lap ipteks jumput
DESCRIPTION
PALFTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Analisis Situasi
Penduduk Indonesia yang (dulu) sebagian besar hidup dari bertani,
dewasa ini semakin bergeser dan menjadi beragam pola penghidupannya,
terutama di kota besar seperti Surabaya. Bertani bukan lagi menjadi primadona
dalam mengais rupiah. Ini juga menyebabkan lahan pertanian yang dulunya
terbentang luas berubah menjadi gedung-gedung bertingkat, ruko, maupun
perumahan. Keadaan petani semakin terjepit antara realitas hidup bahwa
penghasilan dari bertani tidak lagi mencukupi untuk masa depan bahkan untuk
memenuhi kehidupan sehari-haripun masih kurang, sedangkan sisi lain, tidak ada
ketrampilan lain yang dimiliki selain bercocok tanam.
Disinilah peranan kelompok tani sangat diperlukan. Kelompok tani selain
berfungsi sebagai wadah bagi petani dalam mengembangkan keilmuan dan
ketrampilannya berkaitan dengan pertanian, juga sebagai sarana menyampaikan
ketrampilan-ketrampilan baru yang masih berkaitan dengan tanaman maupun
informasi lain yang berkenaan dengan kesejahteraan keluarga, seperti
peningkatan pengetahuan tentang gizi dan tanaman obat keluarga.
“Mayangsari” adalah nama dari kelompok tani yang berada di Kelurahan
Kebonsari kecamatan Jambangan, Surabaya. Kelompok tani “Mayangsari” ini
diketuai oleh Ny. Thohirman, yang dikukuhkan sebagai Kontak Tani pada tanggal
4 Desember 1985 Soetarto KS. B. BA selaku Ketua Forum Koordinasi
Penyuluhan Pertanian Kodya Surabaya waktu itu.
Kegiatannya kelompok tani “Mayangsari” tidak jauh berbeda dengan
kelompok tani lainnya. Namun karena keberadaannya di perkotaan maka ada
beberapa kelebihan, antara lain lebih cepat dalam menyerap informasi dan
mayoritas anggotanya memiliki pendidikan yang cukup (minimal lulus SMP).
Kegiatannya pun lebih bervariasi dan tidak hanya monoton mengenai pertanian
melainkan juga mengadakan pelatihan seperti yang pernah dilakukan adalah
membuat saos tomat dan saos sambal.
Penekanan kegiatan kelompok tani Mayangsari sedikit berbeda dengan
kelompok tani pada umumnya. Karena mata pencaharian pokok bukan di sektor
pertanian (bertani) maka diharapkan dengan bercocok tanam dapat menambah
pendapatan sehingga nantinya mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga.
2
Hal ini sesuai dengan tujuan pendirian kelompok tani ini, sedangkan misi yang
diemban adalah membentuk keluarga sehat dan sejahtera.
Banyak kegiatan yang telah dilakukan, baik internal dalam lingkungan
kelurahan misalnya pelatihan teknik pembibitan (mencangkok dan okulasi),
menanam tanaman hias dalam pot, serta beternak ayam, maupun kegiatan
eksternal dengan mengikuti pelatihan-pelatihan. Tidak jarang kelompok tani
Mayangsari ini mendapat penghargaan berupa pohon untuk ditanam oleh
anggota agar nantinya dapat diambil hasilnya (baik bunga maupun buah).
Pada tahun 1990-an, Bapak Purnomo Kasidi (waktu itu menjadi Walikota
Surabaya) pernah mencanangkan gerakan sejuta pohon diseluruh Surabaya.
Kelompok tani Mayangsari memperoleh 5000 bibit pohon mangga untuk ditanam
di halaman rumah penduduk maupun di pinggir-pinggir jalan. Hasil buah nantinya
boleh dinikmati sendiri maupun dijual.
Pada tahun 2002, PT Unilever bekerjasama dengan Dinas Pemantapan
Pangan Kota Surabaya juga memberikan 1000 bibit pohon pace dalam rangka
pemasyarakatan buah pace sebagai jus dan kripik pace. Pohon pace ini ditanam
disekitar rumah anggota dan dipinggir jalan. Pada akhirnya hasil buah pace ini
juga dimanfaatkan sebagai jamu.
Berangkat dari gambaran tersebut dapat dilihat potensi sumber daya alam
kelompok tani Mayangsari yang sudah memiliki ribuan pohon mangga dan pace,
yang selama ini hanya diambil buahnya saja. Alangkah baiknya jika pemanfaatan
sumber daya alam tersebut dapat ditingkatkan dan lebih lanjut dapat menjadi
alternatif penambah penghasilan anggota kelompok tani Mayangsari.
B. Perumusan Masalah
Secara umum, permasalahan yang dihadapi kelompok tani Kelurahan
Kebonsari sebagai wadah petani adalah berkaitan dengan masih terbatasnya
ketrampilan memanfaatkan bahan alam yang ada disekitarnya sebagai alternatif
usaha, yang meliputi :
1. Tersedianya banyak bahan alami berupa pohon mangga dan pace yang
diperoleh dari sumbangan pemerintah dan swasta yang selama ini belum
dimanfaatkan secara maksimal, hanya diambil buahnya saja.
2. Kegiatan kelompok tani pada umumnya masih terpusat pada bidang
pertanian.
3. Jarang diadakan kegiatan yang menyangkut pemberian pelatihan non
pertanian.
3
C. Tujuan Tujuan dilaksanakannya pelatihan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memberikan pengetahuan dan ketrampilan tentang pembuatan batik
tritik jumput dengan pewarna alami kepada anggota kelompok tani
Mayangsari di Kelurahan Kebonsari, Jambangan, Surabaya.
2. Mengembangkan kreatifitas dalam memanfaatkan waktu luang anggota
kelompok tani Mayangsari Kelurahan Kebonsari, Jambangan, Surabaya.
3. Menjalin kemitraan dengan masyarakat sekitar.
D. Manfaat Adapun manfaat yang dapat diperoleh antara lain sebagai berikut :
1. Bagi kelompok tani Mayangsari Kelurahan Kebonsari, pelatihan bermanfaat
untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan tentang pembuatan batik
tritik jumput terutama dengan pemanfaatan bahan alam sebagai pewarnanya,
sekaligus mengembangkan kreatifitas dalam memanfaatkan waktu luang.
2. Bagi Pelaksana Pelatihan, kegiatan ini merupakan salah satu bentuk
pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian kepada
masyarakat.
3. Bagi Lembaga Pendidikan khususnya Jurusan Seni Rupa, kegiatan ini
bermanfaat untuk menjalin kemitraan dan membina hubungan baik dengan
masyarakat.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tekstil Celup Ikat
Batik dan celup ikat, secara teknis pada dasarnya mempunyai kesamaan.
Keduanya menggunakan bahan perintang untuk menghias permukaan kain dan
disebut dengan celup rintang. Perbedaannya, batik menggunakan
lilin/malam/bubur ketan untuk menghalangi masuknya warna sedangkan celup
ikat menggunakan tali, benang ataupun karet untuk menghalangi masuknya
warna. Teknik ini merupakan teknik rekalatar yang tertua. Kemudian berkembang
di Jawa yang disebut tritik, jumput, atau pelangi, sedangkan di Bali, Palembang,
juga Kalimantan disebut kain sasirangan.
Dalam bahasa Indonesia tritik berarti menetes secara berkesinambungan
dalam tetesan kecil dan etimologinya berhubungan dengan batik. Kata teritik
sendiri menangkap secara tepat dari salah satu metode yang diberi nama
sebagai penggunaan dari menjahit untuk membuat titik-titik kecil berwarna. Garis
lurus dapat pula dibuat dari tritik dan digunakan sebagai outline. Metode teritik
ditemukan di Jawa Tengah yang digunakan untuk menghiasi kemben (penutup
dada) dan dodot (baju adat Jawa). ( Hitchcock, 1991)
Teknik ikat dan jahit merupakan karakteristik pembuatan kain jumputan di
Jawa. memiliki corak geometris dengan isian tritik. Pewarnaan dengan
pencelupan maupun coletan dan ada kalanya dipadukan dengan teknik batik.
