kutubus sittah buku
DESCRIPTION
arangkali manfaatTRANSCRIPT
Judul :
KUTUBUS SITTAH
(MENGENAL ENAM KITAB POKOK HADITS SHAHIH)
Dan
Biografi Para Penulisnya: Al‐Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at‐Tirmidzi, an‐Nasa'i, dan
Ibnu Majah
Disalin dari:
Dr. M. Muhammad Abu Syuhbah.1999. “Kutubus Sittah”. Terbitan Pustaka Progressif.
Surabaya. Cet‐2, Januari 1999. Penerjemah: Ahmad Usman
Catatan dari Portege 181:
Dari buku sumber diatas, tidak disalin ke ebook ini adalah: lembar Kata Sambutan dan
daftar istilah.
Kami menyarankan sekali agar pembaca kembali merujuk ke buku sumber untuk
mencocokkan bila ada hal yang salah baik dalam penulisan redaksional maupun
arabiknya. Bilamana ada kesalahan maka mohon kami dimaafkan.
Semoga Bermanfaat.
(Portege181.wordpress.com)
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah berfirman:
Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (Q.S. an‐Nahl: 44).
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallaahu
'alaihi wa sallam yang telah diberi al‐Qur'an dan yang serupa dengannya yakni as‐Sunnah, sebagai syarah
dan penjelasanan bagi al‐Qur'an.
Nabi Muhammad yang terpelihara dari perbuatan dosa telah bersabda:
Allah membahagiakan seseorang yang mendengarkan sabdaku, kemudian dia menyampaikan kepada
orang lain sebagaimana ia telah mendengarnya. Boleh jadi orang yang mendapatkan berita hadits itu
lebih mengerti daripada orang yang memberitakannya (HR. Ashabus Sunan)
Dalam riwayat lain beliau bersabda:
Banyak orang yang membawakan fiqih tetapi bukan ahli fiqih, bisa terjadi orang yang membawa fiqih
menyampaikan kepada orang yang lebih faqih daripadanya (HR. Ashabus Sunan dan lainnya)
Maka tidak heran jika sejak masa shahabat para ulama bersungguh‐sungguh mengumpulkan hadits dan
sunnah, menghafal dan menyampaikannya kepada manusia. Kemudian dilanjutkan oleh para imam yang
tidak diragukan lagi keahliannya di bidang hadits. Mereka mengoreksi secara tuntas untuk menentukan
hadits yang shahih dan yang dhaif, serta yang palsu. Mereka selalu mencari hadits, menghafal dan
menulisnya, memilih hadits yang haq dan benar, serta menyisihkan yang batil, sehingga mereka
mewariskan kitab‐kitab besar tentang periwayatan dan kekayaan yang sangat berharga mengenai hadits
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Di dalamnya, setiap muslim akan mendapatkan apa yang diinginkan
untuk urusan agama dan dunia, akidah dan syari’ah, akhlak dan adab, nasihat dan larangan, cerita dan
sejarah, hikmah dan sosial, serta sastra dan bahasa.
Dalam risalah ini, kami memperkenalkan kitab‐kitab hadits yang populer dan para pengarangnya yaitu
Kutubus Sittah (enam kitab hadits) yang sudah dikenal oleh kalangan ulama hadits. Enam kitab hadits
tersebut adalah Shahih al‐Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An‐Nasa'i, Sunan Abu Dawud, Sunan At‐Tirmidzi,
dan Sunan Ibnu Majah.
Semoga Allah memberikan pertolongan dan petunjuk
Ya Allah, tolonglah dan bimbinglah kami
Muhammad Muhammad Abu Syu’bah
SEJARAH ILMU HADITS
Kedudukan as‐Sunnah Dalam Tasyri’ (membuat hukum)
Syariat Islam itu berasal dari dua sumber :
1. Al‐Qur’an
Al‐Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Lafazhnya sebagai mukzizat, membacanya merupakan ibadah, diriwayatkan secara mutawatir,
memberikan pengertian yang pasti dan meyakinkan, ditulis dalam mushaf dari awal surah al‐Fatihah
sampai akhir ayat an‐Nas, sebagai petunjuk Allah bagi hamba‐Nya, syariat dari langit untuk manusia,
dengan Qur’an ini Allah menutup kitab‐kitab samawi, dengannya Allah menggantungkan kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Allah SWT telah menurunkan kepada Nabi‐Nya Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam kurang lebih
dua puluh dua setengah tahun. Malaikat Jibril membawa wahyu dengan lafazhnya, secara jelas kepada
Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan sadar, tidak tidur dan bukan melalui ilham.
Kemudian al‐Qur’an disampaikan oleh Nabi kepada umatnya sebagaimana yang telah didengarnya dari
malaikat Jibril. Lalu para shahabat Nabi menyampaikan kepada ribuan tabi’in, dan para tabi’in
menyampaikan kepada ribuan generasi berikutnya. Begitulah seterusnya hingga al‐Qur’an sampai kepada
kita dalam keadaan utuh, persis sama seperti yang diterima oleh Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa
sallam. Dan al‐Qur’an tidak akan dicemari oleh kebatilan dimana dan kapan saja.
2. as‐Sunnah
Dalam istilah ulama hadits, sunnah ialah sabda Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam, perbuatan,
taqrir (ketetapan), keadaan beliau dan akhlaknya. Sebagian ulama ada yang memasukkan perkataan dan
perbuatan shahabat dan tabi’in dalam pengertian sunnah. Yang mendukung pendapat ini adalah hadits
yang berbunyi:
Hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin sesudahku. Peganglah ia
dengan teguh (HR. Abu Dawud dan at‐Tirmidzi).
Sedangkan yang dimaksud dengan taqrir ialah: Seseorang berkata atau melakukan suatu perbuatan di
depan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan beliau tidak mengingkarinya atau perkataan dan perbuatan
itu tidak dilakukan di depan beliau lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam mendengarnya dan diam serta
tidak mengingkarinya.
Dengan demikian, menurut pandangan sebagian besar ulama pengertian “sunnah” itu identik dengan
“hadits” Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Kedudukan as‐Sunnah bagi al‐Qur'an
Al‐Qur'an sebagai dasar tasyri islam (hukum islam) yang pertama, sedangkan as‐sunnah merupakan dasar
tasyri yang kedua.
Kedudukan as‐sunnah bagi al‐Qur'an sebagai penjelasan dan syarah bagi al‐Qur'an, menjelaskan yang
global, menerangkan yang sulit, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum, dan menguraikan
ayat‐ayat yang ringkas. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
Dan Kami menurunkan al‐Qur'an kepadamu, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya (Q.S. An Nahl: 44).
Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam kadang menerangkan dengan perkataan atau perbuatan,
dan kadangkala dengan keduanya. Beliau telah bersabda:
Shalatlah kamu sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR. Al‐Bukhari).
Ketika haji wada’ beliau pernah bersabda:
Ambillah dari padaku tentang cara pengerjaan haji. Mungkin aku tidak akan bertemu kamu setelah tahun
ini (HR. Muslim).
Beberapa Contoh Penjelasan as‐Sunnah terhadap al‐Al‐Qur'an
Allah berfirman:
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat (Q.S. Al‐Baqarah: 43).
Dalam al‐Qur'an tidak ada penjelasan mengenai jumlah shalat maupun cara mengerjakannya, maka as‐
sunnah menerangkannya. Begitu pula tidak ada penjelasan tentang waktu wajib mengeluarkan zakat,
nisabnya, jumlah yang harus dikeluarkan dan apa saja yang diwajibkan, maka as‐sunnah yang
menerangkannya.
Allah SWT berfirman:
Tangan laki‐laki yang mencuri dan wanita yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan
apa yang mereka kerjakan dan siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana (Q.S. al‐
Maidah: 38).
Pada ayat tersebut diatas tidak diterangkan apa yang dimaksud dengan mencuri. Berapa batas minimal
barang yang dicuri sehingga pencurinya harus dipotong tangannya, dan bagian tangan manakah yang
harus dipotong? Semua itu dijelaskan oleh as‐Sunnah.
Ketika sebagian shahabat mendapat kesulitan tentang firman Allah yang berbunyi:
Orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah
orang‐orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang‐orang yang mendapat petunjuk (Q.S. al‐
An’am: 82).
Mereka berkata, “Apakah kita tidak berbuat zalim?” Lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam menerangkan
kepada mereka yang dimaksud dengan “zalim” itu ialah “Syirik” dan beliau memberikan dalil dari firman
Allah yang berbunyi:
Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar‐benar kezaliman yang besar (Q.S. Lukman: 13).
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam juga pernah menerangkan pengertian “Hisab Yasir” (perhitungan
yang mudah dengan “ard” (memperlihatkan) sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah:
Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanan, maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan
yang mudah dan ia akan kembali kepada keluarganya dengan gembira (Q.S. Al‐Insyiqaq: 7‐9).
Beliau menerangkan yang dimaksud dengan “Hisab Yasir” ialah hanya menampakkan amal tanpa
perhitungan.
Para shahabat dan generasi berikutnya mengetahui pentingnya sunnah Nabi. Ibnu Mubarak
meriwayatkan dari Imran bin Husain, ia berkata kepada seorang ingkarus sunnah: “Sesungguhnya engkau
ini bodoh, apakah kamu mendapatkan di dalam al‐Qur'an bahwa shalat Zhuhur itu empat rakaat dengan
bacaan suratnya tidak dikeraskan?” Lalu ia menyebutkan beberapa masalah seperti shalat, zakat dan
sebagainya, kemudian ia berkata: “Apakah kamu bisa mendapatkan penjelasan terperinci dari al‐Qur'an?
Sesungguhnya al‐Qur'an tidak menjelaskan seperti itu melainkan as‐sunnah yang menerangkannya”.
Makhul pernah berkata, “al‐Qur'an lebih memerlukan as‐Sunnah daripada as‐Sunnah membutuhkan
penjelasan dari al‐Qur'an”
Imam Ahmad berkata, “Sesungguhnya al‐Sunnah itu menjelaskan dan menerangkan al‐Qur'an”.
As‐Sunnah bisa menetapkan hukum sendiri
Kadangkala as‐Sunnah menetapkan suatu hukum sendiri yang tidak terdapat dalam al‐Qur'an, seperti
mengharamkan memadu wanita dengan bibinya dalam ikatan perkawinan, haramnya menikahi wanita
sesusuan (rada’ah) selain yang sudah ditegaskan oleh al‐Qur'an, haramnya binatang buas yang bertaring
dan burung yang mempunyai cakar, menghalalkan bangkai ikan laut, dan hukum‐hukum lain yang
ditetapkan oleh as‐Sunnah namun tidak terdapat di dalam al‐Qur'an.
Kewenangan as‐Sunnah
Para ulama terpercaya telah sepakat atas kewenangan as‐Sunnah sebagai penjelas al‐Qur'an dan bisa
menetapkan hukum yang tidak ada dalam al‐Qur'an.
Asy‐Syaukani berkata: “Kuatnya wewenang as‐Sunnah yang suci dan kemandiriannya dalam menetapkan
hukum adalah keharusan agama. Dalam hal ini tidak orang yang menentang kecuali orang yang tidak
mempunyai pengetahuan tentang agama Islam”1
Memang benar apa yang telah dikatakan oleh asy‐Syaukani bahwa tidak ada orang yang menentang
kecuali kelompok kecil dari sekte Khawarij dan Rafidhah yang tidak mempunyai aturan dalam
pembahasan ilmu yang sehat.
Banyak ayat‐ayat al‐Qur'an yang menetapkan kewenangan as‐Sunnah. Antara lain:
Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah (Q.S. Al‐Hasyr: 7).
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah (Q.S. An‐Nisa: 80).
Maka hendaklah orang‐orang yang menyalahi perintah‐Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab
yang pedih (Q.S. An‐Nur: 63)..
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Q.S. Al‐Ahdzab:
21)..
Adapun hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan hal ini cukup banyak jumlahnya,
antara lain ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di Karib bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
1 Irsyadl Fuhul oleh Syaukani, halaman 39
Ingatlah sesungguhnya aku diberi al‐Qur'an dan yang serupa dengannya. Ingatlah seorang laki‐laki yang
kenyang perutnya akan segera bersandar pada dipannya. Ia berkata, “Hendaklah kalian mengambil al‐
Qur'an. Apa yang halal yang kamu jumpai padanya, maka halalkanlah, dan yang diharamkan olehnya
hendaklah engkau haramkan. Ingatlah tidak halal bagimu keledai piaraan, setiap binatang buas yang
bertaring, dan barang temuan yang masih diperlukan kecuali pemiliknya tidak membutuhkan lagi.
Barangsiapa yang bertamu pada suatu kaum, mereka wajib menghormatinya. Jika tidak dihormati maka
hendaklah ia mengambil harta mereka sekedarnya (haknya) bertamu.
Yang dimaksud dengan kalimat ialah hadits dan sunnah
Hadits diatas menunjukkan mukzizat Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam karena dizaman dulu
dan sekarang telah lahir golongan yang hanya menyeru kepada Ajaran yang keji, yakni mengajak manusia
agar hanya berpegang teguh kepada al‐Qur'an saja dan mengesampingkan hadits. Tujuan mereka ini
adalah ingin menghancurkan sebagian ajaran agama, bahkan ingin meruntuhkan seluruh ajaran agama
Islam. Karena jika hadits sudah diabaikan, tanpa diragukan lagi, umat Islam pasti kesulitan memakai al‐
Qur'an. Jika hadits sudah diasingkan dan al‐Qur'an tidak dapat dipakai lagi, niscaya Islam akan lenyap.
Para shahabat jika dihadapkan pada suatu masalah, mereka mencari hukumnya, jika mereka tidak
mendapatinya di dalam al‐Qur'an, lalu mereka mencari hukumnya dalam as‐Sunnah. Dan bila tidak
menemukannya, lalu mereka berijtihad berdasarkan al‐Qur'an dan as‐Sunnah beserta ushulnya.
Hadits Mu’adz bin Jabal merupakan dasar utama dalam masalah ini. Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi
wa sallam bertanya kepada Mu’adz ketika diutus ke Yaman sebagai berikut:
Dengan apa engkau memutuskan hukum perkara? Mu’adz menjawab, “Dengan al‐Qur'an”. Nabi bertanya
lagi, “Seandainya kamu tidak mendapatkannya?” Mu’adz menjawab, “Dengan sunnah Rasulullah ”. Nabi
bertanya, “Kalau kamu tidak mendapatkannya?” Ia menjawab, “Saya akan berijtihad menurut
kemampuanku dan saya tidak akan berputus asa”. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam
menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah merestui utusan Rasulullah dengan
apa yang diridhai Rasulullah ”.
Kepalsuan hadits tentang “al‐Qur'an sebagai tolak ukur sunnah”
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang berpendapat bahwa as‐Sunnah tidak bisa
menetapkan hukum tanpa al‐Qur'an. Hadits itu berbunyi:
Apabila datang kepadamu sebuah hadits dariku, maka cocokkanlah dengan al‐Qur'an. Hadits yang sesuai
dengannya, terimalah, dan yang bertentangan dengannya, tinggalkan.
Para imam hadits telah menerangkan bahwa hadits itu adalah maudlu’ (palsu) yang dikarang oleh kaum
zindiq dengan maksud ingin menghancurkan pilar‐pilar agama Islam2
Sebagian ulama hadits telah menguji keabsahan hadits diatas dengan al‐Qur'an yang berbunyi:
Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah (Q.S. Al‐Hasyr: 7).
2 Ibid, halaman 29
Katakanlah: "Jika kamu (benar‐benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa‐dosamu." (Q.S. Ali Imran: 31)
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah (Q.S. An‐Nisa: 80).
Perhatian para shahabat terhadap hadits Nabi
Karena pentingnya kedudukan hadits di dalam tasyri’ dan fungsinya maka para shahabat sangat
memperhatikan hadits Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Mereka berpegang dengannya
sebagaimana mereka berpegang kepada al‐Qur'an. Mereka menghafalkan lafazhnya atau maknanya dan
memahaminya berdasarkan naluri mereka sebagai orang Arab dan berdasarkan petunjuk dari ucapan,
perbuatan dan perilaku Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Mereka mengetahui situasi dan kondisi
yang melatarbelakangi diucapkannya hadits itu. Hadits yang sulit difahami atau tidak dimengerti
maksudnya, mereka menanyakannya langsung kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Karena sangat kuat keinginan mereka untuk mendengarkan wahyu dan hadits, mereka secara bergiliran
mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Imam al‐Bukhari telah meriwayatkan bahwa Umar
bin al‐Khaththab Radhiyallahu anhu berkata:
Saya dan tetangga saya dari Anshar tinggal di kampung Umayyah bin Zaid di pinggir daerah Madinah.
Kami datang bergantian kepada Rasulullah. Hari ini tetanggaku yang mengunjungi beliau, hari berikutnya
aku yang pergi. Jika aku yang datang, maka aku menyampaikan kepada tetanggaku itu segala yang
kudapatkan dari Nabi. Demikian juga bila ia pergi, ia melakukan seperti yang kuperbuat. (HR. Al‐Bukhari)
Dengan cara bergiliran seperti ini, mereka mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat. Kepentingan dunia
tidak membuat mereka melupakan agama, dan agama tidak melalaikan mereka dari dunia.
Kita sudah mengetahui bahwa al‐Qur'an dan as‐Sunnah banyak menerangkan tentang keutamaan ilmu
dan ulama. Para shahabat mengetahui bahwa as‐Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua. Mereka
mencintai Rasulullah lebih daripada dirinya sendiri. Mereka mendapatkan kenikmatan rohani ketika
mendengar sabda beliau. Mereka berkeyakinan bahwa beliau tidak berbicara menurut hawa nafsunya.
Ucapan beliau adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. Dengan mendengarkan sabda Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam mereka mendapatkan bekal iman dan takwa sebagai jalan menuju surga.
Dengan demikian, kita telah mengetahui bahwa para shahabat berupaya sangat serius untuk
mendapatkan dan mendengarkan hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan itulah ketetapan
yang tidak bisa dibantah.
Di samping itu, mereka bersungguh‐sungguh untuk menyampaikan sunnah dan hadits Nabi Shallallaahu
'alaihi wa sallam kepada orang lain. Karena mereka yakin bahwa hadits dan sunnah itu merupakan ajaran
agama yang wajib disampaikan kepada segenap manusia dan merupakan syariat abadi bagi seluruh
manusia. Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam sering menyuruh mereka untuk menyampaikan
dan melaksanakannya. Beliau bersabda:
Allah membahagiakan orang yang mendengarkan sabdaku, lalu memahaminnya dan menyampaikannya
kepada orang lain sebagaimana ia mendengarnya. Mungkin orang yang menerima darinya lebih mengerti
daripada dia. (HR. Syafi’i dan al‐Baihaqy)
Pada khutbah Haji Wada’, beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Sebab mungkin yang hadir akan
menyampaikan kepada orang yang lebih mengerti daripadanya. (HR. Al‐Bukhari)
Apabila ada delegasi menghadap Rasulullah beliau mengajarkan al‐Qur'an dan as‐Sunnah kepada mereka
dan berpesan agar mereka menghafalkan dan menyampaikannya.
Dalam shahih al‐Bukhari, beliau bersabda kepada utusan Abdu bin Qais sebagai berikut:
Hendaklah kamu menghafalnya dan memberitakan kepada orang dibelakangmu (yang tidak hadir
bersamamu).
Di hadits lain beliau bersabda: kembalilah kalian kepada keluargamu dan ajarilah mereka (HR. Al‐
Bukhari)3
Larangan menulis hadits di masa Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam
Hadits dizaman Nabi belum ditulis secara umum sebagaimana al‐Qur'an. Hal ini disebabkan oleh dua
faktor:
1. Para shahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat‐alat tulis
masih kurang
2. Karena adanya larangan menulis hadits Nabi. Abu Sa'id al‐Khudri berkata bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Janganlah menulis sesuatu dariku selain al‐Qur'an dan barangsiapa yang menulis dariku
hendaklah ia menghapusnya (HR. Muslim)
Larangan itu disebabkan adanya kekhawatiran bercampur aduknya hadits dengan al‐Qur'an atau mereka
bisa melalaikan al‐Qur'an atau larangan itu khusus bagi orang yang dipercaya hafalannya.
Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikhawatirkan seperti yang pandai baca tulis, atau karena mereka
khawatir akan lupa, maka penulisan hadits diperbolehkan. Dalam pengertian inilah penulisan hadits bagi
shahabat tertentu diperbolehkan.
Dalam shahih al‐Bukhari dan Muslim diceritakan bahwa Abu Syah al‐Yamani meminta kepada Nabi
Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam supaya menuliskan khutbah beliau yang ia dengar pada tahun
penaklukan Makkah. Beliau bersabda:
3 Fathul Bari, jilid 1 halaman 128, 149
Tulislah untuk Abu Syah (HR. Al‐Bukhari dan Muslim)
Di dalam shahih al‐Bukhari disebutkan Ali Radhiyallahu Anhu mempunyai lembaran (Shahifah) yang berisi
tulisan beberapa as‐Sunnah atau hadits.
Di dalam Sunan at‐Tirmidzi ada seorang dari kalangan Anshar duduk di majelis Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam, mendengar dan mengagumi sabda beliau, tetapi ia tidak menghafalnya, kemudian ia
mengeluh kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan beliau bersabda:
Mintalah bantuan dengan tangan kananmu (HR. At‐Tirmidzi)
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam juga pernah menulis tentang zakat, diyat, dan fara’id kepada
‘Amru bin Hazm dan orang lain4
Sebagian ulama berpendapat hadits yang mengizinkan penulisan hadits memansukh hadits larangannya.
Disamping itu larangan tersebut terjadi diawal periode Islam. Setelah tidak dikhawatirkan lagi akan terjadi
campur aduk al‐Qur'an dan hadits, maka penulisan hadits diperkenankan.
Yang mendukung pendapat ini ialah hadits‐hadits yang mengizinkan penulisan setelah ada hadits
larangan, sebab Abu Hurairah masuk Islam pada tahun ketujuh, sedangkan kisah Abu Syah pada tahun
kedelapan hijriah. Masa Nabi telah berlalu dan jumlah orang yang menulis hadits tidak banyak tetapi
mereka selalu menghafalkan, kemudian hadits itu dihafalkan oleh orang banyak.
Penulisan hadits setelah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat
Setelah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat, para penulis hadits baik dari kalangan shahabat
maupun tabi’in banyak sekali. Sa’id bin Jubair selalu mendampingi dan mendengarkan hadits dari Ibnu
Abbas Radhiyallahu Anhuma, kemudian mencatatnya ketika dalam perjalanan. Setelah di rumah ia
menyalin hadits itu.
4 Miftahus Sunnah, halaman 18
Abdurrahman bin Abu Zunaid mendapat cerita dari ayahnya yang berkata, “Kami selalu menulis tentang
halal dan haram, dari Ibnu Syihab selalu mencatat segala yang didengarnya. Setelah menjadi orang
penting tahulah aku bahwa dia adalah yang paling mengerti”.
Demikian pula riwayat dari Hisyam bin ‘Urwah yang mendapat cerita dari ayahnya. Buku catatan ayahnya
terbakar ketika terjadi kekacauan negara di masa khalifah Yazid. Dia berkata, “Alangkah baiknya bila kitab‐
kitabku masih ada bersama keluarga dan hartaku”.
Umar bin al‐Khaththab Radhiyallahu anhu pernah ingin mengumpulkan dan menulis hadits. Beliau
bermusyawarah dengan para shahabat Rasul lainnya dan mereka menyetujui ide tersebut. Kemudian
Umar beristikharah selama sebulan namun rupanya Allah belum menghendakinya.
Pembukuan hadits secara umum
Pada abad pertama hijriah sebagian perawi mencatat hadits, sedangkan yang lain tidak menulisnya.
Dalam meriwayatkan mereka hanya berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan seperti
ini berlangsung sampai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz Radhiyallahu Anhu. Dia memerintahkan
untuk mengumpulkan dan menulis hadits. Kemudian dibukukan. Hal ini disebabkan kekhawatiran beliau
akan sirnanya hadits bersama para penghafalnya yang banyak meninggal, dan khawatir akan membaurnya
hadits yang haq dengan yang palsu. Di masa itu wilayah negeri islam semakin luas. Agama Islam sudah
dipeluk oleh berbagai suku bangsa. Diantara mereka memang ada yang tulus memeluk Islam, namun ada
juga yang tidak. Disamping itu kelompok Zindik (Atheis) mulai bermunculan untuk menghancurkan agama
dengan cara membuat ajaran palsu, dan menyisipkan sesuatu yang bukan dari ajaran agama. Di masa itu
telah terjadi perselisihan politik, mahdzab dan golongan yang menyebabkan meluasnya hadits‐hadits
palsu untuk mendukung kepentingan masing‐masing.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz memegang pemerintahan di akhir abad pertama yakni tahun 99 H. Beliau
memerintahkan kepada seluruh pejabat dan ulama untuk mengumpulkan hadits. Imam Malik dalam kitab
al‐Muwatta' meriwayatkan, Umar bin Abdul Aziz menulis surat instruksi kepada Abu Bakar bin
Muhammad bin ‘Amr bin Hazm. Isi surat itu berbunyi:
Lihatlah dan telitilah hadits‐hadits Rasulullah , sunnahnya, hadits Umar dan lainnya, lalu tulislah, karena
aku takut atas hilangnya ilmu karena meninggalnya para ulama.
Disamping itu, beliau berpesan kepada Ibnu Hazm menulis hadits yang terdapat pada ‘Amarah binti
‘Abdurrahman dan al‐Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Pesan Umar ini diriwayatkan oleh al‐Bukhari
di dalam kitab Shahih‐nya.
Abu Nu’aim dalam Tarikh Asbihan meriwayatkan Umar bin Abdul Aziz mengirim surat ke beberapa daerah
yang berbunyi:
Lihatlah hadits Rasulullah , kemudian kumpulkan
Diantara ulama yang mendapat tugas membukukan hadits itu ialah imam Muhammad bin Muslim bin
Syihab az‐Zuhri.
