1985 9318 227400

1995 11534 311966

2000 11008 339941

2001 11138 338685

2002 11298 330300

2003 10504 369710

2004 10533 447570

2005 10569 358700

2006 10875 395843

2007 11515 339480

2008 12257 392511

2009 12760 409300

2010 13582 436500

2011 14824 465800

2012 16034 505500

(r %/thn)

1980-1990 4,69 1,47

1990-2000 0,76 2,15

2000-2012 3,14 2,84

1980-2012 1,64 2,42

2005-2012 6,02 4,86

Sumber: BPS (1980-2012).

4.2. Permintaan Komoditas Pangan

4.2.1. Padi/Beras

Konsumsi beras nasional antara lain dipengaruhi oleh beberpa faktor seperti:

pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pendapatan per kapita, tingkat harga-harga

komoditas pangan penting dan selera. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia dalam

periode 1980-2012 sebesar 1,51 %/tahun. Terdapat kecenderungan yang menurun laju

pertumbuhan penduduk untuk setiap periodenya yaitu dari 2,06 %/tahun menjadi 1,50

%/tahun.

44

Konsumsi beras per kapita pada tahun 1980 sebesar 131,40 kg/kapita/tahun

meningkat menjadi 139,00 kg/kapita/tahun pada tahun 2012 atau laju pertumbuhannya

meningkat sebesar 0,02 persen pertahun. Tingkat konsumsi beras per kapita pada

tahun 1999 merupakan angka paling tinggi selama periode 1980-2012. Perlu diketahui

pula bahwa pada tahun 1999 Indonesia mengimpor beras sebesar 4,75 juta ton beras

yang merupakan angka tertinggi selama 20 tahun terakhir. Tingginya impor tersebut

disebabkan turunnya produksi dalam negeri karena kemarau panjang akibat El Nino.

Laju pertumbuhan konsumsi beras per kapita setiap periodenya mengalami

penurunan. Pada periode 1980-1990 peningkatannya sebesar 1,16 %/tahun, kemudian

menjadi 0,46 %/tahun pada periode 1990-2000, dan selanjutnya laju pertumbuhan

stagnan sebesar nol persen pada periode 2000-2012. Bahkan pada periode 2005-2012,

laju pertumbuhan konsumsi beras per kapita per tahun menurun sebesar -0,17

%/tahun.

Secara nasional, tingkat konsumsi beras per kapita per tahun menunjukkan

penurunan. Penurunan konsumsi ber per kapita secara drastis, yaitu dari sebesar

165,88 kg/kapita/tahun pada tahun 1990, menurun menjadi 149,65 kg/kapita/tahun

pada tahun 2000 atau mengalami penurunan sebesar 10,85 persen.

Menurut Erwidodo dan Pribadi (2004) secara agregat makin tinggi pendapatan,

konsumsi beras per kapita makin menurun. Meningkatnya pendapatan telah mengubah

preferensi konsumsi terhadap barang. Pertumbuhan ekonomi juga mengakibatkan

pendidikan masyarakat meningkat. Perubahan tingkat pendidikan dan atau pendapatan

konsumsi akan membawa kesadaran pentingnya aspek kesehatan termasuk

pemenuhan konsumsi pangan yang mengarah pada diversifikasi konsumsi pangan dan

gizi yang dituangkan dalam norma Pola Pangan Harapan. Di sisi lain terus

dicanangkannya program diversifikasi pangan dan gizi yang salah satunya untuk

mempertahankan swasembada beras diduga turut menentukan terjadinya perubahan

preferensi penduduk terhadap suatu komoditas.

Pada tahun 1980 konsumsi beras nasional mencapai sebesar 19,27 juta ton,

meningkat menjadi sebesar 34,33 juta ton pada tahun 2002 atau mengalami

peningkatan sebesar 1,49 %/tahun. Laju pertumbuhan konsumsi beras nasional setiap

45

periodenya selalu meningkat, namun dengan trend yang semakin menurun. Pada

periode tahun 1980-1990, peningkatannya sebesar 3,19 %/tahun, kemudian menjadi

sebesar 1,98 %/tahun dan menjadi 1,50 %/tahun pada periode 2000-2012 (Tabel 4.6).

Dalam periode 2005-2012 laju pertumbuhan konsumsi beras nasional menjadi 1,46

%/tahun, yang jauh lebih rendah dibandingkan periode 1980-1990. Bila dibandingkan

dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk maka laju pertumbuhan konsumsi beras

nasional periode ini terlihat lebih rendah, yaitu 1,58 %/tahun berbanding 1,58

%/tahun.

Hal yang mendukung penurunan konsumsi beras nasional selama periode 2005-

2012 adalah adanya dampak dan keberhasilan program diversifikasi pangan, tingkat

pendapatan penduduk yang semakin membaik serta beralihnya selera penduduk ke

komoditas lain sebagai sumber alternatif seperti gandum (mie, roti, dll.), kentang dan

umbi-umbian lainnya.

Dari sisi konsumsi arah perkembangan dapat diuraikan sebagai berikut:

(1) Pertumbuhan penduduk Indonesia akan turun secara berkelanjutan sehingga

akan menurunkan pertumbuhan permintaan total beras.

(2) Pada umumnya permintaan pangan akan semakin beragam dengan kualitas

semakin tinggi, sementara permintaan pangan per kapita akan mengalami

pelandaian bahkan menurun.

(3) Tingkat pendapatan per kapita penduduk Indonesia akan terus meningkat.

(4) Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa pertumbuhan

konsumsi beras per kapita dan pertumbuhan total konsumsi beras pada

waktu yang akan datang akan berada pada trend pertumbuhan yang

stagnan, dan bahkan menurun.

46

Tabel 4.6. Konsumsi Beras per Kapita Nasional dan Jumlah Penduduk, 1980-2012.

Tahun

Konsumsi beras per

kapita (kg/kapita/tahun)

Konsumsi beras nasional (ton/tahun)

Jumlah penduduk (jiwa)

1980

1985 1990 1991

1995 2000

2001 2002 2003

2004 2005

2006 2007

2008 2009 2010

2011 2012

(r %/thn) 1980-1990

1990-2000 2000-2012 1980-2012

2005-2012

131,40

145,45 150,05 146,74

151,79 149,65

139,35 140,55 140,95

139,88 142,69

141,59 147,22

144,42 144,39 144,35

144,32 139,00

1,16

0,46 0,00 0,02

-0,17

19267313

23761730 26734409 26573734

29369240 30804405

29045696 29664905 30124116

30267514 31370682

31538748 33219015

33219633 33845016 34340865

34786604 34333000

3,19

1,98 1,50 1,49

1,46

146631

163367 178170 181094

193486 205843

208437 211063 213722

216382 219852

222747 225642

230021 234400 237900

241038 245000

2,06

1,52 1,50 1,51

1,68

Sumber: BPS (1980-2012).

4.2.2. Komoditas Jagung

Jagung merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras yang sangat

berperan dalam menunjang ketahanan pangan, kecukupan pasokan pakan ternak, dan

bahkan akhir-akhir ini dijadikan sebagai bahan baku energi alternatif (biofuel). Posisi

jagung dalam diversifikasi konsumsi pangan berfungsi dalam mengurangi

ketergantungan terhadap makanan pokok beras. Jagung juga sangat berperan dalam

industri pakan dan industri pangan yang memerlukan pasokan terbesar dibanding untuk

konsumsi langsung. Dengan demikian, permintaan jagung untuk memenuhi kebutuhan

47

pangan, industri bahan makanan, dan bahan baku pakan serta kedepan untuk bahan

baku energi (bioetanol) akan makin meningkat dari tahun ke tahun.

Selama kurun waktu 2000-2004, diketahui bahwa produksi jagung nasional selalu

dibawah total kebutuhan jagung nasional (PSE-KP, 2012). Masih rendahnya produksi

jagung nasional, sementara kebutuhannya meningkat pesat menyebabkan terjadinya

ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan jagung. Oleh karena itu, untuk mencukupi

berbagai kebutuhan (untuk makanan atau konsumsi langsung, bahan baku industri

olahan dan terutama bahan baku pakan ternak) telah dilakukan impor jagung pada

kurun waktu tersebut dengan kisaran antara 1,08 juta – 1,37 juta ton.

Seperti disajikan pada Tabel 4.7, bahwa laju konsumsi jagung perkapita total

selama kurun waktu 1980-2012 sekitar 2,14 %/tahun yaitu meningkat dari 27,33

kg/kap/tahun menjadi 58,89 kg/kap/tahun. Bila kita analisis perkembangan dalam

sepuluh tahun terakhir (2000-2012) ternyata laju peningkatan konsumsi perkapitanya

relatif lebih tinggi yaitu mencapai 3,60 %/tahun. Penggunaan jagung selain untuk

konsumsi pangan, juga untuk bahan baku industri pangan, dan pakan.

Konsumsi total jagung selama kurun waktu 1980-2012 meningkat sebesar 3,86

%/tahun yaitu meningkat dari 4,08 juta ton menjadi 14,43 juta ton. Bila kita analisis

perkembangan dalam sepuluh tahun terakhir (2000-2012) ternyata laju peningkatan

konsumsi totalnya relatif lebih tinggi yaitu mencapai 5,16 %/tahun.

48

Tabel 4.7. Perkembangan Konsumsi Perkapita (Kg/kap/tahun) dan Konsumsi total Jagung Nasional (Ton), 1980-2012.

Tahun Konsumsi Perkapita (Kg/tahun) Konsumsi (Ton)

1980 27,33 4007425

1985 21,16 3456846

1990 29,68 5288086

1995 33,08 6400517

2000 46,71 9614927

2001 37,62 7841400

2002 33,78 7129708

2003 37,74 8065868

2004 37,50 8114325

2005 39,27 8633588

2006 39,17 8725000

2007 39,18 8840654

2008 46,27 10641922

2009 53,35 12505240

2010 53,53 12734787

2011 52,37 12623160

2012 58,89 14428050

(r %/thn) 1980-1990 1,35 3,49

1990-2000 4,39 5,91

2000-2012 3,60 5,16

1980-2012 2,41 3,86

2005-2012 6,32 7,86

Sumber: BPS, diolah.

4.2.3. Kedelai

Meskipun Indonesia bukan Negara produsen utama komoditas kedelai, namun

perkembangan permintaan kedelai sangat tinggi. Penyebab permintaan tinggi terutama

adalah tingginya konsumsi tempe dan tahu yang sudah merupakan bagian hidup

keseharian. Berdasarkan Tabel 4.8 diketahui bahwa konsumsi kedelai per kapita adalah

berkisar antara 6-11 kg/kapita/tahun. Tampak bahwa sejak tahun 1996- 2007 konsumsi

kedelai masyarakat cenderung menurun yaitu dari 11 kg/kap/tahun menjadi 7,5

kg/kap/tahun, dan meningkat lagi dari tahun 2008 sampai 2012 menjadi 8,5

49

kg/kap/tahun. Dengan melihat fluktuatif pada masa tersebut, maka diduga bahwa

penurunan konsumsi kedele lebih banyak dipengaruhi oleh harga kedele itu sendiri.

Misalnya sejak krisis ekonomi nilai rupiah melemah sehingga harga kedelai impor

melambung tinggi, menyebabkan harga produk berbahan baku kedelai menjadi tinggi,

sementara pendapatan masyarakat tidak berubah sejajar dengan perubahan harga

kedelai, sehingga menurunkan kemampuan daya beli pangan berbahan baku kedelai.

Dengan mengalikan konsumsi per kapita dengan jumlah penduduk Negara

Indonesia, maka diketahui jumlah konsumsi kedelai secara nasional per tahun. Secara

umum jumlah konsumsi kedelai dari tahun 1980 sampai 2012 mengalami pertumbuhan

yang positif yakni sebesar 1,59 %/tahun. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada periode

1980-1990 yakni sebesar 8,21 %/tahun. Pada kurun waktu tahun 1990-2000 terjadi

penurunan permintaan nasional sebesar 0,53 %/tahun dan merangkak naik pada

periode 2000-2012 sebesar 0,92 %/tahun. Terjadinya penurunan konsumsi kedelai

pada kurun waktu 1990-2000 lebih disebabkan oleh adanya gejolak krisis ekonomi pada

tahun 1997, sehingga menyebabkan harga kedelai impor naik tajam. Dalam waktu

bersamaan daya beli konsumen juga menurun, karena penyesuaian upah yang biasanya

terjadi tidak simetris dengan kenaikan upah dan harga-harga barang.

Dengan memperhatikan phenomena kedelai Indonesia, baik dari sisi jumlah

konsumsi, sifat intrinsik kedelai, kebutuhan protein nabati, maka tampak kedepan perlu

ada pemikiran secara seksama dan menyeluruh tentang kebutuhan protein nabati.

Karena bagi masyarakat Indonesia konsumsi kedele adalah suatu keniscayaan dan

sebagai asupan protein nabati, jika asupan protein nabati ini sering mengalami

goncangan sehingga mengganggu kebutuhan minimal protein nabatinya, maka dalam

jangka panjang akan menurunkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Oleh karena

itu, pemikiran yang harus menyeluruh dipikirkan adalah : (1) mencari alternatif sumber

protein nabati dari kacang-kacangan yang secara geografis merupakan potensi nasional

indonesia, hal ini dapat dilakukan melalui temuan rekayasa genetik, (2) perlu

melakukan pengembangan varietas komoditi kacang-kacangan yang mirip kedelai tetapi

cocok untuk wilayah Indonesia, sehingga dapat mensubstitusi kedelai impor, (3) perlu

50

mengembangkan teknologi olahan pangan untuk mengsubstitusi kebutuhan protein

nabati yang bentuknya mirip dengan tempe tetapi non kedelai.

Tabel 4.8. Konsumsi per kapita, Jumlah Penduduk dan Konsumsi Kedelai Nasional, 1980-2012.

Tahun Konsumsi Kedele

(kg/Kap/thn)

Jumlah Penduduk (ribu

jiwa)

Konsumsi Kedele

(ton)

1980 5,98 146631 876853

1985 7,24 163367 1182777

1990 10,72 178170 1909982

1995 11,05 193486 2138020

2000 10,40 205843 2140767

2001 9,54 208437 1988489

2002 8,68 211063 1832027

2003 7,84 213722 1675580

2004 7,58 216382 1640176

2005 7,75 219852 1703853

2006 7,11 222747 1583731

2007 7,59 225642 1712623

2008 8,11 230021 1864320

2009 8,62 234400 2020528

2010 9,79 237900 2329041

2011 8,30 241038 2000615

2012 8,48 245000 2077600

(r %/thn)

1980-1990 6,17 2,06 8,21

1990-2000 -2,05 1,52 -0,53

2000-2012 -0,65 1,47 0,92

1980-2012 0,27 1,51 1,59

2005-2012 2,63 1,58 4,18

Sumber: BPS, diolah.

4.2.4. Gula Tebu.

Konsumsi gula kristal putih (sugar cane) perkapita meningkat dari 13,66

kg/kapita/tahun pada tahun 1980 menjadi 17,50 kg/kapita/tahun pada tahun 2012 atau

meningkat rata-rata 1,30 %/tahun. Laju pertumbuhan konsumsi gula tebu

menunjukkan trend yang meningkat setiap periodenya. Laju pertumbuhan pada periode

51

1990-2000 sebesar 0,15 %/tahun tahun meningkat menjadi 3,96 %/tahun pada

periode 2000-2012 dan meningkat lebih lambat pada periode 2005-2012 yaitu sebesar

0,17 %/tahun. Sementara pada periode 1980-1990 konsumsi gula tebu per kapita

mengalami peningkatan sebesar 0,49 %/tahun (Tabel 4.9).

Tabel 4.9. Perkembangan Konsumsi Perkapita (Kg/kap/tahun) dan Konsumsi total Gula

Tebu Nasional (Ton), 1980-2012.

Tahun Konsumsi Perkapita (Kg/tahun) Konsumsi (Ton)

1980 13,66 2002979

1985 11,35 1854215

1990 13,39 2385696

1995 14,72 2848114

2000 11,17 2299266

2001 14,90 3105711

2002 11,54 2435667

2003 10,36 2214160

2004 11,99 2594420

2005 15,46 3398912

2006 13,16 2931351

2007 22,23 5016022

2008 20,34 4677477

2009 18,44 4322336

2010 14,92 3549468

2011 17,13 4128981

2012 17,50 4287500

(r %/thn)

1980-1990 0,49 2,65

1990-2000 0,15 1,63

2000-2012 3,96 5,34

1980-2012 1,30 2,81

2005-2012 0,71 2,20

Sumber: BPS, diolah.

Selanjutnya bila dilihat dari total konsumsi gula tebu nasional selama periode

1980-2012 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,81 %/tahun, yaitu dari 2,003

juta ton (tahun 1980) menjadi 4,287 juta ton (tahun 2012). Bila dianalisis persegmen

52

waktunya, terlihat bahwa periode 1990-2000 merupakan peningkatan konsumsi terkecil

yaitu sebesar 1,63 %/tahun. Hal ini mengingat tingkat konsumsi gula perkapita pada

periode tersebut juga relatif kecil peningkatannya. Periode 2000-2012, dimana seiring

dengan peningkatan konsumsi dan pendapatan masyarakat ternyata konsumsi gula

nasional juga meningkat pesat dengan rata-rata sebesar 5,34 %/tahun. Hasil kajian

Bappenas (2013) bahwa selama kurun waktu 2008-2012, konsumsi gula GKP

cenderung menurun karena menurunnya konsumsi per kapita, sementara konsumsi

gula GKR terus meningkat karena berkembangnya industri makanan, minuman dan

farmasi. Namun total konsumsi gula GKP dan GKR terus meningkat yaitu dari 4.218 ribu

ton pada tahun 2008 menjadi 4.557 ribu ton pada tahun 2012 atau meningkat sekitar

2%/tahun.

4.2.5. Ternak Sapi Potong/Daging Sapi

Daging sapi masih merupakan bahan pangan mewah bagi sebagian besar

penduduk Indonesia. Oleh karena variabel harga dan pendapatan masyarakat sangat

menentukan tingkat konsumsi daging. Tapi meskipun demikian pesatnya pertumbuhan

penduduk dan meningkatnya mutu kehidupan rata-rata masyarakat, menyebabkan

permintaan daging terus meningkat, jika dirinci menurut jenis daging, penduduk

Indonesia lebih banyak mengkonsumsi daging ayam broiler dan daging sapi.

Konsumsi daging sapi per kapita meningkat dari 1,0 kg/kapita/tahun pada tahun

1980 menjadi 1,29 kg/kapita/tahun pada tahun 2012 atau meningkat rata-rata 1,25

%/tahun. Laju pertumbuhan konsumsi daging sapi menunjukkan trend yang meningkat

setiap periodenya. Laju pertumbuhan pada periode 1990-2000 sebesar 1,23 %/tahun

meningkat menjadi 2,11 %/tahun pada periode 2000-2012 dan meningkat lebih tinggi

laju pada periode 2005-2012 sebesar 4,01 %/tahun. Sementara pada periode 1980-

1990 konsumsi daging sapi per kapita mengalami penurunan rata-rata sebesar 0,70

%/tahun. Hal ini disebabkan dalam periode ini konsumsi daging sapi digeser oleh

konsumsi daging ayam broiler. Seperti diketahui dalam periode 1983-1993 tingkat

produksi daging ayam broiler dua kali lipat lebih besar dibandingkan produksi daging

sapi (Yusdja et al., 2006). Faktor lainnya adalah diduga karena daging sapi masih

53

dianggap bahan makan mewah dan mahal, sehingga sangat terkait erat dengan

tingkat pendapatan masyarakat. Perlu diketahui juga dalam periode ini juga agribisnis

dan agroindustri sapi masih lemah sekali dan memprihatinkan.

Konsumsi daging sapi per kapita di Indonesia relatif rendah, apakah karena

harganya mahal atau karena daya beli rendah ataukah karena kurang menyukai daging.

Tingkat konsumsi daging sapi per kapita tertinggi sebesar 1,41 kg/kapita/tahun terjadi

pada tahun 2010. Perlu diketahui bahwa pada tahun 1990 konsumsi daging sapi per

kapita telah ditargetkan sebesar 1,79 kg/kapita/tahun (Simatupang et al., 1993).

Menurut Azis (1993) tingkat konsumsi daging sapi per kapita masih relatif rendah

dibanding negara-negara lain, termasuk didalamnya negara-negara tetangga seperti

Brunei, Malaysia dan Singapura. Pada tahun 1987, Negara Brunei, Malaysia dan

Singapura masing-masing telah mengkonsumsi daging per kapita sebesar 28,32 kg,

2,51 kg, dan 3,97 kg per kapita per tahun. Berdasarkan Standar Widya Karya Nasional

Pangan dan Gizi 1998, protein hewani dari produk peternakan sebanyak 6

gram/kapita/hari atau setara dengan daging sebanyak 10,3 kg/kapita/tahun. Maka jika

daging sapi memberikan kontribusi 25 persen, maka konsumsi daging sapi minimal

harus kurang lebih 2,50 kg/kapita/tahun.

Selama periode 1980-2012 konsumsi daging sapi meningkat dari 146,63 ribu ton

pada tahun 1980 menjadi 318,63 ribu ton pada tahun 2012 dengan laju pertumbuhan

sebesar 2,74 %/tahun. Laju pertumbuhan konsumsi daging sapi nasional menunjukkan

trend yang semakin meningkat dari 1,46 %/tahun pada periode 1980-1990, meningkat

menjadi 2,69 %/tahun periode 1990-2000 dan terus meningkat menjadi 3,65 %/tahun

periode 2000-2012.

Demikian juga halnya dengan periode terakhir 2005-2012 meningkat lebih tinggi

lagi menjadi 5,62 %/tahun. Melihat fenomena pertumbuhan konsumsi daging sapi ini,

maka ke depan konsumsi daging sapi di Indonesia akan terus meningkat, beberapa

variabel yang dapat dijadikan dasar adalah: (1) jumlah penduduk terus meningkat, (2)

pendapatan rata-rata terus meningkat, (3) permintaan daging sapi sifatnya elasitas.

Perkembangan konsumsi daging sapi per kapita, konsumsi daging sapi nasional

dan jumlah penduduk Indonesia periode 1980-2012 disajikan pada Tabel 4.10.

54

Tabel 4.10. Konsumsi Daging Sapi per Kapita dan Nasional, 1980-2012

Tahun Konsumsi daging sapi

per kapita

(kg/kapita/tahun)

Konsumsi daging sapi nasional (ton)

Jumlah penduduk (000 Jiwa)

1980 1,00 146.631 146.631

1985 0,86 140.496 163.367

1990 0,9 160.353 178.170

1995 1,02 197.356 193.486

2000 1,13 232.603 205.843

2001 1,06 220.943 208.437

2002 0,94 198.399 211.063

2003 1,03 220.134 213.722

2004 1,23 266.150 216.382

2005 1,01 222.051 219.852

2006 1,11 247.249 222.747

2007 1,02 230.155 225.642

2008 1,15 263.374 230.021

2009 1,27 297.688 234.400

2010 1,41 335.439 237.900

2011 1,26 303.708 241.038

2012 1,29 318.630 245.000

(r %/thn)

1980-1990 -0,7 1,46 2,06

1990-2000 1,23 2,69 1,52

2000-2012 2,11 3,65 1,5

1980-2012 1,25 2,74 1,51

2005-2012 4,01 5,62 1,68

Sumber: BPS, diolah.

4.3. Ekspor Impor Komoditas Pangan

4.3.1. Padi/Beras

Mengingat produksi beras nasional sampai saat ini masih dianggap hanya untuk

mencukupi konsumsi dalam negeri, maka ekspor beras Indonesia dari tahun ke tahun

relatif kecil. Ekspor beras tertinggi terjadi pada tahun 1993 sebesar 350.606 ton dan

tahun 1985 sebesar 258.712 ton. Perlu diketahui bahwa dalam periode 1984-1986,

Indonesia berada dalam periode swasembada beras, dan periode 1987-1993 periode

55

swasembada beras on trend. Secara umum dapat disebutkan bahwa ekspor beras yang

cukup besar terjadi pada periode swasembada beras.

Keragaan impor beras relatif berfluktuasi tergantung dari banyak hal seperti

kondisi produksi dalam negeri, situasi politik, harga beras dunia dan lain-lain. Pada

periode 1980-2002, impor beras tertinggi terjadi pada tahun 1998 (pada saat krisis

moneter) yang mencapai angka volume sebesar 2,89 juta ton dan meningkat pada

tahun berikutnya 1999 hingga mencapai 4,74 juta ton, yang merupakan angka tertinggi

dalam sejarah impor beras Indonesia sampai saat ini. Kondisi ini disebabkan program

pemulihan produksi beras nasional menghadapi berbagai masalah. Perekonomian

Indonesia belum pulih setelah diterpa krisis multidimensi ekonomi nasional dan politik

pada tahun 1997-1998.