Di Palembang teknik celup ikat yang umum digunakan dan menjadi ciri
khas adalah dengan mengikat bagian-bagian kain yang telah dijelujur menurut
coraknya. Pewarnaan dengan teknik celup, colet, dan dilapisi dengan warna
emas/prada. Corak yang umum digunakan adalah geometris dan bentuk-bentuk
vegetal.
Di Kalimantan, celup ikat dihasilkan dengan cara ikat jahit tanpa
pewarnaan dengan colet. Umumnya corak yang ditampilkan berupa baris-baris
bergelombang maupun bunga-bunga dengan gabungan banyak warna yang
dihasilkan dari pencelupan berulang.
Celup ikat dengan jahit jelujur merupakan karakteristik kain-kain
tradisional sedangkan teknik lipat dan ikat mulai diterapkan pada kain-kain baru.
Di Asia, Cina menjadi bangsa tertua yang mengembangkan celup ikat. Di India
terutama di Rajastan dan Gujarat, celup ikat banyak diterapkan pada busana
5
tradisional “sari”. Demikian halnya di Jepang, celup ikat banyak digunakan untuk
“kimono”, dengan corak yang sangat halus, rinci dan dipadukan dengan teknik
tenun. Celup ikat juga berkembang di Kamboja, Ciprus, Damaskus dan Korea.
Di Afrika khususnya daerah Guinea, Sudan Barat, Kamerun, Kongo, dan
Gran Chaco, celup ikat diterapkan pada kain berukuran besar dengan motif
geometris penuh. Teknik lipat dan ikat yang juga ciri khas Afrika umunya
menggunakan paduan warna latar gelap dengan nuangsa warna kuning. Celup
ikat Tunisia, Algire dan Libia diterapkan pada busana serta perlengkapan lainnya.
Celup ikat ini juga berkembang di Amerika, seperti Kolombia, Peru dan Meksiko.
(Ratyaningrum, 2004)
Teknik pembentukan corak pada celup ikat meliputi : jumput, lipat, gulung,
dan jahit jelujur. Adapun penjelasan dari teknik tersebut adalah sebgai berikut :
♦ Teknik Jumput caranya adalah dengan memegang bagian kain dengan ujung
jari, kemudian kain ditarik keatas sehingga membentuk kerucut. Bagian
bawah dari puncak kemudian diikat, baik dengan ikatan tunggal maupun
jamak.
♦ Teknik Lipat caranya adalah dengan melipat kain dengan lipatan sedemikian
rupa sehingga menghasilkan bentuk geometris tertentu.
♦ Teknik Gulung caranya adalah dengan menggulung kain kemudian diikat
atau dijahit, dengan demikian kemungkinan warna tidak merata.
♦ Teknik Jelujur caranya adalah dengan menjahit jelujur kain menurut motif
tertentu kemudian hasil jelujuran ditarik benangnya sehingga kain terkerut-
kerut.
B. Bahan dan Alat Batik Tritik dan Jumput Kain tritik dihasilkan dengan menjahit (Jawa: nritik) dan menyimpul secara
menyilang bagian-bagian tertentu pada kain. Benang terbaik untuk membuat
tritikan adalah benang yang terbuat dari serat daun nanas karena memiliki
kelebihan tahan panas, sangat kuat tetapi mempunyai daya lentur rendah.
Sedangkan kain jumput dibuat dengan cara mengambil sedikit bagian
(Jawa: njumput) dari kain untuk diikat kuat-kuat sehingga ketika diwarna bagian
yang terikat tersebut tidak termasuki warna.
a. Kain
Pembuatan batik jumput sebaiknya menggunakan jenis kain yang
berbahan kapas atau bahan lain yang tidak banyak mengandung plastik,
6
sehingga tidak mengalami kesulitan saat pewarnaan. Kain yang umumnya
digunakan adalah jenis sutra dan katun.
b. Jarum jahit
Jarum jahit digunakan untuk membuat tiritik dengan cara menjahit
jelujur bagian motif yang diinginkan. Jarum yang digunakan sebaiknya yang
berukuran sedang, karena benang yang digunakan berukuran lebih besar
dari benang jahit umumnya.
c. Serat Nanas/Benang nylon
Sebenarnya bahan terbaik untuk membuat tritik adalah serat nanas.
Namun demikian benang nylon jiga dapat digunakan karena benang nylon
terbuat dari bahan sintetis dan dapat menghalangi masuknya zat warna pada
kain dengan cukup baik.
d. Pengikat
Pengikat yang berfungsi untuk menghalangi masuknya warna pada
kain ini dapat berupa tali rafia, karet gelang, serat nanas, benang nylon, dsb.
Baik pada jumput maupun tritik jika pengikatan kurang kuat maka hasilnya
menjadi kurang sempurna.
e. Kelereng, batuan, biji-bijian, kancing baju, manik-manik, stik es krim, dan
sebagainya.
Kelereng, batuan, biji-bijian, kancing baju, manik-manik, stik es krim,
atau bahan lainnya dapat digunakan sebagai isian untuk pembuatan batik
jumput. Dengan adanya isi, pengikatan bisa menjadi lebih mudah. Kancing
baju bisa dijahitkan pada kain yang telah dilipat-lipat sehingga menghasilkan
motif tersendiri. Demikian juga dengan stik es krim. Melalui pengikatan yang
sedemikian rupa maka akan dapat dihasilkan motif yang beragam.
f. Pewarna batik
Pewarna batik secara garis besar dibagi atas zat warna alam dan zat
warna sintetis. Tentang pewarna batik ini secara lebih lanjut dibahas pada
bagian selanjutnya.
C. Macam-macam Zat Pewarna Pada Batik Dilihat dari asal bahan dasarnya zat pewarna pada batik dapat dibagi
menjadi dua, yaitu :
1. Zat Warna Alam (ZWA)
Hampir semua tumbuhan di sekitar kita, baik tumbuhan liar maupun
yang sengaja ditanam, dapat dimanfaatkan sebagai pewarna karena masing-
masing mengandung pigmen warna. Kadang keberadaan mereka tidak kita
7
lirik karena dianggap tidak memiliki nilai sosial ekonomi, misalnya putri malu,
pacar air, kemikir sayur, dan lain-lain.
Bagian tumbuhan yang mengandung ZWA tidak sama antara satu
dengan lainnya. Zat Warna Alam dapat terkandung dalam kayu, kulit kayu,
daun, bunga, kulit akar, buah/biji, dsb. Sumber-sumber ZWA akan
menghasilkan warna dan ketahanan yang berbeda jika diterapkan pada
media katun, sutera, wool, maupun lainnya, dan itu tergantung pada jenisnya.
Berikut disajikan tabel contoh tumbuhan yang dapat menghasilkan
warna alam.
No. Nama lokal Bagian yang menghasilkan warna Arah warna
1 Tom, nila Daun Biru 2 Tingi Kulit batang Coklat 3 Tegeran Pohon/kayu Kuning
4 Jambal Kulit batang Kuning abu-abu
5 Putri malu Bunga, daun Kuning kehijauan
6 Teh-tehan merah Daun Ungu 7 Nangka/Jack fruit Pohon/kayu Kuning
8 Jati/Teak Daun muda/pupus Merah kecoklatan
9 Bawang merah/Union Kulit buah Coklat 10 Mahoni/Mahogany Pohon/kayu, daun Coklat
11 Mengkudu/Indian Mulberry Kulit akar Merah
12 Pisang Bonggol Ungu 13 Secang/Brazilwood Pohon/kayu Merah 14 Tali putri Semua bagian Kuning
15 Apokat/Avocado Daun, kulit buah Hijau kecoklatan
16 Pacar kuku/Inai henna Daun Oranye
17 Pacar air Daun, bunga Kuning kehijauan
18 Kesumba/Annato seed Kulit biji Oranye 19 Kenikir sayur Daun Kuning matang 20 Pinang/Jambe/Cutch Buah Coklat 21 Bunga sepatu Bunga Violet/ungu 22 Gude Kulit buah Ungu 23 Mangga/Mango Daun, kulit batang Hijau 24 Randu Daun Abu-abu 25 Jambu biji/Guava Daun Hijau tua
Untuk dapat menghasilkan warna, ZWA ini memerlukan bahan
pembantu, misalnya tawas, tunjung, air kapur, gula jawa, cuka, jeruk nipis,
tape, pijer (borax), sendawa, gula batu dan prusi.