Kegiatan para imam dalam membukukan hadits
Para ulama di setiap kota melaksanakan pembukuan hadits yang diinstruksikan oleh Umar bin Abdul Aziz.
Mereka mengumpulkan hadits dan sunnah, membahasnya, dan memisahkan hadits yang shahih dari yang
dhaif. Mereka tidak lagi mereka berdosa untuk menulis hadits. Dengan demikian, lenyaplah perselisihan
dan mereka sepakat menulis hadits. Karena pekerjaan ini dianggap sebagai kebaikan dan kewajiban bagi
orang‐orang tertentu sebagai perwujudan dari kewajiban menyampaikan ilmu5
Padahal masa itulah gerakan pembukuan hadits telah memasuki periode yang sangat menggembirakan.
Tugas ini dilakukan secara istimewa oleh para ulama yang terkenal kejujurannya, amanah, kesungguhan
dan ketelitiannya. Mereka selalu membawa alat tulis dan menjumpai ulama hadits untuk mendapatkan
hadits secara langsung. Mereka rela tidak tidur sepanjang malam, mengembara ke berbagai negeri. Dalam
pengembaraannya mencari ilmu dengan keterbatasan bekal dan sulitnya transportasi, mereka patut
dibanggakan dan menjadi ulama sepanjang masa.
Gelombang pembukuan hadits
Setelah generasi az‐Zuhri dan Abu Bakar bin Hazm, generasi berikutnya ikut membukukan hadits. Mereka
itu antara lain:
1. Abu Bakar Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, wafat tahun 150 H di Makkah
2. Maumar bin Rasyid, wafat tahun 153 di Yaman
3. Abu Amar Abdurrahman al‐Auza’i, wafat tahun 156 H di Syam
4. Sa’id bin Abi Urubah, wafat tahun 151 H di Basrah
5 Fathul Bari, jilid 1 halaman 165
5. Rabi bin Subaih, wafat tahun 160 H di Bashrah
6. Hammad bin Abi Salamah, wafat tahun 176 H di Bashrah
7. Muhammad bin Ishaq, wafat tahun 151 H di Madinah
8. Imam Malik bin Anas, wafat tahun 179 H di Madinah
9. Abu Abdullah Sufyan ats‐Tsauri, wafat tahun 161 H di Kufah
10. Abdullah bin Mubarak, wafat tahun 181 H di Khurasan
11. Husyaim bin Basyir, wafat tahun 188 H di Wasith
12. Jarir bin Abdul Hamid, wafat tahun 188 di Raih
13. Al‐Laits bin Sa’ad, wafat tahun 175 di Mesir
Metode pembukuan hadits pada masa itu masih bercampur antara hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam dengan perkataan shahabat dan fatwa tabi’in.
Sayang sekali karya dari periode ini tidak ada yang sampai ke kita selain al‐Muwatta' Imam Malik. Bahkan
sebagian naskah hadits itu hanya terdapat di beberapa perpustakaan Barat. Tragedi dan penyerangan keji
terhadap Islam oleh tentara Salib adalah penyebab utama hilangnya sebagian besar warisan ilmu Islam
yang tersimpan dalam buku‐buku tersebut, disamping itu karena pertikaian umat Islam itu sendiri.
Zaman keemasan pembukuan hadits (200‐330 H)
Kemudian terjadi langkah baru dalam pembukuan hadits yang berlangsung di penghujung abad kedua
hijriyah.
Para penghimpun hadits abad itu ada yang menyusun secara “Musnad”. Seperti hadits tentang shalat
ditempatkan berdampingan dengan hadits zakat dan hadits jual beli. Jadi yang dijadikan patokan dalam
penyusunan hadits itu adalah kelompok shahabat.
Metode ini mengklasifikasikan shahabat berdasarkan kronologi keislamannya, dengan urutan sebagai
berikut:
1. ‘Asyratul Munasysyarina bil jannah (sepuluh shahabat ahli surga)
2. Ahlul Badar
3. Ahlu Hudaibiyah
4. Orang yang masuk Islam dan berhijrah diantara masa Hudaibiyah dan penaklukan kota Makkah
5. Orang yang masuk Islam pada hari penaklukan Makkah
6. Shahabat yang masih berusia muda (kecil) di masa Nabi
7. perawi wanita
ulama terbaik yang menyusun hadits dengan metode ini dimasa itu adalah imam Ahmad bin Hanbal dalam
kitab musnad‐nya.
Diantara mereka ada yang menyusun huruf abjad nama shahabat. Mereka memulai dengan shahabat
yang huruf pertama namanya “alif”, “ba” dan seterusnya. Pengarang terbaik dalam cara ini di masa lalu
itu adalah Imam ath‐Thabrani (wafat tahun 360 H) dalam kitabnya “Mu’jam al‐Kabir”. Ulama lain yang
menyusun dengan metode ini ialah Ishaq bin Rahawaih (wafat tahun 328 H), Utsman bin Abi Syaibah
(wafat tahun 239 H), dan banyak lagi yang lainnya.
Di masa itu ada pula yang mengarang kitab hadits dengan sistematika bab‐bab fiqih mulai dari kitab
shalat, zakat, siyam (shaum), haji, buyu, dan seterusnya. Diantara penulis yang mengikuti cara ini adalah:
1. Orang yang hanya mengumpulkan hadits shahih saja seperti Imam al‐Bukhari dan Imam Muslim
2. Disamping memuat hadits shahih, juga memasukkan hadits hasan, bahkan hadits dhaif sekalipun.
Terkadang mereka menerangkan derajat haditsnya, dan kadangkala tidak menjelaskannya,
namun sanadnya ditulis lengkap, dan menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk meneliti
sanad dan matannya, serta untuk membedakan antara hadits shahih, hasan dan dhaif.
Membedakan ini bukanlah pelajaran yang sulit bagi pelajar hadits, terutama bagi ulamanya. Kitab
hadits yang disusun dengan sistem seperti ini dilakukan oleh penghimpun as‐Sunan al‐Arba‐ah
(empat kitab sunan): Abu Dawud,at‐Tirmidzi, an‐Nasa'i dan Ibnu Majah.
Di abad ketiga hijriyah itulah merupakan zaman keemasan sejarah dan pengumpulan hadits. Pada abad
itu muncul sejumlah ulama dan kritikus hadits terkemuka. Pada masa itu pula, terbitlah “Kutubus Sittah”
dan kitab semisal yang memuat hampir seluruh hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang menjadi
pegangan utama bagi para ulama fiqih, mujtahid, dan penulis lainnya. Sastrawan, ahli pendidikan,
psikolog, dan sosiolog mendapatkan apa yang mereka perlukan dari kitab tersebut.
Pembahasan hadits di masa keemasan itu, kami batasi hanya dengan mengkaji “Kutubus Sittah” (enam
kitab hadits). Karena kitab itulah yang sudah sangat terkenal, serta mendapat perhatian daari ulama
sepanjang masa disegala penjuru dunia. Walaupun sebenarnya cukup banyak kitab hadits lain yang perlu
dikaji. Siapa saja yang ingin mendalami hendaklah membaca buku Kasyfuz Zunun fi Asmail ‘Ulum wa
Funun6, niscaya ia akan mengetahui puluhan kitab sejarah dan mu’jam yang pembahasannya amat luas
yang ditulis pada abad itu.
6 Miftahus Sunnah, halaman 33‐34
Perjalanan mencari lmu dan hadits
Salah satu keistimewaan para ulama terutama ulama hadits ialah melakukan perjalanan mengikuti
perjalanan para shahabat dan tabi’in. Apabila mereka menerima sebuah hadits melalui sanad yang dapat
dipercaya, mereka belum puas, dan melakukan perjalan berhari‐hari, bahkan berbulan‐bulan untuk
mendapatkan hadits itu secara langsung dari orang yang meriwayatkannya tanpa melalui perantara.
Dalam Shahih al‐Bukhari dijelaskan, Jabir bin Abdullah al‐Anshari menempuh perjalanan sebulan untuk
menemui Abdullah bin Unais al‐Juhani, hanya untuk mendapatkan sebuah hadits. Dia juga menjumpai
gubernur Mesir, Maslamah bin Mukhlad untuk sebuah hadits. Begitu pula, seorang tokoh kenamaan Abu
Ayyub al‐Anshari menemui ‘Uqbah bin Amir hanya untuk mendengarkan sebuah hadits7.
Para tabi’in dan ulama hadits sesudahnya melakukan perjalanan seperti pendahulunya untuk
mendapatkan hadits. Al‐Khathib al‐Baghdadi meriwayatkan bahwa Ubaidullah bin Adyi mengatakan, “Aku
mendapatkan sebuah hadits yang berasal dari Ali. Aku khawatir bila ia meninggal sebelum aku
mendapatkannya dari orang lain. Oleh karena itu aku mengunjunginya di Irak”.
Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id, dari Sa’id bin al‐Musayyib, ia berkata, “Aku pernah
berjalan beberapa hari untuk mencari sebuah hadits”. Begitu pula al‐Khathib meriwayatkan dari Abu
Aliyah yang berkata, “Kami mendengar dari para shahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Kami
tidak puas sehingga kami pergi menghadap mereka dan mendengar langsung dari mereka”.
As‐Sya’bi membahas masalah yang difatwakannya, “Kami memberikan fatwa ini kepadamu tanpa jerih
payah apa‐apa. Padahal untuk mendapatkannya harus pergi ke Madinah”. Ad‐Damiri meriwayatkan
dengan sanad yang shahih dari Bisri bin Abdillah, ia berkata, “Aku telah bersusah payah pergi ke beberapa
kota untuk mendapatkan sebuah hadits”. Abu Qilabah pernah berkata, “Aku pernah tinggal di Madinah
selama tiga hari hanya untuk mendengarkan sebuah hadits yang terdapat pada seseorang”.
Seseorang pernah bertanya kepada Imam Ahmad, “seorang yang mencari ilmu, apakah harus belajar
terus‐menerus kepada seorang guru yang banyak ilmu ataukah berpindah‐pindah?” Beliau menjawab,
“Sebaiknya ia mengembara untuk mencatat hadits dari para ulama yang tersebar di beberapa kota”.
Dalam Tazkiratul Huffaz, imam adz‐Dzahabi menceritakan perkataan Abu Hati ar‐Razi, “Pertama kali aku
memasuki Bahrain dan menetap selama tujuh tahun, dan aku berjalan kaki sejauh lebih dari seribu
7 Fathul Bari, jilid 1 halaman 141‐142
farsakh (kurang lebih 8.000 km). Aku pergi dari Bahrain ke Mesir dengan berjalan kaki, begitu pula aku
pergi ke Ramlah, lalu ke Tarsus. Perjalananku ini menghabiskan waktu dua puluh tahun”.
Abu Hatim ini adalah salah satu dari ribuan ulama hadits yang telah menempuh perjalanan panjang untuk
memperoleh hadits dan meneliti perawinya. Ulama yang mengadakan lawatan itu antara lain imam al‐
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at‐Tirmidzi, an‐Nasa'i, dan Ibnu Majah. Diantara mereka banyak yang tidak
pernah menikmati istirahat dan menetap sepanjang hayatnya.
Atas dasar itu semua, para ulama terutama ahli haditsnya telah mengukir sejarah perjalanan mencari ilmu
dan penelitian. Padahal bekal yang mereka miliki sangat minim, dan sarana komunikasi amat sulit. Oleh
karena itu, kedudukan mereka berada di urutan terdepan dan sebagai ulama yang abadi.
Ironisnya, sikap generasi sekarang ini sangat mengagumi perjalanan orang‐orang asing secara
berlebihan. Mereka tidak mengetahui bahwa para pendahulu mereka telah mengukir sejarah
perjalanannya secara spektakuler dan menjadi kebanggaan bagi masyarakat ilmiah.
Keistimewaan periwayatan dalam Islam
Meskipun periwayatan bukan hal yang baru, dan telah dikenal sebelum Islam, tetapi periwayatan sebelum
Islam tidak menganggap penting terhadap kebenaran ceritanya, penyelidikan keadaan para perawinya
dan kebenaran cerita itu dengan fakta yang sebenarnya. Mereka tidak memiliki sikap kritis, pembahas,
penilai, dan penyaring segala yang diriwayatkan seperti yang dimiliki oleh Islam. Yang mereka riwayatkan
itu tidak mengandung nilai‐nilai suci yang harus diagungkan. Oleh karena itu, dapat kita temukan banyak
dongengan bohong yang terdapat dalam kitab mereka yang hanya untuk memuaskan perasaan sebagai
hiburan atau untuk membangkitkan semangat perjuangan dan keberanian dalam pertempuran.
Adapun para perawi Islam, mereka sangat menyadari bahwa semua hukum syara’, halal dan haram itu
harus berdasarkan kepada al‐Qur'an dan as‐Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Mereka
mengetahui bahwa mempermudah menambah sesuatu dalam agama, sama dengan menambah dan
mengurangi sesuatu dalam agama.
Al‐Qur'an yang diriwayatkan secara mutawatir8, telah dijamin kemurniaannya, melahirkan keyakinan dan
kepastian. Karena di dalamnya sama sekali tidak ada yang meragukan. Sudah seharusnya para perawi
meneliti dengan sungguh‐sungguh kebenaran hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam.
8 Mutawatir, adalah suatu hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak, sehingga mustahil mereka bersepakat untuk berdusta
Maka dari itu, para perawi memperketat dan menetapkan syarat‐syarat bagi periwayatan, dasar‐dasar
dan kaidahnya yang menjadi ketentuan dalam ilmu naqid (kritik) baik di masa lalu maupun di masa kini.
Perhatian terhadap kebenaran riwayat, meneliti dan mengkritiknya, baik sanad maupun matannya adalah
ciri khas yang hanya terdapat dalam sistem periwayatan dalam Islam.
Ibnu Hazem di dalam al‐Milal wal Nihal berkata, “Riwayat orang terpercaya dari orang yang terpercaya
sampai kepada Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam dengan sanad yang bersambung, adalah
anugerah dari Allah yang dikhususkan bagi umat Islam, dan tidak diberikan kepada umat lain”.
Riwayat yang mursal9 dan mu’dal10 banyak terdapat pada kitab agama Yahudi. Mereka tidak dekat dengan
Musa, sebagaimana kita dekat dengan Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Jarak penulisan
yang dilakukan oleh mereka dengan Nabi Musa lebih dari 1.500 tahun. Periwayatan mereka hanya
berputar pada cerita khayal seperti Samson, Dalilah dan semacamnya.
Bagitu pula agama Kristen, tidak memiliki riwayat yang sampai kepada Nabi Isa (Yesus). Pokoknya dalam
kitab agama Yahudi dan Kristen, periwayatannya ditulis oleh orang‐orang pendusta atau tidak dikenal.
Demikianlah penjelasan dari ilmuwan atau pakar di bidang perbandingan agama dan kepercayaan, serta
perbandingan mahdzab.
Islam menganjurkan ketelitian dalam periwayatan
Islam mengajak umatnya agar mengetahui kebenaran, mencari dan meneliti setiap yang didengar dan
dilihatnya, sebagaimana yang telah diingatkan oleh Allah dan Rasul‐Nya. Allah berfirman:
Hai orang‐orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (Q.S. al‐Hujurat: 6) .
9 Mursal, adalah suatu hadits yang gugur rawinya di akhir sanad
10 Mu’dal adalah hadits yang gugur rawinya dua orang atau lebih berturut‐turut
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya
(Q.S. al‐Israa’: 36).
Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan agar kita tidak berdusta secara
umum, dan khususnya tidak berdusta atas nama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dalam hadits
mutawatir yang diriwayatkan oleh al‐Bukhari, Muslim, dan lainnya, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
Berbohong atas namaku tidak seperti berbohong atas nama orang lain. Barangsiapa yang sengaja
berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempatnya di neraka. (HR. Al‐Bukhari dan Muslim)
Barangsiapa yang meriwayatkan suatu hadits yang diketahui kebohongannya, maka ia termasuk juga
salah seorang yang berdusta (HR. Muslim)
Patutlah ia disebut pendusta, orang yang menceritakan segala yang didengarnya (HR. Muslim)
Ketelitian merupakan di masa shahabat
Khulafaur Rasyidin Abu Bakar dan Umar bin al‐Khaththab Radhiyallahu anhum sangat hati‐hati dalam
menerima hadits. Beliau meneliti hadits dan perawinya, serta meminta kesaksian dari orang lain atas
kebenaran hadits tersebut. Demikian juga jika seseorang menceritakan hadits kepada Ali Radhiyallahu
Anhu maka beliau meminta sumpah orang itu. Jika berani bersumpah barulah Ali bin Abi Thalib mau
menerimanya. Beliau berkata:
Ceritakanlah apa yang mereka ketahui, dan tinggalkanlah apa yang mereka ingkari. Senangkah engkau
apabila Allah dan Rasul‐Nya didustakan?11
Shahabat lainnya juga mengikuti jejak Khulafaur‐Rasyidin dalam menerima hadits. Abdullah bin Mas’ud
berkata:
Berdosa orang yang selalu memberitakan segala yang didengarnya
Janganlah engkau menceritakan kepada suatu kaum dengan hadits yang tidak terjangkau oleh akal
mereka karena akan menimbulkan fitnah bagi sebagian mereka 12
Itulah anjuran untuk mencari yang hak dan benar, serta memilih sesuatu yang sesuai dengan keadaan
para pendengarnya. Dan metode ini merupakan dasar utama pendidikan yang benar, yang telah diajarkan
Islam sejak 14 abad yang lalu.
Ketelitian meriwayatkan di masa tabi’in dan sesudahnya
Para tabi’in dan generasi sesudahnya sangat berhati‐hati dan teliti terhadap hadits dan perawinya. Dalam
shahih Muslim, Ibnu Sirin berkata:
Ilmu hadits ini adalah agama, maka telitilah orang yang kamu ambil ajaran agama itu
Sufyan ats‐Tsauri berkata:
Sanad hadits adalah senjata orang mukmin
11 Tazkiratul Huffaz, jilid 1 halaman 4,6,10 dan 12
12 Ibid, halaman 15
Abdullah bin Mubarak berkata:
Sanad itu ketentuan agama. Seandainya tidak ada sanad niscaya orang berbicara seenaknya
Imam Syafi’i berkata:
Perumpamaan orang yang mencari hadits tanpa sanad bagaikan pencari kayu bakar di malam hari
Pernyataan diatas menunjukkan perhatian dan kejelian terhadap sanad‐sanad hadits, mengkritik serta
menerangkan keadaan perawinya. Allah telah mempersiapkan ulama yang meneliti dan mendalami hadits
di setiap zaman, yang melindungi hadits dari perubahan yang dilakukan oleh orang sesat, penyimpangan
yang dilakukan oleh pengkhianat, dan pentakwilan orang‐orang jahil. Bila tidak, niscaya kaum Atheis dan
musuh Islam mendapat kesempatan untuk menghancurkan agama dan menyisipkan ajaran sesat ke dalam
agamanya.
Pengumpulan dan kritikan dilakukan secara bersama
Para ulama hadits sangat hati‐hati di dalam menerima hadits. Mereka berijtihad untuk menentukan
kebenaran setiap hadits, bahkan setiap huruf. Mengkritik ihwal perawi dan marwi serta sangat hati‐hati
dalam penukilan. Oleh karena itu mereka akan menetapkan dhaif terhadap suatu hadits hanya karena
riwayat perawinya kabur, yang dapat mempengaruhi kejujurannya. Apabila mereka meragukan
kejujurannya dan mengetahui bahwa perawi tersebut pernah bohong meskipun sekali saja, maka mereka
akan mencampakkan periwayatannya. Dan hadits yang diriwayatkannya disebut maudlu (palsu),
walaupun sebenarnya dia belum pernah bohong dalam hadits. Padahal mereka mengetahui bahwa
pendusta itu terkadang berkata benar.
Demikian pula mereka menyelidiki hafalan setiap perawi dengan cara membandingkan riwayat yang satu
dengan riwayat lainnya. Apabila mereka menemukan bukti kelemahan perawi tersebut maka mereka
menilai lemah (dhaif) dan meninggalkannya, meskipun pribadi dan kejujurannya tidak tercela, karena
dikhawatirkan kerusakan hafalan haditsnya.
Dalam bidang kritik sanad (an naqd al‐Kharij) umat Islam telah mencapai puncaknya. Mereka juga
meneliti kebenaran matan haditsnya (an naqd ad‐Dahili) untuk menentukan munkar atau maudlu
terhadap hadits yang bertentangan dengan akal sehat, indera, al‐Qur'an, sunnah mutawatir atau yang
masyhur, dan pertentangan tersebut tidak bisa dikompromikan. Diantara kaidah yang dicetuskan oleh
mereka adalah:
Apabila kamu melihat hadits yang bertentangan dengan akal sehat, menyalahi al‐Qur'an atau
bertentangan dengan ushul, maka ketahuilah hadits itu adalah maudlu (palsu)
Para ulama telah membuat kaidah dan dasar‐dasar untuk mengkritik hadits, untuk mengetahui mana yang
maqbul (bisa diterima) dan yang mardud (yang ditolak). Untuk merealisasikan kaidah tersebut, mereka
mengusahakan semaksimal mungkin demi menjaga kemurnian agama dan syariat, dan menjaga agar
agama Islam tidak disusupi oleh ajaran lain. Kaidah yang telah dirumuskan mereka adalah sudah tepat,
paling baik dan paling lengkap. Jika ada yang menentang kaidah itu atau mencelanya, berarti dia tidak
mengetahui proses penelitian dan tidak berdasarkan pada bukti nyata, melainkan dari kebodohan dan
mengikuti hawa nafsu.
Keadaan politik pada abad ketiga Hijriyah
Sepertiga terakhir dari masa dinasti Abbasiyah yang pertama (132‐232 H) adalah masa kejayaan para
khalifah. Mereka mampu mengatur pemerintahan dan politik negara dengan baik, dan tidak membiarkan
unsur‐unsur asing, baik dari bangsa Persia maupun lainnya, ikut campur dalam pemerintahan dan politik
negara.
Pada akhirnya para khalifah mulai melemah, bangsa Persia, Turki dan Kurdi mendominasi pemerintahan.
Bahkan mereka mulai merongrong kekuasaan khalifah, pemecatan dan pembalasan dendam terhadap
mereka. Gejala ini semakin tampak dengan adanya pemberontakan, sebagian gubernur, dan muncullah
dinasti‐dinasti kecil yang melepaskan diri dari pemerintahan pusat untuk membentuk negara sendiri.
Keadaan sosial pada abad itu
Pada abad itu wilayah Islam mulai meluas. Berbagai suku bangsa dan rajanya memeluk Islam. Sedangkan
yang masih bertahan dengan agamanya yang dulu, hidup berbaur dengan kaum muslimin dengan
mengikuti kebudayaan Islam. Baik yang sudah memeluk Islam maupun yang belum, semuanya
mempelajari dan menguasai bahasa Arab. Mereka menulis dan mengarang dengan bahasa Arab,
kebudayaan dan peradaban mereka berpadu dengan peradaban Islam, sehingga kebudayaan Islam
memperoleh keuntungan yang sangat besar. Ternyata lambat laun kehidupan Islam mulai melemah,
diganti dengan kefanatikan bangsa Arab, dan muncullah pola kehidupan baru yang sebelumnya tidak
dikenal. Masalah ini menimbulkan problema baru yang mendorong para ulama untuk berfikir, mengkaji
dan menjelaskan dengan hukum syara’ terhadapnya.
Ilmu pengetahuan pada abad itu
Penulisan buku ilmu pengetahuan sudah dirintis sejak abad kedua Hijriyah. Pada abad ketiga, gerakan
pembukuan itu mengalami perkembangan yang pesat, bahkan sebagian ilmu seperti hadits mencapai
puncak pada akhir abad ini. Di abad ini pula diadakan diversifikasi ilmu pengetahuan, yang membedakan
ilmu yang satu dengan lainnya. Maka lahirlah berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti tafsir, hadits,
fiqih, bahasa, sastra, dan lain sebagainya.
Pada abad ini, kitab‐kitab berbagai disiplin ilmu mulai bermunculan. Filsafat, kedokteran, astronomi,
logika, matematika dan sebagainya berkembang pesat. Buku‐buku Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Ulama Arab menekuni ilmu itu sebagai tambahan ilmu yang sudah mereka miliki sehingga mereka
berjasa mewariskan minuman segar ilmu pengetahuan.
Demikianlah kita melihat bahwa abad itu merupakan zaman keemasan ilmu pengetahuan, terutama
pengumpulan hadits dan pembukuannya. Kelesuan politik yang menimpa pemerintahan Islam bukanlah
menjadi rintangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan para ulama terus berjalan mewujudkan
cita‐citanya yang luhur, tanpa menghiraukan situasi politik pada masa itu.
Pembahasan selanjutnya adalah menelusuri riwayat para penulis kutubus Sittah dan kitab‐kitabnya yang
termasyhur dan yang telah menunjukkan bobot ilmiahnya.
Wabillahit taufiq...
IMAM BUKHARI (194‐256 H/810‐870 M)
RIWAYAT IMAM AL‐BUKHARI
Silsilahnya
Beliau adalah Amirul Mukminin dalam hadits, dia bernama Abu Abdullah Muhammad ibnu Ismail ibn
Ibrahim ibn al‐Mughirah ibnu Bardizbah. Kakeknya yang bernama Bardizbah ini beragama Majusi, agama
kaumnya. Puteranya yang bernama Mughirah memeluk Islam dibawah bimbingan Yaman al‐Ju’fi,
gubernur Bukhara13, sehingga dia dipanggil Mughirah al‐Ju’fi.
Sedangkan riwayat kakeknya, Ibrahim, tidak jelas. Namun ayahnya yang bernama Ismail adalah ulama
besar di bidang hadits. Ia belajar hadits dari Hammad ibn Zayd dan Imam Malik. Hadits‐haditsnya
diriwayatkan oleh orang Irak. Riwayat hidupnya ditulis oleh Ibnu Hibban dalam kitab as‐Siqah. Begitu juga
puteranya, imam al‐Bukhari menulis riwayatnya dalam at Tarikh al‐Kabir.