Menurut Erwidodo dan Pribadi (2004), dalam kurun waktu 1997-2000, impor

beras sangat berfluktuasi, tetapi volumenya jauh lebih besar dibandingkan periode

sebelumnya. Pada tahun 1999 volume beras mencapai 4,5 juta ton, angkat tertinggi

selama 20 tahun terakhir. Tingginya impor tersebut disebabkan turunnya produksi

dalam negeri karena kemarau panjang akibat El Nino. Demikian juga halnya dalam

periode 2005-2012 impor beras sangat berfluktuatif. Tahun 2007 sebesar 1,41 juta ton

menurun menjadi 0,29 juta ton dan tahun 2011 sebesar 2,7 juta ton menurun drastis

menjadi hanya sebesar 0,67 juta ton. Pada tahun 2007 dan 2001 karena beras nasional

menurun.

Impor tertinggi kedua sebesar 3,16 juta ton beras terjadi pada tahun 1995

setahun setelah Indonesia tidak berswasembada beras lagi. Menurut Simatupang

(2000) dalam Sapuan (1999) bahwa sejak swasembada beras diraih pada tahun 1984,

laju pertumbuhan beras nasional cenderung menurun dan tidak stabil sehingga sejak

tahun 1994 Indonesia sudah tidak lagi berswasembada beras.

Swasembada beras yang dicapai pada tahun 1984 menurun menjadi

swasembada on-trend pada periode 1987-1994, lalu menjadi defisit mutlak

berkelanjutan sejak tahun 1994. Sejak pertengahan tahun 1990-an Indonesia telah

kembali menjadi importir beras terbesar di dunia.

56

Adapun perkembangan ekspor dan impor beras nasional pada periode 1980-

2012 disajikan pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11. Perkembangan Ekspor dan Impor Beras di Indonesia, 1980-2012

Tahun Ekspor (ton) Impor (ton)

1980 10003 2011713

1985 258712 33853

1990 1911 49577

1995 5 3157700

2000 1190 1355038

2001 3952 642168

2002 4154 1798498

2003 699 1625753

2004 905 390832

2005 42285 188945

2006 940 456100

2007 1194 1406278

2008 1867 288369

2009 2395 248454

2010 345 686108

2011 1062 2698990

2012 1003 670000

(r %/thn)

1980-1990 10,7 -29,2

1990-2000 -17,29 20,98

2000-2012 -7,48 -0,8

1980-2012 -6,01 2,32

2005-2012 -54,13 17,75

Sumber: BPS, diolah.

4.3.2. Jagung

Jagung memiliki peran strategis bagi masyarakat Indonesia. Bagi Indonesia

dengan jumlah penduduk sekitar 245 juta jiwa dan berkembangnya industri peternakan

yang membutuhkan pakan dengan bahan baku jagung akan sangat beralasan untuk

memprioritaskan pengembangan produksi jagung dalam negeri. Permintaan jagung

untuk memenuhi kebutuhan pangan, industri bahan makanan, dan bahan baku pakan

57

serta kedepan untuk bahan baku energi (bioetanol) akan semakin meningkat dari tahun

ke tahun.

Selain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, surplus produksi jagung juga

dapat diekspor ke pasar internasional. Pemenuhan kebutuhan jagung bila

mengandalkan impor akan berisiko tinggi, akan berdampak terhadap indutri peternakan

(pakan) dalam negeri, dan akan mematikan petani jagung Indonesia, karena usahatani

jagung Indonesia yang tradisional harus bersaing dengan usahatani jagung negara

maju.

Saat ini, masih belum mampunya produksi jagung nasional dalam memenuhi

kebutuhan jagung secara menyeluruh menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam

pemenuhan kebutuhan jagung. Oleh karena itu, untuk mencukupi berbagai kebutuhan

(untuk makanan atau konsumsi langsung, bahan baku industri olahan dan terutama

bahan baku pakan ternak) telah dilakukan impor. Perkembangan impor dalam kurun

waktu 1980-2012 menunjukkan peningkatan signifikan yaitu 7,81 %/tahun, yaitu dari

33,77 ribu ton (tahun 1980) menjadi 1,700 juta ton (tahun 2012). Bila dilihat penggal

perkembangannya, tampak bahwa pada periode 1990-2000, peningkatannya cukup

besar yaitu 16,66 %/tahun. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya kebutuhan

pakan ternak, seiring dengan makin meningkatnya industri peternakan ayam ras

terutama setelah munculnya peraturan perunggasan nasional tahun 1992. Selanjutnya

dalam perkembangan tujuh tahun terakhir (2005-2012), tampak bahwa peningkatan

impor sangat tajam hingga mencapai 18,94 %/tahun yaitu dari 185,60 ribu ton (tahun

2005) menjadi 1,700 juta ton (tahun 2012).

Adapun ekspor jagung tampaknya masih sangat kecil dengan kisaran antara 3.542

– 144.930 ton. Secara lengkap kinerja perkembangan impor dan ekspor jagung nasional

1980-2012 disajikan pada Tabel 4.12.

58

Tabel 4.12. Perkembangan Ekspor dan Impor Jagung di Indonesia, 1980-2012

Tahun Ekspor Impor

1980 14890 33772

1985 3542 50037

1990 144930 9050

1995 79285 969194

2000 28066 1264575

2001 90474 1035797

2002 16306 1154063

2003 33691 1345452

2004 32679 1088928

2005 54009 185597

2006 28074 1775321

2007 101740 701953

2008 107001 286541

2009 62575 338798

2010 41954 1527516

2011 30787 2889174

2012 31745 1700000

(r %/thn) 1980-1990 23,91 5,80

1990-2000 17,49 16,66

2000-2012 1,18 4,33

1980-2012 0,79 7,81

2005-2012 -7,61 18,94

Sumber: BPS, diolah.

4.3.3. Kedele

Untuk komoditas kedelai Indonesia sudah dapat dipastikan bahwa secara nasional

untuk neraca konsumsi dan produksi dalam posisi defisit. Karenanya dari neraca

perdagangan internasional, Indonesia merupakan Negara peng-impor kedelai (net

importer) dari tahun ke tahun. Secara rinci kinerja ekspor dan impor tertera pada Tabel

4.13. Berdasarkan Tabel tersebut menginformasikan bahwa kendatipun Indonesia

merupakan Net Importir kedelai, namun tampak bahwa pada saat-saat tertentu

melakukan ekspor dengan jumlah kurang dari 1% dibandingkan dengan volume impor,

jumlah kedelai yang diekspor tertinggi yaitu pada tahun 2006 mencapai 4.633 ton dan

59

pada tahun 1992 sebanyak 3.911 ton. Pola ekspor kedelai mulai dari tahun 1988

dengan jumlah 38 ton semakin meningkat dengan puncak tertinggi pada tahun 1992

dan turun lagi menjelang krisis ekonomi 1997. Sementara antara tahun 2000 sampai

dengan 2012 terjadi fluktuatif dan cenderung menurun, terutama dari tahun 2000

sampai dengan 2012 menurun 1,13 %/tahun.

Untuk jumlah yang diimpor jauh lebih besar mencapai 99,95% dan dari tahun ke

tahun cenderung meningkat. Pada tahun 1980 volume impor hanya 100.878 ton terus

meningkat hingga pada tahun 2012 mencapai 2,3 juta ton atau dengan kata lain

pertumbuhan impor kedelai dalam kurun 3 dekade mencapai 5,96 %/tahun.

Peningkatan impor kedelai ini relatif melandai dibandingkan pada periode sebelumnya,

misalnya pada periode 1980-1990, walaupun jumlahnya tidak seperti sekarang tapi

pertumbuhan impornya mencapai 7,18 %/tahun, 1990-2000 menjadi 6,65 %/tahun dan

2000-2012 melandai lagi menjadi 4,84 %/tahun.

Dengan tingginya permintaan konsumsi kedelai domestik terutama untuk industri

tahu dan tempe, maka pengembangan substitusi impor kedelai ini perlu mendapat

perhatian yang serius. Terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam

pengembangan kedelai lokal sebagai substitusi impor kedelai, diantaranya adalah : (1)

pengembangan industri perbenihan kedelai, benih kedelai memiliki karakteristik yang

berbeda dengan komoditas palawija lainnya seperti jagung, diantaranya adalah kedelai

memeiliki masa dormansi yang pendek sehingga perlu disiapkan benih yang jumlah dan

kualitas yang baik dalam waktu yang relatif singkat. Karenanya pengembangan benih

kedelai harus dilaksanakan lintas wilayah yang memiliki musim yang berbeda atau antar

musim dan agroekosistem, seperti kedelai lahan tegalan MH mensupply bibit untuk

persawahan MK, (2) pengembangan pola tanam antar agroekosistem dan antar

wilayah, (3) perlu kebijakan pengaturan harga kedelai untuk merangsang petani dalam

penanaman kedelai. Pengalaman empiric menunjukan bahwa sebenarnya perbedaan

harga kedelai impor dan domestik adalah hal yang wajar dan tidak diskriminatif, karena

kedelai lokal sebenarnya memiliki keunggulan karakteristik yang berbeda dan lebih baik

dibandingkan dengan kedelai impor.

60

Tabel 4.13. Perkembangan Ekspor dan Impor Kedelai di Indonesia, 1980-2012

Tahun

Kedelai (ton)

Ekspor Impor Net Impor

1980 - 100878 100878

1985 - 301956 301956

1990 240 541060 540820

1995 83 607393 607310

2000 521 1277685 1277164

2001 1188 1136419 1135231

2002 235 1365253 1365018

2003 433 1192717 1192284

2004 1300 1117790 1116490

2005 876 1086178 1085302

2006 4633 1132144 1127511

2007 1872 2240795 2238923

2008 1025 1173097 1172072

2009 446 1314620 1314174

2010 385 1740505 1740120

2011 523 1911987 1911465

2012 527 2250000 2249473

Rata2 599 885942 885343

(r %/thn) 1980-1990 31,38 7,18 7,18

1990-2000 31,10 6,65 6,64

2000-2012 -1,13 4,84 4,85

1980-2012 6,36 5,96 5,96

2005-2012 -25,96 7,92 7,95

Sumber: BPS, diolah.

Jika impor kedelai tetap dan bahkan semakin tinggi, maka ada beberapa hal yang

menyebabkan semakin memburuk bagi situasi perekonomian Indonesia, diantaranya :

(1) menguras devisa Negara untuk membayar barang-barang impor, apalagi jika nilai

rupiah yang semakin menurun, yang sebenarnya devisa tersebut sebaiknya digunakan

untuk membangun sektor-sektor riil domestik, (2) akan mengakitbatkan inflasi dan

menurunan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pokok (tahu dan tempe) ketika

nilai rupiah menurun terhadap dolar, yang sebenarnya jumlah konsumen makanan

berbahan baku kedelai adalah cukup besar, (3) kapasitas untuk menumbuhkan produksi

nasional, baik melalui penemuan teknologi baru maupun sistim budidaya menjadi tidak

61

terlatih dan menurun dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, didalam pengendalian dan

pengawasan impor kedelai perlu diperhatikan beberapa hal seperti: (1) nasionalisme,

integritas dan keberpihakan pelaku-palaku importir perlu diseleksi dengan baik, bukan

hanya memikirkan keuntungan sesaat, (2) penegakan aturan dan keadilan didalam

menjalankan usaha perlu ditegakan, tidak ada kolusi, korupsi dan nepotisme, dan (3)

perlunya lembaga pemerintah yang dapat dipercaya untuk menangani impor kedelai,

karena ini hajat masyarakat banyak.

4.3.4. Tebu/Gula

Diantara komoditi pokok lainnya seperti beras, tepung terigu, minyak goreng, dan

kedelai; komoditi gula ini paling unik. Harga gula terus meningkat dari waktu ke waktu

dan hampir tidak pernah terjadi penurunan harga gula. Ketersediaan gula domestik

sangat penting dalam menentukan harga gula. Karena musim giling hanya terjadi pada

periode tertentu yaitu sekitar bulan Mei hingga November (masa giling diperkirakan

terjadi enam hingga tujuh bulan tergantung kapasitas masing-masing pabrik gula),

wajar jika terjadi kenaikan harga gula di saat tidak musim giling. Berbagai upaya telah

dilakukan oleh Pemerintah untuk menjaga kestabilanharga gula. Salah satu upaya yang

dilakukan pemerintah di akhir tahun 2009 dan di awal tahun 2010 adalah dengan

melakukan impor gula. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa upaya

pemerintah ini sia-sia (KPPU, 2010).

Impor gula tidak semata-mata dilakukan untuk menekan harga gula di saat tidak

musim giling tetapi juga terutama untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. Produksi

gula domestik mengalami berbagai permasalahan terkait dengan produktivitasnya yang

rendah serta belum tercapainya skala ekonomis dari setiap pabrik gula. Mesin-mesin tua

yang masih digunakan terutama oleh pabrik gula yang berada di Pulau Jawa serta

tingkat rendemen yang tergolong rendah dari tebu yang dihasilkan petani juga turut

memicu mengapa produktivitas gula domestik masih dikatakan rendah. Belum lagi

tingkat konsumsi gula yang terus meningkat yang menjadikan produksi gula domestik

ini terus tertinggal dari yang seharusnya dipasok kepada masyarakat.

62

Awalnya, industri gula lokal hanyalah industri gula kristal putih. Sementara untuk

gula rafinasi masih dilakukan impor. Namun sejak tahun 2000an ketika harga gula

dunia (raw sugar) melonjak tinggi, pemerintah mengijinkan untuk dibangunnya pabrik

gula rafinasi. Sejak dahulu, pemain dalam industri gula kristal putih didominasi oleh

BUMN, yaitu PTPN dan RNI. Jumlahnya mencapai hampir 10 perusahaan yang tersebar

di Pulau Jawa dan Sumatera. Bisa dikatakan mulai dari produsen gula hingga distributor

gula hanya dikuasai oleh beberapa pemain besar saja (oligopolistik). Pasokan gula

kristal putih di dalam negeri sebagian besar berasal dari enam pelaku usaha saja yakni

PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI,Gunung Madu dan Sugar Group Companies. PTPN X,

PTPN XI dan Sugar Group merupakan tiga pemain utama yang masing-masing pangsa

produksinya di tahun 2009 yaitu 18,72%, 15,64% dan 18,96%. Sugar Group mampu

menjadi leader dalam industri ini karena perusahaan tersebut merupakan satu-satunya

perusahaan yang telah efisien dalam industri gula ini.

Impor gula (GKP) selama kurun waktu 1980-2012, tampak mengalami

peningkatan sebesar 8,95 %/tahun, yaitu mulai dari nol hingga mencapai 1,15 juta ton

(2012). Bila dianalisis per periode waktu, tampak bahwa impor gula nasional sejak

tahun 1980-1990 meningkat tajam sebesar 41,83 %/tahun. Hal yang sama untuk

periode selanjutnya 1990-2000 peningkatannya mencapai 42,67 %/tahun. Mulai dari

tahun 2000, tampak bahwa peningkatan impor gula mulai mengecil. Secara rinci

perkembangan impor gula nasional disajikan pada Tabel 4.14.

63

Tabel 4.14. Perkembangan Ekspor dan Impor Gula di Indonesia, 1980-2012

Tahun Ekspor Impor

1980 0 0

1985 0 0

1990 1 22019

1995 132 333734

2000 815 435354

2001 78 240122

2002 33 304927

2003 55 911677

2004 1276 584364

2005 4 718292

2006 204 588576

2007 1 710025

2008 286 595060

2009 27 113413

2010 398 1380025

2011 403,417 181596

2012 384 1150000

(r %/thn)

1980-1990 27,17 41,83

1990-2000 17,17 42,67

2000-2012 -2,82 5,34

1980-2012 4,82 8,95

2005-2012 25,60 4,41

Sumber: BPS, diolah.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi gula GKP, sebenarnya produksi

gula GKP sudah cukup, bahkan ada surplus, sehingga tidak perlu dilakukan impor.

Namun untuk mencukupi seluruh kebutuhan konsumsi gula (GKP dan GKR), produksi

masih kurang. Selama 2008-2012, jumlah kekurangan (defisit) cenderung membesar,

yaitu dari 1.550 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 1.957 ribu ton pada tahun 2012,

yang masing-masing merupakan 36,7% dan 42,9% dari produksi masing-masing tahun

tersebut. Hal ini menunjukkan kesenjangan antara produksi dan konsumsi yang sangat

besar. Untuk menutup defisit tersebut dilakukan impor. Selama 2008-2010 volume

impor gula (berbagai jenis gula tebu) terus meningkat, yaitu dari 984 ribu ton pada

64

tahun 2008 menjadi 1.383 ribu ton pada tahun 2010, yang berarti meningkat

20,1%/tahun. Pada tahun 2011 dan 2012, volume impor gula masing-masing mencapai

181.60 ribu ton dan 1.150 ribu ton.

4.3.5. Daging Sapi

Dalam perjalanan pembangunan peternakan sapi potong, pada dekade tahun

1970-an, Indonesia sempat menjadi eksportir, namun sehubungan dengan permintaan

dalam negeri yang tinggi, maka menjelang tahun 1990-an sudah mulai terlihat

lemahnya pasokan sapi dan daging dari dalam negeri. Akhir tahun 1990-an mulai

masuk sapi dan lewat tahun 200-an sudah terlihat adanya impor daging. Lewat tahun

2005 impor tidak hanya sapi bakalan, tetapi sudah mencakup daging, jeroan dan hati.

Impor-impor komoditas tersebut terus menunjukkan angka yang makin meningkat

(Dinas Peternakan Jawa Barat, 2007).

Hingga saat ini produksi daging sapi nasional masih untuk memenuhi konsumsi

dalam negeri, maka ekspor daging sapi Indonesia dari tahun ke tahun relatif kecil dan

dianggap tidak ada. Namun menurut Yusdja et al. (2006) peluang ekspor daging sapi

ke Malaysia dan Brunei Darussalam sangat besar, karena masyarakat negeri ini sangat

menggemari daging sapi Bali dibanding sapi hybrid.

Indonesia merupakan salah satu negara dalam percaturan dunia sebagai

konsumen, karena sebagai produsen hasil ternak peran Indonesia relatif kecil. Untuk

memasok kebutuhan daging sapi dalam negeri Indonesia harus mengimpor daging sapi

dari luar negeri. Hingga saat ini Indonesia masih menjadi net importer daging sapi.

Ke depan impor daging sapi cenderung meningkat pesat. Dalam periode 1980-

2012 laju pertumbuhannya sebesar 12,11 persen per tahun. Periode 2005-2012 laju

pertumbuhannya lebih tinggi lagi mencapai 48,23 persen per tahun. Secara agregat

semakin tinggi pendapatan, konsumsi daging akan semakin meningkat.

Dalam kondisi perekonomian Indonesia saat ini, kebijakan impor sapi dan daging

sangat sulit dihindari. Lebih-lebih dengan diratifikasinya kebijakan pasar bebas oleh

pemerintah tahun 1995. Dalam pasar bebas tataniaga tidak lagi diatur oleh pemerintah,

maka harga daging di dalam negeri akan berada pada posisi yang sama dengan harga

65

daging di pasar dunia. Dalam kondisi nilai tukar rupiah yang stabil, kecenderungan

impor semakin meningkat. Peningkatan impor dapat disebabkan permintaan daging

berkualitas dan daging kelas standar yang relatif murah dibanding produk domestik.

Perkembangan ekspor dan impor daging sapi Indonesia periode 1980-2012

disajikan pada Tabel 4.15.

Tabel 4.15. Perkembangan Ekspor dan Impor Daging Sapi Nasional, 1980-2012.

Tahun Ekspor (ton) Impor (ton)

1980 - 857

1985 - 759

1990 53 31

1995 21 756

2000 15 765

2001 58 589

2002 66 646

2003 262 490

2004 4 347

2005 9 195

2006 5 1155

2007 4 2836

2008 6 2744

2009 4 3787

2010 - 4322

2011 0,296 3598

2012 0,227 40300

(r %/thn)

1980-1990 50 -18,36

1990-2000 40 -22,48

2000-2012 -23,33 31,87

1980-2012 3,67 12,11

2005-2012 -33,03 48,23

Sumber: BPS, diolah.

66

4.4. Studi Kasus Lokasi Provinsi Jawa Barat

4.4.1. Padi/Beras

Jawa Barat merupakan provinsi penghasil padi/beras utama di Indonesia bersama

Jawa Timur. Provinsi utama penghasil padi lainnya adalah Jawa Tengah, Sulawesi

Selatan dan Sumatera Utara. Penghasil padi/beras terbesar di Jawa Barat adalah

Kabupaten Indramayu diikuti Kabupaten Karawang. Usahatani padi di Jawa Barat

diusahakan oleh sekitar 2 juta rumah tangga petani (Wardana et al, 2012). Jawa Barat

merupakan penghasil padi/beras yang selalu surplus sehingga mampu menyangga

kebutuhan beras provinsi lainnya terutama Jakarta.

Komoditas padi sebagai bahan konsumsi pangan pokok masyarakat, tentunya

telah diletakan sebagai prioritas dan fokus kegiatan program pada setiap tahunnya

(Dinas Pertanian Tanaman Pangan). Upaya peningkatan produksi baik secara kuantitas

dan kualitas serta efisiensi proses produksi, terus diupayakan peningkatannya sehingga

peningkatan nilai tambah dan daya saing produk guna meningkatkan kesejahteraan

petani terus ditingkatkan. Peningkatan produksi tanaman pangan khususnya padi di

Jawa barat antara lain didukung oleh: (1) peningkatan produktivitas melalui

pelaksanaan SLPTT, (2) pengembangan kauntitas dan kualitas alat mesin pertanian pra

panen, panen dan pasca panen, dan (3) pengurangan kehilangan hasil saat panen.

Varietas padi yang ditanam dominan adalah: Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit,

Cigeulis, IR64, PB 42, C. Muncul, dan Cisadane.

Sementara itu, selama kurun waktu lima tahun terakhir, luas panen padi di Jawa

Barat mengalami peningkatan 1,22 %/tahun. Seiring dengan peningkatan luas

panennya, produksi padi di Jawa Barat mengalami peningkatan sebesar 2,35 %/tahun.

Sementara produktivitasnya mengalami peningkatan sebesar 1,18 %/tahun. Pada tahun

2012, luas panen padi mencapai 1.913.999 ha, dengan tingkat produksi dan

produktivitasnya masing-masing sebesar 11.271.861 ton dan 5,89 ton/ha (Tabel 4.16).

67

Tabel 4.16. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di Jawa Barat, 2008-2012.

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)

2008 1803628 10111071 5,61

2009 1950203 11322682 5,81

2010 2037657 11737070 5,76

2011 1964466 11638891 5,92

2012 1913999 11271861 5,89

r (%/thn) 1,22 2,35 1,18

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat

Adapun kendala peningkatan produksi padi di Jawa Barat antara lain meliputi 1)

rawan terjadi kekeringan pada musim kemarau, 2) konversi penggunaan lahan

pertanian ke non-pertanian, 3) tenaga kerja di sektor pertanian berkurang karena

terjadi migrasi ke kota antara ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Jawa Barat.

Peluang peningkatan produksi padi dapat dicapai melalui program peningkatan mutu

melalui penerapan teknologi budidaya untuk meningkatkan produktivitas padi.

Pertanian padi diairi dari saluran irigasi yang mendapat supla air dari tiga waduk yang

membendung aliran sungai Citarum, yaitu Waduk Jatiluhur, Cirata, dan Saguling.

4.4.2. Komoditas Jagung

Menurut Dinas Pertanian Tanaman Jawa Barat (2010) bahwa wilayah

pengembangan jagung cukup luas yaitu mencakup di delapan kabupaten, yaitu:

Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka,

Kabupaten Ciamis, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten

Cianjur. Wilayah pengembangan jagung yang sangat potensial ini telah diidentifikasi

dan diimplementasikan dalam program khusus pengembangan sentra jagung yang

hampir mencakup seluruh wilayah Jawa Barat bagian timur, membujur dari arah utara

ke selatan sehingga merupakan Corn Belt (sabuk jagung) Provinsi Jawa Barat. Saat ini

telah terbentuk Kawasan Andalan Agribisnis berbagai komoditi unggulan palawija

khususnya jagung yang terdapat disembilan kabupaten tersebut diatas.

68

Akselerasi peningkatan produksi jagung di Provinsi Jawa Barat juga tidak terlepas

dari upaya-upaya, seperti: (1) akselerasi pemberdayaan petani dan kelembagaan

ekonominya (kelompok tani hamparan, gapoktan, dan koperasi tani) yang terus

ditingkatkan, (2) berbagai unsur teknologi PTT (Program Tanaman Terpadu) jagung

terus ditingkatkan melalui: penyebarluasan varietas unggul hibrida, perbaikan tanam

dan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu.

Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan peningkatan produksi dan nilai

tambah proses produksi usahatani tanaman pangan, unsur teknologi benih unggul

bermutu sangat menentukan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2009).

Produsen benih meliputi swasta/BUMN dan kelompok tani penangkar. UPT daerah

dalam pengembangan benih jagung di Jawa Barat adalah Balai Pengembangan Benih

(BPP), melakukan kemitraan dengan produsen benih untuk melakukan penangkaran

benih jagung hibrida menjadi benih sebar. Jika kemitraaan telah berjalan secara baik,

maka diharapkan akan berdampak positif bagi peningkatan kualitas benih unggul pada

petani. Dengan perbaikan mutu benih akan mengotimalkan efektivitas berbagai unsur

teknologi, sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Dampak lain

dengan berkembangnya sistem perbenihan juga berpeluang dalam penciptaan

kesempatan kerja pada usaha pemasaran benih unggul.