8
Secara garis besar ZWA dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu :
a. Zat warna mordan (alam). Kebanyakan ZWA tergolong pada zat warna
mordan sehingga agar ZWA dapat menempel dengan baik proses
pewarnaan harus melalui penggabungan dengan kompleks oksida logam
membentuk zat warna yang tidak larut. Proses ini disebut mordanting.
Contoh zat warna kelompok ini adalah kulit akar pace.
b. Zat warna direk merupakan zat warna yang melekat di serat kain
berdasarkan ikatan hidrogen sehingga ketahannya rendah, misalnya zat
warna dari kunyit.
c. Zat warna asam/basa merupakan zat warna yang mempunyai gugus
kombinasi asam dan basa. Zat warna kelompok ini tepat untuk
pewarnaan pada sutra atau wol, tetapi tidak memberikan warna yang
permanen pada katun.
d. Zat warna bejana merupakan zat warna yang mewarnai serta melalui
proses reduksi-osksidasi (redoks). Dikenal sebagai warna paling tua di
dunia, dengan ketahanan warna yang paling unggul dibandingkan 3 jenis
zat warna sebelumnya (diatas). Contoh zat warna ini adalah yang berasal
dari daun tom (nila).
2. Zat Warna Sintetis (ZWS) adalah zat warna buatan, biasanya tersedia dalam
bentuk serbuk. Contohnya adalah Napthol, Indigosol, Rapid dan Rhemasol.
Zat warna sintetis umumnya memiliki ketahanan warna yang cukup bagus,
warna yang ditawarkan cukup beragam, penggunaanya mudah dan harganya
relatif murah. Zat warna sintetis biasanya tersedia dalam bentuk serbuk.
Karena dalam penerapan IPTEKS kali ini zat warna yang digunakan
adalah ZWA maka tentang ZWS tersebut tidak dibahas lebih lanjut. ZWA yang
digunakan adalah daun mangga dan akar pace, mengingat di lokasi disekitar
khalayak (Kebonsari) banyak tersedia sumber zat warna alami tersebut.
D. Cara Pengambilan Zat Warna Alam Cara pengolahan maupun waktu yang diperlukan untuk mengolah ZWA
sebenarnya tergantung pada sumber ZWA itu sendiri. Zat warna alam diperoleh
secara eskstrasi (baik pada suhu tinggi maupun rendah) dari bagian tanaman
yang merupakan sumbernya, menggunakan pelarut air. Dengan cara ini maka
ekstrak zat warna alami yang terambil bervariasi, tergantung pada jenis sumber
zat warna alam itu sendiri. Berikut ini contoh pengambilan zat warna dari
beberapa sumbernya. (Lestari, 2004).
9
a. Daun mangga
Pengambilan zat warna alam dari daun mangga akan menghasilkan arah
warna hijau. Caranya pengambilannya yaitu sebagai berikut :
1. Rebus 100 gr daun mangga dalam 1 liter air.
2. Biarkan mendidih, tunggu hingga volume air berkurang 20-40%.
3. Pisahkan ekstrak dengan sumbernya.
Adapun cara penggunaannya adalah sebagai berikut :
1. Untuk pengunaan pada batik tulis, ekstrak didiamkan dulu hingga agak
dingin agar tidak merusak lilin. Sedangkan untuk penggunaan pada batik
tritik jumput, ekstrak bisa didiamkan sejenak (agak dingin) atau bisa juga
langsung digunakan.
2. Fiksasi dengan tawas (komposisi 70 gr/lt), tunjung (komposisi 20 gr/lt),
atau dengan kapur (komposisi 50gr/lt).
b. Kulit akar pace
Zat warna alam dari kulit akar pace akan menghasilkan arah warna merah.
Cara pengambilannya adalah dengan cara :
1. I kg kulit akar pace direbus dengan 10 lt air abu gosok yang mempunyai
pH =7,5 (vlot = 1:10) selama 1 jam atau sampai volume cairan berkurang
80-60%. Air abu gosok diperoleh dengan merendam 70gr abu gosok
dalam 1 lt air, diamkan semalam, beningnya yang dipakai.
2. Setelah ekstrak dipisahkan dari kulit akar pace maka dapat dipakai untuk
mewarnai batik baik dalam keadaan dingin atau hangat. Sisa pencelupan
jangan dibuang karena dapat dipakai lagi. Jika digunakan pada keesokan
harinya, ekstrak perlu dihangatkan terlebih dulu.
E. Teknik Pembuatan Tritik Jumput dengan ZWA
Agar zat warna alam dapat terserap kuat pada kain dan warna tidak
mudah pudar maka perlu dilakukan proses mordanting yaitu dengan merebus
dan merendam larutan garam logam (mordan) misalnya tawas. Dari satu jenis zat
warna alam dapat diperoleh arah warna yang bermacam-macam dengan
menggunakan mordan yang berbeda.
Adapun langkah-langkah untuk mordanting 500gr kain katun adalah
sebagai berikut :
1. Kain direndam dalam larutan 2gr/lt deterjen/rinso selama semalam.
2. Cuci bersih kemudian diperas.
3. Rebus (mendidih) dalam 17 lt air yang mengandung 100gr tawas dan 30 gr
soda abu selama 1 jam.
10
4. Matikan api, biarkan kain tetap dalam larutan.
5. Besok paginya kain dicuci bersih, dikeringkan, kemudian disetrika.
Sedangkan langkah-langkah untuk mordanting 500gr sutra/wool adalah
sebagai berikut :
1. Kain sutra/wool langsung direbus dalam 17 liter air yang mengandung 10gr
tawas, dibiarkan pada suhu 60oC selama 1 jam, lalu dibiarkan dalam
rendaman selama satu malam (12 jam).
2. Setelah direndam semalam, kain dicuci bersih lalu dikeringkan. Untuk
memudahkan saat mengerjaan, kain dapat disetrika terlebih dulu. Jika kain
tidak langsung digunakan maka pencucian harus benar-benar bersih. Namun
jika kain langsung digunakan, akibat dari pencucian yang kurang bersih dapat
tertolong saat pewarnaan.
Secara terinci langkah-langkah pembuatan kain tritik jumput dengan zat
warna alam adalah sebagai berikut:
1. Kain dimordan dahulu.
2. Memberi tanda pada bagian-bagian yang akan ditritik dan dijumput. Tanda
dapat diberikan secara acak ataupun dengan mengikut desain tertentu.
3. Menjahit jelujur bagian-bagian yang ditritik.
4. Mengikat erat bagian yang dijumput. Setelah selesai baru benang jelujur
ditarik dan diikat kuat-kuat. Hasilnya kain akan terkerut-kerut.
5. Membasahi kain sebelum diwarna. Membasahi harus sampai ke serat-serat
kain, sampai pada bagian yang terlipat-lipat diluar ikatan ataupun jelujuran.
Dengan demikian efek warna dapat terbentuk dengan baik.
6. Mewarna. Pewarna yang digunakan adalah warna alami (dari daun mangga
dan akar pace). Sama halnya dengan membasahi kain, mewarna harus
sampai pada serat-serat kain, sampai pada bagian–bagian yang tersembunyi
diantara ikatan dan tarikan jelujuran. Pewarnaan dapat dilakukan hingga
beberapa kali. Sebelum pewarnaan kedua dilakukan, kain yang sudah
diwarna pertama bisa dijumput atau dijelujur kembali agar warna pertama
tetap bertahan. Cara yang lain adalah dengan melepaskan ikatan jumput atau
jelujuran agar termasuki warna kedua. Cara kedua ini hanya dapat diterapkan
jika warna kedua tidak lebih tua dari warna pertama.