Ayah imam al‐Bukhari adalah seorang yang alim, wara’, dan taqwa. Menjelang wafatnya, beliau berkata:
“Di dalam hartaku tidak terdapat uang yang haram atau yang subhat sedikitpun”. Dengan demikian,
jelaslah bahwa imam al‐Bukhari hidup dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara’.
Tidak heran bila dia mewarisi sifat‐sifat mulia dari ayahnya.
Kelahirannya
Imam al‐Bukhari dilahirkan di Bukhara setelah shalat Jum’at, 13 Syawal 194 H. Ayahnya meninggal ketika
beliau masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang cukup untuk hidup dengan baik dan terhormat.
Dia dibina dan dididik oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian. Sejak kecil, ia selalu mendapatkan
lindungan dan bimbingan Allah. Ada riwayat yang mengatakan bahwa pada waktu kecil, matanya tidak
bisa melihat. Ibunya sangat sedih karenanya, dan selalu berdoa untuk kesembuhannya. Lalu dia bermimpi
bertemu dengan Nabi Ibrahim Alaihis Salam yang berkata: “Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan
penyakit mata anakmu karena doamu”. Esok harinya sang ibu melihat mata anaknya sudah bercahaya.
Maka duka hati ibu berganti dengan kegembiraan.
Kecerdasan dan Keunggulannya
Kecerdasan imam al‐Bukhari sudah tampak sejak kecil. Allah menganugerahi daya hafalan yang sangat
kuat, jiwa yang cemerlang. Ketika berusia sepuluh tahun, beliau sudah banyak menghafal hadits.
13 Bukhara adalah nama sebuah kota yang berada di negeri Rusia
Kemudian dia menemui para ulama dan imam di negerinya untuk belajar hadits, bertukar fikiran dan
berdiskusi dengan mereka. Sebelum berusia enam belas tahun, dia sudah hafal kitab Ibnu Mubarak dan
Waki’, serta memahami pendapat ahlu ra’yi (rasionalis), ushul dan mahdzab mereka.
Perjalanan ke Makkah dan Madinah
Pada tahun 210 H, imam al‐Bukhari bersama ibunya dan saudaranya pergi ke Baitullah untuk menunaikan
ibadah Haji. Kemudian saudaranya yang berusia lebih tua dari dia pulang ke Bukhara. Sedangkan dia
memilih tinggal di Makkah, salah satu tempat pusat menimba ilmu di Hijaz. Di kota itulah dia menempa
diri untuk mereguk ilmu yang diinginkan. Kadangkala dia pergi ke Madinah. Di kedua kota suci itulah dia
menulis sebagian karyanya dan menyusun dasar‐dasar Jami’ush Shahih.
Beliau menulis Tarikh Kabir di sisi makam Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan sering menulis di
malam hari di bawah terang bulan. Dan mengarang tiga kitab Tarikh ash‐Shaghir (yang kecil), al‐Ausath
(yang sedang) dan al‐Kabir (yang besar). Ketiga buku itu menunjukkan kemampuannya yang luar biasa
mengenai rijalul hadits. Sehingga dia pernah berkata, “Sedikit sekali yang belum aku ketahui riwayat
orang‐orang yang kutulis dalam tarikh itu”.
Lawatannya ke Berbagai Negeri
Imam al‐Bukhari telah melakukan perjalanan ke berbagai negeri dan hampir seluruh negeri Islam
disinggahinya. Beliau pernah berkata, “Saya telah pergi ke Syam, Mesir, Jazirah dua kali, Basrah empat
kali, dan saya bermukim di Hijaz selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya pergi ke
Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama hadits.
Baghdad pada waktu itu ibukota dinasti Abbasiyyah, adalah gudang ilmu pengetahuan dan ulama. Di
negeri itu beliau sering menemui Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad menganjurkan untuk tinggal di
Baghdad, dan melarangnya tinggal di Khurasan.
Dalam setiap perjalanannya, imam al‐Bukhari selalu mengumpulkan dan menulis hadits. Di tengah malam
beliau bangun menyalakan lampu dan menulis setiap yang terlintas di benaknya, kemudian lampu
dimatikan. Hal ini kurang lebih dilakukan duapuluh kali setiap malam. Begitulah aktivitas imam al‐Bukhari,
seluruh hidupnya dicurahkan untuk ilmu pengetahuan.
Ketegangan antara Al‐Bukhari dan Zuhali
Pada tahun 250 H, imam al‐Bukhari mengunjungi Naisabur, dan penduduknya menyambut gembira atas
kedatangannya, termasuk ulama besar az‐Zuhali beserta ulama lainnya. Muslim meriwayatkan, ketika
Muhammad bin Ismail tiba di Naisabur, aku belum pernah melihat seorang gubernur beserta seluruh
ulama daerah itu memberikan sambutan seperti yang mereka berikan kepada al‐Bukhari. Mereka
menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (88 atau 132 kilometer).
Az‐Zuhali berkata: “Barangsiapa yang ingin menyambut Muhammad bin Ismail besok, hendaklah ia
menyambutnya, sebab aku juga ikut menyambutnya”. Pagi harinya, Muhammad bin Yahya az‐Zuhali
beserta seluruh ulama Naisabur menyambut kedatangan imam al‐Bukhari. Beliau pun memasuki negeri
itu dan tinggal di perkampungan orang‐orang Bukhara. Selama menetap di negeri itu, Al‐Bukhari mengajar
hadits. Az‐Zuhali menganjurkan para penduduk agar belajar kepada al‐Bukhari. Dia berkata, “Pergilah
kalian kepada orang shaleh dan alim itu, dan belajarlah kepadanya”.
Fitnah
Sebagian orang yang meras iri menghembuskan angin fitnah dengan menuduh al‐Bukhari berkata, “Al‐
Qur’an itu maghluk”, sehingga menimbulkan kemarahan gurunya az‐Zuhali kepadanya. Dia berkata,
“Barangsiapa berpendapat bahwa lafazh al‐Qur’an itu adalah maghluk, maka dia adalah ahli bid’ah, ia
tidak boleh ditemui dan majelisnya tidak boleh dikunjungi. Setiap yang datang kepadanya hendaklah
dicurigai”. Akibatnya orang‐orang mulai menjauhinya, kecuali Muslim dan Ahmad bin Salamah. Az‐Zuhali
memperingatkan, “Siapa yang berpendapat bahwa al‐Qur’an itu maghluk, tidak boleh menghadiri majelis
kami”. Rupanya perkataan itu ditujukan kepada Muslim yang masih sering mendatangi al‐Bukhari.
Mendengar ucapan seperti itu, Muslim mengambil selendangnya dan meninggalkan majelis az‐Zuhali,
disaksikan oleh murid‐murid lainnya. Kemudian ia mengirimkan catatan pelajaran yang diterimanya dari
az‐Zuhali.
Al‐Bukhari Bebas dari Tuduhan
Sebenarnya imam al‐Bukhari bebas dari tuduhan itu. Ada satu riwayat yang mengatakan, seorang lelaki
berdiri di hadapannya lalu bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang lafazh al‐Qur’an, maghluk atau
bukan?” Al‐Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak menjawabnya, meskipun orang itu sudah bertanya
tiga kali. Orang itu terus mendesaknya, akhirnya al‐Bukhari menjawab, “Al‐Qur’an itu firman Allah, bukan
maghluk. Perbuatan manusia adalah maghluk dan fitnah adalah bid’ah”. Yang dimaksud dengan
“perbuatan maghluk” adalah “bacaan atau ucapan maghluk”. Pendapat yang dikatakan oleh al‐Bukhari itu
adalah pendapat para ulama salaf mengenai perbedaan antara “Bacaan” dan “yang dibaca”. Tetapi karena
sudah dirasuki oleh perasaan benci dan iri, membuat mereka buta dan tuli.
Sebuah riwayat menceritakan al‐Bukhari pernah berkata, “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa
bertambah atau berkurang. Al‐Qur’an adalah Kalam Allah, bukan maghluk. Shahabat utama Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Dengan berpegang pada keyakinan
dan keimanan inilah aku hidup, mati dan dibangkitkan kembali, Insya Allah”.
Beliau juga pernah berkata: “Barangsiapa yang menuduhku berpendapat bahwa lafazh al‐Qur’an itu
adalah maghluk, maka dia adalah pendusta”.
Maka az‐Zuhali bertambah marah kepadanya, dan berkata, “Orang itu tidak boleh tinggal bersamaku di
negeri ini”. Lalu al‐Bukhari berpendapat, keluar dari negeri ini adalah lebih baik baginya, demi menjaga
nama baik dan meredakan fitnah yang menimpanya. Dan beliau pun keluar dari negeri itu.
Pulang ke Bukhara
Setelah keluar dari Naisabur, al‐Bukhari pulang ke negerinya sendiri, Bukhara. Masyarakat negeri itu
memeriahkan kedatangannya dan mendirikan tenda‐tenda sejauh tiga mil dari kota. Seluruh rakyat
menyambutnya dengan menabur uang dinar dan dirham sebagai ungkapan rasa kegembiraan mereka.
Selama tinggal di negerinya sendiri, beliau mengadakan pengajian dan pengajaran hadits.
Namun fitnah berhembus lagi menimpa dirinya. Penguasa Bukhara Khalid bin Muhammad az‐Zuhali
mengirimkan utusan kepada Imam al‐Bukhari, agar ia mengirimkan dua buah karangannya al‐Jami’ush
Shahih dan Tarikh. Namun beliau keberatan memenuhi permintaan itu. Melalui delegasi itu, ia berpesan
kepada Khalid, “Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke istana. Jika sikap ini tidak
berkenan di hati tuan, engkau adalah raja dan berkuasa melarang saya untuk mengajar. Agar di hari
kiamat nanti, aku mempunyai alasan di sisi Allah bahwa sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu”.
Mendengar jawaban seperti itu, raja marah dan berusaha mencari alasan yang dapat mengeluarkan al‐
Bukhari dari negerinya, dengan membuat fitnah yang dapat menyudutkan beliau. Akhirnya imam al‐
Bukhari diusir dari negeri itu.
Imam al‐Bukhari mendoakan tidak baik terhadap Khalid yang telah mengusirnya secara tidak sah. Kurang
dari sebulan kemudian, Ibnu Tahir menjatuhi hukuman kepada Khalid. Dia dipermalukan di muka umum
dengan menunggang keledai betina, dia dihina dan dipenjara.
Imam Al‐Bukhari Wafat
Penduduk Samarkand memohon kepada imam al‐Bukhari agar menetap di negeri mereka. Beliau pergi
untuk memenuhi keinginan itu. Ketika sampai di Khartand – desa kecil yang terletak enam mil dari kota
Samarkand, beliau singgah di kota itu, untuk mengunjungi saudaranya yang masih hidup di daerah itu. Di
desa itu, imam al‐Bukhari jatuh sakit dan menemui ajalnya.
Beliau wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H (31 Agustus 870 M) dalam usia 62 tahun kurang 13 hari.
Sebelum wafat, beliau berpesan agar jenazahnya dikafani tiga helai, tanpa baju dan sorban. Jenazahnya
dimakamkan setelah zhuhur di hari idul fitri itu. Dia telah menempuh perjalanan hidup yang panjang
dihiasi amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha‐Nya kepadanya.
Guru Imam Al‐Bukhari
Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, imam al‐Bukhari bertemu dengan guru‐guru terkemuka yang
dapat dipercaya. Beliau mengatakan, “Aku menulis hadits dari 1.080 guru, yang semuanya adalah ahli
hadits dan berpendirian bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan”. Diantara para guru itu adalah Ali
bin al‐Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf al‐Firyabi, Maki bin Ibrahim al‐
Balkhi, Muhammad bin Yusuf al‐Baykandi dan Ibnu Rahawaih. Jumlah guru yang haditsnya diriwayatkan
dalam kitab Shahihnya sebanyak 289 guru.
Murid‐Murid Imam Al‐Bukhari
Orang yang meriwayatkan hadits dari imam al‐Bukhari tidak terhitung jumlahnya, sehingga ada yang
berpendapat ada sekitar 90.000 orang yang mendengar langsung dari imam al‐Bukhari. Diantara sekian
banyak muridnya yang paling menonjol ilaha Muslim bin Hajjaj, at‐Tirmidzi, an‐Nasa'i, Ibnu Khuzaimah,
Ibnu Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf al‐Firyabi, Ibrahim bin Mi’yal al‐Nasafi, Hammad bin Syakir al‐
Nasawi dan Manshur ibn Muhammad al‐Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini adalah perawi shahih al‐
Bukhari yang termasyhur.
Al‐Bukhari Dikarunia Kekuatan Hafalan dan Kecerdasan Luar Biasa
Kekuatan hafalan, kecerdasan, pengetahuan tentang perawi hadits dan ilatnya yang terdapat pada al‐
Bukhari, merupakan salah satu tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT, Allah telah memeliharanya
dan para penghimpun hadits yang lainnya, untuk menghafal dan menjaga sunnah Nabi Muhammad
Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Imam al‐Bukhari berkata, “Saya hafal hadits di luar kepala sebanyak
100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih”.
Kekuatan hafalan imam Al‐Bukhari, keluasan pengetahuannya dan kecerdasannya sangat mengagumkan.
Ketika beliau tiba di Baghdad, ulama hadits berkumpul untuk menguji kemampuannya. Mereka
mencampur aduk dan memutar balik sanad dan matan 100 hadits. Matan hadits satu diberi sanad hadits
lainnya, dan sanad hadits yang satu diberi matan hadits lainnya. Sepuluh ulama tampil dengan masing‐
masing membawa sepuluh hadits yang sudah tidak karuan itu. Orang pertama mengajukan sepuluh
hadits, setelah selesai membacanya, imam al‐Bukhari mengatakan, “Saya tidak mengetahi hadits yang
anda baca tadi”. Sampai kepada penanya yang kesepuluh, imam al‐Bukhari tetap mengatakan seperti itu.
Hadirin yang tidak tahu, memastikan al‐Bukhari tidak akan mampu menjawabnya. Sedangkan para ulama
saling berkata, “Hebat benar orang ini”.
Setelah para penguji selesai membaca hadits‐hadits itu, imam al‐Bukhari melihat penanya pertama dan
berkata, “Hadits pertama tadi, yang benar isnadnya adalah begini”. Demikianlah imam al‐Bukhari
menjawab satu persatu dari sepuluh hadits itu. Lalu dia menoleh kepada penanya kedua sampai
kesepuluh. Dia menyebutkan hadits yang sudah diputarbalikkan itu, lalu membaca isnad dan matan hadits
yang sebenarnya tanpa ada kesalahan sedikitpun. Maka para ulama Baghdad menyatakan kekagumannya
atas kecerdasan dan hafalan imam al‐Bukhari serta memberi gelar kepadanya “Imam Hadits”.
Sebagian hadirin mengatakan, “Yang mengagumkan, bukanlah ia mampu menjawab secara benar,
melainkan bagaimana dia mampu menyebutkan hadits yang sanad dan matannya tidak karuan seperti
yang telah dibacakan sang penanya padahal dia hanya mendengar sekali saja”.
Imam al‐Bukhari pernah berkata, “Saya tidak akan meriwayatkan hadits yang kuterima dari shahabat dan
tabi’in sebelum aku mengetahui tanggal kelahiran, hari wafatnya dan tempat tinggalnya. Aku juga tidak
akan meriwayatkan hadits mauquf dari shahabat dan tabi’in kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam”.
Pujian Para Ulama
Karena keluasan ilmu dan kekuatan hafalannya, maka para guru, kawan dan generasi sesudahnya
memujinya. Seseorang pernah bertanya kepada Qutaibah bin Sa’id tentang imam al‐Bukhari, beliau
menjawab “Saya telah berjumpa dengan ahli hadits, ahli ra’yi, ahli fiqih, ahli ibadah dan orang zuhud.
Namun saya belum pernah bertemu dengan orang seperti Muhammad bin Ismail al‐Bukhari”.
Abu Bakar Ibnu Khuzaimah mengatakan “Dikolong langit ini tidak ada ahli hadits yang melebihi
Muhammad bin Ismail”. Abu Hatim ar‐Razi berkata, “Khurasan belum pernah melahirkan seorang yang
melebihi al‐Bukhari. Di Irak pun tidak ada yang melebihi dirinya”.
Al‐Hakim menceritakan dengan sanad lengkap bahwa Muslim yang menulis kitab Shahih Muslim, datang
dan mencium antara kedua mata al‐Bukhari dan berkata, “Guru, biarkan aku mencium kedua kakimu.
Engkaulah imam ahli hadits dan dokter penyakit hadits”. Sanjungan dari generasi sesudahnya cukup
diwakili oleh Ibnu Hajar al‐Asqalani yang berkata, “Seandainya pintu pujian dan sanjungan masih terbuka
bagi generasi sesudahnya, niscaya kertas dan nafas akan habis, karena ia bagaikan laut yang tidak
berpantai” 14.
Sifat dan Akhlak Imam Al‐Bukhari
Imam al‐Bukhari berbadan kurus,berperawakan sedang, kulitnya kecoklatan, makannya sedikit, pemalu,
pemurah, dan zuhud. Hartanya banyak disedekahkan baik secara terang‐terangan atau tersembunyi,
terutama untuk kepentingan pendidikan dan para pelajar. Beliau memberikan dana yang cukup besar
kepada para pelajar. Dia pernah berkata, “Sebulan penghasilan saya 500 dirham, semuanya untuk
kepentingan pendidikan, sebab yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan kekal”.
Imam al‐Bukhari sangat berhati‐hati dan sopan berbicara, terutama dalam mengkritik para perawi.
Terhadap perawi yang diketahui jelas kebohongannya, ia cukup mengatakan fiihi nadzoruun
(perlu dipertimbangkan), tarokuuhu (ahli hadits meninggalkannya), sakatuu ‘anhu
(mereka tidak menghiraukannya). Perkataan yang tegas terhadap perawi yang tercela adalah
munkarul hadiits (haditsnya diingkari).
Meskipun beliau sangat sopan dalam mengkritik perawi, namun ia meninggalkan hadits dari perawi yang
diragukan. Beliau berkata, “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
dipertimbangkan, dan juga meninggalkan hadits yang jumlahnya sama atau lebih karena menurut
pandanganku, perawinya perlu dipertimbangkan”.
Imam al‐Bukhari merupakan contoh yang sangat berhati‐hati dalam mengkritik perawi. Maka dari itu
wajarlah jika cara kritiknya diteladani.
Menghormati Ilmu
Imam al‐Bukhari memiliki jiwa mulia, terhormat, sangat membanggakan dan memuliakan ilmu, juga
senantiasa menjaga agar ilmunya tidak direndahkan dan tidak dibawa‐bawa ke tempat para penguasa.
Ketegangan yang terjadi antara dia dengan Gubernur Bukhara, Khalid bin Ahmad az‐Zuhali, karena beliau
menolak mengajar Khalid dan para puteranya. Sikap seperti ini merupakan sifat terpuji para ulama
rabbani yang tidak takut kecuali hanya kepada Allah, dan tidak mau mengajar karena mengharap
kemewahan dan kedudukan. Dalam sejarah Islam, banyak para ulama bersikap seperti itu, terutama pada
zaman keemasan Islam yang pertama.
14 Muqaddimah Fathul Bari, jilid 2 halaman 196‐202
Pandai Memanah
Imam al‐Bukhari pernah belajar memanah sampai mahir, sehingga ada yang mengatakan bahwa
sepanjang hidupnya hanya dua kali panahnya meleset dari sasaran. Karena dilandasi oleh hadits Rasul
yang menganjurkan kaum muslimin belajar memanah dan berperang. Tujuan al‐Bukhari belajar memanah
adalah untuk persiapan memerangi musuh Islam dan mempertahankan diri dari kejahatan mereka.
Sebaliknya, disamping dengan lisan, para ulama mempersiapkan diri untuk berjihad mempertahankan
Islam, sehingga apabila ada panggilan jihad, mereka menjadi pelopor pertama yang menghadapi musuh.
Dalam sejarah islam, banyak sekali ulama yang menjadi pelopor jihad, seperti ‘Izzudin bin Abdus Salam
dan Taqiyudin Ahmad ibn Taimiyah. Mereka mempunyai andil besar dalam mengobarkan semangat
berjihad untuk memilah yang hak dengan yang batil.
Karya‐Karya Imam Al‐Bukhari
Imam al‐Bukhari mempunyai karya tulis cukup banyak, antara lain:
1. al‐Jamu’us Shahih
2. Adabul Mufrad
3. At‐Tarikh ash‐Shaghir
4. At‐Tarikh al‐Ausath
5. At‐Tarikh al‐Kabir
6. At Tafsir al‐Kabir
7. al‐Musnad al‐Kabir
8. Kitabul I’lal
9. Raf’ul Yadain fis Salah
10. Birrul Walidain
11. Kitabul Asyribah
12. Al‐Qira’ah Khalfal Imam
13. Kitab ad‐Du’afa
14. Asami as‐Sahabah
15. Kitab al‐Kuna
Sebagian dari kitab tersebut sudah dicetak, sebagian lagi masih berupa tulisan tangan. Sebagian lagi
dikenal melalui sebagian ulama yang menukilnya15. Yang paling terkenal dan beredar luas sepanjang masa
adalah kitab Shahih al‐Bukhari atau Jami’us Shahih. Kitab ini akan diulas lebih lanjut dalam pembahasan
berikutnya.
KITAB JAMI’US SHAHIH
Para ulama sebelum al‐Bukhari tidak hanya mengumpulkan hadits‐hadits shahih saja, tetapi mereka
menghimpun hadits shahih, hasan, dan dhoif. Untuk membedakan ketiga hadits tersebut, mereka
menyerahkan kepada pembaca dan pelajar untuk mengkritik dan menelitinya, membedakan hadits yang
maqbul (diterima) dengan mardud (ditolak). Setelah itu al‐Bukhari menyusun kitab khusus yang berisi
hadits‐hadits shahih dengan nama al‐Jami’ al‐Musnad as‐Shahih al‐Mukhtashar min Umuri Rasulillah wa
Sunanihi wa Ayyamihi.
Al‐Bukhari sebagai penyusun kitab itu telah memberikan sumbangan yang sangat berharga untuk
mempermudah mengetahui dan membahas hadits bagi para pelajar terutama bagi generasi selanjutnya.
Yang mendorong menyusun Jami’us Shahih
Al‐Bukhari menyusun kitab itu karena atas dorongan dan anjuran gurunya bernama Ishaq bin Rahawaih
yang berkata, “Hendaklah kamu menyusun kitab yang khusus berisi sunnah (hadits) Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang shahih”. Al‐Bukhari berkata, “Ucapan itu merasuk dan membekas
dalam hatiku, lalu aku menyusun Jami’us Shahih”.
Beliau juga pernah berkata, “Aku bermimpi berjumpa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Seolah‐olah aku
berada di depannya, sambil membawa untuk menjaga beliau dari gangguan. Lalu aku bertanya kepada
ahli‐ahli tabir mimpi. Dia menjelaskan kepadaku, “Engkau akan mencegah pemalsuan hadits Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam”. Mimpi inilah yang mendorongku untuk membuat kitab Jami’us Shahih”.
Metode Al‐Bukhari dalam menyusun Jami’us Shahih
Untuk menyusun hadits shahih, al‐Bukhari telah menempuh cara tertentu sehingga keshahihan haditsnya
dapat dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha keras untuk meneliti keadaan para perawi untuk
memastikan keshahihan hadits‐hadits yang diriwayatkannya. Beliau selalu membanding‐bandingkan
hadits yang satu dengan lainnya, meneliti dan memilih hadits yang menurutnya paling shahih.
15 Ibid – jilid 2 halaman 204
Sebagaimana penegasan imam al‐Bukhari, “Aku menyusun kitab Jami’us Shahih ini (adalah hasil saringan)
dari 600.000 hadits selama 16 tahun”.
Disamping menggunakan metode ilmiah dalam penelitiannya, al‐Bukhari tidak mengabaikan aspek ruhani.
Salah satu muridnya yang bernama al‐Firbari mengatakan, “Aku mendengar Muhammad bin Ismail al‐
Bukhari berkata, ‘Aku menyusun Jami’us Shahih ini di Masjidil Haram. Aku tidak akan memasukkan satu
hadits pun ke dalam kitab itu sebelum shalat istikharah dua rakaat dan setelah itu aku betul‐betul
meyakini bahwa hadits itu shahih”.
Maksudnya, imam al‐Bukhari mulai menyusun bab dan dasar‐dasarnya di Masjidil Haram, kemudian
menulis pendahuluan dan pembahasannya di Raudah (tempat antara makam Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam dan mimbar). setelah itu beliau mengumpulkan hadits dan menempatkannya pada bab‐bab yang
sesuai. Semua itu dilakukan di Makkah, Madinah dan beberapa negara di tempat pengembaraannya.
Dengan tekun dan cermat, al‐Bukhari menyusun kitab Jami’us Shahih selama enam belas tahun. Beliau
meneliti, menyaring dan memilih hadits sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkannya. Sehingga
terwujudlah kitab itu sesuai keinginannya.
Jerih payah maksimal yang dicurahkan untuk menyusun kitab itu membuat Jami’us Shahih mencapai
kebenaran dan mempunyai kedudukan tinggi di hati para ulama dan seluruh umat Islam. Sudah tepatlah
bila ia mendapat predikat sebagai “Kitab hadits Nabi yang paling shahih”.