Dengan semakin meningkatnya produktivitas jagung yang merupakan tanaman

palawija di Jawa Barat berkaitan erat dengan peningkatan nilai tambah dan daya saing

komoditas jagung, sehingga berdampak positif terhadap peningkatan motivasi dalam

mendorong mengembangkan usahataninya dan peningkatan pendapatan petani. Dilihat

dari aspek ketahanan pangan, peningkatan produksi jagung selain berperan dalam

penyediaan bahan pangan, juga berimplikasi terhadap diversifikasi produksi dan

konsumsi. Peningkatan produksi jagung juga akan mendorong pengembangan sektor

atau subsektor lain seperti: industri pengolahan makanan, perdagangan, peternakan,

dan perikanan.

Sementara itu, selama kurun waktu 2008-2012 luas panen jagung mengalami

peningkatan 4,94 %/tahun, yaitu dari 118 976 hektar pada tahun 2008 menjadi 148

601 hektar pada tahun 2012. Peningkatan luas panen tersebut diikuti oleh peningkatan

69

produksinya. Produksi jagung dalam kurun waktu tersebut meningkat pesat sebesar

10,81 %/tahun, yaitu dari 639.821 ton pada tahun 2008 menjadi 1.028.653 ton pada

tahun 2012. Peningkatan produksi yang relatif tinggi tersebut sebagai akibat

meningkatnya produktivitas yang juga tinggi sebesar 6,15 %/tahun, yaitu dari 5,38

ton/ha tahun 2008 menjadi 6,92 ton/ha pada tahun 2012 (Tabel 4.17). Dengan

demikian peningkatan produksi jagung di Jawa Barat dalam kurun waktu tersebut lebih

dominan karena peningkatan teknologi produksi yang menyebabkan peningkatan

produktivitas jagung yang tinggi.

Varietas jagung yang banyak ditanam khususnya di Jawa Barat adalah hibrida

seperti BISI, Pioneer dan lainnya. Adapun tingkat produktivitas jagung ditingkat petani

berkisar antara 5 – 6 ton/ha. Secara umum jagung di Jawa Barat ditanam dilahan

kering seperti tegalan, dan ditanam saat musim penghujan (MH).

Tabel 4.17. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung di Jawa Barat, 2008-2012.

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)

2008 118976 639821 5,38

2009 136707 787599 5,76

2010 153778 923962 6,01

2011 147152 945104 6,42

2012 148601 1028653 6,92

r (%/thn) 4,94 10,81 6,15

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2012.

4.4.3. Kedelai

Khusus untuk kasus Jawa Barat pangsa produksi terhadap produksi nasional

relative meningkat dalam kurun dekade terakhir. Apabila melihat pangsa rata-rata

dalam kurun 2000-2010 pangsa produksi Jawa barat sekitar 4,46% atau sebesar 34.689

ton terhadap produksi nasional sebesar 786.500 ton. Sedangkan pada tahun 2000,

pangsa kedelai Jawa Barat sebesar 5,99% atau sebesar 54.246 ton terhadap produksi

nasional sebesar 905.015 ton.

70

Potensi pengembangan kedelai di Jawa Barat masih memiliki peluang yang masih

tinggi seperti di Kabupaten Indramayu siap menambah luas areal 40.000 Ha,

Kabupaten Sukabumi 10.000 Ha, Kabupaten Ciamis 10.000 Ha, Kabupaten Majalengka

1.000 Ha, Kabupaten Bandung 7.500 Ha, dll asalkan adanya kejelasan program pusat

(Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2012). Secara total rencana luas

pengembangan areal kedelai mencapai 129 ribu ha yang bersumber dari

pengembangan: (1) sekitar 26.000 ha dari pengembangan SLPTT, (2) sekitar 15.000 ha

berasal dari Model Pengembangan (di Kabupaten Indramayu, Ciamis dan Sukabumi

masing-masing 5000 ha), (3) berasal dari pengembangan areal seluas 66.750 ha, dan

(4) berasal dari pengembangan swadaya petani seluas 21.000 ha.

Berdasarkan data yang ada, luas panen kedelai di Jawa Barat masih relatif kecil.

Namun, peningkatan luas panennya cukup tinggi yaitu mencapai 28,19 %/tahun, yaitu

dari 12.429 ha (2008) menjadi 30.345 ha (2012). Seiring dengan peningkatan luas

panennya, maka produksi kedelai meningkat sebesar 4,93 %/tahun yaitu dari 32.921

ton (2008) menjadi 47.426 ton (2012). Sementara produktivitasnya mengalami

penurunan sebesar 39,94 %/tahun (Tabel 4.18). Adapun varietas kedelai yang banyak

di tanam di Jawa Barat adalah: Grobogan dan Anjasmoro.

Tabel 4.18. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai

di Jawa Barat, 2008-2012.

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)

2008 12429 32921 2,65

2009 2381 60257 25,31

2010 41775 55823 1,34

2011 35674 56166 1,57

2012 30345 47426 1,56

r (%/thn) 28,19 4,93 -39,94

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2012. Terkait dengan pengembangan pangan di sentra produksi kedele di Jawa Barat

yaitu di kabupaten Garut, walaupun menurut data pertanian Jawa Barat menunjukkan

bahwa dari segi jumlah produksi Kabupaten Garut merupakan sentra produksi kedele,

71

namun pada kenyataannya informasi kelompok tani bahwa usahatani tani kedele hanya

sebatas kebiasaan masyarakat, dari sisi pendapatan dan semangat pengembangan

bukan merupakan komoditas yang membanggakan masyarakat. Alasan yang

diungkapkan adalah : (1) dari sisi pengelolaan usahatani tergolong lebih berat

dibanding dengan komoditi jagung, terutama kedele pada lahan kering membutuhkan

tenaga kerja yang cukup banyak untuk mengolahan tanah, tanam, menyemprotan, (2)

gangguan hama dan penyakitnya lebih banyak dibanding dengan padi atau jagung, (3)

kepastian pasar dan harganya sangat rendah, sehingga sering terjadi tingkat

keuntungan dari usahatani itu rendah atau rugi karena harga jual yang tidak memedai

dan atau serangan hama dan penyakit. Jadi dua faktor tersebtu yang seharusnya

dikelola oleh pemerintah jika per-kedelai-an Indonesia meningkat.

Pada sisi teknologi, petani sudah cukup mengusai misalnya penggunaan benih

unggul baru seperti : anjasmoro dan orba, tingkat produktivitas dapat mencapai 1,6 ton

per hektar atau perbandingan benih dengan produksi adalah 1 : 40. Dengan tingkat

produksi yang terbatas karena faktor genetik dan pengaruh letak geografis wilayah

(tropis), yang bisa diharapkan untuk menggairahkan tingkat keuntungan petani kedele

adalah stabilitas harga dan pasar. Barang kali ini merupakan gambaran untuk semua

daerah penghasil kedele di Indonesia.

Pada sisi industri (khsususnya industri Tahu), menyatakan bahwa kedele lokal

memiliki keunggulan dibanding dengan kedelai impor, keunggulan tersebut diantaranya

adalah : (1) memiliki rendemen pati yang cukup tinggi berkisar antara 10-20%, (2)

penyerapan terhadap minyak goreng rendah, bisa mencapai 50% lebih rendah dari

kedelai impor, dan (3) memiliki daya tahan simpan tahu lebih lama, sampai 3 hari

sementara dengankedelai impor hanya 1-2 hari. Disamping itu, dari sisi fisik ada

varietas kedele (seperti Dapros) yang memiliki ukuran sama bahkan bisa lebih besar

dari pada kedelai impor. Dengan demikian sebenarnya jika Indonesia mau sungguh-

sungguh mengembangkan kedelai, maka ada hal-hal yang harus diperhatikan adalah :

(1) upaya peningkatan produksi per hektar (produktivitas), (2) adanya upaya untuk

menstabilkan harga kedelai, agar petani mau merencanakan penanaman kedelai

72

dengan baik, (3) menjamin ketersediaan benih yang unggul seperti Dapros, dan (4)

menjamin kepastian pasar.

4.4.4. Tebu

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dari empat provinsi (Jawa

Timur, Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Barat) yang memiliki areal tanam tebu/gula

terbesar secara nasional. Perkebunan tebu di Jawa Barat terdiri dari perkebunan rakyat

dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Pangsa areal perkebunan tebu rakyat mencapai

46 persen, dan sisanya yaitu 54 persen merupakan perkebunan besar negara (PBN).

Secara total, areal perkebunan tebu di Jawa Barat selama kurun waktu 2008-2012

mengalami penurunan 2,03 %/tahun yaitu dari 23.420 ha (2008) menjadi 22.076 ha

(2012). Penurun areal tersebut disebabkan menurunnya secara signifikan areal

perkebunan rakyat sebesar 4,21 %/tahun. Disisi lain areal perkebunan negara

mengalami peningkatan namun sangat kecil yaitu sebesar 0,05 %/tahun. Menurunnya

luas areal tebu berdampak pada menurunnya produksi tebu dimana secara total

mencapai 1,73 %/tahun, yaitu dari 111.612 ton (2008) menjadi 104.779 ton (2012).

Penurunan areal tebu khususnya pada perkebunan rakyat disebabkan: (1) beralihnya

usaha tani tanaman tebu ke usahatani palawija atau hortikultura (pada lahan kering) ,

dan ke usahatani padi (pada lahan sawah), dan (2) terdapatnya alih fungsi lahan dari

lahan pertanian ke penggunaan non pertanian. Adapun tingkat produktivitas tebu

secara total masih meningkat sebesar 0,34 %/tahun. Peningkatan produktivitas tebu

secara total lebih banyak diwarnai karena peningkatan produktivitas PBN sebesar 1,50

%/tahun, sementara produktivitas perkebunan rakyat menurun sebesar 0,79 %/tahun

(Tabel 4.19).

Pengembangan komoditas tebu di Jawa Barat terdapat di Kabupaten Cirebon

(6.955 ha), Majalengka (1252 ha), Kuningan (9897 ha), Indramayu (418 ha), Subang

(211 ha) , Garut (239 ha, khusus untuk gula merah), dan Sumedang (165 ha). Untuk

menampung tebu di Jawa Barat, saat ini terdapat 5 Pabrik Gula (Disbun Jawa Barat,

2013). Menurut Dinas Perkebunan Jawa Barat (2013), bahwa perkembangan areal

pertanaman tebu di Jawa Barat saat ini mengalami kesulitan akibat tidak siapnya

73

pengembangan areal tanam tebu didaerah, penyiapan bibit baru dan bongkar ratoon

pun seringkali tidak siap di daerah. Akibatnya ketersediaan bibit seringkali tidak tersedia

sesuai kebutuhan waktu tanam. Varietas tebu yang ditanam biasanya meliputi varietas

masak awal: PS 57, PS 60, BZ 132, PS 80-442, POJ 3016, POJ 3016, PS 41, PS 56, BZ

132, BZ 148, G 90 ; dan masak tengah: PS 59, PS 60, BZ 148, PS 77-1553, PS 77-2601,

PS 79-82.

Dalam hal panen / tebang tebu dilaksanakan berdasarkan analisis kemasakan

dan jadwal giling. Mulai tebang antara bulan Mei s/d Nopember , dan umur tebu

ditebang 11 - 14 bulan. Cara penebangan dilakukan: Untuk tebu yang akan dikepras

batang yang ditebang sebatas permukaan tanah aslinya (meninggalkan batang 15 - 20

cm dibawah permukaan tanah), untuk tebu yang tidak dikepras seluruh batang

dicabut/didongkel, persentase kotoran maksimum 5 %, dan jangka waktu sejak tebang

sampai dengan digiling tidak lebih 24 jam.

Tabel 4.19. Perkembangan Luas areal, produksi dan produktivitas tebu di Provinsi Jawa Barat, 2008-2012.

Tahun Perkeb. Rakyat Perkeb. Besar Negara Total

Luas Pro-duksi

Produk-tivitas Luas

Pro-duksi

Produk-tivitas Luas

Pro-duksi

Produk-tivitas

(Ha) (Ton) (kg/ ha) (Ha) (Ton)

(kg/ ha) (Ha) (Ton) (kg/ha)

2008 11726 57268 4907 11694 54344 4647 23420 111612 4777

2009 11703 53016 4569 11388 36624 3216 23091 89640 3893

2010 11486 58230 5095 12141 51909 4276 23627 110139 4686

2011 10225 41171 4040 10951 44736 4085 21176 85907 4063

2012 10137 50772 5009 11939 54007 4524 22076 104779 4767

r(%/thn) -4,21 -4,77 -0,69 0,05 1,54 1,50 -2,03 -1,73 0,34

Sumber: Disbun Provinsi Jawa Barat (2013).

Provinsi Jawa Barat menargetkan produksi gula tebu pada tahun 2014 sebesar

95.135 ton, dan pada tahun 2018 mencapai 137.417 ton. Adapun target

produktivitasnya tahun 2014 sebesar 4500 kg/ha. Dengan melihat produksi eksisiting

tahun 2012 mencapai 104.779 ton, dan produktivitas 4767 kg/ha berarti target produksi

dan produktivitas tebu di Jawa Barat sesungguhnya telah tercapai. Sementara untuk

74

rendemen gula (putih) di Jawa Barat hanya berkisar antara 6-7 persen, dan untuk gula

merah asal tebu relatif lebih tinggi yaitu sebesar 9-10 persen. Rendemen gula merah

cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan produksi gula putih. Adapun jika gula

merah akan diproses lagi menjadi gula putih akan diperoleh sebesar 71 persennya. Oleh

karena itu, kedepan bahwa dalam rangka mendukung swasembada gula maka industri

gula merah baik berasal dari tebu maupun dari aren di Jawa Barat terus semakin

ditingkatkan.

Di lokasi penelitian Majalengka, luas areal tebu pada tahun 2012 mencapai 4.289

ha yang meliputi 1.252 ha perkebunan rakyat dan 3.037 ha perkebunan besar negara

(PBN). Adapun tingkat produksi yang dihasilkan totalnya mencapai 18.849 ton, yang

terdiri dari 4.955 ton perkebunan rakyat dan 13.894 ton PBN. Produktivitas rata-rata

perkebunan tebu mencapai 4.395 kg/ha, dan khusus untuk produktivitas perkebunan

rakyat mencapai 3.958 kg/ha dan PBN sebesar 4.575 kg/ha.

Keberadaan lahan tebu rakyat di Kabupaten Majalengka semakin menurun dan

juga kepemilikannya cenderung terpusat pada orang-orang tertentu yang memiliki

lahan luas dan juga para pemilik lahan berada di kota-kota besar atau luar daerah.

Lahan-lahan pertanian yang dimiliki oleh pemilik luar kota akan di sewa oleh petani

pemodal besar atau petani berlahan luas untuk diusahakan dengan pertanaman tebu.

Karena diusahakan tanaman tebu, maka lahan usahatani akan disewa minimal dalam

kurun waktu 3 tahun. Nilai sewa lahan rata-rata berkisar antara Rp 5 juta – Rp 7

juta/ha/tahun. Untuk lahan kering, nilai sewa lahan sekitar Rp 4 juta – Rp 5

juta/ha/tahun, dan untuk lahan sawah nilai sewanya berkisar antara Rp 6 juta – Rp 7

juta/ha/tahun.

Para petani tebu di Kabupaten Majalengka terhimpun dalam wadah Asosiasi Petani

Tebu Rakyat Indonesia Kabupaten Majalengka (APTRI Majalengka). APTRI Majalengka

mewadahi petani wilayah Majalengka, Sumedang dan Indramayu dengan

keanggotaannya berjumlah 365 orang petani tebu. Adapun jumlah petani tebu anggota

APTRI di Majalengka berkisar antara 130-160 petani. Petani tebu Majalengka mendapat

bantuan modal dari kredit KKPE dengan avalisis PG Jati Tujuh untuk mengelola lahan

75

usahataninya. Petani tebu, akan melakukan numpang giling di PG Jati Tujuh melalui

Koperasi Manis Jaya.

Produktivitas rata-rata tebu petani di lahan sawah sekitar 1000 kw/ha tebu

brangkas. Sementara produktivitas tebu pada lahan kering mencapai 600 – 700 kw/ha

tebu brangkas. Varietas yang digunakan adalah BL (Bulu Lawang). Varietas ini, untuk

mencapai berat tertentu bagus dan akan tetapi untuk mencapai kadar gula tertentu

diharapkan oleh pihak PG perlu diganti. Asal varietas tebu adalah dari daerah kudus,

yang didatangkan secara kolektif oleh petani dalam wadah koperasi Manis Jaya dengan

tetap berada dalam pengawasan pihak PG. Harga varietas BL sekitar Rp 65000/kwintal.

Selanjutnya, pada kegiatan usahatani tebu biaya angkut dan tebang petani

terlebih dahulu ditalangi pihak Koperasi. Adapun biaya tebang rata-rata sekitar Rp

4700/kw tebu, dan biaya angkut sekitar Rp 3000/kw tebu. Tebu diangkut secara

kolektif oleh Koperasi. Oleh karena itu, jadwal tebang benar-benar telah diatur oleh

pihak PG dan Koperasi saat waktu panen, kisaran tanggal 1 s/d tanggal 15. Periode

Giling Tebu petani di wilayah PG jati Tujuh antara bulan Mei – September. Sebelum

tebang, biasanya terlebih dahulu dilakukan cek potensi ke lahan usahatani tebu petani

oleh pihak PG.

Rendemen tebu yang dihasilkan antar petani dapat berbeda. Pada saat giling ke

PG, petani akan memperoleh 10 persen bagian yang boleh di bawa dalam bentuk

natura (gula). Sementara itu, perolehan dari hasil giling tebu petani yaitu: (1) dari

rendemen tertentu akan diperoleh nilai dengan perhitungan nilai rendemen dikalikan

perolehan tebu misalnya dalam luasan per hektar, (2) petani juga akan memperoleh

bagian dari selisish harga lelang (pasar) dengan HPP gula dikalikan jumlah gula yang

diperoleh dari perhitungan rendemen tersebut, (3) petani juga akan memperoleh dari

nilai tetes tebu yang dihasilkan.

Sementara itu, PG Jati Tujuh dibangun pada tahun 1977-1978. PG Jatitujuh

mempunyai luas areal sebesar 12.000 hektar, dan mulai giling pertama sekitar tahun

1980. Dari luasan tersebut, sekitar 7010 Ha merupakan lahan HGU untuk kebun tebu.

Varietas tebu yang dibudidayakan pada lahan perkebunan PG adalah: (1) Kentung, (2)

BS 862, (3) BS 860, (4) PSJT 941, (5) BL dan (6) Kidang Kencana. Rendemen rata-rata

76

saat ini adalah sekitar 6,88 persen. Wilayah kerja PG Jati Tujuh meliputi Kabupaten

Majalengka, Indramayu dan Sumedang. Adapun kebun bibit yang dimiliki PG Jati Tujuh

berkisar antara 800-900 ha. Macam-macam kebun bibit yang ada meliputi: (1) KBP (

Kebun bibit pokok), (2) KBN (Kebun bibit nenek), (3) KBI ( Kebun bibit induk), dan (4)

KBD ( Kebun induk dasar bibitnya disalurkan untuk ditanam dikebun produksi/tebu

giling.

Dalam rangka mendukung swasembada gula nasional, PG Jati Tujuh berupaya

melakukan peningkatan produksi gula melalui: (1) ekstensifikasi, dan (2) intensifikasi.

Upaya ekstensifikasi ditempuh melalui perluasan kerjasama dengan petani, saat ini

kerjasama semakin berkembang dimana jumlah petani tebu yang bekerjasama

meningkat dari 1300 petani menjadi 1500 petani yang berada dalam wilayah kerja PG.

Di Indramayu, pengembangan tanaman tebu oleh petani berkembang setelah ada

kerjasama petani dengan pihak Perhutani dalam kerangka kerjasama Pengelolaan

Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Petani yang tergabung dalam kelompok tani

memperoleh paket kredit KKPE dengan pihak penjamin adalah PG Jati Tujuh. Paket

kredit yang diperoleh petani setelah memperhatikan total luasan dan jumlah petani

yang terhimpun dalam kerjasama, rata-rata akan memperoleh paket kredit sekitar Rp

18 juta/ha. Selanjutnya upaya intensifikasi ditempuh melalui perbaikan dalam hal kultur

teknis, mekanisasi tanam dan panen (penggunaan mesin harvester untuk panen), serta

sistem pengairan/drainase pertanaman tebu secara lebih baik lagi.

Saat ini kapasitas riil giling PG jati Tujuh mencapai 4500 ton/hari (24 jam).

Sementara kapasitas terpasang dapat mencapai 4800 ton/hari. Adapun produksi gula

yang dihasilkan selama masa giling mencapai 37.000 ton. Saat ini produksi gula

terkendala oleh perubahan ekstrim tahun kemarin, dimana hampir secara merata tahun

tahun kemarin di Pulau Jawa terjadi kemarau basah sehingga berpengaruh terhadap

pertanaman tebu. Pada jaman Belanda dahulu, rendemen tebu tinggi mengingat

potensi tebu yang dibawa ke pabrik rendemennya sudah tinggi. Saat ini kecenderungan

rendemen rendah. Kehilangan rendemen dari kebun sampai dengan proses dapat

mencapai 1,5 persen. Sementara potensi rata-rata rendemen di kebun sekitar 8,3

persen. Rendemen rata-rata saat ini adalah 6,88 persen, yang merupakan sepuluh

77

rendemen besar di antara PG di Pulau Jawa. Rendemen yang dihasilkan sangat

tergantung dari bahan bakunya, dimana akan dipengaruhi oleh iklim, lama angkutan,

lama proses dsb.

4.4.5. Ternak Sapi Potong/Daging Sapi

Struktur usaha peternakan sapi potong sebagian besar tetap bertahan dalam

bentuk usaha ternak rakyat. Usaha ternak rakyat mempunyai ciri-ciri antara lain: (1)

tingkat pendidikan peternak rendah, (2) pendapatan rendah karena merupakan usaha

sambilan dan bukan sebagai usaha pokok, (3) penerapan manajemen masih

konvensional, (4) lokasi ternak menyebar luas, (5) skala usaha relative kecil serta

pengadaan input utama yaitu hijauan makanan ternak (HMT) masih tergantung musim,

(6) dominan menggunakan tenaga kerja keluarga, dan (7) penguasaan lahan HMT dan

produksi butiran-butiran terbatas dan sebagian tergantung impor (Ilham, et. al., 2009)

Melihat ciri-ciri usaha ternak tersebut artinya peternak tidak menganggap

penting usaha ini dan tidak mengharapkan sebagai ternak penghasil daging. Dengan

demikian kualitas sapi yang dipelihara maupun kualitas daging yang dihasilkan tentu

saja sangat diragukan.

Upaya meningkatkan kualitas ternak maupun dagingnya sangat sulit dicapai

karena sebagian besar masyarakat pun tidak menuntut standar tinggi tentang kualitas

daging. Akhirnya hal ini seperti lingkaran setan. Disatu sisi, peternak didorong untuk

memelihara sapi secara lebih modern sehingga usaha peternakan dapat menjadi

penghasilan pokok, disisi lain masyarakat memperoleh daging sapi dengan harga murah

tanpa memperhatikan kualitasnya. Namun demikian, apabila pola kebijakan

pengembangan sapi potong masih berorientasi pada pola peternakan rakyat dengan

ciri-ciri tersebut di atas, sulit untuk memenuhi keutuhan daging di Indonesia dengan

mengandalkan dari ternak lokal. Skala usaha peternakan harus ditingkatkan sampai

jumlah minimum yang hasilnya layak untuk digunakan sebagai usaha pokok kehidupan

peternak. Hal ini akan dapat dicapai dengan adanya dukungan modal, sistem

kelembagaan dengan pola kerjasama kemitraan, dan input teknologi. Dengan demikian,

usaha peternakan dapat dikelola secara lebih professional dengan tetap berbasis pada

78

keterlibatan masyarakat sehingga akan menjadikan usaha ternak sapi potong sebagai

industri peternakan modern yang menghasilkan produk berkualitas. Sapi potong

merupakan komoditas andalan bagi Provinsi Jawa Barat dalam memenuhi konsumsi

daging. Di Jawa Barat kontribusi terbesar berasal dari peternakan rakyat, sisanya

disumbang dari aktivitas usaha swasta dalam bentuk Feedloter (Disnak Provinsi Jawa

Barat, 2007).

Usaha ternak sapi potong pembibitan dan pembesaran saat ini masih diusahakan

secara tradisional belum dilakukan sebagai tujuan usaha komersial dengan target-target

produksi yang jelas. Dengan demikian pemeliharaan dan pengembangbiaakan sapi

masih merupakan bagian minor dari kegiatan usaha tani, dengan orientasi sebagai

tabungan dan penyedia tenaga kerja, atau untuk mengisi waktu luang serta untuk

meningkatkan produktivitas lahan, karena antara tanaman dan ternak mempunyai sifat

komplementer yang sangat erat.