7. Mencuci kain. Setelah diwarna dan ditiriskan, kain dicuci bersih agar sisa
warna yang tidak meresap dalam serat akan terlepas dari kain
11
8. Melepaskan ikatan dan jelujuran. Setelah semua ikatan dan jelujuran
terlepas, kain dicuci kembali hinga bersih.
Teknik jumput dan tritik seringkali dikombinasikan sehingga motif yang
terbentuk semakin beragam. Jumputan dan jelujuran dapat dibuat secara acak
bisa juga dengan membentuk motif tertentu. Langkah-langkah jelujur yang diatur
sedemikian rupa nantinya juga dapat menghasilkan efek yang berbeda.
Bagian-bagian yang memerlukan pewarnaan yang berbeda, dapat
dilakukan dengan cara colet, yaitu : membubuhkan warna pada bagian tertentu
saja tanpa mencelup seluruh kain. Hal ini dilakukan untuk mempersingkat waktu
dalam menghasilkan aneka warna tambahan. Bagian yang sudah dicolet
kemudian diikat/dibungkus hingga kedap air, barulah seluruh kain dicelup.
Pencoletan kadang dilakukan setelah seluruh proses pencelupan selesai,
setelah ikatan dibuka. Bagian yang masih berwarna putih karena tadi masih
terikat kemudian dicoleti warna-warna sesuai selera, sehingga menimbulkan
kesan jumputan. (Wardhani, 2004).
12
BAB III
MATERI DAN METODE
A. Kerangka Pemecahan Masalah
Langkah-langkah untuk pemecahan masalah yang telah dirumuskan
sebelumnya adalah sebagai berikut :
1. Memberikan pengetahuan/pemahaman dasar tentang batik jumput, bahan
alat, cara pembuatan, aplikasi, dan manfaatnya.
2. Menerapkan pengetahuan yang sudah diberikan dengan melaksanakan
praktek pembuatan batik jumput.
3. Mengevaluasi hasil kegiatan melalui observasi, evaluasi karya, serta angket,
untuk mengetahui bagaimana tanggapan khalayak sasaran atas pelatihan
yang dilaksanakan.
Mengacu pada permasalahan yang telah dirumuskan diatas maka
kerangka pemecahan masalah dapat digambarkan sebagai berikut :
Pelatihan ketrampilan yang bermanfaat dan dapat dikembangkan
Penyajian materi
Simulasi
Hasil Khalayak sasaran memiliki pengetahuan tentang
batik tritik jumput. Khalayak sasaran mampu mengembangkan
desain batik tritik jumput. Khalayak sasaran mampu membuat karya batik
tritik jumput.
Rumusan Masalah Masih terbatasnya ketrampilan yang
dapat dimanfaatkan dan dikembangkan, sedangkan
ada minat untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan
13
B. Realisasi Pemecahan Masalah Kegiatan pelatihan Pemanfaatan Bahan Alam (Daun Mangga dan Akar
Pace) Sebagai Zat Pewarna Alami Batik Tririk Jumput di Kelurahan Kebonsari
Surabaya dalam rangka pengabdian Kepada Masyarakat oleh Tim PKM
Universitas Negeri Surabaya mempunyai tujuan untuk memberikan pengetahuan
dan ketrampilan tentang pembuatan batik tritik jumput dengan pewarna alami
kepada anggota kelompok tani Mayangsari di Kelurahan Kebonsari, Jambangan,
Surabaya dan menjalin kemitraan dengan masyarakat sekitar.
Berdasarkan kerangka pemecahan masalah, realisasi pemecahan
masalah yang dilakukan adalah melalui pelatihan singkat yang disajikan oleh Tim
Pelaksana PKM yang berisi materi singkat tentang batik tritik jumput memiliki
pengetahuan tentang batik tritik jumput langsung dilanjutkan dengan praktek.
Apabila sudah praktek dan mampu mengembangkan desain yang diajarkan
nantinya diharpakan Kelompok Tani Mayangsari mampu membuat karya batik
tritik jumput secara mandiri dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan
keinginannya.
Indikator keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah apabila
75% dari peserta pelatihan datang dan mengikuti secara aktif kegiatan tersebut.
Kemudian 75% peserta minimal mampu mencontoh desain yang telah disiapkan
Tim Pelaksana PKM dan lebih baik lagi apabila sudah mampu mengembangkan
desain tersebut.
C. Khalayak Sasaran
Adapun khalayak sasaran dari kegiatan ini adalah anggota Kelompok
Tani "Mayangsari" Kelurahan Kebonsari Surabaya, yang telah dikukuhkan
menjadi Kelompok Tani Pemula dengan Surat Keputusan No.180/PKTI/XII/1985
tertanggal 4 Desember 1985 yang dikeluarkan oleh Forum Koordinasi
Penyuluhan dan Pertanian Kota Surabaya, yang juga merupakan binaan
kelurahan.
Karena beberapa hal maka pelatihan tidak diikuti oleh seluruh anggota
tetapi hanya perwakilannya saja, yaitu pengurus dan beberapa perwakilan
anggota lainnya sebanyak 20 orang yang diharapkan akan menularkan
ketrampilan baru ini kepada anggota yang lain.
14
D. Metode Kegiatan pelatihan ini dilaksanakan dengan metode ceramah, tanya
jawab, demonstrasi, dan simulasi. Ceramah diberikan untuk menyampaikan
materi tentang : a) Pengertian batik tritik jumput; b) Bahan dan alat pembuatan
batik tritik jumput; c) Zat Warna alam (ZWA); d) Pengolahan kain sebelum
penggunaan ZWA; dan d) Cara pembuatan batik tritik jumput dengan Zat Warna
Alam (ZWA).
Adapun demonstrasi yang dilakukan meliputi : 1) Demonstrasi
pengambilan ZWA dari kulit akar pace ; 2) Demonstrasi pengambilan ZWA dari
kulit akar pace; 3) Demonstrasi cara pembuatan batik tritik jumput; 4)
Demonstrasi cara penggunaan ZWA pada batik tritik jumput; dan 5) Demonstrasi
penyelesaian karya.
Tugas yang diberikan kepada peserta adalah supaya peserta melanjutkan
pengerjaan tritik jumput dirumah, agar dapat dikerjakan dengan lebih maksimal.
Dengan demikian, pada keesokan harinya kegiatan bisa langsung dilanjutkan
pada tahap selanjutnya.
Kegiatan pelatihan ini akan dilaksanakan selama 3 hari yaitu tanggal 2, 3,
dan 6 Juli 2007, bertempat di balai Kelurahan Kebonsari, Jambangan, Surabaya.
Secara rinci, jadwal kegiatan disusun sebagai berikut :
15
JADWAL KEGIATAN
PELATIHAN PEMANFAATAN BAHAN ALAM
(DAUN MANGGA DAN KULIT AKAR PACE)
SEBAGAI ZAT PEWARNA ALAMI BATIK TRITIK JUMPUT
Pelaksanaan Uraian Kegiatan Waktu Pelaksana
Hari ke-1 2 Juli 2007
• Daftar ulang peserta pelatihan. 08.00 – 08.30 TIM
• Pendahuluan 08.30 – 08.45 Ketua pelaksana
• Paparan materi tentang : F Pengertian batik tritik
jumput. F Bahan dan alat. F Zat Warna Alam. F Pengolahan kain sebelum
diwarna dengan ZWA. F Cara pembuatan batik tritik
jumput.
08.45 – 09.30
TIM
• Demonstrasi cara pengolahan kain sebelum pembuatan batik dengan ZWA.