Superioritas daya kritis al‐Bukhari
Untuk menta’dil (menganggap adil) dan mentarjih (menganggap cacat) para perawi serta mengkritik
matan hadits dan periwayatannya, al‐Bukhari mempunyai beberapa syarat yang sangat ketat. Pandangan
dan kemampuannya yang luar biasa diperoleh dari pengalaman mengkaji dan mengkritik sanad dan
matan hadits. Seperti seorang dokter spesialis yang sudah lama menggeluti dunia kedokteran. Dia mampu
mendiagnosa dan menemukan penyakit serta penyebab timbulnya penyakit itu, atu seperti ahli barter
uang yang ulung dan berpengalaman. Dia bisa membedakan uang yang masih baik dan berlaku dengan
uang yang sudah tidak berlaku lagi. Orang seperti itu bila ditanya, “Mengapa bisa menentukan
demikian?”, belum tentu ia dapat menjawabnya.
Kemampuan untuk membedakan hadits shahih dengan yang tidak shahih dimiliki oleh hampir seluruh
ulama dan kritikus hadits. Namun kemampuannya berbeda‐beda sesuai dengan ketentuan yang mereka
pakai dalam mengkritik hadits, serta kemampuan dan wawasan mereka masing‐masing. Perbandingan
antara tokoh ahli hadits dengan seorang dokter yang ditujukan kepada imam al‐Bukhari ini, dapat dilihat
dari pernyataan imam Muslim kepadanya, “Wahai guru, pemimpin para ahli hadits dan dokter hadits yang
dapat menyingkirkan penyakitnya”. Mengenai perbandingan dia dengan ahli barter uang, dapat dilihat
dari ucapan para ulama, “Peneliti hadits yang cermat seperti ahli barter uang”.
Syarat‐syarat hadits shahih menurut al‐Bukhari
Syarat hadits shahih yang telah disepakati oleh para ulama adalah sebagai berikut:
a. Perawi hadits harus muslim, berakal, jujur, tidak mudallis16 dan tidak mukhtalit17, adil, kuat
ingatan, dan selalu memelihara apa yang diriwayatkan, sehat fikirannya, pancainderanya dipakai
untuk mendengar dan menghafal, sedikit salahnya dan baik aqidahnya
b. Sanadnya18 bersambung, tidak mursal19, tidak munqathi, 20 tidak mu’dal21
c. Matan22 hadits tidak janggal dan tidak cacat
Bila syarat‐syarat tersebut telah terpenuhui, maka haditsnya dianggap shahih, dan bisa dinisbahkan
kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dan ulama hadits pun akan meyakini kebenarannya.
Jelaslah bagi kita, bahwa syarat‐syarat yang dipakai para ulama dalam menetapkan keshahihan hadits,
dapat memberikan rasa percaya pada kebenaran hadits itu.
Perlu ditegaskan, imam al‐Bukhari tidak mengajukan syarat‐syarat tertentu yang dipakai untuk
menetapkan keshahihan hadits secara jelas. Namun persyaratan itu diketahui melalui penelitian terhadap
kitabnya. Menurut kesimpulan dari para ulama, imam al‐Bukhari dalam kitab shahihnya selalu berpegang
pada tingkat keshahihan yang paling tinggi, kecuali bagi beberapa hadits yang bukan materi pokok, seperti
hadits muttabi’23 dan syahid24, serta hadits yang diriwayatkan dari shahabat dan tabi’in.
16 Mudallas – Mudallis, adalah hadits yang diriwayatkan dengan cara menyembunyikan cacat sanadnya, sehingga seakan‐akan tidak
aib (cacat) di dalamnya
17 Mukhalit, adalah yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang buruk hafalannya (banyak salahnya), karena lanjut usia atau lainnya
18 Sanad atau Isnad adalah para perawi yang meriwayatkan hadits atau jalan yang dapat menghubungkan matan hadits kepada
junjungan kita Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam
19 Mursal, lihat catatan kaki nomor 9
20 Munqathi’, adalah hadits yang gugur sanadnya di tengah‐tengah (sesudah shahabat) baik seorang atau lebih dan tidak berturut‐
turut
21 Mu’dal, lihat catatan kaki nomor 10
22 Matan adalah isi atau materi hadits dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam
23 Muttabi’ adalah hadits yang diriwayatkan dengan rawi lain tapi lafazhnya sama
24 Syahid adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi lain yang ma’nanya sama
Para perawi itu berbeda‐beda dalam menerima hadits dari para guru‐gurunya. Ada yang kuat hafalannya,
dan ada yang lemah, ada yang lama belajar dan ada pula yang hanya sebentar. Mereka juga berbeda sifat
adil dan kejujurannya. Imam al‐Bukhari hanya berpegang pada perawi yang paling tinggi tingkatannya.
Sebagai contoh murid az‐Zuhri dapat digolongkan menjadi lima tingkatan. Masing‐masing tingkatan
mempunyai keistimewaan lebih tinggi dari tingkat sesudahnya.
Tingkat pertama, adalah yang memiliki sifat adil, kuat hafalan, teliti, jujut dan lama mengikuti az‐Zuhri,
seperti imam Malik dan Sufyan bin Uyainah. Perawi inilah yang dipakai oleh al‐Bukhari dalam kitab
shahihnya.
Tingkat kedua, adalah mereka yang mempunyai sifat‐sifat seperti tingkat pertama, tetapi tidak lama
mengikuti az‐Zuhri. Dengan demikian, ketelitian dan pengetahuannya tentang hadits az‐Zuhri di bawah
tingkat pertama. Seperti al‐Auza’i, dan al‐Laits Ibn Sa’ad. Perawi tingkat kedua inilah yang dipakai oleh
imam Muslim, sedangkan al‐Bukhari hanya sedikit meriwayatkan hadits mereka.
Tingkat ketiga, adalah mereka yang berad di bawah tingkat kedua. Seperti Ja’far bin Barqan dan jam’ah
bin Salih. Imam al‐Bukhari sama sekali tidak meriwayatkan hadits dari mereka, kecuali hanya hadits
muttabi’ dan syahid.
Tingkat keempat dan kelima, adalah mereka yang tercela (majruh) dan lemah (dhoif). Al‐Bukhari dan
Muslim tidak meriwayatkan hadits dari mereka.
Sudah jelas bahwa syarat‐syarat hadits shahih yang dipergunakan oleh al‐Bukhari menempati tingkat yang
paling tinggi.
Al‐Bukhari adalah hafizh dan faqih yang mujtahid
Tujuan utama yang paling mendasar bagi para pengumpul dan penghafal hadits adalah mengumpulkan
sunnah Rasul dan memeliharanya agar tidak hilang, bukan untuk fiqih dan menggali hukumnya. Sebab
pekerjaan itu adalah tugas ulama fiqih. Meskipun demikian, al‐Bukhari banyak mengemukakan masalah‐
masalah penting mengenai fiqih, hukum dan adab. Dengan kecerdasan otaknya, beliau memberi
pengertian matan hadits yang tertulis dalam kitabnya. Begitu pula beliau mencantumkan ayat‐ayat al‐
Qur’an yang menyangkut masalah fiqih dan bahasa yang berhubungan dengan bab tertentu, serta
mencantumkan penafsiran ayat‐ayat yang diterima dari ulama salaf.
Dalam fiqih imam al‐Bukhari, apabila ada khilafiyah, beliau tidak memberikan keputusan. Karena menurut
beliau, dalam khilafiyah tidak ada pendapat yang paling benar dan yang paling kuat. Misalnya “bab
Apakah yang ada begini?” atau “Siapakah yang berpendapat demikian?”. Dia menulis pendapat shahabat
dan tabi’in yang menjadi dalil atau penguat pendapat lainnya. Dia juga memberikan catatan komentar
terhadap suatu hadits. Corak fiqih al‐Bukhari yang paling menonjol terletak pada sistematika kitab dan
isinya. Maka dari itu, ada yang mengatakan, “Corak fiqih al‐Bukhari terletak pada bab dan
sistematikanya”.
Sebagian ulama menyebutkan al‐Bukhari sebagai pengikut mahdzab Syafi’i, bahkan imam as‐Subki
memasukkannya ke dalam buku Tabaqatus Syafi’iyyah.
Namun menurut pendapat yang terkuat, al‐Bukhari adalah seorang ahli fiqih yang netral. Dia mempunyai
pendapat hukum yang digalinya sendiri. Kadang‐kadang pendapatnya sejalan dengan pendapat Abu
Hanifah, terkadang sesuai dengan imam asy‐Syafi’i, dan kadangkala berbeda dengan keduanya. Kadang
kala dia sependapat dengan mahdzab Ibnu Abbas, atau mahdzab Mujahid atau mahdzab Atha’ dan
sebagainya. Kesimpulannya, imam al‐Bukhari adalah ahli hadits dan ahli fiqih yang berijtihad sendiri tanpa
terikat dengan mahdzab lainnya.
Sistematika Kitab Shahih al‐Bukhari
Shahih al‐Bukhari terdiri dari beberapa kitab. Dia memulai dengan bab permulaan wahyu, yang menjadi
dasar utama bagi syariat Islam. Kemudian disusul dengan kitab iman, kitab ilmi, kitab thaharah, kitab
shalat, kitab zakat dan seterusnya. Dalam beberapa naskah terdapat perbedaan mengenai urutan antara
kitab shaum dan kitab haji.
Kemudian kitab buyu’, muamalah, murafaat (hukum acara), syahadat, sulh (perdamaian), wasiat, wakaf
dan jihad. Selanjutnya bab‐baba yang tidak menyangkut fiqih seperti tentang penciptaan maghluk,
riwayat para Nabi, cerita surga dan neraka, manaqib Quraisy dan keutamaan shahabat.
Selanjutnya bab sirah nabawiyah (sejarah hidup Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam) dan maghazi
(peperangan) serta hadits yang berkaitan dengannya. Lalu kitab tafisr, kemudian kembali lagi ke masalah
fiqih mengenai nikah, talaq dan nafakah, kemudian kitab at’imah (makanan), asyribah (minuman), kitab
tibb (pengobatan), kitab adab (etika), birr (kebaikan), silah (silahturahmi), dan isti’zan (minta izin).
Kemudian kitab nuzur (nazar) dan kifarat, hudud (hukum pidana), ikrah (pemaksaan), ta’bir ru’yah
(penafsiran mimpi), fitan (fitnah), ahkam (peraturan hukum). Dalam kitab ini juga dimuat mengenai para
penguasa dan para hakim. Kemudian kitab i’tisam bil kitab was sunnah (berpegang teguh pada kitabullah
dan sunnah Rasul) dan yang terakhir kitab tauhid, sebagai penutuh kitab shahihnya yang terdiri dari 97
kitab dan 3.450 bab.
Namun perlu diketahui, dalam naskah‐naskah yang ada, terdapat beberapa perbedaan, yaitu ada “kitab”
yang dianggap sebagai ‘bab”, juga sebaliknya, ada “bab” yang dianggap “kitab”. Hal ini dapat diketahui
melalui muraja’ah atau penelitian terhadap matan shahih al‐Bukhari yang sudah dicetak dan syarahnya.
Dalam kitab Shahih al‐Bukhari ada beberapa bab yang memuat banyak hadits. Ada pula bab yang hanya
berisi satu hadits, dan ada pula bab yang berisi ayat‐ayat al‐Qur’an tanpa hadits, bahkan ada pula yang
kosong tanpa isi. Tampaknya imam al‐Bukhari belum mendapatkan hadits untuk mengisi bab itu sesuai
dengan kriterianya. Oleh karena itu bab tersebut dibiarkan kosong, dengan harapan suatu saat akan
menemukan hadits‐hadits yang memenuhi syarat‐syarat keshahihannya.
Pengulangan, pemenggalan dan meringkas hadits
Imam al‐Bukhari sering mengulang beberapa hadits, memenggal dan meringkasnya dalam beberapa bab
yang berbeda sesuai dengan hukum yang diambil dari hadits tersebut atau sesuai dengan judul bab. Hal
ini dilakukan karena ada kebutuhan tertentu yang terdapat pada sanad atau matan hadits. Sedikit sekali ia
menyebutkan hadits dengan satu macam sanad dalam satu macam lafazh dalam dua tempat yang
berlainan.
Diantara manfaat mengulang hadits adalah memperbanyak tariqah (sanad) hadits atau untuk mengingat
adanya perbedaan lafazh atau matan, atau adanya sebagian perawi yang meriwayatkan hadits secara
mu’an’an25, padahal dalam riwayat lain ia menggunakan ata sami’tu sebagai ganti kata ‘an. Manfaat
pengulangan itu dapat dilihat secara jelas oleh para ahli hadits.
Hadits mu’allaq26 dalam Shahih al‐Bukhari
Menurut istilah ahli hadits, yang dimaksud mu’allaq ialah membuang seorang perawi atau lebih pada awal
sanad hadits. Misalnya al‐Bukhari berkata: Malik berkata dari Nafi’, dari Ibnu Umar....., atau Mujahid
berkata dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam....., atau Zuhri berkata dari Abi Salamah
bin Abdurrahman dari Abu Hurairah dari Nabi....”. perkataan al‐Bukhari seperti itu adalah mu’allaq, sebab
antara al‐Bukhari dan Malik, Mujahid atau Zuhri terdapat perawi yang tidak disebutkan.
25 Mu’an’an adalah hadits yang dalam periwayatannya menggunakan kata “an”
26 Mu’allaq adalah hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih di awal sanad
Hadits mu’allaq al‐Bukhari itu ada yang marfu27 dan ada yang mauquf28. Ada yang disebutkan dengan
perkataan tegas seperti qala, rawa dan zakara dan ada pula dengan perkataan yang menunjukkan
“lemah” seperti qila, ruwiya dan yuzkaru.
Diantara hadits mu’allaq tersebut, ada yang shahih dan ada pula yang tidak shahih. Ada yang memenuhi
syarat kriteria keshahihan hadits dan ada pula yang tidak memenuhi kriteria. Namun kita tidak perlu
bertanya mengapa al‐Bukhari memasukkan hadits yang tidak shahih ke dalam kitabnya. Sebab hadits
mu’allaq tersebut bukan materi pokok dari kitabnya. Hadits tersebut dicantumkan hanya sekedar sebagai
syahid atau makna atau tujuan lain. Bagi kita (orang awam ‐red) cukup mengetahui apa adanya dan tidak
perlu menelitinya.
Al‐Bukhari dan tiga orang perawinya
Di dalam kitab Shahih al‐Bukhari terdapat beberapa hadist “Ali” 29, karena antara al‐Bukhari dan Nabi,
hanya terdapat tiga orang perawi. Hadits semacam ini disebut hadits Sulasiyat, yang jumlahnya hanya 23
hadits. Syaikh Ali al‐Qari al‐Hanafi menyusun hadits sulasiyat ini dalam satu kitab tersendiri.
Contoh hadits sulasiyat, terdapat dalam kitab ilmi bab ismu man kazzaba alan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam. Al‐Bukhari berkata: Maki bin Ibrahim menceritakan kepada kami, (ia berkata) Yazid bin Abi ‘Ubaid
menceritakan kepada kami dari Salama yakni Ibnu al‐Akwa, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata:
“Barangsiapa berkata atas namaku sesuatu yang tidak pernah aku katakan, maka bersiap‐siaplah
menempati neraka”.
Hadits al‐Bukhari yang dikritik ulama
Sebagian ulama seperti ad‐Daraquthni telah mengkritik sejumlah hadits shahih imam al‐Bukhari. Sebab
hadits tersebut tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam kitab shahihnya.
27 Marfu' adalah hadits yang sanadnya sampai kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam
28 Mauquf adalah hadits yang sanadnya hanya sampai pada shahabat
29 Hadits Ali (tinggi) adalah hadits yang diriwayatkan dengan jumlah sanad yang sedikit, sebaliknya bila diriwayatkan dengan jumlah
sanad yang banyak disebut hadits Nazil (rendah)
Namun bukan berarti hadits tersebut dhoif yang sampai pada batas maudlu (paslu) atau mungkar. Sebab
tidak ada ulama yang berpendapat demikian, baik dulu maupun sekarang. Hadits tersebut hanya tidak
setingkat dengan sebagian besar hadits shahih al‐Bukhari.
Jumlah hadits musnad (yang sanadnya bersambung) shahih al‐Bukhari yang dikritik itu sebanyak 110
hadits, 32 diantaranya juga diriwayatkan oleh imam Muslim dalam kitab Shahihnya, sedangkan yang 78
hadits hanya diriwayatkan oleh al‐Bukhari. Dalam Muqaddimah Fathul Bari30, Ibnu Hajar memberikan
pembelaan terhadap hadits yang dikritik tersebut. Ia menuliskan hadits itu disertai dengan kritikannya
sekaligus bantahannya. Cara seperti ini memberikan contoh kepada kita bagaimana cara mengkritik yang
benar, memberikan bantahan dan pembelaan secara obyektif.
Setelah memberikan jawaban dan pembelaan secara panjang lebar, Ibnu Hajar menutup penjelasannya
dengan mengatakan, “Itulah hadits yang dikritik oleh para ulama hadits yang mengetahui illat sanad dan
menyelidiki sanad‐sanad yang rumit. Disamping al‐Bukhari, imam Muslim juga meriwayatkan hadits itu
sebanyak 32 buah”.
“Semua hadits yang dikritik tersebut bukanlah hadits tercela. Jawaban dan pembelaan terhadap hadits
tersebut dapat memperjelas keadaan yang sebenarnya. Sehingga kelemahan yang terdapat padanya
dapat diabaikan. Pembelaan yang sederhana cukup menjadi jawaban atas kritikannya”.
“Jika memperhatikan dengan cermat dan jujur, pasti akan menerima kebenaran Shahih al‐Bukhari dan
menerima alasan ulama terkemuka yang menerima kitab Shahih ini, dan menempatkannya pada
peringkat pertama” 31.
Demikianlah penjelasan seorang ahli hadits yang kritis dan jujur. Semuanya mengakui bahwa Ibnu Hajar
adalah kritikus yang handal, dan ahli fiqih yang sangat menguasai ilmu ushuluddin dan usul fiqih.
Diantara hadits yang dikritik dan diberi pembelaan yang terlalu dipaksakan padahal yang benar adalah
pihak pengkritik ialah hadits Syuraik bin Abi Namir, dari Anas tentang “Isra”. Isi hadits itu sangat panjang.
Dalam periwayatannya, Syuraik amat berbeda dengan perawi yang meriwayatkan hadits dari Anas.
Karena mendahulukan sanad dan matannya yang seharusnya diakhirkan atau sebaliknya, serta memberi
tambahan yang tidak benar. Kesalahan yang fatal ialah perkataan Syuraik yang mengatakan: “Isra
dilakukan sebelum Nabi menerima wahyu”. Perkataan ini ditolak oleh al‐Khattabi, Ibn Hazm, Abdul Haq,
30 Muqaddimah Fathul Bari, juz 2 halaman 83‐110
31 Ibid halaman 112
Qadhi Iyadh, an‐Nawawi dan lain‐lain ulama. Mereka menganggap bahwa kasus ini merupakan kesalahan
Syuraik padahal dia bukan orang yang dituduh pembohong. Yang jelas masalah ini adalah kesalahan yang
masih kabur bagi Syuraik.
Perlu diketahui bahwa imam al‐Bukhari telah meriwayatkan hadits‐hadits yang berkenaan dengan “Isra”
disamping riwayat Syuraik. Dengan cara ini, dia mengingatkan kepada kita secara halus dan jelas bahwa
riwayat Syuraik itu terdapat kelemahan dan kesalahan. Al‐Bukhari sungguh bijaksana telah memberikan
isyarat kepada kita. Jika kita sudah mengetahui bahwa hadits yang terdapat dalam Shahih al‐Bukhari tidak
diragukan lagi kebenarannya, maka semakin kuatlah keyakinan kita atas keagungan kitab shahih ini.
Dengan demikian kritik itu tidak mengurangi keagungannya sebagai kitab hadits shahih yang berada pada
peringkat tertinggi. Bagi yang ingin mendalami sebaiknya mengkaji Muqaddimah Fathul Bari serta
membaca kritikan dan bantahannya.
Kita tidak perlu menghiraukan omongan orang yang dengki dan bodoh yang mengatakan bahwa dalam
shahih al‐Bukhari terdapat sejumlah hadits yang maudlu (palsu dan bohong). Tuduhan itu hanya timbul
dari mereka yang tidak berpengalaman dan sempit pengetahuannya mengenai hadits dan perawi serta
syarat‐syarat yang dipakai dalam periwayatan. Itulah keputusan terakhir dari para ulama setelah
melakukan penelitian yang cukup lama dan dilakukan dengan sabar.
Kita tidak menganggap imam al‐Bukhari dan imam lainnya bebas dari kesalahan. Tetapi Allah telah
menjamin terpeliharanya al‐Qur’an dari pemalsuan, senantiasa menolong orang yang mencurahkan
seluruh hidupnya untuk memelihara hadits dan membedakan hadits yang shahih dengan yang tidak
shahih sehingga janji Allah untuk memelihara al‐Qur’an menjadi kenyataan.
Jumlah Kitab jami’us Shahih
Ibnu Salah dalam Muqaddimahnya menyebutkan jumlah hadits shahih al‐Bukhari sebanyak 7.275 buah,
termasuk hadits yang berulang, atau sebanyak 4.000 hadits tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti
oleh Syaikh Muhyidin an‐Nawawi dalam kitabnya at‐Taqrib.
Ibnu Hajar telah menghitung hadits shahih al‐Bukhari dengan teliti. Kejelian penghitungan ini ditunjang
oleh penulisan Syarah kitab shahih itu (Fathul Bari). Diakhir setiap bab, ia menyebutkan jumlah hadits
Maushul yang marfu, hadits mu’allaq dan hadits muttabi’, serta perkataan para shahabat dan tabi’in.
Maka dari itu hasil perhitungan yang dilakukannya itu lebih baik dibanding ulama lain.
Dalam muqaddimah Fathul Bari, Ibnu Hajar menyebutkan bahwa:
1. Seluruh hadits shahih al‐Bukhari yang maushul tanpa mengulang sebanyak 2.602 buah
2. Jumlah matan hadits mu’allaq namun marfu’ yang tidak disambung pada tempat lain sebanyak
159 buah
3. Jumlah semua hadits termasuk yang diulang sebanyak 7.397 buah
4. Jumlah hadits mu’allaq sebanyak 1.341 buah
5. Jumlah seluruhnya termasuk yang diulang sebanyak 9.082 buah
Jumlah shahih al‐Bukhari yang disebutkan diatas diluar hadits mauquf kepada shahabat dan riwayat dari
tabi’in dan ulama sesudahnya.
Ibnu Hajar berkata, “Itulah jumlah hadits shahih al‐Bukhari yang kami hitung dengan teliti berkat
pertolongan Allah. Kami belum mengetahui ada orang yang melakukan pekerjaan sebelumnya. Namun
kami mengakui bahwa kami tidak lepas dari kesalahan. Dan hanya Allah tempat memohon pertolongan”.
Kitab Syarah al‐Bukhari yang termasyhur
Belum ada kitab hadits yang mendapat perhatian besar dari umat Islam selain kitab shahih al‐Bukhari.
Para ulama memberikan perhatian kepadanya dan mensyarahkan semua hadits yang terdapat dalam
kitab itu, mengistinbat hukum darinya, meneliti para perawinya, menjelaskan kata‐kata yang sulit dan
seterusnya.
Buku syarah hadits ini cukup banyak jumlahnya. Menurut pengarang Kasyfuz Zunun, tidak kurang dari 82
macam. Belum termasuk buku syarah yang ditulis sesudah Kasyfuz Zunun. Diantara kitab syarah yang
paling terkenal ialah:
1. Al‐Kawakibud Durari fi Syarhil Bukhari
Kitab syarah ini ditulis oleh al‐Allama Syamsudin Muhammad bin Yusuf bin Ali al‐Kirmani (w. 786 H).
Dalam kitab ini, Kirmani banyak menjelaskan kata‐kata yang sulit dan kedudukan kata‐kata (i’rab) yang
masih samar. Juga meneliti riwayat‐riwayat, nama dan julukan para perawi dan membedakan nama‐nama
mereka (bila ada kesamaan) serta mengkompromi hadits‐hadits yang tampak bertentangan. Kitab ini
selesai ditulis di Makkah pada tahun 775 H. Ibnu Hajar dalam ad‐Durarul Kanimah‐nya mengomentari
kitab ini sebagai berikut: “Kitab ini merupakan syarah yang sangat berguna. Tetapi banyak mengandung
kelemahan dari segi penukilannya yang berasal dari beberapa buku saja”.
2. Fathul Bari fi Shahihil Bukhari
Kitab ini adalah karya al‐Imam al‐Hafizh Fadal Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Hajar al‐
Asqalani al‐Misri. Beliau dilahirkan tahun 773 dan wafat tahun 852 H. Kitab Fathul Bari ini adalah kitab
syarah Shahih al‐Bukhari yang paling baik dan paling lengkap.
Dalam kitab ini, al‐Hafizh menjelaskan masalah bahasa dan i’rab dan menguraikan masalah penting yang
tidak ditemukan di kitab lainnya, juga menjelaskan dari segi balaghah dan sastranya, mengambil hukum‐
hukum serta memaparkan berbagai masalah yang diperdebatkan oleh para ulama, baik menyangkut fiqih
maupun ilmu kalam secara terperinci dan tidak memihak. Disamping itu, dia mengumpulkan seluruh
sanad hadits dan menelitinya, serta menerangkan tingkat keshahihan dan kedhoifannya. Semua itu
menunjukkan keluasan ilmu dan penguasaannya mengenai kitab‐kitab hadits.
Fathul Bari mempunyai muqaddimah yang bernama Hadyus Sari. Muqaddimah ini amat tinggi nilainya.
Seandainya ia ditulis dengan tinta emas, maka emas itu belum sebanding dengan tulisan itu. Sebab ia
merupakan kunci untuk memahami Shahih al‐Bukhari. Kitab ini selesai ditulis tahun 813 H.
Kemudian al‐Asqalani mulai menulis kitab syarah. Pada mulanya uraian dan pembahasan direncanakan
ditulis panjang lebar dan terperinci namun ia khawatir bila ada halangan untuk menyelesaikannya, yang
mengakibatkan kitab itu selesai namun tidak sempurna. Karena itu beliau menulis kitab syarah tersebut
dengan cara sederhana yang diberi nama Fathul Bari.