Jawa Barat adalah salah satu provinsi setelah DKI Jakarta yang merupakan daerah

pemasaran ternak sapi potong terbesar dari provinsi-provinsi produsen sapi potong

seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bila dipandang dari perkembangan sapi potong di

Jawa Barat selama kurun waktu 2008-2012 menunjukan peningkatan yang

signifikansebesar 11,27% per tahun, yaitu dari 29555 ekor (2008) menjadi 441350 ekor

(2012). Sementara tingkat produksi daging meningkat sebesar 4,75% per tahun (Tabel

4.20). Menurut informasi, bahwa ternak sapi potong di Jawa Barat lebih banyak

dijual/dikirim dalam bentuk ternak hidup keluar provinsi. Smemtara ternak yang

disembelih relatif sedikit sehingga tingkat produksi daging tercatat menjadi rendah.

Di Jawa Barat terutama Kota Bandung merupakan sentra utama konsumsi

daging nasional. Pendapatan penduduk yang relatif tinggi mendorong permintaan

daging sapi lebih tinggi dibandingkan daging lain. Selama ini sebagian pasokan daging

sapi berasal dari luar Jawa Barat bahkan berasal dari ternak dan daging impor. Pasokan

daging sapi asal Jawa Barat diperkirakan hanya 10 %.

79

Tabel 4.20. Perkembangan Populasi dan Produksi Daging sapi Potong di Jawa Barat, 2008-2012

Tahun Populasi (ekor) Produksi (ton)

2008 295.554 70.010

2009 309.609 70.662

2010 327.750 76.066

2011 422.989 78.476

2012 441.350 84.128

r (%/tahun) 11,27 4,75

Sumber : Dinas Peternakan Jawa Barat, 2012

Di Jawa Barat potensi untuk meningkatkan pasokan cukup tersedia. Beberapa

usaha penggemukan sapi potong di sekitar Kota Bandung yang ada antara lain terdapat

di Kecamatan Cimenyan, Cikancung, Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung,

Kecamatan Leles Kabupaten Garut, Kecamatan Situraja Kabupaten Sumedang,

Kecamatan Lembang dan Cisarua Kabupaten Bandung Barat. Sentra produksi lain yang

dapat dikembangkan di daerah yang lebih jauh dari Kota Bandung seperti Tasikmalaya,

Ciamis, Subang, Majalengka, dan Bogor. Kabupaten Sumedang sebagai salah satu

sentra pengembangan populasi ternak sapi potong telah melakukan pengembangan

melalui 1) pengembangan populasi atas bantuan APBD melalui program Pagu Indikatif

Kewilayahan (PIK), yaitu dengan pedekatannya desa, dan 2) pengembangan populasi

atas bantuan APBD melalui program Pagu SKPD yaitu untuk membidik sasaran-sasaran

teknokratif yang tidak tercover program PIK dimana pendekatan program melalui

kelompok. Pada program tersebut terdapat pengadaan sapi potong pada setiap

kecamatan.

Pengembangan peternakan sapi potong di Jawa Barat masih sangat potensial,

mengingat potensi ketersediaan hijauan pakan rumput yang cukup dominan yang

terdapat di lahan pertanian lahan kering (misalnya pada tegalan/kebun dan hutan

rakyat). Luas tegalan/kebun dan hutan rakyat di Jawa Barat masing-masing mencapai

561,15 ribu hektar dan 226,07 ribu hektar.

80

4.5. Estimasi Parameter Permintaan dan Penawaran Komoditas Tanaman

Pangan Strategis

Pendugaan parameter untuk masing-masing persamaan dalam model penelitian

ini telah melalui beberapa tahapan spesifikasi. Pada sejumlah peubah yang awalnya

diduga memengaruhi permintaan dan penawaran komoditas padi, jagung dan kedelai

mengalami spesifikasi karena hasil dugaan parameternya tidak sesuai dengan yang

diharapkan. Selanjutnya hasil yang disajikan merupakan hasil optimal hasil spesifikasi

atas model yang diestimasi. Hasil pendugaan model persamaan simultan diduga dengan

metode Two Stage Least Square (2SLS) dengan menggunakan time series 1985-2012 di

Indonesia. Hasil pendugaan analisis permintaan dan penawaran komoditas padi, jagung

dan kedelai akan diuraikan berikut ini.

4.5.1. Estimasi Parameter Permintaan dan Penawaran Padi/Beras

(1) Luas Areal Panen Padi

Secara umum hasil empiris pendugaan parameter dari dugaan model respon areal

panen cukup baik. Hal ini dicerminkan oleh besaran dan arah nilai parameter estimasi

yang sesuai yang harapan. Parameter harga (beras) saat ini bertanda positif, yang

berarti bahwa harga beras merupakan faktor pendorong bagi petani dalam

berusahatani padi. Hal yang sama untuk parameter trend waktu yang merupakan proksi

perkembangan teknologi usahatani padi bertanda positif, sehingga seiring dengan

perkembangan waktu yang diiringi oleh peningkatan teknologi juga menjadi faktor

pendorong bagi pengembangan usahatani padi. Sebaliknya parameter harga input

(urea dan tenaga kerja) dan suku bunga bertanda negatif, yang artinya peningkatan

harga input dan suku bunga menjadi diinsentif bagi pengembangan areal usahatani

padi.

Koefisien determinasi dari persamaan areal panen padi ini sebesar 0,93, yang

berarti bahwa sekitar 93 persen variasi peubah-peubah bebas (independent variabel)

dapat menerangkan variasi peubah tak bebas (dependent variabel). Dengan kata lain

bahwa 93 persen perilaku luas areal panen dapat diterangkan oleh variasi peubah-

81

peubah bebas yang digunakan dalam model ini. Secara rinci, hasil estimasi parameter

persamaan perilaku areal panen padi disajikan pada Tabel 4.21.

Pada Tabel 4.21 terlihat bahwa koefisien dugaan harga beras sebesar 8,6140 yang

berarti bahwa tiap terjadi kenaikan harga beras dalam negeri sebesar 1 persen maka

akan meningkatkan areal panen sekitar 8,614 persen. Nilai elastisitas jangka pendek

dari peubah ini adalah 0,0156, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga beras

dalam negeri 10 persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan luas

panen sebesar 1,56 persen. Dalam jangka panjang , peningkatan areal panen tersebut

akan mencapai 1,60 persen, karena insentif harga diharapkan akan semakin

mendorong petani untuk meningkatkan usahatani padinya.

Tabel 4.21. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Padi di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. intersep - 11,3042 - -

2. Harga Beras Pricert 8,6140 0,0156 0,0160

3. Harga Jagung Pricect -1,2075b -0,0103 -0,0105

4. Harga urea Priceurt -0,7034 -0,0567 -0,0581

5. Upah T. Kerja Waget -0,9360c -0,0107 -0,01091

6. Suku bunga Inrt -0,6702 -0,0634 -0,0650

7. Waktu Time 0,3931

8. Lag Luas Panen LagAt 0,2348 - -

R2 = 0,93 F-stat=38,09a DW=2,10

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%

Harga jagung berpengaruh nyata terhadap areal panen padi. Koefisien dugaan

harga jagung sebesar -1,2075 yang berarti bahwa tiap terjadi kenaikan harga jagung

dalam negeri sebesar 10 persen akan menurunkan areal panen padi sekitar 12,075 ha.

Penurunan areal panen padi disebabkan oleh peningkatan areal panen jagung pada

lahan yang biasa ditanami padi dan jagung terutama saat pada musim ke-2 di lahan

sawah. Oleh karena itu, jagung dalam hal ini merupakan komoditas pesaing tanaman

padi pada lahan sawah di musim ke-2. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Syafaat

et al. (2005) yang mengungkapkan bahwa secara Indonesia jagung juga dapat menjadi

82

pesaing pertanaman padi. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga jagung ini

adalah 0,0103, berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga jagung dalam negeri 10

persen, maka dalam jangka pendek akan menurunkan luas panen sebesar 1,03 persen.

Sementara dalam jangka panjang, penurunan areal panen tersebut akan mencapai 1,05

persen.

Harga urea dan upah tenaga kerja memiliki koefisien dugaan masing-masing

sebesar -0,7034 dan -0,9360, yang berarti bahwa tiap terjadi kenaikan harga urea dan

upah tenaga kerja sebesar 10 persen maka akan menurunkan areal panen masing-

masing sekitar 7,03 ha dan 9,36 ha. Hasil analisis ini menujukkan bahwa perubahan

harga pupuk terutama pupuk urea akan sangat memengaruhi penggunaannya. Nilai

elastisitas jangka pendek dari peubah harga pupuk ini adalah 0,0567, yang berarti

bahwa jika terjadi kenaikan harga pupuk 10 persen, dalam jangka pendek akan

menurunkan luas panen sebesar 5,67 persen. Selanjutnya dalam jangka panjang ,

penurunan areal panen tersebut akan mencapai 5,81 persen. Sementara nilai elastisitas

jangka pendek dari peubah upah tenaga kerja adalah 0,0107, yang berarti bahwa jika

terjadi kenaikan upah tenaga kerja 10 persen, dalam jangka pendek akan menurunkan

luas panen sebesar 1,07 persen dan dalam jangka panjang akan menurunkan areal

panen sebesar 1,09 persen.

Peubah suku bunga bank memiliki koefisien bertanda negatif, yaitu -0,6702.

Hasil ini mengindikasikan bahwa setiap peningkatan suku bunga bank 1%/tahun, maka

areal panen padi akan menurun sebesar 0,67 persen. Artinya bahwa peningkatan

bunga bank akan mengakibatkan semakin terbatasnya beratnya akses petani untuk

menambah modal kredit usahatani, sehingga akan menurunkan kemampuan untuk

berusahatani padi yang dilakukannya.

Selanjutnya, koefisien waktu yang mencerminkan perubahan teknologi

berpengaruh nyata terhadap areal panen padi dan memiliki koefisien yang bertanda

positif, yaitu 0,3931. Hal ini berarti bahwa setiap tahunnya seiring dengan terdapatnya

perubahan teknologi usahatani akan dapat meningkatkan areal panen padi sebesar

0,3931 persen. Hal yang sama untuk koefisien lag areal panen padi juga bertanda

positif, yaitu 0,2348. Hal ini berarti bahwa jika areal panen tahun tertentu meningkat 10

83

persen, maka akan meningkatkan areal panen berikutnya sebesar 2,348 persen.

Dengan demikian, jika tidak terdapat insentif lain dalam usahatani padi, maka

peningkatan areal panen padi di Indonesia akan relatif lambat.

(2) Produktivitas Padi

Berdasarkan Tabel 4.22, terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing

peubah bebas yang dimasukan dalam model respon produktivitas padi sesuai dengan

harapan dan teori. Koefisien dugaan harga beras bertanda positif, yaitu 0,0150. Hal ini

berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga beras sebesar 10 persen, maka akan

meningkatkan penerimaan petani yang menjadi sumber permodalan usahataninya,

sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas usahatani padi yaitu sebesar 0,15

persen atau rata-rata sekitar 6,7 kg/ha. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga

beras ini adalah 0,6997, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga beras 10

persen, dimana dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan produktivitas

sebesar 6,997 persen. Sementara dalam jangka panjang, peningkatan produktivitas

padi tersebut akan mencapai 7,84 persen.

Tabel 4.22. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Padi di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep -

2. Harga Beras Pricert 0,0150 0,6997 0,7843

3. Harga Urea Priceurt -0,0880 -0,1829 -0,7433

4. Upah T. Kerja Waget -0,0355b -0,8621 -0,9503

5. Waktu Time 0,0174 - -

6. Lag Produktivitas LagYt 0,7539a - -

R2 = 0,94 F-stat= 64,05 DW=1,93

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%

Selanjutnya koefisien dugaan harga pupuk urea bertanda negatif, yaitu -0,00018.

Hal ini berarti yaitu jika terjadi kenaikan harga urea sebesar 10 persen, maka akan

menurunkan penggunaan pupuk tersebut dengan asumsi kemampuan permodalan

84

usahatani relatif terbatas sehingga akan berpengaruh terhadap produktivitas yang

diraih, yaitu menurun sebesar 0,88 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga

pupuk urea ini adalah 0,1829, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga urea 10

persen, dalam jangka pendek akan menurunkan produktivitas padi sebesar 1,83 persen.

Selanjutnya dalam jangka panjang, penurunan produktivitas tersebut akan mencapai

7,43 persen. Selanjutnya hal yang sama pada peubah tenaga kerja, dimana koefisien

dugaannya bertanda negatif, yaitu -0,0355. Hal ini berarti yaitu jika terjadi kenaikan

upah tenaga kerja sebesar 10 persen, maka akan menurunkan penggunaan tenaga

kerja khususnya tenaga upahan sehingga akan berpengaruh terhadap produktivitas

yang diraih, yaitu menurun sebesar 0,36 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah

upah tenaga kerja ini adalah 0,8621, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga

urea 10 persen, dalam jangka pendek akan menurunkan produktivitas padi sebesar

8,62 persen. Pada jangka panjang, penurunan produktivitas tersebut akan mencapai

9,50 persen.

Peubah waktu berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi, dengan besaran

koefisien dugaan bertanda positif yaitu 0,0174. Artinya bahwa jika tidak ada insentif

atau disinsentif lain, maka perkembangan teknologi yang diterapkan oleh petani hanya

mampu meningkatkan produktivitas padi sebesar 0,017 persen. Sementara pada

peubah lag produktivitas padi, besaran koefisien dugaan bertanda positif yaitu 0,7539.

Artinya, bahwa jika produktivitas pada tahun tertentu meningkat 1 persen, maka

produktivitas tahun berikutnya akan meningkat 0,75 persen. Dengan demikian, jika

tidak insentif lain, maka pertumbuhan produktivitas padi akan relatif lambat.

(3) Permintaan Beras Domestik

Terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing peubah bebas yang

dimasukan dalam persamaan permintaan beras sesuai dengan harapan dan teori.

Koefisien dugaan harga beras bertanda negatif, yaitu -0,0145. Ini artinya bahwa jika

terjadi kenaikan harga beras sebesar 10 persen, maka akan menurunkan permintaan

beras sebesar 1,45 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga beras ini

adalah 0,0037, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga beras 10 persen, dalam

85

jangka pendek akan menurunkan permintaan beras sebesar 0,037 persen. Pada jangka

panjang, penurunan permintaan beras tersebut akan mencapai 0,066 persen (Tabel

4.23).

Koefisien peubah harga jagung bertanda positif yaitu sebesar 0,0073, yang berarti

bahwa setiap terjadi kenaikan harga jagung dalam negeri sebesar 10 persen maka akan

meningkatkan permintaan beras sebesar 0,073 persen. Peningkatan harga jagung,

menyebabkan konsumsi jagung menurun sehingga mendorong permintaan beras

meningkat. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga jagung ini adalah 0,0046

yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga jagung dalam negeri 10 persen, dalam

jangka pendek akan mendorong peningkatan permintaan beras sebesar 0,046 persen.

Pada jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 0,072 persen.

Selanjutnya peubah jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap permintaan

beras. Koefisien dugaan peubah ini adalah sebesar 2,5210, yang berarti bahwa setiap

kenaikan jumlah penduduk 1 persen akan meningkatkan permintaan beras sebesar

2,521 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah jumlah penduduk ini adalah

1,0378 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan jumlah penduduk sebesar 1 persen,

maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan permintaan beras sebesar

1,0378 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 1,985

persen.

Peubah pendapatan perkapita juga berpengaruh nyata terhadap permintaan

beras. Koefisien dugaan peubah ini sebesar 0,3041 yang berarti bahwa tiap terjadi

kenaikan pendapatan perkapita 1 persen akan meningkatkan permintaan beras sebesar

0,304 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari pendapatan perkapita ini adalah

0,2991 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan pendapatan 1 persen, maka dalam

jangka pendek akan mendorong peningkatan pendapatan perkapita sebesar 0,299

persen. Dalam jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 0,534 persen.

Sementara untuk peubah lag permintaan beras memiliki koefisien dugaan sebesar

0,3206. Artinya bahwa jika permintaan beras pada tahun tertentu meningkat 1 persen,

maka permintaan tahun berikutnya akan meningkat 0,32 persen.

86

Tabel 4.23. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Beras di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - -15,1250

2. Harga Beras Pricert -0,0145 -0,0037 -0,0066

3. Harga Jagung Pricect 0,0073 0,0046 0,0072

4. Jumlah Penduduk Popt 2,5210b 1,0378 1,9854

5. Pendapatan/Kap Incomet 0,3041b 0,2991 0,5342

6. Lag Permintaan LagDt 0,3206d - -

R2 = 0,93 F-stat= 51,66 DW=2,10

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b)berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%

(4) Impor Beras

Pada Tabel 4.24 terlihat bahwa koefisien dugaan harga impor beras berpengaruh

nyata terhadap impor beras dan memiliki tanda negatif, yaitu -0,2921. Hal ini berarti

bahwa jika terjadi kenaikan harga impor beras sebesar 1 persen, maka akan

menurunkan impor beras sebesar 0,2921 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah

harga impor beras ini adalah 0,0911 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga

beras 10 persen, dimana dalam jangka pendek akan mendorong penurunan impor

beras sebesar 0,911 persen. Pada jangka panjang, penurunan impor beras akan

mencapai 1,134 persen.

Selanjutnya koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,3644 yang berarti bahwa

apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga beras

impor (dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor akan

meningkat. Penguatan nilai rupiah sebesar 1 persen, maka jumlah impor beras akan

meningkat sebesar 0,3644 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga

jagung ini adalah 0,2134 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen,

maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan impor beras sebesar 2,134

persen. Pada jangka panjang, peningkatan impor tersebut akan mencapai 2,657

persen.

87

Adapun koefisien peubah permintaan beras sebesar 0,7493 yang berarti bahwa

setiap terjadi kenaikan permintaan beras sebesar 10 persen akan mendorong

pemenuhan kebutuhan (baik yang bersumber dari produksi sendiri dan impor),

sehingga impor dalam hal ini terdorong meningkat sebesar 7,493 persen. Nilai

elastisitas jangka pendek dari peubah permintaan beras ini adalah 2,1478 yang berarti

bahwa jika terjadi kenaikan permintaan beras 1 persen, maka dalam jangka pendek

akan mendorong peningkatan impor sebesar 2,1478 persen. Pada jangka panjang,

peningkatan tersebut akan mencapai 2,674 persen. Sementara untuk peubah lag impor

beras memiliki koefisien dugaan sebesar 0,1954. Hal ini berarti bahwa jika impor beras

pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka permintaan tahun berikutnya akan

meningkat1,954 persen.

Tabel 4.24. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Beras di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - -113,4190

2. Harga Impor Beras Pimport -0,2921 -0,0911 -0,1134

3. Nilai Tukar Exchrt -0,3644 -0,2134 -0,2657

4. Permintaan Beras Demandt 0,7493c 2,1478 2,6743

5. Lag Impor Beras LagMt 0,1954 - -

R2 = 0,59 F-stat= 5,54 DW=2,04

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%

(5) Harga Beras Domestik

Pada Tabel 4.25 terlihat bahwa koefisien dugaan volume impor beras berpengaruh

nyata terhadap harga beras dan memiliki tanda negatif, yaitu -0,2462. Hal ini berarti

bahwa jika terjadi kenaikan impor beras sebesar 10 persen, maka akan menurunkan

harga beras domestik sebesar 2,462 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah

impor beras ini adalah 1,1957 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan impor beras 10

persen, dalam jangka pendek akan mendorong penurunan harga beras sebesar 11,957

persen. Dalam jangka panjang, penurunan harga beras akan mencapai 12,503 persen.

88

Pada peubah nilai tukar, nilai koefisien yang diperoleh sebesar -0,4920. Hal ini

berarti bahwa apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi),

maka harga beras impor (dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga

impor akan meningkat dan selanjutnya harga beras domestik akan turun. Penguatan

nilai tukar sebesar 10 persen, maka harga beras domestik akan menurun sebesar 4,92

persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga beras ini adalah 1,4537,

dimana hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen, maka dalam

jangka pendek akan menurunkan harga beras sebesar 14,537 persen. Dalam jangka

panjang, penurunan harga tersebut akan mencapai 15,201 persen.

Adapun koefisien peubah permintaan beras sebesar 1,7147 yang berarti bahwa

tiap terjadi kenaikan permintaan beras sebesar 10 persen akan mendorong peningkatan

harga beras sebesar 17,147 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah

permintaan beras ini adalah 1,1066, dimana hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan

permintaan beras 10 persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan harga

sebesar 11,066 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai

12,028 persen.

Pada peubah suplai, koefisien yang diperoleh sebesar -4,107 yang artinya bahwa

jika terjadi peningkatan suplai beras sebesar 1 persen maka harga beras akan turun

sebesar 4,107 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah suplai beras ini

adalah 1,6803 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan suplai beras 10 persen, dalam

jangka pendek akan menurunkan harga sebesar 16,803 persen. Dalam jangka panjang,

penurunan harga tersebut akan mencapai 18,98 persen. Sementara untuk peubah lag

harga beras memiliki koefisien dugaan sebesar 0,0563. Artinya bahwa jika harga beras

pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka harga beras tahun berikutnya akan

meningkat sebesar 0,563 persen.

89

Tabel 4.25. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Beras di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - -94,7357b

2. Impor Beras Pimport -0,2462b -1,1957 -1,2503

3. Nilai Tukar Exchrt -0,4920d -1,4537 -1,5201

4. Permintaan Beras Demandt 1,7147 1,1066 1,2028

5. Suplai Beras Suplait -4,1070c -1,6803 -1,8980

6. Lag Harga Beras LagPrt 0,0563 - -

R2 = 0,81 F-stat= 22,74 DW=2,04

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%

4.5.2. Pendugaan Model Permintaan dan Penawaran Jagung

(1) Luas Areal Panen Jagung

Hasil empiris pendugaan parameter dari dugaan model respon areal panen

jagung cukup baik. Hal ini dicerminkan oleh besaran dan arah nilai parameter estimasi

yang sesuai yang harapan. Parameter harga (jagung) saat ini bertanda positif, yang

berarti bahwa harga jagung merupakan faktor pendorong bagi petani dalam

berusahatani jagung. Hal yang sama untuk parameter trend waktu yang merupakan

proksi perkembangan teknologi usahatani jagung bertanda positif, sehingga seiring

dengan perkembangan waktu yang diiringi oleh peningkatan teknologi juga menjadi

faktor pendorong bagi pengembangan usahatani jagung. Sebaliknya parameter harga

input (urea dan tenaga kerja) dan suku bunga bertanda negatif, yang berarti bahwa

peningkatan harga input dan suku bunga menjadi diinsentif bagi pengembangan areal

usahatani jagung. Koefisien determinasi dari persamaan areal panen jagung ini sebesar

0,73, yang berarti bahwa sekitar 80 persen variasi peubah-peubah bebas (independent

variabel) dapat menerangkan variasi peubah tak bebas (dependent variabel). Dengan

kata lain, 73 persen perilaku luas areal panen dapat diterangkan oleh variasi peubah-

peubah bebas yang digunakan dalam model ini. Secara rinci, hasil estimasi parameter

persamaan perilaku areal panen jagung disajikan pada Tabel 4.26

90

Tabel 4.26. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Jagung di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. intersep - 17,9518a

2. Harga Jagung Pricect 0,3365a 0,2051 0,1646

3. Harga Beras Pricert -0,1390 -0,0396 -0,0318

4. Harga Kedelai Pricest -0,2465d -0,1658 -0,1331

5. Harga urea Priceurt -0,4727a -0,1278 -0,1025

6. Upah T. Kerja Waget -0,1462 -0,0462 -0,0373

7. Suku bunga Inrt -0,0317 -0,0017 -0,0014

8. Waktu Time 0,0177 - -

9. Lag Luas Panen LagAt 0,2463 - -

R2 = 0,73 F-stat=5,24 DW=2,01

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%

Pada Tabel 4.26, terlihat koefisien dugaan harga jagung sebesar 0,3365 yang

berarti bahwa tiap terjadi kenaikan harga jagung dalam negeri sebesar 1 persen akan

meningkatkan areal panen sekitar 0,34 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari

peubah ini adalah 0,2051, artinya jika terjadi kenaikan harga jagung dalam negeri 10

persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan luas panen 2,05 persen.

Dalam jangka panjang, peningkatan areal panen tersebut akan mencapai 1,65 persen,

karena insentif harga akan semakin mendorong petani untuk meningkatkan usahatani

jagungnya.