09.30 – 10.00
TIM
• Demonstrasi cara pembuatan
batik tritik jumput. 10.00 – 10.30 TIM
• Praktek pembuatan batik tritik jumput. 10.30 – 13.00 Peserta
Hari ke-2 3 juli 2007
Ø Presensi peserta pelatihan. 08.00 – 08.30 Peserta Ø Demonstrasi cara
pengambilan ZWA dari sumbernya. ☺ cara pengambilan ZWA
dari kulit akar pace. ☺ cara pengambilan ZWA
dari daun mangga.
08.30 – 09.30
TIM
Ø Demonstrasi cara menggunakan ZWA untuk pewarnaan batik.
09.30 – 10.00 TIM
Ø Praktek pewarnaan dengan ZWA. 10.00 – 13.00 Peserta
Hari ke-3 6 Juli 2007
• Presensi peserta pelatihan. 08.00 – 08.30 Peserta • Melanjutkan pewarnaan
dengan ZWA. 08.30 – 10.30 Peserta
• Fiksasi. 10.30 – 11.30 TIM & Peserta
• Pelepasan jahitan/ikatan, finishing. 11.30 – 12.30 Peserta
• Penutup. 12.30 – 13.00 TIM
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Sebagaimana yang direncanakan, kegiatan dilaksanakan pada hari
Senin, Selasa, dan Jum’at, tanggal 2, 3, dan 6 Juli 2007. Tempat kegiatan
adalah di balai Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Jambangan, Surabaya.
Materi pertama yang disampaikan adalah tentang pengertian batik tritik
jumput. Dalam kamus bahasa Indonesia, tritik berarti menetes secara
berkesinambungan dalam tetesan kecil, dan etimologinya berhubungan dengan
batik. Kata teritik sendiri menangkap secara tepat dari salah satu metode yang
diberi nama sebagai penggunaan dari menjahit untuk membuat titik-titik kecil
berwarna. Garis lurus dapat pula dibuat dari teritik dan digunakan sebagai
outline. Metode teritik ditemukan di Jawa Tengah yang digunakan untuk
menghiasi kemben (penutup dada) dan dodot (baju adat Jawa).
Sedangkan batik jumput adalah sebutan masyarakat Jawa untuk kain
celup ikat. Masyarakat Kalimantan menyebutnya dengan sasirangan. Secara
teknik kain celup ikat (baik tritik maupun jumput), memiliki persamaan dengan
kain batik yaitu sama-sama melalui proses merintang warna. Keduanya
menggunakan bahan perintang warna untuk menghasilkan ornamen pada kain.
Adapun perbedaannya, batik menggunakan bubur ketan/lilin/malam batik untuk
menghalangi masuknya warna sedangkan celup ikat menggunakan tali, benang,
karet, atau pengikat lain untuk menghalangi masuknya warna pada kain. Teknik
pembentukan motif pada celup ikat meliputi jumput, lipat, gulung, dan jahit jelujur.
Bahan yang digunakan untuk membuat batik tritik jumput adalah kain.
Sebagian besar dari berbagai jenis kain dapat digunakan untuk membuat batik
tritik jumput, terutama jenis katun dan sutera. Bahan lain yang dibutuhkan adalah
pewarna tekstil. Pewarna ini terbagi atas 2 macam yaitu Zat Warna Alam (ZWA)
yang bersumber dari akar, kulit akar, kayu, daun, bunga, buah, maupun biji
tumbuhan, dan Zat Warna Sintetis (ZWS) misalnya Napthol, Indigosol,
Rhemasol, Rapid, Wenter, dsb. Sedangkan alat yang dibutuhkan untuk
pembuatan batik tritik jumput antara lain alat tulis, pengikat (bisa tali rafia, karet
gelang, benang, serat, dsb), jarum jahit, alat pemotong, ember untuk mewarna,
sarung tangan karet, gelas ukur, dsb.
Untuk pembuatan batik tritik jumput dengan ZWA ini, bahan utama yang
dibutuhkan selain kain adalah sumber ZWA itu sendiri, yaitu berupa daun
17
mangga dan kulit akar pace. Jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan. Selain
itu, dibutuhkan juga bahan untuk mordan dan fiksasi berupa tawas, tunjung, dan
kapur, yang masing-masing sudah dilarutkan dalam air. Benang yang digunakan
untuk membuat tritik adalah benang nylon, sedangkan pengikat untuk jumput
digunakan tali rafia dan karet gelang.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ZWA yang akan digunakan
adalah yang bersumber dari daun manga dan kulit akar pace. Pengambilan zat
warna alam dari daun mangga akan menghasilkan arah warna hijau. Untuk satu
lembar kain yang telah diperoleh peserta (berukuran 50cm x 200cm), dibutuhkan
ekstrak ZWA setidaknya 1500-2000 cc. Ekstrak ini dapat diperoleh dengan
merebus 300 gr daun mangga (pilih yang sudah tua), lalu direbus dalam 3000 cc
air lalu dibiarkan hingga volume air menjadi 200-1500 cc. Ekstrak ini tidak dapat
diperbanyak, misalnya dengan menambahkan air bersih. Kepekatan warna dapat
dipengaruhi oleh seberapa banyak ekstrak yang diambil dari pengambilannya.
Misalnya jika dari 3000 cc air rebusan daun mangga dibiarkan hingga tinggal
1500 cc, hasilnya akan lebih pekat dibanding dengan jika air rebusan disisakan
hingga tinggal 2000 cc. Ekstrak yang telah dihasilkan dapat digunakan saat
hangat ataupun dingin.
Adapun zat warna alam dari kulit akar pace akan menghasilkan arah warna
merah. Kulit akar pace sebaiknya digunakan saat masih basah, namun demikian
bisa juga digunakan setelah kering.
Cara pengambilannya adalah sebagai berikut:
1. Satu kg kulit akar pace direbus dengan 10 lt air abu gosok yang mempunyai
pH =7,5 (vlot = 1:10) selama 1 jam atau sampai volume cairan tinggal 80-
60%. Air abu gosok diperoleh dengan merendam 70gr abu gosok dalam 1 lt
air, diamkan semalam, beningnya yang dipakai.
2. Setelah ekstrak dipisahkan dari kulit akar pace maka dapat dipakai untuk
mewarnai batik baik dalam keadaan dingin atau hangat. Sisa pencelupan
jangan dibuang karena dapat dipakai lagi. Jika digunakan pada keesokan
harinya, ekstrak perlu dihangatkan terlebih dulu.
Ekstrak kulit akar pace dapat disimpan lebih lama daripada ekstrak daun
mangga. Ekstrak ini dapat disimpan dalam botol dan digunakan beberapa waktu
kemudian. Bahkan, kulit akar pace yang telah direbus sekali, masih dapat
diekstrak lagi setelah dikeringkan. Tetapi tentu saja, kepekatan ekstrak yang
dihasilkan berbeda dengan ekstrak yang dihasilkan dari perebusan pertama.
Secara lengkap, cara pengolahan kain sebelum diwarna dengan ZWA,
cara pengambilan ZWA dari sumbernya, cara menyiapkan fiksator, serta cara ,
18
pembuatan batik tritik jumput dengan ZWA ini telah dituliskan dalam handout
pelatihan yang telah diterima peserta.
Adapun cara pembuatan batik tritik jumput dengan ZWA adalah sebagai
berikut :
1. Menyiapkan/memotong kain sesuai kebutuhan.
2. Mordanting kain, kemudian disetrika.
3. Merancang motif pada kertas kemudian dipindahkan ke kain dengan pensil.
4. Menjahit jelujur bagian-bagian tritikan.
5. Mengikat kain pada bagian-bagian yang dijumput.
6. Mewarna dengan ekstrak ZWA yang sudah disiapkan.
7. Fiksasi dengan tawas, tunjung, kapur.
8. Melepaskan ikatan dan atau jahitan.
9. Penyelesaian, misalnya dengan menjahit bagian tepi kain.
Kegiatan selanjutnya, demonstrasi cara pengambilan ZWA dari
sumbernya. Hal ini dilakukan agar peserta dapat mengetahui secara langsung
(tidak sekedar membayangkan), bagaimana cara pengambilan ZWA dari
sumbernya, yang sebenarnya tidak sulit.
