lampiran - abstrak.uns.ac.id · riwayat pendidikan saya dimulai ketika bersekolah di sekolah rakyat...
TRANSCRIPT
LAMPIRAN
Lampiran I
Sinopsis 6 cerkak dalam Antologi Cerkak Mawar Abang
Karya Ariesta Widya
Dalam antologi cerkak Mawar Abang yang terdiri dari 26 cerkak ini,
diantaranya ada 6 yang mengandung unsur religius. Religiusitas tersebut
mewujudkan kepercayaan adanya kekuatan adikodrati, kekuatan yang menguasai
manusia dan alam semesta. Cerkak yang bisa digolongkan kedalam unsur religius
dalam antologi cerkak karya Ariesta Widya yaitu Cathetan Desember, Ganda
Semboja, Oh, Renan, Oh, Yaman, Bandha Gadhuhan, Wengi Saya Larut dan Ing
Citarum Mecaki Urip.
Cerkak Wengi Saya Larut mempunyai kesamaan dengan cerkak Bandha
Gadhuhan dan cerkak Cathetan Desember. Jika cerkak Bandha Gadhuhan dan
cerkak Cathetan Desember kehilangan seorang anak, maka pada cerkak Wengi
Saya Larut kehilangan seorang istri. Diakhir bulan Januari, sepasang suami istri
bercengkrama membahas anak-anaknya. Anak keduanya Tedi akan disunat
dengan cara ramai-ramai seperti yang dahulu dilakukan disaat anak pertamanya
sunat. Anaknya yang nomer tiga bulan depan akan genap berusia dua tahun.
Keduanyapun sibuk membuat acara untuk anak-anaknya. Hari itu seperti biasanya
sang ayah bekerja, namun tiba-tiba kedatangan tamu menyuruhnya untuk segera
pulang. Istrinya terbaring lemah dan kemudian dibawa kerumah sakit. Satu
minggu istrinya tidak kuat dan akhirnya meninggal. Meski hatinya bisa pasrah
tapi mendengar penyakit istrinya pendarahan otak, membuatnya tidak bisa
berpikir dan bersedih hati. Akhirnya dia sadar bahwa kesedihan tersebut harus
dihilangkan dengan rasa pasrah dan percaya kepada Tuhan karena ada tiga anak
yang sekarang sangat membutuhkannya. Semuanya diserahkan kepada Tuhan,
karena Tuhan yang akan memberikan jalan terbaik.
Cerkak Bandha Gadhuhan mempunyai cerita yang sama seperti cerkak
Cathetan Desember. Keduanya bercerita tentang bagimana mengiklaskan anaknya
yang meninggal. Seorang anak perempuan yang sangat manis sedang bermanja-
manja membantu ibunya yang sedang membuat roti. Anak yang bernama Wilis ini
bercengkerama dengan ibu dan pembantunya untuk menyambut datangnya Natal.
Dengan daya khayal seorang anak kecil, Wilis berkhayal dalam pertunjukan nanti
ayahnya akan berperan sebagai Bapak Yusup, Ibunya akan menjadi Ibu Maria,
dan Wilis sendiri berperan sebagai Tuhan Yesus. Khayalan tersebut musnah
karena tiba-tiba Wilis sakit panas dan kemudian dibawa ke rumah sakit. Sampai di
rumah sakit Wilis diopname, ibunya yang khawatir menghibur anakanya. Dengan
kepolosan dan hatinya yang masih suci Wilis berkata bahwa Tuhan Yesus yang
disalib itu lebih sakit, ibunyapun menangis mendengar perkataan anaknya
tersebut. Tak lama Wilis meninggal dan membuat ibunya sedih berlarut-larut.
Namun suaminya menasehatinya dengan mengisahkan cerita Ibu Maria bahwa Ibu
Maria dengan senang hati menerima anakanya Yesus meski banyak orang
mencemoohnya karena hamil tanpa seorang suami, namun kemudian hari harus
diambil paksa. Semuanya menyakitkan hati, namun kenyataannya hanya rasa
pasrah dan percaya kepada Tuhan yang akan mengobati rasa sakit tersebut.