Peubah harga beras memiliki koefisien dugaan sebesar -1,390, artinya setiap

kenaikan harga beras dalam negeri 1 persen maka akan menurunkan areal panen

jagung seluas 1,39 persen. Penurunan areal panen jagung disebabkan oleh peningkatan

areal panen padi pada lahan yang biasa ditanami padi dan jagung terutama saat pada

musim ke-2 di lahan sawah. Dengan demikian jagung dalam hal ini merupakan

komoditas pesaing tanaman padi pada lahan sawah di musim ke-2. Nilai elastisitas

jangka pendek dari peubah harga beras ini adalah 0,0396, artinya jika terjadi kenaikan

harga beras dalam negeri 10 persen, maka dalam jangka pendek akan menurunkan

luas panen sebesar 0,396 persen. Dalam jangka panjang, penurunan areal panen

tersebut akan mencapai 0,318 persen.

91

Untuk peubah harga kedelai memiliki koefisien dugaan sebesar -0,2465, yang

berarti bahwa setiap kenaikan harga kedelai dalam negeri sebesar 10 persen maka

akan menurunkan areal panen jagung sebesar 2,465 persen. Penurunan areal panen

jagung disebabkan oleh peningkatan areal panen kedelai pada lahan yang biasa

ditanami jagung dan kedelai terutama saat pada musim ke-2 di lahan sawah. Dengan

demikian jagung dalam hal ini merupakan komoditas pesaing tanaman kedelai pada

lahan sawah di musim ke-2. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga kedelai

ini adalah 0,1658, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga kedelai dalam negeri

10 persen, maka dalam jangka pendek akan menurunkan luas panen sebesar 1,658

persen. Dalam jangka panjang, penurunan areal panen tersebut akan mencapai 1,331

persen.

Harga urea dan upah tenaga kerja memiliki koefisien dugaan masing-masing

sebesar -0,4727 dan -0,1462, yang berarti bahwa tiap terjadi kenaikan harga urea dan

upah tenaga kerja masing-masing sebesar 10 persen maka akan menurunkan areal

panen masing-masing sekitar 4,73 dan 1,46 persen. Perubahan harga pupuk terutama

pupuk urea akan sangat memengaruhi penggunaannya. Nilai elastisitas jangka pendek

dari peubah harga pupuk ini adalah 0,1278 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan

harga pupuk 10 persen, dalam jangka pendek akan menurunkan luas panen sebesar

1,28 persen. Dalam jangka panjang, penurunan areal panen tersebut akan mencapai

1,03 persen. Sementara nilai elastisitas jangka pendek dari peubah upah tenaga kerja

adalah 0,0462 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan upah tenaga kerja 10 persen,

dalam jangka pendek akan menurunkan luas panen sebesar 0,46 persen. Dalam jangka

panjang, penurunan areal panen tersebut akan mencapai 0,37 persen.

Peubah suku bunga bank memiliki koefisien bertanda negatif yaitu -0,0317. Hasil

ini mengindikasikan bahwa setiap peningkatan bunga bank 1%/tahun, maka areal

panen jagung akan menurun seluas 0,032 persen. Artinya bahwa peningkatan bunga

bank akan mengakibatkan semakin terbatasnya kemampuan petani untuk menambah

modal usahatani, sehingga akan mengurangi kemampuan untuk berusahatani jagung

yang dilakukannya.

92

Selanjutnya, koefisien waktu yang mencerminkan perubahan teknologi

berpengaruh nyata terhadap areal panen jagung dan memiliki koefisien bertanda positif

yaitu 0,0177. Hal ini berarti bahwa setiap tahunnya seiring dengan terdapatnya

perubahan teknologi usahatani sekitar 10 persen akan dapat meningkatkan areal panen

jagung sebesar 0,18 persen. Hal yang sama untuk peubah lag areal panen jagung

terhadap areal panen memiliki koefisien bertanda positif yaitu 0,2463. Hal ini berarti

bahwa jika areal panen tahun tertentu meningkat 10 persen, maka akan meningkatkan

areal panen berikutnya sebesar 2,463 persen.

(2) Produktivitas Jagung

Berdasarkan Tabel 4.27, terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing

peubah bebas yang dimasukan dalam model respon produktivitas jagung sesuai dengan

harapan dan teori. Harga jagung berpengaruh nyata terhadap produktivitas, dan

koefisien dugaannya bertanda positif, yaitu 0,0366. Artinya, jika terjadi kenaikan harga

jagung sebesar 10 persen, maka akan meningkatkan kemampuan petani sehingga

mendorong peningkatan produktivitas usahatani jagung sebesar 3,66 persen. Elastisitas

jangka pendek dari peubah harga jagung adalah 1,121, artinya jika terjadi kenaikan

produktivitas jagung sebesar 1,12 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan

produktivitas jagung dapat mencapai 1,17 persen.

Selanjutnya koefisien dugaan harga pupuk urea bertanda negatif, yaitu -0,0923.

Hal ini berarti yaitu jika terjadi kenaikan harga urea sebesar 10 persen, maka akan

menurunkan penggunaan pupuk tersebut sehingga akan berpengaruh terhadap

produktivitas yang diraih yaitu akan menurun sebesar 0,92 persen atau rata-rata sekitar

30 kg/ha. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga pupuk urea ini adalah 1,1467,

yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga urea 10 persen, dalam jangka pendek

akan menurunkan produktivitas jagung sebesar 11,467 persen. Dalam jangka panjang,

penurunan produktivitas tersebut akan mencapai 12,25 persen. Selanjutnya hal yang

sama pada peubah tenaga kerja, dimana koefisien dugaannya bertanda negatif, yaitu -

0,0379. Hal ini berarti yaitu jika terjadi kenaikan upah tenaga kerja sebesar 10 persen,

maka akan menurunkan penggunaan tenaga kerja khususnya tenaga upahan sehingga

93

akan berpengaruh terhadap produktivitas yang diraih yaitu akan menurun sebesar

0,379 persen atau 11 kg/ha. Elastisitas jangka pendek dari peubah upah tenaga kerja

ini adalah 1,1418, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan upah tenaga kerja 10

persen, dalam jangka pendek akan menurunkan produktivitas jagung 11,42 persen.

Dalam jangka panjang, penurunan produktivitas tersebut akan mencapai 12,00 persen.

Tabel 4.27. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Jagung di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - -0,1742

2. Harga Jagung Pricect 0,0366 1,1210 1,1710

3. Harga Urea Priceurt -0,0923 -1,1467 -1,2245

4. Upah T. Kerja Waget -0,0379c -1,1418 -1,2001

5. Waktu Time 0,0470 - -

6. Lag Produktivitas LagYt 0,8582a - -

R2 = 0,99 F-stat= 39,50 DW=2,00

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%

Peubah waktu berpengaruh nyata terhadap produktivitas jagung, dengan

besaran koefisien dugaan bertanda positif yaitu 0,0470. Artinya bahwa jika tidak ada

insentif atau disinsentif lain, maka perkembangan teknologi yang diterapkan oleh petani

hanya mampu meningkatkan produktivitas jagung sebesar 0,0470 persen. Sementara

peubah lag produktivitas jagung, dengan besaran koefisien dugaan bertanda positif

yaitu 0,8582. Artinya, bahwa jika areal panen tahun tertentu meningkat 10 persen,

maka produktivitas tahun berikutnya akan meningkat 8,582 persen. Dengan demikian,

jika tidak insentif lain, maka pertumbuhan produktivitas padi akan relatif lambat.

(3) Impor Jagung

Pada Tabel 4.28 terlihat bahwa koefisien dugaan harga impor jagung berpengaruh

nyata terhadap impor jagung dan memiliki tanda negatif, yaitu -0,4094. Hal ini berarti

bahwa jika terjadi kenaikan harga impor jagung sebesar 1 persen, maka akan

menurunkan impor jagung sebesar 0,41 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah

94

harga impor jagung ini adalah 0,0542 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga

jagung 10 persen, dimana dalam jangka pendek akan mendorong penurunan impor

jagung sebesar 0,542 persen. Pada jangka panjang, penurunan impor jagung akan

mencapai 6,75 persen.

Selanjutnya koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,7707 yang berarti bahwa

apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga

jagung impor (dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor akan

meningkat. Penguatan nilai rupiah setiap 10 persen, maka jumlah impor jagung akan

meningkat sebesar persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga jagung ini

adalah 0,4633, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen, maka

dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan impor jagung sebesar 4,63 persen.

Pada jangka panjang, peningkatan impor tersebut akan mencapai 5,77 persen.

Adapun koefisien peubah permintaan jagung sebesar 0,1874 yang berarti bahwa

setiap terjadi kenaikan permintaan jagung sebesar 10 persen akan mendorong

pemenuhan kebutuhan (baik yang bersumber dari produksi sendiri dan impor),

sehingga impor dalam hal ini terdorong meningkat sebesar 1,87 persen. Nilai elastisitas

jangka pendek dari peubah permintaan jagung ini adalah 2,4576 yang berarti bahwa

jika terjadi kenaikan permintaan jagung 10 persen, maka dalam jangka pendek akan

mendorong peningkatan impor sebesar 24,58 persen. Pada jangka panjang,

peningkatan tersebut akan mencapai 26,00 persen. Sementara untuk peubah lag impor

jagung memiliki koefisien dugaan sebesar 0,2862. Hal ini berarti bahwa jika impor

jagung pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka permintaan tahun berikutnya

akan meningkat 2,86 persen.

95

Tabel 4.28. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Jagung di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - 3,8589

2. Harga Impor Jagung Pimport -0,4094 -0,0542 -0,6754

3. Nilai Tukar Exchrt -0,7707 -0,4633 -0,5768

4. Permintaan Jagung Demandt 0,1874 2,4576 2,6003

5. Lag Impor jagung LagMt 0,2862c - -

R2 = 0,54 F-stat= 4,38 DW=2,08

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%; c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%

(4) Permintaan Jagung Domestik

Terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing peubah bebas yang

dimasukan dalam persamaan permintaan jagung sesuai dengan harapan dan teori.

Koefisien dugaan harga jagung bertanda negatif, yaitu -0,1984. Ini artinya bahwa jika

terjadi kenaikan harga jagung sebesar 10 persen, maka akan menurunkan permintaan

jagung sebesar 1,98 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga jagung ini

adalah 0,0319, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga jagung 10 persen, dalam

jangka pendek maka akan menurunkan permintaan jagung sebesar 0,32 persen. Dalam

jangka panjang, penurunan permintaan jagung tersebut akan mencapai 0,37 persen

(Tabel 4.29).

Peubah harga beras berpengaruh nyata terhadap permintaan jagung, dan

koefisiennya bertanda positif dan signifikan yaitu sebesar 0,0645 yang berarti bahwa

setiap kenaikan harga beras dalam negeri sebesar 10 persen maka akan meningkatkan

permintaan jagung sebesar 0,65 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah

harga beras ini adalah 0,0104 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga beras 10

persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan permintaan jagung sebesar

0,10 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan permintaan tersebut akan mencapai

0,19 persen.

Selanjutnya peubah jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap permintaan

jagung. Koefisien dugaan peubah ini sebesar 0,8678 yang berarti bahwa tiap terjadi

96

kenaikan jumlah penduduk 10 persen maka akan meningkatkan permintaan jagung

sebesar 8,68 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah jumlah penduduk ini

adalah 1,3964 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan jumlah penduduk 10 persen,

maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan permintaan jagung sebesar

13,96 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 16,01

persen.

Untuk peubah jumlah unggas yang ada di lokasi penelitian, memiliki koefisien

bertanda positif 0,1907. Artinya jika jumlah unggas meningkat 10 persen maka

permintaan jagung akan meningkat 1,91 persen. Adapun nilai elastisitas jangka pendek

dari peubah jumlah unggas ras ini adalah 1,0306 yang berarti bahwa jika terjadi

kenaikan jumlah unggas ras sebesar 10 persen, maka dalam jangka pendek akan

mendorong peningkatan permintaan jagung sebesar 10,31 persen. Dalam jangka

panjang, peningkatan permintaan tersebut akan mencapai 11,81 persen.

Peubah pendapatan perkapita juga berpengaruh nyata terhadap permintaan

jagung. Koefisien dugaan peubah ini sebesar 0,8778 yang berarti bahwa setiap 1

persen kenaikan pendapatan perkapita (per juta rupiah) maka akan meningkatkan

permintaan jagung sebesar 0,88 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah

pendapatan perkapita ini adalah 1,3364 berarti bahwa jika terjadi kenaikan pendapatan

perkapita 10 persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan permintaan

jagung sebesar 13,36 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan permintaan tersebut

akan mencapai 15,32 persen. Sementara untuk peubah lag permintaan jagung memiliki

koefisien dugaan sebesar 0,1277. Artinya bahwa jika permintaan jagung pada tahun

tertentu meningkat 10 persen, maka permintaan tahun berikutnya akan meningkat 1,28

persen.

97

Tabel 4.29. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Jagung di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - 12,9868

2. Harga Jagung Pricect -0,1984 -0,0319 -0,0366

3. Harga Beras Pricert 0,0645d 0,0104 0,0190

4. Jumlah Penduduk Popt 0,8678 1,3964 1,6008

5. Jumlah Unggas Ras Pindchkt 0,1907c 1,0306 1,1815

6. Pendapatan/Kap Incomet 0,8778a 1,3364 1,5320

7. Lag Permintaan LagDt 0,1277 - -

R2 = 0,96 F-stat= 82,54 DW=2,11

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.

(5) Harga Jagung Domestik

Pada persamaan jagung, seperti disajikan pada Tabel 4.30 diperoleh informasi

bahwa seluruh peubah bebas (impor jagung, nilai tukar, permintaan jagung, suplai

jagung dan lag harga) berpengaruh nyata terhadap harga jagung. Koefisien determinasi

dari persamaan areal panen jagung ini sebesar 0,98, yang berarti bahwa sekitar 98

persen variasi peubah-peubah bebas (independent variabel) dapat menerangkan variasi

peubah tak bebas (dependent variabel). Dengan kata lain, bahwa 98 persen perilaku

harga jagung dapat diterangkan oleh variasi peubah-peubah bebas yang digunakan

dalam model ini.

Terlihat bahwa koefisien peubah volume impor jagung sebesar –0,0835, hal ini

mengindikasikan bahwa apabila volume impor jagung meningkat 10 persen, maka

harga jagung domestik akan menurun sebesar 0,83 persen. Nilai elastisitas jangka

pendek dari peubah volume impor ini adalah 0,1150 yang berarti bahwa jika terjadi

kenaikan impor jagung 10 persen, dalam jangka pendek akan menurunkan harga

jagung sebesar 1,15 persen. Dalam jangka panjang, penurunan harga tersebut akan

mencapai 2,17 persen.

Terlihat bahwa koefisien peubah nilai tukar sebesar –0,1777, hal ini

mengindikasikan bahwa apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat

98

(terapresiasi), maka harga jagung impor (dari luar negeri) lebih murah dari harga

domestik sehingga impor akan meningkat dan selanjutnya harga jagung domestik akan

turun. Penguatan nilai tukar sebesar 10 persen, maka harga jagung domestik akan

menurun sebesar 1,78 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah nilai tukar ini

adalah 0,1384 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen, dalam

jangka pendek akan menurunkan harga jagung sebesar 1,38 persen. Dalam jangka

panjang, penurunan harga tersebut akan mencapai 1,94 persen.

Adapun koefisien peubah permintaan jagung sebesar 0,2902 yang berarti bahwa

tiap terjadi kenaikan permintaan jagung sebesar 10 persen akan mendorong

peningkatan harga jagung sebesar 2,90 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari

peubah permintaan jagung ini adalah 1,9308 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan

permintaan jagung 10 persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan

harga sebesar 19,31 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan tersebut akan

mencapai 29,08 persen.

Tabel 4.30. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Jagung di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - -12,0867a

2. Impor Import -0,0835 -0,1150 -0,2170

3. Nilai Tukar Exchrt -0,1777b -0,1384 -0,1939

4. Permintaan Jagung Demandt 0,2902 1,9308 2,9079

5. Suplai Jagung Suplait -0,5306 -1,4345 -1,5416

6. Lag Harga Jagung LagPct 0,5734a - -

R2 = 0,98 F-stat= 307,68 DW=2,13

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%; c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.

Pada peubah suplai, koefisien yang diperoleh sebesar -0,5306 yang artinya bahwa

jika terjadi peningkatan suplai jagung sebesar 10 persen maka harga jagung akan turun

sebesar 5,31 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah suplai jagung ini

adalah 1,4345 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan suplai jagung 10 persen, dalam

jangka pendek akan menurunkan harga sebesar 14,35 persen. Dalam jangka panjang,

99

penurunan harga tersebut akan mencapai 15,42 persen. Sementara untuk peubah lag

harga jagung memiliki koefisien dugaan sebesar 0,5734. Artinya bahwa jika harga

jagung pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka harga jagung tahun berikutnya

akan meningkat 5,73 persen.

4.5.3. Pendugaan Model Permintaan dan Penawaran Kedelai

(1) Luas Areal Panen Kedelai

Secara umum hasil empiris pendugaan parameter dari dugaan model respon areal

panen kedelai cukup baik. Hal ini dicerminkan oleh besaran dan arah nilai parameter

estimasi yang sesuai yang harapan. Parameter harga (kedelai) saat ini bertanda positif,

yang berarti bahwa harga kedelai merupakan faktor pendorong bagi petani dalam

berusahatani kedelai. Hal yang sama untuk parameter trend waktu yang merupakan

proksi perkembangan teknologi usahatani kedelai bertanda positif, sehingga seiring

dengan perkembangan waktu yang diiringi oleh peningkatan teknologi juga menjadi

faktor pendorong bagi pengembangan usahatani kedelai. Sebaliknya parameter harga

input (urea dan tenaga kerja) dan suku bunga bertanda negatif, yang artinya

peningkatan harga input dan suku bunga menjadi diinsentif bagi pengembangan areal

usahatani kedelai. Koefisien determinasi dari persamaan areal panen kedelai ini sebesar

0,93 yang berarti bahwa sekitar 93 persen variasi peubah-peubah bebas (independent

variabel) dapat menerangkan variasi peubah tak bebas (dependent variabel). Dengan

kata lain bahwa 93 persen perilaku luas areal panen dapat diterangkan oleh variasi

peubah-peubah bebas yang digunakan dalam model ini. Secara rinci, hasil estimasi

parameter persamaan perilaku areal panen kedelaipadi disajikan pada Tabel 4.31.

100

Tabel 4.31. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Kedelai di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - 7,3603b

2. Harga Kedelai Pricest 0,2315 0,0156 0,1250

3. Harga Jagung Pricect -0,2126 -0,0606 -0,0886

4. Harga Urea Priceurt -0,3331 -0,0701 -0,0923

5. Upah T. Kerja Waget -0,1831 -0,0581 -0,0766

6. Suku bunga Inrt -0,0894 -0,0488 -0,0608

7. Waktu Time 0,0611 0,0259 0,0208

8. Lag Luas Panen LagAt 0,5060b - -

R2 = 0,93 F-stat=28,56 DW=2,06

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.

Pada Tabel 4.31 terlihat bahwa koefisien dugaan harga kedelai sebesar 0,2315

yang berarti bahwa setiap kenaikan harga kedelai dalam negeri sebesar 10 persen

maka akan meningkatkan areal panen sekitar 2,315 persen. Nilai elastisitas jangka

pendek dari peubah ini adalah 0,0125, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga

kedelai 10 persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan luas panen

sebesar 0,125 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan areal panen tersebut akan

mencapai 1,25 persen, karena insentif harga akan mendorong petani untuk

meningkatkan usahatani kedelai.

Koefisien dugaan peubah harga jagung sebesar -0,2126 yang berarti bahwa

setiap kenaikan harga jagung sebesar 10 persen maka akan menurunkan areal panen

kedelai sekitar 2,126 persen. Dengan demikian jagung dalam hal ini merupakan

komoditas pesaing tanaman kedelai pada lahan sawah khususnya di musim ke-2. Nilai

elastisitas jangka pendek dari peubah harga jagung ini adalah 0,0606, yang berarti

bahwa jika terjadi kenaikan harga jagung dalam negeri 10 persen, dalam jangka

pendek akan mendorong peningkatan luas panen sebesar 0,61 persen. Dalam jangka

panjang , peningkatan areal panen tersebut akan mencapai 0,89 persen.

Harga urea dan upah tenaga kerja memiliki koefisien dugaan masing-masing

sebesar -0,3331 dan -0,1831 yang berarti bahwa setiap kenaikan harga urea dan upah

tenaga kerja masing-masing 10 persen maka akan menurunkan areal panen kedelai

101

masing-masing sekitar 3,33 dan 1,83 persen. Perubahan harga pupuk terutama pupuk

urea akan sangat memengaruhi penggunaannya. Nilai elastisitas jangka pendek dari

peubah harga pupuk ini adalah 0,0701 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga

pupuk 10 persen, dalam jangka pendek akan menurunkan luas panen kedelai sebesar

0,70 persen. Dalam jangka panjang, penurunan areal panen tersebut akan mencapai

0,92 persen. Sementara nilai elastisitas jangka pendek dari peubah upah tenaga kerja

adalah 0,0581 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan upah tenaga kerja 10 persen,

dalam jangka pendek akan menurunkan luas panen sebesar 0,58 persen. Dalam jangka

panjang , penurunan areal panen tersebut akan mencapai 0,77 persen.

Peubah suku bunga bank berpengaruh nyata terhadap areal panen kedelai, dan

memiliki koefisien bertanda negatif yaitu -0,0894. Hasil ini mengindikasikan bahwa

setiap peningkatan bunga bank 1%/tahun, maka areal panen kedelai akan menurun

seluas 0,089 persen. Artinya bahwa peningkatan bunga bank akan mengakibatkan

semakin terbatasnya kemampuan petani untuk mengakses modal kredit usahatani,

sehingga akan memengaruhi kemampuan untuk berusahatani kedelai yang

dilakukannya.

Selanjutnya, koefisien waktu yang mencerminkan perubahan teknologi

berpengaruh nyata terhadap areal panen kedelai dan memiliki koefisien yang bertanda

positif, yaitu 0,0611. Hal ini berarti bahwa peningkatan teknologi sekitar 10 persen akan

dapat meningkatkan areal panen padi 0,61 persen. Hal yang sama untuk koefisien lag

areal panen kedelai padi juga bertanda positif, yaitu 0,5060. Artinya, jika areal panen

tahun tertentu meningkat 10 persen, maka akan meningkatkan areal panen berikutnya

seluas 5,06 persen.

(2) Produktivitas Kedelai

Koefisien dugaan harga kedelai bertanda positif, yaitu 0,0257. Ini artinya bahwa

jika terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 10 persen, maka akan mendorong

peningkatan produktivitas usahatani kedelai sebesar 2,57 persen. Elastisitas jangka

pendek dari peubah harga kedelai ini adalah 0,862 yang berarti bahwa jika terjadi

kenaikan harga kedelai 10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong

102

peningkatan produktivitas sebesar 8,62 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan

produktivitas kedelai tersebut akan mencapai 9,58 persen (Tabel 4.32).

Tabel 4.32. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Kedelai di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - 0,2622c

2. Harga Kedelai Pricest 0,0257 0,8620 0,9576

3. Harga Urea Priceurt -0,0561 -0,7846 -0,8625

4. Upah T. Kerja Waget -0,0182 -0,6807 -0,8012

5. Waktu Time 0,0704c 0,3516 0,4800

6. Lag Produktivitas LagYt 0,2078 0,0140 0,0989

R2 = 0,93 F-stat= 46,40 DW=1,96

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%

Selanjutnya koefisien dugaan harga pupuk urea bertanda negatif, yaitu -0,0561.

Hal ini berarti yaitu jika terdapat kenaikan harga urea sebesar 10 persen, maka akan

menurunkan penggunaan pupuk tersebut, sehingga akan berpengaruh terhadap

produktivitas yang diraih yaitu akan menurun sebesar 0,561 persen. Elastisitas jangka

pendek dari peubah harga pupuk urea ini adalah 0,7846 yang berarti bahwa jika terjadi

kenaikan harga urea 10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong

peningkatan produktivitas kedelai sebesar 7,85 persen. Dalam jangka panjang,

peningkatan produktivitas tersebut akan mencapai 8,63 persen. Selanjutnya hal yang

sama pada peubah tenaga kerja, koefisien dugaannya bertanda negatif yaitu -0,0182.

Hal ini berarti yaitu jika terjadi kenaikan upah tenaga kerja sebesar 10 persen, maka

akan menurunkan penggunaan tenaga kerja khususnya tenaga upahan sehingga akan

berpengaruh terhadap produktivitas yang diraih, yaitu akan menurun sebesar 0,18

persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah upah tenaga kerja ini adalah 0,6807 yang

berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga urea 10 persen, maka dalam jangka pendek

akan mendorong peningkatan produktivitas kedelai sebesar 6,81 persen. Dalam jangka

panjang, peningkatan produktivitas tersebut akan mencapai 8,01 persen.

103

Peubah waktu berpengaruh nyata terhadap produktivitas kedelai, dengan

besaran koefisien dugaan bertanda positif yaitu 0,0704. Artinya bahwa jika tidak ada

insentif atau disinsentif lain, maka perkembangan teknologi yang diterapkan oleh petani

hanya mampu meningkatkan produktivitas kedelai sebesar 0,0704 persen. Sementara

peubah lag produktivitas kedelai juga berpengaruh nyata terhadap produktivitas yang

dihasilkannya, dengan koefisien dugaan bertanda positif yaitu 0,2078. Artinya, jika

produktivitas tahun tertentu meningkat 10 persen, maka produktivitas tahun berikutnya

meningkat 02,08 persen.