Berikutnya, Penyaji mendemonstrasikan bagaimana cara merancang
motif. Pertama, desain motif dibuat pada kertas menggunakan pensil kemudian
dipindahkan ke kain dengan dijiplak menggunakan pensil. Penyaji kemudian
mendemonstrasikan bagaimana cara menjiplak desain tersebut.
Kegiatan selanjutnya penyaji memperagakan bagaimana cara pembuatan
batik tritik jumput, bagaimana menjahit jelujur dan mengikat kain baik dengan tali
rafia maupun dengan karet gelang. Berikutnya penyaji memperagakan cara
mewarna kain dengan ZWA yang telah disiapkan sebelumnya.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah membasahi kain dengan air
bersih. Kain yang sudah ditritik jumput dimasukkan dalam wadah berisi air bersih,
dicelup dan diratakan agar air menjangkau hingga ke serat-serat kain.
Selanjutnya kain ditiriskan dengan diangin-anginkan.
Setelah tiris, kain dimasukkan dalam pewarna yang telah disiapkan pada
wadah yang lain. Kain direndam dan dibolah-balik agar zat warna terserap
secara merata, setidaknya selama 5 menit. Semakin lama perendaman berarti
warna yang dihasilkan akan semakin pekat. Selanjutnya kain diangkat dan
diangin-anginkan. Pencelupan warna ini harus diulang setidaknya 3x (jika yang
digunakan adalah kain sutra) atau 10x (jika yang digunakan adalah kain katun).
Setelah tiris dari pencelupan terakhir, kain bisa langsung difiksasi dengan
tawas, tunjung, kapur, bahkan dengan ketiganya. Fiksator-fiksator tersebut
19
masing-masing menghasilkan arah warna yang berbeda. Dengan kata lain,
meskipun hanya menggunakan satu ZWA tetapi jika difiksasi dengan 3 fiksator
yang berbeda maka akan diperoleh 3 arah warna yang berbeda pula.
Selesai difiksasi, kain langsung dicuci bersih. Kemudian ikatan jumput
bisa langsung dilepaskan atau bisa juga menunggu setelah kering. Setelah
semua ikatan dilepaskan, kain kembali dicuci agar sisa-sisa pewarna yang
semula tersembunyi disela-sela kerutan kain dapat dihilangkan. Selanjutnya kain
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan atau dijemur ditempat teduh, agar
warna lebih terjaga dan tidak cepat pudar. Sebagai tahap akhir, pinggiran kain
dapat dirapikan misalnya dengan dineci, dijahit, atau ditambah pemanis berupa
pita dan sebagainya.
Untuk mengetahui keberhasilan kegaiatan pelaihan PKM ini maka Tim
Pelaksana PKM melakukan evalausi yaitu: berupa evaluasi produk yang
dihasilkan oleh peserta juga angket yang disebarkan. Adapun hasil evaluasi
produk yang dihasilkan oleh peserta dapat dilihat pada tabel berikut ini:
No. Nama Kehadiran Desain Proses
Pengerjaan Hasil Karya Total
15 25 30 30 100 1 Ishari 15 20 20 25 80 2 Samba 15 20 20 25 80 3 Radis 15 25 25 25 90 4 Umi Kalsum 15 20 20 25 80 5 Sri Mulyani 15 20 25 25 85 6 Elly Jarot 15 20 20 20 75 7 Kumisy 15 20 29 20 84 8 Arlis Yanti 15 25 25 25 90 9 Suroso 15 20 25 25 85
10 Tohirman 15 20 20 20 75 11 Umi Harifah 10 25 25 25 85 12 Antik Astutik 15 25 25 25 90 13 Sriyanti 15 25 25 25 90 14 Siti Jumiyati 10 25 30 30 95 15 Mukmiatun 10 20 25 25 80 16 Masitoh 15 20 20 20 75 17 Neny 15 20 20 20 75 18 Darman 5 20 20 20 65 19 Bambang 5 20 20 20 65 20 Wati 5 20 20 20 65
Jumlah 255 430 459 465 80
20
Dari tabel terlihat bahwa 85% peserta sudah mampu melaksanakan
petunjuk yang diberikan oleh Tim Pelaksana PKM sehingga hasil yang
didapatkan dinilai cukup bagus. Hanya 15% persen yang kurang aktif dalam
pelatihan yang disebabkan kehadirannya tidak 3 hari penuh, hanya hari terakhir.
Sehingga nilai yang didapatkan menjadi kurang.
Sedangkan dari hasil angket yang disebarkan ke seluruh peserta di
diketahui bahwa 100% peserta menyatakan bahwa pelatihan yang diberikan
menambah pengetahuan mereka, sangat bermanfaat, dan ingin mempraktekkan
sendiri di rumah. Seluruh peserta menyatakan suka dengan diadakannya
kegiatan tersebut dan bersedia menularkan pengetahuan dan ketrampilan yang
telah diperoleh kepada orang lain, terutama kepada teman dan saudara.
B. Pembahasan Diawali dengan presensi, hari pertama tanggal 2 Juli 2007 peserta tiba di
tempat pelatihan pada pukul 08.30 dan mencapai jumlah yang direncanakan
pada 30 menit berikutnya. Setelah mengisi daftar hadir, peserta memperoleh
hand out, kain untuk praktek berupa 50cm x 200 cm kain sutra yang sudah
dimordant, benang, jarum, alat memasukkan benang, dan pensil. Bahan sutera
yang diberikan sengaja sudah dimordant terlebih dahulu mengingat proses
mordanting memerlukan waktu yang cukup lama.
Setelah acara perkenalan, Penyaji langsung menyampaikan materi yang
telah disiapkan. Materi ini secara ringkas telah tertuang dalam handout yang
diterima peserta, sehingga peserta dapat menyimak dengan baik dan langsung
mengajukan pertanyaan jika menemukan kesulitan. Misalnya saat menerangkan
tentang sumber ZWA berupa daun mangga, ada peserta yang menanyakan
tentang daun mangga apa dan daun yang bagaimana yang bisa digunakan.
Pertanyaan ini dijawab dengan menyampaikan bahwa daun dari semua jenis
mangga dapat digunakan. Daun yang dipilih sebaiknya yang sudah tua, yang
warna hijaunya lebih matang. Demikian halnya saat menerangkan tentang ZWA
dari kulit akar pace, salah satu peserta bertanya, “Mengapa harus kulit akarnya,
kok tidak kulit batang saja. Kan sulit mengambil kulit akar, kalau mengambil kulit
batang kan mudah”. Pertanyaan ini dijawab dengan, “ Kalau kulit batang arah
warnanya kuning, sedangkan yang kita inginkan adalah arah warna merah yang
dapat diperoleh dari kulit akar tersebut.. Selain itu, akar yang diambil kulitnya
sebaiknya yang sudah berukuran cukup beras sehingga kulitnya cukup tebal.
Penyampaian materi diselingi dengan menunjukkan contoh. Misalnya saat
menerangkan tentang bahan yang dibutuhkan, penyaji menunjukkan contoh
21
bahan antara lain berupa kain sutra yang belum dimordant, kain sutra yang telah
dimordan, kulit akar pace dan daun mangga beserta ekstraknya, tawas, tunjung,
dan kapur. Saat menerangkan tentang alat yang akan digunakan, penyaji
menunjukkan contoh antara lain berupa benang nylon, alat memasukkan benang,
tali rafia, karet gelang, kelereng, dan biji-bijian yang dapat digunakan sebagai
pengisi jumput. Selain itu, penyaji juga menunjukkan beberapa karya batik jumput
yang nantinya dapat digunakan sebagai contoh oleh peserta pelatihan.
Gambar 2 Kain sutera
yang sudah dimordant
Gambar 1 Kain sutera
yang belum dimordant
Gambar 3 Daun mangga
dan kulit akar pace
Gambar 4 Tawas, tunjung, kapur
Gambar 5 Beberapa bahan
dan alat lain yang dibutuhkan
22
Beberapa contoh produk yang ditunjukkan adalah sebagai berikut :
Gambar 6 Karya tritik jumput dengan ZWA secang.