Penulisan kitab ini menghabiskan waktu seperempat abad. Dimulai tahun 817 H dan selesai 842 H. Maka
tidak mengherankan bila kitab itu paling bagus, teliti dan sempurna. Selain itu, penulisannya dilakukan
oleh penyusunnya dengan penuh keiklasan.
Setelah selesai menulis kitab syarah tersebut, al‐Asqalani mengadakan resepsi agung dihadiri tokoh‐tokoh
Islam dengan biaya 500 dinar atau sekitar 250 pound Mesir. Kitab ini selalu mendapatkan sambutan
hangat dari para ulama, baik pada masa dulu maupun sekarang, dan selalu menjadi kitab rujukan.
Al‐Allamah Syaikh Muhammad bin Ali as‐Shan’ani asy‐Syaukani, wafat tahun 1255 H, penulis Nailul Authar,
ketika diminta menulis kitab syarah Shahih al‐Bukhari, ia mengagumi Ibnu Hajar, dia mengutip sebuah
hadits “La hijrah ba’dal fathi’” (Tidak ada hijrah setelah penaklukan Makkah). Dia meminjam istilah dari
hadits tersebut sebagai ungkapan bahwa tidak ada kitab syarah shahih al‐Bukhari yang melebihi Fathul
Bari.
Al‐Allamah Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah‐nya mengutip perkataan guru‐gurunya yang mengatakan,
“Mensyarah Shahih al‐Bukhari adalah tugas yang dibebankan kepada umat ini”. Ucapan ini secara pasti
dinyatakan sebelum adanya Fathul Bari. Dengan demikian Ibnu Hajar telah menunaikan tugas yang
menjadi tanggungan umat ini.
Kitab syarah ini terdiri dari 13 jilid ditambah satu jilid muqaddimah‐nya. Kitab itu sudah berulang kali
dicetak di India dan Mesir. Cetakan yang terbaik diterbitkan oleh Bulaq.
3. Umdatul Qari
Kitab ini ditulis oleh al‐Allamah Syaikh Badrudin Mahmud bin Ahmad al‐Aini al‐Hanafi. Beliau lahir tahun
762 H dan wafat tahun 855 H.
Kitab ini merupakan syarah yang sederhana, berisi riwayat hidup para perawi, menjelaskan nasab dan
membahas bahasa, i’rab, ma’ani dan bayan. Di dalam kitab tersebut juga terdapat pembahasan masalah
fiqih dan sastra. Penyajian kitab ini menggunakan metode tanya jawab. Diantara keistimewaan kitab ini
ialah syarah dan uraian hadits yang diulang tidak mengalih ke persoalan lain. Meskipun panjang, hadits
yang diuraikan itu ditulis lengkap. Sebagaimana ia menyebutkan setiap kitab terkenal yang meriwayatkan
hadits bersangkutan. Penulisan kitab ini dimulai tahun 821 H dan selesai tahun 847 H. Jadi penulisannya
menghabiskan waktu sekitar seperempat abad. Kitab tersebut dicetak di Mesir dan Istambul.
4. Irsyadus Sari Ila Shahihil Bukhari
Kitab ini ditulis oleh al‐Allamah Syaikh Sihabudin Ahmad bin Muhammad al‐Khathib al‐Misri asy‐Syafi’i,
terkenal dengan panggilan Al‐Qastallani. Wafat pada tahun 922 H.
Kitab ini lebih ringkas dibanding dengan kitab syarah yang telah disebutkan sebelumnya. Untuk menulis
kitab ini, al‐Qastallani banyak merujuk pendapat penulis kitab syarah terdahulu, terutama Fathul Bari.
Jika diperlukan penjelasan yang lebih mendalam, penulis kitab sering mengulangi keterangannya. Dia juga
mencatat yang sudah jelas bagi ulama, agar bisa difahami oleh kalangan khusus dan kalangan awam.
Selain itu, dia juga menulis muqaddimah tentang kedudukan hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
dalam agama dan perhatian umat Islam terhadapnya, baik berupa hafalan, pengumpulan maupun
pembukuannya. Kitab syarah ini dicetak berulangkali.
Mukhtashar Jami’us Shahih
Diantara kitab mukhtashar (ikhtisar/ringkasan) Jami’us Shahih al‐Bukhari ialah:
1. Bahjatun Nufus Wa Gayatuha
Mukhtashar ini ditulis oleh Syaikh Abu Muhammad Abdullah bin Sa’ad bin Abu Jamrah al‐Andalusi. Beliau
wafat tahun 695 H. Kitab ini memuat sekitar 300 hadits. Ikhtisar ini diberi syarah dengan nama Bahjatun
Nufus wa Gayatuha bi Ma’rifati Ma laha Wama Alaiha. Uraiannya banyak ditekankan dari segi makna
daripada lafazh, dan lebih memperhatikan segi akhlak daripada hukum.
Selain itu, kitab ini mengungkap persoalan hakikat dan pentakwilan, serta pelajaran yang belum pernah
didapatkan di kitab lain. Ibnu Hajar terkadang mengutip beberapa bagian dari kitab ini. Kitab ini telah
dicetak dan beredar luas.
2. Mukhtashar Imam Zainuddin
Mukhtashar ini ditulis oleh Imam Zainuddin Abdul Abbas Ahmad bin Abdul Latif as‐Syarij az‐Zubaidi. Wafat
tahun 893 H. Beliau membuang hadits yang disebutkan berulang‐ulang, mengumpulkan hadits‐hadits
semakna yang asalnya terpisah di beberapa bab. Beliau hanya menyebutkan nama shahabat saja tanpa
mencantumkan nama sanad secara lengkap. Penulisan mukhtashar ini selesai pada bulan Sya’ban tahun
889 H.
Kemudian kitab ini diberi syarah oleh Syaikhul Islam Abdullah as‐Syarqawi al‐Azhari. Dalam penulisan
syarah ini, ia berpegang pada pendapat para ulama terdahulu, terutama penulis Fathul Bari. Mukhtashar
ini juga diberi syarah oleh Hasan Sadiq Khan Malik Bahubal di India. Kedua kitab syarah tersebut telah
diterbitkan.
IMAM MUSLIM (206‐261 H)
RIWAYAT HIDUP IMAM MUSLIM
Silsilah
Nama lengkap beliau adalah Imam Abdul Husain bin al‐Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al‐Qusyairi an‐
Naisaburi32. Dia dilahirkan di Naisabur tahun 206 H. Sebagaimana dikatakan oleh al‐Hakim Abu Abdullah
dalam kitabnya Ulama’ul Amsar, imam muslim adalah penulis kitab shahih dan kitab ilmu hadits. Dia
adalah ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal sampai kini.
Kehidupan dan Pengembaraannya
Kehidupan imam Muslim penuh dengan kegiatan mulia. Beliau merantau ke berbagai negeri untuk
mencari hadits. Dia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara‐negara lainnya. Dia belajar hadits sejak
masih kecil yakni mulai tahun 218 H.
Dalam perjalanannya, Muslim bertemu dan berguru pada ulama hadits. Di Khurasan, dia berguru kepada
Yahya bin Yahya dan ishaq bin Rahawaih. Di Ray, dia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu
Ansan. Di Irak, dia belajar kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah. Di Hijaz, berguru
kepada Sa’id bin Manshur dan Abu Mas’ab. Di Mesir, belajar kepada ‘Amar bin Sawad dan Harmalah bin
Yahya dan berguru kepada ulama lainnya.
Imam Muslim berulangkali pergi ke Baghdad untuk belajar hadits dan kunjungannya yang terakhir tahun
259 H. Ketika imam al‐Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering berguru kepadanya. Sebab dia
mengetahui kelebihan ilmu imam al‐Bukhari. Ketika terjadi ketegangan antara imam al‐Bukhari dengan
az‐Zuhali, dia memihak imam al‐Bukhari sehingga hubungannya dengan az‐Zuhali menjadi putus. Dalam
kitab shahih‐nya maupun kitab lainnya, Muslim tidak memasukkan hadits yang diterima dari az‐Zuhali,
meskipun dia adalah guru imam Muslim. Dan dia pun tidak memasukkan hadits yang diterima dari al‐
Bukhari padahal dia juga sebagai gurunya. Bagi Muslim, lebih baik tidak memasukkan hadits yang
diterimanya dari dua gurunya itu. Tetapi dia tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
32 Naisaburi, adalah nama sebuah kota yang berada di Khurasan
Wafatnya
Setelah mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat hari ahad sore dan dimakamkan di
kampung Nasr Abad di daerah Naisabur pada hari senin, 25 Rajab 261 H dalam usia 55 tahun. Selama
hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab yang sangat bermanfaat.
Para gurunya
Imam Muslim mempunyai guru hadits yang sangat banyak sekali diantaranya adalah Utsman bin Abi
Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu Kamil al‐Juri, Zuhair bin Harab, ‘Amar an‐Naqid,
Muhammad bin Mutsanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Sa’id al‐Aili, Qutaibah bin Sa’id dan lain
sebagainya.
Murid yang meriwayatkan haditsnya
Banyak para ulama yang meriwayatkan hadits dari Muslim, bahkan diantaranya terdapat ulama besar
yang sebaya dengan dia, diantaranya adalah Abu Hatim ar‐Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu
Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah al‐Isfarayini, Abu Isa at‐Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin
al‐Mubarak al‐Mustamli, Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin as‐Sarraj, Ibrahim bin Muhammad bin
Sufyan al‐Faqih az‐Zahid. Nama terakhir ini adalah perawi utama bagi Shahih Muslim. Dan masih banyak
lagi muridnya yang lain.
Pujian Ulama
Apabila imam Al‐Bukhari sebagai ahli hadits nomor satu, ahli tentang ilat‐ilat (cacat) hadits dan seluk
beluk hadits dan daya kritiknya sangat tajam, maka Muslim adalah orang kedua setelah al‐Bukhari baik
dalam ilmu, keistimewaan dan kedudukannya. Hal ini tidak mengherankan karena Muslim adalah salah
dari muridnya.
Al‐Khathib al‐Baghadi berkata, “Muslim telah mengikuti jejak mengembangkan ilmunya dan mengikuti
jalannya”.
Pernyataan ini bukanlah menunjukkan bahwa Muslim hanya seorang pengikut saja, sebab dia mempunyai
ciri khas tersendiri dalam menyusun kitab, serta memperkenalkan metode baru yang belum ada
sebelumnya.
Imam Muslim mendapat pujian dari ulama hadits dan ulama lainnya. Al‐Khathib al‐Baghdadi
meriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, katanya, “Saya melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim selalu
mengutamakan imam Muslim bin al‐Hajjaj dari pada guru‐guru haditsnya yang lain”.
Ishaq bin Mansur al‐Kausaj berkata kepada Muslim, “Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah
menetapkan engkau bagi kaum muslimin”.
Ishaq bin Rahawaih pernah mengatakan, “Adakah orang lain seperti Muslim?”. Ibnu Abi Hatim berkata,
“Muslim adalah penghafal hadits. Saya menulis hadits dari dia di Ray’. Abu Quraiys berkata, “Di dunia ini
orang yang benar‐benar ahli hadits hanya empat orang. Diantaranya adalah Muslim”. Maksudnya ahli
hadits terkemuka di masa Abu Quraisy. Sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.
Kitab tulisan imam Muslim
Imam Muslim mempunyai kitab hasil tulisannya yang jumlahnya cukup banyak, diantaranya:
1. Al‐Jami’us Shahih
2. Al‐Musnadul Kabir alar Rijal
3. Al‐Asma wal Kuna
4. Al‐Ilal
5. Al‐Aqran
6. Sualatihi Ahmad bin Hanbal
7. Al‐Intifa’ bi Uhubis Siba’
8. Al‐Muhadramain
9. Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahidin
10. Auladus Sahabah
11. Auhamul Muhaditsin
Kitabnya yang paling terkenal sampai kini ialah al‐Jami’us Shahih atau Shahih Muslim.
MENGENAL KITAB SHAHIH MUSLIM
Kitab ini adalah salah satu dari dua kitab yang paling shahih setelah al‐Qur’an. Kedua kitab shahih ini
diterima umat Islam dengan baik.
Imam Muslim sangat teliti dalam mempelajari para rawi, menyeleksi yang diriwayatkan, dan
membandingkan antara riwayat yang satu dengan lainnya, meneliti susunan lafazhnya, dan memberikan
petunjuk bila terdapat perbedaan pada lafazh‐lafazh tersebut. Dari usaha ini menghasilkan kitab shahih
yang menjadi rujukan bagi para peneliti dan para ulama.
Muslim menyaring hadits yang dimasukkan dalam kitabnya dari ribuan hadits yang telah didengarnya. Dia
pernah berkata, “Aku menyusun kitab shahih ini hasil saringan dari 300.000 hadits”.
Kitab shahih ini adalah hasil dari kehidupan yang penuh berkah yang ditulis dimana saja ia berada baik
dalam waktu sempit maupun lapang. Dia mengumpulkan, menghafal, menyaring dan menulis sehingga
menjadi sebuah kitab shahih yang sangat baik dan teratur. Dia dan beberapa muridnya menyelesaikan
penyusunan kitab shahih itu dalam waktu lima belas tahun.
Ahmad bin Salamah mengatakan, “Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab shahih itu selama
lima belas tahun”. Kitab itu berisi 12.000 hadits”.
Kita tidak usah heran bila Muslim sangat bangga dengan kitab shahihnya itu. Dia pernah berkata sebagai
ungkapan rasa syukur kepada atas nikmat Allah yang diterimanya: “Apabila penduduk bumi ini menulis
hadits ini selama 200 tahun, maka mereka hanya berputar sekitar kitab ini saja”.
Ketelitian Muslim terhadap hadits yang diriwayatkan dalam kitab shahih‐nya dapat diketahui dari
perkataannya sebagai berikut:
“Aku tidak mencantumkan hadits dalam kitabku ini, kecuali dengan alasan. Aku juga tidak menggugurkan
sesuatu kecuali dengan alasan pula”.
Keluwesan Imam Muslim
Muslim bukanlah orang yang fanatik terhadap pendapatnya sendiri. Dia selalu tersenyum sebagai ulama
yang selalu mencari kebenaran. Dia tidak merasa terhina dan rendah apabila menerima kebenaran yang
datang dari orang lain, bahkan sikap ini dipandang sebagai perbuatan yang terpuji.
Setelah menyusun kitab shahih itu, Muslim memperlihatkannya kepada para ulama hadits untuk
diperiksa. Al‐Khatib meriwayatkan dari Makki bin Abdan, salah seorang hafizh dari Naisabur, ia berkata,
“Saya mendengar Muslim berkata, ‘Aku memperlihatkan kitabku ini kepada Abu Zur’ah ar‐Razi. Semua
hadits yang ditunjukkan ar‐Razi ada kelemahannya, aku tinggalkan. Dan semua yang dikatakan shahih,
itulah yang kutulis”. Itulah sikap rendah hati imam Muslim yang tidak terbujuk oleh hawa nafsu dan
bangga atas pendapatnya sendiri. Sikap seperti itulah yang dipakai dalam kode etik pengkajian Islam.
Metode Imam Muslim dalam shahih‐nya
Imam Muslim tidak menetapkan syarat tertentu yang dipakai dalam shahih‐nya, tetapi para ulama telah
menggali syaratnya itu melalui pengkajian terhadap kitabnya. Mereka menyimpulkan bahwa syarat yang
dipakai dalam Shahih Muslim ialah:
1. ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang adil, kuat hafalannya, jujur, amanah, tidak
pelupa. Dia juga meriwayatkan dari perawi yang memiliki sifat‐sifat lebih rendah dari sifat
tersebut diatas
2. Dia sama sekali tidak meriwayatkan kecuali hadits musnad (sanadnya lengkap), muttasil
(sanadnya bersambung), dan marfu’ (disandarkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi
wa sallam)
Berarti Muslim tidak selamanya harus berpegang teguh pada ketentuan sebagaimana yang dipakai oleh
imam al‐Bukhari, yaitu tingkatan tertentu dalam periwayatan dan para perawi. Karena itu, dia
meriwayatkan hadits dari perawi yang haditsnya tidak dicantumkan oleh al‐Bukhari dalam Shahih‐nya.
Agar lebih jelas, mari membicarakan lagi syarat‐syarat imam al‐Bukhari dalam shahih‐nya. Murid‐murid
Ibnu Syihab az‐Zuhri dibagi menjadi lima tingkatan: pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima. Masing‐
masing tingkatan mempunyai keistimewaan lebih tinggi dari tingkatan berikutnya.
Al‐Bukhari hanya meriwayatkan hadits dari murid tingkat pertama dan sedikit sekali meriwayatkan hadits
dari murid tingkat kedua, itupun bukan hadits utama. Sedangkan Muslim meriwayatkan hadits dari murid
tingkat kedua, juga meriwayatkan dari tingkat ketiga, meskipun dalam jumlah sedikit dan terbatas pada
hadits muttabi’ dan hadits syahid, bukan hadits utama. Imam Muslim dalam muqaddimahnya
memberikan penjelasan yang lebih gamblang mengenai syarat yang dipakai dalam shahih‐nya. Dia
membagi hadits dalam tiga macam:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat hafalannya
2. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak diketahui keadaannya (mastur) dan kekuatan
hafalannya dipertengahan
3. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah hafalannya, dan banyak salahnya
Apabila Muslim meriwayatkan hadits dari kelompok pertama, dia selalu meriwayatkan hadits dari
kelompok kedua. Muslim tidak meriwayatkan dari kelompok ketiga33.
33 An‐Nawawi, Syarah Shahih Muslim jilid 1 halaman 48
Ciri khas Muslim
Yang menjadi ciri khas Muslim, ialah matan‐matan hadits yang semakna beserta sanadnya diletakkan
pada satu tempat, dan tidak dipisah dalam beberapa bab yang berbeda, juga tidak mengulang hadits
kecuali karena sangat perlu diulang untuk kepentingan sanad atau matan hadits.
Cara ini dilakukan oleh Muslim karena hadits ini bukan untuk menerangkan segi fiqih dan penggalian
hukum dan adab dari hadits tersebut. Tidak seperti al‐Bukhari yang memang mempunyai maksud untuk
menggali kandungan hadits itu. Oleh karena itu, dia menempuh caranya sendiri untuk menyusun kitab
shahih‐nya.
Ciri Shahih Muslim lainnya adalah ketelitian dalam kata‐kata. Apabila seorang perawi dengan perawi
lainnya terdapat perbedaan lafazh, padahal maknanya sama, Muslim mencantumkan dan menerangkan
matan‐matan hadits yang lafazhnya berbeda itu. Begitu pula jika seorang perawi mengatakan haddatsana
(dia menceritakan kepada kami), dan perawi lain mengatakan Akhbarana (dia mengkhabarkan kepada
kami), maka Muslim akan menjelaskan perbedaan lafazh ini34. Apabila sebuah hadits diriwayatkan oleh
orang banyak dan terdapat beberapa lafazh yang berbeda, Muslim akan menerangkan bahwa lafazh yang
disebutkan itu berasal dari si fulan. Oleh karena itu, dalam hadits semacam ini, Muslim mengatakan wal
lafdzu lifulanin (lafazh ini dari si fulan). Itulah ketelitian dan kejujuran dalam periwayatan yang
menjadi ciri khas imam Muslim.
Dia berusaha keras agar di dalam kitabnya hanya memuat hadits‐hadits musnad dan marfu’ yakni hadits
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Karena itu dia tidak
mencantumkan perkataan shahabat dan tabi’in.
Begitu pula, Muslim tidak meriwayatkan hadits mu’allaq35. Di dalam kitabnya hanya terdapat 12 hadits
mu’allaq yang hanya sebagai hadits penguat (muttabi’) dan bukan hadits utama. Selain yang telah
disebutkan, masih banyak ciri khas lain yang bisa diketahui dengan mengkaji kitab shahih‐nya.
34 Haddatsana atau Akhbarana, adalah istilah di dalam periwayatan hadits yang diterima oleh murid dari gurunya. Haddatsana
artinya ia menceritakan kepada kami; akhbarana artinya ia mengkhabarkan kepada kami. Cuma sebagian ahli hadits ada yang
membedakannya. Istilah pertama (haddatsana) digunakan bila si murid menerima langsung ucapan dari gurunya, istilah yang kedua
(akhbarana) digunakan bila si murid untuk diajukan kepada gurunya
35 Hadits Mu’allaq, lihat catatan kaki nomor 26
Muqaddimah Shahih Muslim
Shahih Muslim mempunyai muqaddimah yang bernilai tinggi. Dia menjelaskan tentang pembagian dan
macam‐macam hadits, hadits‐hadits yang ditulis dalam Shahih‐nya, keadaan para perawi dan
menerangkan illat hadits, penjelasan hukum haram berdusta atas nama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam, anjuran agar berhati‐hati dalam meriwayatkan, dan larangan meriwayatkan hadits dari perawi
yang lemah dan banyak salahnya. Juga menerangkan bahwa sanad hadits itu adalah bagian dari ketentuan
agama, dan menjelaskan panjang lebar tentang berhujjah dengan hadits mu’an’an. Muqaddimah ini
merupakan karya besar bernilai tinggi dan sebagai hal baru dalam ilmu ushul hadits.
Bab‐Bab dalam Shahih‐Muslim
Imam Muslim tidak membuat judul setiap bab secara praktis. Dia hanya mengelompokkan hadits‐hadits
pada satu tema pada satu tempat. Dengan demikian, kitab shahih terdapat seakan‐akan telah tersusun
secara sistematis menjadi beberapa bab.
Muslim melakukan demikian mungkin untuk mengasah otak para pembaca kitabnya, agar
mempergunakan akalnya untuk mengkaji, menggali, menemukan maksud dan tujuan hadits.
Adapun judul kitab dan bab yang terdapat pada Shahih Muslim yang sudah dicetak sebenarnya bukan
ditulis oleh Muslim, melainkan ditulis oleh pensyarah Shahih itu yang hidup sesudahnya.
Orang yang paling baik membuat judul bab sistematikanya adalah Imam Nawawi dalam syarahnya.
Jumlah hadits Shahih Muslim
Ahmad bin Salamah, penulis naskah Shahih Muslim mengatakan bahwa Shahih Muslim itu berisi 12.000
hadits. Namun Ibnu Salah menyebutkan dari Abi Quraisy bahwa jumlah hadits Shahih Muslim itu sebanyak
4.000 buah. Kedua pendapat itu dapat dikompromikan karena perhitungan pertama memasukkan hadits
yang diulang‐ulang, sedangkan perhitungan yang kedua hanya menghitung hadits yang tidak terulang.
Sebagian penulis ada yang salah hitung, seperti Prof Ahmad Amin dalam bukunya Duhal Islam. Ia
mengatakan bahwa hadits Shahih Muslim termasuk yang terulang sebanyak 7.275 hadits. Sebenarnya
hitungan ini dari Ibnu Salah untuk Shahih al‐Bukhari bukan untuk Shahih Muslim.
Hadits Shahih Muslim yang Dikritik
Hadits yang mendapat kritikan dari para ulama sebanyak 132 buah hadits. Diantaranya juga diriwayatkan
oleh al‐Bukhari sebanyak 32 buah. Sisanya yang berjumlah 100 hadits hanya diriwayatkan oleh Muslim.
Sebenarnya kritikan itu mudah diberi bantahan. Tetapi kritikan itu tidak begitu berarti. Diantara hadits
yang dikritik (muntaqadah) ialah
1. Hadits Abu Sufyan
Hadits ini menceritakan Abu Sufyan menikahkan puterinya Ummu Habibah dengan Nabi Muhammad
Shallallaahu 'alaihi wa sallam padahal Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menikahinya jauh sebelum
itu, yakni ketika Ummu Habibah hijrah ke Habasyah (Etiopia). Raja Najasyi bertindak sebagai wali wakil
yang menikahkan Ummu Habibah. Sebab saat itu Abu Sufyan belum masuk Islam. Ia baru memeluk Islam
setelah Penaklukan Mekkah. Jadi perawi hadits itu telah melakukan kesalahan.
2. Hadits Abu Hurairah
Hadits Abu Hurairah yang dikritik adalah yang berbunyi :
“Allah menciptakan tanah pada hari sabtu...”.
Hadits tentang penciptaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya selama tujuh hari, bukan
hadits marfu melainkan mauquf pada Abu Hurairah. Itu hanya cerita israiliyat yang diterima dari Kaab al‐
Ahbar. Hadits itu mendapat peringatan dari para ulama dan pengkritik hadits.
3. hadits tentang Shalat Kusuf (Gerhana)
Hadits ini mengatakan bahwa shalat kusuf dikerjakan dengan tiga kali ruku atau lebih. Sebagian ahli hadits
mengatakan bahwa hadits ini mengandung illat (cacat), karena terdapat kesalahan dari perawinya. Tetapi
Muslim juga meriwayatkan hadits shahih mengenai shalat kusuf yang setiap rakaatnya, Nabi Shallallaahu
'alaihi wa sallam melakukan ruku’ dua kali.
Hadits yang dikritik itu sedikit sekali jumlahnya. Bahkan tidak ada artinya bila dibandingkan dengan ribuan
hadits shahih yang terdapat dalam Shahih Muslim.
Dari uraian diatas, jelaslah bahwa Shahih Muslim berada di peringkat tertinggi dan menjadi salah satu
kitab hadits yang menjadi pegangan umat Islam. Kritikan yang dilontarkan terhadap hadits itu, karena
Muslim menempuh jalan setingkat lebih rendah dari syarat‐syarat yang telah ditentukan. Dan tidak
seorang yang mengatakan bahwa dalam kitab itu terdapat hadits maudlu dalam arti perawinya berdusta,
sebagaimana yang telah dituduhkan oleh orang‐orang yang tidak bertanggunjawab dan para orientalis,
musuh sunnah dan hadits Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Apak Shahih Al‐Bukhari dan Muslim mencakup seluruh hadits shahih?