(4) Permintaan Kedelai Domestik

Pada Tabel 4.33 terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing peubah

bebas yang dimasukan dalam persamaan permintaan kedelai sesuai dengan harapan

dan teori. Koefisien dugaan harga kedelai bertanda negatif, yaitu -0,7826. Ini artinya

bahwa jika terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 10 persen, maka akan menurunkan

permintaan kedelai sebesar 7,83 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga

kedelai ini adalah 0,0588 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga kedelai 10

persen, maka dalam jangka pendek akan menurunkan permintaan kedelai sebesar 0588

persen. Sementara dalam jangka panjang, penurunan permintaan kedelai tersebut akan

mencapai 0,67 persen.

Tabel 4.33. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Kedelai di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - -37,8212

2. Harga Kedelai Pricest -0,7826b -0,0588 -0,0675

3. Jumlah Penduduk Popt 4,960 0,7981 0,9150

4. Pendapatan/Kap Incomet 0,2632 0,4007 0,4593

5. Lag Permintaan LagDt 0,0538 - -

R2 = 0,68 F-stat= 5,66 DW=2,08

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.

104

Selanjutnya peubah jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap permintaan

kedelai. Koefisien dugaan peubah ini sebesar 4,966 yang berarti bahwa setiap kenaikan

jumlah penduduk 1 persen maka akan meningkatkan permintaan kedelai sebesar 4,96

persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah jumlah penduduk ini adalah 0,7981

berarti bahwa jika terjadi kenaikan jumlah penduduk 10 persen, dalam jangka pendek

mendorong peningkatan permintaan kedelai 7,98 persen, dan jangka panjang

peningkatannya 9,15 persen.

Untuk peubah pendapatan perkapita, koefisien dugaan yang diperoleh sebesar

0,2632 yang berarti bahwa setiap terjadi kenaikan pendapatan perkapita 10 persen

maka akan meningkatkan permintaan kedelai sebesar 2,63. Nilai elastisitas jangka

pendek dari peubah pendapatan perkapita ini adalah 0,4007 yang berarti bahwa jika

terjadi kenaikan pendapatan perkapita 10 persen, maka dalam jangka pendek akan

mendorong peningkatan pendapatan perkapita sebesar 4,01 persen. Sementara dalam

jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 4,59 persen. Selanjutnya untuk

peubah lag permintaan kedelai memiliki koefisien dugaan sebesar 0,0538. Artinya

bahwa jika permintaan kedelai pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka

permintaan tahun berikutnya akan meningkat 0,54 persen.

(4) Impor

Pada Tabel 4.34 bahwa koefisien dugaan harga impor jagung berpengaruh nyata

terhadap impor kedelai dan memiliki tanda negatif, yaitu -0,3150. Hal ini berarti bahwa

jika terjadi kenaikan harga impor kedelai sebesar 10 persen, maka akan menurunkan

impor kedelai sebesar 3,15 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga impor

kedelai ini adalah 0,9556 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga kedelai 10

persen, dimana dalam jangka pendek akan mendorong penurunan impor kedelai

sebesar 9,56 persen. Pada jangka panjang, penurunan impor kedelai akan mencapai

11,90 persen.

Selanjutnya koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,4795 yang berarti bahwa

apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga

kedelai impor (dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor akan

105

meningkat. Penguatan nilai rupiah sekitar 10 persen, maka jumlah impor kedelai akan

meningkat sebesar 4,79 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga

kedelai ini adalah 0,6823 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen,

maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan impor kedelai sebesar 6,82

persen. Pada jangka panjang, peningkatan impor tersebut akan mencapai 8,89 persen.

Adapun koefisien peubah permintaan kedelai sebesar 1,7046 yang berarti bahwa

setiap terjadi kenaikan permintaan kedelai sebesar 10 persen akan mendorong

pemenuhan kebutuhan (baik yang bersumber dari produksi sendiri dan impor),

sehingga impor dalam hal ini terdorong meningkat sebesar 17,05 persen. Nilai

elastisitas jangka pendek dari peubah permintaan kedelai ini adalah 1,2959 yang berarti

bahwa jika terjadi kenaikan permintaan kedelai 10 persen, maka dalam jangka pendek

akan mendorong peningkatan impor sebesar 12,96 persen. Pada jangka panjang,

peningkatan tersebut akan mencapai 14,10 persen. Sementara untuk peubah lag impor

kedelai memiliki koefisien dugaan sebesar 0,0928. Hal ini berarti bahwa jika impor

kedelai pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka permintaan tahun berikutnya

akan meningkat 0,93 persen.

Tabel 4.34. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Kedelai di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - -18,0812a

2. Harga Impor kedelai Pimport -0,3150 -0,9556 -1,1898

3. Nilai Tukar Exchrt -0,4795a -0,6823 -0,8885

4. Permintaan Kedelai Demandt 1,7046a 1,2959 1,4104

5. Lag Impor Kedelai LagMt 0,0928 - -

R2 = 0,83 F-stat= 26,13 DW=1,94

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%

106

(5) Harga Kedelai Domestik

Seperti disajikan pada Tabel 4.35 terlihat bahwa koefisien peubah volume impor

kedelai sebesar –0,1958, hal ini mengindikasikan bahwa apabila volume impor kedelai

meningkat 10 persen, maka harga kedelai domestik akan menurun sebesar 1,96

persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah volume impor ini adalah 0,2550

yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan impor kedelai 10 persen, dalam jangka pendek

akan menurunkan harga kedelai sebesar 2,55 persen. Dalam jangka panjang,

penurunan harga tersebut akan mencapai 8,98 persen.

Selanjutnya bahwa peubah nilai tukar berpengaruh nyata terhadap harga kedelai

domestik. Koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,2515 yang berarti bahwa apabila

nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga kedelai (dari

luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor akan meningkat dan

selanjutnya harga kedelai domestik akan turun. Penguatan nilai tukar sebesar 10

persen, maka akan menyebabkan harga kedelai domestik akan menurun sebesar 2,51

persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah nilai ini adalah 0,5930 berarti bahwa

jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen, maka dalam jangka pendek akan

menurunkan harga kedelai sebesar 5,93 persen. Sementara dalam jangka panjang,

penurunan harga tersebut akan mencapai 7,45 persen.

Adapun koefisien peubah permintaan kedelai sebesar 0,1240 yang berarti bahwa

setiap terjadi kenaikan permintaan kedelai sebesar 10 persen maka akan mendorong

peningkatan harga kedelai meningkat menjadi 1,24 persen. Nilai elastisitas jangka

pendek dari peubah permintaan kedelai ini adalah 1,1066, artinya jika terjadi kenaikan

permintaan kedelai 10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong

peningkatan harga sebesar 11,07 persen. Sementara dalam jangka panjang,

peningkatan tersebut akan mencapai 14,11 persen.

107

Pada peubah suplai, koefisien yang diperoleh sebesar -0,2786 yang artinya bahwa

jika terjadi peningkatan suplai kedelai sebesar 10 persen maka harga kedelai akan

turun sebesar 2,79 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah suplai kedelai ini

adalah 1,213 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan suplai kedelai 10 persen, maka

dalam jangka pendek akan menurunkan harga sebesar 12,13 persen. Dalam jangka

panjang, penurunan harga tersebut akan mencapai 17,54 persen. Selanjutnya untuk

peubah lag harga kedelai memiliki koefisien dugaan sebesar 0,8653. Artinya bahwa jika

harga kedelai pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka harga kedelai tahun

berikutnya akan meningkat 8,65 persen.

Tabel 4.35. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Kedelai di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - -0,6247

2. Impor Import -0,1958 -0,2550 -0,8980

3. Nilai Tukar Exchrt -0,2515b -0,5930 -0,7448

4. Permintaan Kedelai Demandt 0,1240 1,1066 1,4104

5. Suplai Kedelai Suplait -0,2786 -1,2130 -1,7540

6. Lag Harga Kedelai LagMt 0,8653 a - -

R2 = 0,97 F-stat= 245,22 DW=2,03

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%; c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.

108

4.5.4. Pendugaan Model Permintaan dan Penawaran Tebu

(1) Luas Areal Panen Tebu

Secara umum hasil empiris pendugaan parameter dari dugaan model respon areal

panen Tebu cukup baik. Hal ini dicerminkan oleh besaran dan arah nilai parameter

estimasi yang sesuai yang harapan. Parameter harga (Tebu) saat ini bertanda positif,

yang berarti bahwa harga Tebu merupakan faktor pendorong bagi petani dalam

berusahatani Tebu. Hal yang sama untuk parameter trend waktu yang merupakan

proksi perkembangan teknologi usahatani Tebu bertanda positif, sehingga seiring

dengan perkembangan waktu yang diiringi oleh peningkatan teknologi juga menjadi

faktor pendorong bagi pengembangan usahatani Tebu. Sebaliknya parameter harga

input (urea dan tenaga kerja) dan suku bunga bertanda negatif, yang artinya

peningkatan harga input dan suku bunga menjadi diinsentif bagi pengembangan areal

usahatani Tebu. Koefisien determinasi dari persamaan areal panen Tebu ini sebesar

0,89, yang berarti bahwa sekitar 89 persen variasi peubah-peubah bebas (independent

variabel) dapat menerangkan variasi peubah tak bebas (dependent variabel). Dengan

kata lain bahwa 89 persen perilaku luas areal panen dapat diterangkan oleh variasi

peubah-peubah bebas yang digunakan dalam model ini. Secara rinci, hasil estimasi

parameter persamaan perilaku areal panen Tebupadi disajikan pada Tabel 4.36.

Tabel 4.36. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Tebu di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - 5,8057a

2. Harga Gula Pricesgt 0,1287 0,0146 0,0157

3. Harga Beras Pricert -0,0275 -0,0167 -0,0185

4. Harga Urea Priceurt -0,3144c -0,0850 -0,0882

5. Upah T. Kerja Waget -0,0543 -0,0172 -0,0138

6. Suku bunga Inrt -0,0457 -0,0025 -0,0020

7. Waktu Time 0,0853 0,0036 0,0029

8. Lag Luas Panen LagAt 0,5095a - -

R2 = 0,89 F-stat=18,32 DW=2,14

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.

109

Pada Tabel 4.36 terlihat bahwa koefisien dugaan harga Gula sebesar 0,1287

yang berarti bahwa setiap kenaikan harga gula dalam negeri sebesar 10 persen maka

akan meningkatkan areal panen sekitar 1,29 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari

peubah ini adalah 0,046 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga gula 10 persen,

dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan luas panen sebesar 0,15 persen.

Dalam jangka panjang, peningkatan areal panen tersebut akan mencapai 0,16 persen,

karena insentif harga akan mendorong petani untuk meningkatkan usahatani Tebu.

Koefisien dugaan peubah harga gula sebesar -0,0275 yang berarti bahwa setiap

kenaikan harga gula sebesar 10 persen maka akan menurunkan areal panen Tebu

sekitar 0,27 persen. Dengan demikian gula/padi dalam hal ini merupakan komoditas

pesaing tanaman Tebu pada lahan sawah khususnya. Nilai elastisitas jangka pendek

dari peubah harga gula ini adalah 0,0167, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan

harga gula dalam negeri 10 persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan

luas panen sebesar 0,17 persen. Dalam jangka panjang , peningkatan areal panen

tersebut akan mencapai 0,19 persen.

Harga urea dan upah tenaga kerja memiliki koefisien dugaan masing-masing

sebesar -0,3144 dan -0,0543 yang berarti bahwa setiap kenaikan harga urea dan upah

tenaga kerja sebesar 10 persen maka akan menurunkan areal panen Tebu masing-

masing sekitar 3,14 dan 0,54 persen. Dalam analisis, diketahui bahwa perubahan harga

pupuk terutama pupuk urea akan sangat memengaruhi penggunaannya. Nilai elastisitas

jangka pendek dari peubah harga pupuk ini adalah 0,085 yang berarti bahwa jika

terjadi kenaikan harga pupuk 10 persen, dalam jangka pendek akan menurunkan luas

panen Tebu sebesar 0,85 persen. Dalam jangka panjang , penurunan areal panen

tersebut akan mencapai 0,88 persen. Sementara nilai elastisitas jangka pendek dari

peubah upah tenaga kerja adalah 0,0172 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan

upah tenaga kerja 10 persen, dalam jangka pendek akan menurunkan luas panen

sebesar 0,17 persen. Dalam jangka panjang , penurunan areal panen tersebut akan

mencapai 0,14 persen.

Peubah suku bunga bank berpengaruh nyata terhadap areal panen Tebu, dan

memiliki koefisien bertanda negatif yaitu -0,0457. Hasil ini mengindikasikan bahwa

110

setiap peningkatan bunga bank 1%/tahun, maka areal panen Tebu akan menurun

seluas 0,05 persen. Artinya bahwa peningkatan bunga bank akan mengakibatkan

semakin terbatasnya kemampuan petani untuk mengakses modal kredit usahatani,

sehingga akan memengaruhi kemampuan untuk berusahatani Tebu yang dilakukannya.

Selanjutnya, koefisien waktu yang mencerminkan perubahan teknologi

berpengaruh nyata terhadap areal panen Tebu dan memiliki koefisien yang bertanda

positif, yaitu 0,0853. Hal ini berarti bahwa setiap tahunnya dan dengan teknologi

usahatani yang ada akan dapat meningkatkan areal panen padi 0,09 persen. Hal yang

sama untuk koefisien lag areal panen Tebu padi juga bertanda positif, yaitu 0,5095.

Artinya, jika areal panen tahun tertentu meningkat 10 persen, maka akan

meningkatkan areal panen berikutnya seluas 5,09 persen.

(2) Produktivitas Tebu

Koefisien dugaan harga Gula bertanda positif, yaitu 0,1118. Ini artinya bahwa

jika terjadi kenaikan harga Gula sebesar 10 persen, maka akan mendorong peningkatan

produktivitas usahatani Gula sebesar 1,118 persen. Elastisitas jangka pendek dari

peubah harga Gula ini adalah 0,8870 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga

Gula 10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan produktivitas

sebesar 8,87 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan produktivitas Gula tersebut

akan mencapai9,90 persen (Tabel 4.37).

Tabel 4.37. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Tebu di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - 0,23911b

2. Harga Gula Pricesgt 0,1118 0,8870 0,9901

3. Harga Urea Priceurt -0,2780 -0,6846 -0,8823

4. Upah T. Kerja Waget -0,0003 -0,3429 -0,5893

5. Waktu Time 0,0218 0,0894 0,1831

6. Lag Produktivitas LagYt 0,5511a - -

R2 = 0,79 F-stat= 12,19 DW=1,98

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%; c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%

111

Selanjutnya koefisien dugaan harga pupuk urea bertanda negatif, yaitu -02780.

Hal ini berarti yaitu jika terdapat kenaikan harga urea sebesar 10 persen, maka akan

menurunkan penggunaan pupuk tersebut, sehingga akan berpengaruh terhadap

produktivitas yang diraih yaitu akan menurun sebesar 0,28 persen. Elastisitas jangka

pendek dari peubah harga pupuk urea ini adalah 0,6848 yang berarti bahwa jika terjadi

kenaikan harga urea 10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong

peningkatan produktivitas Tebu sebesar 6,85 persen. Dalam jangka panjang,

peningkatan produktivitas tersebut akan mencapai 8,82 persen. Selanjutnya hal yang

sama pada peubah tenaga kerja, koefisien dugaannya bertanda negatif yaitu -0,0003.

Hal ini berarti yaitu jika terjadi kenaikan upah tenaga kerja sebesar 10 persen, maka

akan menurunkan penggunaan tenaga kerja khususnya tenaga upahan sehingga akan

berpengaruh terhadap produktivitas yang diraih, yaitu akan menurun sebesar 0,003

persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah upah tenaga kerja ini adalah 0,3429 yang

berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga urea 10 persen, maka dalam jangka pendek

akan mendorong peningkatan produktivitas Tebu sebesar 3,43 persen. Dalam jangka

panjang, peningkatan produktivitas tersebut akan mencapai 5,89 persen.

Peubah waktu berpengaruh nyata terhadap produktivitas Tebu, dengan besaran

koefisien dugaan bertanda positif yaitu 0,0218. Artinya, bahwa jika tidak ada insentif

atau disinsentif lain, maka perkembangan teknologi yang diterapkan oleh petani hanya

mampu meningkatkan produktivitas Tebu sebesar 0,022 persen. Sementara peubah lag

produktivitas Tebu juga berpengaruh nyata terhadap produktivitas yang dihasilkannya,

dengan koefisien dugaan bertanda positif yaitu 0,5511. Artinya, jika produktivitas tahun

tertentu meningkat 10 persen, maka produktivitas tahun berikutnya meningkat 5,51

persen.

(3) Permintaan Gula Domestik

Pada Tabel 4.38 terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing peubah

bebas yang dimasukan dalam persamaan permintaan Gula sesuai dengan harapan dan

teori. Koefisien dugaan harga Gula bertanda negatif, yaitu -0,1752. Ini artinya bahwa

jika terjadi kenaikan harga Gula sebesar 10 persen, maka akan menurunkan permintaan

112

Gula sebesar 1,17 ton/tahun. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga Tebu ini

adalah 5,84 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga Gula 10 persen, maka

dalam jangka pendek akan menurunkan permintaan Gula sebesar 5,84 persen.

Sementara dalam jangka panjang, penurunan permintaan Tebu tersebut akan mencapai

9,63 persen.

Tabel 4.38. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Tebu di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - 15,5173

2. Harga Gula Pricesgt -0,1752 -0,5843 -0,9625

3. Jumlah Penduduk Popt 1,3670 0,4393 0,5036

4. Pendapatan/Kap Incomet 1,0306b 0,5690 0,7986

5. Lag Permintaan LagDt 0,0532 0,1460 0,4680

R2 = 0,70 F-stat= 9,84 DW=1,95

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.

Selanjutnya peubah jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap permintaan

Tebu. Koefisien dugaan peubah ini sebesar 1,367 yang berarti bahwa setiap kenaikan

jumlah penduduk sebesar 1 persen mak akan meningkatkan permintaan gula sebesar

1,37 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah jumlah penduduk ini adalah

0,4393, berarti bahwa jika terjadi kenaikan jumlah penduduk 10 persen, dalam jangka

pendek mendorong peningkatan permintaan gula 4,39 persen, dan jangka panjang

peningkatannya 5,04 persen.

Untuk peubah pendapatan perkapita, koefisien dugaan yang diperoleh sebesar

1,0306 yang berarti bahwa setiap terjadi kenaikan 10 persen pendapatan perkapita

maka akan meningkatkan permintaan gula sebesar 10,31 persen. Nilai elastisitas jangka

pendek dari peubah pendapatan perkapita ini adalah 0,5690 yang berarti bahwa jika

terjadi kenaikan pendapatan perkapita 10 persen, maka dalam jangka pendek akan

mendorong peningkatan pendapatan perkapita sebesar 5,69 persen. Sementara dalam

jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 7,99 Selanjutnya untuk peubah

113

lag permintaan gula memiliki koefisien dugaan sebesar 0,0532. Artinya bahwa jika

permintaan gula pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka permintaan tahun

berikutnya akan meningkat 0,53 persen.

(4) Impor

Pada Tabel 4.39 terlihat bahwa koefisien dugaan harga impor gula berpengaruh

nyata terhadap impor gula dan memiliki tanda negatif, yaitu -3,1303. Hal ini berarti

bahwa jika terjadi kenaikan harga impor gula sebesar 1 persen, maka akan

menurunkan impor gula sebesar 3,13 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah

harga impor gula ini adalah 0,126 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga gula

10 persen, dimana dalam jangka pendek akan mendorong penurunan impor gula

sebesar 1,26 persen. Pada jangka panjang, penurunan impor gula akan mencapai 8,12

persen.

Selanjutnya koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,8771 yang berarti bahwa

apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga gula

impor (dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor akan

meningkat. Penguatan nilai rupiah setiap 10 persen, maka jumlah impor gula akan

meningkat sebesar 8,77 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga gula

ini adalah 0,5277 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen, maka

dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan impor gula sebesar 5,28 persen.

Pada jangka panjang, peningkatan impor tersebut akan mencapai 6,56 persen.

Adapun koefisien peubah permintaan gula sebesar 3,2945 yang berarti bahwa

setiap terjadi kenaikan permintaan gula sebesar 1 pesen akan mendorong pemenuhan

kebutuhan (baik yang bersumber dari produksi sendiri dan impor), sehingga impor

dalam hal ini terdorong meningkat sebesar 3,29 persen. Nilai elastisitas jangka pendek

dari peubah permintaan gula ini adalah 0,1639 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan

permintaan gula 10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan

impor sebesar 1,64 persen. Pada jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai

4,49 persen. Sementara untuk peubah lag impor gula memiliki koefisien dugaan

114

sebesar 0,6771. Hal ini berarti bahwa jika impor gula pada tahun tertentu meningkat 10

persen, maka permintaan gula tahun berikutnya akan meningkat 6,77 persen.

Tabel 4.39. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Gula di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - 45,0158

2. Harga Impor Gula Pimport -3,1303 -0,1260 -0,8118

3. Nilai Tukar Exchrt -0,8771 -0,5277 -0,6564

4. Permintaan Gula Demandt 3,2945 0,1639 0,4492

5. Lag Impor Gula LagMt 0,6771a - -

R2 = 0,73 F-stat= 14,51 DW=2,11

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%

(5) Harga Gula Domestik

Seperti disajikan pada Tabel 4.40 bahwa terlihat bahwa koefisien peubah volume

impor gula sebesar –0,0012, hal ini mengindikasikan bahwa apabila volume impor gula

meningkat 10 persen, maka harga gula domestik akan menurun sebesar 0,012 persen.

Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah volume impor ini adalah 0,0599 yang berarti

bahwa jika terjadi kenaikan impor gula 10 persen, dalam jangka pendek akan

menurunkan harga jagung sebesar 0,60 persen. Dalam jangka panjang, penurunan

harga tersebut akan mencapai 0,84 persen.

Selanjutnya bahwa peubah nilai tukar berpengaruh nyata terhadap harga gula

domestik. Koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,0215 yang berarti bahwa apabila

nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga gula impor

(dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor akan meningkat dan

selanjutnya harga gula domestik akan turun. Penguatan nilai tukar sebesar 10 persen,

maka akan menyebabkan harga gula domestik akan menurun sebesar 0,21 persen.

Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah nilai ini adalah 0,0167 yang berarti bahwa

jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen, maka dalam jangka pendek akan

115

menurunkan harga gula sebesar 0,17 persen. Sementara dalam jangka panjang,

penurunan harga tersebut akan mencapai 0,23 persen.

Adapun koefisien peubah permintaan Tebu sebesar 0,0215 yang berarti bahwa

setiap terjadi kenaikan permintaan gula sebesar 10 persen maka akan mendorong

peningkatan harga gula meningkat 0,21 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari

peubah permintaan gebu ini adalah 1,059 artinya jika terjadi kenaikan permintaan gula

10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan harga gula

sebesar 10,59 persen. Sementara dalam jangka panjang, peningkatan tersebut akan

mencapai 14,84 persen.

Tabel 4.40. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Gula di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - 5,0657

2. Impor Import -0,0012 -0,0599 -0,0839

3. Nilai Tukar Exchrt -0,0215 -0,0167 -0,0234

4. Permintaan Gula Demandt 0,2756 1,0590 1,4837

5. Suplai Gula Suplait -0,6344b -1,0773 -1,2910

6. Lag Harga Gula LagMt 1,0118a - -

R2 = 0,98 F-stat= 282,28 DW=2,03

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%; c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.

Pada peubah suplai, koefisien yang diperoleh sebesar -0,6344 yang artinya bahwa

jika terjadi peningkatan suplai gula sebesar 10 persen maka harga gula akan turun

sebesar 6,34 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah suplai gula adalah

1,0773 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan suplai gula 10 persen, maka dalam

jangka pendek akan menurunkan harga sebesar 10,77 persen. Dalam jangka panjang,

penurunan harga tersebut akan mencapai 12,91 persen. Selanjutnya untuk peubah lag

harga gula memiliki koefisien dugaan sebesar 1,0118. Artinya bahwa jika harga gula

pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka harga gula tahun berikutnya akan

meningkat 10,12 persen.

116

4.5.5. Pendugaan Model Permintaan dan Penawaran Daging Sapi

(1) Permintaan Daging Sapi Domestik

Pada Tabel 4.41 terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing peubah

bebas yang dimasukan dalam persamaan permintaan Daging Sapi sesuai dengan

harapan dan teori. Koefisien dugaan harga Daging Sapi bertanda negatif, yaitu -0,1715.