Cathetan Desember menceritakan sebuah keluarga di Maluku, dengan
semua peraganya orang Maluku. Keluarga tersebut kehilangan seorang anak laki-
laki yang bernama Aldo. Lusia Renwarin, ibu dari Aldo merupakan anggota koor
di gereja kecil di Maluku. Karena rasa tanggungjawab dengan gerejanya dia
latihan sampai sore menjelang. Dia lupa bahwa anaknya Aldo sedang menunggu
kepulangannya. Sampai dirumah Lusia dikagetkan karena kondisi Aldo yang sakit
panas. Cepat-cepat dia membawa anaknya ke poliklinik, kemudian Aldo dirawat
inap disana. Aldo dirawat di poliklinik hanya satu hari. Karena keesokan harinya
harus pulang dengan hati yang hancur. Aldo memang sudah tidak panas lagi. Aldo
sudah dingin. Dingin sekali. Dan rumah tersebut dadakan menjadi ramai. Namun
keramaian tersebut menandakan hatinya sedih, karena Aldo meninggal. Hidup
memang banyak cobaan, banyak salib, siapa orang yang tidak sedih, namun tidak
cukup hanya bersedih saja, karena hal tersebut sangatlah rugi. Semua harus bisa
seperti Ibu Maria, ketika melihat anaknya disalib. Itu adalah ajaran yang bisa
dijadikan cermin. Dari cerkak ini bisa kita petik hikmahnya bahwa kita harus iklas
dan percaya kepada Tuhan. Semua milik Tuhan dan akan kembali kapada-Nya.
Orang-orang yang menerima siksaan di api neraka karena hidupnya
melenceng dari tata kehidupan yang baik digambarkan seperti pohon kamboja
dimana ranting-rantingnya seperti tangan yang menggapai langit dan merasa
kesakitan. Gambaran seperti ini ada dalam cerkak Ganda Semboja. Cerkak ini
menceritakan kesedihan yang mendalam seorang anak dengan kematian. Setelah
ditinggal mati Ibu kandungnya, Sadmoko dan kedua adiknya ditinggal mati pula
ayah kandungnya. Sebelum ayah mereka meninggal, dia meninggalakan seorang
ibu tiri yang sangat baik. Dia merawat anak-anaknya sampai mereka menjadi
orang yang sukses. Namun, suatu hari sang anak mendengar kabar buruk yaitu
kematian sang ibu tiri. Perasaannya sangat sedih dan sangat terpukul. Dia sangat
menyesali kematian ibunya, namun dia disadarkan oleh seorang sahabatnya yang
menceritakan kehidupannya yang ditinggal mati oleh anak-anaknya. Meski hidup
ini tidak berarti setelah ditinggal mati orang-orag yang disayangi, namun hidup
harus dijalani dan jangan sampai berlarut-larut dalam kesedihan karena sebuah
kematain (gandha semboja).
Pada cerita Oh, Renan, Oh, Yaman menceritakan perjodohan yang berbeda
status sosial, hampir seperti keadaan kasta di Bali. Keadaan ini dianggap tidak
sesuai dengan ajaran Tuhan. Latar cerkak ini berada di Manado, Maluku. Suatu
ketika AURI yang mempunyai lapangan yang luas dan besar kedatangan
rombongan seniman dari Jakarta. Rombongan tersebut mengadakan pertunjukan
untuk tempat-tempat terpencil, sehingga para warga berkumpul untuk melihatnya.
Berawal dari pertunjukan inilah yang menjadikan keduanya saling jatuh cinta,
laki-laki yang berasal dari kampung Ohoijong yaitu Albert Henan dan perempuan
yang berasal dari kampung Langgur yaitu Beka Renwarin. Albert yang berasal
dari kasta rendah dan Beka yang berasal dari kasta tinggi menjadikan percintaan
mereka terhalang. Merekapun nekad menikah dan membangun rumah tangga.
Mereka yakin cinta yang dibangun dengan hati dan tujuan yang baik diberikan
jalan yang terbaik dari Tuhan. Dan merekapun hidup bahagia dengan berkat dari
Tuhan.
Cerkak Ing Citarum Mecaki Urip bercerita tentang kepasrahan kepada
Tuhan atas penyakit yang diderita. Mereka berdoa dan beribadah meminta
kesembuhan dan jalan terbaik dari Tuhan. Sudah lima bulan Ibu Mari tidak
mengontrol penyakitnya suaminya, dan pagi itu dia pergi ke rumah sakit Arwendi.