Dalam kitab Shahih‐nya, al‐Bukhari dan Muslim tidak memuat seluruh hadits yang shahih. Al‐Bukhari
berkata,
“Aku tidak memasukkan di dalam Jami’us Shahih kecuali hadits yang shahih. Dan kutinggalkan banyak
hadits shahih karena akan membosankan”.
Dia juga pernah berkata,
“Aku hafal 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih”.
Padahal di dalam kitab Shahih‐nya belum mencapai 10.000 hadits yang dihafalnya.
Di dalam kitab Shahih‐nya, Muslim juga berkata:
“Tidak semua hadits yang shahih menurutku, kumasukkan ke dalam kitab Shahih. Aku hanya
mencantumkan hadits yang telah disetujui oleh para ulama hadits”.
Itulah pernyataan al‐Bukhari dan Muslim, mereka tidak mencantumkan semua hadits shahih ke dalam
kitabnya.
Disamping itu, masih banyak hadits shahih yang terdapat dalam empat kitab Sunan Abu Dawud, at‐
Tirmidzi, an‐Nasa'i, dan Ibnu Majah yang tidak disebutkan oleh al‐Bukhari dan Muslim.
Dalam Musnad Imam Ahmad terdapat banyak hadits shahih sebanding dengan al‐Bukhari dan Muslim.
Tetapi hadits‐hadits tersebut tidak terdapat pada kedua kitab shahih itu. Al‐Hakim Abu Abdullah telah
menyusun sebuah kitab besar (al‐Mustadrak) yang menghimpun hadits‐hadits shahih yang tidak termuat
dalam Shahih al‐Bukhari dan Shahih Muslim. Walaupun hadits yang dikumpulkan oleh al‐Hakim tidak
seluruhnya shahih, namun cukup banyak yang shahih. Dalam Mu’jam Kabir dan al‐Ausath karya ath‐
Thabrani, dalam Musnad Abu Ya’la, Musnad al‐Bazzar dan lain‐lain, cukup banyak hadits yang dinyatakan
shahih oleh para ahli hadits. Dengan demikian, jelaslah perkataan ulama hadits yang berbunyi, “Sedikit
sekali hadits shahih yang ditinggalkan oleh al‐Bukhari dan Muslim”, adalah tidak benar. Oleh karena itu,
tak seorang pun bisa mengingkari hadits shahih yang tidak terdapat dalam shahih al‐Bukhari dan Muslim.
Perbandingan antara Shahih al‐Bukhari dan Muslim
Para ulama sepakat bahwa kitab hadits yang paling shahih adalah kitab shahih al‐Bukhari dan Muslim. Dan
kitab al‐Bukhari lebih shahih dibanding Muslim.
Imam an‐Nasa'i berkata, “Tidak ada kitab hadits yang paling baik selain kitab karya Muhammad bin Ismail
al‐Bukhari”. Yang dimaksud dengan “baik” adalah “shahih”. Pengakuan dari ulama seperti an‐Nasa'i ini
adalah pengakuan yang jujur. Sebab imam an‐Nasa'i adalah ulama hadits yang sangat teliti, kritis dan tidak
sembarangan berkata, serta ulama terkemuka di masanya.
Ad‐Daraquthni mengatakan, “Seandainya tidak ada al‐Bukhari niscaya tidak ada Muslim”.
Namun perkataan Abu Ali an‐Naisaburi lebih mengutamakan imam Muslim. Dia pernah berkata,
“Tidak ada di kolong langit ini kitab yang lebih shahih selain kitab Muslim bin Hajjaj”.
Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama maghribi dan Abu Muhammad ibnu Hazim az‐Zahiri.
Sebenarnya, orang yang mengutamakan Shahih Muslim ini disebabkan :
1. Karena kebagusan dan susunannya teratur
2. Hadits yang periwayatannya sejalan dan dalam satu tema dikumpulkan disatu tempat, tanpa
memotong hadits untuk dimasukkan ke bab lain
3. Disamping itu, dia hanya meriwayatkan hadits marfu’ dan tidak meriwayatkan hadits mauquf dan
mu'allaq.
4. Faktor‐faktor lain yang telah dipaparkan sebelumnya di buku ini.
Jika mereka mengutamakan Muslim berdasarkan syarat‐syarat keshahihan hadits, maka kami tidak
sependapat.
Walaupun begitu, kitab Shahih Al‐Bukhari dan Muslim merupakan kitab yang paling shahih yang pernah
ditulis oleh ahli hadits. Pengarangnya telah memberikan sumbangan dan pengabdian yang sangat besar
kepada agama dan umat Islam. Kita patut bersyukur dengan menghormati mereka atas jasanya yang tidak
bisa lagi dipungkiri.
Kitab Syarah Shahih Muslim
Disamping memberikan perhatian besar kepada shahih al‐Bukhari, para ulama juga menaruh perhatian
kepada Shahih Muslim, baik dengan cara menyalinnya, membuat ikhtisarnya, mensyarahnya, maupun
menggali hukum‐hukum fiqih darinya.
Kitab syarah Shahih Muslim yang termasyhur adalah:
1. Al‐Mu’allimu fi Fawa’idi kitabi Muslim
Disusun oleh imam Abu Abdillah Muhammad bin Ali al‐Maziri. Beliau wafat tahun 536 H. Kitab ini
tersimpan di Darul Kutubul Misriyah. Pada bagian awalnya terdapat kerusakan dan kekurangan
2. Ikmalul Mu’allimi fi Syarhi Shahih Muslim
Karya imam Qadhi Iyadh bin Musa al‐Yahsabi al‐Maliki. Wafat tahun 544 H. Kitab ini masih belum dicetak.
Dari sekian banyak naskah yang telah ditulis, hanya enam jilid yang terdapat di Darul Kutubi Misriyah.
3. Al‐Minhaj fi Syarhi Shahihi Muslim bin Hajjaj.
Disusun oleh imam al‐Hafizh Abu Zakaria Muhyidin bin Syaraf an‐Nawawi asy‐Syafi’i, yang mempunyai
banyak karya yang sangat berguna dan bernilai tinggi. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram 631 H. Dan
wafat di kampung Nawa pada bulan Rajab 676 H.
Dalam kitab syarahnya, imam Nawawi banyak merujuk kepada para pendahulunya, seperti al‐Maziri dan
Qadhi Iyadh. Syarah imam Nawawi ini kadang pertengahan (tidak panjang dan tidak ringkas), kadangkala
singkat. Syarah ini banyak menjelaskan masalah akidah, hukum, akhlak, bahasa, nama perawi, dan usaha
mengkompromikan hadits yang tampak bertentangan, serta menunjukkan dalil‐dalil yang dipakai oleh
berbagai mahdzab.
Kitab syarah ini disertai muqaddimah yang membahas ilmu hadits dan sebagai kunci Shahih Muslim.
Dalam syarah ini terutama dibagian awal, terdapat penjelasan yang panjang, yang disusun secara baik dan
memuaskan. Namun dalam beberapa tempat lain, Nawawi memberikan syarah secara singkat. Kadang‐
kadang penjelasannya sulit difahami atau dengan menggunakan kalimat global yang tidak memberikan
kepuasan kepada pengkajinya.
Namun kitab itu adalah kitab Syarah Muslim yang terbaik yang sudah dicetak terutama muqaddimahnya
yang sangat berharga, dan pengaturan bab‐babnya sempurna. Kitab ini telah diterbitkan berulangkali di
Kairo dan India.
4. Ikmalu Ikmali Mu’alim
Karya imam Abu Abdillah Muhammad bin Khalifah al‐Wasyanani al‐Maliki. Wafat tahun 837 H. Kitab
terdiri dari beberapa jilid besar. Dalam muqaddimah syarah ini, al‐Wasyanani menjelaskan, syarah ini
memuat empat syarah Shahih Muslim (al‐Maziri, Qadhi Iyadh, al‐Qurtubi dan an‐Nawawi) disertai dengan
beberapa tambahan dan penyempurnaan wari Wasyanani. Untuk menunjukkan kepada perkataan empat
pensyarah tersebut, dia membuat rumus tertentu dengan kuruf mim menunjukkan al‐Maziri, huruf ‘ain
untuk Qadhi Iyadh, huruf ta menunjukkan Qurtubi, dan hurud dal untuk imam Nawawi. Apabila ia
menulis: Qala as Syaikh (guru berkata), maka yang dimaksudkan adalah guru Wasyanani yang bernama
Ibnu Arafah.
Yang paling menonjol dalam syarah ini ialah tentang fiqih terutama mahdzab Maliki. Dalam kitab ini
terdapat penjelasan yang tidak ditemukan di kitab lain.
5. Kitab Syarah karya Imam Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Yusuf as‐Sanusi al‐Hasani.
Wafat tahun 895 H. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Syarah Ikmal karya Wasyanani. Rumus yang
dipakai untuk perkataan ulama yang dikutipnya sama dengan rumus yang dipakai oleh Wasyanani, tetapi
untuk menunjukkan imam an‐Nawawi digunakan huruf ha, dan untuk Wasyanani dengan huruf ba.
Sebenarnya, al‐Hasani hanya memberikan sedikit tambahan dan mengulangi syarah yang telah ditulis oleh
Wasyanani. Kitab ini dan kitab Wasyanani telah diterbitkan menjadi satu kitab atas usaha Sultan Maqribil
Aqsa Abdul Hafiz pada tahun 1328 H.
Dibutuhkan Syarah Shahih Muslim yang Lengkap
Meskipun sudah banyak kitab syarah shahih muslim baik yang masih berupa catatan maupun yang sudah
dicetak, tetapi masih dibutuhkan adanya kitab syarah yang lengkap dan memuaskan. Diharapkan
sejumlah ulama hadits membuat proyek penyusunan Syarah Shahih Muslim yang lengkap, untuk
memenuhi segala yang dibutuhkan oleh para peneliti dan pelajar, yang dibahas dari segi balaghah,
hikmah, tuntunan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam, akhlak, penelitian terhadap riwayat,
mengkompromikan hadits yang tampak bertentangan dan menangkis serangan terhadap hadits yang
dilontarkan di masa dulu maupun sekarang, dan penulisannya dengan bahasa yang sederhana dan mudah
dicerna, sebagai pengabdian kepada Islam dan umatnya serta sebagai bukti nyata bahwa pemikiran Islam
selalu dinamis dan tidak pernah mandek.
Kitab Mukhtashar Shahih Muslim
Diantara kitba Mukhtashar (ringkasan) Shahih Muslim adalah:
1. Mukhtashar tulisan Syaikh Abu Abdullah Syarafuddin Muhammad bin Abdullah al‐Mursi. Wafat tahun
656 H.
2. Mukhtashar karya syaikh Imam Ahmad bin Umar bin Ibrahim al‐Qurthubi. Wafat tahun 656 H. Kitab
ini kemudian diberi syarah tersendiri. Pada syarah tersebut dia menjelaskan “Setelah menyusun ikhtisar
itu, lalu membuat bab‐babnya, membuat syarahnya, menerangkan kata‐kata yang sulit, menguraikan
kalimat dan beristidlal dengan hadits”. Syarah ini diberi nama al‐Mufhim Lima Usykila min Talkhisi Sahihi
Muslim. Isi syarah ini banyak mengutip dari syarah Muslim Imam Nawawi dan dari Fathul Bari Ibnu Hajar.
3. Mukhtashar yang disusun oleh imam Zakiyyudin Abdul Azim bin Abdul Qawa al‐Munziri. Wafat tahun
656 H. Mukhtashar ini telah diberi syarah oleh Syaikh Utsman bin Abdul Malik al‐Misri yang wafat tahun
738 H.
IMAM ABU DAWUD (202‐275 H/817‐889 M)
RIWAYAT IMAM ABU DAWUD
Silsilah
Nama lengkap Abu Dawud ialah Sulaiman bin al‐Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al‐Azdi as‐
Sijistani36. Dia adalah imam dan tokoh ahli hadits serta pengarang kitab Sunan. Dia dilahirkan tahun 202 H
di Sijistan.
Perkembangan dan Pengembaraannya
Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama untuk menimba ilmu.
Sebelum dewasa, dia sudah mempersiapkan diri untuk melanglang buana ke berbagai negeri. Dia belajara
hadits dari para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri
lainnya. Pengembaraannya ke beberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadits sebanyak‐
banyaknya. Kemudian hadits itu disaring, lalu ditulis pada kitab Sunan. Abu Dawud sudah berulangkali
mengunjungi Baghdad. Di kota itu, dia mengajar hadits dan fiqih dengan menggunakan kitab Sunan
sebagai buku pegangan. Kitab sunan itu ditunjukkan kepada ulama hadits terkemuka, Ahmad bin Hanbal.
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus.
Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernurnya yang mengharapkan Bashrah
menjadi kiblat bagi ulama dan pelajar hadits.
Guru‐gurunya
Jumlah guru imam Abu Dawud sangat banyak. Diantara gurunya yang paling menonjol antara lain: Imam
Ahmad bin Hanbal, al‐Qan’abi, Abu Amar ad‐Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah binRaja’, Abdul Walid
ath‐Thayalisi dan lain‐lain. Sebagian gurunya ada yang menjadi guru imam al‐Bukhari dan Muslim, seperti
Ahmad bin Hanbal, Utsman bin Abu Syaibah dan Qutaibah bin Sa’id.
Murid‐Muridnya
Ulama yang pernah menjadi muridnya dan yang meriwayatkan haditsnya antara lain Abu Isa at‐Tirmidzi,
Abu Abdurrahman an‐Nasa’i, puteranya sendiri, Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa’id al‐
Arabi, Abu Ali al‐Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al‐Jaldawi dan lain‐lain.
36 Sijistani, adalah nama suatu daerah atau kota yang berada di Bashrah
Sebagai bukti pentingnya Abu Dawud, imam Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan sebuah hadits yang
diterima darinya37. Hadits itu diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Hammad bin Salamah, dari Abu Ma’syar
ad‐Darimi dari ayahnya sebagai berikut:
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang atirah (kambing yang disembelih pada bulan
Rajab), maka beliau menilainya baik”.
Sifat dan kepribadiannya
Abu Dawud termasuk lama yang mencapai derajat tinggi dalam beribadah, kesucian diri, keshalihan dan
wara’ yang patut diteladani.
Sebagian ulama berkata: “Perilaku Abu Dawud, sifat dan kepribadiannya menyerupai imam Ahmad bin
Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal menyerupai Waki’, Waki’ menyerupai Sufyan ats‐Tsauri, Sufyan seperti
Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an‐Nakha’i, Ibrahim menyerupai ‘Alqamah, ‘Alqamah seperti Ibnu
Mas’ud dan Ibnu Mas’ud seperti Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Sifat dan kepribadian
seperti ini menunjukkan kesempurnaan beragama, perilaku dan akhlak Abu Dawud.
Abu Dawud mempunyai falsafah tersendiri dalam berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar dan
satunya lagi sempit. Bila ada yang bertanya, dia menjawab: “Lengan yang lebar ini untuk membawa kitab
sedangkan yang satunya tidak diperlukan. Kalau dia lebar berarti pemborosan”.
Ulama memuji Abu Dawud
Abu Dawud adalah seorang tokoh ahli hadits yang menghafal dan memahami hadits beserta illatnya. Dia
mendapat kehormatan dari para ulama terutama dari gurunya Imam Ahmad bin Hanbal.
Al‐Hafizh Musa bin Harun berkata: “Abu Dawud diciptakan di dunia untuk hadits, dan diakhirat untuk
surga. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama dari dia”.
Sahal bin Abdullah at‐Tastari, seorang sufi yang alim mengunjungi Abu Dawud dan berkata, “Saya adalah
Sahal, datang untuk mengunjungimu”. Abu Dawud menyambutnya dengan hormat dan
mempersilahkannya duduk. Lalu Sahal berkata, “Abu Dawud, saya ada keperluan”. Dia bertanya,
“Keperluan apa?”. Sahal menjawab, “Nanti saya katakan asalkan engkau berjanji memenuhi
37 Al‐Bidayah wa Nihayah jilid 11 halaman 55
permintaanku”. Abu Dawud menjawab, “Jika aku mampu pasti akan aku turuti”. Lalu Sahal mengatakan,
“Julurkanlah lidahmu yang engkau gunakan untuk meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam sehingga aku dapat menciumnya”. Lalu Abu Dawud menjulurkan lidahnya kemudian
dicium Sahal.
Ketika Abu Dawud menyusun kitab sunan, Ibrahim al‐Harbi seorang ulama hadits, berkata, “Hadits telah
dilunakkan baginya (Abu Dawud) sebagaimana besi dilunakkan untuk Nabi Abu Dawud”. Ungkapan itu
adalah perumpamaan bagi keistimewaan seorang ahli hadits. Dia telah mempermudah yang rumit dan
mendekatkan yang jauh serta memudahkan yang sukar.
Seorang ulama hadits dan fiqih terkemuka yang bermahdzab Hanbali, Abu Bakar al‐Khallal, berkata, “Abu
Dawud Sulaiman bin al‐Asy’as as‐Sijistani adalah imam terkemuka pada zamannya, penggali beberapa
bidang ilmu sekaligus mengetahui tempatnya, dan tak seorangpun di masanya dapat menandinginya”.
Abu Bakar al‐Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah selalu menyanjung Abu Dawud dan mereka memujinya
yang belum pernah diberkan kepada siapapun di masanya.
Mahdzab yang diikuti Abu Dawud
Syaikh Abu Ishaq as‐Syairazi dalam Tabaqatul Fuqaha menggolongkan Abu Dawud sebagai murid imam
Ahmad bin Hanbal. Begitu pula Qadhi Abdul Husain Muhammad bin Qadhi Abu Ya’la (wafat tahun 526 H)
yang termaktub dalam kitab Tabaqatul Hanabilah38. Penilai ini disebabkan imam Ahmad adalah guru Abu
Dawud yang istimewa. Ada yang mengatakan bahwa ia (Abu Dawud) bermahdzab Syafi’i.
Menurut pendapatku (Dari. M.M. Abu Syuhbah – red) kemungkinan besar ia adalah seorang mujtahid.
Sebagaimana dapat dibuktikan dari gaya susunan dan sistematika kitab sunannya. Apabila kemampuan
ijtihad merupakan salah satu sifat ulama hadits pada masa pertama.
Memuliakan ilmu dan ulama
Sikap Abu Dawud yang memuliakan ilmu dan ulama dapat diketahui dari kisah yang diceritakan oleh imam
al‐Khattabi dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Dia berkata, “Aku bersama Abu Dawud tinggal
di Baghdad. Di suatu saat, ketika kami usai melakukan shalat maghrib, tiba‐tiba‐tiba pintu rumah diketuk
orang lalu kubuka pintu dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al‐Muwaffaq minta ijin
untuk masuk. Kemudian aku memberitahu Abu Dawud dan ia pun mengizinkannya, lalu Amir duduk.
Kemudian Abu Dawud bertanya, “Apa yang mendorong Amir kesini?” Amir pun menjawab: “Ada tiga
38 Taqabatul Hanabilah halaman 118
kepentingan”. Kepentingan apa?, tanya Abu Dawud. Amir mengatakan, “Sebaiknya anda tinggal di
Bashrah, supaya para pelajar dari seluruh dunia belajar kepadamu. Dengan demikian kota Bashrah akan
makmur lagi. Karena Bashrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedi Zenji”. Abu Dawud
berkata, “itu yang pertama, lalu apa yang kedua?” Amir menjawab: “Hendaknya anda mau mengajarkan
Sunan kepada anak‐anakku”. “Yang ketiga?”, tanya Abu Dawud. “Hendaknya anda membuat majelis
tersendiri untuk mengajarkan hadits kepada keluarga khalifah, sebab mereka enggan duduk bersama
orang umum”. Abu Dawud menjawab, “Permintaan ketiga tidak bisa kukabulkan. Sebab derajat manusia
itu baik pejabat terhormat maupun rakyat jelata, dalam menuntut ilmu dipandang sama’. Ibnu Jabir
menjelaskan, “Sejak itu putera‐putera Khalifah menghadiri majelis taklim, duduk bersama orang umum,
dengan diberi tirai pemisah”.
Begitulah seharusnya, ulama tidak mendatangi raja atau penguasa tetapi merekalah yang harus
mengunjungi ulama. Itulah kesamaan derajat dalam mencari ilmu pengetahuan.
Wafatnya
Setekah hidup penuh dengan kegiatan ilmu, mengumpulkan dan menyebarluaskan hadits. Abu Dawud
wafat di Bashrah, tempat tinggalnya atas permintaan Amir sebagaimana yang telah diceritakan. Ia wafat
tanggal 16 Syawal 275 H. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha‐Nya kepadanya.
Putera Abu Dawud
Imam Abu Dawud meninggalkan seorang putera bernama Abu Bakar Abdullah bin Abu Dawud. Ia adalah
seorang imam hadits putera seorang imam hadits pula. Dilahirkan tahun 230 H dan wafat tahun 316 H.
Kitab karangan Abu Dawud
Abu Dawud mempunyai karangan yang banyak, antara lain:
1. as‐Sunan
2. al‐Marasil
3. al‐Qadar
4. an‐Nasikh wal Mansukh
5. Fadha’ilul Amal
6. az‐Zuhud
7. Dalailun Nubuwwwah
8. Ibtida’ul Wahyu
9. Ahbarul Khawarij
Diantara kitab tersebut, yang paling populer adalah kitab as‐Sunan, yang biasa dikenal dengan Sunan Abu
Dawud.
MENGENAL KITAB SUNAN ABU DAWUD
Metode penyusunan
Penyusunan kitab hadits baik berupa Jami’ ataupun Musnad dan sebagainya, disamping memuat hadits
hukum juga mencantumkan hadits mengenai amalan yang terpuji (fadha’ilul amal), kisah‐kisah, nasihat,
adab dan tafsir. Cara seperti ini terus berlangsung sampai periode Abu Dawud. Maka Abu Dawud
menyusun kitab yang khusus memuat sunnah dan hadits hukum. Ketika selesai menyusunnya, Abu Dawud
memperlihatkan kitab itu kepada imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad mengatakan bahwa kitab itu
bagus dan baik.
Dalam kitab itu, Abu Dawud tidak hanya memuat hadits shahih saja –sebagaimana al‐Bukhari dan Muslim‐
tetapi dia juga memasukkan hadits hasan dan dhaif yang tidak ditinggalkan (dibuang) oleh ulama hadits.
Apabila dia mencantumkan hadits dhoif maka dia juga akan menjelaskan kelemahan hadits tersebut.
Metode seperti ini dapat diketahui dari suratnya yang dikirimkan ke penduduk Makkah, sebagai jawaban
dari pertanyaan mereka mengenai kitab sunannya. Abu Dawud menulis sebagai berikut: “Aku telah
menulis hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam sebanyak 500.000 hadits. Dari sekian itu, aku
memilih 4.800 hadits yang kemudian kutulis dalam kitab sunan itu. Dalam kitab itu, kuhimpun hadits
shahih, semi shahih, dan yang mendekati shahih. Dan aku tidak akan mencantumkan hadits yang
ditinggalkan oleh para ulama. Hadits yang sangat lemah aku beri penjelasan. Sebagian hadits lemah ini
sanadnya tidak shahih.
Adapun hadits yang tidak kami beri penjelasan sedikitpun, maka hadits tersebut adalah shahih, dan
sebagian lebih shahih dari yang lain. Setelah al‐Qur’an, saya belum mengetahui kitab yang harus dipelajari
selain kitab ini. Empat hadits saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan beragama bagi setiap
orang.
Hadits tersebut adalah:
Sesungguhnya segala perbuatan itu hanya menurut niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai
dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul‐Nya, maka hijrahnya kepada Allah
dan Rasul‐Nya pula. Dan barangsiapa yang hijrah karena untuk mendapatkan dunia atau karena
perempuan yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang ia hijrah kepadanya.
Termasuk dari kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan yang tidak berguna baginya.
Seorang mukmin belum menjadi mukmin yang sebenarnya sebelum merelakan untuk saudaranya apa
yang ia rela untuk dirinya
Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun juga sudah jelas. Diantara keduanya terdapat yang
syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barangsiapa yang menghindari syubhat maka
dia telah menyelamatkan agamanya dan kehormatan dirinya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam
syubhat, maka dia telah terjerumus ke dalam yang haram. Seperti penggembala menggiring ternaknya ke
tempat terlarang. Ketahuilah larangan Allah adalah segala yang diharamkan oleh‐Nya. Ingatlah di dalam
tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuh. Dan jika rusak, maka
rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah ia adalah hati
Pernyataan Abu Dawud itu dapat diberi penjelasan sebagai berikut: hadits pertama, adalah ajaran dasar
tentang niat dan keiklasan yang menjadi dasar utama dalam setiap amal yang bersifat agama maupun
dunia. Hadits kedua, adalah ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk melakukan setiap yang
bermanfaat bagi agama dna dunianya. Hadits ketiga, mengatur tentang hak‐hak keluarga dan tetangga,
berbuat baik kepada orang lain, meninggallkan sifat egois menjauhi sifat iri, dengki dan benci.
Hadits keempat, adalah dasar untuk mengetahui yang halal dan yang haram, serta mencapai sifat wara’.
Yakni dengan cara menjauhi yang musykil dan yang syubhat yang diperselisihkan oleh para ulama. Karena
mempermudah melakukan yang syubhat akan membuat seseorang melemah meremehkan yang haram.
Dan penjelasan ini, dapat diketahui bahwa keempat hadits diatas sudah cukup dipakai pegangan untuk
mendapatkan kebahagiaan.