Ini artinya bahwa jika terjadi kenaikan harga Daging Sapi sebesar 10 persen, maka

akan menurunkan permintaan Daging Sapi sebesar 1,71 persen. Elastisitas jangka

pendek dari peubah harga Daging Sapi ini adalah 0,1409 yang berarti bahwa jika terjadi

kenaikan harga Daging Sapi 10 persen, maka dalam jangka pendek akan menurunkan

permintaan Daging Sapi sebesar 1,41 persen. Sementara dalam jangka panjang,

penurunan permintaan Daging Sapi tersebut akan mencapai 1,63 persen.

Koefisien peubah harga daging ayam bertanda positif, yaitu sebesar 0,0085 yang

berarti bahwa tiap terjadi kenaikan harga daing ayam dalam negeri sebesar 10 persen

maka akan meningkatkan permintaan Daging Sapi sebesar 0,085 persen. Nilai

elastisitas jangka pendek dari peubah harga daging ayam ini adalah 1,3019 yang berarti

bahwa jika terjadi kenaikan harga daging ayam 1 persen, maka dalam jangka pendek

akan mendorong peningkatan permintaan Daging Sapi sebesar 1,30 persen. Sementara

dalam jangka panjang, peningkatannya akan mencapai 1,85 persen.

Tabel 4.41. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Daging Sapi di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - -23,9614c

2. Harga Daging Sapi Prdcowt -0,1715 -0,1409 -0,1631

3. Harga Daging Ayam Prdchkt 0,0085 1,3019 1,8470

4. Jumlah Penduduk Popt 2,4824c 1,5137 1,7146

5. Pendapatan/Kap Incomet 0,3781 1,1813 1,7502

6. Lag Permintaan LagDt 0,1758 - -

R2 = 0,92 F-stat= 45,30 DW=1,99

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.

117

Selanjutnya peubah jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap permintaan

Daging Sapi. Koefisien dugaan peubah ini sebesar 2,4824 yang berarti bahwa setiap

kenaikan jumlah penduduk 1 persen maka akan meningkatkan permintaan Daging Sapi

sebesar 2,48 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah jumlah penduduk ini

adalah 1,5137 berarti bahwa jika terjadi kenaikan jumlah penduduk 1 persen, dalam

jangka pendek mendorong peningkatan permintaan Daging Sapi 1,51 persen, dan

jangka panjang peningkatannya 1,75 persen.

Untuk peubah pendapatan perkapita, koefisien dugaan yang diperoleh sebesar

0,3781 yang berarti bahwa setiap terjadi kenaikan pendapatan perkapita 10 persen

maka akan meningkatkan permintaan Daging Sapi sebesar 3,78 persen. Nilai elastisitas

jangka pendek dari peubah pendapatan perkapita ini adalah 1,1813 yang berarti bahwa

jika terjadi kenaikan pendapatan perkapita 10 persen, maka dalam jangka pendek akan

mendorong peningkatan pendapatan perkapita sebesar 11,81 persen. Sementara dalam

jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 17,50 persen. Selanjutnya untuk

peubah lag permintaan Daging Sapi memiliki koefisien dugaan sebesar 0,1758. Artinya

bahwa jika permintaan Daging Sapi pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka

permintaan tahun berikutnya akan meningkat 1,76 persen.

(2) Impor

Pada Tabel 4.42 terlihat bahwa koefisien dugaan harga impor daging sapi

berpengaruh nyata terhadap impor daging sapi dan memiliki tanda negatif, yaitu -

0,6768. Hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga impor daging sapi sebesar 10

persen, maka akan menurunkan impor daging sapi sebesar 6,77 persen. Elastisitas

jangka pendek dari peubah harga impor daging sapi ini adalah 0,1305 yang berarti

bahwa jika terjadi kenaikan harga daging sapi 10 persen, dimana dalam jangka pendek

akan mendorong penurunan impor daging sapi sebesar 1,31 persen. Pada jangka

panjang, penurunan impor daging sapi akan mencapai 1,50 persen.

Selanjutnya koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,1093 yang berarti bahwa

apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga

daging sapi impor (dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor

118

akan meningkat. Penguatan nilai rupiah sekitar 10 persen, maka jumlah impor daging

sapi akan meningkat sebesar 1,09 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah

harga daging sapi ini adalah 0,5011 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar

10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan impor daging sapi

sebesar 5,01 persen. Pada jangka panjang, peningkatan impor tersebut akan mencapai

5,74 persen.

Adapun koefisien peubah permintaan daging sapi sebesar 3,1306 yang berarti

bahwa setiap terjadi kenaikan permintaan daging sapi sebesar 1 persen akan

mendorong pemenuhan kebutuhan (baik yang bersumber dari produksi sendiri dan

impor), sehingga impor dalam hal ini terdorong meningkat sebesar 3,13 persen. Nilai

elastisitas jangka pendek dari peubah permintaan daging sapi ini adalah 0,5273 berarti

bahwa jika terjadi kenaikan permintaan daging sapi 1 persen, maka dalam jangka

pendek akan mendorong peningkatan impor sebesar 0,53 persen. Pada jangka panjang,

peningkatan tersebut akan mencapai 0,60 persen. Sementara untuk peubah lag impor

daging sapi memiliki koefisien dugaan sebesar 0,4916. Hal ini berarti bahwa jika impor

daging sapi pada tahun tertentu meningkat 1 persen, maka permintaan tahun

berikutnya akan meningkat 0,49 persen.

Tabel 4.42. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Daging Sapi di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - -37,8634b

2. Harga Impor Daging Sapi Pimport -0,6768 -0,1305 -0,1496

3. Nilai Tukar Exchrt -0,1093 -0,5011 -0,5744

4. Permintaan Daging Sapi Demandt 3,1306c 0,5273 0,6044

5. Lag Impor Daging Sapi LagMt 0,4916b - -

R2 = 0,70 F-stat= 12,83 DW=2,00

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%; c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%

119

(4) Harga Daging Sapi Domestik

Seperti disajikan pada Tabel 4.43 terlihat bahwa koefisien peubah volume impor

daging sapi sebesar –0,0237, hal ini mengindikasikan bahwa apabila volume impor

daging sapi meningkat 10 persen, maka harga daging sapi domestik akan menurun

sebesar 0,24 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah volume impor ini

adalah 1,0240 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan impor daging sapi 10 persen,

dalam jangka pendek akan menurunkan harga jagung sebesar 10,24 persen. Dalam

jangka panjang, penurunan harga tersebut akan mencapai 14,27 persen.

Selanjutnya peubah nilai tukar berpengaruh nyata terhadap harga Daging Sapi

domestik. Koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,1677 yang berarti bahwa apabila nilai

tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga daging sapi impor

(dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor akan meningkat dan

selanjutnya harga daging sapi domestik akan turun. Penguatan nilai tukar sebesar 10

persen, maka akan menyebabkan harga Daging Sapi domestik akan menurun sebesar

1,68. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah nilai ini adalah 1,4194 yang berarti

bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen, maka dalam jangka pendek akan

menurunkan harga Daging Sapi sebesar 1,42 persen. Sementara dalam jangka panjang,

penurunan harga tersebut akan mencapai 1,44 persen.

Adapun koefisien peubah permintaan Daging Sapi sebesar 0,1455 yang berarti

bahwa setiap terjadi kenaikan permintaan Daging Sapi sebesar 10 persen maka akan

mendorong peningkatan harga Daging Sapi meningkat sebesar 1,45 persen. Nilai

elastisitas jangka pendek dari peubah permintaan Daging Sapi ini adalah 1,0933,

artinya jika terjadi kenaikan permintaan Daging Sapi 10 persen, maka dalam jangka

pendek akan mendorong peningkatan harga sebesar 10,93 persen. Sementara dalam

jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 17,10 persen.

120

Tabel 4.43. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Daging Sapi di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk. Panjang

1. Intersep - 0,9361

2. Impor Import -0,0237 -1,0240 -1,4274

3. Nilai Tukar Exchrt -0,1677b -1,4194 -1,4386

4. Permintaan Daging Sapi Demandt 0,1455 1,0933 1,7104

5. Suplai Daging Sapi Suplait -0,2048 -1,4043 -1,6956

6. Lag Harga Daging Sapi LagMt 0,8386a - -

R2 = 0,97 F-stat= 525,00 DW=2,12

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.

Pada peubah suplai, koefisien yang diperoleh sebesar -0,2048 yang artinya bahwa

jika terjadi peningkatan suplai Daging Sapi sebesar 10 persen maka harga Daging Sapi

akan turun sebesar 2,05 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah suplai

Daging Sapi ini adalah 1,4043 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan suplai Daging

Sapi 10 persen, maka dalam jangka pendek akan menurunkan harga sebesar 14,04

persen. Dalam jangka panjang, penurunan harga tersebut akan mencapai 16,96

persen. Selanjutnya untuk peubah lag harga Daging Sapi memiliki koefisien dugaan

sebesar 0,8386. Artinya bahwa jika harga Daging Sapi pada tahun tertentu meningkat

10 persen, maka harga Daging Sapi tahun berikutnya akan meningkat 8,39 persen.

(5) Populasi Sapi Domestik

Pada Tabel 4.44 terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing peubah

bebas yang dimasukan dalam persamaan permintaan Daging Sapi sesuai dengan

harapan dan teori. Koefisien dugaan harga Daging Sapi bertanda positif, yaitu 0,1017.

Ini artinya bahwa jika terjadi kenaikan harga Daging Sapi sebesar 10 persen, maka

akan meningkatkan populasi ternak sapi nasional sebesar 1,02 persen. Elastisitas

jangka pendek dari peubah harga Daging Sapi ini adalah 0,2846 yang berarti bahwa

jika terjadi kenaikan harga daging sapi 10 persen, maka dalam jangka pendek akan

121

menningkatkan populasi ternak sapi sebesar 2,85 persen. Sementara dalam jangka

panjang, peningkatannya akan mencapai 3,54 persen.

Adapun koefisien peubah permintaan Daging Sapi sebesar 0,2428 yang berarti

bahwa setiap terjadi kenaikan permintaan Daging Sapi sebesar 10 persen maka akan

mendorong peningkatan populasi ternak sapi sekitar 2,43 persen. Nilai elastisitas jangka

pendek dari peubah permintaan Daging Sapi ini adalah 1,1448, artinya jika terjadi

kenaikan permintaan Daging Sapi 10 persen, maka dalam jangka pendek akan

mendorong peningkatan populasi ternak sapi sebesar 11,45 persen. Sementara dalam

jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 12,95 persen.

Untuk peubah pendapatan perkapita, koefisien dugaan yang diperoleh sebesar

0,2382 yang berarti bahwa setiap terjadi kenaikan pendapatan perkapita 10 persen

maka akan meningkatkan populasi ternak sapi sebesar 2,38 persen. Nilai elastisitas

jangka pendek dari peubah pendapatan perkapita ini adalah 1,0470 yang berarti bahwa

jika terjadi kenaikan pendapatan perkapita 10 persen, maka dalam jangka pendek akan

mendorong peningkatan populasi ternak tersebut sebeesar 10,47. Sementara dalam

jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 12,03 persen.

Selanjutnya peubah jumlah penduduk memiliki koefisien dugaan sebesar 0,9247

yang berarti bahwa setiap kenaikan jumlah penduduk 1 persen maka akan

meningkatkan jumlah populasi ternak sapi sebesar 0,92 persen. Nilai elastisitas jangka

pendek dari peubah jumlah penduduk ini adalah 1,0254 berarti bahwa jika terjadi

kenaikan jumlah penduduk 1 persen, dalam jangka pendek mendorong peningkatan

populasi ternak sapi 10,25 persen, dan dalam jangka panjang peningkatannya 12,57

persen. Selanjutnya untuk peubah lag populasi sapi memiliki koefisien dugaan sebesar

1,0673. Artinya bahwa jika populasi sapi pada tahun tertentu meningkat 10 persen,

maka peningkatan populasi ternak sapi tahun berikutnya akan mencapai 10,67 persen.

122

Tabel 4.44. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Populasi Ternak Sapi di Indonesia

Peubah Notasi Dugaan

Parameter

Elastisitas

Jk. Pendek Jk.

Panjang

1) Intersep - 11,3970

2) H. Daging sapi Prdcowt 0,1017 0,2846 0,3544

3) Permintaan Daging Sapi Demandt 0,2428 1,1448 1,2950

4) Pendapatan/Kapita Incomet 0,2382c 1,0470 1,2035

5) Penduduk Popt 0,9247 1,0254 1,2573

6) Lag Populasi Sapi LagPopcowt 1,0673a - -

R2 = 0,93 F-stat= 59,15 DW=1,97

Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;

c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.

5.6. Proyeksi Permintaan dan Penawaran

Berdasarkan data hasil proyeksi untuk produksi setara beras pada tahun 2015

mencapai 46,63 juta ton, tahun 2020 mencapai 51,00 juta ton dan tahun 2025

mencapai 55,78 juta ton. Adapun penawaran beras, diproyeksikan untuk tahun 2015

sebesar 45,88 juta ton, tahun 2020 sebesar 50,34 juta ton dan tahun 2025 sebesar

55,21 juta ton. Selanjutnya permintaan beras nasional diproyeksikan pada tahun 2015

sebesar 36,36 juta ton, tahun 2020 sebesar 39,37 juta ton dan tahun 2025 sebesar

42,63 juta ton (Tabel 4.45).

Apabila disandingkan data proyeksi produksi dan permintaan beras nasional,

tampak bahwa pada tahun 2015 surplus beras diperkirakan mencapai 10,26 juta ton,

tahun 2020 mencapai 11,63 juta ton dan tahun 2025 mencapai 13,16 juta ton. Dengan

demikian, dapat diketahui bahwa surplus beras nasional sejak tahun 2014 telah

melampaui diatas 10 juta ton (sesuai target pemerintah). Hal ini tentunya patut

dipertahankan dan bahkan dapat terus ditingkatkan lagi sesuai dengan proyeksi yang

diharapkan.

123

Tabel 4.45. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Padi di Indonesia, 2014-

2025.

Tahun Produksi

Beras (Ton Penawaran (Ton) Permintaan (Ton)

Selisih Produksi-Permintaan (Ton)

2014 45801838 45046835 35788005 10013833

2015 46630258 45888245 36361563 10268695

2016 47473661 46745372 36944312 10529349

2017 48332319 47618508 37536401 10795918

2018 49206507 48507954 38137979 11068529

2019 50096507 49414013 38749198 11347309

2020 51002605 50336996 39370213 11632392

2021 51925091 51277219 40001180 11923910

2022 52864262 52235004 40642260 12222002

2023 53820419 53210679 41293614 12526805

2024 54793871 54204578 41955407 12838464

2025 55784930 55217042 42627806 13157124

r(%/th) 1,79 1,85 1,59 2,48

Untuk komoditas jagung, data hasil proyeksi produksi jagung nasional pada tahun

2015 mencapai 22,28 juta ton, tahun 2020 mencapai 28,11 juta ton dan tahun 2025

mencapai 35,48 juta ton. Adapun penawaran jagung, diproyeksikan untuk tahun 2015

sebesar 23,77 juta ton, tahun 2020 sebesar 30,27 juta ton dan tahun 2025 sebesar

38,55 juta ton. Selanjutnya permintaan jagung nasional diproyeksikan pada tahun 2015

sebesar 27,40 juta ton, tahun 2020 sebesar 33,81 juta ton dan tahun 2025 sebesar

41,72 juta ton (Tabel 4.46).

Apabila disandingkan data proyeksi produksi dan permintaan jagung nasional,

tampak bahwa pada tahun 2015 masih terdapat defisit produksi jagung sebesar 5,12

juta ton, tahun 2020 defisit jagung semakin membesar menjadi 5,70 juta ton dan pada

tahun 2025 defisitnya menjadi 6,24 juta ton. Untuk menutupi defisit tersebut maka

impor jagung akan masih tetap tinggi. Untuk itu, diperlukan terobosan kebijakan

peningkatan produksi jagung nasional baik melalui peningkatan teknologi budidaya

maupun perluasan areal pertanaman jagung.

124

Tabel 4.46. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Jagung di Indonesia, 2014-

2025.

Tahun Produksi

(Ton) Penawaran

(Ton) Permintaan

(Ton) Selisih Produksi-Permintaan (Ton)

2014 21266518 22644686 26270976 -5004457

2015 22279271 23766758 27399076 -5119805

2016 23340254 24944430 28575618 -5235364

2017 24451762 26180458 29802682 -5350920

2018 25616203 27477732 31082437 -5466234

2019 26836096 28839288 32417146 -5581050

2020 28114083 30268311 33809169 -5695085

2021 29452931 31768143 35260966 -5808035

2022 30855537 33342294 36775105 -5919568

2023 32324938 34994446 38354263 -6029325

2024 33864314 36728465 40001231 -6136916

2025 35476999 38548406 41718921 -6241922

r(%/th) 4,63 4,81 4,19 2,01

Selanjutnya untuk komoditas kedelai, data hasil proyeksi produksi kedelai nasional

pada tahun 2015 mencapai 0,79 juta ton, tahun 2020 mencapai 0,695 juta ton dan

tahun 2025 mencapai 0,612 juta ton. Adapun penawaran kedelai, diproyeksikan untuk

tahun 2015 sebesar 3,22 juta ton, tahun 2020 sebesar 3,49 juta ton dan tahun 2025

sebesar 3,77 juta ton. Selanjutnya permintaan kedelai nasional diproyeksikan pada

tahun 2015 sebesar 2,12 juta ton, tahun 2020 sebesar 2,17 juta ton dan tahun 2025

sebesar 2,23 juta ton (Tabel 4.47).

Apabila disandingkan data proyeksi produksi dan permintaan kedelai nasional,

tampak bahwa pada tahun 2015 masih terdapat defisit produksi kedelai sebesar 2,43

juta ton, tahun 2020 defisit kedelai semakin membesar menjadi 2,79 juta ton dan pada

tahun 2025 defisitnya menjadi 3,16 juta ton. Untuk menutupi defisit tersebut maka

impor kedelai akan masih tetap tinggi. Untuk itu, diperlukan terobosan kebijakan

peningkatan produksi jagung nasional baik melalui peningkatan teknologi budidaya

maupun perluasan areal pertanaman kedelai.

125

Tabel 4.47. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Kedelai di Indonesia, 2014-

2025.

Tahun Produksi

(Ton) Penawaran

(Ton) Permintaan

(Ton) Selisih Produksi-Permintaan (Ton)

2014 809431 3168215 2109775 -2358784

2015 789114 3219019 2120262 -2429905

2016 769307 3270639 2130800 -2501331

2017 749997 3323086 2141391 -2573088

2018 731172 3376374 2152035 -2645201

2019 712820 3430516 2162731 -2717696

2020 694928 3485527 2173481 -2790599

2021 677485 3541420 2184284 -2863935

2022 660480 3598209 2195141 -2937729

2023 643902 3655909 2206052 -3012007

2024 627740 3714534 2217017 -3086794

2025 611984 3774099 2228036 -3162115

r(%/th) -2,54 1,59 0,50 2,65

Berdasarkan data hasil proyeksi untuk produksi setara gula tebu pada tahun 2015

mencapai 2,64 juta ton, tahun 2020 mencapai 2,71 juta ton dan tahun 2025 mencapai

2,79 juta ton. Adapun penawaran gula tebu, diproyeksikan untuk tahun 2015 sebesar

3,95 juta ton, tahun 2020 sebesar 4,31 juta ton dan tahun 2025 sebesar 4,70 juta ton.

Selanjutnya permintaan gula tebu nasional diproyeksikan pada tahun 2015 sebesar 4,67

juta ton, tahun 2020 sebesar 5,40 juta ton dan tahun 2025 sebesar 6,20 juta ton (Tabel

4.48).

Apabila disandingkan data proyeksi produksi dan permintaan gula tebu nasional,

tampak bahwa pada tahun 2015 masih terdapat defisit produksi gula tebu sebesar 1,31

juta ton, tahun 2020 defisit gula tebu semakin membesar menjadi 1,60 juta ton dan

pada tahun 2025 defisitnya menjadi 1,92 juta ton. Untuk menutupi defisit tersebut

maka impor gula tebu akan masih tetap tinggi. Untuk itu, diperlukan terobosan

kebijakan peningkatan produksi gula tebu nasional baik melalui peningkatan teknologi

budidaya maupun perluasan areal pertanaman tebu nasional.

126

Tabel 4.48. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Tebu/Gula di Indonesia,

2014-2025.

Tahun Produksi

(Ton) Penawaran

(Ton) Permintaan

(Ton) Selisih Produksi-Permintaan (Ton)

2014 2628990 3884257 4537827 -1255267

2015 2642967 3952514 4668419 -1309547

2016 2657018 4021971 4802770 -1364953

2017 2671144 4092649 4940986 -1421504

2018 2685345 4164568 5083181 -1479223

2019 2699622 4237751 5229468 -1538130

2020 2713974 4312221 5379964 -1598247

2021 2728403 4387999 5534792 -1659596

2022 2742908 4465108 5694075 -1722200

2023 2757491 4543573 5857942 -1786082

2024 2772151 4623416 6026525 -1851265

2025 2786889 4704663 6199960 -1917774

r(%/th) 0,53 1,74 2,83 3,82

Sementara itu, data hasil proyeksi untuk produksi setara daging sapi pada tahun

2015 mencapai 543,12 ribu ton ton, tahun 2020 mencapai 612,13 ribu ton dan tahun

2025 mencapai 689,92 ribu ton. Adapun penawaran daging sapi, diproyeksikan untuk

tahun 2015 sebesar 588,07 ribu ton, tahun 2020 sebesar 665,92 ribu ton dan tahun

2025 sebesar 754,08 ribu ton. Selanjutnya permintaan daging sapi nasional

diproyeksikan pada tahun 2015 sebesar 342,65 ribu ton, tahun 2020 sebesar 392,03

ribu ton dan tahun 2025 sebesar 448,54 ribu ton (Tabel 4.49).

Apabila disandingkan data proyeksi produksi dan permintaan daging sapi nasional,

tampak bahwa pada tahun 2015 masih terdapat defisit produksi daging sapi sebesar

44,95 ribu ton ton, tahun 2020 defisit daging sapi semakin membesar menjadi 53,79

ribu ton dan pada tahun 2025 defisitnya menjadi 64,16 ribu ton. Untuk menutupi defisit

tersebut maka impor daging sapi akan masih tetap tinggi. Untuk itu, diperlukan

terobosan kebijakan peningkatan produksi daging sapi nasional baik melalui

peningkatan populasi sapi potong nasional dengan dukungan program peningkatan

populasi dan pembibitan sapi nasional.

127

Tabel 4.49. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Ternak/Daging Sapi di

Indonesia, 2014-2025.

Tahun Produksi

(Ton) Penawaran

(Ton) Permintaan

(Ton) Selisih Produksi-Permintaan (Ton)

2014 530276 573629 333540 -43353

2015 543116 588072 342645 -44955

2016 556267 602878 351998 -46611

2017 569736 618056 361606 -48320

2018 583532 633617 371477 -50086

2019 597661 649570 381617 -51909

2020 612133 665924 392034 -53792

2021 626955 682691 402736 -55736

2022 642136 699879 413729 -57743

2023 657684 717500 425023 -59816

2024 673609 735564 436625 -61955

2025 689920 754084 448543 -64164

r(%/th) 2,39 2,48 2,69 3,55

5.7. Prospek Penawaran dalam Memenuhi Permintaan Komoditas Pangan

strategis.

Secara umum bahwa upaya peningkatan produksi tanaman pangan (padi, jagung

dan kedelai) masih berprospek untuk terus ditingkatkan lagi dalam rangka memenuhi

permintaan komoditas pangan yang cenderung semakin meningkat. Secara umum

upaya peningkatan produksi tanaman pangan nasional dapat dilakukan melalui empat

(4) strategi utama sebagai berikut: (1) Peningkatan Produktivitas; (2) Perluasan areal

tanam; (3) Pengamanan Produksi; dan (4) Penguatan Kelembagaan petani.

Secara spesifik upaya pemenuhan komoditas pangan strategis nasional terutama

Padi/Beras dilakukan dengan program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN)

dalam rangka mendukung mendukung target nasional surplus 10 juta ton. Dalam

rangka peningkatan produksi padi/beras nasional, terdapat dua komponen utama yang

menentukan yaitu luas panen dan produktivitas. Pertumbuhan luas areal panen

dipengaruhi oleh perubahan indeks pertanaman, pembukaan lahan (sawah) baru dan

konversi lahan dari lahan pertanian menjadi non-pertanian. Sementara pertumbuhan

128

produktivitas merupakan cerminan dari perbaikan penerapan teknologi budidaya di

tingkat petani.

Sementara untuk peningkatan jagung bisa ditempuh melalui intensifikasi dan

ekstensifikasi. Upaya intensifikasi dilakukan melalui penggunaan benih bermutu, serta

pengolahan lahan dan pemupukan yang memadai. Dalam rangka meningkatkan

produksi jagung nasional telah dikembangkan teknologi produksi jagung hibrida.