Fiksasi kapur, kombinasi tunjung pada motif
Gambar 9 Karya tritik jumput dengan ZWA
daun mangga,fiksasi tunjung
Gambar 7 Karya jumput dengan ZWA latar daun
mangga, kombinasi kulit akar pace pada jumput (tengah). Fiksasi dengan tawas, kombinasi tunjung pada tengah motif
Gambar 8 Karya tritik jumput dengan ZWA kulit
akar pace. Fiksasi dengan tawas, kapur, dan tunjung.
23
Pemberian materi ini dilanjutkan dengan demonstrasi. Hal pertama yang
didemonstrasikan penyaji adalah cara merancang motif batik tritik jumput. Penyaji
memberi contoh dengan menggambar desain pada kertas, kemudian hasil desain
tersebut ditebalkan dengan spidol. Setelah dispidol, desain kemudian
dipindahkan ke kain dengan cara meletakkan kertas desain dibawah/sebagai
alas kain. Desain akan tampak dari bagian atas kain, selanjutnya tinggal dijiplak
menggunakan pensil. Sebaiknya pensil tidak usah digoreskan dengan terlalu
tebal agar mudah dibersihkan. Demonstrasi ini cukup mendapat perhatian dari
peserta dengan mendekat ke meja Penyaji. Setelah paham, peserta kemudian
diajak untuk membuat desain dan memindahkan pada kainnya masing-masing.
Tidak lupa disampaikan kepada peserta bahwa dari satu ZWA dapat
diperoleh 3 warna yang searah, jika digunakan 3 fiksator yang berbeda. Selain
itu, peserta juga dapat mengunakan ZWA dari daun mangga dan kulit akar pace
serta 3 fiksator sekaligus pada selembar kain (dengan proses bergantian). Jika
hal tersebut dilakukan maka pada selembar kain akan ada 6 warna yang
berbeda.
Berikutnya, tim penyaji memperagakan bagaimana membuat tritik dan
jumput itu sendiri. Menjahit jelujur bisa dilakukan lebih dahulu sebelum dijumput,
bisa juga sebaliknya. Hal ini didasarkan pada bagaimana motif yang akan dibuat.
Selain itu, setelah dijahitkan benang bisa langsung ditarik sehingga kain berkerut-
kerut, bisa juga dijahit seluruhnya lebih dulu dan setelah selesai baru benangnya
ditarik. Kegiatan ini cukup membutuhkan ketelatenan dan kesabaran.
Kegiatan menjahit dan mengikat tersebut dilanjutkan hingga hari kedua
pelatihan. Beberapa peserta sebenarnya sempat melanjutkan menjahit dan
mengikat di rumah, tetapi belum selesai seluruhnya. Setelah mengisi daftar hadir,
Gambar10 Penyaji menunjukkan cara
dan membimbing peserta membuat desain
24
peserta kemudian melanjutkan menjahit dan mengikat, dengan dibimbing
anggota Tim. Sementara itu, penyaji memperagakan bagaimana cara
pengambilan ZWA dari sumbernya. Pengambilan ZWA dari daum mangga dapat
dikatakan sangat mudah, hanya dengan merebusnya menggunakan air bersih
biasa. Namun untuk pengambilan ZWA dari kulit akar pace, air yang digunakan
untuk merebusnya adalah campuran antara air bersih biasa dan air bening hasil
rendaman abu sekam, dengan perbandingan 1:1. Perebusan dilanjutkan hingga
volume air berkurang antara 20-40%. Selanjutnya ekstrak dipisahkan dari
sumbernya dengan disaring. Ekstrak ini dapat digunakan saat hangat maupun
setelah dingin.
Saat melihat peragaan tentang pengambilan ZWA dari sumbernya ini,
seorang peserta menanyakan, “Jika panci yang digunakan adalah panci yang
biasa dipakai untuk memasak, setelah digunakan untuk merebus sumber ZWA
dapat digunakan untuk memasak lagi atau tidak. Seandainya yang digunakan
adalah kuali/tembikar, apakah bisa?”. Menjawab pertanyaan tersebut, Penyaji
menyampaikan bahwa panci yang digunakan untuk merebus ZWA dapat dipakai
untuk memasak lagi, asalkan perebusan ZWA tersebut tidak menngunakan
bahan kimia sebagai bahan campuran. Namun panci yang digunakan untuk
mordanting haruslah panci khusus, karena menggunakan bahan kimia campuran
(tawas). Sedangkan untuk mordanting seyogyanya digunakan panci khusus dan
haruslah panci yang terlapisi cat, bukan panci aluminium karena tawas bereaksi
terhadap aluminium. Adapun kuali/tembikar, dapat digunakan untuk kedua
keperluan tersebut, namun tetap harus dipisahkan antara panci untuk merebus
ZWA dengan yang untuk mordanting.
Setelah pengerjaan tritik jumput selesai, Penyaji memperagakan
bagaimana cara menggunakan ZWA. Mula-mula kain dibasahi dengan air bersih
Gambar 12 Pengambilan ekstrak
ZWA dari kulit akar pace
Gambar 11 Pengambilan ekstrak
ZWA dari daun mangga
25
hingga rata, kemudian ditiriskan. Setelah tiris, kain dimasukkan dalam ekstrak
ZWA, direndam dan diratakan selama minimal 10 menit agar ZWA meresap
dalam serat-serat kain. Selanjutnya kain diangkat dan ditiriskan, untuk nantinya
direndam ZWA lagi. Tahap pewarnaan ini harus dilakukan setidaknya sebanyak
3x (karena yang digunakan adalah kain sutera).
Setelah mengerti, peserta kemudian mempraktekkan pewarnaan
dengan ZWA ini. Dengan melakukan pewarnaan sendiri, peserta akan dapat
“merasakan” dan memiliki pengalaman bagaimana caranya agar pewarna merata
dan terserap dengan baik pada kain. Sebagian besar peserta memilih
menggunakan ZWA dari daun mangga karena menurut peserta hasil pelatihan
yang berupa selendang tersebut akan digunakan sebagai seragam kegiatan
pengajian. ZWA daun mangga akan diterapkan sebagai pewarna latar
sedangkan pada motif akan diwarna dengan ZWA kulit akar pace. Hanya 3
peserta yang memilih mewarna dengan kulit akar pace, dengan penerapan
fiksasi yang berbeda untuk bagian latar dan motifnya. Untuk masing-masing
ZWA, pencelupan dilakukan sebanyak 3 kali. Kegiatan pewarnaan ini menutup
hari kedua pelatihan, untuk dilajutkan dengan fiksasi pada pertemuan
selanjutnya.
Gambar 13 Pewarnaan bagian motif dengan ZWA kulit akar pace
Gambar 14 Kain yang sudah dicelup dengan ekstrak daun mangga, warnanya
kuning muda
Gambar 15 Kain yang sudah dicelup dengan ekstrak kulit akar pace, warnanya
oranye tua kemerahan
26
Hari terakhir pelatihan, diawali dengan mengisi daftar hadir. Beberapa
peserta saat datang langsung menanyakan kepada penyaji, mengapa kain yang
kemarin sudah dicelup warna dan sudah rata, sekarang tampak belang disana-
sini. Padahal, menurut peserta tersebut, begitu sampai dirumah kain langsung
diangin-anginkan. Beberapa peserta yang datang kemudian menyamapikan hal
yang sama. Mendengar pertanyaan itu penyaji menyampaikan bahwa adanya
belang di beberapa tempat tersebut adalah karena keadaan kain yang telah
berkerut-kerut dan saat diangin-anginkan kain tidak dibolak-balik posisinya,
sehingga zat warna mengendap dibeberapa tempat. Endapan zat warna itulah
yang kemudian meninggalkan bentuk belang pada kain. Namun disisi lain,
endapan ini justru menimbulkan “motif” tersendiri yang tidak akan sama antara
kain yang satu dengan kain lainnya.