Pendapat para ulama mengenai kedudukan Sunan Abu Dawud
Banyak sekali yang memuji kitab sunan Abu Dawud ini. Mereka diantara adalah:
1. Al‐Hafizh Abu Sulaiman al‐Khattabi
Dalam muqaddimah kitab Ma’alimus Sunan, Abu Sulaiman mengatakan, “Ketahuilah, kitab Sunan Abu
Dawud merupakan kitab mulia yang kualitasnya belum ada yang menyamainya. Semua orang
menerimanya dengan baik. Oleh karena itu, ia menjadi Hakim antara ulama dan fuqaha (ahli fiqih) yang
berlainan mahdzab. Semuanya datang dan minum darinya. Kitab itu menjadi pegangan ulama Irak, Mesir,
Maroko dan negeri‐negeri lain”.
2. Ibnul Arabi
Dia adalah seorang perawi as‐Sunan, pernah berkata, “Apabila seseorang sudah memiliki Kitabullah dan
kitab as‐Sunan Abu Dawud, maka dia tidak lagi memerlukan kitab lainnya”.
3. Ibnul Qayyim
Ulama ini berkata, “Kitab Sunan Abu Dawud memiliki kedudukan tinggi dalam dunia Islam sehingga
menjadi hakim diantara umat Islam, dan pemberi keputusan bagi perselisihan pendapat. Kepada kitab
itulah orang‐orang jujur mengharapkan keputusan. Mereka merasa puas atas keputusan dari kitab itu.
Karena Abu Dawud telah menghimpun segala macam hadits hukum dan menyusunnya dengan
sistematika yang baik dan indah serta membuang hadits yang lemah. Dan menjadikan kitabnya sebagai
bekal utama”.
Hadits Abu Dawud yang dikritik
Imam Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadits Abu Dawud dan memandang sebagai hadits maudlu
(palsu). Jumlah hadits tersebut sebanyak sembilan buah. Disamping Ibnul Jauzi, sudah dikenal sebagai
orang yang terlalu menggampangkan mengatakan “Maudlu”, kritikan tersebut telah dibantah oleh
sebagian ahli hadits, seperti Jalaluddin as‐Suyuthi. Seandainya kita menerima kritikan tersebut maka
sebenarnya hadits yang dikritik itu sedikit sekali jumlahnya, dan tidak mempengaruhi ribuan hadits yang
terdapat di dalam kitab Sunan itu.’’
karena itu kami berpendapat hadits yang dikritik itu tidak mengurangi nilai kitab sunan sebagai referensi
utama yang dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi kami berpesan: Jangan mengambil begitu saja hadits
hadits yang tidak dijelaskan kedudukannya oleh Abu Dawud sebelum menelitinya untuk diketahui
kedudukannya shahih, hasan dan dhoif.
Jumlah hadits Sunan Abu Dawud
Sebagaimana yang telah disebutkan, jumlah hadits yang terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud sebanyak
4.800 buah. Namun sebagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 hadits. Perbedaan ini
disebabkan sebagian orang menghitung hadits yang diulang sebagai satu hadits, sedangkan yang lain
menganggap dua hadits atau lebih. Dua cara menghitung seperti ini sudah dikenal di kalangan ulama
hadits.
Abu Dawud membagi sunannya dalam beberapa kitab, dan setiap kitab dibagi menjadi beberapa bab.
Jumlah kitab sebanyak 35 buah, diantaranya ada tiga kitab yang tidak dibagi ke dalam bab‐bab. Sedangkan
jumlah bab sebanyak 1.871 buah.
Syarah Sunan Abu Dawud
Banyak ulama yang menulis kitab syarah Sunan Abu Dawud. Diantara kitab tersebut adalah:
1. Ma’alimus Sunan
Kitab syarah ini ditulis oleh imam Abu Sulaiman Ahmad bin Ibrahim bin Khattab al‐Bisti al‐Khattabi wafat
tahun 388 H. Kitab ini merupakan syarah yang sederhana yang mengupas masalah bahasa, meneliti
riwayat, menggali hukum, dan membahas adab. Kitab ini sudah dicetak.
2. Ainul Ma’bud ‘Ala Sunan Abi Dawud
Kitab ini ditulis oleh Syaikh Sarafatul Haq Muhammad Asyaraf bin ‘Ali Haidar as‐Siddiqi al‐Azim Abadi.
Wafat pada abad ke‐14 H. Kitab ini hanya menjelaskan kata‐kata sulit. Ia menguatkan hadits satu atas
lainnya secara ringkas, tanpa menjelaskan berbagai dalil yang ditunjukkan oleh mahdzab‐mahdzab secara
menyeluruh kecuali hanya sebagian saja. Syarah ini sudah diterbitkan di India dalam empat jilid besar.
3. Al‐Manhalu ‘Azbu al‐Maurud Syarhu Sunan Abi Dawud
Kitab ini disusun oleh seorang ulama makrifat Syaikh Mahmud bin Muhammad bin Khattab as‐Subki. Di
dalam kitab ini, as‐Subki menunjukkan nama‐nama perawi hadits, menjelaskan kata‐kata yang sulit,
mengungkapkan hukum dan adab dari hadits tersebut. Disamping itu, juga menyebutkan nama perawi
hadits tertentu selain Abu Dawud dan menunjukkan derajat hadits shahih, hasan atau dhoif. Tetapi
sebelum menyelesaikan kitab besar ini, beliau wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 1352 H.
Mukhtashar Sunan Abu Dawud
Imam al‐Hafizh Abdul Azim bin Abdul Qawi al‐Mundziri (wafat 656 H) penyusun kitab at Targhib wat
Tarhib, menulis ikhtisar Sunan Abu Dawud yang diberi nama Al‐Mujtaba. Setiap hadits, al‐Mundziri juga
menyebutkan ulama lain dari lima imam hadits yang juga meriwayatkan hadits tersebut. Dia juga
menunjukkan kelemahan sebagian hadits. Mukhtashar ini disusun secara baik dan menarik.
Perbaikan Mukhtashar
Mukhtashar al‐Mundziri telah diperbaiki dan sekaligus disyarah oleh imam Muhammad bin Abu Bakar
Ibnul Qayyim al‐Jauziyah. Wafat tahun 751 H). Ibnul Qayyim memberikan beberapa tambahan penjelasan
mengenai kelemahan hadits yang belum dishahihkan, serta membahas matan hadits yang musykil. Dia
juga menguraikan beberapa masalah secara panjang lebar yang tidak ditemukan pada kitab lain. Begitulah
Ibnul Qayyim memang dikenal luas sebagai ulama yang selalu membahas setiap persoalan secara luas.
Kitab mukhtashar dan kitab perbaikannya ditambah kitab Ma’alimus Sunan susunan al‐Khattabi telah
dicetak menjadi satu kitab di Mesir.
IMAM AT‐TIRMIDZI (209‐279 H/824‐892 M)
RIWAYAT IMAM AT‐TIRMIDZI
Silsilah
Nama lengkap at‐Tirmidzi ialah Abu Isa Muhammad bin Musa bin ad‐Dahhak as‐Sulami at‐Tirmidzi39.
Beliau adalah ulama hadits ternama dan penulis beberapa kitab yang terkenal. Dia dilahirkan di kota
Tirmiz.
Perkembangan dan Pengembaraannya
Kakek at‐Tirmidzi berasal dari daerah Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan hidup disana. Di kota itulah
Abu Isa dilahirkan. Sejak kecil dia sudah senang mempelajari ilmu dan hadits. Dia pergi ke beberapa negeri
seperti Hijaz, Irak, Khurasan dan lain‐lain. Dalam perjalanan itu dia bertemu dengan ulama besar ahli
hadits untuk memperoleh hadits, kemudian dihafal dan dicatatnya baik di tengah perjalanan maupun
ketika sudah sampai di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia‐nyiakan waktu begitu saja, sebagaimana
dapat diketahui dalam kisah pertemuannya dengan seorang syaikh di perjalanan menuju Makkah.
Setelah melakukan perjalanan panjang untuk belajar dan berdiskusi, serta mengarang, pada akhirnya dia
hidup sebagai tunanetra. Beberapa tahun kemudian beliau meninggal dunia. Beliau wafat di Tirmiz pada
malam senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Guru‐Gurunya
Beliau belajar dan meriwayatkan hadits dari beberapa ulama besar. Diantaranya ialah imam al‐Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Ghailan, Said bin Abdurrahman,
Muhammad bin Basyar, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al‐Mutsanna dan lain‐lain.
Murid‐Muridnya
Murid yang mempelajari dan meriwayatkan hadits dari at‐Tirmidzi antara lain: Makhul bin al‐Fadhal,
Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Abdu bin Muhammad as‐Nasfiyun, al‐Haisam bin
Kulaib as‐Syasyi, Ahmad bin Yusuf an‐Nasafi, Abul Abbas Muhammad bin Mahbub al‐Mahbubi dan lain‐
lain.
39 Tirmidzi, adalah nisbah dari sebauh nama kota Tirmiz yang berada di pinggiran sungai Jihun, Iran Utara
Kekuatan Hafalannya
Abu Isa at‐Tirmidzi terkenal kuat hafalannya, keshalihannya dan ketaqwaannya, amanah dan sangat teliti.
Salah satu bukti kekuatan hafalannya dapat diketahui dari cerita yang dikisahkan oleh Ibnu Hajar dalam
kitab Tahdzib at Tahdzib: Ahmad bin Abdullah bin Abu Dawud pernah berkata: “Saya mendengar Abu Isa
at‐Tirmidzi bercerita, “Disaat dalam perjalanan ke Makkah ketika itu saya telah menulis dua juz hadits
yang kudengar dari seorang guru. Rombongan guruku bertemu denganku, lalu saya bertanya mengenai
dia. Mereka menjawab dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya sambil
membawa kitab dua jilid yang baru kuselesaikan. Ternyata aku keliru membawa dua jilid yang mirip
dengannya”.
“Saya memohon untuk mendengar hadits darinya, dan dia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia
membacakan hadits yang dihafalnya. Di saat itu, dia dia melihat kertas yang aku pegang masih putih tanpa
ada tulisannya. Lalu dia berkata, “Apakah kamu tidak malu kepadaku?” Lalu aku mengatakan bahwa yang
ia baca itu sudah kuhafal. “Coba ulangi membaca!”, dia menyuruhku. Lalu saya membacakan seluruhnya
secara beruntun. Dia bertanya lagi, “Apakah engkau sudah hafal sebelum mendatangiku?” “Tidak”,
jawabku. Kemudian saya minta lagi kepadanya untuk membacakan hadits lainnya. Lalu dia membacakan
empat puluh hadits yang tergolong hadits ghorib. Lalu dia menyuruhku: “Coba ulangi hadits yang kubaca
tadi!”. Lalu aku membaca dari yang pertama sampai yang terakhir. Dia berkata, “Aku belum pernah
melihat orang seperti kamu”.
Pandangan Kritikus Hadits Terhadap Dirinya
Para ulama besar telah memuji dan mengakui kemuliaan dan ilmu at‐Tirmidzi. Al‐Hakim Abu ‘Abdullah
berkata: “Saya mendengar Umar bin ‘Ak berkata: “Imam al‐Bukhari wafat dan tidak meninggalkan seorang
ulama penggantinya di Khurasan seperti Abu Isa at‐Tirmidzi dalam bidang ilmu, kekuatan hafalnya, wara’
dan kezuhudannya. Al‐Hafizh Ibnu Abu Hatim Muhammad Ibnu Hibban dalam kitab ats‐Tsiqat
mengatakan: “at‐Tirmidzi adalah ulama pengumpul hadits, penyusun kitab, penghafal hadits, dan sering
berdiskusi dengan para ulama”. Abu Ya’la al‐Khalili dalam kitabnya Ulumul Hadits mengatakan:
“Muhammad bin Isa at‐Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang diakui oleh para ulama. Dia
memiliki kitab Sunan dan kitab al‐Jarhu wat Ta’dil”. Abu Mahbub dan al‐Ajla meriwayatkan hadits darinya.
At‐Tirmidzi terkenal sebagai orang amanah, ulama dan imam yang berilmu luas. Kitabnya Jami’us Shahih
sebagai bukti atas ketinggian ilmunya, kekuatan hafalannya, banyak bacaannya dan penguasaan haditsnya
sangat luas.
Kami belum pernah melihat orang yang merendahkan at‐Tirmidzi selain Ibnu Hazm ad‐Dahiri. Tetapi tidak
satupun ulama ternama menyetujui pendapatnya, bahkan kami sendiri menilai negatif terhadap Ibnu
Hazm.
Al‐Hafizh Ibnu Katsir dalam bukunya Bidayah wan Nihayah menjelaskan: “Sikap Ibnu Hazm yang
merendahkan at‐Tirmidzi tidak akan mengurangi kemuliaannya. Ibnu Hazm di dalam kitabnya al‐Muhalla
berkata: “Siapa sih Muhammad bin Isa Saurah itu?” Sikap ini tidak akan merendahkan at‐Tirmidzi, bahkan
sebaliknya dapat merendahkan Ibnu Hazm sendiri dimata para ulama hadits”. Ibnu Katsir menambahkan,
“Apakah logis jika terangnya siang memerlukan bukti?”.
Begitu pula Ibnu Hajar mengecam Ibnu Hazm dan menilainya sebagai kesombongan Ibnu Hazm terhadap
ulama terpercaya dan ternama40.
Fiqih at‐Tirmidzi dan Ijtihadnya
Disamping sebagai ahli dan penghafal hadits yang mengetahui perawi dan kelemahannya. At‐Tirmidzi juga
dikenal sebagai ahli fiqih yang memiliki pandangan luas. Barangsiapa yang mempelajari kitab Jami’‐nya
niscaya akan mengetahui ketinggian ilmu dan penguasaannya terhadap berbagai mahdzab fiqih.
Pembahasannya mengenai masalah fiqih menunjukkan dirinya sebagai ulama yang sangat mengerti.
Sebagai contoh, dia menjelaskan sebuah hadits tentang penangguhan membayar hutang padahal sudah
mampu untuk membayarnya sebagai berikut:
Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami dari Abdurrahman bin Mahdi, dari Sufyan, dari Abi
Zinab dari al‐A’raj, dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersanda:
Penangguhan membayar hutang bagi yang mampu adalah suatu kezhaliman. Apabila seseorang dari
kamu dipindahkan hutangnya kepada orang lain yang mampu membayarnya hendaklah pemindahan itu
diterimanya.
At‐Tirmidzi menjelaskan sebagai berikut: sebagian ulama berkata, “Apabila seseorang dipindahkan
hutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah
orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan hutangnya (muhtal) tidak
diperbolehkan menuntut kepada muhil”. Ini adalah pendapat asy‐Syafi’i dan Ishaq.
40 Tahzibut Tahzib, jilid 9 hamana 387
Ada pula ulama yang berpendapat: “Apabila harta seseorang (muhtal) mejnadi rugi disebabkan kepailitan
muhal alaih, maka baginya diperbolehkan menuntut orang yang pertama (muhil)”.
Mereka memakai alasan dari perkataan Utsman dan lainnya yang menegaskan : “Tidak ada kerugian atas
harta benda seorang muslim”.
Dengan demikian, apabila hutang seseorang dipindahkan kepada orang lain yang dikiranya mampu,
namun ternyata tidak mampu maka harta benda orang muslim itu tidak boleh dirugikan.
Karya‐Karyanya
Kitab hasil imam at‐Tirmidzi adalah:
1. al‐Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at‐Tirmidzi
2. al‐‘Illat, kitab ini terdapat di akhir kitab al‐Jami’
3. at‐Tarikh
4. as‐Syama’il Muhammadiyah
5. az‐Zuhud
6. as‐Asma wal Kuna
diantara sekian kitab itu, yang paling termasyhur adalah kitab al‐Jami’ (Sunan at‐Tirmidzi).
MENGENAL KITAB JAMI’ AT‐TIRMIDZI
Kitab Al‐jami’
Kitab ini adalah salah satu hasil karya imam at‐Tirmidzi terbesar dan paling berharga. Ia termasuk salah
satu dari Kutubus Sittah (enam hadits pokok) dan kitab yang ternama. Al‐Jami’ ini terkenal dengan nama
Jami’ at‐Tirmidzi dinishbahkan kepada penulisnya, yang juga dikenal dengan nama Sunan at‐Tirmidzi.
Namun nama pertamalah yang termasyur.
Sebagian ulam tidak keberatan menyebutkan kitab itu sebagai as‐Shahih at‐Tirmidzi41. Sebenarnya
pemberian nama itu tidak tepat dan terlalu gegabah, sebagaimana yang akan dibahas nanti.
41 Al‐Ba’isul Hasis halaman 18
Setelah menyusun kitab ini, at‐Tirmidzi memperlihatkannya kepada para ulama dan mereka gembira
menerimanya. Dia mengatakan, “Setelah selesai menyusun, aku tunjukkan kitab itu kepada ulama di Hijaz,
Irak dan Khurasan. Mereka menerimanya dengan gembira. Barangsiapa menyimpan kitab ini dirumahnya
maka di rumahnya itu seakan‐akan ada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang selalu berbicara”.
Metode at‐Tirmidzi dalam Al‐Jami’
Dalam kitab al‐Jami’, at‐Tirmidzi tidak hanya meriwayatkan hadits shahih saja, tetapi juga meriwayatkan
hadits hasan, dhoif, gharib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Disamping itu, dia tidak meriwayatkan hadits kecuali yang diamalkan oleh ahli fiqih. Metode ini
merupakan syarat yang longgar. Oleh karena itu dia meriwayatkan hadits baik yang shahih atau yang tidak
shahih. Tetapi dia selalu memberikan penjelasan sesuai dengan derajat haditsnya.
At‐Tirmidzi pernah berkata, “Semua hadits yang terdapat di dalam kitab ini dapat diamalkan”. Oleh
karena itu, sebagian ulama memakainya sebagai pegangan kecuali dua hadits:
Pertama,
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menjama’ shalat zhuhur dengan ashar, dan
maghrib dengan ‘isya tanpa sebab “takut” atau “dalam perjalanan”.
Kedua,
“Jika peminum khamr meminum lagi yang keempat, maka bunuhlah ia”.
Hadits tentang “menjama’ shalat”, para ulama tidak sepakat meninggalkannya. Sebagian besar dari
mereka berpendapat, menjama’ shalat tanpa ada sebab “takut” atau dalam “perjalanan” hukumnya
boleh, asalkan tidak dijadikan kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab, Ibnu Mundzir dan
sebagian besar ulama fiqih dan hadits.
Tentang hadits mengenai “peminum khamr”, telah dijelaskan sendiri oleh at‐Tirmidzi. Dan menurut ijma’
ulama, hadits tersebut sudah dimansukh.
Hadits dhoif dan munkar yang terdapat pada kitab ini pada umumnya hanya menyangkut fadha’ilul amal
(anjuran melakukan kebaikan). Persyaratan bagi hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan
persyaratan bagi hadits tentang halal dan haram.
Salah satu kritikan terhadap at‐Tirmidzi, antara lain karena dia meriwayatkan hadits dari al‐Maslub dan al‐
Kilbi. Padahal kedua orang itu “tertuduh” telah membuat hadits palsu. Inilah sebabnya mengapa
kedudukan Jami’ at‐Tirmidzi lebih rendah dari Abu Dawud dan an‐Nasa'i.
Meskipun Jami’ at‐Tirmidzi mendapat kritikan, namun di sisi lain ia memiliki beberapa keistimewaan.
Keistimewaan Jami’ at‐Tirmidzi
Majduddin Ibnul Asir dalam muqaddimah kitabnya, Jami’ul Ushul mengatakan: “Kitab shahih at‐Tirmidzi
ini merupakan kitab yang baik, banyak faedahnya, bagus sistematikanya dan sedikit pengulangan isinya. Di
dalamnya banyak keterangan penting yang tidak ditemukan pada kitab lain, seperti pembahasan
mengenai mahdzab‐mahdzab, cara beristidhal dan penjelasan tentang hadits shahih, hasan dan gharib.
Juga pembahasan mengenai jarh dan ta’dil, dan di akhir kitab Jami’ itu dilengkapi dengan kitab al‐Ilal.
Garis besarnya kitab ini sangat berharga dan berfaedah bagi yang mempelajarinya.
Diantara keistimewaannya yang lain adalah adanya hadits sulasi (hanya tiga perawi). Dalam kitab
Jami’nya, at‐Tirmidzi meriwayatkan hadits sanad yang tinggi (‘Ali) sehingga antara at‐Tirmidzi dengan Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa sallam hanya terdapat tiga perawi. At‐Tirmidzi hanya meriwayatkan satu buah
hadits sulasi sebagaimana termaktub di bawah ini:
Ismail bin Musa menceritakan kepada kami, ia berkata: Umar bin Syakir menceritakan kepada kami, dari
Anas bin Malik ra., ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Akan datang kepada
umat manusia, di suatu masa, orang yang sabar melaksanakan ajaran agamanya, laksana menggenggam
bara api”.
Hadits Jami’ at‐Tirmidzi yang Dikritik
Sebagian ulama hadits mengkritik beberapa hadits yang diriwayatkan oleh at‐Tirmidzi dan menilainya
sebagai hadits maudlu (palsu). Mereka yang mengkritik itu antara lain al‐Hafizh Ibnul Jauzi dalam kitab
Maudu’at, serta Ibnu Taimiyah dan muridnya yang bernama adz‐Dzahabi. Jumlah hadits yang dikritik oleh
Ibnul Jauzi sebanyak tiga puluh buah, tetapi predikat “maudlu” yang ditempatkan pada hadits itu telah
dibantah oleh al‐Hafizh Jalaluddin as‐Suyuthi.
Sebenarnya sebagian besar hadits yang hanya menyangkut fadhailul amal ada yang bisa disebut maudlu,
tetapi ada pula yang tidak maudlu. Jika pengkritik menilainya palsu, maka at‐Tirmidzi menilai tidak
demikian. Sebab hampir tidak ada seorang imam hadits meriwayatkan hadits maudlu, yang dia sendiri
sudah mengetahuinya, kecuali jika disertai dengan penjelasannya. Terlepas dari itu semua, jumlah hadits
yang dikritik itu sedikit sekali bila dibandingkan dengan ribuan hadits yang terdapat dalam kitab al‐Jami’
dan tidak mengurangi kedudukan kitab itu sebagai pegangan.
Syarah Jami’ut Tirmidzi
Diantara kitab syarah Jami’ut Tirmidzi adalah:
1. Aridatul Ahwadzi fi Syarhi Sunanit Tirmidzi
Kitab ini ditulis oleh al‐Hafizh Abu Bakar Muhammad bin Abdillah al‐Isybili, yang lebih dikenal dengan
nama Ibnul Arabi al‐Malik, wafat tahun 543 H, di kota Fez. Kitab ini banyak membahas perawi hadits,
sanad dan hadits gharib. Juga menerangkan cabang ilmu lain seperti nahwu, akidah, hukum, adab, hikmah
dan masalah. Disamping itu, dia menjelaskan pendapat para ulama beserta dalilnya, terutama pendapat
imam Malik. Semua itu dipaparkan dengan penjelasan yang mantap disertai dengan gaya bahasa yang
indah. Kitab syarah ini diterbitkan di Mesir dan India.
2. Qutul Mugtazi ala Jami’ at‐Tirmidzi
Kitab syarah ini ditulis oleh al‐Hafizh Jalaluddin as‐Suyuthi, wafat tahun 911 H. Kitab syarah tersebut diberi
mqaddimah tentang al‐Jami’, kedudukannya dan istilah yang terdapat di dalamnya. Syarah ini ditulis
secara ringkas, dan banyak merujuk kepada syarah sebelumnya, terutama yang ditulis oleh Ibnul Arabi.
Kitab ini diterbitkan di India.
Itulah kitab syarah Jami at‐Tirmidzi dan masih banyak kitab syarah lainnya. Sebagian masih berupa tulisan
biasa dan sebagian lagi telah hilang ketika terjadi prahara.
IMAM AN‐NASA'I (215‐303 H/839‐915 M)
RIWAYAT IMAM AN‐NASA'I
Silsilah
Dia adalah ulama terkemuka melebihi ulama lain di masanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh adz‐
Dzahabi dalam kitabnya yang berjudul Tazkirah, nama lengkap imam an‐Nasa'i adalah Abu Abdurrahman
Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahar al‐Khurasani al‐Qadhi. Dialah pengarang kitab sunan
dan kitab‐kitab berharga lainnya. Dilahirkan di daerah Nasa pada tahun 215 H. Ada yang berpendapat dia
dilahirkan tahun 214 H.
Perkembangan dan Pengembaraannya
Dia lahir dan dibesarkan di Nasa42. Ia menghafalkan al‐Qur’an dan mempelajari ilmu‐ilmu dasar dari guru‐
guru madrasah di negerinya. Setelah menginjak remaja, dia senang mengembara untuk mendapatkan
hadits. Sebelum berusia lima belas tahun, dia pergi ke Hijaz, Irak, Mesir dan Jazirah untuk belajar hadits
dari ulama‐ulama negeri itu, sehingga an‐Nasa'i menjadi ulama hadits terkemuka yang mempunyai sanad
‘Ali (sedikit sanadnya).
Hidup di Mesir dan Pindah ke Damaskus
An‐Nasa'i tinggal di Mesir di jalan Qanadil hingga setahun menjelanf wafatnya. Kemudian ia pindah ke
Damaskus. Di tempat yang baru ini ia mengalami peristiwa tragis yang menyebabkan kematiannya.
Dikisahkan ketika dimintai pendapat tentang keutamaan Mu’awiyah, mereka seakan‐akan mendesak an‐
Nasa'i agar menulis buku tentang keutamaan Mu’awiyah, sebagaimana ia menulis keutamaan Ali ra. An‐
Nasa'i menjawab kepada penanya itu: “Apakah kamu belum puas adanya kesamaan derajat antara
Mu’awiyah dan Ali sehingga kamu merasa perlu mengutamakannya?” Mendengar jawaban seperti itu,
mereka marah lalu memukulinya sampai buah zakarnya pun dipukul, serta menginjak‐injak kemudian
menyeretnya keluar masjid sampai hampir meninggal dunia.