Penyakit suami Ibu Mari adalah ginjal, dan saat diperiksa oleh dokter penyakitnya
semakin parah. Mendengar perkakaan dokter Ibu Mari dan Pak Wid suaminya
terlihat sedih. Mereka keluar dari ruangan dokter menuju lorong pasien, mereka
menjenguk temannya yang sedang dirawat di rumah sakit tersebut. Pak Ngationo
teman Ibu Mari dan Pak Wid sakit setelah bermain sepak bola, dia tidak
menyangka niatan untuk berolahraga membuatnya masuk rumah sakit. Pak
Ngationo divonis dokter sakit demam berdarah dan tipes. Selesai menjenguk Pak
Ngationo Ibu Mari dan Pak Wid menuju ruangan nomor 7. Keduanya masuk dan
menjenguk temannya yang sakit juga yaitu Pak Marjo. Didalam hati Ibu Mari
sedih dan sekaligus merasa lebih beruntung daripada Bu Marjo. Bu Marjo baru
saja mengalami kecelakaan, luka-luka akibat kecelakaan belum sembuh dan
bahkan dia harus kehilangan dua jari kaki, sekarang harus menghadapi suaminya
yang terbaring sakit selama 38 hari dan tidak bisa makan karena sakit
ditenggorokannya. Kenyataan lain yang tidak kalah menyakitkan karena anak
kesayangan Ibu Marjo yang berprofesi sebagai dokter sudah meninggal. Ibu Mari
kemudian mengajak semuanya berdoa untuk kesembuahan Pak Marjo dan Bu
Marjo. Dari cerita inilah bisa kita petik bahwa kehidupan tidak selamanya
bahagia, ada kesedihan, ada sakit, ada kehilangan karena ditinggal mati orang
yang disayangi, namun semua dipasrahkan dan diiklaskan kepada Tuhan niscaya
akan diberikan kelapangan dan jalan terbaik.
Dari enam cerkak diatas terdapat unsur religius manusia, digambarkan
dengan kepercayaaan insan manusia kepada Tuhannya. Bagiamana manusia
menghadapi kehidupannya yang tidak mudah lagi seperti sakit, ditinggal mati oleh
orang yang sangat dicintainya, atau bahkan tidak mendapat restu karena
perbedaan kasta. Bagaimana cara mengiklaskan, bagaimana cara berpasrah
kepada Tuhan, bagaiamana cara berbakti kepada Tuhan. Digambarkan pula
semuanya harus diiringi dengan doa dan ibadah, dengan cara taat kepada Tuhan.
Semua dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya.
Cerkak yang menggambarkan unsur religi ini merupakan ciri khas dari
seorang pengarang yang bernama Ariesta Widya. Mempunyai latar belakang
penganut agama Nasrani (Katolik) yang taat, beliau menggambarkan bagaimana
percaya kepada Tuhan dalam cerkak ini.
Lampiran II
Surat pernyataan izin dari pengarang
Lampiran III
Daftar pertanyaan kepada pengarang.
Lampiran IV
Daftar pertanyaan dan jawaban pengarang.
1. Bagaimana mengenai riwayat hidup bapak?
Jawaban: Ariesta Widya merupakan nama samaran dari Agustinus
Moelyono Widyatama. Lahir di Semarang tanggal 12 April 1938 pada hari
Senin Wage. Saya seorang penganut agama Katholik, dan sudah
berkeluarga dengan Dyah Maringin, S. H, yang saya nikahi pada tahun
1974 dan dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Catharina
Dimasanti. Riwayat pendidikan saya dimulai ketika bersekolah di Sekolah
Rakyat dari tahun 1946 dan lulus tahun 1952, dilanjutkan ke SMP bagian
B, tamat tahun 1955. kemudian dari SMP dilanjutkan ke SPG, dan lulus
tahun 1958. Pada tahun 1958- 1961 mengajar di Katolik Langgur, dan
pada tahun 1961-1964 saya melanjutkan ke tingkat Perguruan Tinggi dan
lulus sebagai sarjana muda, jurusan Bahasa Indonesia di IKIP Manado.
Tahun 1964-1967 saya menjadi Kepala Sekolah di Katolik Langgur. Saya
dipindah ke SMP Ungaran pada tahun 1978. Keinginan saya untuk belajar
tidak pernah berhenti, pada tahun 1984 kemudian saya melanjutkan kuliah
di Universitas Terbuka, jurusan Administrasi Negara. Untuk mengisi
kesibukannya saya sehari-hari selain menghasilkan tulisan-tulisan, saya
juga menjadi guru di SMA Negeri V di Semarang. Tahun 1958, setelah
lulus dari SPG rasa pengabdian saya pada masyarakat semakin tebal.
Ketika itu saya memutuskan berangkat ke gugusan pulau-pulau Kei di
Indonesia Timur yaitu tepatnya di Langgur, inilah awal kehidupannya
sebagai guru di SMP pada yayasan Katholik. Tahun 1970 saya menetap di
Semarang hingga saat ini.
2. Amanat apa yang terkandung dalam 6 cerkak dalam Antologi Cerkak
Mawar Abang?