Setelah menjelaskan hal tersebut, kegiatan dilanjutkan sesuai jadwal
yaitu melakukan fiksasi pada kain yang telah diwarna. Penyaji terlebih dulu
memperagakan bagaimana cara melakukan fiksasi. Sementara itu disampaikan
pula kepada peserta bahwa umumnya fiksasi dengan tawas menghasilkan warna
kearah lebih muda, kapur menghasilkan arah warna sebenarnya, dan tunjung
menghasilkan warna kearah lebih tua. Bagian motif yang akan diwarna lebih tua
atau lebih muda sebaiknya difiksasi terlebih dahulu, baru kemudian melakukan
fiksasi pada warna latar. Pencelupan tidak perlu terlalu lama, setelah rata kain
diangkat dan langsung dicuci dengan air bersih. Selanjutnya bagian motif yang
telah difiksasi tersebut dibungkus dengan plastik dan diikat kuat agar nantinya
saat fiksasi warna latar, bagian tersebut tidak termasuki fiksator.
Melihat contoh karya yang ditunjukkan sebelumnya, seluruh peserta
yang menggunakan ZWA daun mangga memilih fiksasi tawas. Peserta yang
mewarna dengan ekstrak daun mangga terlebih dahulu melakukan fiksasi
tunjung kombinasi kaput pada bagian motif yang telah diwarna dengan ekstrak
kulit akar pace. Fiksasi dilakukan dengan cara mencelupkan bagian yang
difiksasi pada larutan fiksator tunjung dan kapur yang telah disiapkan. Berikutnya
bagian tersebut dicuci dengan air bersih, kemudian dibungkus dengan plastik dan
diikat kuat.
Gambar 16 Fiksasi bagian motif dengan tunjung dan kapur
27
Selanjutnya warna latar difiksasi dengan tawas, menghasilkan warna
hijau kekuningan. Namun setelah dicuci ternyata ditemukan bercak disana-sini
akibat terkena tetesan ekstrak kulit akar pace. Karena bercak-bercak tersebut
kain terlihat “kotor”, sehingga akhirnya sebagian peserta memilih melakukan
fiksasi kembali dengan tunjung. Hasilnya warna latar bisa rata dan warnanya
hijau tua. Setelah dicuci bersih, kain langsung dibuka jahitan dan ikatannya.
Kegiatan membuka jahitan dan ikatan tampaknya menjadi kegiatan
yang paling ditunggu-tunggu oleh peserta, karena setelah semua jahitan dan
ikatan dibuka maka akan terlihatlah hasil jerih payah mereka. Kegiatan ini juga
membutuhkan kesabaran, terutama saat mebuka jahitan, karena salah-salah bisa
merusak kain. Beberapa karya yang dihasilkan adalah sebagai berikut :
Gambar 17 Pewarnaan dengan ekstrak daun
mangga, setelah difiksasi dengan tunjung
Gambar 18 Fiksasi ZWA daun mangga dengan fiksasi tawas sebagai warna dasar, kombinasi fiksasi tunjung dan kapur, serta penggunaan ZWA kulit akar
pace dengan fiksasi tawas dan tunjung pada bagian motif yang lain
28
Sedangkan peserta yang memilih warna dari kulit akar pace langsung
memasukkan kainnya pada fiksator kapur secara keseluruhan. Setelah rata, kain
dibentangkan pada jemuran, kemudian bagian-bagian motif difiksasi lagi dengan
tunjung sehingga bagian motif tersebut warnanya menjadi lebih tua. Selanjutnya
kain dicuci dan dibuka jahitan serta ikatannya.Hasilnya adalah sebagai berikut :
Gambar 19 Penerapan ZWA daun mangga dengan fiksasi tunjung pada latar, kombinasi fiksasi tawas pada bagian tengah. Bagian motif diwarna
dengan ZWA kulit akar pace, juga menggunakan fiksasi tawas.
Gambar 20 Hasil pewarnaan dengan ZWA kulit akar pace, fiksasi kapur kombinasi tunjung pada motif
29
Dari evaluasi produk yang dilakukan oleh Tim Pelaksana PKM terihat
bahwa peserta mengalami kesulitan dalam proses pengerjaan terutama bagian
tritik 50% dari peserta mendapat nilai kurang. Ini dikarenakan pengikatan yang
kurang kuat sehingga warna tetap bisa masuk ke serat-serat kain. Dari segi
desain karya, 30 % peserta sudah mampu membuat desain yang berbeda dari
yang dicontohkan, sedangkan 60 % lainnya mengkombinasikan desain contoh
dengan desainnya sendiri.
Dari hasil angket yang disebarkan juga diketahui bahwa 100% peserta
menyatakan bahwa pelatihan yang diberikan menambah pengetahuan mereka,
sangat bermanfaat, dan ingin mempraktekkan sendiri di rumah. Seluruh peserta
menyatakan suka dengan diadakannya kegiatan tersebut dan bersedia
menularkan pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperoleh kepada orang
lain, terutama kepada teman dan saudara.
Akhirnya, keseluruhan rangkaian kegiatan telah dilaksanakan dengan
baik sesuai jadwal yang direncanakan. Pada saat penutupan peserta
menyampaikan harapan agar suatu hari nanti ada kegiatan sejenis, tentu saja
yang diharapkan dapat menambah pengetahuan serta ketrampilan mereka.
30
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Dari kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat yang telah dilaksanakan
pada tanggal 2,3,dan 6 Juli 2007 dengan peserta anggota Kelompok Tani
Mayangsari kelurahan Kebonsari, Jambangan, Surabaya dapat dituliskan
kesimpulan sebagai berikut :
1. Kegiatan diikuti oleh 20 peserta, sebagaimana direncanakan.
2. Seluruh peserta dapat menyerap materi dengan baik, terbukti dengan
diperolehnya hasil karya tritik jumput sebagaimana yang diharapkan.
3. Seluruh peserta dapat mengembangkan desain dari yang dicontohkan,
sehingga karya yang dihasilkan menunjukkan desain yang berbeda-beda.
Dapat dikatakan bahwa dari 20 peserta tidak ada karya yang desainnya
sama. Setiap peserta dapat mengenali karyanya masing-masing meskipun
saat pewarnaan kain dimasukkan dalam bak warna secara bersamaan.
4. Dari hasil angket yang disebarkan diketahui bahwa seluruh peserta
menyatakan bahwa pelatihan yang diberikan menambah pengetahuan
mereka, sangat bermanfaat, dan ingin mempraktekkan sendiri di rumah.
5. Seluruh peserta menyatakan suka dengan diadakannya kegiatan tersebut
dan bersedia menularkan pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperoleh
kepada orang lain, terutama kepada teman dan saudara.
B. SARAN
Berdasarkan jawaban dari angket peserta, saran yang diberikan adalah
perlu adanya tindak lanjut dengan pelatihan teknik-teknik yang lain, agar
pengetahuan dan ketrampilan yang mereka miliki semakin berkembang.
Beberapa peserta bahkan berharap suatu saat akan memperoleh pelatihan
pembuatan batik tulis, sehingga dapat mengetahui bagaimana proses pembuatan
batik yang sesungguhnya.
31
DAFTAR PUSTAKA Hirtchock, Michael, 1991, Indonesian Textiles, Sinagpore: Periplus Edition.
Lestari, Kun, 2005, Buku Panduan Teknologi Pewarnaan Alam Untuk Komoditas
Batik, Yogyakarta : Departemen Perindustrian Badan Penelitian dan
Pengembangan Industri Balai Besar Kerajianan dan Batik.
Ratyaningrum, Fera, 2004, Bahan Ajar Kriya Tekstil, Surabaya : Unesa University
Press.
Ritcher, Anne, 1993, Arts and Crafts of Indonesia , San Francisco, CA. Chronicle
Books.
Roojen, Pepin Van, 1998, Batik Design, Amsterdam, The Pepin Press.
Wardhani, Cut Karamil; Panggabean, Ratna, 2004, Tekstil, Jakarta: Desantara
Utama.