Wafatnya
Tidak ada kesamaan pendapat tentang tempat beliau wafat. Ad‐Daraquthni menjelaskan ketika ditimpa
musibah di Damaskus itu, ia minta dipindahkan ke Makkah dan meninggal di tanah haram itu, kemudian
42 Nasa’, adalah nama sebuah kota terkenal di Khurasan
dimakamkan di suatu tempat antara safa dan marwah. Begitu pula pendapat Abdullah bin Mandah dari
Hamzah al‐Uqbi al‐Misri dan ulama lainnya.
Imam adz‐Dzahabi berbeda pendapat dengan pendapat diatas. Menurutnya, an‐Nasa'i meninggal di
Ramlah, Palestina. Ibnu Yunus dalam Tarikh‐nya sependapat dengan adz‐Dzahabi. Begitu pula Abu Ja’far
ath‐Thahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Mereka juga mengatakan bahwa an‐Nasa'i wafat tahun 303 H
dan dimaqamkan di Baitul Maqdis43.
Periwayatan An‐Nasa'i
An‐Nasa'i menerima hadits dari beberapa ulama terkemuka. Ketika berusia lima belas tahun, dia belajar
ke Qutaibah selama empat belas bulan. Guru lainnya adalah Ishaq bin Rahawaih, Al‐Haris bin Miskin, Ali
bin Khasram dan Abu Dawud (penulis as‐Sunan) dan at‐Tirmidzi (penulis al‐Jami’).
Banyak ulama yang meriwayatkan haditsnya. Diantara Abul Qasim ath‐Thabrani (penulis tiga Mu’jam),
Abu Ja’far ath‐Thahawi, al‐Hasan bin al‐Khidir as‐Suyuthi, Muhammad bin Mu’awiyah bin al‐Ahmaar al‐
Andalusi dan Abu Bakar bin Ahmad as‐Sunni.
Sifat‐Sifatnya
An‐Nasa'i memiliki wajah yang tampan, kulitnya putih kemerahan, dan suka mengenakan pakaian dengan
motif bergaris buatan Yaman. Dia adalah ahlli ibadah baik di waktu siang maupun malam, serta rajin
berhaji dan berjihad.
Dia sering ikut bertempur bersama gubernur Mesir. An‐Nasa'i terkenal keberaniannya dan keteguhan
hatinya menegakkan cara berjihad menurut sunnah Rasul, sehingga dia dikenal selalu menjaga jarak
dengan majelis penguasa, meskipun sering ikut berperang bersamanya. Begitulah seharusnya disamping
mengajarkan ilmu pengetahuan, apabila ada panggilan jihad, hendaklah ulama segera memenuhi
panggilan itu. Selain itu, imam an‐Nasa'i mengikuti jejak Abu Dawud, sehari berpuasa sehari tidak.
Kritis dalam Periwayatan
An‐Nasa'i sangat teliti terhadap perawi dan telah menentukan persyaratan yang sangat ketat dalam
menerima hadits. Al‐Hakim mengutip pendapat ad‐Daraquthni yang mengatakan: “Abu Abdurrahman an‐
Nasa'i adalah ulama hadits terkemuka di masanya”. Kitab hadits yang disusunnya disebut as‐Shahih.
43 Bidayah wan Nihayah, jilid 11 halaman 124
Abu Ali an‐Naisaburi, seorang ahli hadits di Khurasan mengatakan: “Yang meriwayatkan hadits kepada
kami adalah seorang imam hadits yang telah diakui oleh ulama, bernama Abdurrahman an‐Nasa'i”. An‐
Naisaburi melanjutkan: “Syarat yang dipakai an‐Nasa'i lebih ketat dibanding syarat yang digunakan oleh
Muslim al‐Hajjaj”.
Fiqih an‐Nasa'i
Disamping ahli di bidang hadits, mengetahui perawi dan kelemahan hadits yang diriwayatkan, dia juga
seorang ahli fiqih.
Ad‐Daraquthni pernah berkata, “Di Mesir, an‐Nasa'i adalah orang yang paling ahli di bidang fiqih pada
masanya, dan paling mengetahui tentang hadits dan perawinya”.
Al‐Hakim Abu Abdullah berkata: “Pendapat Abu Abdurrahman mengenai hadits fiqih sangat banyak
jumlahnya jika ditunjukkan seluruhnya. Barangsiapa mengkaji kitabnya, as‐Sunan, niscaya akan terpesona
dengan keindahan kata‐katanya.
Ibnu Asir al‐Jazairi menerangkan dalam Muqadimah Jami’ul Ushul‐nya, an‐Nasa'i bermahdzab Syafi’i dan
mempunyai kitab manasik yang ditulis berdasarkan mahdzab Syafi’i Rahimahullaah.
Karya‐Karyanya
Diantara kitab karya imam an‐Nasa'i adalah:
1. as‐Sunanul Kubra
2. as‐Sunanul Kubra, terkenal dengan nama al‐Mujtaba
3. al‐Khasa’is
4. Fadha’ilus Shahabah
5. a‐Manasik
diantara karya tersebut, yang paling besar dan terkenal adalah kitab as‐Sunan.
MENGENAL KITAB SUNAN AN‐NASA'I
Sunan an‐Nasa'i
Ketika selesai menyusun kitabnya, as‐Sunanul Kubra, imam an‐Nasa'i memberikan kepada Amir ar‐
Ramlah. Amir itu bertanya, “Apakah isi kitab ini shahih semua?” Dia menjawab, “Ada yang shahih, ada
pula yang hasan dan ada pula yang mendekati keduanya”. Sang amir berkata, “Pilihkan hadits yang shahih
saja untukku”. Kemudian an‐Nasa'i menghimpun hadits shahih saja dalam kitab yang diberi nama as‐
Sunanul Sughra. Dan kitab ini disusun menurut sistematika fiqih seperti kitab sunan yang lain.
Imam an‐Nasa'i sangat teliti dalam menyusun kitab Sunanul Sugra. Oleh karena itu, ulama berkata,
“Derajat kitab Sunanul Kubra di bawah Shahih al‐Bukhari dan Muslim. Karena sedikit sekali hadits dhoif
yang terdapat di dalamnya”. Oleh karena itu hadits sunan ini yang dikritik oleh Abul Faraj Ibnu al‐Jauzi dan
dianggap sebagai hadits maudlu jumlahnya amat sedikit, yakni sebanyak sepuluh buah. Penilaian maudlu
itu tidak sepenuhnya dapat diterima bahkan as‐Suyuthi menyanggahnya. Dalam Sunan an‐Nasa'i terdapat
hadits shahih, hasan dan dhoif. Tetapi yang dhoif jumlahnya sangat sedikit. Adapun pendapat sebagian
ulama yang mengatakan bahwa hadits sunan itu shahih semua, adalah penilaian yang terlalu sembrono.
Atau maksud pernyataan itu adalah sebagian besar isi Sunan itu adalah hadits shahih.
Sunanul Sughra yang dikatagorikan sebagai salah satu kitab hadits pokok yang dapat dipercaya menurut
penilaian ahli hadits. Sedangkan di Sunanul Kubra tidak terdapat hadits yang ditinggalkan ulama.
Apabila ada hadits yang dinisbahkan kepada an‐Nasa'i misalnya dikatakan, “Hadits riwayat an‐Nasa'i”,
yang dimaksudkan ialah hadits yang terdapat dalam Sunanul Sughra. Tetapi ada pula yang mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan “riwayat an‐Nasa'i” adalah hadits yang terdapat dalam Sunanul Kubra,
sebagaimana pendapat penulis kitab Aunul Ma’bud Syarhu Sunan Abi Dawud sebagai berikut: “Ketahuilah
perkataan al‐Mundziri dalam Mukhtasharnya dan perkataan al‐Mizzi dalam al‐Atraf‐nya, “hadits ini
diriwayatkan oleh an‐Nasa'i”, maka yang dimaksud adalah hadits yang terdapat dalam Sunanul Kubra
yang kini beredar di seluruh negeri seperti India, Arabia dan negeri‐negeri lainnya. Oleh karena itu hadits
yang dikatakan oleh al‐Mundziri dan al‐Mizzi, “Diriwayatkan oleh an‐Nasa'i” adalah hadits yang terdapat
pada Sunanul Kubra. Kita tidak usah bingung dengan tiada hadirnya kitab Sunanul Sughra, sebab isinya
sudah tercakup dalam Sunanul Kubra. Al‐Mizzi dalam beberapa tempat berkata, “Hadits ini diriwayatkan
oleh an‐Nasa'i dalam bab Tafsir”, padahal dalam Sunanul Sughra tidak terdapat bab tafsir, melainkan ada
di Sunanul Kubra. Perlu diketahui Sunan an‐Nasa'i adalah salah satu kitab hadits pokok yang menjadi
pegangan umat Islam.
Syarah Sunan an‐Nasa'i
Para ulama kurang memperhatikan untuk mensyarah Sunan an‐Nasa'i berbeda dengan kitab hadits
lainnya. Sebagaimana yang telah diterangkan oleh imam Suyuti (wafat 911 H) dalam muqaddimah kitab
syarah‐nya: “Syarah ini hanyalah catatan (ta’liq) atas kitab Sunan al‐Hafizh Abu Abdurrahman an‐Nasa'i.
Cara penyusunannya sama dengan catatan atas al‐Bukhari dan Muslim, Sunan Abu Dawud dan Jami’ut
Tirmidzi. Seharusnya syarah itu sudah ada, sebab Sunan ini sudah berusia enam ratus tahun. Tetapi
kurang mendapat perhatian dari para ulama hadits untuk mensyarahnya”.
Diantara ulama yang memberikan syarah pada Sunan tersebut adalah:
1. Al Hafizh Jalaluddin as‐Suyuthi
Penjelasan syarah ini sangat singkat bahkan seperti catatan biasa. Syarah tersebut bernama Zuhar ar‐
Rubba ‘Alal Mujtaba. Di dalamnya terdapat penelitian terhadap para rawi, penjelasan mengenai sebagian
lafazh dan hadits gharib, serta keterangan mengenai hukum dan adab yang terkandung dalam hadits
sunan. Meskipun uraian kitab syarah ini sangat singkat namun sangat berguna.
2. Syaikh Al‐Allamah Abul Hasan Muhammad bin Abdul Hadi al‐Hanafi as‐Sindi (wafat tahun 1138 H)
Ulama ini hidup di Madinah, terkenal dengan nama panggilan as‐Sindi. Dalam kitab syarahnya, beliau
berkata, “Ini adalah catatan atas kitab sunan imam al‐hafizh Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib an‐
Nasa'i. Isinya hanya uraian singkat mengenai hal‐hal yang sangat diperlukan oleh para pembaca seperti
bahasa, I’rab, hadits gharib dan lainnya.
Syarah ini lebih sempurna daripada syarah as‐Suyuhti, karena di dalamnya terdapat pendapat hukum dari
as‐Sindi. Kedua syarah ini telah diterbitkan di Mesir dan India. Pada terbitan Mesir, matan hadits sunan
dan kedua syarahnya dicetak menjadi satu kitab. Dan penerbitannya selesai tahun 1312 H.
3. Syaikh Al‐Allamah Sirajudin Umar bin Ali al‐Mulqin asy‐Syafi’i (wafat tahun 804 H)
Syarah yang ditulis oleh ulama ini hanya merupakan tambahan atas shahih al‐Bukhari dan Muslim, Abu
Dawud dan at‐Tirmidzi. Syarah ini hanya satu jilid.
IMAM IBNU MAJAH (209‐273 H/824‐887 M)
RIWAYAT IBNU MAJAH
Silsilah
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar‐Rabi’i al Qazwini44. Dilahirkan di
Qazwin tahun 209 H, dan wafat tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya,
Abu Bakar sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya Abu Bakar dan Abdullah, serta
puteranya Abdullah.
Perkembangan dan Pengembaraannya
Dia tumbuh sebagai orang yang mencintai ilmu pengetahuan terutama hadits dan periwayatannya. Untuk
mendapatkan dan mengumpulkan hadits, ia mengembara ke beberapa negeri. Dia pergi ke Irak, Hijaz,
Syam, Mesir, Kufah, Basrah, dan kota‐kota lain untuk mendapatkan hadits dari ulama setempat. Dia juga
belajar kepada murid‐murid Malik dan al‐Laits. Akhirnya Ibnu Majah menjadi imam hadits terkemuka.
Guru dan Muridnya
Ibnu Majah belajar dan meriwayatkan hadits dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin
Namir, Hisyam bin Ammar Muhammad bin Rumh, Ahmad bin al‐Azhar, Basyir bin Adam dan ulama besar
lainnya.
Sedangkan hadits‐haditsnya diriwayatkan oleh Muhammad bin Isa al‐Abhari, Abul Hasan al‐Qattan,
Sulaiman bin Yazid al‐Qazwini, Ibnu Sibawaih, Ishaq bin Muhammad dan ulama‐ulama lainnya.
Penghargaan Para Ulama
Abu Ya’la al‐Khalili al‐Qazwini berkata: “Ibnu Majah adalah orang besar yang terpercaya, jujur dan
pendapatnya dapat dijadikan hujjah. Beliau memiliki pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits”.
Adz‐Dzahabi dalam Tazkiratul Huffaz menggambarkan beliau sebagai ahli hadits besar, mufassir,
penyusun kitab sunan dan tafsir.
Ibnu Katsir, seorang ahli hadits dalam kitab Bidayah‐nya berkata: “Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah)
adalah seorang pengarang kitab sunan yang termasyhur. Kitab itu merupakan bukti amal dan ilmunya
yang luas”.
44 Majah, adalah sebutan gelar dari ayahnya (Yazid) yang karib di Qazwin nama sebuah kota di Iran
Karya‐Karyanya
Ibnu Majah mempunyai banyak sekali kitab hasil tulisannya, antara lain:
1. Kitab as‐Sunan, salah satu dari Kutubus Sittah (enam kitab hadits)
2. Tafsir al‐Qur’an
3. Kitab Tharikh, berisi sejarah sejak masa shahabat sampai masa Ibnu Majah
SUNAN IBNU MAJAH
Kitab Sunan
kitab ini adalah salah satu karya Ibnu Majah yang terbesar dan masih beredar sampai sekarang. Beliau
menyusun sunan menjadi beberapa kitab dan bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab dan 1.500 bab. Jumlah
haditsnya sebanyak 4.000 buah.
Kitab sunan ini disusun secara baik dan indah menurut sistematika fiqih. Beliau memulai sunan ini dengan
bab mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dalam bab ini dia membahas hadits yang
menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban untuk mengikuti dan mengamalkannya.
Kedudukan Sunan Ibnu Majah diantara Kitab Hadits
Sebagian ulama sudah sepakat bahwa kitab hadits yang pokok ada lima, yaitu Shahih al‐Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan an‐Nasa'i, Sunan at‐Tirmidzi.
Mereka tidak memasukkan Sunan Ibnu Majah mengingat derajat kitab ini lebih rendah dari lima kitab
tersebut.
Tetapi sebagian ulama menetapkan enam kitab hadits pokok, dengan menambah Sunan Ibnu Majah
sehingga terkenal dengan sebutan Kutubus Sittah (enam kitab hadits).
Ulama pertama yang menjadikan kitab Sunan Ibnu Majah sebagai kitab keenam adalah al‐Hafizh Abdul
Fadli Muhammad bin Tahir al‐Maqdisi (wafat tahun 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan
dalam risalahnya Syurutul A’immatis Sittah. Pendapat ini kemudian diikuti oleh al‐Hafizh Abdul Ghani bin
al‐Wahid al‐Maqdisi (wafat tahun 600 H) dalam kitabnya al‐Ikmal fi Asma’ ar‐Rijal. Pendapat mereka
inilah yang diikuti oleh sebagian besar ulama.
Mereka memasukkan Sunan Ibnu Majah sebagai kitab keenam tetapi tidak memasukkan al‐Muwatta'
Imam Malik. Padahal kitab ini lebih shahih daripada kitab milik Ibnu Majah. Hal ini dikarenakan di dalam
Sunan Ibnu Majah banyak terdapat hadits yang tidak tercantum dalam Kutubul Khamsah (lima kitab
hadits), sedangkan hadits yang terdapat di dalam al‐Muwatta' seluruhnya sudah termaktub dalam
Kutubul Khamsah.
Diantara para ulama ada yang menjadikan al‐Muwatta' ini sebagai kelompok Usulus Sittah (enam kitab
hadits pokok), bukan Sunan Ibnu Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan
Ahmad bin Razin al‐Abdari as‐Sarqasti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya ad‐Tajrid fil Jami’Bainas
Sihah. Pendapat Razin ini diikuti oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnu Asir al‐Jazairi asy‐Syafi’i (wafat tahun
606 H). Az‐Zabidi asy‐Syafi’i (wafat tahun 944 H) dalam Taysirul Wusul juga punya pendapat demikian.
Sebenarnya derajat al‐Muwatta' lebih tinggi dari Sunan Ibnu Majah.
Nilai Hadits Sunan Ibnu Majah
Sunan Ibnu Majah berisi hadits shahih, hasan dan dhoif bahkan hadits munkar dan maudlu45, meskipun
jumlahnya kecil. Dibandingkan dengan kitab sunan yang lain, nilai Sunan Ibnu Majah jauh dibawahnya. Al‐
Mizzi berkata: “Semua hadits yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah sendirian adalah dhoif”.
Al‐Hafizh Syihabuddin al‐Busairi (wafat tahun 840 H) dalam kitabnya Misbah az‐Zujajah fi Zawaid Ibnu
Majah membahas hadits‐hadits tambahan (Zawaid) di dalam Sunan Ibnu Majah yang tidak terdapat
dalam Kutubul Khamsah, serta menunjukkan derajat hadits itu: shahih, hasan, dhoif atau maudlu. Usaha
Busairi ini menguatkan bantahan terhadap pendapat al‐Mizzi sekaligus menguatkan pendapat Ibnu Hajar.
Terlepas dari pro‐kontra, yang jelas derajat Sunan Ibnu Majah lebih rendah dari Kutubul Khamsah dan
merupakan kitab sunan yang paling banyak mengandung hadits dhoif oleh karena itu, sebaiknya tidak
menjadikan hadits yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai dalil kecuali setelah mengkajinya
45 Hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan dengan rawi yang adil, dhabith (kuat ingatan), sanadnya bersambung, tidak berillat
dan tidak syadz (janggal)
Hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dengan rawi yang adil, kurang kuat ingatannya, sanadnya bersambung, tidak cacat
(illat), dan tidak pula janggal (syadz)
Hadits Dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih dan hasan, dan kedhaifannya bisa terjadi karena gugurnya
sanad atau cacatnya perawi.
Hadits munkar, adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas
kefasikannya, sehingga semua perawi menolaknya
Hadits maudlu adalah hadits yang dibuat oleh seseorang lalu disandarkan kepada Rasul, padahal tidak dari Rasul atau disebut juga
dengan hadits palsu
terlebih dahulu. Bila ternyata hadits tersebut shahih atau hasan, maka boleh dijadikan pegangan; jika
dhoif, hadits tersebut tidak boleh dipakai.
Hadits Sunan Ibnu Majah yang Dikritik
Sebagian ulama mengkritik Ibnu Majah, karena meriwayatkan hadits dari perawi yang tertuduh
“berdusta” disamping meriwayatkan hadits maudlu.
Al‐Hafizh Abu Faraj Ibnul Jauzi mengkritik tiga puluh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
menilainya sebagai hadits maudlu. Tetapi penilaian maudlu terhadap hadits itu telah dibantah oleh Imam
Suyuthi.
Sebenarnya sebagian besar hadits yang dikritik oleh Ibnul Jauzi itu bisa diterima, bahkan diantaranya
terdapat beberapa hadits yang telah disepakati olaha sebagai “hadits maudlu”.
Walaupun begitu, hadits maudlu itu jumlahnya sangat sedikit, bila dibandingkan dengan isi sunan yang
jumlahnya lebih dari 400 hadits. Oleh karena itu, hadits maudlu yang terdapat pada sunan itu, tidak
mengurangi nilai Sunan itu sebagai kelompok Kutubus Sittah. Sebagaimana yang telah kami katakan,
sebaiknya tidak mengambil hadits yang hanya diriwayatkan Ibnu Majah, kecuali setelah meneliti para
perawinya. Disamping itu harus mempertimbangkan apakah hadits tersebut pantas dijadikan dalil (atau
tidak).
Sulasiyat Ibnu Majah
Ibnu Majah telah meriwayatkan beberapa hadits dengan sanad tinggi sehingga dia dengan Nabi
Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam hanya terdapat tiga perawi. Hadits seperti ini disebut
“Sulasiyat”.
Syarah Sunan Ibnu Majah
Diantara kitab syarah Sunan Ibnu Majah yang terkenal ialah:
1. Syarah yang disusun oleh al‐Hafizh Jalaluddin as‐Suyuthi (wafat 911 H). Kitab syarah ini bernama
Misbahuz Zujajah Ala Sunan Ibnu Majah. Sebagaimana dalam mengulas Kutubus Sittah yang lain,
as‐Suyuthi menjelaskan secara singkat terhadap masalah yang penting saja.
2. Kitab syarah yang ditulis oleh syaikh as‐Sindi al‐Madani (wafat tahun 1138 H). Syarah ini ditulis
secara ringkas dan terbatas pada masalah yang penting saja. Tulisan syarah ini dicetak di pinggir
matan as‐Sunan
KESIMPULAN
Setelah kami memenuhi janji kepada para pembaca yang budiman untuk memperkenalkan kutubus sittah
dan para penyusunnya, maka kami menyimpulkan dari uraikan kami sebagai berikut:
1. Pembukuan sunnah secara umum baru dimulai pada akhir abad pertama hijriah, namun
pembukuan secara khusus dilakukan sejak di masa shahabat bahkan pada masa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam
2. Para shahabat di masa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan sesudahnya serta para tabi’in telah
memperhatikan untuk memelihara sunnah Nabi dan menghafalnya. Apabila mereka adalah orang
yang tanggap, daya hafalnya kuat, otaknya tajam, hati dan jiwanya mereka selalu siap menerima
ajaran al‐Qur'an dan Sunnah
3. Disamping menghafal hadits dan sunnah, mereka juga menyampaikannya kepada masyarakat
karena meyakini bahwa sunnah itu adalah syariat yang wajib disampaikan. Pada umumnya
mereka menyampaikan sunnah itu dengan lafazh yang asli. Apabila kesulitan, mereka
menyampaikannya dengan maknanya saja, disertai dengan sikap kehati‐hatian agar tidak terjadi
penambahan, pengurangan ataupun pemalsuan
4. Para ulama yang membukukan sunnah, meskipun tujuan utama hanya untuk menghimpun,
mereka juga memahami hadits itu beserta maksudnya sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Mereka mengumpulkan hadits yang menghabiskan waktu sepanjang hidupnya adalah untuk
membimbing umat agar dapat melaksanakan sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam
dan menegakkan isi sunnah itu yaitu hukum, adab, nasihat, dan etika, yang dapat memperbaiki
dan membangun masyarakat.
5. Disamping mengumpulkan mereka juga meneliti dan mengkritik sanad serta matan hadits.
Mereka tidak mau menerima hadits dari seseorang sebelum meneliti orang tersebut, dan
mengetahui penjiwaan agamanya, kecerdasan akalnya, keadilan dan kejujurannya. Mereka juga
meneliti dan mengkritik matan hadits secara ilmiah dengan pemikiran yang matang, hati‐hati dan
mengetahui pokok masalah, tidak asal menghantam tanpa berdasarkan dalil. Apabila Allah
menjamin terpeliharanya al‐Qur'an, maka Allah juga memelihara sunnah Rasul‐Nya beserta
imamnya yang adil, yang membersihkan sunnah Rasul‐Nya dari pemutarbalikkan yang dilakukan
oleh para pengkhianat, pemalsuan dari orang durhaka dan penafsiran orang‐orang dungu
6. Enam kitab hadits adalah sumber sunnah yang penting, dan para penyusunnya mencurahkan
seluruh kemampuannya untuk mendapatkan kebenaran hakiki. Kami tidak memandang mereka
terpelihara dari kesalahan. Sebab jauh dari kesalahan hanya pada Allah dan Rasul‐Nya. Cukuplah
sebagai keutamaan bagi mereka yang telah berjihad untuk mengumpulkan dan meneliti hadits
yang shahih dan dhaif. Disamping itu mereka menguasai sarana untuk menghantarkan mereka
mencapai kebenaran. Oleh karena itu mereka sudah berhak memperoleh imbalan dari tugas
mulia berupa pahala yang besar dari Allah SWT
7. Masih ada lagi kitab hadits yang lain yang nilainya sama dengan Kutubus Sittah atau
mendekatinya, seperti al‐Muwatta' Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Shahih Ibnu Khuzaimah
dan lain‐lain, yang berisi hadits shahih dan hasan yang tidak sedikit jumlah dan nilainya. Kami
membatasi diri hanya membahas kutubus sittah (enam kitab hadits) saja, karena kitab itulah
yang terkenal dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat dunia Islam. Mudah‐mudahan di
lain waktu yang akan datang, kami mempunyai kesempatan untuk membahas kitab‐kitab sunnah
dan hadits yang lain. Demikian tulisan itu, jika yang kami sampaikan ini benar, maka kebenaran
itu hanyalah berasal dari Allah semata. Dan bila sebaliknya, maka kesalahan itu hanya berasal
dari kami. Yang kami dambakan hanyalah kebenaran hakiki. Tidak ada taufik bagi saya melainkan
dengan pertolongan dari Allah. Hanya kepada‐Nya saya bertawakkal dan hanya kepada‐Nya saya
kembali. Segala puji hanyalah milik Allah. Saya memanjatkan puji ke hadirat Allah pada penutup
buku ini sebagaimana saya memuji‐Nya ketika memulai menulis buku ini. Semoga Allah
melimpahkan rahmat kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa
sallam juga kepada keluarga dan shahabatnya. Amin.
[selesai]
[portege181.wordpress.com/Gudang181]