Namun realisasi pengembangan jagung hibrida sampai tahun 2009 baru mencapai 50

persen. Selanjutnya upaya ekstensifikasi bisa dilakukan dengan memanfaatkan lahan

kering yang masih potensial tetapi belum digarap secara optimal.

Peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan dengan peningkatan produktivitas

dan peningkatan areal tanam kedelai nasional. Produktivitas kedelai kita masih rendah,

untuk itu peningkatan produktivitas kedelai ini dapat dilakukan dengan penggantian

varietas dengan variets kedelai unggul dengan produktivitas yang tinggi. Selain

penggantian varietas, juga harus dibarengi dengan penerapan teknologi budidaya

sesuai dengan rekomendasi. Teknologi budiaya yang diterapkan mulai dari pengolahan

lahan, penambahan bahan organik tanah (pupuk organik), pemupukan secara lengkap

dan berimbang (NPK), pengendalian organisme pengganggu tanaman (hama dan

penyakit) secara terpadu, serta panen dan pasca panen dengan tepat sehingga

mengurangi kehilangan hasil. Selain dengan peningkatan produkstivitas, upaya

peningkatan kedelai dapat dilakukan dengan menambah areal tanam kedelai.

Penambahan areal tanam kedelai ini dimungkinkan diarahkan pada lahan-lahan di luar

jawa, sedangkan untuk lahan-lahan di pulau jawa penambahan areal tanam ini masih

memungkinkan pada lahan - lahan milik Perhutani dengan konsep agroforestry

(tumpangsari dengan tanaman hutan) dan lahan - lahan sawah setelah pertanaman

padi.

Beberapa strategi penting untuk menjamin ke berhasilan peningkatan produksi

kedelai nasional ialah: (1) Perbaikan Harga Jual, peningkatan harga jual kedelai di

tingkat petani merupakan kunci utama dalam mengembalikan minat petani untuk

menanam kedelai, seperti halnya yang telah dicapai pada tahun 1992 dengan luas

panen mendekati 1,9 juta hektar. Untuk ini harus ada kebijakan nyata pemerintah

129

dalam menentukan harga dasar kedelai dalam negeri, seperti halnya pada padi/beras;

atau mengurangi impor melalui penerapan tarif agar harga kedelai dalam negeri dapat

bersaing; (2) Pemanfaatan Potensi Lahan, pemanfaatan potensi lahan yang tersedia

luas untuk perluasan areal tanam, baik sebagai tanaman utama maupun tanaman sela,

di antaranya menanam kedelai secara tumpangsari dengan ubikayu dan kelapa sawit

muda; (3) Intensifikasi Pertanaman, intensifikasi perlu dilakukan di daerah sentra

produksi kedelai, khususnya bagi lahan yang mempunyai tingkat kesesuaian sedang

sampai tinggi, seperti di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat; (4) Perbaikan Proses

Produksi, proses produksi yang mampu memberikan produktivitas tinggi, efisien, dan

berkelanjutan yakni melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) agar

pendapatan bersih petani meningkat, merupakan upaya penting dalam menumbuhkan

kembali minat petani untuk menanam kedelai.

Adapun terkait langkah kebijakan dalam rangka peningkatan produksi gula

nasional (Harianto, 2014) adalah: (1) perlu adanya penerapan tarif impor gula mentah

yang disesuaikan dengan harga pokok produksi gula kristal dalam negeri. Tarif impor

disesuaikan dengan harga gula mentah di pasar internasional, sehingga harga jual gula

rafinasi minimal sama dengan harga pokok produksi gula kristal; (2) Stabilisasi harga

gula konsumsi di tingkat konsumen perlu terus dijaga agar tidak merugikan industri

makanan minuman skala mikro dan rumah tangga sehingga tidak menyumbang pada

inflasi. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan kebutuhan pasar gula konsumsi

(gula kristal) terpenuhi, baik dari produksi gula petani maupun dari gula rafinasi

(apabila masih kurang); (3) Untuk menjaga stabilitas harga gula petani, maka perlu

dicegah rembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi. Harga lelang gula kristal milik

petani dan pabrik gula harus mampu memberikan insentif untuk petani meningkatkan

produksinya. Biaya usahatani dan pengolahan tebu perlu dihitung dengan cermat untuk

dapat menentukan HPP gula yang masih memberikan keuntungan memadai bagi petani

tebu; (4) Untuk mencegah harga gula menyumbang pada inflasi, maka perlu kebijakan

stabilisasi harga di dua tingkatan, yaitu stabilisasi harga di tingkat pasar lelang gula

milik petani tebu dan stabilisasi harga di tingkat pasar konsumsi gula kristal. Untuk

stabilisasi harga di dua tingkatan pasar ini, pemerintah perlu memiliki lembaga yang

130

dapat dijadikan instrumen. Jika ada lembaga yang ditunjuk sebagai lembaga dengan

tugas menjaga stabilisasi harga di dua tingkatan ini, maka harus ada penguatan dan

mekanisme yang membuat lembaga tersebut efektif. Stabilisasi harga di pasar lelang

gula milik petani berarti lembaga tersebut harus membeli pada saat harga di bawah

HPP. Artinya, membeli dengan harga yang lebih mahal dari seharusnya. Sebaliknya,

untuk stabilisasi harga di pasar konsumsi gula kristal, lembaga ini harus mampu

menekan harga gula pada saat harga naik di tingkat eceran. Artinya, lembaga ini harus

menjual gula dengan harga yang lebih murah dibanding harga yang sedang berlaku

agar harga pasar turun. Dengan kondisi harga gula refinasi (impor) yang jauh lebih

rendah daripada harga gula di pasar konsumsi domestik dan mudahnya gula rafinasi

merembes ke pasar konsumsi gula kristal, maka tingkat efektivitas lembaga ini sebagai

stabilisator harga akan rendah jika tidak ada mekanisme penguatannya.

Sementara itu, untuk peningkatan permintaan daging sapi dalam negeri

merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi usaha peternakan dalam negeri.

Peluang dengan terbukanya pasar domestik yang luas sedangkan tantangannya adalah

produk daging impor akan sangat mudah untuk masuk ke pasar domestik. Pemerintah

terus meningkatkan populasi sapi dan berupaya meminimalisir impor daging sapi dan

sapi hidup nasional. Upaya peningkatan populasi sapi lokal tersebut dilaksanakan

dengan memperkuat perbibitan unggul ternak, teknologi budidaya, teknologi pakan,

perawatan kesehatan hewan, dan penanganan pasca panen dan veteriner. lndonesia

mempunyai peluang untuk pengembangan ternak sapi, hal ini terlihat dari potensi

komparatif yang dimiliki mulai dari sumber daya alam, sumber pakan, iklim, dan

topografi serta sumber daya manusia sangat mendukung untuk pengembangan ternak

sapi. Di samping itu beberapa wilayah di lndonesia memiliki keunggulan lokal dalam

pengembangan ternak sapi, seperti di beberapa wilayah timur (NTT, NTB, Bali dan

Sulawesi). Namun demikian, harus pula diatasi tantangan pengembangan sapi

domestik, seperti teknologi budidaya yang tradisional, transportasi, sistem kepemilikan

hewan ternak yang menyebar, dan masalah penyakit hewan.

131

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

6.1. Kesimpulan

1) Produksi komoditas tanaman pangan merupakan perkalian antara luas panen dan

produktivitas. Pada model luas panen untuk komoditas tanaman pangan strategis

(padi, jagung kedelai, dan gula tebu) nasional dipengaruhi oleh harga komoditas

pangan yang bersangkutan, harga komoditas pesaingnya, harga input urea, upah

tenaga kerja dan tingkat suku bunga pinjaman. Secara umum dapat diketahui arah

besaran peubah persamaan luas panen, yaitu untuk beberapa peubah yang

memiliki pengaruh positif terhadap luas panen adalah: harga komoditas yang

bersangkutan, waktu dan lag luas panen. Selanjutnya beberapa peubah yang

memiliki pengaruh negatif terhadap luas panen adalah: harga komoditas

pesaingnya, harga input urea, upah tenaga kerja dan suku bunga. Pada komoditas

beras, harga jagung dan upah tenaga kerja merupakan dua peubah yang

berpengaruh signifikan terhadap luas panen. Sementara itu, pada komoditas

jagung, peubah harga jagung, harga kedelai dan harga input urea berpengaruh

signifikan terhadap luas panen jagung. Untuk komoditas kedelai, hanya peubah lag

luas panen yang berpengaruh signifikan terhadap luas panen. Selanjutnya pada

komoditas gula, peubah harga input urea dan lag luas panen berpengaruh

signifikan terhadap luas panen.

2) Pada model produktivitas komoditas tanaman pangan strategis (padi, jagung

kedelai, dan gula tebu) nasional dipengaruhi oleh harga komoditas pangan yang

bersangkutan, harga input urea, upah tenaga kerja dan peubah waktu (sebagai

proksi dari teknologi). Secara umum dapat diketahui arah besaran peubah

persamaan produktivitas, yaitu untuk beberapa peubah yang memiliki pengaruh

positif terhadap produktivitas adalah: harga komoditas yang bersangkutan, waktu

dan lag produktivitas. Selanjutnya beberapa peubah yang memiliki pengaruh

negatif terhadap produktivitas adalah: harga input urea dan upah tenaga kerja.

Pada komoditas beras dan jagung, peubah upah tenaga kerja dan lag produktivitas

132

masing-masing merupakan dua peubah yang signifikan berpengaruh terhadap

produktivitas. Untuk komoditas kedelai dan gula tebu ternyata hanya peubah waktu

yang merupakan proksi dari teknologi berpengaruh signifikan terhadap

produktivitas.

3) Pada model ternak sapi, khususnya pada persamaan populasi ternak sapi bahwa

populasi ternak sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi, permintaan daging sapi,

pendapatan/kapita dan jumlah penduduk. Bila dilihat arah koefisien dari setiap

peubah dapat diketahui bahwa seluruh peubah memiliki pengaruh yang positif

terhadap populasi ternak sapi. Artinya jika terdapat peningkatan dari peubah-

peubah tersebut, maka populasi ternak sapi akan meningkat. Adapun

pendapatan/kapita dan lag populasi ternak sapi merupakan dua peubah yang

berpengaruh signifikan terhadap populasi ternak sapi nasional. Peubah lainnya

pengaruhnya tidak signifikan terhadap populasi ternak sapi.

4) Permintaan komoditas tanaman pangan strategis (padi, jagung kedelai, gula dan

daging sapi) nasional dipengaruhi oleh harga komoditas pangan yang

bersangkutan, harga komoditas pesaingnya, jumlah populasi/penduduk dan

pendapatan per kapita, dan lag permintaan. Pada komoditas beras, peubah jumlah

penduduk, pendapatan per kapita dan lag permintaan merupakan tiga peubah yang

signifikan berpengaruh terhadap permintaan. Sementara pada komoditas jagung,

selain peubah jumlah penduduk/populasi, peubah harga beras dan populasi ternak

unggas ras berpengaruh terhadap permintaan jagung. Untuk komoditas kedelai,

peubah harga kedelai berpengaruh signifikan terhadap permintaan kedelai.

Selanjutnya pada komoditas gula, hanya peubah pendapatan yang berpengaruh

signifikan, sedangkan pada komoditas daging sapi peubah jumlah penduduk dan

lag permintaan berpengaruh signifikan terhadap permintaan komoditas tersebut.

5) Penawaran komoditas tanaman pangan strategis nasional secara umum dipengaruhi

oleh situasi produksi tanaman pangan utama, stock, impor dan lainnya (tercecer

dan kebutuhan untuk penggunaan lainnya). Secara rata-rata (1985-2012), untuk

komoditas beras tampaknya produksi beras nasional masih berada diatas

permintaannya. Untuk komoditas jagung, tampaknya produksi jagung, kedelai dan

133

gula tebu dibawah permintaannya. Selanjutnya Untuk komoditas daging sapi,

produksinya hampir setara dengan permintaannya.

6) Berdasarkan data hasil proyeksi untuk komoditas padi/beras nasional, bahwa

diketahui untuk surplus beras nasional sejak tahun 2014 telah melampaui diatas 10

juta ton (sesuai target pemerintah). Hal ini tentunya patut dipertahankan dan

bahkan dapat terus ditingkatkan lagi sesuai dengan proyeksi yang diharapkan.

Untuk komoditas jagung, berdasarkan data hasil proyeksi, ternyata defisit produksi

jagung kecenderungannya akan tetap tinggi hingga tahun 2025. Untuk menutupi

defisit tersebut maka impor jagung akan masih tetap tinggi, dan bahkan untuk

kedelai lebih tinggi lagi. Untuk itu, diperlukan terobosan kebijakan peningkatan

produksi jagung dan kedelai nasional baik melalui peningkatan teknologi budidaya

maupun perluasan areal pertanaman jagung.

7) Untuk kondisi produksi gula nasional dimana defisit gula nasional mulai dari tahun

2015 hingga 2025 terus tetap besar. Untuk menutupi defisit tersebut maka impor

gula tebu akan masih tetap tinggi. Untuk itu, diperlukan terobosan kebijakan

peningkatan produksi gula tebu nasional baik melalui peningkatan teknologi

budidaya maupun perluasan areal pertanaman tebu nasional. Hal yang sama juga

terjadi pada kondisi daging sapi, dimana defisit produksinya juga tetap tinggi

hingga tahun 2025. Untuk itu, diperlukan terobosan kebijakan peningkatan produksi

daging sapi nasional baik melalui peningkatan populasi sapi potong nasional dengan

dukungan program peningkatan populasi dan pembibitan sapi nasional.

8) Secara spesifik upaya pemenuhan komoditas pangan strategis nasional terutama

Padi/Beras dilakukan dengan program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN)

dalam rangka mendukung mendukung target nasional surplus 10 juta ton. Dalam

rangka peningkatan produksi padi/beras nasional, terdapat dua komponen utama

yang menentukan yaitu luas panen dan produktivitas. Pertumbuhan luas areal

panen dipengaruhi oleh perubahan indeks pertanaman, pembukaan lahan (sawah)

baru dan konversi lahan dari lahan pertanian menjadi non-pertanian. Sementara

pertumbuhan produktivitas merupakan cerminan dari perbaikan penerapan

teknologi budidaya di tingkat petani.

134

9) Sementara untuk peningkatan jagung bisa ditempuh melalui intensifikasi dan

ekstensifikasi. Upaya intensifikasi dilakukan melalui penggunaan benih bermutu,

serta pengolahan lahan dan pemupukan yang memadai. Dalam rangka

meningkatkan produksi jagung nasional telah dikembangkan teknologi produksi

jagung hibrida. Namun realisasi pengembangan jagung hibrida sampai tahun 2009

baru mencapai 50 persen. Selanjutnya upaya ekstensifikasi bisa dilakukan dengan

memanfaatkan lahan kering yang masih potensial tetapi belum digarap secara

optimal.

10) Peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan dengan peningkatan produktivitas

dan peningkatan areal tanam kedelai nasional. Produktivitas kedelai kita masih

rendah, untuk itu peningkatan produktivitas kedelai ini dapat dilakukan dengan

penggantian varietas dengan variets kedelai unggul dengan produktivitas yang

tinggi. Selain dengan peningkatan produkstivitas, upaya peningkatan kedelai dapat

dilakukan dengan menambah areal tanam kedelai.

11) Adapun terkait langkah kebijakan dalam rangka peningkatan produksi gula nasional

adalah: (1) perlu adanya penerapan tarif impor gula mentah yang disesuaikan

dengan harga pokok produksi gula kristal dalam negeri, (2) Stabilisasi harga gula

konsumsi di tingkat konsumen perlu terus dijaga agar tidak merugikan industri

makanan minuman skala mikro dan rumah tangga sehingga tidak menyumbang

pada inflasi, (3) Untuk menjaga stabilitas harga gula petani, maka perlu dicegah

rembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi,dan (4) Untuk mencegah harga gula

menyumbang pada inflasi, maka perlu kebijakan stabilisasi harga di dua tingkatan,

yaitu stabilisasi harga di tingkat pasar lelang gula milik petani tebu dan stabilisasi

harga di tingkat pasar konsumsi gula kristal.

12) Pemerintah terus meningkatkan populasi sapi dan berupaya meminimalisir impor

daging sapi dan sapi hidup nasional. Upaya peningkatan populasi sapi lokal tersebut

dilaksanakan dengan memperkuat perbibitan unggul ternak, teknologi budidaya,

teknologi pakan, perawatan kesehatan hewan, dan penanganan pasca panen dan

veteriner. lndonesia mempunyai peluang untuk pengembangan ternak sapi, hal ini

terlihat dari potensi komparatif yang dimiliki mulai dari sumber daya alam, sumber

135

pakan, iklim, dan topografi serta sumber daya manusia sangat mendukung untuk

pengembangan ternak sapi.

6.2. Implikasi kebijakan

1) Secara umum bahwa upaya peningkatan produksi tanaman pangan (padi, jagung

dan kedelai) masih berprospek untuk terus ditingkatkan lagi dalam rangka

memenuhi permintaan komoditas pangan yang cenderung semakin meningkat.

Secara umum upaya peningkatan produksi tanaman pangan nasional dapat

dilakukan melalui empat (4) strategi utama sebagai berikut: (1) Peningkatan

Produktivitas; (2) Perluasan areal tanam; (3) Pengamanan Produksi; dan (4)

Penguatan Kelembagaan petani.

2) Beberapa strategi penting untuk menjamin ke berhasilan peningkatan produksi

pangan nasional antara lain melalui: (1) Perbaikan Harga jual hasil panen petani,

(2) Pemanfaatan Potensi Lahan, pemanfaatan potensi lahan yang tersedia luas

untuk perluasan areal tanam, baik sebagai tanaman utama maupun tanaman sela,

(3) Intensifikasi Pertanaman, dan (4) Perbaikan Proses Produksi, proses produksi

yang mampu memberikan produktivitas tinggi, efisien, dan berkelanjutan.

3) Upaya peningkatan permintaan daging sapi dalam negeri merupakan peluang dan

sekaligus tantangan bagi usaha peternakan dalam negeri. Peluangnya yaitu

berupa masih terbukanya pasar domestik yang luas, sedangkan tantangannya

adalah produk daging impor akan sangat mudah untuk masuk ke pasar domestik.

Untuk itu, upaya peningkatan produksi daging sapi nasional memiliki prospek yang

baik dari aspek pasarnya minimal pasar domestik.

136

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, M.A. 1993. Strategi Operasional Pengembangan Agroindustri Sapi Potong.

Dalam Prosiding Agroindustri Sapi Potong. CIDES. Jakarta.

BPS. 2011. Statistik Indonesia. Jakarta.

Bappenas. 2013. Draft Hasil Studi Kajian RPJM. Bappenas. Jakarta.

Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. 2007. Road Map Pengembangan Subsektor Peternakan Jawa Barat.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2009. Laporan tahunan. Jawa Barat.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2013. Laporan tahunan. Jawa Barat.

Dinas Pertanian Perkebunan Provinsi Jawa Barat. 2013. Laporan tahunan. Jawa Barat.

Debertin. D.L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing Company. New York.

Erwidodo dan N. Pribadi. 2004. Permintaan dan Produksi Beras Nasional: Surplus atau Defisit. Dalam: F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M Fagi (Eds). Ekonomi Padi dan

Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. P.559-572.

FAO. 2011. Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung dan Kedelai. www.fao.org.

Hadi dan S.H. Susilowati. 2010. Prospek, Masalah dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan

Pangan Pokok. Seminar nasional Era Baru Pembangunan Pertanian 25 Nopember 2011. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Hafsah, M. J., dan T Sudaryanto. 2004. Sejarah Intensifikasi Padi dan Propek Pengembangannya dalam : Ekonomi Padi dan Beras. F Kasryno, E Pasandaran dan AM Fagi (Eds). Badan Litbang Pertanian hal. 17-29.

Harianto, A.Fariyanti, H.P. Saliem, E.Suryani, E.Ariningsih, N.Rosiana, dan S. Jahroh. 2008. Karakteristik dan Arah Perubahan Konsumsi dan Pengeluaran RT.

Kerjasama Pusat Analisis Sosek dan Kebijakan Pertanian dan IPB.

Harianto. 2014. Mengatasi Masalah Gula Nasional. www.bumn.go.id. Februari 2014.

Henderson, J. M. and R. E. Quant. 1980. Microeconomics Theory: A Mathematical Approach. International Student, Ames Iowa,USA.

KPPU RI. 2010. Positioning Paper Komisi Pengawas Persaingan Usaha Terhadap Industri

Gula. Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Jakarta.

137

Ilham, N, Y. Yusdja, A.R. Nurmanaf, B.Winarso, dan Supadi. 2009. Perumusan Model Pengembagan Skala Usaha dan Kelembagaan Usaha Sapi Potong. Kerjasama

Pusat Analisis Sosial Ekonomi Pertanian dengan Departemen Pendidikan.

Irawan, B, G. S. Hardono, B. Winarso, I. Sadikin. 2003. Analisis Faktor Penyebab

Perlambatan Produksi Komoditas Tanaman Pangan. Laporan Hasil Puslitbang Sosek Pertanian.

Kindleberger and Lindert. 1982. International Economics. Richard D. Irwin Inc. Massachusetts.

Kompas. 2009. Kenaikan Harga-Harga Pangan Dunia. Gramedia. Jakarta.

Kompas online. 2011. Impor Jagung Tembus 2,2 Juta Ton. Senin, 10 Oktober 2011. Jakarta.

Kustiari, R., D. K.Sadra, Wahida, H.J. Purba, P. Simatupang, A. Purwoto, dan Tj. Nurasa. 2009. Model Proyeksi Jangka Pendek Permintaan Dan Penawaran Komoditas Pertanian Utama: Angka Ramalan 2009 – 2014. Pusat Analisis Sosek

dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Mayrowani, H. 2006. Kinerja Agribisnis Sapi Potong Rakyat di Provinsi Jawa Timur :

Dampak Krisis Moneter dan Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. SOCA Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis Vol. 6 November 2006. Fakultas Pertanian

Universitas Udayana hal. 223-232.

Nainggolan, K. dan Ato S. 1987. Supply Response for Rice in Java: Empirical Evidence. Ekonomi Keuangan Indonesia 35(2) 1987. Jakarta.

Pusat Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian (PSE-KP). 2012. Laporan Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian (Unpublised).

Bogor.

Rosegrant, M.W., F. Kasryno, L.A. Gonzales, C.A. Rasahan dan Y. Saefudin. 1987. Price

and Investment Policies in the Indonesian Food Crop Sector. International Food Policy Research Institute, Washington D.C. and Center for Agro Economic Research, Bogor.

Sadra, D.K.S., M.O., Adnyana, N. Ilham, R. Kustiari, B. Winarso, dan Soeprapto. 2000. Analisis Penawaran dan Permintaan Komoditas Pertanian Utama di Indonesia.

Puslit Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Sapuan. 1999. Perkembangan Manajemen Pengendalian Harga Beras di Indonesia

1969-1998. Agro Ekonomika (I): 29-37.

Simatupang, P, E. Jamal, R. Sayuti, M.H. Togatofop dan C. Muslim. 1993. Agribisnis Komoditas Peternakan. Monograf Series no. 8 Puslit Sosial Ekonomi Pertanian

Badan Litbang Pertanian.

Simatupang, P. 2000. Anatomi Masalah Produksi Beras NAsional dan Upaya

Mengatasinya. Prosiding Seminar : Prespektif Pembangunan Pertanian Tahun 2001 ke Depan. Puslit Sosek Pertanian.

138

Simatupang, T. Sudaryanto, A. Purwanto, Saptana. 1995. Projection and Policy Implication of Medium and Long term Rice Supply and Demand in Indonesia.

Center for Agro Socio Economic Research. Bogor.

Sudaryanto, T. dan D.K.S Swastika. 2007. Ekonomi Kedelai Indonesia. Dalam Sumarno,

et.al. (Editor). Kedelai. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.

Sudaryanto, et. al. 1997. Analisis Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian

Utama Dalam Pelita VII. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Sudaryanto, et. al,. 1998. Analisis Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian

Utama Dalam Pelita VII (Tahap II). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Suryana, A 2004. Kinerja dan Prospek Ketahanan Pangan Pokok Beras dalam Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. BPFE Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta. Hal 259-275.

Syafaat,N., P. U. Hadi, D.K.Sadra, E.M. Lokollo, A. Purwoto, J. Situmorang, dan F.B.M. Debukke. 2005. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Utama

Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Tabor, S.R, K. Altemeier, and B. Adinugroho. 1988. Supply and Demand For Foodcrops

in Indonesia. Directorate of Foodcrop Economics and Postharvest Processing, Directorate General of Foodcrops, Ministry of Agriculture. Jakarta.

Wardana, I..P, E.Y. Purwani, Suhartini, A.T. Rahmi, Z. Mardiyah, S.T. Ardiyanti, Jumali,

dan Lasmini, 2012. Almanak Padi Indonesia. Balai Besar Penelitian Padi Kementerian Pertanian.

Yusdja, Y, R Sajuti, S Wahyuni, WK. Sejati, I Sodikin, dan JF Sinuraya. 2006. Kinerja Pembangunan Komoditas Pembagunan 2006 dan Propek 2007. Pusat Analisis

Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.