Jawaban: dalam menciptakan sebuah karya sastra saya mempunyai cita-
cita di dalamnya, saya ingin pembaca mengambil amanat yang saya
sampaikan, pada 6 cerkak ini saya ingin menyampaikan tentang 3 hal yaitu
tentang sebuah keiklasan, sabar, dan pasrah kepada Tuhan.
3. Bagaimana ideologi dan sosiohistoris terciptanya 6 cerkak dalam Antologi
Cerkak Mawar Abang?
Jawaban: sebenarnya kitab Injil dan Serat Ranggawarsita memiliki isi
yang sama tentang manusia yang harus sabar, iklas, dan pasrah kepada
Tuhan. Sebagai Katholik saya ingin menjadi Katholik yang taat dan
menjadi orang Jawa yang baik pula, ideologi dalam pembuatan cerkak ini
adalah Kitab Injil dan Serat Ranggawarsita. Sosiohistoris saya bisa di baca
di buku Antologi Cerkak Mawar Abang mbak.
4. Bagaimana pandangan bapak mengenai 6 cerkak dalam Antologi Cerkak
Mawar Abang?
Jawaban: karya saya ini merupakan penggambaran religiusitas saya dan
orang-orang di sekitar saya. Tokoh-tokoh dalam cerita ini merupakan
tokoh sebenarnya yang mengalami tragedi kehidupan dan juga tokoh yang
saya ciptakan untuk mewakili keadaan masyarakat sekitar.
5. Mungkinkah cerita dalam cerkak ACMA merupakan cerminan pribadi dari
bapak sendiri sebagai seorang pengarang?
Jawaban: cerita dalam ACMA merupakan cerminan pribadi saya sendiri
mbak, bukan hanya itu saja cerita di dalamnya merupakan kejadian yang
saya alami dalam dunia nyata.
6. Apakah ceriita dalam ACMA dapat dijadikan refleksi kehidupan di masa
sekarang?
Jawaban: menurut saya itu tergantung pembaca sendiri, tapi harapan saya
bisa menjadi refleksi kehidupan di masa sekarang. Jaman sekarang banyak
sekali karya sastra yang hanya menceritakan tentang cinta, di mana
pengarang jarang memikirkan tentang amanat yang akan di sampaikan.
Lampiran V
Berikut isi Serat Sabdo Djati karya Ranggawarsita yang menyatakan untuk
selalu bersabar, iklas, dan pasrah:
Hawya pegat ngudi Ronging budyayu
Margane suka basuki
Dimen luwar kang kinayun
Kalising penggawe sisip
Ingkang taberi prihatos
Jangan berhenti selalulah berusaha berbuat kebajikan,
agar mendapat kegembiraan serta keselamatan
serta tercapai segala cita-cita,
terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan,
caranya haruslah gemar prihatin.
Ulatna kang nganti bisane kepangguh
Galedehan kang sayekti
Talitinen awyu kleru
Larasen sajroning ati
Tumanggap dimen tumanggon
Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama,
introspeksi,
telitilah jangan sampai salah,
endapkan didalam hati,
agar mudah menanggapi sesuatu
Pamanggone aneng pangesthi rahayu
Angayomi ing tyas wening
Eninging ati kang suwung
Nanging sejatining isi
Isine cipta sayektos
Dapatnya demikian kalau senantiasa
mendambakan kebaikan,
mengedepankan pikiran, dalam mawas diri
sehingga seolah-olah hati ini kosong namun
sebenarnya akan menemukan cipta yang sejati
Lakonana klawan sabaraning kalbu
Lamun obah niniwasi
Kasusupan setan gundhul
Ambebidung nggawa kendhi
Isine rupiah kethon
Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran
Sebab jika bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan)
akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul
yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak
Lamun nganti korup mring penggawa dudu
Dadipenggonaning iblis
Mlebu mring alam pakewuh
Ewuh mring pananing ati
Temah wuru kabesturon
Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan,
sudah jelas akan menjadi sarang iblis,
senantiasa mendapatkan kesulitan-kesulitan,
kerepotan-kerepotan, tidak dapat berbuat dengan
itikad hati yang baik,
seolah-oleh mabuk kepayang
Nora kengguh mring pamardi reh budyayu
Hayuning tyas sipat kuping
Kinepung panggawe rusuh
Lali pasihaning Gusti
Ginuntingan dening Hyang Manon
Bila sudah terlanjut demikian tidak tertarik
terhadap perbuatan yang menuju kepada kebajikan.
Segala yang baik-baik dari dirinya,
sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek.
Sudah melupakan Tuhannya.
Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping
.
Parandene kabeh kang samya andulu
Ulap kalilipen wedhi
Akeh ingkang padha sujut
Kinira yen Jabaranil
Kautus dening Hyang manon
Namun demikian yang melihat,
bagaikan matanya kemasukan pasir,
tidak dapat membedakan yang baikdan yang jahat,
sehingga yang jahat disukai dianggap utusan Tuhan
Yen kang uning marang sejatining dawuh
Kewuhan sajroning ati
Yen tiniru ora urus
Uripe kaesi-esi
Yen niruwa dadi asor
Namun bagi yang bijaksana,
sebenarnya repot didalam pikiran
melihat contoh-contoh tersebut.
Bila diikuti hidupnya akan tercela menjadi sengsara.
Nora ngandel marang gaibng Hyang Agung
Anggelar sakalir-kalir
Kalamun temen tinemu
Kabegjane anekani
Kamurahane hyang Manon
Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan,
yang menitahkan bumi dan langit,
siapa yang berusaha dengan setekun-tekunnya
akan mendapatkan kebahagiaan.
Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.
Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun
Yen temen-temen sayekti
Dewa aparing pitulung
Nora kurang sandhang bukti
Saciptanira kelakon
Segala permintaan umatNya akan selalu diberi,
bila dilakukan dengan setulus hati,
Tuhan akan selalu memberi pertolongan,
sandang pangan tercukupi segala cita-cita
dan kehendaknya tercapai
Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur
Suka pengunahing Widi
Ambuka warananipun
Aling-aling kang ngalingi
Angilang satemah katon
Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan
membuka selubung yang termasuk rahasia Tuhan,
sehingga dapat diketahui
Para jalma sajroning jaman pakewuh
Sudranira andadi
Rahurune saya ndarung
Keh tyas mirong murang margi
Kasekten wus nora katon
Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan,
cenderung meningkatkan perbuatan-perbuatan tercela,
makin menjadi-jadi, banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan
diatas riil kebenaran, keangungan jiwa sudah tidak tampak.
Katuwane winawas dahat matrenyuh
Kenyaming sasmita sayekti
Sanityasa tyas malatkunt
Kongas welase kepati
Sulaking jaman prihatos
Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin,
merasakan ramalan tersebut,
senantiasa merenung diri melihat jaman penuh
keprihatinan tersebut.
Waluyane benjang lamun ana wiku
Memuji ngesthi sawiji
Sabuk tebu lir majenum
Galibedan tudang tuding
Anacahken sakehing wong
Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila
sudah mencapat tahun 1877
(Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1.
Itu bertepatan dengan tahun Masehi 1945).
Ada orang yang berikat pinggang tebu
perbuatannya seperti orang gila,
hilir mudik menunjuk kian kemari,
menghitung banyaknya orang.
Iku lagi sirap jaman Kala Bendu
Kala Suba kang gumanti
Wong cilik bisa gumuyu
Nora kurang sandhang bukti
Sedyane kabeh kelakon
Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu.
Diganti dengan jaman Kala Suba
Dimana diramalkan rakyat kecil besuka ria,
Tidak kekurangan sandang dan makan
Seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai
Pandulune Ki Oujangga durung kemput
Mulur lir benang tinarik
Nanging kaseranging ngumur
Andungkap kasidan jati
Mulih mring jatining enggon
Sayang sekali “penglihatan” Sang Pujangga belum selesai,
Bagaikan menarik bennag dan ikatannya.
Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir
Datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.
Amung kurang wolung ari kang kadulu
Tumating pati patitis
Wus katon neng lokil makpul
Angumpul ing madya ari
Amerangi Sri Budha Pon
Yang terlihat hanya kurang 8 hari lagi,
Sudah sampai waktunya,
Kembali menghadap Tuhannya.
Tepatnya pada hari rabu Pon.
Tanggal kaping lima antarane luhur
Selaning tahun Jimakir
Taluhu marjayeng janggur
Sengara winduning pati
Netepi ngumpul sak enggon
Tanggal 5 bulan Sela
(Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu,
Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873)
Kira-kira waktu Lohor, iyulah saat yang ditentukan
Sang Pujangga kembali menghadap Tuhan
Cinitra ri budha kaping wolulikur
Sawal ing tahun Jimakir
Candaning warsa pinetung
Sembah mekswa pejangga ji
Ki Pujangga pamit layoti
Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal
Tahun Jim, akhir tahun 1802
(Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1)
Bertepatan dengan tahun masehi 1873.
Lampiran VI
Foto bersama pengarang Ariesta Widya.